buku putih agenda antikorupsi bagi presiden 2014-2019

Upload: muhammad-nur-fitrian

Post on 12-Oct-2015

31 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

buat presiden dan kita para rakyatnya

TRANSCRIPT

  • 2 3

    Pengarah : Pimpinan KPK

    Penanggung jawab : Deputi Pencegahan KPK

    Koordinator : Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK

    Tim peneliti dan penulis : Bariroh Barid

    Didik Mulyanto

    Faisal

    Wawan Wardiana

    Kontributor : Tim pangan

    Tim sumber daya alam

    Tim infrastruktur

    Tim pajak

    Tim kesejahteraan sosial

    Tim pencegahan korupsi berbasis

    keluarga

    (Direktorat Penelitian dan

    Pengembangan KPK)

    Penerbit : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

    Juni 2014

    Daftar Isi

    Daftar Isi

    Pendahuluan

    Sasaran

    Prawacana

    Wacana

    Agenda 1 : Reformasi Birokrasi dan Perbaikan Administrasi

    Kependudukan

    Agenda 2 : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Penerimaan

    Negara

    Agenda 3 : Ketahanan dan Kedaulatan Pangan

    Agenda 4 : Perbaikan Infrastruktur

    Agenda 5 : Penguatan Aparat Penegak Hukum

    Agenda 6 : Dukungan Pendidikan Nilai dan Keteladanan

    Agenda 7 : Perbaikan Kelembagaan Partai Politik

    Agenda 8 : Peningkatan Kesejahteraan Sosial

    Penutup

    3

    6

    14

    16

    28

    29

    36

    49

    58

    63

    66

    72

    78

    84

  • Pendahuluan

  • 6 7

    Dalam rangka pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berinisiatif menyampaikan sejumlah gagasan kepada semua kandidat presiden Republik Indonesia. Penyampaian sejumlah gagasan ini dilandasi cita-cita sejati untuk membangun Indonesia yang berdaulat, memiliki marwah, berkeadilan sejahtera, dan bebas dari korupsi.

    Indonesia sejahtera bebas korupsi sesungguhnya bukanlah impian yang utopis. Penyelenggaraan negara yang bebas dari korupsi adalah sesuatu yang niscaya, selama kepentingan yang menyelimuti para calon pemimpin bangsa ini ditujukan untuk kepentingan rakyat, bukan intensi pribadi atau golongan.

    Bagi KPK, sosok seorang presiden adalah dia yang bersikap layaknya seorang pemimpin, bukan dia yang bertindak bagaikan seorang penguasa. Pemimpin adalah dia yang mampu menciptakan visi dan strategi, dan berfokus pada horizon kerakyatan. Penguasa adalah dia yang semata menggunakan kewenangannya untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri dan kelompoknya saja.

    Di Indonesia, betapa mudah menemukan penguasa, namun betapa sulit bertemu pemimpin. KPK tetap sangat berharap bahwa ajang Pilpres 2014 kali ini akan menghasilkan seorang pemimpin bangsa. Syaratnya, para kandidat presiden memiliki gagasan-gagasan dan program-program yang jelas dan tegas dalam mengatasi persoalan bangsa. Walhasil, dengan gagasan dan program seperti itu, rakyat tentu akan mendukung sepenuhnya. Bila rakyat berkehendak, tentu tiada aral sanggup menghalangi.

    Realisasi pengembanan, pengejawantahan, dan pengamalan tata kelola negara dan pemerintah dalam enam dekade ini telah menimbulkan sejumlah problem besar. Di antaranya adalah tentang krisis praktik kepemimpinan, ruh, dan ideologi kebangsaan (UUD tahun 1945), negara hukum, kedaulatan rakyat dan demokrasi. Problem besar ini telah lama mengakibatkan terjadinya praktik korupsi sistemik dan tidak berjalannya pemberdaulatan tata kelola perekonomian negara untuk kepentingan rakyat (demokratisasi perekonomian negara).

    Landasan ketatanegaraan menegaskan bahwa yang berdaulat adalah rakyat (UUD pasal 1 ayat 2) sebagai subyek hukum

    permanen. Kekuatan status hukum rakyat adalah terkuat dan legitimasinya permanen. Sedangkan negara dalam pengertian lembaga negara bersifat tidak permanen, dapat dibubarkan jika pemimpinnya mengkhianati konstitusi. Dalam praktik, posisi rakyat semakin dilemahkan dan posisi negara kian diperkuat oleh negara. Artinya, demokrasi sekarang sedang menghadapi tantangan yang mencemaskan, dan yang paling menderita: Rakyat, sedangkan negara mengalami krisis martabat.

    Sejalan dengan situasi ini, perembesan nilai-nilai materialisme-pragmatisme-hedonisme yang tidak sesuai dengan konsep manusia otentik dan menyimpang dari ideologi bangsa dengan cepat merubah cara pandang para pejabat publik (pemerintah, DPR, dan kehakiman, termasuk di dalamnya penegak hukum). Penguasa, sebagiannya gagal memaknai aspirasi rakyat dan secara simultan rendah keadabannya dalam memaknai ruh ideologi bangsa. Strategi pembangunan gagal mengartikulasikan hak-hak demokrasi rakyat dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan mengakibatkan kemiskinan multi-dimensional.

    Ruh dan komitmen nasional untuk mengedepankan kemerdekaan (liberty) dan sekaligus menghadapkannya dengan penjajahan (colonialism) tidak diserap sepenuhnya dalam perumusan kebijakan nasional yang based on people empowering. Yang terjadi, kemudian, adalah kolonialisasi sektor ekonomi oleh kaum neo-liberalisme dari dalam negeri dan asing. Kebijakan sektor migas, minerba, hutan, pangan, serta pengembangan kawasan hunian, kawasan bisnis, dan pusat belanja super mewah, dan internasionalisasi pendidikan adalah fakta sempurna terjadinya krisis ideologi dalam ruang publik.

    Apa yang menjadi tuntutan ruh dan ideologi negara Pancasila dengan praktik kepemimpinan pascareformasi semakin mengalami kesenjangan. Budaya intransparansi dan monopoli politik yang menjadi ikon sistem rezim Orde Baru yang korup, justru mengalami pewarisan lebih sistemik dan struktural. Korupsi sistemik dalam bentuk corruption by design dengan dampak kerugian perekonomian negara, lumpuhnya demokrasi ekonomi, dan pelanggaran HAM adalah akibat semata krisis ideologi dan komitmen kebangsaan. Proses-proses politik gagal melahirkan sumber daya insani pemangku amanah rakyat, justru menciptakan atmosfir politik yang terasa hipokrit.

    Pendahuluan

    KRISIS IDEOLOGI KEBANGSAAN

  • 8 9

    Pemimpin dan kepemimpinan semakin kehilangan makna hakiki. Hubungan antara rakyat dengan negara bukan sebagai hubungan yang menghadirkan suasana keteduhan perlindungan rakyat dan hak-hak dasariahnya. Cita-cita negara keadilan sosial bagi seluruh rakyat kian menjauh capaiannya. Perbaikan sistem tata kelola negara dan pemerintah saatnya dinafasi oleh ruh dan ideologi kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai relijiusitas, kejujujuran, keadilan, dan transparansi. Kehadiran Presiden dan Wakil Presiden tepat waktunya, di saat rakyat memerlukan pemimpin yang, secara jujur dan ikhlas, mendedikasikan diri dan jabatannya sebagai tenda besar peneduh dan pelindung rakyat, agar rakyat terbebas dari praktik korupsi sistemik.

    Keberadaan Negara Republik Indonesia bertujuan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut menjaga ketertiban dunia. Tujuan yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 tersebut hanya akan terwujud jika bangsa Indonesia mampu memanfaatkan segala potensi yang dimilikinya secara maksimal1.

    Sayangnya, berbagai faktor menyebabkan upaya mewujudkan tujuan mulia tersebut menghadapi kendala. Ada cukup banyak survei dan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa masyarakat memandang korupsi sebagai permasalahan utama bangsa yang perlu segera diatasi, jauh di atas faktor lain2. Di satu sisi, survei dan penelitian ini mengonfirmasi dugaan tentang parahnya tingkat korupsi di Indonesia, tetapi di sisi lain hal tersebut perlu diapresiasi karena paling tidak masyarakat telah memiliki kepedulian yang tinggi terhadap isu korupsi.

    Memberantas korupsi memerlukan partisipasi masyarakat, karena ini bukan saja masalah penegakan hukum, tetapi juga tentang cara berpikir dan tingkah laku. Dengan kata lain, korupsi juga merupakan masalah sosial dan budaya. Jika dimanfaatkan dengan baik, maka tingkat kepedulian dan kemarahan masyarakat tersebut merupakan modal yang penting bagi upaya pemberantasan korupsi.

    1 Sistem Integritas Nasional Indonesia: konsep dan filosofi, KPK, 2013.

    2 Survei Kompas, 2010, menyebutkan bahwa 38,6% masyarakat menempatkan korupsi sebagai permasalahan paling penting, jauh di atas masalah lain seperti krisis ekonomi (15,1%), pengangguran (10,3%), terorisme (9,7%), dan lain-lain.

    Korupsi di Indonesia bersifat sistemik dan mempunyai sejarah yang panjang; bahkan lebih panjang dari sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri. Pada tahun 1970, Bung Hatta dalam kapasitasnya sebagai penasihat presiden mengatakan bahwa korupsi sudah membudaya di Indonesia3. Sejarah mencatat bahwa sejak masa penjajahan Belanda, korupsi sudah merajalela; bahkan VOC, sebuah BUMN milik pemerintah Belanda yang bertugas mengeksploitasi Indonesia, terpaksa gulung tikar pada tahun 1779 karena masalah korupsi. VOC digantikan oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, dimana praktik korupsi tetap tumbuh subur. Setelah masa kemerdekaan, masa orde baru, hingga masa pascareformasi 1998, korupsi tetap subur.

    Upaya memberantas korupsi bukanlah agenda baru di Indonesia. Pada tahun-tahun awal kemerdekaan, pemerintahan Presiden Soekarno mengeluarkan berbagai peraturan dan mendirikan beberapa institusi untuk memberantas korupsi termasuk korupsi di lingkungan angkatan bersenjata. Lalu pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pemerintah membentuk Tim Empat yang salah satunya bertugas memberantas Korupsi, diikuti dengan berbagai institusi dan peraturan yang semuanya ditujukan untuk menekan tingkat korupsi. Setelah reformasi 1998, pada tahun 2003 didirikanlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diikuti dengan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) setahun kemudian. Ada beberapa Instruksi Presiden yang ditetapkan oleh kepala pemerintahan selama periode reformasi.

    Kehadiran KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah membuka lembaran baru bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pendekatan pemberantasan korupsi yang terkesan formalitas dan basa-basi, yang terjadi sebelum KPK dan pengadilan Tipikor terbentuk, pun diakhiri. Dampaknya, cukup banyak koruptor, yang dikualifikasi sebagai High Ranking Officials, yang tertangkap dan dipidanakan. Sebagai anak kandung reformasi, KPK mendapatkan dukungan luar biasa dari masyarakat. Dukungan tersebut sangat penting, tidak saja dalam mengonsolidasikan upaya memberantas korupsi tetapi juga untuk membangun gerakan sosial antikorupsi.

    Terlepas dari berbagai upaya untuk memperbaiki keadaan, tingkat korupsi di Indonesia masih jauh dari menggembirakan. Pada tahun 2013, Indonesia berada pada urutan ke-114 dari 177 negara

    3 Indonesian Observer, 2 Juli 1970, dalam Korupsi Mengorupsi Indonesia, 2010.

    Pendahuluan

    PRAKTIK KORUPSI SISTEMIK

  • 10 11

    dalam peringkat Corruption Perception Index (CPI). Kondisi ini tidak lebih baik dari keadaan tahun sebelumnya, dan lebih buruk dari keadaan negara-negara lain di kawasan4.

