buku putih-agenda-antikorupsi-bg-presiden-2014-2019

44

Upload: ernima-sukmasari

Post on 11-Aug-2015

137 views

Category:

Government & Nonprofit


0 download

TRANSCRIPT

2 3

Pengarah : Pimpinan KPK

Penanggung jawab : Deputi Pencegahan KPK

Koordinator : Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK

Tim peneliti dan penulis : Bariroh Barid

Didik Mulyanto

Faisal

Wawan Wardiana

Kontributor : Tim pangan

Tim sumber daya alam

Tim infrastruktur

Tim pajak

Tim kesejahteraan sosial

Tim pencegahan korupsi berbasis

keluarga

(Direktorat Penelitian dan

Pengembangan KPK)

Penerbit : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Juni 2014

Daftar Isi

Daftar Isi

Pendahuluan

Sasaran

Prawacana

Wacana

Agenda 1 : Reformasi Birokrasi dan Perbaikan Administrasi

Kependudukan

Agenda 2 : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Penerimaan

Negara

Agenda 3 : Ketahanan dan Kedaulatan Pangan

Agenda 4 : Perbaikan Infrastruktur

Agenda 5 : Penguatan Aparat Penegak Hukum

Agenda 6 : Dukungan Pendidikan Nilai dan Keteladanan

Agenda 7 : Perbaikan Kelembagaan Partai Politik

Agenda 8 : Peningkatan Kesejahteraan Sosial

Penutup

3

6

14

16

28

29

36

49

58

63

66

72

78

84

Pendahuluan

6 7

Dalam rangka pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berinisiatif menyampaikan sejumlah gagasan kepada semua kandidat presiden Republik Indonesia. Penyampaian sejumlah gagasan ini dilandasi cita-cita sejati untuk membangun Indonesia yang berdaulat, memiliki marwah, berkeadilan sejahtera, dan bebas dari korupsi.

Indonesia sejahtera bebas korupsi sesungguhnya bukanlah impian yang utopis. Penyelenggaraan negara yang bebas dari korupsi adalah sesuatu yang niscaya, selama kepentingan yang menyelimuti para calon pemimpin bangsa ini ditujukan untuk kepentingan rakyat, bukan intensi pribadi atau golongan.

Bagi KPK, sosok seorang presiden adalah dia yang bersikap layaknya seorang pemimpin, bukan dia yang bertindak bagaikan seorang penguasa. Pemimpin adalah dia yang mampu menciptakan visi dan strategi, dan berfokus pada horizon kerakyatan. Penguasa adalah dia yang semata menggunakan kewenangannya untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri dan kelompoknya saja.

Di Indonesia, betapa mudah menemukan penguasa, namun betapa sulit bertemu pemimpin. KPK tetap sangat berharap bahwa ajang Pilpres 2014 kali ini akan menghasilkan seorang pemimpin bangsa. Syaratnya, para kandidat presiden memiliki gagasan-gagasan dan program-program yang jelas dan tegas dalam mengatasi persoalan bangsa. Walhasil, dengan gagasan dan program seperti itu, rakyat tentu akan mendukung sepenuhnya. Bila rakyat berkehendak, tentu tiada aral sanggup menghalangi.

Realisasi pengembanan, pengejawantahan, dan pengamalan tata kelola negara dan pemerintah dalam enam dekade ini telah menimbulkan sejumlah problem besar. Di antaranya adalah tentang krisis praktik kepemimpinan, ruh, dan ideologi kebangsaan (UUD tahun 1945), negara hukum, kedaulatan rakyat dan demokrasi. Problem besar ini telah lama mengakibatkan terjadinya praktik korupsi sistemik dan tidak berjalannya pemberdaulatan tata kelola perekonomian negara untuk kepentingan rakyat (demokratisasi perekonomian negara).

Landasan ketatanegaraan menegaskan bahwa yang berdaulat adalah rakyat (UUD pasal 1 ayat 2) sebagai “subyek hukum

permanen”. Kekuatan status hukum rakyat adalah terkuat dan legitimasinya permanen. Sedangkan negara dalam pengertian lembaga negara bersifat tidak permanen, dapat dibubarkan jika pemimpinnya mengkhianati konstitusi. Dalam praktik, posisi rakyat semakin dilemahkan dan posisi negara kian diperkuat oleh negara. Artinya, demokrasi sekarang sedang menghadapi tantangan yang mencemaskan, dan yang paling menderita: “Rakyat”, sedangkan negara mengalami krisis martabat.

Sejalan dengan situasi ini, perembesan nilai-nilai materialisme-pragmatisme-hedonisme yang tidak sesuai dengan konsep “manusia otentik” dan menyimpang dari ideologi bangsa dengan cepat merubah cara pandang para pejabat publik (pemerintah, DPR, dan kehakiman, termasuk di dalamnya penegak hukum). Penguasa, sebagiannya gagal memaknai aspirasi rakyat dan secara simultan rendah keadabannya dalam memaknai ruh ideologi bangsa. Strategi pembangunan gagal mengartikulasikan hak-hak demokrasi rakyat dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan mengakibatkan kemiskinan multi-dimensional.

Ruh dan komitmen nasional untuk mengedepankan kemerdekaan (liberty) dan sekaligus menghadapkannya dengan penjajahan (colonialism) tidak diserap sepenuhnya dalam perumusan kebijakan nasional yang based on people empowering. Yang terjadi, kemudian, adalah kolonialisasi sektor ekonomi oleh kaum neo-liberalisme dari dalam negeri dan asing. Kebijakan sektor migas, minerba, hutan, pangan, serta pengembangan kawasan hunian, kawasan bisnis, dan pusat belanja super mewah, dan internasionalisasi pendidikan adalah fakta sempurna terjadinya krisis ideologi dalam ruang publik.

Apa yang menjadi tuntutan ruh dan ideologi negara Pancasila dengan praktik kepemimpinan pascareformasi semakin mengalami kesenjangan. Budaya “intransparansi dan monopoli politik” yang menjadi ikon sistem rezim Orde Baru yang korup, justru mengalami pewarisan lebih sistemik dan struktural. Korupsi sistemik dalam bentuk corruption by design dengan dampak kerugian perekonomian negara, lumpuhnya demokrasi ekonomi, dan pelanggaran HAM adalah akibat semata krisis ideologi dan komitmen kebangsaan. Proses-proses politik gagal melahirkan sumber daya insani pemangku amanah rakyat, justru menciptakan atmosfir politik yang terasa hipokrit.

Pendahuluan

KRISIS IDEOLOGI KEBANGSAAN

8 9

Pemimpin dan kepemimpinan semakin kehilangan makna hakiki. Hubungan antara rakyat dengan negara bukan sebagai hubungan yang menghadirkan suasana keteduhan perlindungan rakyat dan hak-hak dasariahnya. Cita-cita negara “keadilan sosial bagi seluruh rakyat” kian menjauh capaiannya. Perbaikan sistem tata kelola negara dan pemerintah saatnya dinafasi oleh ruh dan ideologi kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai relijiusitas, kejujujuran, keadilan, dan transparansi. Kehadiran Presiden dan Wakil Presiden tepat waktunya, di saat rakyat memerlukan pemimpin yang, secara jujur dan ikhlas, mendedikasikan diri dan jabatannya sebagai “tenda besar” peneduh dan pelindung rakyat, agar rakyat terbebas dari praktik korupsi sistemik.

Keberadaan Negara Republik Indonesia bertujuan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut menjaga ketertiban dunia. Tujuan yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 tersebut hanya akan terwujud jika bangsa Indonesia mampu memanfaatkan segala potensi yang dimilikinya secara maksimal1.

Sayangnya, berbagai faktor menyebabkan upaya mewujudkan tujuan mulia tersebut menghadapi kendala. Ada cukup banyak survei dan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa masyarakat memandang korupsi sebagai permasalahan utama bangsa yang perlu segera diatasi, jauh di atas faktor lain2. Di satu sisi, survei dan penelitian ini mengonfirmasi dugaan tentang parahnya tingkat korupsi di Indonesia, tetapi di sisi lain hal tersebut perlu diapresiasi karena paling tidak masyarakat telah memiliki kepedulian yang tinggi terhadap isu korupsi.

Memberantas korupsi memerlukan partisipasi masyarakat, karena ini bukan saja masalah penegakan hukum, tetapi juga tentang cara berpikir dan tingkah laku. Dengan kata lain, korupsi juga merupakan masalah sosial dan budaya. Jika dimanfaatkan dengan baik, maka tingkat kepedulian dan kemarahan masyarakat tersebut merupakan modal yang penting bagi upaya pemberantasan korupsi.

1 Sistem Integritas Nasional Indonesia: konsep dan filosofi, KPK, 2013.

2 Survei Kompas, 2010, menyebutkan bahwa 38,6% masyarakat menempatkan korupsi sebagai permasalahan paling penting, jauh di atas masalah lain seperti krisis ekonomi (15,1%), pengangguran (10,3%), terorisme (9,7%), dan lain-lain.

Korupsi di Indonesia bersifat sistemik dan mempunyai sejarah yang panjang; bahkan lebih panjang dari sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri. Pada tahun 1970, Bung Hatta dalam kapasitasnya sebagai penasihat presiden mengatakan bahwa korupsi sudah membudaya di Indonesia3. Sejarah mencatat bahwa sejak masa penjajahan Belanda, korupsi sudah merajalela; bahkan VOC, sebuah BUMN milik pemerintah Belanda yang bertugas mengeksploitasi Indonesia, terpaksa gulung tikar pada tahun 1779 karena masalah korupsi. VOC digantikan oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, dimana praktik korupsi tetap tumbuh subur. Setelah masa kemerdekaan, masa orde baru, hingga masa pascareformasi 1998, korupsi tetap subur.

Upaya memberantas korupsi bukanlah agenda baru di Indonesia. Pada tahun-tahun awal kemerdekaan, pemerintahan Presiden Soekarno mengeluarkan berbagai peraturan dan mendirikan beberapa institusi untuk memberantas korupsi termasuk korupsi di lingkungan angkatan bersenjata. Lalu pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pemerintah membentuk Tim Empat yang salah satunya bertugas memberantas Korupsi, diikuti dengan berbagai institusi dan peraturan yang semuanya ditujukan untuk menekan tingkat korupsi. Setelah reformasi 1998, pada tahun 2003 didirikanlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diikuti dengan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) setahun kemudian. Ada beberapa Instruksi Presiden yang ditetapkan oleh kepala pemerintahan selama periode reformasi.

Kehadiran KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah membuka lembaran baru bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pendekatan pemberantasan korupsi yang terkesan formalitas dan basa-basi, yang terjadi sebelum KPK dan pengadilan Tipikor terbentuk, pun diakhiri. Dampaknya, cukup banyak koruptor, yang dikualifikasi sebagai High Ranking Officials, yang tertangkap dan dipidanakan. Sebagai anak kandung reformasi, KPK mendapatkan dukungan luar biasa dari masyarakat. Dukungan tersebut sangat penting, tidak saja dalam mengonsolidasikan upaya memberantas korupsi tetapi juga untuk membangun gerakan sosial antikorupsi.

Terlepas dari berbagai upaya untuk memperbaiki keadaan, tingkat korupsi di Indonesia masih jauh dari menggembirakan. Pada tahun 2013, Indonesia berada pada urutan ke-114 dari 177 negara

3 Indonesian Observer, 2 Juli 1970, dalam Korupsi Mengorupsi Indonesia, 2010.

Pendahuluan

PRAKTIK KORUPSI SISTEMIK

10 11

dalam peringkat Corruption Perception Index (CPI). Kondisi ini tidak lebih baik dari keadaan tahun sebelumnya, dan lebih buruk dari keadaan negara-negara lain di kawasan4.

Negara lain yang memiliki skor sama dengan Indonesia adalah Mesir (32). Skor Indonesia sedikit lebih baik dari Albania (31), Nepal (31), Vietnam (31), dan sedikit lebih buruk dari Ethiopia (33), Kosovo (33), dan Tanzania (33).

Meskipun skor CPI 2013 Indonesia tidak beranjak dari skor tahun 2012, yaitu 32, namun Indonesia meningkat empat peringkat. Tahun 2012, Indonesia berada di peringkat 118 dari 176 negara, dan di tahun 2013 peringkat Indonesia menjadi 114 dari 177 negara.

Stagnasi tersebut berlawanan dengan tren beberapa tahun terakhir dimana peningkatan CPI Indonesia merupakan salah satu yang paling tinggi di dunia. Bahkan, dalam periode 2003 hingga 2011, Indonesia merupakan salah satu di antara 11 negara yang berhasil meningkatkan skor CPI sebanyak satu poin atau lebih5. Tanpa inovasi berarti, kemajuan tidak akan berlanjut di masa-masa mendatang.

Maraknya korupsi politik di era demokrasi dan korupsi antarnegara di era globalisasi merupakan tantangan nyata. Globalisasi memungkinkan barang, jasa, orang, dan modal berpindah dari satu negara ke negara lain dengan mudah. Sayangnya, kasus korupsi pun ikut serta sebagai penumpang gelap proses globalisasi. Ada kecenderungan bahwa korupsi lintas negara akan semakin sering terjadi di masa mendatang. Pendekatan dan strategi baru diperlukan agar upaya memberantas korupsi dapat tetap dilakukan dengan optimal.

Upaya memberantas korupsi hanya akan berhasil jika ia menyentuh akar permasalahan. Korupsi adalah simptom dari rendahnya integritas institusi dan individu, serta adanya sistem yang tidak akuntabel. Mengobati gejala saja tidak akan menyembuhkan. Tanpa memperbaiki integritas suplai koruptor baru akan terjadi dan berbagai kasus korupsi baru akan terus bermunculan. Tanpa memperbaiki integritas, maka sebaik apa pun sistem yang diterapkan akan tetap muncul kolusi. Perang melawan korupsi

4 Diunduh dari cpi.transparency.org/cpi2013/results/, 23 Mei 2014.

5 Wijayanto samirin, Fighting Corruption in Indonesia: the need of new approaches to ensure that progress continues, 2012.

akan menjadi perang abadi yang menguras energi dan sulit untuk dimenangkan. Kehadiran integritas di level individu, organisasi, dan nasional merupakan pertahanan terbaik untuk mencegah terjadinya korupsi. Sistem yang akuntabel juga menjadi kata kunci utama lainnya untuk meminimalisir potensi korupsi. Integrasi antara sistem dan integritas inilah yang akan menjadi faktor fundamental pemberantasan korupsi.

Dalam merancang konsep yang berpijak dari sejumlah gagasan ini, KPK melaksanakan dua kegiatan untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan, dan dari kegiatan dimaksud diperoleh dua sumber informasi.

Pertama, mengumpulkan sejumlah hasil kajian dan studi yang telah dikerjakan oleh KPK selama ini. Lansekap hasil kajian dan studi KPK ini merentang pada beberapa bidang yang merupakan isu-isu kepentingan nasional (national interests), mulai dari sistem administrasi pemerintahan, infrastruktur, pajak, pangan, sumber daya alam, sampai pendidikan dan kesehatan.

Kedua, menghimpun pendapat-pendapat masyarakat di beberapa daerah di Indonesia. Dalam hal ini kami meminta pendapat dari akademisi, tokoh masyarakat, dan LSM di beberapa daerah. Masyarakat di daerah adalah mereka yang langsung merasakan implementasi kebijakan pemerintah. Suara mereka adalah suara yang aktual, jernih, dan jujur.

Lalu, dari dua sumber masukan di atas, disintesiskan dalam sebuah konsep yang memuat gagasan-gagasan KPK. Paling tidak, menurut KPK, dalam membangun bangsa di masa mendatang, sejumlah gagasan dalam konsep ini yang patut menjadi perhatian dan prioritas utama dari para calon presiden dalam Pilpres 2014.

Akhirnya, KPK harus terus menerus menaburkan optimisme seraya membangun asa agar perhelatan Pilpres 2014 dapat menghasilkan seorang presiden pilihan rakyat yang kepentingannya hanya ditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Untuk itu, KPK berharap gagasan dalam proposal ini dapat dijadikan rujukan dan fundamen kebijakan bagi presiden yang baru.

Pendahuluan

DUA SUMBER INFORMASI

Sasaran

14

Ada dua sasaran yang ingin dicapai dalam penyampaian rumusan gagasan ini.

Pertama, KPK mengajukan beberapa prasaran mengenai persoalan-persoalan pokok bangsa.

Lewat pengajuan gagasan-gagasan yang dirumuskan, KPK tidak berpretensi menyebut bahwa KPK adalah kanal suara rakyat, tetapi sejumlah kajian, studi, dan analisis KPK beberapa tahun belakangan menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah serta implementasinya menggiring pada kesimpulan bahwa masyarakat belum banyak merasakan dampak pembangunan.

Semoga persoalan-persoalan yang diajukan ini dapat menjadi perhatian utama tiap kandidat presiden. Dengan begitu, kemudian, diharapkan ide dan gagasan yang dirumuskan menjadi suatu program dan menjadi fokus strateginya ketika kandidat presiden ini, kelak secara definitif, menduduki kursi jabatan sebagai presiden. Kedua, kandidat presiden dan KPK sejak awal sudah menciptakan komunikasi konstruktif untuk kepentingan program pemberantasan korupsi yang efektif dan efisien.

Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, dan KPK sebagai lembaga negara, pada hakikatnya, secara bersama, mempunyai kepentingan yang sebangun: mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera6. Dua dari lima tugas utama KPK adalah upaya pencegahan dan monitor7. Upaya pencegahan adalah sekumpulan usaha yang dilakukan untuk dapat menangkal munculnya perilaku korupsi. Tugas monitor adalah melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi semua lembaga negara dan pemerintah, dan menyampaikan saran perbaikan bila dari hasil pengkajian diketahui bahwa sistem tersebut berpotensi korupsi8.

Oleh sebab itu, bila dari mula telah disepakati pokok problem dan tantangan pemberantasan korupsi, maka diharapkan ke depannya akan terbuka peluang untuk bekerjasama secara lebih maksimal dengan KPK. Dengan begitu, hubungan yang tercipta adalah hubungan yang saling mendukung menuju perbaikan tata sistem pemerintahan yang bebas dari perilaku korupsi.

6 Pembukaan UUD 1945 dan salah satu pertimbangan (konsideran) dalam pembentukan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

7 Pasal 6 dan pasal 13 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

8 Pasal 14 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Prawacana

16 17

Rasanya kita tak akan kaget membaca data di bawah ini. Semua data itu adalah sesuatu yang lumrah. Bahkan, mungkin, kita sendiri pun tiap hari menyaksikan langsung kenyataan tersebut.

Dalam lima tahun terakhir, penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia sangat rendah. Sejak 2009 sampai 2013, tingkat kemiskinan hanya turun 3,98 juta. Lengkapnya, berdasarkan data BPS, dapat terlihat bahwa pada 2009 jumlah orang miskin adalah sebesar 32,53 juta; pada 2010 sebesar 31,03 juta; pada 2011 sebesar 30,02 juta; pada 2012 sebesar 28,59 juta; dan pada 2013 sebesar 28,55 juta.

