budaya politik di indonesia - id.diversity.id · budaya politik masih mencari bentuk pengantar...
TRANSCRIPT
INDONESIANA - Vol 5/2019 i
BUDAYA POLITIK DI INDONESIA
MUSYAWARAH SEBAGAI AKAR DEMOKRASI
TUJUH RESOLUSI KEBUDAYAAN
Sumber: Tempo
INDONESIANA - Vol 5/2019ii
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
Sumber: Arsip Kemendikbud
INDONESIANA - Vol 5/2019 1
Budaya politik di Indonesia
memasuki babak baru.
Pada April 2019, di negeri
ini berlangsung pemilihan umum
kolosal yang diikuti 193 juta pemilih.
Mereka datang ke 805 ribu tempat
pemungutan suara untuk menentukan
presiden dan wakil presiden, 575
anggota DPR, 136 anggota DPD, 2.207
anggota DPRD provinsi, dan 17.610
anggota DPRD kabupaten/kota.
Terbit bertepatan dengan pesta
politik tersebut, majalah Indonesiana
yang berada di tangan pembaca ini
berusaha memotret budaya politik
yang telah mendarah-daging dalam
diri bangsa Indonesia. Budaya itu
terlembagakan dalam berbagai bentuk
yang unik di daerah, misalnya pemilihan
lurah, kerapatan nagari, tradisi pepe,
dan banyak lainnya.
Diyakini, budaya politik yang dimiliki
bangsa Indonesia telah menjadi modal
utama bagi mereka untuk menentukan
pemimpin dan para wakil mereka
secara tertib dan damai. Meskipun
dalam ribuan kegiatan kampanye
pemilu melahirkan sejumlah konflik,
pesta demokrasi berhasil menentukan
pilihan politik dengan lancar.
Selain itu, Indonesiana edisi ini juga
membedah Tujuh Resolusi Kebudayaan
yang merupakan kesepakatan peserta
Kongres Kebudayaan Indonesia
(KKI) akhir tahun lalu. Berbeda dari
dokumen Strategi Kebudayaan yang
juga dihasilkan KKI, ketujuh Resolusi
Kebudayaan memuat sejumlah program
yang praktis dapat dilaksanakan dalam
upaya memajukan kebudayaan.
Selamat membaca
Pemimpin Redaksi
Salam Redaksi
KEMENTERIAN PENDIDIKAN
DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA
Jl. Jenderal Sudirman Kav. 4-5
Senayan, Jakarta
DEWAN REDAKSI
Pengarah
HILMAR FARID
Direktur Jenderal Kebudayaan
Penanggung Jawab
NADJAMUDDIN RAMLY
Direktur Warisan dan Diplomasi
Budaya
Koordinator Umum
NUJUL KRISTANTO
Kasubdit Program, Evaluasi, dan
Dokumentasi
Pemimpin Redaksi
AHMADIE THAHA
Redaktur Pelaksana
AGUNG Y. ACHMAD
Redaktur
AGAM RADJAWALI
AHMAD GABRIEL
ANOM ASTIKA
LAMBERTUS BERTO TUKAN
NORA EKAWANI
Editor
MARTIN SURYAJAYA
Foto
FAIZ SUKMA NUGRAHA
Tim Teknis
Koordinator
PANDU PRADANA
Anggota
FEBBIE ARDILLA
ABDULLAH AHMAD
Tim Administrasi
Koordinator
ANGGORO CAHYADI
Anggota
AMBAR KUSUMAWATI
AMIR HAMUDIN
Sirkulasi
FEBRY YANTI
ISNAENI RACHMAWATI
(021) 5725047, (021) 5725035
(021) 5725564, (021) 5725578
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id
http://diversity.id
INDONESIANA - Vol 5/20192
Kita sekarang berhadapan dengan
ancaman intoleransi antarkelompok
budaya. Terkikisnya keragaman
budaya tradisi dan belum kuatnya nilai-
nilai modern yang positif seperti kesetaraan
antarwarga, membuat masyarakat kita hidup
di zaman transisi yang rentan terserang krisis
jatidiri budaya. Dalam situasi krisis seperti
itu, ada risiko penguatan identitas primordial
(fanatisme dan prasangka berbasis SARA) yang
mengarah pada intoleransi antar kelompok
budaya. Ancaman ini hanya bisa dijawab dengan
menempatkan keanekaragaman budaya sebagai
hulunya pembangunan nasional. Untuk itu, kita
tak semestinya bersikap chauvinistik terhadap
budaya sendiri karena budaya sendiri adalah juga
hasil interaksi dengan budaya lain yang mulanya
asing bagi kita.
Kebudayaan nasional Indonesia diperkaya
oleh interaksi antarbudaya, termasuk interaksi
dengan budaya yang datang dari luar kawasan
Indonesia. Dalam konteks budaya, interaksi dan
saling meminjam serta mengadopsi budaya
lain itu biasa terjadi. Semua ini memperkaya
kepribadian bangsa kita. Inilah yang dimaksud
HILMAR FARID
Direktur Jenderal KebudayaanKementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI
MEMAJUKAN KEBUDAYAAN, MERAWAT KEBERAGAMAN
Pesan
Sumber: Arsip Kemendikbud
INDONESIANA - Vol 5/2019 3
Bung Karno dalam pidatonya di
hadapan sidang BPUPKI ketika
mencetuskan Pancasila untuk
kali pertama: “Internasionalisme
tidak dapat hidup subur, kalau
tidak berakar di dalam buminya
nasionalisme. Nasionalisme
tidak dapat hidup subur, kalau
tidak hidup dalam taman sarinya
internasionalisme.” Artinya, budaya
nasional kita justru akan diperkaya
oleh hubungan saling-pengaruh
yang sehat antara kebudayaan
sendiri dan kebudayaan asing.
Tantangan kita adalah
bagaimana memanfaatkan
kebudayaan sebagai modal untuk
melesatkan pembangunan nasional.
Budaya adalah DNA bangsa
Indonesia. Kongres Kebudayaan
Indonesia yang diselenggarakan
pada 5-9 Desember 2018 lalu
telah berhasil menelurkan Strategi
Kebudayaan dan Rencana Aksi
Pemajuan Kebudayaan. Hasil-hasil
inilah yang akan menjadi pedoman
kita untuk mengejawantahkan
kesadaran budaya sebagai DNA
bangsa Indonesia.
Semoga dengan membaca
majalah Indonesiana ini, kita
semua dapat semakin teguh dalam
memilih jalan pemajuan kebudayaan
yang akan mengantarkan
Indonesia ke visi pemajuan
kebudayaan 20 tahun ke depan:
“Indonesia bahagia berlandaskan
keanekaragaman budaya yang
mencerdaskan, mendamaikan dan
menyejahterakan.”
”Bung Karno dalam
pidatonya di hadapan
sidang BPUPKI ketika
mencetuskan Pancasila
untuk kali pertama:
“Internasionalisme tidak
dapat hidup subur, kalau
tidak berakar di dalam
buminya nasionalisme.
Nasionalisme tidak
dapat hidup subur,
kalau tidak hidup
dalam taman sarinya
internasionalisme.”
Pawai Budaya pada KongresKebudayaan Indonesia 2018: merawat keragaman
Sumber: Arsip Kemendikbud
INDONESIANA - Vol 5/20194
NADJAMUDDIN RAMLY
Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud RI
Pemilihan umum yang
berlangsung di Indonesia
pada 17 April 2019 boleh jadi
merupakan pesta politik terbesar
sepanjang abad. Pada Rabu itu,
sebanyak 193 juta pemilih menuju
tempat-tempat pemungutan suara
yang jumlahnya mencapai 805 ribu
buah. Untuk pertama kalinya dalam
sejarah, mereka memilih presiden
dan wakilnya, serta memilih anggota
legislatif lokal dan nasional serta
anggota senator secara serentak di
hari yang sama.
Dua puluh tahun lalu
sebelumnya, pada 7 Juni 1999,
pemilu pertama anggota legislatif
juga telah berlangsung sukses diikuti
48 partai politik. Lebih 105 juta
pemilih menuju tempat pemungutan
masyarakat Indonesia, khususnya
dalam budaya musyawarah mufakat.
Praktik politik berdasarkan budaya
ini telah berlangsung selama
berabad-abad, sejak masyarakat
hidup dalam pola perkauman
di zaman kerajaan dan terus
dipertahankan hingga kini di dalam
kehidupan masyarakat Indonesia.
Tradisi yang hidup dalam
masyarakat pertanian tradisional
Indonesia, seperti rembuk, bahkan
sudah menjadi praktik yang
terlembagakan dalam bentuk yang
unik di berbagai pemerintahan
dan lembaga-lembaga politik di
daerah. Misalnya, kerapatan Nagari,
Rembuk Desa, Musyawarah Subak,
dan forum-forum musyawarah
masyarakat desa lainnya. Praktik
BUDAYA POLITIKMASIH MENCARI BENTUK
Pengantar
suara. Padahal, di masa Orde
Baru, selalu dikatakan rakyat tak
punya budaya politik sehingga tak
siap melakukan pemilihan secara
langsung.
Keberhasilan pelaksanaan pemilu
langsung dua dekade terakhir
ini, dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, membantah dengan
sendirinya pendapat ekstrem yang
menyatakan bahwa warga negeri ini
tak punya budaya politik. Nyatanya,
pemilu terbesar 2019, yang diawali
hingar-bingar kampanye selama
enam bulan, menunjukkan bangsa
kita memiliki budaya politik yang
santun dan dinamis.
Demokrasi jelas bukan barang
baru bagi masyarakat Indonesia. Ini
sudah terpatri dalam budaya asli
Sumber: Arsip Kemendikbud
INDONESIANA - Vol 5/2019 5
politik demokratis lainnya tampil
dalam tradisi pepe. Penyampaian
protes secara damai ini dilakukan
rakyat terhadap penguasa melalui
aksi diam yang performatif. Tradisi
politik kerakyatan semacam pepe
juga telah melembaga dalam
kehidupan masyarakat Jawa
tradisional, dan masih dipraktikkan
sampai sekarang.
Namun, di sisi lain, tak dapat
dipungkiri kenyataan adanya budaya
negatif yang menghambat, bahkan
menentang prinsip demokrasi yang
merupakan satu sistem politik
pilihan kita. Budaya negatif ini,
antara lain feodalisme, nepotisme,
patron klien, dan primodalisme, yang
juga mengakar sejak dulu dan masih
bertahan hingga kini di tengah
masyarakat.
Di awal kemerdekaan, dalam
proses perdebatan konsep dasar
dalam rangka menata sistem politik
Indonesia pasca-kolonial, timbul
perbedaan pandangan di kalangan
elite politik mengenai sistem politik
yang dianggap sesuai dengan
budaya Indonesia. Dua pemimpin
bangsa, Soekarno dan Mohammad
Hatta, memiliki persepsi berbeda
mengenai pilihan sistem demokrasi
karena perbedaan sikap terhadap
budaya politik yang ada.
Dalam konteks kelembagaan,
corak sistem demokrasi parlementer
seperti yang tampak pada tahun
1949 hingga 1950-an merupakan
reprentasi cita-cita Bung Hatta.
Sementara itu, Demokrasi Terpimpin
seperti dipraktikkan pada tahun
1959 hingga pertengahan 1960-
an merupakan cerminan cita-cita
penggagasnya, Soekarno.
Dalam konteks budaya politik,
periode demokrasi parlementer yang
disokong Bung Hatta dipandang
Soekarno sebagai cerminan praktik
demokrasi berdasarkan budaya
Barat. Di sisi lain, praktik Demokrasi
Terpimpin yang oleh Seokarno
diklaim sesuai dengan budaya asli
Indonesia dikritik tajam oleh Bung
Hatta sebagai cerminan budaya
feodal, otoriter, dan antidemokrasi.
Pencarian budaya politik yang
tepat untuk masyarakat Indonesia
tak juga tuntas setelah kekuasaan
berpindah dari rezim Orde Lama
(era Demokrasi Terpimpin) ke Orde
Baru. Era ini hanya kelanjutan dan
penyempurnaan dari model sistem
politik Orde Lama. Budaya politik
yang dikembangkan pun tidak jauh
berbeda. Ciri otoritarian dan represif
malahan kian menonjol.
Di bawah kepemimpinan
Presiden Soeharto, rezim
melembagakan banyak warisan
budaya feodal Jawa, bahkan warisan
budaya kolonial Belanda, dalam
hubungan antara rakyat dengan
penguasa. Soeharto mengklaim
sistem politik yang disebutnya
Sistem Demokrasi Pancasila ini
paling sesuai dengan budaya asli
Indonesia.
Pada 1998 rezim Soeharto
tumbang melalui serangkaian aksi
demo mahasiswa yang didukung
para elite dan massa rakyat.
Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ
Habibie) sebagai penggantinya
mulai melembagakan budaya politik
musyawarah mufakat dalam format
demokratisasi di segala bidang.
Pemilihan umum perwakilan rakyat
dilakukan sangat terbuka, dengan
diikuti langsung oleh seluruh warga.
Namun, bentuk demokrasi yang
dijalankan di Indonesia kini banyak
digugat terlalu liberal. Praktek
politik yang diterapkannya dinilai
tak sesuai dengan budaya bangsa
yang menunjung tinggi etika dan
agama. Pasalnya, model demokrasi
yang begitu liberal tak mampu
melahirkan produk politik yang
dapat mengatasi penyakit kronis
seperti korupsi serta nepotistme dan
bahkan menyediakan lahan subur
bagi praktek oligopoli.
Semua ini menunjukkan bahwa
pencarian budaya politik yang pas
belum selesai, dan kita masih harus
mencari bentuk ideal yang mesti
terus-menerus diupayakan secara
bersama.
”Dalam konteks
kelembagaan, corak
sistem demokrasi
parlementer seperti
yang tampak pada
tahun 1949 hingga
1950-an merupakan
reprentasi cita-cita
Bung Hatta. Sementara
itu, Demokrasi
Terpimpin seperti
dipraktikkan pada
tahun 1959 hingga
pertengahan 1960-an
merupakan cerminan
cita-cita penggagasnya,
Soekarno.
INDONESIANA - Vol 5/20196
Pesan
Tujuh Resolusi KKI
Peristiwa
Pengantar
Topik Utama
2
32
34
36
38
40
42
44
46
50
52
56
58
60
63
4
8
13
17
20
24
28
MEMAJUKAN KEBUDAYAAN, MERAWAT KEBERAGAMAN
BUDAYA POLITIK MASIH MENCARI BENTUK
KETIKA PESTA DEMOKRASI MENJADI KENDURI KEBUDAYAAN
TRADISI MUSYAWARAH MUFAKAT AKAR DEMOKRASI KITA
SENI PEMIMPIN MENEMUKAN JALAN TENGAH
LEMBAGA PEMERINTAHAN TRADISIONAL
PEMIMPIN, SUKSESI DAN PARTISIPASI RAKYAT
PEMILU INDONESIADARI WAKTU KE WAKTU
PEKAN KEBUDAYAAN NASIONAL
REGENERASI DAN ALIH PENGETAHUAN
RUMAH BUDAYA INDONESIA, RESIDENSI DAN DIASPORA
EKONOMI KREATIF BERBASIS BUDAYA UNTUK SEMUA
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN BERBASIS BUDAYA
DANA ABADI UNTUK INISIATIF SENI DAN BUDAYA
EMPAT PRIORITAS PROGRAM PEMAJUAN KEBUDAYAAN
ALIH-FUNGSI ASET PUBLIK TERBENGKALAI MENJADIRUANG BUDAYA
GAMELANLaras Slendro dan Pelog dalam Harmoni Musik Nusantara
MEMAJUKAN KEBUDAYAAN MELALUI DIPLOMASI BUDAYA
BUDAYA POLITIK DI INDONESIA
BUKAN SEKADAR APRESIASI TERHADAP PELAKU BUDAYA
PERINGATANHARI WARISAN DUNIAWorld Heritage Day
PERAHU PINISIDalam Tradisi Lisan
GEDUNG DPR/MPRSaksi Bisu Politik Luar Negeri Indonesia
Sumber: banyumas.kpu.go.id
INDONESIANA - Vol 5/2019 7
Olahraga Tradisional
Teknologi Tradisional
Tradisi Lisan
Bahasa
MozaikManuskrip
Permainan Tradisional
72
74
76
78
84
85
86
87
88
89
70
66
68
PACU JALURAdu Kecepatan di Atas Sungai
SASI MALUKU
KERAWANG GAYO
JEJAK BAHASA MELAYU HINGGA MENJADI BAHASA IBU
Bahasa
78JEJAK BAHASA MELAYU HINGGA MENJADI BAHASA IBU
Ritus
82ROKATYang Sakral dan Menghibur
DEMOKRASI YANG MENGGEMBIRAKAN
Indonesia
90INDONESIA RAYA TIGA STANZAKisah dan Filosofinya
Maestro
94MENJAGA LINGKUNGAN DENGAN ADATEliza Marthen Kissya
MUSEUM MARITIM INDONESIA
JAMASAN TOSAN AJI
PERANG KETUPAT
CONGKLAKPermainan yang Mengasah Otak Kiri Anak
PATHOLGulat Tradisional Asli Indonesia
GOBAK SODORPermainan yang Mampu Bertahan di Zaman Milenial
HUKUM LAUT DI KERAJAAN BALI KUNO
DENGAN PELA SEMUA BERSAUDARA
Sumber: kemendibud.go.id
INDONESIANA - Vol 5/20198
KETIKA PESTA DEMOKRASI MENJADI KENDURI KEBUDAYAAN
Topik Utama
Sumber: Shutterstock
INDONESIANA - Vol 5/2019 9
Bangsa Indonesia akan
menggelar hajatan
akbar berupa pemilihan
langsung presiden (Pilpres) dan
pemilihan legislatif (Pileg) pada 17
April 2019. Dalam pesta demokrasi
ini, rakyat akan memilih Presiden
dan Wakil Presiden, anggota Dewan
Perwakilan Rayat (DPR), anggota
Dewan Perwalikan Daerah (DPD)
serta anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) provinsi
dan kabupaten/kota untuk masa
pengabdian lima tahun ke depan
secara serempak.
Menghadapi momentum lima
tahunan ini, seperti pada gawe
nasional serupa sejak pemilu 1999,
yang dianggap sebagai momentum
kebangkitan demokrasi itu,
masyarakat kita kembali bergeliat
dan mengalami eforia. Kesadaran
politiknya tiba-tiba membuncah.
Sejauh eforia politik disalurkan
melalui cara-cara yang adil, tidak
mufakat, lembaga pemerintahan
tradisional serta akar-akar budaya
pada masyarakat kita sejak berabad-
abad lampau. Maka, agar tidak
tercerabut dari akar budaya sendiri
dalam memahami demokrasi, kita
perlu meluangkan waktu sejenak
untuk menengok khazanah tradisi
'demokrasi' bangsa ini.
Demokrasi: Dialektika antara
Tradisi Asli dan Ide dari Luar
Semua mafhum, kita sebagai
bangsa pada hari ini telah
menerima serta menjalankan
demokrasi sebagai sistem politik
kekuasaan. Ini bukan realitas
yang dihasilkan dari proses yang
berlangsung semalam. Ia merupakan
serangkaian pergulatan akal budi
semua komponen bangsa yang
berlangsung dalam rentang waktu
panjang, hal yang secara esensial
dapat kita sebut sebagai poses
kebudayaan.
Mengingat kebudayaan selalu
dinamis, maka sebuah narasi besar
di suatu bangsa dapat saja lahir
sebagai akibat dari akulturasi,
asimilasi atau dialektika antara
budaya lokal dan asing. Karena
itu, bisa jadi benar pandangan
saling meniadakan dan menghakimi
satu sama lain, dan terutama tidak
menyalahi aturan main, maka hal itu
sah-sah saja, bahkan positif.
Salah satu gejala positif yang
menarik adalah bangkitnya imajinasi
masyarakat tentang apa dan siapa
itu pemimpin, tentang partisipasi
dan preferensi politik rasional, dan
seterusnya. Ini masuk akal karena
orang-orang yang dipilih dalam
pemilu itu kelak akan membawa
pengaruh terhadap warna dan arah
tata kehidupan bermasyarakat
dan bernegara dalam lima tahun
mendatang. Kesadaran masyarakat
dalam berdemokrasi meningkat dari
waktu ke waktu.
Namun, di balik itu, terdapat
juga gejala negatif, yakni gejala
kebangkitan kembali politik
identitas. Bagi sementara kalangan,
fenomena tersebut merupakan hal
lumrah belaka menjelang kontestasi
politik. Sementara sebagian
kalangan lainnya menyebut gejala
tersebut berpotensi menjadi
ancaman bagi demokrasi di negara
yang berjuluk bhinneka tunggal ika
ini.
Mencoba melampaui anggapan-
anggapan di atas, Indonesiana kali
ini ingin membaca pemilu dalam
kaca mata kebudayaan. Anggapan
ini tidak berlebihan mengingat
sistem demokrasi (berasal dari
bahasa Yunani: demos dan cratos,
artinya kekuasaan rakyat) adalah
sebuah narasi besar yang akan
membawa banyak pengaruh
terhadap pencapaian-pencapaian
kebudayaan kita pada akhirnya.
Di sisi lain, demokrasi modern itu
sendiri memiliki sejumlah kesesuaian
dengan tradisi politik, tradisi
kepemimpinan, tradisi musyawarah
”Untuk sementara,
dalam kasus Indonesia,
saya belum melihat
sumber budaya lain
di luar Islam yang
mewadahi secara ramah
pandangan demokrasi.
(Fachry Ali)
Pangulu berasal dari kata Pangka dan Hulu
(pangkal dan hulu)
INDONESIANA - Vol 5/201910
sementara kalangan yang menyebut
bahwa demokrasi bukanlah tradisi
asli bangsa ini alias ide yang dibawa
dari luar. Untuk sementara dapat
dikatakan bahwa demokrasi masuk
ke Indonesia melalui pemerintah
kolonial Belanda, selain dikenalkan
oleh para tokoh pergerakan nasional
yang berlatar belakang pendidikan
Barat.
Walaupun demikian, banyak
pula pihak yang meyakini demokrasi
adalah tradisi asli masyarakat kita
tempo dulu. Di kalangan ilmuan
politik sendiri anggapan tentang
ada atau tidak ada tradisi demokrasi
dalam masyarakat kita cukup
beragam. Hal itu diakui Siti Zuhro,
peneliti senior Pusat Penelitian
Politik Lembaga Penelitian
Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI). Menurut Zuhro, terdapat
dua pandangan berbeda yang
dapat digeneralisasi. "Pertama,
budaya politik demokrasi yang
tidak memiliki akar budaya lokal
masyarakat. Kedua, nilai-nilai
demokrasi dengan berbagai
variannya telah tumbuh sejak
lama di Indonesia seiring dengan
dinamika budaya lokal masyarakat,"
kata profesor riset ilmu politik itu.
Zuhro mencontohkan tradisi
rembug desa, kerapatan nagari,
musyawarah subak, merupakan
praktik-praktik demokrasi,
sebagaimana tradisi pepe atau
penyampaian pendapat (protes)
yang dilakukan rakyat terhadap
penguasa melalui aksi diam.
Namun, Zuhro juga mengakui dua
kecenderungan besar tadi masih
hidup dalam masyarakat kita hingga
sekarang. "Ada potensi-potensi
warisan tradisi masyarakat kita yang
memang tidak seiring dengan ide
demokrasi, ada pula yang selaras
seperti tradisi egaliter, struktur
kekuasaan horisontal," tutur dia.
Gambaran tentang akar
demokasi dalam tradisi masyarakat
kita ditunjukan dengan sangat
baik oleh antropolog Universitas
Hassanudin Makasar, Mattulada
(alm). Menurut dia (1992), pada
zaman dulu, masyarakat yang
menghuni kepulauan Nusantara
hidup dalam kelompok-kelompok
kecil yang ia sebut persekutuan
hidup kaum. Persekutuan kaum
kecil ini bersifat otonom. Namun
mereka tidak melulu 'bergaya hidup'
isolasi, tetapi juga menyetujui
konsep yang bersifat sinambung,
seperti membangun jalinan dengan
persekutuan-persekutuan kaum
yang berdekatan--bisa terjadi
akibat penaklukan. Fenomena ini
yang Mattulada sebut sebagai
konfederasi. Kita tahu, otonomi dan
konfederasi merupakan nilai-nilai
demokrasi.
Memang, pertumbuhan
berikutnya mengarah ke gabungan
persekutuan yang lebih besar.
Itulah jejak kejaraan-kerajaan lokal
Nusantara. Mattulada membagi
persekutuan dan kepemimpinan
kerajaan-kerajaan Nusantara ke
dalam tiga corak besar, yakni,
pertama pola Jawa yang memuncak
pada pembentukan kerajan-kerajaan
Hindu Mataram, Majapahit. Kedua,
pola Melayu seperti diafirmasi
keberadaan Kerajaan Pagar
Ruyung, Minangkabau, Deli, dan
lain-lain. Ketiga, pola persekutuan
dan kepemimpinan pelaut di
bagian timur Indonesia. Ketiga
pola ini melahirkan kenyataan
Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
” Demokrasi adalah
sesuatu yang tidak
terbatas, ditanggung
kekuatan dan kelas
sosial, berjuang untuk
tujuan tertentu.
(R. Siti Zuhro)
Sumber : Wikimedia.org
INDONESIANA - Vol 5/2019 11
Katholik, dan Partai Kristen
Indonesia (Baca: Pemilu dari Waktu
ke Waktu).
Pandangan ini diamini Zuhro.
Mengutip Arthur Rosemberg (1939),
ia mengatakan bahwa demokrasi
tidak ada dengan sendirinya, tetapi
merupakan abstraksi formal‒sebelum mewujud menjadi sistem
gagasan dan konsep. "Demokrasi
adalah sesuatu yang tidak terbatas,
ditanggung kekuatan dan kelas
sosial, berjuang untuk tujuan
tertentu," kata Zuhro.
Dalam konteks perjuangan
demokrasi, Mochtar Na'im (1994)
menyebut para pendiri negara‒umumnya berpendidikan Barat‒ dengan latar belakang budaya
beragam mampu membuat suatu
dialektika gagasan-gagasan
dalam menyusun konsep negara
demokratis ini. Dan semua itu, tulis
Mochtar, terbaca dari bait-bait
Undang-Undang Dasar (UUD), baik
yang beragam dalam kaitannya
dengan ide demokrasi. Mattulada
menyebut pola masyarakat kaum di
Jawa, misalnya, terkubur menyusul
pengaruh Hindu.
Menyetujui dalam beberapa
hal simpulan Mattulada di atas,
Mochtar Na'im, sosiolog Universitas
Andalas, Sumatera Barat, menyebut
pola Melayu cenderung bersifat
sentrifugal, other-oriented.
Sementara pola Jawa melahirkan
karakter sentripetal, feodalistik. Ia
memberikan contoh raja dan rakyat
pada budaya Melayu bersemboyan:
raja adil raja disembah, raja lalim
raja disanggah.
Dalam konteks ini, cendekiawan
muslim Fachry Ali menyebut
Islamlah yang membawa gagasan
tentang konsep kekuasaan yang
bersifat otonom dengan struktur
kekuasaan horisontal dan non-
hirakrkis ke bumi Nusantara. Ajaran
Islam, menurut Fachry, kosmopolit
dan kompatibel dengan demokrasi,
karena memandang setiap manusia
itu sama dan merdeka. Sementara
pada agama-agama lain terdapat
hirarki spiritual.
"Karena itu, ketika belakangan
demokrasi masuk ke wilayah
Nusantara, di kawasan-kawasan
di mana Islam telah tersebar
itu cenderung dapat menerima
demokrasi sebagai konsep
kekuasaan. Bahwa kekuasaan itu
bukan taken for granted," kata
Fachry. "Untuk sementara, dalam
kasus Indonesia, saya belum melihat
sumber budaya lain di luar Islam
yang mewadahi secara ramah
pandangan demokrasi. " ujar Fachry
menambahkan.
Salah satu unsur kebudayaan
Islam yang berperanan
mengantarkan kepada pemahaman
demokrasi di kemudian hari adalah
bahasa. Bahasa Melayu mengalami
pengayaan puluhan kosakata bahasa
Arab yang berpengertian atau
berkonotasi 'demokrasi', seperti
dewan, wakil, rakyat, musyawarah,
mufakat, sepakat, untuk sekadar
menyebut beberapa. Masyarakat
Nusantara belum mengenal istilah
adil hingga Islam datang. Seperti
kata filsuf Jerman, Hans Georg
Gadamer (1900-2002), pemahaman
adalah kejadian yang bersifat
linguistik, dialektikal, dan historis
(Baca: Tradisi Musyawarah Mufakat).
. Demokrasi yang pada awalnya
merupakan ide itu lalu melahirkan
dialektika hingga upaya-upaya
perubahan struktural. Karena
itu, kata Fachry, di era awal
kemerdekaan, ide demokrasi
disambut dengan sangat antusias
terutama oleh Masyumi, Partai
Sosialis Indonesia (PSI), Partai
Seorang warga memberikan suara: Partisipasi demokratis dalam pemilu demokrasi.
Sumber : Antara
INDONESIANA - Vol 5/201912
UUD 1945, UUD Sementara maupun
UUD Republik Indonesia Serikat.
Menuju Kenduri Kebudayaan
Pandangan tentang pemilu
sebagai peristiwa kebudayaan
ini juga pernah dilontarkan putra
bungsu Presiden Soekarno, Guruh
Soekarnoputra, saat merayakan
hari ulang tahunnya yang ke-
65 di Jakarta, beberapa waktu.
"Menurut saya, peristiwa politik
seperti Pilpres dan Pileg seharusnya
disadari sebagai sebuah peristiwa
budaya. Di situ ada sistem nilai yang
dipraktikkan. Di situ ada sistem
sosial yang bekerja," ucap Guruh di
Jakarta pada 13/1/2018 lalu.
Pandangan Guruh tentu saja
bagus dan relevan, dan Indonesiana
menyetujui perspektif semacam
itu. Oleh karena itu, dalam laporan
utama kali ini, Indonesiana ingin
menurunkan artikel-artikel ringan
di seputar hal-hal yang dapat
dikatakan sebagai 'akar-akar
demokrasi' dalam tradisi masyarakat
kita. Pembabakan tulisan dibagi ke
dalam beberapa topik, yakni: Tradisi
Musyawarah Mufakat, Lembaga
Pemerintah Tradisional, Politik
Akomodasi, Tradisi Pemimpin,
Suksesi dan Partisipasi. Di luar
tema utama, Indonesiana juga
mengetengahkan tema Pemilu yang
Menyengangkan.
Mengarusutamakan pandangan
bahwa pemilu adalah peristiwa
kebudayaan merupakan saat yang
tepat bagi kita untuk mengerahkan
potensi-potensi kultural, catatan-
catatan historis, nilai-nilai dan
pandangan hidup masyarakat
yang sejak dulu telah mengenal
demokrasi. Pesta demokrasi, dengan
demikian, menjadi momentum
bersama untuk merayakan
kekuasaan rakyat agar melahirkan
manfaat sebesar-besarnya dalam
upaya pemajuan kebudayaan
bangsa. AYA
Calon kepala desa diarak
di Kabupaten Lamongan
Jawa Timur.
Pelantikan kepala Desa Kumbang, Nusa Tenggara
Barat.Sumber : kumbang.desa.id
INDONESIANA - Vol 5/2019 13
Musyawarah mufakat merupakan narasi besar yang menyokong perjalanan sejarah demokrasi Indonesia.
Tradisi ini tumbuh dalam kultur beragam.
Musyawarah mufakat merupakan tradisi
nenek moyang bangsa ini sejak berabad-
abad silam. Semua orang dari generasi
ke generasi seolah menjadi saksi sekaligus pelaku.
Oleh para pendiri bangsa, tradisi musyawarah mufakat
drumuskan ke dalam konsep kekuasaan demokrasi
sebagaimana dituangkan ke dalam Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945.
