budaya matrilineal masyarakat minangkabau pada arsitektur minangkabau

8
1 AbstrakSalah satu komponen budaya yang erat kaitannya dengan hunian adalah tentang sistem kekerabatan. Sistem patriarki atau matriarki pada kelompok masyarakat ternyata mempengaruhi bentuk arsitektur rumah tradisional, yang salah satunya adalah pada arsitektur rumah tinggal tradisional Minangkabau yaitu rumah gadang. Budaya matrilineal merupakan budaya terkait dengan gender dimana garis keturunan diturunkan melalui ibu. Suku Minangkabau memiliki arsitektur yang sangat khas demikian juga dengan kebudayaan matrilinealnya. Tidak banyak budaya Indonesia yang menganut sistem ini, sedangkan suku Minangkabau menganut sistem ini dan merupakan budaya matrilineal dengan jumlah terbesar di dunia. Penelitian ini ingin melihat apakah ada pertimbangan yang signifikan terhadap lingkungan binaan masyarakat Minangkabau khususnya Rumah Gadang. Berdasarkan kajian terhadap berbagai literatur yang dilakukan dalam penelitian ini, ditemukan bahwa sistem matrilineal yang dianut oleh masyarakat Minangkabau memiliki peran yang cukup signifikan pada tata ruang. Penggunaan rumah gadang ditujukan oleh kaum ibu dan anak perempuannya sedangkan kaum laki-laki dianggap lebih banyak beraktifitas di luar rumah sehingga tidak diberikan tempat khusus. Keutamaan akan harta pusaka yang diwariskan melalui garis keturunan ibu menunjukkan bahwa perempuan memiliki andil yang cukup besar dalam pembentukan lingkungan binaan. Walaupun demikian pada rumah gadang juga ditemukan segregasi ruang antara perempuan dengan laki-laki di luar keluarganya walaupun segregasi ini tidak seketat yang terjadi pada rumah tradisional pada masyarakat yang menganut sistem patrilineal. Akan tetapi hal yang terkait erat pada sistem budaya masyarakat Minangkabau selain sistem matrilinealnya adalah kepercayaan terhadap agama Islam yang kuat. Beberapa hal prinsipil yang cukup bertentangan antara budaya turun menurun dan ¹Wanda Yovita, 25209029, [email protected] agama menjadi dualisme dalam arsitektur Minangkabau itu sendiri. Dapat disimpulkan bahwa budaya memiliki peranan penting dalam proses perencanaan, perancangan hingga penggunaan lingkungan binaan khususnya rumah tinggal tradisional. Budaya tidak berperan langsung terhadap lingkungan binaan, akan tetapi komponen budaya tersebutlah yang mempengaruhi hunian secara konkret. Kompromi yang panjang antara berbagai komponen budaya ini menjadi manifestasi budaya Minangkabau yang dapat dilihat dari hunian tradisionalnya yaitu rumah gadang. Kata Kunci : budaya, matrilineal, minangkabau, arsitektur, tata ruang) I. BUDAYA, ARSITEKTUR DAN PEMBANGUNAN Lingkungan binaan merupakan salah satu manifestasi peradaban dan budaya manusia. Salah satu bentuk lingkungan binaan yang sangat terkait erat dengan budaya adalah rumah tinggal. Rumah tinggal sebagai ruang privat untuk keluarga atau sekelompok keluarga yang memiliki latar belakang budaya yang cenderung homogen merupakan manifestasi dari manusia yang mendiaminya. Rumah memiliki hubungan yang sangat personal dengan penghuninya sehingga rumah tidak hanya didefenisikan sebagai bangunan tempat tinggal saja, akan tetapi juga sebagai tempat berlangsungnya proses budaya dan sosial. Pada arsitektur vernakular, aturan mengenai bangunan rumah tinggal diwariskan turun temurun. Budaya dalam mendirikan dan menghuni rumah tinggal dapat berasal dari alam atau kepercayaan tertentu. Budaya bermukim masyarakat vernakular memiliki latar belakang budaya yang tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang telah mengalami proses modernisasi. Kebudayaan adalah suatu sistem yang sifatnya abstrak dan dipakai sebagai sarana interpretasi atau referensi dalam mewujudkan tingkah laku manusianya. Pandey dalam Jabareen (2005) menyatakan bahwa hubungan antara budaya dan lingkungan binaan terkait dengan berbagai disiplin ilmu seperti antropologi, geografi, arsitektur dan studi Budaya Matrilineal Masyarakat Minangkabau pada Arsitektur Rumah Gadang Wanda Yovita¹ AR6141 Arsitektur Budaya dan Pembangunan Program Studi Arsitektur, Institut Teknologi Bandung

Upload: wandayov

Post on 27-Jun-2015

1.442 views

Category:

