buku ajar politik agrariakata "agraria" mengacu pada undang-undang pokok agraria tahun...

33
POLITIK AGRARIA BUKU AJAR Arief Rahman

Upload: others

Post on 31-Dec-2019

87 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

POLITIK AGRARIA

BUKU AJAR

Arief Rahman

@copyright 2019

Diterbitkan oleh :

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentukpembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang.Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.Isi diluar tanggung jawab percetakan.Ketentuan pidana pasal 113 undang-undang nomor 28 tahun 2014 :

BUKU AJAR

POLITIK AGRARIA

Salim Media Indonesia

Jl. H. Ibrahim. Lr. Budaya No. 09 RT 21 Rawasari

Kec. Alam Barajo – Jambi

Telp. 0741 3062851

Email : [email protected]

www.salimmedia.com

Penulis : Arief RahmanDesain Sampul : Dicky Prasetyo

ISBN 978-623-7638-05-6

sandy
Rectangle

iv

DAFTAR ISI

Halaman Daftar Isi iii Kata Pengantar v BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan…………............................................... 1 1.2 Indonesia Awal Kemerdekaan dan Politik Agraria… 6 1.3 Politik Agraria............................................................ 7 1.4 Konsep dan Politik Agraria........................................ 11 BAB II. TANAH, FEODALISME, DAN

KOLONIALISME 2.1 Tinjauan Sejarah……………………………………. 24 2.2 Feodalisme dan Agraria di Indonesia......................... 27 2.3 Kolonialisme dan Agraria di Indonesia…………….. 33 2.4 Sekilas tentang VOC……………………………….. 38 2.5 Kolonialisme Hindia Belanda dan pengaruhnya

terhadap pengaturan Agraria………………….......... 2.6 Cultuurstelsel………………………………………. 49 2.7 Agrarische Wet……………………………………... 58 2.8 Politik Etis …………………………………………. 67 2.9 Kolonialisme Belanda dan Kesejahteran Petani…… 69 BAB III. AGRARIA DAN DINAMIKA

POPULISME 3.1 Pengaturan Agraria Pasca Kemerdekaan.................. 74 3.2 Kebijakan Populis Orde lama dan berakhirnya

76 Land Reform...........................................................

v

48

BAB IV. OTORITARIANISME DAN PEMBANGUNAN KAPITALISME 4.1 Orde Baru…………………………………………... 89 4.2 Otoritarianisme Orde Baru dalam Agraria………..... 95 4.3 Orde Baru dan Kapitalisme Sektor Agraria……………………………………………. BAB V. LAND REFORM DAN GERAKAN AGRARIA 5.1 Land Reform……………………………………….. 115 Tugas dan Soal………………………………………… 120 Daftar Pustaka………………………………………… 122

99

1

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

BAB I

1.1 PENDAHULUAN

Kata "agraria" mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria

tahun 1960 yang mendefinisikan agraria tidak hanya sebatas

tanah/bumi, tapi juga air dan ruang angkasa, jauh sebelum itu, Tepat

149 tahun lalu, 9 April 1870, undang-undang yang disebut sebagai UU

Agraria lahir di Hindia Belanda, yang mengakhiri era tanam paksa.

M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern menyebut lahirnya

UU Agraria ini membuka Pulau Jawa bagi perusahaan swasta1.

Kebebasan dan keamanan pengusaha dijamin. Para pemodal

asing diperkenankan menyewa lahan hingga 75 tahun dari

pemerintah. Undang-undang yang lahir dalam semangat kapitalisme

makin menumbuhkan sektor perkebunan terutama komoditas

primadona lantaran laku di pasaran dunia khususnya tebu. Pada masa

tanam paksa 1830 hingga kebijakan awal liberal 1870, perkebunan

tebu berkembang yang dibarengi produksi gula, seperti yang banyak

di tulis di buku sejarah, Belanda menikmati masa keemasan yang di

hasilkan oleh koloni terlamanya ini.

Mereka yang mempelajari sejarah perubahan agraria

Indonesia, lebih-lebih mereka yang mempelajari sejarah agraria

negera-negara kolonial dan paska-kolonial di Asia, Amerika Latin

1 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta:Serambi Ilmu Semesta,2008), hal.85

2

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

hingga Afrika, akan banyak menemukan contoh-contoh dimana

pemberlakukan hukum agrarian baru, termasuk di dalamnya hukum-

hukum yang mengatur usaha-usaha perkebunan, kehutanan, dan

pertambangan, merupakan suatu cara agar perusahaan-perusahaan

kapitalis dari negara-negara penjajah di Eropa dapat memperoleh akses

eksklusif atas tanah dan kekayaan alam, yang kemudian mereka definisikan

sebagai modal perusahaan-perusahaan itu.

Badan-badan pemerintahan dan perusahaan-perusahaan itu telah

memagarinya, dan mengeluarkan penduduk bumi putera dari wilayah itu.

Hubungan dan cara mereka menikmati hasil dari tanah dan alam telah diputus

melalui pemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan, pemagaran wilayah

secara fisik, hingga penggunaan simbol-simbol baru yang menunjukkan

status kepemilikan yang bukan lagi dipangku oleh mereka. Bila saja

sekelompok rakyat melakukan protes dan perlawanan untuk menguasai dan

menikmati kembali tanah dan wilayah yang telah diambil alih pemerintah

dan perusahaan-perusahaan itu, akibatnya sangat nyata, yakni mereka dapat

dikriminalisasi, dikenai sanksi oleh birokrasi hukum, atau tindakan

kekerasan lainnya yang dapat saja dibenarkan secara hukum.