Penurunan Tingkat Kemiskinan

Sumber: BPS (diolah)

Kondisi di atas diperburuk oleh penurunan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia yang cenderung statis. Tingkat pengangguran hanya turun sebesar 700 ribu orang, dari 7,87 juta pada 2009 menjadi 7,17 juta pada 2013. Lebih rinci, data dari BPS memperlihatkan bahwa pada 2009 jumlah pengangguran adalah sebesar 7,87 juta; pada 2010 sebesar 7,14 juta; pada 2011 sebesar 7,70 juta; pada 2012 sebesar 7,24 juta; dan, pada 2013 sebesar 7,17 juta.

Penurunan Tingkat Pengangguran

Sumber: BPS (diolah)

Pada tingkat kemiskinan dan pengangguran yang relatif tinggi tersebut, sangat wajar bila sebagian masyarakat miskin dan para penganggur bekerja di sektor-sektor informal. Penduduk miskin dan penganggur, yang bekerja di sektor informal, umumnya memiliki kemampuan dan modal yang minim, sehingga tidak punya pilihan selain menekuni pekerjaan informal itu9. Akibatnya, mereka dituntut mengupayakan apa saja untuk mendapatkan sedikit keuntungan atau imbalan, sekadar untuk menyambung hidup. Sampai 2013, dari data BPS, sebanyak 60,02 persen atau 68,40 juta penduduk Indonesia, bekerja di sektor informal. Dan, jelaslah bahwa kondisi ini bukanlah kenyataan ekonomi dan realitas sosial yang menggembirakan.

Pada sisi lain, ketimpangan ekonomi dan sosial tampak jelas terlihat. Koefisien Gini, yang merupakan indikator utama ketimpangan ekonomi atau kesenjangan pendapatan penduduk, menunjukkan hal tersebut. Berdasarkan data BPS, pada 2009, rata-rata koefisien gini Indonesia adalah sebesar 0,37; pada 2010 sebesar 0,38; pada 2011 sebesar 0,39; pada 2012 sebesar 0,41; dan, pada 2013, sebesar 0,41. Kian besar nilai koefisien, kian tinggi tingkat kesenjangan.

9 Faisal Basri dan Haris Munandar, Lanskap ekonomi Indonesia: kajian dan renungan terhadap masalah-masalah struktural, transformasi baru, dan prospek perekonomian Indonesia, Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2009.

Prawacana

32,53 juta

31,03 juta

30,02 juta

28,59 juta

28,55 juta

7,87 juta

7,14 juta

7,70 juta

7,24 juta

7,17 juta

2009

2010

2011

2012

2013

2009

2010

2011

2012

2013

18 19

Koefisien Gini

Sumber: BPS (diolah)

Di sisi lain, Standar Pembangunan Manusia (SPM) Indonesia relatif rendah di tingkat ASEAN. Pada tahun 2013, misalnya, Indonesia rangking 121 dari 187 negara, di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, dan Philipina. Lebih daripada itu, tidak dapat dibantah bahwa kualitas pelayanan publik tidak kalah memprihatinkan. Pelayanan publik, sesuai UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warganegara dan penduduk atas barang, jasa, dan atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Pada 2013, institusi pengawas pelayanan publik, Ombudsman RI, mengumumkan lima kementerian yang memperoleh penilaian rendah dalam pelayanan publiknya, yakni Kementerian Pekerjaan Umum, Pertanian, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Sosial, dan Pendidikan dan Kebudayaan. Indikator utama survei adalah terutama tidak transparan dalam memajang lama waktu pelayanan, biaya pelayanan, dan maklumat pelayanan. Poin penting penunjang pelaksanaan pelayanan publik adalah kemampuan birokrasi mengelola dan menghasilkan barang dan jasa (pelayanan) yang ekonomis, efektif, efisien, dan akuntabel. Birokrasi layanan publik tidak boleh memberikan pelayanan secara diskriminatif, yaitu memandang penduduk atas dasar status, pangkat, dan golongan10.

10 Messi, 1999

Sulit dipungkiri, masalah-masalah di atas timbul karena masifnya korupsi. Persoalan korupsi mengakibatkan tingkat kemiskinan yang tinggi, tingkat pengangguran yang menaik, pekerjaan di sektor informal membesar, kesenjangan kesejahteraan melebar, dan menurunnya kualitas pelayanan publik.

Korupsi sungguh merenggut hak rakyat untuk hidup sejahtera. Padahal, negara berkewajiban memajukan derajat kemakmuran rakyatnya. Negara musti sanggup memuaskan tuntutan kesejahteraan sosial rakyatnya. Hak konstitusi adalah hak yang melekat pada tiap warganegara untuk meraih perlindungan, kesetaraan, kehidupan layak, dan kesejahteraan11. Kewajiban dan tanggung jawab itu harus terpenuhi, apakah negara itu kaya atau tidak, karena bila tidak negara tersebut patut dikategorikan sebagai negara gagal, failed-state12.

Dalam penjelasannya, UU No. 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan secara terang bahwa tingkat korupsi yang masif di Indonesia membawa bencana, tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional, tetapi juga kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, korupsi yang meluas dan sistematis merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat.

Kewajiban negara menyejahterakan rakyatnya sesungguhnya sudah tertuang secara tegas dan eksplisit dalam konstitusi. Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Pasal 28H ayat 1 (perubahan kedua) tercetus amar: “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Lalu, pasal 28H ayat 2 memberi mandat bahwa “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Dan, pasal 28H ayat 3 memerintahkan negara agar “setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.”

11 Bahari, Kompas, 26 September 2012.

12 Sri-Edi Swasono, 2012.

KORUPSI KONSTITUSI

2009

2010

2011

2012

2013

0,37

0,38

0,39

0,41

0,41

Prawacana

20 21

Lebih jauh, sejumlah pasal lain dalam konstitusi menguatkan tanggung jawab negara untuk memajukan kesentosaan warganya. Pasal 33 ayat 3 berbunyi, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Pasal 34 ayat 1 (amandemen keempat) mengamanatkan bahwa “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.” Kemudian, pasal 34 ayat 2 mendesak negara untuk “mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Lalu, dalam pasal 34 ayat 3 disebutkan bahwa “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.”

Pasal-pasal di atas memberi amanat agar tiap warganegara bisa bebas dari ketakberdayaan. Pesan konstitusi ini sesungguhnya sudah jauh lebih dahulu sebelum Amartya Sen, peraih Nobel bidang ekonomi tahun 1998, mengatakan perlunya pembangunan sebagai proses menuju kebebasan. Bila pembangunan adalah sebuah proses menuju kebebasan, maka, bagi Sen, pembangunan mensyaratkan sirnanya sumber-sumber utama ketidakbebasan. Pangkal pokok ketakmandirian itu adalah kemiskinan, tirani, peluang berusaha yang diisolasi oleh negara, penghirauan akan penyediaan fasilitas-fasilitas yang bermanfaat bagi publik, pemerintahan yang represif, negara yang otoriter, dan masyarakat yang intoleran13.

Bila diperhatikan sejumlah fakta korupsi belakangan ini, kemudian membandingkannya dengan amanat konstitusi (UUD 1945), maka terlihat bahwa korupsi sesungguhnya adalah pelanggaran terhadap konstitusi. Dalam konteks ini, muncul semacam korupsi konstitusi14. Maksudnya adalah bahwa ada kesengajaan untuk mengingkari amanat konstitusi; mengabaikan pesan-pesan konstitusi.

Memerhatikan pelaku korupsi berdasarkan jabatan sejak tahun 2004-2013 cukup membuat miris, karena menunjukkan bahwa semua lini penyelenggara negara baik legislatif, eksekutif, yudikatif, maupun masyarakat atau dunia usaha telah terjerat dalam tindakan dan perilaku yang korup. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik tingkat tinggi menyangkut kebijakan publik dan keputusan besar di berbagai bidang kehidupan, dengan pelaku yang berpendidikan

13 Amartya Sen, Development as Freedom, 1999.

14 Istilah “korupsi konstitusi” dipinjam dari Revrisond Baswir (paparan di depan forum diskusi KPK, 21 Mei 2014).

tinggi, kekayaan yang sudah memadai, dan pemahaman agama yang mumpuni. Perilaku korup oleh mereka yang sudah berkecukupan secara materiil tersebut kita sebut corruption by greed atau korupsi akibat keserakahan.

Grand corruption menyebabkan kerugian negara yang sangat besar secara finansial maupun non-finansial, yang tidak hanya menggerus keuangan negara tetapi juga telah merampas hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Korupsi yang dilakukan secara tersembunyi banyak terjadi karena adanya kolusi antara kekuatan ekonomi, kekuatan politik, dan para pengambil kebijakan publik. Dengan pengaruh yang dimilikinya, kelompok kepentingan tertentu memengaruhi pengambil kebijakan agar mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kelompoknya. Apabila pengaruh kelompok tersebut begitu besar dan seolah dapat mengontrol proses perumusan kebijakan publik, maka fenomena inilah yang sering disebut dengan state capture atau elite capture.

Tabulasi Data Pelaku Korupsi Berdasarkan Jabatan Tahun 2004-2014 (per 31 Maret 2014)

Sumber: KPK, 2014

Sebagai gambaran singkat, sejak berdiri sampai dengan tahun 2013, KPK telah menyelamatkan total kerugian negara sebesar Rp 248,89 Triliun. Uang negara sebesar itu terdiri atas perolehan dari upaya penindakan dan upaya pencegahan melalui penyelamatan kerugian negara sebesar Rp 197,39 Triliun. Juga, dari potensi penyelamatan kerugian negara dengan program pencegahan sebesar Rp 51,50 Triliun.

Prawacana

No Jabatan 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 Jumlah

1 Anggota DPR & DPRD

0 0 0 2 7 8 27 5 16 8 0 73

2 Kepala Lembaga/Kementerian

0 1 1 0 1 1 2 0 1 4 1 12

3 Duta Besar 0 0 0 2 1 0 1 0 0 0 0 4

4 Komisioner 0 3 2 1 1 0 0 0 0 0 0 7

5 Gubernur 1 0 2 0 2 2 1 0 0 2 0 10

6 Walikota/Bupati & Wakil

0 0 3 7 5 5 4 4 4 3 0 35

7 Eselon I/II/III 2 9 15 10 22 14 12 15 8 7 1 115

8 Hakim 0 0 0 0 0 0 1 2 2 3 2 10

9 Swasta 1 4 5 3 12 11 8 10 16 24 1 95

10 Lainnya 0 6 1 2 4 4 9 3 3 8 1 41

Jumlah 4 23 29 27 55 45 65 39 50 59 6 402

22 23

Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara oleh KPK 2005-2013

Sumber: KPK, 2014

Dari uang yang dapat diselamatkan tersebut, bila dikonversikan, maka sesungguhnya uang itu bisa digunakan bagi pembangunan 2,5 juta unit rumah sederhana gratis, atau memberikan susu gratis kepada anak rawan gizi sebanyak 22,6 miliar liter, atau memberikan sekolah gratis kepada 429 juta anak SD selama setahun, atau memberikan 29,3 miliar kilogram beras gratis bagi penduduk yang rawan pangan, atau membangun 1,9 juta unit ruang kelas Sekolah Dasar, atau membangun 1,8 juta unit ruang kelas Sekolah Menengah Pertama, atau memberikan 49 juta unit komputer untuk sekolah-sekolah, atau memberikan bantuan modal usaha untuk 25 juta sarjana baru, atau memberikan modal pendirian 4,9 juta koperasi di tengah-tengah masyarakat.

Potensi Konversi Penyelamatan Uang Negara untuk Rakyat

Pembangunan rumah sederhana 2,5 juta unit rumah, atau

Pemberian susu gratis kepada anak rawan gizi

22,6 miliar liter susu, atau

Menyediakan sekolah gratis pada anak SD 429 juta anak SD, atau

Pemberian beras bagi penduduk rawan pangan

29,3 miliar kilogram beras, atau

Pembangunan ruang kelas Sekolah Dasar 1,9 juta unit ruang kelas SD, atau

Pembangunan ruang kelas SMP 1,8 juta unit ruang kelas SMP, atau

Menyediakan komputer untuk sekolah 49 juta unit komputer, atau

Menyediakan bantuan modal usaha bagi sarjana baru

25 juta sarjana baru, atau

Menyediakan modal bagi pendirian kope-rasi

4,9 juta koperasi baru.

Semua data dan beberapa gambaran wajah bangsa di atas sesungguhnya adalah fakta-fakta usang yang terus menghantui negeri ini. Hal-hal di atas pasti akan menjadi pekerjaan rumah bagi presiden baru, sehingga bagaimanapun inilah tanggung jawab utama dan pertama buat presiden baru.

Seorang presiden merupakan pengemban amanat rakyat. Dan, seorang pengemban amanat rakyat, pada hakikatnya, adalah pengemban amanat konstitusi. Lalu, dalam amanat konstitusi terkandung pesan bahwa kekayaan Indonesia dikuasai oleh negara. Oleh karena itu, presiden adalah dia yang wajib menjaga kekayaan negara. Presiden adalah representasi negara karena dia adalah kepala negara.

Prawacana

PEKERJAAN RUMAH BAGI PRESIDEN BARU

No. Penindakan RUPIAH U$D

Penindakan

1Jumlah uang yang disetor ke Kas Negara dari Tindak Pidana Korupsi

1,175,478,834,227.30

2Jumlah uang yang disetor ke Kas Negara dari Gratifikasi

18,194,957,229.00

Sub Jumlah 1,193,673,791,456.30

Pencegahan

1 Penyelamatan keuangan negara akibat pengalihan hak milik negara (HMN) yang dapat dicegah pada 25 Kementerian/Lembaga 2009 s.d Oktober 2011

2,876,296,051,256.00

2 Penyelamatan keuangan dan kekayaan negara dari sektor hulu migas

186,620,009,340,084.00

3 Penyelamatan dari alokasi gas bumi untuk pupuk Tahun 2013

6,700,000,000,000.00

Sub Total 196,196,305,391,340.00

Total Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara (Penindakan + Pencegahan)

197,389,979,182,796.00

Program Pencegahan

1Potensi penerimaan negara bukan pajak akibat pinjam pakai kawasan hutan oleh pertambangan per Agustus 2013

15.900.000.000.000,00

2Potensi royalti yang tidak dibayarkan oleh perusahaan batubara dan mineral per Agustus 2013

6.777.607.062.722,36

3

Potensi Kerugian Keuangan Negara berdasarkan verifikasi Data Ekspor Mineral (Laporan Surveyor) dari 180 Perusahaan Pertambangan Mineral (2011)

24,661,547.49

4

Potensi Kerugian Keuangan Negara berdasarkan verifikasi Data Ekspor Batubara (Laporan Surveyor) dari 198 Perusahaan Pertambangan Batubara (2010-2012)

1,224,212,608.84

5

Potensi penerimaan pajak yang hilang akibat perbedaan data produksi batubara antara data Ditjen Minerba KemESDM dengan data BPS (2012)

28,500,000,000,000.00

6Piutang PNBP (iuran tetap dan royalti) pelaku usaha pertambangan minerba di 8 Provinsi (2011-2013)

331,275,179,147.00 546,111,426.00

Total Potensi Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara (Pencegahan)

51,508,882,241,869.40 1,794,985,582.33

Grand Total Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara

248,898,861,424,666.00 1,794,985,582.33

24 25

Apa yang dimaksud “dikuasai oleh negara”? Dalam Putusan Perkara Mahkamah Konstitusi No. 002/PUU-I/2003 disebutkan bahwa pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud.

Lebih lanjut, rakyat, secara kolektif, memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Fungsi pengurusan oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan, lisensi, dan konsesi.

Fungsi pengaturan oleh negara dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama pemerintah, dan regulasi oleh pemerintah.

Fungsi pengelolaan dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham dan atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Daerah sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara, c.q. pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara dilakukan oleh negara, c.q. pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat15.

15 Putusan MK ini juga dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 01 Tahun 2005, terbit Selasa, 4 Januari 2005, hal. 208-209.

Dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia, presiden adalah salah satu ikon penting dalam upaya tersebut. Presiden adalah simbol sekaligus cermin dalam ikhtiar pemberantasan korupsi. Dalam kerangka berpikir seperti itu, beberapa langkah yang harus dilakukan presiden mendatang adalah berkomitmen untuk:

1. Menolak dan melaporkan segala bentuk gratifikasi. 2. Menentang setiap usaha yang akan melemahkan upaya

pemberantasan korupsi. 3. Meningkatkan kepatuhan atas Konvensi International tentang

Antikorupsi (UNCAC). 4. Mewajibkan pendirian Unit Pengendalian Gratifikasi dan

LHKPN di setiap Kementerian dan Lembaga. 5. Mewujudkan adanya tes integritas dalam proses rekrutmen

dan promosi di Kementerian dan Lembaga.6. Tidak memberikan ruang kepada keluarganya untuk dapat

mengakses dana yang berasal dari APBN. 7. Menutup munculnya faktor nepotisme dan kolusi dalam

proses pelaksanaan kepemerintahan.

PERAN PRESIDEN DALAM PEMBERAN-TASAN KORUPSI

Prawacana

Wacana

28 29

Berdasarkan prawacana di atas, beberapa gagasan yang akan disampaikan di sini merupakan abstraksi atas persoalan-persoalan aktual yang sudah diutarakan sebelumnya pada bagian prawacana.

KPK berkeyakinan bahwa korupsi dan kelemahan sistem pemerintahan adalah akar dari semua masalah di atas. Semua masalah tersebut merentang mulai dari penataan birokrasi, perbaikan sistem administrasi kependudukan, pengelolaan sumber daya alam, ketahanan dan kedaulatan pangan, penyediaan infrastruktur, pembenahan aparat penegak hukum, penguatan partai politik, sampai peningkatan kesejahteraan sosial.

Singkatnya, bagi KPK, seorang presiden harus mengenal aparat birokrasinya, mengerti penduduknya (jumlah, struktur riil, dan data penduduk), mengetahui berapa besar sumber daya alam dan aset negara, memahami persoalan pangan, mengambil sikap untuk menyediakan infrastruktur yang memadai, menyadari pentingnya membangun aparat penegak hukum yang kuat (kepolisian dan kejaksaan), memperkuat sistem politik, memerhatikan kesejahteraan sosial, dan membangun pendidikan nilai dan keteladanan bagi warganya.

Secara garis besar, upaya-upaya pemberantasan korupsi yang disampaikan dalam buku ini meliputi delapan agenda yaitu:

1. Agenda reformasi birokrasi dan perbaikan administrasi kependudukan

2. Agenda pengelolaan sumber daya alam dan penerimaan negara3. Agenda ketahanan dan kedaulatan pangan4. Agenda perbaikan infrastruktur5. Agenda penguatan aparat penegak hukum6. Agenda dukungan pendidikan nilai dan keteladanan7. Agenda perbaikan kelembagaan partai politik8. Agenda dukungan pendidikan nilai integritas dan keteladanan.

Agenda-agenda di atas akan diuraikan lebih jauh dalam uraian selanjutnya.

AGENDA 1:REFORMASI BIROKRASI DAN PERBAIKAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN Reformasi birokrasi menjadi usaha mendesak mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan negara. Perlu usaha-usaha serius agar pembaharuan birokrasi menjadi lancar dan berkelanjutan. Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 memaparkan lima agenda perubahan birokrasi. Kelima agenda tersebut adalah Sumber Daya Manusia aparatur yang berintegritas, kompeten, profesional, berkinerja tinggi, dan sejahtera; meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN; meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi; pelayanan publik prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat; birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi.

