budaya%20sunda

11
Buddhiracana II/10 107 BUDAYA SUNDA Terkaya, Tertua, dan Kesederhanaan adalah keasliannya Oleh : Nandang Rusnandar Dari Festival Budaya Nusantara kemarin ini, penulis mencoba untuk memaparkan kekayaan yang dimiliki Budaya Sunda, semoga apa yang dipaparkan ini menjadi fenomena bagi penelusuran sejarah. embaca judul di atas, seakan penulis adalah orang yang sangat provinsialistis. Mengapa? Penu-lis adalah orang Sunda, dilahir-kan di tanah Sunda, besar di Sunda, sekolah, makan, minum, bahkan penulis berlatar belakang pendidikan dari Jurusan Sastra Sunda Faklutas Sastra Univer-sitas Padjadjaran Bandung di tanah Sunda. Dasar tulisan yang diajukan berdasarkan re-discovery pe- ninggalan karuhun ‘nenek mo- yang’ yang kini mulai terungkap ke permukaan dan dapat dijadi- kan suatu acuan bahwa karuhun Sunda telah mampu membukti- kan eksistensi kaumnya yang berbudaya tinggi. Apabila dengan arif dan ma- ta hati terbuka mau menerima kebenaran, maka budaya Sunda pernah mencapai puncak per- adaban. Hal itu dapat dibuktikan dengan berbagai khasanah dan nuansa yang diwariskan kepada kita sebagai generasi penerusnya. Generasi kini adalah harapan karuhun yang mampu menerima dan mengamalkan peninggalan- nya. Harapannya adalah bahwa generasi sekarang merupakan generasi yang tidak terkooptasi oleh muatan-muatan yang mem- punyai visi dan misi menyesat- kan pola pikir dan pola tindak sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan sebelumnya. Penulis sangat menyadari akan eksistensi Uga ‘ramalan’, sadar akan per- jalanan sejarah Sunda. Di mana karuhun telah memberi peringa- tan bahwa nanti (baca: sekarang) akan banyak terjadi penyim- pangan-penyimpangan sejarah Sunda (dan juga Nusantara). Uga menyatakan hal itu akan terjadi, tapi tunggu bahwa mereka akan menjadi wadal ku polahna sorangan ‘menjadi tumbal oleh tingkahnya sendiri’ (Uga Sili- wangi). Khasanah budaya Sunda dapat dilihat dari hasil peng- amatan di bawah ini. 1. Kalender Sunda Ensiklopedia Belanda Win- kler Prins mengatakan betapa tingginya peradaban suatu bang- sa dilihat dari kemampuannya membuat kalender. Dikatakan bahwa : “Uraian mengenai ka- lender yang dituangkan adanya sistem penanggalan dalam se- buah masyarakat, menunjukkan M

Upload: abdulholik

Post on 06-Jun-2015

818 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Budaya%20Sunda

Buddhiracana II/10 107

BUDAYA SUNDA Terkaya, Tertua, dan Kesederhanaan adalah keasliannya

Oleh : Nandang Rusnandar

Dari Festival Budaya Nusantara kemarin ini, penulis mencoba untuk

memaparkan kekayaan yang dimiliki Budaya Sunda, semoga apa yang dipaparkan ini menjadi fenomena bagi penelusuran sejarah.

embaca judul di atas, seakan penulis adalah orang yang sangat

provinsialistis. Mengapa? Penu-lis adalah orang Sunda, dilahir-kan di tanah Sunda, besar di Sunda, sekolah, makan, minum, bahkan penulis berlatar belakang pendidikan dari Jurusan Sastra Sunda Faklutas Sastra Univer-sitas Padjadjaran Bandung di tanah Sunda.

Dasar tulisan yang diajukan berdasarkan re-discovery pe-ninggalan karuhun ‘nenek mo-yang’ yang kini mulai terungkap ke permukaan dan dapat dijadi-kan suatu acuan bahwa karuhun Sunda telah mampu membukti-kan eksistensi kaumnya yang berbudaya tinggi.

