biokonversi serat sawit dengan aspergillus niger … · 2015-08-28 · ... (cr-yeast) sangat tepat...
TRANSCRIPT
BIOKONVERSI SERAT SAWIT DENGAN Aspergillus niger PENSINTESA Cr-ORGANIK
SEBAGAI KOMPONEN RANSUM KOMPLIT DOMBA
YULIATY SHAFAN NUR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya
yang berjudul : “Biokonversi Serat Sawit dengan Aspergillus niger Pensintesa
Cr-Organik sebagai Komponen Ransum Komplit Domba” adalah karya saya sendiri
dengan arahan Komisi Pembimbing dan be lum pernah diajukan da lam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
YULIATY SHAFAN NUR NRP 995054
ABSTRACT
YULIATY SHAFAN NUR. Bioconversion of Palm Press Fiber by Cr-organic Synthesizing Aspergillus niger as Compo nent of Sheep Complete Feed. Supervised by KOMANG GEDE WIRYAWAN, RIZAL SYARIEF, LILY AMALIA SOFYAN (Alm) , NAHROWI
Palm press fiber (PPF) as cattle feed has not yet optimally utilized; one constraint is its low content of crude protein (3.93%) and its high content of crude fiber (48.96%), which can inhibit growth and decrease the feed digestibility. To overcome such condition, palm press fiber can be processed to improve its nutrition through physical, chemical and biological treatments. The objectives of this research were to improve the utility of PPF as animal feed and examine the nutritional level of PPF treated with NaOH and then fermented with A. niger as a synthesizer of organic Cr to replace a component of sheep feed. The study consisted of three stages. The first stage was the immersion of PPF with NaOH. In the second stage, the best result of the first stage was used for the fermentation of PPF with A.niger as the synthesizer of organic Cr to produce fermented PPF . The second stage was also to produce the right level of inoculums of A. niger and CrCl3 to obtain PPF with the highest digestibility and content of nutrients as well as Cr-yeast. The first experiment with factor A = Level of NaOH (A1=2,5%, A2=5%, A3=7,5%) and factor B = immersion length in NaOH (B1=6 hours B2=12 hours, B3 = 24 hours). The second experiment consisted of factor A, the yeast levels of A. niger i.e (1) 5.0% Dry Matter (DM), (2) 7.5% DM, (3) 10% DM, of substrate and in factor B the levels of CrCl3 added to the substrate were (1) 2 mg/kg substrate, (2) 4 mg/kg substrate, (3) 6 mg/kg substrate, with the addition of tryptophan of 600 ppm for each treatment. The parameters observed in the experiments were protein, crude fiber organic Cr, ADF and NDF. The second stage of the research was an in-vitro experiment to assess the digestibility of fermented PPF
in the rumen with the observed variables of total VFA, NH3, DM digestibility and OM digestibility. The target of this experiment was to produce fermented PPF with the best contents of nutrients and organic Cr as well as the highest digestibility. The third stage was an in-vivo experiment in sheep to produce a complete formula of feed made of fermented palm press fiber which could promote an optimum growth of sheep. The best result of fermented PPF in stage two was used to formulate 4 types of complete feed with TDN 64% and Protein 12.5%. The levels of fermented PPF in the feed were: A = 0% PPF + 60% native grass (NG) + 40% concentrate, B = 15% PPF+ 45% NG + 40% concentrate, C= 30% PPF + 30% NG + 40% concentrate, D= 45% PPF + 15% NG + 40% concentrate. The research results showed that the best level of NaOH and immersion periode to increase the nutritional content of PPF were 2.5% NaOH and immersion for 24 hours, A. niger could synthesize organic Cr by using CrCl3 and tryptophan as the precursors, the treatment with 10% inoculum of A. niger and 6 mg CrCl3/kg could produce the highest digestibility of dry and organic matter. Fermented PPF could be used as substitute for 45% native grass without reducing t he quality of sheep meat In contrast, the use of 45% fermented PPF in the ration could reduce fat and cholesterol content and increase organic Cr in meat.
Keywords : palm press fiber, NaOH, Aspergillus niger, chromium, sheep, ration
RINGKASAN
YULIATY SHAFAN NUR. Biokonvesi Serat Sawit dengan Aspergillus niger Pensintesa Cr-organik sebagai Komponen Ransum Komplit Domba. Dibimbing oleh KOMANG GEDE WIRYAWAN, LILY AMALIA SOFYAN (Alm), RIZAL SYARIEF dan NAHROWI
Sebagai pakan ternak, serat sawit yang ada belum dapat dimanfaatkan secara maksimal, salah satu kendala serat sawit adalah rendahnya protein kasar yaitu 3.5% dan tingginya kandungan serat kasar yaitu 48% yang dapat menghambat pertumbuhan dan menurunkan tingka t kecernaan pakan. Menyadari kondisi tersebut untuk menanggulanginya dari segi nutrisi adalah dengan cara pengolahan secara fisik, kimia dan mikrobiologi. Biokonversi menggunakan fungi pensintesa kromium organik (Cr-yeast) sangat tepat diterapkan untuk pengolahan serat sawit yang telah diperlakukan alkali dengan NaOH, karena selain akan meningkatkan nilai nutrisi, juga memperkaya kandungan mineral Cr yang dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan kualitas daging.
Tujuan dari pene litian ini adalah untuk meningkatkan daya guna serat sawit sebagai pakan ternak. Mengkaji kemampuan nutrisi serat sawit yang diperlakukan dengan NaOH kemudian difermentasi dengan A. niger pensintesa Cr-organik dalam mengganti sebagian ransum ternak domba. Penelitian terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama, pemeraman serat sawit dengan NaOH. Tahap kedua, hasil terbaik dari tahap pertama, fermentasi serat sawit dengan A.niger pensintesa Cr-organik pembuatan serat sawit fermentasi. Penelitian ini untuk mendapatkan level inokulum A. niger, level CrCl3 yang tepat untuk menghasilkan serat sawit dengan kecernaan dan kandungan nutrisi serta Cr-yeast tertinggi. Penelitian ini meliputi pembiakan kapang, pembuatan inokulum, penyediaan media fermentasi, fermentasi serat sawit dengan A. niger. Rangkaian pengerjaan fermentasi serat sawit dilakukan setelah dimodifikasi sesuai dengan keperluan.
Penelitian tahap I, dilakukan dengan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial dengan 2 faktor (3x3) dan 2 ulangan (Steel & Torrie 1993). Faktor perlakuan A adalah level konsentrasi NaOH yaitu 2,5%,5%, dan 7,5% dan faktor perlakuan B adalah lama pemeraman serat sawit dalam NaOH yaitu 6 jam, 12 jam, dan 24 jam. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah: (1) kandungan nutrisi meliputi bahan kering, protein kasar. (2) Kandungan fraksi serat NDF, ADF, selulosa, hemiselulosa, dan lignin ditentukan dengan analisis Van Soest; (3) struktur dinding sel (scanning electron microscope).
Pada penelitian tahap I, pengaruh konsentrasi NaOH dan lama pemeraman terhadap dinding sel serat sawit dengan menggunakan scanning electron microscopy (SEM), serat sawit tanpa pemeraman dengan NaOH terlihat jaringan dasar terjalin dengan pita parenkim longitudinal dan dengan parenkim jari- jari, pembuluh tertutup oleh tilosis. Konsentrasi NaOH yang tinggi, aktivitas alkali akan lebih kuat dalam memutuskan ikatan antara lignin dengan hemiselulosa dan selulosa dinding sel serat sawit. Kandungan BK dan protein (P<0.01) yang menurun akibat pemeraman dengan NaOH juga fraksi serat yaitu kandungan NDF, ADF, selulosa, hemiselulosa dan lignin terjadi penurunan (P<0.01).
Penelitian tahap II, mengkaji kombinasi terbaik A. niger pensintesa Cr-organik dengan kecernaan, kandungan gizi dan kandungan Cr organik yang tinggi. Pada tahap ini dilakukan dua tahap. Tahap pertama, penelitian dilakukan dengan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial dengan 2 faktor (3x3) dan 2 ulangan (Steel & Torrie 1993)untuk mengkaji kandungan nutrisi dan Cr organik. Faktor A level kapang A. niger adalah (1) 5.0% BK bahan, (2) 7.5% BK bahan, (3) 10% BK bahan dan faktor B adalah level mineral CrCl3 yang ditambahkan ke dalam substrat, yaitu; (1) 2 mg/kg substrat , (2) 4 mg/kg substrat, (3) 6 mg/kg substrat, dengan penambahan triptopan 600 ppm substrat untuk setiap perlakuan. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah kandungan protein, serat kasar dan kandungan Cr-organik terbaik, ADF dan NDF, selulosa, hemiselulosa dan lignin.
Penelitian tahap ke dua dilakukan secara in-vitro untuk menilai kecernaan hasil fermentasi serat sawit dalam rumen dengan peubah yang diamati meliputi VFA total, NH3, KCBK dan KCBO. Target penelitian ini adalah menghasilkan serat sawit terfermentasi dengan kandungan nutrien dan Cr-organik terbaik serta kecernaan tertinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinding sel SS setelah difermentasi dengan Aspergillus niger pensintesa Cr organik diamati dengan SEM, tilosis yang ada pada dinding sel menjadi hilang dan licin, Kandungan protein dan serat kasar berbeda tidak nyata (P>0.05) dengan meningkatnya persentase Aspergillus niger dan leveli Cr. Inkorporasi Aspergillus niger-Cr –NaOH. Inkorporasi Aspergillus niger-Cr meningkat dengan meningkatnya persentase Aspergillus niger dan level Cr (P<0.01) dalam
Penelitian tahap III, percobaan In-vivo pada domba. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formula ransum komplit berbahan serat sawit terfermentasi yang mampu mendukung pertumbuhan domba secara optimal. Serat sawit terfermentasi hasil terbaik tahap II dipakai untuk menyusun 4 macam ransum komplit dengan TDN 65% dan Protein 14%. Level pemanfaatan serat sawit terfermentasi dalam ransum yaitu: A = 0% SSF + 60% rumput lapangan + 40% konsentrat, B = 15% SSF + 45% rumput lapangan + 40% konsentrat, C = 30% SSF + 30% rumput lapangan + 40% konsentrat dan D = 45% SSF + 15% rumput lapangan + 40% konsentrat. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah: kandungan nutrisi meliputi bahan kering, protein kasar , konsumsi, pertambahan bobot badan , konversi pakan dan kecernaan juga diukur sebagai tolok ukur kualitas ransum. Untuk produksi daging peubah yang diukur adalah produk karkas dan komposisi kimia daging. Sifat fisik daging yang diukur warna daging, pH daging, daya mengikat air daging, persentase lemak intramuskuler, dan komposisi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh serta kandungan kromium daging domba. Ransum dicobakan pada 20 ekor domba sebagai hewan model untuk menjelaskan pola pertumbuhan.
substrat SS-NaOH. Kandungan NDF, ADF, selulosa, hemiselulosa, lignin, VFA dan NH3 berbeda tidak nyata (P>0.05), kecernaan bahan kering dan bahan organik meningkat (P<0.01). 10 % Aspergillus niger dan 6 mg/kg Cr dapat meningkatkan inkorporasi Cr dalam SS dan kecernaan bahan kering dan bahan organik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi BK, PK, SK, lemak dan BETN selama penelitian menurun dibandingkan kontrol. Kecernaan BK, SK, lemak dan BETN berbeda tidak nyata (P>0.05), tetapi kecernaan PK (P<0.01) menurun pada 30% SSF. Pertamba han bobot badan dan retensi nitrogen menurun dengan meningkatnya SSF. Kandungan lemak dan kolesterol daging menurun dengan meningkatnya SSF, tetapi terjadi peningkatan Cr organik dalam daging dan hati.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Level NaOH dan lama pemeraman yang terbaik dalam meningkatkan kandungan nutrisi serat sawit adalah 2.5% NaOH dengan lama pemeraman 24 jam. 2) A. niger dapat mensintesis Cr-organik menggunakan CrCl3 dan triptopan sebagai prekursornya, 3) Fermentasi serat sawit dengan A. niger dapat meningkatkan kandungan nutrien melalui peningkatan kadar protein dan penurunan kadar serat kasarnya, 4) Perlakuan pemberian 10% inokulum A. niger dan 6 mg CrCl3/kg serat sawit menghasilkan kecernaan bahan kering dan bahan organik yang paling tinggi. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian inokulum A. niger 10% dan level kromium 6 mg/kg memberikan hasil yang terbaik. 5) Setelah dilakukan penelitian ternyata serat sawit fermentasi dapat digunakan sebagai pengganti 45% rumput lapangan tanpa menurunkan kualitas daging pada ternak domba. Pemanfaatan SSF-Cr dalam ransum domba mengurangi kandungan lemak dan kolesterol daging
.