Documents


19 download

TRANSCRIPT

Page 1: Budaya Matrilineal Masyarakat Minangkabau pada Arsitektur Minangkabau

1

Abstrak— Salah satu komponen budaya yang erat kaitannya dengan hunian adalah tentang sistem kekerabatan. Sistem patriarki atau matriarki pada kelompok masyarakat ternyata mempengaruhi bentuk arsitektur rumah tradisional, yang salah satunya adalah pada arsitektur rumah tinggal tradisional Minangkabau yaitu rumah gadang. Budaya matrilineal merupakan budaya terkait dengan gender dimana garis keturunan diturunkan melalui ibu. Suku Minangkabau memiliki arsitektur yang sangat khas demikian juga dengan kebudayaan matrilinealnya. Tidak banyak budaya Indonesia yang menganut sistem ini, sedangkan suku Minangkabau menganut sistem ini dan merupakan budaya matrilineal dengan jumlah terbesar di dunia. Penelitian ini ingin melihat apakah ada pertimbangan yang signifikan terhadap lingkungan binaan masyarakat Minangkabau khususnya Rumah Gadang. Berdasarkan kajian terhadap berbagai literatur yang dilakukan dalam penelitian ini, ditemukan bahwa sistem matrilineal yang dianut oleh masyarakat Minangkabau memiliki peran yang cukup signifikan pada tata ruang. Penggunaan rumah gadang ditujukan oleh kaum ibu dan anak perempuannya sedangkan kaum laki-laki dianggap lebih banyak beraktifitas di luar rumah sehingga tidak diberikan tempat khusus. Keutamaan akan harta pusaka yang diwariskan melalui garis keturunan ibu menunjukkan bahwa perempuan memiliki andil yang cukup besar dalam pembentukan lingkungan binaan. Walaupun demikian pada rumah gadang juga ditemukan segregasi ruang antara perempuan dengan laki-laki di luar keluarganya walaupun segregasi ini tidak seketat yang terjadi pada rumah tradisional pada masyarakat yang menganut sistem patrilineal. Akan tetapi hal yang terkait erat pada sistem budaya masyarakat Minangkabau selain sistem matrilinealnya adalah kepercayaan terhadap agama Islam yang kuat. Beberapa hal prinsipil yang cukup bertentangan antara budaya turun menurun dan

¹Wanda Yovita, 25209029, [email protected]

agama menjadi dualisme dalam arsitektur Minangkabau itu sendiri. Dapat disimpulkan bahwa budaya memiliki peranan penting dalam proses perencanaan, perancangan hingga penggunaan lingkungan binaan khususnya rumah tinggal tradisional. Budaya tidak berperan langsung terhadap lingkungan binaan, akan tetapi komponen budaya tersebutlah yang mempengaruhi hunian secara konkret. Kompromi yang panjang antara berbagai komponen budaya ini menjadi manifestasi budaya Minangkabau yang dapat dilihat dari hunian tradisionalnya yaitu rumah gadang. Kata Kunci : budaya, matrilineal, minangkabau, arsitektur, tata ruang)

I. BUDAYA, ARSITEKTUR DAN PEMBANGUNAN Lingkungan binaan merupakan salah satu

manifestasi peradaban dan budaya manusia. Salah satu bentuk lingkungan binaan yang sangat terkait erat dengan budaya adalah rumah tinggal. Rumah tinggal sebagai ruang privat untuk keluarga atau sekelompok keluarga yang memiliki latar belakang budaya yang cenderung homogen merupakan manifestasi dari manusia yang mendiaminya. Rumah memiliki hubungan yang sangat personal dengan penghuninya sehingga rumah tidak hanya didefenisikan sebagai bangunan tempat tinggal saja, akan tetapi juga sebagai tempat berlangsungnya proses budaya dan sosial.

Pada arsitektur vernakular, aturan mengenai bangunan rumah tinggal diwariskan turun temurun. Budaya dalam mendirikan dan menghuni rumah tinggal dapat berasal dari alam atau kepercayaan tertentu. Budaya bermukim masyarakat vernakular memiliki latar belakang budaya yang tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang telah mengalami proses modernisasi.

Kebudayaan adalah suatu sistem yang sifatnya abstrak dan dipakai sebagai sarana interpretasi atau referensi dalam mewujudkan tingkah laku manusianya. Pandey dalam Jabareen (2005) menyatakan bahwa hubungan antara budaya dan lingkungan binaan terkait dengan berbagai disiplin ilmu seperti antropologi, geografi, arsitektur dan studi

Budaya Matrilineal Masyarakat Minangkabau pada Arsitektur Rumah Gadang

Wanda Yovita¹

AR6141 Arsitektur Budaya dan Pembangunan Program Studi Arsitektur, Institut Teknologi Bandung

Page 2: Budaya Matrilineal Masyarakat Minangkabau pada Arsitektur Minangkabau

2

perumahan. Rapoport (2001) menunjukkan bahwa budaya memiliki beberapa komponen yaitu hubungan kekerabatan, struktur keluarga, hubungan sosial, peranan,, statur, identitas, institusi dan lain-lain. Budaya sendiri secara langsung tidak bisa berpengaruh kepada lingkungan binaan. Akan tetapi komponen-komponen budaya inilah yang mempengaruhi secara langsung atas terbentuknya lingkungan binaan khususnya pada organisasi ruang, waktu, makna, dan komunikasi; tata cara; lansekap budaya dan tampilan. Konsep budaya dan manifestasinya muncul tidak hanya pada persepsi, kepercayaan, nilai, norma, kebiasaan dan tingkah laku, tapi juga desain pada objek dan lingkungan fisik pada lingkungan binaan.

Rumah tinggal merupakan bentuk lingkungan binaan yang terkait erat dengan budaya penghuninya. Bentuk rumah, layout internal dan layout berhuni dalam sebuah lingkungan lokal dapat dipengaruhi, baik didukung maupun ditolak oleh penghuninya (Bochner, Ozaki, Rapoport dalam Jabareen, 2005). Budaya menurut Geertz dalam Ozaki (2002) merupakan sistem hubungan organisasi dari pengertian bersama. Maksud dari pengertian bersama tergantung pada RAS, etnis, suku, jenis kelamin dan lain-lain. Perbedaan latar belakang budaya penghuni pada rumah tinggal dapat membedakan preferensi dan cara hidup oleh penghuni. Konteks hunian merupakan elemen lingkungan binaan yang privat, pengguna atau masyarakat yang merupakan pemilik dari hunian yang bersangkutan memiliki kontrol penuh akan kegiatan berhuninya. Oleh karena itu budaya masyarakat dalam hunian dapat dilihat secara langsung melalui intervensi secara fisik pada bentuk misalnya dengan pola pembagian fungsi dan penentuan hirarki ruang.

