buku panduan perda epistema 151215-edit...
TRANSCRIPT
ADATDI TANGAN
PEMERINTAH DAERAH
ADAT DI TANGAN PEMERINTAH DAERAHPANDUAN PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH UNTUK
PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT
Myrna A. Safitri
Luluk Uliyah
Epistema Institute
2015
Adat di tangan Pemerintah Daerah: Panduan penyusunan produk hukum daerah untukpengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat/ Myrna A. Safitri dan Luluk Uliyah-Ed.rev- Jakarta: Epistema Institute, 2015.
viii, 154 hlm: ill. 16,7 x 23 cm
ISBN: 978-602-1304-03-7
Adat di tangan Pemerintah Daerah: Panduan penyusunan produk hukum daerah untukpengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat
© 2015 Epistema Institute
Penulis:
Myrna A. Safitri
Luluk Uliyah
Foto sampul koleksi Luluk Uliyah
Foto-foto isi koleksi Andi Sandhi, Luluk Uliyah dan Myrna A. Safitri
Pracetak: Andi Sandhi
Desain sampul: Doddy Suhartono
Penerbit:
Epistema InstituteJalan Jati Padang Raya No. 25Jakarta 12540Telepon : 021-78832167E-mail : [email protected] : www.epistema.or.id
Edisi Revisi: 2015
Buku panduan ini disusun dengan dukungan dari Rakyat Amerika melalu BadanPembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi buku ini merupakan tanggungjawabEpistema dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.
Epistema adalah mitra USAID/Program Representasi; program tata kelola pemerintahan yangbaik (good governance) berdurasi lima tahun dari USAID. ProRep bertujuan untuk memperbaikirepresentasi di Indonesia dengan meningkatkan inklusifitas and efektivitas dari kelompok daninstitusi yang mengaspirasikan kepentingan publik kepada pemerintah melalui perbaikantransparansi dan efektivitas proses legislasi. ProRep dilaksanakan oleh ChemonicsInternational, bekerja sama dengan Urban Institute, Social Impact dan Kemitraan.
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR vii
1. PENDAHULUAN 1
2. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 35/PUU-X/2012 7
3. SIAPA MASYARAKAT HUKUM ADAT 17
4. KERANGKA HUKUM 39
5. KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB
PEMERINTAH DAERAH 67
6. PRODUK HUKUM DAERAH UNTUK
PENGAKUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT 77
7. PENUTUP 89
REFERENSI 91
LAMPIRAN-LAMPIRAN CONTOH PERATURAN DAERAH DAN
KEPUTUSAN KEPALA DAERAH 93
vii
KATA PENGANTARBuku ini adalah revisi dari buku yang telah kami terbitkan pada Desember2014. Edisi pertama buku ini diterbitkan tepat 585 hari setelah dibacakannyaPutusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-X/2012. Perubahan besardalam konsep hukum, kebijakan dan arah gerakan sosial untuk pengakuan,penghormatan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Hukum Adat dibawaoleh Putusan MK ini. Tidak terhitung pertemuan diselenggarakan untukmembahasnya. Riset pun juga banyak dilakukan. Lalu, sejumlah peraturanperundang-undangan dibentuk oleh Pemerintah Pusat untuk menanggapiPutusan ini.
Sayangnya, keriuhan yang berlangsung di panggung nasional itu tidakberbanding lurus dengan fakta di daerah, dan di kampung-kampung. Hinggaawal Desember 2015, belum ada satupun hutan adat atau wilayahMasyarakat Hukum Adat di dalam kawasan hutan yang mendapat pengakuanPemerintah. Penghambatnya adalah ketiadaan produk hukum daerah yangtepat untuk dijadikan dasar mengklaim kembali wilayah adat tersebut.
Kami menyusun buku ini untuk menjadikan wilayah adat itu senyatanyadiakui dan membantu Pemerintah Daerah untuk mewujudkan pengakuantersebut. Apa yang dipaparkan dalam buku ini adalah hasil dari perjalananpanjang kami melakukan advokasi kebijakan yang berbasis pada riset diberbagai lokasi di Indonesia.
Kami berterima kasih kepada kolega yang telah memberikan masukan untukpenyempurnaan buku ini. Demikian pula terima kasih atas masukan dari parapihak lain dalam pelatihan penyusunan Peraturan Daerah untuk pengakuanMasyarakat Hukum Adat yang diselenggarakan oleh Epistema Institute danpelatihan lain yang diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.Kami berharap Buku ini dapat menginspirasi kerja yang lebih konkrit untukmewujudkan pengakuan hukum yang nyata bagi Masyarakat Hukum Adatdan wilayahnya.
Jakarta, 10 Desember 2015
Myrna A. Safitri dan Luluk Uliyah
1. PENDAHULUAN
Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945merupakan pengakuan dan perlindungan ataskeberadaan hutan adat dalam kesatuan denganwilayah hak ulayat suatu masyarakat hukum adat.Hal demikian merupakan konsekuensi pengakuanterhadap hukum adat sebagai “living law” yangsudah berlangsung sejak lama, dan diteruskansampai sekarang. Oleh karena itu, menempatkanhutan adat sebagai bagian dari hutan negaramerupakan pengabaian terhadap hak-hakmasyarakat hukum adat.
Kutipan di atas bersumber dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/ PUU-
X/2012. Putusan ini (selanjutnya disebut Putusan MK 35) membuat koreksimendasar terhadap konsep dan praktik penguasaan tanah di Indonesia.Mengapa demikian?
Pertama-tama marilah kita melihat terlebih dahulu UU No. 41 Tahun 1999tentang Kehutanan. Sebelum ada Putusan MK 35 ini, Pasal 1 angka 6 UUKehutanan ini menyatakan bahwa “hutan adat adalah hutan negara yangberada dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat”. Tentu saja hal inimenimbulkan ketidakpuasan dari Masyarakat Hukum Adat karena wilayahadat mereka harus menjadi bagian dari hutan negara. Setelah menunggubeberapa lama, akhirnya pada tanggal 19 Maret 2012, wakil dari AliansiMasyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dua kelompok Masyarakat HukumAdat yakni dari Kenegerian Kuntu di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau danKasepuhan Cisitu di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, mendaftarkanpermohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujianterhadap beberapa pasal dalam UU No. 41 Tahun 1999. Mahkamah Konstitusipada tanggal 16 Mei 2013 membacakan Putusan MK 35, yang salah satu amaratau putusannya menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara.
Kedua, ketika Mahkamah Konstitusi menyatakan hutan adat bukan hutannegara, pada saat bersamaan Mahkamah menyatakan bahwa hutan adatadalah bagian dari hutan hak. Dengan demikian maka Mahkamah Konstitusimeluruskan konsep penguasaan tanah di dalam kawasan hutan. Selama ini
2
Kementerian Kehutanan (sekarang menjadi Kementerian Lingkungan Hidupdan Kehutanan, KLHK) dan Kementerian/Lembaga lain termasuk PemerintahDaerah meyakini bahwa kawasan hutan itu adalah kawasan yang bebas daripenguasaan tanah oleh warga negara.
Pemahaman di atas sebenarnya adalah sebuah kesalahkaprahan.1 UU No. 41Tahun 1999 tidak menyatakan demikian. UU Kehutanan ini menganutpandangan bahwa kawasan hutan adalah wilayah yang direncanakanmenjadi hutan tetap, yang di dalamnya terdapat penguasaan negara danwarga negara. Karena hal ini maka kawasan hutan itu meliputi hutan negaradan hutan hak. Hutan hak dimaksud terdiri dari hutan adat dan hutan hakperorangan atau badan hukum.
Setelah keluarnya Putusan MK 35, Pemerintah Pusat menerbitkan sejumlahperaturan perundang-undangan. Di antaranya adalah Peraturan MenteriKehutanan No. P. 62/Menhut-II/2013 yang merupakan perubahan dariPeraturan Menteri Kehutanan No. P. 44/Menhut-II/2012 tentang PengukuhanKawasan Hutan. Selain itu juga ada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan MasyarakatHukum Adat. Pada tanggal 17 Oktober 2014, dikeluarkan Peraturan BersamaMenteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum danKepala Badan Pertanahan Nasional tentang Tata Cara PenyelesaianPenguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan.2
Jauh sebelum ini, terdapat Peraturan Menteri Agraria/Kepala BadanPertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman PenyelesaianMasalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini dicabut denganPeraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan PertanahanNasional No. 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atasTanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang berada dalam kawasantertentu. Kemudian, beberapa peraturan perundang-undangan nasional lainjuga memerintahkan pengaturan dan penetapan masyarakat hukum adat
1 Salah kaprah adalah kesalahan yang sudah umum dilakukan sehingga banyak orang
tidak lagi merasakannya sebagai sebuah kesalahan (www.kbbi.web.id).
2 Peraturan Nomor 79 Tahun 2014, Nomor PB.3/Menhut-II/2014, Nomor
17/PRT/M/2014, Nomor 8/SKB/X/2014.
melalui produk hukum daerah. UU No. 23 Tahun 2014 tentang PemerintahanDaerah, misalnya memberikan mandat kepada Pemerintah Provinsi danKabupaten/Kota untuk menetapkan tanah ulayat.
Jelaslah, Pemerintah Daerah menjadi ujung tombak penting untukimplementasi Putusan MK 35. Namun demikian, banyak Pemerintah Daerahragu terhadap kewenangan ini. Sementara itu, sejumlah peraturan daerahyang ada di berbagai kabupaten pada umumnya bersifat pengaturan danbukan penetapan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan wilayahnya.Padahal, KLHK berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 meminta adanyaperaturan daerah yang bersifat penetapan sebagai syarat pengakuan hutanadat.
3
Untuk mendorong percepatan implementasi Putusan MK 35, makapembentukan produk hukum daerah yang baik dan tepat sangat diperlukan.Buku ini membantu eksekutif dan legislatif di daerah untuk menyusunproduk hukum mengenai pengakuan Masyarakat Hukum Adat, hak-hak sertawilayahnya. Bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan? Bagaimanaformat produk hukum yang benar? Bagaimana materi muatan yang tepat
sesuai dengan keragaman kondisi Masyarakat Hukum Adat di daerah dantidak bertentangan dengan produk hukum nasional?
Kami membagi buku panduan ini ke dalam pokok-pokok bahasan berikut.Setelah bagian pendahuluan, kita masuk ke bagian kedua yang menjelaskansecara ringkas mengenai Putusan MK No. 35/PUU-X/2012. Kemudiandilanjutkan dengan bagian ketiga dimana kita akan menemukanpembahasan mengenai definisi dan konsep Masyarakat Hukum Adat, baikyang terdapat dalam peraturan perundang-undangan ataupun pendapatpara ahli. Pada bagian keempat dibahas mengenai kerangka hukum untukmenyusun produk hukum daerah. Di dalamnya dibahas peraturanperundang-undangan nasional, rancangan undang-undang mengenaiMasyarakat Hukum Adat, beberapa putusan Mahkamah Konstitusi daninstrumen perjanjian internasional mengenai Masyarakat Hukum Adat, baikyang sudah atau belum disetujui atau diadopsi oleh Pemerintah Indonesia.Bagian kelima membahas kewenangan dan tanggung jawab PemerintahDaerah. Bagian keenam menjelaskan bentuk produk hukum daerah yangdapat digunakan, langkah-langkah penyusunan dan contoh formatnya. Bukuini diakhiri dengan bagian penutup yang mengikhtisarkan pokok-pokokbahasan sebelumnya.
Buku ini membantu eksekutif dan legislatif di daerah untuk
menyusun produk hukum yang tepat dan benar untuk pengakuan
Masyarakat Hukum Adat. Bagaimana langkah-langkah yang harus
dilakukan? Bagaimana format produk hukum yang benar? Bagaimana
materi muatan yang tepat sesuai dengan keragaman kondisi Masyarakat
Hukum Adat di daerah dan tidak bertentangan dengan produk hukum
nasional?
4
7
2. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
No. 35/PUU-X/20123
Putusan MK 35 yang dibacakan pada 16 Mei 2013
merupakan tonggak penting dari perjuanganpanjang Masyarakat Hukum Adat dan kelompokmasyarakat sipil pendukungnya untukmengoreksi kekeliruan UU No. 41 Tahun 1999tentang Kehutanan. Kekeliruan dimaksud secarakhusus berkaitan dengan konsep, kebijakan danpraktik penguasaan tanah dan hutan diIndonesia.
Pasal 1 angka 6 dan sejumlah pasal lain dalam UU No. 41 Tahun 1999merumuskan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara. Putusan MK 35menyatakan ketentuan ini diskriminatif terhadap kesatuan MasyarakatHukum Adat. Apa saja hal penting yang terdapat dalam Putusan MK 35 itu,bagaimana tanggapan Pemerintah Pusat dan apa yang penting dilakukanoleh Pemerintah Daerah? Kita akan menemukan jawabannya dalampenjelasan berikut.
Membedah Pokok-pokok Pendapat MK
Pokok-pokok pendapat MK terkait dengan Masyarakat Hukum Adat danhutan adat sebagaimana terdapat pada halaman 166-188 Putusan MK 35adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat Hukum Adat adalah subjek hukum.
Secara jelas MK menyatakan bahwa Masyarakat Hukum Adat adalahpenyandang hak dan kewajiban. Dengan kata lain adalah subjek hukum.
3 Disarikan dari Safitri, M.A., 2014, Kembali ke daerah: Sebuah pendekatan realistik untuk
pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, makalah disampaikan
dalam diskusi memperingati setahun Putusan MK No. 35/PUU-X/2012,
diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan sejumlah
organisasi masyarakat sipil di Jakarta, 13 Mei 2014.
Putusan MK No.
35/PUU-X/2012 telah
mengoreksi kekeliruan
konsep hukum,
kebijakan dan praktik
penguasaan tanah di
Indonesia.
8
Oleh karena itu maka Masyarakat Hukum Adat seharusnya mempunyaikedudukan yang sama dengan subjek hukum lain dalam penguasaantanah. Subjek hukum lain itu misalnya orang perorangan atau badanhukum.
2. UU No. 41 Tahun 1999 telah bersikap diskriminatif terhadap MasyarakatHukum Adat sebagai subjek hukum dengan menempatkan hutan adatsebagai bagian dari hutan negara. MK berpendapat ketentuan-ketentuanterkait hal ini dalam UU No. 41 Tahun 1999 mencerminkan ketidakpastianhukum dan anti keadilan.
3. Terjadi pengabaian negara terhadap Masyarakat Hukum Adat.
Sejalan dengan pokok pikiran MK mengenai diskriminasi yang dilakukanoleh UU No. 41 Tahun 1999 kepada Masyarakat Hukum Adat, MKmenegaskan lagi bahwa penempatan hutan adat sebagai bagian darihutan negara adalah pengabaian hak-hak Masyarakat Hukum Adat.
4. Pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hutan adat dalamrangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.
Dengan pandangan ini maka MK tidak bermaksud mendukung fahamantroposentrisme dalam pengelolaan hutan adat. Faham inimenempatkan kepentingan manusia menjadi yang utama dalampemanfaatan tanah dan sumber daya alam. MK memandang bahwa
9
aspek kelestarian hutan tetap menjadi pertimbangan dalam pengelolaanhutan adat.
5. Penguasaan hutan terbagi atas hutan negara dan hutan hak; Di dalamhutan hak terdapat hutan adat dan hutan perorangan/ badan hukum.
Dalam hal ini, MK memberikan kejelasan terhadap konsep penguasaanhutan. Memasukkan hutan adat ke dalam hutan negara merupakanbentuk tumpang tindih penguasaan hutan. MK menyatakan bahwapenguasaan tanah/hutan ada pada perorangan, Masyarakat Hukum Adat(secara kolektif dengan hak ulayat) dan negara. Wewenang negaradibatasi oleh wewenang Masyarakat Hukum Adat. WewenangMasyarakat Hukum Adat dibatasi oleh wewenang perorangan atas tanah.
6. Hutan adat adalah salah satu fungsi wilayah hak ulayat MasyarakatHukum Adat; di wilayah tersebut terdapat fungsi-fungsi penggunaanlahan lainnya.
7. Masyarakat Hukum Adat berkembang secara evolutif.
MK mengikuti pendapat Émile Durkheim pada abad ke 19 mengenaiperkembangan masyarakat. Masyarakat menurut Durkheim (1997)berkembang dari solidaritas mekanis menjadi masyarakat dengansolidaritas organis. Teori sosiologi klasik yang digunakan MK ini mungkintidak sesuai dengan realitas yang ada sekarang. Pemisahan secara tajamantara masyarakat solidaritas mekanis dan solidaritas organis tidak lagidapat ditemukan, demikian pula pada Masyarakat Hukum Adat. Karenaitu, definisi yang realistik terhadap Masyarakat Hukum Adat perludibangun bersama sesuai dengan perkembangan terkini.
8. Hak Masyarakat Hukum Adat untuk menentukan nasib sendiri hanyamungkin dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan RepublikIndonesia. Tanpa batasan ini maka MK khawatir pelaksanaan hakmenentukan nasib sendiri akan menimbulkan ancaman separatis.
9. Peraturan Daerah (Perda) merupakan pendelegasian wewenangmengatur mengenai Masyarakat Hukum Adat dari Pemerintah Pusat.Pendelegasian ini adalah upaya menjalankan Pasal 18B ayat (2) UUD1945. Pengaturan mengenai Masyarakat Hukum Adat sejatinya dilakukandalam undang-undang, namun untuk menghindari kekosongan hukum
10
maka MK berpendapat bahwa pengaturan oleh Pemerintah Daerahdibenarkan.
Respon Pemerintah Pusat terkait Putusan MK 35
Bagian ini memuat sejumlah pernyataan politik dan kebijakan yangdikeluarkan Pemerintah Pusat setelah adanya Putusan MK 35. Pemaparansetiap respon dilakukan secara kronologis.
1. Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada pembukaanInternational Workshop on Tropical Forest Alliance 2020, 20 Juni 2013.
Setelah panjang lebar menjelaskanstrategi pembangunan yang meliputipro-growth, pro-environment, pro-poordan pro-job, Presiden SBY secarakhusus mengomentari Putusan MK 35dalam kaitan dengan komitmenpemerintahannya untuk menjalankanpembangunan berkelanjutan. Beliaumenyatakan:
“…recently the Indonesian Constitutcustomary forest, or ‘hutan adat’, is noThis decision marks an important stepland and resources rights of adat comcommunities. This will also enabsustainable growth with equity in its for
I am personally committed to initiatinrecognizes the collective ownership oThis is a critical first step in the imConstitutional Court’s decision.”
2. Surat Edaran Menteri Kehutanan No. SE.1
Diterbitkan tepat dua bulan setelah Putuditujukan kepada Gubernur, Bupati/Wamembidangi urusan kehutanan. Surat Eamar putusan dan pendapat MKkonstitusionalitas pasal-pasal dalam UU N
Menurut Mahkamah Konstitusi
Perda merupakan pendelegasian wewenang
mengatur mengenai Masyarakat Hukum
Adat dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah.
ional Court has decided thatt part of the state forest zone.towards a full recognition of
munity and forest-dependentle Indonesia’s shift towardests and peatlands sector.
g a process that registers andf adat territories in Indonesia.plementation process of the
/Menhut-II/2013.
san MK 35, Surat Edaran (SE) inilikota dan Kepada Dinas yangdaran ini menjelaskan kembali
dalam perkara pengujiano. 41 Tahun 1999 terkait hutan
11
adat dan Masyarakat Hukum Adat. Namun, secara eksplisit SE inimenegaskan bahwa hutan adat itu harus ditetapkan oleh MenteriKehutanan, dengan syarat keberadaan Masyarakat Hukum Adat terlebihdahulu ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sebelum penetapan iniperlu dilakukan penelitian oleh Tim sebagaimana diatur dalam Pasal 67UU No. 41 Tahun 1999 dan penjelasannya.
3. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 62/Menhut-II/2013 tentangPerubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 44/ Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.
Peraturan ini secara eksplisit menyatakan tujuannya untuk menjalankanPutusan MK 35. Masyarakat Hukum Adat didefinisikan oleh PeraturanMenteri Kehutanan (Permenhut) ini sebagai sekelompok orang yangterikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatupersekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasarketurunan. Sedangkan wilayah Masyarakat Hukum Adat adalah tempatberlangsungnya hidup dan menyelenggarakan kehidupan MasyarakatHukum Adat yang bersangkutan yang letak dan batasnya jelas sertadikukuhkan dengan Peraturan Daerah.
Hal kontroversial dari Permenhut ini adalah Pasal 24A yang menyatakanpada ayat (3) bahwa jika sebagian atau seluruh wilayah MasyarakatHukum Adat berada dalam kawasan hutan maka wilayah tersebut akandikeluarkan dari kawasan hutan. Kemudian Peraturan ini jugamenyatakan: “Terhadap wilayah Masyarakat Hukum Adat yang beradadalam kawasan hutan sesuai Peraturan Daerah Provinsi atauKabupaten/Kota, maka wilayah Masyarakat Hukum Adat dikeluarkankeberadaannya dari kawasan hutan” (Pasal 57 ayat (2)).
Dengan menyebutkan bahwa wilayah adat yang berada dalam kawasanhutan dikeluarkan dari kawasan hutan maka Peraturan Menteri ini telahbertentangan dengan Putusan MK 35. Putusan MK tidak menyatakanbahwa kawasan hutan hanya berupa hutan negara. Di dalamnya terdapathutan hak yang terdiri dari hutan adat dan hutan perorangan/badanhukum.
Persoalan lain dari Permenhut ini adalah sebagaimana disampaikan olehAliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yakni pengingkaran terhadapstatus Masyarakat Hukum Adat sebagai subjek hukum. Permenhut ini
12
membuat definisi mengenai hak-hak pihak ketiga dan inventarisasi danidentifikasi hak-hak pihak ketiga tersebut, tetapi tidak menyebutkan hakMasyarakat Hukum Adat.4
4. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 522/8900/SJ tanggal 20Desember 2013 tentang Pemetaan Sosial Masyarakat Hukum Adat5.
SE ini juga menyatakan diri sebagai pelaksana Putusan MK 35.Menariknya, dengan surat ini Menteri Dalam Negeri mengusulkan definisibaru mengenai tanah ulayat. Tanah adat—yang dipersamakan oleh SE inidengan tanah ulayat—disebutkan sebagai bidang tanah yang di atasnyaterdapat hak ulayat dari suatu Masyarakat Hukum Adat tertentu; tanahulayat termasuk tanah kerajaan, kraton maupun kesultanan (SultanGround).
Dimasukkannya tanah kerajaan ke dalam kategori tanah ulayatmempunyai implikasi serius terhadap cara pandang Menteri DalamNegeri mengenai Masyarakat Hukum Adat. SE ini secara tidak langsungmenyatakan bahwa kesultanan, kerajaan dan sebagainya itu termasuk kedalam kategori Masyarakat Hukum Adat yang memegang hak atas tanahulayat. Tentu saja hal ini meresahkan karena penjelasan Pasal 18 UUD1945 sebelum amandemen, secara tegas menyebutkan adanya duakategori berbeda mengenai pemerintahan asli di Republik Indonesia.Keduanya adalah "Zelfbesturende landschappen" dan“Volksgemeenschappen”. Masyarakat Hukum Adat termasuk ke dalamkategori yang kedua (volksgemeenschappen). Penjelasan Pasal 18 UUD1945 menyebutkan contoh volksgemeenschappen itu adalah nagari diMinangkabau, dusun dan marga di Palembang. Sementara zelfbesturendelandschappen adalah pemerintahan swapraja yaitu suatu pemerintahanpribumi yang memperoleh otonominya karena sejumlah perjanjiandengan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
4 Selengkapnya mengenai keberatan AMAN terhadap Permenhut No. P.62/ Menhut-
II/2013 lihat pada tautan ini: http://www.aman.or.id/2014/01/25/ pernyataan-sikap-
aliansi-masyarakat-adat-nusantara-aman-terhadap-peraturan-menteri-kehutanan-
republik-indonesia-nomor-p-62menhut-112013-tentang-perubahan-atas-peraturan-
menteri-kehutanan-nomor-p-4/#.U3ECR4LNcXx.
5 Bagian ini dimuat dalam Editorial Epistema April 2014, lihat www.epistema.or.id.
13
Desa Adat adalah pilihan.
Masyarakat Hukum Adat dapat memilih
apakah bentuk pemerintahannya akan
dijadikan Desa Adat atau tidak. Jika
berbentuk Dssa Adat maka Pemerintahan
Desa akan menjalankan urusan adat dan
urusan pemerintahan umum.
Di tengah upaya memperjuangkan pengakuan dan perlindunganterhadap Masyarakat Hukum Adat dan wilayah adat, dimana tanah-tanahkomunal yang disebut tanah ulayat itu berada, maka SE Mendagri ini jelassuatu langkah mundur. Surat ini bersifat kontradiktif dengan misiUndang-undang No. 5 Tahun 1960 atau Undang-undang Pokok Agraria(UUPA) untuk membentuk hukum agraria yang bersih dari anasirfeodalisme.
5. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Undang-undang ini mengatur secarakhusus mengenai Desa Adat.Penetapan Desa Adat dilakukandengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Perdebatan yang muncul terkaitUU ini adalah: apakah lahirnya UU iniakan melemahkan atau menguatkanpengakuan Masyarakat Hukum Adat?Pertanyaan ini muncul karenarumusan pasal-pasal dalam UU No. 6Tahun 2014 ini serta penjelasannyamenimbulkan banyak tafsir.
Sebagai contoh adalah Pasal 97 ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwapenetapan Desa Adat dilakukan jika memenuhi salah satu kriteria yakni“kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak tradisionalnya secaranyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yangbersifat fungsional”. Di sini kita bisa melihat bahwa kesatuan MasyarakatHukum Adat yang bersifat teritorial, genealogis, dan fungsional dapatmenjadi Desa Adat. Namun, dalam penjelasan umum UU No. 6 Tahun2014 disebutkan bahwa Desa Adat adalah sebuah kesatuan MasyarakatHukum Adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan identitasbudaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengaturdan mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul.Penjelasan UU No. 6 Tahun 2014 menyatakan tidak mengatur seluruhtipologi Masyarakat Hukum Adat. UU ini hanya mengatur kesatuanMasyarakat Hukum Adat yang merupakan gabungan antara genealogisdan teritorial.
14
Desa Adat pada prinsipnya sebuah pilihan. Masyarakat Hukum Adatdapat memilih apakah bentuk pemerintahannya akan dijadikan DesaAdat atau tidak. Pasal 106 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2014 menyatakanbahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan penugasankepada Desa Adat untuk penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat,pelaksanaan Pembangunan Desa Adat, pembinaan kemasyarakatan DesaAdat, dan pemberdayaan masyarakat Desa Adat. Meskipun disebutkanada biaya pada penugasan yang diberikan ini tetapi penugasan inisejatinya penambahan beban kerja bagi Desa Adat. Selain mengurusadat, Desa Adat juga menjalankan tugas-tugas pemerintahan desa padaumumnya.