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk laporan tanpa izin IPB
BIOKONVERSI SERAT SAWIT DENGAN Aspergillus niger PENSINTESA Cr-ORGANIK
SEBAGAI KOMPONEN RANSUM KOMPLIT DOMBA
YULIATY SHAFAN NUR
Disertas i sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Prog ram Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Penguji pada Ujian Tertutup :
1. Prof. Dr. Ir. H. Toto Toharmat,M.Agr.Sc
2. Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr
Penguji pada ujian Terbuka :
1. Dr. Ir. Moh Yamin. M.Agr.Sc
2. Prof. Dr. Ir. Budi Haryanto. M.Sc
Judul Disertasi : Biokonversi Serat Sawit dengan Aspergillus niger Pensintesa Cr-Organik sebagai Komponen Ransum Komplit Domba
Nama : Yuliaty Shafan Nur N I M : 995054 Program Studi : Ilmu Ternak (PTK)
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Komang Gede Wiryawan Prof. Dr. Lily Amalia Sofyan,M.Sc (Alm) Ketua Anggota Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS. Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Departemen INTP Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian: 24 Januari 2012 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah. Puji syukur dipe rsembahkan kehadirat Allah S.W.T, Tuhan
Yang Maha Esa, pemilik segala ilmu, pemberi rahmat dan petunjuk, yang telah
melimpahkan hidayah Nya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Oktober 2004 dengan judul “Biokonversi Serat Sawit
dengan Aspergillus niger Pensintesa Cr-Organik sebagai Komponen Ransum
Komplit Domba”.
Sebagian dari hasil penelitian ini sudah dipresentasikan dengan judul
“Influence of Aspergillus niger and Chromium Combination Level in Palm Fiber
Fermentation”. The 9th International Seminar on The Role of Chemistry in Industry
and Environment. Departement of Chemistry, Andalas University in Cooperation
with Indonesian Chemical Society Branch West Sumatera. November 2007. Effects
of Chromium Organic Supplementation of Aspergillus niger on Rumen Fermentation
Activity In Vitro. Y. S. Nur, K. G. Wiryawan , R. Syarief , Nahrowi , akan
diterbitkan di Journal Animal Production Scientific Journal of Farm Animals and
Feed Resources in The Tropic Volume 14 Tahun 2012. Bagian lain dengan judul
Pengaruh konsentrasi NaOH terhadap nutrisi serat sawit diterbitkan pada Jurnal
Peternakan Indonesia Volume 14 Nomor 1 (Februari 2012) dengan ISSN 1907-1760.
Ucapan terimakasih yang tidak terhingga kepada Bapak Prof. Dr. Ir.
Komang Gede Wiryawan, sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Ibu Prof. Dr. Lily
Amalia Sofyan, M.Sc (Alm), Bapak Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS, dan Bapak
Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc, sebagai anggota Komisi Pembimbing, atas bimbingan,
dorongan semangat dan moril penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.
Ucapan terimakasih disampaikan pula kepada Rektor Institut Pertanian Bogor
yang telah menerima penulis melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB,
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan seluruh staf pengajar yang telah membekali
dan memperkaya ilmu selama mengikuti pendidikan, Ketua program studi Ilmu
Ternak (PTK) Sekolah Pascasarjana IPB yang telah mengarahkan dan memfasilitasi
penulis selama mengikuti pendidikan, Rekan-rekan mahasiswa, khususnya Program
Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan bantuan dan
dorongan semangat dalam menyelesaikan studi.
Doa yang tulus dan ucapan terimakasih penulis sampaikan, khusus untuk
Papa Umar Salim (Almarhum), dan Mama Asnah Nur (Almarhumah), serta suami
tercinta Dr. Ir. Arfa`i, MS, ananda Boby Arya Putra, Bayu Inra Setiawan, Feby Eka
Putra dan Dzaky Dhiyaul Amru atas segala kesabaran, dorongan, pengertian dan
bantuan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan. Kepada Keluarga
Besar Ayah Rauf Kari Mudo, Prof Dr Kamardi Thalut, SpBdh, Sahabatku Dr Rima
Semiarti Kamardi,MS, Ibunda Ir. H Jurnida Rahman, MS, Kakanda Ir. Harnentis,
MS, Kakanda Arfah dan Drs Aldjufri Tandjung, dan Moncu Izharudd in seke luarga
saya ucapka n terimakasih yang telah membantu baik materil maupun moril selama
saya melaksanakan tugas belajar S3 saya di IPB Bogor.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini tidak luput dari kekurangan karena
kesempurnaan hanyalah milik Allah semata. Semoga disertasi ini dapat memberikan
sumbangan pemikiran, bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
masyarakat.
Bogor, Januari 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan ketika perbarisan cahaya mentari di ufuk timur mulai
menapak di kota Sinabang Kabupaten Aceh Barat pada hari Minggu 22 Juli 1962
anak tunggal dari Papa Umar Salim (Almarhum) dan Mama Asnah Nur
(Almarhumah).
Pendidikan sarjana penulis, dimulai tahun 1981 pada program studi Ilmu
Nutrisi dan Makanan Ternak, Jurusan Teknologi Industri Pakan Fakultas Peternakan
Universitas Andalas Padang, lulus tahun 1986.
Pada 8-27 Agustus 1988 penulis mengikuti pelatihan singkat Pengenalan
Proses Hulu dan Hilir dalam Bioteknologi Pangan, PAU Pangan dan Gizi-IPB. Pada
7-26 Agustus 1989 penulis mengikuti pelatihan singkat Operasi Unit Thermal dalam
Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan dan Gizi-IPB. Penulis 7-26 Januari 1989
mengikuti pelatihan singkat Aplikasi “Good Laboratory Practices” dalam Analisis
Mutu Pangan yang diselenggarakan oleh PAU Pangan dan Gizi-IPB. Selanjutnya
pada September sampai dengan Desember 1989 mengikuti workshop in Comparative
Nutrition, IPB-AUSTRALIA PROJECT, kemudian dilanjutkan 11 Desember 1989
sampai dengan 7 Januari 1990 penulis mengikuti kursus singkat Teknologi Mikoriza
di PAU Bioteknologi IPB. Januari s/d Mei 1990 penulis mengikuti Nutrisi Vitamin
dan Hormon CEA PAU Ilmu Hayat IPB. Pada 29 Juli-15 Agustus 1991 penulis
mengikuti lagi kegiatan pelatihan singkat Pengendalian Mutu Dalam Industri Pangan
diselenggarakan oleh PAU Pangan dan Gizi-IPB. Pelatihan singkat Pengukuran dan
Pengendalian Proses dalam Industri Pangan penulis ikuti pada tanggal 6-25 Januari
1992 yang diselenggarakan oleh PAU Pangan dan Gizi-IPB
Pada tahun 1990 penulis melanjutkan studi program magister pada program
studi Ilmu Ternak, Program Pascasarjana IPB, lulus tahun 1993. Kemudian tahun
1999 diberi kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi
Ilmu Ternak, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
Penulis diterima bekerja sejak tahun 1987 sampai sekarang sebagai staf
pengajar pada program studi Nutrisi dan Makanan Ternak, Jurusan Teknologi
Industri Pakan Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................. i DAFTAR TABEL ......................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. v
I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 Perumusan Masalah ................................................................................. 4 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 7 Potensi Serat Sawit untuk Pakan Ruminansia ......................................... 7 Peningkatan Kualitas Serat Sawit dengan NaOH .................................... 9 Fermentasi .............................................................................................. 13 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fermentasi ....................................... 14 Perubahan Zat-zat Makanan selama Fermentasi ..................................... 17 Fermentasi dengan Aspergillus niger ...................................................... 18 Peranan Kromium dalam Sistem Transport dan Metabolisme Nutrien .... 20 Kebutuhan Kromium dan Bentuk Suplemen dalam Pakan ...................... 24 Pengaruh Suplementasi Kromium terhadap Produksi Ternak ................. 25 Pencernaan Mikroba pada Ruminansia ................................................... 29 Kebutuhan Nutrisi pada Domba ................................................................ Komposisi Kimia dan Kualitas Daging ..................................................... Kualitas Fisik Daging ..............................................................................
31 33 36
III. PENGARUH KONSENTRASI NaOH DAN LAMA PEMERAMAN TERHADAP KANDUNGAN GIZI SERAT SAWIT
43
Abstrak .................................................................................... Pendahuluan .............................................................................
43 43
Materi dan Metode ............................................................................ 44 Hasil dan Pembahasan ...................................................................... 46 Simpulan ........................................................................................... Daftar Pustaka ……………………………………………………...
57 57
IV. FERMENTASI SERAT SAWIT-NaOH DENGAN Aspergillus niger PENSINTESA KROMIUM ORGANIK UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PAKAN
61
Abstrak ...................................................................................... Pendahuluan ..............................................................................
61 61
Materi dan Metode ............................................................................ 63 Hasil dan Pembahasan ...................................................................... 66 Simpulan ........................................................................................... Daftar Pustaka ....................................................................................
78 78
V. PEMANFAATAN SERAT SAWIT-Cr ORGANIK FERMENTASI SEBAGAI PENGGANTI RUMPUT LAPANGAN TERHADAP
PERFORMA DAN KUALITAS DAGING
81
Abstrak .................................................................................. Pendahuluan ...........................................................................
81 81
Materi dan Metode ......................................................................... 83 Hasil dan Pembahasan ................................................................... 90 Simpulan ........................................................................................ 109 Daftar Pustaka ................................................................................ 109
VI. PEMBAHASAN UMUM
119
VII. KESIMPULAN UMUM DAN SARAN ............................................ 129
5.1 Kesimpulan .................................................................................... 129 5.2. Saran ............................................................................................ 129
VIII. DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 131
LAMPIRAN ...................................................................................... 145
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman 1.
Komposisi nutrien produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit .....................................................................
8
2. Kandungan senyawa kimia penyusun serat pada beberapa bahan pakan asal perkebunan kelapa sawit ..............................
9
3. Pretreatment biomassa lignoselulosa ......................................... 11
4. Pengaruh penambahan kromium dalam ransum domba ............ 26 5. Standar kebutuhan nutrisi per ekor per hari untuk domba di
Indonesia ....................................................................................
32 6. Pengaruh konsentrasi NaOH dan lama pemeraman terhadap
kandungan bahan kering dan protein kasar (% BK) .................
43
7. Pengaruh konsentrasi NaOH dan lama pemeraman terhadap kandungan NDF dan ADF (% BK) ............................................
45
8. Pengaruh konsentrasi NaOH dan lama pemeraman terhadap kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin (% BK) ...……..
47
9. Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan protein kasar dan serat kasar SSF-Cr (% BK) ........
68
10. Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan sintesis Cr-organik pada sel Aspergillus niger (mg/kg) .....................................................................................
69
11. Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan NDF dan ADF SSF-Cr (% BK) ...............................
70
12. Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan hemiselulosa dan selulosa SSF-Cr (% BK) ...........
72
13. Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan VFA dan NH3 SSF-Cr (mM) ...................................
74
14.
15. 16. 17.
18. 19.
Pengaruh persentase Aspergillus niger dan level kromium yang berbeda terhadap kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik SSF in- vitro ....................................................... Formula ransum penelitian ........................................................ Komposisi kimia pakan domba penelitian .................................
Pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi pakan ............. Pengaruh ransum perlakuan terhadap kecernaan zat makanan
Pengaruh ransum perlakuan terhadap pertambahan bobot badan domba .............................................................................
77 84 84
91 95
99
20. 21.
22.
Pengaruh ransum perlakuan terhadap kimia daging domba ...... Pengaruh ransum perlakuan terhadap analisis fisik daging domba ........................................................................................ Analisis ekonomis masing-masing perlakuan ...........................