TRADISIMUSYAWARAH MUFAKAT AKAR DEMOKRASI KITA
Pengaruh kuat kesadaran kultural tentang
musyawarah dan mufakat itu disebabkan oleh
karena tradisi ini tumbuh subur pada satuan wilayah
terendah, yakni desa. Dalam masyarakat agraris di
Jawa, misalnya, terdapat tradisi rembuk desa. Rembuk
desa yang biasanya dihadiri pinisepuh dan pamong
desa itu berlangsung setiap tiga puluh lima hari sekali
atau dikenal dengan selapanan sesuai penghitungan
Sumber: Shutterstock
INDONESIANA - Vol 5/201914
hari pasaran dalam penanggalan
kalender Jawa yang berjumlah lima
(pahing, pon, wage, kliwon, legi).
Misalnya, selapanan jatuh setiap hari
pasaran kliwon.
Di Bali, kita menemukan subak
yang merupakan kearifan lokal
tentang penanganan tata kelola
air untuk pertanian. Para petani
melakukan musyawarah mufakat
bukan hanya demi pembagian air
tetapi juga pengelolaan sistem tata
air yang berkelanjutan. Hasilnya
sangat mengagumkan. Subak adalah
lembaga tradisional otonom di luar
banjar dan desa di Bali.
Mirip subak, tradisi dalam
pengelolaan pertanian (juga
urusan-urusan lainnya) hidup dalam
masyarakat Ende Lio, Flores,
Nusa Tenggara Timur, yang juga
diwujudkan melaui musyawarah.
Musyawarah lazim di dilakukan
di hanga, yakni ruang pubik
terbuka, biasanya berada di tengah
permukiman, dan dihadiri para
penggarap (fai walu ana kalo) dan
pemangku adat (mosalaki).
Jejak tradisi musyawarah
mufakat pada masyarakat Suku
di Bima, Nusatenggara Barat,
tergambar dalam Mbolo Weki.
Tradisi mbolo weki yang paling
lazim memang berupa forum untuk
mempersiapkan suatu kegiatan
kekerabatan, seperti pernikahan,
khitanan, dan pengajian untuk
memanjatkan doa. Namun, wahana
ini ini juga biasa digelar untuk
membahas berbagai hal berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan
bersama warga dalam langgam
musyawarah mufakat.
Tak diragukan lagi bagaimana
musyawarah dan mufakat
hidup dalam tradisi masyarakat
Minangkabau di Sumatera Barat
dan Melayu. Pada masyarakat
Minangkabau terdapat tradisi
kerapatan nagari sebagai
mekanisme pengambilan keputusan
bersama. Sementara tradisi
musyawarah pada masyarakat
Melayu diafirmasi keberadaan
lumbung di setiap desa. Tak hanya
menjadi gudang penyimpanan stok
pangan, lumbung juga berfungsi
sebagai tempat bagi kegiatan
bermusyawarah warga desa.
Tradisi musyawarah dan
mufakat juga melembaga kuat
pada suku Bugis Makassar,
yakni tudang sipulung yang
berarti duduk bersama. Selain
berpengertian harfiah, tudang
sipulung merupakan wahana
bagi warga untuk menyuarakan
aspirasinya, serta membahas jalan
keluar berbagai persoalan secara
bersama-sama. Musyawarah
mufakat pada masyarakat Bugis
Makassar ini mewakili pola tradisi
serupa di Indonesia Timur, seperti
Mandar, Buton, Ternate, Haruku,
Gowa, dan lain-lain, terutama pada
wilayah-wilayah yang pada masa
niaga (abad ke-14-17) dilalui jalur
perdagangan, khususnya para
saudagar asal Arab dan Gujarat,
yang telah lihai berbahasa Melayu
itu.
Jalur perdagangan dan nilai-niai
Islam
Jalur perdagangan dan bahasa
Melayu memang menjadi kunci
mengapa tradisi musyawarah
menyebar hampir hampir merata di
seluruh wilayah Nusantara, karena
dari sanalah istilah musyawarah
dan mufakat untuk pertama kalinya
dikenalkan. Kedua kosakata lahir
”Demokrasi ala
Indonesia adalah
musyawarah
mufakat.
(M. Hatta)
Bung HattaBapak Proklamator Indonesia
Sumber: wikipedia
INDONESIANA - Vol 5/2019 15
sebagai hasil akulturasi antara
budaya lokal--terutama lantaran
bahasa Melayu--dan ajaran Islam
mengingat para pedagang juga
membawa misi dakwah.
Musyawarah adalah kosakata
yang berasal dari bahasa Arab,
yakni syawara, yusyawiru yang
berarti menampakkan sesuatu
yang pada awalnya tersembunyi.
Varian kata kerja ini misalnya: asyara
(memberi isyarat), tasyawara,
(tukar pendapat), syawir (meminta
pendapat) atau mustasyir ( minta
pendapat orang lain). Sebagai istilah,
musyawarah berarti berunding, urun
rembuk atau mengatakan sesuatu.
Mufakat pun berasal bahasa Arab,
yakni muwaafaqotun yang berarti
ketidaksamaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), kata musyawarah
diartikan sebagai pembahasan
bersama dengan maksud mencapai
keputusan atas penyelesaian
masalah, perundingan, perembukan.
Sementara itu, mufakat diartikan
setuju, seia sekata, sepakat
(adjektiva), persetujuan (kata
benda) atau berunding (kata kerja).
Bila dua term tadi digabungkan
menjadi sebuah frasa, musyawarah
mufakat, kira-kira akan bermakna:
saling mengatakan sesuatu yang
semula masih tersembunyi untuk
mencapai keputusan bulat atau
kesepakatan, atau berembuk untuk
mencapai kata sepakat.
Tak hanya melahirkan
terminologi musyawarah
dan mufakat, akulturasi juga
menghasilkan banyak kosakata
seperti majelis, dewan, wakil, rakyat,
musyawarah, mufakat, untuk
sekadar menyebut beberapa.
Kosakata-kosakata tersebut adalah
sumbangan bahasa Arab‒yang
merupakan bahasa pengantar
agama Islam‒yang merupakan
nomenklatur demokrasi Indonesia.
Artinya, secara sosiolinguistik,
masyarakat Nusantara belum
mengenal istilah-istilah tersebut,
sebagaimaa kosakata adil, makmur,
hikmah, mukadimah, maklumat, dan
seterusnya hingga Islam datang.
Bahasa Indonesia pada hari ini
sebanyak 30%-nya berasal dari
kosakata bahasa Arab.
Di dalam Alquran sendiri
terdapat banyak sekali ayat
yang berisikan printah untuk
bermusyawarah--bahkan ada surat
yang bernama Musyawarah-- di
antaranya pada Surat Asy Syura ayat
38, yang artinya: Dan (bagi) orang-
orang yang menerima (mematuhi)
seruan Tuhannya dan mendirikan
salat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezeki
yang Kami berikan kepada mereka.
(QS. Asy-Syura ayat 38).
”Musyawarah adalah
kosakata yang
berasal dari bahasa
Arab, yakni syawara,
yusyawiru yang berarti
menampakkan sesuatu
yang pada awalnya
tersembunyi. Varian
kata kerja ini misalnya:
asyara (memberi
isyarat), tasyawara,
(tukar pendapat), syawir
(meminta pendapat)
atau mustasyir ( minta
pendapat orang lain).
Praktik musyawarah mufakat di perdesaan
INDONESIANA - Vol 5/201916
Sejurus dengan itu, Islam merupakan ajaran
yang memandang setiap manusia itu merdeka dan
sama di depan Tuhan. Nilai-nilai ajaran inilah yang
memungkinkan ide-ide demokrasi mendapatkan ruang
dalam kesadaran budaya masyarakat Nusantara dengan
berbagai latar agama dan kepercaan.
Pengaruh islamisasi yang berlangsung di bumi
Nusantara sehingga melahirkan tradisi musyawarah
mufakat itu dibenarkan intelektual muslim Fachry
Ali. Menurut Fachry, mengambil kasus Jawa--yang
menerima ide demokrasi dan Islam tidak sekuat Melayu
atau Minangkabau--, islamisasi memberikan kontribusi
penting terhadap pengenalan gagasan-gagasan
demokrasi. Proses ini dibuktikan oleh, antara lain,
keberadaan pesantren. "Pesantren selama ini merupakan
counter culture terhadap keraton yang notabene
feodal," kata Fachry.
Mengutip catatan Tome Pirez, penulis asal Portugis
yang datang ke Asia Tenggara setelah Malaka jatuh,
Fachry menyebut bahwa pada 1512 di Jawa telah berdiri
sekitar lima ribu pesantren. "Inilah entitas kebudayaan
tersendiri, atau yang oleh Abdurrahman Wahid disebut
subkultur santri, yang kelak memberikan warna pada
penumbuhan civil society."
"Itulah mengapa demokasi relatif lebih mudah
masuk ke Indonesia karena Islamisasi itu. Ini bahkan
tidak terjadi di Arab tempat Islam berasal, karena
selain kesukuannya di sana sangat kuat dan bangunan
kekuasannya sangat hirarkis. Kelas paling atas diduduki
penguasa, di bawah rakyat, sementara di tengah
kosong. Tidak ada kelas menengah. Dalam struktur
sosial masyarakat di mana kelas menengah tidak kuat
demokrasi umumnya tidak dapat berkembang," kata
Fachry.
Hippun Adat, kegiatan
penyampaian hasil
musyawarah adat Kerajaan
Adat Paksi Pak Sekala Brak
berisi harapan, keinginan,
dan sumbang saran kepada
Pemerintah Kabupaten
Lampung Barat
Benar, tradisi musyawarah mufakat adalah kearifan
lokal yang setara dengan ide demokrasi. Bapak
Proklamator Indonesia Mohammad Hatta dalam
Demokrasi Kita (1960) bahkan berkesimpulan bahwa
demokrasi ala Indonesia adalah musyawarah mufakat. Ia
mengutip istilah budaya Minangkabau: Mamak barajo ka
mupakek, mupakek barajo ka nan bana, nan bana tagak
sandirinyo yang artinya: Pemimpin bersandar pada
mufakat, mufakat bersandar pada kebenaran, kebenaran
ada di agama.
AYA
Sumber: duniaindra.com
Sumber: duniaindra.com
INDONESIANA - Vol 5/2019 17
Pada hakikatnya, dalam
sistem demokratis, seorang
pemimpin memiliki
kewenangan penuh lantaran ia telah
memperoleh kepercayaan besar dari
rakyat. Namun, dalam praktiknya,
banyak pemimpin yang melibatkan
kalangan-kalangan di luar lingkaran
kekuasaannya untuk memenuhi
harapan sebagian interest group
(kelompok kepentingan) dalam
penyelenggaraan pemerintahannya.
Tindakan semacam ini sering disebut
politik akomodasi.
Beberapa pihak yang mewakili
kelompok kepentingan non-
partai tadi memiliki beberapa
latar belakang seperti organisasi
SENI PEMIMPINMENEMUKAN JALAN TENGAH
kemasyarakatan (ormas), entitas
budaya atau adat, profesi, geografis,
dan lain-lain. Melalui cara ini,
pemimpin dapat mengakomodasi
secara lebih baik kepentingan
kelompok atau pihak yang terwakili
di dalam pemerintahan atau
penyelenggaraan negara.
Politik akomodasi dapat
dibilang satu semangat dengan
tradisi musyawarah mufakat
dalam masyarakat kita. Sebab, di
sana terdapat situasi ideal, yakni
kompromi, yang menjadi salah
satu unsur penting musyawarah
mufakat sekaligus pencapaian yang
diinginkan demokrasi.
Bagi sebagian penguasa, sikap
akomodatif dalam mengelola
kekuasaan ini menjadi semacam seni
kepemimpinan politiknya, lebih-
lebih bila mereka adalah pemenang
pemilu secara sah serta didukung
partai politik koalisinya di parlemen
dalam jumlah cukup memadai.
Pemimpin visioner memang akan
berpikir jauh melampaui daya
pikat otokrasi. Politik akomodasi
lazim dilakukan pemimpin bijak
bukan hanya demi melanggengkan
kekuasaannya, atau sekadar
mengamankan diri dari berbagai
rongrongan kekuatan lawan politik
atau oposisi, melainkan demi
maslahat yang lebih besar dari itu,
yakni kepentingan nasional. Dalam
Sumber: website nasional.tempo.co
INDONESIANA - Vol 5/201918
taraf tetentu, politik akomodasi
adalah sebentuk niat baik penguasa
untuk menciptakan kontrol bagi
dirinya.
Menurut sosiolog kenamaan
Universitas Indonesia, Soerjono
Soekanto (2006), akomodasi
merupakan suatu cara untuk
menyelesaikan pertentangan tanpa
menghancurkan lawan. Tujuan
akomodasi berbeda-beda sesuai
dengan situasi yang dihadapi. Tetapi
pada intinya politik akomodasi
merupakan upaya untuk meredakan
atau menghindari konflik dalam
rangka mencapai kestabilan.
Karena itu, politik akomodasi
tidak melulu tentang rekrutmen
politik, tetapi juga dapat berupa
kebijakan atau melahirkan regulasi
hingga ke taraf undang-undang
sehingga aspirasi kelompok
kepentingan dapat diakomodasi
pihak pemerintah. Jejak politik
akomodasi dalam panggung politik
Indonesia modern memperlihatkan
banyak sekali contoh dan
tipologinya.
Di era Orde Baru, misalnya,
Soeharto melakukan politik
akmodasi terhadap kalangan
muslim yang sejak di era masa
kepemimpinannya cenderung
dipinggirkan. Ketika itu muncul
istilah Islamophobia. Politik
akomodasi ditandai kelahiran
organisasi Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI), atau
rekrutmen politik melalui organisasi
politik penguasa di Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR)
hingga posisi menteri.
Orang boleh berdebat politik
soal motivasi penguasa kala itu,
misalnya untuk mengamankan
pemilihan presiden pada Sidang
Umum MPR Tahun 1993. Tetapi demi
kemaslahatan orang banyak, hal itu
wajar mengingat sebagian besar
penduduk muslim yang notabene
merupakan mayoritas itu telah
mengalami ketertinggalan di banyak
aspek, seperti pendidikan, ekonomi,
bahkan secara politik, akibat
kebijakan represif oleh rezim sejak
berkuasa di awal tahun 1970-an itu.
Politik akomodasi sebagai
bentuk lobi atau balas budi seperti
di atas juga pernah dilakukan
Presiden Abdurrahman Wahid
ketika menghadapi situasi hangat di
Papua. Presiden Wahid mengangkat
Manuel Kaisiepo sebagai Menteri
Negara Percepatan Kawasan Timur
Indonesia. Untuk hal pertama kalinya
Presiden Indonesia mengangkat
orang Papua mejadi menteri.
Menariknya, ketika itu Kongres
Rakyat Papua akan diselenggarakan.
Tetapi Gus Dur, sapaan akrab
Presiden, dengan perhitungan
politiknya, menyetujui kegiatan
bernuansa subversif itu tetap digelar.
Antara lain berkat langkah Gus Dur
itulah animo perlawanan masyarakat
Papua mereda, sekurang-kurangnya
untuk jangka waktu tertentu, dan
pintu dialog dibuka lebih lebar.
Langkah yang kurang lebih
sama pernah dilakukan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dalam
penyelesaian konflik bersenjata di
Aceh yang melibatkan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM). Bentuk akomodasi
pemimpin tertinggi Indonesia
kala itu adalah penyelenggaraan
Penandatanganan Nota
Kesepahaman antara Pemerintah
RI dan GAM di Helsinki Finlandia
pada 15 Agustus 2005. Buah nyata
dari politik akomodasi ini adalah
pemberlakuan daerah istimwa bagi
Provinsi Aceh Darussalam (kini
Provinsi Aceh), aspirasi yang sejak
lama diperjuangkan masyarakat di
sana.
Masih banyak politik akomodasi
yang pernah dilakukan penguasa
negeri ini dengan hasil yang cukup
baik. Misalnya penetapan hari raya
Imlek bagi warga etnik Tionghoa.
Kelahiran sejumlah provinsi,
kabupaten/kota baru dengan
dasar keunikan sejarah kebudayaan
setempat yang meyakinkan,
seperti dalam Provinsi Banten,
pun termasuk buah dari politik
akomodasi ini.
AYA
Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM Aceh di Helsinki Finlandia pada 15 Agustus 2005Sumber: Antara
INDONESIANA - Vol 5/2019 19
Upaya merekrut
kekuatan-kekuatan yang
berseberangan dengan
penguasa merupakan bagian dari
sejarah pengelolaan pemerintahan
di kerajaan-kerajaan di Nusantara
di masa lalu. Tidak hanya di level
elite, politik akomodasi juga lazim
dilakukan pada level bawah atau
kalangan-kalangan yang oleh
pemerintah kolonial Belanda disebut
bandit.
Di era Kerajaan Mataram,
misalnya, merekrut dedengkot
preman di suatu wilayah untuk
duduk sebagai lurah hingga
tumenggung kerap terjadi. Harapan
yang diinginkan penguasa adalah
kawasan menjadi aman. Suka tidak
suka, para elite baru tersebut akan
bertanggung jawab terhadap
keamanan di lingkungannya. Bahkan,
lebih dari itu, mereka bertaubat
serta mengajak para pelaku tindak
kriminal lainnya untuk ikut menjaga
keamanan dan ketertiban. Ini sesuai
filosofi Jawa seperti terefleksi pada
aksaranya. Pada aksara Jawa ada
pasangan yang namanya pangku.
Huruf konsonan yang dipangku
(biasanya di akhir kata) menjadi
mati (tidak berbunyi). Orang yang
dipangku, diminta untuk duduk,
biasanya tunduk.
Pemerintah kolonial Belanda
rupanya 'belajar' banyak dari
pengalaman di atas. Kisah ini
banyak ditemui di pedalaman
Jawa hingga Banten. Kisah Mbah
Saringin, preman sakti yang di mata
Belanda berkarakter kejam dan suka
merampok rumah orang kaya, di
Desa Bandengan, Kota Pekalongan,
Jawa Tengah, adalah satu satu
contohnya. Susah menghadapi Mbah
Saringan, Belanda lalu mengangkat
si 'bandit' ini sebagai lurah di sana.
Situasi kampung pun menjadi aman.
Atribusi kriminal atau sebutan
bandit kepada pihak-pihak tertentu
oleh Belanda menandakan politik
akomodasi untuk menghadapi
gangguan keamanan. Langkah ini
berhasil karena sebagian besar
bandit tersebut bagi masyarakat
sesungguhnya adalah pahlawan. Ya,
pahlawan layaknya tokoh legendaris
Robin Hood di Nottinghamshire
dengan latar belakang kesenjangan
sosial Inggris di abad ke-13 seperti
MERANGKUL ELITEDAN BANDIT
dilukiskan dengan sangat baik oleh
sejarawan Eric Hobsbawm dalam
bukunya tentang perbanditan sosial.
Mbah Saringin sendiri adalah sosok
yang dikenal alim, berjiwa sosial
serta sangat hormat kepada ulama-
ulama setempat.
Jauh sebelum itu, sejarah
penaklukan antarkerajaan di
Jawa juga tidak sepi dari politik
akomodasi. Misalnya, apa yang
dilakukan Jayakatwang (Raja
Kediri) terhadap Raden Wijaya
pasca-pemberontakan terhadap
Kerajaan Singhasari dan membunuh
rajanya, Sri Maharaja Kertanegara,
pada tahun 1292. Jayakatwang
mengampuni Raden Wijaya
(menantu Kertanegara) yang
datang menyerahkan diri, bahkan ia
kemudian memperoleh kompensasi
berupa hutan Tarik. Politik
akomodatif ini mampu meredam
perlawanan.
Namun, politik akmodatif tak
selamanya membuahkan hasil
yang diharapkan penguasa. Dalam
kasus keruntuhan Jayakatwang di
atas, setahun kemudian, tepatnya
pada 20 Maret 1293 (berdasarkan
Kronik Tiongkok), Raden Wijaya
yang memperoleh bantuan pasukan
Mongol, musuh bebuyutan Kediri,
justru dapat merebut kembali hak
pewarisan Singhasari. Sebuah
kesuksesan yang menandai kelahiran
Kerajaan Madjapahit. Peristiwa ini
tercatat dalam Kitab Pararaton dan
Kidung Panji Wijayakrama.
AYA
Sumber: gramedia.com
INDONESIANA - Vol 5/201920
DEMOKRASI TRADISIONAL TERBAIK
LEMBAGA PEMERINTAHAN TRADISIONAL
INDONESIANA - Vol 5/2019 21
Kegiatan adat di masyarakat Toraja
Jauh sebelum Indonesia lahir,
masyarakat kita tumbuh
dalam komunitas-komunitas
kecil bersama pranata sosialnya.
Pranata sosial yang kemudian
melahirkan lembaga tradisional
itu dapat dibilang cukup kohesif
sebagai sarana untuk mengatur
perilaku dan hubungan dalam
kehidupan masyarakat. Dalam
perkembangannya, lembaga ini
menjalankan fungsi-fungsi tak
hanya layaknya sebuah paguyuban
dalam wilayah tertntu, melainkan
juga urusan administrasi warga
masyarakat. Dari sana lahirlah
lembaga pemerintahan tradisional
dalam satuan wilayah setingkat
desa sebagaimana yang kita
pahami sekarang hampir di seluruh
Nusantara.
Kita mengenal nagari di
Minangkabau sebagaimana marga
di Sumatera Selatan, umpamanya.
Lalu di Bali ada banjar, gampong di
Aceh, kampung atau desa di Jawa,
atau huta/kuta pada masyarakat
Batak, dan lain-lain, yang kemudian
kita kenal sebagai lembaga
pemerintahan tradisional atau
kesatuan teritorial dan administratif.
Lembaga pemerintahan
tradisional ini, dengan potensinya
yang dapat dibilang sederhana,
mampu mengelola kepentingan dan
aspirasi warga serta merumuskan
kebijakan bersama berdasarkan
nilai-nilai setempat secara efektif.
Dengan kata lain, institusi-institusi
pemerintahan tradisional tersebut
telah mewujudkan 'demokrasi'
yang esensial. Tak berlebihan bila
kita menyebut institusi-institusi
pemerintahan tradisional sebagai
model demokrasi otentik masyarakat
Indonesia. Demokrasi tradisional par
excellence.
Setelah Indonesia merdeka,
keberadaan lembaga-lembaga
pemerintahan tradisional ini
sebenarnya dipertahankan. Undang-
Undang Dasar 1945 memberikan
jaminan bagi eksistensi nagari,
banjar, marga dan seterusnya itu
sebagaimana ditegaskan dalam
bagian kedua penjelasan Pasal
18. Pada intinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia menghormati
kedudukan daerah-daerah istimewa
tersebut dan segala peraturan
negara yang mengenai daerah-
daerah itu akan mengingati hak-hak
asal-usul daerah tersebut.
Namun, seiring dengan
perubahan sistem pemerintahan di
tingkat nasional, lembaga-lembaga
pemerintah tadisional tadi kini
seolah-olah tinggal kenangan. Jika
pun masih ada, seperti nagari di
Sumatera Barat atau banjar di Bali,
tidak lagi dapat dijalankan secara
efektif. Salah satu penyebabnya
adalah pemberlakuan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa. Semua
lembaga pemerintahan tradisional
diseragamkan menjadi desa dengan
tujuan antara lain dapat menyerap
dana pembangunan desa (bangdes).
Untuk sementara, tinggalkan
dulu persoalan-persolan di seputar
regulasi itu. Hal yang tidak kalah Sumber: shutterstock.com
INDONESIANA - Vol 5/201922
penting adalah menggali kembali
pelajaran baik yang pernah
ditorehkan nagari, banjar, marga,
kampung dan seterusnya itu sebagai
bahan pembelajaran atau pengayaan
khazanah kita tentang demokrasi
berbasis nilai-nilai adat.
Demokrasi Berbasis Nilai-Nilai
Adat
Menyandingkan pengalaman
lembaga pemerintahan tradisional
dengan praktik demokrasi mungkin
bukan langkah bijak. Harus diakui,
ide demokrasi sebagaimana yang
kita kenal memang merupakan
narasi modern, hal yang sama sekali
baru bagi masyarakat tradisional
kita. Demokrasi merupakan konsep
dari luar, dalam hal ini Barat.
Meskipun demikian, bukan
berarti esensi demokrasi tidak
ada dalam kesadaran dan sistem
kebudayaan kita. Tetap ada
walaupun tidak sama sekali
persis. Esensi-esensi demokrasi
dapat dijumpai pada lembaga
pemerintahan tradisional yang telah
disebutkan di atas.
Kita dapat berikan beberapa
contohnya dalam tadisi pengelolaan
nagari. Sebuah nagari dipimpin
seorang wali nagari. Ia dipilih secara
aklamasi oleh warga berdasarkan
musyawarah mufakat. Ia dipilih
karena dianggap oleh mayoritas
warga mumpuni di banyak aspek
(kepemimpinan, pengorganisasian,
penguasaan memecahkan masalah
sosial dan administrasi, dan
seterusnya).
Di dalam pengambilan
keputusan, wali nagari melibatkan
apa yang disebut Kerapatan
Adat Nagari (KAN), lembaga
yang beranggotakan tungku tigo
sajarangan yang terdiri dari alim
ulama, cerdik pandai (intelektual)
dan niniak mamak (pemimpin suku-
suku dalam nagari). Bersama wali
nagari, KAN membuat kebijakan
melalui forum musyawarah. Azas
keterwakilan atau partisipasi warga
pada nagari diafirmasi dengan
keberadaan Badan Musyawarah
Nagari (BMN). Forum-forum
musyawarah dalam tradisi nagari
lazim dilakukan di balai adat atau
masjid.
Tradisi semacam ini, khususnya
dalam hal pengambilan keputusan
demi kemaslahatan bersama,
juga lazim dilakukan di kampung-
kampung atau desa di Jawa. Di
sana dikenal institusi pengambilan
keputusan yang disebut rembuk
Sumber: suarariaupos.com
INDONESIANA - Vol 5/2019 23
Pelantikan pengurus Badan Koordinasi Karapatan Nagari di Sumatera Barat
”Sistem kenagarian
diperkirakan telah
ada sejak Kerajaan
Pagaruyung. Kerajaan
ini pada dasarnya
merupakan konfederasi
nagari-nagari yang
ada di Minangkabau.
Ketika itu, belum ada
wali nagari, dan nagari
dipimpin penghulu
suku secara kolegial.
Menyusul ordonansi
pemerintah Hindia
Belanda pada 1914,
masyarakat nagari
dipaksa untuk memilih
salah satu di antara
penghulu sebagai wali
nagari.
desa. Ada ketentuan waktu-waktu
yang diepakati untuk melalukan
musyawarah secara rutin yang
dikenal dengan selapanan (tiga
puluh lima hari). Bedanya, struktur
organisasi pemerntahan desa di
Jawa terkena pengaruh kolonial
Belanda, seperti ditandai dengan
beberapa kompartemen yang
bersifat 'modern'.
Karakter demokrasi juga
dapat dijumpai pada tradisi marga
di Sumatera Selatan. Kesatuan
teritorial dan administratif yang
dipimpn pasirah ini pun berfungsi
sebagai lembaga yang menyalurkan
aspirasi dan kepentingan warga
secara terbuka. Sesuai amanah
warga, pimpinan marga bekewajiban
menjamin keamanan dan ketertiban
lingkungan. Pasirah yang dianggap
sukses memangku jabatannya
hingga beberapa kali akan
memperoleh gelar Depati atau
Pangeran.
Lembaga pemerintahan
tradisonal atau kesatuan teritorial
dan administratif yang disebutkan
di atas memiliki banyak kesamaan.
Dilihat dari cakupan wilayahnya,
lembaga tersebut umumnya berada
di tingkat satuan pemerintahan
terendah, yakni desa.
Sedikit berbeda dengan banjar
di Bali. Pada mulanya banjar
dibentuk sebatas untuk mengurusi
pengaturan sistem pengairan di ara
pertanian mengingat di masa lalu
masyarakatnya hanya mengandalkan
sumber kehidupan dari hasil
pertanian. Levelnya hanya setingkat
rukun warga atau dukuh seperti
di Jawa yang berada di bawah
pemerintahan desa/kelurahan.
Meskipun demikian, dalam
perkembangannya, banjar
mengalami perluasan fungsi, dan
untuk itu dipecah menjadi dua.
Urusan administratif ditangani
banjar dinas. Sementara hal-hal
seputar pengaturan upacara-
upacara adat menjadi wewenang
banjar adat.
Perubahan struktur lembaga
pemerintahan tradisional di
atas acap terjadi akibat tekanan
penguasa. Hal ini pernah dialami
pada lembaga kenagarian di
Sumatera Barat. Sistem kenagarian
diperkirakan telah ada sejak
Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan
ini pada dasarnya merupakan
konfederasi nagari-nagari yang
ada di Minangkabau. Ketika itu,
belum ada wali nagari, dan nagari
dipimpin penghulu suku secara
kolegial. Menyusul ordonansi
pemerintah Hindia Belanda pada
1914, masyarakat nagari dipaksa
untuk memilih salah satu di
antara penghulu sebagai wali
nagari. Masyarakat Minangkabau
mengikuti aturan tersebut tetapi
dengan penyesuaian-penyesuaian
berdasarkan aturan adat. Selalu ada
celah untuk berkompromi dalam
sebuah sistem demokrasi.
Gagasan penting yang dapat
dikatakan dalam pengalaman di
atas, bila kita hendak meminjam
perspektif demokrasi modern,
adalah distribusi kekuasaan.
Masyarakat Minangkabau
cukup disiplin untuk menjaga
keseimbangan kekuasaan itu
agar tidak meninggalkan pranata
sosialnya. Bukankan salah satu
pesan penting demokrasi adalah
kedisiplinan dalam mematuhi aturan
bersama?
AYA
INDONESIANA - Vol 5/201924
Kutipan Bapak Proklamator Muhammad Hatta
(Bung Hatta) seperti ditulis dalam bukunya
yang sangat tenar, Demokrasi Kita, di atas
menggambarkan penyelenggaraan negara pada akhir
tahu 1950-an atau awal tahun 1960. Praktik kekuasaan
negara telah menyimpang jauh dari prinsip-prinsip
demokrasi dianut Undang-Undang Dasar 1945.
Saling bertikai, para elite lebih tampak sebagai
partijman (orang partai) ketimbang staatsman
(negarawan). Melalui apa yang disebut Konsepsi
Presiden (1957) dan Demokrasi Terpimpin (1959),
Presiden Soekarno mengangkat dirinya sebagai
pemimpin seumur hidup dengan alasan revolusi belum
selesai. Kekuasaan negara berjalan tanpa kontrol.
Lembaga-lembaga penyaluran aspirasi (partai politik)
dan respresentasi kekuasaan rakyat (DPR) dibubarkan
melalui Dekrit Presiden.
Refleksi Bung Hatta mengingatkan kita untuk
menggali ulang kekayaan budaya masyarakat Indonesia
dalam hal memilih pemimpin, laku pemimpin, tradisi
suksesi pemimpin di bumi Nusantara. Bagaimana
pula ekspresi dan partisipasi masyarakat terhadap
penyelenggaraan negara?
Aspirasi, Protes dan Oposisi
Bila kita merujuk kepada sejarah kekuasaan bangsa
ini jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) terbentuk, maka kita hanya mendapati model
kepemimpinan raja. Raja (kekuasaan tunggal), di mana
pun, tidak pernah dipilih rakyat. Ia dianggap sebagai
titisan dewa, atau wakil Tuhan di bumi, dan kekuasan
selanjutnya diwariskan kepada keturunannya.
Kekuasaan raja bersifat abstrak, lebih-lebih kerajaan-
kerajaan Jawa, khususnya Mataram, saat berada di
PEMIMPIN, SUKSESI DAN PARTISIPASI RAKYAT
Demokrasi yang tidak kenal
batas kemerdekaannya, lupa
syarat-syarat hidupnya, dan
melulu menjadi anarki, lambat
laun akan digantikan oleh
diktaktur. Ini adalah hukum
besi daripada sejarah dunia
(Bung Hatta, 1960)
INDONESIANA - Vol 5/2019 25
bawah Hinduisme dalam rentang
abad ke-7-14 M. Menurut Karkono
(1992), doktrin Dewa-Raja ini
dianut hingga zaman Hindu Jawa
dengan kerajaan Majapahit berakhir,
kemudian terjadi perubahan
kekuasaan berdasarkan Islam. Tapi,
konsep kekuasaan di era ini tidak
berubah.