Masalah agraria dan pengelolaan sumber daya alam bangsa

Indonesia secara umum pernah dirumuskan secara sederhana oleh elite

pemerintahan nasional di zaman reformasi melalui Ketetapan MPR RI

No.IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber

Daya Alam, sebagai berikut:(i) ketimpangan (terkonsentrasinya) penguasaan

tanah dan sumber daya alam ditangan segelintir perusahaan, (ii) konflik

konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang Meletus di sana-sini

dan tidak ada penyelesaiannya, dan (iii) kerusakan ekologis yang parah

3

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

dan membuat layanan alam tidak lagi dapat dinikmati rakyat2.

Tiga golongan masalah ini sayangnya banyak dinilai

pengamat seolah diabaikan oleh banyak pejabat publik dan memang

pada sama sekali tidak diurus secara serius oleh presiden-presiden,

menteri-menteri dan para pejabat yang berhubungan dengan masalah

agraria dan pengelolaan sumber daya alam, serta para pejabat

pemerintahan daerah. Dengan keadaan yang demikian, situasi rawan

konflik di bidang ini pun menjadi semakin banyak pasca reformasi,

Konflik agraria adalah "konflik yang diakibatkan oleh kebijakan atau

putusan pejabat publik (pusat dan daerah), melibatkan banyak korban

dan menimbulkan dampak yang meluas, yang mencakup dimensi

sosial, ekonomi, dan politik."

Sejarawan terkenal, Eric Hobsbawm dalam karyanya yang

terkenal, Age of Extremes, membuat deklarasi bahwa “the most

dramatic change in the second half of this century, and the one which

cuts us forever from the world of the past, is the death of the

peasantry”. Artinya, “perubahan paling dramatis dalam paruh kedua

abad (kedua puluh) yang untuk selamanya memisahkan kita dari dunia

masa lampau, adalah kematian petani” (Hobsbawm, 1994:288-9).

Istilah untuk berkurangnya jumlah orang desa yang bekerja sebagai

petani, yang dibuat oleh para sarjana peneliti masalah agraria adalah

depeasantization (Araghi 1995, McMichael 2014).

2 Noer Fauzi, Bersaksi untuk pembaharuan Agraria (Yogyakarta : Insist Press, 2003) hal.134

4

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

Ini untuk menunjukkan bagaimana berbagai kekuatan

ekonomi politik bekerja pada tingkat global sehingga menghasilkan

kecenderungan pengurangan jumlah kelas petani di pedesaan, dan

semakin kecilnya pengaruh pedesaan pada kehidupan rakyatnya.

Lebih lanjut, ahli agraria lain membuat istilah deagrarianization

untuk menunjukkan semakin kecilnya andil kerja-kerja dari dunia

agraris bagi ekonomi rakyat, perubahan orientasi hidup, identifikasi

sosial, dan perubahan lokasi hidup. Semua hal diatas dilakukan dalam

rangka menciptakan suatu cara hidup baru dengan gaya perkotaan

modern (urban modernity), yang banyak dianggap sebagai

keniscayaan yang harus ditempuh. Henri Lefebrve (1991)

menyebutnya sebagai urban revolution, bahwa masyarakat global

sekarang ini sedang mengalami proses urbanisasi dan masyarakat

perkotaan sekarang ini terbentuk sebagai hasil proses urbanisasi.

Ia memaksudkan bahwa ini bukan sekadar perubahan lokasi

hidup di kota-kota, melainkan seluruh cara hidup, berpikir dan

bertindak yang berbeda secara total. Kampung halaman rakyat di

desa-desa porak-poranda untuk melayani cara hidup masyarakat

perkotaan, termasuk kaum elite kaya yang hidup di kota-kota yang

berjaringan satu sama lain, termasuk dengan dihubungkan oleh

lapangan terbang, mobil dan jaringan jalan highway, hotel, pusat

perbelanjaan dan perumahan gated-communities, hingga kantor-

kantor perusahaan maupun pemerintahan di pusat kota metropolitan.

Elite perkotaan kita ini hidup di metropolitan cities seperti Jakarta,

5

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

Surabaya, Denpasar, Makasar, Medan, hingga Singapura, dan

bersama-sama dengan elite perkotaan di negara-negara pasca kolonial

lain dalam jaringan dengan kota-kota New York, London, dan Tokyo,

dan sebagainya. Sisi lain dari cara perluasan sistem-sistem produksi

komoditas global lah yang akan kita bahas, khususnya cara perluasan

melalui konsesi-konsesi proyek pertambangan, kehutanan,

perkebunan, infrastruktur, dll. Produktivitas rakyat yang hidup di

lokasi-lokasi sasaran perluasan itu sesungguhnya diabaikan dan sama

sekali tidak diperhitungkan, apalagi dihargai.

Cerita dan berita mengenai penghancuran kehidupan yang

sebelumnya melekat pada tempat sistem-sistem produksi baru itu

tidak dimasukkan dan dimuat dalam naskah-naskah resmi di kantor-

kantor pemerintah3. Sebaliknya, pemerintah menyampaikan

keharusan-keharusan bagaimana kebijakan dan fasilitas pemerintah

diarahkan untuk mempermudah para perusahaan raksasa (biasa

disebut: investor!) bekerja untuk memperbesar kapasitas produksi

komoditas-komoditas global, mensirkulasikannya, dan menjual

belikan sedemikian rupa sehingga menghasilkan keuntungan dan

penumpukan kekayaan.

3 Pramoedya Ananta Toer, https://www.nytimes.com/1999/04/18/magazine/best-story-the-book-that-killed-colonialism.html diakses 1 Desember 2019.

6

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

1.2 INDONESIA AWAL KEMERDEKAAN DAN POLITIK

AGRARIA

Masa awal kemerdekaan selama lima tahun itu dikenal sebagai

periode “revolusi fisik”, yaitu masa-masa perang dan damai silih

berganti. Dengan demikian pikiran utama memang dicurahkan pada

penyelamatan negara lebih dulu. Sekalipun demikian, dan walaupun

sebelumnya hampir tak ada tokoh pergerakan yang mengangkat isyu

pertanian dan agraria, namun begitu kemerdekaan diproklamasikan,

sejumlah pemikir sudah langsung mengembangkan gagasan mengenai

arah “politik pertanian” kita4.