II. KONSEP GENDER DAN MATRILINEAL Spain (1992) menyatakan bahwa penataan spasial

geografis dan arsitektural telah memperkuat perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Ruang yang ada pada lingkungan binaan secara tidak langsung terbentuk dari stratifikasi gender. Hal ini dapat terlihat dengan jelas pada arsitektur tradisional. Gender tidak selalu berarti perempuan dan laki-laki yang dapat dibedakan dari jenis kelamin semata, akan tetapi gender merupakan sebuah konsep yang lahir dari proses sosial dan telah mengalami perjalanan panjang. Gender menurut Monsour Fakih dalam Eddy (2008): “walaupun merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan, tetapi merupakan konstruksi secara sosial meupun kultural. Hal ini terkait dengan sifat maskulin dan feminin sebagai sifat, tidak hanya perbedaan secara biologis.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Yosef Jabareen (2005) dan Ritsuko Ozaki (2002) tentang preferensi rumah tinggal yang ada pada kelompok masyarakat yang berbeda yaitu masyarakat yang ada di kota Gaza (Palestina), Bracknell (Inggris) dan Kohoku New Town (Jepang). Ketiga negara ini memiliki letak geografis dan budaya yang sangat berbeda yaitu antara timur, timur tengah dan barat. Secara umum sistem nilai yang dianut oleh masyarakat ketiga kota ini sangat berbeda. Dari penelitian tersebut dijelaskan bahwa kota Gaza memiliki agama dan kepercayaan yang kuat terhadap agama Islam, Bracknell dari Inggris menganut sistem privat dan individualisme yang tinggi sedangkan kota Kohoku meyakini ajaran Konfusian. Dari perbedaan cara pandang ini, dapat disimpulkan bahwa preferensi mereka dalam memilih hunian cukup berbeda. Kota Gaza misalnya, menjunjung tinggi privasi perempuan di kaumnya sehingga ruang untuk perempuan dibuat di ruang yang

Gambar 1. Konsep budaya oleh Rapoport (sumber: Rapoport, 2001).

Page 3: Budaya Matrilineal Masyarakat Minangkabau pada Arsitektur Minangkabau

3

jauh dari ruang utama dan menghindari kontak dengan tamu asing. Pada kota ini isu gender menjadi sangat penting sesuai dengan kepercayaan mereka untuk melindungi perempuan. Sedangkan di Bracknell, isu gender bukan merupakan permasalahan utama sehingga perbedaan gender tidak terlalu berpengaruh terhadap tata ruang huniannya. Berbeda dengan masyarakat di Kohoku, pada awalnya ruang untuk perempuan pada hunian tradisional diletakkan di ruang yang lebih privat untuk membatasi kontak dengan tamu asing, akan tetapi nilai ini kemudian berubah, sehingga kungkungan ruang terhadap perempuan lebih lunak, dan perempuan diperkenankan untuk lebih mengenal orang luar melalui tata ruang huniannya.

Spain dalam bukunya Gendered Space, menunjukkan bahwa ada segregasi ruangan antara laki-laki dan perempuan pada beberapa kelompok masyarakat tertentu. Pada rumah tinggal tradisional masyarakat yang menganut agama Islam di Iran, terdapat perbedaan ruang yang signifikan antara perempuan dan laki-laki (gambar 2). Batas teritori tidak hanya didefenisikan melalui kesepakatan akan tetapi menggunakan batas fisik. Ruang untuk perempuan diletakkan di tempat yang paling sulit dijangkau dari luar. Perempuan memiliki batas ruangan tertentu dan tidak bebas mengakses ruangan tertentu yang ditujukan untuk laki-laki.

Konsep gender pada sebuah masyarakat tidak

sama dengan kelompok masyarakat lainnya. Gender terkait erat dengan latar belakang budaya dan merupakan salah satu komponen budaya apabila dilihat pada sebuah masyarakat yang khas. Patrilineal dan matrilineal sebagai sistem penerus garis keturunan merupakan komponen gender yang cukup khas ada di

perkembangan suku-suku di Indonesia. Matrilineal merupakan konsep gender yang menyatakan bahwa garis keturunan diteruskan oleh kelompok perempuan. Keberadaan sistem matrilineal sendiri di Indonesia tidak terlalu banyak dan suku yang paling kental dengan budaya matrilinealnya adalah budaya Minangkabau. Garis keturunan yang diturunkan oleh ibu menjadi keunikan tersendiri masyarakat Minangkabau diantara suku lainnya. Akibat sistem garis keturunan ini, maka harta pusaka atau harta berupa barang juga diturunkan dari ibu kepada anak perempuannya. Pada masyarakat ini, peran laki-laki berada pada peran adat dan kepengurusan akan harta benda tersebut akan tetapi tidak memilikinya secara pribadi.