Apabila dengan arif dan ma-ta hati terbuka mau menerima kebenaran, maka budaya Sunda pernah mencapai puncak per-adaban. Hal itu dapat dibuktikan dengan berbagai khasanah dan nuansa yang diwariskan kepada kita sebagai generasi penerusnya. Generasi kini adalah harapan karuhun yang mampu menerima dan mengamalkan peninggalan-nya. Harapannya adalah bahwa generasi sekarang merupakan

generasi yang tidak terkooptasi oleh muatan-muatan yang mem-punyai visi dan misi menyesat-kan pola pikir dan pola tindak sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan sebelumnya. Penulis sangat menyadari akan eksistensi Uga ‘ramalan’, sadar akan per-jalanan sejarah Sunda. Di mana karuhun telah memberi peringa-tan bahwa nanti (baca: sekarang) akan banyak terjadi penyim-pangan-penyimpangan sejarah Sunda (dan juga Nusantara). Uga menyatakan hal itu akan terjadi, tapi tunggu bahwa mereka akan menjadi wadal ku polahna sorangan ‘menjadi tumbal oleh tingkahnya sendiri’ (Uga Sili-wangi).

Khasanah budaya Sunda dapat dilihat dari hasil peng-amatan di bawah ini. 1. Kalender Sunda

Ensiklopedia Belanda Win-kler Prins mengatakan betapa tingginya peradaban suatu bang-sa dilihat dari kemampuannya membuat kalender. Dikatakan bahwa : “Uraian mengenai ka-lender yang dituangkan adanya sistem penanggalan dalam se-buah masyarakat, menunjukkan

M

Page 2: Budaya%20Sunda

Buddhiracana II/10 108

bukti untuk mengukur derajat peradabannya, sedangkan keteli-tian dalam sistem penanggalan tersebut memperlihatkan ukuran ketinggian daya pikir atau in-telektual suatu masyarakat” Ka-lender Sunda ‘Kalangider’ apa-bila dibandingkan dengan ka-lender lainnya, mempunyai aku-ratisasi hingga 80.000 tahun. Bagaimana perhitungannya? Ne-nek moyang Sunda, telah mem-pergunakan hukum matriks atau dalam bahasa Sundanya disebut Biras. Mereka menghitung de-ngan cara melihat bayangan ‘kalangkang’ dari patok lingga (batu) yang tahan cuaca. Untuk mengamankan lingga itu, maka dikeramatkan dan dipelihara dengan baik.

Untuk lebih jauh mengenal Kalangider perlu diketahui beberapa hal di bawah ini. Pertama mengetahui pengertian poe ‘hari’. Pengertian hari da-lam kala Masehi berbeda dengan pengertian hari dalam kala Sunda. Perbedaannya terletak pada penempatan dan penyebut-an waktu dimulainya hari. Dalam Kala Sunda untuk me-nyebut hari atau poe dimulai pada waktu meletek panon poe ‘munculnya matahari’, yaitu mu-lai pukul 06.00 pagi hari, se-dangkan dalam Kala Masehi, perhitungan hari itu dimulai pada pukul 00.00 tengah malam. Kedua, mengetahui Waka atau Wara. Ada beberapa macam waka atau wara yang berlaku pada Kalangider, yaitu Ekawara, Dwiwara, Triwara, Caturwara, Pancawara, Sadwara, Saptawara. Nama harinya adalah Dite atau

Radite, Soma, Anggara, Buda, Respati atau Wrehaspati, Sukra, dan Tumpek. Namun kini ber-ubah menjadi Ahad, Senin, Selasa dst. Ketiga, mengetahui Pancawuku, yaitu gabungan an-tara pancawara (5 pasaran) de-ngan saptawara (hari dalam satu minggu) jadi Pancawuku terdiri atas 35 hari. Dari gabungan ini maka muncul naptu tahun, naptu bulan, naptu hari, dan naptu pasar yang diperhitungkan da-lam hitungan paririmbon. Keempat, mengetahui Wuku yang berarti minggu atau ming-guan dihitung mulai dari hari minggu wage, semua wuku ber-jumlah 30 minggu. Wuku Sunda yang berlaku selaras dengan data yang ada pada Batu Tulis Jaya-bupati, tahun 952 Caka Sunda. Wuku Sunda dengan Wuku Jawa sangat berbeda, wuku Sunda tepat pada wuku Sinta (wuku pertama ‘Ahad Wage) di Jawa minggu itu sama dengan wuku Maktal (wuku ke-21, Ahad Pahing). Hal itu pun dapat membedakan ‘pasar’ di Sunda dan di Jawa.