Muncul kesadaran kolektif diantara para tokoh untuk

memunculkan wacana politik yang mengacu kesadaran bahwa negara

Indonesia baru ini adalah negara yang agraris. Pada bulan Februari

1946, ketika umur RI baru enam bulan, Wakil Presiden, Bung Hatta,

sudah menulis dan juga menyampaikan pidato mengenai “Ekonomi

Indonesia di Masa Depan”. Sekalipun isinya masih merupakan

lontaran gagasan, dan belum menjadi kebijakan resmi, namun “fatwa”

wakil presiden pertama Republik Indonesia ini memang

mencerminkan kehendak bersama para pendiri Republik.

Gagasan Bung Hatta itu mengandung prinsip bahwa sebagai

negara agraris, maka landasan pembangunan itu harus dimulai dari

4 Makalah ringkas. Disampaikan dalam acara “Workshop Pertanian YLBHI” bertema “Tantangan dan Masa Depan Pertanian”, di Hotel Seruni, Cisarua, tanggal 2 Mei 2005

7

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

pembangunan pertanian. Dan karena itu masalah agraria, khususnya

tanah, harus dibenahi lebih dulu, menjadi utama dibandingkan hal

lainnya terutama dalam perekonomian. Dalam hubungan ini maka ada

sejumlah prinsip yang perlu menjadi pegangan, yaitu5:

(a) Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-seorang

untuk menindas dan

memeras hidup orang banyak.

(b) Pemilikan tanah yang sangat luas oleh seseorang dimana

terdapat jumlah penggarap yang besar, adalah bertentangan

dengan dasar perekonomian yang adil.

(c) Perusahaan yang menggunakan tanah luas, sebaiknya diatur

sebagai koperasi di bawah pengawasan pemerintah.

(d) Menurut hukum adat Indonesia, tanah itu pada dasarnya

adalah milik masyarakat. Orang seorang berhak

menggunakannya, sebanyak yang perlu baginya serta

keluarganya, tapi dia tidak boleh menjualnya. Jika dia tidak

menggunakannya lagi, tanah itu jatuh kembali kepada

“masyarakat” yang akan membagikannya kembali kepada

yang membutuhkannya.

(e) Tanah-tanah yang dipakai oleh perkebunan-perkebunan

besar, pada dasarnya adalah milik masyarakat. Kalau

pengusahaan perkebunan itu dalam bentuk koperasi, maka

5 Ibid

8

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

koperasi itu boleh menggunakan tanah itu selama diperlukan

olehnya, tapi tidak boleh memindahkan hak berusaha itu.

(f) Perusahaan di atas tanah yang tidak begitu luas, dan dapat

dikerjakan sendiri, boleh menjadi kepunyaan orang seorang.

Jika orang yang bersangkutan ini menggabungkan diri ke

dalam koperasi, maka tanah milik yang dibawanya tidak

diusik.

(g) Tanah di luar tanah kediaman, hanya boleh dipandang sebagai

faktor produksi saja, dan tidak menjadi “obyek perniagaan”

yang diperjual belikan semata-mata untuk mencari

keuntungan.

(h) Seharusnya tidak terjadi pertentangan antara masyarakat adat

dan negara, karena negara adalah alat masyarakat untuk

menyempurnakan keselamatan umum. Negara harus berusaha

supaya tanah kosong diusahakan menjadi sumber

kemakmuran rakyat. Hukum privat sebagai lawan hukum

publik, mestinya tidak ada di Indonesia.

Gagasan dari Bung hatta itu tidak berhenti pada wacana saja,

apa yang menjadi poin-point diatas memang mencerminkan kehendak

politik yang sangat tegas. Dibuktikan dengan, belum ada satu tahun

umur RI., pemerintah sudah melaksanakan “land reform” skala kecil

dalam wilayah terbatas. Melalui Undang-Undang no.13/1946,

pemerintah melakukan aksinya dengan menghapuskan hak-hak

instimewa yang dimiliki para elit desa di desa-desa “perdikan” di

9

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

daerah Banyumas. Tanah-tanah mereka yang luas-luas itu dipotong

separo (dengan kompensasi), untuk didistribusikan kepada petani

yang tak punya tanah. (Lihat, Selo Soemardjan, 1962).

Tidak berhenti sampai disitu saja, aksi selanjutnya, tercatat

pada awal tahun 1948, melalui UU Darurat no.13/1948, pemerintah

juga menghapuskan “hak-hak konversi” dari perusahaan-perusahaan

tebu yang berada di daerah dua kesultanan Yogya dan Solo, dan

tanahnya didistribusikan kepada petani tunakisma (Selo Soemardjan,

1962, Ibid).

Bersamaan dengan itu pemerintahan Soekarno meskipun

masih dalam suasana gejolak revolusi, pemerintah pada tahun 1948

itu juga mulai membentuk panitia negara untuk mengembangkan

pemikiran dan mempersiapkan perumusan Undang-Undang baru di

bidang agraria, guna menggantikan UU Agraria Kolonial 1870 –

Panitia ini dikenal sebagai Panitia Agraria Yogya. Tetapi karena

perkembangan politik (Indonesia menjadi RIS) maka panitia tersebut

dibubarkan. Setelah bentuk negara menjadi RI kembali, maka panitia

tersebut dihidupkan kembali dan dikenal sebagai “Panitia Agraria

Jakarta”. Dalam sistem Kabinet Parlementer, umur kabinet tidak

tertentu, tergantung dinamika percaturan politik dalam parlemen.