    Negara lain yang memiliki skor sama dengan Indonesia adalah Mesir (32). Skor Indonesia sedikit lebih baik dari Albania (31), Nepal (31), Vietnam (31), dan sedikit lebih buruk dari Ethiopia (33), Kosovo (33), dan Tanzania (33).

    Meskipun skor CPI 2013 Indonesia tidak beranjak dari skor tahun 2012, yaitu 32, namun Indonesia meningkat empat peringkat. Tahun 2012, Indonesia berada di peringkat 118 dari 176 negara, dan di tahun 2013 peringkat Indonesia menjadi 114 dari 177 negara.

    Stagnasi tersebut berlawanan dengan tren beberapa tahun terakhir dimana peningkatan CPI Indonesia merupakan salah satu yang paling tinggi di dunia. Bahkan, dalam periode 2003 hingga 2011, Indonesia merupakan salah satu di antara 11 negara yang berhasil meningkatkan skor CPI sebanyak satu poin atau lebih5. Tanpa inovasi berarti, kemajuan tidak akan berlanjut di masa-masa mendatang.

    Maraknya korupsi politik di era demokrasi dan korupsi antarnegara di era globalisasi merupakan tantangan nyata. Globalisasi memungkinkan barang, jasa, orang, dan modal berpindah dari satu negara ke negara lain dengan mudah. Sayangnya, kasus korupsi pun ikut serta sebagai penumpang gelap proses globalisasi. Ada kecenderungan bahwa korupsi lintas negara akan semakin sering terjadi di masa mendatang. Pendekatan dan strategi baru diperlukan agar upaya memberantas korupsi dapat tetap dilakukan dengan optimal.

    Upaya memberantas korupsi hanya akan berhasil jika ia menyentuh akar permasalahan. Korupsi adalah simptom dari rendahnya integritas institusi dan individu, serta adanya sistem yang tidak akuntabel. Mengobati gejala saja tidak akan menyembuhkan. Tanpa memperbaiki integritas suplai koruptor baru akan terjadi dan berbagai kasus korupsi baru akan terus bermunculan. Tanpa memperbaiki integritas, maka sebaik apa pun sistem yang diterapkan akan tetap muncul kolusi. Perang melawan korupsi

    4 Diunduh dari cpi.transparency.org/cpi2013/results/, 23 Mei 2014.

    5 Wijayanto samirin, Fighting Corruption in Indonesia: the need of new approaches to ensure that progress continues, 2012.

    akan menjadi perang abadi yang menguras energi dan sulit untuk dimenangkan. Kehadiran integritas di level individu, organisasi, dan nasional merupakan pertahanan terbaik untuk mencegah terjadinya korupsi. Sistem yang akuntabel juga menjadi kata kunci utama lainnya untuk meminimalisir potensi korupsi. Integrasi antara sistem dan integritas inilah yang akan menjadi faktor fundamental pemberantasan korupsi.

    Dalam merancang konsep yang berpijak dari sejumlah gagasan ini, KPK melaksanakan dua kegiatan untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan, dan dari kegiatan dimaksud diperoleh dua sumber informasi.

    Pertama, mengumpulkan sejumlah hasil kajian dan studi yang telah dikerjakan oleh KPK selama ini. Lansekap hasil kajian dan studi KPK ini merentang pada beberapa bidang yang merupakan isu-isu kepentingan nasional (national interests), mulai dari sistem administrasi pemerintahan, infrastruktur, pajak, pangan, sumber daya alam, sampai pendidikan dan kesehatan.

    Kedua, menghimpun pendapat-pendapat masyarakat di beberapa daerah di Indonesia. Dalam hal ini kami meminta pendapat dari akademisi, tokoh masyarakat, dan LSM di beberapa daerah. Masyarakat di daerah adalah mereka yang langsung merasakan implementasi kebijakan pemerintah. Suara mereka adalah suara yang aktual, jernih, dan jujur.

    Lalu, dari dua sumber masukan di atas, disintesiskan dalam sebuah konsep yang memuat gagasan-gagasan KPK. Paling tidak, menurut KPK, dalam membangun bangsa di masa mendatang, sejumlah gagasan dalam konsep ini yang patut menjadi perhatian dan prioritas utama dari para calon presiden dalam Pilpres 2014.

    Akhirnya, KPK harus terus menerus menaburkan optimisme seraya membangun asa agar perhelatan Pilpres 2014 dapat menghasilkan seorang presiden pilihan rakyat yang kepentingannya hanya ditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Untuk itu, KPK berharap gagasan dalam proposal ini dapat dijadikan rujukan dan fundamen kebijakan bagi presiden yang baru.

    Pendahuluan

    DUA SUMBER INFORMASI

  • Sasaran

  • 14

    Ada dua sasaran yang ingin dicapai dalam penyampaian rumusan gagasan ini.

    Pertama, KPK mengajukan beberapa prasaran mengenai persoalan-persoalan pokok bangsa.

    Lewat pengajuan gagasan-gagasan yang dirumuskan, KPK tidak berpretensi menyebut bahwa KPK adalah kanal suara rakyat, tetapi sejumlah kajian, studi, dan analisis KPK beberapa tahun belakangan menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah serta implementasinya menggiring pada kesimpulan bahwa masyarakat belum banyak merasakan dampak pembangunan.

    Semoga persoalan-persoalan yang diajukan ini dapat menjadi perhatian utama tiap kandidat presiden. Dengan begitu, kemudian, diharapkan ide dan gagasan yang dirumuskan menjadi suatu program dan menjadi fokus strateginya ketika kandidat presiden ini, kelak secara definitif, menduduki kursi jabatan sebagai presiden. Kedua, kandidat presiden dan KPK sejak awal sudah menciptakan komunikasi konstruktif untuk kepentingan program pemberantasan korupsi yang efektif dan efisien.

    Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, dan KPK sebagai lembaga negara, pada hakikatnya, secara bersama, mempunyai kepentingan yang sebangun: mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera6. Dua dari lima tugas utama KPK adalah upaya pencegahan dan monitor7. Upaya pencegahan adalah sekumpulan usaha yang dilakukan untuk dapat menangkal munculnya perilaku korupsi. Tugas monitor adalah melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi semua lembaga negara dan pemerintah, dan menyampaikan saran perbaikan bila dari hasil pengkajian diketahui bahwa sistem tersebut berpotensi korupsi8.

    Oleh sebab itu, bila dari mula telah disepakati pokok problem dan tantangan pemberantasan korupsi, maka diharapkan ke depannya akan terbuka peluang untuk bekerjasama secara lebih maksimal dengan KPK. Dengan begitu, hubungan yang tercipta adalah hubungan yang saling mendukung menuju perbaikan tata sistem pemerintahan yang bebas dari perilaku korupsi.

    6 Pembukaan UUD 1945 dan salah satu pertimbangan (konsideran) dalam pembentukan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

    7 Pasal 6 dan pasal 13 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

    8 Pasal 14 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

    Prawacana

  • 16 17

    Rasanya kita tak akan kaget membaca data di bawah ini. Semua data itu adalah sesuatu yang lumrah. Bahkan, mungkin, kita sendiri pun tiap hari menyaksikan langsung kenyataan tersebut.

    Dalam lima tahun terakhir, penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia sangat rendah. Sejak 2009 sampai 2013, tingkat kemiskinan hanya turun 3,98 juta. Lengkapnya, berdasarkan data BPS, dapat terlihat bahwa pada 2009 jumlah orang miskin adalah sebesar 32,53 juta; pada 2010 sebesar 31,03 juta; pada 2011 sebesar 30,02 juta; pada 2012 sebesar 28,59 juta; dan pada 2013 sebesar 28,55 juta.

    Penurunan Tingkat Kemiskinan

    Sumber: BPS (diolah)

    Kondisi di atas diperburuk oleh penurunan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia yang cenderung statis. Tingkat pengangguran hanya turun sebesar 700 ribu orang, dari 7,87 juta pada 2009 menjadi 7,17 juta pada 2013. Lebih rinci, data dari BPS memperlihatkan bahwa pada 2009 jumlah pengangguran adalah sebesar 7,87 juta; pada 2010 sebesar 7,14 juta; pada 2011 sebesar 7,70 juta; pada 2012 sebesar 7,24 juta; dan, pada 2013 sebesar 7,17 juta.

    Penurunan Tingkat Pengangguran

    Sumber: BPS (diolah)

    Pada tingkat kemiskinan dan pengangguran yang relatif tinggi tersebut, sangat wajar bila sebagian masyarakat miskin dan para penganggur bekerja di sektor-sektor informal. Penduduk miskin dan penganggur, yang bekerja di sektor informal, umumnya memiliki kemampuan dan modal yang minim, sehingga tidak punya pilihan selain menekuni pekerjaan informal itu9. Akibatnya, mereka dituntut mengupayakan apa saja untuk mendapatkan sedikit keuntungan atau imbalan, sekadar untuk menyambung hidup. Sampai 2013, dari data BPS, sebanyak 60,02 persen atau 68,40 juta penduduk Indonesia, bekerja di sektor informal. Dan, jelaslah bahwa kondisi ini bukanlah kenyataan ekonomi dan realitas sosial yang menggembirakan.

    Pada sisi lain, ketimpangan ekonomi dan sosial tampak jelas terlihat. Koefisien Gini, yang merupakan indikator utama ketimpangan ekonomi atau kesenjangan pendapatan penduduk, menunjukkan hal tersebut. Berdasarkan data BPS, pada 2009, rata-rata koefisien gini Indonesia adalah sebesar 0,37; pada 2010 sebesar 0,38; pada 2011 sebesar 0,39; pada 2012 sebesar 0,41; dan, pada 2013, sebesar 0,41. Kian besar nilai koefisien, kian tinggi tingkat kesenjangan.

    9 Faisal Basri dan Haris Munandar, Lanskap ekonomi Indonesia: kajian dan renungan terhadap masalah-masalah struktural, transformasi baru, dan prospek perekonomian Indonesia, Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2009.

    Prawacana

    32,53 juta

    31,03 juta

    30,02 juta

    28,59 juta

    28,55 juta

    7,87 juta

    7,14 juta

    7,70 juta

    7,24 juta

    7,17 juta

    2009

    2010

    2011

    2012

    2013

    2009

    2010

    2011

    2012

    2013

  • 18 19

    Koefisien Gini

    Sumber: BPS (diolah)

    Di sisi lain, Standar Pembangunan Manusia (SPM) Indonesia relatif rendah di tingkat ASEAN. Pada tahun 2013, misalnya, Indonesia rangking 121 dari 187 negara, di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, dan Philipina. Lebih daripada itu, tidak dapat dibantah bahwa kualitas pelayanan publik tidak kalah memprihatinkan. Pelayanan publik, sesuai UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warganegara dan penduduk atas barang, jasa, dan atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

    Pada 2013, institusi pengawas pelayanan publik, Ombudsman RI, mengumumkan lima kementerian yang memperoleh penilaian rendah dalam pelayanan publiknya, yakni Kementerian Pekerjaan Umum, Pertanian, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Sosial, dan Pendidikan dan Kebudayaan. Indikator utama survei adalah terutama tidak transparan dalam memajang lama waktu pelayanan, biaya pelayanan, dan maklumat pelayanan. Poin penting penunjang pelaksanaan pelayanan publik adalah kemampuan birokrasi mengelola dan menghasilkan barang dan jasa (pelayanan) yang ekonomis, efektif, efisien, dan akuntabel. Birokrasi layanan publik tidak boleh memberikan pelayanan secara diskriminatif, yaitu memandang penduduk atas dasar status, pangkat, dan golongan10.