Dan apabila kita lihat kete-rangan yang tertulis pada batu Tulis Sri Jayabupati yang berada di Cibadak Sukabumi, tahun 952 Caka (Sunda), sedangkan pada Kala Jawa baru ada pada pada tahun 1558 Caka, jadi berbeda 606 tahun. Dapat disimpulkan bahwa wuku itu ada sebelum Sri Jayabupati. Dalam Batutulis Sri Jayabupati, tertulis :

//0//Swasti cakwarssatita 952 karttikamasa tithi dwadaci cuklapa

Page 3: Budaya%20Sunda

Buddhiracana II/10 109

ksa . ha . ka . ra . wara tambir /...... dst/ Terjemahan : /Selamat/ Dalam tahun Saka 952 bulan kartika tanggal 12 bagian terang hari (ha)riyang - (ka)liwon - (ra)dite Ahad wuku tambir /.... dst/

Selanjutnya, kita lihat apa

yang disebut tahun. Untuk me-lihat ini, karuhun Sunda mene-tapkan perputaran bulan dan matahari. Perputaran itu ada dua macam, yaitu perputaran bulan, 29 hari dan 30 hari dari bulan purnama ke bulan purnama, jadi rata-rata 29,5 hari. Kedua per-putaran matahari atau disebut tepung gelang ‘bertemunya ba-yangan yang ada pada lingga’ lamanya 365 hari, kemudian diberi nama taun, warsa atau warsih. Setelah perhitungan ber-lanjut, maka diketahui pula bah-wa setiap empat tahun sekali tepung gelang itu terjadi selama 366 hari, yang dinamai tahun panjang.

Dalam ukuran hari ada bedanya, 12 bulan itu hanya 354 atau 355 hari, sedangkan dalam satu tahun ada 365 atau 366 hari. Dengan perbedaan itu, maka biras ‘matriks’ menentukan ada dua perhitungan, yaitu per-hitungan berdasarkan matahari dan bulan ‘adanya perhitungan siang dan malam’ yang ke-mudian perhitungan siang di-sebut kala Surya, sedangkan per-hitungan malam disebut kala Candra. Hasilnya sangat berbeda dengan perhitungan kalender yang ada di dunia ini. Kala Surya

perhitungannya setiap 128 tahun harus dikurangi 1 hari, dalam Kala Candra tiap 120 tahun harus dikurangi 1 hari. Aturan tersebut dalam Kala Masehi baru ada pada tahun 1582, bahkan ada aturan baru bahwa setiap 400 tahun harus ditambah satu hari.

Selanjutnya kita lihat apa yang disebut Windu. Dalam menentukan Kala Surya dan Candra terdapat tahun pendek dan panjang. Kala Surya ada 3 kali tahun pendek baru keempat-nya tahun panjang hingga tahun yang ke-128, sebab tahun ke-128 bertepatan dengan tahun ke-empat yang dijadikan tahun pendek. Dengan aturan itu, maka hingga 80.000 tahun tidak ada perubahan. Kala Surya mengenal windu itu 4 tahun, tapi dalam Kala Candra delapan tahun. Perhitungannya adalah 5 tahun pendek X 354 hari ditambah 3 tahun panjang X 355 hari. Jadi dalam satu windu sama dengan 2835 hari, gabungan antara saptawara dan pancawara, terjadi tepung gelang 35 hari mulai Senin Manis hingga Senin Manis lagi. perhitungannya : 35 X 1 + 1 hari 35 X 2 + 1 hari 35 X n + 1 hari (35 X 81) + 1 = 2835 + 1 hari

Karuhun Sunda menetapkan

windu itu berjumlah 8 tahun, perputaran ini berlaku 15 kali, sebab pada putaran yang ke-15 disebut tahun pendek. Biasanya ditutup pada hari Ahad kaliwon, akan tetapi pada tahun pendek ditutup oleh hari Saptu Wage.

