bisinosis

35
1 Bissinosis Penyakit Akibat Kerja Pada Pekerja Garmen Novi Anggriyani Hermawan NIM 102012514 Email : [email protected] Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat; Telp: (021)5694206 Pendahuluan Paparan debu di lingkungan kerja dapat menimbulkan berbagai penyakit paru kerjayang mengakibatkan gangguan fungsi paru dan kecacatan. Meskipun angka kejadiannya tampak lebih kecil dibandingkan dengan penyakit-penyakit utama penyebab cacat yang lain,terdapat bukti bahwa penyakit ini mengenai cukup banyak orang, khususnya di negara-negara yang sedang giat mengembangkan industri.Penilain dampak paparan debu pada manusia perlu dipertimbangkan seperti sumber paparan/ jenis pabrik, lamanya paparan, paparan dari sumber yang lain, pola aktivitas sehari-hari serta penilaian terhadap faktor- faktor penyerta yang potensial berpengaruh misalnya umur, gender, etnis, kebiasaan merokok dan faktor alergen.Pabrik tekstil yang memakai kapas sebagai bahan dasar memberi risiko paparan debukapas pada saluran nafas pekerja. Salah satu bahaya kesehatan yang ditimbulkan oleh karena

Upload: snopher

Post on 12-Apr-2016

12 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

28

TRANSCRIPT

Page 1: Bisinosis

1

Bissinosis Penyakit Akibat KerjaPada Pekerja Garmen

Novi Anggriyani HermawanNIM 102012514

Email : [email protected] Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat; Telp: (021)5694206

Pendahuluan

Paparan debu di lingkungan kerja dapat menimbulkan berbagai penyakit paru

kerjayang mengakibatkan gangguan fungsi paru dan kecacatan. Meskipun angka

kejadiannya tampak lebih kecil dibandingkan dengan penyakit-penyakit utama penyebab

cacat yang lain,terdapat bukti bahwa penyakit ini mengenai cukup banyak orang,

khususnya di negara-negara yang sedang giat mengembangkan industri.Penilain dampak

paparan debu pada manusia perlu dipertimbangkan seperti sumber paparan/ jenis pabrik,

lamanya paparan, paparan dari sumber yang lain, pola aktivitas sehari-hari serta

penilaian terhadap faktor-faktor penyerta yang potensial berpengaruh misalnya umur,

gender, etnis, kebiasaan merokok dan faktor alergen.Pabrik tekstil yang memakai kapas

sebagai bahan dasar memberi risiko paparan debukapas pada saluran nafas pekerja.

Salah satu bahaya kesehatan yang ditimbulkan oleh karena penghisapan debu kapas,

hemp atau flax sebagai bahan dasar tekstil adalah Bisinosis

Penyakit Bisinosis adalah penyakit pneumoconiosis yang disebabkan oleh

pencemaran debu atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke dalam paru-paru.

Debu kapas atau serat kapas ini banyak dijumpai pada pabrik pemintalan kapas, pabrik

tekstil, perusahaan dan pergudangan kapas serta pabrik atau bekerja lain yang

menggunakan kapas atau tekstil; seperti tempat pembuatan kasur, pembuatan jok kursi

dan lain sebagainya.

Masa inkubasi penyakit bisinosis cukup lama, yaitu sekitar 5 tahun. Tanda-tanda awal

penyakit bisinosis ini berupa sesak napas, terasa berat pada dada, terutama pada hari

Senin (yaitu hari awal kerja pada setiap minggu). Secara psikis setiap hari Senin bekerja

Page 2: Bisinosis

2

yang menderita penyakit bisinosis merasakan beban berat pada dada serta sesak nafas.

Isi

7 Langkah Diagnosis Okupasi

1. Diagnosis klinis

a) Anamnesis

Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan untuk membantuk menegakkan

diagnosis :

Riwayat penyakit sekarang :

Apakah terdapat rasa berat di dada?

apakah disertai batuk-batuk dan suara mengi??

Dimana saja timbul gejala? Apakah di rumah dan di tempat bekerja terdapat

keluhan sama??

Kapan saja timbul keluhan?

Jenis pekerjaan yang dilakukan ??

Apakah di tempat bekerja sering berhubungan dengan bahan-bahan dari

kain, kapas, atau sisa-sisa garmen?

Apakah mempunyai kebiasaan merokok?

Apakah di tempat kerja ada orang lain yang mengalami keluhan serupa??

Apakah ada keluhan lain?

Riwayat penyakit dahulu :

Apakah mempunyai riwayat asma atau penyakit respiratori lain??

Riwayat pekerjaan

Sudah berapa lama bekerja di tempat sekarang?1

Pernah bekerja di mana saja selama ini? Dan pekerjaan apa saja yang

dilakukan?

Bahan apa saja yang sering ditemui di tempat kerja??

Seberapa sering terkena bahan-bahan itu?

Apakah menggunakan alat pelindung diri?

Bagaimana ventilasi udara di tempat bekerja? Apakah ruangannya tertutup?

Page 3: Bisinosis

3

Untuk keluhan sesak napas pasien, ditanyakan sesuai dengan kriteria sesak nafas

menurut American Thoracic Society (ATS) 2 : (0 )tidak ada Tidak ada sesak nafas

kecuali exercise berat (1 ) ringan Rasa nafas pendek bila berjalan cepat mendatar atau

mendaki (2) sedang Berjalan lebih lambat dibandingkan orang lain sama umur karena

sesak atau harus berhenti untuk bernafas saat berjalanmendatar (3 )berat Berhenti

untuk bernafas setelah berjalan 100 meter/beberapamenit, berjalan mendatar (4

)Sangat berat Terlalu sesak untuk keluar rumah, sesak saat mengenakan

ataumelepaskan pakaian.

b) Pemeriksaan fisik

Inspeksi

Pemeriksaan ini dilakukan dengan memeriksa bentuk toraks, sela iga, serta

keadaan fisik pasien seutuhnya. Pada orang normal, bentuk toraks simetris dan

sela iga normal. Retraksi abnormal ruang sela iga bawah pada saat inspirasi

terjadi pada keadaan asma berat, PPOK, dan obstruksi saluran napas atasUntuk

menyingkirkan DD yang lainnya seperti PPOK

Palpasi

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menekan toraks atau dada pasien untuk

mengetahui normal tidaknya pasien. Jika terdapat tonjolon atau adanya rasa

nyeri jika ditekan, maka patut dicurigai adanya indikasi penumpukan cairan

pada paru pasien atau adanya inflamasi dan emfisema pada paru pasien.