    10 Messi, 1999

    Sulit dipungkiri, masalah-masalah di atas timbul karena masifnya korupsi. Persoalan korupsi mengakibatkan tingkat kemiskinan yang tinggi, tingkat pengangguran yang menaik, pekerjaan di sektor informal membesar, kesenjangan kesejahteraan melebar, dan menurunnya kualitas pelayanan publik.

    Korupsi sungguh merenggut hak rakyat untuk hidup sejahtera. Padahal, negara berkewajiban memajukan derajat kemakmuran rakyatnya. Negara musti sanggup memuaskan tuntutan kesejahteraan sosial rakyatnya. Hak konstitusi adalah hak yang melekat pada tiap warganegara untuk meraih perlindungan, kesetaraan, kehidupan layak, dan kesejahteraan11. Kewajiban dan tanggung jawab itu harus terpenuhi, apakah negara itu kaya atau tidak, karena bila tidak negara tersebut patut dikategorikan sebagai negara gagal, failed-state12.

    Dalam penjelasannya, UU No. 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan secara terang bahwa tingkat korupsi yang masif di Indonesia membawa bencana, tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional, tetapi juga kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, korupsi yang meluas dan sistematis merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat.

    Kewajiban negara menyejahterakan rakyatnya sesungguhnya sudah tertuang secara tegas dan eksplisit dalam konstitusi. Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 28H ayat 1 (perubahan kedua) tercetus amar: setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Lalu, pasal 28H ayat 2 memberi mandat bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Dan, pasal 28H ayat 3 memerintahkan negara agar setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.

    11 Bahari, Kompas, 26 September 2012.

    12 Sri-Edi Swasono, 2012.

    KORUPSI KONSTITUSI

    2009

    2010

    2011

    2012

    2013

    0,37

    0,38

    0,39

    0,41

    0,41

    Prawacana

  • 20 21

    Lebih jauh, sejumlah pasal lain dalam konstitusi menguatkan tanggung jawab negara untuk memajukan kesentosaan warganya. Pasal 33 ayat 3 berbunyi, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 34 ayat 1 (amandemen keempat) mengamanatkan bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Kemudian, pasal 34 ayat 2 mendesak negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Lalu, dalam pasal 34 ayat 3 disebutkan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

    Pasal-pasal di atas memberi amanat agar tiap warganegara bisa bebas dari ketakberdayaan. Pesan konstitusi ini sesungguhnya sudah jauh lebih dahulu sebelum Amartya Sen, peraih Nobel bidang ekonomi tahun 1998, mengatakan perlunya pembangunan sebagai proses menuju kebebasan. Bila pembangunan adalah sebuah proses menuju kebebasan, maka, bagi Sen, pembangunan mensyaratkan sirnanya sumber-sumber utama ketidakbebasan. Pangkal pokok ketakmandirian itu adalah kemiskinan, tirani, peluang berusaha yang diisolasi oleh negara, penghirauan akan penyediaan fasilitas-fasilitas yang bermanfaat bagi publik, pemerintahan yang represif, negara yang otoriter, dan masyarakat yang intoleran13.

    Bila diperhatikan sejumlah fakta korupsi belakangan ini, kemudian membandingkannya dengan amanat konstitusi (UUD 1945), maka terlihat bahwa korupsi sesungguhnya adalah pelanggaran terhadap konstitusi. Dalam konteks ini, muncul semacam korupsi konstitusi14. Maksudnya adalah bahwa ada kesengajaan untuk mengingkari amanat konstitusi; mengabaikan pesan-pesan konstitusi.

    Memerhatikan pelaku korupsi berdasarkan jabatan sejak tahun 2004-2013 cukup membuat miris, karena menunjukkan bahwa semua lini penyelenggara negara baik legislatif, eksekutif, yudikatif, maupun masyarakat atau dunia usaha telah terjerat dalam tindakan dan perilaku yang korup. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik tingkat tinggi menyangkut kebijakan publik dan keputusan besar di berbagai bidang kehidupan, dengan pelaku yang berpendidikan

    13 Amartya Sen, Development as Freedom, 1999.

    14 Istilah korupsi konstitusi dipinjam dari Revrisond Baswir (paparan di depan forum diskusi KPK, 21 Mei 2014).

    tinggi, kekayaan yang sudah memadai, dan pemahaman agama yang mumpuni. Perilaku korup oleh mereka yang sudah berkecukupan secara materiil tersebut kita sebut corruption by greed atau korupsi akibat keserakahan.

    Grand corruption menyebabkan kerugian negara yang sangat besar secara finansial maupun non-finansial, yang tidak hanya menggerus keuangan negara tetapi juga telah merampas hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Korupsi yang dilakukan secara tersembunyi banyak terjadi karena adanya kolusi antara kekuatan ekonomi, kekuatan politik, dan para pengambil kebijakan publik. Dengan pengaruh yang dimilikinya, kelompok kepentingan tertentu memengaruhi pengambil kebijakan agar mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kelompoknya. Apabila pengaruh kelompok tersebut begitu besar dan seolah dapat mengontrol proses perumusan kebijakan publik, maka fenomena inilah yang sering disebut dengan state capture atau elite capture.

    Tabulasi Data Pelaku Korupsi Berdasarkan Jabatan Tahun 2004-2014 (per 31 Maret 2014)

    Sumber: KPK, 2014

    Sebagai gambaran singkat, sejak berdiri sampai dengan tahun 2013, KPK telah menyelamatkan total kerugian negara sebesar Rp 248,89 Triliun. Uang negara sebesar itu terdiri atas perolehan dari upaya penindakan dan upaya pencegahan melalui penyelamatan kerugian negara sebesar Rp 197,39 Triliun. Juga, dari potensi penyelamatan kerugian negara dengan program pencegahan sebesar Rp 51,50 Triliun.

    Prawacana

    No Jabatan 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 Jumlah

    1 Anggota DPR & DPRD

    0 0 0 2 7 8 27 5 16 8 0 73

    2 Kepala Lembaga/Kementerian

    0 1 1 0 1 1 2 0 1 4 1 12

    3 Duta Besar 0 0 0 2 1 0 1 0 0 0 0 4

    4 Komisioner 0 3 2 1 1 0 0 0 0 0 0 7

    5 Gubernur 1 0 2 0 2 2 1 0 0 2 0 10

    6 Walikota/Bupati & Wakil

    0 0 3 7 5 5 4 4 4 3 0 35

    7 Eselon I/II/III 2 9 15 10 22 14 12 15 8 7 1 115

    8 Hakim 0 0 0 0 0 0 1 2 2 3 2 10

    9 Swasta 1 4 5 3 12 11 8 10 16 24 1 95

    10 Lainnya 0 6 1 2 4 4 9 3 3 8 1 41

    Jumlah 4 23 29 27 55 45 65 39 50 59 6 402

  • 22 23

    Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara oleh KPK 2005-2013

    Sumber: KPK, 2014

    Dari uang yang dapat diselamatkan tersebut, bila dikonversikan, maka sesungguhnya uang itu bisa digunakan bagi pembangunan 2,5 juta unit rumah sederhana gratis, atau memberikan susu gratis kepada anak rawan gizi sebanyak 22,6 miliar liter, atau memberikan sekolah gratis kepada 429 juta anak SD selama setahun, atau memberikan 29,3 miliar kilogram beras gratis bagi penduduk yang rawan pangan, atau membangun 1,9 juta unit ruang kelas Sekolah Dasar, atau membangun 1,8 juta unit ruang kelas Sekolah Menengah Pertama, atau memberikan 49 juta unit komputer untuk sekolah-sekolah, atau memberikan bantuan modal usaha untuk 25 juta sarjana baru, atau memberikan modal pendirian 4,9 juta koperasi di tengah-tengah masyarakat.

    Potensi Konversi Penyelamatan Uang Negara untuk Rakyat

    Pembangunan rumah sederhana 2,5 juta unit rumah, atau

    Pemberian susu gratis kepada anak rawan gizi

    22,6 miliar liter susu, atau

    Menyediakan sekolah gratis pada anak SD 429 juta anak SD, atau

    Pemberian beras bagi penduduk rawan pangan

    29,3 miliar kilogram beras, atau

    Pembangunan ruang kelas Sekolah Dasar 1,9 juta unit ruang kelas SD, atau

    Pembangunan ruang kelas SMP 1,8 juta unit ruang kelas SMP, atau

    Menyediakan komputer untuk sekolah 49 juta unit komputer, atau

    Menyediakan bantuan modal usaha bagi sarjana baru

    25 juta sarjana baru, atau

    Menyediakan modal bagi pendirian kope-rasi

    4,9 juta koperasi baru.

    Semua data dan beberapa gambaran wajah bangsa di atas sesungguhnya adalah fakta-fakta usang yang terus menghantui negeri ini. Hal-hal di atas pasti akan menjadi pekerjaan rumah bagi presiden baru, sehingga bagaimanapun inilah tanggung jawab utama dan pertama buat presiden baru.

    Seorang presiden merupakan pengemban amanat rakyat. Dan, seorang pengemban amanat rakyat, pada hakikatnya, adalah pengemban amanat konstitusi. Lalu, dalam amanat konstitusi terkandung pesan bahwa kekayaan Indonesia dikuasai oleh negara. Oleh karena itu, presiden adalah dia yang wajib menjaga kekayaan negara. Presiden adalah representasi negara karena dia adalah kepala negara.

    Prawacana

    PEKERJAAN RUMAH BAGI PRESIDEN BARU

    No. Penindakan RUPIAH U$D

    Penindakan

    1Jumlah uang yang disetor ke Kas Negara dari Tindak Pidana Korupsi

    1,175,478,834,227.30

    2Jumlah uang yang disetor ke Kas Negara dari Gratifikasi

    18,194,957,229.00

    Sub Jumlah 1,193,673,791,456.30

    Pencegahan

    1 Penyelamatan keuangan negara akibat pengalihan hak milik negara (HMN) yang dapat dicegah pada 25 Kementerian/Lembaga 2009 s.d Oktober 2011

    2,876,296,051,256.00

    2 Penyelamatan keuangan dan kekayaan negara dari sektor hulu migas

    186,620,009,340,084.00

    3 Penyelamatan dari alokasi gas bumi untuk pupuk Tahun 2013

    6,700,000,000,000.00

    Sub Total 196,196,305,391,340.00

    Total Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara (Penindakan + Pencegahan)

    197,389,979,182,796.00

    Program Pencegahan

    1Potensi penerimaan negara bukan pajak akibat pinjam pakai kawasan hutan oleh pertambangan per Agustus 2013

    15.900.000.000.000,00

    2Potensi royalti yang tidak dibayarkan oleh perusahaan batubara dan mineral per Agustus 2013

    6.777.607.062.722,36

    3

    Potensi Kerugian Keuangan Negara berdasarkan verifikasi Data Ekspor Mineral (Laporan Surveyor) dari 180 Perusahaan Pertambangan Mineral (2011)

    24,661,547.49

    4

    Potensi Kerugian Keuangan Negara berdasarkan verifikasi Data Ekspor Batubara (Laporan Surveyor) dari 198 Perusahaan Pertambangan Batubara (2010-2012)

    1,224,212,608.84

    5

    Potensi penerimaan pajak yang hilang akibat perbedaan data produksi batubara antara data Ditjen Minerba KemESDM dengan data BPS (2012)

    28,500,000,000,000.00

    6Piutang PNBP (iuran tetap dan royalti) pelaku usaha pertambangan minerba di 8 Provinsi (2011-2013)

    331,275,179,147.00 546,111,426.00

    Total Potensi Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara (Pencegahan)

    51,508,882,241,869.40 1,794,985,582.33

    Grand Total Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara

    248,898,861,424,666.00 1,794,985,582.33

  • 24 25

    Apa yang dimaksud dikuasai oleh negara? Dalam Putusan Perkara Mahkamah Konstitusi No. 002/PUU-I/2003 disebutkan bahwa pengertian dikuasai oleh negara haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud.

