blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2014/11/all-about-biotech-in-bambara.docx · web viewkacang bambara...
TRANSCRIPT
1
MINI BOOKBIOTEKNOLOGI TANAMAN LANJUTAN
Dosen Pengasuh : Dr. Noer Rahmi Ardiarini, SP.,MP.Mahasiswa : Ika Dyah Saraswati
PRODI PEMULIAAN DAN BIOTEKNOLOGI TANAMANPROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2014
BAB I BIOTEKNOLOGI UNTUK KACANG BOGOR
A. Asal Kacang bambara
Kacang Bambara mulanya berasal dari daerah Bambara, Niger Afrika dan
dikenal sebagai kacang tanah dengan bentuk polong yang bulat. Menurut
Rukmana dan Oesman (2000), nama yang diberikan oleh para ahli botani
bermacam macam, misalkan Linnaeus di tahun 1763 memberikan nama Glycine
subterra selanjutnya Du Patit Thouars tahun 1806 memberikan nama Voandzria
subterranea dan saat ini berkembang dengan nama ilmiah Vigna subterranea atas
peran (Verdcourd, 1970) yang menyatakan bahwa kacang bogor atau kacang
Bambara ini lebih cenderung memiliki kemiripan dengan genus Vigna. Meskipun
secara hasil kacang ini berpotensi panen lebih rendah dari genus Vigna yang lain,
menurut Rungnoi et al., (2012) hal ini dimungkinkan karena kacang bogor
termasuk dalam kacang-kacangan yang sering ditanam di lahan marginal atau
sering disebut sebagai landrace crop. Mukakalisa (2010) juga menambahkan
bahwa bambara yang ditanam di daerah semi-arid Afrika berdaya hasil rendah
dengan rata-rata hasil hanya 300-800 kg/ha, hal ini berhubungan dengan distribusi
hujan, temperatur udara yang ekstrim, tanah yang miskin hara, serangan hama
penyakit, dan teknik budidaya yang buruk.
Tanaman asli Nigeria ini selanjutnya tersebar di berbagai negara misalkan
Srilanka, Brasil, India, Malaysia, Indonesia, dan Australia. Di Indonesia, kacang
Bambara untuk pertamakali dapat beradaptasi dengan baik di Bogor sehingga saat
ini disebut sebagai kacang Bogor. Perkembangan kacang Bogor di Indonesia tidak
terbatas di Bogor saja tetapi juga berkembang di daerah lain seperti Sukabumi dan
Bandung sehingga terkadang juga disebut sebagai kacang Bandung, Liu (2010)
menambahkan terkadang kacang Bogor juga dikenal dengan nama kacang manila,
kacang gengge, kacang baleud, dan kacang banten. Menurut Rukmana dan
Oesman (2000), kacang Bogor juga berkembang di daerah Pati, Kudus, Lampung,
NTB dan NTT. Menurut Chomchalow (1993), kacang bogor termasuk dalam jenis
kacang-kacangan yang toleran terhadap keadaan tanah yang kurang subur
sehingga banyak ditanam di daerah dengan kesuburan rendah dan kering.
2
B. Anatomi dan Morfologi Kacang Bambara
Kacang bambara atau bogor membutuhkan waktu paling tidak 7-15 hari
untuk berkecambah. Benih yang disimpan paling lama adalah 12 bulan saja,
selebihnya benih dapat kehilangan viabilitasnya. Setelah tanaman melewati masa
vegetatif selanjutnya masa pembungaan terjadi antara 30-35 hst dan termasuk
dalam tanaman berhari pendek. Polong dan biji terbentuk sekitar 30-40 hari
setelah terjadinya fertilisasi. Polong terbentuk di atas permukaan tanah, sekitar 30
hari setelah fertilisasi lalu 10 hari berikutnya biji mulai terbentuk. Biji masak saat
jaringan parenkim yang menutupi embrio hilang dan polong berubah warna
menjadi coklat cerah. Sementara Nishitani et al., 1981 dalam Ratih (1991) dalam
Hamid (2009) menambahkan bahwa pembungaan pada kacang bogor terjadi pada
55 hst pada musim hujan dan 45 hst pada musim kemarau. Pemanenan biasanya
dapat dilakukan saat 80% dari polong masak dan siap dipanen (Swanevelder,
1998). Berchie et al., (2010) menambahkan bahwa siklus hidup secara lengkap
kacang bogor memerlukan waktu selama 110 hingga 150 hari untuk pertumbuhan
dan perkembangannya, meskipun pernah tercatat di Ghana semua siklus hanya
membutuhkan 90 hari dari tanam hingga panen, sedangkan Karikari et al., (1995)
dalam Hamid (2009) menambahkan bahwa biji masak fisiologis pada umur antara
120-155 hst.
Rukmana dan Oesman (2000) menjelaskan bahwa tanaman kacang bogor
termasuk dalam famili kacang-kacangan yang berbunga kupu-kupu
(Papilionaceae). Secara morfologi, kacang bogor memiliki bagian akar, batang,
daun, dan polong.
Menurut Rukmana dan Oesman (2000), akar tanaman menyebar ke segala
arah, rata-rata kedalaman sebaran akar adalah 30 cm. Kacang bogor termasuk
dalam kacang-kacangan sehingga akar tanamanannya dapat bersimbiosis dengan
bakteri penambat N Rhizobium dan membentuk bintil-bintil pada akar dan
merupakan pengganti pupuk nitrogen. IPGRI (2000) menambahkan bahwa akar
kacang bogor adalah perakaran lateral yang menyebar dan bersifat geotropikal.
Kacang bogor memiliki batang yang pendek dan berjumlah banyak.
Cabangnya ada yang berwarna merah muda, ungu atau hijau kebiruan (Doku dan
Karikari, 1971). Cabang tanaman kacang bogor merupakan salah satu bagian yang
3
mendukung potensi hasil kacang bogor, rata-rata cabang tanaman kacang bogor
terdiri atas ruas-ruas, rata-rata jumlah ruasnya 12 ruas. Ezedinma dan Maneke
(1985) mengelompokkan kacang bogor menjadi tiga kelompok didasarkan pada
diameter tutupan kanopi yaitu bunch 40 cm, semi bunch 40-80 cm dan open lebih
dari 80 cm.
Daun kacang bogor berbentuk lonjong dan berwarna hijau muda hingga
hijau tua, setiap tangkai daun terdiri dari 3 helai daun disebut sebagai trifoliat.
Rata-rata panjang daun 6 cm dan rata-rata lebar daun 3 cm (Rukmana dan
Oesman, 2000).
Kacang bogor termasuk dalam tanaman menyerbuk sendiri dan kelamin
jantan dan betina berada dalm satu bunga yang sama, susunan kromosmnya yaitu
dengan rumus 2n=2x=22 kromosom. Bunga kacang bogor muncul dari ketiak
daun sehingga dalam satu rumpun kacang bogor akan muncul banyak bunga.
Bunganya terdiri atas 5 kelopak dengan 4 kelopaknya terletak di atas dan hampir
bergabung sementara 1 kelopak terletak di bawah (IPGRI, 2000). Bunga kacang
bogor berwarna putih kekuningan saat pagi dan berubah menjadi kuning
kecoklatan saat menjelang malam. Doku dan Karikari (1971) menjelaskan bahwa
kematangan pollen dan reseptifitas stigma terjadi sebelum hingga saat sayap petal
atau petal standart telah terbuka. Saat petal standart terbuka ½ atau lebih dari lebar
bunga maka pollinasi terjadi. Meskipun termasuk tanaman menyerbuk sendiri,
tanaman kacang bogor dapat kawin silang dengan bantuan serangga semut. Saat
bunga membuka, semut akan masuk dengan membawa pollen. Selanjutnya setelah
pembungaan dan pembuahan, tangkai bunga akan memanjang ke dalam tanah,
membentuk genofor dan membentuk buah yang berupa polong (Fachruddin,
2000).
Menurut Duke et al., (1977) dan Mergeai (1986) kultivar kacang bogor
dapat dibedakan berdasarkan morfologinya yaitu meliputi ukuran polong, adanya
kerutan pada polong, ukuran biji, warna biji, jumlah polong per tanaman dan
warna daun. Polong melekat pada tangkai panjang dan berbentuk bulat. Setiap
polong berisi satu biji meskipun ada beberapa yang berbiji dua hingga tiga biji per
polong. Polong kacang bogor saat masih muda berwarna putih susu dan berubah
putih kecoklatan saat tua. Polongnya berbentuk membulat dan berkerut-kerut
4
dengan panjang berkisar antara 1-1,5 cm. Umumnya dalam satu polong terisi satu
hingga dua biji (Rukmana dan Oesman, 2000).
Biji kacang bogor umumnya membulat, halus dan keras jika telah masak
dan kering. Warna bijinya bervariasi yaitu putih, kuning, ungu (Linneman dan
Azam-Ali, 1993), krem, coklat, kehitaman, merah atau ada juga yang bercorak
tutul-tutul (Rukmana dan Oesman, 2000). Kacang bogor adalah tanaman
berkeping dua atau dycotiledone dengan struktur bijinya seperti kebanyakan
kacang-kacangan yang terdiri dari kulit biji (spermodermis), tali pusat (feniculus)
berwarna keputih-putihan, dan inti biji (nucleus seminis) yang merupakan
cadangan makanan (Rukmana dan Oesman, 2000).
Meskipun kacang bogor termasuk dalam tanaman landrace yang dapat
bertahan hidup pada kondisi kekurangan hara dan air namun menurut Astawan
(2009), kacang bogor memiliki syarat tumbuh optimum yaitu ketinggian tempat
1600 meter di atas permukaan laut, suhu udara 19-27oC, pH tanah 5,0-6,5 dan
curah hujan antara 500- 3500 mm per tahun.
C. Pengembangan Bioteknologi Kacang Bambara
Pengembangan bioteknologi kacang bambara saat ini sudah semakin
banyak, hal ini dilakukan untuk meningkatkan mutu genetik melalui beberapa cara
misalkan melalui teknik kultur jaringan, mutasi, transformasi genetik dan MAS
(Marker Assist Selection). Teknik kultur jaringan dilakukan sebagai awal dari
pelaksanaan kegiatan bioteknologi yang lainnya, misalkan mutasi, transformasi
genetik dan memperpendek siklus hidup. Mutasi dilakukan untuk meningkatkan
keragaman dalam kacang bambara, sementara transformasi genetik dilakukan
untuk meningkatkan mutu genetik dengan cara mengintroduksikan gen baru.