Namun, sejumlah agenda reformasi birokrasi tadi belum menunjukkan hasil menggembirakan. Beberapa survei dan penilaian memperlihatkan kondisi yang cukup suram mengenai birokrasi pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Bila membandingkan Peraturan Presiden No 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dengan kondisi aktual, maka akan muncul beberapa kesenjangan.

Hal ini dapat terlihat pada tabel di bawah ini:

Wacana

“Jalan paling mendasar untuk menata birokrasi adalah melalui reformasi birokrasi.”

30 31

Kesenjangan Grand Design Reformasi Birokrasi dengan Kondisi Aktual

Agenda Perubahan Hasil yang Diharapkan Kondisi Faktual

Sumber Daya Manusia aparatur

Aparatur yang berintegritas, kompeten, profesional, berkinerja tinggi, dan sejahtera.

Hasil evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah atau LAKIP (2013), jumlah instansi yang mendapatkan nilai A dan B baru mencapai 32.2 persen.

Pengawasan Meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN.

Transparensy International (2013) mencatat indeks korupsi Indonesia masih rendah (skor 32 dari 100).

Akuntabilitas Meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja keuangan birokrasi.

Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2012, jumlah LKPD yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) baru 27 persen dari total 415 LKPD yang diaudit.

Pelayanan publik Pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat.

Survei Integritas KPK (2013) menunjukkan kualitas pelay-anan publik Indonesia baru mencapai indeks 6,80 dari skala 10.

Pola pikir dan budaya kerja

Birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi.

Sumber: Perpres No. 81/2010, MenPAN-RB (2013), TI (2013), BPK (2012), KPK (2013),

KOMPAS (diolah).

Lebih jauh, berdasarkan hasil kajian Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK di tahun 2011 terhadap pengadaan dan pemberhentian PNS, ditemukan bahwa dalam proses manajemen SDM PNS masih terindikasi beberapa potensi penyimpangan. Hal tersebut diakibatkan oleh kelemahan dalam proses pada tahapan pengadaan dan pemberhentian, yang terangkum dalam delapan temuan, yaitu:

1. Tidak diterbitkannya pedoman pelaksanaan pengadaan CPNS setelah tahun 2007.

2. Belum kredibelnya proses seleksi CPNS yang berasal dari tenaga honorer.

3. Belum diaturnya jadwal untuk setiap tahap pengadaan CPNS yang bersumber dari pelamar umum dalam pedoman pelaksanaan pengadaan CPNS.

4. Tidak ditetapkannya nilai minimal kelulusan (passing grade) untuk menentukan kelulusan tes pelamar CPNS.

5. Tidak handalnya instrumen penilaian CPNS dalam masa percobaan.

6. Tidak adanya persyaratan yang terukur bagi PPK untuk menetapkan perpanjangan batas usia pensiun bagi PNS tertentu.

7. Tidak jelasnya kriteria pelanggaran disiplin berat yang dapat dikenai sanksi pemberhentian.

8. Adanya potensi subyektifitas dalam PP No. 4 Tahun 1966 pasal 4 ayat 1 huruf b tentang penentuan gaji PNS yang diberhentikan sementara.

Penataan birokrasi dilaksanakan melalui upaya reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi dimaksudkan mengubah paradigma pengelolaan administrasi negara dari administrasi klasik menuju sistem administrasi yang menerapkan prinsip-prinsip good governance (akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi). Paradigma administrasi negara yang harus dibangun adalah yang berorientasi pada hasil, pendelegasian wewenang, dan fokus pada kepuasan masyarakat pengguna. Adapun, dalam penerapan paradigma tersebut, yang musti didorong presiden dalam pelaksanaan reformasi birokrasi yakni: 1. Reformasi pelayanan publik

Muara akhir yang ingin dicapai dari reformasi pelayanan publik yaitu peningkatan kepuasan masyarakat pengguna layanan. Oleh karenanya, spirit yang ditanamkan adalah mengimplementasikan konsep one stop service, memudahkan pengguna dan memberikan dukungan kenyamanan layanan bagi semua lapisan.

Reformasi pelayanan publik perlu dijadikan fokus program presiden mendatang. Hal ini mengingat masih buruknya kualitas layanan publik yang ada. Kondisi ini bisa terlihat dari beberapa indikator. Pengukuran Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dari Transparency International selama kurun waktu 2004-2013 menunjukkan nilai IPK Indonesia masih berada di level angka 32 (dari maksimum 100). Tidak berbeda jauh, hasil Survei Integritas Layanan Publik yang dilaksanakan KPK menunjukkan masih rendahnya integritas layanan publik di tingkat pusat maupun daerah. Rata-rata indeks integritas layanan publik di instansi pusat adalah 7,37 (dari maksimal 10). Sementara, pada instansi vertikal sebesar 6,71; dan pada pemerintah daerah sebesar 6,82 (KPK, 2013).

PENATAAN BIROKRASI

Wacana

32 33

Dari dua indikator tersebut, reformasi pelayanan publik menjadi penting untuk dilaksanakan. Rendahnya kualitas layanan publik yang ada mengindikasikan masih tingginya korupsi di sektor tersebut. Di sisi lain, buruknya kualitas layanan publik juga mengurangi daya saing negara di tingkatan global.

2. Reformasi kepegawaianReformasi kepegawaian merupakan keniscayaan di tengah carut marutnya sistem kepegawaian. Hal ini sebagaimana terlihat pada beberapa kondisi di bawah ini:

• Adanya dikotomi pegawai pusat dan daerah pasca-penerapan otonomi daerah. Dikotomi pegawai pusat dan daerah menyebabkan pengkotak-kotakkan pegawai negeri sipil. Akibatnya, pola pembinaan karir pegawai (mutasi, rotasi, promosi, demosi) menjadi terbatas.

• Beragamnyastatuskepegawaiandari individuyangbekerjadi lembaga-lembaga negara dan pemerintah. Status umum pegawai di sektor publik adalah pegawai negeri sipil. Namun, untuk lembaga-lembaga kuasi (contoh: KPK, KPPU), status kepegawaian belum diatur dan belum terangkum dalam peraturan kepegawaian nasional. Oleh karenanya, terdapat ketidakjelasan dalam pengelolaan kepegawaian nasional.

• Struktur dan besaran penggajian pegawai negeri yangtidak kompetitif. Struktur penggajian pegawai negeri belum mampu menarik lulusan-lulusan terbaik untuk menjadi bagian dari sistem birokrasi. Belum kompetitifnya struktur dan penggajian pegawai negeri menjadikan sumber daya manusia yang terbaik cenderung memilih sektor swasta.

• Pentingnya kriteria pejabat di Kementerian dan Lembagaberbasis pada keunggulan kompetensi, profesionalitas, dan independensi.

3. Reformasi Aparat Pengawasan Internal PemerintahReformasi aparat pengawasan internal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi birokrasi. Reformasi ini terbagi atas dua komponen, yakni reformasi kelembagaan aparat pengawas internal pemerintah (APIP) dan reformasi metode pengawasan APIP. Secara kelembagaan, struktur organisasi APIP menyebabkan peran strategis yang diemban sulit untuk

terlaksana. APIP cenderung tidak berkutik apabila berhadapan dengan pimpinan institusi. Hal ini alamiah mengingat secara struktur organisasi APIP berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan institusi. Selain itu, fokus kerja APIP perlu direformasi.

Selama ini, sumber daya yang ada lebih diarahkan untuk melakukan audit keuangan. Hal ini perlu dikembalikan pada tugas pokok utama dari APIP. APIP merupakan unit kerja yang memiliki fungsi untuk memastikan sumber daya yang ada di institusi dimanfaatkan untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan kata lain, audit kinerja harus menjadi prioritas APIP dalam melaksanakan fungsi pengawasannya.

4. Reformasi pengelolaan APBN dan APBDReformasi pengelolaan APBN dan APBD bertujuan memastikan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap pengelolaan APBN dan APBD dilakukan secara akuntabel, transparan, dan berkeadilan. Fenomena yang ada menunjukkan implementasi prinsip-prinsip tersebut belum dilaksanakan secara menyeluruh. Hal ini terlihat dari hasil pemeriksaan keuangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Selain itu, Laporan Kinerja Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) menunjukan masih belum tertibnya pelaksanaan dan pencatatan aset. Kondisi ini mengindikasikan program-program pemerintah guna mengakselerasi pembangunan masih dipertanyakan ke-efektif-an maupun ke-efisien-annya.

Banyak kebijakan pemerintah, yang ada hubungannya dengan peningkatan kesejahteraan penduduk, menemui kendala dalam penerapannya. Penduduk yang seharusnya berhak menerima dana bantuan sosial, misalnya, dalam praktiknya di lapangan tidak memperoleh dana tersebut. Para siswa sekolah dasar dan menengah, yang seharusnya memperoleh dana bantuan siswa miskin, contoh lainnya, tidak mendapatkan akses kepada dana itu16. Jumlah penduduk miskin dan rentan miskin belum secara pasti dimiliki pemerintah. Dalam konteks ini adalah juga persoalan jumlah riil wajib pajak yang masih kabur.

16 Hasil Kajian Kebijakan Bantuan Sosial, Direktorat Penelitian & Pengembangan, KPK, 2012.

Wacana

PERBAIKAN SISTEMADMINISTRASI KEPENDUDU-KAN

34 35

Akar masalah di atas, salah satunya, adalah lemahnya pendataan kependudukan. Di sinilah urgensi penerapan nomor identifikasi tunggal atau Single Identification Number (SIN). Dengan adanya SIN, pemerintah dapat dengan mudah memantau dan menentukan kebijakan (baik itu kebijakan sosial, ekonomi, atau politik) apa yang diperlukan secara nyata oleh penduduk.

Nomor Identifikasi Tunggal menjadi penting karena tiga hal. Pertama, NIK adalah hak konstitusional bagi setiap penduduk. Identitas kependudukan merupakan hak asasi setiap warganegara Indonesia. Hak ini tertuang dalam pasal 28D ayat 4 UUD 1945, bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Kedua, administrasi kependudukan yang baik akan meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap program-program pemerintah. Hal ini agar program-program pemerintah lebih tepat sasaran dan efisien, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup penduduk Indonesia melalui peningkatan kualitas pelayanan di bidang pendidikan, peningkatan derajat kesehatan, pengentasan kemiskinan, dan peningkatan daya beli masyarakat, serta peningkatkan kualitas dalam pelayanan publik.

Ketiga, NIK yang bersifat unik dan tunggal sangat diperlukan untuk mencegah timbulnya identitas ganda dan penyalahgunaannya. Contohnya, permasalahan NIK ganda pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pemilu. Identitas ganda juga akan mempersulit proses penegakan hukum, misalnya dalam pelacakan aset, dan pencekalan tersangka atau terdakwa ke luar negeri. Pada dasarnya falsafah SIN telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Di sana disebutkan bahwa identitas tunggal penduduk Indonesia dikenal sebagai Nomor Induk Kependudukan (NIK). NIK adalah nomor identitas penduduk yang unik atau khas, tunggal, dan melekat sepanjang masa pada seorang warganegara Indonesia. Bersifat unik atau khas memiliki arti bahwa setiap warganegara hanya mempunyai satu nomor identitas, yang tidak tergantikan dan berlainan untuk tiap warganegara17.

Namun, tentu saja, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 harus diimplementasikan dan dilaksanakan secara konkrit. SIN atau NIK selanjutnya harus dikembangkan lewat Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). SIAK adalah sistem informasi

17 Laporan pemantauan SIN, Direktorat Penelitian & Pengembangan, KPK, 2011.

yang melakukan pengolahan dan penyimpanan data, yang memfasilitasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan di tingkat penyelenggara dan instansi pelaksana sebagai satu kesatuan.

Singkatnya, SIAK direncanakan sebagai suatu sistem yang mengumpulkan, merekam, mengolah, menyimpan, dan memutakhirkan data secara berkelanjutan, yang merupakan hasil dari bentuk pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil18.

Beberapa hal yang seharusnya menjadi perhatian presiden mendatang terkait perbaikan SIN atau NIK adalah:

Pertama, evaluasi terhadap grand design pengembangan sistem informasi kependudukan. Grand design memuat cetak biru sistem informasi (IT blue print), yang menjelaskan secara detail aspek teknologinya.

Evaluasi terhadap grand design dilakukan pada sejumlah aspek, yang meliputi penetapan sasaran kegiatan, formulasi kebutuhan, pemilihan teknologi, pendekatan dan metodologi, serta perencanaan implementasi. Lalu, dalam grand design harus ada penjelasan mengenai detail strategi implementasi yang memuat project management kendali program (monitoring dan evaluasi), migration plan, dan strategi sosialisasi dan kampanye. Selain itu, grand design harus pula bisa menjelaskan detail proses pembersihan database kependudukan untuk menghindari NIK ganda.

Kedua, penggunaan teknologi biometrik. Dengan saran ini diharapkan dapat dipastikan digunakannya teknologi biometrik yang tepat dan handal. Dengan begitu dapat dijamin ketunggalan identitas seorang warganegara melalui verifikasi tiap data individual terhadap database dari seluruh penduduk Indonesia (one to many).

Ketiga, pelaksanaan evaluasi e-KTP. Presiden mendatang seharusnya bisa memastikan adanya evaluasi secara mendalam terhadap pelaksanaan proyek e-KTP.

18 Laporan pemantauan SIN, Direktorat Penelitian & Pengembangan, KPK, 2011

Wacana

36 37

AGENDA 2: PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN PENERIMAAN NEGARA

Rakyat Indonesia memberi kepercayaan kepada negara untuk mengelola sumber daya alam. Dengan sumber daya alam yang dikuasainya, negara wajib mengelolanya demi menghasilkan pendapatan keuangan negara yang optimal. Negara juga selanjutnya wajib mendistribusikan uang negara kepada masyarakat, secara adil dan merata. Hal ini agar tercipta masyarakat Indonesia yang sejahtera.

Rakyat Indonesia memberi kepercayaan kepada negara untuk mengelola sumber daya alam sebagaimana amanat UUD 1945. Walaupun kepercayaan tersebut diwujudkan dalam berbagai bentuk hak menguasai negara yang diatur secara khusus dalam berbagai aturan perundang-undangan yang terkait dengan sektor sumber daya alam, amanat pelaksanaannya tidak boleh lepas dari semangat pasal 33 UUD 1945.

Terkait pengelolaan sumber daya alam, setidaknya terdapat tiga hal yang harus mendapatkan perhatian besar presiden mendatang. Ketiganya adalah pertambangan (khususnya mineral dan batubara), kehutanan, serta perikanan dan kelautan.

Di sektor pertambangan, hasil kajian KPK menemukan sepuluh aspek penting terkait pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, yang diwajibkan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, namun hingga kini belum selesai dilaksanakan19. Kesepuluh aspek tersebut adalah:

Satu, renegosiasi Kontrak (34 Kontrak Karya (KK) dan 78 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)). Pasal 169 UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) mewajibkan adanya penyesuaian ketentuan yang tercantum dalam kontrak dengan UU Minerba paling lambat satu tahun sejak 12 Januari 2009. Sejalan dengan hal tersebut, dalam kerangka acuan pemerintah terkait dengan renegosasi, setidaknya terdapat enam hal yang akan dinegosiasikan ulang

19 Hasil kajian Direktorat Penelitian & Pengembangan, KPK, 2013.

dengan pemegang kontrak. Hal tersebut mencakup: luas wilayah kontrak, penerimaan negara, divestasi, penggunaan komponen dalam negeri, tenaga kerja, dan pengolahan dan pemurnian. Namun hingga saat ini, belum ada satupun kontrak baru (hasil renegosasi) yang ditandatangani bersama antara pemerintah dengan pemegang kontrak.

Dua, peningkatan Nilai Tambah dalam Bentuk Pengolahan dan Pemurnian Hasil Tambang mineral dan batubara. UU Minerba sesuai dengan pasal 170 mewajibkan adanya kegiatan pemurnian hasil pertambangan mineral oleh pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi, paling lambat 12 Januari 2014. Kewajiban pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan mineral oleh pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) operasi produksi, paling lambat dilakukan 12 Januari 2014 sesuai dengan pasal 112 PP No. 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Hingga saat ini pemerintah belum mengambil sikap yang tegas terkait dengan kewajiban pemurnian oleh KK dan pengolahan dan pemurnian oleh IUP dan IUPK. Bahkan pemerintah memberikan kelonggaran (relaksasi) kepada KK dan IUP/IUPK untuk mengekspor bahan mentah mineral (ore) hingga 12 Januari 2017.

Tiga, penataan Kuasa Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan. UU Minerba mewajibkan adanya penyesuaian Kuasa Pertambangan menjadi Izin Usaha Pertambangan. UU Minerba juga memberikan kewenangan secara bertingkat dalam pemberian izin kepada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Namun, berdasarkan hasil evaluasi Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, saat ini jumlah IUP yang belum berstatus clean and clear sebesar 4.912 (44,99 persen) dari sebanyak 10.916 IUP. Persentase tersebut baru mempertimbangkan aspek administrasi, kewilayahan, serta keuangan (PNBP), dan belum memperhatikan aspek lingkungan, pajak, kehutanan, pertanahan, tata ruang, dan pertanahan.

Empat, peningkatan Kewajiban Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri (Domestic Market Obligation). UU Minerba mewajibkan adanya pemenuhan kebutuhan dalam negeri sebelum hasil tambang mineral dan batubara diekspor. Namun, hingga saat ini belum ada upaya sistematis dari pemerintah untuk meningkatkan

MINERAL DAN BATUBARA

Wacana

“Indonesia dikaruniai limpahan

tambang dan mineral. Juga,

kekayaan hayati dan beraneka

ragam sumber energi. Sumber

daya alam ini berada di atas

maupun di bawah perut

bumi nusantara. Anugerah

mulia yang memayungi

bangsa Indonesia.”

38 39

kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri antara lain melalui sinergi dengan sektor hilir yang menyerap bahan tambang sebagai bahan bakunya. Hal ini menyebabkan sebagian besar barang tambang mineral dan batubara dieskpor ke luar negeri.

Lima, pelaksanaan kewajiban pelaporan secara reguler. UU Minerba mewajibkan pemegang KK, PKP2B, IUP, dan IUPK melaporkan secara reguler kegiatan pertambangannya kepada pemberi izin. Demikian pula kewajiban pelaporan oleh pemda kepada pemerintah pusat. Faktanya, pemegang IUP banyak yang tidak melaporkan kegiatan pertambangannya kepada pemberi izin. Hal yang sama juga terjadi pada pemerintah daerah, yang tidak melaporkan kegiatan pertambangannya ke pemerintah pusat. Enam, pelaksanaan Kewajiban Reklamasi dan Pascatambang. UU Minerba mewajibkan dilaksanakannya kegiatan reklamasi dan pascatambang oleh pelaku usaha pertambangan. Untuk menjamin pelaksanaan tersebut, pemegang izin/KK/PKP2B wajib menyerahkan jaminan reklamasi dan pascatambang sebesar yang sudah ditetapkan oleh pemberi izin. Faktanya, sulit untuk menelusuri pelaksanaan penempatan jaminan reklamasi dan epascatambang, oleh karena tidak semua Pemda melaporkan keberadaan jaminan tersebut kepada pemerintah pusat. Di lapangan, pelaksanaan reklamasi dan pascatambang jauh dari yang seharusnya sehingga menimbulkan dampak kerusakan lingkungan.