Kabinet jatuh bangun berganti-ganti. Seirama dengan ini maka panitia

agraria itu berganti-ganti. Walaupun yang berganti hanyalah

Ketuanya, sedangkan pakar-pakarnya hampir semuanya sama.

Perlu dicatat juga bahwa selama jaman pendudukan Jepang

10

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

(selama Perang Dunia II), perkebunan-perkebunan besar di Nusantara

yang dikuasai oleh modal swasta Belanda (atau asing lainnya)

menjadi terlantar karena ditinggalkan oleh mereka. Rakyat kemudian

menduduki dan menggarapnya. Pemerintah pendudukan Jepang

membiarkannya, bahkan di beberapa daerah bahkan mendorongnya.

Lahan-lahan perkebunan bekas dikuasai oleh perusahaan asing

maupun perorangan asing dinilai bermanfaat Untuk ditanami tanaman

yang berguna bagi kepentingan perang. (M. Tauchid, 1952, II-10).

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah meneruskan

kebijakan tersebut, yaitu mentolerir pendudukan rakyat, paling tidak

untuk sementara, menunggu sampai nantinya dilaksanakan reforma

agraria. Namun kemduian, pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda

menyerbu dan seluruh wilayah R.I diduduki Belanda, sehingga

berlangsunglah perang gerilya selama kira-kira delepan bulan. Bulan

Agustus 1949 diadakan gencatan senjata, disusul dengan perundingan

dalam Konperensi Meja Bundar (KMB). Hasil konperensi inilah yang

menjadi titik balik kebijakan tersebut di atas, yang akibatnya menjadi

rancu sampai sekarang.

Pembahasan di atas mengawali bagaimana kemudian Agraria

di Indonesia menjadi kental masuk kedalam ranah politik yang

nantinya dinamikanya akan selalu menyertai kehidupan bangsa ini

hingga masa sekarang. masa awal kemerdekaan selama lima tahun

yang dikenal sebagai periode “revolusi fisik”, yaitu masa-masa perang

dan damai silih berganti memunculkan pemakluman bahwa pikiran

11

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

utama negara baru ini memang wajar dicurahkan pada penyelamatan

negara terlebih dahulu. Sekalipun demikian, dan walaupun masa

sebelum kemerdekaan hampir tak ada tokoh yang mengangkat isu

pertanian dan agraria (seperti diuraikan sebelumnya), walaupun

begitu ketika kemerdekaan diproklamasikan, sejumlah pemikir,

founding father bangsa ini sudah langsung mengembangkan gagasan

mengenai arah “politik pertanian” kita.

1.3 POLITIK AGRARIA

Politik Agraria adalah garis besar kebijaksanaan yang dianut

oleh Negara dalam memelihara, mengawetkan, memperuntukkan,

mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah

dan sumber alam lainnya termasuk hasilnya untuk kepentingan

kesejahteraan rakyat dan Negara, yang bagi Negara Indonesia

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar (UUD) 1945.

Politik Agraria dapat dilaksanakan, dijemalkan dalam sebuah

Undang-Undang mengatur agrarian yang memuat asas-asas, dasar-

dasar, dan soal-soal agraria dalam garis besarnya, dilengkapi dengan

peraturan pelaksanaannya.Dengan demikian, ada hubungan yang erat

antara politik dan hukum6.

Problem utama yang dihadapi oleh setiap negara agraris ialah

ketika manusia membutuhkan tanah dan hasilnya untuk kelangsungan

hidup, membutuhkan tanah untuk tempat hidup dan usaha, bahkan

6 Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif (Kencana:Jakarta), Hal.24

12

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

sesudah meninggalpun masih membutuhkan sejengkal tanah.

Sehubungan dengan luas tanah dalam negara itu terbatas, terlebih

ketika kita membicarakan lahan pertanian padahal jumlah penduduk

semakin lama semakin bertambah. Oleh karena itu masalah utama

yang dihadapi oleh setiap negara yang mengaku agraris adalah,

mengingat keadaan alam dan luas tanah dalam negara, dalam

hubungannya dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah,

bagaimana cara memelihara, mengawetkan, memperuntukan,

mengusahakan mengurus dan membagi tanah serta hasilnya

sedemikian rupa sehingga menguntungkan bagi kesejahteraan rakyat

dan negara.

Dalam Politik Agraria, permasalahan diatas adalah

permasalahan pokok yang ingin dipecahkan. Politik agrarian

mempunyai objek, hubungan manusia dengan tanah, beserta segala

persoalan dan Lembaga-lembaga masyarakat yang timbul

karenanya, yang bersifat politis, ekonomis, social dan budaya. Secara

ringkas dapat disimpulkan fokus utama politik agrarian ada pada 3

faktor berikut7:

1. Adanya hubungan antar manusia dengan tanah yang

merupakan suatu realita yang selamanya aka nada.

2. Manusia dari sudut politis, social, ekonomis, kultural dan

mental.

7 Noer Fauzi, Petani dan Penguasa (Insist Press: Jogjakarta, 1999) hal.256

13

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

3. Alam khususnya tanah.

Agraria menjadi salah satu fokus atau kajian di dalam ilmu

politik yang cukup penting untuk dibahas. Boleh jadi agraria menjadi

salah satu hal penting yang cukup kompleks untuk dibahas. Banyak

persoalan sosial maupun hukum yang selalu mewarnai pemberitaan di

media di Indonesia terkait dengan agraria.

Istilah atau pengertian agraria berasal dari bahasa Yunani

yaitu Ager yang berarti tanah atau ladang8. Selain itu, pengertian

agraria menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti

urusan pertanian atau urusan kepemilikan tanah. Dengan demikian,

dapat dikatakan bahwa pengertian agraria secara sempit berarti tanah.