MAS adalah teknik yang digunakan dalam membantu proses seleksi gen secara
molekuler, ada banyak tipe MAS yang sudah dilakukan untuk identifikasi karakter
secara molekular pada kacang bambara.
5
Daftar pustaka
Berchie J.N., J. Sarkodie –Addo, H. Adu-Dapaah, A. Agyemang, S. Addy, E. Assare, and J. Donkor. (2010), Yield Evaluation Of Three Early Maturing Bambara Groundnut (Vigna Subterranea L. Verdc.) Landraces at The Csir-Crops Research Institute, Fumesua-Kumasi, Ghana. J. Agric. Sci. 9: 175 - 179
Chomchalow, N. 1993. Bambarra Groundnut. In Prociding FAO/UNDP project/RAS/89/040 Workshop Underxploited dan Potencial Food Legumes in Asia “ Food dan Agriculture Organization of the United Nation Regional Office for Asia dan Pacific, Bangkok. Thailan. pp. 30-34
Doku, E.V. and S.K. Karikari. 1971. Bambara Groundnut. J. Agric. Sci. Hamid (2009)
Duke, J.A., B.N. Okigbo, C.P. Reeds dan J.K.P. Weder. 1977. Bambara Groundnut (Vodanzeia subterranea (L). Thours). J. Agric. Sci, 10: 8-10.
Liu, H. 2010. Kacang Bogor Sehat dan Enak. Available at: File://localhost/F:/Bambara/Kacang-Bogor-Sehat-dan-Enak.html
Mukakalisa, C., 2010. Molecular, Environmental And Nutritional Evaluation Of Bambara Groundnut (Vigna Subterranea (L.) Verdc.) For Food Production In Namibia. Ph.D. Thesis. The University Of Namibia. Namibia
Rukmana, R., dan Y.Y. Oesman., 2000. Kacang Bogor: Budidaya dan Prospek Usahatani. Kanisius. Jogjakarta
Rungnoi, O., J. Suwanprasert, P. Somta and P. Srinives. 2012. Molecular Genetic Diversity Of Bambara Groundnut (Vigna subterranea L. Verdc.) Revealed By Rapd and Issr Marker Analysis. Sabrao. J. Breed. Genet. 44 (1) 87-101
Swanevelder, C.J., 1998. Bambara: food for Africa (Vigna subterranea . bambara groundnut). National Department of Agriculture. ARC- Grain Crops Institute. Pretoria South Africa
6
BAB II KULTUR EMBRIO KACANG BOGOR
A. Pendahuluan
Kultur Jaringan
Kultur jaringan atau Kultur In Vitro adalah suatu teknik untuk
mengisolasi, sel, protoplasma, jaringan, dan organ dan menumbuhkan bagian
tersebut pada nutrisi yang mengandung zat pengatur tumbuh tanaman pada
kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan
beregenerasi menjadi tanaman sempurna. Kultur jaringan disebut juga sebagai
kultur in vitro karena jaringan dibiakkan di dalam tabung kaca, botol kaca, cawan
Petri dari kaca, atau material tembus pandang lainnya.
Kultur jaringan tanaman secara teoritis dapat dilakukan terhadap semua
jaringan, namun masing-masing jaringan memerlukan komposisi media tertentu.
Dasar teori teknik kultur jaringan adalah teori Totipotensi Sel yaitu bahwa setiap
sel memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi individu yang sempurna apabila
diletakkan pada lingkungan yang sesuai.
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak
tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara
generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa
keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang seragam dan identik dengan
induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar tanpa membutuhkan
tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu
yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit
lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional, pengadaan bibit
tidak tergantung musim, biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah.
Metode Kultur Jaringan
Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbanyakan tanaman
dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang
dilakukan dalam wadah yang steril. Dengan demikian Kultur Jaringan Tanaman
dapat didefinisikan sebagai teknik menumbuh kembangkan bagian tanaman, baik
berupa sel, jaringan maupun organ dalam kondisi aseptik secara in vitro.
Dalam pelaksanaannya, mikropropagasi dilakukan di dalam suatu
laboratorium yang terjaga sterilitasnya. melalui beberapa tahapan:
7
o Tahap 0 – preparasi yang terdiri atas proses pemilihan dan persiapan
tanaman induk, pembuatan media tanam dan sterilisasi bahan tanaman
o Tahap I - inisiasi dilakukan dengan persiapan eksplan
o Tahap II – inokulasi dilakukan dengan penanaman eksplan pada media
tanam
o Tahap III - inkubasi dilakukan dengan multiplikasi (perbanyakan)
tunas dan menumbuhkan akar
o Tahap IV – Aklimatisasi dilakukan dengan proses adaptasi pada
lingkungan luar botol
Eksplan
Eksplan adalah bagian dari tanaman yang digunakan dalam
mikropropagasi atau kultur jaringan tanaman. Seluruh bagian tanaman (daun,
batang, dan akar) dapat dipergunakan sebagai eksplan, namun yang biasanya
dipergunakan adalah meristem (jaringan muda), mata tunas dan tunas pucuk
(shoot tip). Eksplan dapat juga berupa embrio (kelapa), benih (anggrek), biji
(sengon), umbi (wortel), keping biji (kotiledon), benang sari dan putik.
Pembuatan eksplan dari bahan induk dilakukan dengan mempergunakan
peralatan yang bersih dan tajam. Eksplan selanjutnya dibawa ke dalam
laboratorium untuk dilakukan sterilisasi. Tahapan sterilisasi, bahan sterilisasi, dan
durasi sterilisasi tiap jenis eksplan tidak sama, namun secara umum sterilisasi
eksplan dilakukan dengan mencuci eksplan dalam air bersih yang mengalir.
8
Media Tanam
Media merupakan faktor utama dalam perbanyakan dengan kultur
jaringan. Media adalah tempat bagi jaringan untuk tumbuh dan mengambil nutrisi
yang mendukung kehidupan jaringan. Media tumbuh menyediakan berbagai
bahan yang diperlukan jaringan untuk hidup dan memperbanyak dirinya.
Media yang digunakan biasanya terdiri dari unsur hara makro dan mikro
dalam bentuk garam mineral, vitamin, dan zat pengatur tumbuh (hormon). Selain
itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti gula, agar, arang aktif, bahan organik
lain (air kelapa, bubur pisang, ekstrak buah, ekstrak kecambah) . Media yang
sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol kaca dan disterilisasi.
Komposisi media yang digunakan tergantung dari tujuan dan jenis tanaman yang
dikulturkan.
Berdasarkan komposisi dan kesesuaian media terhadap jenis tanaman yang
akan dikulturkan, dikenal beberapa jenis media dasar:
- Media VW yang diformulasikan dan diperkenalkan oleh E. Vacin dan F.
Went (1949), untuk tanaman Anggrek
- Media MS yang diformulasikan dan diperkenalkan oleh Murashige dan
Skoog (1962) untuk berbagai tanaman hortikultura
- Media Euwen untuk tanaman kelapa
- Media B5 atau Gamborg, digunakan untuk kultur suspense sel kedelai, alfafa
dan legume lain.
- Media White, untuk kultur akar
- Media Woody Plant Madium (WMP) untuk tanaman berkayu
- Media N6 untuk tanaman serealia
- Media Nitsch dan Nitsch untuk kultur sel dan kultur tepung sari
- Media Schenk dan Hildebrandt untuk tanaman berkayu
Pada semua komposisi media kultur jaringan, hormon dan vitamin
diperlukan dalam jumlah yang sangat sedikit. Masing-masing komponen media
memiliki peran, unsur hara makro berfungsi dalam metabolisme tanaman, unsur
hara mikro: pengaturan enzym, vitamin: regulasi (pengaturan), sukrosa sebagai
suplay karbohidrat, sumber karbon, sumber energi, Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
9
untuk merangsang, menghambat atau mengubah pola pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, arang aktif untuk mengarbsorbsi senyawa fenolik dan
untuk merangsang pertumbuhan akar, agar sebagai pemadat dan aquades sebagai
pelarut.
Media dasar tersebut dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan, dengan
menambahkan vitamin dan zat pengatur tumbuh (hormon). Zat pengatur tumbuh
diperlukan untuk mengatur diferensiasi tanaman.
Pada umumnya, hormon yang banyak dipergunakan adalah golongan
auksin dan sitokinin. Perbandingan komposisi antara kedua hormon tersebut akan
menentukan perkembangan tanaman, yaitu:
- Auxin lebih rendah dari Cytokinin maka terjadi perkembangan akar
- Cytokinin lebih rendah dari Auxin maka terjadi perkembangan tunas
- Auxin sama dengan Cytokinin maka terjadi perkembangan kalus
Salah satu kendala dalam pengembangan kacang bambara adalah karena
tidak adanya pengembangan genetik. Peningkatan nilai genetik kacang bambara
dapat diakukan dengan rekombinasi genetik dan seleksi. Terdapat beberapa
penelitian mengenai efisiensi sistem regenerasi yang sesuai untuk perkembangan
sel dan manipulasi genetik, kultur jaringan harus dilaksanakan sebelum
pelaksanaan transformasi genetik. Kacang-kacangan dengan ukuran benih yang
besar kebanyakan termasuk dalam kelompok rekalsitran dapat disimpan dalam
bentuk regenerasi in vitro. Kone et al., (2013) menyatakan bahwa penelitian
mengenai kacang bambara di bidang bioteknologi juga dilakukan untk
pengembangan teknik integrasi gen dalam tanaman secara langsung untuk
perbaikan plasma nutfah dengan persilangan antar taxa. Pengembangan teknologi
ini tergantung pada efisiensi regenerasi untuk tanaman dewasa yang fertil dengan
menggunakan organ, jaringan dan protoplas, meskipun demikian, kultur jaringan
untuk kacang bambara sangat jarang meskipun perbanyakan dapat dilakukan
dengan menggunakan eksplan embrio, epikotil, hipokotil dan kotiledon.
Beberapa penelitian terdahulu menurut Owonubi et al., (2011) telah
dilakukan kultur jaringan kacang bambara yang berasal dari jaringan adventif
batang dari embrio, ada pula penelitian yang menggunakan eksplan yang berasal
dari kotiledon dan jaringan epikotil, sementara untuk kultur jaringan
10
organogenesis secara langsung dapat dilakukan dengan menggunakan eksplan
yang berasal dari epikotil dan hipokotil. Organogenesis secara langsung pada
eksplan adalah metode multiplikasi yang berguna dalam proses pengembangan
tanaman transgenik. Karena plantlet langsung terbentuk tanpa melalui fase kalus
sehingga variasi somaklonal dapat diminimalisis. Organogenesis sangat berguna
dalam kegiatan modifikasi genetik pada tanaman. Dalam pelaksanaan kultur
jaringan kacang bambara ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, dua
diantaranya adalah asal eksplan dan juga komposisi media yang digunakan.