103
105
108
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
1. Skema pretreatment biomassa ligno selulosa ................................. 10
2. Mekanisme hidrolisis selulosa ………..…..................................... 16 3. Struktur faktor toleransi glukosa ................................................... 21 4. Mekanisme kerja GTF dalam meningkatkan potensi aktivitas Insulin ............................................................................................. 23 5. Metabolisme Triptopan menjadi Niasin ......................................... 25 6. Potongan-potongan karkas komersial ..…....................................... 36 7. Diagram alur pembuatan serat sawit-NaOH .................................. 40 8. Scanning Electron Microscope ...................................................... 46 9. Penampang dinding sel serat sawit dengan SEM ..........….…....... 47 10. Skema reaksi katalis alkali dari selulosa dengan alkil halida …..... 51 11. SEM permukaan serat sawit-NaOH (A) dan serat sawit fermentasi perbesaran 1000x (B) ..................................................................... 67
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Teks Halaman
1. Analisis ragam bahan kering SS-NaOH (%) ................................. 147
2. Analisis ragam protein kasar SS-NaOH (%) ................................. 147
3. Analisis ragam k andungan neutral detergent fiber (NDF) SS-NaOH (%) …………………………………………………… 148
4. Analisis ragam kandungan acid detergent fiber (ADF) SS-NaOH (%) …………………………………………………… 148
5. Analisis ragam kandungan selulosa SS-NaOH (%) ...................... 149 6. Analisis ragam kandungan hemi-selulosa SS-NaOH (%) ............ 149 7. Analisis ragam kandungan lignin SS-NaOH (%) .......................... 150 8. Analisis ragam kandungan serat kasar SS-NaOH (%) .................. 150 9. Analisis ragam kandungan sintesis Cr-organik pada sel
Aspergillus niger ........................................................................... 151 10. Analisis ragam kandungan SSF-Cr (% BK) ................................ 151 11. Analisis ragam kandungan NDF SSF-CR (% BK) ....................... 151 12. Analisis ragam ADF SSF-Cr (% BK) .......................................... 152 13. Analisis ragam kandungan hemi-selulosa SSF-Cr (% BK) .......... 152 14. Analisis ragam kandungan selulosa SSF-Cr (% BK) ………….... 152 15. Analisis ragam kandungan VFA SSF-Cr (mM) ............................ 153
16. Analisis ragam kandungan NH3 SSF-Cr (mM) ............................. 153
17. Analisis ragam kecernaan bahan kering SSF-Cr (%) .................... 154
18. Analisis ragam kecernaan bahan organik SSF-Cr (%) .................. 154
19. Analisis ragam dan uji lanjut konsumsi bahan kering ransum
(g/ekor/hr) ..................................................................................... 155
20. Analisis ragam dan uji lanjut konsumsi protein kasar ransum (g/ekor/hr) .................................................................................... 155
21. Analisis ragam dan uji lanjut konsumsi serat kasar ransum (g/ekor/hr) ..................................................................................... 156 22. Analisis ragam dan uji lanjut konsumsi lemak ransum (g/ekor/hr) 157
23. Analisis ragam dan uji lanjut konsumsi BETN ransum (g/ekor /hr) 157
24. Analisis ragam daya cerna bahan kering ransum (% BK) ............ 158
25. Analisis ragam dan uji lanjut daya cerna protein kasar ransum
(% BK) .......................................................................................... 158
26. Analisis ragam daya cerna serat kasar ransum (% BK) ................ 159
27. Analisis ragam daya cerna lemak kasar ransum (% BK) .............. 159
28. Analisis ragam daya cerna BETN ransum (% BK) ....................... 159
29. Analisis ragam pertambahan bobot badan (g/ekor/hr) .................. 160
30. Analisis ragam dan uji lanjut retensi N (g/ekor/hr) ...................... 160
31. Analisis ragam perlakuan terhadap pH daging ............................. 160
32. Analisis ragam perlakuan terhadap keempukan daging (kg/cm2
). 161
33. Analisis ragam perlakuan terhadap warna daging ........................ 161
34. Analisis ragam perlakuan terhadap susut masak daging (%) ....... 161
35. Analisis ragam perlakuan terhadap DMA (% mg H2O) ............... 161
36. Analisis ragam perlakuan terhadap kadar air daging (%) ............ 161
37. Analisis ragam perlakuan terhadap kadar protein daging (%) ...... 162
38. Analisis ragam perlakuan terhadap kadar lemak daging (%) ....... 162
39. Analisis ragam perlakuan terhadap kadar kolesterol daging (%) .. 162
40. Analisis ragam perlakuan terhadap kadar kromium daging (%) .. 162
41. Analisis ragam perlakuan terhadap kadar kromium hati (%) ....... 162
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya permintaan akan kebutuhan protein hewani,
memicu peternak untuk meningkatkan produktivitas ternaknya. Usaha
peningkatan produk peternakan menuntut adanya pakan yang murah, berkualitas
dan tersedia dalam jumlah yang banyak dan tidak bersaing dengan kebutuhan
manusia. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia.
Pada tahun 2010 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai 7 juta
Ha dengan produksi minyak sawit (crude palm oil) lebih da ri 19 juta ton (Ditjen
Perkebunan 2010). Meningkatnya luas perkebunan kelapa sawit tiap tahunnya
12,6 % (Liwang 2003), akan meningkatkan hasil samping pengolahan kelapa
sawit yang dihasilkan dan berpotensi mengganggu lingkungan. Salah satu hasil
samping pengolahan kelapa sawit adalah serat sawit (palm press fibre). Setiap Ha
luasan kebun kelapa sawit dihasilkan berupa serat sawit sebanyak 2.681 kg bahan
kering per tahun (Diwyanto & Handiwirawan 2004), dengan produksi 90 %,
jumlah serat sawit yang dihasilkan adalah sebesar 16,888 metrik ton BK/th,
diperkirakan dapat menampung ± 236.910 ekor domba/th. Hal ini merupakan
potensi yang besar untuk dijadikan pakan ternak, terutama ternak ruminansia.
Serat sawit masih sangat terbatas penggunaannya sebagai pakan ternak
karena tingginya kadar serat kasar terutama selulosa yang merupakan komponen
utama penyusun dinding sel (Kogel-Knabner 2002). Selulosa hampir tidak
pernah ditemui dalam keadaan murni di alam, melainkan berikatan dengan bahan
lain, yaitu lignin dan hemiselulosa (Lynd et al. 2002) membentuk kompleks
lignoselulosa (Kogel-Knabner 2002). Kandungan selulosa pada dinding sel
tanaman 35% sampai 45% (Perez et al. 2002, Lynd et al. 2002) dari berat kering
tanaman serta rendahnya kandungan protein kasar (6.90%) (Rahman et al. 2007)
yang merupakan faktor pembatas penggunaannya sebagai pakan ternak.
Pemanfaatan serat sawit sebagai pakan ternak menghadapi kendala pada nilai
nutrisinya yang rendah, sehingga perlu pengolahan. Untuk mengoptimalkan
penggunaan serat sawit sebagai pakan ternak dapat dilakukan perlakuan fisik
(dipotong, digiling), alkali dengan NaOH atau biologis seperti difermentasi.
2
Pengolahan serat sawit sebelum diberikan kepada ternak dengan penggunaan
alka li seperti NaOH, Ca(OH)2 atau urea. Pengolahan ini pada prinsipnya
ditujukan untuk memutuskan ikatan ligno-selulosa dan ligno-hemiselulosa yang
secara tidak langsung membantu meningkatkan nutrisi serat sawit, meningkatkan
daya cerna bahan, daya guna limbah serta memperpanjang waktu penyimpanan.
Menurut Subkaree et al. (2007), NaOH lebih efisien untuk mendegradasi
komposisi serat sawit dibandingkan Ca(OH)2
Penelitian terdahulu be lum ada memanfaatkan serat sawit sebagai substrat A.
niger pensintesa kromium organik . A. niger merupakan salah satu jenis
Aspergillus, dapat tumbuh dengan cepat, oleh karena itu banyak digunakan secara
komersial dalam produksi asam sitrat (Narayana et al 2006; Demirel et al. 2004;
Adham 2001), asam glukonat, dan pembuatan beberapa enzim seperti amilase,
pektinase, amiloglukosidase dan selulase (Immanuel et al. 2006, Ikram et al.
2005, Omojasola et al. 2008, Narasimha et al. 2006).
, selanjutnya dinyatakan bahwa
kondisi optimum pra perlakuan adalah 10% (w/v) NaOH dan waktu pendidihan
15 menit dapat meningkatkan kandungan selulosa menjadi 54.13 ± 0.87% (w/w).
Fenomena ini meningkatkan kegunaan selulosa untuk dipecah oleh enzim selulase
yang dihasilkan A. niger guna meningkatkan kandungan nutrien dan
kecernaannya.
Fermentasi yang dilakukan menggunakan A. niger dapat meningkatkan
kecernaan dan kandungan protein kasar serat sawit. Hasil penelitian yang telah
dilakukan menggunakan berbagai level inokulum A. niger dan lama fermentasi
serat sawit dengan NaOH terhadap kecernaan Bahan Kering (KCBK) dan
Kecernaan Bahan Organik (KCBO) meningkat, dengan meningkatnya level
inokulum dan lama fermentasi (Jamarun et al. 2000). Selama ini fungi
Aspergillus oryzae , Rhizopus olygosporus, yeast Saccharomyces cereviseae
sudah diteliti dengan menginkorporasikan dengan Cr (Astuti 2006, Jayanegara
2005). Berbagai bahan dari limbah kelapa sawit telah banyak diteliti untuk
dijadikan pakan ternak antara lain tandan kosong kelapa sawit dan lumpur sawit
dengan Ganoderma lucidum (Agustin 2010) diberikan pada domba dan sapi
perah, sedangkan Sinurat (2003) meneliti lumpur sawit untuk pakan unggas dan
Bintang et al (2003) pada pemberian ransum yang mengandung lumpur sawit
3
fermentasi dengan A. niger. Serat sawit dengan A. niger tanpa supp lemen Cr
diteliti oleh Jamarun et al (2000), Namun demikian penggunaan serat sawit
dengan A. niger sebagai prekusor Cr organik sampai saat ini belum pernah
diteliti.
Kromium adalah suatu mikronutrien esensial yang dibutuhkan untuk
metabolisme glukosa, protein dan metabolisme lemak yang normal (NRC 1997)
dan memegang peranan penting dalam tubuh karena Cr berperan sebagai kofaktor
melalui peningkatan respon reseptor insulin terhadap hormon vital insulin (Mertz
1993; Vincent & Davis 1997; Vincent 2000; Pechova & Pavlata 2007). Kromium
secara biologis aktif sebagai komponen dari glucose tolerance factor (GTF) yang
meningkatkan penggunaan glukosa dan insulin (NRC 1997), selain itu penting di
dalam metabolisme karbohidrat, juga dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan
protein (Davis & Vincent 1997), asam nukleat dan mencegah stress. Hal ini
dibuktikan dari hasil suplementasi Cr pada ransum babi yang sedang tumbuh
yaitu: Cr pikolinat 200 ppb meningkatkan pertambahan bobot badan 0,87 kg/hr
lebih tinggi dibandingkan kontrol 0,81 kg/hr (Page 1993). Salah satu gejala
defisiensi Cr dapat menyebabkan hiper-kolesteolemia, arterosklerosis, dan
rendahnya inkorperasi asam amino pada protein hati. Burton (1995), mengatakan
Cr berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan konversi tiroksin (T4) menjadi
triodotironin (T3). Mengingat semua fungsi tubuh tergantung pada karbohidrat,
lemak, protein, asam nukleat dan hormon insulin maka kecukupan Cr dalam
pakan sangat diperlukan yaitu dalam bentuk Cr organik. Kromium organik dapat
dihasilkan melalui proses fermentasi pakan serat dengan memanfaatkan yeast
(Zetic et al. 2001) yang diketahui mempunyai kemampuan untuk menginkorporasi
Cr ke dalam sel fungi tersebut dan mengubahnya ke dalam bentuk Cr organik di
dalam miselium.
