bisnis indonesia, 19 juni 2015

1
tanpa pembelaan apaapa dari pihak pemerintah terhadap pihak swasta. Pemerintah seakan tak melakukan kesalahan apaapa dalam tugasnya mengawal kerja sama ini. Swasta dibiarkan fight sendiri di tengah tekanan opini publik yang tidak puas akibat tarif tinggi dan pelayanan dianggap tidak beranjak membaik. Pembatalanpembatalan regulasi, maupun perjanjian kerja sama ini menunjukkan lemahnya kerangka acuan negara dalam mengimple mentasi UUD 1945 pasal 33, ter utama ketika negara beralih dari konsep Keynesian menuju konsep neoliberalism. Selain itu, ada satu hal yang me narik ketika Gubernur DKI Jakarta yang akrab disapa dengan Ahok meresmikan fasilitas pengolahan limbah (decanter) saiah satu mitra swasta senilai Rp22 miliar pada Mei 2015. Gubernur mengatakan DKI memiliki anggaran yang 'begitu besar' yang harus digunakan untuk menyejahterakan rakyat. Gubernur mengatakan DKI bisa membangun 50 pengolahan limbah serupa. Ahok tentu tidak main main. Masalahnya, tidak mungkin dalam skema perjanjian kerja sama PAM Jaya dan swasta yang full cost recovery dana pemerintah masuk dengan mudahnya. Di sini terlihat bahwa pada satu sisi pemerintah mengatakan ketiadaan dana sehingga mem butuhkan kehadiran swasta. Sebaliknya, pernyataan Gubernur DKI itu seakan mengatakan bahwa negara punya begitu banyak uang untuk digelontorkan. Jadi, ada apa sebenarnya dengan semua ini? Seandainya, kita memiliki master plan sup lai air Indonesia, paling tidak, kita memiliki prinsipprinsip dasar hingga ke strategi operational yang jelas bagi kita semua dalam upaya memenuhi kebutuhan suplai air masyarakatnya. Negara memang berdasarkan pada UUD 1945 Pasal 33 dalam pengembangan perekonomiannya. Namun, ketika pada 1990an kita dihadapkan pada keterbatasan dana, lalu arus globalisasi dengan neoliberalism masuk ke negeri ini, kita tibatiba menjadi sangat awam terhadap visi ekonomi dalam kon stitusi negara kita sendiri. Sungguh, pelanggan air tidak pernah memasalahkan apakah air dikuasai oleh negara ataukah swas ta. Keinginan pokok mereka adalah adanya akses air yang reliable (kua litasnya, kuantitasnya, kontinuitas nya) dan terjangkau harganya. Pelibatan BUMN/D bukanlah jaminan roh negara itu hadir seba gaimana dijumpai di masa lalu. yanan suplai air akan terlihat jelas bila kita melihat banyak sekali tenaga dan pikiran tersita untuk melangsungkan renegosiasi per janjian kerja sama. Misalnya, pada salah satu mitra swasta PAM Jaya, PT Aetra Air Jakarta (sebelumnya bernama Thames PAM Jaya) bersa ma sama PAM Jaya harus masuk ke dalam renegosiasi setiap dua tahun. Hingga saat ini terdapat per ubahan kontrak dan adendum hing ga tujuh kali alias ratarata setiap dua tahun sekali, sepanjang 1998 hingga 2012 (14 tahun). Rangkaian renegosiasi itu setidak nya menunjukkan pemerintah juga tidak siap dalam banyak hal yang berakibat merugikan pela yanan suplai air. Apalagi, di dalam pelaksanaan perjanjian berlangsung an mitra swastanya. PAM Jaya teriak teriak tak mampu membayar jasa swasta, sedangkan swasta teriak teriak tak mampu merealisasikan beban pelayanan sebagaimana yang diharapkan akibat tarif air yang ditahantahan. Tarif air yang ditetapkan dalam perjanjian itu dibuat dalam konsep fall cost recovery alias sepenuh nya investasi dikembalikan oleh masyarakat/pelanggan. Akibatnya tarif melambung tinggi, sebagai dampak meledaknya nilai dolar pada 1998 ditambah lagi sebagai dampak inflasi. Protes pun muncul, dampaknya tarif mulai tertahantah an naiknya. Akibatnya, swasta pun menahan investasi yang menyebab kan pelayanan kurang. Akibat kondisi berlarut tanpa ada jalan keluar, investor asing pun hengkang yang dimulai oleh Thames Water Pic. pada 2007 dengan men jual seluruh sahamnya. Kemudian