6. Program Nasional Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adatmelalui Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan LahanGambut (REDD+).
Ditandatangani oleh sembilan Menteri dan Kepala LembagaPemerintahan/Komisi Negara dan disaksikan wakil-wakil organisasiMasyarakat Hukum Adat, Program ini bertujuan untuk menjalankandelapan agenda sebagai berikut:
(1) Mengembangkan kapasitas dan partisipasi Masyarakat Hukum Adatdalam menjalankan program dan kegiatan pemerintah.
(2) Sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkaitMasyarakat Hukum Adat.
(3) Adanya peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumpengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
(4) Penetapan Peraturan Daerah untuk Masyarakat Hukum Adat.
(5) Penyelesaian konflik.
(6) Pemetaan dan penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan danpemanfaatan tanah untuk rakyat termasuk Masyarakat Hukum Adat.
(7) Memperkuat kapasitas kelembagaan dan kewenangan berbagaipihak untuk pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adatdi tingkat Pusat dan Daerah.
(8) Mendukung pelaksanaan REDD+ sebagai upaya menjalankanpartisipasi Masyarakat Hukum Adat.
15
7. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, MenteriPekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional PeraturanNomor 79 Tahun 2014, Nomor PB. 3/Menhut-II/2014, Nomor17/PRT/M/2014, Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara PenyelesaianPenguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan.
Peraturan Bersama ini menyediakan prosedur untuk verifikasipenguasaan tanah dalam kawasan hutan, termasuk hak MasyarakatHukum Adat atas wilayah adat yang berada dalam kawasan hutan. Lebihlanjut mengenai isi Peraturan ini dapat dilihat pada bab 4.
8. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan PertanahanNasional No. 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak KomunalTanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang berada di dalamkawasan tertentu
Peraturan ini mencabut Peraturan Menteri Agraria No. 5 Tahun 1999mengenai pengakuan hak ulayat. Di dalam Peraturan Menteri inidiperkenalkan istilah baru yaitu hak komunal. Ini merupakan hak milikbersama atas tanah suatu masyarakat hukum adat atau hak milikbersama atas tanah yang diberikan kepada masyarakat yang beradadalam kawasan hutan atau perkebunan.
Bupati/walikota menetapkan hak komunal. Hak tersebut selanjutnyadidaftarkan kepada Kantor Pertanahan dan diterbitkan sertifikatnya.Sertifikat hak komunal untuk Masyarakat Hukum Adat diterbitkan atasnama anggota Masyarakat Hukum Adat atau kepala adat. Sedangkanbagi masyarakat lainnya, sertifikat itu dapat diterbitkan atas namaanggota masyarakat lain, pengurus koperasi, lembaga desa, ataupimpinan kelompok masyarakat.
9. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak.
Peraturan Menteri ini mempertegas Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 yang menjelaskan bahwa kawasan hutan terdiri darihutan Negara dan hutan hak. Dalam Peraturan ini juga dijelaskan tentangsyarat permohonan penetapan hutan hak, insentif yang diberikan kepadapemangku hutan hak dan kewenangan Pemerintah dan pemerintahdaerah dalam memenuhi hak-hak pemangku hutan hak. Peraturan inimemerintahkan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian LingkunganHidup dan Kehutanan, memfasilitasi pemerintah daerah untuk menyusunproduk hukum yang mengakui masyarakat hukum adat atau hak ulayat.
16
Demikian juga, ia mendorong pentingnya peran pemerintah daerah dankeberadaan peraturan daerah dalam mempercepat pengakuanmasyarakat hukum adat.
Peran Pemerintah Daerah
Ketujuh respon Pemerintah Pusat yang dibahas di atas menunjukan satusimpul yang sama bahwa Pemerintah Daerah dan keberadaan PeraturanDaerah (Perda) memegang peran penting dalam pelaksanaan Putusan MK 35ini. Pemerintah Pusat bahkan Mahkamah Konstitusi telah menyerahkantanggung jawab kepada Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu, bekerja didaerah, melakukan pendampingan dan pengawasan kepada PemerintahDaerah adalah hal yang tidak bisa ditunda lagi untuk melaksanakan PutusanMK 35 ini.
19
3. SIAPA MASYARAKAT HUKUM ADAT
Pada bagian sebelumnya kita telah mengetahui
bahwa pelaksanaan Putusan MK 35 sangatbergantung pada keberadaan Peraturan Daerah(Perda) untuk mengatur dan menetapkanMasyarakat Hukum Adat. Namun, klarifikasitentang siapakah komunitas yang dapatdikategorikan sebagai Masyarakat Hukum Adat disuatu daerah penting dirumuskan. Tanpa adakejelasan tentang subyek pengaturannya, makasuatu peraturan akan kehilangan
kesempurnaannya. Sayangnya, kita masih belum mempunyai kesepakatanyang jelas tentang persoalan ini. Salah satu masalah adalah beragamnyaistilah dan kriteria yang digunakan oleh peraturan perundang-undangan.
UUD 1945 menggunakan istilah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Pasal 18Bayat (2) menyebutkan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjangmasih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsipNegara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.
Selain itu terdapat pula istilah masyarakat tradisional sebagaimanadisebutkan dalam Pasal 28I ayat (3) UUD 1945: “Identitas budaya dan hakmasyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman danperadaban.” UUD 1945 tidak menjelaskan apakah istilah Kesatuan MasyarakatHukum Adat dan masyarakat tradisional itu adalah konsep yang sama atautidak. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan, istilah yangdigunakan pada umumnya adalah Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Adatatau Desa Adat.
Selengkapnya mengenai istilah, definisi dan kriteria pengakuan masyarakat(hukum) adat dalam peraturan perundang-undangan nasional dapat dilihatdalam tabel 1. Pada tabel itu kita dapat mengetahui bahwa beberapaperaturan hanya menyebutkan istilah saja namun tidak menjelaskan definisiMasyarakat Hukum Adat atau Masyarakat Adat. Contohnya adalah UU No. 5Tahun 1960 (dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria, UUPA), UU No.
Konsep Masyarakat
Hukum Adat yang khas
penting dirumuskan
karena menunjukkan
subjek pengaturan
sebuah produk hukum
daerah.
20
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 20 Tahun 2003 tentangSistem Pendidikan Nasional, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruangdan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ada pulaperaturan yang tidak menerangkan definisi tetapi menyebutkan unsur-unsurMasyarakat Hukum Adat, misalnya UU No. 41 Tahun 1999 tentangKehutanan.
Definisi Masyarakat Hukum Adat dapat kita temukan dalam UU No. 27 Tahun2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (telahdiubah dengan UU No. 1 Tahun 2014), UU No. 32 Tahun 2009 tentangPerlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No. 21 Tahun2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Selain itu ada pula Keputusan PresidenNo. 111 Tahun 1999 yang menyebutkan definisi Komunitas Adat Terpencil.
Meskipun istilah yang digunakan beragam, dalam kenyataannya yangdisebut Masyarakat Hukum Adat atau Masyarakat Adat itu merujuk padakomunitas yang sama. Dalam masyarakat pada umumnya tidak digunakanistilah Masyarakat Hukum Adat atau Masyarakat Adat, melainkan istilah yangmenunjukkan identitas lokal suatu komunitas. Misalnya, Kasepuhan, OrangRimba, Nagari Sijunjung dan sebagainya.
Tabe
l1.I
stila
h,de
finis
i,kr
iteria
dan
peng
atur
ankh
usus
Mas
yara
katH
ukum
Adat
dala
mpe
ratu
ran
peru
ndan
g-un
dang
anna
sion
al
Pera
tura
nPe
rund
ang-
unda
ngan
Isti
lah
yang
digu
naka
nD
efin
isi
Krit
eria
peng
akua
nM
HA
oleh
nega
ra/p
enga
tura
nkh
usus
MH
A
UU
D19
45Ke
satu
anM
asya
raka
tH
ukum
Ada
tN
egar
am
enga
kuid
anm
engh
orm
atik
esat
uan-
kesa
tuan
Mas
yara
katH
ukum
Ada
tbes
erta
hak-
hak
trad
isio
naln
yase
panj
ang
mas
ihhi
dup
dan
sesu
aide
ngan
perk
emba
ngan
mas
ya-
raka
tdan
prin
sip
Neg
ara
Kesa
tuan
Repu
blik
Indo
nesi
a,ya
ngdi
atur
dala
mU
ndan
g-U
ndan
g.
Mas
yara
kat
Trad
isio
nal
Iden
titas
buda
yada
nha
km
asya
raka
ttr
adis
io-
nald
ihor
mat
isel
aras
deng
anpe
rkem
bang
anza
man
dan
pera
daba
n.
Pera
tura
npe
rund
ang-
unda
ngan
agra
ria/
sum
berd
aya
alam
UU
No.
5Ta
hun
1960
tent
ang
Pera
tura
nD
asar
Poko
k-Po
kok
Agr
aria
(UU
PA)
Mas
yara
katH
ukum
Ada
tH
akm
engu
asai
Neg
ara
atas
bum
i,ai
rda
nke
kaya
anal
amya
ngte
rkan
dung
dida
lam
nya
pela
ksan
aann
yada
pat
diku
asak
anke
pada
mas
yara
kat-
mas
yara
kat
huku
mad
at,
seke
dar
dipe
rluk
anda
nti
dak
bert
enta
ngan
deng
anke
pent
inga
nna
sion
al,
men
urut
kete
ntua
n-ke
tent
uan
Pera
tura
nPe
mer
inta
h.
Hak
Ula
yat
Pela
ksan
aan
hak
ulay
atda
nha
k-ha
kya
ngse
rupa
ituda
rim
asya
raka
t-m
asya
raka
thu
kum
adat
,sep
anja
ngm
enur
utke
nyat
aann
yam
asih
ada,
haru
sse
dem
ikia
nru
pase
hing
gase
suai
deng
anke
pent
inga
nna
sion
alda
nN
egar
a,ya
ngbe
rdas
arka
nat
aspe
rsat
uan
bang
sase
rta
tida
kbo
leh
bert
enta
ngan
deng
anU
ndan
g-un
dang
dan
pera
tura
n-pe
ratu
ran
lain
yang
lebi
hti
nggi
.
UU
No.
41Ta
hun
1999
tent
ang
Kehu
tana
n
Hut
anA
dat
Hut
anad
atad
alah
huta
nya
ngbe
rada
dala
mw
ilaya
hM
asya
raka
tHuk
umA
dat.
Mas
yara
katH
ukum
Ada
tM
asya
raka
thuk
umad
atdi
akui
kebe
rada
anny
a,jik
am
enur
utke
nyat
aann
yam
emen
uhi
unsu
ran
tara
lain
:
(1)
Mas
yara
katn
yam
asih
dala
mbe
ntuk
pagu
-yu
ban
(rech
tsge
mee
nsch
ap);
(2)
Ada
kele
mba
gaan
dala
mbe
ntuk
pera
ngka
tpe
ngua
saad
atny
a;
(3)
Ada
wila
yah
huku
mad
atya
ngje
las;
(4)
Ada
pran
ata
dan
pera
ngka
thu
kum
,kh
u-su
snya
pera
dila
nad
at,y
ang
mas
ihdi
taat
i;da
n
(5)
Mas
ihm
enga
daka
npe
mun
guta
nha
sil
huta
ndi
wila
yah
huta
nse
kita
rnya
untu
k
pem
enuh
anke
butu
han
hidu
pse
hari-
hari.
UU
No.
7Ta
hun
2004
tent
ang
Sum
berD
aya
Air
Mas
yara
katH
ukum
Ada
tdan
Hak
Ula
yat
Peng
uasa
ansu
mbe
rda
yaai
rdi
sele
ngga
raka
nol
ehPe
mer
inta
hda
n/at
aupe
mer
inta
hda
erah
deng
ante
tap
men
gaku
ihak
ulay
atm
asya
raka
thu
kum
adat
sete
mpa
tda
nha
kya
ngse
rupa
deng
anitu
,se
panj
ang
tida
kbe
rten
tang
ande
ngan
kepe
ntin
gan
nasi
onal
dan
pera
tura
npe
rund
ang-
unda
ngan
.
Hak
ulay
atm
asya
raka
thu
kum
adat
atas
sum
ber
daya
air
teta
pdi
akui
sepa
njan
gKe
nyat
aann
yam
asih
ada
dan
tela
hdi
kuku
h-ka
nde
ngan
pera
tura
nda
erah
sete
mpa
t.
UU
No.
39Ta
hun
2014
tent
ang
Perk
ebun
an
Mas
yara
katH
ukum
Ada
tM
asya
raka
tH
ukum
Ada
tad
alah
seke
lom
pok
oran
gya
ngse
cara
turu
n-te
mur
unbe
rmuk
imdi
wila
yah
geog
rafi
tert
entu
diN
egar
aKe
satu
anRe
publ
ikIn
done
sia
kare
naik
atan
pada
asal
usul
lelu
hur,
hubu
ngan
yang
kuat
deng
anta
nah,
wila
yah,
sum
ber
daya
alam
,ya
ngm
emili
kipr
anat
ape
mer
inta
han
adat
dan
tata
nan
huku
mad
atdi
wila
yah
adat
nya.
Mas
yara
kat
Huk
umA
dat
dite
tapk
anse
suai
deng
anpe
ratu
ran
peru
ndan
g-un
dang
an.
UU
No.
1Ta
hun
2014
tent
ang
Peru
baha
nA
tas
UU
Nom
or27
Mas
yara
katH
ukum
Ada
tM
asya
raka
tH
ukum
Ada
tad
alah
seke
lom
pok
oran
gya
ngse
cara
turu
n-te
mur
unbe
rmuk
imdi
wila
yah
geog
rafis
tert
entu
diN
egar
aKe
satu
anRe
publ
ikIn
done
sia
kare
naad
anya
ikat
anpa
daas
alus
ulle
-
Tahu
n20
07te
ntan
gPe
ngel
olaa
nW
ilaya
hPe
sisi
rdan
Pula
u-pu
lau
Keci
l
luhu
r,hu
bung
anya
ngku
atde
ngan
tana
h,w
ilaya
h,su
mbe
rda
yaal
am,m
emili
kipr
anat
ape
mer
inta
han
adat
,dan
tata
nan
huku
mad
atdi
wila
yah
adat
nya
sesu
aide
ngan
kete
ntua
npe
ratu
ran
peru
ndan
g-un
dang
an.
UU
No.
32Ta
hun
2009
tent
ang
Perli
ndun
gan
dan
Peng
elol
aan
Ling
kung
anH
idup
Mas
yara
katH
ukum
Ada
tM
asya
raka
tH
ukum
Ada
tad
alah
kelo
mpo
km
asya
-ra
kat
yang
seca
ratu
run
tem
urun
berm
ukim
diw
ilaya
hge
ogra
fiste
rten
tuka
rena
adan
yaik
atan
pada
asal
usul
lelu
hur,
adan
yahu
bung
anya
ngku
atde
ngan
lingk
unga
nhi
dup,
sert
aad
anya
sist
emni
lai
yang
men
entu
kan
pran
ata
ekon
omi,
polit
ik,s
osia
l,da
nhu
kum
.
Pera
tura
nM
ente
riA
grar
ia/K
epal
aBP
NN
o.5
Tahu
n19
99te
ntan
gPe
dom
anPe
nyel
esai
anPe
rmas
alah
anH
akU
laya
tMas
yara
kat
Huk
umA
dat
Mas
yara
katH
ukum
Ada
tM
asya
raka
tH
ukum
Ada
tad
alah
seke
lom
pok
oran
gya
ngte
rikat
oleh
tata
nan
huku
mad
atny
ase
baga
iw
arga
bers
ama
suat
upe
rsek
utua
nhu
kum
kare
nake
sam
aan
tem
pat
tingg
alat
aupu
nat
asda
sar
ke-
turu
nan.
Hak
Ula
yat
Hak
ulay
atda
nya
ngse
rupa
ituda
rim
asya
raka
thu
kum
adat
adal
ahke
wen
anga
nya
ngm
enur
uthu
kum
adat
dipu
nyai
oleh
mas
yara
kat
huku
mad
atte
rten
tuat
asw
ilaya
hte
rten
tuya
ngm
erup
akan
lingk
unga
nhi
dup
para
war
gany
aun
tuk
men
gam
bil
man
faat
dari
sum
ber
daya
alam
,te
rmas
ukta
nah,
dala
mw
ilaya
hte
rseb
ut,
bagi
kela
ngsu
ngan
hidu
pda
nke
hidu
pann
ya,
yang
timbu
lda
rihu
bung
anse
cara
lahi
riah
dan
batin
iah,
turu
n-m
enur
unda
ntid
akte
rput
usan
tara
mas
yara
kat
huku
mad
atte
r-
Hak
ulay
atdi
akui
jika:
(1)
Terd
apat
seke
lom
pok
oran
gya
ngm
asih
mer
asa
terik
atol
ehta
tana
nhu
kum
adat
nya
seba
gaiw
arga
bers
ama
suat
upe
rsek
utua
nhu
kum
tert
entu
,ya
ngm
enga
kui
dan
men
erap
kan
kete
ntua
n-ke
tent
uan
pers
ekut
uan
ters
ebut
dala
mke
hidu
pann
yase
hari-
hari;
(2)
Terd
apat
tana
hul
ayat
tert
entu
yang
sebu
tden
gan
wila
yah
yang
bers
angk
utan
.m
enja
dilin
gkun
gan
hidu
ppa
raw
arga
pers
ekut
uan
huku
mte
rseb
utda
nte
mpa
t-ny
am
enga
mbi
lkep
erlu
anhi
dupn
yase
hari-
hari;
dan
(3)
Terd
apat
tata
nan
huku
mad
atm
enge
nai
peng
urus
an,p
engu
asaa
nda
npe
nggu
naan
tana
hul
ayat
yang
berla
kuda
ndi
taat
iole
hpa
raw
arga
pers
ekut
uan
huku
mte
rseb
ut.
Pera
tura
nBe
rsam
aM
ente
riD
alam
Neg
eri,
Men
teri
Kehu
tana
n,M
ente
riPe
kerja
aan
Um
umda
nKe
pala
BPN
Pera
tura
nN
omor
79Ta
hun
2014
,N
omor
PB.3
/Men
hut-
II/20
14,N
omor
17/P
RT/M
/201
4,N
omor
8/SK
B/X/
2014
.
Mas
yara
katH
ukum
Ada
tPe
ngak
uan
hak
mas
yara
kat
huku
mad
atad
alah
peng
akua
npe
mer
inta
hte
rhad
apke
bera
daan
hak-
hak
mas
yara
kat
huku
mad
atse
panj
ang
pada
keny
ataa
nnya
mas
ihad
a.
Peng
akua
nha
km
asya
raka
thu
kum
adat
dila
ksan
akan
sesu
aide
ngan
kete
ntua
npe
ratu
ran
peru
ndan
g-un
dang
an.
Hak
Ula
yat
Hak
ulay
atda
nya
ngse
rupa
ituda
rim
asya
raka
thu
kum
adat
adal
ahke
wen
anga
nya
ngm
enur
uthu
kum
adat
dipu
nyai
oleh
mas
yara
kat
huku
mad
atte
rten
tuat
asw
ilaya
hte
rten
tuya
ngm
erup
akan
lingk
unga
nhi
dup
para
war
gany
aun
tuk
men
gam
bil
man
faat
dari
sum
ber
daya
alam
,te
rmas
ukta
nah,
dala
mw
ilaya
hte
rseb
ut,
bagi
kela
ngsu
ngan
hidu
pda
nke
hidu
pann
ya,
yang
timbu
lda
rihu
bung
anse
cara
lahi
riah
dan
batin
iah,
turu
n-m
enur
unda
ntid
akte
rput
usan
tara
mas
yara
kat
huku
mad
atte
rseb
utde
ngan
wila
yah
yang
bers
angk
utan
.
Oto
nom
idae
rah
dan
desa
UU
23Ta
hun
2014
tent
ang
Pem
erin
taha
nD
aera
h
Des
aA
dat
Des
aad
atat
auya
ngdi
sebu
tde
ngan
nam
ala
in,
adal
ahke
satu
anm
asya
raka
thu
kum
yang
mem
iliki
bata
sw
ilaya
hya
ngbe
rwen
ang
untu
km
enga
tur
dan
men
guru
sU
rusa
nPe
mer
inta
han,
kepe
ntin
g-an
mas
yara
kats
etem
patb
erda
sark
anpr
akar
sam
as-
yara
kat,
hak
asal
usul
,dan
/ata
uha
ktr
adis
iona
lyan
gdi
akui
dan
diho
rmat
ida
lam
sist
empe
mer
inta
han
Neg
ara
Kesa
tuan
Repu
blik
Indo
nesi
a.
UU
No.
6Ta
hun
2014
Des
aA
dat
Des
aA
dat
atau
yang
dise
but
deng
anna
ma
lain
adal
ahke
satu
anm
asya
raka
thu
kum
yang
mem
iliki
bata
sw
ilaya
hya
ngbe
rwen
ang
untu
km
enga
turd
anm
engu
rus
urus
anpe
mer
inta
han,
kepe
ntin
gan
mas
-ya
raka
tse
tem
pat
berd
asar
kan
prak
arsa
mas
yara
kat,
hak
asal
usul
,dan
/ata
uha
ktr
adis
iona
lyan
gdi
akui
dan
diho
rmat
idal
amsy
stem
pem
erin
taha
nN
egar
aKe
satu
anRe
publ
ikIn
done
sia.
Pasa
l97
ayat
(1)m
enye
butk
anpe
neta
pan
desa
adat
haru
sm
emen
uhis
yara
t:
(1)
Kesa
tuan
mas
yara
kat
huku
mad
atbe
sert
aha
ktr
adis
iona
lnya
seca
rany
ata
mas
ihhi
dup,
baik
yang
bers
ifat
terit
oria
l,ge
nea-
logi
s,m
aupu
nya
ngbe
rsifa
tfun
gsio
nal;
(2)
Kesa
tuan
mas
yara
kat
huku
mad
atbe
sert
aha
ktr
adis
iona
lnya
dipa
ndan
gse
suai
deng
anpe
rkem
bang
anm
asya
raka
t;da
n
(3)
Kesa
tuan
mas
yara
kat
huku
mad
atbe
sert
aha
ktr
adis
iona
lnya
sesu
aide
ngan
prin
sip
Neg
ara
Kesa
tuan
Repu
blik
Indo
nesi
a.
Kesa
tuan
Mas
yara
kat
Huk
umAd
atbe
sert
aha
ktr
adis
iona
lnya
dian
ggap
mas
ihhi
dup
jika
mem
iliki
wila
yah
dan
palin
gku
rang
me-
men
uhi
sala
hsa
tuat
auga
bung
anun
sur
adan
ya:
(1)
Mas
yara
kat
yang
war
gany
am
emili
kipe
-ra
saan
bers
ama
dala
mke
lom
pok;
(2)
Pran
ata
pem
erin
taha
nad
at;
(3)
Har
take
kaya
anda
n/at
aube
nda
adat
;dan
/at
au
(4)
Pera
ngka
tnor
ma
huku
mad
at.
Kesa
tuan
mas
yara
kat
huku
mad
atbe
sert
aha
ktr
adis
iona
lnya
dipa
ndan
gse
suai
deng
anpe
rkem
bang
anm
asya
raka
tapa
bila
:
(1)
Kebe
rada
anny
ate
lah
diak
uibe
rdas
arka
nun
dang
-und
ang
yang
berl
aku
seba
gai
penc
erm
inan
perk
emba
ngan
nila
iya
ngdi
angg
apid
eal
dala
mm
asya
raka
tde
was
ain
i,ba
ikun
dang
-und
ang
yang
bers
ifat
umum
mau
pun
bers
ifats
ekto
ral;
dan
(2)
Subs
tans
iha
ktr
adis
iona
lte
rseb
utdi
akui
dan
diho
rmat
iol
ehw
arga
kesa
tuan
mas
yara
kat
yang
bers
angk
utan
dan
mas
yara
kat
yang
lebi
hlu
asse
rta
tida
kbe
rten
tang
ande
ngan
hak
asas
iman
usia
.
Kesa
tuan
mas
yara
kat
huku
mad
atbe
sert
aha
ktr
adis
iona
lnya
sesu
aide
ngan
prin
sip
Neg
ara
Kesa
tuan
Repu
blik
Indo
nesi
aap
abila
kesa
tuan
mas
yara
kat
huku
mad
atte
rseb
uttid
akm
engg
angg
uke
bera
daan
Neg
ara
Kesa
tu-
anRe
publ
ikln
done
sia
seba
gais
ebua
hke
satu
-an
polit
ikda
nke
satu
anhu
kum
yang
:
(1)
Tida
km
enga
ncam
keda
ulat
anda
nin
tegr
itas
Neg
ara
Kesa
tuan
Repu
blik
lndo
nesi
a;da
n
(2)
Subs
tans
ino
rma
huku
mad
atny
ase
suai
dan
tida
kbe
rten
tang
ande
ngan
kete
ntua
npe
ratu
ran
peru
ndan
g-un
dang
an.
Oto
nom
ikhu
sus
UU
No.
18Ta
hun
2001
(Oto
nom
iKh
usus
Ace
h)
Muk
imM
ukim
adal
ahke
satu
anm
asya
raka
thu
kum
dala
mPr
ovin
siN
angg
roe
Aceh
Dar
ussa
lam
yang
terd
iriat
asga
bung
anbe
bera
paga
mpo
ngya
ngm
em-
puny
aiba
tas
wila
yah
tert
entu
dan
hart
ake
kaya
anse
ndiri
,be
rked
uduk
anla
ngsu
ngdi
baw
ahKe
ca-
mat
an/S
agoe
Cut
atau
nam
ala
in,
yang
dipi
mpi
nol
ehIm
umM
ukim
atau
nam
ala
in.
Gam
pong
Gam
pong
atau
nam
ala
inad
alah
kesa
tuan
mas
yara
kat
huku
mya
ngm
erup
akan
orga
nisa
sipe
mer
inta
han
tere
ndah
lang
sung
diba
wah
Muk
imat
auna
ma
lain
yang
men
empa
tiw
ilaya
hte
rten
tu,
yang
dipi
mpi
nol
ehKe
uchi
kat
auna
ma
lain
dan
berh
akm
enye
leng
gara
kan
urus
anru
mah
tang
ga-
nya
send
iri.
UU
No.
21Ta
hun
2001
(Oto
nom
iKh
usus
Papu
a)
Mas
yara
katA
dat
War
gam
asya
raka
tas
liPa
pua
yang
hidu
pda
lam
wila
yah
dan
terik
atse
rta
tund
ukke
pada
adat
ter-
tent
ude
ngan
rasa
solid
arita
sya
ngtin
ggid
iant
ara
para
angg
otan
ya.