Pengertian tersebut tentu masih bersifat multitafsir karena ada

beberapa orang yang boleh jadi menganggap tanah sebagai sesuatu

yang ada di permukaan bumi saja. Di sisi lain, pengertian agraria

secara luas mempunyai makna atau cakupan yang lebih besar lagi,

tidak hanya tanah, tetapi juga hal-hal yang terkandung di dalam tanah

itu sendiri. Secara lebih ringkas, pengertian agraria secara luas

mencakup berbagai hal seperti bumi, air, angkasa, dan kekayaan alam

yang ada di dalamnya sesuai dengan UUPA.

Selanjutnya, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan bahan-bahan

galian seperti unsur kimia, bahan mineral, batuan, dan lain

8 Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria Pertanahan Indonesia, Jilid 2, hal. 64.

14

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

sebagainya, Selain itu, kekayaan alam yang ada di daerah perairan

yaitu ikan, rumput laut, dan lain sebagainya juga termasuk di dalam

pengertian agraria secara luas. Dengan mengacu UUPA, agraria tidak

hanya diartikan sebagai tanah dalam artian fisik, tetapi juga dalam

artian yuridis yang berupa hak. Dengan demikian, kekayaan alam

yang terkandung di suatu area atau wilayah berhak dieksplorasi oleh

pihak yang memiliki wilayah tersebut (semisal negara).

Di sisi lain, pengertian agraria tersebut hampir mirip atau

serupa dengan pengertian ruang seperti yang tercantum di dalam

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

Dari UU tersebut, ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi

ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan

wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan

kegiatan, serta memelihara kelangsungan hidupnya. Meskipun

demikian, secara tidak langsung, permasalahan tata ruang merupakan

salah satu turunan dari induknya yang bernama agraria. Apabila

diilustrasikan, agraria meliputi sumber daya alam (SDA) seperti hutan

atau tambang, lingkungan seperti tata air, dan tata ruang.

Selain itu, ada beberapa dimensi yang bisa dilihat dalam

mempelajari politik agraria. Menurut Sitorus, dua dimensi tersebut

yaitu dimensi subjek dan objek. Dimensi objek didefinisikan sebagai

sumber daya alam (sumber agraria) yang terdapat di tanah, air, dan

lain sebagainya. Di sisi lain, dimensi subjek terdiri dari komunitas,

swasta, dan pemerintah (berupa aktor). Dari beberapa subjek tersebut

15

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

terdapat istilah komunitas. Istilah tersebut muncul bukan tanpa alasan.

Kata tersebut bisa muncul karena pada awalnya (sebelum agraria

dikuasai negara), agraria dimiliki oleh komunitas-komunitas yang

tinggal di beberapa wilayah tertentu yang saat ini sering disebut

sebagai tanah ulayat atau tanah adat.

Menariknya, subjek-subjek tersebut bisa saling berkontestasi,

bekerjasama, bahkan saling konflik karena ada ketimpangan

(kepemilikan sumber daya yang berbeda-beda). Selain itu, berangkat

dari aktor-aktor yang ada, Sitorus juga membagi tiga tipe struktur

agraria. Ketiga tipe tersebut terdiri dari tipe kapitalis (sumber agraria

dikuasai oleh non penggarap alias perusahaan), sosialis (sumber

agraria dikuasai oleh negara atau kelompok pekerja), dan populis atau

neo-populis (sumber agraria dikuasai oleh keluarga atau rumah tangga

pengguna).

Selanjutnya, ada berbagai macam perspektif yang

menjelaskan pengertian agraria. Agraria dari perspektif keilmuan

hukum mempelajari ketentuan yang berupa perdata maupun tata

negara yang mengatur hubungan antara manusia dengan kekayaan

alam (bumi, air, angkasa) dan menjelaskan wewenang yang

bersumber dari hubungan tersebut. Meskipun demikian, perundang-

undangan mengenai penerbangan dan perkapalan tidak termasuk di

dalamnya karena objeknya bukan agraria melainkan pesawat terbang

atau kapal. Selain itu, dalam perspektif hukum, banyak hal-hal yang

diatur secara jelas seperti mengenai hukum pertanahan, air,

16

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

pertambangan, perikanan, kehutanan, dan lain sebagainya. Sebelum

berlakunya hukum agraria yang ditetapkan pada tahun 1960,

Indonesia masih menggunakan kaidah-kaidah atau hukum adat dan

hukum agraria barat.

Di sisi lain, perspektif ekonomi mengandaikan bahwa agraria

dipelajari untuk selanjutnya dijadikan sumber-sumber pendapatan.

Artinya kekayaan yang terkandung di dalam bumi seperti tanah, air,

dan angkasa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk tujuan

ekonomi. Salah satu contohnya adalah ketika ada aktivitas produksi,

eksploitasi (penambangan), dan distribusi terhadap hasil kekayaan

yang ada di bumi. Meskipun demikian, idealnya memang hasil

kekayaan tersebut digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan

masyarakat seperti yang tertuang di dalam pasal 33 UUD 1945. Dari

cara pandang sosial, fokus kajiannya berupa interaksi atau hubungan

antar individu dalam sebuah komunitas dalam dimensi ruang atau

tempat. Artinya interaksi tersebut berlangsung di antara ruang tersebut

(bumi, air, angkasa, dan kekayaan lainnya).

Dari kacamata antropologi, fokus yang dipelajari untuk

melihat agraria yaitu dengan menganalisis hubungan manusia dengan

bumi, air, dan kekayaan yang ada di dalamnya. Salah satu contoh yang

menarik adalah kearifan lokal manusia kepada alam. Seperti diketahui

secara umum, antropologi merupakan disiplin ilmu yang menekankan

pada aspek keanekaragaman fisik dan kebudayaan. Dari kacamata

sejarah, disiplin ilmu tersebut hubungannya dengan agraria melihat

17

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

bahwa penting untuk melihat kondisi agraria di masa lampau yang

meninggalkan jejak di masa sekarang. Artinya terdapat bukti-bukti

yang mampu menjelaskan perjalanan agraria dari masa lampau hingga

saat ini. Hal tersebut dirasa penting mengingat kondisi agraria dari

waktu ke waktu terus mengalami perkembangan, bahkan seringkali

muncul permasalahan yang sangat krusial terkait agraria.