Lyonnaise Des Eaux berniat menjual sahamnya pada 2014, tetapi tak kesampaian. Jelaslah, ini menun jukkan kelemahan dalam sistem pe ngembangan suplai air Indonesia, di mana swasta dan PDAM samasama gagal memberikan kemakmuran sebesarbesarnya pada rakyat. Gonjangganjing bisnis pun masih berlanjut pada 2015, yaitu pembatalan seluruh Perjanjian Kerjasama (PKS) antara PAM Jaya dengan mitramitra swastanya. Termasuk terhadap PT Aetra Air Jakarta, meski perusahaan ini telah mengambil Inisiatif memangkas tingkat keuntungannya dari 22% menjadi hanya 15,82% sejak 2012, serta berbagai keuntungan lain dita warkan kepada PAM Jaya dan telah disepakati. Tetapi, semuanya buyar. Kini kasusnya masuk ke tahap banding. Kelemahan dalam pela 33 ayat (3) menyatakan bahwa: "Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmur an rakyat". Tetapi, kita telah berbe lok menerapkan UU No. 7 tahun 2004 selama satu dekade yang jiwa nya berakar pada neoliberalisme, sedangkan PDAM kita dikembang kan dengan semangat Keynesian di mana negara menguasai air. Tentu saja dua semangat ini, Keynesian Vs Neoliberalisme menyebabkan konflik yang berujung pada pemba talan UU No. 7/2004. Dalam pola neolib, seluruh investasi swasta dibebankan pada rakyat untuk pengembaliannya. Akibatnya timbul konflik PDAM dengan swasta, sebagaimana kita lihat dalam kasus PAM Jayadeng RENEGOSIASI RUTIN Pemerintah kini bersiap membuat UU Sumber Daya Air (SDA) untuk mengganti UU SDA No. 7 tahun 2004 yang telah dibatalkan pada Februari 2015. Di luar diskusi penguasaan negara vs swasta dalam pengelolaan suplai air, kita hendak nya paham bahwa selama 70 tahun merdeka, Indonesia belum punya master plan suplai air untuk negara yang begitu kaya oleh sumbersum ber air. Pembatalan UU SDA serta pembatalan salah satu perjanjian kerja sama PDAM dengan mitra swastanya merupakan produk dari kegamangan kita akibat ketiadaan master plan tersebut. Akibat tidak adanya master plan, pemenuhan suplai air Indonesia benarbenar berjalan tanpa arah dan di tengah jalan berbelokbelok hingga menguras energi. Visi pem bangunan suplai air Indonesia, strategic initiativenya, stra tegic operasional hingga prinsipprinsip dasar yang diperlukan untuk keber hasilan pemenuhan suplai air Indonesia belum pernah dibuat dalam bentuk master plan suplai air Indonesia. Kita juga tidak punya master plan suplai air untuk masingmasing wilayah di Indonesia. DKI Jakarta pun tidak memilikinya. Mereka hanya punya bisnis plan. Menengok pada keberhasilan Singapura dalam memenuhi kebu tuhan suplai air penduduknya, ter lihat kekuatan fungsi Water Master Plan Singapura yang ditelurkan pada 1972. Master plan tersebut ditelurkan setelah negeri itu meng alami musim kering panjang pada 1963 dan 1964 sampaisampai ne gara ini menjatah air bagi warga negaranya. Dari sana, manajemen suplai air Singapura terus berevolusi dengan full commitment hingga mencapai kinerja terbaik di dunia. Salah satu evolusinya adalah kehadiran NEWater yang memenuhi kebutuhan 30% air negeri itu hanya dengan mendaurulang air bekas pakai. Ketika master plan dibuat, Singapura telah berkomitmen untuk menggunakan air bekas pakai. Singapura melakukan pemenuhan suplai air rakyatnya atas nama ne gara, selaras dengan prinsip pemba ngunan ekonominya yang bertumpu pada kekuatan negara. Konstitusi kita, UUD 1945 Pasal Helsi Dinafitri Praktisi bisnis suplai air, bekerja di PT Aetra Air Jakarta Menagih Master Plan Suplai Air Indonesia Headline Menagih Master Plan Suplai Air Indonesia MediaTitle Bisnis Indonesia Date 19 Jun 2015 Color Black/white Section Opini Circulation 85,000 Page No 2 Readership 340,000 Language Indonesian ArticleSize 379 cm² Journalist N/A AdValue IDR 34,110,000 Frequency Daily PR Value IDR 10,233,000,000