Perkusi

Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengetukan jari pemeriksa ke salah satu

tangannya yang terletak dibagian dada pasien untuk mendengarkan suara-suara

yang timbul. Normalnya suara paru pasien sonor. Jika suara paru pasien

berubah ketika diketukkan menjadi, redup maka patut dicurigai adanya

penumpukan cairan pada paru pasien. Ataupun menjadi hipersonor maka perlu

dicurigai adanya kelainan paru seperti emfisema.

Page 4: Bisinosis

4

Auskultasi

Dilakukan dengan meletakkan stetoskop pada toraks pasien. Kemudian kita

meminta pasien menarik nafas dan menghembuskan nafas. Didengarkan suara

saat pasien menarik nafas dan menghembuskan nafas. Normalnya terdengar

suara vesikuler pada hampir seluruh lapang paru. Apabila terdapat suara ronki

perlu dipikirkan adanya penumpukan lendir pada paru seperti pada penyakit

bronkitis.3

c) Pemeriksaan penunjang

Spirometri

Spirometer adalah alat untuk mengukur volume udara yang dihirup dan

dihembuskan, alat ini terdiri dari sebuah tong berisi udara yang terapung pada

sebuah wadah berisi air. Sewaktu seseorang menghirup dan menghembuskan

udara keluar masuk tong melalui sebuah selang penghubung, tong akan naik

atau turun yang kemudian dicatat sebagai suatu spirogram. Pencatatan tersebut

dikalibrasi ke besarnya perubahan volume.

Pemeriksaan spirometri digunakan untuk mengetahui adanya gangguan di

paru-paru dan saluran pernapasan. Alat ini sekaligus digunakan untuk

mengukur fungsi paru. Pasien yang dianjurkan untuk melalukn pemeriksaan ini

antara lain : pasien yang mengeluh sesak napas, pemeriksaan berkala bagi

pekerja pabrik, pederita PPOK, penyandang asma, dan perokok. Secara

sederhana beberapa parameter yang diukur pada pemeriksaan spirometri

adalah:

Tidal volume (TV). Volume udara yang masuk atau keluar paru selama satu

kali bernapas. Nilai rata-rata pada keadaan istirahat = 500 ml.

Volume cadangan inspirasi (inspiratory reserve volume, VCI) . Volume

tambahan yang dapat secara maksimal dihirup melebihi tidal volume istirahat.

VCI dihasilkan oleh kontraksi maksimum diafragma, otot antariga eksternal,

dan otot inspirasi tambahan. Nilai rata-ratanya = 3000 ml.

Page 5: Bisinosis

5

Kapasitas inspirasi (KI). Volume maksimum udara yang dapat dihirup

pada akhir ekspirasi normal tenang (KI = VCI + TV). Nilai rata-ratanya =

3.500 ml.

Volume cadangan ekspirasi (expiratory reserve volume, VCE). Volume

tambahan udara yang dapat secara aktif dikeluarkan oleh kontraksi maksimum

melebihi udara yang dikeluarkan secara pasif pada akhir tidal volume biasa.

Nilai rata-ratanya = 1.000 ml.

Volume residual (VR). Volume miminum udara yang tersisa di paru bahkan

setelah ekspirasi maksimum. Nilai rata-ratanya = 1.200 ml. Volume residual

tidak dapat diukur secara langsung dengan spirometer karena volume udara ini

tidak keluar-masuk paru. Namun, volume ini dapat diukur secara tidak langsung

melalui teknik-teknik dilusi-gas berupa penghirupan (inspirasi) gas-pelacak

(tracer gas) yang tidak berbahaya dalam jumlah tertentu, misalnya helium.

Kapasitas residual fungsional (KRF) Volume udara di paru pada akhir

ekspirasi pasir normal (KRF = VCE + VR). Nilai rata-ratanya = 2.200 ml.

Kapasitas vital (KV). Volume maksimum udara yang dapat dikeluarkan selama

satu kali bernapas setelah inspirasi maksimum. Subyek mula-mula melakukan

inspirasi maksimum, kemudian melakukan ekspirasi maksimum (KV = VCI + TV

+ VCE). KV mencerminkan perubahan volume maksimum yang dapat terjadi di

dalam paru. Volume ini jarang dipakai karena kontraksi otot maksimum yang

terlibat menimbulkan kelelahan, tetapi bermanfaat untuk menilai kapasitas

fungsional paru. Nilai rata-ratanya = 4.500 ml.

Kapasitas paru total (KPT). Volume udara maksimum yang dapat ditampung

oleh paru (KPT = KV + VR). Nilai rata-ratanya = 5.700 ml.

Volume ekspirasi paksa dalam satu detik (forced expiratory volume, FEV).

Volume udara yang dapat diekspirasi selama detik pertama ekspirasi pada

penentuan KV. Biasanya FEV1 adalah sekitar 84%; yaitu, dalam keadaan normal

80% udara yang dapat dipaksa keluar dari paru yang mengembang maksimum

Page 6: Bisinosis

6

dapat dikeluarkan dalam 1 detik pertama. Pengukuran ini memberikan indikasi laju

aliran udara maksimum yang dapat terjadi di paru.

Pada keadaan klinis yang biasanya digunakan adalah perbandingan FEV1 : FVC.