Dari perspektif politik, perlu diketahui terlebih dahulu

mengenai definisi politik. Politik dalam hal ini dimaknai sebagai

kekuasaan (power). Dalam perspektif ini, fokus kajiannya adalah cara

mengelola sumber daya atau agraria yang sudah ada. Hal itu bisa

dilakukan apabila seseorang atau sekelompok orang mempunyai

kekuasaan yang besar untuk mengatur hal tersebut. Dengan demikian,

mereka mempunyai wewenang untuk mengatur sebuah kebijakan

yang terkait dengan agraria. Selain itu, orang-orang yang memiliki

kekuasaan boleh jadi karena kepemilikan atas beberapa bagian agraria

seperti tanah, air, atau pertambangan. Dari hal tersebut, seseorang

mampu memberikan influence kepada orang lain supaya tunduk

dalam artian orang-orang yang mempunyai resource tadi secara tidak

langsung sedang mengelola kekuasaannya.

Dari paparan diatas, dapat diambil beberapa poin

penting yang menyangkut tentang pengertian dan perspektif agraria.

Agraria pada umumnya dapat didefinisikan secara sempit (sebagai

tanah) dan secara luas (tanah, air, angkasa, dan kekayaan yang ada di

dalamnya). Selain itu, Sitorus juga membagi dua dimensi dalam

18

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

mempelajari agraria yaitu dari sisi objek (kekayaan SDA atau sumber-

sumber agraria) dan subjek (pemerintah, komunitas, dan swasta).

Selanjutnya, dari adanya subjek tersebut, maka dapat diambil 3 tipe

struktur agraria atau hubungan sosial agraria yaitu tipe kapitalis,

sosialis, dan populis. Terakhir, agraria dapat didefinisikan atau

dipandang dari multidisiplin ilmu seperti dari ilmu hukum, ekonomi,

sosial, sejarah, antropologi, dan politik.

1.4 Konsep Politik dan Agraria

Dalam Pemikiran Mazhab Klasik9, permasalahan tanah

dibicarakan dalam konsep Land rent, yang sering dihubungkan

dengan tekanan penduduk. Tokoh utamanya adalaj David ricardo

dalam bukunya, The Principle of Political Economy and Taxation

(1921), dia mengkaitkan antara proses produksi dengan jumlah

penduduk yang semakin bertambah. Permintaan terhadap

sumberdaya produksi meningkat dengan tujuan agar manusia dapat

mempertahankan kehidupan. Untuk menyokong ide tersebut maka

akan semakin banyak tanah yang dibutuhkan, sementara disisi lain

tanah yang dibutuhkan tersebut semakin lama semakin terbatas.

Tekanan tersebut menurut ricardo, akan mencapai tahap yang disebut

sebagau “tahap akhir” tahapan dimana tanah akhir tersebut hanya

hanya mampu menyokong kebutuhan hidup minimal dari yang

mengerjakan (menggarap) tanah tersebut, kebutuhan hidup minimal

9 Sumitro Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Buku 1, hal.40- 49

19

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

itulah yang secara umum menentukan tingkat upah semua tenaga

kerja.

Siapa yang mampu menguasai tanah yang mutu lahannya

lebih baik dari tanah akhir tersebut, mereka akan memperoleh surplus

diatas biaya, dengan demikian pihak yang memiliki atau menguasai

tanah yang lahannya bermutu tinggi, memperoleh banyak

keuntungan, dari adanya tekanan antara kebutuhan dan permintaan

yang semakin meningkat. Sebaliknya, siapa yang tidak mempunyai,

memiliki atau menguasai tanah dengan mutu yang baik akan semakin

tertekan oleh tekanan hidup yang muncul. Didasarkan atas pandangan

cara mazhab klasik diatas, ketika menempatkan tanah sebagai modal,

maka tanah akan terikat dengan hokum yang tidak bisa diingkari,

bahwa modal akan selalu menuntut untuk digandakan terus menerus,

hal ini disebut sebagai hukum akumulasi modal, dalam mazhab klasik.

Dan kepentingan untuk mampu menyulap uang menjadi modal

adalah terus menerus berlangsung, proses akumulasi ini terus menerus

berlangsung, sampai kemudia mualai menjadi penyebab munculnya

persengketaan tanah, perebutan bahkan penjajahan, didasari oleh

kebutuhan tersebut.

Pemahaman ini membawa kita pada persoalan bagaimana

masuknya modal merusak tatanan ekonomi masyarakat yang bukan

kapitalis. Pandangan alternative yang mengutamakan bagaimana

bekerjanya modal ini berpayung pada konsep Primitive

accumulation. akumulasi primitif adalah suatu proses awal

20

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

berkembangnya kapitalisme, yang ditandai dengan dua ciri

transformasi: (i) Keakayaan alam dirubah menjadi modal dalam

ekonomi produksi kapitalis (ii) kaum petani diubah menjadi buruh

upahan.

Sepanjang era orde baru telah terjadi perubahan yang

mendasar pada formasi social masa orde baru, sebagai fasilitasi

terhadap hokum akumulasi modal diatas. Bangkitnya modal (rise of

capital), di satu sisi menghasilkan suatu proses pertumbuhan swasta

yang didominasi oleh konglomerasi di lain pihak terbentuknya

pekerja-pekerja yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan organisasi

ekonomi masyarakat. Dalam konteks perkembangan agrarian, tanah

menempati posisi yang Vital.