    Lebih lanjut, rakyat, secara kolektif, memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

    Fungsi pengurusan oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan, lisensi, dan konsesi.

    Fungsi pengaturan oleh negara dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama pemerintah, dan regulasi oleh pemerintah.

    Fungsi pengelolaan dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham dan atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Daerah sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara, c.q. pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

    Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara dilakukan oleh negara, c.q. pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat15.

    15 Putusan MK ini juga dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 01 Tahun 2005, terbit Selasa, 4 Januari 2005, hal. 208-209.

    Dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia, presiden adalah salah satu ikon penting dalam upaya tersebut. Presiden adalah simbol sekaligus cermin dalam ikhtiar pemberantasan korupsi. Dalam kerangka berpikir seperti itu, beberapa langkah yang harus dilakukan presiden mendatang adalah berkomitmen untuk:

    1. Menolak dan melaporkan segala bentuk gratifikasi. 2. Menentang setiap usaha yang akan melemahkan upaya

    pemberantasan korupsi. 3. Meningkatkan kepatuhan atas Konvensi International tentang

    Antikorupsi (UNCAC). 4. Mewajibkan pendirian Unit Pengendalian Gratifikasi dan

    LHKPN di setiap Kementerian dan Lembaga. 5. Mewujudkan adanya tes integritas dalam proses rekrutmen

    dan promosi di Kementerian dan Lembaga.6. Tidak memberikan ruang kepada keluarganya untuk dapat

    mengakses dana yang berasal dari APBN. 7. Menutup munculnya faktor nepotisme dan kolusi dalam

    proses pelaksanaan kepemerintahan.

    PERAN PRESIDEN DALAM PEMBERAN-TASAN KORUPSI

    Prawacana

  • Wacana

  • 28 29

    Berdasarkan prawacana di atas, beberapa gagasan yang akan disampaikan di sini merupakan abstraksi atas persoalan-persoalan aktual yang sudah diutarakan sebelumnya pada bagian prawacana.

    KPK berkeyakinan bahwa korupsi dan kelemahan sistem pemerintahan adalah akar dari semua masalah di atas. Semua masalah tersebut merentang mulai dari penataan birokrasi, perbaikan sistem administrasi kependudukan, pengelolaan sumber daya alam, ketahanan dan kedaulatan pangan, penyediaan infrastruktur, pembenahan aparat penegak hukum, penguatan partai politik, sampai peningkatan kesejahteraan sosial.

    Singkatnya, bagi KPK, seorang presiden harus mengenal aparat birokrasinya, mengerti penduduknya (jumlah, struktur riil, dan data penduduk), mengetahui berapa besar sumber daya alam dan aset negara, memahami persoalan pangan, mengambil sikap untuk menyediakan infrastruktur yang memadai, menyadari pentingnya membangun aparat penegak hukum yang kuat (kepolisian dan kejaksaan), memperkuat sistem politik, memerhatikan kesejahteraan sosial, dan membangun pendidikan nilai dan keteladanan bagi warganya.

    Secara garis besar, upaya-upaya pemberantasan korupsi yang disampaikan dalam buku ini meliputi delapan agenda yaitu:

    1. Agenda reformasi birokrasi dan perbaikan administrasi kependudukan

    2. Agenda pengelolaan sumber daya alam dan penerimaan negara3. Agenda ketahanan dan kedaulatan pangan4. Agenda perbaikan infrastruktur5. Agenda penguatan aparat penegak hukum6. Agenda dukungan pendidikan nilai dan keteladanan7. Agenda perbaikan kelembagaan partai politik8. Agenda dukungan pendidikan nilai integritas dan keteladanan.

    Agenda-agenda di atas akan diuraikan lebih jauh dalam uraian selanjutnya.

    AGENDA 1:REFORMASI BIROKRASI DAN PERBAIKAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN Reformasi birokrasi menjadi usaha mendesak mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan negara. Perlu usaha-usaha serius agar pembaharuan birokrasi menjadi lancar dan berkelanjutan. Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 memaparkan lima agenda perubahan birokrasi. Kelima agenda tersebut adalah Sumber Daya Manusia aparatur yang berintegritas, kompeten, profesional, berkinerja tinggi, dan sejahtera; meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN; meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi; pelayanan publik prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat; birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi.

    Namun, sejumlah agenda reformasi birokrasi tadi belum menunjukkan hasil menggembirakan. Beberapa survei dan penilaian memperlihatkan kondisi yang cukup suram mengenai birokrasi pemerintah, baik pusat maupun daerah.

    Bila membandingkan Peraturan Presiden No 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dengan kondisi aktual, maka akan muncul beberapa kesenjangan.

    Hal ini dapat terlihat pada tabel di bawah ini:

    Wacana

    Jalan paling mendasar untuk menata birokrasi adalah melalui reformasi birokrasi.

  • 30 31

    Kesenjangan Grand Design Reformasi Birokrasi dengan Kondisi Aktual

    Agenda Perubahan Hasil yang Diharapkan Kondisi Faktual

    Sumber Daya Manusia aparatur

    Aparatur yang berintegritas, kompeten, profesional, berkinerja tinggi, dan sejahtera.

    Hasil evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah atau LAKIP (2013), jumlah instansi yang mendapatkan nilai A dan B baru mencapai 32.2 persen.

    Pengawasan Meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN.

    Transparensy International (2013) mencatat indeks korupsi Indonesia masih rendah (skor 32 dari 100).

    Akuntabilitas Meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja keuangan birokrasi.

    Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2012, jumlah LKPD yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) baru 27 persen dari total 415 LKPD yang diaudit.

    Pelayanan publik Pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat.

    Survei Integritas KPK (2013) menunjukkan kualitas pelay-anan publik Indonesia baru mencapai indeks 6,80 dari skala 10.

    Pola pikir dan budaya kerja

    Birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi.

    Sumber: Perpres No. 81/2010, MenPAN-RB (2013), TI (2013), BPK (2012), KPK (2013),

    KOMPAS (diolah).

    Lebih jauh, berdasarkan hasil kajian Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK di tahun 2011 terhadap pengadaan dan pemberhentian PNS, ditemukan bahwa dalam proses manajemen SDM PNS masih terindikasi beberapa potensi penyimpangan. Hal tersebut diakibatkan oleh kelemahan dalam proses pada tahapan pengadaan dan pemberhentian, yang terangkum dalam delapan temuan, yaitu:

    1. Tidak diterbitkannya pedoman pelaksanaan pengadaan CPNS setelah tahun 2007.

    2. Belum kredibelnya proses seleksi CPNS yang berasal dari tenaga honorer.

    3. Belum diaturnya jadwal untuk setiap tahap pengadaan CPNS yang bersumber dari pelamar umum dalam pedoman pelaksanaan pengadaan CPNS.

    4. Tidak ditetapkannya nilai minimal kelulusan (passing grade) untuk menentukan kelulusan tes pelamar CPNS.

    5. Tidak handalnya instrumen penilaian CPNS dalam masa percobaan.

    6. Tidak adanya persyaratan yang terukur bagi PPK untuk menetapkan perpanjangan batas usia pensiun bagi PNS tertentu.

    7. Tidak jelasnya kriteria pelanggaran disiplin berat yang dapat dikenai sanksi pemberhentian.

    8. Adanya potensi subyektifitas dalam PP No. 4 Tahun 1966 pasal 4 ayat 1 huruf b tentang penentuan gaji PNS yang diberhentikan sementara.

    Penataan birokrasi dilaksanakan melalui upaya reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi dimaksudkan mengubah paradigma pengelolaan administrasi negara dari administrasi klasik menuju sistem administrasi yang menerapkan prinsip-prinsip good governance (akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi). Paradigma administrasi negara yang harus dibangun adalah yang berorientasi pada hasil, pendelegasian wewenang, dan fokus pada kepuasan masyarakat pengguna. Adapun, dalam penerapan paradigma tersebut, yang musti didorong presiden dalam pelaksanaan reformasi birokrasi yakni: 1. Reformasi pelayanan publik

    Muara akhir yang ingin dicapai dari reformasi pelayanan publik yaitu peningkatan kepuasan masyarakat pengguna layanan. Oleh karenanya, spirit yang ditanamkan adalah mengimplementasikan konsep one stop service, memudahkan pengguna dan memberikan dukungan kenyamanan layanan bagi semua lapisan.

    Reformasi pelayanan publik perlu dijadikan fokus program presiden mendatang. Hal ini mengingat masih buruknya kualitas layanan publik yang ada. Kondisi ini bisa terlihat dari beberapa indikator. Pengukuran Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dari Transparency International selama kurun waktu 2004-2013 menunjukkan nilai IPK Indonesia masih berada di level angka 32 (dari maksimum 100). Tidak berbeda jauh, hasil Survei Integritas Layanan Publik yang dilaksanakan KPK menunjukkan masih rendahnya integritas layanan publik di tingkat pusat maupun daerah. Rata-rata indeks integritas layanan publik di instansi pusat adalah 7,37 (dari maksimal 10). Sementara, pada instansi vertikal sebesar 6,71; dan pada pemerintah daerah sebesar 6,82 (KPK, 2013).

    PENATAAN BIROKRASI

    Wacana

  • 32 33

    Dari dua indikator tersebut, reformasi pelayanan publik menjadi penting untuk dilaksanakan. Rendahnya kualitas layanan publik yang ada mengindikasikan masih tingginya korupsi di sektor tersebut. Di sisi lain, buruknya kualitas layanan publik juga mengurangi daya saing negara di tingkatan global.

    2. Reformasi kepegawaianReformasi kepegawaian merupakan keniscayaan di tengah carut marutnya sistem kepegawaian. Hal ini sebagaimana terlihat pada beberapa kondisi di bawah ini:

    Adanya dikotomi pegawai pusat dan daerah pasca-penerapan otonomi daerah. Dikotomi pegawai pusat dan daerah menyebabkan pengkotak-kotakkan pegawai negeri sipil. Akibatnya, pola pembinaan karir pegawai (mutasi, rotasi, promosi, demosi) menjadi terbatas.

    Beragamnyastatuskepegawaiandari individuyangbekerjadi lembaga-lembaga negara dan pemerintah. Status umum pegawai di sektor publik adalah pegawai negeri sipil. Namun, untuk lembaga-lembaga kuasi (contoh: KPK, KPPU), status kepegawaian belum diatur dan belum terangkum dalam peraturan kepegawaian nasional. Oleh karenanya, terdapat ketidakjelasan dalam pengelolaan kepegawaian nasional.

    Struktur dan besaran penggajian pegawai negeri yangtidak kompetitif. Struktur penggajian pegawai negeri belum mampu menarik lulusan-lulusan terbaik untuk menjadi bagian dari sistem birokrasi. Belum kompetitifnya struktur dan penggajian pegawai negeri menjadikan sumber daya manusia yang terbaik cenderung memilih sektor swasta.

    Pentingnya kriteria pejabat di Kementerian dan Lembagaberbasis pada keunggulan kompetensi, profesionalitas, dan independensi.

