blok 23 - epistaksis anterior

Download Blok 23 - Epistaksis Anterior

If you can't read please download the document

Upload: agnesop

Post on 22-Dec-2015

71 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

...

TRANSCRIPT

1Epistaksis Anterior Akibat TraumaOrisma Agnes Pongtuluran102011360 - A3Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaAlamat Korespondensi: Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510Email:[email protected] hidung merupakan masalah yang sangat lazim, sehingga tiap dokter harus siap menangani kasus demikian. Kunci menuju pengobatan yang tepat adalah aplikasi tekanan pada pembuluh yang berdarah. Agaknya 90 persen kasus epistaksis anterior mudah diatasi dengan tekanan yang kuat, kontinu pada kedua sisi hidung tepat di atas kartilago ala nasi, dengan pasien dalam posisi duduk tegak. Posisi ini mengurangi tekanan vaskular, dan pasien dapat lebih mudah membatukkan darah di dalam faring. Namun bila ternyata kontrol tidak memadai, dokter perlu segera mencoba cara lain.1Epistaksis atau perdarahan dari hidung banyak diumpai sehari-hari baik pada anak maupun usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani.2PembahasanAnamnesisAnamnesis dimulai dengan mengajukan pertanyaan tentang sifat dan beratnya keluhan yang disampaikan pasien kepada dokter.Kapan dan bagaimana mulanya, bagaimana perjalanannya (bertambah, berkurang, tetap, terjadi sebentar-sebentar, naik-turun), berapa lamanya (akut, subakut, kronis), dan bagaimana frekuensinya. Kemudian dicari keterangan tentang keluhan dan gejala lain yang terkait. Setelah itu, diajukan beberapa pertanyaan tentang keadaan THT lain. Akhirnya, selalu tanyakan kemungkinan penyakit lain yang diderita pasien, pemakaian obat-obatan, penyakit yang lalu, pembedahan, minum alkohol, narkoba, merokok berapa banyak sehari, pekerjaan, dan tentang keluarga.3Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat. Hal-hal penting adalah sebagai berikut: riwayat perdarahan sebelumnya, lokasi perdarahan, apakah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar dari hdung depan (anterior) bila pasien duduk tegak, lama perdarahan dan frekuensinya, kecenderungan perdarahan, riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga, hipertensi, diabetes melitus, penyakit hati, penggunaan antikoagulan, trauma hidung yang belum lama, obat-obatan (mis.aspirin, fenilbutazon/butazolidin).1Berdasarkan kasus, hasil anamnesis (aloanamnesis) sebagai berikut:Keluhan utama: keluar darah dari hidung setelah terkena bola 15 menit yang laluRiwayat penyakit dahulu: sering mengalami mimisan sewaktu kecilPemeriksaan FisikPada pasien yang mengalami epistaksis, yang terpenting adalah menemukan letak relatif perdarahan terhadap konka hidung untuk menentukan apakah dari wilayah suplai darah arteri carotis interna (di atas konka) atau arteri karotis eksterna (di bawah konka). Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernapasan, serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dulu dengan memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau dihisap.Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yangbersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahanhidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yangdiperlukan berupa:- Tanda-tanda vital (nadi, pernapasan, tekanan darah, suhu)- Rinoskopi anterior. Pemeriksaan hidung dimulai dengan inspeksi dan palpasi hidung bagian luar. Diperhatikan bentuk dan posisi hidung dan adanya pembengkakan dan perubahan warna hidung dan daerah sekitarnya. Dengan mendorong puncak hidung ke atas diperoleh kesan tentang kedudukan septum-nasi dan konka-nasalis-inferior. Untuk memeriksa bagian dalam hidung digunakan spekulum-hidung, corong telinga atau otoskop untuk membuka rongga hidung dan mendorong bulu hidung ke samping. Tekanan spekulum pada septum dirasakan nyeri. Oleh karena itu, spekulum dimasukkan ke dalam rongga hidung dengan sudut 45o. Dengan mendorong kepala pasien agak ke depan pada waktu rinoskopi anterior, dapat dilihat bagian bawah rongga hidung; sedang dengan mendorong kepala ke belakang tampak bagian atasnya. Pada waktu inspeksi, perhatikan adanya sekret hidung, asimetri (terutama ketidakrataan septum-hidung), selaput lendir, konka, edema, dan luas rongga-hidung.3- Rinoskopi posterior. Bagian belakang hidung dan nasofaring diperiksa dengan cara rinoskopi posterior. Kaca tenggrorok yang kecil