Mas
yara
katH
ukum
Ada
tW
arga
mas
yara
kat
asli
Papu
aya
ngse
jak
kela
hira
nnya
hidu
pda
lam
wila
yah
tert
entu
dan
terik
atse
rta
tund
ukke
pada
huku
mad
atte
rten
tude
ngan
rasa
solid
arita
sya
ngtin
ggi
dian
tara
para
angg
otan
ya.
Ora
ngAs
liPa
pua
Ora
ngya
ngbe
rasa
ldar
irum
pun
ras
Mel
anes
iaya
ngte
rdiri
dari
suku
-suk
uas
lidi
Prov
insi
Papu
ada
n/at
auor
ang
yang
dite
rima
dan
diak
uise
baga
ior
ang
asli
Papu
aol
ehm
asya
raka
tada
tPap
ua.
Hak
asas
iman
usia
UU
No.
39Ta
hun
1999
tent
ang
Hak
Asa
siM
anus
ia
Mas
yara
katH
ukum
Ada
tD
alam
rang
kape
nega
kan
hak
asas
im
anus
ia,
perb
edaa
nda
nke
butu
han
dala
mM
asya
raka
tH
ukum
Ada
thar
usdi
perh
atik
anda
ndi
lindu
ngi
oleh
huku
m,m
asya
raka
t,da
npe
mer
inta
h.
Iden
titas
buda
yaM
asya
raka
tH
ukum
Ada
t,
term
asuk
hak
atas
tana
hul
ayat
dilin
dung
i,se
lara
sden
gan
perk
emba
ngan
zam
an.
Pend
idik
an
UU
No.
20Ta
hun
2003
tent
ang
Sist
emPe
ndid
ikan
Nas
iona
l
Mas
yara
katA
dat
War
gane
gara
dida
erah
terp
enci
lat
aute
rbel
akan
gse
rta
mas
yara
kat
adat
yang
ter-
penc
ilbe
rhak
mem
pero
leh
pend
idik
anla
yana
nkh
usus
.
Tran
smig
rasi
UU
No.
29Ta
hun
2009
tent
ang
Peru
baha
nat
asU
UN
o.15
Tahu
n19
97te
ntan
gKe
tran
smig
rasi
an
Ada
t-is
tiada
tPe
mer
inta
hda
n/at
aupe
mer
inta
hda
erah
mem
-be
rikan
info
rmas
im
enge
nai
kete
rsed
iaan
lapa
ngan
kerja
,kes
empa
tan
beru
saha
,tem
pat
tingg
al,k
ondi
sige
ogra
fis,d
anad
atis
tiada
tdi
kaw
asan
tran
smig
rasi
.
Kese
jaht
eraa
nso
sial
Kepu
tusa
nPr
esid
enN
o.N
o.11
1Ta
hun
1999
Kom
unita
sAda
tTe
rpen
cil
(1)
Berb
entu
kko
mun
itas
keci
l,te
rtut
up,
dan
hom
ogen
;
(2)
Pran
ata
sosi
albe
rtum
pupa
dahu
bung
anke
kera
bata
n;
(3)
Pada
umum
nya
terp
enci
lse
cara
geog
rafi
dan
rela
tifsu
litdi
jang
kau;
(4)
Pada
umum
nya
mas
ihhi
dup
deng
ansi
stem
ekon
omis
ubsi
sten
;
(5)
Pera
lata
nda
nte
knol
ogin
yase
derh
ana;
(6)
Kete
rgan
tung
anpa
dalin
gkun
gan
hidu
pda
nsu
mbe
rda
yaal
amse
tem
pat
rela
tiftin
ggi;
(7)
Terb
atas
nya
akse
spe
laya
nan
sosi
al,
eko-
nom
i,da
npo
litik
.
Keku
asaa
nke
haki
man
UU
No.
24Ta
hun
2003
tent
ang
Mah
kam
ahKo
nstit
usi
Kesa
tuan
Mas
yara
kat
Huk
umA
dat
Kesa
tuan
Mas
yara
katH
ukum
Ada
tdap
atm
en-
jadi
pem
ohon
(1)
Sepa
njan
gm
asih
hidu
p;
(2)
Sesu
aide
ngan
perk
emba
ngan
mas
ya-
raka
tda
npr
insi
pN
egar
aKe
satu
anRe
publ
ikIn
done
sia
yang
diat
urda
lam
unda
ng-u
ndan
g.
Sum
ber:
Safit
rida
nA
rizon
a,20
13de
ngan
pem
utak
hira
n.
Jelaslah, bahwa Masyarakat Hukum Adat atau Masyarakat Adat atau DesaAdat itu adalah konsep. Secara sederhana kita dapat menyatakan bahwakonsep merupakan pernyataan abstrak mengenai kenyataan yangdiungkapkan melalui kata atau simbol untuk membangun pengetahuanmengenai realitas tersebut. Untuk menjelaskan bahwa Nagari Sijunjung atauOrang Rimba adalah komunitas yang berbeda dengan komunitas lain makakita perlu memasukkannya ke dalam sebuah konsep yang disebutMasyarakat Hukum Adat atau Masyarakat Adat.
Perdebatan mengenai konsepMasyarakat Hukum Adat di Indo-nesia bermula di masa kolonial.Cornelis van Vollenhoven adalahorang yang secara seriusmengembangkan konsep ter-sebut. Ia adalah ahli hukum tatanegara dan perbandingan hukumyang menjadi guru besar diFakultas Hukum Universitas Leidendi Negeri Belanda.
Sebagai sarjana hukum, fokusutama penelitian van Vollenhovenadalah menemukan karakteristikhukum yang unik dari yang disebut‘hukum’ pribumi. Demikian pula iamempelajari komunitas yangmemproduksi dan menjalankanhukum tersebut. Hukum pribumiitu kemudian dikenal sebagaihukum adat. Seorang etnologBelanda lainnya, Snouck Hurgronje,istilah hukum adat atau disebutnya adlokal di Aceh.
Van Vollenhoven membuat studi perblokal pribumi. Dari perbandingan inlokal itu ke dalam 19 golongan ya
Cornelis van Vollenhoven, perintis studi hukumadat. Sumber: www.wikipedia.com.
32
adalah yang pertama menggunakanat recht ketika menggambarkan hukum
andingan dari beragam hukum-hukumilah ia menggolongkan hukum-hukumng dinamakannya rechtskringen atau
33
wilayah berlakunya hukum (hukum adat). Metode yang dilakukan vanVollenhoven ini serupa dengan metode yang dilakukan ahli antropologiWilhelm Schmidt yang membuat klasifikasi kebudayaan-kebudayaan di duniake dalam wilayah kebudayaan yang disebutnya Kulturkreise(Koentjaraningrat, 1982:115).
Hukum adat yang terbagi ke dalam 19 golongan itu diampu oleh komunitasyang disebut van Vollenhoven sebagai rechtsgemeenschappen. MasyarakatHukum Adat merupakan terjemahan bebas dari konseprechtsgemeenschappen atau kadang-kadang disebut juga adatrechtgemeenschappen.
Van Vollenhoven sendiri tidak menerangkan lebih jauh tentang apa yangdimaksudkannya dengan rechtsgemeenschappen tersebut. Dalam sebuahkuliahnya pada tahun 1909, misalnya, van Vollenhoven mengatakan bahwapemerintah kolonial Belanda wajib mengakui rechtsgemeenschappen karenaia merefleksikan berbagai komunitas adat yang otonom di Hindia Belanda.Komunitas ini mempunyai beragam bentuk sesuai dengan wilayah hukumadat di mana mereka berada (Burns 2004:13). J.F. Holleman, seorang ahlihukum lain yang mengkompilasi dan menyunting karya-karya vanVollenhoven menyatakan bahwa meski van Vollenhoven tidak menjelaskandengan rinci dan membuat definisi yang ketat tentangrechtsgemeenschappen itu, tetapi jelas apa yang dimaksudkannya daripenggunaan yang konsisten terhadap istilah tersebut. Karena itulahHolleman (1981) mengartikan rechtsgemeenschappen yang dimaksud vanVollenhoven sebagai sebuah unit sosial yang terorganisir dari masyarakatpribumi yang mempunyai pengaturanyang khusus dan otonom terhadapkehidupan masyarakatnya karenaadanya dua faktor: (1) adanyarepresentasi otoritas lokal(kepemimpinan adat) yang khusus; (2)adanya properti komunal, utamanyatanah, yang memungkinkan komunitastersebut menjalankan pengaturannya.
Istilah dan definisi yang beragam
mengenai Masyarakat Hukum Adat
bergantung pada konteks hubungan yang
akan dijelaskan. Pemerintah Daerah perlu
menetapkan terlebih dahulu aspek apa yang
akan diatur dalam produk hukum daerahnya.
34
Istilah Masyarakat Hukum Adat mewarnai literatur hukum adat Indonesiapasca kemerdekaan dan digunakan oleh beberapa peraturan perundang-undangan seperti halnya UUPA yang diberlakukan pada tahun 1960.
Pada tahun 1980-an muncul istilah lain yakni Masyarakat Adat. Istilah iniumumnya dikembangkan oleh gerakan masyarakat sipil (lembaga swadayamasyarakat) untuk advokasi hak-hak masyarakat atas tanah, kekayaan alamdan identitas lokal. Sebuah definisi mengenai Masyarakat Adat dapat dilihatdari definisi yang digunakan oleh AMAN di bawah ini:
Sekelompok penduduk yang hidup berdasarkan asal usul leluhurdalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dansosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaanalamnya serta mengatur dan mengurus keberlanjutankehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat.6
Definisi tentang Masyarakat Adat atau Masyarakat Hukum Adat di atasberbeda dengan kriteria Komunitas Adat Terpencil yang dikembangkan olehKementerian Sosial. Kriteria ini sama sekali tidak mensyaratkan adanyapenguasaan terhadap suatu wilayah secara turun-temurun. Komunitas AdatTerpencil menurut Keputusan Presiden No. 111 Tahun 1999 tentangPembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil bercirikan:
Berbentuk komunitas kecil, tertutup, dan homogen;
Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan;
Pada umumnya terpencil secara geografi dan relatif sulit dijangkau;
Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten;
Peralatan dan teknologinya sederhana;
Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alamsetempat relatif tinggi;
Terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi, dan politik.
6 Anggaran Dasar AMAN, Pasal 11 ayat (2).
35
Tabel 2. Perbedaan Konsep Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Adat
Elemen Masyarakat Hukum Adat Masyarakat Adat
Penggunaan Digunakan oleh pemerintahkolonial untuk menyebut suatusubjek hukum susunan aslimasyarakat pribumi
Digunakan Lembaga SwadayaMasyarakat untuk menyebutorang-orang kampung yangteguh memegang tradisinamun menjadi korban pem-bangunan Orde Baru
Waktu kemunculan Pada akhir abad XIX dan awalabad XX
Pada dekade 1980-1990-an
Tujuan awal Digunakan oleh sarjana danpenguasa kolonial dalam rangkaindirect rule dan menunjukanbahwa terdapat keunikan padamasyarakat pribumi
Gerakan pengembalian tanahdan perlawanan terhadap dis-kriminasi
Pencetus danpengembang
Dicetuskan oleh sarjana hukumBelanda dan dikembangkan me-lalui penelitian, pengajaran dankebijakan negara pasca kemer-dekaan
Dicetuskan dari gerakan sosialoleh para aktivis dan aka-demisi. Dikembangkan dalamgerakan-gerakan perlawananrakyat
Faktor pembentukdominan
Dibentuk dari hasil-hasil peneliti-an antropologi kolonial
Dibentuk atas inspirasi darigerakan indigenous peoplesinternasional
Sumber: Arizona, 2014.
Peraturan perundang-undangan dan konsep-konsep akademik yang telahkita bahas di atas memuat pengertian berbeda mengenai realitas komunitasyang disebut Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Adat atau Desa Adat. Padatabel 2 kita dapat mengetahui bahwa perbedaan Masyarakat Hukum Adatdan Masyarakat Adat lebih banyak terletak dari asal-mula dan tujuanpenggunaannya. Perbedaan Masyarakat Hukum Adat dan MasyarakatTradisional dalam UUD 1945 terjadi karena perbedaan penekananperlindungannya. Masyarakat Hukum Adat untuk melindungi komunitas danpenguasaan atas tanah dan kekayaan alam, Masyarakat Tradisional untukmelindungi identitas lokal. Demikian pula halnya perbedaan MasyarakatHukum Adat dengan Desa Adat. Desa Adat secara khusus merujuk pada
36
pemerintahan adat yang dijalankan oleh Masyarakat Hukum Adat. Desa Adatyang disebut dalam UU No. 6 Tahun 2014 adalah penamaan umum ataugenerik yang diberikan undang-undang. Desa Adat ini dapat saja disebutdengan nama-nama lokal yang dikenal masyarakat.
Di antara semua istilah itu, Masyarakat Hukum Adat, jika dikembalikan padakonsep rechtsgemeenschappen, mempunyai cakupan yang lebih luas. BagiPemerintah Daerah yang akan membuat produk hukum daerah perlumenetapkan terlebih dahulu aspek apa yang akan diatur dari komunitas yangdisebut Masyarakat Hukum Adat tersebut.
39
4. KERANGKA HUKUM
Pada bagian ini kita membahas sejumlah peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan yangpenting dijadikan rujukan untuk membentuk produkhukum daerah yang mengakui dan melindungiMasyarakat Hukum Adat dan hak-haknya.
Peraturan Perundang-undangan Nasional
(1) UUD 1945:
a) Pasal 18 ayat (6:): Pemerintahan daerah berhakmenetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dantugas pembantuan.
b) Pasal 18B ayat (2): Negara mengakui danmenghormati kesatuan-kesatuan masyarakathukum adat beserta hak-hak tradisionalnyasepanjang masih hidup dan sesuai denganperkembangan masyarakat dan prinsip NegaraKesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalamUndang-Undang.
c) Pasal 28I ayat (3): Identitas budaya dan hakmasyarakat tradisional dihormati selaras denganperkembangan zaman dan peradaban.
Inilah beberapa peraturan
perundang-undangan
sebagai dasar hukum
pengakuan Masyarakat
Hukum Adat:
UUD 1945
TAP MPR No.
IX/MPR/2001
UU No. 5 Tahun 1960
UU No. 7 Tahun 1984
UU No. 5 Tahun 1990
UU No. 5 Tahun 1994
UU No. 39 Tahun 1999
UU No. 41 Tahun 1999
UU No. 20 Tahun 2003
UU No. 26 Tahun 2007
UU No. 32 Tahun 2009
UU No. 11 Tahun 2010
UU No. 11 Tahun 2013
UU No. 6 Tahun 2014
UU No. 23 Tahun 2014
UU No. 39 Tahun 2014
Sejumlah Peraturan
Pemerintah
40
(2) Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001:
Pasal 4: Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alamharus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip, a.l.: mengakui,menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dankeragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber dayaalam.
(3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA):
a) Pasal 2 ayat (4): Hak menguasai dari Negara tersebut diataspelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantradan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dantidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurutketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
b) Pasal 3: Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu darimasyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurutkenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuaidengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan ataspersatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
c) Pasal 5: Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruangangkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengankepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuanbangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan denganperaturan perundangan lainnya, segala sesuatu denganmengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
d) Pasal 22 ayat (1): Terjadinya hak milik menurut hukum adat diaturdengan Peraturan Pemerintah.
(4) Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan KonvensiMengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita:
Penjelasan Umum: dalam pelaksanaannya, ketentuan dalamKonvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakatyang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma
41
keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas olehmasyarakat Indonesia.
(5) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber DayaAlam Hayati dan Ekosistemnya:
a) Pasal 3: Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnyabertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber dayaalam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebihmendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat danmutu kehidupan manusia.
b) Pasal 37 ayat (1): Peran serta rakyat dalam konservasi sumber dayaalam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan olehPemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna danberhasil guna.
(6) Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United NationsConvention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsamengenai Keanekaragaman Hayati):
Pasal 4: Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnyamerupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah sertamasyarakat.
(7) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:
a) Pasal 6 ayat (1): Dalam rangka penegakan hak asasi manusia,perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harusdiperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, danpemerintah.
b) Pasal 6 ayat (2): Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasukhak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembanganzaman.
(8) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimanatelah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-UndangNomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang telah ditetapkan denganUndang-Undang Nomor 19 Tahun 2004:
42
a) Pasal 1 ayat (6) sesuai Putusan MK 35: Hutan adat adalah hutan yangberada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
b) Pasal 4 ayat (3) sesuai Putusan MK 35 ditafsirkan: Penguasaan hutanoleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakatdan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur denganundang-undang.
c) Pasal 5 ayat (2) sesuai Putusan MK 35: Hutan negara sebagaimanadimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat.
d) Pasal 5 ayat (3): Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimanadimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjangmenurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutanmasih ada dan diakui keberadaannya.
e) Pasal 67 ayat (1): Masyarakat hukum adat sepanjang menurutkenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:
i. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhankebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yangbersangkutan;
ii. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adatyang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang;dan
iii. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkankesejahteraannya.
f) Pasal 67 ayat (2): Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakathukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkandengan Peraturan Daerah.
(9) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem PendidikanNasional:
a) Pasal 5 ayat (3): Warga negara di daerah terpencil atau terbelakangserta masyarakat adat yang terpencil berhak memperolehpendidikan layanan khusus.
b) Pasal 32 ayat (2): Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikanbagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat
43
adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencanasosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
(10) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang:
a) Penjelasan Umum angka 9 huruf (f): Hak, kewajiban, dan peranmasyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang untukmenjamin keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adatdalam setiap proses penyelenggaraan penataan ruang.
b) Penjelasan Pasal 5 ayat (5): Yang termasuk kawasan strategis darisudut kepentingan sosial dan budaya, antara lain, adalah kawasanadat tertentu, kawasan konservasi warisan budaya, termasukwarisan budaya yang diakui sebagai warisan dunia, sepertiKompleks Candi Borobudur dan Kompleks Candi Prambanan.
(11) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan danPengelolaan Lingkungan Hidup:
a) Pasal 63 ayat (1) huruf t: Dalam perlindungan dan pengelolaanlingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang antara lainmenetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaanmasyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukumadat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkunganhidup.
b) Pasal 63 ayat (2) huruf n: Dalam perlindungan dan pengelolaanlingkungan hidup, Pemerintah Provinsi bertugas dan berwenangantara lain menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuankeberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hakmasyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan danpengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi.
c) Pasal 63 ayat (3) huruf k: Dalam perlindungan dan pengelolaanlingkungan hidup, Pemerintah Kabupaten/Kota bertugas danberwenang antara lain melaksanakan kebijakan mengenai tata carapengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, danhak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan danpengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.
44
(12) Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya:
a) Pasal 13: Kawasan Cagar Budaya hanya dapat dimiliki dan/ataudikuasai oleh Negara, kecuali yang secara turun-temurun dimilikioleh masyarakat hukum adat.
b) Pasal 87 ayat (2) Pemanfaatan Cagar Budaya sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dilakukan dengan izin Pemerintah atau PemerintahDaerah sesuai dengan peringkat Cagar Budaya dan/atau masyarakathukum adat yang memiliki dan/atau menguasainya.
c) Pasal 97 ayat (3) Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan pengelola yangdibentuk oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakathukum adat.
(13) Undang-Undang No. 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan NagoyaProtocol on Access to Genetic Resources and The Fair and Equitable Sharingof Benefits Arising from Their Utilization to The Convention on BiologicalDiversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetikdan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dariPemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati):
Protokol Nagoya mengakui bahwa pengetahuan tradisional yangberkaitan dengan sumber daya genetik merupakan bagian yang tidakterpisahkan dari sumber daya genetik dan secara berkelanjutandiwariskan oleh nenek moyang masyarakat hukum adat dan komunitaslokal kepada generasi berikutnya. Protokol ini mengatur pembagiankeuntungan yang adil dan seimbang dari setiap pemanfaatan terhadapsumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitandengan sumber daya genetik; pembagian keuntungan, finansialdan/atau non finansial, yang adil dan seimbang dari setiap pemanfaatansumber daya genetik dan pengetahuan tradisional diberikanberdasarkan kesepakatan bersama (Mutually Agreed Terms); akses padasumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitandengan sumber daya genetik yang dilakukan melalui persetujuan atasdasar informasi awal (Prior Informed Consent/PIC) dari penyedia sumberdaya genetik.
45
(14) Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa:
a) Desa terdiri dari desa dan desa adat.
b) Pemerintah Daerah menetapkan Desa Adat melalui PeraturanDaerah.
(15) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerahmengatur pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat, PemerintahProvinsi dan Pemerintah Kabupaten dalam hal pengakuan MasyarakatHukum Adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,penetapan tanah ulayat dan penataan Desa Adat (lihat tabel 7 dalambab 5).
(16) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan:
a) Pasal 12 ayat (1): Dalam hal tanah yang diperlukan untuk usahaperkebunan merupakan Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,Pelaku Usaha Perkebunan harus melakukan musyawarah denganMasyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat untuk memperolehpersetujuan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya.
b) Pasal 13: Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalamPasal 12 ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.
c) Pasal 17 ayat (1): Pejabat yang berwenang dilarang menerbitkan IzinUsaha Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat HukumAdat.
d) Pasal 17 ayat (2): Perkecualian terhadap larangan ini diberikan jikatelah terjadi penyerahan tanah oleh Masyarakat Hukum Adat kepadaPelaku Usaha Perkebunan, disertai dengan imbalannya.
(17) Undang-undang mengenai Pembentukan Provinsi.
(18) Undang-undang mengenai otonomi khusus (untuk produk hukum didaerah berotonomi khusus).
(19) Undang-undang mengenai Pembentukan Kabupaten.
(20) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang PendaftaranTanah.
46
(21) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang PerencanaanKehutanan.
(22) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang PeraturanPelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Ini yang perlu Anda ketahui tentang
Desa Adat
1. Desa adat diakui oleh UU No. 6 Tahun 2014 dan PP No. 43 Tahun 2014.
2. Desa adat dapat disebut dengan nama-nama lokal seperti nagari, pekon
atau lembang.
3. Desa adat tidak sama dengan desa administratif. Desa adat adalah
bentuk masyarakat hukum adat yang bersifat gabungan genealogis dan
teritorial.
4. Desa adat menjalankan fungsi pemerintahan sesuai dengan adat
ditambah dengan fungsi pemerintahan desa pada umumnya.
5. Desa adat ditetapkan dengan Perda Kabupaten/Kota.
6. Desa atau kelurahan dapat berubah status menjadi desa adat; desa adat
dapat berubah status menjadi desa/kelurahan atas prakarsa
masyarakatnya.
7. Desa adat dapat digabungkan atas prakarsa dan kesepakatan antar desa
adat.
8. Penetapan desa adat untuk pertama kali tunduk pada ketentuan Bab
XIII UU No. 6 Tahun 2014. Selanjutnya penetapan desa adat dilakukan
melalui pembentukan desa.
9. Kewenangan desa adat ada yang berasal dari hak asal usul dan ada yang
diperoleh dari Pemerintah/Pemerinta Daerah.
10. Kewenangan yang berasal dari hak asal usul misalnya pengaturan dan
pengurusan ulayat atau wilayah adat; penyelesaian sengketa adat
berdasarkan hukum adat yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia
dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah; atau
penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan desa adat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
47
(23) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5Tahun 1999 tentang Penyelesaian Masalah Hak Ulayat MasyarakatHukum Adat.
(24) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentangPedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
(25) Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, MenteriPekerjaaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 79Tahun 2014, Nomor PB.3/Menhut-II/2014, Nomor 17/PRT/M/2014,Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanahyang berada di dalam Kawasan Hutan.
Rancangan Undang-undang tentang Pengakuan dan PerlindunganMasyarakat Hukum Adat
Pada periode 2009-2014, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) berinisiatif merancang Undang-Undang tentang Pengakuan danPerlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU PPHMHA). Rancangan ini sudahdisampaikan kepada Pemerintah. Tanggapan Pemerintah telah diserahkankepada DPR-RI namun tidak sempat dibahas mengingat berakhirnya masatugas DPR-RI.
Berdasarkan Rancangan tanggal 20 Maret 2014, beberapa pokok pengaturanpenting dalam RUU PPHMHA dapat dilihat di bawah ini:
Definisi Masyarakat Hukum Adat
Rumusan DPR-RI Rumusan Pemerintah
Masyarakat hukum adat adalah sekelompokorang yang secara turun temurun bermukimdi wilayah geografis tertentu di NegaraIndonesia karena adanya ikatan pada asalusul leluhur, hubungan yang kuat dengantanah, wilayah, sumber daya alam, memilikipranata pemerintahan adat, dan tatananhukum adat di wilayah adatnya.
Masyarakat Hukum adat adalah kelompokmasyarakat yang memiliki karakteristiktertentu, hidup secara harmonis sesuaihukum adatnya, memiliki ikatan pada asalusul leluhur atau kesamaan tempat tinggal,terdapat hubungan yang kuat denganlingkungan hidup, serta adanya sistem nilaiyang menentukan pranata ekonomi, politik,sosial, budaya, hukum memiliki danmemanfaatkan satu wilayah tertentu secaraturun temurun.
48
Definisi Hak Ulayat
Rumusan DPR-RI Rumusan Pemerintah
Hak ulayat adalah hak komunal masyarakathukum adat untuk memiliki, memanfaatkandan melestarikan tanah adatnya besertasumber daya alam di atasnya sesuai dengantata nilai dan hukum adat yang berlaku sertatidak bertentangan dengan peraturanperundang-undangan.
Definisi Wilayah Adat, Hutan Adat, Tanah Ulayat
Rumusan DPR-RI Rumusan Pemerintah
Wilayah Adat Wilayah Adat adalah satukesatuan geografis dan sosialyang secara turun temurundihuni dan dikelola olehMasyarakat Hukum Adatsebagai penyangga sumber-sumber penghidupan yangdiwarisi dari leluhurnya ataumelalui kesepakatan denganMasyarakat Hukum Adatlainnya.
Tanah Adat adalah suatuwilayah berupa tanah, air danatau perairan beserta sumberdaya alam yang ada di atasnyadengan batas-batas tertentu,dimiliki, dimanfaatkan, dan di-lestarikan secara turun-temurundan secara berkelanjutan untukmemenuhi kebutuhan hidupmasyarakat, dan atau dihuni,diperoleh melalui pewarisandari leluhur mereka ataugugatan kepemilikan, berupatanah ulayat atau hutan adat.
Hutan Adat Hutan Adat adalah hutan yangberada dalam Tanah Adat, yangdi atasnya terdapat hak ulayat,dikelola bersama-sama secaralestari sesuai dengan fungsikawasan sebagaimana ditetap-kan dalam Rencana Tata RuangWilayah.
Tanah Ulayat Tanah ulayat adalah bidangtanah yang diatasnya ter-dapathak ulayat dari suatuMasyarakat Hukum Adattertentu.
Tanah Ulayat atau penyebutanlain yang dimaknai sama darisuatu Masyarakat Hukum Adattertentu adalah bidang tanahyang diatasnya terdapat hakulayat.