Rumus yang digunakan adalah FEV1/FVC lalu dikalikan dengan 100%. FEV1

adalah ekskresi paksa udara yang mampu dikeluarkan oleh pasien dalam waktu 1

detik, sedangkan FVC adalah volume udara yang mampu dikeluarkan oleh pasien

setelah inspirasi maksimal. Bermakna obstruktif bila ratio itu kurang dari 70%.

Sedangkan pada bisinosis biasanya penurunan pada FEV1 sudah mempunyai

makna diagnostik. Penurunan FEV1 10% atau lebih yang diukur pada pekerja saat

hari senin atau hari pertama masuk kerja setelah liburan sudah membantu

menegakkan diagnosis.

Rontgen toraks

Umumnya pada penyakit bissinosis tidak terdapat kelainan pada stadium atau

tingkat ½ dan 1. Tetapi pada tingkat 2 dan 3 bisa menimbulkan kelainan.

Pemeriksaan tempat kerja

Di sini dapat dilakukan pengukuran kadar kapas di tempat pekerjaan. Kadar kapas

dalam lingkungan kerja dapat diukur dengan alat pengukur debu yang dapat

gambar 1nilai spirometri 1

Page 7: Bisinosis

7

diletakkan di lokasi kerja dengan ketinggian breathing zone, antara mulut dan

hidung yaitu sekitar 1,5 m dari lantai untuk jangka waktu tertentu yang disebut

ventrical elutriator. Alat ini dapat mengukur kadar debu kapas respirabel dan kadar

debu kapas total. Ada pula alat pengukur debu kapas yang disebut personal sampler

yang dapat diikatkan pada tali pinggang karyawan, sehingga kadar debu yang

diukur lebih banyak berhubungan dengan lama pemaparan karyawan.

NAB debu kapas adalah 0,2 mg/m3 serat yang respirabel.

Bronkitis kronik

Bronkitis kronik ( batuk kronik berulang ) merupakan keadaan yang disebabkan oleh

berbagai penyebab dengan gejala batuk yang berlangsung sekurang-kurangnya 2

minggu berturut-turut dan/atau berulang paling sedikit 3X dalam 3 bulan dengan

atau tanpa gejala respiratorik lainnya Penyebab penyakit bronkitis kronik paling

sering dijumpai adalah virus tetapi bakteri juga berperan dalam penyebab penyakit

ini. Rhinovirus, RSV ( respiratory syncitial virus ), parainfluenza, influenza,

adenovirus, enterovirus, dan bakteri : H. Influenza, Strep.pneumonia, Staf.aureus.

Bronkitis kronik dapat merupakan tanda adanya penyakit paru atau penyakit

sistemik yang mendasari. Keadaan yang berhubungan dengan bronkitis kronik,

antara lain ;

a. Penyakit Jantung bawaan ( congenital heart defect ), baik pada katup maupun

myocardium. Kongesti menahun pada dinding bronchus melemahkan daya

tahannya sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.

b. Infeksi sinus paranasalis dan rongga mulut merupakan sumber bakteri yang

dapat menyerang dinding bronchus. Infeksi bronkitis berulang : klamidia,

pertussis.

c. Asthma, TBC paru, kistik fibrosis, imunodefisiensi, sindrom kartegener dan

imotil silia.

Pasien dengan bronkitis kronis akan mengalami :

a. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar, yang mana

akan meningkatkan produksi mukus.

Page 8: Bisinosis

8

b. Mukus lebih kental

c. Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme pembersihan mukus.

Oleh karena itu, "mucocilliary defence" dari paru mengalami kerusakan dan

meningkatkan kecenderungan untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul,

kelenjar mukus akan menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi

mukus akan meningkat.

d. Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali ketebalan

normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan

produksi mukus yang banyak akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan

mempersempit saluran udara besar. Bronkitis kronis mula-mula mempengaruhi

hanya pada bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena.

e. Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas,

terutama selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kolaps, dan udara

terperangkap pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan

penurunan ventilasi alveolar, hypoxia dan asidosis.

f. Kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi perfusi abnormal timbul, dimana

terjadi penurunan PaO. Kerusakan ventilasi dapat juga meningkatkan nilai PaCO

g. Terlihat cyanosis sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka terjadi polisitemia

(overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit memberat, diproduksi sejumlah

sputum yang hitam, biasanya karena infeksi pulmonary.

h. Selama infeksi pasien akan mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan

pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hypoxemia akan

timbul yang akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF

2. Pajanan yang dialami

Umunya bisinosis diakibatkan oleh debu akibat kapas atau bahan garmen. Secara

singkat kita perlu mengetahui tahap-tahap pengolahan kapas sehingga dapat

mengetahui pekerja di bagian mana yang rentan mengalami penyakit ini.

Proses sebelum di pabrik

Proses ini terdiri dari proses panen dan pemilahan. Panen dikerjakan baik

dengan tangan maupun mesin. Selama proses ini, berbagai bahan organik

Page 9: Bisinosis

9

dapat mencemari kapas. Proses pemanenan yang menggunakan mesin

lebih banyak pencemaran yang berasal baik dari daun atau ranting

tanaman sendiri maupun tanah. Pemilahan adalah memisahkan biji kapas

dari seratnya dengan mesin khusus yang disebut mesin gin. Pemaparan

dengan debu kapas dimulai pada proses ini. Selanjutnya biji kapas yang

sudah dipisahkan dapat diolah menjadi minyak.