Tujuh, penerbitan Aturan Pelaksana UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sesuai amanat pasal 174 UU Minerba, semua aturan pelaksana UU tersebut harus diselesaikan paling lambat 12 Januari 2010. Namun PP pelaksana UU tersebut ditetapkan setelah batas waktu 12 Januari 2010. Sebanyak 15 Peraturan Menteri ESDM (dari 22 Peraturan Menteri ESDM) sebagai pelaksana UU Minerba belum ditetapkan.

Delapan, pengembangan Sistem Data dan Informasi. Untuk mendorong tata kelola pertambangan minerba yang lebih baik, sistem pendataan dilakukan dengan menggunakan aplikasi teknologi informasi. Hingga saat ini, data yang ada belum dikelola secara terintegrasi dan belum bisa dimanfaatkan untuk memonitoring kegiatan pertambangan secara real time. Hal ini menyebabkan terdapat perbedaan pencatatan produksi mineral dan batubara oleh berbagai instansi pemerintah. Sejalan dengan perbedaan data antara Ditjen Minerba Kementerian ESDM dengan

Badan Pusat Statistik (BPS), negara diperkirakan kehilangan pendapatan pajak sebesar Rp 28,5 Triliun di tahun 2012.

Sembilan, pelaksanaan Pengawasan. UU Minerba mewajibkan dilaksanakannya pengawasan secara intesif kepada pelaku usaha sejak dari perencanaan (eksplorasi), produksi, pengapalan/penjualan, hingga reklamasi dan pascatambang. Namun, jumlah pengawas (termasuk infrastruktur) di lapangan sangat terbatas sehingga pengawasan tidak berjalan optimal.

Sepuluh, pengoptimalan penerimaan negara, pelaku usaha diwajibkan untuk membayarkan penerimaan pajak dan bukan pajak (royalti dan iuran tetap) kepada pemerintah. Kewajiban tersebut tertuang dalam kontrak dan PP Nomor 9 Tahun 2012 tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berada di Kementerian ESDM. Hasil temuan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (Tim OPN) menunjukkan adanya kurang bayar PNBP oleh pelaku usaha dari tahun 2003 sampai dengan 2011 sebesar Rp 6,7 Triliun. Demikian juga dengan hasil perhitungan berdasarkan evaluasi laporan surveyor, diperkirakan selisih pembayaran royalti oleh pelaku usaha sebesar US$ 24,66 juta pada tahun 2011 untuk lima mineral utama, dan sebesar US$ 1,22 miliar untuk batubara pada kurun waktu tahun 2010 sampai dengan 2012. Hasil rekonsiliasi Ditjen Minerba Kementerian ESDM dengan pemerintah daerah di 8 (delapan) Provinsi menunjukkan adanya royalti sebesar US$ 546,11 Juta dan iuran tetap yang belum disetorkan ke kas negara sebesar Rp 331,2 Miliar.

Hutan sebagai kekayaan Indonesia merupakan kesatuan utuh dalam sistem kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Di dalam hutan yang berfungsi sebagai ruang publik dan penyangga kehidupan tersebut, budaya dan peradaban lahir menjadi cara pandang bangsa tentang bagaimana rahmat sumber daya alam tersebut dimanfaatkan secara adil. Adil bagi sesama, maupun untuk masa yang akan datang. Visi bangsa inilah yang dituangkan dalam konstitusi Pasal 33 UUD 1945. Dalam cita yang demikian, hutan seharusnya dipandang sebagai kekayaan negara terbesar.

Kondisi yang ada saat ini, menjelaskan bahwa praktik penguasaan hutan yang ada justru melupakan bagaimana hutan seharusnya sebagai bagian dan membentuk sistem hidup bangsa Indonesia. Ketimpangan pengelolaan dan watak kebijakan sumber daya alam

Wacana

KEHUTANAN

40 41

yang otoriter, kelemahan dalam tata kelola, dan ketidakpastian hukum berkelindan dengan salah satu musuh bangsa terbesar abad ini, yaitu korupsi.

Berbagai permasalahan yang terjadi dan terpapar saat ini seolah memberikan hipotesis bahwa perwujudan pasal 33 UUD 1945 ini di sektor kehutanan telah dikorupsi. Beberapa argumen di bawah ini mengkonfirmasi adanya masalah tersebut20 :

1. Penguasaan ratusan juta hektar luas kawasan hutan, belum sepenuhnya manfaat hutan dapat menjadi jalan kemakmuran bangsa dengan cara yang adil dan bermartabat. Dari total 41,69 juta hektar lahan hutan yang dikelola, hanya 1 persen yang diberikan kepada skala kecil dan masyarakat adat.

2. Sementara itu kerusakan hutan, deforestasi terus terjadi dari dari tahun ketahun. Tidak hanya berdampak pada kerugian ekonomi, tetapi juga menjadi beban langsung yang harus ditanggung oleh 80 juta masyarakat yang hidup dan menggantungkan hidupnya dari hutan.

3. Buruknya pengawasan menyebabkan negara didera kerugian hingga 35 trilyun rupiah per tahun akibat pembalakan liar.

4. Kajian KPK tahun 2010 mengenai perencanaan kehutanan, mengkonfirmasi persoalan dalam tata laksana pengawasan pelaksanaan penggunaan kawasan hutan. Analisis kami menemukan bahwa kelemahan pengawasan dalam izin pinjam pakai menyebabkan terjadi potensi kehilangan penerimaan negara bukan pajak akibat pertambangan di dalam kawasan hutan sebesar Rp 15,9 trilyun per tahun. Ini karena (hanya di Kalimantan, Sumatera, dan Papua saja) ditemukan 1.052 usaha pertambangan dalam kawasan hutan yang tidak melalui prosedur pinjam pakai.

5. Resiprokal dengan buruknya tata kelola tersebut, korupsi menjadi penyakit yang tumbuh subur di dalamnya. Dalam kajian perizinan sumber daya alam yang dilakukan oleh KPK di tahun 2013, membuktikan ulang bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya alam sangat rentan dengan korupsi. Temuannya mencatat bahwa dari 27 regulasi yang mengatur pemanfaatan hasil hutan kayu dan penggunaan kawasan hutan, 13 regulasi

20 Hasil Kajian Direktorat Penelitaian dan Pengembangan KPK, 2012.

diantaranya mudah disalahgunakan dan menjadi peluang bagi korupsi. Akibatnya, setiap bisnis proses perizinan tersebut penuh dengan suap, konflik kepentingan, perdagangan pengaruh, pemerasan, bahkan state capture. Temuan dalam analisis potensi korupsi terhadap tatakelola sumber daya alam tersebut seolah mengklarifikasi upaya penindakan yang KPK lakukan. Termasuk ketika praktik korupsi tersebut berhadapan dengan proses-proses politik di daerah.

Potensi Kerugian Keuangan Negara dari Sektor Kehutanan dan Minerba

No DESKRIPSI RUPIAH U$D

1 Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) akibat pinjam pakai kawasan hutan oleh pertambangan di Kalimantan (2010)

15,900,000,000,000.00

2 Potensi royalti yang tidak dibayarkan oleh perusahaan batubara dan mineral (Temuan Tim OPN 2003-2010)

6,777,607,062,722.36

3 Potensi Kerugian Keuangan Negara berdasarkan verifikasi Data Ekspor Mineral (Laporan Surveyor) dari 180 Perusahaan Pertambangan Mineral (2011)

24,661,547.49

4 Potensi Kerugian Keuangan Negara berdasarkan verifikasi Data Ekspor Batubara (Laporan Surveyor) dari 198 Perusahaan Pertambangan Batubara (2010-2012)

1,224,212,608.84

5 Potensi penerimaan pajak yang hilang akibat perbedaan data produksi batubara antara data Ditjen Minerba KemESDM dengan data BPS (2012)

28,500,000,000,000.00

6 Piutang PNBP (iuran tetap dan royalti) pelaku usaha pertambangan minerba di 8 Provinsi (2011-2013)

331,275,179,147.00 546,111,426.00

TOTAL 51,508,882,241,869.40 1,794,985,582.33

Masa depan kejayaan bangsa ini ditentukan oleh pengelolaan sumber daya kelautan. Dengan luas perairan nusantara sebesar 2,8 juta km persegi, laut teritoral seluas 0,3 juta km persegi, panjang garis pantai lebih dari 81.000 km dan jumlah pulau lebih dari 18.000 pulau, sudah sepantasnya jika pemerintahan mendatang memberikan porsi yang besar bagi pembangunan di sektor kelautan dan perikanan.

Wacana

KELAUTAN DAN PERIKANAN

42 43

Hasil kajian yang sementara ini dilakukan oleh KPK, menunjukkan bahwa sejumlah persoalan membelit pengelolaan pengelolaan sumber daya laut, perikanan, pesisir, dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Pada tataran regulasi, undang-undang yang mengatur aspek kelautan secara menyeluruh belum disusun hingga saat ini. Sementara aturan perundang-undangan terkait pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil belum sepenuhnya bisa dijalankan oleh karena aturan pelaksana setingkat peraturan pemerintah hingga peraturan menteri belum sepenuhnya diterbitkan. Demikian pula dengan regulasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya perikanan belum sepenuhnya dapat mendorong tata kelola yang berkeadilan, bahkan beberapa diantaranya memiliki nafas yang tidak selaras dengan amanat pasal 33 UUD 1945.

Pada tataran implementasi, pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan juga dihadapkan pada persoalan lemahnya pengawasan. Dengan cakupan pengawasan dari sabang sampai merauke, armada pengawasan yang ada hingga saat ini belum mencukupi untuk menegakkan kedaulatan negara di sektor tersebut. Masih terdapat banyak kasus illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing di wilayah perairan nusantara hingga Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Hal ini berakibat pada hilangnya nilai ekonomi, sosial dan lingkungan dari sektor tersebut. Bahkan dengan potensi sumber daya perikanan yang besar dan volume produksi perikanan tangkap yang mencapai 5,8 juta ton, penerimaan negara bukan pajak dari sektor tersebut hanya mencapai Rp 227, 5 Miliar pada tahun 2013. Hal ini dalam kacamata KPK, merupakan kebocoran kekayaan negara yang harus ditutup oleh semua pihak secara bersama-sama.

Memerhatikan kondisi pengelolaan sumber daya alam di atas, sudah selayaknya pemerintahan baru tidak terbuai dengan adagium bahwa negara ini memiliki kekayaan sumber daya alam yang besar. Sebab yang terjadi adalah cadangan sumber daya alam yang terbatas tersebut, dieksploitasi tanpa pernah memperhatikan keberlanjutannya. Sudah saatnya pengelolaan sumber daya alam ini dilandaskan pada semangat untuk mengedepankan kepentingan rakyat banyak dan tidak hanya untuk kepentingan segelintir orang, terintegrasi hulu dan hilir dengan menghilangkan ego sektoral, memberikan porsi yang besar bagi kepentingan dalam negeri, memperhatikan keberlanjutan sumber daya dan manfaatnya, dan menempatkan penataan ruang dan lingkungan hidup sebagai instrumen penting.

Semua hal di atas hanya dapat dilakukan jika pengambil kebijakan di sektor sumber daya alam memiliki integritas untuk mengelola sumber daya alam sesuai dengan amanat konstitusi. KPK dalam hal ini percaya dengan pendapat bahwa persoalan pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam bukan semata-mata persoalan kerugian negara, namun juga merupakan kegagalan negara dalam mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Di Indonesia, penerimaan negara dari pajak merupakan yang terbesar di antara beberapa sumber penerimaan negara lainnya. Pada 2013 pajak memberikan kontribusi sebesar Rp 1.042,31 triliun atau 68,14 persen dari RAPBN tahun 2013 sebesar Rp 1.529,67 triliun. Sumber-sumber penerimaan negara lainnya, yakni Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), kepabeanan dan cukai, serta hibah, hanya menyumbangkan total 31,86 persen dari RAPBN 2013.

Salah satu di antara beberapa sumber penerimaan pajak yang tertinggi adalah sektor pertambangan. Berdasarkan laporan realisasi pajak tahun 2012, sektor pertambangan menempati lima besar sektor terbesar penerimaan pajak. Urutan peringkat teratas sampai peringkat lima, berturut-turut, adalah sektor industri pengolahan, perdagangan, perantara keuangan, pertambangan, dan transportasi.

Sektor pertambangan memberikan kontribusi lebih kurang 9 persen terhadap total pajak dalam negeri. Dari 9 persen itu, pertambangan batubara memberikan kontribusi lebih kurang 20 persen dari total pajak sektor pertambangan21.

Pada dasarnya, potensi penerimaan pajak dari sektor pertambangan dapat lebih besar dari 9 persen, termasuk potensi penerimaan pajak yang bisa lebih tinggi dari yang diperoleh sekarang dari pertambangan batubara. Ada sejumlah alasan yang mendasarinya.

21 Kajian Optimalisasi Penerimaan Pajak (Studi Kasus: Sektor Pertambangan Batu Bara), Direktorat Penelitian dan Pengembangan, KPK, 2013-2014.

Wacana

PENERIMAAN PAJAK DARI SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA

44 45

Pertama, salah satu permasalahan penerimaan negara sektor pertambangan adalah ketidakpatuhan perusahaan. Dari hasil temuan tim Optimalisasi Penerimaan Negara (OPN), diketahui adanya kekurangan bayar royalti sebesar Rp 6,7 triliun (dari tahun 2003-2011).

Kedua, pada 2010-2012, potensi kerugian keuangan negara dari 198 perusahaan pertambangan batubara di Indonesia adalah sebesar US$ 1,224 miliar. Sementara, dari 180 perusahaan pertambangan mineral di Indonesia, pada 2011, ada potensi kerugian negara senilai US$ 24,661 juta.

Ketiga, dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pada tahun 2013, jumlah pajak yang tidak dibayarkan sebesar Rp 628 miliar. Nilai ini naik dari Rp 486 miliar di 2012, dan Rp 328 miliar pada 2011. Sampel audit BPK ini adalah hanyalah 20 perusahaan besar dan 60 perusahaan pertambangan kecil.

Keempat, kurang handalnya data pertambangan, seperti data produksi, data ekspor, data penjualan. Kondisi ini membuat sulitnya menghitung secara akurat potensi penerimaan pajak dari sektor pertambangan.

Kelima, Direktorat Jenderal Pajak telah mencanangkan reformasi perpajakan sejak 2002, tetapi sampai saat ini masih terjadi berbagai penyimpangan dalam pelayanan dan pengawasan pajak. Beberapa kasus korupsi di sektor pajak mengkonfirmasi pernyataan tadi.

Situasi-situasi di atas sebenarnya berakar pada sejumlah masalah.

Satu, belum akuratnya data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Terdapat 3.826 Izin Usaha Pertambangan (IUP) pertambangan batubara yang dimiliki oleh 3.066 perusahaan. Lalu, sebesar 724 (23,61 persen) perusahaan di antaranya tidak tercatat pada data NPWP yang disampaikan (22,03 persen) dari total IUP. Terhadap IUP yang tidak tercatat pada data NPWP yang disampaikan, 53,5 persen atau 451 IUP di antaranya berstatus clean and clear (CNC).

Terdapat perusahaan yang memiliki NPWP induk lebih dari satu atau tercatat pada beberapa Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Terdapat perusahaan yang kurang patuh melaporkan SPT. Pada perusahaan PKP2B, dari 74 perusahaan yang dicek pelaporan SPT-nya, hanya

51 perusahaan yang melaporkan SPT pada tahun 2011 (68,9 persen) dan 50 perusahaan yang melaporkan SPT pada tahun 2012 (67,6 persen).

Dua, kurangnya data pendukung perhitungan potensi pajak.

Tidak akuratnya perhitungan volume dan kualitas batubara yang akan dijual oleh pelaku usaha sebagai dasar untuk perhitungan kewajiban royalti maupun perhitungan pajak.

Perbedaan data produksi DJMB dengan data BPS, WCA dan US EIA*

NoProduksiBatubara

2011 (ton) 2012 (ton)

1 Data DJMB** 319,662,455.76 288,504,125.20

2 Data BPS (data produksi) 415,765,068.00 466,307,241.00

3 Data BPS (ekspor dan dalam negeri) 441,944,522.14 480,473,119.52

4 Data World Coal Association 376,000,000.00 443,000,000.00

5 Data US EIA 414,799,764.59 452,131,743.40

* DJMB : Ditjen Mineral dan Baru Bara BPS : Badan Pusat Statistik WCA : World Coal Association US EIA : US Energy Information Administration** Karena DJMB tidak menghimpun data produksi IUP maka total

produksi PKP2B diasumsikan 80 persen produksi nasional. Apabila perbedaan data produksi tersebut di atas dihitung sebagai penerimaan pajak yang hilang, maka besarnya potensi hilangnya penerimaan pajak pada tahun 2012 dapat mencapai Rp 28,5 triliun dengan menggunakan data DJMB vs BPS (produksi); dan secara berurutan atas data DJMB Vs WCI dan US EIA sebesar Rp 24,8 dan Rp 26,3 triliun. Tiga, keterbatasan peraturan terkait perolehan data eksternal.

Kerahasiaan bank membatasi perolehan data. Prinsip kerahasiaan bank diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Pasal 41 Undang-Undang tersebut mengatur bahwa untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan surat perintah tertulis kepada bank agar memberikan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan kepada Pejabat Pajak.

Wacana

46 47

Pembukaan kerahasiaan data perbankan dalam undang-undang tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/19/PBI/2000 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Perintah Atas Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. Namun, berdasarkan aturan di atas, ruang lingkup dan alasan diperlukannya keterangan data perbankan terkait kepentingan perpajakan belum cukup jelas. Dalam hal ini, perlu dipertegas sejauh mana konteks kerahasiaan perbankan dapat diakses oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), misalnya DJP sudah dapat mengakses pada tahap pemeriksaan. Ketentuan ini telah beralih kewenangannya kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 69 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK.

Masalah lain adalah ketidakselarasan aturan terkait akses data. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah. Undang-undang ini justru mereduksi kewajiban Pemerintah Daerah dalam memberikan data perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana tercantum dalam dalam Pasal 172. Belum efektifnya surat jawaban Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan No. PP.3.PP.02.03-02 tanggal 23 Januari 2014 tentang pemberian dan penghimpunan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan.

Kemudian, persoalan lain yang mengemuka terkait keterbatasan perolehan data adalah belum dilaksanakannya peraturan terkait reward and punishment. Belum diimplementasikannya pasal 41C UU 28 Tahun 2007 mengenai pengenaan sanksi pidana atau denda terkait data eksternal.

Empat, belum optimalnya permintaan, pengelolaan, dan pemanfaatan data eksternal.

Masih terdapat pihak yang belum diwajibkan untuk menyampaikan data dan informasi terkait perpajakan. Pada sektor pertambangan batubara belum dimasukkan permintaan data ke Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, dan asosiasi-asosiasi pertambangan batubara.