49
Karakteristik Masyarakat Hukum Adat
Rumusan DPR-RI Rumusan Pemerintah
Masyarakat Hukum Adat memilikikarakteristik:
a. Sekelompok masyarakat secara turuntemurun;
b. Bermukim di wilayah geografis tertentu;
c. Adanya ikatan pada asal usul leluhur;
d. Adanya hubungan hukum yang kuatdengan tanah, wilayah, sumber daya alam;
e. Memiliki pranata pemerintahan adat; dan
f. Adanya tatanan hukum adat di wilayahadatnya.
Masyarakat Hukum Adat memilikikarakteristik, meliputi:
a. Komunitas tertentu yang hidup dalamkelompok dalam satu bentuk pagu-yuban, memiliki keterikatan karenakesamaan keturunan dan/atau teritorial;
b. Mendiami satu wilayah dengan batas-batas tertentu;
c. Memiliki identitas budaya yang sama;
d. Memiliki kekayaan immaterial berupakearifan lokal, pengetahuan tradisionaldan budaya atau harta kekayaan dan ataubenda adat;
e. Memiliki perangkat kelembagaan adatyang masih diakui dan berfungsi; dan
f. Memiliki tata nilai serta hukum adat yangmemiliki sanksi dan ditaati kelompoknyasebagai pedoman dalam kehidupanmereka.
Tahapan pengakuan Masyarakat Hukum Adat
Rumusan DPR-RI Rumusan Pemerintah
Pengakuan dan perlindungan hak Masya-rakat Hukum Adat dilakukan dengan cara:
a. Identifikasi Masyarakat Hukum Adat;
b. Verifikasi Masyarakat Hukum; dan
c. Penetapan Masyarakat Hukum Adat.
Pengakuan dan perlindungan hak Masya-rakat Hukum Adat dilakukan dengan cara:
(1) Identifikasi Masyarakat Hukum Adat;
(2) Validasi dan verifikasi Masyarakat HukumAdat; dan
(3) Penetapan Masyarakat Hukum Adat.
50
Pelaksanaan identifikasi, validasi dan verifikasi serta Penetapan MasyarakatHukum Adat
Rumusan DPR-RI Rumusan Pemerintah
Identifikasi Masyarakat Hukum Adatdilakukan sendiri oleh Masyarakat HukumAdat dan/atau Pemerintah Daerah.
Identifikasi sendiri Masyarakat Hukum Adatpaling sedikit memuat data dan informasimengenai:
a. Sejarah Masyarakat Hukum Adat
b. Wilayah Adat
c. Hukum Adat
d. Harta kekayaan dan/atau benda-bendaadat, dan
e. Kelembagaan/sistem pemerintahanadat.
Identifikasi Masyarakat Hukum Adatdilakukan sendiri oleh Masyarakat HukumAdat, Pemerintah Daerah dan/atau Peme-rintah bersama kelompok masyarakat.
Dalam hal identifikasi dilakukan olehMasyarakat Hukum Adat, PemerintahDaerah dapat melakukan pendampingan.
Identifikasi paling sedikit memuat data daninformasi mengenai:
a. Sejarah Masyarakat Hukum Adat palingtidak selama 4 (empat) generasi ataulebih;
b. Keberadaan kelompok yang memilikiketerikatan karena kesamaan keturun-an dan atau teritorial;
c. Letak, perkiraan luas, titik koordinat,dan batas-batas alam tanah adat;
d. Tata nilai, kearifan lokal, dan hukumadat yang masih berlaku;
e. Kekayaan baik kekayaan materiil mau-pun immateriil, termasuk pengetahuantradisional dan folklore;
f. Keberadaan pranata pemerintahanadat atau kelembagaan adat yangmasih hidup dan berfungsi;
g. Pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari;
h. Ada atau tidak ada sengketa.
Masyarakat Hukum Adat yang beradadalam satu wilayah Kabupaten menyampai-kan hasil identifikasi dan usulan keberadaandirinya kepada Panitia Masyarakat HukumAdat Kabupaten/Kota.
Masyarakat Hukum Adat yang beradadalam satu wilayah Kabupaten/kotamenyampaikan hasil identifikasi berupausulan pengakuan dan/atau klaimMasyarakat Hukum Adat kepada PanitiaMasyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota.
51
Masyarakat Hukum Adat yang berada diwilayah paling sedikit 2 (dua) kabupatendalam 1 (satu) Provinsi menyampaikan hasilidentifikasi dirinya kepada Panitia Masya-rakat Hukum Adat Provinsi.
Masyarakat Hukum Adat yang berada diwilayah paling sedikit 2 (dua) kabupaten/kota dalam 1 (satu) Provinsi menyampai-kan hasil identifikasi berupa usulan peng-akuan dan/atau klaim Masyarakat HukumAdat kepada Panitia Masyarakat HukumAdat Provinsi.
Masyarakat Hukum Adat yang berada diminimal 2 (dua) Provinsi menyampaikanhasil identifikasi dirinya kepada PanitiaMasyarakat Hukum Adat Nasional.
Masyarakat Hukum Adat yang berada diminimal 2 (dua) Provinsi menyampaikanhasil identifikasi berupa usulan pengakuandan/atau klaim Masyarakat Hukum Adatkepada Panitia Masyarakat Hukum AdatNasional.
Panitia Masyarakat Hukum AdatKabupaten/Kota melakukan verifikasi ter-hadap usulan keberadaan MasyarakatHukum Adat.
Panitia Masyarakat Hukum Adat Provinsimelakukan verifikasi terhadap usulankeberadaan Masyarakat Hukum Adat yangdisampaikan oleh Masyarakat Hukum Adat.
Panitia Masyarakat Hukum Adat Nasionalmelakukan verifikasi terhadap usulankeberadaan Masyarakat Hukum Adat yangdisampaikan oleh Masyarakat Hukum Adat.
Validasi dan verifikasi Masyarakat HukumAdat dilakukan oleh Panitia MasyarakatHukum Adat Kabupaten/Kota, PanitiaMasyarakat Hukum Adat Provinsi atauPanitia Masyarakat Hukum Adat Nasionalsesuai kewenangannya.
Validasi meliputi kegiatan pemeriksaanadministrasi atas keabsahan informasi dandata yang digunakan dalam kegiatanidentifikasi.
Verifikasi meliputi kegiatan pemeriksaanfisik lapangan atas kebenaran informasidan data hasil identifikasi termasuksengketa/klaim yang diajukan para pihak,dan melakukan pemetaan tanah adat.
Panitia Masyarakat Hukum AdatKabupaten/Kota, Panitia MasyarakatHukum Adat Provinsi dan PanitiaMasyarakat Hukum Adat Nasional mem-beritahukan dan/atau mengumumkan hasilverifikasi yang telah dilakukan melaluipengumuman di media massa, kantor-kantor Pemerintah, dan sarana publiklainnya.
Deklarasi pengakuan dan perlindunganmasyarakat hukum adat dilaksanakan olehPanitia Nasional.
Penetapan Pengakuan dan PerlindunganMasyarakat Hukum Adat dilakukan olehMenteri yang bertugas dan membidangibidang pemerintahan, yang memuatpengakuan dan perlindungan terhadaptanah adat, hak masyarakat hukum adat,dan kelembagaannya.
Panitia Masyarakat Hukum AdatKabupaten/Kota, Panitia MasyarakatHukum Adat Provinsi, dan Panitia Masya-
Masyarakat dapat mengajukan keberatanterhadap hasil validasi, verifikasi sertadeklarasi.
52
rakat Hukum Adat Nasional memberikankesempatan kepada pihak lain untukmengajukan keberatan selama 90(sembilan puluh) hari setelah hasil verifikasidiberitahukan dan/atau diumumkan.
Panitia Masyarakat Hukum AdatKabupaten/Kota, Panitia MasyarakatHukum Adat Provinsi dan Panitia Masya-rakat Hukum Adat Nasional melakukanpemeriksaan terhadap pengajuan keberat-an yang dilakukan oleh pihak lain.
Panitia Masyarakat Hukum AdatKabupaten/Kota mengajukan hasil akhirproses verifikasi kepada Bupati.
Panitia Masyarakat Hukum Adat Provinsimengajukan hasil akhir proses verifikasikepada Gubernur.
Panitia Masyarakat Hukum Adat Nasionalmengajukan hasil akhir proses verifikasikepada Presiden
Bupati menetapkan hasil akhir verifikasiMasyarakat Hukum Adat yang disampaikanoleh Panitia Masyarakat Hukum AdatKabupaten/Kota dengan Keputusan Bupati.
Gubernur menetapkan hasil akhir verifikasiMasyarakat Hukum Adat yang disampaikanoleh Panitia Masyarakat Hukum AdatProvinsi dengan Keputusan Gubernur.
Presiden menetapkan hasil verifikasiMasyarakat Hukum Adat yang disampaikanoleh Panitia Masyarakat Hukum AdatNasional dengan Keputusan Presiden.
Masyarakat dapat mengajukan keberatanterhadap Keputusan Bupati, KeputusanGubernur, dan Keputusan Presiden.
Pengajuan keberatan masyarakat dilakukansesuai dengan ketentuan perundang-undangan
Tata cara validasi, verifikasi dan pengajuankeberatan/sengketa/ klaim hasil validasidan verifikasi diatur dengan PeraturanPemerintah.
53
Lembaga Adat
Rumusan DPR-RI Rumusan Pemerintah
Lembaga Adat bersinergi secara dinamisdalam mendukung upaya pelestarian,pengembangan, dan pemberdayaanMasyarakat Hukum Adat beserta kearifanlokalnya.
Lembaga Adat berfungsi dan berperanmengatur, mengurus, dan menyelesaikanberbagai permasalahan kehidupanMasyarakat Hukum Adat dengan mengacukepada Hukum Adat.
Lembaga Adat dalam melaksanakan fungsidan perannya berkoordinasi denganPemerintah Daerah.
Ketentuan mengenai fungsi dan peranLembaga Adat diatur dengan PeraturanDaerah.
Lembaga adat merupakan pranata adat yangmasih hidup dan berfungsi sesuai kedudukandan perannya, yang dalam pelaksanaannyaberkoordinasi dengan Pemerintah Desa,Pemerintah Kabupaten/ Kota, atauPemerintah Provinsi.
Penyelesaian sengketa
Rumusan DPR-RI Rumusan Pemerintah
Penyelesaian Sengketa Masyarakat HukumAdat dapat diselesaikan melalui lembagaadat dan/atau Peradilan Adat.
Lembaga adat memiliki kewenanganmenyelesaikan sengketa MasyarakatHukum Adat.
Peradilan Adat tidak berwenang mengadilitindak pidana berat dan tindak pidanakhusus.
Peradilan Adat dapat dibentuk olehLembaga Adat secara berjenjang dariKabupaten/Kota sampai dengan tingkatProvinsi.
Penyelesaian sengketa Masyarakat HukumAdat dapat diselesaikan melalui LembagaAdat dan/atau Pengadilan Negeri.
Lembaga Adat menangani sengketa adatyang bukan merupakan tindak pidana.
Pengadilan Negeri menangani sengketaMasyarakat Hukum Adat yang tidak dapatdiselesaikan oleh Lembaga Adat, dansengketa yang merupakan tindak pidana.
Sengketa internal:
Sengketa internal dalam MasyarakatHukum Adat diselesaikan melalui Lembaga
Sengketa internal:
Sengketa internal dalam MasyarakatHukum Adat diselesaikan melalui Lembaga
54
Adat.
Lembaga Adat mengeluarkan putusanLembaga Adat sebagai hasil penyelesaiansengketa.
Dalam hal terdapat keberatan terhadapputusan Lembaga Adat sengketadiselesaikan melalui Peradilan Adat.
Peradilan adat mengeluarkan putusan yangbersifat final dan mengikat.
Adat.
Lembaga Adat mengeluarkan putusanLembaga Adat sebagai hasil penyelesaiansengketa.
Lembaga Adat dapat melibatkanPemerintahan Desa dalam menyelesaikansengketa di wilayahnya.
Dalam hal sengketa tidak dapatdiselesaikan atau terdapat keberatanterhadap putusan Lembaga Adat, sengketadiselesaikan melalui Pengadilan Negeri.
Sengketa antar-Masyarakat Hukum Adat:
Sengketa antar-Masyarakat Hukum Adatdiselesaikan melalui musyawarah antar-Lembaga Adat.
Dalam hal musyawarah antar-LembagaAdat tidak dapat menyelesaikan sengketa,sengketa diselesaikan melalui PeradilanAdat.
Peradilan Adat mengeluarkan putusansebagai hasil penyelesaian sengketa.
Dalam hal terdapat keberatan terhadapputusan peradilan, sengketa dapatdiselesaikan di tingkat Mahkamah Agung.
Sengketa antar-Masyarakat Hukum Adat:
Sengketa antar-Masyarakat Hukum Adatdiselesaikan melalui musyawarah antar-Lembaga Adat.
Dalam hal musyawarah antar-LembagaAdat tidak dapat menyelesaikan sengketa,sengketa diselesaikan melalui PengadilanNegeri.
Sengketa antara Masyarakat Hukum Adatdan pihak lain:
Sengketa antara Masyarakat Hukum Adatdan pihak lain yang menyangkut hakMasyarakat Hukum Adat diselesaikanmelalui Peradilan Adat.
Peradilan adat mengeluarkan putusansebagai hasil penyelesaian sengketa.
Dalam hal terdapat keberatan terhadapputusan peradilan adat, sengketa dapatdiselesaikan di tingkat Mahkamah Agung.
Sengketa antara Masyarakat Hukum Adatdan pihak lain:
Sengketa antara Masyarakat Hukum Adatdan pihak lain, diutamakan dapatdiselesaikan melalui musyawarah LembagaAdat, pihak lain dan pihak pemerintahan.
Musyawarah Lembaga Adat mengeluarkanputusan penyelesaian sengketa.
Dalam hal terdapat keberatan terhadapputusan Musyawarah Lembaga Adatsengketa diselesaikan di PengadilanNegeri.
Pemeriksaan perkara sengketa MasyarakatHukum Adat dilakukan oleh Majelis Hakim
55
yang berjumlah 3 (tiga) orang yang terdiridari 1 (satu) orang Hakim Karier dan 2 (dua)orang Hakim Ad Hoc.
Pengangkatan Hakim Ad Hoc dilakukanoleh Presiden atas usulan Ketua MahkamahAgung Republik Indonesia melaluiKeputusan Presiden.
Dalam mengusulkan Hakim Ad Hoc, KetuaMahkamah Agung wajib mengumumkankepada masyarakat.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Terdapat berbagai putusan Mahkamah Konstitusi yang memuat pengakuanterhadap Masyarakat Hukum Adat. Beberapa di antara Putusan itu adalah:
(1) Putusan Nomor 010/PUU-l/2003 perihal Pengujian Undang-UndangNomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, KabupatenRokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun,Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam.
Amar/pertimbangan hakim:
Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tidaklah dimaksudkanuntuk dijadikan dasar pembagian wilayah negara melainkan merupakanpenegasan bahwa negara berkewajiban untuk mengakui danmenghormati Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan hak-haktradisionalnya yang masih hidup dan sesuai dengan perkembanganmasyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diaturdalam undang-undang.
(2) Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-UndangNomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di ProvinsiMaluku.
Amar/pertimbangan hakim:
Tipologi dan tolok ukur kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD1945 dan Pasal 51 ayat (1) b UU No. 24 Tahun 2003:
56
Suatu kesatuan Masyarakat Hukum Adat untuk dapat dikatakan secara defacto masih hidup baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yangbersifat fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur:
a) Adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling);
b) Adanya pranata pemerintahan adat;
c) Adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
d) Adanya perangkat norma hukum adat.
Khusus pada kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang bersifat teritorialjuga terdapat unsur adanya wilayah tertentu.
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnyadipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila kesatuanMasyarakat Hukum Adat tersebut:
a) Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yangberlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yangdianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undangyang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria,kehutanan, perikanan, dan lain-lain maupun dalam peraturan daerah;
b) Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati olehwarga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakatyang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasimanusia.
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuaidengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuanMasyarakat Hukum Adat tersebut tidak mengganggu eksistensi NegaraKesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik dankesatuan hukum yaitu:
a) Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas NegaraKesatuan Republik Indonesia;
b) Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangandengan peraturan perundang-undangan.
57
Menurut Mahkamah Konstitusi,Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (KMHA)
di Indonesia dibedakan menjadi tiga:
ü KMHA genealogis ditentukan berdasarkan kriteria
hubungan keturunan darah.
ü KMHA teritorial bertumpu pada wilayah tertentu di mana
anggota kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang
bersangkutan hidup secara turun-temurun dan melahirkan
hak ulayat yang meliputi hak atas pemanfaatan tanah, air,
hutan, dan sebagainya.
ü KMHA fungsional didasarkan atas fungsi-fungsi tertentu
yang menyangkut kepentingan bersama yang
mempersatukan Masyarakat Hukum Adat yang
bersangkutan dan tidak tergantung kepada hubungan
darah ataupun wilayah, seperti Subak di Bali.
(3) Putusan Nomor 34/PUU-IX/2011 tentang pengujian UU No. 41 Tahun1999 tentang Kehutanan.
Amar/pertimbangan hakim:
Pasal 4 Ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 dimaknai: “Penguasaan hutan olehNegara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hakMasyarakat Hukum Adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakuikeberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuanperaturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengankepentingan nasional”.
(4) Putusan Nomor 35/PUU–X/2012 tentang Pengujian Undang-UndangNomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Amar/pertimbangan hakim:
Masyarakat Hukum Adat adalah subjek hukum.
Hutan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi hutan negara danhutan hak. Hutan hak meliputi hutan adat dan hutan hakperseorangan/badan hukum.
58
Hutan adat bukan hutan negara. Hutan adat adalah hutan yang beradadalam wilayah Masyarakat Hukum Adat.
Instrumen Hukum Internasional
Terdapat sejumlah instrumen hukum internasional yang berkaitan denganpengakuan dan perlindungan pada masyakarat hukum adat. Salah satu yangterkenal adalah Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (InternationalLabour Organization, ILO) Nomor 169 (selanjutnya disebut Konvensi ILO 169).Konvensi yang dikeluarkan pada tahun 1989 ini berjudul: Conventionconcerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries. Dalamdokumen terjemahan Konvensi yang diterbitkan pertama kali pada tahun2007, ILO menyebutkan bahwa padanan kata yang tepat bagi indigenouspeoples dan tribal peoples di Indonesia adalah Masyarakat Hukum Adat. Hal inimerujuk pada istilah yang dipergunakan oleh Komnas HAM dan MahkamahKonstitusi (ILO, 2009:5). Meskipun menggunakan istilah Masyarakat HukumAdat untuk menerjemahkan indigenous peoples dan tribal peoples, ILOmenekankan bahwa definisi mengenai keduanya harus bersumber darimasyarakat itu sendiri. Inilah yang disebut sebagai prinsip self-identificationatau penjatidirian mandiri. Namun, untuk kepentingan praktis, dapat sajadibuatkan kriteria pembeda antara indigenous peoples dan tribal peoples (lihattabel 3).
Tabel 3. Perbedaan kriteria Indigenous Peoples dan Tribal Peoples dalam KonvensiILO 169
Indigenous Peoples Tribal Peoples
Menjalankan kehidupan tradisional. Menjalankan kehidupan tradisional.
Mempunyai kebudayaan dan cara hidupyang berbeda dengan penduduk padaumumnya, misalnya dalam hal menjalan-kan kehidupan, bahasa, dan kebiasaan.
Mempunyai kebudayaan dan cara hidupyang berbeda dengan penduduk padaumumnya, misalnya dalam hal menjalan-kan kehidupan, bahasa, dan kebiasaan.
Mempunyai organisasi sosial dantradisional.
Mempunyai organisasi sosial dantradisional.
Keturunan dari penduduk yang telahmendiami wilayah tertentu pada waktupenaklukan, penjajahan atau penetapanbatas-batas negara nasional.
Sumber: www.ilo.org.
59
Prinsip-prinsip lain yang penting dari Konvensi ILO 169 ini adalah prinsipnon-diskriminasi, perlakukan khusus, pengakuan pada kebudayaan dankekhasan lainnya, konsultasi dan partisipasi, dan hak menentukan prioritasdalam pembangunan. Secara lengkap mengenai penjabaran prinsip-prinsipini dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Prinsip-prinsip utama dalam Konvensi ILO 169
Prinsip Pernyataan dalam Konvensi
Penjatidirian mandiri Pasal 1
Penjatidirian terhadap diri sendiri sebagai Masyarakat HukumAdat adalah kriteria mendasar untuk menetapkan kelompok-kelompok Masyarakat Hukum Adat.
Non-diskriminasi Pasal 3
Masyarakat Hukum Adat berhak menikmati hak-hak merekasebagai manusia dan kebebasan-kebebasan yang bersifatmendasar tanpa halangan atau diskriminasi. Ketentuan-ketentuan Konvensi berlaku tanpa diskriminasi terhadapanggota laki-laki maupun anggota perempuan dariMasyarakat Hukum Adat.
Bentuk paksaan atau ancaman pemaksaan tidak bolehdigunakan untuk melanggar hak-hak sebagai manusia dankebebasan-kebebasan yang bersifat mendasar dariMasyarakat Hukum Adat, termasuk hak-hak yang terkandungdalam Konvensi.
Pasal 4
Dinikmatinya hak-hak umum sebagai warga negara, tanpadiskriminasi, tidak boleh dikorbankan dengan cara apapunoleh upaya-upaya khusus semacam itu.
Pasal 20
Pemerintah harus mencegah diskriminasi antara para pekerjadari Masyarakat Hukum Adat dan para pekerja lainnya.
Perlakukan khusus Pasal 4
Upaya-upaya khusus ditetapkan untuk menjaga danmelindungi keselamatan warga, institusi, harta benda, tenagakerja, budaya dan lingkungan hidup dari Masyarakat HukumAdat.
Upaya-upaya khusus semacam itu tidak boleh bertentangan
60
dengan harapan-harapan yang dengan bebas dinyatakan dariMasyarakat Hukum Adat yang bersangkutan.
Pengakuan padakebudayaan dankekhasan lainnya
Pasal 5
Nilai-nilai dan praktik-praktik sosial, budaya, agama, danspiritual Masyarakat Hukum Adat diakui dan dilindungi, baiksebagai kelompok maupun sebagai individu.
Keutuhan dari nilai-nilai, praktik-praktik dan institusi-institusidari Masyarakat Hukum Adat dihormati.
Pemerintah menetapkan kebijakan-kebijakan untukmengurangi kesulitan-kesulitan yang dialami oleh MasyarakatHukum Adat dalam menghadapi kondisi-kondisi baru dalamkehidupan dan pekerjaan, dengan partisipasi dan kerja samadari Masyarakat Hukum Adat yang mengalami kondisi-kondisibaru tersebut.
Pasal 8
Dalam memberlakukan peraturan perundang-undangannasional kepada Masyarakat Hukum Adat, adat-istiadat atauketentuan-ketentuan hukum adat mereka harus diindahkansebagaimana seharusnya.
Masyarakat Hukum Adat berhak untuk tetap mempertahan-kan adat-istiadat dan institusi-institusi mereka sendiri,bilamana adat-istiadat dan institusi-institusi tersebut tidaksejalan dengan hak-hak mendasar yang didefinisikan olehsistem hukum nasional dan hak-hak manusia yang telahdiakui secara internasional. Prosedur-prosedur harusditetapkan, bilamana perlu, untuk memecahkan konflik-konflik yang dapat timbul dalam penerapan prinsip ini.
Konsultasi dan partisipasi Pasal 6
Pemerintah mengkonsultasikan dengan Masyarakat HukumAdat yang bersangkutan, melalui prosedur-prosedursebagaimana seharusnya dan terutama melalui institusi-institusi perwakilan mereka, setiap kali sedang dilakukanpertimbangan terhadap upaya-upaya legislatif atauadministratif yang dapat langsung berpengaruh terhadapmereka.
Pemerintah menetapkan cara-cara yang memungkinkanMasyarakat Hukum Adat untuk dapat secara bebasberpartisipasi di seluruh tingkat pengambilan keputusandalam institusi-institusi pemilihan umum dan administrasidan badan-badan lain yang bertanggung jawab atas
61
kebijakan-kebijakan dan program-program yang menyangkutkepentingan mereka.
Pemerintah menetapkan cara-cara untuk mengembangkansepenuhnya institusi-institusi dan inisiatif-inisiatif dariMasyarakat Hukum Adat, dan dalam hal-hal yang semestinya,memberikan sumber-sumber daya yang perlu untuk maksudini.
Konsultasi-konsultasi yang dilakukan dalam penerapanKonvensi ini dilakukan dengan itikad baik dan dalam bentukyang tepat dan sesuai dengan keadaan-keadaan yang ada,dengan tujuan agar upaya-upaya yang diusulkanmendapatkan kesepakatan atau izin.
Pasal 13
Pemerintah harus menghormati pentingnya kekhususan nilai-nilai budaya dan spiritual dari Masyarakat Hukum Adat yangmenyangkut hubungan mereka dengan tanah atau wilayahkekuasaan, atau keduanya sebagaimana yang dapatdiberlakukan, yang mereka diami atau apabila tidak, yangmereka gunakan, dan terutama, aspek-aspek kolektif darihubungan ini.
Pengakuan pada wilayahadat dan kekayaan alamdi dalamnya
Pasal 16
Masyarakat Hukum Adat tidak boleh disingkirkan dari tanah-tanah yang mereka tempati.
Bilamana pemindahan Masyarakat Hukum Adat ini ke tempatlain dianggap perlu sebagai suatu langkah pengecualian,pemindahan ke tempat lain tersebut hanya bolehberlangsung apabila mereka dengan kehendak bebas yangmereka miliki menyetujuinya setelah mereka memaklumiakibat-akibatnya.
Bilamana tidak dapat diperoleh persetujuan dari mereka,pemindahan ke tempat lain tersebut hanya bolehberlangsung dengan mengikuti prosedur-prosedursemestinya yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan nasional, termasuk dengan cara mengumpulkanpendapat umum bilamana dipandang tepat atau patutdilakukan, sehingga memberikan kesempatan bagiMasyarakat Hukum Adat yang bersangkutan untuk dapatterwakili kepentingannya secara efektif.
Bilamana mungkin, Masyarakat Hukum Adat ini harusmempunyai hak untuk pulang ke tanah-tanah tradisionalmereka, segera setelah tidak ada lagi alasan untuk
62
memindahkan mereka ke tempat lain.
Ketika kepulangan seperti itu tidak mungkin, sebagaimanaditetapkan oleh perjanjian atau, dalam hal tidak adanyaperjanjian seperti itu, melalui prosedur-prosedur yang tepat,Masyarakat Hukum Adat ini harus, dalam semua situasi yangmungkin, diberi tanah-tanah yang mutunya dan statushukumnya sekurang-kurangnya sama dengan tanah-tanahyang sebelumnya mereka tempati, yang sesuai untukmemenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka saat ini danperkembangan di masa yang akan datang. BilamanaMasyarakat Hukum Adat yang bersangkutan menyatakanlebih menyukai atau memilih ganti rugi dalam bentuk uangatau barang, mereka harus diberi ganti rugi sesuaipermintaan mereka tersebut di bawah jaminan-jaminan yangtepat dan patut.