dipanasi hingga sama dengan suhu-tubuh untuk mencegah timbulnya embun hawa napas. Dengan menggunakan spatel, lidah ditekan ke bawah. Pasien mengucapkan 'aa' dan cermin menghadap ke atas, serta kaca diletakkan ke belakang langit-langit. Sentuhan pada selaput faring sering menimbulkan refleks muntah. Pasien diminta bernapas melalui hidung agar langit-langit lunak sedikit turun ke bawah, sehingga ruang untuk melihat ke rongga nasofaring menjadi menjadi agak luas. Melalui pantulan kaca, hanya dapat dilihat sepintas sebagian dari nasofaring. Dengan menggerakkan kaca sedikit ke kanan dan kiri, dapat diperoleh kesan secara keseluruhan. Perhatikan lubang-koana, lubang saluran Eustachius (tuba auditiva)--yang dilingkari oleh penonjolan (torus tubarius) yang dikelilingi oleh fossa Rosenmuller dan atap nasofaring--dengan kemungkinan adanya adenoid. Sebagai pengganti spekulum hidung, pada anak-anak dapat pula digunakan corong-telinga atau otoskop. Melalui koana dapat dilihat ujung konka-inferior; kadang-kadang tampak semua konka. Pemeriksaan ini, oleh dokter THT, seringkali dilakukan dengan endoskop. Bila perlu nasofaring dapat pula diperiksa dengan palpasi jari tangan. Palpasi nasofaring dengan jari tangan sering dirasakan tidak enak oleh pasien. Kadang-kadang diperlukan analgesik lokal dengan menyemprotkan xylocain.3Pemeriksaan PenunjangDengan bantuan angiografi, sumber perdarahan juga dapat diketahui. Pada kecurigaan terhadap pertumbuhan neoplastik, diperlukan pemeriksaan CT.Skrining koagulopati, meliputi masa protrombin serum, masa tromboplastin parsial, jumlah platelet, dan masa perdarahan.Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRIEndoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya2Diagnosis Kerja : Epistaksis AnteriorEpistaksis adalah keluarnya darah dari hidung dan merupakan suatu tanda atau keluhan, bukan penyakit. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epitaksis secara efektif. Pada umumnya epistaksis anterior berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian anterior atau dari arteri etmoidalis anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan terjadi pada anak, seringkali berulang dan sekitar 90% dapat berhenti sendiri.2,4Anatomi HidungUntuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang anatomi hidung. Anatomi dan fungsi fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu penyakit atau kelainan.Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (tip), 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor dan 4) tepi anterior kartilago septum.Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawab. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendukularis oa etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis os maksila dan 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis), dan 2) kolumela.Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimeter. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.2Suplai Darah HidungPembuluh darah disebutkan mempengaruhi lokasi dan pengendalian perdarahan aktif. Mula-mula pemeriksa harus memperhatikan apakah sumber perdarahan berada pada sisi kanan atau kiri, bagian depan atau belakang hidung, dan di atas atau di bawah meatus media, yang secara kasar membagi suplai darah atau dua kontributor utama, arteri karotis eksterna dan interna. Arteri oftalmika yang berasal dari arteri karotis interna, mencabangkan arteri etmoidalis anterior dan posterior. Keduanya menyuplai bagian superior hidung. Suplai vaskular hidung lainnya berasal dari arteri karotis eksterna dan cabang-cabang utamanya. Arteri sfenopalatina membawa darah untuk separuh bawah dinding hidung lateral dan bagian posterior septum.Semua pembuluh darah hidung saling berhubungan melalui beberapa anastomosis. Suatu pleksus vaskular di sepanjang bagian anterior septum kartilaginosa menggabungkan sebagian anastomosis ini dan dikenal sebagai Little area atau pleksus Kiesselbach. Karena ciri vaskularnya dan kenyataan bahwa daerah ini merupakan subjek trauma fisik dan lingkungan berulang, maka merupakan lokasi epistaksis tersering.1EtiologiSeringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pegaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti pada penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal, dan kelainan kongenital.Trauma. Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu-lintas. Selain itu juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan.Kelainan pembuluh darah (lokal). Sering kongenital. Pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-selnya lebih sedikit.Infeksi lokal. Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rinitis jamur, tuberkulosis, lupus, sifilis atau lepra.Tumor. Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering terjadi pada angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.Penyakit kardiovaskuler. Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi seringkali hebat dan dapat berakibat fatal.Kelainan darah. Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukimia, trombositopenia, bermacam-macam anemia serta hemofilia.Kelainan kongenital. Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah teleangiektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis Osler-Rendu-Weber disease). Juga sering terjadi pada Von Willenbrand disease.Infeksi sistemik. Yang sering menyebabkan epistaksis ialah demam berdarah (dengue hemorrhagic fever). Demam tifoid, influensa dan morbili juga dapat disertai epistaksis.Perubahan udara atau tekanan atmosfir. Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang cuacanya sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat kimia di tempat industri yang menyebabkan keringnya mukosa hidung.Gangguan hormonal. Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh perubahan hormonal.2EpidemiologiEpistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan perempuan. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis.4PatofisiologiPemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.3,4Melihat asal perdarahan, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Untuk penatalaksanaannya, penting dicari sumber perdarahan walaupun kadang-kadang sulit.Epistaksis anterior. Kebanyakan berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian anterior atau dari arteri etmoidalis anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan terjadi pada anak, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.Epistaksis posterior. Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena pecahnya arteri sfenopalatina.2Perdarahan Anterior Aktif - MinorPasien dengan perdarahan aktif lewat bagian depan hidung harus duduk tegak, menggunakan apron plastik serta memegang suatu wadah berbentuk ginjal untuk melindungi pakaiannya. Gulungan kapas yang telah dibasahi dengan larutan kokain 4 persen dimasukkan dengan hati-hati ke dalam hidung.Dengan kaca kepala terpasang, dokter memegang spekulum hidung pada satu tangan, sedang tangan yang lain memegang pengisap untuk mengaspirasi darah yang berlebihan. Setelah sumber perdarahan diketahui, kauterisasi dapat dicoba bilamana pembuluh tersebut kecil; sebaliknya jika besar, pasang tampon hidung anterior--unilateral, atau bilateral pada wajah bilamana mungkin pada kasus perdarahan hebat atau sumber perdarahan yang sulit dikenali. Menentukan lokasi perdarahan mungkin semakin sulit pada pasien dengan deviasi septum yang nyata atau perforasi septum. Tampon mudah dibuat dari lembaran kasa steril bervaselin, berukuran 72 x 1/2 inci, disusun dari dasar hingga atap hidung dan meluas hingga ke seluruh panjang rongga hidung. Antibiotik profilaktik dianjurkan oleh beberapa dokter karena ostia sinus menjadi tersumbat oleh tampon, dan adanya benda asing (tampon) serta bekuan darah, yang menyediakan suatu lingkungan untuk pertumbuhan bakteri. Selain itu, sebagian doktet juga melapisi tampon dengan krim atau salep antibiotik untuk mengurangi pertumbuhan bakteri dan pembentukan bau. Demikian juga, tampon hidung yang dapat mengembang bila ditempatkan dalam hidung, dapat menjadi pengganti tampon hidung tradisional. Baik balon maupun tampon hidung lebih mudah ditempatkan di dalam hidung dibandingkan bahan tampon tradisional, serta lebih mudah diterima pasien; namun, agaknya tidak demikian efektif dalam mengontrol perdarahan dan mungkin perlu diganti dengan tampon tradisional. Bila hanya memerlukan tampon hidung anterior dan tanpa adanya gangguan medis primer, pasien dapat diperlakukan sebagai pasien rawat jalan dan diberitahu untuk duduk tegak dengan tenang sepanjang hari, serta kepala sedikit ditinggikan pada malam hari. Tampon dapat diangkat dalam dua atau tiga hari. Pasien tua atau dengan kemunduran fisik harus dirawat di rumah sakit.2Epistaksis Berkaitan dengan Trauma HidungEpistaksis yang rutin terjadi setelah fraktur hidung dan/atau