Belum optimalnya pengelolaan data eksternal yang telah diperoleh DJP secara komprehensif dan terintegrasi pada sistem teknologi informasi yang ada di DJP.

Belum terakomodirnya mekanisme pemanfaatan, pengelolaan dan sistem keamanan data eksternal dari hulu ke hilir. Bila tidak diatur mekanisme penggunaanya, data eksternal berpotensi disalahgunakan oleh petugas pajak.

Lima, minimnya pengawasan pada Wajib Pajak (WP) oleh DJP.

Saat ini ada 6.285 Account Representatives (AR) yang tersebar di 331 Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Dengan jumlah Wajib Pajak (WP) terdaftar sebanyak 24.812.569, maka rata-rata seorang AR harus mengawasi hampir 4.000 WP.

Saat ini pun ada 4.309 fungsional pemeriksa, dengan prioritas pemeriksaan rutin (pemeriksaan LB) sehingga pemeriksaan Kurang Bayar (KB) dan pemeriksaan atas dasar adanya indikasi penyimpangan yang dilakukan WP tidak menjadi prioritas.

Bila dibandingkan, maka rasio pegawai DJP terhadap WP Terdaftar adalah 1 : 792 (2012), dan rasio Pemeriksa dibanding WP Terdaftar adalah 1 : 5.758 (2012).

Kurangnya dukungan data yang akurat sebagai data pembanding dan dasar bagi AR dan pemeriksa dalam melakukan pengawasan dan penggalian potensi.

Dengan rentang waktu pemeriksaan yang cukup lama antara 3-6 bulan (pemeriksaan kantor) atau 4-8 bulan (pemeriksaan lapangan), maka tidak banyak pemeriksaan yang dapat dilakukan oleh pemeriksa.

Selain di KP DJP, pegawai DJP tersebar di 331 KPP (4 KPP Wajib Pajak Besar, 28 KPP Madya, 299 KPP Pratama) dan 207 KP2KP. Beban target penerimaan pajak antar KPP pun bervariasi.

Enam, belum optimalnya fungsi analisis potensi.

Fungsi analisis potensi saat ini dijalankan oleh Direktorat PKP, Subdit Potensi Perpajakan; bidang Dukungan Teknis dan Konsultasi di Kantor wilayah; Tenaga Pengkaji bidang Ekstensifikasi dan Intensifikasi Perpajakan; dan AR. Sampai dengan Februari tahun 2014, Subdit Potensi Perpajakan terdiri dari tiga seksi (industri, jasa dan perdagangan) dan 24 pelaksana (10 pelaksana analisis mikro).

Wacana

48 49

Diperlukan analis potensi pajak untuk dapat melihat peluang peningkatan penerimaan pajak secara holistik di berbagai sektor dan lintas wilayah kerja KPP. KPP Pajak dekat lokasi tambang tidak dapat mengawasi langsung, karena merupakan target pajak di kantor pajak lain, dan KPP tempat WP tercatat tidak dapat mengawasi karena lokasinya yang jauh.

Selain itu, ada masalah pada tingginya beban dan keterbatasan AR dalam melihat potensi pajak. Potensi penerimaan pajak dapat dimaksimalkan apabila tersedia SDM yang kompeten yang dapat melakukan analisis atas data-data eksternal.

Dari Kondisi-kondisi seperti di atas inilah diperlukan wujud nyata untuk memperbaiki kelembagaan institusi yang mengurusi pajak, serta penataan atas sektor pertambangan itu sendiri.

AGENDA 3:KETAHANAN DAN KEDAULATAN PANGAN

Hambatan dalam pencapaian ketahanan pangan, dalam jangka panjang akan merupakan ancaman yang sangat serius bahkan dapat mengancam kedaulatan suatu bangsa. Situasi yang potensial ini muncul sebagai akibat peningkatan kebutuhan bahan pangan dari meningkatnya penduduk dunia, serta konsumsi bahan baku yang berlebihan di negara-negara tertentu (Garelli, 2008)22.

Sebagai kebutuhan dasar dan hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhan dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi kritis ini bahkan dapat membahayakan kondisi stabilitas ekonomi dan politik nasional, yang dapat meruntuhkan pemerintah yang sedang berkuasa. Dalam kerangka konstitusional, ketahanan pangan menjadi bagian pengejawantahan tujuan berbangsa. Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa cita-cita bangsa Indonesia adalah menuju negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Kemudian, dinyatakan juga bahwa pemerintah negara Indonesia harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dalam batang tubuh UUD 1945, khususnya pada bab Kesejahteraan Sosial, dinyatakan dalam pasal 33 ayat 1, bahwa ekonomi sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan; ayat 2, bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara

22 Dikutip dari hasil kajian Tim Pangan, Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK, 2014.

Wacana

“Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Artinya, ketahanan pangan merupakan hak sosial dan hak ekonomi masyarakat.”

50 51

dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan ayat 3, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Oleh karena itu, sesuai dengan amanat UUD 1945, lebih dari terwujudnya ketahanan pangan, kedaulatan pangan pun harus menjadi prioritas pemerintah. Konsep kedaulatan pangan (food sovereignty) lebih mengutamakan bagaimana pangan ditentukan oleh komunitas secara mandiri, berdaulat, dan berkelanjutan23. Dengan demikian, masyarakat mempunyai hak atas pangan yang aman, cukup gizi, dan sesuai dengan kondisi budaya setempat dan hak atas sumber-sumber daya untuk memproduksi pangan serta kemampuan untuk menjaga keberlanjutan hidup mereka dan masyarakatnya24. Ketahanan pangan sendiri merupakan prasyarat tercapainya kedaulatan pangan yang melalui tahap swasembada yaitu kemampuan memenuhi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri; dan tahap kemandirian pangan yaitu kondisi terpenuhinya pangan tanpa adanya ketergantungan dari pihak luar dan mempunyai daya tahan tinggi terhadap perkembangan dan gejolak ekonomi dunia25.

Dalam kerangka pembangunan nasional, ketahanan pangan memegang peran penting. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini menegaskan bahwa ketahanan pangan merupakan salah satu pondasi utama pembangunan nasional.

Program aksi bidang pangan dijadikan prioritas kelima dari program pembangunan nasional. Tujuan ketahanan pangan nasional yang akan dicapai adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang cukup, bergizi seimbang, dan terjangkau bagi seluruh masyarakat. Guna mencapai ketahanan pangan tersebut, pemerintah mencanangkan program swasembada pangan yang meliputi swasembada beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Begitu pun hortikultura yang juga menjadi prioritas dalam program aksi bidang pangan dalam RPJMN.

23 FAO.

24 Dalam Hines, 2005 (dari Khudori, 2008).

25 Ronny Mudigdo dalam Round Table Discussion dengan KPK, 14 September 2012.

Sebagai salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk mewujudkan ketahanan pangan adalah pencanangan Program Swasembada pada komoditas strategis. Swasembada komoditas strategis merupakan bagian dari prioritas ketahanan pangan nasional yang dinyatakan pada Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014, sedangkan untuk periode pembangunan jangka panjang telah ditetapkan pula Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025.

Keseriusan pemerintah dalam upaya swasembada pangan tercermin dari besarnya anggaran swasembada pangan. Di Tahun 2014 pemerintah menganggarkan swasembada pangan untuk lima komoditas utama senilai Rp 8,28 Triliun. Besarnya anggaran ini, bila tidak dikelola dengan baik, dapat menjadi potensi kerugian keuangan negara, baik dari aspek keuangan maupun non keuangan.

Anggaran swasembada komoditas strategis tahun 2014

Komoditas Anggaran

Beras Rp 4.540,0 Miliar

Kedelai Rp 874,6 Miliar

Jagung Rp 398,2 Miliar

Gula Rp 80,6 Miliar

Daging sapi Rp 1.490,0 Miliar

Jumlah Rp 8.283,4 Miliar

Sumber: Kementerian Pertanian, 2014 (diolah)

Perbandingan luas lahan, produksi, dan impor komoditas strategis

Sumber: Kementerian Pertanian, BPS, UN Comtrade, 2013 (diolah)

Wacana

KomoditasLuas Lahan (ha) Produksi (ton) Impor (ton)

2011 2012 2011 2012 2011 2012

Beras 13,203,643 13,445,524 65,756,904.00 69,056,126.00 2,698,989.51 1,810,372.30

Kedelai 622,254.00 567,624 851,286.00 843,153.00 1,911,987.10 1,921,206.53

Jagung 3,864,692 3,957,595 17,643,250.00 19,387,022 2,889,173.77 1,692,994.50

Gula 192,500.00 198,800 2,267,887.00 2,580,000 2,305,032.28 494,130.74

Daging Sapi

- - 292,450.00 399,330.00 156,850 91,740.00

52 53

Dari kedua tabel di atas terlihat bahwa anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam mencapai swasembada pangan cukup besar dan meningkat setiap tahunnya. Namun faktanya kebutuhan akan komoditas strategis belum bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Impor masih menjadi andalan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Bahkan, impor sejumlah komoditas strategis mengalami peningkatan yang signifikan. Kebijakan impor tidak terlepas dari kebijakan liberalisasi perdagangan dalam era globalisasi. Liberalisasi perdagangan mewarnai perdagangan komoditas di pasar internasional, begitu pun pangan tidak luput dari liberalisasi perdagangan. Sebagai negara dengan sistem perdagangan terbuka, Indonesia tentunya tidak terhindar dari liberalisasi dan bukan tidak mungkin akan berbenturan dengan kebijakan dalam negeri dan mengancam kepentingan nasional. Perspektif liberalisasi perdagangan dalam konteks ketahanan pangan bercirikan adanya kecenderungan meningkatnya pasokan pangan dari impor.

Impor merupakan intervensi pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat ketika pasokan dalam negeri tidak cukup, namun seringkali kebijakan tersebut tidak berpihak pada kepentingan bangsa. Hal tersebut dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang selalu melakukan impor besar-besaran jika terjadi kelangkaan pangan. Kelangkaan pangan sengaja diciptakan oleh para pemburu-rente guna mendapatkan keuntungan, salah satunya dengan mendorong agar pemerintah membuka impor secara besar-besaran.

Dalam kasus kelangkaan kedelai, contohnya, yang menyebabkan kenaikan harga di pasaran, pemerintah justru membuka keran impor dengan menghapuskan bea masuk impor kedelai, dari yang awalnya sebesar 5 persen menjadi 0 persen. Penghapusan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 133/PMK.011/2013. Kenaikan harga kedelai yang cukup besar ini disinyalir oleh beberapa kalangan disebabkan oleh adanya penguasaan beberapa perusahaan dalam importasi kedelai. Penguasaan ini terlihat dari pembagian kuota impor kedelai dari Menteri Perdagangan, yaitu terdapat hanya beberapa perusahaan yang menguasai kuota impor kedelai. Perusahaan tersebut masing-masing adalah PT FKS Multi Agro yang menguasai kuota terbesar dengan 46,71 persen (210.600 ton), PT Gerbang Cahaya Utama sebesar 10,31 persen (46.500 ton), dan PT Budi Semesta

Satria sebesar 9,31 persen (42.000 ton). Artinya, penguasaaan tiga perusahaan tersebut menguasai 66,33 persen kuota impor, sehingga cenderung membentuk kartel yang berdampak pada terjadinya kelangkaan kedelai di pasar. Keanehan diperkuat ketika pemerintah justru memberikan kuota hanya sebesar 20.000 ton kepada Perum BULOG untuk menjalankan tugasnya sebagai badan yang ditunjuk untuk menjaga kestabilan harga kedelai di Indonesia. Kebijakan pembebasan impor yang terkesan reaktif justru berdampak pada kerugian petani kedelai lokal karena membanjirnya kedelai impor dengan harga yang lebih murah.

Sama halnya dalam kasus melonjaknya harga daging sapi beberapa waktu lalu. Harga daging sapi yang melonjak tinggi di pasaran disikapi reaktif oleh pemerintah dengan mengubah kebijakan proteksi. Pemerintah mengubah sistem kuota menjadi pembebasan impor apabila harga di pasar di atas Rp 75.000. Hal tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa kenaikan harga diakibatkan karena supply tidak bisa mengimbangi demand, sehingga kebijakan menambah supply dari impor diharapkan akan menurunkan harga di pasar. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Harga daging di pasar tetap mahal dan cenderung bertahan. Artinya, mekanisme pasar tidak berjalan sempurna, hal ini mengindikasikan adanya distorsi yang mengganggu mekanisme pasar dengan cara sistematis dan terstruktur untuk kepentingan tertentu. Sistematis dan terstruktur artinya adalah bahwa praktik ini lebih melibatkan seluruh komponen dalam kebijakan, mulai dari pengambil kebijakan sampai praktik di lapangan (memalsukan dokumen, penghindaran pajak dan bea masuk) dan lain-lain, dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain dan merugikan negara.

Jika melihat permasalahan di atas, dapat kita simpulkan bahwa kebijakan importasi komoditas pangan strategis masih sangat lemah dalam melindungi petani lokal. Kelemahan pada kebijakan tata niaga meliputi arah kebijakan yang tidak tepat yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingannya sendiri dengan merugikan negara dan kepentingan publik. Beban persoalan tersebut ikut memengaruhi tidak maksimalnya target kebijakan pemerintah yang diatur selama ini, yang membawa berbagai permasalahan dan menimbulkan konflik baik pada tingkat regulasi maupun praktis dalam setiap kegiatan.

Wacana

54 55

Selain permasalahan tersebut, KPK juga menerima sejumlah aduan dari masyarakat terkait dengan tataniaga impor pada komoditas pangan strategis. Pengaduan sejak tahun 2005 menunjukkan beragam modus penyelewengan ditampilkan dalam tabel di bawah ini:

Data pengaduan masyarakat (2005-2012)

NoModus Dugaan TPK terkait dengan importasi komoditas pangan

strategis

1 Penggelapan impor komoditas strategis

2 Impor salah satu komoditas strategis fiktif

3 Penyalahgunaan prosedur importasi komoditas strategis

4 Mark-up impor komoditas strategis

Sumber: Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK, 2012 (diolah)

Melihat kasus impor daging sapi, misalnya, kita bisa melihat bahwa tujuan pemerintah dalam mendorong peternakan lokal sebagai kunci dalam keberhasilan swasembada menjadi tereduksi. Impor yang tidak terkendali tentunya akan mematikan peternakan rakyat. Belum lagi persoalan harga di pasar yang justru dipermainkan oleh kepentingan tertentu. Bahkan sebagian orang menyebutnya dengan istilah “mafia” seolah pemerintah tidak berdaya menghadapinya. Praktik seperti ini bukan tidak mungkin terjadi pada komoditas strategis lainnya seperti beras, kedelai, gula, dan hotikultura. Seperti dikatakan oleh Iwan Setiawan, SP., MSi., Lektor Kepala Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran, Bandung, bahwa eksistensi dan keterlibatan mafia juga terlihat dalam tutup-buka keran impor-ekspor dan distribusi pemainnya.

Jadi, munculnya keputusan apakah impor dan ekspor komoditas pertanian perlu atau tidak perlu dilakukan, berapa banyak atau sedikit volume impor atau ekspor, apakah perlu cepat atau lambat, semuanya berada dalam kendali para mafia. Kebijakan impor beras, gula, daging, dan garam timbul bukan atas kebutuhan nyata, tetapi atas desakan mafia. Tegasnya, dari mulai anggaran, transaksi berjalan, sampai rantai pasokan input-output sudah dikuasai para mafia. Bagi mereka, apapun yang akan terjadi, tidak menjadi persoalan. Terpenting, semuanya mendatangkan keuntungan. Persoalan-persoalan seperti di ataslah yang pada akhirnya menghambat pencapaian

ketahanan pangan, bahkan semakin menjauhkan kita dari upaya mencapai kedaulatan pangan.

Isu lain yang berpotensi menghambat tercapainya daulat pangan yaitu berkaitan dengan alih fungsi lahan, kualitas SDM serta dukungan infrastruktur. Intensitas alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian cukup tinggi. Data Kementerian Pertanian (Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 2011) menyatakan sepanjang 2008-2010 laju konversi lahan sawah di Pulau Jawa sebesar 600 ribu hektar atau jika dirata-rata sebesar 200 ribu hektar per tahun. Dalam skala nasional saat ini konversi lahan telah mencapai 100 ribu hektar per tahun.

Pembangunan pertanian dan ketahanan pangan 26

Persoalan kritikal yang kita hadapi saat ini adalah tingginya alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian serta rata-rata luas lahan petani yang sempit. Pada sisi yang lain, SDM pertanian juga rata-rata berpendidikan sangat rendah dan berjumlah relatif sangat banyak. Sebagai akibatnya produktivitas pertanian, yaitu rata-rata produksi per hektar komoditi pertanian, relatif rendah. Masalah selanjutnya ialah kendala ketersediaan infrastruktur pertanian/pedesaan serta kualitasnya yang rendah. Resultante dari berbagai persoalan ini adalah rendahnya tingkat kesejahteraan para petani.

Untuk mengatasi berbagai persoalan di atas maka dalam jangka pendek kepada petani miskin maupun non-petani yang juga miskin harus diberi perlindungan sehingga mereka memiliki ketahanan pangan yang memadai. Dalam konteks ini berbagai program seperti raskin memang diperlukan, akan tetapi efektivitas dan tata kelola pelaksanaannya harus diperhatikan. Khusus untuk petani, berbagai subsidi dan bantuan seperti subsidi pupuk, benih dan bantuan sosial termasuk Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) dan Lembaga Mandiri Mengakar pada Masyarakat (LM3) mungkin masih diperlukan, akan tetapi pelaksanaannya harus benar-benar memenuhi persyaratan yang disusun secara jelas serta tata kelola yang juga harus baik.

Untuk melindungi lahan pertanian agar tidak mudah dialihfungsikan menjadi non-pertanian, penetapan kawasan lahan pangan berkelanjutan (KLPB) dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus dilaksanakan secara konsekuen. Kecenderungan yang

26 Prasaran Institut Pertanian Bogor (IPB), 23 Mei 2014.

Wacana

PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN26

56 57

terjadi ialah oknum pemerintah daerah dan bahkan oknum anggota DPRD relatif banyak yang merubah peraturan terkait kawasan dan RTRW tersebut. Sehingga, lahan pertanian dialihfungsikan menjdi non-pertanian dengan alasan mencari pendapatan asli daerah yang lebih tinggi, yang mana hal ini sangat rawan dengan kebocoran. Oleh sebab itu, ketetapan mengenai KLPB dan RTRW merupakan suatu hal yang mutlak dalam arti tidak mudah untuk diubah-ubah.

Dalam jangka menengah dan panjang, upaya peningkatan areal pertanian baik oleh pemerintah semata maupun pemerintah bekerjasama dengan swasta dalam skema Public Private Partnership (PPP) merupakan suatu kebutuhan yang pelaksanaannya dilakukan dalam suatu kebijakan reforma agraria. Upaya ke arah itu antara lain dengan membangun atau mengembangkan food estate berskala luas, dimana harus dipastikan kepemilikan lahan oleh rakyat tidak dapat diambil alih oleh pihak-pihak lainnya. Dalam kaitan ini, yang harus dihindari adalah penguasaan lahan oleh para elit atas nama rakyat (seolah-olah dimiliki rakyat padahal pemilik sesungguhnya adalah para elit pemerintah maupun swasta). Formula reforma agraria ialah akses/kepemilikan petani terhadap lahan plus akses petani terhadap berbagai hal lainnya termasuk sarana produksi pertanian berkualitas, teknologi, pasar, dan informasi.