Aklimatisasi
Tahapan akhir dari perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan
adalah aklimatisasi planlet (tanaman kecil). Aklimatisasi adalah kegiatan
memindahkan planlet keluar dari ruangan aseptik. Tahap aklimatisasi merupakan
tahap yang sangat penting dan kritis dalam rangkaian budidaya tanaman in vitro,
karena kondisi lingkungan di rumah kaca atau rumah plastik dan di lapangan
sangat berbeda dengan kondisi di dalam botol kultur.
Aklimatisasi dilakukan dengan memindahkan planlet ke media
aklimatisasi dengan intensitas cahaya rendah dan kelembapan nisbi tinggi,
kemudian secara berangsur-angsur kelembapannya diturunkan dan intensitas
cahayanya dinaikkan. Pemindahan ini dilakukan secara hati-hati dan bertahap,
yaitu dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit
dari udara luar, sinar matahari langsung dan serangan hama penyakit karena bibit
hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara
luar.
Media tanaman yang dipergunakan dalam tahap ini biasanya berupa bubuk
arang, arang sekam, mos, pakis halus, campuran tanah halus dan kompos, dan
sebagainya. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka
secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara
yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif. Selanjutnya bibit siap
dipindahkan ke lapang atau lahan penanaman.
Lingkungan in vitro Lingkungan ex vitroSuhu 25±2oC Suhu 23-36oC
Intensitas cahaya 1200-200 lux Intensitas cahaya 4000-12000 luxSpektrum cahaya sempit Spektrum cahaya luas
11
Kelembaban relatif 98-100% Kelembaban relatif 40-80%Akar hampir tidak berfungsi Akar sangat berfungsi
Sistem fotosintesis hampir tidak berfungsi
Sistem fotosintesis sangat berfungsi
Hormon eksogen Hormon endogenKondisi steril Kondisi tidak steril
Keberhasilan teknik propagasi secara in vitro ini ditentukan oleh beberapa
faktor, antara lain:
a. Faktor tanaman: Genotipe tanaman (varietas, species tanaman induk), dan
kondisi eksplan (jenis eksplan, ukuran, umur, fase fisiologis jaringan ).
b. Faktor lingkungan tumbuh: Suhu ± 25 oC , kelembaban : 80-99% (botol
tertutup rapat), cahaya dari lampu TL ±1000 lux, dan media tanam jenis
media, komposisi media, hormon
c. Faktor sterilitas / kondisi aseptik: sterilitas bahan dan peralatan
laboratorium degan penggunaan autoklaf, sterilitas ruang dengan
penggunaan bahan antiseptic (kloroform, alkohol), dan sterilitas dalam
pelaksanaan dengan penggunaan entkas dan laminar air flow
B. Teknik kultur embrio pada kacang bogor
1. Organogenesis kacang bambara oleh Owonubi et al., (2011)
Owonubi et al., (2011) dalam penelitian mengenai organogenesis pada
kacang bambara menggunakan teknik in-vitro dengan media MS. Prosedur
pelaksanaan yang telah dilakukan adalah sebagai berikut,
Benih dari aksesi yang digunakan disterilisasi dengan ethanol 70% untuk
satu menit yang dilanjutkan dengan sterilisasi permukaan dengan 10% larutan
sodium hipoklorit dan dua tetes minyak Tween-20 selama 20 menit. Eksplan
dicuci sebanyak tiga kali dengan aquades dan dikocok semalaman. Sterilisasi
kedua dilakukan dengan menggunakan larutan sodium hipoklorit 5% dengan dua
tetes minyak tween-20 selama 10 menit dan dicuci dengan aquades sebelum
dipotong-potong menggunakan stereomikroskop pada LAFC.
Embrio yang sudah diberikan perlakuan dikulturkan pada test tube dengan
medium MS bervitamin. Media MS mengandung 3% sukrosa, 100mg/l myo-
inositol, 0,7% agar dengan pH media 5,8 dan dilanjutkan dengan autoclav dengan
tekanan 15 psi dan suhu 121oC selama 15 menit dan diinkubasi pada ruang
12
pertumbuhan dengan suhu 24±2oC dibawah penyinaran 16 jam. Masa inkubasi
dilakukan selama 4 minggu.
Setelah 4 minggu, plnanlet dengan pertumbuhan akar yang baik dapat
dipindahkan dari media kultur dan setelah pencucian dengan air mengalir,
tanaman dapat dipindahkan ke media yang berisi 70% topsoil, 20% serat
kelapadan 10% pasir yang telah disterilisasi selam 4 jam sebelum digunakan.
Setelah 3 minggu, tanaman dapat dipindahkan ke media yang mengandung tanah,
pasir dan pupuk dan ditumbuhkan di dalam rumah kaca selama 3 minggu untuk
aklimatisasi.
2. Kultur kotiledon pada kacang bambara oleh Kone et al., (2013)
Pada penelitian lain oleh Kone et al., (2013) dalam penelitiannya
mengenai organogenesis kacang bambara dengan eksplan kotiledon melakukan
penelitian dengan metode sebagai berikut,
Keterangan: (a) Benih yang digunakan untuk regenerasi, (b) benih yang sudah
dibuang kulit luarnya, (c) benih yang dipotong transvesal, (d) benih yang dipotong
longitudinal, (e) eksplan dalam media organogenesis, (f) regenerasi batang
langsung dari kotiledon dengan bagian adaxial pada medium, (g) regenerasi
batang langsung dari kotiledon dengan bagian abaxialpada medium, (h)
pembentukan akar pada medium pengakaran MS tanpa ZPT, (i) pemindahan
plantlet ke medium tanah:pasir, (j) tanaman yang diaklimatisasi pada greenhouse
(Kone et al., 2013)
Benih kacang bambara yang diambil dari kotiledon yang memiliki
kemampuan untuk regenerasi, mudah ditumbuhkan dan dapat dikembangkan
dalam jumlah yang banyak. Benih kemudian disterilisasi dengan menggunakan
ethanol 70% selama satu menit dan dilanjutkan dengan 7% kalsium hipoklirit
13
selama 30 menit. Pada tahap selanjutnya benih dicuci dengan aquade sebanyak 4
kali dan dikocok pada air steril 25oC selama 48 jam dalam keadaan gelap. Setelah
proses ini selesai kemudian benih dikeringkan dengan kertas filter, kulit benih
dilepaskan dan kotiledon dipisahkan dengan embrio, tahap ini yang disebut
sebagai de-embrionasi. Kotiledon ditanam dengan terlebih dulu memoting
kotiledon dengan ukuran 0,5 cm2 dan eksplan kemudian diinkubasi pada media
kultur MS.
Setelah batang adventif terbentuk sekitar 2-3 cm maka eksplan
dipindahkan ke media pengakaran dengan komposisi dasar MS tanpa penambahan
ZPT. Saat batang sudah mencapai 3-4 cm dan akar sudah terbentuk sekitar 6-8
dengan 4 atau 5 daun maka dilanjutkan dengan pemindahan pada media baru yang
berisi tanah dan pasair 1:1 dengan penutup untuk menjaga kelembaban. Pot yang
diguanakan sebagai media harus dijaga suhu dan kelembabannya yaitu 25 ± 2 ºC,
dan kelembaban 40–50% dan fotoperiodisitas atau penyinaran 16 jam penyinaran
8 jam. Setelah tanaman tidak lagi ditutup dengan plastik, maka tanaman sudah
bisa ditransfer pada greenhouse.
3. Pemendekan sikluas generasi kacang bambara dengan kombinasi teknik In
vitro dan in vivo oleh Dapaah dan Sangwan (2004)
Mutasi dengan kombinasi teknik in vitro dan in vivo dilakukan dengan
melalui empat tahap yaitu:
- Media kultur: media yang digunakan adalah media MS dengan komposisi
makro elemen, mikro elemen dan vitamin, 2% sukrosa dan 0,6% agar.
Medium yang dibuat sudah didesain untuk media kultur bambara yang
mengandung jenis dan konsentrasi ZPT berbeda. Untuk mendukung
pertumbuhan akar maka ditambahkan ZPT 0,5-1,0mg/l NAA.
- Sterilisasi: kacang bambara dikocok dengan aquades selama satu malam,
setelah pengocokan selama satu malam kemudian benih dicuci debanyak
3-4 kali pencucian. Setelah semua proses tersebut dilanjutkan dengan
sterilisasi permukaan dengan ethanol 70% dan 5% kalsium hipoklorit.
- Kondisi kultur: untuk memperpendek siklus generasi, terdapat tiga
perlakuan yaitu dengan menggunakan eksplan (1) benih kacang bambara
kontrol, (2) benih yang kulit bijinya sudah dilepaskan dan (3) embrio yang
14
diisolasi dari benih, embrio dipisahkan dari benih dengan hati-hati dengan
skapel. Benih dan embrio ditanam di cawan petri, kondisi ruang kultur
dibuat dengan kondisi 5000 lux dengan lama penyinaran 10 jam dan rata-
rata 27oC saat siang dan 25oC. Saat eksplan setinggi 3-4 cm maka eksplan
dipindahkan ke greenhouse.
C. Evaluasi hasil kultur embrio kacang bogor
1. Organogenesis pada kacang bambara oleh Owonubi et al., (2011)
Konsentrasi dari dua hormon auksin dan sitokinin pada media memberikan
pengaruh yang besar terhadap regenerasi planlet. Kombinasi BA 0,45mg/l dan
NAA 0,25mg/l menghasilkan jumlah batang yang banyak dengan nilai panjang
batang yang tinggi. Pengurangan konsentrasi NAA menjadi 0mg/l ternyata dapat
menurunkan regenerasi batang dan daun. Hasil menunjukkan bahwa konsentrasi
yang berbeda dari NAA antara 0-0,25mg/l dapat mempengaruhi frekuensi
regenerasi dengan peningkatan konsentrasi NAA, sementara konsentrasi BA yang
rendah dapat menginduksi pembentukan batang. Keberhasilan kultur in vitro
didapatkan dengan mengatur konsentrasi hormon sitokinin dan uksin pada meda.
Keseimbangan hormon menjadi sangar penting. Pembelahan sel dan pembesaran
sel terjadi pada jaringan yang aktif dengan sitokinin dan auksin yang simbang.
Sementara itu, pembentukan kalus terjadi pada media yang lebih banyak
mengandung auksin-NAA pada media sehingga pembentukan akar lebih tingi.