Page 4: Budaya%20Sunda

Buddhiracana II/10 110

Pada awal tahun dimulai dengan Ahad Kaliwon selama 15 windu lagi. Hari yang mengawali awal tahun selama 15 windu dinamai Indung Poe. Indung poe yang pertama yaitu Senin manis, berumur 15 windu atau 120 tahun, kemudian indung poe kedua perhitungannya mundur satu hari yaitu Ahad kaliwon, dan seterusnya berlaku 120 ta-hun sekali. Dalam kalangider Sunda Indung poe sekarang ja-tuh pada indung poe ke-17, yaitu hari Saptu kaliwon (sekarang). Perhitungan kalangider Sunda : Aturan 1 : Umur tahun pendek 365 hari Umur tahun panjang 366 hari Aturan 2 : 3 kali tahun pendek, keempatnya tahun panjang hingg tahun 128 Aturan 3 : tahun yang habis dibagi oleh 128 dijadikan tahun pendek Perhitungannya : (3x365) + (1x366) = (4x365) + 1 = 1461 hari (1461 / 4) = 365,25 hari per tahun rat-rata (128 x 365) + (128 x 0,25) - 1 = 46751 hari 46751 / 128 = 365,2421875 hari per tahun rata-rata Astronomi dalam satu tahun = 365,2422 hari per tahunrata-rata.

Ada perbedaan (kurang) = 0,0000125 hari per tahun rata-rata. Perbedaan angka itu apabila dikalikan dengan 80.000, hasil-nya 1 (satu) pas tidak ada ke-lebihan, artinya setelah 80.000 tahun bakal ada perbedaan satu hari, nanti setelah 80.000 tahun

harus ditambah satu hari tanpa ada kelebihan waktu. Kita lihat ketepatan kala Masehi (kala Julian) : Aturan 1 : Umur tahun pendek 365 hari Umur tahun panjang 366 hari Aturan 2 : 3 kali tahun pendek, keempatnya tahun panjang Aturan 3 : (dalam kala Gregorian) Abad yang habis dibagi 400 dijadikan tahun panjang Perhitungan : (365 x 3) + (366 x 1) = 46751 hari per 4 tahun 46751 / 4 = 365,25 hari per tahun rata-rata Astronomi : 365,2422 hari per tahun rata-rata

Ada perbedaan (lebih) 0,0078 hari per tahun rata-rata. Perbedaannya dikalikan 129 tahun akan ada perbedaan 1 hari, dan penanggalan pun harus di-kurangi 1 hari. Akan tetapi pada tahun 1582 tidak pernah di-kurangi. Baru kemudian oleh Gregorius dikurangi, sambil membuat aturan baru, yaitu aturan ke-3 di atas yang mengatakan bahwa abad yang habis dibagi 400 menjadi tahun panjang, sedangkan tahun-tahun lainnya disebut tahun pendek. perhitungannya adalah : 4 x [{100 x 365) = 24] + 1 = 146097 hari per 400 tahun 146097 / 400 = 365, 2425 hari per tahun rata-rata

Astronomi : 365,2422 hari per tahun rata-rata. Perbedaanya (lebih) 0.0003 hari per tahun rata-rata. Angka perbedaan itu apabila dikalikan dengan 3334

Page 5: Budaya%20Sunda

Buddhiracana II/10 111

hasilnya 1,0002. Artinya setelah 3334 tahun akan ada perbedaan lebih satu hari, dan penanggalan pun harus dikurangi satu hari.