III. STUDI KASUS: MASYARAKAT MINANGKABAU, RUMAH GADANG DAN PEREMPUAN

Masyarakat Minangkabau tinggal di propinsi Sumatera Barat yang secara geografis, berada di atas 4.297.300 ha tanah dan terletak diantara 0º54’ LU sampai 3º30’ sehingga daerah ini dilewati oleh garis khatulistiwa. Sumatera Barat memiliki tanah yang lentur dan memiliki daya dukung rendah untuk bangunan. Lebih dari setengah wilayah Sumatera barat merupakan tanah perbukitan. Daerah Sumatera Barat terletak di daerah tropis yang beriklim tropis basah. Suhu rata-rata di Pantai Barat Propinsi Sumatera Barat berkisar antara 21°C - 38°C, pada daerah perbukitan berkisar antara 15°C – 34°C, sedangkan pada daerah daratan disebelah timur Bukit Barisan mempunyai suhu antara 19°C - 34°C. Topografi alam Sumatera Barat yang dinamis juga mempengaruhi cara membangun masyarakat Minangkabau seperti halnya masyarakat tradisional lain yang lebih memperhatikan keselarasan bangunan terhadap alam.

Masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat yang menganut agam Islam. Dalam falsafah hidup mereka dikenal pepatah “Adat bersandi sarak, sarak bersandi Kitabullah”, yang artinya seluruh ketentuan-ketentuan hidup diatur oleh ketentuan-ketentuan yang bersumber dari Al Qur’an. Seorang anggota keluarga dari suku Minangkabau akan kehilangan suku Minangnya jika dia menganut agama lain di luar Islam. Masyarakat Minangkabau juga merupakan masyarakat tradisional yang menganut sistem matrilineal yang terbesar di dunia. Fenomena ini menjadi keunikan tersendiri di tengah banyaknya suku di Indonesia yang cenderung menganut sistem patrilineal. Sistem kinship atau kekerabatan ini memiliki pengaruh dalam lingkugan binaan khususnya rumah gadang, yang merupakan rumah tinggal tradisional masyarakat Minangkabau. Perbedaan sistem kekerabatan dalam Islam yang cederung patrilineal sedangkan adat Minangkabau

Gambar 2. Tata ruang rumah tradisional muslin di Iran (sumber: Spain, 1992).

Page 4: Budaya Matrilineal Masyarakat Minangkabau pada Arsitektur Minangkabau

4

yang matrilineal menunjukkan bahwa ada beberapa kompromi antara sistem adat dan agama dalam masyarakat sebagai bentuk budayanya sendiri. STRUKTUR KELUARGA MASYARAKAT MINANGKABAU

Sistem matrilineal dalam keluarga menyebabkan perempuan mendapatkan beberapa keutamaan pada masyarakat Minangkabau. Salah satu keutamaannya adalah pembagian harta warisan atau pusaka yang menunjukkan bahwa garis keturunan dilanjutkan oleh pihak wanita. Oleh karena itu warisan rumah gadang juga menjadi tanggung jawab ibu untuk diteruskan pada putrinya. Sejak kecil, anak perempuan sudah diarahkan untuk menjadi penerus garis keturunan, termasuk diajarkan pekerjaan rumah tangga, adat istiadat dan sistem kekerabatan dalam masyarakat Minangkabau. Seorang anak perempuan dalam masyarakat Minangkabau, walaupun mereka adalah anggota keluarga inti pada rumah gadang, akan tetapi mereka juga terlibat dalam kekerabatan yang lebih besar yaitu pada skala kampung atau dusun. Karena tanggung jawab yang besar ini maka anak perempuan dalam masyarakat Minangkabau harus mengikuti adat dan aturan yang ada pada lingkungannya.

Pengertian keluarga pada masyarakat Minangkabau tidak seperti halnya keluarga inti yang privat yang terdiri dari ayah ibu dan anak. Keluarga inti pada masyarakat Minangkabau ini merupakan bagian dari keluaga kaum yang dipimpin secara adat oleh mamak.

Ibu atau anak perempuan menjadi tokoh sentral

dalam keluarga yang tinggal di rumah gadang. Ibu berhak atas harta pusaka berupa sawah, ladang, rumah gadang dan harta fisik lainnya untuk kemudian diwariskan kepada anak perempuan. Sedangkan peran ayah dalam keluarga adalah sebagai orang semenda, yang dihormati dan diperlakukan seperti tamu yang tetap dan dipandang sebagai pemberi keturunan akan tetapi tidak memiliki kekuasaan apapun dalam rumah gadang istrinya kecuali saat dia berperan sebagai mamak untuk keluarga saudara perempuan dari keluarganya sendiri. Oleh karena itu juga, seorang suami tidak memiliki tanggung jawab langsung untuk menafkahi anak dan istrinya akan tetapi itu adalah tanggung jawab mamak tungganai sebagai pemimpin kaum. Suami tersebut justru bertanggung jawab

terhadap saudara dan kemenakan perempuannya yang tinggal di rumah gadang keluarganya sendiri.

Mamak adalah saudara laki-laki ibu atau paman dari kemenakan perempuannya. Mamak mendapatkan hak atas pusaka gelar yang diberikan kepadanya. Mamak menjadi pemimpin kaum (mamak tungganai) yaitu mengurus, memperbaiki dan mengerjakan harta pusaka yang dimiliki oleh perempuan. Walaupun posisinya sebagai pemimpin kaum, akan tetapi mamak tidak memiliki tempat di rumah gadang karena keseluruhan kamar adalah milik anak perempuan.