15
2. Kultur kotiledon pada kacang bambara oleh Kone et al., (2013)
Kone et al., (2013) dari hasil penelitian yang dilakukannya menunjukkan
bahwa regenerasi batang yang paling optimum adalah dari kotiledon dengan
konsentrasi hormon BAP tinggi, hal ini dikarenakan sitokinin dapat meningkatkan
deferensiasi dan laju translokasi.pada beberapa spesies kacang-kacangan, efek
dari konsentrasi tinggi dari sitokinin dan konsentrasi auksin yang rendah dapat
menyebbkan respon organogenesis batang lebih baik daripada media dengan
hormon sitokinin saja. Pada kultur kotiledon V.subterranea, tunas muncul dari
adaxial dan abaxial dari kotiledon.
3. Pemendekan sikluas generasi kacang bambara dengan kombinasi teknik In
vitro dan in vivo oleh Dapaah dan Sangwang (2004)
Rerata perkecambahan dan pertumbuhan plantlet menunjukkan bahwa
benih tanpa kulit berkecambah 7 hari setelah penanaman, benih dengan kulit
berkecambah 14 hari. Pada 21 hst persentase perkecambahan sudah sempurna.
Persentase perkecambahan menunjukkan bahwa pada eksplan yang berasal
dari embrio menghasilkan persentase perkecambahan yang paling besar hampir
dua kali benih yang dikupas dan tidak dikupas, hal ini dimungkinkan karena
proses perkecambahan semakin cepat jika embrio dikeluarkan dari kotiledon.
Untuk ukuran plantlet dan panjang akar untuk benih yang dikupas dan tidak
dikupas menunjukkan hasil yang lebih tinggi yaitu tiga kali lipatnya dari eksplan
embrio hal ini dikarenakan eksplan benih dengan kotiledon memiliki cadangan
16
makanan yang lebih banyak untuk mendukung regenerasi eksplan, meskipun
demikian jumlah cabang lebih banyak tiga kali lipat pada eksplan embrio.
Kultur in vitro dilakukan untuk memperpendek siklus generasi pada
kacang bambara sehingga pertumbuhan vegetatif dapat dikurangi untuk
membentuk beberapa biji. Sebenarnya teknik ini dikembangkan untuk seleksi
SSD (Single Seed Descent) untuk mendapatkan benih dari satu tanaman untuk
ditanam kembali secara in vivo dan diseleksi. Dengan sistem ini maka dalam satu
tahun dapat digunakan untuk menyeleksi empat generasi secara langsung yang
tidak mungkin dilakukan jika dilakukan secra in vivo.
Durasi yang semakin pendek akan menyebabkan perbanyakan dengan
teknik gabungan in vitro dan in vivo semakin efisien and independensi genetik
sehingga sangat memungkinkan untuk digunakan sebagai aplikasi bioteknologi.
Teknik gabungan ini juga pernah digunakan dalam pengembangan benih kacang
bambara dalam jumlah banyak yang merupakan hasil mutasi dengan irradiasi
sinar gamma.
D. Penutup
a. Kesimpulan
Dalam kegiatan kultur pada kacang bambara seperti kultur jaringan yang
lain, media perlu untuk diperhatikan selain komposisi dasar yaitu ZPT. ZPT
sangat penting untuk diperhatikan karena konserntrasi ZPT akan mempengaruhi
pemanjangan akar, batang dan pembentukan kalus. Seperti pada penelitian yang
pernah dilakukan untuk perlakuan ZPT BA yang tinggi dan NAA yang rendah
menginduksi pembentukan akar sebaliknya ZPT BA rendah dan NAA tinggi
menginduksi pembentukan batang dan pada konsentrasi keduanya yang sama
menginduksi pembentukan kalus.
Selain itu, pada penelitian lain yang menggunakan eksplan berupa benih
(dengan pengupasan dan tanpa pengupasan) dan kultur embrio menunjukkan
perbedaan dalam beberapa hal yaitu kecepatan kecambah, panjang akar, batang
dan jumlah batang. Kultur in vitro pada kacang bambara dapat dilakukan untuk
membantu memperpendek siklus hidup sehingga memudahkan dalam pelaksanaan
pemuliaan tanaman sehingga dapat menghemat waktu satu tahun dapat digunakan
untuk perkembangan empat generasi kacang bambara.
17
b. Rekomendasi
Penggunaan teknik in vitro dari beberapa penelitian yang pernah ada maka
kultur in vitro dapat digunakan untuk kegiatan pemuliaan bioteknologi misalkan
transformasi genetik, mutasi atapun memperpendek masa regenerasi sehingga
lebih efektif dan efisien.
Daftar Pustaka
Dapaah, A., and Sangwan. 2004. Improving bambara groundnut productivity
using gamma irradiation and in vitro techniques. African Journal of
Biotechnology. 3(5): 260-265
Kone, M., T. Kone., H.T. Kouakou, S. Konate and J.S. Ochatt. 2011. Plant
regeneration via direct shoot organogenesis from cotyledon explants of
Bambara groundnut, Vigna subterranea (L.) Verdc. Biotechnol. Agron.
Soc. Environ. 2013 17(4), 584-592
Nugrahani, P., Sukendah dan Makziah. 2011.Teknik Propagasi Secara In Vitro.
Universitas Pembangunan Nasional. Surabaya
Owonubi, S.J., O.B. Ojuederie, dan M.N.Olayode. 2011. Organogenesis of
Bambara Groundnut (Vigna subterranea (L.) Verdc.) through in Vitro
Culture from Nodal Segmen. International Journal of Plant Development
Biology
18
BAB III INDUKSI MUTASI KACANG BOGOR
A. Pendahuluan
Pengertian Mutasi
Menurut Warianto, (2011) mutasi berasal dari kata Mutatus (bahasa latin)
yang artinya adalah perubahan. mutasi didefenisikan sebagai perubahan materi
genetic (DNA) yang dapat diwariskan secara genetis keketurunannya. Mutasi
adalah perubahan pada materi genetik suatu makhluk yang terjadi secara tiba-tiba,
acak, dan merupakan dasar bagi sumber variasi organisme hidup yang bersifat
terwariskan (heritable). Mutasi juga dapat diartikan sebagai perubahan struktural
atau komposisi genom suatu jasad yang dapat terjadi karena faktor luar (mutagen)
atau karena kesalahan replikasi. Peristiwa terjadinya mutasi disebut mutagenesis.
Makhluk hidup yang mengalami mutasi disebut mutan dan factor penyebab
mutasi disebut mutagen (mutagenic agent). Perubahan urutan nukleotida yang
menyebabkan protein yang dihasilkan tidak dapat berfungsi baik dalam sel dan sel
tidak mampu mentolerir inaktifnya protein tersebut, maka akan menyebabkan
kematian (lethal mutation).
Mutasi adalah perubahan yang terjadi pada bahan genetik (DNA maupun
RNA), baik pada taraf urutan gen (disebut mutasi titik) maupun pada taraf
kromosom. Mutasi pada tingkat kromosomal biasanya disebut aberasi. Mutasi
pada gen dapat mengarah pada munculnya alel baru dan menjadi dasar bagi
kalangan pendukung evolusi mengenai munculnya variasi-variasi baru pada
spesies. Mutasi dapat mempengaruhi DNA maupun kromosom. DNA dapat
dipengaruhi pada saat sintesis DNA (replikasi). Pada saat tersebut factor
mutagenic mempengarugi pasangan basa nukleutida sehingga tidak berpasangan
dengan basa nukleutida yang seharusnya (mismatch). Misalnya triplet DNA
cetakan adalah TTA. Namun karena adanya mutagen menyebabkan DNA
polymerase memasangkan A dengan C, bukan dengan T.
Jenis-jenis mutasi
Menurut Kejadiannya Mutasi dapat terjadi secara spontan (spontaneous
mutation) dan juga dapat terjadi melalui induksi (induced mutation). Mutasi
spontan adalah mutasi (perubahan materi genetik) yang terjadi akibat adanya
sesuatu pengaruh yang tidak jelas, baik dari lingkungan luar maupun dari internal
19
organisme itu sendiri. Sedangkan mutasi terinduksi adalah mutasi yang terjadi
akibat paparan dari sesuatu yang jelas, misalnya paparan sinar UV. Secara
mendasar tidak terdapat perbedaan antara mutasi yang terjadi secara alami dan
mutasi hasil induksi.
Berdasarkan sel yang mengalami mutasi, mutasi dibedakan atas mutasi
somatik dan mutasi gametik atau germinal. Mutasi somatik adalah mutasi yang
terjadi pada sel-sel somatik. Sedangkan mutasi gametik atau germinal adalah
mutasi yang terjadi pada sel gamet. Mutasi somatik dapat diturunkan dan dapat
pula tidak diturunkan. Sedangkan mutasi gametik, karena terjadinya di sel gamet,
maka akan diwariskan oleh keturunannya.
Mutasi secara umum menurut tempat terjadinya ada dua yaitu:
a. Mutasi gen ialah perubahan kimiawi pada satu atau beberapa pasangan
basa dalam satu gen tunggal yang menyebabkan perubahan sifat individu
tanpa perubahan jumlah dan susunan kromosomnya.
b. Mutasi kromosom adalah perubahan yang terjadi pada kromosom yang
disertai dengan perubahan struktur dan jumlah kromosom.
Mutasi kromosom atau sering juga disebut dengan mutasi besar/gross
mutation atau aberasi kromosom adalah perubahan jumlah kromosom dan
susunan atau urutan gen dalam kromosom. Mutasi kromosom sering terjadi
karena kesalahan meiosis dan sedikit dalam mitosis. Mutasi kromosom
berdasarkan jumlah kromosomnya dibagi menjadi dua yaitu Aneuploid dan
Aneusomi:
- Aneuploidi adalah perubahan jumlah kromosomnya. Aneuploidi dibagi
menjadi 2, yaitu:
20
Autopoliploidi, yaitu kromosomnya mengganda sendiri karena
kesalahan meiosis.
Allopoliploidi, yaitu perkawinan atau hibrid antara spesies yang
berbeda jumlah set kromosomnya.
- Aneusomi adalah perubahan jumlah kromosom. Penyebabnya adalah
anafase lag (peristiwa tidak melekatnya beneng-benang spindel ke
sentromer) dan non disjunction (gagal berpisah).