Upload: helsi-dinafitri

Post on 22-Jan-2018

147 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bisnis Indonesia, 19 Juni 2015

tanpa pembelaan apa­apa daripihak pemerintah terhadap pihakswasta. Pemerintah seakan tak

melakukan kesalahan apa­apadalam tugasnya mengawal kerjasama ini. Swasta dibiarkan fightsendiri di tengah tekanan opinipublik yang tidak puas akibat tariftinggi dan pelayanan dianggaptidak beranjak membaik.Pembatalan­pembatalan regulasi,

maupun perjanjian kerja sama inimenunjukkan lemahnya kerangkaacuan negara dalam mengimple­mentasi UUD 1945 pasal 33, ter­utama ketika negara beralih darikonsep Keynesian menuju konsepneoliberalism.

Selain itu, ada satu hal yang me­narik ketika Gubernur DKI Jakartayang akrab disapa dengan Ahokmeresmikan fasilitas pengolahanlimbah (decanter) saiah satu mitraswasta senilai Rp22 miliar pada Mei2015. Gubernur mengatakan DKImemiliki anggaran yang 'begitubesar' yang harus digunakanuntuk menyejahterakan rakyat.Gubernur mengatakan DKI bisamembangun 50 pengolahan limbahserupa. Ahok tentu tidak main­main. Masalahnya, tidak mungkindalam skema perjanjian kerja samaPAM Jaya dan swasta yang full costrecovery dana pemerintah masukdengan mudahnya.

Di sini terlihat bahwa pada satusisi pemerintah mengatakanketiadaan dana sehingga mem­butuhkan kehadiran swasta.Sebaliknya, pernyataanGubernur DKI itu seakan

mengatakan bahwanegara punya begitubanyak uang untukdigelontorkan. Jadi,ada apa sebenarnyadengan semua ini?Seandainya, kita

memiliki master plan sup­lai air Indonesia, paling tidak,

kita memiliki prinsip­prinsipdasar hingga ke strategi operationalyang jelas bagi kita semua dalamupaya memenuhi kebutuhan suplaiair masyarakatnya.Negara memang berdasarkan

pada UUD 1945 Pasal 33 dalampengembangan perekonomiannya.Namun, ketika pada 1990­an kitadihadapkan pada keterbatasandana, lalu arus globalisasi denganneoliberalism masuk ke negeri ini,kita tiba­tiba menjadi sangat awamterhadap visi ekonomi dalam kon­stitusi negara kita sendiri.Sungguh, pelanggan air tidak

pernah memasalahkan apakah airdikuasai oleh negara ataukah swas­ta. Keinginan pokok mereka adalahadanya akses air yang reliable (kua­litasnya, kuantitasnya, kontinuitas­nya) dan terjangkau harganya.Pelibatan BUMN/D bukanlahjaminan roh negara itu hadir seba­gaimana dijumpai di masa lalu.

yanansuplai

air akan

terlihat jelasbila kita melihat banyak sekalitenaga dan pikiran tersita untukmelangsungkan renegosiasi per­janjian kerja sama. Misalnya, padasalah satu mitra swasta PAM Jaya,PT Aetra Air Jakarta (sebelumnyabernama Thames PAM Jaya) bersa­ma sama PAM Jaya harus masuk kedalam renegosiasi setiap dua tahun.Hingga saat ini terdapat per­

ubahan kontrak dan adendum hing­ga tujuh kali alias rata­rata setiapdua tahun sekali, sepanjang 1998hingga 2012 (14 tahun).Rangkaian renegosiasi itu setidak­

nya menunjukkan pemerintahjuga tidak siap dalam banyak halyang berakibat merugikan pela­yanan suplai air. Apalagi, di dalampelaksanaan perjanjian berlangsung

an mitra

swastanya. PAM Jaya teriak­teriak tak mampu membayar jasaswasta, sedangkan swasta teriak­teriak tak mampu merealisasikanbeban pelayanan sebagaimana yangdiharapkan akibat tarif air yangditahan­tahan.

Tarif air yang ditetapkan dalamperjanjian itu dibuat dalam konsepfall cost recovery alias sepenuh­nya investasi dikembalikan olehmasyarakat/pelanggan. Akibatnyatarif melambung tinggi, sebagaidampak meledaknya nilai dolarpada 1998 ditambah lagi sebagaidampak inflasi. Protes pun muncul,dampaknya tarif mulai tertahan­tah­an naiknya. Akibatnya, swasta punmenahan investasi yang menyebab­kan pelayanan kurang.Akibat kondisi berlarut tanpa

ada jalan keluar, investor asing punhengkang yang dimulai oleh ThamesWater Pic. pada 2007 dengan men­

jual seluruh sahamnya. KemudianLyonnaise Des Eaux berniat menjualsahamnya pada 2014, tetapi takkesampaian. Jelaslah, ini menun­jukkan kelemahan dalam sistem pe­ngembangan suplai air Indonesia, dimana swasta dan PDAM sama­sama