septum nasi biasanya berlangsung singkat, dan berhenti spontan. Adakalanya epistaksis dapat berulang kembali beberapa jam kemudian. Malahan pada kenyataannya, dapat berulang setelah beberapa hari pada fraktur yang tidak direduksi saat pembengkakan mulai berkurang. Terapi terbaik pada keadaan demikian adalah reduksi segera fraktur hidung. Kegagalan mengatasi perdarahan setelah reduksi fraktur mungkin memerlukan salah satu prosedur ligasi pembuluh yang dijelaskan sebelumnya. Jika septum mengalami fraktur, maka dokter perlu memeriksa daerah tersebut untuk menyingkirkan kemungkinan hematoma septum.1Manifestasi KlinisPerdarahan berasal dari bagian depan hidung pada kasus epistaksis anterior. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah. Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorekhidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat pengobatan ataupenyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari.2,4Diagnosis BandingEpistaksis posteriorPerdarahan dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis, atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena pecahnya arteri sfenopalatina.2,3PenatalaksanaanPrinsip penatalaksanaan epistakis ialah perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan.Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dulu misalnya dengan memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau diisap.Untuk dapat mneghentikan perdarahab perlu dicari sumbernya, setidaknya dilihat apakah perdarahan dari anterior atau posterior.Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan ialah lampu kepala, spekulum hidung dan alat pengisap. Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab perdarahan.Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah sebaiknya setengah duduk atau berbring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampai darah mengalir ke saluran napas bawah.Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak.Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah dengan bantuan alat pengisap. Kemudian dipasang tampon sementara yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2% dimasukkan ke dalan rongga hidung untuk menghentikan perdarahan mengurangi rasa nyeri pada saat dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.2Menghentikan perdarahanPerdarahan anteriorPerdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior terutama pada anak, dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit, seringkali berhasil.Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotik.Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saja dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang tampon baru.Komplikasi dan PencegahannyaKomplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis.Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan antibiotik.Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media, septikemia atau toxic shock syndrom. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru.Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba Eustachius, dan air mata berdarah (bloody tears), akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis.Pemasangan tampon posterior (tampon Bellocq) dapat menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.Mencegah Perdarahan BerulangSetelah perdarahan untuk sementara dapat diatasi dengan pemasangan tampon, selanjutnya perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula darah, hemostasis. Pemeriksaan foto polos atau CT scan sinus bila dicurigai ada sinusitis. Konsul ke Penyakit Dalam atau Kesehatan Anak bila dicurigai ada kelainan sistemik.2KesimpulanPerdarahan pada septum anterior (epistaksis anterior) biasanya ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan terjadi pada anak, seringkali berulang dan sekitar 90% dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan.Daftar Isi1. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Boies: buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Dalam: Effendi H, editor. Jakarta: EGC; 1997.h.224-33.2. Mangunkusumo E, Wardani RS. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi 6. Balai penerbit FKUI. Jakarta: 2007; h.155-9.3. Broek PVD, Feenstra L. Buku saku ilmu kesehatan tenggorok, hidung & telinga. Edisi 12. Dalam: Iskandar N, editor. Jakarta: EGC; 2009.h.27-31.4. Nagel P, Gurkow R. Dasar-dasar ilmu THT. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2012.h.50-1