Mutasi kromosom menurut Suparmuji (2009) berdasarkan jumlah
kromosomnya dibagi menjadi empat yaitu duplikasi, translokasi, delesi
(defisiensi) dan inversi:
1. Delesi adalah mutasi karena kekurangan segmen kromosom. Penghilangan
dapat terjadi pada segmen panjang lengan kromosom seperti yang
dilaporkan pada tanaman gandum. Tergantung pada gen dan tingkat ploidi,
defisiensi dapat menyebabkan kematian, separuh kematian, atau
menurunkan viabilitas. Pada tanaman defisiensi yang ditimbulkan oleh
perlakuan bahan mutagen (radiasi) sering ditunjukkan dengan munculnya
mutasi klorofil. Kejadian mutasi klorofil biasanya dapat diamati pada
stadia muda (seedling stag), yaitu dengan adanya perubahan warna pada
daun tanaman.
2. Duplikasi adalah mutasi karena kelebihan segmen kromosom. Mutasi ini
terjadi pada waktu meiosis, sehingga memungkinkan adanya kromosom
lain (homolognya) yang tetap normal. Duplikasi menampilkan cara
peningkatan jumlah gen pada kondisi diploid. Dulikasi dapat terjadi
melalui beberapa cara seperti: pematahan kromosom yang kemudian
diikuti dengan transposisi segmen yang patah, penyimpangan dari
mekanisme crossing-over pada meiosis (fase pembelahan sel),
rekombinasi kromosom saat terjadi translokasi, sebagai konsekuensi dari
inversi heterosigot, dan sebagai konsekuensi dari perlakuan bahan
mutagen. Beberapa kejadian duplikasi telah dilaporkan dapat
miningkatkan viabilitas tanaman.
3. Translokasi ialah mutasi yang mengalami pertukaran segmen kromosom
ke kromosom non homolog. Translokasi terjadi apabila dua benang
21
kromosom patah setelah terkena energi radiasi, kemudian patahan benang
kromosom bergabung kembali dengan cara baru. Patahan kromosom yang
satu berpindah atau bertukar pada kromosom yang lain sehingga terbentuk
kromosom baru yang berbeda dengan kromosom aslinya. Translokasi
dapat terjadi baik di dalam satu kromosom (intrachromosome) maupun
antar kromosom (interchromosome). Translokasi sering mengarah pada
ketidakseimbangan gamet sehingga dapat menyebabkan kemandulan
(sterility) karena terbentuknya chromatids dengan duplikasi dan
penghapusan.
4. Inversi ialah mutasi yang mengalami perubahan letak gen-gen, karena
selama meiosis kromosom terpilin dan terjadi kiasma. Inversi terjadi
karena kromosom patah dua kali secara simultan setelah terkena energi
radiasi dan segmen yang patah tersebut berotasi 180o dan menyatu
kembali. Kejadian bila centromere berada pada bagian kromosom yang
terinversi disebut pericentric, sedangkan bila centromere berada di luar
kromosom yang terinversi disebut paracentric.
Induksi Mutasi
Mutasi berdasarkan mutagennya dibagi menjadi dua yaitu mutasi alami
dan mutasi buatan.
- Mutasi alam atau mutasi spontan biasanya terjadi karena kesalahan
pemasangan basa pada waktu proses replikasi, perbaikan, atau
rekombinasi DNA sehingga mengarah pada terjadinya substitusi, insersi
atau delesi pasangan basa. Selain itu mutasi secara alami dapat terjadi
karena radiasi radioaktif alam, sinar kosmis dan sinar ultraviolet.
- Mutasi buatan, yaitu mutasi yang ditimbulkan akibat campur tangan
manusia (telah direncancanakan). Dengan memperlakukan sel
menggunakan zat-zat kimia, sinar-X, sinar gamma, sinar alfa, dan
beberapa jenis radiasi hasil sampingan tenaga nuklir. Penyebab mutasi
dalam lingkungan yang bersifat fisik menurut Warianto (2011) adalah
radiasi dan suhu. Radiasi sebagai penyebab mutasi dibedakan menjadi
radiasi pengion dan radiasi bukan pengion.
22
o Radiasi pengion adalah radiasi berenergi tinggi sedangkan radiasi
bukan pengion adalah radiasi berenergi rendah. Contoh radiasi
pengion adalah radiasi sinar X, sinar gamma, radiasi sinar kosmik.
Contoh radiasi bukan pengion adalah radiasi sinar UV. Radiasi
pengion mampu menembus jaringan atau tubuh makhluk hidup
karena berenergi tinggi.
o Radiasi bukan pengion hanya dapat menembus lapisan sel-sel
permukaan karena berenergi rendah. Radiasi sinar tersebut akan
menyebabkan perpindahan elektron-elektron ke tingkat energi yang
lebih tinggi.
o Penyebab mutasi dalam lingkungan yang bersifat kimiawi disebut
juga mutagen kimiawi. Mutagen-mutagen kimiawi tersebut dapat
dipilah menjadi 3 kelompok, yaitu analog basa, agen pengubah
basa dan agen penyela.
B. Teknik induksi mutasi pada kacang bogor
Kacang bambara adalah kacang-kacangan yang banyak diproduksi di
Nigeria, Niger, dan Ghana dan pada daerah-daerah di Afrika barat. Kacang
bambara mengandung protein lysin dan methonine, kandungan proteinnya sekitar
18%-24%, karbohidrat 51%-70%, energi 367-414 kcal per 100g, zat besi 4,9-48
mg/100g. Masalah yang dihadapi dalam pengembangan kacang bogor yaitu
potensi hasil yang rendah, rentan terserang penyakit seperti Cercospora, virus
mozaic, dan hama. Induksi nutasi pada kacang bambara juga dilakukan untuk
mengembangkan potensi hasil bambara sementara sedikit sekali pengembangan
indksi mutasi dengan tujuan untuk mengamati pengaruh terhadap resistensi
penyakit. Dengan dilakukannya mutasi maka variasi genetik yang terbentuk
menjadi lebih banyak sehingga memudahkan dalam melakukan seleksi untuk
tindakan pemulian selanjutnya.
Mutasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, yang paling umum adalah
mutasi dengan irradiasi, contohnya dengan penyinaran sinar gamma.
Pembelajaran mengenai mutagen kimia didahului dengan percobaan dengan
mutasi menggunakan radiasi sebagai agen mutagenik. Saat ini mutasi kimia telah
banyak diuji cobakan dengan beberapa sistem mutagen biologis, contohnya yaitu
23
ethylenimine, N-ethyl-N-nitrisomourea, diethylsulphonate, ethyle methane
sulphonate, sodium azide, hydroxylamine, colchicin dan streptomycin.
Streptomycin adalah antibiotik yang bekerja sebagai reaktor dengan
elemen non-kromosomal dalam sel. Efek strpthomycin pada jagung dan bunga
matahari dapat menyebabkan male sterility, pada rye menyebabkan pengkerdilan
dan penebalan pada akar. Pemberian streptomycin pada perkecambahan dapat
menyebabkan rendahnya klorofil karena hambatan yang disebabkan karena
streptomycin terhadap pembentukan klorofil.
Peningkatan produksi kacang bambara dapat dilakukan dengan teknik
rekombinasi genetik dan seleksi, induksi mutasi, dan bioteknologi. Penggunaan
streptomycin dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor genetik yang
dapat meningkatkan program pemuliaan pada tanaman. Tujuan dari penelitian
yang dilakukan adalah untuk mengetahui frekuensi, efektifitas dan efisiensi
streptomycin sebagai mutagen pada kacang bambara untuk pertama kali.
Pada dasarnya, semua materi mutagen yang diberikan adalah sebagai satu
upaya untuk membetntuk rekombinasi genetik dengan cara bereaksi dengan
kromosom dalam sel untuk merekombinasi susunan baik pada kromosom, DNA
aupun RNA. Mutasi dapat terjadi pada gen yang disebut dengan mutasi titik yang
dapat memunculkan adanya alel baru dan juga dapat terjadi pada kromosom yang
disebut dengan aberasi. Maka penelitian oleh Adu-Dapaah (2004) dan Mensah et
al, (2012) memfokuskan untuk meneliti mengenai mutasi pada kacang bambara
untuk meningkatkan ketahanan penyakit dan peningkatan hasil.
Mutasi pada kacang bambara sudah pernah dilakukan beberapa kali dalam
beberapa penelitian mengenai pembentukan variasi genetik kacang bambara
melalui teknik induksi mutasi.
1. Mutagen Streptomycin
Benih kacang bambara Africa dari petani lokal diambil sebagai sampel
yang memiliki keseragaman ukuran, warna cream dan bebas hama penyakit.
Benih diberikan perlakuan rendaman streptomycin dengan konsentrasi 0%
(kontrol), 0,005%, 0,05%, 0,5%, 0,75% dan 1,0% (berat/volum) larutan
streptomycin pada cawan petri dengan suhu ruang (25oC).
24
Benih masing-masing 50 benih per perlakuan, dimasukkan dalam beaker
glass bersama dengan larutan streptomycin dan dikocok dengan alat shaking
selama 24 jam. Setelah treatment selesai, benih dicuci pada ddH2O untuk
menghilangkan bahan kimia dan racun yang terbentuk dan ditiriskan pada kain
selama satu minggu kemudian ditanam di plot hingga panen.
Parameter-parameter yang diamati adalah perkecambahan, persentase
tanaman bertahan, jumlah daun, hari berbunga, berat kering, jumlah nodule per
tanaman, jumlah cabang per tanaman, abnormalitas, dan infeksi penyakit.
Efektifitas mutagenik da efisiensi dihitung dengan menggunakan persentase lethal
sebagai dasar perhitungan efisiensi mutagenik.
2. Mutagen Sinar Gamma dan Mutagen Ethylmethan sulphonate (EMS)
Mutasi dengan sinar gamma (GR) dengan 60C gamma 220 unit dosis 0, 50,
100, 150, 200,250, 300, 350, 400 Gy yang dicobakan pada kacang bambara yang
berproduksi tinggi tetapi rentan terhadap serangan Cercospora dan virus Mosaic.
Benih yang diambil adalah benih aksesi lokal yang seragam dan memiliki daya
kecambah 100%. Setelah dilakukan perlakuan selanjutnya benih ditanam dengan
jarak tanam 20 cm x 30 cm.
Mutasi dengan EMS dengan dosis 0,0%, 0,2%, 0,4%, 0,6%, 0,8%, 1,0%
dan 1,2%. Benoh diambil dari varietas Tom dan Nav dengan daya kecambah 98%.
Benih sebanayak 200 benih tiap perlakuan direndam pada EMS yang telah
dilarutkan pada beaker glass dan diletakkan pada shaker selama 6 jam. Setelah 6
jam, benih dicuci dan ditanam pada lahan dengan jarak tanam 20 cm x 30 cm.