Kromium organik dari fungi A. niger ada lah berupa suplemen yang
dirancang untuk meningkatkan efisiensi metabolisme nutrient dan kinerja
produksi. Untuk melihat manfaat penggunaan suplemen Cr organik pada ternak
ruminansia, dilakukan percobaan pada ternak domba lokal, karena domba ini daya
adaptasinya lebih tinggi dengan kondisi setempat dan dapat dikembangkan
sebagai sumber daging. Dengan adanya suplemen Cr organik hasil fermentasi
4
serat sawit dengan A. niger didalam ransum, diharapkan dapat memperbaiki
transpor glukosa atau meningkatkan aktifitas reseptor insulin, sehingga dapat
meningkatkan efisiensi metabolisme nutrient yang pada akhirnya dapat
meningkatkan produksi ternak. Pada manusia menurut Balk et al (2007) bahwa
suplementasi kromium tidak memberikan efek signifikan terhadap metabolisme
karbohidrat dan lipid pada bukan penderita diabetes, tetapi memperbaiki glikemia
penderita diabetes secara signifikan. Diharapkan dari penelitian ini, daging yang
dihasilkan selain untuk memenuhi swasembada daging 2014 dan juga sangat ba ik
dikonsumsi untuk penderita diabetes.
Biokonversi menggunakan kapang pensintesa kromium organik (Cr-fungi)
sangat tepat diterapkan untuk pengolahan serat sawit, karena selain akan
meningkat-kan nilai nutrisi, juga memperkaya kandungan mineral Cr yang
dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan,meningkatkan kekebalan tubuh dan
kualitas daging.
Perumusan Masalah
Sebagian besar, produk samping tanaman dan olahan kelapa sawit
mengandung serat kasar yang cukup tinggi. Keadaan yang demikian
mengindikasikan bahwa apabila produk samping diberikan kepada ternak
ruminansia dapat dipastikan akan menyebabkan ternak mengalami kekurangan
nutrien, baik untuk kebutuhan hidup pokok maupun produksi. Menyadari kondisi
tersebut, para peneliti berupaya untuk dapat meningkatkan nilai nutrien produk
samping tersebut dengan berbagai cara, yaitu cara kimia, fisika atau biologi.
Kualitas suatu bahan pakan ditentukan oleh interaks i antara konsentrasi
unsur gizi, tingkat kecernaan dan tingkat konsumsi. Kandungan unsur gizi
merupakan indikator awal yang menunjukkan potensi suatu bahan pakan. Tingkat
kecernaan akan menentukan seberapa besar unsur gizi yang terkandung dalam
bahan pakan secara potensial dapat dimanfaatkan untuk produksi ternak.
Kandungan lignin dan silika secara bersama yang relatif tinggi (18-40% dari total
dinding sel) merupakan indikator bahwa tingkat kecernaan bahan pakan
merupakan salah satu kendala penting dan membutuhkan teknik untuk
mengatasinya. Data ini memberi indikasi bahwa masalah utama pemanfaatan hasil
5
samping perkebunan kelapa sawit adalah bagaimana meningkatkan kecernaan.
Peningkatan kecernaan selanjutnya diharapkan dapat memberi pengaruh positif
bagi peningkatan konsumsi.
Kromium organik dapat dihasilkan dengan cara fermentasi pakan yang
disuplementasi dengan mineral anorganik menggunakan fungi. Konversi kromium
menjadi bentuk organik dapat meningkatkan ketersediaannya. Hal yang perlu
dilakukan terlebih dahulu dalam upaya konversi ini adalah mengkaji kemampuan
fungi dalam menginkorporasi mineral anorganik ke dalam protein tubuhnya.
Aspergillus niger adalah salah satu fungi yang dapat memanfaatkan
substrat untuk pertumbuhannya dan dapat dijadikan pensintesa kromium
anorganik menjadi kromium organik. Substrat yang digunakan dalam proses
biokonversi ini adalah serat sawit yang ketersediaannya berlimpah. Kemampuan
A. niger menginkorporasi kromium ke dalam komponen selnya perlu dikaji,
bagaimana peranan kromium organik bagi domba lokal perlu pengkajian yang
lebih mendalam terutama pengaruhnya da lam kualitas daging, baik dikonsumsi
untuk penderita diabetes dan menjadikan masyarakat sehat.
Tujuan Penelitian
Tujuan da ri penelitian ini untuk:
1. Menganalisis konsentrasi NaOH dan lama pemeraman serat sawit terbaik
untuk mendapatkan kandungan gizi tertinggi serat sawit.
2. Menganalisis kualitas nutrisi serat sawit -NaOH yang difermentasi
dengan A. niger sebagai pensintesa kromium organik. 3. Mengkaji kualitas serat sawit sebagai komponen ransum komplit
terhadap produksi ternak domba. 4. Menghasilkan daging berkromium yang sehat bagi manusia
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Serat Sawit untuk Pakan Ruminansia
Serat sawit yang diperoleh dari industri minyak sawit di Indonesia akan
terus meningkat sejalan dengan meningkatnya luas area penanaman kelapa sawit.
Di Indonesia saat ini penanaman kelapa sawit (Elais gueneensis JACK) sedang
dikembangkan dengan peningkatan luasan yang pesat dari 120.000 hektar tahun
1969 menjadi 7 juta Ha pada tahun 2010 dengan produksi minyak sawit (crude
palm oil) lebih dari 19 juta ton (Ditjen Perkebunan 2010), dengan meningkatnya
luas per-kebunan kelapa sawit tiap tahunnya 12,6 % (Liwang 2003), akan
meningkatkan limbah pengolahan kelapa sawit yang dihasilkan dan berpotensi
mengganggu lingkungan. Salah satu limbah pengolahan kelapa sawit adalah serat
sawit (palm press fibre). Setiap Ha luasan kebun kelapa sawit dihasilkan limbah
berupa serat sawit sebanyak 2.681 kg bahan kering per tahun (Diwyanto et al
2004), dengan luas perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia yakni 7 juta
Ha (90 % nya berproduksi), jumlah serat sawit yang dihasilkan adalah sebesar
16,888 metrik ton BK/th. Hal ini merupakan potensi yang besar untuk dijadikan
pakan ternak, terutama ternak ruminansia. Terbatasnya penggunaan serat sawit
dalam ransum karena tingginya kandungan sellulosa (38.69 %) dan lignin
(20.99%) yang mengakibatkan rendahnya daya cerna serat kasar. Untuk mengatasi
ini diperlukan suatu teknologi, salah satu diantaranya memberikan perlakuan
secara kimia (NaOH) dan biologis yakni melakukan fermentasi menggunakan
kapang Aspergillus niger.
Menurut hasil penelitian Purwaningrum (2003) bahwa pemanfaatan SS
yang mendapatkan pengolahan dengan Trichoderma harzianum diperoleh SS dan
LSKS (limbah serat kelapa sawit) dengan rasio 1:2, dan digunakan sebagai
pengganti hijauan konvensional dengan taraf 50% dan lebih dari itu akan
menurunkan kecernaan dan keracunan amonia. Jamarun et al (2000)
mendapatkan hasil penelitian bahwa serat sawit yang telah direndam dengan
NaOH 2,5% dengan lama perendaman 24 jam telah mampu memberikan hasil
yang terba ik dalam menurunkan kandungan NDF, ADF, selulosa, lignin dan silika
serat sawit tanpa mempengaruhi nilai protein kasar. Mutu suatu bahan pakan
8
ditentukan oleh interaksi antara konsentrasi unsur gizi, tingkat kecernaan dan
tingkat konsumsi. Kandungan unsur gizi merupakan indikator awal yang
menunjukkan potensi suatu bahan pakan. Kandungan gizi beberapa produk
hasil samping perkebunan kelapa sawit disajikan pada Tabel 1.
Tabe l 1 Komposisi nutrien produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit
Bahan/produk samping
BK (%)
Abu PK SK L BETN Ca P GE (kal/g) …% BK …
Daun tanpa lidi (5) Pelepah (4) Solid (4) Bungkil (2) Serat perasan (5) Tandan kosong (3)
46,18 26,07 24,08 91,83 93,11 92,10
13,40 5,10 14,40 4,14 5,90 7,89
14,12 3,07 14,58 16,33 6,20 3,70
21,52 50,94 35,88 36,68 48,10 47,93
4,37 1,07 14,78 6,49 3,22 4,70
46,59 39,82 16,36 28,19
-- --
0,84 0,96 1,08 0,56
-- --
0,17 0,08 0,25 0,84
-- --
4461 4841 4082 5178 4684
-- ( ) jumlah contoh Sumber : Mathius et al. (2004)
Tingkat kecernaan akan menentukan seberapa besar unsur gizi yang
terkandung dalam bahan pakan secara potensial dapat dimanfaatkan untuk
produksi ternak. Bahan pakan dengan kandungan serat tinggi seperti pelepah,
daun, serat perasan buah dan batang sawit merupakan sumber utama energi
untuk produksi. Bahan tersebut tetap akan menjadi sumber utama energi bagi
ternak, karena berperan sebagai pakan dasar (pokok) sehingga dikonsumsi dalam
jumlah yang relatif lebih besar.
Unsur kimiawi yang terkandung dalam serat atau dinding sel yang secara
efektif menentukan potensi energi dari suatu bahan pakan adalah konsentrasi dan
keterikatan selulosa, hemiselulosa, lignin, kutin dan silika (Tabel 2). Dari unsur
penyusun dinding sel atau serat tersebut pada dasarnya yang berpotensi sebagai
sumber energi bagi ternak adalah selulosa dan hemiselulosa melalui proses
fermentasi di dalam sistem pencernaan ternak.
Kandungan selulosa dan hemiselulosa dalam keseluruhan serat merupakan
yang terbesar (60-83%) atau setara dengan 44-69% dari bahan kering. Lignin,
selain tidak dapat dimanfaatkan oleh ternak, juga merupakan indeks negatif bagi
mutu bahan pakan, karena ikatannya dengan selulosa dan hemiselulosa
mempersulit pemanfaatan selulosa dan hemiselulosa sebagai sumber energi bagi
9
Tabe l 2 Kandungan senyawa kimia penyusun serat pada beberapa bahan pakan asal perkebunan kelapa sawit
Komponen serat Fraksi kelapa sawit Daun Pelepah Serat perasan buah Batang
Selulosa (%) Hemiselulosa (%) Lignin (%) Silika (%) Total
16,6 27,6 27,6
3,8 75,6
31,7 33,9 17,4
0,6 83,6
18,3 44,9 21,3
tt 84,5
34 35,8 12,6
1,4 83,8
Sumber : Bejo (1995)
ternak (Fengel & Wegener 1995).
Oleh karena itu ketersediaan selulosa sebagai sumber energi bervariasi dan
amat ditentukan oleh intensitas ikatannya dengan senyawa lignin. Silika yang
merupakan elemen struktural dan bersama lignin secara komplementer
memperkuat rigiditas serat/ dinding sel (Fengel & Wegener 1995) juga
menghambat pemanfaatan selulosa dan hemiselulosa sebagai sumber energi.
Kandungan lignin dan silika secara bersama yang relatif tinggi (18-40% dari total
dinding sel) merupakan indikator bahwa tingkat kecernaan bahan pakan
merupakan salah satu kendala penting dan membutuhkan teknik untuk
mengatasinya. Data ini memberi indikasi bahwa masalah utama pemanfaatan
hasil samping perkebunan kelapa sawit adalah bagaimana meningkatkan
kecernaan. Peningkatan kecernaan selanjutnya diharapkan dapat memberi
pengaruh positif bagi peningkatan konsumsi.
Peningkatan Kualitas Serat Sawit dengan NaOH
Umumnya kecernaan dari ransum pakan serat sekitar 40-45 %, karena itu
sangat diperlukan upaya perbaikan nutrisi untuk meningkatkan kecernaannya.
Usaha yang dapat dilakukan antara lain dengan perlakuan pretreatment yaitu
untuk mendapatkan hasil yang tinggi di mana penting untuk pengembangan
teknologi biokonversi dalam skala komersial (Mos ier et al., 2005), secara kimia
diantaranya perendaman dengan NaOH, fisik (uap panas, menggiling dan
memotong), dan biologi (suplemen nitrogen dan fermentasi media padat) untuk
memperkaya nilai nutrisi dari sekam dan sekam yang digiling (Vadiveloo et al.