Hak menentukan prioritasdalam pembangunan
Pasal 7
Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan berhakmemutuskan prioritas-prioritas mereka sendiri untuk prosespembangunan ketika proses tersebut mempengaruhikehidupan, kepercayaan, institusi-institusi dan kesejahteraanrohani mereka serta tanah-tanah yang mereka diami atauapabila tidak mereka diami, mereka gunakan, dan untukmenjalankan kendali, sedapat mungkin, terhadappembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri. Disamping itu, mereka berpartisipasi dalam perumusan,implementasi dan evaluasi rencana-rencana dan program-program pembangunan nasional maupun regional yangdapat membuat mereka secara langsung terkena dampaknya.
Sumber: ILO, 2009.
Konvensi ILO 169 ini masih belum diratifikasi ke dalam hukum nasional secararesmi oleh Pemerintah Indonesia. Meskipun demikian, beberapa perjanjianinternasional terkait Masyarakat Hukum Adat telah diratifikasi atauditandatangani oleh Pemerintah Indonesia (lihat tabel 5).
Pada tahun 1994 misalnya, Pemerintah Indonesia meratifikasi Convention onBiological Diversity atau Konvensi Keanekaragaman Hayati melalui UU No. 5Tahun 1994. Dalam Konvensi tersebut disebutkan tanggung jawabpemerintah untuk, sejalan dengan peraturan perundang-undangan nasional:“menghormati, melindungi dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktek-praktek masyarakat asli dan lokal yang mencerminkan
63
gaya hidup berciri tradisional, sesuai dengan konservasi dan pemanfaatansecara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan penerapannyasecara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuaninovasi-inovasi dan praktek-praktek tersebut semacam itu mendorongpembagian yang adil keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaanpengetahuan, inovasi-inovasi dan praktek-praktek semacam itu”.
Pemerintah Indonesia juga meratifikasi konvensi internasional lain terkaitdengan hak asasi manusia, yaitu the International Covenant on Economic,Social and Cultural Rights, dan the International Covenant on Civil and PoliticalRights. Kemudian diratifikasi juga the Convention on the Elimination of AllForms of Racial Discrimination.
Tabel 5. Perjanjian Internasional terkait Masyarakat Hukum Adat yangdiratifikasi/ditandatangani Pemerintah Indonesia
Instrumen Hukum Internasional Ratifikasi/tandatangan
Convention on Biological Diversity UU No. 5 Tahun 1994
ILO Convention No. 111 UU No. 21 Tahun 1999
Convention on the Elimination of All Forms of RacialDiscrimination (CERD)
UU No. 29 Tahun 1999
International Covenant on Economic, Social andCultural Rights (ICESCR)
UU No. 11 Tahun 2005
International Covenant on Civil and Political Rights(ICCPR)
UU No. 12 Tahun 2005
Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources andThe Fair and Equitable Sharing of Benefits Arisingfrom Their Utilization to The Convention OnBiological Diversity
UU No. 11 Tahun 2013
UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples2007
Ditandatangani
64
Pada tahun 1999, Pemerintah meratifikasi Konvensi ILO 111 yang bertujuanmembatasi diskriminasi dan mempromosikan kesetaraan dalam pekerjaandan jabatan termasuk bagi Masyarakat Hukum Adat.
Sebuah Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Masyarakat HukumAdat (UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, UNDRIP) dihasilkanpada tahun 2007. Indonesia adalah salah satu negara yang menandatanganiDeklarasi tersebut. Deklarasi ini bertujuan melindungi hak-hak MasyarakatHukum Adat untuk memelihara dan menguatkan pranata adat, kebudayaandan tradisi mereka dan untuk menikmati pembangunan sesuai dengankebutuhan dan aspirasi mereka.
Perjanjian internasional terbaru yang diratifikasi adalah Protokol Nagoya.Perjanjian ini mengatur mengenai perlindungan hak Masyarakat Hukum Adatuntuk memperoleh pembagian manfaat yang adil dari pemanfaatan sumberdaya genetik dan keanekaragaman hayati serta pengetahuan tradisionalberkaitan dengan pemanfaatan sumber daya tersebut.
67
5. KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB
PEMERINTAH DAERAH
Apakah pengaturan dan penetapan Masyarakat Hukum Adat
merupakan kewenangan Pemerintah Daerah
atau Pemerintah Pusat?
Apakah pengaturan dan penetapan itu merupakan
urusan wajib atau urusan pilihan?
Apakah Pemerintah Daerah dapat membuat peraturan untuk
mengatur dan menetapkan Masyarakat Hukum Adat
sebelum ada undang-undang mengenai Masyarakat Hukum Adat?
Pertanyaan-pertanyaan ini kerap disampaikan oleh unsur pemerintahan
daerah ketika menanggapi gagasan pembentukan produk hukum daerahuntuk Masyarakat Hukum Adat. Pada bagian ini kita mendiskusikan dasarhukum untuk kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Daerahmengatur dan menetapkan Masyarakat Hukum Adat.
Kewenangan menurut Konstitusi
UUD 1945 mengatur Masyarakat Hukum Adat dalam tiga aspek:
Aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah
Pasal 18B ayat (2):
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakathukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dansesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara KesatuanRepublik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Aspek Hak Asasi Manusia
Pasal 28I ayat (3)
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selarasdengan perkembangan zaman dan peradaban.
68
Aspek perlindungan dan pengembangan kebudayaan
Pasal 32 Ayat (1):
Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradabandunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara danmengembangkan nilai-nilai budayanya.
Dari ketiga hal tersebut maka kita melihat bahwa pengakuan KesatuanMasyarakat Hukum Adat dan hak-hak tradisional termasuk wilayah dimanahak-hak itu dijalankan merupakan bagian dari tanggung jawab Negaraterhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh sebab itu, sangatberalasan jika kewenangan utama untuk pengaturan dan penetapanMasyarakat Hukum Adat itu ada pada pemerintahan daerah, dalam hal iniKepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Alasan yang lainadalah, kekhasan Masyarakat Hukum Adat di setiap daerah yang berbeda-beda tidak memungkinkan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan nasional. Sejalan dengan itu, kita juga perlu melihat Pasal 18 ayat(6) UUD 1945 yang menyatakan: “Pemerintahan daerah berhak menetapkanperaturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomidan tugas pembantuan.”
Kewenangan menurut UU Pemerintahan Daerah
UU Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014, yang menggantikan UU No. 32Tahun 2004, menetapkan penggolongan urusan pemerintahan menjadi tiga:
1. Urusan Pemerintahan Absolut:
a. Kewenangan mutlak PemerintahPusat.
b. Meliputi enam urusan yaitu politikluar negeri, pertahanan,keamanan, yustisi, moneter danfiskal nasional, dan agama.
2. Urusan Pemerintahan Konkuren:
a. Kewenangan yang dibagi antaraPemerintah Provinsi dan Pemerintah
b. Dasar pelaksanaan otonomi daerah.
Mengakui Masyarakat HukumAdat adalah urusan wajib PemerintahDaerah, terutama terkait urusan di bidangpertanahan, lingkungan hidup danpemberdayaan masyarakat dan desa.
Pemerintah Pusat denganKabupaten/Kota.
69
c. Urusan Daerah meliputi:
i. Urusan Wajib:
a) Urusan Wajib untuk pelayanan dasar.
b) Urusan Wajib untuk bukan pelayanan dasar.
ii. Urusan Pilihan.
Tabel 6. Urusan Pemerintahan Daerah
Urusan Wajib Urusan Pilihan
Pelayanan Dasar Non-Pelayanan Dasar
Pendidikan;
Kesehatan;
Pekerjaan umum danpenataan ruang;
Perumahan rakyat dankawasan permukiman;
Ketenteraman, ketertibanumum, dan pelindunganmasyarakat; dan sosial.
Tenaga kerja;
Pemberdayaan perempuandan pelindungan anak;
Pangan;
Pertanahan;
Lingkungan hidup;
Administrasi kependudukandan pencatatan sipil;
Pemberdayaan masyarakatdan Desa;
Pengendalian pendudukdan keluarga berencana;
Perhubungan;
Komunikasi daninformatika;
Koperasi, usaha kecil, danmenengah;
Penanaman modal;
Kepemudaan dan olah raga;
Statistik;
Persandian;
Kebudayaan;
Perpustakaan; dan
Kearsipan.
Kelautan dan perikanan;
Pariwisata;
Pertanian;
Kehutanan;
Energi dan sumber dayamineral;
Perdagangan;
Perindustrian; dan
Transmigrasi.
70
3. Urusan Pemerintahan Umum:
a. Kewenangan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.
b. Meliputi urusan yang berkaitan dengan pembinaan wawasankebangsaan dan ketahanan nasional, pelestarian Bhinneka TunggalIka serta pemerintahan dan pemeliharaan keutuhan Negara KesatuanRepublik Indonesia; pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;pembinaan kerukunan antarsuku dan intrasuku, umat beragama, ras,dan golongan lainnya guna mewujudkan stabilitas kemanan lokal,regional, dan nasional; penanganan konflik sosial; koordinasipelaksanaan tugas antarinstansi pemerintahan yang ada di wilayahDaerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota untuk menyelesaikanpermasalahan yang timbul dengan memperhatikan prinsipdemokrasi, hak asasi manusia, pemerataan, keadilan, keistimewaandan kekhususan, potensi serta keanekaragaman Daerah sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan; pengembangankehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila.
c. Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan kewenangan Daerahdan tidak dilaksanakan oleh Instansi Vertikal.
Kewenangan mengatur dan menetapkan Masyarakat Hukum Adat terdapatdalam urusan wajib bukan pelayanan dasar, khususnya pada bidangpertanahan, lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat dan desa.Pada tabel 7 dapat dilihat bagaimana pembagian kewenangan PemerintahPusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota terkait denganpenyelenggaraan kewenangan di ketiga bidang yang berkaitan denganMasyarakat Hukum Adat.
71
Tabe
l7.P
emba
gian
Kew
enan
gan
Pem
erin
tah
terk
aitu
rusa
nM
asya
raka
tHuk
umA
dat
Bida
ngSu
b-ur
usan
Pem
erin
tah
Pusa
tPe
mer
inta
hPr
ovin
siPe
mer
inta
hKa
bupa
ten/
Kota
Pert
anah
anTa
nah
Ula
yat
Pene
tapa
nta
nah
ulay
atya
nglo
kasi
nya
linta
sD
aera
hka
bupa
ten/
kota
dala
msa
tuD
aera
hpr
ovin
si
Pene
tapa
nta
nah
ulay
atya
nglo
kasi
nya
dala
mD
aera
hka
bupa
ten/
kota
.
Ling
kung
anH
idup
Peng
akua
nke
bera
daan
Mas
yara
kat
Huk
umA
dat
(MH
A),
kear
ifan
loka
ldan
hak
MH
Aya
ngte
rkai
tde
ngan
Perli
ndun
gan
dan
Peng
elol
aan
Ling
-ku
ngan
Hid
up(P
PLH
)
Pe
neta
pan
peng
akua
nM
HA
,ke
arifa
nlo
kal
atau
peng
etah
uan
tra-
disi
onal
dan
hak
MH
Ate
rkai
tde
ngan
PPLH
yang
bera
dadi
2(d
ua)
atau
lebi
hD
aera
hpr
ovin
si.
Pe
ning
kata
nka
pasi
tas
MH
A,
kear
ifan
loka
lat
aupe
nget
ahua
ntr
a-di
sion
alda
nha
kM
HA
terk
ait
deng
anPP
LHya
ngbe
rada
di2
(dua
)at
aule
bih
Dae
rah
prov
insi
.
Pe
neta
pan
peng
akua
nM
HA
,ke
arifa
nlo
kal
atau
peng
e-ta
huan
trad
isio
nal
dan
hak
kear
ifan
loka
lat
aupe
nge-
tahu
antr
adis
iona
lda
nha
kM
HA
terk
ait
deng
anPP
LHya
ngbe
rada
didu
aat
aule
bih
Dae
rah
kabu
pate
n/ko
tada
lam
satu
Dae
rah
prov
insi
.
Pe
ning
kata
nka
pasi
tas
MH
A,
kear
ifan
loka
lat
aupe
nge-
tahu
antr
adis
iona
lda
nha
kke
arifa
nlo
kal
atau
peng
e-ta
huan
trad
isio
nal
dan
hak
MH
Ate
rkai
tde
ngan
PPLH
yang
bera
dadi
dua
atau
lebi
hD
aera
hka
bupa
ten/
kota
dala
msa
tuD
aera
hpr
ovin
si.
Pe
neta
pan
peng
akua
nM
HA
,ke
arifa
nlo
kal
atau
peng
etah
uan
trad
isio
nal
dan
hak
kear
ifan
loka
lat
aupe
nget
ahua
ntr
adis
i-on
alda
nha
kM
HA
terk
ait
deng
anPP
LHya
ngbe
rada
diD
aera
hka
bupa
ten/
kota
.
Pe
ning
kata
nka
pasi
tas
MH
A,
kear
ifan
loka
lat
aupe
nget
ahua
ntr
adis
iona
lda
nha
kke
arifa
nlo
kal
atau
peng
etah
uan
trad
isi-
onal
dan
hak
MH
Ate
rkai
tde
ngan
PPLH
yang
bera
dadi
Dae
rah
kabu
pate
n/ko
ta.
Pem
berd
ayaa
nM
asya
raka
tda
nD
esa
Pena
taan
Des
a
Pem
bent
ukan
Des
adi
kaw
asan
yang
bers
ifat
khus
usda
nst
rate
gis
bagi
kepe
ntin
gan
nasi
o-na
l.
Pe
nerb
itan
kode
Des
abe
rdas
arka
nno
mor
re-
gist
rasi
dari
Gub
ernu
rse
baga
iW
akil
Pem
erin
-ta
hPu
sat.
Pene
tapa
nsu
suna
nke
lem
baga
an,
peng
isia
nja
bata
n,da
nm
asa
jaba
tan
kepa
lade
saad
atbe
r-da
sark
anhu
kum
adat
.
Peny
elen
ggar
aan
pena
taan
Des
a.
Sum
ber:
UU
No.
23Ta
hun
2014
.
74
Kewenangan menurut Peraturan Perundang-undangan lain
Sejumlah peraturan perundang-undangan juga telah memberikankewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menerbitkan produk hukumdaerah guna penetapan keberadaan Masyarakat Hukum Adat/Desa Adat danhak ulayatnya.
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan peraturan pelaksanaannya yakni PPNo. 43 Tahun 2014 menyebutkan bahwa penetapan Desa Adat itumerupakan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dan ditetapkanmelalui Peraturan Daerah. Hal ini dikuatkan oleh UU No. 23 Tahun 2014tentang Pemerintahan Daerah (lihat kembali tabel 7).
Secara khusus, kita dapat melihat hal ini termaktub dalam Pasal 29 PP No. 43Tahun 2014 yang menyatakan:
(1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan inventarisasi Desa yangada di wilayahnya yang telah mendapatkan kode Desa.
(2) Hasil inventarisasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikandasar oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk menetapkan desadan desa adat yang ada di wilayahnya.
(3) Desa dan desa adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkandengan peraturan daerah kabupaten/kota.
Dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan kita juga menemukanbahwa Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk mengukuhkankeberadaan masyarakat hukum adat (lihat Pasal 67 ayat (2) UU tersebut).
Pedoman pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat yangditerbitkan Kementerian Dalam Negeri melalui Peraturan Menteri DalamNegeri (Permendagri) No. 52 Tahun 2014 memberikan kewenangan kepadaDaerah untuk melakukan identifikasi, verifikasi dan validasi serta penetapanMasyarakat Hukum Adat.
Kewenangan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan MK 35 sebagaiman telah dibahas pada bab 2 menyatakan bahwauntuk pelaksanaan Pasal 18B ayat (2) seharusnya dilakukan dalam undang-
75
undang. Namun, untuk mengatasi kekosongan hukum maka pengaturanmelalui Peraturan Daerah dapat dibenarkan.
77
6. PRODUK HUKUM DAERAH
UNTUK PENGAKUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
Apakah bentuk-bentuk produk hukum daerah?
Apa beda Produk Hukum yang bersifat pengaturan dan penetapan?
Bentuk dan sifat produk hukum daerah apa yang diperlukan
untuk pengakuan Masyarakat Hukum Adat?
Mengenal bentuk produk hukum daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2014 tentang PembentukanProduk Hukum Daerah menyatakan bahwa produk hukum daerah itumeliputi Peraturan Daerah atau nama lainnya, Peraturan Kepala Daerah,Peraturan Bersama Kepala Daerah, Peraturan DPRD dan peraturan yangberbentuk keputusan meliputi Keputusan Kepala Daerah, Keputusan DPRD,Keputusan Pimpinan DPRD, dan Keputusan Badan Kehormatan DPRD.
Produk hukum daerah ada yang bersifat pengaturan dan ada yang bersifatpenetapan. Produk hukum yang bersifat pengaturan memberikan aturanyang berlaku umum terhadap suatu bidang. Permendagri No. 1 Tahun 2014memberikan contoh produk hukum daerah yang bersifat pengaturan adalahPeraturan Daerah atau Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) atau namalainnya (misalnya Qanun), Peraturan Kepala Daerah (Peraturan Gubernur atauPeraturan Bupati/Walikota) Peraturan Bersama Kepala Daerah (PeraturanBersama Gubernur atau Peraturan Bersama Bupati/Walikota) atau PeraturanDPRD. Sementara itu produk hukumdaerah yang bersifat penetapan adalahproduk hukum yang bersifat konkrit,individual, final dan berakibat hukum padaseseorang atau badan hukum perdata.Termasuk ke dalam kategori penetapan iniadalah Keputusan Kepala Daerah(Keputusan Gubernur atau KeputusanBupati/Walikota), Keputusan DPRD,Keputusan Pimpinan DPRD, dan KeputusanBadan Kehormatan DPRD.
Produk hukum daerah ada
yang bersifat pengaturan (regeling) dan
ada yang bersifat penetapan
(beschikking). Peraturan Daerah adalah
salah satu contoh produk hukum bersifat
regeling, Keputusan Bupati adalah contoh
peraturan yang bersifat beschikking.
78
Peraturan Daerah termasuk kelompok produk hukum daerah yang sifatnyamengatur, jika kita lihat dari isinya akan ditemukan tiga jenis PeraturanDaerah. Pertama adalah Peraturan Daerah yang murni bersifat pengaturan.Misalnya Peraturan Daerah tentang tata cara penerbitan izin. Yang keduaadalah Peraturan Daerah yang sifatnya penetapan. Dapat disebutkancontohnya di sini adalah penetapan desa dan penetapan atau kadang-kadang disebut juga pengukuhan Masyarakat Hukum Adat. Yang terakhiradalah Peraturan Daerah yang mengatur struktur organisasi dan tata kerja didaerah.
79
Bentuk Produk Hukum Daerah(Permendagri No. 1 Tahun 2014)
Pengaturan
• Peraturan Daerah (nama lain)• Perda Provinsi
• Perda Kabupaten/kota
• Peraturan Kepala Daerah
• Peraturan Gubernur
• Peraturan Bupa /walikota
• Peraturan Bersama Kepala Daerah
• Peraturan Bersama Gubernur
• Peraturan Bersama Bupa /Walikota
• Peraturan DPRD
Penetapan
• Keputusan Kepala Daerah• Keputusan DPRD
• Keputusan Pimpinan DPRD
• Keputusan Badan KehormatanDPRD
Produk hukum daerah untuk penetapan Masyarakat Hukum Adat/DesaAdat
Pada bagian sebelumnya kita mengetahui meskipun Peraturan Daerah padaumumnya bersifat pengaturan terdapat pula Perda yang bersifat penetapan.Misalnya Perda tentang pembentukan desa. Hal ini juga berlaku untukundang-undang, seperti halnya undang-undang pembentukan provinsi ataukabupaten/kota. Dengan dasar ini maka penetapan Masyarakat Hukum Adatataupun Desa Adat juga dapat dilakukan dengan Peraturan Daerah.Peraturan Daerah yang bersifat penetapan ini akan memberikan kekuatanhukum yang lebih efektif bagi keberadaan Masyarakat Hukum Adat tertentusebagai subjek hukum dan pengakuan terhadap wilayah adatnya.
Langkah-langkah menyusun Peraturan Daerah
Penyusunan Perda dapat dilakukan melalui dua jalur, yakni melalui prakarsaPemerintah Daerah atau melalui prakarsa DPRD. Langkah-langkahpenyusunan Perda pada kedua jalur ini dijelaskan pada bagian berikut.
80
Penyusunan Perda melalui prakarsa Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota:
1. Rencana penyusunan Perda dimasukkan ke dalam Program LegislasiDaerah (Prolegda) usulan Pemerintah Daerah.
2. Kepala Daerah memerintahkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)terkait menyusun Rancangan Perda (Ranperda) beserta naskahakademiknya.
3. Kepala Daerah membentuk Tim Penyusun Ranperda.
4. Ranperda dan naskah akademik untuk pengakuan Masyarakat HukumAdat sebaiknya dikonsultasikan dengan Masyarakat Hukum Adat danpihak-pihak terkait lain.
5. Ranperda harus mendapat paraf/persetujuan dari Kepala Bagian Hukumdan SKPD terkait.
6. Pimpinan SKPD atau pejabat yang ditunjuk mengajukan Ranperda yangtelah mendapat paraf koordinasi kepada kepala daerah melalui sekretarisdaerah.
7. Sekretaris daerah dapat melakukan perubahan dan/atau penyempurnaanterhadap Rancangan Perda yang telah diparaf koordinasi.
8. Jika terdapat perubahan dan/atau penyempurnaan maka SekretarisDaerah mengembalikan Ranperda kepada pimpinan SKPD pemrakarsa.
9. Hasil penyempurnaan Ranperda disampaikan kembali kepada sekretarisdaerah setelah dilakukan paraf koordinasi oleh kepala bagian hukumkabupaten/kota serta pimpinan SKPD terkait.
10. Sekretaris daerah menyampaikan Ranperda kepada kepala daerah.
11. Kepala Daerah menyampaikan Ranperda kepada pimpinan DPRD.
12. Pembahasan Ranperda bersama DPRD.
Penyusunan Perda melalui prakarsa DPRD:
1. Ranperda diajukan oleh anggota DPRD, komisi, gabungan komisi, atauBadan Legislasi Daerah (Balegda).
2. Ranperda disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPRD disertaidengan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik.
3. Pimpinan DPRD menyampaikan Ranperda kepada Balegda untuk
81
dilakukan pengkajian.
4. Pimpinan DPRD menyampaikan hasil pengkajian Perda oleh Balegdadalam rapat paripurna DPRD.
5. Rapat paripurna DPRD memutuskan usul Ranperda (disetujui, disetujuidengan perubahan, atau ditolak).
6. Jika disetujui, Pimpinan DPRD menugasi komisi, gabungan komisi,Balegda, atau panitia khusus untuk menyempurnakan Ranperda.
7. Penyempurnaan Ranperda disampaikan kepada Pimpinan DPRD.
8. Pimpinan DPRD menyampaikan Ranperda yang telah disempurnakankepada kepala daerah untuk dilakukan pembahasan.
Yang perlu Anda ketahui tentangProlegda
þ Prolegda dapat disusun oleh Pemerintah Daerah atau DPRD;
þ Prolegda ditetapkan untuk jangka waktu satu tahunberdasarkan skala prioritas pembentukan Ranperda;
þ Penyusunan dan penetapan Prolegda dilakukan setiap tahunsebelum penetapan Ranperda tentang APBD;
þ Penyusunan Prolegda dikoordinasikan oleh Bagian HukumPemkab (Prolegda Pemda) atau oleh Balegda (Prolegda DPRD);
þ Prolegda disepakati Pemda dan DPRD;
þ Di luar Prolegda umum dapat disusun Ranperda untukmelaksanakan peraturan yang lebih tinggi, penataan desa ataunama lain, Perda untuk mengatasi keadaan luar biasa,keadaan konflik, atau Perda untuk keadaan tertentu lainnya.
82
Produk Hukum Daerah untuk Masyarakat Hukum Adat
Pada umumnya, peraturan perundang-undangan nasional dan PutusanMahkamah Konstitusi mensyaratkan penetapan Masyarakat Hukum Adatdilakukan melalui Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (lihat misalnya UU No.41 Tahun 1999, UU No. 1 Tahun 2014, UU No. 6 Tahun 2014). HanyaPermendagri No. 52 Tahun 2014 yang menyebutkan bentuk hukumpengakuan Masyarakat Hukum Adat itu adalah Keputusan Kepala Daerah.
Karena berbeda-bedanya pengaturan ini maka dalam praktiknya banyakPemerintah Daerah yang bingung. Manakah yang harus diikuti? Apakahketentuan yang menyatakan penetapan Masyarakat Hukum Adat harusmelalui Peraturan Daerah atau cukup dengan Keputusan Kepala Daerah?
83
84
Kita mengetahui bahwa sesuai dengan hirarki perundang-undangan,Peraturan Menteri itu berada di bawah undang-undang. Oleh sebab itumateri muatannya sebaiknya tidak bertentangan dengan undang-undang.Dengan argumentasi ini maka pengakuan Masyarakat Hukum Adat sebaiknyadilakukan melalui Peraturan Daerah.
Membentuk Perdamelalui inisia f DPRD
Ranperda olehAnggota DPRD,
Komisi, GabunganKomisi, Balegda
Disampaikan kepadaPimpinan DPRDdisertai Naskah
Akademik
Pimpinan DPRDmenyampaikankepada Balegda
untuk dikaji
Pimpinan DPRDmenyampaikanRanperda dalamRapat Paripurna
Keputusan Paripurna(menyetujui,
menolak,mengubah)
Pembahasan denganKepala Daerah
Meskipun demikian, kita menyadari bahwa proses pembentukan PeraturanDaerah itu memerlukan waktu yang cukup panjang, setidaknyadibandingkan dengan penerbitan Keputusan Kepala Daerah. Oleh sebab itu,sebagai solusi kita dapat membuat Peraturan Daerah yang isinyamenetapkan Masyarakat Hukum Adatsecara umum di Kabupaten/Kota tertentu.Sementara itu kerincian mengenai wilayahadatnya dilakukan melalui KeputusanKepala Daerah. Keberadaan KeputusanKepala Daerah di sini harus dimandatkandengan jelas oleh Peraturan Daerah.Dengan demikian Keputusan ini merupakanpelaksanaan pendelegasian wewenangkepada Kepala Daerah untuk membentuk
Pemerintah Daerah perlu
menyusun definisi dan kriteria
Masyarakat Hukum Adat yang sesuai
dengan kondisi masyarakat di
daerahnya, dengan tetap mengacu pada
peraturan perundang-undangan dan
Putusan Mahkamah Konstitusi.