Sementara hukum akumulasi modal dan akumulasi primitif

berlangsung, Orde baru mengundang banyak modal besar untuk

dating, alasan seperti “memperluas kesempatan kerja”, “memperbesar

pemasukan devisa negara ,“memperkecil kesenjangan regional”, serta

masih banyak bentuk propaganda lainnya. Proses fasilitasi pemerintah

juga dilakukan dengan pembangun infrastruktur yang masif. Hal-hal

ini bertujuan untuk mendapatkan distribusi surplus, baik pemasukan

resmi negara berupa pajak dan lain-lain, atau dalam bentuk yang

biasa disebut sebagai rente illegal (illegal rent). Pasokan surplus yang

besar jelas diperlukan negara untuk operasional isntitusi-institusi dan

personalia mesin bernama negara.

21

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

Pemikiran tentang politik agrarian Indonesia pasca kolonial

telah merebak seiring dengan perjuangan kemerdekaan

(dekolonisasi). Pengalaman hidup rakyat Indonesia dibawah politik

agraria kolonial sampai sekarang masih menjadi sumber yang

mendasari keharusan kenapa harus dilakukan pembaharuan.

Perkembangan gagasan tentang politik agrarian Indonesia

menemukan bentuk konstitusionalnya dengan dirumuskan pasal 33

UUD 1945, dan Undang-Undang Pokok Agraria 1960. Politik

agrarian sepanjang zaman orde lama dengan jelas mencerminkan

pilihan pada Populisme.

Secara umum, berdasarkan strateginya, politik agraria10 dapat

dibedakan menjadi 3 ciri ideal yang menjadi pembeda antara satu

system dengan system lainnya. Hal itu terdiri dari :

1. Penguasaan Tanah

2. Tenaga Kerja

3. Tanggung jawab pengambilan keputusan mengenai produksi,

akumulasi, dan investasi.

Dalam strategi agrarian kapitalis, sarana produksi utama (Tanah)

dikuasai oleh individu-individu non-penggarap. Yang mengerjakan

tanah adalah pekerja upahan. Hubungan antara penguasaan/

kepemilikan tanah dan pekerjaan sifatnya terpisah. Pekerja

10 Gunawan Wiradi (1991:10) berdasarkan pada A.K. Goshie merumuskannya sebagai strategi agraria, sementara John Haris (1982:37-43) menyebutnya sebagai Path of agrarian change.

22

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

(penggarap) menjual tanah yang dibeli dengan upah yang diberikan

oleh pemilik/ penguasa tanah. Tenaga kerja diposisikan sebagai

komoditi (barang dagangan). Tanggung jawab dan pengambilan

keputusan produksi, akumulasi dan investasi terletak sepenuhnya

ditangan si pemilik/penguasa tanah.

Dalam Strategi sosiali, tanah dan sarana produksi lainnya

dikuasai oleh Negara, atau kelompok pekerja. Tenaga kerja

merupakan tenaga yang memperoleh imbalan dari hasil kerjanya.

Yang di putuskan oleh organisasi yang mengatasnamakan sebagai

organisasi para pekerja. Dengan demikian, tanggung jawab atau

pengambilan keputusan atas produksi, akumulasi dan investasi

terletak pada organisasi yang meng atas namakan para pekerja

tersebut (Biasanya Negara).

Dalam Strategi Populis atau Neo-Populis, satuan usaha adalah

merupakan usaha keluarga. Maka daripada itu penguasaaan atas tanah

dan saran produksi lainnya tersebar kepada mayoritas keluarga tani.

Tenaga kerjanya adalah tenaga kerja keluarga jadi, produksi secara

keseluruhan merupakan pekerjaan keluarga tani tersebut. Walau

kadang tanggungjawab atas akumulasi biasanya tetap diatur oleh

negara.

Sebagai sebuah Produk Politik Agraria, UUPA 1960 isinya

menentang strategi kapitalisme, karena kapitalisme melahirkan

kolonialisme, yang menyebakan “penghisapan manusia atas manusia

lainnya”. UUPA 1960 juga bertolak belakang dengan strategi

23

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

sosialisme, yang dianggap menghilangkan hak-hak individual atas

tanah. Politik agrarian yang terkandung dalam UUPA 1960 sebagai

sebuah produk kebijakan politik adalah Populisme, dimana adanya

pengakuan terhadap hak individu atas tanah, tetapi hak tersebut

dating berbarengan dengan adanya unsur fungsi social yang

mengikuti. Melalui prinsip Hak Menguasasi dari Negara, pemerintah

mengatur agar tanah-tanah” dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat” (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945). UUPA 1960

mendasarkan diri pada asumsi manusia yang monodualis, yakni

sebagai individu dan sebagai mahluk social (Soetiknjo, 1987,1990)

120

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

TUGAS DAN SOAL

A. Menonton film MAX HAVELAR dan melakukan diskusi

kemudian riview dan tinjauan kritis. Dari sudut pandang masing-

masing kelompok.

- Notulensi Diskusi

- Minimal 2 Pembicara dari masing-masing kelompok

- Membuka sesi pertanyaan dengan anggota kelompok yang

menjawab berbeda dengan pemberi riview.

- Setiap kelompok berhak mengajukan maksimal 2 pertanyaan kepada

kelompok lainnya.

B. Setiap mahasiswa di wajibkan untuk melakukan riset kecil terkait

permasalahan agraria yang ada di lingkungan terdekatnya, seputaran

rumah maupun asrama atau kost-kost an nya. Melakukan

pengumpulan data sehingga bisa melakukan pemetaan menggunakan

pohon konflik atau metoda yg lainnya. Jika mempunyai kendala harap

di konsultasikan kepada Dosen pengampu. Hasil disusun dengan

format laporan. Sistematika penulisan dan email pengiriman akan di

informasikan kepada ketua kelas.