Dengan kata lain, suksesi tidak
pernah melibatkan rakyat. Relasi
pemimpin dan rakyat bersifat
vertikal. Raja memiliki kekuasaan
mutlak, karena ucapan raja adalah
hukum negara yang bersifat tak
terbantahkan.
Meskipun demikian, Sultan
Agung (sultan ketiga dan masa
keemasan Kesultanan Mataram,
berkuasa 1613-1645), yang
menyadari kekuasan raja yang
sangat besar itu, memiliki komitmen
untuk menjalankan berbagai
kewajiban serta bertindak adil
kepada rakyatnya, yakni budi bawa
leksana, ambeg adil para marta
(berbudi luhur mulia dan sifat adil
terhadap semua). Buah pikiran
Sultan Agung ini terekam dalam teks
Sastra Gendhing.
Masyarakat Jawa tetap
melakukan aksi protes bila kebijakan
raja diniai tidak baik atau berdampak
buruk. Misalnya aksi protes rakyat
Surakarta yang disebut “tapa-pepe”,
yakni rakyat berkumpul dan diam di
Partisipasi rakyat dalam demokrasi melalui rembuk desa
”Pepeling Bung Hatta
di atas mengingatkan
apa yang pernah
dibilang John
Emerich Edward
Dalberg Acton atau
lazim dengan nama
Lord Acton (1833-
1902), sejarawan
Inggris kepada Uskup
Mandell Creighton
pada 1887. Kata
dia, “Power tends to
corrupt, and absolute
power currupts
absolutely”
Sumber: pejambon-bjn.desa.id
Sumber: wonorejo-sukoharjo.desa.id
INDONESIANA - Vol 5/201926
alun-alun keraton. Gaya komunikasi
politik 'halus' seperti ini dapat
langsung ditangkap raja. Bagusnya,
raja biasanya merespons aksi-aksi
semacam ini dengan mengajak
mereka bicara. Tradisi serupa, yakni
pepe, konon beberapa kali terjadi
di masa Majapahit. Dalam hemat
pengamat politik Siti Zuhro, pepe
memiliki tempat yang penting dalam
kehidupan demokrasi. "Pepe adalah
artikulasi demokrasi rakyat terhadap
kekuasaan," kata Zuhro.
Pola relasi pemimpin dan rakyat
di atas berbeda dibandingkan
dengan tradisi politik pada
masyatakat Aceh, Melayu,
Minangkabau, atau Bugis. Raja
memiliki kekuasaan penuh dalam
memerintah. Namun, pola relasinya
dengan rakyat relatif horisontal
dan kerajaan bersifat konfederasi
sehingga satuan-satuan wilayah
di bawah raja bersifat otonom.
Dalam pola seperti itu terdapat
ruang partisipasi rakyat, bahkan
kemungkinan oposisi. Ini tergambar
pada adagium yang terkenal
dalam masyarakat Melayu: 'Raja
adil raja disembah, raja lalim raja
disanggah' sebagaimana dalam
pepatah Minangkabau: Bulek aie
dek pambuluah, bulek kato dek
mufakat yang berarti “bulat air
karena pembuluh, bulat kata karena
mufakat”.
Masyarakat Bugis memiliki
cara berjenjang dalam mengajukan
keberatan terhadap kebijakan raja,
yakni Mannganro ri ade’ (hak petisi
kepada raja); Mapputane‘ (hak
menyampaikan keberatan atau
protes); Mallimpo-ade’ (protes
kepada raja); Mabbarata (hak protes
lebih keras); dan Mallekke’ dapureng
(aksi meninggalkan negeri).
Ungkapan Bugis ini menunjukkan
konsep 'kedaulatan rakyat': Rusa
taro arung, tenrusa taro ade, Rusa
taro ade, tenrusa taro anang, Rusa
taro anang, tenrusa taro tomaega
(Batal ketetapan raja, tidak batal
ketetapan adat; Batal ketetapan
adat, tidak batal ketetapan kaum;
Batal ketetapan kaum, tidak batal
ketetapan rakyat banyak).
Dari banyak ekspresi rakyat
dalam kaitannya dengan pemimpin,
Bung Hatta menyebut ada dua
anasir demokrasi rakyat (di tingkat
desa) yang asli di Indonesia, yakni
hak untuk mengadakan protes
bersama terhadap aturan-aturan
raja yang dirasa tidak adil, dan
hak rakyat untuk menyingkir dari
daerah kekuasaan raja (Demokrasi
Kita). Etos semacam itu, menurut
pengamat politik Fachry Ali,
sangat penting artinya agar
Partisipasi masyarakat pada pemungutan suara.
Sumber: Antara
INDONESIANA - Vol 5/2019 27
mendisiplinkan praktik demokrasi.
Kata Fachry, "Pemimpin harus
siap bila kebijakannya dibongkar
secara konseptual di muka publik.
Sepanjang pemimpin tidak tahan
menerima hal itu, bahkan dengan
sewenang-wenang ia menangkap
para pemrotes, berarti demokrasi
gagal. Demokrasi itu mengandaikan
kecerewetan rakyat agar pemimpin
kian mawas di dalam melaksankan
kekuasaannya."
Demokrasi memang
mengandaikan keseimbangan atau
distribusi kekuasaan seperti dalam
teori Trias Politica (pembagian
kekuasaan eksekutif, legislatif dan
yudikatif). Ketika pemimpin tidak
becus menjalankan tugas dan
kewajiannya, atau bergerak melebihi
amanah yang ia miliki, bahkan
kemudian sewenang-wenang, dan
dalam waktu yang sama kekuasaan
rakyat tidak berfungsi, maka ketika
itu demokrasi sudah hancur.
Pepeling Bung Hatta di atas
mengingatkan apa yang pernah
dibilang John Emerich Edward
Dalberg Acton atau lazim dengan
nama Lord Acton (1833-1902),
sejarawan Inggris kepada Uskup
Mandell Creighton pada 1887. Kata
dia, "Power tends to corrupt, and
absolute power currupts absolutely".
Kekuasaan itu cenderung korup, dan
kekuasaan absolut itu korup seratus
persen. Demokrasi jelas menentang
kekuasaan absolut, dan korupsi
adalah kejahatan yang sangat
merugikan rakyat.
Panggung kekuasaan, tak hanya
di Indonesia, telah memberikan
catatan kelam bila saluran-saluran
kontrol terhadap penguasa
tersumbat, terutama oleh tangan
besi penguasa. Suksesi pun
berlangsung tidak mulus, bahkan
sering didahului melalui people
power. Revolusi biasanya kelak akan
dibalas dengan revolusi, situasi
ini sering memicu banyak korban
dalam pengertian luas. Karena itu,
menjalankan demokrasi dengan
berlandaskan pada akar tradisi dan
budaya bangsa adalah anjuran yang
layak didengar semua orang.
AYA
”Pemimpin harus siap
bila kebijakannya
dibongkar secara
konseptual di muka
publik. Sepanjang
pemimpin tidak
tahan menerima hal
itu, bahkan dengan
sewenang-wenang
ia menangkap
para pemrotes,
berarti demokrasi
gagal. Demokrasi
itu mengandaikan
kecerewetan rakyat
agar pemimpin
kian mawas di
dalam melaksankan
kekuasaannya
Sumber: www.subangbaru.com
INDONESIANA - Vol 5/201928
PEMILU INDONESIA
DARI WAKTU KE WAKTU
Sumber: Perpustakaan Nasional RI
INDONESIANA - Vol 5/2019 29
Konon, sebuah negara
memerlukan waktu
hingga 100 tahun
agar dapat menerapkan sistem
demokrasi secara baik. Orang boleh
tidak bersepakat, apalagi kasus
tiap negara dalam membangun
sistem demokrasi berbeda-beda.
Namun, proses menuju kematangan
tersebut adalah hal niscaya.
Salah satu indikator kematangan
berdemokrasi yang dimaksud adalah
penyelenggaraan pemilu.
Pemilu merupakan instrumen
demokrasi penting, di antara
instrumen lainnya, seperti undang-
undang pemilihan umum (pemilu),
lembaga penyelenggara pemilu,
dan seterusnya. Kualitas pemilu itu
sendiri acap dipengaruhi berbagai
faktor, terutama komitmen untuk
menegakkan demokrasi oleh
partai-partai politik karena mereka
sejatinya merupakan representation
of ideas.
Pemilu di Indonesia telah
dilaksanakan beberapa kali sejak
1955 hingga 2014 lalu, dan pada
tahun ini akan dilaksanakan
pemilu ke-12. Jumlah tersebut
belum termasuk pemilihan kepala
daerah (pilkada) langsung yang
dilaksanakan sejak 2005.
***
Pemilu 1955 sering
dijadikan patokan keberhasilan
penyelenggaraan pemilu demokratis
di Indonesia. Dihitung sejak saat itu,
demokrasi kita baru berlangsung 63
tahun. Namun, Pemilu 1955 pada
akhirnya tidak membawa dampak
besar terhadap kehidupan bernegara
yang demokratis, karena Badan
Konstituante hasil Pemilu 1955 tidak
kunjung berhasil mencetuskan dasar
negara Indonesia yang disepakati
semua pihak. Karena perdebatan
berlarut-larut yang tak membuahkan
hasil, dikeluarkanlah Dekrit Presiden
1959. Melalui dekrit tersebut,
Presiden Soekarno membubarkan
Badan Konstituante, lembaga yang
berisikan 520 anggota konstituante
yang justru merupakan hasil dari
pemilu paling demokratis tadi.
Sejumlah tokoh, termasuk
Presiden Sekarno bahkan sempat
mengeluarkan statamen agar partai-
partai politik dibubarkan. Sejak
itu, penyelenggaraan negara dan
pemerintahan dilakukan dengan
sistem demokrasi terpimpin.
Seperti ditulis Herbert Feith dan
Lance Castle dalam Pemikiran
Politik Indonesia 1945-1965
(LP3ES, 1988), pimpinan Masyumi
bersama Partai Sosialis, Partai
Kristen Indonesia, Partai Katolik,
dan beberapa anggota Partai
NU membentuk Liga Demokrasi
untuk merespons langkah-langkah
Presiden Soekarno yang mulai
sangsi terhadap demokrasi atau
gejala otoritarianisme. “Save our
democracy,” kata Mohammad
Natsir dalam sebuah pidatonya.
Konflik antara pemerintah dan partai
politik terus berlangsung tiada
henti hingga masa kepemimpinan
presiden pertama tersebut berakhir
pada 1966. Pemilu 1960 yang
telah diagendakan pun urung
dilaksanakan.
Maka, perhatian orang tentang
pemilu demokratis tertuju kepada
pemilu 1999 sebagai buah dari
orde reformasi‒mengakhiri rezim
otoritarian Orde Baru. Dihitung
sejak 1999, demokrasi di Indonesia
baru berlangsung 19 tahun. Sebab,
sejak Dekrit Presiden 1959 hingga
masa akhir rezim Orde Baru
Soeharto, Indonesia tidak pernah
Petugas pertahanan sipil (Hansip) pada masa penyelenggaraan Pemilu tahun 1977
Sumber: Perpustakaan Nasional RI
INDONESIANA - Vol 5/201930
benar-benar melaksanakan pemilu yang jujur dan adil.
Para pengamat Indonesia seperti Adam Schwarz, Ben
Anderson, atau Andrew Mclntyre, kala itu bersepakat
bahwa perubahan politik di Indonesia pada periode ini
sangat tergantung pada kemauan rezim.
Pemilu 1955 digelar dalam dua tahap, yakni
untuk memilih anggota DPR (29 September 1955
dan dan anggota Badan Konstituante (15 Desember
1955). Sebanyak 260 kursi diperebutkan untuk DPR,
sedangkan kursi Badan Konstituante sebanyak 520
(dua kali jumlah kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan
minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu ini diikuti
29 partai politik dan individu. Peraih tiga nomor teratas
pemilu ini adalah Partai Nasionalis Indonesia (22,32% 57
kursi), Masyumi (20,92%, 57 kursi) dan Partai Nahdlatul
Ulama (18,41%, 45 kursi).
Pemilu 1971 diselenggarakan pada 5 Juli 1971. Pemilu
serempak ini digelar untuk memilih anggota DPR, DPRD
tingkat I (provinsi) dan DPRD tingkat II (kabupaten/
kotamadya). Pemilu yang diikuti 10 partai politik ini
dimenangkan Golongan Karya (yang diembangkan dari
Sekber Golongan Karya yang lahir pada 1964). Partai-
partai di era Orde Baru umumnya telah bubar atau
dibubarkan.
Pemlu 1977 adalah pemilu pertama yang
diselenggarakan dalam masa pemerintah defintif produk
pemilu 1971. Salah satu desain pemerintah ketika itu
adalah penyederhanaan partai peserta pemiu. Dari
sekian banyak partai yang ada diimbau untuk melakukan
fusi, dan hasilnya adalah: yakni Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Golongan Kaya, dan Partai
Demokrasi Indonesia. PPP merupakan fusi dari sejumlah
partai berbasis Islam, dan PDI merupakan rumah baru
bagi partai politik beraliran nasionalis, Kristen, Katolik,
dan sekuler.
Pelaksanaan pemilu-pemilu berikutnya hingga
Pemilu 1997 tak jauh berbeda dibanding pemilu 1977.
Pemilu legislatif yang diikuti tiga partai itu selalu
dimenangkan Golongan Karya dengan rata-ata
perolehan suara dalam kisaran 70%. Pemilu seperti
ini melahirkan pemerintahan yang kuat. Terlepas
dari kenyataan politik represif oleh rezim ketika itu,
pemerintahan hasil pemilu didukung kabinet ahli
sehingga pelaksanaan pembangunan sebagai cita-cita
bersama berjalan efektif tanpa gangguan kekuatan
oposisi.
Fase penting perjalanan penyelenggaraan pemilu
untuk menegakkan demokrasi adalah pemilu 1999
yang dilaksanakan menyusul Reformasi. Pemilu ini
diselenggarakan secara serentak pada tanggal 7 Juni
1999 untuk memilih 462 anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota)
se-Indonesia untuk periode 1999-2004. Pemilihan 1999
diikuti 48 partai politik.
Penyelenggaaan Pemiu 2004 menandai tradisi
baru karena dilaksanakan untuk pertama kalinya untuk
memilih tidak hanya anggota DPR (pileg) melainkan
juga Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (pilpres)
secara langsung. Pilpres diselenggarakan daam dua
Presiden Soeharto meninjau penyelengaraan pemilihan umum tahun 1971
Pemungutan suara pada Pemilu tahun 1955
Sumber: Perpustakaan Nasional RISumber: Perpustakaan Nasional RI
INDONESIANA - Vol 5/2019 31
putaran, dan Susilo Bambang
Yudhoyono dan Muhammad Jusuf
Kalla keluar sebagai presiden dan
wakil presiden terpilih.
Pemilu 2009 sama dengan
pemilu 2004. Perbedaannya pada
saat pileg (9 April 2009), rakyat
Indonesia tidak hanya memilih
anggota DPR, dan DPRD Provinsi
dan dan DPRD Kabupaten/Kota,
tetapi juga juga memilih anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
yang sebelumnya diangkat untuk
mewakili tiap provinsi.
Sementara itu, pilpres
dilaksanakan pada 8 Juli 2009.
Untuk kedua kalinya Susilo Bambang
Yudhoyono memenangi pilpres,
tapi dengan calon wakil presiden
Budiyono. Pasangan ini memperoleh
suara 60,80% meninggalkan
pasangan Megawati Soekarnoputri-
Prabowo Subianto dan Muhammad
Jusuf Kalla-Wiranto. Dengan
demikian Pilpres 2014 berlangsung
hanya satu kali putaran.
Pemilu 2014 sama dengan
pemilu sebelumnya, yakni terdiri
dari Pilpres dan Peleg. 9 April 2014
untuk memilih 560 anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan 132
anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) serta DPRD Provinsi dan
DPRD Kabpaten/Kota.
Seperti disebutkan di muka,
pilkada juga merupakan bagian
dari pemilu. Penyelenggaraan
pilkada merupakan amanat dari
Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan
Daerah, di mana kepala daerah
dipilih secara langsung oleh rakyat
melalui Pemilihan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah atau
disingkat Pilkada. Pilkada pertama
kali diselenggarakan pada bulan Juni
2005. Sebelum periode tersebut,
kepala daerah dipilih melalui DPRD
seperti pemilihan presiden oleh
Majelis Permuyawaratan Rakyat
(MPR) hingga tahun 1999.
Mengingat periode masa jabatan
kepala daerah tidak sama, maka
pilkada yang dilaksanakan sejak
2005 itu tidak dapat melibatkan
seluruh daerah secara serempak
di seluruh Indonesia melainkan
dalam dua kali penyelenggaraan
dalam satu periode (lima tahun).
Menyusul beberapa kali perubahan
undang-undang tentang pemilu,
istilah pilkada pun berubah menjadi
pemilukada berdasarkan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum. Pada tahun 2011, terbit
Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2011 yang menyebutkan istilah
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Wali Kota.
Berkaitan dengan
peyelenggaraan pemilihan umum:
pilpres, pileg maupun pilgub, pilbup
dan pemilihan wali kota, yang tidak
hanya menyita waktu tetapi juga
biaya, kini telah mulai diwacanakan
agar seluruh kegiatan pemilu
dilaksanakan secara serempak di
seluruh tanah air. Ide ini lebih dulu
diwujudkan dalam Pilpres dan Pileg
2019. Apakah ide tesebut akan
terwujud? Anda punya hak bersuara.
AYA
Suasana kampanye Pemilu di tahun 1977
Sumber: Perpustakaan Nasional RI
INDONESIANA - Vol 5/201932
Pekan Kebudayaan
Nasional adalah amanat
Resolusi pertama Kongres
Kebudayaan Indonesia 2018. Di
sana disebutkan: “Melembagakan
Pekan Kebudayaan Nasional
sebagai platform aksi bersama yang
memastikan peningkatan interaksi
kreatif antar budaya”. Penjelasan
atas resolusi ini mungkin tidak
sederhana. Ini mengingat kalimat
dalam resolusi itu mengandung
dua aktivitas yang berjalan
bersama yaitu: “melembagakan”,
dan “peningkatan interaksi”.
Lebih-lebih jika resolusi itu dibaca
selintas pandang, maka keraguan
kan tumbuh dari benak pembaca
yang mewujud lewat pertanyaan-
pertanyaan seperti: “Apakah Pekan
Kebudayaan Nasional itu?”, “Apakah
PEKAN KEBUDAYAAN NASIONAL
Pekan Kebudayaan Nasional itu
kegiatan baru?”, dan sebagainya.
Sudah tentu, pertanyaan-pertanyaan
di muka tak mungkin dibiarkan
menggantung tanpa jawab. Apalagi
Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, telah menyatakan
di hadapan publik bahwa Pekan
Kebudayaan Nasional akan
diselenggarakan pada tahun ini.
Per gagasan, Resolusi itu
didasarkan pada poin pertama
Agenda Strategis Pemajuan
Kebudayaan. Disebutkan dalam
dokumen Strategi Kebudayaan,
bahwa arah pemajuan kebudayaan
haruslah, “Menyediakan ruang
bagi keragaman ekspresi budaya,
dan mendorong interaksi budaya
untuk memperkuat kebudayaan
yang inklusif”. Karena itu, jika
dikembalikan lagi pada Resolusi,
maka kandungan mengenai
keragaman ekspresi budaya,
interaksi budaya, budaya inklusif
wajib tersedia dalam Pekan
Kebudayaan Nasional.
Mengapa demikian? Keragaman
kebudayaan Indonesia bukanlah
sesuatu yang diteorikan, melainkan
fakta sejarah. Sejak sebelum wilayah
kesatuan Republik Indonesia
terbentuk, sampai dengan saat
ini, sudah tersedia lebih dari 650
bahasa dari 1100-an suku bangsa.
Artinya juga ada banyak cara dari
mereka yang lahir dan dibesarkan di
Indonesia, di dalam mengungkapkan
gagasannya, kreativitasnya,
ekspresinya baik secara sosial
maupun secara individual. Baik
Tujuh Resolusi KKI
Sumber: Arsip Kemendikbud
INDONESIANA - Vol 5/2019 33
dengan gaya modern maupun
dengan gaya tradisional, semuanya
tumpah ruah, dan berkembang
di bumi Indonesia ini. Karenanya,
keragaman dan penghormatan atas
keberagaman menjadi kunci dari
kesatuan Indonesia.
Namun kesatuan Indonesia juga
bukan sekadar papan nama tak
bertuan, alias tanpa asal-usul. Jauh
sebelum Indonesia mewujud sebagai
sebuah negara, masyarakat yang
berdiam di pulau-pulau di wilayah
nusantara terhubung satu dengan
yang lain melalui “jalur rempah”.
Sumatera, yang dahulu bernama
Swarnadwipa, adalah wilayah yang
sarat dengan lada, sementara
Jawa adalah pulau penghasil beras
terbesar, keduanya melahirkan
bentuk-bentuk kebudayaan
yang saling mempengaruhi satu
dengan yang lain. Sebagaimana
koin Barus, wilayah penghasil
kemenyan, yang ditemukan di Mesir
bergambar pohon cendana yang
banyak tersedia di Galiyo, sekarang
Larantuka, Nusa Tenggara Timur.
Karena itu, interaksi budaya menjadi
poros gerak dari kelahiran Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
dan seperti itulah sejarah berbicara.
Konsekuensi lebih lanjut dari
keberagaman dan interaksi budaya,
adalah ketersediaan bentuk-bentuk
kebudayaan yang serupa, namun
diucapkan dengan bahasa yang
berbeda-beda. Seperti misalnya
olahraga tradisional silat, diucap
sebagai Silek dalam bahasa Minang,
Silat dalam bahasa Melayu/Jawa,
ataupun Kuntau dalam tradisi
Kalimantan. Begitu juga dengan
tradisi permainan rakyat, seperti
misalnya Gobaksodor yang memiliki
banyak sebutan seperti Hadang,
Galasin, Balogo menurut bahasa
tiap-tiap daerah. Bahkan, dari sisi
pengetahuan tradisional seperti
kuliner ada satu jenis makanan
yang sama penyebutannya tetapi
berbeda-beda cara pengolahan dan
cita rasanya, yaitu Soto. Semuanya
menunjukkan bahwa kebudayaan
Indonesia bukanlah sesuatu
yang eksklusif; malah sebaliknya
menuntut inklusivitas, keterbukaan,
dan partisipasi. Sekali lagi, ini juga
sebuah fakta sejarah yang tak
mungkin dipungkiri.
Pekan Kebudayaan Nasional
ditujukan untuk menghadirkan
yang terbaik dari kandungan ketiga
unsur di muka dalam kerangka
yang melembaga, melalui sejumlah
kompetisi dan eksebisi, konferensi
dan pagelaran seni budaya. Semua
yang akan dihadirkan, diolah melalui
proses seleksi terbuka baik di
tingkat daerah maupun di tingkat
nasional. Karenanya secara mudah,
Pekan Kebudayaan Nasional dapat
dimaknakan sebagai Pekan Olahraga
Nasional (PON)-nya kebudayaan.
Namun demikian, perlu
diingat bahwa hal kebudayaan
tidaklah tumbuh berkat upaya
pemerintah semata. Tanpa itu pun,
masyarakat bergerak dari hari ke
hari menciptakan berbagai macam
bentuk kebudayaan baru, bahkan
pengetahuan baru. Karenanya Pekan
Kebudayaan Nasional juga diarahkan
untuk menggalang partisipasi
komunitas-komunitas budaya
yang telah banyak menyumbang
bagi keceriaan hidup masyarakat.
Sebab, sebagaimana ujar Presiden
Jokowi dalam Kongres Kebudayaan,
“Intisari dari Kebudayaan adalah
Kegembiraan”.
AA
Pawai Budaya KKI 2018 menampilkan berbagai tradisi dan
kesenian Indonesia
Sumber: Arsip Kemendikbud
INDONESIANA - Vol 5/201934
R E G E N E R A S I D A N A L I H P E N G E TA H U A N
Cerita tentang Indonesia
bagaimanapun, di mana
pun, dan bagi siapa pun,
adalah cerita tentang kebudayaan.
Pernyataan di muka adalah sebuah
simpulan dari gerak realitas yang
tumbuh dan berkembang sepanjang
sejarah nusantara. Simpulan itu
biasanya dibahasakan secara
berbeda oleh tokoh-tokoh publik
dengan pernyataan: ‘Indonesia
adalah negeri kaya budaya’.
Namun, sekaya apakah sebenarnya
Indonesia?
Realitas alam Indonesia
menjelaskan bahwa negeri
kepulauan yang berada di wilayah
garis edar matahari ini memiliki
lebih dari seribu suku bangsa yang
berbicara dalam 652 bahasa. Suku
bangsa-suku bangsa yang hidup
di tengah bentang alam penuh
gunung dikelilingi rupa-rupa laut.
Pun tempat hidup bagi lebih dari
30000 spesies tumbuhan berguna,
dan lima ribuan spesies fauna. Dari
sanalah lahir beragam aktivitas dan
kreasi manusia dalam mengolah dan
memuliakan alam. Tak ketinggalan
ruang hidup yang berpulau-
pulau melahirkan interaksi sosial
antara pemukim dengan warga
pendatang dari pulau atau wilayah
lain. Semuanya kemudian mewujud
dalam beragam bentuk kebudayaan.
Karenanya, tak mengherankan
jika didapatkan fakta dari 301
kabupaten/kota bahwa sampai
dengan tahun 2018 Indonesia
memiliki 2527 manuskrip, 3855 jenis
permainan rakyat, 7879 jenis seni,
7299 jenis pengetahuan tradisional,
1440 jenis olahraga tradisional, 4785
jenis teknologi tradisional, 4685 jenis
tradisi lisan, 3821 ritus, 4561 adat
istiadat, dan sejumlah 2894 bahasa
dipergunakan di berbagai wilayah
Indonesia.
Data angka di muka memang
takkan memiliki pengertian lebih
jauh sepanjang hanya dipahami
sebagai data. Tetapi seperti juga
bahasa, segala bentuk obyek
kebudayaan tersebut perlu
dipahami sebagai cara manusia/
masyarakat mengekspresikan atau
pun mengomunikasikan gagasan-
gagasannya baik terhadap alam,
lingkungan sosial, maupun kepada
sang pencipta. Artinya segala
obyek kebudayaan itu adalah
bagian kehidupan sosial budaya
masyarakat, habitat dari tiap-
tiap obyek. Itulah yang kemudian
menjadi bagian dari kekayaan
budaya tradisional yang tersedia
saat ini.
Masalahnya kemudian,
kehidupan sosial budaya masyarakat
tidak berada di ruang hampa udara.
Kehidupan itu berinteraksi dengan
kebudayaan-kebudayaan lain dari
Tujuh Resolusi KKI
Sumber: Arsip Kemendikbud
INDONESIANA - Vol 5/2019 35
berbagai bangsa dan bahasa.
Karenanya, ada kebudayaan yang
bertahan dan ada juga yang punah.
Baik itu karena perkembangan
zaman sebuah kebudayaan
menjadi tidak relevan, ataukah
karena semacam ‘dipaksa’ lenyap,
semuanya mengandaikan adanya
banyak ikhtiar untuk melestarikan
kebudayaan. Itu sebabnya dalam
Arah Pemajuan Kebudayaan -
Strategi Kebudayaan poin kedua
ditegaskan mengenai “Melindungi
dan mengembangkan nilai, ekspresi
dan praktik kebudayaan tradisional
untuk memperkaya kebudayaan
nasional”.
Bagaimana, kemudian,
realisasi “melindungi”, dan
“mengembangkan” Itu? Ada banyak
cara untuk melindungi kekayaan
budaya tradisional. Mulai dari
pencatatan/pendokumentasian,
penetapannya sebagai cagar budaya
dan warisan budaya tak benda,
sampai dengan pementasannya
di panggung-panggung publik.
Dalam Undang-Undang no 5/2017
tentang Pemajuan Kebudayaan,
yang dianggap sebagai “melindungi”
adalah sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 1 poin 5:
“upaya menjaga keberlanjutan
kebudayaan yang dilakukan dengan
cara inventarisasi, pengamanan,
pemeliharaan, penyelamatan, dan
publikasi”. Dari sini sudah kelihatan
jelas cakupan dari hal ‘melindungi’.
Sementara terkait dengan
‘mengembangkan’, Undang-undang
yang sama menyatakan tentang
upaya “menghidupkan ekosistem
kebudayaan, serta meningkatkan,
memperkaya, dan menyebarluaskan
kebudayaan”. Jadi upaya untuk
‘mengembangkan’ di sini mencakup
riset dan eksperimen, kreasi baru,
penyelenggaraan festival, dan
sebagainya, terhadap objek-objek
pemajuan kebudayaan.
Sebagai contoh yang bisa
dikemukakan di sini adalah motif
tenun daerah X, yang langka
dan bahkan tidak dibuat lagi
di daerah asalnya. Motif tenun
tersebut sebagai sebuah obyek
diinventarisasi dan diupayakan
penetapannya sebagai warisan
budaya tak benda yang dimiliki
kabupaten/kota atau provinsi B.
Namun motif tenun itu akan berhenti
sebagai artefak tak bercerita jika tak
diupayakan riset untuk membuat
motif itu lebih dikenal masyarakat,
sekalipun tak ada lagi yang mampu
membuat motif itu. Riset lah yang
kemudian memeriksa lebih lanjut
bagaimana motif tenun itu hidup di
wilayah B. Dari sana akan kelihatan
jelas bahwa motif tenun X ini tidak
sekadar motif tenun biasa, tetapi
terdapat cerita di balik simbol-
simbol tersebut. Karenanya, sekali
lagi, kendati motif tenun X itu kini
tidak dibuat lagi, cerita ataupun
nilai-nilai yang terdapat dalam motif
tersebut masih bisa disampaikan
kepada publik.
Itulah sebabnya dalam resolusi
kedua Kongres Kebudayaan
ditegaskan arti penting dari
“Memastikan terjadinya alih
pengetahuan dan regenerasi melalui
pelindungan dan pengembangan
karya kreatif untuk kesejahteraan
para pelaku budaya, serta pelibatan
maestro dalam proses pendidikan
dan pembelajaran formal”. Resolusi
ini memberikan arah dan sasaran
dari aktivitas pelindungan dan
pengembangan. Pengertiannya,
semua upaya pelindungan dan
pengembangan juga harus
mengikutsertakan upaya-upaya alih
pengetahuan dan regenerasi. Ini
agar yang tradisional tidak terbuang,
malah sebaliknya menjadi pondasi
bagi bentuk-bentuk kebudayaan
modern.
Sebagai contoh, sejarah budaya
Indonesia mengenal kepiawaian
dari para tukang kayu nusantara
yang sanggup membuat kapal
tanpa rangka, seperti dalam
kasus pembuatan kapal Pinisi.
Tetapi pengetahuan dan teknologi
tradisional pembuatan kapal
tersebut tidak pernah ada dalam
kurikulum sekolah dasar dan
menengah. Bagaimana ilmu-ilmu
tradisional itu bisa sampai ke
generasi muda bila tidak ada upaya
menerpa generasi muda dengan
informasi tentang pengetahuan dan
teknologi tradisional tersebut?
Maka dari itu upaya
perlindungan dan pengembangan
kekayaan budaya di Indonesia perlu
berjalan simultan dengan proses
pendidikan. Agar kekayaan budaya
di Indonesia tak lenyap dimakan
waktu. AA
”Persoalannya bukan
menerima atau tidak
menerima globalisasi,
melainkan bagaimana
meningkatkan
peran dan pengaruh
kebudayaan Indonesia
di tingkat dunia
INDONESIANA - Vol 5/201936
Seperti halnya modernitas,
globalisasi adalah fakta
yang tak terhindarkan.