Proses di pabrik

Proses di dalam pabrik terdiri dari beberapa proses, antara lain:

a. Pembongkaran (opening)

Kapas yang diterima di pabrik dikeluarkan dari karung untuk

selanjutnya didiamkan selama 24 jam agar kapas tersebut dapat

memuai.

b. Pengadukan (blowing)

Kapas yang sudah memuai kemudian dimasukkan ke dalam mesin

blowing. Dengan bantuan arus angin panas dalam mesin, kapas

diaduk-aduk, dilonggarkan sehingga serat-serat dengan berbagai

kualitas tercampur rata serta dibersihkan dari pencemaran dan serat-

serat pendek. Hasil pengadukan tersebut merupakan lembaran kapas

yang tebal disebut lap. Mesin blowing biasanya tertutup sehingga

proses disini tidak banyak mengeluarkan debu.

c. Carding

Lembaran kapas hasil pengadukkan diteruskan ke bagian carding

untuk disisir, diluruskan, disejajarkan dan dibersihkan lebih lanjut

dari pencemaran serta bahan yang tidak terpakai seperti serat pendek

dan tipis. Gigi-gigi mesin carding pada waktu-waktu tertentu

dibersihkan dari debu dan serat-serat yang lengket, disikat dan

kemudian digosok dengan kain lunak. Pekerjaan ini dilakukan

dengan tangan atau kadang-kadang dengan mesin. Selanjutnya gigi-

gigi mesin diruncingkan. Karyawan yang mengerjakan pekerjaan

tersebut disebut stripper dan grinder. Mesin carding biasanya

terbuka dan sangat mngeluarkan banyak debu.

Page 10: Bisinosis

10

d. Flyer

Hasil pengolahan carding disebut sliver, berupa tali kapas tebal

kemudian dimasukkan ke dalam mesin flyer untuk dijadikan tali

kapas yang lebih halus, disebut roving yang merupakan bentuk akhir

sebelum dijadikan benang.

e. Spinning

Spinning merupakan bagian akhir pembuatan benang. Disini roving

diolah menjadi benang. Tempat yang berdebu menurut urutannya

ialah ruang carding, pengadukan, pembongkaran dan bagian akhir

pembuatan benang.

f. Penenunan

Benang jadi yang merupakan hasil pengolahan pemintalan akhirnya

ditenun dan dijadikan bahan jadi di penenunan. Pertenunan yang

mengolah benang jadi tidak lagi mengeluarkan banyak debu kedalam

lingkungan kerja dibandingkan pemintalan yang mengolah kapas

berupa barang mentah 4

3. Hubungan pajanan dengan penyakit

Bahan dasar sebuah pabrik garment tentu adalah kain, dalam proses pemintalan

atau pembuatan kain akan melewati berbagai proses dengan mengolah kapas,

pemaparan debu kapas atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke

dalam paru-paru yang akan menyebabkan bisinosis. Untuk mengetahui itu

adalah bisinosis atau penyakit pneumoconiosis akibat hubungan kerja ini tentu

harus dikorelasikan dengan kapan dan dimana gejala sesak itu muncul, pada

kasus dengan gejala yang muncul setiap senin mulai masuk kerja atau setelah

libur, itu merupakan salah satu tanda penyakit yang berhubungan dengan

pekerjaan karena hanya muncul gejala ketika berada di tempat kerja saja.

Secara umum terdapat tiga faktor yang berpengaruh pada inhalasi bahan

pencemar ke dalam paru, yaitu faktor komponen fisik, faktor komponen kimiawi

dan faktor penjamu/penderita sendiri.

Aspek komponen fisik yang pertama adalah keadaan dari bahan yang di inhalasi

tersebut (gas,debu,uap). Ukuran dan bentuk juga berpengaruh, dalam proses

Page 11: Bisinosis

11

penimbunan di paru, demikian pula kelarutan dan nilai higroskopisnya.

Komponen kimiawi yang berpengaruh antara lain adalah kecenderungan untuk

bereaksi dengan jaringan sekitarnya, keasaman atau tingkat alkalisitas yang

tinggi dapat merusak silia dan sistem enzim. Bahan-bahan tersebut dapat

menimbulkan fibrosis yang luas di paru dan dapat bersifat sebagai antigen yang

masuk paru, faktor manusianya (host) amat penting diperhitungkan sistem

pertahanan paru baik secara anatomis maupun fisiologis. Gangguan faktor ini

bisa diakibatkan oleh bahan bawaan ataupun oleh karena faktor lingkungan. Silia

yang aktif dapat membersihkan debu yang menempel, asap rokok juga jelas

mempengaruhi daya pertahanan paru.

Lamanya paparan dan kerentanan individu yang terpapar perlu diperhatikan.

Partikel-partikel debu yang berdiameter lebih dari 15 mikron tersaring keluar

pada saluran nafas bagian atas. Partikel 5-15 mikron tertangkap pada mukosa

saluran yang lebih rendah dan kembali disapu ke laring oleh kerja mukosiliar,

selanjutnya akan ditelan. Bila partikel ini mengiritasi saluran nafas atau

melepaskan zat-zat yang merangsang respon imun, dapat timbul penyakit

pernafasan misalnya bronkitis.

Partikel-partikel berdiameter antara 0,5-5 mikron (debu yang ikut dengan

pernafasan) dapat melewati sistem pembersihan mukosiliar dan masuk ke

saluran nafas terminal serta alveoli. Dari sana debu ini akan dikumpulkan oleh

sel-sel scavenger (makrofag) dan dihantarkan kembali ke sistem mukosiliar atau

ke sistem limfatik. Partikel berdiameter kurang dari 0,5 mikron kemungkinan

tetap mengambang dalam udara dan tidak di retensi. Partikel-partikel panjang

atau yang berdiameter kurang dari 3 mikron dengan panjang sampai 100 mikron

dapat mencapai saluran nafas terminal, namun tidak dibersihkan oleh makrofag;

akan tetapi partikel ini mungkin pula ditelan oleh lebih dari satu makrofag dan

dibungkus dengan bahan protein kaya besi, sehingga terbentuk badan-badan

abses yang khas.1

Secara ringkas dikatakan bahwa reaksi-reaksi yang timbul akibat debu yang

terinhalasi pada jaringan paru tergantung antara lain pada:

a. Sifat alamiah kimia dari debu

Page 12: Bisinosis

12

Umumnya debu anorganik yang terinhalasi dalam jumlah yang cukup dan

waktu yang lama menimbulkan fibrosis paru, walaupun beberapa debu

anorganik tidak bersifat fibrosinogenik dapat juga menimbulkan gangguan

fungsi paru. Reaksi yang lebih berat tergantung pada daya larut partikel/agen.