C. Mahasiswa, melakukan pemetaan permasalahan Agraria sekala kecil

ke beberapa desa di seputaran kampus Universitas Jambi. Melakukan

121

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

analisis, merumuskan pemecahan masalah berdasarkan potensi-

potensi di masing-masing desa.

D. Melakukan kunjungan per kelompok, dan membuat laporan Profiling

terbaru kepada organisasi-organisasi Non-Pemerintah yang bergerak

dibidang advokasi atau pemberdayaan masalah Agraria di Provinsi

Jambi.membuat laporan untuk kemudian dilakukan seminar perkelas

E. Melakukan kinjungan ke lembaga, institusi pemerintah yang memiliki

keterlibatan dalam penyelesaian konflik-konflik agraria yang ada di

Provinsi Jambi.

122

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

DAFTAR PUSTAKA

Ali Achmad Chomzah, (2004). Hukum Agraria Pertanahan Indonesia, Jilid 2, Jakarta. Prestasi Pustaka.

A. M. Djuliati Suroyo, (2000). “Eksploitasi Kolonial Abad XIX :

Kerja Wajib di Karesidenan Kedu” 1800-1890, Yogyakarta : Tarawang Press.

Awang, San Afri. (2006). Sosiologi Pengetahuan Deforestasi:

Konstruksi Sosial dan Perlawanan. Yogyakarta: Debut Press. Breman, Jan. (2014). Keuntungan kolonial dari kerja paksa : Sistem

proangan dari tanam paksa kopi di jawa, 1720 - 1870 /; penerjemah : Jugiarie Soegiarto Jakarta : Pustaka obor Indonesia.

Carey, Peter. (2008). The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and

the end of an old order in Java, 1785-1855. Leiden: KITLV Press

Djojohadikusumo, Sumitro. (1994). Perkembangan Pemikiran

Ekonomi: Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. PT Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta.

Frans Husken, Benjamin White, (1989) "Ekonomi Politik

Pembangunan Pedesaan dan Struktur Agraria di Jawa” dalam Prisma, No.4, 1989

Geertz, Clifford. (1983). Involusi Pertanian: Proses Perubahan

Ekologi di Indonesia terj. S.Supomo. Jakarta: Bhrataka. Hidayat, Herman. (2008). “Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan

Masa Orde Barudan Reformasi”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

123

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

Hobsbawm, Eric. (1983). “Introduction: Inventing Traditions” dalam Hobsbawm, Eric.,The Invention of Tradition,. United Kingdom: Cambridge University Press.

I Made Sandy. (1985). Geografi Regional Indonesia. Jakarta. Puri

Margasari. Kartodirdjo, S. dkk. (1975a). Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Karim, M Rusli. (1983). “Perjalanan Partai Politik di

Indonesia:Sebuah Pasang Surut” Jakarta. Rajawali pers . Kartodirdjo,Sartono & Suryo,Djoko.(1991). “Sejarah Perkebunan di

Indonesia: Kaiian Sosial Ekonomi”.Yogyakarta: Aditya Media.

Lefebvre, Henri. (1991). The Production of Space. Diterjemahkan

oleh Donald Nicholson-Smith. Cambridge: Basil Blackwell, Inc.

Lombard, Denys, (2005), Nusa Jawa, Silang Budaya: Jaringan Asia.

Jilid 2.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Cet. III. 2005 Lyon, Margo L., (2008), Dasar-dasar Konflik di Daerah Pedesaan,

dalam Tjondronegoro, SMP dan Gunawan Wiradi, 2008, Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Mas’oed, M (1989). Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-

1971. Jakarta: LP3S. Ong Hok Ham. (2018). Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priayi dan

Petani di Karesidenan Madiun Abad XIX. Jakarta. KPG Press Rachman, Noer Fauzi. (2017). Land Reform dan Gerakan Agraria

Indonesia. Yogyakarta: InsistPress.

124

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

Rachman, Noer Fauzi. (2015). Panggilan Tanah Air: Tinjauan Kritis

atas Porak Porandanya Indonesia. Yogyakarta: Literasi Press. Rachman, Noer Fauzi. (1999). Petani dan Penguasa: Dinamika

Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: InsistPress Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Pustaka Pelajar.

Ricklefs, M.C. (2016). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press Stroomberg, Dr.J. (2018). Hindia Belanda 1930. Yogyakarta: IRCiSoD [Terjemahan]

Scoot, James C. (1983). Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan

Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3S. Soetiknjo, Imam. (1983) “Politik Agraria Nasional”, Jogjakarta.

Gajahmada University Press. Siahaan, N. H. T. (2007). Hutan, Lingkungan dan Paradigma

Pembangunan. Jakarta: Pancuran Alam. Singgih Praptodiharjo, (1952) Sendi‐Sendi Hukum Tanah di

Indonesia, Jakarta. Yayasan Pembangunan. Soemardjan, Selo. (1962). Social Changes in Yogyakarta.

Ithaca:Cornel University Press Schrieke, B. (1955). Indonesians Sociological Studies. Vol. 2 Part

One. Bandung: W. van Hoeve - The Hague. Tauchid, M. (2009). Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan

dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta: STPN Press. Tauchid, M., (1952), Masalah Agraria. Jakarta, Tjakrawala Press.

125

BUKU AJAR POLITIK AGRARIA

Wiradi, Gunawan. 1996. Jangan Perlakukan Tanah sebagai Komoditi. Jumal "Analisis Sosial". Edisi 3,Juli 1996.

White, Benyamin, (1991), Agroindustri, Industrilisasi Pedesaan dan

Transformasi Pedesaan”, Jurnal Prisma, No.9,1991 Urip Santoso. (2012), Hukum Agraria Kajian Komprehensif.,

Jakarta. Kencana. Internet

https://www.nytimes.com/1999/04/18/magazine/best-story-the-book-that-killed-colonialism.html https://historia.id/kuno/articles/hari-ini-voc-berdiri-DWVe3 diakses 01/12/2019