Apa yang kemudian terjadi adalah
pertukaran yang timpang: negara
maju terus mengekspor budayanya,
sedangkan negara berkembang
hanya bisa mengimpor kebudayaan
negara maju. Permasalahannya
bukan adanya globalisasi itu sendiri,
melainkan pada bagaimana kita
hadir di tengah arus globalisasi
tersebut. Persoalannya bukan
menerima atau tidak menerima
globalisasi, melainkan bagaimana
meningkatkan peran dan
pengaruh kebudayaan Indonesia
di tingkat dunia. Situasi saat ini
memperlihatkan bahwa Indonesia
masih menjadi konsumen budaya
dunia dan belum berhasil tampil
dengan kepribadian budayanya
sendiri dan ikut mewarnai
RUMAH BUDAYA INDONESIA, RESIDENSI DAN DIASPORA
Tujuh Resolusi KKI
peradaban dunia. Peramasalahan ini
mengemuka antara lain dalam dua
isu pokok.
Pertama, masih berlakunya
paradigma pembangunan yang
memandang kebudayaan sebagai
beban, dan bukan sebagai
investasi jangka panjang yang
dapat menghasilkan peningkatan
kesejahteraan umum. Hingga saat
ini, kebudayaan masih dipandang
sebagai sektor yang membebani
anggaran negara sebab tidak
menghasilkan pendapatan yang
cukup besar atau hasil-hasil
lain yang terukur. Paradigma
ini merintangi usaha untuk
meningkatkan peran dan pengaruh
kebudayaan Indonesia di tingkat
dunia. Situasi ini diakibatkan
oleh belum mengarusutamanya
paradigma yang menempatkan
kebudayaan sebagai investasi
jangka panjang yang dapat
meningkatkan kesejahteraan umum
serta memupuk kesetiakawanan
sosial lewat berbagai bentuk
pemanfaatan di sektor kreatif.
Sebagian besar dari sektor
pariwisata dan ekonomi kreatif
merupakan hilir dari suatu proses
yang diawali dan bermodalkan pada
kerja pelindungan kebudayaan.
Berdasarkan pemahaman itu, maka
akan terlihat betapa tidak berartinya
anggaran kerja pelindungan
kebudayaan yang hanya bernilai
0,08% terhadap total APBN selama
lima tahun terakhir (2012 – 2017).
Kedua, lemahnya peran dan
pengaruh diaspora Indonesia di
luar negeri. Bangsa Indonesia
hadir di banyak negeri, tetapi
belum mengambil peranan yang
signifikan dalam memperkenalkan
budaya Indonesia di dunia. Peran
Sumber: Arsip Kemendikbud
INDONESIANA - Vol 5/2019 37
para pelaku budaya sebagai agen
pengarusutamaan budaya Indonesia
di dunia juga belum dioptimalkan.
Demikian pula dengan berbagai
pusat kebudayaan Indonesia di
luar negeri yang belum berhasil
mewarnai percakapan budaya di
tingkat dunia. Saat ini, Indonesia
baru memiliki 10 Rumah Budaya
Indonesia: 1 berupa bangunan dan
program (Rumah Budaya Indonesia
di Timor Leste), sedangkan sembilan
lainnya baru berupa program tanpa
infrastruktur bangunan sendiri.
Sebagai langkah awal untuk
menjawab tantangan itu, Kongres
Kebudayaan Indonesia 2018
mencetuskan Resolusi ketiganya
sebagai rencana aksi untuk
diwujudkan dalam tempo dua
tahun: “Meningkatkan diplomasi
kebudayaan dengan memperkuat
perwakilan luar negeri sebagai pusat
budaya Indonesia, meningkatkan
jumlah dan mutu program
pertukaran dan residence untuk
seniman, peneliti dan pelaku budaya,
dan menjadikan diaspora Indonesia
sebagai ujung tombak pemajuan
kebudayaan Indonesia di luar
negeri.”
Ada dua fokus dari rencana
aksi ini. Pertama, program Rumah
Budaya Indonesia perlu diperkuat
menjadi lebih berdampak bagi
tujuan diplomasi kebudayaan
Indonesia: kurasi yang profesional,
ditopang publikasi yang meluas ke
publik luar negeri dan pelibatan
jaringan seniman serta pelaku
budaya luar negeri yang lebih
inklusif. Kedua, program residence
untuk seniman, peneliti dan pelaku
budaya yang berminat pada
Indonesia perlu diintensifkan:
perluasan jaringan pelaku yang
dilibatkan dalam residence,
diversifikasi pengalaman kultural
yang ditawarkan dalam residence,
dan peningkatan interaksi antara
pelaku dari luar dan dalam negeri.
MS
Pusat budaya Indonesia di Timor Leste
Kegiatan belajar
membatik diikuti
wisatawan mancanegara
di rumah budaya Sleman,
Timbulharjo, Sewon Bantul,
Yogyakarta
”Persoalannya bukan
menerima atau tidak
menerima globalisasi,
melainkan bagaimana
meningkatkan
peran dan pengaruh
kebudayaan Indonesia
di tingkat dunia
Sumber: kompas.com
Sumber: PBI Timor Leste
INDONESIANA - Vol 5/201938
EKONOMI KREATIF BERBASIS BUDAYA UNTUK SEMUA
Dewasa ini percakapan
budaya kita banyak
diramaikan oleh wacana
tentang bagaimana perkembangan
teknologi informatika telah
melakukan disrupsi atau gangguan
terhadap segenap hubungan
sosial. Perkembangan teknologi
informatika merupakan tantangan
sekaligus kesempatan. Di satu sisi,
perkembangan itu menggoyahkan
tata kehidupan bersama dan
mengubah secara drastis
orientasi hidup orang banyak. Di
sisi lain, perkembangan itu juga
memberikan peluang bagi kita untuk
meningkatkan daya jangkau dan
akses masyarakat pada aneka rupa
ekspresi budaya. Permasalahan ini
mengemuka antara lain dalam tiga
isu pokok.
Pertama, keterhubungan yang
dimungkinkan oleh Revolusi 4.0
malah menjadi faktor penunjang
kecurigaan antar kelompok budaya.
Setiap harinya media sosial kita
dipenuhi dengan berbagai berita
bohong, hasutan dan diskriminasi.
Bahkan tak jarang media sosial itu
menjadi wahana penggalangan
kekuataan yang intoleran terhadap
keberagaman budaya serta menjadi
wahana penyebarluasan fanatisisme
dan kecupetan kita dalam
Tujuh Resolusi KKI
memandang perbedaan pendapat.
Kedua, Indonesia masih berhenti
sebagai pengguna teknologi, belum
menjadi pencipta. Berhadapan
dengan perkembangan teknologi
terbaru, kita kerapkali masih
kesulitan mengejar ketertinggalan.
Ada berbagai ekspresi budaya
kita, khususnya di kalangan muda,
yang dengan cepat menggunakan
teknologi yang ada untuk mencipta
berbagai bentuk penerapan
teknologi baru. Akan tetapi, hal yang
sama belum bisa dikatakan terjadi
untuk masyarakat pada umumnya.
Ketiga, kita belum berhasil
mengandalkan modal budaya sendiri
INDONESIANA - Vol 5/2019 39
peran kaum muda sebagai garda-
depan pengembangan budaya
berbasis capaian Revolusi Industri
4.0. Tak bisa dipungkiri bahwa
perkembangan teknologi digital
banyak dipelopori oleh kaum muda.
Untuk itu, agar kekayaan budaya
tradisional dapat berkembang,
perlu didorong interaksi yang positif
antara pelaku budaya tradisi dan
kaum muda yang melek teknologi.
Kemah Budaya Kaum Muda yang
akan diselenggarakan pada Juli 2019
merupakan wujud nyata dari upaya
ini. Dalam kegiatan itu, enam ratusan
kaum muda dari berbagai provinsi
akan bergotong-royong menjawab
tantangan pemajuan kebudayaan di
daerah dengan penciptaan produk
atau inisatif yang memanfaatkan
perkembangan terkini Revolusi
Industri 4.0.
MS
sebagai basis inovasi kreatif lewat
teknologi informatika. Kita, misalnya,
belum banyak mendaya-gunakan
khazanah manuskrip, permainan
rakyat dan olahraga tradisional
sebagai modal untuk menghadirkan
aneka bentuk ekspresi budaya
baru lewat teknologi informatika.
Padahal potensi ke arah situ cukup
besar, mengingat kekayaan budaya
yang kita miliki. Menurut data yang
terhimpun di 279 kabupaten/kota
se-Indonesia, kita memiliki 2395
manuskrip, 3800 permainan rakyat
dan 1378 olahraga tradisional.
Sebagai langkah awal untuk
menjawab tantangan itu, Kongres
Kebudayaan Indonesia 2018
mencetuskan Resolusi keempatnya
sebagai rencana aksi utnuk
diwujudkan dalam tempo dua
tahun: “Membangun pusat inovasi
yang mempertemukan kemajuan
teknologi dengan warisan budaya
di tiap daerah melalui sinergi antara
pelaku budaya dan penggerak
ekonomi kreatif guna memanfaatkan
kekayaan budaya dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.”
Ada dua fokus dari Rencana
Aksi ini. Pertama, peningkatan
ketersambungan antara
pelaku budaya dan penggerak
ekonomi kreatif. Perlu dibentuk
mekanisme yang lebih efektif
untuk mempersatukan hulu
pelindungan budaya dan hilir
pemanfaatannya sebagai suatu
proses yang sinambung dari rantai
nilai ekonomi budaya. Untuk itu,
perlu dibangun kerja sama yang
lebih produktif antara kementerian/
lembaga di bidang budaya serta
dengan para pelaku dan pemangku
kepentingan. Kedua, penguatan
Busana batik dalam Indonesia Modesed Fashion Week 2018
Sumber: ekoinfo-net
INDONESIANA - Vol 5/201940
Saat ini, perkembangan
industri dan pembangunan
ekonomi kerapkali
diupayakan dengan mengorbankan
pertimbangan kelestarian
lingkungan hidup dan ekosistem
berbagai kelompok budaya.
Padahal kehidupan berbagai
kelompok budaya tradisional
di Indonesia banyak bertumpu
pada kelestarian alam sekitarnya.
Rusaknya lingkungan berarti
hancurnya kehidupan budaya
masyarakat setempat. Apabila
keadaan ini diteruskan, maka bukan
tidak mungkin dalam 20 tahun ke
Tujuh Resolusi KKI
depan, kita akan kehilangan ruang
hidup bagi segenap budaya tradisi.
Permasalahan ini mengemuka antara
lain dalam dua isu pokok.
Pertama, kecenderungan
untuk mereduksi kebudayaan
menjadi pariwisata dengan
tidak mengindahkan daur hidup
alam dan masyarakat adat di
dalamnya. Pariwisata sejatinya
merupakan hilir dari kebudayaan,
sebagaimana pelestarian adalah
hulu dari kebudayaan. Pariwisata
memanfaatkan apa yang telah
dilindungi dan dilestarikan. Oleh
karenanya, ketika kebudayaan
sepenuhnya ditempatkan di
bawah kepentingan pariwisata,
hasilnya adalah penghacuran daur
hidup alam yang mengakibatkan
peminggiran atas masyarakat
adat yang hidup di dalamnya.
Permasalahan pokoknya bukan
pada keberadaan pariwisata itu
sendiri, melainkan pada paradigma
kepariwisataan apa yang dipakai
dalam mendekati persoalan
lingkungan dan kebudayaan.
Kedua, model pembangunan
yang mengutamakan akumulasi
kekayaan tanpa mempedulikan
benturan antara irama hidup
Sumber: Shutterstock
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN BERBASIS
BUDAYA
INDONESIANA - Vol 5/2019 41
masyarakat dan lingkungan. Selama
capaian pembangunan masih
diukur berdasarkan indikator-
indikator finansial semata, maka
gerak pembangunan akan berarti
juga gerak penghancuran alam
dan kebudayaan. Permasalahannya
karena pembangunan yang
mengejar akumulasi kekayaan itu
menghasilkan irama kehidupan
sosial yang bersifat merusak
terhadap irama hidup kehidupan
budaya dan lingkungan. Kembali
lagi, soalnya bukan pada keberadaan
pembangunan, melainkan pada
ketidakhadiran paradigma
pembangunan berbasis kebudayaan.
Sebagai langkah awal untuk
menjawab tantangan itu, Kongres
Kebudayaan Indonesia 2018
mencetuskan Resolusi kelimanya
sebagai rencana aksi utnuk
diwujudkan dalam tempo dua tahun:
“Membangun mekanisme pelibatan
seniman dan pelaku budaya
dalam kebijakan kepariwisataan
berkelanjutan dan ekonomi kreatif
yang berbasis komunitas, kearifan
lokal, ekosistem budaya, pelestarian
alam, dan pemanfaatan teknologi
sebagai jalan keluar dari pendekatan
industri ekstraktif.”
Ada dua fokus dari Rencana
Aksi ini. Pertama, penguatan
kepariwisataan berkelanjutan
berbasis komunitas budaya.
Kebijakan pariwisata perlu diperkaya
oleh pertimbangan kelestarian
lingkungan agar kegiatan pariwisata
tidak menyebabkan kerusakan alam.
Untuk itu, perlu peningkatan kerja
sama dengan para pelaku budaya di
Revitalisasi komplek bangunan masjid Baitul Rahman Banda Aceh:
mempertimbangkan budaya dan sejarah lokal
setiap tempat wisata dengan tujuan
menerapkan bentuk-bentuk aktivitas
wisata yang dapat menunjang
kelestarian alam. Kedua, penguatan
ekonomi kreatif berbasis budaya
yang dapat menjadi alternatif dari
paradigma pembangunan berbasis
eksploitasi sumber daya alam.
Karena kekayaan alam Indonesia
tidak tak terhingga, sedangkan
kekayaan budayanya tidak mungkin
habis, maka pembangunan yang
berkelanjutan perlu diwujudkan
atas dasar pengelolaan aset
budaya ketimbang mendasarkan
sepenuhnya pada ekstraksi sumber
daya alam. Untuk itu, orentasi
kebijakan pembangunan Indonesia
perlu diarahkan pada penguatan
ekonomi kreatif berbasis budaya.
MS
”Ketika kebudayaan
sepenuhnya
ditempatkan di
bawah kepentingan
pariwisata, hasilnya
adalah penghacuran
daur hidup alam
yang mengakibatkan
peminggiran atas
masyarakat adat
yang hidup di
dalamnya
INDONESIANA - Vol 5/201942
DANA ABADI UNTUK INISIATIF SENI DAN BUDAYA
Pada ranah kelembagaan,
permasalahan pokok
yang merintangi usaha
pemajuan kebudayaan terletak pada
tata kelola kebudayaan di tingkat
pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Struktur birokrasi yang
terfragmentasi, rendahnya sinergi
serta lemahnya perencanaan dan
regulasi yang relevan dengan
pemajuan kebudayaan adalah
sebagian dari kendala pokoknya.
Semua itu mempersulit usaha kita
memajukan kebudayaan nasional.
Permasalahan ini mengemuka antara
lain dalam tiga isu pokok.
Tujuh Resolusi KKI
Pertama, ketakseragaman
nomenklatur birokrasi pemerintah
bidang kebudayaan di tingkat pusat
dan daerah yang mempersulit
koordinasi dan pengambilan
kebijakan terpadu bidang
kebudayaan. Sejak diberlakukannya
otonomi daerah, muncullah
ketakseragaman nomenklatur
dinas yang membidangi urusan
kebudayaan di berbagai daerah.
Sebagian daerah memiliki dinas
pendidikan dan kebudayaan, daerah
lain memiliki dinas kebudayaan
dan pariwisata, sebagian juga
memiliki dinas kebudayaan yang
berdiri sendiri dan ada pula yang
bercampur dengan dinas pemuda
dan olah raga. Di tingkat kabupaten/
kota, misalnya, dinas kebudayaan
yang berdiri sendiri hanya 4,6% dari
total dinas kebudayaan. Sebagian
besar adalah dinas kebudayaan
dan pariwisata, dinas pendidikan
dan kebudayaan maupun dinas
kebudayaan, pariwisata, pemuda
dan olahraga. Sebagian lain
merupakan penggambungan dari 3
atau lebih nomenklatur, tak jarang
juga tanpa hubungan yang jelas
seperti misalnya Dinas Perhubungan,
Kebudayaan, Pariwisata, Komunikasi
INDONESIANA - Vol 5/2019 43
dan Informatika. Ketidakseragaman
nomenklatur ini mempersulit
penyelenggaraan tata kelola
kebudayaan yang sistematis.
Kedua, ketaktersambungan
antarkementerian/lembaga yang
tugas dan fungsinya beririsan
dengan bidang kebudayaan. Ada
50-an kementerian/lembaga
yang memiliki satuan kerja yang
secara khusus mengampu urusan
kebudayaan. Akan tetapi, sebagian
besar satuan kerja itu belum
terhubung satu sama lain dalam
jejaring koordinasi yang sistematis.
Akibatnya, kebijakan budaya
yang dikeluarkan pemerintah
pusat kerapkali tumpang-tindih
atau bahkan bertabrakan satu
sama lain. Hal ini membuat kerja
kebudayaan menjadi tidak efektif
dalam memastikan terselenggaranya
pemajuan kebudayaan.
Ketiga, kurangnya regulasi
kebudayaan di tingkat daerah
yang berporos pada pemajuan
kebudayaan. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2017 tentang
Pemajuan Kebudayaan belum
Peserta pawai budaya KKI 2018
”Membentuk Dana
Perwalian Kebudayaan
guna memperluas
akses pada sumber
pendanaan dan
partisipasi masyarakat
dalam pemajuan
kebudayaan
diturunkan pada tingkat daerah
menjadi peraturan yang dapat
menjadi acuan pengelolaan sepuluh
objek pemajuan kebudayaan.
Regulasi kebudayaan di tingkat
daerah juga belum dibimbing oleh
semangat pengayaan keberagaman
budaya dan belum memprioritaskan
fakta keberagaman budaya yang
merupakan nafas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2017 tentang
Pemajuan Kebudayaan.
Sebagai langkah awal untuk
menjawab tantangan itu, Kongres
Kebudayaan Indonesia 2018
mencetuskan Resolusi keenamnya
sebagai rencana aksi utnuk
diwujudkan dalam tempo dua
tahun: “Membentuk Dana Perwalian
Kebudayaan guna memperluas
akses pada sumber pendanaan
dan partisipasi masyarakat dalam
pemajuan kebudayaan.”
Rencana Aksi ini berfokus
pada penciptaan mekanisme Dana
Perwalian Kebudayaan yang akan
menjadi sumber dana hibah bagi
inisiatif-inisiatif baik di bidang
seni dan budaya. Mekanisme
Dana Perwalian Kebudayaan ini
telah dibahas dalam pertemuan
antara Presiden Joko Widodo
dengan para pelaku budaya
yang merupakan perwakilan dari
Kongres Kebudayaan Indonesia
2018. Presiden Joko Widodo
telah menyatakan bahwa mulai
tahun 2020 akan diciptakan Dana
Perwalian Kebudayaan sebesar
Rp.5 triliun, dan akan ditambahkan
dengan nominal yang sama pada
tahun berikutnya. Bunga dari
dana yang dihimpun ini akan
dipergunakan untuk membiayai
inisiatif-inisiatif baik di bidang seni
dan budaya. MS
INDONESIANA - Vol 5/201944
ALIH-FUNGSI ASET PUBLIK TERBENGKALAI MENJADI
RUANG BUDAYA
Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2017 tentang
Pemajuan Kebudayaan
mengamanatkan pemerintah
untuk menjadi fasilitator pemajuan
kebudayaan dengan mendukung
masyarakat untuk menjalankan
perannya sebagai agen utama
pemajuan kebudayaan. Namun,
dalam banyak kasus, pemerintah
kerap masih berperan sebagai agen
pemajuan kebudayaan dan belum
berhasil membangun mekanisme
pendukung sehingga masyarakat
sendiri bisa tampil sebagai pelaku
Tujuh Resolusi KKI
aktif pemajuan kebudayaan.
Permasalahan ini mengemuka antara
lain dalam tiga isu pokok.
Pertama, ketiadaan sistem
data kebudayaan terpadu yang
menghubungkan berbagai pusat
data pemerintah dan masyarakat,
yang berkelanjutan serta dapat
diakses publik. Setiap unit
pemerintah di pusat dan daerah
dan organisasi kemasyarakatan
bidang kebudayaan punya pusat
datanya sendiri. Pusat-pusat
data itu melakukan pemutakhiran
informasi bidang kebudayaan
setiap tahun. Selama ini belum ada
keterhubungan antarpusat data
itu, dan mekanisme yang menjamin
akses publik. Alhasil pusat-pusat
data kebudayaan tersebut kerapkali
menjalankan pendataan secara
tumpang tindih, datanya kurang bisa
termanfaatkan oleh publik dan tidak
menentu kesinambungannya karena
faktor sumber daya atau perubahan
kebijakan.
Kedua, belum terwujud
akses yang meluas, merata dan
berkeadilan terhadap infrastruktur
dan sarana prasarana kebudayaan.
Sumber: kompas.com
INDONESIANA - Vol 5/2019 45
Menurut data yang terhimpun di
279 kabupaten/kota se-Indonesia,
terdapat 9127 sarana dan prasarana
pemerintah di bidang kebudayaan.
Selain itu, ada 5000 gedung, tanah
dan aset fisik milik pemerintah
yang terbengkalai. Berdasarkan
data ini, isu pokoknya bukanlah
kita kekurangan gedung atau
taman budaya sebab aset publik
ada banyak sekali. Isu utamanya
adalah kurangnya pemanfaatan
ruang publik sebagai ruang budaya
serta lemahnya perencanaan dan
pengelolaan infrastruktur dan sarana
prasarana kebudayaan sehingga
akses masyarakat terhadap fasilitas-
fasilitas umum tidak optimal.
Ketiga, belum optimalnya tata
kelola sumber daya manusia bidang
kebudayaan. Kita memiliki banyak
ahli di berbagai cabang budaya.
Demikian pula dengan lembaga di
bidang kebudayaan yang jumlahnya
mencapai tak kurang dari 27.115
lembaga, menurut data yang
terhimpun di 279 kabupaten/kota
se-Indonesia. Persoalannya adalah
persebaran yang tidak merata
sehingga di banyak tempat terjadi
kelangkaan tenaga ahli, sedangkan
di tempat-tempat tertentu seperti
kota besar terjadi banjir tenaga
ahli. Dengan kata lain, banyak
orang yang memiliki kompetensi
budaya tapi penempatannya keliru
sehingga dampaknya kurang
terasa bagi kepentingan umum.
Ketidakmerataan tenaga ahli dan
para pegiat budaya ini adalah salah
satu isu paling pokok di bidang tata
kelola sumber daya manusia bidang
kebudayaan.
Sebagai langkah awal untuk
menjawab tantangan itu, Kongres
Kebudayaan Indonesia 2018
”Selama ini belum
ada keterhubungan
antarpusat data itu,
dan mekanisme yang
menjamin akses publik.
Alhasil pusat-pusat data
kebudayaan tersebut
kerap menjalankan
pendataan secara
tumpang tindih,
datanya kurang bisa
termanfaatkan oleh
publik
dan menjamin pemerataan akses
masyarakat pada kebudayaan.”
Ada dua fokus dari Rencana
Aksi ini. Pertama, alih-fungsi aset
publik yang terbengkalai sebagai
ruang ekspresi budaya masyarakat.
Arah kebijakan ini adalah pada
pemanfaatan 5.000 aset pemerintah
yang terbengkalai sebagai ruang
terbuka yang dapat diakses seluruh
masyarakat dalam berkegiatan
kebudayaan, baik itu sebagai ruang
latihan, ruang pertunjukan, pameran
dan seni atau budaya lainnya. Kedua,
mengoptimalkan fungsi fasilitas
yang telah ada dengan memperbaiki
tata kelolanya sehingga dapat lebih
berperan sebagai ruang ekspresi
budaya masyarakat. Fasilitas seperti
taman budaya dan museum perlu
dipertegas fungsinya sebagai
ruang budaya yang dapat diakses
masyarakat. Perlu diberikan
kemudahan perizinan untuk kegiatan
kebudayaan, perbaikan kapasitas
kurasi, perencanaan perhelatan
budaya yang sistematis dan
pelibatan para pelaku budaya dan
masyarakat haruslah menjadi tujuan
utamanya.
MS
mencetuskan Resolusi ketujuhnya
sebagai rencana aksi utnuk
diwujudkan dalam tempo dua
tahun: “Memfungsikan aset publik
(seperti gedung terbengkalai,
balai desa, gedung kesenian) dan
fasilitas yang telah ada (taman
budaya dan museum) sebagai pusat
kegiatan dan ruang-ruang ekspresi
kebudayaan, guna memperluas
Revitalisasi kali besar
di kawasan kota tua
Jakarta: dapat dimanfaatkan sebagai ruang
budayaSumber: www.jawapos.com
INDONESIANA - Vol 5/201946
EMPAT PRIORITAS PROGRAM PEMAJUAN
KEBUDAYAAN
Peristiwa
INDONESIANA - Vol 5/2019 47
Isu pendidikan dan kebudayaan
tak pernah selesai. Satu masalah
tuntas, muncul lagi persoalan
lainnya. Itu sebabnya, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan seperti
tahun-tahun lalu mengundang
para pemangku kepentingan untuk
kembali berkumpul merembukkan
permasalahan pendidikan dan
kebudayaan terkini.
Peserta yang hadir ke
Rembuk Nasional Pendidikan dan
Kebudayaan (RNPK) tahun ini
berjumlah 1.232 orang, bertambah
dari tahun-tahun sebelumnya. Ruang
kamar Pusdiklat Kemendikbud,
Parung, Depok, Jawa Barat, yang
hanya 180, tak dapat menampung
semua peserta. Sejumlah wisma
di sekitar pun disewa untuk
penginapan mereka.
Sebetulnya, masih banyak
pemangku kepentingan pendidikan
dan kebudayaan dari daerah
yang tak bisa hadir. Maka, untuk
memastikan mereka menjadi
Rembuk Nasional
Pendidikan dan
Kebudayaan 2019
merekomendasikan
empat program prioritas
pemajuan kebudayaan:
Pekan Kebudayaan
Nasional, platform
Indonesiana, Kemah
Budaya Kaum Muda,
dan Seniman Masuk
Sekolah.
bagian yang terlibat dalam rembuk
besar ini, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir
Effendy akan mengundang secara
khusus mereka yang tak sempat
hadir untuk diberitahu semua hasil
RNPK 2019.
Bagi Mendikbud, pemikiran
dan keterlibatan mereka begitu
dibutuhkan untuk mengatasi
berbagai problem yang menyangkut
puluhan juta pelajar. "Kita harus
bekerja keras agar peningkatan
pendidikan dan penguatannya,
serta pemajuan kebudayaan
semakin membaik," tuturnya di hari
penutupan.
Rembuk yang berlangsung 11-13
Februari itu sebelumnya dibuka
secara resmi oleh Presiden Joko
Widodo. Dalam sambutannya,
dia mengingatkan jangan sampai
bangsa kehilangan akar budaya,
dan anak-anak justru belajar lewat
Internet tentang hal-hal yang bukan
budaya Indonesia.
Para peserta Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan 2019 sedang memainkan angklung interaktif
INDONESIANA - Vol 5/201948
Ekspresi seni dan budaya
Indonesia, katanya, jangan sampai
tergeser dengan budaya asing yang
belum tentu cocok dengan jati diri
anak didik dan bangsa. "Hati-hati.
Anak-anak kita sekarang belajar
tidak hanya di sekolah, tapi sekarang
lebih banyak belajar dari media
sosial," kata presiden Joko Widodo.
Dia juga menegaskan, kita harus
bisa memastikan agar kebudayaan
Indonesia menjadi sumber kekuatan,
sumber persatuan, sumber
energi bangsa Indonesia dalam
memenangkan kompetisi global,
memenangkan persaingan global.
"Itulah jalan kebudayaan kita," ujar
kepala negara.
Usai meresmikan RNPK,
Presiden mengunjungi arena
pemeran yang digelar di sekitar
arena. Di situ dia melihat-lihat
segala upaya Kemendikbud, capaian
kinerjanya, serta hasil kerja samanya
dengan dinas-dinas pendidikan dan
kebudayaan daerah, dengan pihak
sekolah, dunia usaha dan industri.
Mendikbud mengakui, seperti
tampak di pameran, banyak
capaian sudah diperoleh. Tapi
program pembangunan dan
perbaikan gedung sekolah belum
maksimal. Untuk itu, dan agar lebih
fokus bekerja, dia memutuskan
melimpahkan program ini ke
Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (PUPR) mulai
2019. "Kita akan fokus pada regulasi,
pengawasan dan afirmasi," kata
Muhadjir Effendy.
Di bidang kebudayaan, di
pameran tampak antara lain
upaya pemajuan bahasa. Badan
Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa menampilkan produknya:
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Presiden RI memberikan arahan kepada peserta Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan 2019
Pembukaan Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan 2019
oleh presiden RI
(KBBI) edisi kelima, KBBI Braille,
Laboratorium Kebinekaan Bahasa,
dan perangkat Uji Kemahiran
Berbahasa Indonesia (UKBI).
RNPK 2019 memang juga
membahas kebudayaan. Peserta
pun dibagi ke dalam lima
kelompok diskusi. Kelompok topik
pendidikan membahas penataan
dan pengangkatan guru, revitalisasi
pendidikan vokasi, dan sistem zonasi
pendidikan. Sementara di topik
kebudayaan, mereka membahas
pemajuan kebudayaan serta
penguatan sistem perbukuan dan
literasi.
Kelompok diskusi topik
pemajuan kebudayaan, yang
disebut Kelompok IV, terbagi lagi ke
dalam subtopik bahasan merawat
persatuan, toleransi dan kebinekaan,
serta tata kelola pemajuan
kebudayaan.
Kelompok ini menghasilkan
sejumlah rekomendasi. Di
antaranya, pemerintah perlu segera
INDONESIANA - Vol 5/2019 49
Hasil Rekomendasi
Kelompok I yang membahas topik penataan dan pengangkatan guru, menghasilkan sembilan rekomendasi. Di antaranya, perlunya pembukaan formasi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk guru secara periodik setiap tahun sesuai peta kebutuhan guru di sekolah dan daerah, pengangkatan guru sesuai dengan kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik, serta evaluasi sertifikat profesi guru secara berkala dan berlaku selama lima tahun.
Kelompok II yang membahas topik sistem zonasi pendidikan menghasilkan enam rekomendasi. Antara lain, perlunya pemahaman tujuan dan strategi yang sama tentang tata kelola pendidikan berbasis zonasi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Pelaksanaan PPDB direkomendasikan harus ditempuh dengan tiga jalur, yaitu jalur zonasi (sebesar 90 persen), jalur prestasi (5 persen) dan jalur perpindahan orang tua (5 persen).
Kelompok III yang membahas topik revitalisasi vokasi merekomendasikan harmonisasi sistem sertifikasi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dengan dunia usaha dan industri untuk pengakuan sertifikasi. Perlu pula harmonisasi sistem sertifikasi antara SMK, SMA-LB, Paket C Vokasi, dan antara lembaga kursus dan pelatihan.
Kelompok IV yang membahas topik pemajuan kebudayaan, merekomendasikan penerbitan regulasi turunan dari UU No. 11 Tahun 2010 dan UU No. 5 Tahun 2017.
Kelompok V yang membahas topik penguatan sistem perbukuan dan gerakan literasi merekomendasikan penyediaan buku bermutu, murah, dan merata di seluruh Indonesia, terutama di daerah 3T dengan berbagai strategi dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
menerbitkan regulasi turunan dari Undang-
Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya dan Undang-Undang No. 5 Tahun
2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Bentuknya berupa Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan
Peraturan Daerah.
Regulasi yang diperlukan mesti
mengatur aspek kelembagaan terkait
dengan entitas tunggal kebudayaan di
tingkat Kementerian, Dinas Provinsi/
Kabupaten/Kota. Selain itu juga mengatur
peningkatan kapasitas sumberdaya manusia
di bidang kebudayaan serta pemerataan
persebaran kompetensi dan keahlian.
Peserta rembuk merekomendasikan
penyusunan kebijakan tentang skema
pembiayaan pemajuan kebudayaan dengan
mengalokasikan minimal 2,5 persen
anggaran khusus dari APBN/APBD, atau
Bantuan Operasional Kebudayaan (BOK).