85
produk hukum yang diperlukan dalam pengakuan keberadaan MasyarakatHukum Adat dan wilayahnya.
Menyadari bahwa kondisi Masyarakat Hukum Adat di Indonesia ini sangatberagam, kami menganjurkan agar Pemerintah Daerah menyusun definisidan kriteria yang khusus mengenai Masyarakat Hukum Adat di daerahnya.Apa yang disebutkan dalam peraturan perundang-undangan nasional (lihatkembali tabel 1) pada dasarnya adalah acuan yang perlu dikembangkan lebihjauh sesuai dengan kekhasan daerah.
Peraturan Daerah mengenai Masyarakat Hukum Adat perlu meliputipengaturan secara umum mengenai kebijakan pengakuan, penghormatandan perlindungan Masyarakat Hukum Adat, hak-hak dan wilayahnya.7 Selainitu diperlukan pula Peraturan Daerah yang sifatnya menetapkan keberadaanmasyarakat hukum adat dan wilayahnya (selanjutnya disebut PerdaPenetapan).
Ada dua model Perda Penetapanyang dapat digunakan. Pertamaadalah Perda untuk menetapkanMasyarakat Hukum Adat yangkeberadaannya sudah tidakdiperdebatkan lagi di daerah tersebut.Sebagai contoh adalah nagari diSumatera Barat. Tidak ada yangmembantah bahwa nagari adalahsalah satu bentuk Masyarakat Hukum Alain adalah Orang Baduy dan Kasepuhsecara sosial juga diakui sebagai Masyara
Yang kedua adalah Perda untuk Masyarawilayahnya masih memerlukan upaya ledimungkinkan terjadi karena kuran
7 Bagian ini dan seterusnya diringkas dar
Arizona, 2014. Panduan Pelaksanaan Penga
Hutan. Laporan disampaikan kepada Unit
Pengendalian Pembangunan (UKP4), tidak
Perda untuk pengakuan Masyarakat
Hukum Adat sebaiknya memuat pengaturan
tentang kebijakan umum pengakuan,
perlindungan dan penghormatan serta
penetapan MHA dan wilayah adatnya.
dat di daerah tersebut. Contoh yangan di Kabupaten Lebak. Keduanyakat Hukum Adat.
kat Hukum Adat yang keberadaan danbih jauh untuk memverifikasi. Hal inignya bukti kesejarahan, kondisi
i Safitri, Warman, Firdaus, Muhajir dan
kuan dan Pembuktian Hak dalam Kawasan
Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan
diterbitkan.
86
masyarakat yang relatif heterogen, perpindahan yang dilakukan atauterpaksa dilakukan oleh masyarakat di masa pra kolonial, masa kolonial danpasca kolonial.
Untuk Perda model pertama, kesulitan akan ada pada penetapan wilayahadat. Idealnya, penetapan wilayah adat dilakukan bersamaan denganpenetapan Masyarakat Hukum Adat. Artinya, peta wilayah adat menjadilampiran dari Perda. Tetapi, jika hal ini sulit dilakukan maka penetapanwilayah adat itu dapat dilakukan kemudian melalui Keputusan KepalaDaerah. Syaratnya ketentuan mengenai penetapan melalui Keputusan KepalaDaerah itu dinyatakan dalam Perda. Contoh Rancangan Perda untuk modelini dapat dilihat pada lampiran 1 dan contoh Rancangan Keputusan KepalaDaerah dapat dilihat pada lampiran 2.
Pada Perda model kedua, materi muatan akan lebih banyak mengatur tatacara penetapan masyarakat hukum adat dan wilayah adatnya. Namun, perludisebutkan dalam salah satu ketentuannya bahwa Pemerintah Daerahmengakui keberadaan Masyarakat Hukum Adat di daerah tersebut.Penetapan Masyarakat Hukum Adat itu secara khusus serta wilayah adatnyadilakukan melalui Keputusan Kepala Daerah. Penting disebutkan dalam Perdabahwa penerbitan Keputusan Kepala Daerah itu merupakan pendelegasianwewenang. Contoh Rancangan Perda model ini dapat dilihat pada lampiran 3sedangkan contoh Rancangan Keputusan Kepala Daerah dapat dilihat padalampiran 4.
89
7. PENUTUP
Pemerintah Daerah berwenang membuat produk hukum daerah untuk
mengakui Masyarakat Hukum Adat, hak-hak dan wilayah adatnya. Sejumlahundang-undang dan Putusan Mahkamah Konstitusi memandatkan haltersebut. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkankewenangan Pemerintah Daerah untuk mengakui, menghormati, melindungidan memenuhi hak-hak Masyarakat Hukum Adat adalah urusan wajib yangbukan termasuk pelayanan dasar.
Keragaman kondisi Masyarakat Hukum Adat perlu menjadi perhatian dalampenyusunan produk hukum daerah. Pemerintah Daerah bersama-samadengan Masyarakat Hukum Adat, akademisi dan pendamping masyarakatperlu membahas bersama definisi dan kriteria Masyarakat Hukum Adat yangpaling sesuai dengan kondisi di daerahnya. Berbagai kriteria tentangMasyarakat Hukum Adat yang dikembangkan oleh para ahli sejak masakolonial dan sebagian daripadanya diadopsi oleh peraturan perundang-undangan tidak dimaksudkan untuk menjadi referensi tunggal mengenaikeberadaan Masyarakat Hukum Adat. Bagaimanapun, kondisi MasyarakatHukum Adat di Indonesia sangat beragam. Demikian pula terdapat dinamikaperkembangan masyarakat yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, kriteria yangkhas dan disepakati bersama menjadi kunci untuk membentuk produkhukum daerah yang baik.
Produk hukum daerah yang diperlukan untuk pengakuan yang nyata padaMasyarakat Hukum Adat adalah yang bersifat penetapan. Beberapa modelpengaturan telah disampaikan dalam Buku ini. Model-model ini perluditanggapi sebagai inspirasi untuk menyusun produk hukum daerah. Halpaling penting dalam penyusunan produk hukum ini adalah pelibatanMasyarakat Hukum Adat dan kelompok masyarakat sipil seluas-luasnya.Konsultasi dengan para pihak ini menjadi syarat penting untuk menjadikanproduk hukum yang dihasilkan memperoleh legitimasi.
Produk hukum daerah yang baik adalah peraturan yang memenuhi syaratformal dalam pembentukannya, mengandung materi muatan yang jelas,tegas, mudah dilaksanakan dan berperspektif keadilan, serta dirumuskandalam proses yang partisipatif. Dengan cara itu maka penyusunan produk
90
hukum daerah untuk pengakuan Masyarakat Hukum Adat dapat menjadisarana mewujudkan negara hukum yang demokratis dan berkeadilan.
91
REFERENSI
Arizona, Y., 2014, Masyarakat adat, masyarakat hukum adat dan desa adat.Presentasi, Balikpapan 27-28 Maret.
Burns, P. 2004, The Leiden legacy: Concepts of law in Indoneesia. Leiden: KITLV.
Durkheim, E. 1997, The division of labor in society, New York: Free Press.
ELSAM dan LBBT, 1998. Konvensi ILO 169 Mengenai Bangsa Pribumi dan
Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka. Jakarta: ELSAM.
Holleman, J.F. (ed.), 1981, Van Vollenhoven on Indonesian adat law: Selectionsfrom ‘Het Adatrecht van Nederlands-Indië’ (Volume 1, 1918; Volume II,1931). The Hague: Martinus Nijhoff.
ILO, 2009. K 169, Konvensi Masyarakat Hukum Adat 1989. Cetakan kedua.Jakarta: ILO.
Koentjaraningrat, 1982, Sejarah teori Antropologi I. Jakarta: Penerbit UI,Cetakan kedua.
Safitri, M.A., 2014, Kembali ke daerah: Sebuah pendekatan realistik untukpelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012,makalah disampaikan dalam diskusi memperingati setahun PutusanMK No. 35/PUU-X/2012, diselenggarakan oleh Aliansi MasyarakatAdat Nusantara (AMAN) dan sejumlah organisasi masyarakat sipil diJakarta, 13 Mei.
Safitri, M.A. dan Arizona, Y. 2013. Indigenous peoples in Indonesia:Opportunities and challenges to recognize their rights in law anddevelopment programmes. Laporan disampaikan kepada InternationalLabour Organizations, tidak diterbitkan.
Safitri, M.A., Warman, K. Firdaus, A.Y., Muhajir, M., dan Arizona, Y. 2014.Panduan pelaksanaan pengakuan dan pembuktian hak dalam kawasanhutan. Laporan disampaikan kepada Unit Kerja Presiden BidangPengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), tidakditerbitkan.
93
LAMPIRAN 18
Contoh Perda Pengakuan Masyarakat Hukum Adat untuk Daerah yangMasyarakat Hukum Adat dan wilayah adatnya lebih jelas dan tidakdiperdebatkan lagi
PERATURAN DAERAH KABUPATEN [NAMA KABUPATEN]
NOMOR [NOMOR PERATURAN] TAHUN [TAHUN PENGUNDANGAN]
TENTANG
MASYARAKAT [sebutkan NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT,misalnya MASYARAKAT KASEPUHAN untuk Kabupaten Lebak, Banten]
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI [NAMA KABUPATEN],
Menimbang : a. bahwa pengakuan dan penghormatan MasyarakatHukum Adat dan hak tradisionalnya merupakanamanat dari Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945;
b. bahwa keberadaan Masyarakat Hukum Adat [NAMAUMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] diKabupaten [NAMA KABUPATEN] masih ada danmenjadi bagian dari komponen masyarakat yang harusdiakui dan dihormati keberadaannya oleh negara;
8 Lampiran 1 hingga Lampiran 4 bersumber dari: Safitri, Warman, Firdaus, Muhajir dan
Arizona, 2014. Panduan Pelaksanaan Pengakuan dan Pembuktian Hak dalam Kawasan
Hutan. Laporan disampaikan kepada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan (UKP4), tidak diterbitkan.
LAMBANG
DAERAH
94
c. bahwa pengakuan dan penghormatan terhadapMasyarakat Hukum Adat dan hak tradisionalnyaberdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan dalam peraturan daerah;
d. bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah KonstitusiPerkara Nomor 35/PUU-X/2012 mengenai PengujianUndang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentangKehutanan, dalam rangka menjamin adanya kepastianhukum yang berkeadilan terhadap Masyarakat HukumAdat dan hak tradisionalnya dapat diatur dalamPeraturan Daerah; dan
e. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, huruf b,huruf c dan huruf d, perlu membentuk PeraturanDaerah tentang Masyarakat [NAMA UMUM DARIMASYARAKAT HUKUM ADAT];
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6); Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3)Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentangPeraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 2043);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentangPengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan SegalaBentuk Diskriminasi terhadap Wanita (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29;Tambahan Lembaran Negara 3277);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentangKonservasi Sumber Daya Alam Hayati danEkosistemnya (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1990 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara3419);
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentangPengesahan United Nations Convention on BiologicalDiversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsamengenai Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara
95
Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 41; TambahanLembaran Negara 3556);
6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HakAsasi Manusia (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara3886);
7. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentangKehutanan (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telahdiubah dengan Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2004 Nomor 29) yang telahditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 4412);
8. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SistemPendidikan Nasional (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan LembaranNegara Nomor 4301);
9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang SumberDaya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2004 Nomor 32; Tambahan Lembaran Negara Nomor4377);
10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentangAdministrasi Kependudukan (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124; TambahanLembaran Negara Nomor 4674) sebagaimana telahdiubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2013 Nomor 232; Tambahan Lembaran Negara Nomor5475);
11. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentangPenataan Ruang (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
96
Nomor 4725);
12. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentangPengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4379)sebagaimana telah diubah dengan Undang-UndangNomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PengelolaanWilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 2,Tambahan Lembaran Negara Nomor 5490);
13. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentangPerlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara 5059);
14. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentangKesehatan (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara5063);
15. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang CagarBudaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara 5168);
16. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentangInformasi Geospasial (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2014 Nomor 49; Tambahan LembaranNegara Nomor 5214);
17. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentangPenanganan Konflik Sosial (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2014 Nomor 116; TambahanLembaran Negara Nomor 5315);
18. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentangPengesahan Nagoya Protocol on Access to GeneticResources and The Fair and Equitable Sharing of BenefitsArising from Their Utilization to The Convention onBiological Diversity (Protokol Nagoya tentang Aksespada Sumber Daya Genetik dan PembagianKeuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dariPemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman
97
Hayati) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2013 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara 5412);
19. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentangPencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013Nomor 130; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5432);
20. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5495);
21. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentangPemerintahan Daerah (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2014 Nomor 244; TambahanLembaran Negara Nomor 5587);
22. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentangPerkebunan (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2014 Nomor 308; Tambahan Lembaran NegaraNomor 5613);
23. Undang-undang Nomor [NOMOR UNDANG-UNDANG]Tahun [TAHUN UNDANG-UNDANG] tentangPembentukan [NAMA PROVINSI] (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor [NOMOR LEMBERANNEGARA], Tambahan Lembaran Negara Nomor[NOMOR TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA]);
24. Undang-undang Nomor [NOMOR UNDANG-UNDANG]Tahun [TAHUN UNDANG-UNDANG] tentangPembentukan [NAMA KABUPATEN] (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor [NOMOR LEMBARANNEGARA], Tambahan Lembaran Negara Nomor[NOMOR TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA]);
25. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentangPendaftaran Tanah;
26. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentangPerencanaan Kehutanan;
27. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentangPeraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6Tahun 2014 tentang Desa;
98
28. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan PertanahanNasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang PedomanPenyelesaian Permasalahan Tanah Ulayat MasyarakatHukum Adat;
29. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014tentang Pedoman Pengakuan dan PerlindunganMasyarakat Hukum Adat;
30. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, MenteriKehutanan, Menteri Pekerjaaan Umum dan KepalaBadan Pertanahan Nasional Nomor 79 Tahun 2014,Nomor PB.3/Menhut-II/2014, Nomor 17/PRT/M/2014,Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara PenyelesaianPenguasaan Tanah yang berada di dalam KawasanHutan;
Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH [NAMA KABUPATEN]
dan
BUPATI KABUPATEN [NAMA KABUPATEN]
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG MASYARAKAT [NAMAUMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT, misalnyaKASEPUHAN]
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Pengakuan adalah pernyataan penerimaan dan pemberian statuskeabsahan oleh Pemerintah Daerah terhadap keberadaan MasyarakatHukum Adat dan hak tradisionalnya sebagai perwujudan konstitutif dari
99
negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasiwarga negara.
2. Perlindungan adalah tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerahuntuk melindungi wilayah dan hak-hak Masyarakat Hukum Adat darigangguan yang dilakukan oleh pihak lain.
3. Pemenuhan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib diberikan olehPemerintah Daerah kepada Masyarakat Hukum Adat dalam rangkamenjamin terpenuhi hak tradisional dan hak lainnya berdasarkan peraturanperundang-undangan.
4. Penetapan wilayah adat adalah pernyataan penerimaan dan pemberianstatus keabsahan oleh Pemerintah Daerah terhadap wilayah adat suatuMasyarakat Hukum Adat.
5. Tentang definisi Masyarakat Hukum Adat yang digunakan. Definisi inihendaknya dibuat sesuai dengan kondisi dari Masyarakat Hukum Adat yangada dalam Kabupaten. Sebagai contoh adalah beberapa pilihan rumusandefinisi di bawah ini:
Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secaraturun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanyaikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat denganlingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranataekonomi, politik, sosial, dan hukum; atau
Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang memilikiperasaan sebagai satu kelompok karena ada nilai-nilai yang dirawatsecara bersama-sama, memiliki lembaga adat yang tumbuh secaratradisional, adanya ada harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, adanorma hukum adat yang masih berlaku, dan ada wilayah adat tertentu;atau
Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat hukum adat sebagaimanadimaksud dalam peraturan perundang-undangan].
6. Hak ulayat atau disebut dengan nama lainnya (SEBUTKAN NAMA YANGDIKENAL OLEH MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN] adalahkewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh Masyarakat HukumAdat [SEBUTKAN NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT, MISALNYAKASEPUHAN UNTUK LEBAK] atas wilayah tertentu yang merupakanlingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumberdaya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsunganhidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan
100
batiniah, turun temurun dan tidak terputus antara Masyarakat Hukum Adattersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
7. Hak tradisional adalah hak yang melekat dengan keberadaan MasyarakatHukum Adat.
8. Wilayah adat atau yang dipersamakan dengan wilayah hak ulayat atau[SEBUTAN DALAM BAHASA DAERAH] adalah ruang kehidupan yangmenjadi tempat keberadaan Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKATHUKUM ADAT] yang terdiri dari tanah, air dan sumber daya alam yangterdapat di atasnya, yang penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatannyadilakukan menurut hukum adat.
9. Tanah adat adalah bidang tanah yang terdapat pada wilayah adat yangjenis dan pengaturannya ditentukan berdasarkan hukum adat.
10. [JELASKAN DEFINISI MENGENAI PEMBAGIAN RUANG/TANAH DI DALAMMASYARAKAT HUKUM ADAT. Misalkan pada Masyarakat Kasepuhan dibagike dalam leuweung kolot, leuweng titipan, dan leuweung sampalan. Jelaskandefinisinya satu per satu].
11. Hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah Masyarakat[SEBUTKAN NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT].
12. Hukum adat atau disebut dengan [NAMA HUKUM ADAT PADAMASYARAKAT HUKUM ADAT] adalah seperangkat norma atau aturan yanghidup dan berlaku untuk mengatur hubungan manusia dengan alam danhubungan antar-manusia yang bersumber pada nilai budaya MasyarakatHukum Adat yang diwariskan secara turun temurun yang senantiasa ditaatidan dihormati untuk keadilan dan ketertiban masyarakat dan mempunyaiakibat hukum.
13. Lembaga adat adalah pranata pemerintahan adat yang menyelenggarakanfungsi adat istiadat yang tumbuh dan berkembang secara tradisional yangterdiri dari [SEBUTKAN LEMBAGA-LEMBAGA ADAT YANG TERDAPAT DIDALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT] atau disebut dengan nama lain didalam Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT].
14. [SEBUTAN DARI WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT] adalah wargaMasyarakat Hukum Adat yang terikat pada hukum adat yang berlaku padaMasyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT].
15. Peta wilayah adat adalah peta tematik dengan skala 1:50.000 yang berisiinformasi mengenai batas luar wilayah adat.
16. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten [NAMA KABUPATEN].
101
17. Bupati adalah Bupati Kabupaten [NAMA KABUPATEN].
18. Saturan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut SKPD adalahperangkat daerah yang bertanggungjawab atas pelaksanaan urusanpemerintahan di daerah.
19. Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat adalah panitia yangdibentuk dengan Keputusan Bupati untuk melakukan inventarisasi danverifikasi wilayah adat, melakukan penyelesaian keberatan, danmemberikan rekomendasi kepada Bupati untuk menetapkan wilayah adat.
20. PPNS adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada lingkungan PemerintahKabupaten [SEBUTKAN NAMA KABUPATEN] yang pengangkatannyaditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Asas
Asas dari pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan dan hak-hakMasyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] adalah:
a. Pengakuan
b. Keberagaman
c. Keadilan sosial
d. Kepastian hukum
e. Kesetaraan dan non-diskriminasi
f. Keberlanjutan lingkungan
g. Partisipasi
h. Transparansi
Pasal 3
Tujuan
Tujuan dari pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hakMasyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] adalah:
a. Memberikan kepastian hukum mengenai keberadaan, wilayah adat dan
102
hak Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT].
b. Melindungi hak dan memperkuat akses Masyarakat [NAMA UMUM DARIMASYARAKAT HUKUM ADAT] terhadap tanah, air dan sumber dayaalam.
c. Meningkatkan peran serta warga Masyarakat Hukum Adat dalampengambilan keputusan di Lembaga Adat.
d. Mewujudkan pengelolaan wilayah adat secara lestari berdasarkanhukum adat.
e. Meningkatkan kesejahteraan Masyarakat [NAMA UMUM DARIMASYARAKAT HUKUM ADAT].
f. Mewujudkan kebijakan pembangunan di daerah yang mengakui,menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak Masyarakat [NAMAUMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT].
g. Mewujudkan penyelesaian sengketa yang berbasis kepada pengakuandan penghormatan terhadap hak Masyarakat [NAMA UMUM DARIMASYARAKAT HUKUM ADAT] dan hukum adatnya.
Pasal 4
Ruang lingkup
Ruang lingkup Peraturan Daerah ini mencakup pengakuan keberadaan dankedudukan hukum Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUMADAT], wilayah adat, kelembagaan adat, pelaksanaan hukum adat, danpemberdayaan Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT].
BAB III
KEBERADAAN DAN KEDUDUKAN HUKUM MASYARAKAT [NAMA UMUM DARIMASYARAKAT HUKUM ADAT]
Pasal 5
Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] memenuhi kriteriasebagai berikut:
a. Terdiri dari masyarakat yang warganya memiliki perasaan sebagai satukelompok karena adanya nilai-nilai yang dirawat secara bersama-sama;
b. Memiliki lembaga adat yang tumbuh secara tradisional;
103
c. Memiliki harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;
d. Memiliki norma hukum adat yang masih berlaku; dan
e. Memiliki wilayah adat tertentu.
[Kriteria ini sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi untukMasyarakat Hukum Adat yang masih hidup; Kriteria dapat disesuaikan dengankondisi di daerah].
Pasal 6
(1) Pemerintah Daerah mengakui dan menghormati Masyarakat [NAMA UMUMDARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] dan hak tradisionalnya.
(2) Pemerintah Daerah melindungi dan memenuhi hak tradisional dan haklainnya dari Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT].
Pasal 7
(1) Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]berkedudukan sebagai subjek hukum.
(2) Lembaga adat mewakili Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKATHUKUM ADAT] di dalam maupun di luar pengadilan.
Pasal 8
(1) Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] terdiri dari[SEBUTKAN BILA ADA HIERARKI ATAU PEMBAGIAN KLASIFIKASI DI DALAMMASYARAKAT]:
a. …
b. …
c. …
(2) Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] sebagaimanadimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran [SEBUTKAN NOMORLAMPIRAN] yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini [HAL INIDICANTUMKAN BILA DIANGGAP PERLU].
Pasal 9
(1) Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] dapatditetapkan sebagai Desa Adat.
(2) Pengaturan mengenai Desa Adat dan Penetapan Masyarakat [NAMA UMUMDARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] sebagai Desa Adat diatur dengan
104
Peraturan Daerah.
BAB IV
WILAYAH ADAT
Pasal 10
(1) Pemerintah Daerah mengakui wilayah adat Masyarakat [NAMA UMUM DARIMASYARAKAT HUKUM ADAT] yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(2) Peraturan Daerah ini mendelegasikan kewenangan kepada Bupati untukmenetapkan letak, luas dan batas wilayah adat sebagaimana dimaksud padaayat (1) dalam bentuk Keputusan Bupati.
(3) Wilayah adat Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]terdiri dari [SEBUTKAN JENIS-JENIS PEMBAGIAN WILAYAH ADAT]:
a. …
b. …
c. …
(4) Wilayah adat memiliki batas-batas wilayah tertentu baik batas alam danbatas dengan komunitas lain.
BAB V
HAK MASYARAKAT [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]
Pasal 11
(1) Pemerintah Daerah mengakui, menghormati, melindungi, dan memenuhihak-hak Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]
(2) Hak-hak Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]tersebut pada ayat (1) meliputi:
a. Hak ulayat
b. Hak perorangan warga Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKATHUKUM ADAT] atas tanah dan sumber daya alam
c. Hak memperoleh pembagian manfaat dari sumber daya genetik danpengetahuan tradisional oleh pihak luar
105
d. Hak atas pembangunan
e. Hak atas spiritualitas dan kebudayaan
f. Hak atas lingkungan hidup
g. Hak untuk mendapatkan layanan pendidikan khusus
h. Hak untuk mendapatkan layanan kesehatan
i. Hak untuk mendapatkan layanan administrasi kependudukan
j. Hak untuk mengurus diri sendiri
k. Hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat
l. Hak-hak lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
BAB VI
LEMBAGA ADAT
Pasal 12
(1) Pemerintah Daerah mengakui, melindungi dan memberdayakan lembagaadat yang sudah ada secara turun temurun pada [SEBUTKAN NAMA UMUMMASYARAKAT HUKUM ADAT] menurut hukum adat setempat.
(2) Lembaga adat tersebut pada ayat (1) berkedudukan sebagai pelaksanakewenangan masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]untuk:
a. Mengurus dan mengatur penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatanwilayah adat dan harta kekayaan Masyarakat [NAMA UMUM DARIMASYARAKAT HUKUM ADAT].
b. Melaksanakan hukum dan peradilan adat.
c. Mewakili Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]dalam melakukan hubungan hukum dengan pihak luar.
(3) Struktur lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantumdalam Lampiran [SEBUTKAN NOMOR LAMPIRAN] yang tidak terpisahkan dariPeraturan Daerah ini [BILA DIPERLUKAN BISA DICANTUMKAN STRUKTURLEMBAGA ADAT].
BAB VII
106
HUKUM ADAT
Pasal 13
(1) Pemerintah Daerah mengakui keberadaan hukum adat yang tumbuh danberkembang dalam Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUMADAT].
(2) Pelaksanaan hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harusmemperhatikan prinsip keadilan sosial, kesetaraan gender, hak asasimanusia dan kelestarian lingkungan hidup.
BAB VIII
TATA CARA PENETAPAN WILAYAH ADAT
Pasal 14
Penetapan wilayah adat Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUMADAT] dilakukan melalui:
a. Identifikasi;
b. Verifikasi; dan
c. Penetapan.
Pasal 15
(1) Identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a dilakukan olehMasyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] atau olehBupati melalui Camat atau yang disebut dengan nama lain.
(2) Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap aspek:
a. Sejarah penguasaan wilayah adat;
b. Pembagian ruang di dalam wilayah adat;
c. Batas wilayah adat; dan
d. Aturan mengenai pengelolaan dan perlindungan wilayah adat.
(3) Penyusunan laporan hasil identifikasi yang dilakukan oleh Masyarakat[NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dapat dibantu oleh lembaga swadaya masyarakat atauperguruan tinggi.
(4) Tata cara identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
107
(3), tercantum dalam Lampiran [SEBUTKAN NOMOR LAMPIRAN] yang tidakterpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal 16
(1) Hasil identifikasi terhadap wilayah adat dilengkapi dengan peta wilayah adatyang memenuhi kaidah kartografis.
(2) Dalam hal peta wilayah adat yang dilakukan atas prakarsa masyarakatsebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) belum memenuhi kaidahkartografis, Camat memfasilitasi agar wilayah adat dapat dipetakan olehSKPD terkait.
(3) Tata cara pemetaan wilayah adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)tercantum dalam Lampiran [SEBUTKAN NOMOR LAMPIRAN] yang tidakterpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal 17
(1) Identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 dilengkapidengan persetujuan tertulis dari komunitas yang berbatasan denganwilayah adat Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]yang akan ditetapkan.