Tingkat kesejahteraan para petani yang jumlahnya relatif banyak itu dapat dinaikkan manakala di kawasan pedesaan tersebut terdapat usaha-usaha pengolahan hasil-hasil pertanian (agroindustri pedesaan). Agroindustri akan memberikan nilai tambah terhadap komoditas pertanian yang dihasilkan petani karena produk-produk pangan yang dihasilkan dari agroindustri yang dihasilkan petani memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan harga komoditas pertanian yang relatif rendah dan cenderung fluktuatif. Pengembangan agroindustri pedesaan maupun usaha tani terkait membutuhkan investasi yang cukup besar baik untuk infrastruktur maupun fasilitas serta unit-unit pengolahan yang dibutuhkan yang harus ada. Manakala investasi tersebut berasal dari pemerintah harus dipastikan bahwa pengadaannya dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan memang betul-betul dibutuhkan oleh petani dan pelaku agroindustri.

Upaya untuk mengatasi rendahnya produktivitas maupun untuk mengembangkan agroindustri pedesaan membutuhkan Research and Development (R & D) dalam rangka mengembangkan teknologi tepat guna yang harus dilaksanakan secara kontinu dan serius.

Pemerintah perlu mendorong pengembangan varietas bibit lokal yang lebih sesuai dengan kondisi tiap-tiap daerah. Demikian juga untuk sarana produksi pertanian lainnya termasuk pupuk organik. Namun demikian, kegiatan-kegiatan R&D tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah dan didukung oleh ahli/instansi penelitian yang berkompeten, misalnya perguruan tinggi yang relevan.

Manakala hasil-hasil R & D yang sudah dilakukan akan disebarluaskan, maka proses perizinan terkait haruslah disederhanakan dan dipastikan tidak ada pungutan-pungutan liar. Berbagai sarana produksi pertanian dan produk pangan yang dihasilkan harus jelas standarnya, yang mana standar tersebut haruslah ditetapkan secara ilmiah oleh ahli/instansi yang berkompetensi. Proses perizinan lainnya juga harus ditetapkan secara jelas dan tidak berbelit-belit, termasuk dalam proses perizinan pembuatan rekomendasi bupati dan pembuatan SK Menteri Kehutanan untuk areal pertanian baru.

Pembangunan pertanian dan penguatan ketahanan pangan mutlak harus ditopang oleh sistem logistik pangan nasional, yang mengintegrasikan sistem produksi dan sistem distribusi dari tataran daerah hingga nasional secara efektif dan efisien. Sekali sistem logistik pangan nasional ini sudah ditetapkan maka pemerintah pusat dan pemerintah daerah maupun sesama pemerintah daerah harus bersinergi untuk menerapkannya. Penerapan sistem ini akan membutuhkan pembangunan berbagai prasarana dan fasilitas di daerah produksi maupun prasarana dan fasilitas distribusi termasuk pasar tani/terminal agribisnis sampai kepada pelabuhan/bandara. Semua ini membutuhkan investasi (pemerintah dan swasta) yang jumlahnya relatif besar sehingga pengadaannya harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Wacana

58 59

AGENDA 4: PERBAIKAN INFRASTRUKTUR

Sebagai salah satu sektor dalam sistem ekonomi, sektor transportasi dan perhubungan memberikan kontribusi yang cukup signifikan, yaitu antara 4 sampai 6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dari data tahun 2009, nilai sektor transportasi dan perhubungan mencapai angka Rp 181,6 triliun27.

Selain sebagai suatu sektor dalam perekonomian, transportasi dan perhubungan memiliki peran lain yang justru lebih vital, yaitu sebagai tulang punggung sistem logistik nasional. Logistik merupakan sistem arus barang, energi, informasi dan sumber daya lainnya, seperti produk, jasa dan manusia, dari sumber produksi ke pasar. Lingkup logistik mencakup integrasi informasi, transportasi, inventori dan pergudangan.

Tanpa dukungan logistik yang handal, proses produksi hingga pemasaran bahkan keseluruhan perekonomian akan terganggu. Besarnya dampak yang dapat timbul dari gangguan pada sektor transportasi dan perhubungan dapat terlihat dari data Direktorat Jenderal Perhubungan Darat tahun 2005. Pada tahun tersebut, tercatat total perpindahan barang pada tiga matra transportasi, mencapai 2,7 miliar ton.

Transportasi darat merupakan matra transportasi yang paling dominan di Indonesia dibandingkan matra transportasi lainnya (udara dan laut). Hal ini ditunjukkan dari data Nasional Tahun 2001 yang menggambarkan bahwa 95 persen perjalanan penumpang dan barang menggunakan transportasi darat. Pada matra transportasi darat, moda angkutan jalan raya mengambil posisi yang paling dominan dibandingkan moda-moda lain (angkutan rel atau kereta api dan angkutan sungai, danau, dan penyeberangan - ASDP). Dari data statistik BPS tahun 2009, porsi angkutan jalan raya mencapai 93 persen dari total angkutan darat.

Arus logistik dengan matra transportasi darat mencapai 2,4 miliar ton (97,3 persen) dari total angkutan barang dan 3,8 miliar trip (99 persen) dari total perjalanan penumpang. Besarnya ketergantungan logistik pada moda angkutan jalan raya juga terlihat dari besarnya jumlah armada. Dari data BPS 2008, tercatat sejumlah 5,1 juta truk beroperasi di Indonesia.

27 Hasil kajian penyelenggaraan perhubungan darat, Direktorat Penelitian & Pengembangan, KPK, 2011.

Terganggunya logistik dengan matra transportasi darat akan secara langsung berdampak pada aktivitas ekonomi dan ketahanan nasional secara keseluruhan. Wajar bahwa lalu lintas dan angkutan jalan dinilai mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Hal tersebut menjadi dasar terbitnya Undang-Undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada pasal 5, disebutkan bahwa negara bertanggung jawab atas lalu lintas dan angkutan jalan dan pembinaannya dilaksanakan oleh Pemerintah. Pembinaan lalu lintas dan angkutan jalan tersebut meliputi perencanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.

Sistem logistik nasional Indonesia saat ini masih belum menunjukkan kinerja yang memuaskan. Menurut hasil survei Logistic Performance Index (LPI – Indeks Kinerja Logistik) yang dilakukan Bank Dunia pada tahun 2007, LPI Indonesia berada pada ranking 43 di bawah Thailand dan Malaysia. Pada tahun 2010, Indonesia justru semakin turun ke ranking 75, di bawah Vietnam dan Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa sistem angkutan barang di Indonesia belum memenuhi indikator kinerja yang memadai, meliputi kualitas infrastruktur terkait perdagangan dan angkutan, kemudahan pengaturan pengiriman barang dengan harga kompetitif, kompetensi dan kualitas pelayanan logistik, kemampuan track and trace pengiriman, frekuensi sampainya pengiriman kepada penerima tepat waktu.

Tidak memadainya infrastruktur terkait perdagangan dan angkutan, sebagai akibat kondisi prasarana jalan yang buruk, sangat menghambat kelancaran angkutan barang di Indonesia. Tahun 2004, panjang jalan nasional yang rusak berat tercatat 3.774,5 km (10,9 persen) dari total panjang jalan nasional 34.629 km. Tahun 2010, panjang jalan nasional yang rusak berat justru meningkat ke kisaran 5.760 km (15 persen) dari total 38.400 km. Selain itu, dari total panjang jalan 437.759 km, tercatat hanya 59 persen yang diaspal. Buruknya permukaan jalan mengakibatkan jarak tempuh rata-rata truk barang di Indonesia hanya mencapai 21.800 km/tahun (kurang dari separuh rata-rata Asia 57.000 km/tahun).

Wacana

SISTEM LOGISTIK NASIONAL

60 61

Rendahnya jarak tempuh mengakibatkan operasi armada truk barang di Indonesia tidak efisien. Data Asia Foundation tahun 2008 menunjukkan bahwa biaya operasional rata-rata truk angkutan barang di Indonesia mencapai USD 0,34 per kilometer, jauh di atas rata-rata di wilayah benua Asia sebesar USD 0,22 per kilometer. Tingginya biaya operasional truk barang mendorong pengemudi untuk memuat barang melebihi kapasitas. Survei Asia Foundation pada tahun 2008 di sembilan rute angkutan barang menunjukkan bahwa dari 293 truk yang menjadi responden, 153 di antaranya kelebihan muatan antara 2-7 ton (rata-rata 26-45 persen dari kapasitas resmi).

Operasi truk barang yang kelebihan muatan berdampak sangat buruk terhadap kondisi jalan. Sayangnya, dari total 161 jembatan timbang di seluruh Indonesia, tercatat 28 jembatan timbang tidak beroperasi. Hal ini menyulitkan pemerintah mengendalikan kecenderungan pengemudi untuk memuat lebih. Efek resiprokal antara rusaknya badan jalan dan muatan lebih dengan demikian terjadi secara terus menerus. Beban keuangan negara yang ditimbulkan sangat besar dari tahun ke tahun. Untuk tahun 2009 saja, anggaran Kementerian PU untuk pemeliharaan jalan mencapai Rp 9,3 triliun.

Selain sangat membebani keuangan negara, operasi truk barang yang tidak efisien berdampak buruk pada daya saing perekonomian nasional. Survei oleh Carana Corporation-USAID 2004, menunjukkan bahwa proporsi biaya transportasi mencapai 10-25 persen dari harga komoditi pertanian non-korporasi di Indonesia. Pada beberapa komoditi ekspor seperti kakao, karet dan kopi, biaya transportasi dapat mencapai 40 persen dari harga penjualannya, bahkan lebih. Jelas kondisi ini sangat mengurangi daya saing komoditi andalan Indonesia di pasar internasional.

Selain mahal, transportasi barang di Indonesia dinilai tidak handal karena tidak tepat waktu. Sulitnya menepati rencana perjalanan diakibatkan banyaknya waktu yang terbuang selama perjalanan, termasuk waktu yang dihabiskan dalam kondisi terparkir untuk menunggu proses pabean, gudang dan antre bongkar-muat. Jumlah waktu terbuang suatu armada barang dapat mencapai hingga 75 persen dari total waktu perjalanan, terutama apabila melalui penyeberangan (ferry). Kurangnya kapasitas ferry dibandingkan jumlah armada menyebabkan antrian yang panjang, bahkan hingga berhari-hari. Kerugian yang ditanggung oleh pemilik

barang jelas sangat besar, terutama bila barang yang diangkut termasuk jenis barang non-durable (tidak tahan lama). Laporan Ditjen Perhubungan Darat 24 November 2009 menyebutkan bahwa dua lintasan penyeberangan, Merak-Bakauheni dan Ketapang-Gilimanuk, perlu mendapat perhatian khusus. Hal tersebut terutama disebabkan oleh kemacetan, keterlambatan dan keamanan yang rawan. Kondisi demikian mendorong para pengemudi untuk bersaing secara tidak sehat. Sebagai contoh, data PT ASDP Indonesia Ferry (persero) menunjukkan pada tahun 2009 jumlah kendaraan yang melintasi Merak-Bakauheni mencapai 4.000 hingga 5.000 kendaraan per hari, dan dilayani oleh 33 kapal ferry. Panjang dan lamanya antrian (antara 3 sampai dengan 4 jam) memicu terjadinya praktik-praktik suap/pungli untuk mendapatkan giliran lebih dahulu atau masuk jalur cepat, yang berkisar antara Rp 50.000 hingga Rp 300.000 per kendaraan.

Angkutan truk barang yang tidak efisien juga disebabkan oleh biaya-biaya lain di luar biaya operasional. Biaya-biaya tersebut dapat berupa pungutan, baik secara rutin maupun insidental. Hasil Survei Integritas Sektor Publik Indonesia tahun 2009 yang dilakukan oleh KPK, menunjukkan persepsi masyarakat pengguna layanan pada layanan publik di lingkungan Kementerian Perhubungan masih belum memuaskan. Sebagai contoh, skor potensi integritas pada layanan Uji Tipe dan Penerbitan Sertifikat Uji Tipe Kendaraan Bermotor di lingkungan Ditjen Perhubungan Darat hanya mencapai 5,99 (peringkat 68). Skor tersebut masih berada di bawah standar minimal KPK (6,0). Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat kelemahan dalam sistem pelayanan publik pada layanan tersebut yang merupakan celah terjadinya pemerasan atau suap.

Di luar perizinan dan pengujian kendaraan bermotor, frekuensi penghentian truk di tengah perjalanan tercatat masih tinggi. Jumlah pembayaran atas berbagai pungutan atau retribusi daerah, pungutan di jembatan timbang dan pungutan di jalan oleh oknum polisi atau preman cukup signifikan. Hasil survei yang dilakukan oleh Asia Foundation tahun 2008 menunjukkan frekuensi penghentian truk di tengah perjalanan mencapai rata-rata 9 kali. Total jumlah pembayaran atas berbagai pungutan

Wacana

POTENSIKORUPSI

62 63

mencapai rata-rata Rp 80.100 (12 persen dari total uang jalan pengemudi) per sekali jalan. Rata-rata total pembayaran untuk jembatan timbang adalah Rp 25.554 per truk (32 persen), sedangkan untuk total pembayaran pos retribusi adalah Rp 36.999 (46 persen) dan sisanya untuk oknum polisi atau preman. Pada penelitian lain, yang dilakukan oleh Olken dan Barron di tahun 2007, truk rute Banda Aceh–Medan bahkan harus mengeluarkan sekitar USD 40 sekali jalan (13 persen dari total biaya perjalanan) untuk suap dan uang keamanan.

Lalu lintas dan angkutan jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah. Selain itu, perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara.

AGENDA 5: PENGUATAN APARAT PENEGAK HUKUM

Dalam konsideran Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa upaya pemberantasan korupsi belum dapat dilaksanakan secara optimal; bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi (kepolisian dan kejaksaan) belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa lembaga penegak hukum yang telah ada belum mampu bekerja optimal? Dari penjelasan Undang-Undang tentang KPK tersirat hal bahwa upaya pemberantasan korupsi oleh aparat penegak hukum yang ada tidak dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional, dan berkesinambungan. Dari sini dapatlah dikatakan bahwa aparat penegak belum secara profesional bekerja maksimal. Di sinilah perlunya upaya pembenahan aparat penegak hukum.

Pembangunan di bidang penegakan hukum masih menghadapi kendala dalam pencapaian targetnya. Hal ini tergambar oleh berbagai hasil evaluasi dan survei, yang menunjukkan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia masih lemah. Antara lain hasil survei oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kompas menunjukkan tingginya ketidakpuasan masyarakat pada kinerja penegak hukum.

Sumber: Kompas, 2009-2013.

Wacana

Prosentase Opini Publik Tentang Citra Positif Lembaga Penegak Hukum (2009-2013)

2009 2010 2011 2012 2013

Kepolisian

Kejaksaan

Kehakiman

KPK

64 65

Melihat tabel di atas, kualitas SDM merupakan penentu utama keberhasilan pembangunan hukum secara terpadu. Oleh karenanya, kualitas SDM Penegak Hukum (kepolisian dan kejaksaan) perlu menjadi prioritas pembenahan dalam mewujudkan penguatan sistem peradilan di Indonesia. Bentuk pembenahan Aparat Penegak Hukum antara lain melalui pemberian remunerasi untuk mendorong kualitas kinerja aparat penegak hukum dan pegawai di lembaga penegak hukum. Selain itu, diperlukan pula adanya perbaikan mekanisme promosi dan mutasi aparat penegak hukum, serta sistem rekrutmen yang dilakukan secara transparan dan adanya pengawasan secara efektif. Dalam proses rekrutmen dan seleksi, pejabat atau komisioner aparat penegak hukum hanya disaring oleh Tim Panitia Seleksi (Pansel) independen.

Intinya, pengembangan SDM Aparat Penegak Hukum merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas aparat penegak hukum sebagai penentu utama keberhasilan pembangunan hukum secara terpadu. Jadi, untuk mengatasi permasalahan korupsi yudisial dilakukan melalui strategi peningkatan kesejahteraan aparat penegak hukum, penyempurnaan mekanisme promosi dan mutasi, serta rekrutmen aparat penegak hukum.

Metode yang memungkinkan untuk dilakukan adalah dengan melaksanakan reformasi pengelolaan sumber daya manusia (manajemen SDM) dalam organisasi kepolisian dan kejaksaan. Dalam konteks pembenahan manajemen SDM kepolisian dan kejaksaan, maka yang harus dilakukan adalah mengimplementasikan dan menginternalisasikan prinsip-prinsip pengelolaan SDM moderen ke dalam institusi kepolisian dan kejaksaan. Manajemen SDM terkait dengan beberapa aspek, mulai dari rekrutmen, seleksi, pengembangan, sistem penilaian kinerja, penataan sistem meritokrasi, sampai pengaturan persiapan pensiun.

Walaupun begitu, sebelum memulai internalisasi manajemen SDM, harus ada evaluasi terhadap pengelolaan aparat atau pegawai yang saat ini berjalan dalam organisasi kepolisian dan kejaksaan. Kemudian, dari hasil evaluasi, dapatlah dibangun sebuah manajemen SDM yang sesuai dengan kebutuhan pembenahan aparat kepolisian dan kejaksaan.

Paralel dengan perbaikan manajemen SDM (aparat) penegak hukum di atas, ada tiga faktor penting yang harus diperhatikan oleh presiden mendatang. Ketiga faktor esensial tersebut adalah:

Pertama, akuntabilitas dalam proses penegakan hukum. Penegakan hukum yang akuntabel berarti bahwa proses pelaksanaan penegakan hukum harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, dengan berbasiskan pada adanya kemanfaatan hukum dan keadilan bagi publik.

Kedua, pengawasan proses penegakan hukum. Dalam konteks pengawasan proses penegakan hukum, harus ada upaya keras dan konsisten untuk dapat mengawal proses tersebut dengan cara, antara lain, memberikan sangsi kepada para aparat penegak hukum yang melanggar moralitas hukum dan atau menabrak proses penegakan hukum itu sendiri.

Ketiga, peningkatan citra positif aparat penegak hukum. Citra positif tidak datang dengan sendirinya. Dia berasal dari meningkatnya kapasitas dan kompetensi dari aparat penegak hukum itu sendiri. Intinya, citra positif lembaga dan aparat penegak hukum akan meningkat seiring bertambahnya kualitas aparat penegak hukum, baik dari sisi moralitas maupun profesionalismenya.

Langkah mewujudkan tiga faktor di atas akan dapat berjalan lancar ketika ada dukungan penuh pemerintah. Hal ini karena penegakan hukum sesungguhnya bagian dari sistem hukum pemerintah.

Wacana

66 67

AGENDA 6:DUKUNGAN PENDIDIKAN NILAI INTEGRITAS DAN KETELADANAN

Prioritas utama dalam pendidikan adalah perubahan sosial. Pendekatan ini berupa penguatan kesadaran masyarakat dengan membentuk pemahaman mereka bahwa korupsi telah menyaplok hak warga untuk hidup sejahtera. Metode pendekatan ini adalah melalui pendidikan nilai. Pendidikan nilai dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai ke dalam budi manusia.

Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) karena tindak pidana ini menimbulkan damage (kerusakan) dahsyat bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial ekonomi masyarakat, sehingga pemberantasan korupsi di Indonesia sudah harus bergerak ke arah yang lebih menyentuh persoalan akar korupsi.

Akar penyebab korupsi adalah sistem yang buruk dan karakter individu yang cenderung korup. Kasus tindak pidana korupsi yang semakin banyak ditangani oleh KPK dari tahun ke tahun membuktikan hal tersebut. Orientasi kesuksesan hidup yang berdasar hanya pada fisik dan materi membuat nilai-nilai moral semakin jarang diajarkan di keluarga maupun lembaga formal. Kondisi tersebut juga menciptakan sikap permisif masyarakat dalam menghadapi kasus korupsi di lingkungannya. Tentu saja kondisi ini sangat mengkhawatirkan dan merusak masa depan bangsa dan negara Indonesia.

Pencegahan korupsi bisa dilakukan dengan menyelesaikan akar korupsi dari dua sisi, yaitu melalui pembenahan sistem dan pembentukan budaya dan karakter antikorupsi. Terkait dengan pembentukan budaya dan karakter antikorupsi, keluarga dan lembaga formal merupakan agen sosialisasi utama untuk menanamkan karakter antikorupsi yang bisa dimulai sejak anak usia dini. Nilai-nilai yang nanti akan membentuk pribadi antikorupsi yang perlu ditanamkan sejak dini adalah nilai kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab.

Jujur berarti berani menyatakan keyakinan pribadi. Kejujuran adalah modal dasar dalam kehidupan bermasyarakat sehingga ketidakjujuran akan menghancurkan komunitas bersama. Sosialisasi terhadap nilai kejujuran akan menghasilkan output bahwa anak berperilaku jujur dalam kehidupan sehari-hari dan menularkan kejujuran tersebut kepada lingkungannya. Perilaku tidak jujur merupakan perilaku buruk yang akan dihindari dilakukan oleh anak-anak tersebut. Perilaku jujur yang dijalankan sejak dini akan menciptakan karakter bersih pada saat usia dewasa dan pada saat memegang kekuasaan. Adil berarti memenuhi hak orang lain dan mematuhi segala kewajiban yang mengikat diri sendiri. Penanaman nilai keadilan sejak usia dini akan menciptakan karakter tidak memihak dan tidak menguntungkan pihak lain pada saat mereka nantinya memegang kekuasaan.

Tanggung jawab berarti teguh hingga terlaksananya tugas. Tekun melaksanakan kewajiban sampai tuntas. Pengembangan rasa tanggung jawab adalah bagian terpenting dalam pendidikan anak menuju kedewasaan. Di usia dewasa, karakter tanggungjawab yang melekat pada penyelenggara negara akan menghindarkan diri dari perilaku korupsi.

Secara teknis, intervensi nilai kejujuran, keadilan, dan tanggungjawab terutama dilaksanakan di lingkungan keluarga sebagai agen sosialisasi primer. Penyampaian di keluarga dilakukan oleh orangtua terhadap anak melalui teladan maupun pemberian pemahaman dengan atau tanpa alat pendukung. Intervensi nilai luhur tersebut akan menjadi efektif jika agen sosialisasi sekunder yaitu lembaga formal dan komunitas juga melakukan intervensi nilai-nilai yang sama. Keberhasilan program intervensi di keluarga dan lembaga formal juga sangat tergantung dari kampanye publik yang masif oleh pemerintah. Program Keluarga Berencana di era tahun 1980-an bisa menjadi contoh intervensi program yang berhasil di Indonesia. Pada tataran teknis, lembaga pemerintah terkait seperti BKKBN, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama bisa dilibatkan dalam program ini.

Seorang pakar pendidikan, Mochtar Buchori28, menulis bahwa tujuan pendidikan nilai bukan memupuk kemahiran beretorika tentang nilai-nilai atau tentang suatu ideologi. Yang jauh lebih penting, katanya, ialah menggunakan pengetahuan tentang

28 Kompas, 21 Februari 2007.

Wacana

DUKUNGAN PENDIDIKAN NILAI DAN KETELADANAN DALAM KELUARGA DAN LEMBAGA FORMAL

68 69

dan ketaatan terhadap nilai-nilai untuk memupuk kemampuan membimbing bangsa ke pembaruan cara hidup (the way of life), sesuai realitas yang ada serta aspirasi tentang masa depan yang masih hidup dalam diri bangsa.

Karena itu, kemudian, menurut Mochtar Buchori, pendidikan nilai tidak berhenti pada pengenalan nilai-nilai. Ia masih harus berlanjut ke pemahaman nilai-nilai, ke penghayatan nilai-nilai, dan ke pengalaman nilai-nilai. Hanya dengan lingkaran siklus seperti itu, pendidikan nilai akan mengantarkan bangsa, sedikit demi sedikit, ke arah bangsa yang bersih dari korupsi.

Melalui pendidikan nilai, manusia Indonesia diarahkan untuk kebal terhadap korupsi. ”Orang banyak harus disadarkan bahwa korupsi bukan sekadar pelanggaran terhadap norma-norma tetapi sebuah bentuk ketidakadilan. Korupsi sebagai bentuk ketidakadilan bukan semata urusan yang bersangkutan dengan Tuhan tetapi dengan publik yang terkena dampaknya. Oleh karena itu, sentimen negatif publik terhadap korupsi harus dibangun sehingga terbentuk mekanisme sangsi sosial yang berkelanjutan. Dengan itu wajah korupsi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan akan terlihat jelas. Bahwasanya korupsi adalah proses pemiskinan yang memerosotkan kemanusiaan orang per orang.”

Secara filosofis normatif penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dipayungi oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU dimaksud telah menegaskan pesan dan landasan moral pendidikan untuk membangun manusia Indonesia secara utuh baik aspek intelektual akademik maupun aspek moral spiritual. Penegasan ini tersurat pada pasal 1 (1) bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Jika landasan normatif ini disimak dengan baik dan mendalam, pendidikan bangsa menjadi sangat sarat nilai dan bertujuan untuk membangun bangsa yang bermoral, jujur, dan bertanggung dalam bingkai kebangsaan yang kokoh dan penguasaan iptek yang membawa kemaslahatan bagi bangsa dan negara29.

29 Prasaran dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, 2014.

Dengan demikian maka pertanyaan “Apakah pendidikan selama ini tidak membangun perilaku dan karakter bangsa yang menumbuhkan nilai-nilai antikorupsi?”, “Adakah hal yang keliru dengan pendidikan kita selama ini, sehingga perilaku korupsi ditemukan dimana-mana?” sudah terjawab dengan adanya UU No 20/2003 tentang Sisdiknas di atas. Namun pada tahap implementasi pendidikan sudah tidak diselenggarakan secara utuh dan taat asas sesuai dengan landasan normatif yang digariskan Undang-undang. Oleh karena itu, tantangan Presiden mendatang adalah bagaimana menumbuhkan preferensi antikorupsi melalui pengutuhan sistem pendidikan yang bertolak dari pemaknaan falsafah dan landasan normatif pendidikan secara utuh dan membangun sistem secara konsisten dengan pemaknaan utuh dimaksud dengan menerapkan meritokrasi pelayanan pendidikan.

Meritokrasi pengelolaan pendidikan nasional diperlukan untuk mewujudkan layanan pendidikan yang adil, bermutu, berdaya saing, dan relevan dengan kebutuhan berbagai bidang pembangunan. Rumusan tujuan ini dengan mudah dapat difahami oleh pemimpin yang ahli dan profesional di bidangnya karena mereka memiliki wawasan dan kearifan yang lebih tinggi untuk memanifestasikannya ke dalam kebijakan yang bermutu. Hingga periode pemerintahan ini masih cukup banyak kebijakan pendidikan yang dinilai kurang bermutu dan kurang berwawasan bahkan beresiko gagal untuk mencapai misi penyelenggaraan pemerintahan atau negara.

Paling tidak ada empat faktor besar yang paling krusial bagi seorang presiden agar berhasil dalam pengelolaan dan pembangunan sistem pendidikan nasional, yaitu:

a. Menguasai ketentuan UU Sistem Pendidikan Nasional bahwa UU tersebut benar-benar merupakan manifestasi dari upaya pencapaian misi penyelenggaraan Negara sesuai amanat UUD 1945.

b. Menunjuk menteri pendidikan sebagai pembantunya dengan memperhitungkan keahlian dan profesionalisme di bidangnya.

c. Mendorong terwujudnya iklim dan kultur meritokrasi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.

Wacana

MERITOKRASI PENGELOLAAN PENDIDIKAN NASIONAL

70 71

d. Mewujudkan dan memelihara politik anggaran yang berbasis merit dan kinerja untuk mendukung terwujudnya meritrokasi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.

Model kepemimpinan pendidikan nasional berlandaskan pada pemahaman bahwa hanya dengan kebijakan pendidikan yang berkualitas, maka layanan pendidikan yang adil, bermutu, berdaya saing, dan relevan dengan kebutuhan pembangunan akan dapat diwujudkan. Kebijakan yang berkualitas itu sendiri hanya dapat diperoleh melalui perwujudan iklim dan kultur meritokrasi dalam pengelolaan pendidikan nasional pada berbagai tingkatan manajemen.

Presiden RI adalah pemimpin bangsa yang diharapkan mampu membangkitkan semangat perjuangan bangsa dan seluruh rakyat Indonesia untuk meraih keunggulan bangsa di era persaingan global. Perjuangan tersebut dilakukan sekaligus memelihara kepribadian Indonesia agar tetap berdiri kokoh sebagai bangsa yang berdaulat dan diperhitungkan dalam pergaulan antar-bangsa.

Pembangunan sistem pendidikan nasional itu sendiri akan berhasil jika presiden dibantu oleh menteri pendidikan yang bukan hanya profesional, tetapi juga benar-benar memiliki keahlian dan kearifan di bidangnya. Menteri pendidikan mungkin saja dianggap profesional karena bergelar “profesor-doktor” tetapi jika menteri tersebut tidak memiliki keahlian dan kearifan khusus di bidang pendidikan maka dia sesungguhnya tidak memenuhi syarat meritokrasi30 yang dimaksud.

Strategi ampuh dalam memerangi korupsi di lingkungan pendidikan adalah dengan mengurangi birokrasi yang terlalu gemuk dan dalam waktu yang bersamaan dikembangkan iklim profesional dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Pekerjaan teknis profesional (seperti pelatihan, pengujian, penelitian, pengembangan sistem, pengajaran, dsb) tidak perlu dilakukan oleh para birokrat karena umumnya tidak memiliki keahlian teknis untuk melakukan atau mengelola pekerjaan tersebut. Untuk mencegah tumbuh-kembang budaya korupsi maka pekerjaan-pekerjaan teknis kependidikan perlu diserahkan kepada ahlinya,

30 Dalam sejarah NKRI, baru dua menteri yang benar-benar berasal dari kalangan pendidik. Dua Menteri Pendidikan yang dapat diakui sebagai kalangan pendidik dan tidak diangkat dari kalangan partai politik adalah Ki Hadjar Dewantara (1945) dan Prof. Dr. Malik Fadjar (2001).

karena niscaya hasilnya akan bermutu dan korupsi dapat ditekan seminimal mungkin.

Satu pesan penting dari semua hal yang telah disampaikan dalam agenda pendidikan adalah bahwa perlu adanya peningkatan anggaran riset dan pengembangan bagi Perguruan Tinggi dan Lembaga Riset Negara. Dengan begitu, lembaga pendidikan tinggi dan lembaga riset negara memiliki modal yang relatif besar untuk mendukung kebijakan-kebijakan pendidikan yang bertujuan memberantas korupsi di Indonesia.

Wacana

72 73

AGENDA 7:PERBAIKAN KELEMBAGAAN PARTAI POLITIK

Partai Politik (parpol) di negeri ini bagai teramputasi. Parpol bak pincang dan lumpuh. Parpol hampir kehilangan marwahnya sebagai pencetak politisi-politisi unggul dan bermartabat. Sejumlah pengurus parpol, yang pernah jadi pejabat publik, terjerat kasus korupsi. Parpol nampak pula lemah dalam kanalisasi politik. Parpol hampir kehilangan perannya sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan publik. Timbul fenomena tersumbatnya aspirasi rakyat untuk memperoleh akses kepada kebijakan yang berkeadilan.

Belakangan ini muncul fenomena yang lain lagi. Parpol terkesan gamang ketika akan memilih dan mengajukan calon legislatif, kandidat presiden, atau bakal kepala daerah. Mencuat kondisi pelik saat parpol akan memajukan kader-kadernya. Ini terlihat dari pola-pola rekrutmen calon yang amat sporadis. Juga, sewaktu parpol mengajukan Daftar Caleg Sementara (DCS) pemilu 2014 saat tenggat masa pencalonan nyaris usai.

Lebih jauh, proses pemilihan calon legislatif tidak berdasarkan sistem kepartaian yang rapi, yang dimulai dari mekanisme rekrutmen yang transparan dan proses pengkaderan yang sistematis-berjenjang. Hal ini memperlihatkan bahwa parpol kita belum terinstitusionalisasi dengan baik. Belum melembaga sebagai layaknya institusi moderen.

Mungkinkah ini karena parpol tak memberi perhatian serius pada pola rekrutmen dan pengkaderan? Terlihat proses pengkaderan yang berjenjang dan rapi bak terabaikan. Pola-pola rekrutmen dan kaderisasi calon legislatif yang terlihat saat ini terkesan amat impulsif dan instan. Fenomena aktual memperlihatkan bahwa parpol malah mengajukan orang-orang eksternal partai, yang tentu bukan berasal dari rapinya sistem pengkaderan. Parpol menjadi pragmatis dan bersikap instan. Para calon non-kader itu memang punya modal besar: uang dan mungkin popularitas.

Persoalan lain terkait parpol adalah transparansi dan akuntabilitas pendanaan parpol. Dalam surveinya, Transparency International Indonesia (TII, 2013) menemukan adanya perbedaan-perbedaan tingkatan sikap kooperatif parpol dalam hal keterbukaan sumber keuangannya. Partai Golkar dinilai tidak kooperatif. Partai Demokrat dan PKS dinilai kurang kooperatif. PPP dinilai kooperatif. Gerindra, PAN, PDIP, PKB, dan Hanura, dinilai sangat kooperatif. Partai Demokrat dan PKS bersedia berkomunikasi, tapi tak mau membuka diri dalam proses penilaian. Sementara, Partai Golkar sama sekali tidak membuka komunikasi31.

Rekrutmen dan kaderisasi oleh partai politik merupakan dua hal yang penting. Pertama, karena ketika membahas persoalan rekrutmen dan kaderisasi partai politik, maka sebenarnya yang sedang dibicarakan adalah mengenai sumber permasalahan atau sumber petaka sebuah negara. Kedua, karena persoalan rekrutmen dan kaderisasi partai politik itu pada dasarnya membicarakan mengenai orang-orang yang akan menjadi wakil rakyat, baik level nasional maupun daerah.

Pendeknya, proses rekrutmen dan kaderisasi partai politik adalah proses untuk melahirkan orang-orang yang akan menjadi pemimpin Indonesia, pemimpin provinsi, atau pemimpin kabupaten/kota, dan wakil-wakil rakyat di DPR atau DPRD. Pemimpin politik yang lahir dengan sifat tertentu, berintegritas atau culas, lahir dari proses rekrutmen dan kaderisasi di dalam partai politik.

Pertanyaannya kemudian adalah filter atau mekanisme apa yang sudah dipasang oleh setiap kekuatan politik, yaitu partai politik, untuk menyaring pemimpin-pemimpin politik atau wakil-wakil rakyat? Bagaimana gambaran rekrutmen dan kaderisasi oleh parpol?

Terkait rekrutmen parpol, ada beberapa persoalan umum yang dialami oleh partai-partai di Indonesia. Persoalan-persoalan tersebut adalah sebagai berikut32:

31 Kompas, 17 April 2013, hlm. 4.

32 Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI), Kerangka Penguatan Partai Politik di Indonesia, 2008, hlm. 19-20. Termasuk pula dari hasil kajian sistem politik berintegritas, KPK, 2013.

Wacana

PERSOALAN REKRUTMEN DAN PENGKADERAN PARPOL

74 75

1. Sebagian besar parpol belum mempunyai prosedur rekrutmen yang mapan, baik dalam bentuk cetak biru (konsep) maupun cara-cara pelaksanaannya. Ketiadaan prosedur yang jelas inilah yang membuat sebagian besar partai bersikap instan dalam rekrutmen politiknya. Partai, oleh karena itu, memasukkan public figure, pejabat atau mantan pejabat, dan kalangan pengusaha sebagai anggota, pengurus, atau calon legislatif, tanpa kriteria dan mekanisme yang jelas.

2. Partai masih mengandalkan cara konvensional dalam merekrut calon anggota, dengan menggantungkan pada basis dukungan pemilih tahun-tahun sebelumnya (basis pendukung konvensional). Padahal, masyarakat mengalami perkembangan seiring meningkatnya pengetahuan dan pengalamannya. Hal ini menyebabkan partai menjadi pasif dan kurang inovatif untuk memperluas basis pendukung. Situasi ini pula yang membuat sebagian partai kesulitan merekrut kalangan muda berkualitas untuk menjadi anggota dan aktifis partai.

3. Adanya kecenderungan oligarkis dari sejumlah partai. Karena belum adanya kriteria yang jelas, proses seleksi anggota oleh partai sering mengesampingkan pertimbangan kapasitas, integritas, dan pengalaman. Kedekatan calon anggota dengan pimpinan partai biasanya menjadi faktor yang lebih menentukan. Kebijakan insentif dan disinsentif bagi anggota belum transparan dan konsisten, sehingga ada anggota-anggota partai, yang telah lebih dulu masuk dalam partai dan telah berkontribusi bagi partai, menjadi tersisih.

Terkait kaderisasi, ada beberapa permasalahan yang umumnya dihadapi partai. Beberapa permasalahan tersebut adalah seperti di bawah ini33:

1. Partai belum memiliki standar kriteria dan penjenjangan kaderisasi yang kokoh. Selama ini, pelatihan kader tidak berkelanjutan dan tidak berjenjang. Sebagian partai belum menerapkan kualifikasi tertentu mengenai tingkatan keanggotaan.

2. Lemahnya keterkaitan antara proses pengkaderan dengan promosi kader. Sejumlah partai belum memberikan insentif kepada kader yang telah menunjukkan kapasitas, integritas, dan kemampuannya menuntaskan penugasan dengan baik.

33 Idem, hlm. 26.

Hal ini memang dilatarbelakangi oleh belum konsisten dan terbukanya bentuk insentif terhadap kader yang berprestasi.

3. Organisasi sayap partai belum sepenuhnya menjadi sumber kaderisasi partai. Padahal, organisasi sayap partai adalah wadah pembinaan yang relatif ideal bagi pembentukan kader-kader partai yang berkualitas.