RUMAH GADANG

Budaya membangun masyarakat Minangkabau diteruskan dari generasi ke generasi dengan memperhatikan hal-hal tertentu dan selebihnya menyesuaikan dengan kebutuhan dan faktor alam. Kebiasaan masyarakat ini menuangkan aturan-aturan tersebut terdapat pada pepatah-pepatah. Budaya bersyair menjadi ketentuan adat masyarakat. Salah satu falsafah Minangkabau yang dianut adalah “Alam takambang menjadi guru” yang artinya alam telah diciptakan sempurna dan selaras dan didalamnya banyak contoh yang baik.

Bangunan adat pada arsitektur Minangkabau sangat beragam mulai dari rumah tinggal biasa, rumah gadang, istana, lumbung, balai adat, masjid dan lain-lain. Bangunan yang dibahas pada tulisan kali ini dibatasi pada jenis rumah gadang secara umum yang merupakan rumah adat masyarakat Minangkabau sebagai tempat tinggal keluarga. Rumah Gadang berarti rumah besar dan merupakan perlambang kehadiran satu kaum dalam satu Nagari, dan sebagai pusat kehidupan dan kerukunan seperti tempat musyawarah keluarga dan untuk melaksanakan upacara (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991). Menurut tradisi, rumah gadang adalah milik kaum bukan perseorangan.

Rumah gadang memiliki bentuk yang khas yang dapat terlihat dari bentuk atap bagonjongnya dan sudah terkenal luas. Dengan struktur rumah panggung, bagian bawah rumah gadang digunakan untuk kandang sedangkan bagaian atasnya merupakan tempat berhuni. Secara umum, rumah gadang memiliki konstruksi rumah panggung. Ukuran panjang rumah gadang disesuaikan dengan ukuran tanah yang datar yang tersedia di alam, sehingga terdapat kesesuaian dan komposisi yang baik antara alam dan bangunannya. Ukuran lebar sama dengan empat ruang memanjang yang terdiri dari lima buah tiang sedangkan ukuran tinggi ditentukan dalam ‘alua jo patuik, raso katinggi diparandah, rasa karandah dipatinggi’ yang maksudnya adalah ukuran tinggi diperlakukan sepantasnya sesuai dengan proporsi yang baik (AR ITB, 1979). Masyarakat Minangkabau menggunakan ketetapan ukuran ruang secara turun temurun. Hal ini dapat dilihat dari syair sebagai berikut.

Gambar 3. Hubungan kekerabatan dalam rumah gadang (sumber: Pribadi, 2010).

Mamak Ibu

Anak perempuan

Anak laki‐laki

Ayah

Page 5: Budaya Matrilineal Masyarakat Minangkabau pada Arsitektur Minangkabau

bam

adan2 saduandada

msiyaukumpekodikiruyate59TiKtintin

besiyarulasedidimde(g

Rumah paalari (2), sapa

malayang. Syair satu

da 9 ruang ntara dua koloberarti seeko

atuan waktu yua ruang yannak yang mealam ruang teapat terbang s

Walaupunmutlak, akan

stem strukturang repetitif. kuran yang pmumnya berertukangan adomposisi yanikurangi satu ira 5-7 eto, aumah adat yaang panjangerpanjang yait9.5 meter. Ukinggi lantai

Kemiringan snggi gonjong ngkat sosial p

Rumah g

entuk yang gnifikan tergang mendiamumah gadangayout. Layouelalu simetri, i dusun Tanilakukan ole

menunjukkan epan-tengah gambar 6).

adang sambilaa kian budak m

u diinterpretapanjangnya,

om menurut por kuda yang byang pendek

ng terjauh memanggil; sederdapat seekorsekencang-ken interpretasi tetapi hal inr rumah gadKarena tida

pasti maka urbeda. Ukurdalah ‘eto’ a

ng tepat, ukujengkal. Ukupabila satu e

ang terpendekgnya 12.5 tu 17 ruang kuran lebar ad5-7 eto atauudut atap udisesuaikan

penghuni.

gadang sendberbeda-beda

gantung karakminya. Umu

g menggunakt ruangan phal ini dapat

njung Batangeh Evelyn Bbahwa arah akan tetapi

Gambar 4. Ru(Sumber: Sety

an ruang (1)maimbau (3)

asikan bahwasatu ruang

potongan memberlari kencan

k; syair 3 bermasih dapat d

dangkan syair burung kubincangnya. terhadap uku

ni mengindikadang memilikk ada satuan

ukuran tiap rran yang diatau hasta. Uuran eto ini duran untuk saeto adalah 0.5k yang terdiri

meter sedamakan panjadalah 10 samu 2.5 sampaumumnya 45dengan panja

diri sebenarna walaupun kter suku Miumnya dena

kan sistem gpada rumah

dilihat pada rg dalam penBlackwood

masuk tidadapat juga

umah Gadang yowati, 2008.)

, salanjo kud, sekuat kubin

a rumah adaadalah jarak

manjang; syaing dalam saturarti di antar

didengar suarr 4 berarti din yang masih

uran ini tidakasikan bahw

ki sistem gridn atau standarumah gadangipakai dalam

Untuk mencarditambah atauatu ruang kira5 meter, maki dari 5 ruangangkan yangangnya adalah

mpai 14 meterai 3.5 meter5˚ sedangkanang rumah dan

nya memiliktidak terlalu

inang tertentuah bangunanrid dan opengadang tidakrumah gadangnelitian yang(1999) yang

ak selalu dardari samping

a n

at k ir u a a

di h

k a d

ar g

m ri u

a-a g g h r. r. n n

ki u u n n k g g g ri g

Rumbentuk ysignifikayang mrumah glayout. Lselalu simdi dusundilakukanmenunjudepan-ten(gambar