    3. Reformasi Aparat Pengawasan Internal PemerintahReformasi aparat pengawasan internal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi birokrasi. Reformasi ini terbagi atas dua komponen, yakni reformasi kelembagaan aparat pengawas internal pemerintah (APIP) dan reformasi metode pengawasan APIP. Secara kelembagaan, struktur organisasi APIP menyebabkan peran strategis yang diemban sulit untuk

    terlaksana. APIP cenderung tidak berkutik apabila berhadapan dengan pimpinan institusi. Hal ini alamiah mengingat secara struktur organisasi APIP berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan institusi. Selain itu, fokus kerja APIP perlu direformasi.

    Selama ini, sumber daya yang ada lebih diarahkan untuk melakukan audit keuangan. Hal ini perlu dikembalikan pada tugas pokok utama dari APIP. APIP merupakan unit kerja yang memiliki fungsi untuk memastikan sumber daya yang ada di institusi dimanfaatkan untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan kata lain, audit kinerja harus menjadi prioritas APIP dalam melaksanakan fungsi pengawasannya.

    4. Reformasi pengelolaan APBN dan APBDReformasi pengelolaan APBN dan APBD bertujuan memastikan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap pengelolaan APBN dan APBD dilakukan secara akuntabel, transparan, dan berkeadilan. Fenomena yang ada menunjukkan implementasi prinsip-prinsip tersebut belum dilaksanakan secara menyeluruh. Hal ini terlihat dari hasil pemeriksaan keuangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Selain itu, Laporan Kinerja Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) menunjukan masih belum tertibnya pelaksanaan dan pencatatan aset. Kondisi ini mengindikasikan program-program pemerintah guna mengakselerasi pembangunan masih dipertanyakan ke-efektif-an maupun ke-efisien-annya.

    Banyak kebijakan pemerintah, yang ada hubungannya dengan peningkatan kesejahteraan penduduk, menemui kendala dalam penerapannya. Penduduk yang seharusnya berhak menerima dana bantuan sosial, misalnya, dalam praktiknya di lapangan tidak memperoleh dana tersebut. Para siswa sekolah dasar dan menengah, yang seharusnya memperoleh dana bantuan siswa miskin, contoh lainnya, tidak mendapatkan akses kepada dana itu16. Jumlah penduduk miskin dan rentan miskin belum secara pasti dimiliki pemerintah. Dalam konteks ini adalah juga persoalan jumlah riil wajib pajak yang masih kabur.

    16 Hasil Kajian Kebijakan Bantuan Sosial, Direktorat Penelitian & Pengembangan, KPK, 2012.

    Wacana

    PERBAIKAN SISTEMADMINISTRASI KEPENDUDU-KAN

  • 34 35

    Akar masalah di atas, salah satunya, adalah lemahnya pendataan kependudukan. Di sinilah urgensi penerapan nomor identifikasi tunggal atau Single Identification Number (SIN). Dengan adanya SIN, pemerintah dapat dengan mudah memantau dan menentukan kebijakan (baik itu kebijakan sosial, ekonomi, atau politik) apa yang diperlukan secara nyata oleh penduduk.

    Nomor Identifikasi Tunggal menjadi penting karena tiga hal. Pertama, NIK adalah hak konstitusional bagi setiap penduduk. Identitas kependudukan merupakan hak asasi setiap warganegara Indonesia. Hak ini tertuang dalam pasal 28D ayat 4 UUD 1945, bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Kedua, administrasi kependudukan yang baik akan meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap program-program pemerintah. Hal ini agar program-program pemerintah lebih tepat sasaran dan efisien, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup penduduk Indonesia melalui peningkatan kualitas pelayanan di bidang pendidikan, peningkatan derajat kesehatan, pengentasan kemiskinan, dan peningkatan daya beli masyarakat, serta peningkatkan kualitas dalam pelayanan publik.

    Ketiga, NIK yang bersifat unik dan tunggal sangat diperlukan untuk mencegah timbulnya identitas ganda dan penyalahgunaannya. Contohnya, permasalahan NIK ganda pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pemilu. Identitas ganda juga akan mempersulit proses penegakan hukum, misalnya dalam pelacakan aset, dan pencekalan tersangka atau terdakwa ke luar negeri. Pada dasarnya falsafah SIN telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Di sana disebutkan bahwa identitas tunggal penduduk Indonesia dikenal sebagai Nomor Induk Kependudukan (NIK). NIK adalah nomor identitas penduduk yang unik atau khas, tunggal, dan melekat sepanjang masa pada seorang warganegara Indonesia. Bersifat unik atau khas memiliki arti bahwa setiap warganegara hanya mempunyai satu nomor identitas, yang tidak tergantikan dan berlainan untuk tiap warganegara17.

    Namun, tentu saja, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 harus diimplementasikan dan dilaksanakan secara konkrit. SIN atau NIK selanjutnya harus dikembangkan lewat Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). SIAK adalah sistem informasi

    17 Laporan pemantauan SIN, Direktorat Penelitian & Pengembangan, KPK, 2011.

    yang melakukan pengolahan dan penyimpanan data, yang memfasilitasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan di tingkat penyelenggara dan instansi pelaksana sebagai satu kesatuan.

    Singkatnya, SIAK direncanakan sebagai suatu sistem yang mengumpulkan, merekam, mengolah, menyimpan, dan memutakhirkan data secara berkelanjutan, yang merupakan hasil dari bentuk pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil18.

    Beberapa hal yang seharusnya menjadi perhatian presiden mendatang terkait perbaikan SIN atau NIK adalah:

    Pertama, evaluasi terhadap grand design pengembangan sistem informasi kependudukan. Grand design memuat cetak biru sistem informasi (IT blue print), yang menjelaskan secara detail aspek teknologinya.

    Evaluasi terhadap grand design dilakukan pada sejumlah aspek, yang meliputi penetapan sasaran kegiatan, formulasi kebutuhan, pemilihan teknologi, pendekatan dan metodologi, serta perencanaan implementasi. Lalu, dalam grand design harus ada penjelasan mengenai detail strategi implementasi yang memuat project management kendali program (monitoring dan evaluasi), migration plan, dan strategi sosialisasi dan kampanye. Selain itu, grand design harus pula bisa menjelaskan detail proses pembersihan database kependudukan untuk menghindari NIK ganda.

    Kedua, penggunaan teknologi biometrik. Dengan saran ini diharapkan dapat dipastikan digunakannya teknologi biometrik yang tepat dan handal. Dengan begitu dapat dijamin ketunggalan identitas seorang warganegara melalui verifikasi tiap data individual terhadap database dari seluruh penduduk Indonesia (one to many).

    Ketiga, pelaksanaan evaluasi e-KTP. Presiden mendatang seharusnya bisa memastikan adanya evaluasi secara mendalam terhadap pelaksanaan proyek e-KTP.

    18 Laporan pemantauan SIN, Direktorat Penelitian & Pengembangan, KPK, 2011

    Wacana

  • 36 37

    AGENDA 2: PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN PENERIMAAN NEGARA

    Rakyat Indonesia memberi kepercayaan kepada negara untuk mengelola sumber daya alam. Dengan sumber daya alam yang dikuasainya, negara wajib mengelolanya demi menghasilkan pendapatan keuangan negara yang optimal. Negara juga selanjutnya wajib mendistribusikan uang negara kepada masyarakat, secara adil dan merata. Hal ini agar tercipta masyarakat Indonesia yang sejahtera.

    Rakyat Indonesia memberi kepercayaan kepada negara untuk mengelola sumber daya alam sebagaimana amanat UUD 1945. Walaupun kepercayaan tersebut diwujudkan dalam berbagai bentuk hak menguasai negara yang diatur secara khusus dalam berbagai aturan perundang-undangan yang terkait dengan sektor sumber daya alam, amanat pelaksanaannya tidak boleh lepas dari semangat pasal 33 UUD 1945.

    Terkait pengelolaan sumber daya alam, setidaknya terdapat tiga hal yang harus mendapatkan perhatian besar presiden mendatang. Ketiganya adalah pertambangan (khususnya mineral dan batubara), kehutanan, serta perikanan dan kelautan.

    Di sektor pertambangan, hasil kajian KPK menemukan sepuluh aspek penting terkait pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, yang diwajibkan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, namun hingga kini belum selesai dilaksanakan19. Kesepuluh aspek tersebut adalah:

    Satu, renegosiasi Kontrak (34 Kontrak Karya (KK) dan 78 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)). Pasal 169 UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) mewajibkan adanya penyesuaian ketentuan yang tercantum dalam kontrak dengan UU Minerba paling lambat satu tahun sejak 12 Januari 2009. Sejalan dengan hal tersebut, dalam kerangka acuan pemerintah terkait dengan renegosasi, setidaknya terdapat enam hal yang akan dinegosiasikan ulang

    19 Hasil kajian Direktorat Penelitian & Pengembangan, KPK, 2013.

    dengan pemegang kontrak. Hal tersebut mencakup: luas wilayah kontrak, penerimaan negara, divestasi, penggunaan komponen dalam negeri, tenaga kerja, dan pengolahan dan pemurnian. Namun hingga saat ini, belum ada satupun kontrak baru (hasil renegosasi) yang ditandatangani bersama antara pemerintah dengan pemegang kontrak.

    Dua, peningkatan Nilai Tambah dalam Bentuk Pengolahan dan Pemurnian Hasil Tambang mineral dan batubara. UU Minerba sesuai dengan pasal 170 mewajibkan adanya kegiatan pemurnian hasil pertambangan mineral oleh pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi, paling lambat 12 Januari 2014. Kewajiban pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan mineral oleh pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) operasi produksi, paling lambat dilakukan 12 Januari 2014 sesuai dengan pasal 112 PP No. 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Hingga saat ini pemerintah belum mengambil sikap yang tegas terkait dengan kewajiban pemurnian oleh KK dan pengolahan dan pemurnian oleh IUP dan IUPK. Bahkan pemerintah memberikan kelonggaran (relaksasi) kepada KK dan IUP/IUPK untuk mengekspor bahan mentah mineral (ore) hingga 12 Januari 2017.

    Tiga, penataan Kuasa Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan. UU Minerba mewajibkan adanya penyesuaian Kuasa Pertambangan menjadi Izin Usaha Pertambangan. UU Minerba juga memberikan kewenangan secara bertingkat dalam pemberian izin kepada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Namun, berdasarkan hasil evaluasi Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, saat ini jumlah IUP yang belum berstatus clean and clear sebesar 4.912 (44,99 persen) dari sebanyak 10.916 IUP. Persentase tersebut baru mempertimbangkan aspek administrasi, kewilayahan, serta keuangan (PNBP), dan belum memperhatikan aspek lingkungan, pajak, kehutanan, pertanahan, tata ruang, dan pertanahan.

    Empat, peningkatan Kewajiban Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri (Domestic Market Obligation). UU Minerba mewajibkan adanya pemenuhan kebutuhan dalam negeri sebelum hasil tambang mineral dan batubara diekspor. Namun, hingga saat ini belum ada upaya sistematis dari pemerintah untuk meningkatkan

    MINERAL DAN BATUBARA

    Wacana

    Indonesia dikaruniai limpahan

    tambang dan mineral. Juga,

    kekayaan hayati dan beraneka

    ragam sumber energi. Sumber

    daya alam ini berada di atas

    maupun di bawah perut

    bumi nusantara. Anugerah

    mulia yang memayungi

    bangsa Indonesia.

  • 38 39

    kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri antara lain melalui sinergi dengan sektor hilir yang menyerap bahan tambang sebagai bahan bakunya. Hal ini menyebabkan sebagian besar barang tambang mineral dan batubara dieskpor ke luar negeri.