Partikel yang mudah larut sehingga dapat mencapai alveoli akan

menimbulkan reaksi yang lebih akut.

b. Ukuran debu

Partikel-partikel dengan ukuran yang lebih besar akan mengalami

penimbunan di saluran nafas bagian atas, sedangkan yang lebih kecil di

saluran nafas bagian bawah.

c. Kadar partikel debu

Kadar partikel debu yang rendah dalam udara inhalasi, dapat dibersihkan

secara komplit, namun semakin tinggi kadamya maka semakin banyak

yang mengalami deposisi di paru.

d. Lamanya paparan

Pada bisinosis, memerlukan waktu paparan selama 5 tahun

e. Kerentanan individu

Hal ini sulit diperkirakan karena individu yang berbeda dengan paparan

yang sama akan menimbulkan reaksi yang berbeda. Sarie M. dkk (1982)

menyimpulkan bahwa peranan saraf otonom cukup penting dalam respon

terhadap bahan iritan. Gangguan keseimbangan antara rangsangan vagus

dan simpatolitik tampaknya mempengaruhi sensitivitas seseorang terhadap

paparan rangsang debu atau gas. Diperkirakan juga dalam paparan terhadap

bahan kimia dan debu dapat merusak epitelium saluran nafas, sensitasi

reseptor sensoris sehingga dapat meningkatkan refleks bronkokonstriksi.

f. Pembersihan partikel debu

Terdapat dua mekanisme pembersihan partikel debu, yaitu mukosiliaris dan

pengaliran limpatik. Efisiensi mekanisme ini bervariasi tiap individu.

Pembersihan partikel tergantung dari mana partikel tersebut didepositkan.

Partikel yang tertinggal di atas mukus siliaris epitelium, sistem silia akan

mendorong partikel tersebut ke faring, kemudian akan ditelan atau

Page 13: Bisinosis

13

dibatukkan keluar bersama mukus. Partikel yang tertimbun pada daerah

distal, pada saluran nafas yang tidal (mengandung silia dibersihkan lebih

lambat, partikel ini akan difagositir oleh makrofag kemudian dibawa ke

saluran nafas yang dilapisi epitel bersilia sehingga ikut terbang melalui

mukus. Sebagian partikel akan tertinggal di parenkim paru atau dibawa

oleh makrofag melalui sistem limfatik.

Evidence Based Pajanan dengan Penyakit

Angka-angka prevalensi bisinosis antara 20% hingga 50% telah dilaporkan

pada ruang-ruang penyisiran (cardroom) kapas dengan kadar debu respirasi

antara 0,35 mg/m3 dan 0,60 mg/m3. Prevalensi kurang dan 10% ditemukan

pada ruang kerja dengan kadar debu respirasi kurang dari 0,1 mg/m3. Akan

tetapi, dari suatu penelitian pada para pekerja pemisahan biji (biasanya

bekerja musiman), telah dilaporkan rasa sesak pada dada pada permulaan

kerja pada 19% pekerja yang terpapar kadar debu respirasi 0,11 mg/m3.

Jadi, bahkan dengan kadar debu respirasi serendah 0,1 mg/m3 pun dapat

timbul gejala pada sebagian pekerja setelah kembali dari liburan tahunan.

Penurunan VEP1 pertahun lebih besar didapatkan diantara para pekerja

tekstil dengan riwayat paparan debu yang lama, bila dibandingkan dengan

subjek yang tidak terpapar. Penelitian tentang prevalensi bisinosis yang

dilakukan pada karyawan pabrik tekstil di berbagai negara bervariasi antara

1-88% dan pada umumya bergantung pada kadar debu lingkungan kerja

dan lamanya paparan. Prevalensi bisinosis tidak selalu berkorelasi positif

antara timbulnya gangguan saluran pernafasan dengan tingginya kadar

debu di lingkungan kerja.5

4. Pajanan yang dialami cukup besar

Sesudah debu anorganik dan bahan pertikel terinhalasi akan melekat pada

permukaan mukosa saluran napas (bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris

dan alveolus) karena tempat tersebut basah sehingga mudah ditempeli debu.

Page 14: Bisinosis

14

Pada awalnya paru-paru  memberikan respons berupa inflamasi dan fagositosis

terhadap debu yang masuk oleh makrofag alveolus. Makrofag memfagositosis

debu dan membawa partikel debu ke bronkiolus terminalis. Di situ dengan gerak

mukosiliar debu diusahakan keluar dari paru. sebagian partikel debu diangkut ke

pembuluh limfe sampai limfonodi regional di hilus paru. Bila paparan debu

banyak, di mana gerak mukosiliar sudah tidak mampu bekerja, maka

debu/partikel akan tertumpuk di permukaan mukosa saluran napas, akibatnya

partikel debu akan tersusun membentuk anyaman kolagen dan fibrin dan

akibatnya paru (saluran napas) menjadi kaku sehingga compliance paru

menurun. Penyakit paru akibat tertimbunnya debu/partikel di paru atau saluran

napas disebut pneumoconiosis. Sesudah terjadi pneumokoniosis, misalnya

paparan debu sudah berhenti, maka fibrosis paru yang telah terjadi tidak dapat

hilang.

5. Peranan faktor individu

Status kesehatan fisik: atopi/alergi, riwayat penyakit dalam keluarga,

kebiasaan olahraga.

Status kesehatan mental

Ada atau tidak masalah dalam kejiwaannya, masalah baik diluar pekerjaan

(dalam keluarga) atau pun masalah di lingkungan tempat bekerja (atasan /

sesama pekerja).