Masalam unmengikumenginteSudirmantertinggi landasanoleh keseadat yangadalah aberlangsu

(Su

Ga

mah gadang yang berbed

an tergantungmendiaminya. gadang mengLayout ruangmetri, hal ini n Tanjung Bn oleh Eve

ukkan bahwa ngah akan t6).

syarakat Minantuk membauti falsafah erpretasikannyn Is (2000)

ada pada hn filosofis, keepakatan yang berkembangadat, kebiasung di masya

Gambar umber: Pribadi,

ambar 6. Denah (Sumbe

sendiri sebda-beda walag karakter suk

Umumnya ggunakan sistgan pada rudapat dilihat Batang dalamelyn Blackw

arah masuktetapi dapat

angkabau sanangun rumahturun temurya sesuai menyatakan

hukum alam emudian diikung terjadi antag dengan senaan dan tra

arakat (gamba

5. Denah rumahmodifikasi dari

2010.)

rumah gadang der: Blackwood, 1

benarnya maupun tidak ku Minang t

denah bantem grid danumah gadangpada rumah gm penelitian

wood (1999)k tidak selaljuga dari sa

ngat memperhh gadang. Mrun dan kem

dengan bahwa hirarkyang berada

uti oleh hukuara para toko

ndirinya dan tadisi praktisar 7).

h gadang berbagai sumbe

di Tanjung Batan1999.)

emiliki terlalu

tertentu ngunan n open g tidak gadang

n yang yang lu dari amping

hatikan Mereka mudian

alam. ki adat a pada un adat oh adat, erakhir

s yang

r.

ng

Page 6: Budaya Matrilineal Masyarakat Minangkabau pada Arsitektur Minangkabau

6

Berikut ini adalah pembahasan terhadap aspek

fisik yang ada di bangunan rumah gadang dan hubungannya masing-masing dengan konsep matrilineal:

A. Tata ruang dan hubungannya dengan konsep matrilineal

Rumah gadang menggunakan struktur matrilineal yang ditunjukkan dengan perempuan atau ibu dan anak perempuannya sebagai sosok sentral dan dominan. Rumah gadang memang ditujukan untuk perempuan dan keturunannya yang walaupun dapat ditinggali oleh laki-laki dengan beberapa ketentuan. Umumnya dalam sebuah rumah gadang, rumah ini ditinggali oleh tiga generasi perempuan, mulai dari nenek, ibu dan anak perempuan.

Rumah gadang ditinggali oleh beberapa keluarga inti yang terikat dalam suadara sedarah dari ibu yaitu kaum ibu, suami dan anak perempuannya. Anak laki-laki sendiri pada awalnya memiliki hak yang sama dengan anak perempuan untuk tinggal di rumah gadang, akan tetapi saat anak laki-laki sudah berumur diatas tujuh tahun, maka anak laki-laki tersebut tidur di surau sedangkan anak perempuan tetap tinggal di rumah gadang.

Status perkawinan anak perempuan tidak mengubah statusnya dalam keluarga, tetapi suaminya akan tinggal di rumah gadang tersebut. Seorang perempuan yang menjadi pengantin maka diberikan tempat yang paling istimewa dalam rumah gadang yaitu di kamar yang terletak di ujung rumah. Ukuran kamar ini kadang lebih besar daripada kamar-kamar lainnya dan kamar ini akan ditempatinya bersama suaminya akan tetapi apabila ada anak perempuan lain yang menikah, maka kamar ini diberikan pada pengantin baru tersebut. Setiap pengantin baru akan menggeser pasangan suami istri yang lama ke kamar yang ada disebelahnya dan hal ini terjadi berulang kali hingga kamar yang ditempati pasangan tertua akan berada di tempat yang lebih mendekati dapur atau ruang yang lebih di tengah dibanding sebelumnya. Hal

ini terjadi karena satu rumah gadang adalah milik kaum sehingga penempatan ruang pun harus dibagi antara keluarga inti satu dan yang lainnya. Pergeseran ruang tidur ini menunjukkan bahwa ada perbedan hirarki untuk penempatan keluarga yang lebih tua untuk dituakan.

Jumlah kamar yang ada tergantung pada jumlah

perempuan yang tinggal di rumah gadang tersebut. Ukuran kamar juga tidak terlalu besar karena kamar tersebut hanya digunakan untuk tidur atau berganti baju dan kegiatan-kegiatan yang memiliki privasi tinggi. Hal ini dikarenakan kebanyakan aktifitas dilakukan di luar kamar tidur. Pengaturan seperti ini menunjukkan bahwa privasi di rumah gadang relatif rendah karena memang masyarakat ini tidak menganut sistem individualisme. Anjuang merupakan ruang tambahan yang tidak selalu ada pada setiap rumah gadang. Anjuang yang ada disebelah kanan dari pintu masuk dipergunakan untuk kamar para gadis. Anjuang kanan ini juga terkadang digunakan untuk pengantin baru selama belum ada anggota keluarga lain yang menikah.

Rumah gadang terdiri dari beberapa lanjar yaitu ruang memanjang yang lebarnya diperoleh dari jarak kolom ke kolom. Lanjar yang terletak paling belakang digunakan untuk peletakan kamar-kamar. Sedangkan lanjar yang berada ditengah, digunakan oleh para pemilik kamar untuk kgiatan menunggu tamunya masing-masing dan digunakan juga sebagai ruang interaksi antar sesama anggota penghuni rumah gadang. Lanjar paling depan digunakan untuk menerima tamu salah satu anggota keluarga atau tamu adat hingga rapat adat. Lanjar paling depan merupakan ruang yang paling publik di antara ruang lainnya.