    Lima, pelaksanaan kewajiban pelaporan secara reguler. UU Minerba mewajibkan pemegang KK, PKP2B, IUP, dan IUPK melaporkan secara reguler kegiatan pertambangannya kepada pemberi izin. Demikian pula kewajiban pelaporan oleh pemda kepada pemerintah pusat. Faktanya, pemegang IUP banyak yang tidak melaporkan kegiatan pertambangannya kepada pemberi izin. Hal yang sama juga terjadi pada pemerintah daerah, yang tidak melaporkan kegiatan pertambangannya ke pemerintah pusat. Enam, pelaksanaan Kewajiban Reklamasi dan Pascatambang. UU Minerba mewajibkan dilaksanakannya kegiatan reklamasi dan pascatambang oleh pelaku usaha pertambangan. Untuk menjamin pelaksanaan tersebut, pemegang izin/KK/PKP2B wajib menyerahkan jaminan reklamasi dan pascatambang sebesar yang sudah ditetapkan oleh pemberi izin. Faktanya, sulit untuk menelusuri pelaksanaan penempatan jaminan reklamasi dan epascatambang, oleh karena tidak semua Pemda melaporkan keberadaan jaminan tersebut kepada pemerintah pusat. Di lapangan, pelaksanaan reklamasi dan pascatambang jauh dari yang seharusnya sehingga menimbulkan dampak kerusakan lingkungan.

    Tujuh, penerbitan Aturan Pelaksana UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sesuai amanat pasal 174 UU Minerba, semua aturan pelaksana UU tersebut harus diselesaikan paling lambat 12 Januari 2010. Namun PP pelaksana UU tersebut ditetapkan setelah batas waktu 12 Januari 2010. Sebanyak 15 Peraturan Menteri ESDM (dari 22 Peraturan Menteri ESDM) sebagai pelaksana UU Minerba belum ditetapkan.

    Delapan, pengembangan Sistem Data dan Informasi. Untuk mendorong tata kelola pertambangan minerba yang lebih baik, sistem pendataan dilakukan dengan menggunakan aplikasi teknologi informasi. Hingga saat ini, data yang ada belum dikelola secara terintegrasi dan belum bisa dimanfaatkan untuk memonitoring kegiatan pertambangan secara real time. Hal ini menyebabkan terdapat perbedaan pencatatan produksi mineral dan batubara oleh berbagai instansi pemerintah. Sejalan dengan perbedaan data antara Ditjen Minerba Kementerian ESDM dengan

    Badan Pusat Statistik (BPS), negara diperkirakan kehilangan pendapatan pajak sebesar Rp 28,5 Triliun di tahun 2012.

    Sembilan, pelaksanaan Pengawasan. UU Minerba mewajibkan dilaksanakannya pengawasan secara intesif kepada pelaku usaha sejak dari perencanaan (eksplorasi), produksi, pengapalan/penjualan, hingga reklamasi dan pascatambang. Namun, jumlah pengawas (termasuk infrastruktur) di lapangan sangat terbatas sehingga pengawasan tidak berjalan optimal.

    Sepuluh, pengoptimalan penerimaan negara, pelaku usaha diwajibkan untuk membayarkan penerimaan pajak dan bukan pajak (royalti dan iuran tetap) kepada pemerintah. Kewajiban tersebut tertuang dalam kontrak dan PP Nomor 9 Tahun 2012 tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berada di Kementerian ESDM. Hasil temuan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (Tim OPN) menunjukkan adanya kurang bayar PNBP oleh pelaku usaha dari tahun 2003 sampai dengan 2011 sebesar Rp 6,7 Triliun. Demikian juga dengan hasil perhitungan berdasarkan evaluasi laporan surveyor, diperkirakan selisih pembayaran royalti oleh pelaku usaha sebesar US$ 24,66 juta pada tahun 2011 untuk lima mineral utama, dan sebesar US$ 1,22 miliar untuk batubara pada kurun waktu tahun 2010 sampai dengan 2012. Hasil rekonsiliasi Ditjen Minerba Kementerian ESDM dengan pemerintah daerah di 8 (delapan) Provinsi menunjukkan adanya royalti sebesar US$ 546,11 Juta dan iuran tetap yang belum disetorkan ke kas negara sebesar Rp 331,2 Miliar.

    Hutan sebagai kekayaan Indonesia merupakan kesatuan utuh dalam sistem kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Di dalam hutan yang berfungsi sebagai ruang publik dan penyangga kehidupan tersebut, budaya dan peradaban lahir menjadi cara pandang bangsa tentang bagaimana rahmat sumber daya alam tersebut dimanfaatkan secara adil. Adil bagi sesama, maupun untuk masa yang akan datang. Visi bangsa inilah yang dituangkan dalam konstitusi Pasal 33 UUD 1945. Dalam cita yang demikian, hutan seharusnya dipandang sebagai kekayaan negara terbesar.

    Kondisi yang ada saat ini, menjelaskan bahwa praktik penguasaan hutan yang ada justru melupakan bagaimana hutan seharusnya sebagai bagian dan membentuk sistem hidup bangsa Indonesia. Ketimpangan pengelolaan dan watak kebijakan sumber daya alam

    Wacana

    KEHUTANAN

  • 40 41

    yang otoriter, kelemahan dalam tata kelola, dan ketidakpastian hukum berkelindan dengan salah satu musuh bangsa terbesar abad ini, yaitu korupsi.

    Berbagai permasalahan yang terjadi dan terpapar saat ini seolah memberikan hipotesis bahwa perwujudan pasal 33 UUD 1945 ini di sektor kehutanan telah dikorupsi. Beberapa argumen di bawah ini mengkonfirmasi adanya masalah tersebut20 :

    1. Penguasaan ratusan juta hektar luas kawasan hutan, belum sepenuhnya manfaat hutan dapat menjadi jalan kemakmuran bangsa dengan cara yang adil dan bermartabat. Dari total 41,69 juta hektar lahan hutan yang dikelola, hanya 1 persen yang diberikan kepada skala kecil dan masyarakat adat.

    2. Sementara itu kerusakan hutan, deforestasi terus terjadi dari dari tahun ketahun. Tidak hanya berdampak pada kerugian ekonomi, tetapi juga menjadi beban langsung yang harus ditanggung oleh 80 juta masyarakat yang hidup dan menggantungkan hidupnya dari hutan.

    3. Buruknya pengawasan menyebabkan negara didera kerugian hingga 35 trilyun rupiah per tahun akibat pembalakan liar.

    4. Kajian KPK tahun 2010 mengenai perencanaan kehutanan, mengkonfirmasi persoalan dalam tata laksana pengawasan pelaksanaan penggunaan kawasan hutan. Analisis kami menemukan bahwa kelemahan pengawasan dalam izin pinjam pakai menyebabkan terjadi potensi kehilangan penerimaan negara bukan pajak akibat pertambangan di dalam kawasan hutan sebesar Rp 15,9 trilyun per tahun. Ini karena (hanya di Kalimantan, Sumatera, dan Papua saja) ditemukan 1.052 usaha pertambangan dalam kawasan hutan yang tidak melalui prosedur pinjam pakai.

    5. Resiprokal dengan buruknya tata kelola tersebut, korupsi menjadi penyakit yang tumbuh subur di dalamnya. Dalam kajian perizinan sumber daya alam yang dilakukan oleh KPK di tahun 2013, membuktikan ulang bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya alam sangat rentan dengan korupsi. Temuannya mencatat bahwa dari 27 regulasi yang mengatur pemanfaatan hasil hutan kayu dan penggunaan kawasan hutan, 13 regulasi

    20 Hasil Kajian Direktorat Penelitaian dan Pengembangan KPK, 2012.

    diantaranya mudah disalahgunakan dan menjadi peluang bagi korupsi. Akibatnya, setiap bisnis proses perizinan tersebut penuh dengan suap, konflik kepentingan, perdagangan pengaruh, pemerasan, bahkan state capture. Temuan dalam analisis potensi korupsi terhadap tatakelola sumber daya alam tersebut seolah mengklarifikasi upaya penindakan yang KPK lakukan. Termasuk ketika praktik korupsi tersebut berhadapan dengan proses-proses politik di daerah.

    Potensi Kerugian Keuangan Negara dari Sektor Kehutanan dan Minerba

    No DESKRIPSI RUPIAH U$D

    1 Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) akibat pinjam pakai kawasan hutan oleh pertambangan di Kalimantan (2010)

    15,900,000,000,000.00

    2 Potensi royalti yang tidak dibayarkan oleh perusahaan batubara dan mineral (Temuan Tim OPN 2003-2010)

    6,777,607,062,722.36

    3 Potensi Kerugian Keuangan Negara berdasarkan verifikasi Data Ekspor Mineral (Laporan Surveyor) dari 180 Perusahaan Pertambangan Mineral (2011)

    24,661,547.49

    4 Potensi Kerugian Keuangan Negara berdasarkan verifikasi Data Ekspor Batubara (Laporan Surveyor) dari 198 Perusahaan Pertambangan Batubara (2010-2012)

    1,224,212,608.84

    5 Potensi penerimaan pajak yang hilang akibat perbedaan data produksi batubara antara data Ditjen Minerba KemESDM dengan data BPS (2012)

    28,500,000,000,000.00

    6 Piutang PNBP (iuran tetap dan royalti) pelaku usaha pertambangan minerba di 8 Provinsi (2011-2013)

    331,275,179,147.00 546,111,426.00

    TOTAL 51,508,882,241,869.40 1,794,985,582.33

    Masa depan kejayaan bangsa ini ditentukan oleh pengelolaan sumber daya kelautan. Dengan luas perairan nusantara sebesar 2,8 juta km persegi, laut teritoral seluas 0,3 juta km persegi, panjang garis pantai lebih dari 81.000 km dan jumlah pulau lebih dari 18.000 pulau, sudah sepantasnya jika pemerintahan mendatang memberikan porsi yang besar bagi pembangunan di sektor kelautan dan perikanan.

    Wacana

    KELAUTAN DAN PERIKANAN

  • 42 43

    Hasil kajian yang sementara ini dilakukan oleh KPK, menunjukkan bahwa sejumlah persoalan membelit pengelolaan pengelolaan sumber daya laut, perikanan, pesisir, dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Pada tataran regulasi, undang-undang yang mengatur aspek kelautan secara menyeluruh belum disusun hingga saat ini. Sementara aturan perundang-undangan terkait pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil belum sepenuhnya bisa dijalankan oleh karena aturan pelaksana setingkat peraturan pemerintah hingga peraturan menteri belum sepenuhnya diterbitkan. Demikian pula dengan regulasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya perikanan belum sepenuhnya dapat mendorong tata kelola yang berkeadilan, bahkan beberapa diantaranya memiliki nafas yang tidak selaras dengan amanat pasal 33 UUD 1945.

    Pada tataran implementasi, pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan juga dihadapkan pada persoalan lemahnya pengawasan. Dengan cakupan pengawasan dari sabang sampai merauke, armada pengawasan yang ada hingga saat ini belum mencukupi untuk menegakkan kedaulatan negara di sektor tersebut. Masih terdapat banyak kasus illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing di wilayah perairan nusantara hingga Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Hal ini berakibat pada hilangnya nilai ekonomi, sosial dan lingkungan dari sektor tersebut. Bahkan dengan potensi sumber daya perikanan yang besar dan volume produksi perikanan tangkap yang mencapai 5,8 juta ton, penerimaan negara bukan pajak dari sektor tersebut hanya mencapai Rp 227, 5 Miliar pada tahun 2013. Hal ini dalam kacamata KPK, merupakan kebocoran kekayaan negara yang harus ditutup oleh semua pihak secara bersama-sama.