Hygiene perorangan

Apakah pasien mempunyai riwayat kesehatan (riwayat keluarga) yang

mengakibatkan penderita lebih rentan/lebih sensitif terhadap pajanan

yang dialami. Dimana seperti terdapat kecenderungan yang lebih besar

untuk terjadinya Bisinosis pada pekerja yang mempunyai keluhan

obstruksi akut maupun kronis. Faktor resiko menunjukkan bahwa pria

cenderung menderita Bisinosis 1,8 kali daripada wanita. Kemungkinan

temuan ini erat kaitannya dengan kebiasaan merokok, dimana perokok

lebih dominan pada pria.6

Page 15: Bisinosis

15

6. Faktor lain di luar pekerjaan

Dicari apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab penyakit, atau

apakah penderita mengalami pajanan lain yang diketahui dapat merupakan

penyebab penyakit. Antaranya hobi, kebiasaan merokok, pajanan di rumah,

pekerjaan sambilan. Meskipun demikian, adanya penyebab lain tidak selalu

dapat digunakan untuk menyingkirkan penyebab di tempat kerja.

Kebiasaan merokok mempunyai hubungan yang paling bermakna secara statistic

terhadap terjadinya Bisinosis. Hal ini berarti karyawan yang merokok

mempunyai resiko untuk menderita bisinosis 3,3 kali lebih besar disbanding

dengan karyawan yang tidak merokok.

7. Diagnosis okupasi

Bissinosis

Bisinosis adalah penyakit paru akibat kerja yang penyebabnya hirupan debu

kapas, rami, dan sisal. Oleh karena penemuan gejala inilah maka timbul istilah

demam senin pagi atau “Monday morning fever”. Istilah byssinosis

dikemukakan oleh seorang dokter berkebangsaan prancis yang bernama Proust

dan istilah ini diambil dari bahasa yunani yang berarti linan atau rami halus.

Karakteristik untuk penyakit bisinosis adalah adanya rasa hari Senin atau

sindrom hari Senin (“Monday feelings” atau “Monday syndrome”) pada

bisinosis tingkat dini (1/2 dan 1), yaitu keluhan berat di dada dan pendek nafas

pada hari-hari senin (hari pertama sesudah tidak bekerja 2 hari Sabtu dan

Minggu), tetapi keluhan tersebut tidak dirasakan pada hari-hari lainnya. Tentu

saja, seperti yang telah disebutkan bahwa keluhan ini tidak semata-mata pada

hari senin tetapi pada hari dimana pekerja masuk kembali ke tempat kerja setelah

libur beberapa hari.2,6

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi berat atau ringannya grade bisinosis

ditentukan oleh lamanya bekerja di industri tekstil dan jumlah paparan debu.

Tanda-tanda awal penyakit bisinosis ini berupa sesak napas, terasa berat pada

dada, terutama pada hari Senin (yaitu hari awal kerja pada setiap minggu),

demam, nyeri otot.

Page 16: Bisinosis

16

Gambaran bisinosis berbeda dengan asma, dimana pada asma terdapat reaksi

cepat antara 10 – 30 menit setelah terpajan protein antigen untuk menimbulkan

gejala, sedangkan gejala pada bisinosis adalah reaksi lambat yang membutuhkan

waktu hingga beberapa jam. Perbedaan lain, yaitu bisinosis mengenai sebagian

pekerja yang terpajan sedangkan asma hanya sebagian kecil saja. Selain itu, pada

bisinosis tidak ada riwayat keluarga dan riwayat asma seperti pada penderita

asma.

Diagnosis bisinosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat klinis dan riwayat

pajanan.

Ada 3 kriteria untuk diagnosis klinis bisinosis, yaitu :

i. Riwayat paparan yang pasti terhadap dedu kapas

ii. Gejala-gejala bissinosis yang dikenal dengan kuestioner standar ( BMRC)

dan pada beberapa kasus manifestasi klinis bronchitis kronis ( WHO,

technical report series No. 684 tahun 1983)

iii. Penurunan kapasitas ventilasi selama jam kerja, yang lebih berat pada

penderita bisinosis daripada individu normal dan pada umumnya lebih

tinggi pada hari pertama minggu kerja dibandingkan hari lainnya.

Derajat bissinosis yang ditentukan dari kapasitas ventilasi serta kuesioner

standarnya

- Derajat 0: tidak ada bissinosis

- Derajat ½: kadang-kadang rasa dada tertekan atau sesak napas pada tiap hari

pertamaminggu bekerja

- Derajat 1: rasa dada tertekan atau sesak napas pada tiap hari pertama minggu

kerja.

- Derajat 2: rasa berat di dada dan sukar bernapas tidak hanya pada hari

pertama bekerja, tetapi juga pada hari lain minggu kerja.

- Derajat 3: gejala seperti derajat 2 ditambah berkurangnya toleransi terhadap

aktivitas secara menetap dan atau pengurangan kapasitas ventilasi.

Penatalaksanaan

Page 17: Bisinosis

17

1. Beta2-Agonis Long Acting 5

Termasuk didalamnya adalah formoterol dan salmeterol yang mempunyai durasi kerja

panjang lebih dari 12 jam. Cara kerja obat beta2-agonis adalah melalui aktivasi reseptor

beta2-adrenergik yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase yang meningkatkan

konsentrasi siklik AMP . Beta2-agonis long acting inhalasi menyebabkan relaksasi otot polos

saluran nafas, meningkatkan klirens mukosiliar, menurunkan permeabilitas vaskuler dan

dapat mengatur pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Juga menghambat reaksi asma

segera dan lambat setelah terjadi induksi oleh alergen, dan menghambat peningkatan respon

saluran nafas akibat induksi histamin. Efek sampingnya adalah stimulasi kardiovaskuler,

tremor otot skeletal dan hipokalemi.

2.