gagal memberikan kemakmuransebesar­besarnya pada rakyat.Gonjang­ganjing bisnis pun

masih berlanjut pada 2015, yaitupembatalan seluruh PerjanjianKerjasama (PKS) antara PAM Jayadengan mitra­mitra swastanya.Termasuk terhadap PT Aetra AirJakarta, meski perusahaan ini telahmengambil Inisiatif memangkastingkat keuntungannya dari 22%menjadi hanya 15,82% sejak 2012,serta berbagai keuntungan lain dita­warkan kepada PAM Jaya dan telahdisepakati. Tetapi, semuanya buyar.

Kini kasusnya masukke tahap banding.

Kelemahandalam

 pela­

33 ayat (3) menyatakan bahwa:"Bumi air dan kekayaan alam yangterkandung di dalamnya dikuasaioleh negara dan dipergunakanuntuk sebesar­besarnya kemakmur­an rakyat". Tetapi, kita telah berbe­lok menerapkan UU No. 7 tahun2004 selama satu dekade yang jiwa­nya berakar pada neoliberalisme,sedangkan PDAM kita dikembang­kan dengan semangat Keynesian dimana negara menguasai air. Tentusaja dua semangat ini, KeynesianVs Neoliberalisme menyebabkankonflik yang berujung pada pemba­talan UU No. 7/2004.

Dalam pola neolib, seluruhinvestasi swasta dibebankan padarakyat untuk pengembaliannya.Akibatnya timbul konflikPDAM dengan swasta,

sebagaimana kitalihat dalamkasus PAM Jayadeng­

RENEGOSIASI RUTIN

Pemerintah kini bersiapmembuat UU Sumber

Daya Air (SDA) untukmengganti UU SDANo. 7 tahun 2004yang telah dibatalkan

pada Februari 2015. Di luar diskusipenguasaan negara vs swasta dalampengelolaan suplai air, kita hendak­nya paham bahwa selama 70 tahunmerdeka, Indonesia belum punyamaster plan suplai air untuk negarayang begitu kaya oleh sumber­sum­ber air. Pembatalan UU SDA serta

pembatalan salah satu perjanjiankerja sama PDAM dengan mitraswastanya merupakan produk darikegamangan kita akibat ketiadaanmaster plan tersebut.Akibat tidak adanya master plan,

pemenuhan suplai air Indonesiabenar­benar berjalan tanpa arahdan di tengah jalan berbelok­belokhingga menguras energi. Visi pem­bangunan suplai air Indonesia,strategic initiative­nya, stra­tegic operasional hinggaprinsip­prinsip dasar yang diperlukan untuk keber­ hasilan pemenuhan suplai air Indonesia belum pernah dibuat dalam bentuk master plan suplai air Indonesia. Kitajuga tidak punya master plansuplai air untuk masing­masingwilayah di Indonesia. DKIJakarta pun tidak memilikinya.Mereka hanya punya bisnis plan.Menengok pada keberhasilan

Singapura dalam memenuhi kebu­tuhan suplai air penduduknya, ter­lihat kekuatan fungsi Water MasterPlan Singapura yang ditelurkanpada 1972. Master plan tersebutditelurkan setelah negeri itu meng­alami musim kering panjang pada1963 dan 1964 sampai­sampai ne­gara ini menjatah air bagi warganegaranya. Dari sana, manajemensuplai air Singapura terus berevolusidengan full commitment hinggamencapai kinerja terbaik di dunia.Salah satu evolusinya adalah

kehadiran NEWater yang memenuhikebutuhan 30% air negeri itu hanyadengan mendaur­ulang air bekaspakai. Ketika master plan dibuat,Singapura telah berkomitmen untukmenggunakan air bekas pakai.Singapura melakukan pemenuhansuplai air rakyatnya atas nama ne­gara, selaras dengan prinsip pemba­ngunan ekonominya yang bertumpupada kekuatan negara.Konstitusi kita, UUD 1945 Pasal

Helsi Dinafitri

Praktisi bisnis suplai air, bekerja di PT Aetra Air Jakarta

Menagih Master PlanSuplai Air Indonesia

Headline Menagih Master Plan Suplai Air IndonesiaMediaTitle Bisnis IndonesiaDate 19 Jun 2015 Color Black/whiteSection Opini Circulation 85,000Page No 2 Readership 340,000Language Indonesian ArticleSize 379 cm²Journalist N/A AdValue IDR 34,110,000Frequency Daily PR Value IDR 10,233,000,000