    Memerhatikan kondisi pengelolaan sumber daya alam di atas, sudah selayaknya pemerintahan baru tidak terbuai dengan adagium bahwa negara ini memiliki kekayaan sumber daya alam yang besar. Sebab yang terjadi adalah cadangan sumber daya alam yang terbatas tersebut, dieksploitasi tanpa pernah memperhatikan keberlanjutannya. Sudah saatnya pengelolaan sumber daya alam ini dilandaskan pada semangat untuk mengedepankan kepentingan rakyat banyak dan tidak hanya untuk kepentingan segelintir orang, terintegrasi hulu dan hilir dengan menghilangkan ego sektoral, memberikan porsi yang besar bagi kepentingan dalam negeri, memperhatikan keberlanjutan sumber daya dan manfaatnya, dan menempatkan penataan ruang dan lingkungan hidup sebagai instrumen penting.

    Semua hal di atas hanya dapat dilakukan jika pengambil kebijakan di sektor sumber daya alam memiliki integritas untuk mengelola sumber daya alam sesuai dengan amanat konstitusi. KPK dalam hal ini percaya dengan pendapat bahwa persoalan pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam bukan semata-mata persoalan kerugian negara, namun juga merupakan kegagalan negara dalam mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

    Di Indonesia, penerimaan negara dari pajak merupakan yang terbesar di antara beberapa sumber penerimaan negara lainnya. Pada 2013 pajak memberikan kontribusi sebesar Rp 1.042,31 triliun atau 68,14 persen dari RAPBN tahun 2013 sebesar Rp 1.529,67 triliun. Sumber-sumber penerimaan negara lainnya, yakni Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), kepabeanan dan cukai, serta hibah, hanya menyumbangkan total 31,86 persen dari RAPBN 2013.

    Salah satu di antara beberapa sumber penerimaan pajak yang tertinggi adalah sektor pertambangan. Berdasarkan laporan realisasi pajak tahun 2012, sektor pertambangan menempati lima besar sektor terbesar penerimaan pajak. Urutan peringkat teratas sampai peringkat lima, berturut-turut, adalah sektor industri pengolahan, perdagangan, perantara keuangan, pertambangan, dan transportasi.

    Sektor pertambangan memberikan kontribusi lebih kurang 9 persen terhadap total pajak dalam negeri. Dari 9 persen itu, pertambangan batubara memberikan kontribusi lebih kurang 20 persen dari total pajak sektor pertambangan21.

    Pada dasarnya, potensi penerimaan pajak dari sektor pertambangan dapat lebih besar dari 9 persen, termasuk potensi penerimaan pajak yang bisa lebih tinggi dari yang diperoleh sekarang dari pertambangan batubara. Ada sejumlah alasan yang mendasarinya.

    21 Kajian Optimalisasi Penerimaan Pajak (Studi Kasus: Sektor Pertambangan Batu Bara), Direktorat Penelitian dan Pengembangan, KPK, 2013-2014.

    Wacana

    PENERIMAAN PAJAK DARI SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA

  • 44 45

    Pertama, salah satu permasalahan penerimaan negara sektor pertambangan adalah ketidakpatuhan perusahaan. Dari hasil temuan tim Optimalisasi Penerimaan Negara (OPN), diketahui adanya kekurangan bayar royalti sebesar Rp 6,7 triliun (dari tahun 2003-2011).

    Kedua, pada 2010-2012, potensi kerugian keuangan negara dari 198 perusahaan pertambangan batubara di Indonesia adalah sebesar US$ 1,224 miliar. Sementara, dari 180 perusahaan pertambangan mineral di Indonesia, pada 2011, ada potensi kerugian negara senilai US$ 24,661 juta.

    Ketiga, dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pada tahun 2013, jumlah pajak yang tidak dibayarkan sebesar Rp 628 miliar. Nilai ini naik dari Rp 486 miliar di 2012, dan Rp 328 miliar pada 2011. Sampel audit BPK ini adalah hanyalah 20 perusahaan besar dan 60 perusahaan pertambangan kecil.

    Keempat, kurang handalnya data pertambangan, seperti data produksi, data ekspor, data penjualan. Kondisi ini membuat sulitnya menghitung secara akurat potensi penerimaan pajak dari sektor pertambangan.

    Kelima, Direktorat Jenderal Pajak telah mencanangkan reformasi perpajakan sejak 2002, tetapi sampai saat ini masih terjadi berbagai penyimpangan dalam pelayanan dan pengawasan pajak. Beberapa kasus korupsi di sektor pajak mengkonfirmasi pernyataan tadi.

    Situasi-situasi di atas sebenarnya berakar pada sejumlah masalah.

    Satu, belum akuratnya data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

    Terdapat 3.826 Izin Usaha Pertambangan (IUP) pertambangan batubara yang dimiliki oleh 3.066 perusahaan. Lalu, sebesar 724 (23,61 persen) perusahaan di antaranya tidak tercatat pada data NPWP yang disampaikan (22,03 persen) dari total IUP. Terhadap IUP yang tidak tercatat pada data NPWP yang disampaikan, 53,5 persen atau 451 IUP di antaranya berstatus clean and clear (CNC).

    Terdapat perusahaan yang memiliki NPWP induk lebih dari satu atau tercatat pada beberapa Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Terdapat perusahaan yang kurang patuh melaporkan SPT. Pada perusahaan PKP2B, dari 74 perusahaan yang dicek pelaporan SPT-nya, hanya

    51 perusahaan yang melaporkan SPT pada tahun 2011 (68,9 persen) dan 50 perusahaan yang melaporkan SPT pada tahun 2012 (67,6 persen).

    Dua, kurangnya data pendukung perhitungan potensi pajak.

    Tidak akuratnya perhitungan volume dan kualitas batubara yang akan dijual oleh pelaku usaha sebagai dasar untuk perhitungan kewajiban royalti maupun perhitungan pajak.

    Perbedaan data produksi DJMB dengan data BPS, WCA dan US EIA*

    NoProduksiBatubara

    2011 (ton) 2012 (ton)

    1 Data DJMB** 319,662,455.76 288,504,125.20

    2 Data BPS (data produksi) 415,765,068.00 466,307,241.00

    3 Data BPS (ekspor dan dalam negeri) 441,944,522.14 480,473,119.52

    4 Data World Coal Association 376,000,000.00 443,000,000.00

    5 Data US EIA 414,799,764.59 452,131,743.40

    * DJMB : Ditjen Mineral dan Baru Bara BPS : Badan Pusat Statistik WCA : World Coal Association US EIA : US Energy Information Administration** Karena DJMB tidak menghimpun data produksi IUP maka total

    produksi PKP2B diasumsikan 80 persen produksi nasional. Apabila perbedaan data produksi tersebut di atas dihitung sebagai penerimaan pajak yang hilang, maka besarnya potensi hilangnya penerimaan pajak pada tahun 2012 dapat mencapai Rp 28,5 triliun dengan menggunakan data DJMB vs BPS (produksi); dan secara berurutan atas data DJMB Vs WCI dan US EIA sebesar Rp 24,8 dan Rp 26,3 triliun. Tiga, keterbatasan peraturan terkait perolehan data eksternal.

    Kerahasiaan bank membatasi perolehan data. Prinsip kerahasiaan bank diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Pasal 41 Undang-Undang tersebut mengatur bahwa untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan surat perintah tertulis kepada bank agar memberikan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan kepada Pejabat Pajak.

    Wacana

  • 46 47

    Pembukaan kerahasiaan data perbankan dalam undang-undang tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/19/PBI/2000 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Perintah Atas Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. Namun, berdasarkan aturan di atas, ruang lingkup dan alasan diperlukannya keterangan data perbankan terkait kepentingan perpajakan belum cukup jelas. Dalam hal ini, perlu dipertegas sejauh mana konteks kerahasiaan perbankan dapat diakses oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), misalnya DJP sudah dapat mengakses pada tahap pemeriksaan. Ketentuan ini telah beralih kewenangannya kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 69 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK.

    Masalah lain adalah ketidakselarasan aturan terkait akses data. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah. Undang-undang ini justru mereduksi kewajiban Pemerintah Daerah dalam memberikan data perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana tercantum dalam dalam Pasal 172. Belum efektifnya surat jawaban Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan No. PP.3.PP.02.03-02 tanggal 23 Januari 2014 tentang pemberian dan penghimpunan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan.

    Kemudian, persoalan lain yang mengemuka terkait keterbatasan perolehan data adalah belum dilaksanakannya peraturan terkait reward and punishment. Belum diimplementasikannya pasal 41C UU 28 Tahun 2007 mengenai pengenaan sanksi pidana atau denda terkait data eksternal.

    Empat, belum optimalnya permintaan, pengelolaan, dan pemanfaatan data eksternal.

    Masih terdapat pihak yang belum diwajibkan untuk menyampaikan data dan informasi terkait perpajakan. Pada sektor pertambangan batubara belum dimasukkan permintaan data ke Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, dan asosiasi-asosiasi pertambangan batubara.

    Belum optimalnya pengelolaan data eksternal yang telah diperoleh DJP secara komprehensif dan terintegrasi pada sistem teknologi informasi yang ada di DJP.

    Belum terakomodirnya mekanisme pemanfaatan, pengelolaan dan sistem keamanan data eksternal dari hulu ke hilir. Bila tidak diatur mekanisme penggunaanya, data eksternal berpotensi disalahgunakan oleh petugas pajak.

    Lima, minimnya pengawasan pada Wajib Pajak (WP) oleh DJP.

    Saat ini ada 6.285 Account Representatives (AR) yang tersebar di 331 Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Dengan jumlah Wajib Pajak (WP) terdaftar sebanyak 24.812.569, maka rata-rata seorang AR harus mengawasi hampir 4.000 WP.

    Saat ini pun ada 4.309 fungsional pemeriksa, dengan prioritas pemeriksaan rutin (pemeriksaan LB) sehingga pemeriksaan Kurang Bayar (KB) dan pemeriksaan atas dasar adanya indikasi penyimpangan yang dilakukan WP tidak menjadi prioritas.

    Bila dibandingkan, maka rasio pegawai DJP terhadap WP Terdaftar adalah 1 : 792 (2012), dan rasio Pemeriksa dibanding WP Terdaftar adalah 1 : 5.758 (2012).

    Kurangnya dukungan data yang akurat sebagai data pembanding dan dasar bagi AR dan pemeriksa dalam melakukan pengawasan dan penggalian potensi.

    Dengan rentang waktu pemeriksaan yang cukup lama antara 3-6 bulan (pemeriksaan kantor) atau 4-8 bulan (pemeriksaan lapangan), maka tidak banyak pemeriksaan yang dapat dilakukan oleh pemeriksa.

    Selain di KP DJP, pegawai DJP tersebar di 331 KPP (4 KPP Wajib Pajak Besar, 28 KPP Madya, 299 KPP Pratama) dan 207 KP2KP. Beban target penerimaan pajak antar KPP pun bervariasi.

    Enam, belum optimalnya fungsi analisis potensi.

    Fungsi analisis potensi saat ini dijalankan oleh Direktorat PKP, Subdit Potensi Perpajakan; bidang Dukungan Teknis dan Konsultasi di Kantor wilayah; Tenaga Pengkaji bidang Ekstensifikasi dan Intensifikasi Perpajakan; dan AR. Sampai dengan Februari tahun 2014, Subdit Potensi Perpajakan terdiri dari tiga seksi (industri, jasa dan perdagangan) dan 24 pelaksana (10 pelaksana analisis mikro).

    Wacana

  • 48 49

    Diperlukan analis potensi pajak untuk dapat melihat peluang peningkatan penerimaan pajak secara holistik di berbagai sektor dan lintas wilayah kerja KPP. KPP Pajak dekat lokasi tambang tidak dapat mengawasi langsung, karena merupakan target pajak di kantor pajak lain, dan KPP tempat WP tercatat tidak dapat mengawasi karena lokasinya yang jauh.