C. Evaluasi hasil induksi mutasi kacang bogor
1. Mutagen Streptomycin
a. Perkecambahan, tanaman bertahan, sensitifitas, dan efektifitas mutagen.
25
Perkecambahan benih terhadap dosis mutasi adalah berbanding terbalik,
semakin tinggi dosis maka persentase perkecambahan akan semakin rendah.
Pengamatan ertumbuhan dan kemampuan bertahan tanaman juga menunjukkan
pola yang sama dengan perkecambahan. Perlakuan kontrol memiliki kemampuan
bertahan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsentrasi mutagen yang
lain.
Kemampuan 50% tanaman dalam populasi untuk bertahan (LC50) telah
terbukti terjadi pada kacang bambara yang telah direndam streptomycin 0,5% w/v
selama 24 jam. Pola survival tanaman mingikuti pola perkecambahan hanya saja
lebih rendah. Pada konsentrasi 0,5% dan 1,0% ST menunjukkan penurunan
perkecambahan dengan cepat. Berdasarkan persentase pertahanan tanaman LC50
ditunjukkan oleh konsentrasi ST 0,5% w/v. Penurunan perkecambahan dan
pertahanan tanganan dapat dipengaruhi oleh gangguan fisiologi atau kromosom
pada sel yang menyebabkan mutasi.
Frekuensi mutagenik antara 2,75% hingga 42,7%, frekuensi akan
meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi mutagen. Aberasi morfologi
digunakan untuk perhitungan frekuensi mutasi yang meliputi bentuk daun,
internode, klorofil. Efektifitas mutagenik ST menurun dengan meningkatnya
konsentrasi ST, hal ini terbukti dengan lebih efektifnya konsentrasi rendah
0,005% dan 0,05% untuk menginduksi mutan pada kacang bambara. Efisiensi
mutagenik dapat dihitung berdasarkan kemampuan untuk menyebabkan kematian
pada hst 21. Hasil menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi maka level
kematian akan semakin besar. Terkadang, semakin tinggi konsentrasi maka
efisiensi makin tinggi, hal ini bertentangan dengan hasil yang diperoleh bahwa
efektifitas mutagenik tertinggi ada pada konsentrasi mutagenik terendah.
b. Pengamatan Agronomi
Peningkatan konsentrasi ST menunjukkan reduksi jumlah daun pada
0,005%, 0,5%, dan 0,75% sementara jumlah daun maksimum terdapat pada
konsentrasi ST 0,05%.
26
Hasil pengamatan terhadap jumlah cabang menunjukkan bahwa tidak ada
efek yang tinggi akibat peningkatan konsentrasi ST pada setiap tanaman.
Peningkatan konsentrasi ST pada 0,005% dan 0,05% mempengaruhi pengurangan
pemebentukan daun sebagai akibat inisiasi pembentukan bunga. Konsentrasi
0,5%, 0,75%, dan 1,0% ST menyebabkan penundaan pembunggan.
Hasil menunjukkan bahwa ST dapat digunakan untuk menghasilkan varian
kacang bambara dengan waktu pemasak yang cepat.
Konsentrasi 0,05% ST menunjukkan peningkatan yang tajam terhadap
jumlah nodule antara minggu ketiga dan kelima. Pada minggu ketujuh, jumlah
nodule mengalami penurunan pada setiap konsentrasi, hal ini menunjukkan tidak
efektifnya sistem nodule akar terhadap waktu, nodule memiliki waktu fungsional
yang pendek.
c. Hasil Vegetatif
Peningkatan konsentrasi ST menunjukkan pengurangan berat kering per
tanaman, tetapi pada konsentrasi 0,05% berat kering meningkat signifikan.
27
d. Infestasi spot daun
Pada konsentrasi ST yang lebih tinggi serangan penyakit spot daun
semakin menurun. Setiap peningkatan konsentrasi streptomycin, jumlah daun per
tanaman yang terinfestasi menurun kecuali dibawah 0,005%, karena pada
konsentrasi dibawah 0,005% mengalami peningkatan jumlah daun yang
terinfestasi spot daun, hal ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi 0,005% ST
terlalu rendah untuk secara efektif mengatasi infestasi Cercospora spot daun. Hasil
menunjukkan bahwa konsentrasi 1,0% menghasilkan tanaman dengan jumlah spot
daun paling rendah.
2. Mutagen Sinar Gamma dan Mutagen Ethylmethan sulphonate (EMS)
a. Perkecambahan, tanaman bertahan, frekuensi mutasi, dan efektifitas
mutagen.
Secara umum hasil yang ditunjukkan melalui mutasi sinar gamma lebih
baik daripada hasil EMS. Hasil menunjukkan bahwa LD50 untuk varietas Tom
optimum berkisar pada 175 Gy dan 182 Gy pada Nav. Penurunan vigor tanaman
meningkat seiring dengan peningkatan dosis mutasi yang diberikan.
Mutagenik EMS LD50 pada persentase 0,75% Tom dan 0,82 pada Nav.
Populasi dengan perlakuan EMS, persentase tanaman bertahan tidak terlalu
bervariasi jika dibandingkan dengan kontrol pada dosis antara 0,2% dan 0,4%,
sementara pada dosis 0,6% hingga 1,2% dosis EMS menyebabkan penurunan
kemampuan tanaman untuk bertahan hidup. Efektifitas mutasi ditunjukkan oleh
dosis efektif dari kedua kultivar (Tom dan Nav) yaitu 0,6%.
28
Seiring dengan meingkatya dosis irradiasi sinar gamma maka frekuensi
terjadinya mutasi akan semakin tinggi, namun efektifitas mutasi paling tinggi
terjadi pada dosis mutasi antara 150 Gy untuk Tom dan 200 untuk Nav, hari
berkecambah juga berbanding lurus dengan dosis yang diberikan, semakin tinggi
dosis irradiasi sinar gamma yang diberikan maka waktu berkecambah semakin
lama, sedangkan untuk jumlah tanaman bertahan semakin rendah seiring dengan
meningkatnya dosis, pada varietas Tom jumlah bertahan 50 (LD50) pada
konsentrasi maksimal 175 Gy sedangkan LD50 pada Nav maksimal pada 182 Gy.
Seiring dengan meingkatya dosis EMS maka frekuensi terjadinya mutasi
akan semakin tinggi, namun efektifitas mutasi paling tinggi terjadi pada dosis
mutasi antara 0,6% untuk Tom dan Nav, hari berkecambah juga berbanding lurus
dengan dosis yang diberikan, semakin tinggi dosis irradiasi sinar gamma yang
diberikan maka waktu berkecambah semakin lama, sedangkan untuk jumlah
29
tanaman bertahan semakin rendah seiring dengan meningkatnya dosis, pada
varietas Tom jumlah bertahan 50 (LD50) pada konsentrasi maksimal 0,75%
sedangkan LD50 pada Nav maksimal pada 0,82%.
b. Pengamatan agronomi
Efek stimulasi terhadap hari berkecambah, tinggi tanaman, lama menuju
fase generatif, jumlah pod per tanaman dan jumlah hasil biji per tanaman terdapat
pada dosis lebih rendah pada 50 Gy dan 100 Gy pada irradiasi sinar gamma dan
0,2% dan 0,4% pada EMS. Pada parameter yang sama terjadi reduksi sifat
karakter pada dosis irradiasi sinar gamma 150 Gy dan 300 Gy sedangkan 0,6%
dan 1,2% pada EMS terhadap kedua kultivar Tom dan Nav.
Variasi genetik meningkat pada semua variabel pengamatan. Peningkatan
hasil pengamatan pada populasi dengan perlakuan irradiasi sinar gamma dan EMS
yang tinggi 2-4x jika dibandingkan dengan tanpa irradiasi dan tanpa EMS pada
waktu generatif, jumlah pod per tanaman, ukuran biji, dan hasil biji dari dua
varietas tersebut.
Pada semua karakter yaitu jumlah pod per tanaman, ukuran biji, hasil
benih, dan persentase kulit biji perlakuan irradiasi sinar gamma menunjukkan
rerata populasi yang lebih besar dari tanpa perlakuan, hal ini mempengaruhi
variasi genetik yang terbentuk semakin besar yang ditunjukkan dengan nilai
heritabilitas yang tinggi dan pertumbuhan genetik yang signifikan.
30
Sementara pada populasi dengan perlakuan EMS menunjukkan bahwa
rerata populasi untuk karakter jumlah pod, ukuran biji, pada kedua varietas lebih
rendah dari tanpa perlakuan namun tetap menunjukkan peningkatan pada
pembentukan varieasi genetik yang ditandai dengan nilai heritabilitas dan
kemajuan genetik pada populasi hasil mutasi dengan EMS.
c. Infestasi spot daun
Berdasarkan pegamatan terhadap semua tanaman, skoring serangan
penyakit ditunjukkan dengan lima skor dengan rerata yaitu 1,0-1,4 untuk resisten,
1,5-2,5 agak tahan, 2,6-3,5 agak rentan, 3,6-5,0 sangat rentan. Rerata skor
penyakit menunjukkan persentase tanaman terinfeksi. Gambar di bawah ini
menunjukkan hasil mutasi terhadap ketahanan penyakit spot daun Cercospora.
Umumnya, semua perlakuan radiasi dan EMS pada kultivar menunjukkan
hasil lebih baik jika dibandingkan dengan kontrol. Ketahanan terhadap virus
menunjukkan serangan infeksi lebih rendah pada 150 Gy- M3 dan EMS daripada
galur lain. Terjadinya infeksi adalah sekitar 50-80%.
31
Pada kasus antraknose yang disebabkan karena Colletotrichum dematium
lebih merata daripada spot daun Cercospora pada galur radiasi dan EMS.
Persentase terjadinya infeksi lebih besar antara 0-100 pada Colletotrichum
dematium jika dibandingkan dengan Cercospora berkisar antara 0-40%. Meski
demikian persentase serangan pada galur-galur hasil mutasi menunjukkan
persentase serangan yang lebih rendah daripada kontrol, sehingga irradiasi dan
EMS dapat diambil sebagai langkah menangani penyakit pada kacang bambara.
E. Penutup
a. Kesimpulan
Observasi yang dilakukan dengan induksi mutasi kimia Streptomycin pada
kacang bambara menunjukkan hasil yang bervariasi pada parameter pengamatan
yang diamati. Hasil yang penting dalam observasi ini adalah untuk mengetahui
resistensi terhadap penyakit spot daun, seiring dengan peningkatan konsentrasi
maka resistensi akan dapat dicapai. Selain itu, mutasi kimia ST dapat digunakan
untuk mempercepat masa pembungaan dan meningkatkan jumlah daun, jumlah
cabang, jumlah nodule pada konsentrasi dibawah 0,05%. Pemberian ST dapat
membentuk varietas resisten terhadap penyakit spot daun. Studi tentang pewarisan
sifat pada karakter agronomi penting untuk mendukung peningkatan kualitas
genetik untuk petani lokal dan untuk meningkatkan produktifitas tanaman.