Gambar 7. Hirarki adat (Sumber: Sudirman Is, 2000.)

balai

labua

bilik lanjar

lanjar

lanjar

Gambar 8. Kamar penghuni bergeser dari yang paling kanan semakin ke tengah (Sumber: Pribadi 2010.)

Page 7: Budaya Matrilineal Masyarakat Minangkabau pada Arsitektur Minangkabau

7

Dalam menerima tamu khususnya untuk urusan adat, maka perempuan tertua atau yang dituakan dalam rumah gadang, akan ikut terlibat dalam musyawarah yang menunjukkan bahwa memang ada porsi perempuan dalam keputusan adat Minangkabau. Hal ini juga menunjukkan bahwa perempuan tidak selalu dikungkung atas ruang tertentu pada rumah gadang.

Pada rumah gadang tidak ditemukan kamar mandi atau toilet. Hal ini dikarenakan masyarakat yang menganggap rumah gadang adalah tempat sucu sehingga tidak boleh dikotori oleh hal-hal najis yang ada pada kamar mandi maupun toilet. Sedangkan dapur diletakkan pada bagian belakang rumah dan dekat dengan kamar tidur. Peletakan kamar dan dapur yang kegiatannya erat dengan perempuan, keduanya berada di bagian belakang rumah gadang menunjukkan bahwa tempat untuk perempuan ada di bagian belakang. Faktor kepemimpinan oleh laki-laki terlihat dari peletakan ruang yang lebih di depan sedangkan perempuan berada pada ruang belakang. B. Hirarki dan hubungannya dengan konsep matrilineal

Walaupun pengutamaan terhadap tata ruang untuk perempuan di suku Minangkabau cukup signifikan, akan tetapi keberadaan laki-laki sebagai pemimpin dalam rumah Gadang juga diperhatikan.

Laki-laki jika berkegiatan di rumah gadang maka dia akan ditempatkan di balai yang lebih dekat ke arah luar rumah gadang. Hal ini bertujuan agar laki-laki dapat memonitor tamu yang datang dan melindungi kaum perempuan.

Hirarki bangunan rumah gadang menunjukkan bahwa semakin ke arah pinggir dari tengah rumah, maka ruang itu semakin privat. Walaupun ruang semakin privat, akan tetapi dengan meletakkan orang yang lebih tua berada di tengah, hal ini menunjukkan penghormatan kepadanya oleh anggota keluarga yang lain. Hirarki pada rumah gadang dapat dilihat dari diagram berikut:

Semakin ke belakang, maka hirarki ruang menjadi semakin privat. Privatisasi ini juga dapat dilihat bahwa dari semua ruang, hanya ruangnan kamar yang memiliki dinding sedangkan ruangan lain hanya di beri partisi, bahkan ruang tamu tidak memiliki partisi sama sekali atau menggunakan tata ruang terbuka.

C. Proses membangun dan hubungannya dengan konsep matrilineal

Dalam proses membangun rumah gadang, kaum wanita sebagai pewaris harta pusaka tidak terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan maupun ketenagakerjaan. Pengambilan keputusan tetap dilakukan oleh laki-laki selaku penghulu suku. Pendirian rumah adat ditetapkan oleh ketentuan adat atas mufakat para penghulu suku.

Tenaga kerja dalam proses membangun rumah gadang, diperoleh dari hubungan kekeluargaan. Hubungan yang erat antara mamak dengan kemenakan perempuan menjadi sumbu kekerabatan. Orang-orang yang terlibat dalam kekeluargaan ini akan ikut membantu pendirian rumah gadang.

IV. KESIMPULAN

Kekuatan sistem matrilineal pada masyarakat Minangkabau dapat dilihat dari pengejawantahan fisik bangunan tradisionalnya yaitu rumah gadang. Sebagai tempat berkegiatan sehari-hari penghuninya, penghunian rumah gadang sangat didominasi oleh perempuan. Pada beberapa hal tertentu terutama terkait adat, peran laki-laki yang memiliki kekerabatan atau hubungan darah dengan pemilik rumah juga cukup signifikan, berbeda dengan laki-laki yang hanya memiliki hubungan kekerabatan akibat perkawinan. Struktur keluarga pada anggota penghuni rumah gadang memiliki struktur garis utama dari ibu dan anak-anak perempuannya. Kamar yang dikhususkan bagi perempuan dan suaminya dan kepemilikan harta pusaka oleh perempuan akan tetapi adanya ketetapan dan urusan adat yang dipegang oleh laki-laki menunjukkan bahwa hubungan perempuan dan laki-laki pada rumah gadang sebenarnya berjalan harmonis. Kungkungan ruang atau gendered space tidak mengikat kelompok perempuan untuk beraktifitas dengan orang luar.

Perempuan tertua atau yang dituakan terlibat dalam penerimaan tamu dan rapat adat yang terjadi di rumahnya. Peran laki-laki lebih kuat pada identitasnya sebagai mamak atau paman dari kemenakan perempuan dari saudara perempuannya. Keutamaan peran mamak di sini juga sebatas pada sistem adat, atau pusaka gelar yang perannya lebih abstrak dibandingkan hak atas harta pusaka berupa barang seperti rumah, ladang, dan lain-lain. Akan tetapi hal yang terkait erat pada sistem budaya masyarakat Minangkabau selain sistem matrilinealnya adalah kepercayaan terhadap agama Islam yang kuat. Agama

Gambar 9. Hirarki rumah gadang (Sumber: Pribadi, modifikasi dari berbagai sumber.