    Selain itu, ada masalah pada tingginya beban dan keterbatasan AR dalam melihat potensi pajak. Potensi penerimaan pajak dapat dimaksimalkan apabila tersedia SDM yang kompeten yang dapat melakukan analisis atas data-data eksternal.

    Dari Kondisi-kondisi seperti di atas inilah diperlukan wujud nyata untuk memperbaiki kelembagaan institusi yang mengurusi pajak, serta penataan atas sektor pertambangan itu sendiri.

    AGENDA 3:KETAHANAN DAN KEDAULATAN PANGAN

    Hambatan dalam pencapaian ketahanan pangan, dalam jangka panjang akan merupakan ancaman yang sangat serius bahkan dapat mengancam kedaulatan suatu bangsa. Situasi yang potensial ini muncul sebagai akibat peningkatan kebutuhan bahan pangan dari meningkatnya penduduk dunia, serta konsumsi bahan baku yang berlebihan di negara-negara tertentu (Garelli, 2008)22.

    Sebagai kebutuhan dasar dan hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhan dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi kritis ini bahkan dapat membahayakan kondisi stabilitas ekonomi dan politik nasional, yang dapat meruntuhkan pemerintah yang sedang berkuasa. Dalam kerangka konstitusional, ketahanan pangan menjadi bagian pengejawantahan tujuan berbangsa. Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa cita-cita bangsa Indonesia adalah menuju negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Kemudian, dinyatakan juga bahwa pemerintah negara Indonesia harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

    Dalam batang tubuh UUD 1945, khususnya pada bab Kesejahteraan Sosial, dinyatakan dalam pasal 33 ayat 1, bahwa ekonomi sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan; ayat 2, bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara

    22 Dikutip dari hasil kajian Tim Pangan, Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK, 2014.

    Wacana

    Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Artinya, ketahanan pangan merupakan hak sosial dan hak ekonomi masyarakat.

  • 50 51

    dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan ayat 3, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

    Oleh karena itu, sesuai dengan amanat UUD 1945, lebih dari terwujudnya ketahanan pangan, kedaulatan pangan pun harus menjadi prioritas pemerintah. Konsep kedaulatan pangan (food sovereignty) lebih mengutamakan bagaimana pangan ditentukan oleh komunitas secara mandiri, berdaulat, dan berkelanjutan23. Dengan demikian, masyarakat mempunyai hak atas pangan yang aman, cukup gizi, dan sesuai dengan kondisi budaya setempat dan hak atas sumber-sumber daya untuk memproduksi pangan serta kemampuan untuk menjaga keberlanjutan hidup mereka dan masyarakatnya24. Ketahanan pangan sendiri merupakan prasyarat tercapainya kedaulatan pangan yang melalui tahap swasembada yaitu kemampuan memenuhi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri; dan tahap kemandirian pangan yaitu kondisi terpenuhinya pangan tanpa adanya ketergantungan dari pihak luar dan mempunyai daya tahan tinggi terhadap perkembangan dan gejolak ekonomi dunia25.

    Dalam kerangka pembangunan nasional, ketahanan pangan memegang peran penting. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini menegaskan bahwa ketahanan pangan merupakan salah satu pondasi utama pembangunan nasional.

    Program aksi bidang pangan dijadikan prioritas kelima dari program pembangunan nasional. Tujuan ketahanan pangan nasional yang akan dicapai adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang cukup, bergizi seimbang, dan terjangkau bagi seluruh masyarakat. Guna mencapai ketahanan pangan tersebut, pemerintah mencanangkan program swasembada pangan yang meliputi swasembada beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Begitu pun hortikultura yang juga menjadi prioritas dalam program aksi bidang pangan dalam RPJMN.

    23 FAO.

    24 Dalam Hines, 2005 (dari Khudori, 2008).

    25 Ronny Mudigdo dalam Round Table Discussion dengan KPK, 14 September 2012.

    Sebagai salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk mewujudkan ketahanan pangan adalah pencanangan Program Swasembada pada komoditas strategis. Swasembada komoditas strategis merupakan bagian dari prioritas ketahanan pangan nasional yang dinyatakan pada Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014, sedangkan untuk periode pembangunan jangka panjang telah ditetapkan pula Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025.

    Keseriusan pemerintah dalam upaya swasembada pangan tercermin dari besarnya anggaran swasembada pangan. Di Tahun 2014 pemerintah menganggarkan swasembada pangan untuk lima komoditas utama senilai Rp 8,28 Triliun. Besarnya anggaran ini, bila tidak dikelola dengan baik, dapat menjadi potensi kerugian keuangan negara, baik dari aspek keuangan maupun non keuangan.

    Anggaran swasembada komoditas strategis tahun 2014

    Komoditas Anggaran

    Beras Rp 4.540,0 Miliar

    Kedelai Rp 874,6 Miliar

    Jagung Rp 398,2 Miliar

    Gula Rp 80,6 Miliar

    Daging sapi Rp 1.490,0 Miliar

    Jumlah Rp 8.283,4 Miliar

    Sumber: Kementerian Pertanian, 2014 (diolah)

    Perbandingan luas lahan, produksi, dan impor komoditas strategis

    Sumber: Kementerian Pertanian, BPS, UN Comtrade, 2013 (diolah)

    Wacana

    KomoditasLuas Lahan (ha) Produksi (ton) Impor (ton)

    2011 2012 2011 2012 2011 2012

    Beras 13,203,643 13,445,524 65,756,904.00 69,056,126.00 2,698,989.51 1,810,372.30

    Kedelai 622,254.00 567,624 851,286.00 843,153.00 1,911,987.10 1,921,206.53

    Jagung 3,864,692 3,957,595 17,643,250.00 19,387,022 2,889,173.77 1,692,994.50

    Gula 192,500.00 198,800 2,267,887.00 2,580,000 2,305,032.28 494,130.74

    Daging Sapi

    - - 292,450.00 399,330.00 156,850 91,740.00

  • 52 53

    Dari kedua tabel di atas terlihat bahwa anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam mencapai swasembada pangan cukup besar dan meningkat setiap tahunnya. Namun faktanya kebutuhan akan komoditas strategis belum bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Impor masih menjadi andalan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Bahkan, impor sejumlah komoditas strategis mengalami peningkatan yang signifikan. Kebijakan impor tidak terlepas dari kebijakan liberalisasi perdagangan dalam era globalisasi. Liberalisasi perdagangan mewarnai perdagangan komoditas di pasar internasional, begitu pun pangan tidak luput dari liberalisasi perdagangan. Sebagai negara dengan sistem perdagangan terbuka, Indonesia tentunya tidak terhindar dari liberalisasi dan bukan tidak mungkin akan berbenturan dengan kebijakan dalam negeri dan mengancam kepentingan nasional. Perspektif liberalisasi perdagangan dalam konteks ketahanan pangan bercirikan adanya kecenderungan meningkatnya pasokan pangan dari impor.

    Impor merupakan intervensi pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat ketika pasokan dalam negeri tidak cukup, namun seringkali kebijakan tersebut tidak berpihak pada kepentingan bangsa. Hal tersebut dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang selalu melakukan impor besar-besaran jika terjadi kelangkaan pangan. Kelangkaan pangan sengaja diciptakan oleh para pemburu-rente guna mendapatkan keuntungan, salah satunya dengan mendorong agar pemerintah membuka impor secara besar-besaran.

    Dalam kasus kelangkaan kedelai, contohnya, yang menyebabkan kenaikan harga di pasaran, pemerintah justru membuka keran impor dengan menghapuskan bea masuk impor kedelai, dari yang awalnya sebesar 5 persen menjadi 0 persen. Penghapusan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 133/PMK.011/2013. Kenaikan harga kedelai yang cukup besar ini disinyalir oleh beberapa kalangan disebabkan oleh adanya penguasaan beberapa perusahaan dalam importasi kedelai. Penguasaan ini terlihat dari pembagian kuota impor kedelai dari Menteri Perdagangan, yaitu terdapat hanya beberapa perusahaan yang menguasai kuota impor kedelai. Perusahaan tersebut masing-masing adalah PT FKS Multi Agro yang menguasai kuota terbesar dengan 46,71 persen (210.600 ton), PT Gerbang Cahaya Utama sebesar 10,31 persen (46.500 ton), dan PT Budi Semesta

    Satria sebesar 9,31 persen (42.000 ton). Artinya, penguasaaan tiga perusahaan tersebut menguasai 66,33 persen kuota impor, sehingga cenderung membentuk kartel yang berdampak pada terjadinya kelangkaan kedelai di pasar. Keanehan diperkuat ketika pemerintah justru memberikan kuota hanya sebesar 20.000 ton kepada Perum BULOG untuk menjalankan tugasnya sebagai badan yang ditunjuk untuk menjaga kestabilan harga kedelai di Indonesia. Kebijakan pembebasan impor yang terkesan reaktif justru berdampak pada kerugian petani kedelai lokal karena membanjirnya kedelai impor dengan harga yang lebih murah.

    Sama halnya dalam kasus melonjaknya harga daging sapi beberapa waktu lalu. Harga daging sapi yang melonjak tinggi di pasaran disikapi reaktif oleh pemerintah dengan mengubah kebijakan proteksi. Pemerintah mengubah sistem kuota menjadi pembebasan impor apabila harga di pasar di atas Rp 75.000. Hal tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa kenaikan harga diakibatkan karena supply tidak bisa mengimbangi demand, sehingga kebijakan menambah supply dari impor diharapkan akan menurunkan harga di pasar. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Harga daging di pasar tetap mahal dan cenderung bertahan. Artinya, mekanisme pasar tidak berjalan sempurna, hal ini mengindikasikan adanya distorsi yang mengganggu mekanisme pasar dengan cara sistematis dan terstruktur untuk kepentingan tertentu. Sistematis dan terstruktur artinya adalah bahwa praktik ini lebih melibatkan seluruh komponen dalam kebijakan, mulai dari pengambil kebijakan sampai praktik di lapangan (memalsukan dokumen, penghindaran pajak dan bea masuk) dan lain-lain, dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain dan merugikan negara.

    Jika melihat permasalahan di atas, dapat kita simpulkan bahwa kebijakan importasi komoditas pangan strategis masih sangat lemah dalam melindungi petani lokal. Kelemahan pada kebijakan tata niaga meliputi arah kebijakan yang tidak tepat yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingannya sendiri dengan merugikan negara dan kepentingan publik. Beban persoalan tersebut ikut memengaruhi tidak maksimalnya target kebijakan pemerintah yang diatur selama ini, yang membawa berbagai permasalahan dan menimbulkan konflik baik pada tingkat regulasi maupun praktis dalam setiap kegiatan.

    Wacana

  • 54 55

    Selain permasalahan tersebut, KPK juga menerima sejumlah aduan dari masyarakat terkait dengan tataniaga impor pada komoditas pangan strategis. Pengaduan sejak tahun 2005 menunjukkan beragam modus penyelewengan ditampilkan dalam tabel di bawah ini:

    Data pengaduan masyarakat (2005-2012)

    NoModus Dugaan TPK terkait dengan importasi komoditas pangan

    strategis

    1 Penggelapan impor komoditas strategis

    2 Impor salah satu komoditas strategis fiktif

    3 Penyalahgunaan prosedur importasi komoditas strategis

    4 Mark-up impor komoditas strategis

    Sumber: Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK, 2012 (diolah)

    Melihat kasus impor daging sapi, misalnya, kita bisa melihat bahwa tujuan pemerintah dalam mendorong peternakan lokal sebagai kunci da