Yang tak kalah penting, rekomendasi
perlunya penetapan mengenai Standar
Biaya Masukan Lainnya (SBML) untuk
berbagai profesi di bidang Kebudayaan.
Rekomendasi lain, di antaranya,
perlunya konsolidasi program
pembangunan di bidang kebudayaan lintas
kementerian/lembaga dan pemerintah
daerah sebagai regulator dan fasilitator.
Diperlukan juga penguatan pelibatan
publik dalam pelaksanaan pemajuan
kebudayaan melalui dewan kesenian, dewan
kebudayaan, majelis adat, komunitas, dan
masyarakat lainnya dengan memanfaatkan
ruang-ruang publik.
Sementara rekomendasi peserta
rembuk yang segera dilaksanakan pada
tahun ini adalah Pekan Kebudayaan
Nasional, platform Indonesiana, Kemah
Budaya Kaum Muda, dan Seniman Masuk
Sekolah. Inilah program prioritas dalam
memperkuat ekosistem kebudayaan
untuk merawat persatuan, toleransi, dan
kebinekaan.
AT/AYA
INDONESIANA - Vol 5/201950
MEMAJUKAN KEBUDAYAAN MELALUI
DIPLOMASI BUDAYA
Diplomasi budaya
merupakan usaha
suatu negara untuk
memperjuangkan kepentingan
nasionalnya melalui dimensi
kebudayaan, termasuk di dalamnya
adalah pemanfaatan bidang-
bidang ideologi, teknologi, politik,
ekonomi, militer, sosial, kesenian
dan lain-lain dalam percaturan
masyarakat internasional. Diplomasi
budaya dapat juga dikatakan
sebagai diplomasi lembut (soft),
sebagaimana disampaikan oleh
Joseph Nye dari Harvard University
“Soft power is the ability to attract
and co-opt, rather than coerce (hard
power). Soft power is the ability
to shape the preferences of others
through appeal and attraction. A
defining feature of soft power is that
para pengambil keputusan pada
pemerintah atau organisasi
internasional.
Diplomasi budaya Indonesia
dengan jelas disebutkan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, yaitu bahwa bangsa Indonesia
melihat dirinya sebagai bagian yang
tak terpisahkan dari masyarakat
dunia. Salah satu upaya untuk
mewujudkan peran Indonesia dalam
masyarakat dunia tersebut adalah
diplomasi budaya. Selain itu, dalam
Pasal 32 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2017 tentang
Pemajuan Kebudayaan menyebutkan
perlunya untuk meningkatkan peran
aktif dan pengaruh Indonesia dalam
hubungan internasional. Selanjutnya
dalam Pasal 35 ayat 1 disebutkan
pemanfaatan objek pemajuan
kebudayaan untuk meningkatkan
peran aktif dan pengaruh Indonesia
dalam hubungan internasional,
melalui diplomasi budaya
dan peningkatan kerja sama
internasional di bidang Kebudayaan.
Diplomasi budaya juga
merupakan salah satu dari
resolusi strategi kebudayaan
yang merupakan hasil dari
Kongres Kebudayaan Indonesia,
yaitu mengembangkan dan
memanfaatkan kekayaan budaya
untuk memperkuat kedudukan
Indonesia di dunia internasional,
dengan melakukan fasilitasi
pemanfaatan objek pemajuan
kebudayaan untuk memperkuat
promosi Indonesia, serta
meningkatkan dan menguatkan
diplomasi budaya Indonesia.
Titikberat diplomasi budaya
dalam rangka pemajuan
kebudayaan Indonesia adalah (1)
meningkatkan diplomasi budaya
it is non-coercive; the currency of
soft power is culture, political values,
and foreign policies”.
Diplomasi budaya dapat
dilakukan oleh pemerintah maupun
lembaga non-pemerintahan,
individual maupun kolektif. Pola
hubungannya bisa antarpemerintah,
pemerintah dan swasta, swasta
dengan swasta, atau gabungan
seluruhnya.
Tujuan dari diplomasi budaya
adalah untuk mempengaruhi
pendapat masyarakat negara lain
agar mendukung suatu kebijakan
politik luar negeri tertentu. Sasaran
utama diplomasi budaya adalah
pendapat umum, baik pada level
nasional maupun internasional,
dengan harapan pendapat umum
tersebut dapat mempengaruhi
INDONESIANA - Vol 5/2019 51
dengan memperkuat perwakilan
luar negeri sebagai pusat budaya
Indonesia; (2) Meningkatkan jumlah
dan mutu program pertukaran
dan residence untuk seniman,
peneliti dan pelaku budaya, dan
(3) Menjadikan diaspora Indonesia
sebagai ujung tombak pemajuan
kebudayaan Indonesia di luar
negeri, untuk menjadikan kekayaan
budaya Indonesia sebagai teladan
bagi dunia dalam membangun dan
merawat masyarakat yang bineka.
Hal itu dapat dilakukan dengan
meningkatkan daya tarik budaya
Indonesia bagi dunia melalui
peningkatan mutu, aksesibilitas,
serta afordability penduduk dunia
terhadap potensi budaya Indonesia
dengan menggunakan beragam
media dan program yang melibatkan
influencer sebagai duta budaya
Indonesia.
Tercapai tujuan tersebut
diperlukan adanya strategi diplomasi
yang merupakan langkah-langkah
yang dilakukan untuk mencapai
tujuan dengan mempertimbangkan
kesesuaian proses dan ketepatan
hasil. Hal ini dilakukan melalui tiga
langkah, yaitu: (1) Visibility atau
kenampakan, Indonesia memiliki
kekuatan sebagai negara dengan
kekayaan dan kanekaragaman
budaya, namun dalam hal diplomasi,
masih ada satu titik lemah, yaitu
kurang kuat visibility-nya, sehingga
diplomasi budaya Indonesia perlu
dilaksanakan untuk memperkuat
kehadiran negara ini secara
internasional; (2) Likeability atau
kemudahan. Kebudayaan Indonesia
menjadi pintu untuk likeability,
sehingga masyarakat internasional
tertarik kepada Indonesia.
Namun likeability terhadap
Indonesia masih dihadapkan
kepada beberapa masalah,
seperti sifatnya yang instan,
tersegmentasi dan tergantung
momentum. Selain itu, ada banyak
tantangan dalam meningkatkan
likeability, di antaranya adalah
pemberitaan media internasional
tentang Indonesia yang kurang
menimbulkan citra positif; dan (3)
Aksi, merupakan langkah yang
diambil sebagai hasil dari analisis
terhadap penerapan langkah satu
dan dua. Meningkatkan peran Atase
Pendidikan dan Kebudayaan di luar
negeri dengan mengidentifikasi
sejauh mana masyarakat di negara
tersebut mengenal kebudayan
Indonesia, mengidentifikasi jejaring
kebudayaan Indonesia yang dapat
dimanfaatkan di negara tersebut
(diaspora, Indonesianis, dll.),
dan menjajagi prospek pelibatan
influencer dari negara tersebut
untuk meningkatkan visibility
Indonesia. Selain itu perlu menyusun
dan melaksanakan program
diplomasi budaya Indonesia, dengan
bekerja sama lintas lembaga/
kementerian, mengidentifikasi media
potensial, baik cetak, elektronik
maupun online yang dapat
digunakan untuk meningkatkan
visibility Indonesia di luar negeri,
menganalisis potensi kesukaan dan
ketidaksukaan terhadap Indonesia
yang masih ada di negara-negara
prioritas, dengan menggandeng
konsultan profesional. Aksi penting
lainnya adalah merancang program-
program diplomasi budaya yang
disesuaikan dengan masing-
masing negara prioritas dengan
berdasarkan hasil analisis kedua hal
di atas. Program diplomasi budaya
yang telah dirancang dengan
analisis visibility dan likeability perlu
dilaksanakan secara terukur dan
berkelanjutan dengan meletakkan
tujuan jangka pendek dan jangka
panjang. Program diplomasi budaya
yang dijalankan perlu dilengkapi
dengan mekanisme monitoring dan
evaluasi secara berkala (3 bulan, 6
bulan, 1 tahun), contoh program-
program yang bisa dilakukan adalah
residence seniman, pendukungan
diaspora, dan lain-lain.
WY
Tenun Baduy ‘Lekat’ hadir di London Fashion Week
Penampilan Otniel Indonesia menjadi tamu kehormatan di Festival Europalia
Voice of Papua menghibur masyarakat Eropa di Festival Europalia
INDONESIANA - Vol 5/201952
Laras Slendro
dan Pelog
dalam
Harmoni
Musik
Nusantara
G A M E L A N
Sumber: shutterstock.com
INDONESIANA - Vol 5/2019 53
Gamelan merupakan musik
asli Indonesia. Bukti-
bukti arkeologis berupa
prasasti, relief candi dan artefak
menunjukan gamelan sudah dikenal
di Indonesia sejak abad ke-8 Masehi.
Dalam perkembangannya, gamelan
terus tumbuh di berbagai wilayah
Indonesia hingga hampir ke seluruh
dunia.
Pada awalnya gamelan
merupakan perangkat musik yang
mengiringi upacara ritual adat
dan keagamaan serta instrumen
pendidikan karakter dan identitas
warga istana dan keluarga
bangsawan. Kemudian perannya
berkembang luas menjadi seni
pertunjukan yang populer di
Nusantara, terutama di Jawa dan
Bali. Gamelan juga digunakan
sebagai musik konser dan menjadi
bagian penting dalam pertunjukan
tari, teater, dan ekspresi seni lainnya.
Selain itu dalam perkembangannya
gamelan dihadirkan untuk terapi
penyembuhan kejiwaan. Peran
gamelan juga besar dalam dalam
memperhalus budi pekerti,
meningkatkan konsentrasi belajar,
mengembangkan kecakapan hidup,
meningkatkan percaya diri dan
motivasi.
Gamelan juga bisa dikatakan
sebagai musik kebersamaan karena
dimainkan secara kolektif oleh
seluruh kalangan masyarakat, dan
tidak mengenal perbedaan gender
dan usia. Sampai sekarang, gamelan
tersebar hampir di seluruh wilayah
Indonesia.
Jika dilihat dari bahan dan jenis
alat musiknya, gamelan merupakan
orkestra perkusi Indonesia berlaras
slendro atau pelog yang memiliki
pola frekuensi dan interval tertentu.
Sebagian besar alat musik perkusi
ini dibuat dari logam (perunggu,
kuningan, dan besi) yang ditempa
hingga menghasilkan instrumen
idiofon berbentuk wilahan (saron,
demung, peking) dan pencon
(bonang, kenong, ketuk, kempyang,
kempul, gong). Sebagian alat musik
lain berupa idiofon kayu (gambang),
membranofon perpaduan kayu dan
kulit (kendang), kordofon perpaduan
kayu dan kulit (rebab), kordofon
logam (siter), dan aerofon bambu
(suling).
Negara melalui Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia nomor 106
tahun 2013 tentang Warisan Budaya
Takbenda Indonesia telah melakukan
pelindungan yang terdiri dari:
Pertama, transmisi wawasan
tentang seni gamelan yang
dilakukan melalui pendidikan
formal dan non-formal. Beberapa
Provinsi mengadakan gerakan
seniman gamelan masuk sekolah,
festival, lomba, pagelaran, dan
parade gamelan. Pemerintah
memfasilitasi tempat pertunjukan
karawitan, memberikan pelatihan
dan pengajaran gratis. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan juga
memberikan perangkat gamelan
ke beberapa sanggar sejak tahun
2012 hingga saat ini. Sedangkan di
tingkat kota/kabupaten, Pemerintah
Kota Surakarta telah memberikan
perangkat gamelan sebanyak 21 ke
kelurahan-kelurahan di daerahnya.
Pelbagai perguruan tinggi seni di
Indonesia memfasilitasi kepada
mahasiswanya untuk mengajar
gamelan di komunitas, sekolah dan
sanggar.
Kedua, identifikasi, dokumentasi,
dan penelitian yang dilakukan
oleh pemerintah melalui
perguruan tinggi dan pemerintah
daerah. ISI Surakarta melakukan
pendokumentasian gending-geding
keraton. Di beberapa perguruan
Pentas gamelan dimainkan oleh kelompok peminat musik tradisional
Jawa dari mancanegara
Sumber: shutterstock.com
INDONESIANA - Vol 5/201954
tinggi seni, gamelan menjadi
objek penelitian dan penciptaan
mahasiswa guna memperoleh
gelar strata satu hingga strata
tiga. Pemerintah Kota Surakarta
bekerja sama dengan dewan
kesenian melakukan pendataan
dan pemetaan sanggar seni dan
karawitan di 51 kelurahan.
Ketiga, preservasi, proteksi
dan revitalisasi yang dilakukan
oleh pemerintah melalui Perguruan
Tinggi Seni dan sekolah menengah
konservatori telah menghasilkan
revitalisasi dan rekonstruksi
gamelan-gamelan yang memiliki
nilai sejarah dan fungsi tertentu
yang jarang dimainkan. Misalnya,
komunitas gamelan di ISI Denpasar
merekonstruksi gamelan kuno
(Gamelan Ketug Bumi), dan
komunitas gamelan di ISI Surakarta
merekonstruksi gamelan dan
gending Keraton Surakarta.
Gamelan dipakai sebagai sarana
diplomasi budaya baik bilateral
maupun multilateral sehingga
memperkuat perdamaian dunia dan
kemanusiaan serta memperkokoh
posisi Indonesia dalam percaturan
dunia internasional. Promosi juga
dilakukan oleh pemerintah dengan
mengirimkan duta gamelan ke
berbagai event internasional
antara lain KIAS (Amerika Serikat),
Europalia (Belgia, Perancis,
Inggris, Jerman, dan Belanda),
Island to Island Festival (Inggris
dan Skotlandia), Expo (Jepang,
Spanyol, Kanada), ASEAN Forum on
Traditional Music (Thailand). Selain
itu, diplomasi juga dilakukan dengan
mengirimkan perangkat gamelan ke
beberapa Kedutaan Besar RI.
Komunitas gamelan bekerja
sama dengan pemerintah daerah
dan pusat menyelenggarakan event
dan festival, seperti pada tahun
2017 menyelenggarakan seminar
dan workshop di London dan
Glasgow dalam rangka pelaksanaan
International Gamelan Festival (IGF).
Pada tahun 2018 penyelenggaraan
IGF melibatkan 4.900 seniman
dari 139 komunitas gamelan yang
berasal dari 12 negara. Kegiatan ini
khususnya didukung oleh Direktorat
Jenderal Kebudayaan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada tahun 2019 Pemerintah
Indonesia akan mengusulkan
gamelan untuk masuk ke dalam
Daftar ICH UNESCO. Proses
pemilihan gamelan dilakukan
melalui pengkajian Tim Penilai yang
terdiri dari Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktur Jenderal
Kebudayaan, Direktur Warisan dan
Diplomasi Budaya, Edy Sedyawati,
Wiendu Nuryati, dan Harry Waluyo.
Pada saat itu ada 5 warisan yang
”gamelan merupakan
orkestra perkusi
Indonesia berlaras
slendro atau pelog
yang memiliki
pola frekuensi dan
interval tertentu
Instrumen gamelan saron biasanya
mempunyai dua pasang, laras pelog dan slendro; saron
menghasilkan nada satu oktaf lebih tinggi
daripada demung atau saron panembung
Instrumen gamelan kenong merupakan pengisi akor atau harmoni dalam permainkan gamelan
INDONESIANA - Vol 5/2019 55
dinilai yaitu, Reyog Ponorogo,
Tempe, Lukisan Klasik Bali,
Kolintang, dan Gamelan.
Pada proses pengusulan ini
komunitas bekerja sama dengan
pemerintah daerah dan akademisi
untuk mengajukan warisan budaya
takbenda. Proses ini dimulai dengan
menyebarkan informasi kepada
seluruh provinsi di Indonesia
mengenai proses nominasi dengan
berbagai persyaratan. Proses
pengajuan nomiasi tersebut harus
dilakukan oleh komunitas dengan
bantuan berbagai pemangku
kepentingan seperti pemerintah
daerah baik kabupaten/kota maupun
provinsi, akademisi atau lembaga
penelitian, dan berbagai lembaga
swadaya masyarakat. Persayaratan
pengajuan tersebut terdiri dari
proposal (berisi naskah akdemik,
form penetapan WBTb Indonesia,
foto terbaru, video warisan, dan
daftar inventaris WBTb), lembar
dukungan komunitas, daftar tim
penyusun naskah akademik (terdiri
dari pemerintah daerah, komunitas,
praktisi, dan akademisi), dan laporan
pengelolaan WBTb yang sudah
dilakukan, serta rencana aksi selama
5 tahun.
Proses nominasi gamelan
dilakukan atas inisiatif komunitas
gamelan khususnya komunitas di
Solo, yaitu Garasi Seni Benawa.
Garasi Seni Benawa bekerja sama
dengan Dinas Provinsi Jawa Tengah
mempersiapkan naskah akademik
dan menginformasikan kepada
komunitas lain sampai ke luar negeri
mengenai rencana pengusulan.
Berbagai komunitas memberikan
data untuk melengkapi naskah
akademik tersebut.
BS
Sumber: shutterstock.com
Sumber: shutterstock.com
INDONESIANA - Vol 5/201956
PERINGATANHARI WARISAN DUNIA
Hari Warisan Dunia
atau World Heritage
Day yang jatuh pada
tanggal 18 April 2019 diperingati
oleh seluruh dunia, khususnya
negara yang memiliki Warisan
Dunia diwilayahnya. Tanggal ini
ditetapkan oleh International
Council on Monument and Sites
(ICOMOS) sebagai International
Day for Monuments and Sites. Hari
ini dipakai sebagai momentum
untuk menandai pentingnya nilai
warisan dunia, khususnya budaya,
bagi kemasyarakatan dan jati diri,
untuk meningkatkan kesadaran
akan keberagaman dan kerentanan
warisan budaya, serta untuk
mendorong kegiatan-kegiatan bagi
perlindungan warisan budaya.
Guna perayaan Hari Warisan
Dunia ini setiap tahun ICOMOS
mengeluakan tema yang dipakai
sebagai pedoman dalam semua
negara merayakannya. Untuk
tahun 2017 tema yang dipakai
sebagai perayaan adalah
#heritage4generation. Tagar ini
berlanjut hingga tahun 2018 karena
upaya pewarisan dianggap hal yang
perlu menjadi perhatian. Sedang
untuk tahun 2019 tema yang dipakai
World Heritage Day
adalah #rurallandscapes. Tema-tema
ini dipakai oleh seluruh negara yang
memiliki warisan dunia dan turut
serta merayakan Hari Warisan Dunia
di negara masing-masing.
Di Indonesia, Hari Warisan
Dunia Tahun 2017 dirayakan dengan
mengangkat tema Cultural Heritage
and Sustainable Tourism yang pusat
perayaannya bertempat di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Perayaan ini
adalah untuk mengaktualisasikan
pelestarian dengan era kekinian
di abad ke-21 dan sesuai dengan
agenda dunia tahun 2030, yaitu
pembangunan berkelanjutan. Ini
diharapkan dapat menyeimbangkan
kepentingan pelestarian dan
kebutuhan pemanfaatan dari warisan
dunia budaya. Salah satunya adalah
dengan program pengembangan
pariwisata yang memungkinan
terjadinya keterlibatan masyarakat
sekitar warisan dunia, yaitu di sekitar
Kawasan Warisan Dunia Candi
Prambanan.
Kawasan Candi Prambanan
ditetapkan sebagai warisan dunia
pada tahun 1991, bersama dengan
Kawasan Candi Borobudur. Di
dalam Kawasan Warisan Dunia
Candi Prambanan terdapat Candi
INDONESIANA - Vol 5/2019 57
Bubrah, Candi Lumbung, dan Candi
Sewu. Ditetapkan sebagai Warisan
Dunia oleh UNESCO karena Nilai
Universal Luar Biasa yang dimiliki,
yaitu sebagai karya adi luhung
umat manusia. Kawasan Candi
Prambanan menggambarkan
wilayah yang luar biasa dalam hal
memperlihatkan toleransi beragama,
di mana bangunan Hindu berdiri
berdampingan dengan bangunan
Budha yang sekarang terpelihara
di tengah keberadaan masyarakat
muslim Indonesia. Hal ini menjadi
contoh luar biasa bagi kehidupan
tolerasi umat beragama di dunia.
Untuk tahun 2019, Perayaan Hari
Warisan Dunia akan dilaksanakan di
Bali dengan tagar #rurallandscapes.
Berlangsung mulai tanggal 21 April
hinggal 27 April, pameran tentang
warisan dunia akan digelar di
Universitas Udayana. Senyampang
itu, diskusi umum tentang etika
pemanfaatan warisan dunia akan
dibawakan oleh Direktur Jenderal
Kebudayaan dengan peserta
undangan dari unsur pemerintah
daerah, akademisi dan mahasiswa,
serta komunitas pelestari warisan
budaya. Kemudian seminar yang
diisi pakar warisan dunia serta ahli
lingkungan dan pengairan, juga
diselenggarakan di Universitas
Udayana; lalu akan ada dialog antara
Direktur Warisan dan Diplomasi
Budaya didampingi Gubernur Bali
dengan masyarakat pelaku sistem
subak di wilayah Tabanan; terakhir
diadakan pagelaran wayang Bali
dengan dalang ternama dari
Denpasar, I Made Sidia, putra dari
I Made Sidja, maestro seni tradisi
Indonesia.
RR
Borobudur; warisan
budaya yang sudah diakui
UNESCO
Sumber: shutterstock.com
Sumber: Arsip Kemendikbud
INDONESIANA - Vol 5/201958
BUKAN SEKADAR APRESIASI TERHADAP
PELAKU BUDAYA
Di tengah pesatnya kemajuan teknologi digital,
kehidupan kita semakin merasakan disrupsi
yang mengubah lanskap ekonomi, sosial
dan politik. Segenap disrupsi ini dapat bermuara pada
konflik dan kekerasan apabila tidak dikelola secara baik.
Pengelolaan atas keragaman budaya pada gilirannya
mensyaratkan pelestarian khazanah budaya warisan
bangsa. Anugerah Kebudayaan menjaga eksistensi dan
kewibawaan segenap warisan budaya itu. Anugerah
Kebudayaan mempertimbangkan aspek-aspek sepuluh
objek pemajuan kebudayaan yang tertuang dalam UU
No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Berawal dari kewajiban Pemerintah Republik
Indonesia untuk mengapresiasi para pelaku budaya yang
telah menyumbangkan hidupnya dalam memajukan
budaya Indonesia, digagaslah Hadiah Seni pada 1969.
Dari pertama kali diselenggarakan pada 1969 hingga
1998, Hadiah Seni telah memberikan apresiasi pada 251
ANUGERAH KEBUDAYAAN:
Sumber: aman.or.id
INDONESIANA - Vol 5/2019 59
kategori Komunitas (2015 –
sekarang), kategori Pemerintah
Daerah (2015 – sekarang), dan
kategori Perorangan Asing (2015
– sekarang). Kategori Media Massa
juga dihidupkan kembali walaupun
hanya sampai 2016.
Anugerah Kebudayaan juga
memiliki kategori khusus yang
mengusulkan calon penerima
Gelar Tanda Kehormatan (GTK)
Presiden Republik Indonesia. Dalam
kategori ini, hasil penilaian hanya
berupa usulan yang diserahkan
kepada GTK Sekretariat Militer,
Sekretariat Negara untuk dibahas
kembali apakah calon tersebut
layak mendapatkan penghargaan
kebudayaan dari Presiden RI.
Penghargaan kebudayaan dari
Presiden itu memiliki tiga tingkatan,
diawali dari tingkatan tertinggi
Bintang Mahaputra, lalu Bintang
Budaya Paramadharma, yang
terakhir Satyalancana Kebudayaan.
Membangun Karakter Bangsa
Pemberian Anugerah
Kebudayaan juga merupakan salah
satu implementasi UU No. 5 tahun
2017 tentang Pemajuan Kebudayaan
serta hasil Kongres Kebudayaan
Indonesia (KKI) tahun 2018. Kongres
ini menghasilkan tujuh resolusi
dengan poin kedua yang berbunyi:
“Memastikan terjadinya alih
pengetahuan dan regenerasi melalui
pelindungan dan pengembangan
karya kreatif untuk kesejahteraan
para pelaku budaya, serta pelibatan
maestro dalam proses pendidikan
dan pembelajaran formal”.
Direktorat Warisan dan
Diplomasi Budaya telah menginisiasi
Temu Maestro Seni Tradisi dengan
para pelajar di Lebak, Banten, yang
bertujuan untuk memperkenalkan
kembali kesenian tradisi kepada
generasi muda. Pertemuan itu diisi
dengan diskusi dan praktik singkat.
Maestro Seni Tradisi melibatkan
beberapa tokoh, di antaranya
H. Rodjali (Maestro Gambang
Kromong), H. Engkos Kosasih
(Maestro Blenggo), H. Sanusi
(Maestro Silat Betawi), Abah Engkus
(Maestro Silat dan Debus) dan Tan
De Seng (Maestro Kecapi). Mak Ijah,
seniwati dari Lebak, juga disertakan
dalam kegiatan ini.
Ketika berdiskusi, para maestro
menceritakan masa mudanya dan
pengalaman mereka keliling dunia
mementaskan keahlian mereka. Para
peserta mulai menyadari bahwa
kesenian tradisional bukanlah hal
kuno yang ditinggalkan. Mereka juga
mulai mengetahui bahwa belajar
seni juga memiliki manfaat yang
baik untuk pengembangan diri
karakter, seperti melatih kesabaran,
menghormati yang lebih tua,
menambah teman dan sejenisnya.
YBR
seniman dan seniwati Indonesia.
Walaupun dalam periode tersebut
mayoritas penerima penghargaan
masih berasal dari Pulau Jawa, Bali
dan Sumatera, citra penghargaan
kebudayaan ini terus dibangun
sebagai standar bagi kelayakan
seorang pelaku budaya yang
telah menciptakan mahakarya
dan berkontribusi besar bagi
kebudayaan Indonesia. Beberapa
di antaranya adalah Affandi, Chairil
Anwar, Sidik Sitompul dan Anak
Agung Gde Rai.
Pasca-reformasi hingga
2004, penghargaan kebudayaan
ini sempat mengalami mati suri.
Pada masa itu, terjadi perubahan
nomenklatur bidang kebudayaan
yang pada mulanya bergabung
dengan Departemen Pendidikan
lantas bergabung dengan
Kementerian Pariwisata. Baru pada
2004, penghargaan kebudayaan
dihidupkan kembali dengan nama
Anugerah Kebudayaan. Anugerah
Kebudayaan pada masa ini memiliki
dua kategori, yaitu Pelestari (2004
– sekarang) dan Penerbit Buku
Anak yang Berdedikasi di Bidang
Kebudayaan (2004).
Kategori terus berkembang
dengan penambahan kategori
media massa dan iklan (2005 dan
2007), Hadiah Seni (2006 - 2014)
dan Maestro Seni Tradisi (2007 -
sekarang). Kategori Penerbit Buku
Anak diubah menjadi Pengarang
Buku Anak (2005 – 2007) lalu
diubah kembali menjadi Anak yang
Berprestasi di Bidang Kebudayaan
(2008 –sekarang). Tahun 2015
menjadi tahun yang penting, di
mana terciptanya kategori-kategori
baru, seperti Pencipta, Pelopor
dan Pembaru yang menggantikan
Hadiah Seni (2015 – sekarang),
”Citra penghargaan
kebudayaan ini terus
dibangun sebagai
standar bagi kelayakan
seorang pelaku budaya
yang telah menciptakan
mahakarya dan
berkontribusi besar bagi
kebudayaan Indonesia.
INDONESIANA - Vol 5/201960
P E R A H U P I N I S I
Dalam Tradisi Lisan
Tradisi Lisan
Sumber: shutterstock.com
INDONESIANA - Vol 5/2019 61
Sekelompok masyarakat di wilayah selatan Sulawesi
telah berhasil membangun sebuah tradisi bahari
selama ratusan tahun. Tradisi panjang ini berasal
dari mitos tentang penciptaan perahu pertama oleh nenek
moyang mereka.
Dalam mitologi masyarakat Tanah Beru, di Sulawesi
Selatan, dikisahkan bahwa leluhur mereka pernah membuat
sebuah perahu besar untuk mengarungi lautan, membawa
barang-barang dagangan serta menangkap ikan. Ketika
perahu pertama selesai dibuat dan dilayarkan ke tengah laut
terjadilah musibah. Badai besar menghantam perahu dan
menghancurkannya. Dipercayai bahwa bagian badan perahu
terdampar di Dusun Ara, layarnya mendarat di Tanjung Bira
dan isinya di Tanah Lemo.
Peristiwa tersebut seolah menjadi pesan simbolis bagi
masyarakat di ketiga desa itu bahwa mereka harus dapat
mengalahkan lautan dengan kerja sama. Sejak kejadian
itu, orang Ara kemudian hanya mengkhususkan diri
sebagai pembuat perahu. Orang Bira mengkhususkan diri
belajar perbintangan dan tanda-tanda alam. Sedangkan
orang Lemo-lemo adalah pengusaha yang memodali dan
menggunakan perahu tersebut. Tradisi pembagian tugas
yang telah berlangsung selama bertahun-tahun itu akhirnya
sampai pada pembuatan sebuah perahu kayu tradisional
yang disebut Pinisi.
Proses pembuatan perahu Pinisi sarat akan keyakinan
mistis yang berasal dari mitologi purba. Diawali dengan
Teknik pembuatan perahu Pinisi telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya takbenda tahun 2017
Sumber: shutterstock.com
Sumber: shutterstock.com
Sumber: shutterstock.com
INDONESIANA - Vol 5/201962
sebuah ritual kecil, perahu Pinisi
dibuat setelah melewati upacara
pemotongan lunas perahu. Kepala
tukang akan memotong kedua ujung
lunas. Potongan ujung lunas depan
dibuang ke laut sebagai tanda agar
perahu bisa menyatu dengan ombak
di lautan. Sedang potongan lunas
belakang dibuang ke darat untuk
mengingatkan agar sejauh apapun
perahu melaut harus kembali
dengan selamat ke daratan. Pada
akhir ritus, Panrita Lopi (pemimpin
upacara) pun mengumandangkan
doa-doa ke hadapan Sang Pencipta.
Berbagai sesaji menjadi syarat
yang tak boleh ditinggalkan dalam
upacara ini.
Masyarakat Bugis percaya
ada beberapa hal yang harus
dilakukan secara turun-menurun dan
dipertahankan dalam pembuatan
Pinisi, yaitu Ruling atau tata
cara pembuatan Pinisi, seperti
pencarian dan penebangan pohon,
pengeringan kayu dan pemotongan
kayu, perakitan, pemasangan tiang
kapal, dan peluncuran ke laut.
Kayu yang digunakan sebagai
bahan pembuat Pinisi adalah kayu
Bitti, Katonde, dan Welengreng.
Ketiga jenis kayu ini terkenal
kuat dan tahan air. Pencarian dan
penebangan pohon pun dilakukan
pada tanggal lima dan tanggal tujuh
setiap bulan ketika perahu mulai
dibuat. Orang Tanaberu meyakini
bahwa angka lima (Naparilimai
Dalle’na) berarti “rejeki sudah di
tangan”, sedangkan angka tujuh
(Natujuanggi Dalle’na) berarti “selalu
mendapat rejeki”. Pemotongan
kayu juga ada aturannya, yaitu
pantang berhenti sebelum putus.
Hal ini dilakukan agar kekuatan kayu
tetap terjamin. Jika kualitas kayu
dinilai kurang baik, pembuat perahu
Tanaberu lebih memilih untuk tidak
menebang pohon.
Badan perahu yang telah dilapisi
dengan dempul dihaluskan dengan
kulit buah pepaya. Penggunaan
bahan-bahan kulit pohon barruk
(terong) dan kulit buah pepaya, ada
kaitannya dengan mitos penciptaan
Pinisi yang menggunakan kekuatan
magis. Masyarakat di Tanaberu
merasa bahwa komunitas mereka
sebagai mikrokosmos, yaitu jagad
kecil yang merupakan bagian
dari jagad raya (makrokosmos).