2009). Tujuan dari pretreatment adalah untuk membuka struktur lignoselulosa
agar selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah polymer
10
polisakarida menjadi monomer gula. Tujuan pretreatment secara skematis
ditunjukkan pada Gambar 1.
Amorphous
Crystalline Region
Gambar 1. Skema pretreatment biomassa lingo-selulosa (Mosier et al.,
2005). Selain cara hidrolisis kimiawi, menurut Hendriks & Zeeman (2009) bahan
bermutu rendah dapat ditingkatkan kegunaannya dengan cara fisika, secara fisika
usaha lain unt uk memperba iki kualitas bahan makanan berserat dapat dilakukan
dengan pemanasan dan steam bertekanan (autoclave). NaOH adalah alkali yang
paling efektif untuk menaikkan kecernaan zat makanan limbah pertanian/industri
karena mampu merenggangkan ikatan ligno-selulosa yang lebih besar sehingga
kecernaan lebih tinggi, hal ini sesuai menurut Moss et al. (1993) bahwa perlakuan
dengan NaOH adalah suatu metode yang efektif untuk meningkatkan kualitas
jerami padi yang rendah, walaupun penambahan NaOH membuat defisiensi
nitrogen lebih buruk pada jerami padi. Ringkasan berbagai teknik pretreatment
yang dikembangkan ditampilkan pada Tabel 3 di bawah ini.
11
Tabe l 3 Pretreatment biomassa lingo-selulosa
Pretreatment Proses Perubahan pada biomassa
Referensi
Pretreatment mekanik atau fisik
Milling: - ball milling - two-rol milling - hammer milling - colloid milling - vibrotory ball milling Irradiation: - gamma-ray - electron beam - microwave Lainnya: - hydrothermal - uap bertekanan tinggi - expansi - ext rusi - pirolisis - air panas
- mengurangi ukuran partikel - meningkatkan luas permukaan yang kontak dengan enzim - mengurangi
kristalisasi selulosa
Vadiveloo et al. (2009) Taherzadeh & Karimi (2008) Sun & Cheng (2002) Zhu et al., (2005) Thomsen, Thygesen, & Thomsen (2008) Ahring, Jensen, Nielsen, Bjerre, & Schmidt (1996) Hendriks & Zeeman (2009) Eggeman & Elander, (2005) Ohgren, Rudolf,Galbe, & Zacchi (2006) Kabel, Bos,Zeevalking, Voragen, & Schols, (2007)
Pretreatmen kimia dan fisik-kimia
Exp losion: - eksplosi uap panas - ammonia fiber exp lotion (AFEX) - eksplosi CO- eksplosi SO
2
2
Alkali: - sodium h idroksida - ammonia - ammonium sulfat - ammonia recycle percolation (ARP) - kapur (lime) Asam: - asam sulfat - asam fosfat - asam hidroklorat - asam parasetat
- meningkatkan area permukaan yang mudah diakses - delignifikasi sebagian atau hampir keseluruhan
- menurunkan kristalisasi selulosa - menurunkan derajat polimerisasi - hidro lisis hemiselu losa sebagian atau keseluruhan
Sun & Cheng (2002) Taherzadeh & Karimi (2008) Eggeman & Elander (2005) Eklund, Galbe, & Zacchi (1995) Negro, Manzanares, Oliva, Ballesteros, & Ballesteros (2003) Bower, Wickramasinghe, Nagle, & Schell (2008) Fengel & Wegener (1995) Moss et al. (1993) Ginting (1996) Haddad et al.,(1995) Arysoi (1998) Cara, Ruiz, Ballesteros, Manzanares, Negro, & Castro (2008) Kim & Hong (2001) Mosier et al., (2005) Saha & Cotta (2008)
12
Pretreatment Proses Perubahan pada biomassa
Referensi
Shimizu, Sudo, Ono, Ishihara, Fujii, & Hishiyama, 1998)
Pretreatment Proses Perubahan pada biomassa
Referensi
Gas: - Clorin d ioksida - Nitrogen dioksida -Sulfur d ioksida Agen Oksidasi: -Hidrogen peroksida - oksidasi basah - Ozone Pelarut untuk ekstraksi lignin : - ekstrasi ethanol-air - ekstrasi benzene-air - ekstraksi etilen Gliko l - ekstraksi butanol- air - agen pemekar (swelling)
Sun & Chen Organosolv pretreatment by crude glycerol from oleochemicals industry for enzymatic hydrolysis of wheat straw (2008) Sun & Chen, Enhanced enzymatic hydrolysis of wheat straw by aqueous glycerol pretreatment (2008) Sun & Cheng (2005) Zhang, et al.,(2008) Kim & Lee (2002) Zhao, Zhang, & Liu (2008) Lloyd & Wayman (2005) Ahring, Jensen, Nielsen, Bjerre, & Schmidt (1996) Silverstein, Chen, Sharma-Shivappa, Boyette, & Osborne (2007)
Biologi - Fungi pelapuk putih - Aktinomicetes
- delignifikasi - penurunan derajat polerisasi selulosa - penurunan derajat kristalisasi selulosa
Taniguchi, Suzuki, Watanabe, Sakai, Hoshino, & Tanaka (2005) Shi, Ch inn, & Sharma-Shivappa, (2008) Keller, Hamilton, & Nguyen (2003) Kirk & Chang, Potential applicat ion of bio-ligninolyt ic System (1981)
Keterangan: modifikasi dari Taherzadeh and Karimi (2008)
Tersedianya jumlah energi dari bahan yang kaya serat kasar dapat ditingkatkan
dengan perlakuan alkali, menurut Haddad et al (1995) mengatakan bahwa
hidrolisis bahan berserat kasar dengan NaOH, NH4OH, urea dan Ca(OH)2
13
menurunkan kadar lignin dan peningkatan daya cerna secara proporsional dengan
turunnya kadar lignin. Perlakuan NaOH pada serat sawit ternyata dapat
meningkatkan bahan kering, bahan organik, abu, energi dan retensi N, namun
tidak terjadi peningkatan kecernaan serat kasar (Arysoi 1998), tetapi pada
penelitian Ginting (1996) perlakuan NaOH dengan konsentrasi 5 % memberikan
koefisien cerna bahan ke ring in-vitro serat sawit yang terbaik dibanding dengan
konsentrasi NaOH 2.5 dan 7.5 %.
Fermentasi
Banyak cara yang dicoba untuk meningkatkan biomassa bagi kepentingan
manusia atau ternak dan dengan cara tersebut semuanya berdasarkan kemampuan
mikroba terutama jamur dan bakteri dalam merubah biomassa menjadi glukosa,
etanol, protein sel tunggal dari makanan ternak. Fermentasi adalah proses
metabolisme dimana enzim yang dihasilkan mikroorganisme menstimulasi reaksi
oksidasi, reaksi hidrolisa dan reaksi kimia lainnya sehingga mengakibatkan
perubahan struktur kimia pada substrat organik dengan menghasilkan produk
tertentu (Dwidjoseputro 2003). Fermentasi merupakan salah satu proses
pengolahan dan pengawetan dengan bantuan mikroba. Fermentasi dapat
meningkatkan nilai gizi bahan makanan menjadi lebih tinggi dari bahan asalnya,
sebab mikroba katabolik akan memecah komponen kompleks menjadi (zat-zat)
yang lebih sederhana.
Proses fermentasi menurut medianya dibagi atas dua golongan yaitu
fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium padat
adalah fermentasi yang substratnya tidak larut dan tidak mengandung air bebas
tetapi cukup mengandung air untuk keperluan mikroba. Sebaliknya fermentasi
medium cair adalah fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi di dalam
fase cair (Rahman 1990).
Fermentasi medium padat secara alami umumnya berlangsung pada
medium dengan kadar air berkisar antara 60-80%, karena pada keadaan ini
medium mengandung air yang cukup untuk pertumbuhan mikroba (Bentley &
Bennett 2008, Krishna 2005). Pada hakekatnya kadar air substrat pada fermentasi
14
medium padat tergantung pada sifat alamiah substrat, jenis organisme dan tipe
produk akhir dikehendaki.
Fermentasi medium padat mempunyai beberapa keuntungan antara lain
memiliki kesederhanaan dalam persiapan mediumnya, persiapan inokulum lebih
sederhana, kontrol terhadap kontaminasi lebih mudah, kondisi mediumnya
mendekati keadaan tempat tumbuh kapang yang biasa dijumpai di alam dan
fermentasi memiliki kekurangan (Krishna 2005). Ada ms dan Moss (2008)
menyatakan bahwa kandungan asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin, dan
mineral bahan akan mengalami perubahan akibat aktifitas dan
perkembangbiakkan mikroorganisme selama fermentasi. Selanjutnya Fardiaz
(1992) mengatakan bahwa pada proses fermentasi akan terjadi perubahan pH,
kelembaban, aroma, serta perubahan nilai gizi yang mencakup terjadinya
peningkatan protein, vitamin, dan beberapa zat gizi lainnya walaupun mungkin
terjadinya penurunan vitamin B1 dan mineral fosfor.
Terjadinya peningkatan kadar air selama fermentasi disebabkan aktifitas
enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Menurut Fardiaz (1992)
mikroorganisme menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi yang setelah
terlebih dahulu dipecah menjadi glukosa. Pemecahan glukosa selanjutnya
dilakukan melalui jalur glikolisis sampai akhirnya dihasilkan energi. Pada proses
tersebut juga dihasilkan molekul air dan CO2
Perubahan kadar serat kasar setelah fermentasi terjadi pada dedak padi dan
bungkil inti sawit yang meningkat selama fermentasi berlangsung. Meningkatnya
kadar serat tersebut disebabkan oleh pertumbuhan miselia kapang yang
mengandung serat serta terjadinya kehilangan dari sejumlah padatan lainnya (Nur
2006).
. Sebagian air akan keluar dari
produk sehingga berat kering produk cenderung berkurang setelah fermentasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi
Untuk meningkatkan nilai gizi serat sawit, dilakukan fermentasi dengan
menggunakan kapang Aspergillus niger. Dalam proses fermentasi akan terjadi
pemecahan oleh enzim-enzim tertentu terhadap zat-zat yang tidak dapat dicerna
oleh ternak seperti selulosa, hemiselulosa dan polimer-polimernya menjadi gula
15
sederhana dan alkhohol sehingga bahan yang telah difermentasi mempunyai daya
cerna yang lebih tinggi dari bahan asalnya (Bentley & Bennett 2008). Menurut
Fardiaz (1992) untuk mendapatkan pertumbuhan kapang yang baik, perlu
diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti suhu, pH, ketersediaan
O2 dan H2
Ikram et al, (2005) menyatakan bahwa, enzim yang dapat menghirolisis ikatan
β(1-4) pada selulosa adalah selulase. Hidrolisis enzimatik yang sempurna
memerlukan aksi sinergis dari tiga tipe enzim ini, yaitu :
O. Media yang diinokulasi pHnya diusahakan sesuai dengan kebutuhan
kapang. Aspergillus niger merupakan kapang yang tumbuh cepat, banyak
digunakan secara komersil dalam produksi asam sitrat, asam glukonat, dan
beberapa enzim seperti amilase, amiloglukosidase dan selulase (Bentley &
Bennett 2008, Iyayi 2004). Kapang A. niger berperan dalam meningkatkan
kandungan protein kasar bahan sehingga meningkatkan daya cerna bahan kering
dan bahan organik yang difermentasi. Jenis fungi yang biasa digunakan dalam
produksi selulase adalah Aspergillus niger (Immanuel et al. 2006, Ikram et al. 2005,
Omojasola et al. 2008, Narasimha et al. 2006).
Endo-1,4-β-D-glucanase (endoselulase, carboxymethylcellulase atau CMCase),
yang mengurai polimer selulosa secara random pada ikatan internal α-1,4-
glikosida untuk menghasilkan oligodekstrin dengan panjang rantai yang
bervariasi.
Exo-1,4-β-D-glucanase (cellobiohydrolase), yang mengurai selulosa dari ujung
pereduksi dan non pereduksi untuk menghasilkan selobiosa dan/atau glukosa.
β–glucosidase (cellobiase), yang mengurai selobiosa untuk menghasilkan glukosa.
Mekanisme hidrolisis selulosa oleh enzim selulase dapat dilihat dalam Gambar 2.