Sodium kromoglikat adalah antiinflamasi non steroid, dan mekanisme kerja yang pasti

belum diketahui. Obat ini terutama menghambat pelepasan mediator yang dimediasi oleh

IgE dari sel mast dan mempunyai efek supresi selektif terhadap sel inflamasi yang lain

(makrofag, eosinofil, monosit). Obat ini diberikan untuk pencegahan karena dapat

menghambat reaksi asma segera dan reaksi asma lambat akibat rangsangan alergen, latihan,

udara dingin dan sulfur dioksida. Pemberian jangka panjang menyebabkan penurunan nyata

dari jumlah eosinofil pada cairan BAL dan penurunan hiperrespon bronkus nonspesifik.

Bisa digunakan jangka panjang setelah asma timbul, dan akan menurunkan gejala dan

frekuensi eksaserbasi.

Sodium nedokromil memiliki kemampuan antiinflamasi 4-10 kali lebih besar dibanding

sodium kromoglikat. Walau belum jelas betul, nedokromil menghambat aktivasi dan

pelepasan mediator dari beberapa sel inflamasi. Juga sebagai pencegahan begitu asma

timbul.

3. Teofilin lepas lambat

Obat ini merupakan golongan metilxantin utama yang dipakai pada penatalaksanaan asma.

Mekanisme kerja teofilin sebagai bronkodilator masih belum diketahui, tetapi mungkin

Page 18: Bisinosis

18

karena teofilin menyebabkan hambatan terhadap phospodiesterase (PDE) isoenzim PDE IV,

yang berakibat peningkatan cyclic AMP yang akan menyebabkan bronkodilatasi.

Teofilin adalah bronkodilator yang mempunyai efek ekstrapulmonar, termasuk efek

antiinflamasi.

Banyak studi klinis memperlihatkan bahwa terapi jangka panjang dengan teofilin lepas

lambat efektif dalam mengontrol gejala asma dan memperbaiki fungsi paru. Karena

mempunyai masa kerja yang panjang, obat ini berguna untuk mengontrol gejala nokturnal

yang menetap walaupun telah diberikan obat antiinflamasi.

Efek sampingnya adalah intoksikasi teofilin, yang dapat melibatkan banyak sistem organ

yang berlainan. Gejala gastrointestinal, mual dan muntah adalah gejala awal yang paling

sering. Pada anak dan orang dewasa bisa terjadi kejang bahkan kematian. Efek

kardiopulmoner adalah takikardi, aritmia dan terkadang stimulasi pusat pernafasan.

4. Kortikosteroid

Mekanisme aksi antiinflamasi dari kortikosteroid belum diketahui secara pasti. Beberapa

yang ditawarkan adalah berhubungan dengan metabolism asam arakidonat, juga sintesa

leukotrien dam prostaglandin, mengurangi kerusakan mikrovskuler, menghambat produksi

dan sekresi sitokin, mencegah migrasi dan aktivasi sel radang dan meningkatkan respon

reseptor beta pada otot polos saluran nafas.

Studi tentang kortikosteroid inhalasi menunjukkan kegunaannya dalam memperbaiki fungsi

paru, mengurangi hiperrespon saluran nafas, mengurangi gejala,mengurangi frekuensi dan

beratnya eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup. Dosis tinggi dan jangka panjang

kortikosteroid inhalasi bermanfaat untuk pengobatan asma persisten berat karena dapat

menurunkan pemakaian koetikosteroid oral jangka panjang dan mengurangi efek samping

sistemik.

Prednison, prednisolon dan metilprednisolon adalah kortikosteroid oral pilihan karena

mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh yang relatif pendek dan efek

yang ringan terhadap otot bergaris. Pendapat lain menyatakan kortikosteroid sistemik

dipakai pada penderita dengan penyakit akut, pasien yang tidak tertangani dengan baik

memakai bronkodilator dan pada pasien yang gejalanya menjadi lebih jelek walaupun telah

diberi pengobatan maintenance yang baik.

Page 19: Bisinosis

19

Pencegahan

1. Primer

Pada pencegahan dapat dilakukan penyuluhan kepada tenaga kerja seperti

penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) saat bekerja, penyuluhan mengenai

kesehatan para tenaga kerja berdasarkan pekerjaan yang dilakukannya.

Kepada pekerja perlu diberi penyuluhan mengenai kebersihan perorangan,

makanan yang nilai gizinya sesuai dengan jenis pekerjaan, gerak badan untuk

kesehatan (olahraga), pertolongan pertama pada kecelakaan, perilaku K3 yang

baik dan lain-lain.

2. Sekunder

Ventilasi, baik lokal, maupun umum. Ventilasi umum antara lain dengan

mengalirkan udara ke ruang kerja melalui pintu dan jendela, tapi cara ini biasanya

mahal harganya. Cara ventilasi lokal, yang disebut pompa keluar setempat,

biasanya biayanya tidak seberapa sedangkan manfaatnya besar dalam melindungi

para pekerja.

Tindakan pencegahan paling umum adalah dengan membasahi permukaan tanah

dan bijih. Mesin-mesin yang berpotensi menimbulkan debu (mis: belt conveyor)

juga mesti diberi pelindung agar debu tidak tersebar. Sedang di tambang bawah

tanah, ventilasi yang cukup merupakan prasyarat penting untuk mengurangi kadar

debu.

Agar perlindungan menjadi maksimal, pekerja mesti dibekali dengan respirator

(masker anti debu). Respirator dilengkapi dengan filter hingga mampu mencegah

partikel debu terhirup ke dalam paru-paru.

Pengendalian debu

Pengendalian debu di lingkungan kerja dapat dilakukan terhadap 3 hal yaitu

pencegahan terhadap sumbernya, media pengantar (transmisi) dan terhadap

manusia yang terkena dampak.

o Pencegahan Terhadap Sumbernya

Page 20: Bisinosis

20

Pengontrolan debu diruang kerja terhadap sumbernya antara lain:

Isolasi sumber agar tidak mengeluarkan debu diruang kerja dengan

‘Local Exhauster’ atau dengan melengkapi water sprayer pada

cerobong asap.