Kedua kosmos ini harus dijaga
keharmonisannya melalui adat
istiadat, sehingga muncul
kecenderungan mempertahankan
yang lama dan menolak atau
mencurigai yang baru. Inilah yang
kemudian menjadi penyebab
mengapa mereka tidak gampang
terpengaruh oleh teknologi modern.
Tradisi pembuatan perahu di
Bulukumba sebenarnya sudah
ada sejak abad ke-19. Di dunia
internasional, perahu Pinisi baru
dikenal sejak 1906. Perahu itu
adalah bentuk paling modern
dari kapal tradisional orang Bugis-
Makassar yang telah mengalami
proses evolusi panjang. Asal mula
perahu Pinisi sebenarnya adalah
dari perahu Padewakkang, yang
merupakan perahu utama bangsa
Bugis pada abad ke-18. Perahu
tersebut merupakan perahu jarak
jauh yang digunakan sebagai perahu
perdagangan. Disinyalir perubahan
perahu padewakkang menjadi Pinisi
adalah demi kemudahan dalam
pemakaiannya.
Nilai luar biasa yang ada dalam
pembuatan Pinisi adalah bahwa
keahlian pembuatan kapal itu
diwariskan secara turun-menurun
selama ratusan tahun tanpa
panduan tertulis sama sekali.
Keseluruhannya dikerjakan dengan
tangan dan hanya dengan bantuan
alat-alat pertukangan tradisional.
Para perajin kapal Pinisi hanya
mengandalkan pengalaman dan
pengetahuan yang mereka dapatkan
dari para pendahulunya melalui
ingatan semata.
NOE
Sumber: shutterstock.com
INDONESIANA - Vol 5/2019 63
GEDUNG DPR/MPRSaksi Bisu Politik Luar Negeri Indonesia
Gedung Dewan Perwakilan
Rakyat/Majelis
Permusyawarahan
Rakyat Republik Indonesia ((DPR/
MPR RI) sudah menjadi salah satu
ikon bangsa Indonesia. Bentuknya
yang menyerupai kura-kura itu
begitu terpatri di dalam memori
masyarakat Indonesia. Apalagi,
gambar gedung DPR/MPR RI ini
menghiasi pula lembaran uang
rupiah pecahan seratus ribu.
Barangkali di hari-hari ini tidak
banyak yang tahu bagaimana kisah
di balik dibangunnya gedung ini.
Gedung DPR/MPR RI sudah
berusia 54 tahun jika dihitung
dari tanggal pemancangan tiang
pertamanya atau 36 tahun jika
kita menganggap bangunan
tersebut baru ada di hari selesai
masa konstruksinya. Kehadiran
gedung ini sesungguhnya tak lepas
dari dinamika sejarah perjalanan
bangsa Indonesia. Pencetusan
pembangunan gedung yang
sekarang kita kenal sebagai Gedung
DPR/MPR oleh Presiden Soekarno
tidak lepas dari politik luar negeri
Indonesia di tengah kemelut
perang dingin yang melanda
dunia. Dunia kala itu terbagi di
dalam dua kekuatan besar, yakni
Blok Barat yang dipimpin Amerika
Serikat dan Blok Timur dengan
Uni Soviet yang begitu digdaya di
sana. Kemelut perang dingin ini
tak pelak mempengaruhi dinamika
perpolitikan dalam negeri maupun
luar negeri Indonesia yang masih
berusia muda.
Di dalam situasi semacam
ini, Indonesia dan Malaysia (yang
baru merdeka) bersitegang.
Permasalahan itu muncul ketika
Malaysia mengklaim wilayah negara
baru itu meliputi Kalimantan bagian
utara. Di tengah permasalahan
antara dua negara tersebut belum
selesai, Malaysia lantas diterima
PBB sebagai anggotanya. Di dalam
pidatonya di PBB beberapa waktu
setelah itu, Soekarno sempat
memprotes keputusan diatas dan
mengusulkan agar gedung PBB
dipindahkan ke wilayah yang netral
di dalam konflik Blok Barat dan
Blok Timur. Sepertinya, protes
Soekarno memang tidak diindahkan.
Malaysia malah diangkat sebagai
Cagar Budaya
Sumber: shutterstock.com
INDONESIANA - Vol 5/201964
anggota Dewan Keamanan PBB.
Hal ini membuat pihak Indonesia
tersinggung. Dialam pidatonya
pada 7 Januari 1965, Presiden
Soekarno menyatakan Indonesia
keluar dari keanggotaan PBB. Maka
muncullah istilah yang cukup ramai
kala itu yakni “Ganjang Malaysia”.
Masyarakat Indonesia kala itu
berbondong-bondong mendaftarkan
diri sebagai sukarelawan di dalam
aksi “Ganjang Malaysia”. Pasukan
Indonesia dikirim ke perbatasan
antara Indonesia dengan Malaysia di
perbatasan sana.
Selain menjalankan kampanye,
Indonesia juga menunjukkan
secara tegas ketidak-setujuannya
terhadap keputusan PBB dengan
cara menginisiasi pembentukan
Conference of the News Emerging
Forces (Conefo) yang didirikan pada
17 Januari 1965. Belakangan, pada
11 Agustus 1966, Conefo dibubarkan
oleh Presiden Soeharto. Conefo
adalah upaya membentuk sebuah
blok baru di antara Blok Barat dan
Blok Timur. Anggota-anggotanya
adalah negara-negara Asia, Afrika,
Amerika Latin, dan beberapa negara
Eropa. Conefo beranggotakan
negara-negara berkembang. Untuk
keperluan tersebut dibangun suatu
kompleks gedung dekat Gelora
Senayan yang mendapat bantuan
antara lain dari Republik Rakyat
Tiongkok. Konferensi tersebut
belum sempat diselenggarakan
dan bangunannya sekarang
dipergunakan sebagai Gedung DPR/
MPR.
Langkah seperti ini bukan baru
pertama kali dilakukan Indonesia.
Kala itu, negara ini juga ikut
terlibat, bahkan menjadi salah satu
penggagas, Gerakan Non-Blok,
langkah Indonesia yang sangat
berani dan sangat dipuji, sekaligus
tidak disukai dunia internasional.
Proyek Conefo dicanangkan
dengan Keppres No 48 Tahun
1965. Presiden Soekarno lantas
menugaskan Soeprajogi, Menteri
Pekerjaan Umum dan Tenaga (PUT)
kala itu, menerbitkan Peraturan
Menteri PUT No 6/PRT/1965
yakni gerakan dari negara-negara
dunia ketiga yang baru merdeka
untuk tidak ikut terlibat di dalam
Perang Dingin. Indonesia juga
menginisasi Konferensi Asia Afrika
yang merupakan wadah kerja sama
dan persaudaraan bangsa-bangsa
bekas jajahan di Asia dan Afrika.
Konferensi Asia Afrika, Gerakan Non-
Blok, dan Conefo adalah langkah-
Sumber: shutterstock.com
INDONESIANA - Vol 5/2019 65
tentang komando pembangunan
proyek Conefo. Bertepatan dengan
10 tahun Konferensi Asia Afrika,
pada 19 April 1965, dilakukanlah
pemasangan tiang pancang utama
proyek political venues di Kompleks
Senayan, Jakarta. Sebelumnya,
di daerah ini sudah dibangun
kompleks olahraga, Gelora Bung
Karno, untuk penyelenggaraan
Asian Games. Gedung DPR/MPR
dibangun di atas lahan wakaf bekas
lembaga pendidikan Islam, Madrasah
Islamiyah.
Pada 22 Februari 1965,
rancangan dari Soejoedi
Wirjoatmodjo disahkan. Di dalam
maket yang ia buat kala itu
terpampanglah seluruh bangunan
kompleks serta sketsa yang
menggambarkan bagaimana gedung
itu dilihat dari Jembatan Semanggi.
Pembangunan gedung pun dimulai
8 Maret 1965. Awalnya, gedung itu
diharapkan bisa terealisasi sebelum
17 Agustus 1966. Namun, beberapa
saat kemudian terjadilah peristiwa
G-30-S 1965.
Kemelut G-30-S 1965 yang
diikuti pergantian presiden itu
mempengaruhi juga proyek
Conefo. Oleh Presiden Soeharto,
Conefo dibubarkan. Pada 1966,
perbincangan seputar apakah
proyek itu dilanjutkan atau tidak
menyeruak di kalangan Presidium
Kabinet Ampera. Lantas terbitlah
surat nomor 79/U/Kep/11/1966
yang menyatakan bahwa proyek
political venues akan tetap
dilanjutkan namun diperuntukkan
bagi gedung MPR/DPR, bukan lagi
untuk Conefo. Kelanjutan proyek
tersebut diserahkan kepada Menteri
Pekerjaan Umum. Waktu yang
dibutuhkan untuk merampungkan
proyek itu ternyata cukup lama dari
perkiraan semula. Pembangunan
baru dianggap selesai pada 1
Februari 1983, 18 tahun terhitung
sejak rancangannya disahkan.
Sebagai sebuah gedung
bersejarah, Gedung DPR/MPR ini
dilengkapi unsur-unsur artistik
yang bukan hanya menambah
kecantikan gedung ini, melainkan
juga kaya akan falsafah kebangsaan
kita. Di sana kita bisa menemukan
patung bergaya abstrak karya But
Mochtar. Kita juga akan menjumpai
pahatan timbul karya Srihadi dengan
tema “irama kebun bunga”. Selain
membuat patung, But Mochtar juga
membuat relief tembaga dengan
teknik las. Karya ini menggambarkan
falsafah gotong royong. Ada pula
lukisan Sadali berjudul Kesaksian.
Karena ia adalah tempat para
wakil rakyat berkumpul, tak pelak,
gedung ini menjadi saksi bisu begitu
banyak peristiwa dan keputusan
penting kehidupan berbangsa
dan bernegara. Di situlah tempat
bermusyawarah dan bermufakat
para wakil rakyat kita. Meskipun
keberadaan lembaga terakhir ini
kerap juga menuai kontroversi,
dinamika kehidupan berbangsa dan
bernegara sebagai sebuah negara
demokrasi.
Perubahan-perubahan besar di
dalam laju sejarah bangsa kita terjadi
pula di tempat ini. Salah satu yang
cukup signifikan adalah peristiwa
Reformasi 1998 yang puncaknya
bisa dikatakan terjadi di gedung
ini. Gerakan mahasiswa terhitung
sejak 18-21 Mei 1998 menduduki
gedung itu dalam rangka menuntut
reformasi. Lantas, pada tanggal
18 Mei, pukul 15.20 WIB, Harmoko
sebagai perwakilan pimpinan DPR/
MPR membuat siaran pers yang
intinya meminta Soeharto mundur
sebagai presiden. Namun, Soeharto
tidak mundur di hari itu juga. Pada
19 Mei 1998, semakin banyaklah
mahasiswa yang menduduki gedung
tersebut. Akhirnya, pada 21 Mei
1998 terwujudlah salah satu agenda
pokok reformasi: Presiden Soeharto
mengundurkan diri.
Demikianlah, Gedung DPR/MPR
kita saat ini adalah saksi sejarah dari
sebuah kemelut politik luar negeri
bangsa kita di waktu yang telah
berlalu. Ia juga merupakan saksi
sejarah begitu banyak peristiwa
penting di dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara kita.
Salah satunya adalah reformasi. Ia
juga adalah bukti inisiatif-inisiatif
besar dan penting Indonesia dalam
konteks global kala itu. Sejarah
gedung ini bukanlah sesuatu
yang bisa dengan gampang kita
lupakan. Gedung ini adalah salah
satu penanda penting kita sebagai
negara demokrasi dengan segala
dinamika.
LBT
”Gedung DPR/MPR
adalah saksi sejarah
dari sebuah kemelut
politik luar negeri
bangsa kita.
INDONESIANA - Vol 5/201966
HUKUM LAUTDI KERAJAAN BALI KUNO
Masyarakat Bali lebih
dikenal sebagai
masyarakat petani
yang hidup di kerajaan agraris. Bali
dikenal pula dengan areal sawahnya
yang luas dan sistem Subak-nya.
Namun ada yang menarik. Ternyata
sudah sejak abad ke-10 Masehi,
masyarakat Bali mempunyai aturan
yang berkaitan dengan transportasi
laut. Hal tersebut tersurat dalam
prasasti yang ditemukan di Desa
Sembiran serta Hukum Adat Tawan
Karang.
Prasasti Sembiran
Prasasti Sembiran adalah
kumpulan sepuluh prasasti lempeng
tembaga yang ditemukan di desa
Sembiran, Tejakula, Buleleng, di
pulau Bali bagian utara. Semua
lempeng prasasti memiliki
penanggalan, yaitu antara 922
hingga 1181 Masehi, sehingga
meliputi kurun waktu lebih dari 200
tahun. Sebagian prasasti ditulis
dalam Bahasa Bali Kuno, sedangkan
sebagian dari masa yang lebih muda
ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno.
Prasasti Sembiran merupakan
informasi terawal mengenai keadaan
daerah Julah dan sekitarnya. Teks
yang tertulis menyebutkan bahwa
prasasti tersebut ditujukan bagi
"keraman Julah" atau sesepuh desa
Julah.
Pada 844 tahun Saka atau 24
Januari 923 Masehi, Sang Ratu
Sri Ugrasena bersama-sama para
pejabat tinggi kerajaan mengadakan
sidang dengan para Penghulu
Desa Julah bertempat di pendopo
Istana Singhamandewa. Dalam
perundingan itu diutarakan bahwa
penduduk desa Julah sangat gaduh,
gelisah resah, dan ketakutan, karena
adanya kawanan perampok yang
sering menangkap dan menculik
penduduk desa. Karena keadaan
itulah banyak penduduk Desa Julah
lari mengungsi ke tempat-tempat
yang lebih aman.
Kemudian keluarlah titah raja:
semua penduduk Desa Julah
yang masih ada di tempat-tempat
pengungsian harus segera kembali
dan tinggal di tempat semula.
Bahkan Sang Ratu Ugrasena
membuat peraturan-peraturan
upacara untuk orang-orang yang
Manuskrip
Sumber: shutterstock.com
INDONESIANA - Vol 5/2019 67
di antaranya berbatasan dengan
laut. Raja-raja yang wilayahnya
berbatasan dengan laut sudah
membuat kesepakatan hukum adat
yang disebut Tawan Karang. Hukum
ini berlaku apabila tiap kapal asing
yang terdampar, kapal beserta isinya
menjadi hak milik penguasa Bali.
Pada tahun 1844, ada kapal
Belanda terdampar di Pantai
Sangsit yang termasuk wilayah
Kerajaan Buleleng. Kapal dan isinya
pun disita dan ditawan. Belanda
tidak terima dan mengirim Asisten
Residen dari Banyuwangi untuk
membuat perjanjian penghapusan
hukum Tawan Karang dan sekaligus
pengakuan terhadap kekuasaannya.
Tetapi raja I Gusti Ngurah Made
dan Patih I Gusti Jelantik Gungsir
menolak. Belanda lalu mengirim
pasukan menyerbu Buleleng, hingga
sebanyak 3 kali, yaitu pada 1846,
1848, dan 1849.
Pada tahun 1849, rakyat Bali
di bawah pimpinan I Gusti Jelantik
melakukan perang puputan (habis-
habisan). Lagi pada tahun 1906,
Belanda menyerang dan berusaha
menguasai Kerajaan Badung yang
masih melaksanakan hukum adat
Tawan Karang. Raja dan rakyat
Kerajaan Badung lagi-lagi tidak
tinggal diam dan melawan habis-
habisan.
NOE
mati dirampok, mati terbunuh, di
samping peraturan-peraturan untuk
upacara kematian biasa. Dengan
adanya kejadian itu pajak-pajak
penghasilan masyarakat Desa Julah
yang biasanya dipungut oleh raja
kini semuanya dihapus, walaupun
iuran-iuran untuk biaya upacara di
dalam pura masih tetap berlaku.
Selanjutnya diputuskan juga
bahwa penduduk Desa Julah
dilarang menangkap atau menculik
budak-budak milik orang lain.
Dan jika ada sebuah perahu atau
sampan yang terdampar di laut,
maka isi perahu itu harus menjadi
hak milik pura atau dimanfaatkan
untuk keperluan desa. Batas-batas
desanya pun telah ditetapkan
di dalam undang-undang Raja
Ugrasena.
Kemudian pada 987 tahun Saka
atau 10 Agustus 1065 Masehi, masih
dalam prasasti Sambiran, tertulis
bahwa para pemimpin dan penghulu
Desa Julah, Desa Widatar, Desa
Keduran, Desa Pasuruhan dan Desa
Pasungan menghadap Sri Paduka
Aji Anak Wungsu yang memerintah
Peta kerajaan Bali kuno
saat itu untuk berunding membuat
undang-undang Desa Julah yang
baru.
Sejumlah keputusan dihasilkan.
Kalau ada saudagar-saudagar
yang memakai perahu dari tanah
seberang hendak ke Pura Menasa
(pura ini berada di sebelah timur
Desa Sinabun) tiba-tiba perahu
mereka rusak di laut, maka sekalian
penduduk Desa Julah harus
membantu mereka. Apabila tiba-tiba
ada musuh yang hendak menyerbu
penduduk pesisir, maka segenap
warga Desa Julah harus segera
keluar serta membawa senjata
lengkap untuk memerangi para
pengacau. Keputusan lainnya adalah
pengenaan pajak kepada semua
bentuk tontonan, sekeha pesantian
(semacam pesinden), dan gong.
Prasasti ini ditutup dengan sumpah
dan kutukan. Undang-undang ini
dibuat di istana oleh juru tulis istana
yang bernama Bajarangsa.
Hukum Adat Tawan Karang
Sejak abad ke-18 dan 19 di Bali
terdapat banyak kerajaan, beberapa
Sumber: Wikiwand.com
INDONESIANA - Vol 5/201968
DENGAN PELA
SEMUA BERSAUDARA
Adat Istiadat
Sumber: pisauikan.blogspot.com
INDONESIANA - Vol 5/2019 69
Bertolak dari budaya
pela gandong, Maluku
mengusung konsep
persaudaraan atas nama toleransi,
sehingga ia dikenal sebagai
miniatur keberagaman sekaligus
model laboratorium perdamaian di
Indonesia.
Perayaan adat panas pela di
Amahusu, Kota Ambon, Maluku,
berlangsung semarak pada Ahad, 2
Desember 2018. Ratusan warga dari
empat 'negeri' Amahusu, Hatalai, Tial
dan Laha berkumpul melaksanakan
upacara panas pela. Tujuan mereka
satu, memperbaharui perjanjian
hubungan di antara mereka dan
memperkuat tali persaudaraan.
Namun, mereka kaget ketika
tiba-tiba timbul kontroversi
di tengah masyarakat akibat
penampilan suatu gambar yang
dianggap melecehkan pihak
tertentu. Perdebatan di media
sosial menambah panas suasana.
Syukurlah, para pemuka 'negeri'
(desa adat) segera turun tangan.
Pihak panitia dan pemerintah
bermusyawarah hingga dicapai
kata sepakat meminta maaf atas
kesalahan tersebut.
Mereka tak ingin konflik etnis
yang melibatkan para pemeluk
agama kembali terjadi pada 1999-
2002 itu kembali terjadi di Maluku.
Pertikaian berdarah yang bermotif
politik ini begitu kerasnya. Ia
baru bisa dipadamkan pada tiga
tahun kemudian setelah pihak-
pihak peseteru sepakat meneken
perjanjian Malino dengan mengacu
kepada tradisi pela gandong yang
sejak dulu disucikan para leluhur.
Pela gandong menggabungkan
dua kata "pela" (ikatan persatuan)
dan "gandong" (saudara), yang
berarti saling mengikat diri sebagai
saudara. Dieter Bartles, antropolog
Amerika yang meneliti pela dengan
tinggal di Maluku selama 40 tahun,
mendefinisikan pela gandong
sebagai model persahabatan, sistem
persaudaraan atau persekutuan
yang dikembangkan di antara
seluruh penduduk asli dari dua
negeri atau lebih.
Para leluhur Maluku telah
menetapkan sejumlah ketentuan
umum pela, yang mengatur hak dan
kewajiban yang harus dipatuhi oleh
anak negeri. Di antaranya, negeri-
negeri yang memiliki ikatan pela
berkewajiban saling membantu
negeri yang lain pada masa genting,
misalnya ketika terjadi bencana
alam, peperangan, atau kecelakaan
laut.
Diminta atau tidak, negeri
yang berpela wajib memberi
bantuan kepada negeri lain yang
hendak melaksanakan proyek
untuk kepentingan umum. Bantuan
makanan juga wajib diberikan
secara sukarela kepada tamu yang
datang dari negeri lain, dan tamu
ini tak boleh dilarang membawa
penghasilan yang didapatnya dari
negeri yang didatanginya.
Selain itu, semua penduduk
negeri-negeri yang saling berpela
dianggap sedarah sehingga mereka
tak boleh saling mengawini.
Pelanggaran terhadap aturan ini
akan dihukum keras. Dahulu kala,
pelanggar pantangan kawin itu akan
ditangkap dan disuruh berjalan
mengelilingi seluruh negeri dengan
hanya berpakaian daun kelapa
seraya dicaci-maki sebagai pembuat
aib.
Untuk menjaga kelestarian pela,
para pihak sepakat mengadakan
upacara bersama pada suatu waktu.
Upacara yang disebut "panas pela"
ini dilakukan dengan berkumpul
selama satu minggu di salah satu
negeri. Pada umumnya gelaran
panas pela diramaikan dengan
pertunjukan nyanyi, dansa, dan
tarian tradisional, serta kadang
dilengkapi acara makan patita yang
bermakna perdamaian.
Sistem pela selama ini telah
membuat hubungan kaum
muslim dan kristen mesra. Mereka
senantiasa bergotong-royong
dan saling membantu dalam
membangun gedung gereja,
masjid, dan sekolah. Satu saudara
pela menyumbang tenaga kerja
dan bahan bangunan, sementara
saudara lainnya membantu uang
atau makanan, sehingga banyak
bangunan di Maluku dapat mereka
dirikan tanpa bantuan pemerintah.
Nampak betapa para leluhur
Maluku begitu bijak membangun
persaudaraan dalam perbedaan.
Berbekal budaya pela gandong,
Maluku kini mengusung konsep
persaudaraan atas nama toleransi.
Mereka menjadikan pela gandong
sebagai ikon perdamaian, sehingga
pulau rempah itu dikenal sebagai
miniatur keberagaman sekaligus
model laboratorium perdamaian di
Indonesia.
AT
Tarian penyambutan pada prosesi ‘Panas Pela’ di Kota Ambon, Maluku
Sumber: merahputih.com
INDONESIANA - Vol 5/201970
Puput mengawasi pergerakan pemain lawannya
yang ia jaga di dalam arena persegi panjang
berukuran 15 x 9 meter yang terbagi menjadi
enam petak menyerupai lapangan bulu tangkis. Ia
berjaga di sepanjang garis vertikal atau sering disebut
garis sodor yang membelah arena itu menjadi dua.
Sedangkan keempat rekannya berjaga di empat garis
jaga horizontal dengan tangan terbuka lebar, mencegah
regu lawan menerobos masuk. Mereka hanya boleh
bergerak lurus dengan kedua kaki berada di atas garis
jaga yang terbentang, sedangkan regu lawannya yang
juga berjumlah lima orang mencoba mengecoh Puput
dan rekannya dengan berlari ke sisi kanan dan kiri di
dalam arena, berharap agar mereka dapat menerobos
dari penjagaan regu penghadang. Puput tiba-tiba berlari
dengan gesit ke arah seorang pemain penyerang yang
lengah dan menjulurkan tangan untuk menangkapnya.
Kena!
Satu poin didapatkan jika ada pemain regu
penyerang yang berhasil melewati garis depan hingga
garis belakang arena, begitu juga pemain yang berhasil
kembali dari garis belakang hingga garis depan akan
mendapatkan satu poin lagi. Sebaliknya, jika regu
penghadang berhasil menangkap atau mengenai
G O B A K S O D O RPermainan yang Mampu Bertahan di Zaman Milenial
tubuh lawannya, maka posisi permainan akan ditukar
dan mereka berhak menjadi regu penyerang untuk
mencetak poin, sedangkan lawannya akan menjadi regu
penghadang. Pemenang ditentukan oleh jumlah poin
terbanyak yang didapatkan selama 2 x 10 menit waktu
permainan.
Perjuangan Puput dan rekan satu regunya adalah
gambaran dari permainan tradisional Indonesia yaitu
gobak sodor atau hadangan yang dipertandingkan di
ajang olimpiade-nya permainan dan olahraga rekreasi
atau TAFISA World Sport for All Games yang diadakan
pada bulan Oktober 2016 di Jakarta. Gobak sodor
menjadi salah satu cabang permainan tradisional
asal Indonesia yang dipertandingkan di ajang empat
tahunan ini yang diikuti oleh 35.000 peserta dari 83
negara, dengan lebih dari 100 olahraga dan permainan
dari seluruh dunia. Puput dan timnya adalah mahasiswi
Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terpilih menjadi
peserta untuk berlomba dalam ajang tersebut dan
berhasil menjadi juara kedua pada permainan gobak
sodor.
Gobak sodor atau yang dikenal dengan nama
hadangan, terobos dan galasin merupakan satu
dari banyak permainan tradisional khas Indonesia
Sumber: viralnesia.org
Permainan Tradisional
Sumber: idntimes.comINDONESIANA - Vol 5/2019 71
yang sudah jarang dimainkan oleh anak-anak di
perkotaan saat ini karena pesatnya teknologi, terutama
membanjirnya permainan gawai. Permainan yang
berasal dari Yogyakarta dan tersebar di seluruh
nusantara ini dikenal dengan galah asin di Jawa Barat,
galah di Kepulauan Natuna, cak bur atau main belon di
Riau, asing di Makassar dan Margala di Samosir.
Nama gobak sodor berasal dari kata gobag dan
sodor. Kata gobag sendiri artinya bergerak dengan
bebas, sedangkan sodor artinya tombak. Filosofi dari
permainan ini adalah bergerak dengan cepat bagaikan
para pahlawan di masa penjajahan untuk melepaskan
diri dari serangan tombak para penjajah. Demikianlah
permainan ini membutuhkan kecepatan dan strategi
tim agar bebas dari cegatan lawan untuk mencapai
kemenangan. Terdapat versi lain arti gobak sodor
yaitu dari kalimat go back through the door yang
artinya kembali melewati pintu, sesuai dengan jalannya
permainan ini yaitu melewati garis/ pintu penjagaan dan
kembali lagi ke tempat semula.
Gobak sodor yang dahulu sering dimainkan oleh
anak-anak di pelosok desa hingga kota – tentu dengan
aturan yang tidak terlalu ketat seperti di pertandingan
olahraga resmi – kini telah dikenal dunia dan dimainkan
oleh orang-orang dari berbagai negara. Di Balikpapan,
Kalimantan Timur, sekolah-sekolah dasar mengadakan
perlombaan gobak sodor untuk melatih kecepatan,
ketangkasan dan kekompakan para siswa. Di Sukabumi,
Jawa Barat terdapat kompetisi gobak sodor tingkat
kabupaten yang diikuti para pegawai negeri sebagai
persiapan untuk mengikuti Pekan Olahraga Pemerintah
Daerah (Porpemda) Jawa Barat yang rutin diadakan tiap
tahun.
Indonesia adalah harta karun olahraga dan
permainan tradisional, begitu kata Sekretaris Jenderal
TAFISA, Wolfgang Baumann. Hal itu tidaklah berlebihan,
mengingat begitu kaya dan beragamnya olahraga dan
permainan tradisional di Indonesia. Hal yang perlu kita
lakukan di zaman milenial ini adalah terus melestarikan
jenis olah raga dolanan ini dengan cara mengajak
anak-anak kita bermain gobak sodor. Permainan ini
akan membuat seluruh tubuh sehat, hati bahagia dan
hubungan personal pun menjadi erat.
AG
Para peserta TAFISA Games bermain gobak sodor di area Kota Tua, Jakarta
Lomba gobak sodor Persatuan Wanita Olah Raga Seluruh
Indonesia se-D. I. Yogyakarta
Sumber: LKBN Antara
INDONESIANA - Vol 5/201972
PACU JALURAdu Kecepatan di Atas Sungai
Dua buah sampan dengan
panjang 40 meter
bersiap-siap di lintasan
yang berada di atas Sungai
Batang Kuantan, Riau. Kedua buah
sampan yang biasa disebut jalur itu
berisi 50 pendayung yang duduk
berdampingan kiri-kanan, kedua
tangan mereka menggenggam
dayung dengan erat. Tukang Timbo
Ruang, sang pemberi aba-aba
berdiri di tengah jalur dengan badan
condong ke depan, tangannya
mengacungkan pelepah pinang, siap
meneriakkan aba-aba.
Permukaan sungai yang
berwarna cokelat nampak tenang,
kontras dengan jantung mereka
yang berdegup keras. Riuh ribuan
penonton yang memberi semangat
pada jagoan mereka di kedua tepi
sungai tak bisa mengalahkan detak
jantung yang semakin keras. Mereka
semua fokus pada lintasan sejauh
satu kilometer yang membentang,
ditandai enam tiang pancang
yang ditempatkan pada jarak-jarak
tertentu. Ditonton ribuan pasang
mata sepanjang lintasan, inilah
saat-saat pembuktian yang mereka
tunggu!
Duar! Letusan meriam
menandakan perlombaan dimulai.
Kedua jalur langsung melaju dengan
cepat. Para pendayung mengayuh
tangan mereka sekuat tenaga,
membuat air sungai bercipratan
ke samping terkena pukulan
dayung yang keras. Tangan mereka
naik turun mengikuti irama yang
diberikan Tukang Onjai di bagian
belakang lajur, menjaga kekompakan
agar jalur dapat melesat lebih cepat.
Penonton di kiri dan kanan sungai
bertambah riuh menyemangati
mereka, mengalahkan suara
komentator yang disiarkan melalui
pengeras suara.
Salah satu lajur mengungguli
lawannya yang lain. Tanpa
bimbang, Tukang Tari yang
berada di bagian depan lajur
yang tertinggal itu melompat ke
sungai untuk mengurangi beban.
Pengorbanannya berhasil, kedua
lajur kini imbang dan sama-sama
mendekati tiang pancang terakhir.
Mereka semakin mengerahkan sisa
kekuatan mereka dan akhirnya lajur
yang tadi tertinggal itu berhasil
lebih dahulu melewati garis finish! Sungguh sebuah perlombaan yang
mendebarkan!
Inilah yang terjadi dalam
kemeriahan Festival Pacu Jalur, yang
diselenggarakan setiap tahun pada
bulan Agustus di Tepian Narosa,
Teluk Kuantan, Kabupaten Kuantan
Singingi, Provinsi Riau. Pada 29
Agustus - 1 September 2018 lalu,
festival ini diikuti 182 jalur dari
berbagai kecamatan dan melibatkan
ribuan atlet dayung yang telah
berlatih sepanjang tahun. Jumlah
ini adalah hasil seleksi ketat yang
dilakukan satu bulan sebelumnya,
yang dibagi dalam empat rayon
di sepanjang sungai Kuantan dan
Sumber: tagpariwisata.com
Olahraga Tradisional
INDONESIANA - Vol 5/2019 73
generasi. Proses ini memperkuat
rasa kepemilikan dan kebanggaan
untuk menghargai keragaman
budaya dan kreativitas manusia
yang menakjubkan.
AG
diikuti oleh ratusan jalur termasuk
dari provinsi lain.
Pacu Jalur adalah perlombaan
dayung tradisional dengan
menggunakan sebuah sampan/
perahu panjang yang dalam bahasa
penduduk setempat disebut jalur.
Jalur dibuat dari batang kayu
utuh sepanjang 25-40 meter dan
lebar satu setengah meter yang
dilubangi bagian tengahnya. Dalam
satu perahu, sekitar 40-60 kru
pendayung memacu perahunya
dalam lintasan yang telah ditetapkan
di atas sungai. Pendayung atau
sering disebut anak pacu biasanya
adalah para lelaki berusia 15-40
tahun.