Kita lihat kalender istimewa pada tahun 1582 (kala Masehi bulan Oktober 1582) di bawah ini:

Ahad Pahing - 17 24 31 Senin Pon 1 18 25 - Selasa Wage 2 19 26 - Rabu Kaliwon 3 20 27 - Kamis Manis 4 21 28 - Jumat Pahing 15 22 29 - Saptu Pon 16 23 30 - Perhatikan kalender istime-

wa di atas, ketika Kala Masehi diubah dari perhitungan Julian ke Gregorian. Jadi tanggal 4 Oktober 1582 masih berlaku per-hitungan Julian. Sedangkan dari 15 Oktober 1582 berlaku per-hitungan Gregorian. Disebut Ka-lender Istimewa karena mulai tanggal 5 s.d 14 Oktober 1582 tidak ada. Di Rusia Kalender Gregorian ini berlaku mulai pada tahun 1900.

2. Bahasa Sunda

Ada dugaan bahasa Sunda termasuk bahasa tertua, bahasa ini merupakan proto Sundic yang jadi akar bagi bahasa-bahasa yang ada di Nusantara (dari Madagaskar hingga ke-pulauan Amerika bagian Timur). Mengapa hal itu terjadi? Melihat dari beberapa fenomena yang ada dalam bahasa Sunda, sangat menarik untuk dikaji, sehingga kajembaran ‘keluasan’ dan ke-kayaan bahasa Sunda bukan hal yang dapat disepelekan bahkan perlu diperhitungkan. Dalam il-mu geologi ada yang disebut The Sunda Mountain System, yaitu susunan gunung-gunung atau pe-gunungan yang berawal dari Gunung Himalaya hingga pe-

gunungan di Hawaii. Pegunu-ngan ini disebut The Sunda Mountain System. Mengapa di-sebut The Sunda Mountain System? Karena Sunda bukan saja sebuah etnis, melainkan sebuah tatanan yang sangat besar dan sangat kuat. Bukti lain dikatakan bahwa Sunda merupa-kan pusat dunia ‘The lose Continent’ (Benua yang hilang ‘atlantik’ itu adalah berpusat di Jawa Barat. Atau adanya Da-taran Sahul dan Dataran Sunda, sehingga memunculkan kepulau-an Sunda Besar dan Sunda Kecil. Namun istilah tersebut dewasa ini tidak dikenal, nama ini seolah tidak ada dan tidak berarti. Buktinya generasi muda (Sunda) tidak lagi mengetahui ikatan sejarah itu.

Untuk sementara penulis akan memaparkan elemen yang paling dasar dalam sebuah bahasa, yaitu kata dalam bahasa Sunda disebut Kecap. Dalam bahasa Sunda ada yang disebut Kecap-asal dan Asal-kecap. Kecap-asal yaitu kata yang per-tama kali ada, sedangkan asal-kecap merupakan kecap-asal yang sudah diberi imbuhan “Rarangken”. Rarangken terha-dap Kecap-asal tidak sama

Page 6: Budaya%20Sunda

Buddhiracana II/10 112

dengan rarangken terhadap Asal-kecap. Rarangken hareup ‘awalan’ dalam Kecap-asal dise-but Kantil sedangkan untuk Asal-kecap adalah awalan. Ra-rangken tukang ‘akhiran’ untuk Kecap-asal disebut Kintil. Sedangkan untuk Asal-kecap disebut ahiran.

Rarangken Hareup dalam bahasa Sunda mempunyai 25 buah, Rarangkentengah atau disebut selapan ‘sisipan’ ada 4 buah, dan rarangken tukang ada

6 buah sedangkan Rajekan ‘kata ulang’ mempunyai tiga jenis.

Rarangken dalam bahasa Sunda selengkapnya apabila kita biras ‘matriks’-kan akan men-jadi : 12 biras, yang akan mem-bentuk 75 gabungan. Gabungan itu akan menghasilkan kata menjadi 505.975.326 ‘lima ratus lima juta sembilan ratus tujuh puluh lima ribu tiga ratus dua puluh enam kata’. Di bawah ini biras mengenai gabungan kata. Kata-kata hasil biras itu hanya sebagian yang dipergunakan.