Substitusi alat yang mengeluarkan debu dengan yang tidak

mengeluarkan debu.

o Pencegahan Terhadap Transmisi

Upaya paling praktis dalam pencegahan debu adalah menggunakan air.

Air dapat digunakan untuk menyemprot coal face dan loose rock, dan

pada permukaan setelah blasting, dumping, atau berbagai rock

handling process. Akan tetapi, banyak pekerjaan underground

kekurangan supply air yang cukup.

Ventilasi yang baik juga penting untuk mengeliminasi debu. Setiap

tempat kerja seharusnya memiliki supply udara bersih untuk

mengencerkan atau mengangkut airborne dust. Akan tetapi,

underground ventilation, terutama di negara berkembang, sering buruk

akibat buruknya fasilitas.

o Pencegahan Terhadap Tenaga Kerja

Perlengkapan yang dipakai untuk melindungi pekerja terhadap

bahaya kesehatan yang ada di lingkungan kerja. Antara lain

dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) berupa masker.

Penggunaan APD merupakan alternative lain untuk melindungi pekerja

dari bahaya kesehatan. Namun APD harus sesuai dan adekuat. Alat-

alat pelindung harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Memiliki daya pencegah kuat terhadap bahaya yang ada.

b. Konstruksi dan kemampuan harus memenuhi standar yang berlaku.

c. Ringan, efisien, dan nyaman dipakai.

d. Tidak mengganggu gerakan yang diperlukan.

e. Tahan lama, pemeliharaan mudah, dan bagian-bagian mudah diganti atau

diperoleh.

Page 21: Bisinosis

21

Pengendalian administratif

Pengendalian administratif mungkin bias sebagai pilihan yang berguna atau

tindakan tambahan untuk mengurangi pajanan pegawai dalam bahaya pekerjaan.

Tindakan ini dapat berbentuk perluasan dan rotasi pekerjaan, pembatasan jam

kerja pada operasi berbahaya, atau malah pemberian tugas ulang pada pekerjaan

sementara. Pelatihan pekerja untuk mengenal bahaya pekerjaan, cara bekerja

secara aman, dan hal yang harus dilakukan dalam keadaan darurat atau bila

penyakit akibat kerja timbul,adalah satu aspek lain pencegahan yang penting.

3. Tersier

Pre-worker check-up

Semua pekerja harus menjalani pemeriksaan medis sebelum bekerja dan berkala

dengan mengutamakan upaya untuk mendeteksi pre-existing lung disease dan

perkembangan pneumokoniosis.

Penerangan sebelum bekerja

Suatu penjelasan agar pekerja mengetahui dan mentaati peraturan dan undang-

undang yang berlaku serta tahu adanya bahaya kesehatan di lingkungan kerja,

sehingga d apat bekerja lebih berhati-hati.

Pembatasan waktu selama pekerja terpajan terhadap zat tertentu yang berbahaya

dapat menurunkan risiko terkenanya bahaya kesehatan di lingkungan kerja.

Kebersihan perorangan dan pakaiannya, merupakan hal yang penting, terutama

untuk para pekerja yang dalam pekerjaannya berhubungan dengan bahan kimia

serta partikel lain.

Pemeriksaan kesehatan berkala

Pemeriksaan ini bertujuan untuk menemukan dan mencegah penyakit jabatan

dalam tingkatan sedini mungkin. Prioritas diberikan kepada pekerja yang:

bekerja di lingkungan berbahaya

dipindahkan dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lain,

menderita penyakit menahun,

perlu diperiksa atas permintaan dokter keluarganya, atau keinginannya sendiri,

bekerja lagi setelah penyakitnya sembuh.7

Page 22: Bisinosis

22

Penutup

Untuk mencegah terjadinya obstruksi saluran napas pada karyawan yang terpapar dengan

debu kapas, semua karyawan yang melamar untuk bekerja di pabrik tekstil hendaknya

menjalani penyaringan khusus yang dimulai dengan wawancara terpimpin dan

dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik, spirometri, foto paru dan tes kulit terhadap

beberapa allergen inhalan umum. Kepada karyawan yang baru diterima, hendaknya

diberikan penyuluhan tentang kesehatan kerja, bahaya pemaparan debu kapas dan gejala

dini obstruksi saluran napas. Mereka dianjurkan segera melaporkan diri kepada dokter

perusahaan bila merasa dada tertekan, batuk dan sesak yang ada hubungannya dengan

lingkungan kerja. Instansi pemerintah diharapkan agar dapat mengawasi pabrik-pabrik

yan mengolah kapas dengan jalan mengukur kadar debu dalam lingkungan kerja,

memeriksa mesin, kualitas udara dalam pabrik, mengontrol pemakaian filter, respiratoir

dan masker dan bila perlu memperketat izin operasi pabrik.

Daftar pustaka

1. Jeyaratnam J, Koh D. Buku ajar praktikum kedokteran kerja. Jakarta: Penerbit buku

kedokteran EGC; 2010.hal. 85-7, 359-62.

2. Suma’mur PK. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Gunung

Agung ; 2006.

3. Purwanto, Amin M. Hubungan antara paparan debu kapas dengan kelainan faal

paru : Penelitian pada pabrik pemintal X. J. Respir Indo, 1996.hal. 16:22-8

4. Levy.S.B. Occupational HEALTH: recognizing and preventing work-related disease

and injury. Edisi 4. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 2000. Hal 491-2

5. Rahmatullah P. Pneumonitis dan penyakit paru lingkungan. Dalam: Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jilid II edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI;

2007.h.1030-1.

6. Harrington,Gill .Buku Saku Kesehatan Kerja. Jakarta Penerbit Buku Kedokteran

EGC ; 2003.

7. Jeyaratnam J, Koh D. Buku ajar praktikum kedokteran kerja. Jakarta: Penerbit buku

kedokteran EGC, 2010. Hal 85-7, 359-62.