Di bagian terdepan jalur berdiri
Tukang Tari yang biasanya anak-
anak berumur 15 tahun. Tujuannya,
untuk memberitahu para penonton
agar tahu jalur mana yang sedang
unggul dalam perlombaan. Tukang
Tari ini akan berdiri dari posisinya
dan kemudian menari bila jalurnya
berhasil mendahului sang lawan.
Namun apabila jalurnya kalah cepat,
ia tidak akan segan-segan melompat
ke sungai untuk mengurangi beban
agar jalurnya dapat melaju lebih
cepat.
Tukang Onjai berada di
bagian belakang jalur. Ia bertugas
sebagai pemberi irama bagi jalur
dan memberikan ritme untuk
memastikan keteraturan dan
kekompakan bagi pendayung,
sehingga jalur menjadi lebih cepat
dan mudah didayung. Sementara,
Tukang Timbo Ruang bertugas
sebagai pemberi aba-aba kepada
seluruh anak pacu agar mendayung
secara serentak, biasanya dengan
meniup pluit dan mengibaskan upia
atau pelepah pinang. Selain itu, ia
juga bertugas menimba air yang
masuk ke dalam jalur agar tidak
karam.
Pacu Jalur diyakini berawal
pada abad ke-17. Ketika itu,
jalur digunakan sebagai alat
transportasi di sepanjang Sungai
Batang Kuantan. Baru pada
115 tahun yang lalu, jalur mulai
diperlombakan untuk merayakan
hari besar Islam, perayaan adat
dan membuat keberadaan jalur
semakin menarik. Setelah Indonesia
merdeka, pacu jalur diadakan secara
teratur bersamaan dengan Hari
Kemerdekaan Indonesia yang jatuh
pada tanggal 17 Agustus.
Pada tahun 2015, pacu jalur
ditetapkan sebagai Warisan Budaya
Tak Benda (WBTB) Indonesia dan
menggambarkan proses budaya
yang diwariskan dari generasi ke
Tukang Tari
Sumber: benarnews.org
Sumber: gardanasional.id
INDONESIANA - Vol 5/201974
Barangkali Anda pernah
melancong ke Maluku, lalu
melihat ada batang bambu
atau kayu yang ditancapkan di tanah
membentuk tanda silang atau tanda
pagar. Itulah ‘rambu sasi’. Rambu
ini menyiratkan bahwa di wilayah
tersebut sedang diberlakukan
larangan untuk memanen produk
atau mengambil apa-apa yang
terdapat di dalam hutan tersebut.
Masyarakat akan paham
dan pergi menjauh; kita sebagai
pelancong sebaiknya berlaku
serupa. Tetapi ada baiknya berfoto
dulu, karena rambu ini sangat khas
Maluku serta memiliki nilai yang
istimewa: bagaimana adat istiadat
orang Maluku memanfaatkan alam
lingkungannya tanpa merusak.
‘Sasi’ dapat diartikan sebagai
‘larangan’. Sasi dalam masyarakat
Maluku berarti waktu terlarang untuk
mengambil atau memanen hasil-
hasil alam. Sasi merupakan aturan
adat yang dipercaya sudah muncul
berabad lalu. Tradisi ini berlaku
hampir di seluruh pulau di Provinsi
Maluku. Di pulau Kei Besar dan Kei
Kecil ‘sasi’ memiliki nama lain, yakni
Yot dan Yutut. Ada pula adat istiadat
serupa yang berlaku di pulau-pulau
sebelah barat Provinsi Papua. Bisa
jadi masyarakat pulau-pulau kecil
antara dua pulau besar Sulawesi
dan Papua memiliki beberapa tradisi
yang berakar serupa.
Sasi diberlakukan dalam periode
tertentu, bisa satu, tiga, enam atau
sembilan bulan dalam setahun.
Saat sasi dicabut, masyarakat
diperbolehkan untuk mengambil
dan memanen hasil alam yang
diinginkan. Periode ini disebut ‘buka
S A S I M A L U K U
Beberapa warga setempat (Maluku) tengah membuat pagar
pembatas sasi
Sumber: forestnews.cfor.org
Sumber: forestnews.cfor.org
Teknologi Tradisional
INDONESIANA - Vol 5/2019 75
sasi’. Boleh disimpulkan bahwa
sasi adalah pengaturan kapan dan
berapa lama suatu wilayah dapat
diambil hasil atau produksinya.
Dalam bahasa akedemis dapat
dikatakan bahwa ‘sasi’ adalah
sebuah metode pengelolaan sumber
daya alam demi pemanfaatan hasil
yang optimal sekaligus menjaga
kelestariannya. Menyediakan waktu
untuk ‘mengeksploitasi’ alam lalu
menjamin adanya saat-saat untuk
‘pemulihan’.
Teknik kuno ini sudah
berlangsung lama serta telah
memperlihatkan bukti bahwa
keberlangsungan jaminan pasokan
hasil produksi alam dan kelestarian
sumber dayanya dapat dikelola
dengan kearifan adat dan tradisi.
Pelaksanaan sasi diawali
dengan menentukan suatu wilayah
dan apa saja yang terdapat di
dalamnya yang akan diberlakukan
larangan. Kemudian. selayaknya
suatu adat. dilakukan ritus dan
pembacaan doa-doa. Lalu tanda
atau rambu sasi dipasang. Rambu
sasi ada bermacam bentuk, ada
yang berupa dua batang bambu
yang ditancapkan secara silang,
batang bambu yang dililitkan
daun kelapa, ada pula berupa
botol yang dibungkus dan diisi air
lalu digantung. Bahkan sekarang
ada rambu sasi yang berupa
papan bertuliskan peringatan dan
dipakukan di sebatang pohon.
Pengawasan larangan ini dilakukan
oleh pemangku atau pejabat
lembaga adat. Pihak yang memiliki
peranan penting adalah orang yang
disebut ‘kewang’ dan ‘anak-anak
kewang’, semacam kepala jagawana
dan staf-stafnya.
Dalam usaha penegakan sasi,
diberlakukan sanksi bagi para
pelanggar aturan ini. Hukum sasi
dibuat dua macam, hukum sasi adat
dan hukum sasi denda.
Pada sasi adat, hukuman para
pelanggar sasi ditentukan oleh
sidang adat. Sedangkan pada
sasi denda, hukuman terhadap
pelanggar ditentukan oleh para
kewang. Belakangan ada pula yang
disebut ‘sasi agama’, di mana para
rohaniwan berlaku sebagai penentu
dan pengawas suatu sasi.
Terdapat banyak kebutuhan
manusia akan sumber daya alam.
Oleh karena itu banyak pula ragam
sasi dalam tradisi ini. Ada ‘sasi
hutan’, ‘sasi laut’, ‘sasi sungai’, ‘sasi
binatang’, dan lainnya sesuai apa
yang hendak dilindungi. Bahkan
ada yang secara khusus seperti ‘sasi
lompa’ yang bertujuan membatasi
penangkapan ikan lompa.
Sasi Maluku merupakan praktik
pengelolaan dan perlindungan
sumber daya alam yang mendahului
lahirnya prinsip modern
pengelolaan lingkungan hidup
yang lestari dan berkelanjutan.
Berjalannya Sasi Maluku ditopang
oleh kearifan lokal: kebijakan adat,
pengetahuan tradisional, dan
ketaatan masyarakat pendukungnya
akan adat istiadatnya.
Sasi Maluku telah dipercaya
dan dijalankan secara turun-
temurun sebagai pranata adat yang
mengajarkan bahwa pemanfaatan
alam harus dikelola dengan
memperhatikan kelestarian sumber
daya alam serta lingkungan.
Alangkah indahnya jika peraturan
adat ini dapat diintegrasikan ke
dalam peraturan formal. AR
Panen hasil hutan baru dapat dilakukan setelah sasi dicabut
”Pelaksanaan sasi
diawali dengan
menentukan suatu
wilayah dan apa
saja yang terdapat di
dalamnya yang akan
diberlakukan larangan.
Kemudian. selayaknya
suatu adat. dilakukan
ritus dan pembacaan
doa-doa. Lalu tanda
atau rambu sasi
dipasang
Sumber: forestnews.cfor.org
Sumber: forestnews.cfor.org
INDONESIANA - Vol 5/201976
Belakangan ini animo
masyarakat terhadap pakaian
daerah semakin meningkat,
baik di gunakan secara lengkap
maupun dengan mengambil gaya dan
coraknya pada pakaian kreasi baru.
Salah satu produk kreasi yang banyak
digemari adalah pakaian Kerawang
Gayo. Kalau anda melihat seseorang
mengenakan pakaian warna hitam
dengan corak hias geometris putih-
merah-hijau-kuning yang mencolok,
maka anda menyaksikan pakaian
dengan motif Kerawang Gayo.
Motif Kerawang Gayo
Kerawang Gayo merupakan sebutan
untuk motif hias khas etnis Gayo di
provinsi Aceh. Disain Kerawang Gayo
berupa corak sulur, garis, dan bentuk
geometris yang berulang membentuk
pola melingkar atau berjajar. Motif
Kerawang Gayo dapat dikenali dari
paduan warnanya yang bisa dikatakan
merupakan ciri kuat ragam hias etnik
ini. Dasar berwarna hitam dengan
corak-corak merah, putih, hijau, dan
kuning di atasnya.
Kata ‘Gayo’ dalam sebutan
Kerawang Gayo merujuk pada etnik dan
tempat. Kata ‘Kerawang’ merupakan
gabungan 2 kata, yakni “iker” atau
“ker” dan “rawang”. “Ker” memiliki arti
‘buah pikiran’. Sedangkan “rawang”
memiliki arti yang beragam, ada yang
mengartikannya sebagai ‘bayangan’,
‘fenomena’, ‘penglihatan’, bahkan
‘ramalan’, namun dapat disimpulkan
keseluruhannya kurang lebih berarti
sebagai ‘persepsi’. Secara umum
‘Kerawang Gayo’ dapat diartikan
sebagai ‘interpretasi orang Gayo
terhadap fenomena alam’. Leluhur Gayo
memandangatau mengamati alam ini
kemudian mewujudkan dalam sebuah
motif ragam hias.
KERAWANGGAYO
Sumber: steemit.com/@rahmadanda
Tradisi Lisan
INDONESIANA - Vol 5/2019 77
Asal Usul
Dipercaya bahwa Kerawang
Gayo muncul sejak berabad-
abad lalu. Motif Kerawang Gayo
terinspirasi dari keadaan alam
sekitar melahirkan corak-corak flora
dan fauna yang hidup di sekitar
permukiman masyarakat Gayo.
Masuk dan berkembangnya
ajaran Islam di daerah Aceh
membawa pengaruh/perubahan
terhadap kehidupan sosial budaya
orang Gayo, termasuk juga
berdampak terhadap motif-motif
Kerawang Gayo. Ajaran agama Islam
yang menghindari penggambaran
manusia (dan hewan) menjadikan
ragam hias Kerawang Gayo
selanjutnya hanya dibuat dengan
menggunakan motif sulur-sulur dan
bentuk-bentuk geometris seperti
yang kita lihat sekarang.
Motif hias Kerawang Gayo
awalnya diaplikasikan sebagai
ukiran pada kayu bangunan rumah.
Kemudian penerapan ornamen
tersebut berlanjut pada benda-
benda lain, seperti pada gerabah,
barang anyaman, dan alat-alat
logam. Selanjutnya berkembang
terus menjadi ragam hias pada
pakaian, perhiasan, dan lain
sebagainya.
Motif Ragam Hias
Walaupun pada mulanya
hanya dikenal lima corak dasar
motif Kerawang Gayo, seiring
perkembangan zaman, jumlahnya
semakin berkembang. Beberapa
yang cukup dikenal adalah corak-
corak seperti emun berangkat (awan
berarak), pucuk ni tuwis (pucuk
rebung), ulen-ulen (bulan-bulan),
mutik (putik), puter tali (jalinan tali),
bunge ulen-ulen (bunga bulan),
bunge ni terpuk (bunga kuncung),
bunge ni pertik (bunga papaya),
bunge lao (bunga matahari), bunge
kemang (bunga yang sedang
kembang), bur/baur (gunung),
bintang bulan (bintang dan bulan),
nege (naga), iken/gule (ikan) dan
mata itik (mata itik).
Ada pula corak-corak lain yang
diberi nama Tapak Seleman, Mata Ni
Lo, Cucuk Pengong, Tali PuterTige,
Pucuk ni Tuis, Emun Mupesir, Emun
Beriring, Emun Berkune, Tekukur,
Tali Mustike, Sarak Opat, dan Peger,
serta lainnya.
Seperti karya budaya
tradisional lainnya di Indonesia,
corak-corak motif Kerawang Gayo
diberlakukan juga sebagai simbol
yang mengandung makna-makna
tertentu.
Corak Puter tali misalnya,
diartikan sebagai ‘ratif musara
nanguk nyawa musara peluk’
(= ikatan kekeluargaan dan
kebersamaan dalam menyelesaikan
masalah)
Demikian pula dengan warnanya,
warna hijau melambangkan ‘lisik’
(= sifat rajin), kuning sebagai tanda
‘urik’ (= perilaku hati-hati). Jadi
dengan membuat atau mengenakan
motif hias ini masyarakat Gayo
dilambangkan atau diharapkan
sebagai masyarakat yang rajin dan
teliti serta sifat dan perilaku baik
lainnya seperti yang terdapat dalam
simbol-simbol Kerawang Gayo
lainnya.
AR
Salah satu motif gayo kerawang
Motif hias kerawang gayo pada prosesi adat
Sumber: steemit.com/@zegan.gayo
Sumber: steemit.com/@rahmadanda
INDONESIANA - Vol 5/201978
THE HISTORY OF THE MALAY LANGUAGE IN BECOMING
LINGUA FRANCA
Many people would proudly claim
Indonesia as a country that is
united in diversity, the meaning of
Indonesia’s “Bhineka Tunggal Ika” motto. The
archipelago with its abundant traditions, cultures,
ethnicities, races, religions/beliefs and local
languages can in fact live harmoniously in the
Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI)
since 1945. The diversity of the inter-group cultural
background is united by a mother language that
grew in the community.
The people of the archipelago have been using the Malay language for centuries. The language already served as the main communication language at that time. This is because the language was easy to understand by different ethnicities and social statuses
Sumber: steemit.com/@rahmadanda
Bahasa
INDONESIANA - Vol 5/2019 79
Where did the Malay language
originate from? The historical
trace of why the people of the
archipelago agreed to use the Malay
language as its main language of
communication in many of their
activities is a very intriguing record.
The Main Communicating
Language
The Malay language, as
Javanese, Sundanese and
Minangkabau languages, is one
of the Austronesia’s sub-group
languages. But for centuries the
Malay language was the most
frequently spoken language by
the people of the archipelago,
particularly in the coastal areas
where communication for trade
was intensive. The Malay language
had even become a lingua franca in
Southeast Asian region.
Being the main communication
language, the first Malay language
did in fact existed without its own
script. In its history, the Malay
language was written in a number of
scripts, such as Sanskrit and Pallawa
(Pallava, originated from India).
This conclusion is based on the
Kedukan Bukit inscription, found in
Palembang. The 682 AD inscription
was written in the Pallawa script,
although some words written in
Sanskrit were also found in the same
inscription.
History also recorded of the
Muslim scholars from the Arab
world, aside from those coming
from Gujarat, in the 1300’s AD. This
has influenced the Malay language
to also be written in Arabic script,
particularly by Muslim scholars
(who were also traders) at the
time. The number of Malay people
who mastered the Pallawa script
was very limited, and most of them
could not read nor write. Hence, the
Arab traders who have mastered
the Malay language then taught
the local people on how to use the
Arabic script, as well as introducing
them to paper, ink, and pen. This
part of history was recorded in the
Trengganu inscription found in the
eastern Malay coastal area. Even
without any information of time
written in the inscription, many
believe that it was written circa the
14th century.
The Malay people then began
to modify the Arabic script, and
some special letters began to be
created as sound symbols. The
script was named the Arab-Malay or
the Jawi script, better known as the
traditional Malay script. This script
was used in a lot of documents until
the 19th century. Later, following the
arrival of the Dutch and British in
the 17th century, the Malay language
went through an enrichment phase
through the introduction of the Latin
and Roman scripts. The Latin script
then took over and dominated the
Jawi script, which was mainly done
by the missionaries.
It was in this period that the
Malay language went through
magnificent developments,
particularly when the language was
made into a formal language of the
Malacca kingdom in the Malacca
coast. The Malay language served
as the language of trading and
used in various agreements. Traders
from countries like China, India, and
Persia who came to the coast of
Malacca were fluent in Malay.
The Portuguese, Spanish, Dutch,
British and French also adhered
to the regulation, leading them to
learn Malay since trade agreements
in the coast of Malacca used the
Konggres pemuda pertama tahun 1926
Sumber: Perpustakaan Nasional RI
INDONESIANA - Vol 5/201980
Malay language. Lombard records
(2005:35) that the Malay language
was highly popular in many port
cities.
Where did the Europeans obtain
their access in learning the Malay
language prior to their arrival to
the archipelago? The Europeans,
especially the British, would never
forget of a dictionary titled “A
Dictionary, English and Malayo,
Malayo and English” compiled by
Thomas Bowrey. The first Malay
language dictionary written in Latin
was published in London in 1701.
Bowrey was a British patriot who
came to Malacca before British
traders, who came after him. He
compiled the dictionary after he
returned from Malacca in 1688. It
was Bowrey who confidently stated
that the Malay language was the
lingua franca of trade in the Malay
islands.
Meanwhile, the Dutch would
always remember the services of
Frederick de Houtman, the brother
of Cornelis de Houtman who was
killed in the hands of the kingdom
of Aceh’s admiral Malahayati in
June 1599, for his notes about the
Malay language during the time of
his detainment. The notes of F. de
Houtman were then published, titled
“Tsamensrekinghen”, involving notes
in the Malay language and their
translations in Dutch (Collin, 2005).
The National Movement Era
The long history of the Malay
language above has served as a
blessing for the young pioneer
figures during the national
movement in the first part of the
20th century. It was the Malay
language that allowed them to
Peserta Konggres Kedua 1928, sedang berfoto bersama di
halaman gedung Kramat Raya 106 (tempat konggres.
Peserta Konggres Kedua 1928, sedang berfoto bersama di halaman gedung Kramat Raya 106 (tempat konggres.
Sumber: steemit.com/@rahmadanda
Sumber: Perpustakaan Nasional RI
INDONESIANA - Vol 5/2019 81
establish communications and
gather potential from different
regions in order to unite the
determination to build a country.
In the beginning the most
frequently used Malay language was
the one used by lower class Malay
people. The intensity of publishing
activities in supporting the national
movement lead to the sophistication
of the Malay language. The term
“Bahasa Indonesia” began to be
used and made as a subject material
taught in schools for indigenous
people.
The nationalist movement
that grew more and more rapidly,
signified with the usage of the
Malay language, was considered
as a serious political issue in the
eyes of the colonial government.
The colonial government then
”Bahasa Melayu
awal sebenarnya
tidak memiliki
aksara sendiri.
Dalam sejarahnya,
Bahasa Melayu
pernah ditulis dalam
beberapa bahasa,
seperti Sanskerta dan
Pallawa
Pemukulan gong oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menandai
pembukaan Kongres Bahasa Indonesia XI tahun 2018
wanted to once again bring the
influence of the Dutch language in
the Indonesian education through
a linguist and education expert
Dr. G.J. Niewenhuis. The effort did
work. Many of Indonesian youth in
turn wanted to be recognized as
Dutch. This situation was satirically
depicted by Abdul Muis through his
novel “Salah Asuhan”.
But the current of national
movement was much stronger
than thought, because Indonesian
prominent figures were even more
assured of the significance of a
uniting language. The determination
was formulated in the Youth
Congress in Jakarta on 28 October
1928. The Congress gave birth to
“Sumpah Pemuda” (the Youth
Pledge) in which one of the pledges
was: “We, the sons and daughters
of Indonesia uphold the united
language, Bahasa Indonesia”.
The 1928 Youth Pledge served
as a paramount momentum in the
usage of the Malay language as
Bahasa Indonesia in formal forums
as well as in daily conversations.
During the Japanese invasion
(1942-1945) Bahasa Indonesia was
used freely. The historical peak
of the Malay language was when
it was designated as the mother
language and the uniting language
of Indonesia during the passing of
the 1945 Indonesian Constitution
(UUD 1945) on 18 August 1945, in
which article 36 of the Constitution
says, “The state language is Bahasa
Indonesia”
AYA
INDONESIANA - Vol 5/201982
R O K A T Yang Sakral dan Menghibur
Masyarakat Madura yang
terkenal taat beragama
memiliki ritual rokat,
suatu upacara sakral yang dilengkapi
beragam sesaji dan hiburan yang
menyenangkan. Bencana dan
penderitaan bisa datang kapan saja
sebagai takdir Tuhan Yang Maha
Kuasa. Orang Madura yang tinggal
di sebuah pulau di ujung timur
Pulau Jawa, Indonesia, menyiapkan
diri menghadapinya dengan rokat,
upacara adat peninggalan nenek
moyang yang kini sudah disesuaikan
dengan ajaran Islam yang mereka
anut.
Jenis rokat yang dipraktekkan
masyarakat Madura cukup banyak,
untuk kepentingan pribadi maupun
umum. Yang bersifat pribadi, antara
lain, rokat pandhaba (pandawa).
Upacara ini dilakukan, jika dalam
satu keluarga terdapat anggota
yang kelahirannya masuk kategori
pandhaba macan yang berciri
kembar.
Selain rokat pandhaba, dikenal
rokat bheliune. Ini biasa digelar
setelah salah seorang anggota
keluarga meninggal dunia. Mereka
hendak menyudahi kesedihan,
mengembalikan kebahagian semula,
agar keluarga yang ditinggalkan
tak hidup melarat di dunia (mabheli
dhunnya), atau agar harta benda
yang tersisa tidak ikut pergi bersama
si mati.
Ragam rokat yang bersifat
komunal, di antaranya, rokat tasè',
rokat bhume, rokat dhisa, rokat
sombher (sumber mata air), dan
rokat pamengkang. Rokat tasè'
diselenggarakan sebagai ungkapan
syukur para nelayan atas ikan hasil
tangkapan mereka, juga sebagai doa
agar mereka terhindar dari kesulitan
menangkap ikan.
Selanjutnya, rokat bhume atau
Sumber: Museum Trunojoyo Sampang, Jawa Timur
Ritus
INDONESIANA - Vol 5/2019 83
pakarangan yang dilakukan petani pedalaman. Ini
digelar dengan harapan mereka hidup sejahtera dengan
hasil panen yang baru dipetik. Melalui doa-doa, mereka
berharap lahan pertanian mereka terhindar dari penyakit
atau hama tanaman.
Lalu, dikenal pula rokat dhisa (desa). Ini dilakukan
sebagai bentuk pengharapan seluruh warga untuk
memperoleh ketenangan, keamanan, atau agar mereka
terhindar dari disharmoni di antara sesama penduduk
desa.
Upacara rokat komunal tak boleh dilaksanakan
sembarang waktu. Para pemuka adat telah menetapkan
waktu tertentu yang diyakini akan memberi kemanjuran
tersendiri pada doa dan ritual yang diselenggarakan.
Tapi, kepastian waktu pelaksanaan rokat biasanya masih
dimusyawarahkan lebih lanjut di antara pemuka adat.
Rokat tasè' biasanya diselenggarakan dengan
semarak sekitar bulan Agustus, saat awal musim panen
ikan laut. Rokat bhume dan rokat dhisa dilaksanakan
pada tanggal 1 atau 10 Sora (Muharam). Sementara
rokat bheliune biasa digelar pada hari ketujuh setelah
kematian.
Pelaksanakan rokat menuntut beberapa persyaratan,
seperti mantera dan sesaji atau sajjhin. Mantera biasanya
berupa doa khusus yang dibacakan kiai, guru ngaji, atau
orang yang dianggap paham mengenai bacaan doa
rokat tadi.
Sementara itu, bentuk hidangan sesaji berbeda-
beda, tergantung jenis rokat. Sesaji pada rokat bheliune,
misalnya, wajib berupa ayam panggang utuh, pinang,
gambir, jerenguh, sirih, kelapa, jarum, dan pisang
mentah ‒ masing-masing mengandung simbol sarat
makna.
Sesaji di ritual rokat sombher yang digelar rutin
setiap tahun, menjelang musim kemarau, wajib berupa
sate ayam, pisang, beragam jenis gorengan dan jajanan
pasar. Sebelum rokat digelar, sesaji sumbangan warga
ditaruh di bawah terop. Sebagian lainnya ditempatkan di
tujuh penjuru mata angin.
Acara rokat sombher dimulai dengan pembacaan
kitab suci al-Qur'an, dilanjutkan dengan pembacaan
Macopat atau kitab Nurbuat. Warga juga bergotong
royong membersihkan lumpur dan kotoran dari sumber
mata air yang berada dalam gua, yang juga menjadi
sarang walet.
Rokat shomber bahkan punya variasi. Pada rokat
sombher brungbung, mata air yang dipercaya bertuah,
warga mengorbankan seekor kambing dan dua ekor
ayam. Sebelum disembelih, kambing dihias sedemikian
rupa lalu dituntun berkeliling lokasi beberapa kali,
sedangkan kedua ekor ayam dilepas.
Di bawah asap kemenyan dan sasajen tumpeng
rasul, diperagakan pula pencak silat dan tari hadrah jidur
lengkap dengan segala peralatan musiknya. Rokat pun
tak cuma sebuah ritual yang sakral, tapi juga menjadi
hiburan yang menggembirakan.
AT
Perahu Lancang Kuning yang dibuat untuk membawa sesaji
Ayam kampung dan sesajen lainnya yang digunakan dalam
ritual rokat
Sumber: inspirasisyariah.web.id
Sumber: inspirasisyariah.web.id
INDONESIANA - Vol 5/201984
D E M O K R A S I YA N G M E N G G E M B I R A K A N
Di bulan April 2019,
kita menggelar ‘pesta
demokrasi’ yang
berlangsung sekali dalam lima
tahun, yaitu Pemilihan Umum
atau Pemilu. Pada dasarnya
tujuan penyelenggaraan pemilu
adalah memilih wakil rakyat dan
pemimpin rakyat untuk membentuk
pemerintahan yang demokratis.
Karena tingginya angka
golput atau masyarakat yang
tidak mau memberikan pilihan,
petugas Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS)
pada sejumlah TPS di Tanah Air
berusaha menarik perhatian warga
agar memberikan hak pilihnya
dengan mendekorasi TPS bahkan
menggunakan kostum tertentu.Ya,
seperti dilakukan KPPS di TPS 2
Kelurahan Kandri, Kota Semarang,
Jawa Tengah, pada Pilkada tahun
2015 lalu. Para petugas KPPS
berdandan ala pecinta alam yang
akan melakukan arung jeram di
sungai, lengkap dengan pelampung
dan juga helm.
Sedangkan pada perhelatan
Pilpres 2014, TPS 45 di kelurahan
Krembangan, Surabaya, menghiasi
diri dengan tema utama dan atribut
Piala Dunia 2010. Sementara itu, di
TPS 43, Kelurahan Moro Krembang,
Surabaya, ada penampakan pocong,
mumi, vampir, dan hantu lainnya,
yang ternyata merupakan kostum
petugas KPPS.
Terdengar alunan musik jazz
di salah satu TPS yang ada di
Kabupaten Malang, Jawa Timur di
pada Pilkada yang digelar pada
Desember 2015 lalu, dan para
petugas KPPS pun mengenakan
pakaian adat Jawa. Konsep
dan desainnya juga bernuansa
tradisional. Di TPS 11 Kelurahan
Pulosari, Kecamatan Gunungsari,
Aneka kreativitas unik peserta dan petugas di TPS: demokrasi yang
menggembirakan
Kota Surabaya, Jawa Timur, juga
bergaya unik dan tampil gagah
dengan tema ala koboi.
Pemandangan tak kalah
unik terjadi di TPS 7 Tegalmulyo,
saat Pilkada 2015, para pemilih
memberikan suaranya di dalam bus
yang telah disiapkan oleh panitia.
Tak hanya itu, sebelum mencoblos
para pemilih juga akan dipanggil
dengan pukulan gong. Di TPS 8
Banjar Blungbang suasana adat
dan budaya Bali sangat kental,
karena mengenakan pakaian adat
madya dan didukung KPPS yang
berseragam Arja Cupak Gerantang
saat perhelatan pemilihan Bupati/
Wakil Bupati Badung periode 2016-
2020.
Sebagai tradisi demokratis untuk
memilih pemimpin, pemilu adalah
sebuah momen kegembiraan politik
rakyat banyak. Tidak selayaknya
pesta rakyat ini diwarnai konflik,
saling fitnah, dan saling menjelek-
jelekkan. Perbedaan pendapat
adalah bagian penting dari pesta
demokrasi itu sendiri, bukan sesuatu
yang saling meniadakan.
NOE
Mozaik
Sumber: LKBN Antara
Sumber: LKBN Antara
INDONESIANA - Vol 5/2019 85
MUSEUM MARITIMINDONESIA
Beralamat di Jl. Pasoso No.1,
Tanjung Priok, Jakarta
Kota, Jakarta Utara,
terletak di tengah-tengah wilayah
pelabuhan dan berada dalam sebuah
gedung kokoh dan bersejarah, PT
Pelabuhan Indonesia II Persero (IPC)
membuka sebuah museum yang
bercerita tentang sejarah maritim
Indonesia, pada awal Desember
2018 lalu.
Keberadaan Museum Maritim
Indonesia yang didirikan oleh
IPC bertujuan untuk melestarikan
budaya, sejarah, cerita dan
bukti kejayaan bahari dari masa
lalu, masa sekarang dan masa
yang akan datang, sekaligus
menyediakan fasilitas pertemuan
dan media pembelajaran di bidang
kepelabuhan dan pelayaran di
Indonesia.
Museum Maritim Indonesia
dibuka untuk umum pada Selasa
sampai Jumat dari pukul 9 hingga
16. Sabtu dan Minggu pukul 9 hingga
pukul 17. Sedangkan dihari Senin
atau hari libur nasional musium
tutup. Museum yang ditata apik
ini mempunyai fasilitas antara lain
ruang pameran, ruang pertemuan,
kotak penitipan barang, toilet, ruang
audio visual, mushala, toko souvenir,
kafe, perpustakaan, taman dan
menara pandang.
Terdapat berbagai koleksi
berasal dari peninggalan pelabuhan
Tanjung Priok dan pelabuhan-
pelabuhan lain di Indonesia, antara
lain foto pelabuhan dan kelautan
dari tahun 1850 - 2018, video
dokumenter tentang kelautan dan
dermaga, miniatur kapal tradisional
dan modern, diorama suasana
pelabuhan, displai infografis sejarah
pelabuhan di Indonesia dan dunia.
Terdapat pula tampilan 3D bola
dunia yang menggambarkan jalur
laut dan pelabuhan, peta jalur
perdagangan Nusantara, keramik,
maket pelabuhan Tanjung Priok,
replika relief Borobudur yang
menggambarkan kapal, replika
artefak gerabah dari Sriwijaya,
Majapahit, dan Kapal Teksing serta
alat navigasi.
Gedung yang sekarang
digunakan menjadi museum pada
awalnya adalah bangunan kantor
Pengelola Pelabuhan yang dibangun
awal abad ke-20 dengan gaya
arsitektur “international style”.
Bangunan itu sezaman dengan
gedung Museum Bank Mandiri dan
Bioskop Metropole di Jakarta.
NOE
Peta migrasi Austronesia
Salah satu koleksi Museum Maritim Indonesia
Sumber: fajarmuhrivai.blogspot.com
Sumber: fajarmuhrivai.blogspot.com
Sumber: fajarmuhrivai.blogspot.com
INDONESIANA - Vol 5/201986
JAMASAN TOSAN AJI Tradisi jamasan untuk keris
terdiri dari tiga tahapan. Pertama,
identifikasi apakah keris pernah
dicuci atau belum. Kedua,
pembersihan, membuang karat
pada logam, untuk kemudian dilapisi
minyak sebagai filter. Terakhir,
pentayuan, yakni proses meneliti
kondisi keris secara detail.