2010.)

Page 8: Budaya Matrilineal Masyarakat Minangkabau pada Arsitektur Minangkabau

8

islam yang cenderung patrilineal memiliki beberapa pertentangan dengan sistem matrilineal ini. Perbedaan yang signifikan antara rumah gadang dengan hunian tradisional lain dimana penghuninya menganut agama Islam adalah tentang kebebasan ruang bagi perempuan. Demikian juga dengan tanggung jawab terhadap hunian yang berupa harta warisan, dimana hukum Islam mengatur tentang hukum warisan ini yang cukup berbeda dengan sistem matriarki masyarakat Minangkabau. Beberapa hal prinsipil yang cukup bertentangan antara budaya turun menurun dan agama menjadi dualisme dalam arsitektur Minangkabau itu sendiri. Akan tetapi dapat dilihat bahwa masyarakat Minangkabau yang memegang teguh agama Islam sebagai falsafah hidupnya dapat dilihat mengalami kompromi terhadap adat turun temurun Minangkabau.

Dapat disimpulkan bahwa budaya memiliki peranan penting dalam proses perencanaan, perancangan hingga penggunaan lingkungan binaan khususnya rumah tinggal tradisional. Budaya tidak berperan langsung terhadap lingkungan binaan, akan tetapi komponen budaya tersebutlah yang mempengaruhi hunian secara konkret. Kompromi yang panjang antara berbagai komponen budaya ini menjadi manifestasi budaya Minangkabau yang dapat dilihat dari hunian tradisionalnya yaitu rumah gadang.

V. PENUTUP

Blackwood (1999) menemukan data bahwa hanya tinggal 20% rumah gadang yang tersisa untuk daerah dusun Tanjung Batang, Sumatera Barat. Hal ini dikarenakan telah masuknya modernisasi dan mulai menghilangnya adat istiadat terkait rumah gadang sehingga masyarakat Minangkabau lebih memilih rumah sederhana biasa yang menggunakan batu bata dan plester dibandingkan struktur rumah panggung.

Saat ini kebanyakan rumah gadang tidak ditinggali oleh masyarakat adat sebagaimana harusnya. Pergeseran nilai budaya matrilineal dengan segala adat istiadatnya semakin besar karena pandangan masyarakat Minangkabau yang juga sudah semakin berubah. Paradigma yang sudah bergeser akan konsep matrilineal yang menunjukkan bahwa kaum perempuan lebih memiliki kuasa atas rumah gadang menjadikan minat masyarakat Minangkabau saat ini terhadap adat tersebut semakin berkurang. Demikian juga dengan kebutuhan atas privasi terhadap keluarga intinya menjadikan keluarga inti yang terdirii dari ayah, ibu dan anak, memisahkan diri dari keluarga kaum yang tinggal di rumah gadang. Keluarga ini saat ini cenderung memilih tinggal di rumah biasa dengan keluarga intinya. Juga dengan struktur kekeluargaan terkait keberadaan mamak sebagai pemimpin kaum. Saat ini peran mamak tidak terlalu besar dalam kekeluargaan, sebatas memimpin masalah kemasyarakatan dalam kaum. Tanggung jawab yang diberikan kepada mamak untuk

menanggung saudara dan kemenakan perempuannya dianggap terlalu berat dan tidak logis untuk diterapkan pada masyarakat sekarang ini. Tanggung jawab kini dilakukan oleh suami pada anak dan istrinya, menggantikan peran mamak pada adat istiadat Minangkabau.

REFERENSI Agus, Elfida. Kajian Topologi, Morfologi Dan Tipologi Pada Rumah

Gadang Minangkabau. Bung Hatta university. Blackwood, Evelyn. (1999). Big Houses and Small Houses: Doing

Matriliny in West Sumatra. Ethnos, vol. 64:1. Departemen Pendidikan dan kebudayaan. 1991. Arsitektur Tradisional

Daerah Sumatera Barat. Is, Sudirman. Application Of Space Conception In The Minangkabau

Traditional House. Bung Hatta University. Jabareen, Yosef. 2005. Culture and Housing Preferences in a

Developing City. Environment and Behavior 37: 134. Ozaki, Ritsuko. 2002. Housing as a Reflection of Culture: Privatised

Living and Privacy in England and Japan. Housing Studies, 17(2), 209-227.

Rapoport, Amos. 2000. Theory, Culture and Housing. Housing, Theory and Society, 17: 4, 145 — 16

Setyowati, Ernaning. (2008). Aspek-aspek yang mempengaruhi Arsitektur tradisional Minangkabau. ninkarch.files.wordpress.com/2008/11/ars-vern-minangkabau.pdf, diakses tanggal 9 Mei 2010

Soeroto, Myrtha. (2005). Minangkabau. Myrtle Publishing: Jakarta. Spain, Daphne. (1992). Gendered Space. Chapel Hill and London: The

University of North Carolina Press. Vellinga. Marcel. (2004). A Family Affair: the Construction of

Vernacular Minangkabau Houses. Indonesia and the Malay World, vol. 32, no. 92.

Vellinga, Marcel. (2006). Constituting Unity and Difference: Vernacular Architecture in a Minangkabau Village. Journal of Social Issues in Southeast Asia, vol. 21, no. 2, pp 284-88.

Vellinga. Marcel. (2007). Review essay: Anthropology and the Materiality of Architecture. American Ethnologist, vol. 34, no. 4, pp. 756–766.