No. Awal Selap Rajék Ahir Jumlah Kecap = 505975326 1 1x 1x 1x 1x 3567 2 1x 1x 1x 2x 18288 3 2x 1x 1x 1x 80000 4 2x 1x 1x 2x 454375 5 1x 1x 1x 3x 109728 6 2x 1x 1x 3x 2700000 7 3x 1x 1x 1x 2000000 8 3x 1x 1x 2x 11251000 9 3x 1x 1x 3x 67500000

10 1x 1x 1x 4x 658368 11 2x 1x 1x 4x 16200000 12 3x 1x 1x 4x 405000000

Apabila yang dipergunakan : 1 / 1000 x 505975326 = 505975 kata 1 / 1000000 x 505975326 = 505 kata

Artinya bahwa dengan ada-

nya rarangkén terhadap kata, bisa membentuk berbagai macam kata yang sangat banyak. Apa-lagi bila dilihat dari segi arti kata yang tidak sama, sebab masing-masing

kata mengandung arti yang mandiri.

Dalam linguistik ada istilah-nya pasangan minimal untuk mengetahui perbedaan arti kata apabila sebuah kata dicoba untuk dipasangkan dengan kata lain. Begitu pula dalam bahasa Sunda yang memiliki vokal tujuh buah ‘a, i, u, é, o, eu, dan e (pepet).

Ketujuh vokal ini dipasang-kan secara pasangan minimal

Page 7: Budaya%20Sunda

Buddhiracana II/10 113

menjadi 49 kata, Contoh :

Vokal

A I u é o eu e (pepet)

a Lawang Lawing Lawung Lawéng lawong laweung Laweng i Liwang Liwing liwung Liwéng liwong liweung Liweng u luwang Luwing luwung Luwéng luwong luweung luweng é léwang Léwing léwung Léwéng léwong léweung léweng o lowang Lowing lowung Lowéng lowong loweung loweng eu leuwang Leuwing leuwung Leuwén

g leuwong leuweung leuweng

e lewang Lewing lewung Lewéng lewong leweung leweng

Dari keempat puluh

sembilan kata di atas, berapa kata yang dapat dimengerti, dan ada di pasaran? Apakah kata-kata tidak dimengerti itu bukan kata-kata dalam bahasa Sunda? Masa karuhun menciptakan suatu ba-hasa (kata) yang tidak dimengerti oleh mereka sendiri? Saya pikir, ada kaitannya dengan penge-tahuan manusia yang terbatas, keterbatasan pikiran manusia ditandai dengan tak terhingga ≅. Apabila ≅ + 1 atau dikuadratkan bagaimana hasilnya ? 3. Aksaranya ?

Aksara Sunda dengan 33 jenisnya dapatkah itu dikatakan sebuah fenomena yang menun-jukkan bahwa Aksara Sunda adalah aksara Asli pribumi? Bahkan dengan kesederhaannya sekaligus? Bandingkan dengan aksara-aksara daerah lainnya yang ada di Nusantara?

Ironis sekali, pernyataan seorang yang dianggap pakar dalam Kasundaan yang menya-takan bahwa aksara Sunda itu adalah Ka ga nga.... dst dan secara ‘ilmiah’ mencoba untuk fill in dengan falsafah yang berdasarkan falsafah yang bukan falsafah Sunda ?

Dr. Uli Kozok (ahli pernas- kahan dari Universitas Auckland ‘Selandia Baru’ (Dalam Kompas, 14 Oktober 1999)) menyatakan bahwa Cakupan wilayah yang sangat luas temuannya dengan pola aksara yang dapat di-golongkan dalam enam kelom-pok, yaitu (1) Hanacaraka (Jawa, Sunda,

Bali); (2) Ka-Ga-Nga (Kerinci, Re-

jang, Lampung, Lembak, Pasemah, dan Serawai);

(3) Batak (Angkolo-Mandailing -Toba-Simalungun-Pakpak-Dairi, Karo)

(4) Makasar Kuno (sampai abad ke-19);

(5) Bugis dan (6) Filipina (Bisaya, Tagalog,

Tagbanuwa, Mangyan). Dengan kenyataan ini, maka

aksara Sunda tidak lagi memiliki karakter khusus.