Pada proses pentayuan akan
diteliti keris berasal dari kerajaan
mana dan siapa pembuatnya. Dari
sini akan dikeluarkan sertifikat
hasil tayuh yang memuat seluruh
informasi tentang keris. Pada
upacara jamasan di Pringgitan Singo
Dermo, misalnya, ditemukan keris
tua buatan tahun 328 M, bernama
Bromi Kedali.
AT
Sepuluh orang berpakaian adat Jawa tampak duduk berjajar rapi di
depan baskom berisi air yang diambil dari tujuh sumber di sekitar
Desa Banaran, Dusun Ledok, Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur.
Kembang setaman yang ditaburkan ke air menghadirkan aroma tersendiri
di Pringgitan Singo Dermo, tempat khusus yang telah disiapkan tim untuk
menggelar ritual Jamasan Tosan Aji.
Disaksikan ratusan warga setempat, tim penjamas menyuci hampir
empat ratus keris dalam berbagai bentuk dan ukurannya. Keris-keris tersebut
didoakan terlebih dahulu, baru setelah itu, oleh para penjamas, dicelupkan
satu per satu ke baskom berisi air tadi. Selanjutnya mereka membasuh
secara secara perlahan, mengeringkan, dan kemudian memasukkan keris-
keris itu ke dalam rangkanya masing-masing.
Jamasan Tosan Aji merupakan tradisi memandikan benda keras dari besi
yang memiliki nilai kesejarahan dan artistik. Ia dipraktekkan oleh berbagai
kalangan mulai dari para raja di keraton hingga warga biasa di pulau Jawa,
setiap tahun pada bulan Suro atau Muharam.
Tosan yang dijamas terutama keris, benda tajam yang berfungsi sebagai
identitas, gelar, sekaligus penunjuk kepangkatan seseorang. Jenisnya dua,
yaitu keris yang berbentuk lurus (lajer), dan yang memiliki kelokan (luk)
mulai dari kelokan tiga hingga dua puluh tujuh.
Sumber: radarmalang.id
Sumber: benarnews.org
Sumber: benarnews.org
INDONESIANA - Vol 5/2019 87
PERANGKETUPATGendang panjang, gendang Tempilang
Gendang disambit, kulet belulang
Tari kami tari Serimbang,
Tari untuk menyambut tamu yang datang
Itulah pantun yang biasa dibacakan seorang dukun,
ketika membuka pesta adat perang ketupat yang
berlangsung setiap tahun di pantai pasir Kuning
Tempilang, Kab. Bangka Barat, Kepulauan Bangka
Belitung. Sejumlah remaja kemudian menampilkan
tari penyambutan tamu diiringi nyanyian lagu Timang
Burong (Menimang Burung) serta alunan suara gendang
dan dawai.
Tarian Timang Burong merupakan bagian dari
ritual Penimbongan sebelum acara perang ketupat
dilangsungkan. Sesajen berupa buah, sayur dan daging
diletakkan di atas penimbong (rumah-rumahan dari
kayu menangor) untuk memberi makan makhluk
halus yang dipercaya tinggal di darat. Tarian itu
pun dimainkan setelah diminta seorang dukun laut
berpenampilan serba hitam yang kesurupan.
Usai ritual Penimbongan, para dukun kembali
mengadakan upacara Ngancak yang juga dilengkapi
sesaji berupa buk pulot (nasi ketan), telur rebus, dan
pisang rejang yang dipercaya merupakan makanan
kesukaan siluman buaya. Tujuannya, untuk memberi
makan makhluk halus penunggu laut. Setelah semua
ritual doa usai, para dukun meletakkan puluhan ketupat
di atas sehelai tikar pandan.
Di saat itulah, puluhan pemuda yang menjadi
peserta perang ketupat tampil ke depan, berbaris saling
berhadapan. Mereka terbagi ke dua kelompok. Tak
berapa lama, suara peluit menggema menandakan pesta
adat perang ketupat dimulai. Kedua kelompok pemuda
saling serang dengan melemparkan ketupat. Debu pun
beterbangan. Para pengunjung tak henti bersorak-sorai,
menyemarakkan pesta.
Selang beberapa saat, genderang peluit kembali
berkumandang menandakan pesta adat perang
ketupat berakhir. Ritual dilanjutkan dengan pengarakan
sesajen dan mengarungkannya ke tengah laut. Acara
pun berakhir di sana, sekaligus menggenapi rangkaian
acara sedekah ruah yang sudah berlangsung dua pekan
sebelumnya sejak 15 Sya'ban.
Selain di Bangka Belitung, adat perang ketupat juga
berlangsung setiap tahun di Desa Kapal, Kec. Mengwi,
Kab. Badung, Bali. Ritual serupa juga dilakukan warga
Dusun Muneng, Desa Sidomulyo, Kec. Ungaran Timur,
Kab. Semarang, Jawa Tengah. Ratusan warga membawa
ketupat lengkap dengan sayur-mayurnya. Usai berdoa,
mereka menyantap aneka makanan tersebut lalu sisanya
dilemparkan kepada sesama peserta pesta layaknya
perang.
AT
Sumber: humas.babelprov.go.id
Sumber: humas.babelprov.go.id
INDONESIANA - Vol 5/201988
Congklak adalah permainan
tradisional yang dikenal
dengan berbagai macam
nama di seluruh Indonesia. Di Jawa,
permainan ini dikenal dengan
nama dakon, di Lampung disebut
dentuman lamban, sedangkan di
Sulawesi congklak tenar dengan
sebutan mokaotan.
Permainan congklak mempunyai
16 buah lubang pada papannya.
Dua orang anak yang akan bermain
duduk berhadapan dengan setiap
tujuh lubang berada pada bagian
sisi anak. Ke-14 lubang itu diisi
tujuh biji congklak di dalamnya,
dan dua lubang di ujung kiri dan
kanan yang berukuran lebih besar
dibiarkan kosong. Lubang Ini
berfungsi sebagai penyimpanan
biji congklak masing-masing anak.
Yang memiliki biji terbanyak di
lubang penyimpanannya pada akhir
CONGKLAK
mewah dengan biji-biji cangkang
kerang, sementara kalangan rakyat
jelata bermain dengan mengorek
lubang di dalam tanah dan
mengunakan biji-bijian seperti biji
sawo, kelereng atau batu kerikil.
Saat ini banyak yang memainkan
congklak yang terbuat dari kayu dan
plastik.
Congklak dapat mengasah
kecerdasan otak kiri anak karena
cara bermainnya mengharuskan
mereka mengumpulkan biji lebih
banyak daripada lawannya. Dari
hal tersebut, anak akan mencoba
berpikir untuk menemukan
strategi yang pas untuk merebut
biji lawannya. Dengan ini otak kiri
anak akan selalu terasah dalam
permainan karena harus melakukan
perhitungan.
AG
Sumber: sangbuahhati.com
permainan dialah pemenangnya.
Saat permainan dimulai, seorang
anak yang bergiiliran lebih dahulu
mulai mengambil biji congklak dari
salah satu lubang miliknya kemudian
meletakkannya satu-persatu di
lubang-lubang sebelah kiri. Jika biji
tersebut telah habis pada lubang
yang ada biji congklaknya, maka
anak itu dapat mengambil biji di
dalamnya dan kembali memasukkan
ke lubang selanjutnya searah jarum
jam. Jika bijinya habis di lubang
kosong pada sisinya, ia berhak
mengambil biji lawan yang berada
pada lubang yang sejajar dengan
lubangnya. Namun jika bijinya habis
pada lubang yang kosong di sisi
lawan, maka gilirannya terhenti dan
berganti giliran lawan.
Pada zaman dahulu, golongan istana
bermain dengan menggunakan
papan congklak kayu yang berukir
Permainan Yang
Mengasah Otak Kiri Anak
INDONESIANA - Vol 5/2019 89
PAT H O LGulat Tradisional Asli Indonesia
Dua orang bertubuh kekar
saling berhadapan. Otot
mereka tampak dari
lengan, dada dan perut mereka yang
tidak ditutupi pakaian. Kulit mereka
yang coklat legam dibakar matahari
bertahun-tahun menandakan
perjuangan mereka sebagai nelayan.
Mereka hanya memakai celana
pendek dan seutas tali diikatkan di
pinggang mereka. Tali dadung atau
udhet itu dipakai untuk memegang
lawan dan membantingnya hingga
terjerembab ke pasir di bawah
mereka.
Tangan mereka siap
mencengkeram lawan, dan ketika
wasit memberikan tanda mulai,
keduanya segera meraih tubuh
lawan dan merangkul dadhung-
nya dengan memberikan energi
dorongan dan tarikan untuk
membanting lawannya. Musik
pengiring melantunkan irama khas
menempel di pasir. Selain itu juga
ada pengrawit yang memainkan alat
musik tradisional untuk mengiringi
permainan pathol.
Pathol dalam Bahasa Sanskerta
berarti orang kuat yang tak
terkalahkan. Olahraga ini lahir
pada era Kerajaan Majapahit.
Saat itu pangeran Sri Sawardana,
adik bupati Tuban ditugaskan
membentuk prajurit angkatan laut
untuk mengamankan pelabuhan
Tuban, pintu gerbang Majapahit.
Untuk mencari ksatria terbaik dari
ancaman bajak laut, calon prajurit
kemudian diadu untuk mencari
siapa yang paling kuat melalui
pertandingan pathol. Karena unik
dan menarik, akhirnya pathol
menyebar ke desa-desa di sekitar
Tuban hingga Rembang, dan kini
menjadi olahraga sekaligus hiburan
bagi para nelayan di pesisir pantai
utara Jawa. AG
Sumber: awank-sarank.blogspot.com
gamelan Jawa yang membangkitkan
semangat. Puluhan penonton yang
mengelilingi arena berbentuk bulat
meneriakkan yel-yel penyemangat.
Ketika salah seorang berhasil
membanting jatuh lawannya, para
penonton berteriak kegirangan
merayakan kemenangannya.
Indonesia memiliki olahraga
gulat tradisional yang bernama
pathol. Olahraga ini berasal dari
Kecamatan Sarang dan populer di
wilayah pantai utara Jawa mulai
dari Rembang hingga Tuban.
Seperti halnya gulat lain, pathol
mempertandingkan dua orang
di tengah arena yang berbentuk
bulat dengan beralaskan pasir
karena dimainkan di pantai. Kedua
atlet pathol hanya mengenakan
celana pendek dengan tali terikat
di pinggang. Pegulat yang menang
adalah yang berhasil membanting
lawan hingga punggungnya
INDONESIANA - Vol 5/201990
Suasana ruang pertemuan itu gaduh. Para peserta berbicara satu
sama lain. Di setiap pojok ruangan, anggota rapat berdiskusi
tentang masa depan bangsa. Tak lama kemudian, seorang pemuda
berusia 25 tahun berjalan ke tengah ruangan. Ia terlihat gugup dan sedikit
ragu. Sementara itu, beberapa anggota polisi rahasia Belanda duduk di
antara anggota rapat, mengawasi jalannya pertemuan. Sang pemuda tadi
barangkali tahu apa yang hendak dia lakukan itu kelak akan diriwayatkan
dalam buku sejarah. Ia membawa sebuah biola, alat musik pemberian kakak
iparnya.
Tidak ada peninggalan foto dari peristiwa itu, sehingga kita hanya bisa
menerka pakaian yang ia kenakan. Tapi, bahwa ia berkacamata, dan kerap
menggunakan peci di atas kepalanya, tidak diragukan lagi merupakan
kebiasaan pemuda ini. Dan, ketika langkahnya sampai di titik yang ia tuju,
para tamu seketika diam. Beberapa peserta terpana keheranan.
INDONESIA RAYA TIGA STANZAKisah dan Filosofinya
Indonesia
Sumber: perpek.com
INDONESIANA - Vol 5/2019 91
masyarakat Indonesia semasa
Soepratman hidup. Sedangkan
musik klasik hanya boleh didengar
pihak kolonial. Lantas, dari mana
bisa muncul aransemen musik
Indonesia Raya seperti yang kita
kenal sekarang, lengkap dengan
permainan orkes khas musik klasik?
Setelah Indonesia merdeka, tepatnya
tahun 1950, Presiden Soekarno
memesan orkestrasi lagu tersebut
kepada seorang komponis Belanda
bernama Josef Clebers. Akhirnya,
lagu kebangsaan itu menjadi seperti
yang sekarang kita kenal. Soekarno
meminta Clebers untuk mengubah
dan menyelaraskan beberapa bagian
pada lirik aslinya.
Pada aransemen awal,
Soepratman membubuhkan tanda
suasana (mood marking) Marcia,
yang berarti baris-berbaris, sebagai
satu-satunya petunjuk permainan
dalam komposisinya. Artinya, ia
berharap pemain lagu Indonesia
Raya, dalam versi aslinya, akan
mengacu kepada tindakan baris-
berbaris. Kita bisa melihat bahwa
kesan progresif ingin ditekankan
oleh Soepratman. Seakan tidak
ada lagi pesan yang lebih penting
ketimbang persatuan rakyat
Indonesia untuk serempak melawan
penindasan para penjajah.
Sebagai lagu pergerakan, lagu
Indonesia Raya memuat banyak
nilai-nilai yang mencerminkan
falsafah kehidupan masyarakat
Indonesia. Lebih dari itu, Indonesia
Raya adalah musik universal yang
mengekspresikan semangat anti-
kolonial. Hal ini bisa ditarik dari
liriknya yang secara eksplisit
menjelaskan hal tersebut. Pertama-
tama, pesan tentang kebebasan
dapat kita temukan dari kata
pertama yang membuka lagu
tersebut: Indonesia. Ketika pertama
kali dimainkan pada tahun 1928,
Indonesia belum menjadi sebuah
negara. Indonesia masih menjadi
bagian dari Hindia Belanda.
Dengan menggunakan kata
“Indonesia” di awal mula lagu,
Indonesia Raya sudah menetapkan
posisinya sebagai lagu kebebasan
dan kemerdekaan dari pemerintahan
Hindia Belanda. Artinya, ada Hindia
Belanda dan ada Indonesia. Prinsip
yang berlaku dalam penggunaan
kata “Indonesia” ini adalah prinsip
identitas. Aku Indonesia dan
kau Belanda. Aku adalah negara
independen, begitu juga engkau.
Jelas-jelas ini adalah upaya untuk
memisahkan diri dari pemerintahan
kolonial. Kebebasan itu juga
meniscayakan kedaulatan utuh
yang terlepas dari campur tangan
pemerintah kolonial. Terang saja
para penjajah Belanda pada waktu
itu kerepotan.
Kata-kata kedua dalam lagu
Indonesia Raya adalah “tanah airku.”
Pada dirinya sendiri, kata-kata
tersebut berarti ikrar kepada ibu
pertiwi. Jika digabung dengan kata
pertama, maka kalimat tersebut
akan berarti ikrar kepada ibu
pertiwi Indonesia. Di balik itu ada
makna perjuangan sampai habis.
Bahwa rakyat Indonesia sudah
berjanji kepada ibu pertiwi untuk
mempertahankan kebebasannya,
identitasnya. Terutama apabila kita
menilik kepada kata-kata dari bait
kedua yang berbunyi “tanah tumpah
darahku.” Makna dari kedua kalimat
tersebut, “Indonesia tanah airku”
dan “tanah tumpah darahku”, berarti
penekanan kepada pemisahan
identitas dan kehendak bersama
Untuk beberapa saat ia berdiri
termangu di tengah ruangan. Ia
kelihatan mempersiapkan dirinya.
Tak lama kemudian, ia meletakkan
biola dipundak kirinya. Mungkin
ia menyelaraskan suara biolanya,
mungkin juga tidak. Yang pasti
begitu ia mengangkat tangan
kanannya dan mulai menggesek
senar biola, peserta mendadak
berubah menjadi penonton. Suara
biola yang begitu liris memenuhi
ruangan besar tersebut tanpa
gema. Suara instrumen yang paling
mirip dengan suara manusia itu
menghipnotis penonton. Alunan
nada-nada yang ia mainkan adalah
cikal bakal lagu Indonesia Raya. Kita
mengenal pemuda itu dengan nama
Wage Rudolf Soepratman.
Lagu Indonesia Raya pertama
kali membahana pada penutupan
Kongres Pemuda II, di Jakarta, yang
waktu itu masih bernama Batavia.
Peristiwa itu sekarang kita kenal
dengan Hari Sumpah Pemuda dan
terus kita kenang setiap tahun.
Dengan demikian, tentu saja,
peristiwa yang diceritakan di atas
terjadi pada 28 Oktober 1928.
Tempat terjadinya peristiwa itu
pun masih bisa kita datangi dan
kunjungi saat ini. Sebuah rumah di
Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat
yang kini bernama Museum Sumpah
Pemuda. Atas ingatan dari beberapa
orang yang mengikuti kegiatan itu,
dibuatlah diorama di tempat itu.
Biola yang diceritakan di atas pun
bisa kita temukan di sana.
Lagu yang dimainkan Wage
Rudolf Soepratman dalam kisah
itu jauh dari yang kita kenal
sekarang. Ia digubah mengikuti
pakem-pakem musik keroncong.
Musik yang populer di kalangan
INDONESIANA - Vol 5/201992
untuk dipertahankan sampai mati.
Bagi pemerintah kolonial, ini sama
saja dengan pernyataan bahwa
“sudah sekian lama kami melawan
untuk identitas kami, dan kami akan
terus melawan sampai habis.”
Tentu saja makna fatalistik
di balik dua bait lirik pertama
itu sudah menakutkan bagi
pemerintah kolonial. Betapa pun
banyaknya keuntungan yang diraup
pemerintah kolonial, kemungkinan
perjuangan sampai akhir zaman
tidak akan pernah bisa dipikirkan
oleh mereka sebagai investasi yang
menguntungkan. Itulah yang siap
diberikan oleh rakyat Indonesia
pada waktu itu. Pertempuran
macam itulah yang dihadapi oleh
pemerintah kolonial.
Hal pertama kali yang dipikirkan
oleh Supratman, jelas, adalah
kebebasan dari penjajahan kolonial.
Rakyat Indonesia waktu itu sudah
geram selalu disamakan dengan
bangsa kafir terbelakang. Tidak
jarang bahkan disamakan dengan
anjing. Terbukti dari banyak tempat-
tempat umum yang menuliskan
tanda “Inlaander dan anjing dilarang
masuk.” Dari situ saja kita bisa
menyimpulkan kekuatan universal
dari Indonesia Raya, karena
penjajahan tidak hanya terjadi di
bumi nusantara.
LT
Bait kedua dari kuplet pertama
semakin menekankan hal identitas
tersebut. Bait tersebut berbunyi,
“Indonesia kebangsaanku”
dan konsekuensinya sekali lagi
pemisahan kewarganegaraan dari
negara yang belum ada. Kata-
kata terakhir dari bait ketiga
adalah “untuk Indonesia Raya”
yang bisa berarti bahwa segala
sesuatu yang dilakukan rakyatnya,
seperti membangun jiwanya,
membangun badannya adalah
untuk kedaulatan Indonesia, untuk
Indonesia Raya. Intinya, setiap
bait dalam kuplet pertama adalah
perumusan mengenai kebebasan
dan perjuangan untuk mencapai
kebebasan dari jerat kuasa
penjajahan.
Sumber: Arsip Kemendikbud RI
INDONESIANA - Vol 5/2019 93
I
Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu
Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku Semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
(Ulangan)
Indonesia Raya
Merdeka, Merdeka
Tanahku, Negriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka, merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
II
Indonesia, tanah yang mulia
Tanah kita yang kaya
Disanalah aku berdiri
Untuk slama-lamanya
Indonesia, tanah pusaka
P’saka kita semuanya
Marilah kita mendoa
Indonesia bahagia
Suburlah tanahnya
Suburlah jiwanya
Bangsanya, Rakyatnya, Semuanya
Sadarlah hatinya
Sadarlah budinya
Untuk Indonesia Raya
(Ulangan)
Indonesia Raya
Merdeka, Merdeka
Tanahku, Negriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka, merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
III
Indonesia, tanah yang suci
Tanah kita yang sakti
Di sanalah aku berdiri
M’njaga ibu sejati
Indonesia, tanah berseri
Tanah yang aku sayangi
Marilah kita berjanji
Indonesia abadi
S’lamatlah rakyatnya
S’lamatlah putranya
Pulaunya, Lautnya, Semuanya
Majulah negrinya
Majulah pandunya
Untuk Indonesia Raya
(Ulangan)
Indonesia Raya
Merdeka, Merdeka
Tanahku, Negriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka, merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
Sumber: humas.paserkab.go.id
[BIMA]MboloWeki. Tradisi musdan mufakat di Bima yberupa forum untuk mempersiapkan suakekerabatan, seperti pernikkhitanan. Namun, sekdigelar untuk membahas berbagai hal berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan bersama.
[BALI]Musawarah subak dan pemerintahan trpertama merupakan mektradisional khusus untuk taadalah lembaga tradisional untuk mengurus k
[MADURA]Rokat. Ritual kuno masyarakat Madura yang dilakukan saat tertimpa musibah. Upacara adat peninggalan nenek moyang ini sekarang sudah disesuaikan dengan ajaran Islam yang mereka anut.
[YOGYAKARTA]Gobak sodor atau hadangan, terobos dan galasin. Merupakan satu dari banyak permainan tradisional khas Indonesia. Dimainkan di lapangan persegi panjang kurang lebih 15 x 9 meter. Ada 3 sampai 5 garis horizontal pada area panjangnya, dan area pendeknya diberi garis tengah. Garis-garis tersebut merupakan lini jaga. Kelompok lawan berusaha menerobos penjagaan ini tanpa ditepuk atau ditangkap penjaga garisnya.
[JAWA]Jamasan Tosan Aji. Merupakan tradisi memandikan benda keras dari besi yang memiliki nilai kesejarahan dan artistik. Dipraktekkan oleh berbagai kalangan mulai dari para raja di keraton hingga warga biasa di pulau Jawa, setiap tahun pada bulan Suro atau Muharam.
[JAWA TIMUR]Ludruk Jawa Timuran merupakan wahana unjuk pantun diiringi musik sederhana
[SUMATRA BARAT]Kerapatan Nagari. Tradisi mekanisme pengambilan keputusan bersama dalam masyarakat Minangkabau.
[BANGKA BARAT]Perang Ketupat. Pesta adat saling melempar ketupat yang berlangsung setiap tahun di pantai pasir Kuning Tempilang, Kab. Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung.
[JAWA dan BALI]Gamelan. Merupakan musik asli Indonesia, sudah dikenal di Indonesia sejak abad ke 8 Masehi. Gamelan merupakan orkestra perkusi Indonesia berlaras Slendro dan atau Pelog yang memiliki pola frekuensi dan interval tertentu. Pada awalnya merupakan perangkat musik upacara ritual adat dan keagamaan serta identitas warga istana dan keluarga bangsawan. Berkembang luas menjadi seni pertunjukan yang populer terutama di Jawa dan Bali. Gamelan digunakan sebagai musik konser dan menjadi bagian penting dalam pertunjukan tari, teater, dan ekspresi seni lainnya.
[ACEH]Kerawang Gayo. Merupakan sebutan untuk motif hias khas etnis Gayo di provinsi Aceh. Desain Kerawang Gayo berupa corak sulur, garis, dan bentuk geometris yang berulang membentuk pola melingkar atau berjajar. Motif Kerawang Gayo dapat dikenali dari paduan warnanya yang bisa dikatakan merupakan ciri kuat ragam hias etnik ini. Dasar berwarna hitam dengan corak-corak merah, putih, hijau, dan kuning di atasnya.
[RIAU]Pacu Jalur. Perlombaan dayung tradisional dengan menggunakan sebuah sampan/ perahu panjang yang dalam bahasa penduduk setempat disebut jalur. Dibuat dari batang kayu utuh sepanjang 25-40 meter dan lebar satu setengah meter. Dalam satu perahu, sekitar 40-60 kru pendayung memacu perahunya dalam lintasan yang telah ditetapkan di atas sungai.
[PANTAI UTARA JAWA (REMBANG - TUBAN)]Pathol. Olahraga gulat trwilayah pantai utara JawRembang hingga Tuban. Mempertandingkan dua ortengah arena yang berbentuk buladengan alas pasir. Kedua amengenakan celana pendek dengan tali terikat di pinggang. Ppertandingan adalah yang berhasil membanting lawan hingga punggungnya menempel di pasir
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
SELATAN
KALIMANTAN
BARAT
SULA
SELA
KALIMANTAN
TIMUR
NUSA TENGGARA
BARAT
JAWA TIMUR
JAWA TENGAH
JAWA BARAT
SUMATERA
SELATAN
KEPULAUAN
RIAU
SUMATERA
BARAT
SUMATERA
UTARA
INDONESIANA - Vol 5/201994
Peta Budaya
adisi musyawarah t di Bima yang lazim
orum untuk an suatu kegiatan
tan, seperti pernikahan dan khitanan. Namun, sekarang biasa digelar untuk membahas berbagai
aitan dengan pemenuhan ebutuhan bersama.
ah subak dan pemerintahan tradisional Banjar di Bali. Yang pertama merupakan mekanisme pembahasan dan pengambilan keputusan
adisional khusus untuk tata kelola air pertanian, sementara yang kedua adalah lembaga tradisional untuk mengurus keperluan administrasi warga.
[MAKASAR]Tudang Sipulung. Secara harfiah berarti duduk bersama. Merupakan tradisi musyawarah dan mufakat wargasuku Bugis Makassar untuk membahas jalan keluar berbagai persoalan secara bersama-sama serta sarana pengungkapan aspirasi.
[SULAWESI SELATAN]Tradisi Pembuatan Kapal Pinisi.
Keahlian membuat kapal Pinisi diwariskan secara turun menurun selama ratusan tahun. Keseluruhan pekerjaan dilakukan dengan alat-alat pertukangan tradisional. Para pengrajin kapal pinisi hanya mengandalkan pengalaman dan pengetahuan yang mereka dapatkan dari para pendahulunya melalui ingatan semata.
[MALUKU]‘Sasi’ dapat diartikan sebagai ‘larangan’. Sasi dalam masyarakat Maluku berarti waktu terlarang untuk mengambil atau memanen hasil-hasil alam.
[MALUKU]Pelagandong. Gabungan dua kata "pela" (ikatan persatuan) dan "gandong" (saudara), yang berarti saling mengikat diri sebagai saudara. Pela gandong didefinisikan sebagai model persahabatan, sistem persaudaraan atau perseku-tuan yang dikembangkan di antara seluruh penduduk asli Maluku dari dua wilayah atau lebih.
[NUSATENGGARA TIMUR]Ende Lio. Flores, Nusa Tenggara Timur. musyarah mufakat masarakat setempat di hanga, yakni ruang publik terbuka, biasanya berada di tengah permukiman, dan dihadiri para penggarap (fai walu ana kalo) dan pemangku adat (mosalaki).
[PANTAI UTARA JAWA (REMBANG - TUBAN)]
t tradisional di a Jawa mulai dari uban.
an dua orang di ang berbentuk bulat
edua atlet elana pendek dengan
t di pinggang. Pemenang pertandingan adalah yang berhasil
an hingga a menempel di pasir.
MALUKU UTARA
PAPUA BARAT
SULAWESI
UTARA
SULAWESI
TENGAH
SULAWESI
TENGGARA
SULAWESI
SELATAN
NUSA TENGGARA
TIMUR TENGGARA
INDONESIANA - Vol 5/2019 95
INDONESIANA - Vol 5/201996
Conefo: Conference of The New
Emerging Forces (CONEFO)
merupakan gagasan Presiden
Soekarno untuk membentuk
suatu kekuatan blok baru yang
beranggotakan negara-negara
berkembang untuk menyaingi
kekuatan blok sebelumnya (Blok Uni
Soviet dan Blok Amerika Serikat).
Gedung Pancasila: sebuah gedung
bersejarah yang terletak di Jakarta,
Indonesia. Nama Pancasila mengacu
pada pidato yang disampaikan oleh
Soekarno di gedung tersebut saat
dia menjelaskan konsep Pancasila,
pada 1 Juni 1945. Dibangun pada
awal 1830-an. Gedung Pancasila saat
ini adalah milik Kementerian Luar
Negeri Republik Indonesia.
Gedung Chuo Sangi In: Pada
tanggal 28 Mei 1945, diadakan
upacara pelantikan dan sekaligus
seremonial pembukaan masa
persidangan BPUPKI yang pertama
di gedung "Chuo Sangi In", dan kini
gedung itu dikenal dengan sebutan
Gedung Pancasila.
Gedung Volkstraad: dikenal
juga sebagai Gedung Pancasila;
Volkstraad yang diambil dari bahasa
Belanda dan secara harafiah berarti
"Dewan Rakyat", adalah semacam
dewan perwakilan rakyat Hindia
Belanda.
Golput: Golongan putih atau yang
disingkat golput adalah istilah politik
di Indonesia yang berawal dari
gerakan protes dari para mahasiswa
dan pemuda untuk memprotes
pelaksanaan Pemilu 1971 yang
merupakan Pemilu pertama di era
Orde Baru. Dipakai istilah “putih”
karena gerakan ini menganjurkan
agar mencoblos bagian putih di
kertas atau surat suara di luar
gambar parpol peserta Pemilu bagi
yang datang ke bilik suara.
Indonesia Raya: lagu kebangsaan
Republik Indonesia
Kerajaan Mataram Islam: biasa
disebut dengan kesultanan Mataram
termasuk salah satu kerajaan Islam
di Jawa yang berdiri sekitar abad
ke-16.
Kolonialisme: suatu sistem di mana
suatu negara menguasai rakyat
dan sumber daya negara lain
tetapi masih tetap berhubungan
dengan negara asal, istilah ini juga
menunjuk kepada suatu himpunan
keyakinan yang digunakan
untuk melegitimasikan atau
mempromosikan sistem ini, terutama
kepercayaan bahwa moral dari
pengkoloni lebih hebat ketimbang
yang dikolonikan.
KPPS: Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara yang
bertugas; mengumumkan dan
menempelkan daftar pemilih
tetap di TPS; menyerahkan daftar
pemilih tetap kepada saksi peserta
Pemilu yang hadir dan Pengawas
Pemilu Lapangan; melaksanakan
pemungutan dan penghitungan
suara di TPS; mengumumkan hasil
penghitungan suara di TPS;
Lunas Perahu: bagian terbawah dari
kapal
Musik Keroncong: jenis musik
khas Indonesia yang menggunakan
instrumen musik dawai, flute, dan
vokal.
Orde Lama: masa yang merujuk
kepada era pemerintahan Soekarno.
Orde Baru: sebutan bagi masa
pemerintahan Presiden Soeharto di
Indonesia.
Perjanjian Giyanti: kesepakatan
antara VOC, pihak Kesultanan
Mataram yang diwakili oleh Sunan
Pakubuwana III, dan kelompok
Pangeran Mangkubumi. Perjanjian
yang ditandatangani pada tanggal
13 Februari 1755 tersebut secara
de facto dan de jure menandai
berakhirnya Kesultanan Mataram
yang sepenuhnya independen.
Pileg: Pemilu Legislatif; Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Pilpres: Pemilihan presiden dan
wakil presiden
Pilkada: Pemilihan kepala daerah.
Soekarno: Presiden pertama
Republik Indonesia
Soeharto: Presiden kedua Republik
Indonesia
TPS: Tempat Pemungutan Suara
VOC: Vereenigde Oostindische
Compagnie adalah Kongsi Dagang
atau Perusahaan Hindia Timur
Belanda yang didirikan pada tanggal
20 Maret 1602 adalah persekutuan
dagang asal Belanda yang
memiliki monopoli untuk aktivitas
perdagangan di Asia.
Wage Rudolf Soepratman:
pengarang lagu kebangsaan
Indonesia, "Indonesia Raya", dan
pahlawan nasional Indonesia.
Glosarium
INDONESIANA - Vol 5/2019 97
INDONESIANA - Vol 5/201998
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT WARISAN DAN DIPLOMASI BUDAYA
Gedung E lt 10 Jl. Jenderal Sudirman Kav. 4–5, Senayan, Jakarta
T: (021) 5731063, (021) 5725035 | F: (021) 5731063, (021) 5725578
E: [email protected] | http://kebudayaan.kemdikbud.go.id