Kompleks selulase digunakan secara komersial dalam pengolahan kopi.
Selulase digunakan secara luas dalam industri tekstil, deterjen, pulp dan kertas
bahkan kadang-kadang digunakan dalam industri farmasi. Dalam krisis energi
sekarang ini, selulase dapat digunakan dalam fermentasi biomassa menjadi
biofuel, walaupun proses ini sifatnya masih eksperimental. Di bidang kesehatan
selulase digunakan sebagai treatment untuk phytobezoars salah satu bentuk
selulosa bezoar di dalam perut manusia (en.wikipedia.org/wiki/cellulase). Seperti
yang dijelaskan di atas, selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan
menggunakan asam atau enzim. Hidrolisis menggunakan asam biasanya dilakukan
16
pada temperatur tinggi. Proses ini relatif mahal karena kebutuhan energi yang
cukup tinggi. Baru pada tahun 1980-an, mulai dikembangkan hidrolisis selulosa
dengan menggunakan enzim selulase (Gado et al. 2007). Selulosa diproduksi
oleh fungi, bakteri, tumbuhan, dan ruminansia. Produksi komersial selulase pada
umumnya menggunakan fungi atau bakteri yang telah diisolasi. Meskipun banyak
mikroorganisme yang dapat mendegradasi selulosa, hanya beberapa
mikroorganisme yang memproduksi selulase dalam jumlah yang signifikan yang
mampu menghidrolisa kristal selulosa secara invitro. Fungi adalah
mikroorganisme utama yang dapat memproduksi selulase, meskipun beberapa
bakteri dan actinomycetes telah dilaporkan juga menghasilkan aktivitas selulase.
Fungi berfilamen seperti Tricoderma dan Aspergillus adalah penghasil selulase dan
crude enzyme secara komersial fungi-fungi tersebut sangat efisien dalam
memproduksi selulase (Ikram et al. 2005).
Gambar 2 Mekanisme hidrolisis selulosa (en.wikipedia.org/wiki/cellulase).
Hidrolisis selulosa secara biologik dapat dilakukan baik menggunakan
enzim selulase (Vrije et al., 2002) maupun mikroorganisme selobios glukosa
penghasil selulase (Aderemi et al ., 2008). Hidrolisis selulosa dipengaruhi oleh
jenis sumber subsrat (seperti serbuk gergaji, jerami padi, sabut sawit) dan ukuran
partikel. selulotik, jumlah β-glukosidasenya lebih rendah dari yang dibutuhkan
17
untuk hidrolisis selulosa menjadi glukosa secara efisien, sehingga produk utama
hidrolisisnya bukan glukosa melainkan selobiosa (Juhasz et al., 2005; Martins et
al., 2008; Ahamed dan Vermette, 2008), yang merupakan inhibitor kuat terhadap
endo dan eksoglukanase. Mikroorganisme yang mempunyai kemampuan
memprod uksi β-glukosidase yang kuat yaitu Aspergillus niger (Juhasz et al.
2005).
Perubahan zat-zat makanan selama fermentasi
Makanan yang mengalami fermentasi biasanya mempunyai nilai gizi yang
lebih baik dari asalnya. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh mikroorganisme yang
memecah komponen-komponen kompleks menjadi zat-zat yang lebih sederhana
sehingga mudah dicerna, tetapi mikroorganisme juga dapat mensintesa beberapa
vitamin seperti riboflavin, vitamin B12, provitamin A dan faktor pertumbuhan
lain-nya, juga dapat terjadi pemecahan gula oleh enzim tertentu misalnya
hemiselulosa, sellulosa dan polimer-polimernya menjadi gula sederhana atau
turunannya (Winarno 2008).
Bentley dan Bennett (2008) menjelaskan bahwa kapang yang mempunyai
pertumbuhan dan perkembangbiakan yang baik yang akan dapat merubah lebih
banyak komponen penyusun media menjadi suatu massa sel, sehingga akan
terbentuk protein yang berasal dari tubuh kapang itu sendiri dan dapat
meningkatkan protein kasar dari bahan. Fardiaz (1992) menambahkan selama
proses fermentasi mikroba akan mengeluarkan enzim dimana enzim tersebut
adalah protein dan mikroba itu sendiri juga merupakan sumber protein sel
tunggal.
Menurut hasil penelitian Jamarun et al. (2000) bahwa serat sawit fermentasi
dapat digunakan sampai level 45% dari total ransum (menggantikan 75%
kebutuhan hijauan). Pemberian 60% serat sawit yang difermentasi dengan
Aspergillus niger Cz 51 VI/I dalam ransum atau pengganti 100% hijauan dengan
serat sawit, menyebabkan penurunan berat badan ternak domba. Terbatasnya
penggunaan serat sawit dalam ransum, karena tingginya kandungan lignoselulosa
(selulosa 38.60% dan lignin 20.99%) yang mengakibatkan rendahnya daya cerna
serat kasar. Untuk mengatasi hal ini diperlukan suatu teknologi, salah satunya
18
dengan memberikan perlakuan secara biologis yakni melakukan fermentasi
menggunakan kapang Aspergillus niger Cz 51 VI/I pensintesa Cr-organik.
Fermentasi dengan Aspergillus niger
Aspergillus niger merupakan kapang yang dapat tumbuh cepat, banyak
digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam glutamat serta
beberapa enzim, seperti amilase, pektinase, amiloglukosidase dan selulase.
Kapang ini dapat menghasilkan berberapa vitamin yang larut dalam air seperti B6
, B12 , dan niasin. Aspergillus niger dapat tumbuh pada kisaran pH antara 2,8 –
8,8 dengan pH optimum berkisar antara 3,0 – 6,0 dalam pertumbuhannya
Aspergillus niger membutuhkan mineral Mg, Fe, K, Zn, Mn, tiamin dan urea.
Enzim selulsase yang dihasilkan Aspergillus niger menunjukkan aktivitas
optimum pada kisaran pH 4,5 – 5,5. Aspergillus niger bersifat aerobik, sehingga
dalam pertumbuhannya membutuhkan oksigen dalam jumlah yang cukup. Suhu
pertumbuhan optimum Aspergillus niger adalah 35 – 37oC (Iyayi 2004),
sedangkan suhu untuk produksi enzim selulase adalah 25 – 28oC (Bentley &
Bennett 2008).
Aspergillus niger adalah kapang penghasil komplek enzim selulase yang
memiliki aktivitas tinggi dan berpotensi untuk dimanfaatkan dalam menkonversi
bahan lignoselulosik menjadi bioenergi. Dari hasil penelitian kompleks ensim
selulase yang dihasilkan dari Aspergillus niger terdiri da ri CMC-ase (1,4-ß-D-
glucan glucanohydro- lase), Avicelase (1,4-ß-cellobiosidase) dan ß-glukosidase (ß-
D-glucosidase gluco-hydrolase) dengan masing-masing memiliki kemampuan
yang berbeda dalam mendegradasi selulase. Dalam mendegradasi selulosa
kompleks enzim tersebut bertipe endo berbeda dengan enzim selulase yang
dihasilkan dari bakteri umumnya bertipe exo. Mod el aksi da ri enzim tersebut
akan berpengaruh pada kemampuan dalam mendegradasi bahan lignoselulos ik
menjadi komponen gula yang lebih sede rhana (Bentley & Bennett 2008 ).
Aspergillus niger merupakan salah satu spesies yang paling umum dan
mudah diidentifikasi dari genus Aspergillus, famili Moniliaceae, ordo Monoliales
dan kelas Fungi imperfecti. Aspergillus niger dapat tumbuh dengan cepat,
diantaranya digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam
glukonat dan pembuatan berapa enzim seperti amilase, pektinase,
19
amiloglukosidase dan sellulase. Aspergillus niger dapat tumbuh pada suhu
35ºC - 37ºC (optimum), 6 - 8ºC (minimum), 45ºC-47ºC (maksimum) dan
memerlukan oksigen yang cukup (aerobik). Aspergillus niger memiliki bulu dasar
berwarna putih atau kuning dengan lapisan konidiospora tebal berwarna coklat
gelap sampai hitam. Kepala konidia berwarna hitam, bulat, cenderung memisah
menjadi bagian-bagian yang lebih longgar dengan bertambahnya umur.
Konidiospora memiliki dinding yang halus, hialin tetapi juga berwarna coklat.
Aspergillus niger memerlukan mineral (NH4)2SO4, KH2PO4, MgSO4,
urea, CaCl2.7H2O, FeSO4, MnSO4.H2O untuk menghasilkan enzim sellulase,
sedangkan untuk enzim amilase khususnya amiglukosa diperlukan (NH4)2SO4,
KH2PO4 .7H2O, Zn SO4, 7H2O. Bahan organik dengan kandungan nitrogen
tinggi dapat dikomposisi lebih cepat dari pada bahan organik yang rendah
kandungan nitrogennya pada tahap awal dekomposisi. Tahap selanjutnya bahan
organik yang rendah kandungan nitrogennya dapat dikomposisi lebih cepat
daripada bahan organik dengan kandungan nitrogen tinggi. Penurunan bahan
organik sebagai sumber karbon dan nitrogen disebabkan oleh Aspergillus niger
sebagai sumber energinya untuk bahan penunjang pertumbuhan atau growth
factor. Aspergillus niger dalam pertumbuhannya berhubungan langsung dengan
zat makanan yang terdapat dalam substrat, molekul sederhana yang terdapat
disekeliling hifa dapat langsung diserap sedangkan molekul yang lebih kompleks
harus dipecah dahulu sebelum diserap ke dalam sel, dengan menghasilkan
beberapa enzim ekstra seluler. Bahan organik dari substrat digunakan oleh
Aspergillus niger untuk aktivitas transport molekul, pemeliharaan struktur sel dan
mobilitas sel. Amonia dapat digunakan oleh kapang untuk pembentukan asam
amino. Sedangkan perubahan kandungan SK dipengaruhi oleh intensitas
pertumbuhan miselia kapang , kemampuan memecah SK untuk memenuhi
kebutuhan energi, dan kehilangan BK selama fermentasi. Penurunan SK diduga
karena Aspergillus niger pada inkubasi 4 hari mulai mensintesa enzim pengurai,
yaitu selulose yang akan merombak selulosa dalam produk. Aspergillus niger
merupakan kapang yang dapat tumbuh cepat an menghasilkan beberapa enzim
seperti amylase, pektinase, amiloglukosidase dan selulase (Bentley & Bennett
2008).
20
Fermentasi yang dilakukan dengan menggunakan Aspergillus niger dapat
meningkatkan kecernaan dan kandungan protein kasar serat sawit. Hasil
penelitian yang telah dilakukan menggunakan berbagai level inokulum
Aspergillus niger dan lama fermentasi serat sawit dengan NaOH, terhadap
kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO)
meningkat, dengan meningkatnya level inokulum dan lama fermentasi (Jamarun
et al 2000). Pemanfaatan hasil fermentasi bungkil inti sawit dengan Aspergillus
niger dalam ransum ayam broiler terhadap warna daging, memperlihatkan hasil
yang signifikan dibandingkan dengan tanpa perlakuan. Pemakaian 7.5% bungkil
inti sawit fermentasi memberikan warna daging merah ceri dibandingkan dengan
tanpa bungkil inti sawit fermentasi (Nur 2001). Hasil dari fermentasi ini beraroma
wangi yang disenangi ayam dan dapat disimpan dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan dan lemak pada abdomen tidak begitu banyak dan rasa dagingnya manis.
Setelah lumpur sawit difermentasi selama 4 hari, kandungan PK nya naik menjadi
35,43 % dari 13,25% dan serat kasarnya menjadi 13,8% dari 16,3%. Kenaikan PK
LSF ini dikarenakan setelah fermentasi 4 hari terjadi kehilangan bahan kering
yang tinggi (28,77%), kapang ini juga mempunyai intensitas pertumbuhan yang
tinggi, kemudian diduga juga kapang ini telah mensintesis enzim ureasi untuk
mencegah urea menjadi amonia dan CO2 pada fermentasi 4 hari.
Peranan kromium dalam sistem transport dan metabolisme nutrien
Kromium (Cr) diketahui merupakan mineral esensial sejak tahun 1959.