4. Terbatasnya sumber daya yang dialokasikan oleh parpol bagi program dan kegiatan pengkaderan.

Memang harus dipahami bahwa pengelolaan kaderisasi akan bergantung pada tipe fundamen bangunan masing-masing parpol. Setidaknya ada dua tipe partai politik, yakni partai kader dan partai massa. Kedua tipe ini akan membedakan tiap-tiap parpol dalam menentukan komposisi dan fungsi anggota. Partai kader cenderung mengandalkan kualitas, ketaatan, dan disiplin anggota. Sementara, partai massa cenderung mengandalkan kuantitas anggota, sehingga orientasinya adalah bagaimana memobilisasi massa untuk mendukung dan melaksanakan kebijakan partai. Tipe partai yang berbeda ini pada akhirnya juga akan menentukan pola-pola rekrutmen dan kaderisasi partai.

Walaupun begitu, kuncinya adalah bahwa struktur keanggotaan di semua parpol dikategorikan secara berjenjang, terlepas dari tipe partai yang ingin dibangun (partai kader atau partai massa). Oleh sebab itu, proses rekrutmen dan kaderisasi menjadi sesuatu yang penting di tiap partai.

Partai politik menghadapi persoalan dalam mendanai kegiatan parpol. Kegiatan parpol, pada dasarnya, dapat dibagi menjadi dua, yaitu kegiatan operasional sehari-hari dan pendidikan politik (termasuk kampanye). Kegiatan-kegiatan parpol ini menuntut pembiayaan yang cukup besar.

Partai politik, karena itu, harus mencari dan mendapatkan sumber-sumber pendanaannya. Sumber pendanaan konvensional, seperti iuran anggota, belum mampu menutup biaya kegiatan parpol selama setahun. Akibatnya, parpol mencari jalan-jalan lain untuk mendanai kegiatannya.

Wacana

PENDANAAN PARTAI POLITIK

76 77

Menghadapi persoalan pendanaan parpol, dibuatlah mekanisme-mekanisme yang memungkinkan parpol mendapatkan uang dari sumber lain. Pertama, negara memberikan sumbangan politik kepada parpol yang memperoleh suara dalam pemilu. Sumber uang berasal dari APBN atau APBD. Kedua, parpol diperbolehkan menerima dana dari pihak ketiga, baik perorangan maupun badan. Tentunya, ada batasan dalam pendanaan dari sumber perorangan atau badan ini. Namun, dalam kenyataannya, sumber-sumber ini belumlah mencukupi.

Dalam konteks inilah perlu dibuat mekanisme supaya pendanaan parpol dapat dibiayai oleh negara. Dengan begitu, parpol tidak lagi mencari sumber-sumber pendanaan lain, sehingga parpol dapat lebih konsentrasi membangun kelembagaan internalnya. Tetapi, pada sisi lain, aturan harus dibuat lebih tegas dengan memberikan sanksi bagi parpol yang masih menerima sumber lain di luar sumber dana dari pemerintah.

Sistem pendukung DPR memegang peran penting dalam menunjang pelaksanaan fungsi DPR. Peran penting tersebut menjadi tak terbantahkan mengingat terbatasnya kapasitas legislator melaksanakan fungsi DPR. Oleh karenanya, dukungan dari sisi data, informasi maupun referensi menjadi suatu keniscayaan.

Saat ini sistem pendukung DPR belum mampu memberikan layanan optimal kepada penggunanya. Data dan informasi yang diberikan kepada anggota, fraksi maupun alat kelengkapan masih terbatas. Hal ini tidak terlepas dari pencermatan atas struktur dan keluaran utama yang ada dalam sistem pendukung DPR. Struktur organisasi sistem pendukung DPR belum terbentuk sepenuhnya34. Akibatnya dukungan data, informasi maupun referensi kepada legislator masih terfragmentasi. Fragmentasi menjadi sebuah sebuah masalah ketika legislator menjadikan dasar utama pengambilan kebijakan pada masukan yang diberikan tenaga ahli-nya. Di tengah masih terbukanya ruang nepotisme dalam rekruitmen tenaga ahli35, potensi keakuratan informasi yang menjadi acuan dalam rangkaian pembentukan kebijakan patut dipertanyakan.

34 Badan Fungsional/Keahlian sebagai pendukung DPR sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MD3 belum terbentuk.

35 Komisi Pemberantasan Korupsi, 2013, Kajian pelaksanaan fungsi DPR, KPK, hlm. 38.

Dari sisi keluaran, belum seluruh unit utama dalam sistem pendukung mendefinisikan produknya. Akibatnya, keluaran yang dihasilkan berpotensi belum secara spesifik menjawab kebutuhan anggota parlemen. Sebagai contoh, dalam halnya dukungan terhadap pelaksanaan fungsi pengawasan, sistem pendukung belum secara optimal memberikan masukan terhadap area-area prioritas yang perlu mendapat perhatian utama anggota DPR. Input yang disampaikan kepada legislator masih sebatas meneruskan informasi yang tertuang dalam laporan pemeriksaan BPK. Untuk kondisi tertentu, sistem pendukung bahkan belum mampu memberikan dukungan terhadap pelaksanaan tugas anggota dewan, sebagaimana ditemui dalam pelaksanaan fungsi anggaran36

Mencermati uraian di atas, Presiden selaku kepala negara musti melakukan penguatan terhadap sistem pendukung parlemen. Penguatan menjadi bagian guna meningkatkan prinsip mengawasi dan mengimbangi terhadap berjalannya roda pemerintahan. Secara teknis, penguatan dilakukan dengan melakukan evaluasi terhadap sistem pendukung yang ada. Evaluasi dilakukan minimal dalam kerangka penyederhanaan struktur kerja, keseimbangan beban kerja, kejelasan tugas pokok fungsi dan pembagian kerja, serta peningkatan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan fungsi antar unit maupun di internal unit kerja. Disamping itu, pemenuhan akan kecukupan SDM yang berkualitas dalam mendukung pelaksanaan fungsi DPR menjadi hal penting yang mesti diperhatikan oleh Presiden.

36 Sistem pendukung DPR belum mampu memberikan informasi bagi anggota DPR atas urgensi suatu kegiatan yang diusulkan pemerintah. Lihat, Kajian pelaksanaan fungsi DPR, KPK, 2013, hlm. XX.

Wacana

SISTEM PENDUKUNG PARLEMEN

78 79

AGENDA 8: PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Perintah UUD 1945 yang paling mendasar adalah terbangunnya kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa kecuali. Untuk itu melalui UU No. 6 tahun 1967 jo UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), pemerintah mengimplementasikannya melalui berbagai program dan menginvestasikan porsi belanja negara yang cukup besar untuk tercapainya tujuan tersebut. APBN yang dianggarkan untuk bantuan sosial dan hibah melalui mekanisme APBD dan APBN cukup besar seperti yang terlihat dalam tabel berikut:

Anggaran Bansos dalam APBD dan APBN

TahunAnggaran Bansos APBD

(dalam Trilyun Rp)Anggaran Bansos APBN

(dalam Trilyun Rp)

2007 11,89 49,75

2008 11,63 57,74

2009 12,98 73,81

2010 11,96 71,17

2011 12,05 77,8

2012 6,54 40,12

2013 7,91 68,73

Sumber: KPK (diolah dari berbagai sumber)

Sementara, sebagai tindak lanjut pelaksanaan sistem jaminan sosial, berdasarkan UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) pemerintah merubah PT Askes menjadi Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan dan PT. Jamsostek menjadi BPJS ketenagakerjaan. Pemerintah juga mengalokasikan anggaran sejumlah Rp. 19,9 T untuk BPJS kesehatan sebaga pembayaran premi bagi 86,4 juta bagi warga tidak mampu yang dikenal dengan istilah PBI (Penerima Bantuan Iuran).

Mengingat besaran dana yang dikelola, manfaatnya bagi masyarakat banyak dan potensi Tindak Pidana Korupsi yang ada maka KPK menjadikan kebijakan kesejahteraan sosial sebagai bagian dari area strategis yang patut mendapat perhatian.

Terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian presiden mendatang dalam pengelolaan bantuan sosial, yakni:

1. Jumlah dana bantuan sosial baik oleh Pemerintah Daerah dan juga Pemerintah Pusat cukup besar, sekitar Rp 50 triliun sampai dengan Rp 95 triliun setiap tahun. Jumlah dana yang cukup banyak ini berpotensi untuk diselewengkan.

2. Penyaluran bantuan sosial belum memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan warga, terutama kaum miskin dan rentan. Belum terlihat secara signifikan pengaruh positif pemberian bantuan sosial terhadap pengentasan kemiskinan. Jumlah penduduk miskin hanya menurun sekitar satu sampai dua persen tiap tahun.

3. Ada hubungan antara penyaluran dana bansos dengan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada.

4. Tingkat akuntabilitas, transparansi dan profesionalisme aparat pemerintah dalam pengelolaan bantuan sosial yang masih lemah. Terdapat indikasi bahwa dana bantuan sosial tidak sampai ke tangan rakyat yang seharusnya memperoleh bantuan.

Dalam kajian KPK ditemukan bahwa lemahnya pengelolaan Bantuan Sosial berkisar pada tiga aspek, yakni:

1. Perencanaan Kebijakan, diantaranya: Adanya kerancuan antara aturan mengenai batasan pengertian bantuan sosial (bansos), perencanaan program bansos yang tidak matang, adanya intervensi dari oknum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam proses penganggaran bansos yang berpengaruh pada pemilihan atau penyaluran ke Penerima Bantuan Sosial di daerah dalam penganggaran bansos.

2. Pelaksanaan Kebijakan: Lemahnya koordinasi penyaluran akibat pelaksanaan otonomi daerah, serta lemahnya dukungan sumber daya manusia dan dana pendamping untuk menyalurkannya.

3. Monitoring dan Evaluasi: Pelaporan bantuan sosial lemah, dan mayoritas program bansos tidak memiliki pelaporan pertanggungjawaban yang handal.

Wacana

PENGELOLAAN BANTUAN SOSIAL

80 81

IMPLEMENTASI SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL (SJSN)

Perbaikan pengelolaan dana-dana bantuan sosial di pemerintahan yang akan datang menjadi kunci bagi tercapainya tujuan bernegara yakni tercapainya kesejahteraan sosial.

Per 1 Januari 2014 BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan mulai beroperasi. Terdapat lima program jaminan yang menjadi ruang lingkup dalam pelaksanaan SJSN, yakni:

1. Program Jaminan Kesehatan yang dikelola oleh BPJS Kesehatan.

2. Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang dikelola oleh BPJS ketenagakerjaan yang terdiri atas:A. Program Jaminan Hari Tua.B. Program Jaminan Kecelakaan Kerja.C. Program Jaminan Kematian.D. Program Jaminan Pensiun.

Pelaksanaan Jaminan Kesehatan yang dikelola oleh BPJS yang merupakan transformasi dari PT Askes, dilakukan melalui mekanisme asuransi sosial. Setiap warga Negara dikenakan iuran yang dibayarkan kepada BPJS Kesehatan dan akan mendapatkan layanan kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit ketika membutuhkan yang seluruh biayanya ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Saat ini, belum semua warga Negara terdaftar pada BPJS Kesehatan dan baru pada tahun 2019 ditargetkan seluruh warga Negara telah terdaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan.

KPK menganggap penting pencegahan korupsi dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Hal ini berkaca pada program sejenis di negara lain dimana telah terjadi banyak fraud dalam Asuransi sosial kesehatan dan juga permasalahan kualitas layanan yang tidak baik diterima masyarakat.

Permasalahan dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini antara lain:

1. Potensi tumpang tindih antara JKN dan Jamkesda yang telah ada sebelumnya di beberapa daerah.

2. Buruknya database kepesertaan terutama warga miskin dan rentan miskin yang menerima bantuan iuran dari APBN. Tidak

dilakukannya pemutakhiran data kepesertaan yang memadai membuat akurasi data kepesertaan menjadi buruk.

3. Terjadinya adverse selection atau hanya yang sakit yang menjadi peserta BPJS Kesehatan sedangkan yang sehat tidak ikut mengiur sehingga memperberat dana jaminan yang dikelola BPJS Kesehatan. Jika terus berlangsung, hal ini juga berpotensi mengganggu fiskal negara karena negara wajib menalangi ketika dana jaminan yang dikelola BPJS Kesehatan tidak mencukupi.

4. Potensi fraud yang tinggi dalam layanan yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan membuat beban klaim yang ditanggung BPJS Kesehatan membesar dan kualitas layanan menurun. Hal ini diperparah dengan belum jelasnya pihak yang mengawasi fraud dalam layanan kesehatan karena membutuhkan kompetensi khusus dan sumber daya yang cukup besar untuk melakukannya.

5. BPJS Kesehatan dalam menyelenggarakan JKN tidak hanya melayani layanan kesehatan kelas III, namun juga layanan kesehatan untuk kelas II dan kelas I yang berpotensi menjadi beban besar bagi dana jaminan, dan terjadi penggunaan iuran dari orang yang kurang mampu untuk membiayai layanan kesehatan orang yang mampu.

Terkait hal di atas KPK mendorong presiden mendatang untuk:

1. Melakukan koordinasi dan sinergi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sehingga tidak terjadi tumpang tindih program jaminan kesehatan.

2. Memperbaiki data kependudukan secara nasional sehingga kepesertaan BPJS Kesehatan juga dapat lebih baik dan akurat.

3. Membuat aksi untuk mempercepat upaya cakupan kepesertaan semesta sehingga iuran kepada BPJS Kesehatan dapat diterima dari seluruh warga Negara.

4. Merancang sistem pengawasan terhadap layanan medis termasuk regulasi, kelembagaan dan kompetensinya sehingga potensi fraud dapat diminimalkan.

82

Penutup

5. Mengevaluasi sistem JKN yang tidak hanya melayani layanan kelas III, karena secara best practice, asuransi sosial harus digunakan hanya untuk mendapatkan layanan.

Sementara, untuk program jaminan ketenagakerjaan, meski baru dimulai pada 1 Juli 2015, pemerintahan yang baru perlu memerhatikan dua hal.

Pertama, berhati-hati dalam menetapkan kebijakan jaminan pensiun, karena program ini relatif baru, dan berdasarkan pengalaman di negara-negara Eropa, memicu terjadinya krisis ekonomi.

Kedua, membangun tata kelola jaminan ketenagakerjaan yang bersih, transparan, dan akuntabel, mengingat jumlah dana kelolaan yang nantinya terkumpul di BPJS Ketenagakerjaan cukup besar.

84 85

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2013 yang dirilis Transparency International (TI) menempatkan Indonesia di jajaran bawah. Indonesia masih berada dalam deretan negara bermasalah dengan korupsi. Peringkat Indonesia masih relatif rendah, berada di urutan 114 dari 177 negara dengan skor 32.

Skor ini menunjukkan bahwa dunia masih menilai korupsi di Indonesia cenderung menyebar, dilakukan oleh pejabat berbagai tingkat, dan menjalar dari pusat sampai daerah. Korupsi yang dilakukan orang-orang yang menggunakan kedudukan publiknya untuk peningkatan kemakmuran pribadi.

Tidak dapat dipungkiri, korupsi telah menjamur di Indonesia. Negara ini masih berada dalam gerbong negara-negara terkorup di dunia. Barangkali hal ini disebabkan sikap bangsa Indonesia yang lunak terhadap korupsi dan perilaku menyimpang lainnya.

Nurcholish Madjid, dalam bukunya Indonesia Kita (2003), mengutip Karl Gunnar Myrdal, menulis bahwa Myrdal sudah lama mengendus kecenderungan lembeknya kedirian kita sebagai sebuah bangsa. Karl Gunnar Myrdal menilai negara kita sebagai soft state, “negara lunak”, yakni negara yang pemerintah dan warganya tidak memiliki ketegaran moral yang jelas, khususnya moral sosial dan politik. Bangsa ini umumnya mengidap kelembekan (leniency) dan sikap serba memudahkan (easy going), sehingga tidak memiliki kepekaan yang cukup terhadap masalah penyelewengan dan kejahatan seperti korupsi, lebih-lebih korupsi dalam bentuk benturan kepentingan (conflict of interest).

Korupsi menyebabkan bangsa Indonesia tertinggal dari bangsa-bangsa lain, baik dari sisi ekonomi, sosial, dan politik. Louis Kraar, seorang peneliti negara-negara industri baru di Asia Timur, pada tahun 1988 bahkan telah meramalkan bahwa Indonesia dalam jangka waktu 20 tahun akan menjadi halaman belakang (back yard) Asia Timur, ditinggalkan oleh negara-negara tetangganya yang berkembang menjadi negara-negara maju. Sebabnya ialah etos kerja yang lembek dan korupsi yang gawat (lousy work ethics and serious corruption).

Nilai-nilai kebangsaan mulai terjungkirbalikkan oleh prinsip “tujuan menghalalkan segala cara” (the end justifies the means), yang pernah dianjurkan Niccolo Macchiaveli. Seperti kita tahu, ajaran ini menganjurkan bahwa keberhasilan mencapai tujuan adalah yang

terpenting, sehingga cara apa pun dapat digunakan untuk meraih tujuan, meski melanggar hukum dan norma-norma moralitas.

Dengan metoda berpikir dan bertindak bak anjuran Macchiaveli, kekuasaan berubah bengis. Kekuasaan menjadi alat yang ampuh menggapai keinginan pribadi. Maka, lahirlah pedoman: kekuasaan untuk kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan dan jabatan dilihat sebagai kumpulan kemudahan dan kenikmatan. Kekuasaan dan jabatan seyogianya adalah perangkat pencapaian kemakmuran orang banyak. Terkadang kekuasaan membutakan orang yang mendudukinya, hingga dia melupakan hak-hak orang lain, terutama hak rakyat dari akar rumput.

Gendang pemberantasan korupsi harus dipukul lebih keras lagi.

Ada dua pendekatan dalam pemberantasan korupsi. Pertama, memusatkan perhatian pada pemerintah. Kedua, berpusat pada masyarakat.

Pada pendekatan pertama, subyek utama pemberantasan korupsi adalah struktur pemerintahan dan kebijakannya. Pendekatan ini mendesak adanya kebijakan publik yang berorientasi keadilan sosial-transparan-akuntabel, penindakan terhadap para koruptor, dan perbaikan sistem administrasi instansi publik.

Sementara, pada pendekatan kedua, prioritas utama adalah perubahan sosial. Pendekatan ini berupa penguatan kesadaran masyarakat. Sebuah upaya membentuk pemahaman masyarakat bahwa korupsi telah menyaplok hak mereka untuk hidup sejahtera.

Upaya pemberantasan korupsi, selama ini, lebih dominan pada pendekatan pertama. Lebih terfokus pada perubahan di tingkat elite. Belum banyak melirik pendekatan kedua: membentuk kesadaran sosial, membangun rekognisi publik. Padahal perilaku korupsi pada akhirnya berdampak besar pada masyarakat. Karena itu, tumbuhnya kesadaran masyarakat akan menciptakan masyarakat yang mampu mendesak pemerintah untuk menciptakan iklim sosial, ekonomi, dan politik yang bebas dari perilaku korupsi. Tentu saja kedua pendekatan ini harus berjalan beriringan. Tidak ada satu pendekatan yang lebih unggul ketimbang lainnya.

Penutup

“BANGSA INDONESIA mengharapkan hadirnya

PRESIDEN yang pada dirinya tertanam

KEPENTINGAN RAKYAT.”