(2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukandalam bentuk:
a. Surat;
b. Pembubuhan tanda tangan pada laporan hasil identifikasi; atau
c. Bentuk persetujuan tertulis lain.
Pasal 18
(1) Camat melakukan pencatatan hasil identifikasi sebagaimana dimaksuddalam Pasal 15 ayat (1) ke dalam Daftar Inventarisasi Wilayah Adat.
(2) Pencatatan laporan hasil identifikasi disertai dengan permohonanpenetapan wilayah adat oleh Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKATHUKUM ADAT]
(3) Hasil identifikasi yang telah dilakukan pencatatan yang disertai degan suratpermohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikanoleh Camat kepada Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat.
108
Pasal 19
(1) Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat melakukan verifikasiterhadap hasil identifikasi wilayah adat.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentukverifikasi dokumen dan verifikasi lapangan.
(3) Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat menyampaikan hasilverifikasi kepada Pemohon.
(4) Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat mengumumkan hasilverifikasi selama 60 hari dengan cara:
a. Menyampaikan kepada komunitas yang berbatasan; dan
b. Menempelkan di kantor camat, kantor desa, rumah ibadah dan tempatlainnya yang mudah diakses oleh masyarakat.
(5) Tata cara verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),dan ayat (4), tercantum dalam Lampiran [SEBUTKAN NOMOR LAMPIRAN]yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal 20
(1) Komunitas yang berbatasan atau pihak lain yang kepentingannya dirugikandengan pengukuhan wilayah adat dapat mengajukan keberatan kepadaPanitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat.
(2) Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat memfasilitasi penyelesaiankeberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu 40 hari.
(3) Tata cara penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) danayat (2) tercantum dalam Lampiran [SEBUTKAN NOMOR LAMPIRAN] yangtidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal 21
(1) Dalam hal penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20tidak berhasil, Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat menyatakanpenyelesaian keberatan gagal.
(2) Dalam hal penyelesaian keberatan gagal sebagaimana dimaksud pada ayat(1), proses penetapan dihentikan.
(3) Panitia menyampaikan surat pemberitahuan penghentian penetapanwilayah adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemohon.
109
Pasal 22
(1) Dalam hal penyelesaian keberatan gagal sebagaimana dimaksud dalamPasal 21 ayat (1), Pemohon dan pihak yang mengajukan keberatan dapatmelanjutkan penyelesaian keberatan dengan bantuan pihak ketiga.
(2) Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat melanjutkan prosespenetapan wilayah adat setelah penyelesaian sebagaimana dimaksud padaayat (1) berhasil.
Pasal 23
(1) Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat menyampaikanrekomendasi kepada Bupati berdasarkan hasil verifikasi sebagaimanadimaksud dalam Pasal 19.
(2) Bupati melakukan penetapan wilayah adat berdasarkan rekomendasi PanitiaInventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat dengan Keputusan Bupati.
(3) Bupati menyerahkan peta wilayah adat kepada Kepala Kantor Pertanahanuntuk dituangkan dalam peta dasar pendaftaran tanah denganmencantumkan suatu tanda kartografi yang sesuai.
Pasal 24
(1) Pemerintah Daerah harus menempatkan wilayah adat sebagai kawasanperdesaan atau kawasan strategis sosial budaya dalam Peraturan Daerahmengenai Perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten.
(2) Penetapan wilayah adat sebagai kawasan perdesaan atau kawasan strategissosial budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan denganpersetujuan dari Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUMADAT].
BAB IX
PANITIA INVENTARISASI DAN VERIFIKASI WILAYAH ADAT
Pasal 25
Bupati membentuk Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat yangbertugas:
a. melakukan inventarisasi dan verifikasi hasil pemetaan wilayah adat;
b. memfasilitasi pemetaan wilayah adat untuk dilakukan oleh SKPD terkait;
c. memfasilitasi penyelesaian sengketa yang muncul dalam rangka
110
penetapan wilayah adat; dan
d. memberikan rekomendasi penetapan wilayah adat kepada Bupati.
Pasal 26
(1) Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat terdiri dari:
a. Tokoh masyarakat hukum adat;
b. Akademisi dengan latar belakang ilmu hukum, sejarah, dan antropologi;
c. Lembaga Swadaya Masyarakat yang berpengalaman melakukanpemetaan wilayah adat; dan
d. SKPD yang tugasnya berkaitan dengan wilayah adat.
(2) Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat berjumlah 9 (sembilan)orang dengan struktur yang ditetapkan oleh Bupati.
(3) Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat dibentuk untuk masa tugas2 (dua) tahun dan dapat dibentuk kembali oleh Bupati.
BAB X
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUMADAT]
Pasal 27
(1) Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan dukungan fasilitas,sarana dan prasarana serta pendanaan melalui SKPD yang tugasnya terkaitdengan pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa dalammelaksanakan pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan danhak Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]
(2) Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan pusat informasi dankepustakaan tentang Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKATHUKUM ADAT], lembaga adat, norma-norma adat dan informasi lain yangterkait dengan masyarakat adat melalui SKPD yang tugasnya terkaitdengan pendidikan dan kebudayaan.
Pasal 28
(1) Pemerintah Daerah harus melibatkan Masyarakat [NAMA UMUM DARIMASYARAKAT HUKUM ADAT], termasuk perempuan, dalam pembentukankebijakan dan perencanaan program pembangunan yang akan
111
dilaksanakan di wilayah adat.
(2) Pelibatan Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memberikaninformasi, melakukan konsultasi dan memperoleh persetujuan suka-rela dariMasyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT].
(3) Pemerintah Daerah harus melakukan pencegahan terhadap setiap tindakanyang langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilangnya keutuhan dankeberagaman Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]dan kerusakan wilayah adat.
(4) Pemerintah Daerah harus mencegah setiap bentuk pemindahan Masyarakat[NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] yang berakibat padaterlanggar atau terkuranginya hak-hak Masyarakat [NAMA UMUM DARIMASYARAKAT HUKUM ADAT].
Pasal 29
(1) Pemerintah Daerah harus memberikan pemberdayaan dan pendampinganhukum kepada Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUMADAT] dalam rangka melakukan perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat[NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT].
(2) Dalam menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),Pemerintah Daerah dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi, organisasibantuan hukum dan/atau organisasi masyarakat lain yang memilikikapasitas melakukan pemberdayaan hukum.
(3) Pemerintah Daerah memberikan pendampingan pada Masyarakat [NAMAUMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] yang akan memperoleh kembaliwilayah adatnya dari penguasaan pihak luar.
(4) Pemerintah Daerah harus memfasilitasi dilakukannya inventarisasi,internalisasi, dan revitalisasi hukum adat agar sejalan dengan prinsipkeadilan sosial, kesetaraan gender, hak asasi manusia dan kelestarianlingkungan hidup.
Pasal 30
(1) Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan program pendidikan layanankhusus dengan mempertimbangkan kekhasan budaya dan menggunakanbahasa Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT].
(2) Pemerintah Daerah harus menyelengarakan program pelayanan kesehatankhusus yang dapat diakses dengan mudah oleh Masyarakat [NAMA UMUM
112
DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT].
(3) Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan program pelayananadministrasi kependudukan yang dapat diakses dengan mudah olehMasyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT].
(4) Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan program pengembanganperbekalan kesehatan sesuai dengan kelestarian lingkungan hidup dansosial budaya Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT].
(5) Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan program pelestarian,perlindungan, dan pengembangan pengetahuan tradisional Masyarakat[NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT].
BAB XI
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 31
(1) Pemerintah Daerah menghormati dan mengakui peradilan adat untukmenyelesaikan sengketa antar-warga Masyarakat [NAMA UMUM DARIMASYARAKAT HUKUM ADAT] yang terjadi di dalam wilayah adat.
(2) Pemerintah Daerah membantu penyelesaian sengketa antar-Masyarakat[NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] melalui mediasi.
(3) Dalam hal penyelesaian sengketa dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidakberhasil sengketa diselesaikan melalui peradilan umum.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA DAN PENYIDIKAN
Pasal 32
(1) Setiap orang luar yang melakukan kegiatan mengganggu, merusak danmenggunakan wilayah adat tanpa persetujuan dari Masyarakat [NAMAUMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] diancam pidana kurunganpaling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00(lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
113
Pasal 33
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Lingkungan Pemerintah Daerahdiberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikantindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 32.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainyapenyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada PenuntutUmum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undangNomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
Hak milik atas tanah yang terdapat di dalam wilayah adat sebelum PeraturanDaerah ini berlaku, tetap dilindungi berdasarkan hukum adat dan peraturanperundang-undangan.
Pasal 35
(1) Izin atau hak atas tanah dan air yang berjangka waktu yang terdapat didalam wilayah adat yang telah ada sebelum Peraturan Daerah ini berlaku,dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa izin atau hak tersebut.
(2) Dalam hal jangka waktu berlakunya izin atau hak sebagaimana dimaksudpada ayat (1) berakhir, maka Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKATHUKUM ADAT] memperoleh kembali penguasaannya atas wilayah adattersebut.
(3) Izin atau hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau ulangberdasarkan tuntutan yang mendesak dari Masyarakat [NAMA UMUM DARIMASYARAKAT HUKUM ADAT] apabila telah terjadi pelanggaran terhadaphak-hak Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT].
(4) Pemerintah Daerah memberikan pendampingan hukum kepada Masyarakat[NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] dalam melakukanpeninjauan ulang terhadap izin atau hak atas tanah dan air yang melanggarhak-hak Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]sebagai dimaksud pada ayat (3).
(5) Pemerintah Daerah melakukan sosialisasi kepada Masyarakat [NAMA UMUMDARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] untuk menghormati izin atau hak
114
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 36
(1) Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah adat telah ditunjuk atau ditetapkanoleh pemerintah sebagai kawasan hutan, maka wilayah adat tersebut dapatditetapkan sebagai hutan adat.
(2) Dalam hal wilayah adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telahdifungsikan oleh Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUMADAT] sebagai pemukiman, fasilitas umum atau fasilitas sosial, maka wilayahadat tersebut dikeluarkan dari kawasan hutan.
Pasal 37
Bupati membentuk Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat palinglambat enam bulan setelah Peraturan Daerah ini ditetapkan.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundanganPeraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran DaerahKabupaten [NAMA KABUPATEN].
Ditetapkan di [IBU KOTA KABUPATEN]
pada tanggal [TANGGAL, BULAN,TAHUN PENETAPAN]
BUPATI [NAMA KABUPATEN],
tanda tangan
[NAMA BUPATI]
115
Diundangkan di [IBU KOTA KABUPATEN]
pada tanggal [TANGGAL, BULAN, TAHUN PENGUNDANGAN]
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN [NAMA KABUPATEN],
tanda tangan
[NAMA SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN]
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN [NAMA KABUPATEN] TAHUN [TAHUNLEMBARAN DAERAH] NOMOR [NOMOR LEMBARAN DAERAH].
116
117
LAMPIRAN 2
Contoh Keputusan Bupati tentang Penetapan Wilayah Adat
KEPUTUSAN BUPATI [NAMA KABUPATEN]
NOMOR:
LAMPIRAN:
TENTANG
PENETAPAN WILAYAH ADAT MASYARAKAT HUKUM ADAT
[SEBUTKAN NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT]
BUPATI [NAMA KABUPATEN],
Menimbang : a. bahwa pengakuan dan penghormatan MasyarakatHukum Adat dan hak tradisionalnya merupakanamanat dari Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa berdasarkan hasil identifikasi dan vertifikasi,Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adatmemberikan rekomendasi untuk menetapkanwilayah adat Masyarakat [NAMA MASYARAKATHUKUM ADAT] yang telah memenuhi kriteriauntuk ditetapkan sebagai wilayah adat;
c. bahwa berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten[NAMA KABUPATEN] Nomor [NOMOR PERDA]Tahun [TAHUN PERDA] tentang [JUDUL PERDA
LAMBANG
NEGARA
118
YANG MENDELEGASIKAN KEPUTUSAN BUPATI]menentukan bahwa penetapan wilayah adatditetapkan dengan Keputusan Bupati; dan
d. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, huruf b,dan huruf c, perlu menetapkan Keputusan Bupatitentang Penetapan Wilayah Adat [NAMAMASYARAKAT HUKUM ADAT];
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentangPeraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor104, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 2043);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentangPengesahan Konvensi Mengenai PenghapusanSegala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984Nomor 29; Tambahan Lembaran Negara 3277);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentangKonservasi Sumber Daya Alam Hayati danEkosistemnya (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1990 Nomor 49; TambahanLembaran Negara 3419);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentangPengesahan United Nations Convention onBiological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati)(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990Nomor 41; Tambahan Lembaran Negara 3556);
5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 TentangHak Asasi Manusia (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1999 Nomor 165; TambahanLembaran Negara 3886);
6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentangKehutanan (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1999 Nomor 167, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 3888)sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
119
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004Nomor 29) yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86,Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 4412);
7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentangSistem Pendidikan Nasional (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78,Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301);
8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentangSumber Daya Air (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2004 Nomor 32; TambahanLembaran Negara Nomor 4377);
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentangAdministrasi Kependudukan (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124;Tambahan Lembaran Negara Nomor 4674)sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232;Tambahan Lembaran Negara Nomor 5475);
10. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentangPenataan Ruang (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2007 Nomor 68, TambahanLembaran Negara Nomor 4725);
11. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentangPengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor4379) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang PerubahanAtas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2007 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara
120
Nomor 5490);
12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentangPerlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara 5059);
13. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentangKesehatan (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2009 Nomor 144, Tambahan LembaranNegara 5063);
14. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentangCagar Budaya (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2010 Nomor 130, TambahanLembaran Negara 5168);
15. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentangInformasi Geospasial (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2014 Nomor 49; TambahanLembaran Negara Nomor 5214);
16. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentangPenanganan Konflik Sosial (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2014 Nomor 116;Tambahan Lembaran Negara Nomor 5315);
17. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentangPengesahan Nagoya Protocol on Access to GeneticResources and The Fair and Equitable Sharing ofBenefits Arising from Their Utilization to TheConvention on Biological Diversity (Protokol Nagoyatentang Akses pada Sumber Daya Genetik danPembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbangyang Timbul dari Pemanfaatannya atas KonvensiKeanekaragaman Hayati) (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2013 Nomor 73,Tambahan Lembaran Negara 5412);
18. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentangPencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013Nomor 130; Tambahan Lembaran Negara Nomor5432);
121
19. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentangDesa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2014 Nomor 7; Tambahan Lembaran NegaraNomor 5495);
20. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentangPemerintahan Daerah (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2014 Nomor 244; TambahanLembaran Negara Nomor 5587);
21. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentangPerkebunan (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2014 Nomor 308; Tambahan LembaranNegara Nomor 5613);
22. Undang-undang Nomor [NOMOR UNDANG-UNDANG] Tahun [TAHUN UNDANG-UNDANG]tentang Pembentukan [NAMA PROVINSI](Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor[NOMOR LEMBARAN NEGARA], TambahanLembaran Negara Nomor [NOMOR TAMBAHANLEMBARAN NEGARA]);
23. Undang-undang Nomor [NOMOR UNDANG-UNDANG] Tahun [TAHUN UNDANG-UNDANG]tentang Pembentukan [NAMA KABUPATEN](Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor[NOMOR LEMBARAN NEGARA], TambahanLembaran Negara Nomor [NOMOR TAMBAHANLEMBARAN NEGARA]);
24. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997tentang Pendaftaran Tanah;
25. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004tentang Perencanaan Kehutanan;
26. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-UndangNomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
27. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BadanPertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentangPedoman Penyelesaian Permasalahan TanahUlayat Masyarakat Hukum Adat;
122
28. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun2014 tentang Pedoman Pengakuan danPerlindungan Masyarakat Hukum Adat;
29. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, MenteriKehutanan, Menteri Pekerjaaan Umum dan KepalaBadan Pertanahan Nasional Nomor 79 Tahun 2014,Nomor PB.3/Menhut-II/2014, Nomor 17/PRT/M/2014, Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata CaraPenyelesaian Penguasaan Tanah yang berada didalam Kawasan Hutan;
30. Peraturan Daerah Nomor (SEBUTKAN PERATURANDAERAH YANG MENDELEGASIKAN KEWENANGAN);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KESATU : Menetapkan wilayah adat seluas (SEBUTKAN LUASAN) yangberada di Kecamatan (SEBUTKAN NAMA-NAMAKECAMATAN) sebagai wilayah adat Masyarakat (SEBUTKANNAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT)
KEDUA : Wilayah adat Masyarakat [SEBUTKAN NAMA MASYARAKATHUKUM ADAT] memiliki batas-batas:
I. Batas Alam
A. Utara
Sungai [NAMA SUNGAI]
Bukit [NAMA BUKIT]
atau sebutkan batas alam lain
B. Timur
Sungai [NAMA SUNGAI]
Bukit [NAMA BUKIT]
Atau sebutkan batas alam lain
C. Selatan
123
Sungai [NAMA SUNGAI]
Bukit [NAMA BUKIT]
atau sebutkan batas alam lain
D. Barat
Sungai [NAMA SUNGAI]
Bukit [NAMA BUKIT]
atau sebutkan batas alam lain
II. Batas Administratif
A. Utara
Desa [NAMA DESA]
B. Timur
Desa [NAMA DESA]
C. Selatan
Desa [NAMA DESA]
D. Barat
Desa [NAMA DESA]
KETIGA : Peta wilayah adat [NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT]sebagaimana terlampir merupakan satu kesatuan yangtidak terpisah dengan Keputusan ini.
KEEMPAT : Pengelolaan wilayah adat diselenggarakan berdasarkanhukum adat Masyarakat [NAMA MASYARAKAT HUKUMADAT] dengan memperhatikan prinsip keadilan sosial,kesetaraan gender, hak asasi manusia dan kelestarianlingkungan hidup.
KELIMA : Lembaga adat, berdasarkan hasil musyawarah denganwarga Masyarakat Hukum Adat, mewakili Masyarakat[NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT] dalam melakukanhubungan hukum dengan pihak luar berkaitan denganpemanfaatan dan perlindungan wilayah adat.
KEENAM : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
124
Ditetapkan di [IBUKOTA KABUPATEN]
pada tanggal .............................
BUPATI,
[NAMA BUPATI]
Tembusan Keputusan ini disampaikan kepada Yth.:
1. Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia di Jakarta;
2. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia diJakarta;
3. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan NasionalRepublik Indonesia di Jakarta;
4. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan TransmigrasiRepublik Indonesia di Jakarta;
5. Gubernur [NAMA PROVINSI] di [IBUKOTA PROVINSI];
6. Ketua DPRD Kabupaten [NAMA KABUPATEN];
7. Kepala SKPD dalam Kabupaten [NAMA KABUPATEN];
8. Yang bersangkutan.
125
LAMPIRAN 3
Contoh Perda Pengaturan dan Penetapan Kesatuan Masyarakat Hukum Adatyang masih memerlukan verifikasi lebih lanjut dan kondisinya beragam
PERATURAN DAERAH KABUPATEN [NAMA KABUPATEN]
NOMOR [NOMOR PERATURAN] TAHUN [TAHUN PENGUNDANGAN]
TENTANG
MASYARAKAT HUKUM ADAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI [NAMA KABUPATEN],
Menimbang : a. bahwa pengakuan dan penghormatanMasyarakat Hukum Adat dan hak tradisionalnyamerupakan amanat dari Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa keberadaan Masyarakat Hukum Adat diKabupaten [NAMA KABUPATEN] masih ada danmenjadi bagian dari komponen masyarakat yangharus diakui dan dihormati keberadaannya olehnegara;
c. bahwa pengakuan dan penghormatan terhadapMasyarakat Hukum Adat dan hak tradisionalnyaberdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan dalam peraturan daerah;
d. bahwa berdasarkan Putusan MahkamahKonstitusi Perkara Nomor 35/PUU-X/2012
LAMBANG
DAERAH
126
mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 41Tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam rangkamenjamin adanya kepastian hukum yangberkeadilan terhadap Masyarakat Hukum Adatdan hak tradisionalnya dapat diatur dalamPeraturan Daerah; dan
e. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, hurufb, huruf c, dan huruf d perlu membentukPeraturan Daerah tentang Masyarakat HukumAdat;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6); Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat(3) Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentangPeraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor104, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 2043);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentangPengesahan Konvensi Mengenai PenghapusanSegala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1984 Nomor 29; Tambahan Lembaran Negara3277);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentangKonservasi Sumber Daya Alam Hayati danEkosistemnya (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1990 Nomor 49; TambahanLembaran Negara 3419);
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentangPengesahan United Nations Convention onBiological Diversity (Konvensi PerserikatanBangsa-bangsa mengenai KeanekaragamanHayati) (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1990 Nomor 41; Tambahan LembaranNegara 3556);
127
6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 TentangHak Asasi Manusia (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1999 Nomor 165; TambahanLembaran Negara 3886);
7. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentangKehutanan (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1999 Nomor 167, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor3888) sebagaimana telah diubah denganPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 41Tahun 1999 tentang Kehutanan (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor29) yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor86, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 4412);
8. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentangSistem Pendidikan Nasional (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78,Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301);
9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentangSumber Daya Air (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2004 Nomor 32; TambahanLembaran Negara Nomor 4377);
10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentangAdministrasi Kependudukan (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124;Tambahan Lembaran Negara Nomor 4674)sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor232; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5475);
11. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentangPenataan Ruang (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
128
Lembaran Negara Nomor 4725);
12. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentangPengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulauKecil (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2007 Nomor 84, Tambahan LembaranNegara Nomor 4379) sebagaimana telah diubahdengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014tentang Perubahan Atas Undang-UndangNomor 27 Tahun 2007 tentang PengelolaanWilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 2,Tambahan Lembaran Negara Nomor 5490);
13. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentangPerlindungan dan Pengelolaan LingkunganHidup (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2009 Nomor 140, Tambahan LembaranNegara 5059);
14. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentangKesehatan (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2009 Nomor 144, TambahanLembaran Negara 5063);
15. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentangCagar Budaya (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2010 Nomor 130, TambahanLembaran Negara 5168);
16. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentangInformasi Geospasial (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2014 Nomor 49;Tambahan Lembaran Negara Nomor 5214);
17. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentangPenanganan Konflik Sosial (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2014 Nomor 116;Tambahan Lembaran Negara Nomor 5315);
18. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentangPengesahan Nagoya Protocol on Access to GeneticResources and The Fair and Equitable Sharing ofBenefits Arising from Their Utilization to TheConvention on Biological Diversity (Protokol
129
Nagoya tentang Akses pada Sumber DayaGenetik dan Pembagian Keuntungan yang Adildan Seimbang yang Timbul dariPemanfaatannya atas KonvensiKeanekaragaman Hayati) (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2013 Nomor 73,Tambahan Lembaran Negara 5412);
19. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentangPencegahan dan Pemberantasan PerusakanHutan (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2013 Nomor 130; Tambahan LembaranNegara Nomor 5432);
20. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentangDesa (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2014 Nomor 7; Tambahan LembaranNegara Nomor 5495);
21. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentangPemerintahan Daerah (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244;Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587);
22. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentangPerkebunan (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2014 Nomor 308; TambahanLembaran Negara Nomor 5613);
23. Undang-undang Nomor [NOMOR UNDANG-UNDANG] Tahun [TAHUN UNDANG-UNDANG]tentang Pembentukan [NAMA PROVINSI](Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor[NOMOR LEMBARAN NEGARA], TambahanLembaran Negara Nomor [NOMOR TAMBAHANLEMBARAN NEGARA]);
24. Undang-undang Nomor [NOMOR UNDANG-UNDANG] Tahun [TAHUN UNDANG-UNDANG]tentang Pembentukan [NAMA KABUPATEN](Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor[NOMOR LEMBARAN NEGARA], TambahanLembaran Negara Nomor [NOMOR TAMBAHANLEMBARAN NEGARA]);
130
25. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997tentang Pendaftaran Tanah;
26. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004tentang Perencanaan Kehutanan;
27. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-UndangNomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
28. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BadanPertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999tentang Pedoman Penyelesaian PermasalahanTanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat;
29. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan danPerlindungan Masyarakat Hukum Adat;
30. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri,Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaaan Umumdan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor79 Tahun 2014, Nomor PB.3/Menhut-II/2014,Nomor 17/PRT/M/2014, Nomor 8/SKB/X/2014tentang Tata Cara Penyelesaian PenguasaanTanah yang berada di dalam Kawasan Hutan;
Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH [NAMA KABUPATEN]
dan
BUPATI KABUPATEN [NAMA KABUPATEN]
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG MASYARAKAT HUKUMADAT
131
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Pengukuhan adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan olehPemerintah Daerah dalam melakukan penetapan untuk mengakui danmenghormati keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan wilayahadatnya.
2. Perlindungan adalah tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerahuntuk melindungi wilayah dan hak Masyarakat Hukum Adat darigangguan yang dilakukan oleh pihak lain.
3. Pemenuhan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib diberikan olehPemerintah Daerah kepada Masyarakat Hukum Adat dalam rangkamenjamin terpenuhi hak tradisional dan hak lainnya berdasarkanperaturan perundang-undangan.
4. [Definisi Masyarakat Hukum Adat yang digunakan. Definisi inihendaknya dibuat sesuai dengan kondisi dari Masyarakat Hukum Adatyang ada dalam Kabupaten. Sebagai contoh adalah beberapa pilihanrumusan definisi di bawah ini:
Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secaraturun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karenaadanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuatdengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yangmenentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum; atau
Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang memilikiperasaan sebagai satu kelompok karena adanya nilai-nilai yangdirawat secara bersama-sama, memiliki lembaga adat yang tumbuhsecara tradisional, adanya ada harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, ada norma hukum adat yang masih berlaku, dan adawilayah adat tertentu; atau
Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat hukum adatsebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan].
5. Hak ulayat atau disebut dengan nama lainnya adalah kewenangan yangmenurut hukum adat dipunyai oleh Masyarakat Hukum Adat tertentuatas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganyauntuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah,
132
dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya,yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun temurundan tidak terputus antara Masyarakat Hukum Adat tersebut denganwilayah yang bersangkutan.
6. Hak tradisional adalah hak yang melekat dengan keberadaanMasyarakat Hukum Adat.
7. Wilayah adat yang dipersamakan dengan wilayah hak ulayat atau yangdisebut dengan nama lainnya adalah ruang kehidupan yang menjaditempat keberadaan Masyarakat Hukum Adat yang terdiri dari tanah, airdan sumber daya alam yang terdapat di atasnya, yang penguasaan,pengelolaan dan pemanfaatannya dilakukan menurut hukum adat.
8. Tanah adat adalah bidang tanah yang terdapat pada wilayah adat yangjenis dan pengaturannya ditentukan berdasarkan hukum adat.
9. Hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah MasyarakatHukum Adat.
10. Hukum adat adalah seperangkat norma yang hidup dan berlaku untukmengatur hubungan manusia dengan alam dan hubungan antar-manusia yang bersumber pada nilai budaya Masyarakat Hukum Adatyang diwariskan secara turun temurun yang senantiasa ditaati dandihormati untuk keadilan dan ketertiban masyarakat dan mempunyaiakibat hukum.
11. Lembaga adat adalah pranata pemerintahan adat yangmenyelenggarakan fungsi adat istiadat yang tumbuh dan berkembangsecara tradisional.
12. Peta wilayah adat adalah peta tematik dengan skala 1:50.000 yang berisiinformasi mengenai batas luar wilayah adat.
13. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten [NAMA KABUPATEN].
14. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut SKPD adalahperangkat daerah yang bertanggungjawab atas pelaksanaan urusanpemerintahan di daerah.
15. Panitia Masyarakat Hukum Adat adalah panitia yang dibentuk denganKeputusan Bupati untuk melakukan verifikasi terhadap hasil identifikasiMasyarakat Hukum Adat, penyelesaian keberatan, dan memberikanrekomendasi kepada Bupati untuk menetapkan Masyarakat HukumAdat.
16. PPNS adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada lingkunganpemerintah Kabupaten [NAMA KABUPATEN] yang pengangkatannya
133
ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Asas
Pengaturan masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya berasaskan:
a. Pengakuan;
b. Bhinneka tunggal ika;
c. Keadilan sosial;
d. Kepastian hukum;
e. Kesetaraan dan non-diskriminasi;
f. Keberlanjutan lingkungan;
g. Partisipasi; dan
h. Transparansi.
Pasal 3
Tujuan
Tujuan pengaturan Masyarakat Hukum Adat dan hak tradisionalnya adalah:
a. Mengakui dan menghormati keberadaan Masyarakat Hukum Adat danhak tradisionalnya;
b. Memberikan kepastian hukum mengenai keberadaan, wilayah dan hak-hak Masyarakat Hukum Adat;
c. Melindungi hak dan memperkuat akses Masyarakat Hukum Adatterhadap tanah dan kekayaan alam;
d. Mewujudkan perlindungan terhadap perempuan, anak-anak dankelompok rentan lainnya di dalam Masyarakat Hukum Adat;
e. Mewujudkan kebijakan pembangunan daerah yang mengakui,menghormati, melindungi dan memenuhi hak tradisional dan haklainnya dari Masyarakat Hukum Adat; dan
f. Mewujudkan penyelesaian sengketa yang berbasis Masyarakat Hukum
134
Adat.
Pasal 4
Ruang lingkup
Ruang lingkup Peraturan Daerah ini mencakup pengukuhan Masyarakat HukumAdat dan wilayah adat, pengakuan lembaga adat, hukum adat, pemberdayaanmasyarakat hukum adat, serta perlindungan hak tradisional dan hak lainnya.
BAB III
KEBERADAAN DAN KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
Pasal 5
(1) Pemerintah Daerah mengakui dan menghormati Masyarakat Hukum Adatdan hak tradisionalnya.
(2) Pemerintah Daerah melindungi dan memenuhi hak tradisional dan haklainnya dari masyarakat hukum adat.
(3) Pemerintah Daerah melakukan pengukuhan terhadap Masyarakat HukumAdat dan hak tradisionalnya.
Pasal 69
Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 adalahmasyarakat yang terbentuk atas dasar genealogis, territorial, maupun fungsionaldan memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Masyarakat dengan ikatan kesejarahan yang sama dan warganya memilikiperasaan bersama dalam kelompok;
b. Memiliki wilayah tertentu;
c. Memiliki lembaga adat; dan
d. Memiliki perangkat norma hukum adat.
Pasal 7
(1) Masyarakat Hukum Adat berkedudukan sebagai subyek hukum.
(2) Lembaga adat mewakili Masyarakat Hukum Adat di dalam maupun di luar
9 Dapat disesuaikan dengan kondisi di daerah.
135
pengadilan.
Pasal 8
(1) Masyarakat Hukum Adat yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapatditetapkan sebagai Desa Adat.
(2) Pengaturan mengenai Desa Adat dan penetapan Masyarakat Hukum Adatsebagai Desa Adat diatur dengan Peraturan Daerah.
BAB IV
WILAYAH ADAT
Pasal 9
(1) Wilayah adat memiliki batas tertentu baik batas alam maupun batas dengankomunitas lain.
(2) Batas yang lebih rinci mengenai wilayah adat dipetakan atas prakarsaMasyarakat Hukum Adat atau oleh SKPD terkait bersama-sama denganMasyarakat Hukum Adat.
(3) Dalam hal wilayah adat berbatasan dengan komunitas lain, maka hasilpemetaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkanpersetujuan dari komunitas yang berbatasan dengan wilayah adat yangakan ditetapkan.
(4) Dalam hal peta wilayah adat yang dilakukan atas prakarsa masyarakatsebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum memenuhi kaidah kartografis,Camat memfasilitasi agar wilayah adat bisa dipetakan oleh SKPD terkait.
(5) Tata cara pemetaan wilayah adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)tercantum dalam Lampiran [SEBUTKAN NOMOR LAMPIRAN] yang tidakterpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal 10
(1) Penetapan wilayah adat dilakukan sebagai bagian dari pengukuhanMasyarakat Hukum Adat.
(2) Hasil pemetaan wilayah adat dijadikan sebagai lampiran dalam KeputusanBupati mengenai penetapan Masyarakat Hukum Adat.
(3) Bupati menyerahkan peta wilayah adat kepada Kepala Kantor Pertanahanuntuk dituangkan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan
136
mencantumkan suatu tanda kartografi yang sesuai.
Pasal 11
(1) Pemerintah Daerah harus menempatkan wilayah adat sebagai kawasanperdesaan atau kawasan strategis sosial budaya dalam perubahanPeraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten.
(2) Penetapan wilayah adat sebagai kawasan perdesaan atau kawasan strategissosial budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan denganpersetujuan dari Masyarakat Hukum Adat.
BAB V
HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT
Pasal 12
(1) Pemerintah Daerah mengakui, menghormati, melindungi, dan memenuhihak tradisional dan hak lainnya dari Masyarakat Hukum Adat.
(2) Hak masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Hak ulayat;
b. Hak perorangan warga Masyarakat Hukum Adat atas tanah dansumber daya alam;
c. Hak memperoleh pembagian manfaat dari sumber daya genetik danpengetahuan tradisional oleh pihak luar;
d. Hak atas pembangunan;
e. Hak atas spiritualitas dan kebudayaan;
f. Hak atas lingkungan hidup;
g. Hak untuk mendapatkan layanan pendidikan khusus;
h. Hak untuk mendapatkan layanan kesehatan;
i. Hak untuk mendapatkan layanan administrasi kependudukan;
j. Hak untuk mengurus diri sendiri;
k. Hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat; dan
l. Hak-hak lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
137
BAB VI
LEMBAGA ADAT
Pasal 13
(1) Pemerintah Daerah mengakui, menghormati, dan memberdayakan lembagaadat yang sudah ada secara turun temurun pada Masyarakat Hukum Adat.
(2) Lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan sebagaipelaksana kewenangan Masyarakat Hukum Adat untuk:
a. Mengurus dan mengatur penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatanwilayah adat;
b. Melaksanakan hukum dan peradilan adat; dan
c. Mewakili Masyarakat Hukum Adat dalam melakukan hubungan hukumdengan pihak luar.
BAB VII
HUKUM ADAT
Pasal 14
(1) Pemerintah Daerah mengakui keberadaan hukum adat yang tumbuh danberkembang dalam Masyarakat Hukum Adat.
(2) Pelaksanaan hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harusmemperhatikan prinsip keadilan sosial, kesetaraan gender, hak asasimanusia dan pengelolaan lingkungan hidup yang lestari.
BAB VIII
PENGUKUHAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
Pasal 15
Pengukuhan Masyarakat Hukum Adat dilakukan melalui:
a. Identifikasi;
138
b. Verifikasi; dan
c. Penetapan.
Pasal 16
(1) Identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a dilakukan olehMasyarakat Hukum Adat atau oleh Bupati melalui Camat atau yang disebutdengan nama lain.
(2) Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap aspek:
a. ikatan sosial;
b. kesejarahan;
c. wilayah adat;
d. hukum adat; dan
e. kelembagaan adat.
(3) Penyusunan laporan hasil identifikasi yang dilakukan oleh MasyarakatHukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu olehlembaga swadaya masyarakat atau perguruan tinggi.
(4) Tata cara identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat(3), tercantum dalam Lampiran [SEBUTKAN NOMOR LAMPIRAN] yang tidakterpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal 17
(1) Identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilengkapi denganpersetujuan tertulis dari komunitas yang berbatasan dengan MasyarakatHukum Adat yang akan dikukuhkan.
(2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukandalam bentuk:
a. Surat;
b. Pembubuhan tanda tangan pada laporan hasil identifikasi; atau
c. Bentuk persetujuan tertulis lain
Pasal 18
(1) Camat melakukan pencatatan hasil identifikasi sebagaimana dimaksuddalam Pasal 16 ayat (1) ke dalam Daftar Identifikasi Masyarakat HukumAdat.
(2) Pencatatan laporan hasil identifikasi disertai dengan permohonan
139
pengukuhan Masyarakat Hukum Adat.
(3) Hasil identifikasi yang telah dilakukan pencatatan yang disertai degan suratpermohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)disampaikan oleh Camat kepada Panitia Masyarakat Hukum Adat.
Pasal 19
(1) Panitia Masyarakat Hukum Adat melakukan verifikasi terhadap hasilidentifikasi Masyarakat Hukum Adat.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentukverifikasi dokumen dan verifikasi lapangan.
(3) Panitia Masyarakat Hukum Adat menyampaikan hasil verifikasi kepadaPemohon.
(4) Panitia Masyarakat Hukum Adat mengumumkan hasil verifikasi selama 60hari dengan cara:
a. Menyampaikan kepada komunitas yang berbatasan; dan
b. Menempelkan di kantor camat, kantor desa, rumah ibadah dan tempatlainnya yang mudah diakses oleh masyarakat.
(5) Tata cara verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),dan ayat (4), tercantum dalam Lampiran [SEBUTKAN NOMOR LAMPIRAN]yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal 20
(1) Komunitas yang berbatasan atau pihak lain yang kepentingannya dirugikandengan pengukuhan Masyarakat Hukum adat dapat mengajukankeberatan kepada Panitia Masyarakat Hukum Adat.
(2) Panitia Masyarakat Hukum Adat memfasilitasi penyelesaian keberatansebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu 40 hari.
(3) Tata cara penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) danayat (2) tercantum dalam Lampiran [SEBUTKAN NOMOR LAMPIRAN] yangtidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal 21
(1) Dalam hal penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20tidak berhasil, Panitia Masyarakat Hukum Adat menyatakan penyelesaiankeberatan gagal.
(2) Dalam hal penyelesaian keberatan gagal sebagaimana dimaksud pada ayat
140
(1), proses pengukuhan Masyarakat Hukum Adat dihentikan.
(3) Panitia menyampaikan surat pemberitahuan penghentian pengukuhanMasyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepadaPemohon.
Pasal 22
(1) Dalam hal penyelesaian keberatan gagal sebagaimana dimaksud dalamPasal 21 ayat (1), Pemohon dan pihak yang mengajukan keberatan dapatmelanjutkan penyelesaian keberatan dengan bantuan pihak ketiga.
(2) Panitia melanjutkan proses pengukuhan Masyarakat Hukum Adat setelahpenyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhasil.
Pasal 23
(1) Panitia Masyarakat Hukum Adat menyampaikan rekomendasi kepadaBupati berdasarkan hasil verifikasi.
(2) Bupati melakukan penetapan Masyarakat Hukum Adat berdasarkanrekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan Bupati.
(3) Kewenangan Bupati untuk menetapkan Masyarakat Hukum Adatsebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pendelegasiankewenangan yang diberikan oleh Peraturan Daerah ini.
BAB IX
PANITIA MASYARAKAT HUKUM ADAT
Pasal 24
Bupati membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat yang bertugas:
a. Melakukan verifikasi laporan hasil identifikasi masyarakat hukum adat;
b. Memfasilitasi penyelesaian sengketa yang muncul dalam rangkapengukuhan masyarakat hukum adat; dan
c. Memberikan rekomendasi penetapan masyarakat hukum adat.
Pasal 25
(1) Panitia Masyarakat Hukum Adat terdiri dari:
a. Tokoh masyarakat hukum adat
b. Akademisi dengan latar belakang ilmu hukum, sejarah, dan antropologi.
141
c. Lembaga Swadaya Masyarakat yang berpengalaman melakukanpendampingan masyarakat hukum adat atau pemetaan wilayah adat
d. SKPD yang tugasnya berkaitan dengan masyarakat hukum adat
(2) Panitia Masyarakat Hukum Adat berjumlah 9 (sembilan) orang denganstruktur yang ditetapkan oleh Bupati.
(3) Panitia Masyarakat Hukum Adat dibentuk untuk masa tugas 2 (dua) tahundan dapat dibentuk kembali oleh Bupati.
(4) Bupati membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat paling lambat enambulan setelah Peraturan Daerah ini ditetapkan.
BAB X
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
Pasal 26
(1) Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan dukungan fasilitas,sarana dan prasarana serta pendanaan melalui SKPD yang tugasnya terkaitdengan pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa dalammelaksanakan pengakuan dan penghormatan terhadap Masyarakat HukumAdat dan hak tradisionalnya.
(2) Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan pusat informasi dankepustakaan tentang Masyarakat Hukum Adat, lembaga adat, norma-norma adat dan informasi lain yang terkait dengan Masyarakat Hukum Adatmelalui SKPD yang tugasnya terkait dengan pendidikan dan kebudayaan.
Pasal 27
(1) Pemerintah Daerah harus melibatkan Masyarakat Hukum Adat, termasukperempuan, dalam pembentukan kebijakan dan perencanaan programpembangunan yang akan dilaksanakan di wilayah adat.
(2) Pelibatan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dilakukan dengan memberikan informasi, melakukan konsultasi danmemperoleh persetujuan suka-rela dari Masyarakat Hukum Adat.
(3) Pemerintah Daerah harus melakukan pencegahan terhadap setiap tindakanyang langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilangnya keutuhandan keberagaman Masyarakat Hukum Adat dan kerusakan wilayah adat.
(4) Pemerintah Daerah harus mencegah setiap bentuk pemindahanMasyarakat Hukum Adat yang berakibat pada terlanggar atau
142
terkuranginya hak-hak Masyarakat Hukum Adat.
Pasal 28
(1) Pemerintah Daerah harus memberikan pemberdayaan dan pendampinganhukum kepada Masyarakat Hukum Adat dalam rangka melakukanperlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat.
(2) Dalam menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),Pemerintah Daerah dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi, organisasibantuan hukum dan/atau organisasi masyarakat lain yang memilikikapasitas melakukan pemberdayaan hukum.
(3) Pemerintah Daerah memberikan pendampingan pada Masyarakat HukumAdat yang akan memperoleh kembali wilayah adatnya dari penguasaanpihak luar.
(4) Pemerintah Daerah harus memfasilitasi dilakukannya inventarisasi,internalisasi, dan revitalisasi hukum adat agar sejalan dengan prinsipkeadilan sosial, kesetaraan gender, hak asasi manusia dan kelestarianlingkungan hidup.
Pasal 29
(1) Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan program pendidikan layanankhusus dengan mempertimbangkan kekhasan budaya dan menggunakanbahasa Masyarakat Hukum Adat.
(2) Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan program pelayanan kesehatankhusus yang dapat diakses dengan mudah oleh Masyarakat Hukum Adat.
(3) Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan program pelayananadministrasi kependudukan yang dapat diakses dengan mudah olehMasyarakat Hukum Adat.
(4) Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan program pengembanganperbekalan kesehatan sesuai dengan kelestarian lingkungan hidup dansosial budaya Masyarakat Hukum Adat.
(5) Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan program pelestarian,perlindungan, dan pengembangan pengetahuan tradisional MasyarakatHukum Adat.
143
BAB XI
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 30
(1) Pemerintah Daerah menghormati dan mengakui mekanisme penyelesaiansengketa Masyarakat Hukum Adat menurut hukum adat setempat.
(2) Pemerintah Daerah memfasilitasi penyelesaian sengketa yang terjadi antar-Masyarakat Hukum Adat.
(3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upayapenyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakantidak berhasil oleh lembaga adat.
(4) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upayapenyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakantidak berhasil oleh Pemerintah Daerah.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA DAN PENYIDIKAN
Pasal 31
(1) Setiap orang luar yang melakukan kegiatan mengganggu, merusak danmenggunakan wilayah adat tanpa persetujuan dari masyarakat hukum adatdiancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan denda palingbanyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
Pasal 32
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Lingkungan Pemerintah Daerahdiberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikantindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 31.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainyapenyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada PenuntutUmum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undangNomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
144
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 33
Hak milik atas tanah yang terdapat di dalam wilayah adat sebelum PeraturanDaerah ini berlaku, tetap dilindungi berdasarkan hukum adat dan peraturanperundang-undangan.
Pasal 34
(1) Izin atau hak atas tanah yang berjangka waktu yang terdapat di dalamwilayah adat yang telah ada sebelum Peraturan Daerah ini berlaku,dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa izin atau hak atas tanahtersebut.
(2) Dalam hal jangka waktu berlakunya izin atau hak atas tanah sebagaimanadimaksud pada ayat (1) berakhir, maka Masyarakat Hukum Adatmemperoleh kembali penguasaannya atas tanah tersebut.
(3) Pemberi izin atau pemberi hak dapat memperpanjang izin atau hak atastanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah mendapatkanpersetujuan dari masyarakat hukum adat.
(4) Izin atau hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjauulang berdasarkan tuntutan yang mendesak dari kesatuan masyarakathukum adat apabila telah terjadi pelanggaran terhadap hak masyarakathukum adat.
Pasal 35
(1) Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah adat telah ditunjuk atau ditetapkanoleh pemerintah sebagai kawasan hutan, maka wilayah tersebut ditetapkansebagai hutan adat.
(2) Dalam hal wilayah adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telahdifungsikan oleh kesatuan masyarakat hukum adat sebagai pemukiman,fasilitas umum atau fasilitas sosial, maka wilayah tersebut dikeluarkan darikawasan hutan.
145
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 36
Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundanganPeraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran DaerahKabupaten [NAMA KABUPATEN].
Ditetapkan di [NAMA IBU KOTA KABUPATEN]
pada tanggal [TANGGAL, BULAN, TAHUNPENGESAHAN]
BUPATI [NAMA KABUPATEN],
Tanda tangan
[NAMA BUPATI]
Diundangkan di [NAMA IBU KOTA KABUPATEN]
pada tanggal [TANGGAL, BULAN, TAHUN PENGUNDANGAN]
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN [NAMA KABUPATEN],
Tanda tangan
[NAMA SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN]
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN [NAMA KABUPATEN] TAHUN [TAHUNLEMBARAN DAERAH] NOMOR [NOMOR LEMBARAN DAERAH].
146
147
LAMPIRAN 4
Contoh Keputusan Bupati untuk Pengukuhan Masyarakat Hukum Adatberserta dengan wilayah adatnya
KEPUTUSAN BUPATI [NAMA KABUPATEN]
NOMOR:
LAMPIRAN:
TENTANG
PENGUKUHAN MASYARAKAT [SEBUTKAN NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT]SEBAGAI KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
BUPATI [NAMA KABUPATEN],
Menimbang : a. bahwa pengakuan dan penghormatanMasyarakat Hukum Adat dan hak tradisionalnyamerupakan amanat dari Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa Panitia Masyarakat Hukum Adat telahmelakukan verifikasi dan memberikanrekomendasi untuk pengukuhan keberadaanKesatuan Masyarakat Hukum Adat [NAMAMASYARAKAT HUKUM ADAT] yang telahmemenuhi kriteria untuk dikukuhkan sebagaiKesatuan Masyarakat Hukum Adat serta masihmemegang teguh tradisi dan nilai-nilai adat
LAMBANG
NEGARA
148
istiadat;
c. bahwa berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten[NAMA KABUPATEN] Nomor [NOMOR PERDA]Tahun [TAHUN PERDA] tentang [JUDUL PERDAYANG MENDELEGASIKAN KEPUTUSAN BUPATI]menentukan bahwa pengukuhan KesatuanMasyarakat Hukum Adat ditetapkan denganKeputusan Bupati; dan
d. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, hurufb, dan huruf c, perlu menetapkan KeputusanBupati tentang Pengukuhan Kesatuan MasyarakatHukum Adat [NAMA MASYARAKAT HUKUMADAT];
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentangPeraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor104, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 2043);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentangPengesahan Konvensi Mengenai PenghapusanSegala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1984 Nomor 29; Tambahan Lembaran Negara3277);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentangKonservasi Sumber Daya Alam Hayati danEkosistemnya (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1990 Nomor 49; TambahanLembaran Negara 3419);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentangPengesahan United Nations Convention onBiological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati)(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1990 Nomor 41; Tambahan Lembaran Negara3556);
149
5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 TentangHak Asasi Manusia (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1999 Nomor 165; TambahanLembaran Negara 3886);
6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentangKehutanan (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1999 Nomor 167, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 3888)sebagaimana telah diubah dengan PeraturanPemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentangKehutanan (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2004 Nomor 29) yang telah ditetapkandengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 4412);
7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentangSistem Pendidikan Nasional (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78,Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301);
8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentangSumber Daya Air (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2004 Nomor 32; TambahanLembaran Negara Nomor 4377);
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentangAdministrasi Kependudukan (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124;Tambahan Lembaran Negara Nomor 4674)sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232;Tambahan Lembaran Negara Nomor 5475);
10. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentangPenataan Ruang (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2007 Nomor 68, TambahanLembaran Negara Nomor 4725);
150
11. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentangPengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran NegaraNomor 4379) sebagaimana telah diubah denganUndang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 27Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisirdan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2007 Nomor 2, TambahanLembaran Negara Nomor 5490);
12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentangPerlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara5059);
13. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentangKesehatan (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2009 Nomor 144, Tambahan LembaranNegara 5063);
14. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentangCagar Budaya (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2010 Nomor 130, TambahanLembaran Negara 5168);
15. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentangInformasi Geospasial (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2014 Nomor 49; TambahanLembaran Negara Nomor 5214);
16. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentangPenanganan Konflik Sosial (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2014 Nomor 116;Tambahan Lembaran Negara Nomor 5315);
17. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentangPengesahan Nagoya Protocol on Access to GeneticResources and The Fair and Equitable Sharing ofBenefits Arising from Their Utilization to TheConvention on Biological Diversity (ProtokolNagoya tentang Akses pada Sumber Daya
151
Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adildan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannyaatas Konvensi Keanekaragaman Hayati)(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2013 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara5412);
18. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentangPencegahan dan Pemberantasan PerusakanHutan (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2013 Nomor 130; Tambahan LembaranNegara Nomor 5432);
19. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentangDesa (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2014 Nomor 7; Tambahan LembaranNegara Nomor 5495);
20. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentangPemerintahan Daerah (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244;Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587);
21. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentangPerkebunan (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2014 Nomor 308; TambahanLembaran Negara Nomor 5613);
22. Undang-undang Nomor [NOMOR UNDANG-UNDANG] Tahun [TAHUN UNDANG-UNDANG]tentang Pembentukan [NAMA PROVINSI](Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor[NOMOR LEMBARAN NEGARA], TambahanLembaran Negara Nomor [NOMOR TAMBAHANLEMBARAN NEGARA]);
23. Undang-undang Nomor [NOMOR UNDANG-UNDANG] Tahun [TAHUN UNDANG-UNDANG]tentang Pembentukan [NAMA KABUPATEN](Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor[NOMOR LEMBARAN NEGARA], TambahanLembaran Negara Nomor [NOMOR TAMBAHANLEMBARAN NEGARA]);
152
24. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997tentang Pendaftaran Tanah;
25. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004tentang Perencanaan Kehutanan;
26. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-UndangNomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
27. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BadanPertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999tentang Pedoman Penyelesaian PermasalahanTanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat;
28. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun2014 tentang Pedoman Pengakuan danPerlindungan Masyarakat Hukum Adat;
29. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri,Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaaan Umumdan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 79Tahun 2014, Nomor PB.3/Menhut-II/2014, Nomor17/PRT/M/2014, Nomor 8/SKB/X/2014 tentangTata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yangberada di dalam Kawasan Hutan;
30. Peraturan Daerah Nomor (SEBUTKAN PERATURANDAERAH YANG MENDELEGASIKANKEWENANGAN);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KESATU : Menetapkan Masyarakat [NAMA MASYARAKAT HUKUMADAT] sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.
KEDUA : Kesatuan Masyarakat Hukum Adat [NAMA MASYARAKATHUKUM ADAT] memiliki wilayah adat dengan batas-batas:
I. Batas Alam
A. Utara
153
Sungai [NAMA SUNGAI]
Bukit [NAMA BUKIT]
atau sebutkan batas alam lain
B. Timur
Sungai [NAMA SUNGAI]
Bukit [NAMA BUKIT]
atau sebutkan batas alam lain
C. SelatanSungai [NAMA SUNGAI]
Bukit [NAMA BUKIT]
atau sebutkan batas alam lain
D. Barat
Sungai [NAMA SUNGAI]
Bukit [NAMA BUKIT]
atau sebutkan batas alam lain
II. Batas Administratif
A. Utara
Desa [NAMA DESA]
B. Timur
Desa [NAMA DESA]
C. Selatan
Desa [NAMA DESA]
D. Barat
Desa [NAMA DESA]
KETIGA : Peta wilayah adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat[NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT] sebagaimanaterlampir merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahdengan Keputusan ini.
KEEMPAT : Pengelolaan wilayah adat dan penyelesaian sengketayang terjadi antar-warga masyarakat diselenggarakanberdasarkan hukum adat Kesatuan Masyarakat Hukum
154
Adat [NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT] denganmemperhatikan prinsip keadilan sosial, kesetaraan gender,hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan hidup.
KELIMA : Lembaga adat, berdasarkan hasil musyawarah denganwarga Masyarakat Hukum Adat, mewakili KesatuanMasyarakat Hukum Adat [NAMA MASYARAKAT HUKUMADAT] dalam melakukan hubungan hukum dengan pihakluar.
KEENAM : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di [IBUKOTA KABUPATEN]
pada tanggal .............................
BUPATI,
[NAMA BUPATI]
Tembusan Keputusan ini disampaikan kepada Yth.:
1. Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia di Jakarta;
2. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia diJakarta;
3. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan NasionalRepublik Indonesia di Jakarta;
4. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan TransmigrasiRepublik Indonesia di Jakarta;
5. Gubernur [NAMA PROVINSI] di [IBUKOTA PROVINSI];
6. Ketua DPRD Kabupaten [NAMA KABUPATEN];
7. Kepala SKPD dalam Kabupaten [NAMA KABUPATEN];
8. Yang bersangkutan.