Kozok menyatakan bahwa keenam tulisan di atas bisa dibagi lagi dalam dua kelompok utama, yakni aksara Hanacaraka yang secara struktural lebih dekat ke aksara India dan kelompok aksara Nusantara di luar Jawa dan Bali. Aksara-aksara Nusantara ini jauh lebih sederhana. kalau Tulisan India

Page 8: Budaya%20Sunda

Buddhiracana II/10 114

terdapat 40 aksara beserta di-akritiknya, tulisan Jawa dan Bali 20 aksara dan 10 diakritik-nya. Begitupun tulisan Lampung 20 aksara 12 diakritik, Makasar 19 aksara lima diakritik atau Ta-galog 15 aksara dan dua di-akritik.

Aksara Sunda memiliki jumlah aksara sebanyak 22 lam-bang konsonan ‘aksara nga-lagena’ 7 lambang vokal, dan 20 lambang diakritik. Kenyataan itu membuktikan bahwa budaya tulis menulis orang Sunda telah dibuktikan dari dahulu. Pembuk-tiannya adalah ketika Karuhun menciptakan Kalangider yang terus berlangsung dari tahun ke tahun yang tidak mungkin mengandalkan daya ingat. Pasti mereka memerlukan catatan. Di sini sudah jelas mempergunakan aksaranya. Mana buktinya sehu-bungan dengan hanacaraka ada-lah sudah dipergunakan sejak jaman dahulu? Penulis masih ingat ketika mengadakan penelitian ke pelosok Jawa Barat beberapa tahun yang lalu (1993), hampir seluruh masyarakat desa yang memiliki naskah kuno meng-hancurkannya dengan cara mem-bakar, mengubur, dan mem- buangnya. Hal itu terjadi karena adanya agitasi dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Mereka yang memiliki naskah kuno akan dipetruskan. Ditam-bah lagi dengan rasa kecewa oleh para ‘ahli’ dari Bandung yang meminjam tidak dikembalikan. 4.Keseniannya.

Ingat dengan perkataan guru saya, Kang Enoch Atmadibrata, yang telah menyaksikan secara langsung bagaimana kesenian Sunda dapat diabenkan di man-canegara. Kesenian Sunda sa-ngat mengagumkan, banyak ahli seni dari mancanegara yang terkagum-kagum akan kesenian Sunda, misalnya kacapi, ada bermacam cara untuk memetiknya, ada yang di rawu, dipetik, diranggeuy, dikobet, dan lain sebaginya.

Jenis kesenian yang tersebar di Jawa Barat sebanyak kurang lebih 300 jenis. Kesenian-kese-nian dapat digolongkan ke dalam beberapa rumpun, yaitu: Ang-klung (30 jenis), Beladiri (10 jenis), Celempungan (6 jenis), Debus (15 jenis), gamelan (16 jenis), Helaran (24 jenis), Ibing (17 jenis), Kacapian (20 jenis) Macakal (18 jenis), Mawalan (7 jenis), Ngotrek (10 jenis), pantun (6 jenis) Sandiwara (27 jenis), Terbangan (18 jenis), Topeng (8 jenis), Sekar (15 jenis), Wayang Orang (5 jenis), Wayang Golek (9 jenis), Wayang Kulit (7 jenis).

Dari sekian banyak jenis kesenian itu, hanya beberapa jenis saja yang diketahui oleh masya-rakat. Dan sayangnya pemerintah kurang perhatian dalam pembina-an dan pengembangannya, sehing-ga hanya beberapa jenis kesenian saja yang dapat pentas di arena nasional dan internasional. 5. Arsitekturnya

Memang diakui bahwa ben-tuk secara spesifik arsitektur di Jawa Barat sangat beragam.