Schwart dan Mertz adalah orang pertama yang menemukan bahwa yeast
mengandung suatu substansi yang mampu meningkatkan uptake glukosa dan
meningkatkan potensi aktifitas insulin. Substansi ini kemudian diketahui sebagai
faktor toleransi glukosa (Glucose Tolerance Factor, GTF). Struktur GTF
tersusun dari kompleks antara Cr3+
dengan 2 molekul asam nikotinat dan 3 asam
amino yang terkandung dalam glutation yaitu glutamat, glisin dan sistein (Linder
1992, Underwood & Suttle 2001) seperti disajikan pada Gambar 3. Di dalam
struktur GTF kromium adalah komponen aktifnya sehingga tanpa adanya Cr pada
pusat atau intinya, GTF tidak dapat bekerja mempengaruhi insulin (Burton 1995).
21
Gambar 3 Struktur faktor toleransi glukosa (Linder 1992)
Linder (1992) menyatakan kerja GTF pada mempengaruhi insulin (Burton 1995).
Linder (1992) menyatakan kerja GTF pada sistem transport glukosa dan asam
amino adalah meningkatkan pengikatan insulin dengan reseptor spesifik pada
organ target. Saat insulin mengikat reseptor spesifik-nya, uptake seluler glukosa
dan asam amino dipermudah dalam hal fungsi GTF adalah meningkatkan
efektifitas potensi insulin.
Fungsi GTF sebenarnya lebih berpusat pada sel target, kerja GTF dalam
transfer gula pada sel ragi tidak bergantung pada kehadiran insulin. Hasil-hasil
penelitian Cr menunjukkan bahwa selain esensial dalam metabolisme karbohidrat,
Cr juga dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan protein, dalam hal ini difisiensi
Cr dapat menyebabkan hiperkolesterolemia dan arterosklerosis serta rendahnya
inkorporasi asam amino pada protein hati. Asam amino yang dipengaruhi oleh Cr
adalah metionin, glisin dan serin (Anderson 1994).
Fungsi utama Cr ialah untuk meningkatkan aktivitas insulin di dalam
metabolisme glukosa dan untuk mempertahankan transport glukosa dari darah ke
dalam sel-sel. Kromium membentuk suatu komplek dengan insulin dan reseptor
insulin memfasilitasi respon jaringan yang sensitive terhadap insulin (NRC 1997).
Kegunaan Cr sebagai suatu faktor nutrien ditetapkan untuk pertama kalinya ketika
diketahui bahwa brewer`s yeast secara positif dapat mempengaruhi metabolism
karbohidrat pada organisme tingkat tinggi dan meningkatkan aktifitas hormon
insulin (NRC 1997; Demirci & Pornetto 2000; Vincent 2000 ). Kromium trivalent
mempunyai kecenderungan yang sangat kuat untuk membentuk komplek
22
octahedral dengan ligand biologis pada membrane sel (Zetic et al. 2001).
Kromium merupakan suatu elemen yang dapat menstabilkan struktur tersier dari
protein (Demirci & Pornetto 2000). Hampir semua sumber Cr di alam terdapat
dalam bentuk trivalen (Cr III), tetapi produk dari pabrik (K2Cr2O7, K2Cr2O4 dan
Na2Cr2O4
Pada sel kelenjar ambing hewan ruminansia uptake glukosa tidak
ditentukan oleh insulin, namun insulin sangat dibutuhkan untuk pengambilan
asam amino khususnya asam aspartat, valin, isoleusin, leusin dan tirosin
(McGuire et al. 1995; Manalu 1999). Hasil penelitian Lyons (1995) mendapatkan
) terdapat dalam bentuk heksavalen (Cr VI). Bentuk Cr juga dapat
mempengaruhi ketersediaannya secara secara biologis (bioavailabilitas)
contohnya oksalat, meningkatkan absorbsi Cr pada tikus, sedangkan EDTA
(Ethylene Diamine Tetraacetic Acid) sitrat tidak meningkatkan absorbsi Cr.
Bentuk bentuk organik sintetik lainnya seperti kromium nikotinat dan kromium
pikolinat juga telah digunakan sebagai sumber kromium yang mudah tersedia.
Inkopo rasi kromium ke dalam jaringan sangat tergantung pada bentuk
kromiumnya dan inkoporasi kromium paling tinggi terjadi pada kromium
dinicotinic diglycerine glutamic acid, kromium pikolinat, kromium asetat,
kromium potassium sulfat dan komplek glycine kromium. Komplek kromium
yang terjadi secara alam, juga diketahui mempunyai bioavailabilitas yang relative
tinggi. Percobaan pada tikus menunjukkan bahwa 10-25% dari Cr diabsorbsi di
dalam ragi bir (NRC 1997). Kromium selain penting di dalam metabolisme
karbohidrat, juga dibutuhkan dalam metabolism lemak dan protein (Davis &
Vincent 1997), asam nukleat dan mencegah stress. Kromium juga berperan dalam
sistem kekebalan tubuh dan konversi tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3),
yaitu hormon yang berperan dalam meningkatkan laju metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein di dalam hati, ginjal, jantung dan otot serta meningkatkan
sintesis protein (Burton 1995; Stipanuk 2000). Suplementasi Cr ke dalam pakan
lebih menguntungkan apabila diberikan dalam bentuk Cr organik. Kromium
dalam bentuk trivalen yang tidak beracun sangat sulit diserap. Pada beberapa
kasus, Cr organik yang dikonsumsi manusia lewat makanan 98% tidak diserap
dan dikeluarkan lewat feses, sebaliknya ketersediaan Cr organik cukup tinggi
yaitu antara 25 sampai 30% (NRC 1997).
23
bahwa selain asam amino di atas, asam amino lain yang uptake selulernya ke
dalam sel kelenjar ambing meningkat oleh perlakuan infusi insulin adalah
metionin, lisin, asam glutamat, treonin, asparagin dan serin, fungsi GTF adalah
meningkatkan efektifitas potensi insulin (Gambar 4). Burton (1995)
menambahkan bahwa Cr berperan dalam sitem kekebalan tubuh dan konversi
tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3) yaitu hormon yang berperan
meningkatkan laju metabolisme karbohidrat, lemak dan protein da lam hati, ginjal,
jantung dan otot serta meningkatkan sistesis protein.
Permukaan Membran sel Insulin
Insulin
GTF
Reseptor insulin Insulin pada permukaan membransel Gambar 4 Mekanisme kerja GTF dalam meningkatkan potensi aktifitas insulin
(Lyons 1995)
Spears (1999) yang menghimpun beberapa hasil penelitian tentang
peranan Cr dalam sistem kekebalan tubuh mengatakan bahwa Cr berpengaruh
baik pada pembentukan sistem kekebalan humoral (HI) maupun kekebalan yang
diperantarai oleh sel (CMI). Dalam HI suplementasi Cr meningkatkan produksi
antibodi atau imunoglobin (Igs), sedangkan dalam CMI suplementasi Cr
menyebabkan peningkatan respons blastogenik (lymphocit blasgonesis) terhadap
imunostimulan. Sohn et al. (2000) menyatakan bahwa peningkatan produksi
antibodi adalah sebagai akibat penurunan konsentrasi kortisol. Hormon ini
bekerja meningkatkan glukoneogenesis pada saat ternak dalam kondisi stres.
Proses glukoneogenesis akan menekan sintesis protein dalam hati sehingga
24
sintesis antibod i juga ditekan, dengan kata lain hormon kortisol bekerja
berlawanan dengan terbentuknya sistem kekebalan dalam tubuh ternak.
Kebutuhan kromium dan bentuk suplemen dalam pakan
Kebutuhan Cr pada ternak belum diketahui dengan pasti. Pada kondisi
stres kebutuhan Cr akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh cadangan Cr dalam
tubuh berkurang akibat peningkatan mobilisasi cadangan glukosa jaringan perifer
untuk mencukupi kebutuhan glukosa pada otak, yang selanjutnya sebagian Cr itu
akan hilang melalui urine (Burton 1995). Selama kebuntingan dan laktasi
kebutuhan Cr juga meningkat, hal ini karena pada saat kebuntingan ternak
mengalami stres akibat perubahan fisiologis, fisik dan metabolik (Yang et al.
1996).
Cr-GTF dapat diserap 15-20 %, dayagunanya lebih tinggi. Berdasarkan
pada banyaknya kromium yang hilang : 0,5-1 µg/hari dan rata-rata penyerapannya
1 %, dengan demikian kebutuhan minimum 50 µg/hari, dengan rekomendasi
konsumsi 50-200 µg. Setelah penyerapan, kromium diangkut pada protein
pengangkut Fe (iron carrier protein) dari plasma darah : transferin. Tidak
diketahui apakah GTF yang diserap melalui intestin akan masuk ke dalam darah
tanpa perubahan bentuk atau juga terikat dengan transferin. Dari intestin, hampir
semua kromium masuk ke dalam hati dimana akan terinkoperasi ke dalam GTF.
Sejumlah GTF tertentu disekresi ke dalam plasma dimana akan tersedia dalam
menolong aktivitas insulin. Kalau kadar glukose darah meningkat, dan/atau
insulin disekresi, meningkatkan aliran GTF dan/atau kromium ke da lam plasma,
GTF akan meningkatkan pengaruh insulin yang disekresi tersebut dan kemudian
keluar melalui urin. Aktivitas GTF (dan/atau Cr) masih banyak yang belum
diketahui; mungkin terlibat pengaruhnya pada struktur insulin dan/atau pengikatan
resptor (Linder 1992).
Meskipun konsentrasi Cr dalam tubuh relatif kecil, toleransinya dalam pakan
cukup besar yaitu 3000 ppm dalam bentuk Cr2O3 dan 1000 ppm CrCl3 (NRC
1997). Efektivitas suplementasi Cr selain tergantung pada jenis ternak juga
tergantung pada kondisi fisiologis dan bentuk Cr yang digunakan. Kompleks
organik Cr terdapat dalam bentuk Cr-chelate, Cr proteinat ragi (high Cr-yeast) dan
25
Cr-pikolinat. Kromium pikolinat terbentuk dari Cr3+ yang mengikat 3 molekul
asam pikolinat. Asam pikolinat adalah metabolik sekunder yang dihasilkan pada
metabolisme triptopan sebelum membentuk niasin atau asam nikotinat (Combs
1992; Groff & Gropper 2000). Tahapan metabolisme triptopan menjadi niasin
disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Metabolisme triptopan menjadi niasin (Combs 1992)
Pengaruh suplementasi kromium terhadap produksi ternak
Page et al (1993), yang meneliti tentang suplementasi Cr pada babi sedang
tumbuh, mendapatkan bahwa suplementasi Cr pikolinat sebanyak 200 ppb
meningkat-kan pertambahan bobot badan 0.87 kg/hari lebih tinggi dibanding
kontrol 0.81 kg/hari. Pertambahan bobot badan yang tinggi hasil penelitian di
atas, menggambarkan terjadinya peningkatan sintesis protein dan lemak pada
jaringan perifer akibat meningkatnya uptake asam amino dan glukosa oleh
efektifitas kerja insulin akibat adanya Cr. Namun demikian suplementasi Cr pada
kondisi laktasi akan berpengaruh menurunkan sensitifitas jaringan perifer
26
terhadap insulin sehingga asam amino dan glukosa dialirkan ke dalam sel kelenjar
ambing untuk p roduks i susu.
Fenomena di atas dibuktikan oleh hasil penelitian Yang et al. (1996) pada
sapi perah laktasi bahwa suplementasi chelate sebesar 5 mg Cr per hari
menghasilkan peningkatan produksi susu sebesar 13.25 % (27.5 vs 24.3 kg/hari).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa suplementasi Cr juga meningkatkan konsumsi
bahan kering sebesar 15 % (13.76 vs 11.95 kg/hari), mengubah resistensi insulin
pada sel kelenjar ambing, menurunkan kejadian milk fever dan teat edema.
Penelitian senada yang dilakukan oleh Subiyatno et al. (1996) mendapatkan hasil
suplementasi Cr pada sapi perah laktasi sebesar 7.25 mg/hari mampu
meningkatkan produksi susu sebesar 24 % (22.9 vs 18.5 kg) pada 2 minggu
pertama laktasi. Selain itu juga meningkatkan konsentrasi hormon IGF-1 (39.05
vs 49.42 µg/ml) dan ratio insulin/glukosa (7.27 vs 5.76 U/mol). Pada domba
pengaruh penambahan kromium disajikan pada Tabel 4.