Kesimpulan yang hampir serupa dengan perlakuan mutagen Streptomycin
dari perlakuan mutagen sinar gamma dan EMS adalah tingkat kematian 50%
(LD50) pada irradiasi sinar gamma adalah pada 178,56 rata-rata antara 175 Gy
pada Tom dan 182 Gy pada Nav, dan 0,78 pada perlakuan EMS. Mutasi dapat
meningkatkan adanya variasi genetik menjadi 4x dari tanpa perlakuan.
32
Mutagenesis juga dapat digunakan untuk meningkatkan produkrifitas dan
mengendalikan penyakit yang menyerang pada kacang bambara.
b. Rekomendasi
Penggnaan teknik mutasi untuk kacang bambara memiliki peluang yang
baik untuk meningkatkan nilai keragaman, meskipun hasil yang didapat tidak
dapat diperkirakan, tetapi dengan meningkatnya keragaman maka sumber gen
akan tersedia dalam jumlah yang banyak yang berguna dalam kegiatan pemuliaan
baik secara konvensional ataupun modern.
Daftar Pustaka
Adu-Dapaah, H.K., J.Y. Asibuo, O.A. Danquah, M. Owusu Akyaw, J. Haleegoah.
2004. Bambara Groundnut Improvement Through Mutation Breeding In
Ghana. Proceedings Of A Final Research Coordination Meeting Organized
By The Joint Fao/Iaea Division Of Nuclear Techniques In Food And
Agriculture And Held In Pretoria, South Africa, 19–23 May 2003
Mensah, J.K., N.E. Edema, G. Okooboh, and S.O. Aifuwa. 2012. Effects of
Streptomycin on the chemo-sensitivity and agronomic parameters of
bambara groundnut (Vigna subterranea (L.) Verdc.). J.Nat.Prod.Plant
Resour. 2 (1): 113-118
Suparmuji, 2009. Diktat Pembelajaran Biologi Kelas XII IPA: Genetika Mutasi.
_______. ________
Warianto, C., 2011. Modul Perkuliahan 2010-2011: Mutasi. _______. ________
33
BAB IV PENGGUNAAN MARKA SELEKSI
A. Pendahuluan
Salah satu tujuan pemuliaan tanaman menurut Warta Biogen (2004) adalah
merakit suatu tanaman yang memiliki sifat lebih baik dari yang sudah ada.
Perakitan tanaman baru ini biasanya dengan memasukkan gen-gen tertentu yang
memiliki ketahanan terhadap sifat tertentu. Dua tahap yang umum dilakukan
dalam program pemuliaan tanaman adalah membuat variabilitas genetik dengan
program persilangan, kemudian diikuti dengan seleksi masing-masing individu
hasil persilangan yang mengandung gen yang diinginkan.
Seleksi pada umumnya dilakukan dengan menanam tanaman hasil
persilangan dan mengujinya dengan perlakuan tertentu. Namun pada
kenyataannya ketika ditanam di lapang masih ada kemungkinan terjadinya ketidak
sesuaian antara tanaman yang diujikan dengan lingkungan sehingga gen yang
diharapkan tidak terekspresi dengan baik, hal ini tentu saja menyebabkan pemulia
mengalami kesulitan dalam seleksi. Sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan
ini maka saat ini telah ada teknologi seleksi dengan menggunakan penanda DNA
ataupun protein sehingga hasil seleksi lebih akurat.
Warta Biogen (2004)
Marka-marka inilah yang kemudian digunakan untuk seleksi yang
kemudian terkenal dengan istilah Marker Assisted Selection (MAS). Penggunaan
marka molekuler ini dapat digunakan bersamaan dengan pengujian fenotipik atau
34
dilakukan terlebih dahulu baru kemudian menguji tanaman yang terpilih secara
molekuler dengan pengujian fenotipik.
Menurut Ahmad (2010), evaluasi dari variasi genetik dalam ataupun antar
populasi dan interaksi gen dengan lingkungannya dapat diketahui dengan
menggunakan marka. Marka penanda DNA secara prinsip dikembangkan dari
teknik Southern blot untuk mengetahui polimorfisme dalam genom yang
kompleks.
Karakteristik RFLP SSR AFLP RAPD SNPNomer Lokus
terdetekiSatu lokus
Satu lokus Multi lokus
Multi lokus
Satu lokus
Alel Co-dominan
Co-dominan
dominan Dominan Co-dominan
Level polimorfisme
Baik Sangat baik
baik Baik Sangat baik
Polimorfisme lokus
2-5 alel Banyak alel
- - 4 alel
Kuantitas DNA yang dipakai
Banyak Sedikit sedikit Sedikit Sedikit
Kualitas DNA yang dipakai
Sangat baik
Sedang baik sedang Sedang
Reproduktibilitas Baik Baik Baik Rendah BaikWaktu Lama Cepat, jika
sudah ditemukan
marker
cepat Cepat Cepat, jika sudah
ditemukan marker
Biaya Mahal Rata-rata Murah Murah MahalTeknik Sulit Mudah Medium Medium Sulit
(Ahmad, 2012).
a. RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism)
RFLP merupakan marka molekuler yang menggunakan enzim restriksi
untuk mengidentifikasi susunan sekuen DNA. Analisis RFLP telah banyak
digunakan untuk mencapai berbagai tujuan karena dengan enzim restriksi maka
variasi keberadaan situs restriksi dapat menunjukkan adanya variasi susunan
DNA. RFLP dapat digunakan sebagai penduga variasi DNA. Variasi DNA dapat
dideteksi dengan pemotongan rangkaian panjang polimorfik (ganda) yang
memungkinkan dari fragmen itu sendiri, rangkaian variasi yang panjang dalam
suatu bagian dapat dinilai dari subtitusi nukleotida.
35
b. RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)
RAPD adalah jenis reaksi PCR, tetapi segmen DNA yang digunakan
adalah acak. primer yang digunakan dalam RAPD adalah primer acak dan pendek
dengan ukuran basa nukleotida 8-12 nukleotida, bahan yang digunakan sebagai
template PCR adalah DNA genom atau DNA total. RAPD adalah teknik
amplifikasi secara acak baik primer atau tempat penempelan primer, sehingga
pengguna sama-sama tidak bisa memperdiksi primer yang tepat untuk urutan basa
yang sesuai. Dalam beberapa tahun terakhir, RAPD telah digunakan untuk
mengkarakterisasi, dan melacak, filogeni dari spesies tanaman dan hewan yang
beragam.
c. AFLP (Amplified fragment length polymorphism)
AFLP adalah metode yang juga menggunakan PCR sebagai teknik dasar
dalam pelaksanaannya. AFLP menggunakan enzim restriksi untuk memotng
genom DNA yang diikuti dengan ligasi dari hasil fragmen restriksi. Hasil fragmen
selanjutnya diperbanyak pada PCR, fragmen-fragmen itu kemudian diseparasi
dalam gel poliakrilamid dan divisualisasi untuk mengetahui band yang terbentuk.
d. SSR
Mikrosatelit dapat digunakan untuk memperkuat identifikasi yang dapat
dilakukan dengan reaksi berantai polimerase (PCR), primer yang dipakai adalah
dua primer yang melekat pada dua daerah penempelan yang berbeda. DNA
didenaturasi pada suhu tinggi untuk memisahkan untai ganda, kemudian
didinginkan untuk memungkinkan penempelan primer dan pemanjanga
nukleotida. Proses ini menghasilkan produksi DNA yang banyak sehingga dapat
terlihat pada agarose atau gel poliakrilamida; jumlah DNA yang diperlukan untuk
amplifikasi hanya sedikit karena dengan PCR maka DNA dapat ditingkatkan
jumlahnya secara eksponensial pada daerah pemotongan yang kemudian
direplikasi
e. SNP (Single Nucleotide Polymorphism)
SNP adalah variasi urutan DNA yang terjadi dalam populasi. Urutan
nukleotida tunggal A, T, C, dan G dalam susunan genom memiliki perbedaan
antara spesies. Contohnya pada sampel DNA dua individu dalam spesies yang
36
sama memiliki perbedaan nukleotida tunggal yaitu CCTAGTC dan
CGTAGTC.
B. Teknik Seleksi dengan Marka Seleksi
Menurut Amadou et al., (2001), Rungnoi et al., (2012), taksonomi dari
kacang bogor pada dasarnya berbeda berdasarkan morfologinya namun sering kali
penampilannya dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga untuk menghindari adanya
pengaruh lingkungan dalam melihat keragaman kacang bogor maka dilakukan
pelacakan keragaman kacang bogor dengan menggunakan pengujian secara
molekular, salah satunya adalah teknologi RAPD (Random Amplified
Polymorphic DNA) dan didasarkan pada marker atau penanda genetik.
Sebagian besar teknik marka molekuler adalah teknik hasil modifikasi dari
teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) dengan mengamplifikasi genom dengan
menggunakan primer acak dan menghasilkan perbedaan urutan DNA antara
sampel-sampel DNA yang diambil dari individu-individu yang diuji. Perbedaan
urutan basa pada DNA disebabkan karena pengikatan primer oligonukleotida
berbeda sehingga menyebabkan pola larik hasil amplifikasi yang berbeda pula
yang disebut polimorfisme. Polimorfisme inilah yang kemudian dijadikan
penanda adanya keragaman genetik (Kusumawaty, 2007).
Aryani dan Diah (2007) menambahkan bahwa secara umum ada tiga tahap
dalam amplifikasi yaitu denaturasi (denaturation), penempelan (annealing) dan
pemanjangan (extension).
1. Tahap denaturasi terjadi pada suhu tinggi 94oC sehingga utas ganda DNA
terpisah menjadi utas tunggal
2. Tahap penempelan sekuens primer dinamakan annealing dalam suhu
berkisar 60oC yaitu peristiwa saat primer menempel pada DNA utas
tunggal sebagai cetakan. Sintesis DNA berlangsung dari arah sekuens 5’
menuju 3’. Dalam tahap ini ditambahkan DNA polymerase contohnya Taq
polymeras dan MgCl2 dan untuk kebutuhan energi ditambahkan dNTPs
terdiri atas dTTP, dGTP, dATP dan dCTP.
3. Tahap ekstensi atau pemanjangan utas DNA terjadi pada suhu 72oC
dilakukan hingga terbentuk utas DNA ganda yang baru.