Page 9: Budaya%20Sunda

Buddhiracana II/10 115

Berbeda sekali dengan daerah-daerah lainnya di luar Jawa Barat. Mereka hanya memiliki bentuk bangunan yang telah permanen, yaitu di Jawa tengah dan Jawa Timur (Joglo), di daerah Padang (Rumah Gadang). Lain halnya Jawa Barat, apabila kita melihat bentuk rumah di Kampung Adat di Jawa Barat (± 13 kampung adat), walaupun secara selintas bentuk-nya sama dengan rumah-rumah lain di luar kampung mereka. Bentuk rumah Baduy di Cibeo, Cikertawana, dan di Cikeusik memiliki ciri mandiri yang dapat dijadikan acuan bentuk rumah tradisional di Jawa Barat. Rumah-rumah mereka adalah prototipe dari rumah di Jawa Barat. Rumah yang seder-hana, namun apabila dilihat dari disiplin arsitektur, telah mengem-bangkan bentuk arsitektur yang sangat modern dibandingkan dengan arsitektur ‘modern’ yang datangnya dari negara barat. Sistem knock down yang dikem-bangkan oleh negara barat akhir-akhir ini, ternyata Baduy telah lebih dahulu membuktikannya. Pintu dengan sistem sleeding door (pintu geser) dan pintu jungkit, telah mereka gunakan dengan baik. Walau hanya de-ngan bahan sederhana sekalipun. Sistem knock down adalah sistem dimana pembuatan dan pendirian rumah cukup dengan tiga jam selesai adalah sistem yang mereka punyai. Bahkan dengan konsep back to nature adalah konsep keseharian mereka, dimana kon-sep hidup mereka adalah hidup bersama alam

bukan hidup di alam. Alam merupakan bagian dari kehidupannya dan hidupnya selalu berada di tengah-tengah alam sekitarnya sehingga terjadi metamorfosis di antara keduanya.

Sistem knock down ini ber-kembang mulai dari Jawa Barat ke daerah lainnya. Hal itu ter-bukti dengan beberapa peneli-tian, Di antaranya ada beberapa kejadian yang disaksikan lang-sung oleh para arsitek, yaitu Lodewycksz (1598), menyaksi-kan keseluruhan daerah Banten yang terbakar dibangun kembali dalam waktu tiga atau empat jam. Penyebaran sistem knock down ini pun tidak berhenti di sini, karena atrsitek lain me-nyaksikan tiga rumah orang Siam yang dipindahkan ‘kurang dari satu jam’ guna melapangkan pan-dangan dari istana raja, sedang-kan dua puluh rumah dipindahkan oleh penghuninya ketika suatu tempat di Makasar diperlukan untuk membangun pabrik Inggris di tahun 1613 (Jourdain 1617). Membangun kembali sebuah rumah sederhana tidaklah jauh lebih berat daripada memindah-kannya. Crawfurd (1820. I), menaksir bahwa sebuah rumah biasa tidak memerlukan lebih dari enam puluh hari kerja pria; lima puluh buruh Birma membangun rumah berkamar empat yang nyaman untuk Symes (1827) dalam waktu empat jam. Orang Eropa tercengang karena cepat-nya kota-kota besar dibangun kembali setelah hancur di Ayutthaya yang dibangun

Page 10: Budaya%20Sunda

Buddhiracana II/10 116

kembali dalam dua hari. Kecepatan membangun rumah-rumah yang ada itu dikarenakan bahwa hampir seluruh rakyat adalah ahli membangun rumah, ‘hampir tiap orang adalah tukang kayu’ (Dampier, 1697).

Elemen lain yang tak kalah penting adalah tata hukum yang mengatur manusia untuk ber-sosialisasi, telah diatur dalam beberapa konsep. Tatanan sosia-lisasi bagi masyarakat Sunda

disebut Kasiliwangian (Tri Silas --silih asah, asih, dan asuh-- ‘tatanan ideologi’, Tri Tangtu di Buwana ‘tatanan kenegaraan’, Tri Tangtu di salira ‘tatanan eti-ka moral’, Tri Tangtu di Balarea ‘tatanan kemasyarakatan’--) se-hingga dapat memberikan kon-tribusi bagi kehidupan manusia di Indonesia secara keseluruhan dan khususnya bagi masyarakat Jawa Barat itu sendiri.

Page 11: Budaya%20Sunda

Buddhiracana II/10 117

Landung kandungan laer aisan (Bijaksana dalam memutuskan suatu perkara)