37
Teknik analisis DNA dengan marka molekuler secara umum terdiri atas
empat tahapan yaitu ekstraksi DNA, pengujian kualitas dan kuantitas DNA hasil
ekstraksi, amplifikasi DNA dengan teknik RAPD dan pengujian kualitas dan
kuantitas hasil amplifikasi
Berdasarkan Zulkifli et al., (2009), hasil DNA hasil amplifikasi kemudian
diberikan skor sebelum diproses ke dalam software untuk mengetahui kedekatan
antar sampel. Cara untuk pemberian skor adalah dengan memasukkan hasil
amplifikasi ke dalam gel agarose 2,0% dan dilakukan elektroforesis dibawah UV
transluminator dan difoto menggunakan dengan gel documentation system.
Pemberian skor dalam penilaian saat elektroforesis adalah nilai 1 jika terdapat pita
yang jelas dan 0 jika tida muncul pita yang jelas, Kusumadewi et al., (2010)
menambahkan bahwa agar pemberian skor lebih standart maka skoring dengan
berpatokan pada marker atau penanda sebagai penanda untuk menetapkan ukuran
pita DNA. Data hasil skoring kemudian dimasukkan ke dalam software dan
menghasilkan file dendrogram yang menunjukkan jarak genetik dari sampel.
Melalui sumber Anonymous (2013), setelah didapatkan skor data biner
maka selanjutnya dilakukan analisis. Filogenetik adalah cabang ilmu genetik yang
berhubungan dengan penilaian kekerabatan dan kedekatan genetik antar individu
dalam satu atau lebih populasi. Organisme yang berkerabat dekat maka akan
cenderung menunjukkan sekuens yang sama lebih tinggi, sementara jika jarak
kekerabatannya jauh maka jumlah sekuens yang sama akan lebih sedikit.
Filogenetik memiliki fungsi untuk menunjukkan hubungan evolusioner spesies
divergen antar dua organisme sejak keduanya terpisah dari tetua yang sama (asal
mula). Dalam pelaksanaannya, filogenetik terbagi atas dua metode yaitu metode
fenetik yang berfungsi untuk menunjukkan pohon filogeni dengan
memperhitungkan kemiripan sekuens yang dihasilkan. Pohon filogeni disebut
dengan dendogram. Metode kedua adalah metode kladistik yaitu pembentukan
pohon filogeni dengan dihitung dengan pertimbangan adanya jalur evolusi yang
variatif. Pohon filogeninya disebut dengan cladogram.
Sekuens yang mirip diartikan sebagai sekuens yang memiliki kekerabatan
yang lebih dekat. Jarak sekuens dapat ditunjukkan dengan matriks jarak (distance
matrix) selanjutnya filogeni dilakukan kalkulasi algoritma untuk didapatkan
38
cluster. Metode filogeni dapat mengkonstruksi taxa paling jauh hingga taxa yang
paling dekat kekerabatannya. Manfaat dari pembentukan pohon filogeni salah
satunya adalah untuk menunjukkan UPGMA (Unweighted Pair Group using
Aritmathic Average).
C. Evaluasi hasil Seleksi dengan Marka Seleksi
Perkembangan kacang bogor di bidang molekular masih sedikit atau
jarang dilakukan, seperti yang dilakuan oleh Posquet et al., (1999) menggunakan
Isozim dan Amadou et al., (2001) menggunakan RAPD yang merupakan salah
contoh pengembagan penelitian kacang bogor di bidang molekular. Namun
demikian, Saleh (2012) menyebutkan bahwa hasil amplifikasi dengan
menggunakan RAPD dalam Amadou et al., (2001) menunjukkan polimorfisme
yang lebih tinggi jika dibandingkan amplifikasi dengan metode AFLP (Amplified
Fragment Length Polymorphisms) dalam Massawe et al., (2002) dan dengan
metode isozyme dalam Pasquet et al., (1999).
Molosiwa (2012) juga melakukan penelitian mengeai kacang bambara,
dalam penelitiannya menunjukkan bahwa persentase polimorfisme dengan
menggunakan teknik RAPD berkisar antara 57% hingga 100% dengan rata-rata
dari 7 primer 85%, sementara dengan mikrosatelit menunjukkan polimorfisme
antara 0% hingga 100% dengan rata-rata 29% polimorfis, hal ini menunjukkan
bahwa RAPD memiliki tingkat polimorfis tinggi dan banyak digunakan karena
lebih mudah.
Keunggulan RAPD dibandingkan dengan teknik yang lainnya seperti
misalkan teknik mikrosatelit seperti yang pernah diteliti oleh Mukakalisa (2010)
terletak pada persentase polimorfiknya. Mukakalisa menunjukkan bahwa dari 7
primer RAPD yang digunakan yaitu OPA07 100%, OPAI15 68%, OPB08 100%,
OPL12 75%, OPP04 57%, OPP15 100%, dan OPP19 100%, sehingga didapatkan
rata-rata persentase polimorfisme 85%. Mukakalisa juga menunjukkan dalam
penelitian yang sama menggunakan bahan kacang bogor menggunakan primer
mikrosatelit persentase polimorfik yaitu MARA001 0%, MARA020 0%,
MARA037 100%, MARA038 14%, MARA043 14%, MARA046 0%, MARA052
0%, dan MARA065 50%, sehingga rata-rata persentase polimorfisme 29%. Hasil
persentase polimorfisme dari dua teknik tersebut, RAPD dan mikrosatelit
39
menunjukkan bahwa polimorfisme yang paling besar ditunjukkan oleh teknik
RAPD sehingga teknik tersebut menurut pendapat Mukakalisa (2010) merupakan
teknik yang cocok untuk dijadikan sebagai marker untuk kacang bambara.
Berbeda dengan hasil persentase polimorfisme Mukakalisa (2010),
Rungnoi et al., (2012) menyatakan bahwa persentase polimorfisme dari 14 primer
RAPD adalah 70,1% lebih rendah dibandingkan dengan persentase polimorfisme
3 primer ISSR yaitu 72,37%, meskipun demikian, polimorfisme pada teknik
RAPD sangat ditentukan oleh kesesuaian antra nomer primer yang digunakan
dengan sampel, sehingga pada nomer primer yang tidak sesuai akan menunjukkan
polimorfisme yang lebih rendah. Sementara Amadou et al., (2001) dalam
penelitiannya tentang eksplorasi keragaman plasma nutfah kacang bogor
menggunakan teknik RAPD menunjukkan bahwa persentase polimorfisme dari 17
primer RAPD yang digunakan menunjukkan persentase 51% dan telah mampu
menghasilkan informasi mengenai keragaman beberapa aksesi kacang bogor yang
ditelitinya, sehingga RAPD dapat dijadikan sebagai teknik marker untuk kacang
bogor seperti yang dikemukakan oleh Mukakalisa (2010).
D. Penutup
a. Kesimpulan
Marka molekuler dapat digunakan sebagai salah satu metode untuk
mengetahui kekerabatan dalam spesies itu sendiri, selain itu hal ini untuk
memudahkan pengelompokan karena dimungkinkan selama identifikasi morfologi
terjadi bias karena adanya pengaruh lingkungan.
b. Rekomendasi
Marka molekuler dapat digunakan dalam identifikasi kedekatan secara
genetik dan dibandingkan dengan hasil pengamatan secara morfologi sehingga
dapat diketahui adanya perbedaan dan kemiripan antara sampel yang diteliti.
Daftar Pustaka
Ahmad, N.,S. 2012. Genetic Analysis Of Plant Morphology In Bambara Groundnut [Vigna Subterranea (L.) Verdc.]. Degree of Doctor of Philosophy University of Nottingham. UK
40
Amadou, H.I., P.J. Bebeli, and P.J. Kaltsikes. 2001. Genetic diversity in Bambara groundnut (Vigna subterranea L.) germplasm revealed by RAPD markers. Can. J. Agric. Sci. 44 (6): 995-999
Anonymous. 2013. Principles of PCR: Phylogenetics. Available at http://www.bioline.org.br/request?ej990!7-28/03/2010-10:26
Aryani, A., dan D. Kusumawaty. 2007. Prinsip-prinsip (Polymerase Chain Reaction) PCR dan Aplikasinya. Program Studi Biologi Jurusan Pendidikan Biologi UPI. Jakarta. Pp. 71-74
Kusumadewi, Y., Y.S. Poerba, T. Partomihardjo. 2010. Keragaman Genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz] dari Provinsi Riau Berdasarkan Profil Random Amplified Polymorphic DNA. Indoensia. J. Agric. Sci. 6(2): 173-183
Kusumawaty, D. 2007. RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). Program Studi Biologi Jurusan Pendidikan Biologi UPI. Jakarta
Massawe, F.J., M. Dickinson, J.A. Roberts, S.N. Azam-Ali. 2002. Genetic Diversity in Bambara Groundnut Landrace (Vigna Subterranea (L.) Verdc.) Revealed by RALF Markers. Canada. J. Agric. Sci. 45:1175-1180
Molosiwa, O.O. 2012. Genetic Diversity And Population Structure Analysis Of Bambara Groundnut [Vigna Subterranea (L.) Verdc.] Landraces Using Morpho-Agronomic Characters And Ssr Markers. Ph.D. Thesis. Division Of Plant And Crop Sciences The University Of Nottingham Sutton Bonington Campus Loughborough, Leicestershire UK
Mukakalisa, C., 2010. Molecular, Environmental And Nutritional Evaluation Of Bambara Groundnut (Vigna Subterranea (L.) Verdc.) For Food Production In Namibia. Ph.D. Thesis. The University Of Namibia. Namibia
Pasquet. R.S., S. Schwedes., and P. Gepts. 1999. Isozyme Diversity in Bambara Groundnut. Crop. Sci. 39:1228-1236
Rungnoi, O., J. Suwanprasert, P. Somta and P. Srinives. 2012. Molecular Genetic Diversity Of Bambara Groundnut (Vigna subterranea L. Verdc.) Revealed By Rapd and Issr Marker Analysis. Sabrao. J. Breed. Genet. 44 (1) 87-101
Warta Biogen. 2008. Perkembangan Marka Molekuler untuk Seleksi Tanaman.
Warta Biogen 4(1): Pp1-4
Zulkifli. Y., N.B. Alitheen, R. Son, A.R. Raha, L. Samuel, S.K. Yeap and M. Nishibuchi. 2009. Random Amplified Polymorphic DNA-PCR and ERIC-PCR Analysis on Vibrio Parahaemolyticus Isolated From Cockles In Padang, Indonesia. J. Agric. Sci. 16: 141-150
41