Tabe l 4 Pengaruh penambahan kromium dalam ransum domba
Referensi Kebutuhan konsentrasi per kg BK Berat badan pada awal dan selama penelitian
Peningkatan pertumbuhan rata-rata
Peningkatan efisiensi pakan
Britton et al. 1968 Samsell dan Spears 1989 Samsell dan Spears 1989 William et al. 1994 Kitchalong et al. 1995 DePew et al. 1996 Sano et al. 1996
Basal diet=tdk diketahui Cr diet=0,037 mg/d and basal (molasses ash or CrCl3Basal diet, low fiber=0,175 mg;
)
Basal diet, low fiber=0,295 mg; Cr diet,low fiber=0,185 mg Cr diet,high fiber=0,305 mg (CrCl3Basal diet, low fiber=0,175 mg;
)
Basal diet, low fiber=0,295 mg; Cr diet,low fiber=0,185 mg Cr diet,high fiber=0,305 mg (CrCl3Basal diet=tdk diketahui
)
Cr diet Basal diet= 1 mg Cr diet Basal diet=tdk diketahui Cr diet Basal diet=tdk diketahui Cr diet
Growing lambs 16 anak domba-45kg 28 hari percobaan 16 anak domba-50kg 28 hari percobaan 24 anak domba-29kg Heat stressed 24 anak domba-38kg 85 hari percobaan 24 anak domba-33kg 42 hari percobaan 6 domba jantan
ND ND ND ND ND Tidak ada pengaruh Yes-no Statistics provided
ND ND ND No effect ND ND ND
Sumber: NRC (1997) Keterangan: Cr = kromium ND= not determined CrCl3 = kromium klorida
27
Tang et al. (2008) meneliti pengaruh Cr terhadap pembentukan antibodi
dengan memberikan Cr-yeast sebanyak 200 µg/kg ransum pada babi yang disuntik
antigen virus demam. Empat belas hari setelah penyuntikan diperoleh hasil
bahwa jumlah titer antibodi lebih tinggi pada babi yang diberi Cr-yeast dibanding
kontrol yaitu 0.09 vs 0.17 U. Hasil senada diperoleh Burton et al. (1994) bahwa
suplementasi Cr meningkatkan titer antibodi sapi yang disuntuk dengan antigen
sel darah manusia (HRBC) dan vaksin virus rhinotracheitis.
Pada kondisi stres kebutuhan Cr akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh
mobilisasi cadangan Cr dalam tubuh meningkat akibat peningkatan mobilisasi
cadangan glukosa jaringan perifer untuk mencukupi kebutuhan glukosa pada otak,
yang selanjutnya sebagian Cr itu akan hilang melalui urine . Ternak yang
mengalami stress, kebutuhannya akan kromium meningkat karena pada kondisi
stress terjadi peningkatan metabolism glukosa secara cepat yang ditandai dengan
meningkatnya sekresi hormone kortisol di dalam darah, sedangkan hormone
kor tisol memiliki aks i yang antagonis denga n insulin yaitu mencegah masuknya
glukosa ke dalam sel jaringan tubuh, akibatnya glukosa yang masuk ke dalam sel
menurun, sehingga menyebabkan kadar glukosa darah meningkat yang disebut
dengan hiperglisemia. Ternak yang mengalami stres, kebutuhannya akan Cr
meningkat karena pada kondisi stres terjadi peningkatan metabolisme glukosa
secara cepat yang ditandai dengan meningkatnya sekresi hormon kortisol di dalam
darah sedangkan hormon kortisol memiliki aksi yang antagonis dengan insulin
yaitu mencegah masuknya glukosa ke dalam sel jaringan tubuh, akibatnya glukosa
yang masuk ke dalam sel menurun, sehingga menyebabkan kadar glukosa darah
meningkat yang disebut dengan hiperglisemia. Peningkatan kadar glukosa darah
merangsang mobilisasi Cr dari penyimpanannya di dalam tubuh. Unsur Cr yang
telah dimobilisasi bersifat tidak balik (irreversible) dan keluar melalui urin
sehingga pada kondisi stres peluang terjadinya defisiensi Cr meningkat. Selain
hiperglisemia, stress akan mengganggu pertumbuhan. Oleh ka rena itu perlu untuk
menormalkan kadar glukosa darah agar tidak mengganggu pertumbuhan dan
performa ternak (Burton 1995).
Moonsie dan Mowat (1993) menyatakan bahwa, suplementasi Cr ragi
(0.2, 0.5 dan 1,0 ppm) pada anak sapi yang mengalami stres meningkatkan berat
28
badan dan konsumsi pakan masing-masing sebesar 29 dan 15% dibandingkan
dengan kontrol selama 30 hari pertama di feedlot. Suplementasi 0.4 ppm Cr yeast
pada sapi yang mengalami stres, setelah 28 hari hasilnya menunjukkan tidak
adanya perbedaan terhadap konsumsi bahan kering per minggu selama 4 minggu
dan pertambahan bobot badan sapi juga tidak berbeda, tetapi Cr nyata
menurunkan kadar kortisol serum (75.0 vs 55.6 nmol/L) dan meningkatkan IgM
dalam serum (kandungan Cr ransum basal (12.12 pp m). Tidak ada respon
terhadap vaksinasi PI-3 (para influenza-3) pada sapi yang stres akibat transportasi
yang disuplementasi 0.16 mg Cr chelate (Burton et al. 1995). Suplementasi 0.8
mg Cr pikolinat pada 24 ekor domba pada kondisi cekaman panas (heat stress)
dengan bobot badan 29 kg tidak mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum,
kadar glukosa plasma, keseimbangan nitrogen, dan kemampuan untuk mencerna
serat (kandungan Cr ransum basal tidak diketahui) (Williams et al. 1994).
Suplementasi 0.25 mg Cr pikolinat pada 24 ekor domba dengan bobot badan 38
kg selama 85 hari tidak mempengaruhi total kolesterol, albumen, total protein, T3
dan T4, glukosa dan urea tetapi terjadi penurunan NEFA (non esterifed fatty acid)
(kandungan Cr ransum basal < 1 mg) (Kitchalong et al. 1995). Selanjutnya
menurut Uyanik (2001) suplementasi Cr tidak mempengaruhi pertambahan bobot
badan, kadar Cr darah, LDL dan kolesterol tetapi menurunkan kadar glukosa
darah pada domba yang disuplementasi dengan 0.2 dan 0.4 Cr organik. Hasil uji
in vitro ransum yang disuplementasi Cr anorganik maupun Cr organik (1, 2, 3 dan
4 ppm) meningkatkan produksi total VFA tetapi kadar NH3 menurun dan
suplementasi Cr organik lebih efisien dibandingkan dengan bentuk anorganik.
Level terbaik penggunaan Cr organik adalah 1.0 ppm (Jayanegara et al. 2006).
Suplementasi Cr organik asal Rhizopus orizae dalam ransum sebesar 1 dan 3
mg/kg memberikan hasil tertinggi pada kecernaan bahan kering dan bahan
organik (secara invitro) (Astuti 2006).
Suplementasi Cr ke dalam pakan akan lebih menguntungkan apabila
diberikan dalam bentuk kompleks organik. Hal ini karena dalam bentuk
anorganik, Cr dapat meracuni terutama yang berbentuk heksavalen (Cr6+),
walaupun tingkat absorbsinya di usus tinggi, sedangkan bentuk trivalen (Cr3+)
yang tidak beracun sangat sulit diserap. Dalam beberapa kasus Cr-anorganik yang
29
dikonsumsi manusia lewat makanan 98% tidak diserap dan dikeluarkan lewat
feses (Amatya et al. 2004). Sebaliknya ketersediaan Cr-organik cukup tinggi,
tercatat 25 sampai 30 persen (Mordenti et al. 1997). Hasil-hasil penelitian Cr
menunjukkan bahwa selain esensial dalam metabolisme karbohidrat, Cr juga
dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan protein dalam hal ini difisiensi Cr
dapat menyebabkan hiperkolesterolemia dan arterosklerosis serta rendahnya
inkorporasi asam amino pada protein hati. Ditambahkan bahwa asam amino yang
dipengaruhi oleh Cr adalah metionin, glisin dan serin (Anderson 1994). Burton
(1995) menambahkan bahwa Cr berperan dalam sitem kekebalan tubuh dan
konversi tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3) yaitu hormon yang berperan
dalam meningkatkan laju metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dalam hati,
ginjal, jantung dan otot serta meningkatkan sintesis protein. Kompleks Cr organik
terdapat dalam bentuk Cr-chelate, Cr proteinat ragi (high Cr-yeast) dan Cr-
pikolinat. Kromium pikolinat terbentuk dari Cr3+
Pencernaan mikroba pada ruminansia
yang mengikat 3 molekul asam
pikolinat. Asam pikolinat adalah metabolit sekunder yang dihasilkan pada
metabolisme triptofan sebelum membentuk nisin atau asam nikotinat (Combs
1992, Groff & Gropper 2000). Menurut Sahin et al (2011) yang melakukan
percobaan pada tikus yang diberi diet tinggi lemak mengatakan bahwa kondisi di
mana metabolisme glukosa terganggu karena resistensi insulin berkaitan dengan
gangguan memori, tambahan kromium (Cr) dapat mengurangi resistensi insulin
pada diabetes tipe 2 dan akibatnya meningkatkan akuisisi memori, tergantung
pada sumber dan tingkat. Selanjutnya hasil penelitian Toghyani et al (2010)
menunjukkan bahwa diet suplementasi Cr-yeast meningkatkan kualitas daging
ayam, paha ayam ras pedaging dalam kondisi stres panas
Ruminansia merupakan ternak yang unik, karena mempunyai sistem
pencernaan yang mampu merubah secara efisien sumber-sumber karbohidrat,
maupun bahan makanan kasar yang tedapat cukup di alam, hal ini dapat
berlangsung karena didalam rumenya terdapat mikroba yang mampu mencerna
serat kasar (Tillman et al 1998).
30
Pencernaan ada lah suatu rangka ian proses perubahan secara fisik dan kimia
yang terjadi pada pakan di dalam alat pencernaan hewan. Alat pencernaan
ruminansia terdiri dari mulut, perut, usus halus, dan alat pencernaan bagian
belakang (Hind gut). Perut ternak ruminansia terdiri dari empat bagian yaitu
rumen (pe rut beludru), retikulum (perut laja/sarang lebah), omasum (perut buku),
dan abomasum (perut sejati/ perut kelenjer). Tiga pertama disebut perut bagian
depan (fore gut) dan abomasum disebut perut sejati . Rumen dan retikulum
tergabung menjadi satu bagian dan disebut retikolorumen, didalamnya terdapat
bakteri, protozoa, fungsi dan virus yang kesemuanya berperan pada metabolisme
dalam rumen (Van Soest 1987).
Proses degradasi dan fermentasi pakan karbohidrat di dalam rumen di bagi
menjadi 3 tahap yaitu 1) pemecahan partikel makanan menghasilkan polimer
karbohidrat; 2) polimer dihidrolisir menjadi sakharida sederhana; 3) sakharida
sederhana menghasilkan Volatile fatty Acid (VFA). Pakan yang kaya akan
karbohidrat dirombak menjadi gula sederhana (maltosa, selobiosa, silosa dan
pentosa). Selanjutnya pruduk tersebut di konversi oleh enzim yang diproduks i
oleh bakteri rumen menjadi glukosa atau glukosa l- fosfat dan melalui proses
glikolisis dibentuk menjadi asam piruvat dan energi berupa ATP. Asam piruvat
yang terbentuk difermentasi di rumen dan menghasilkan VFA, yang dapat
menggambarkan fermentasi suatu pakan. Peningkatan kosentrasi VFA dapat
mencerminkan peningkatan protein asal pakan dan karbohidrat yang mudah larut
(readily available carbohydrate/RAC), lebih kurang 75% dari total VFA yang
dihasilkan diserap ke dalam retikulo-rumen, kemudian dalam abomasum dan
omasum, sedang sisanya 5% diserap dalam usus. Secara umum kandungan VFA
individual cairan rumen sapi 50-65% untuk asetat, 18-24% propionat dan 13-21%
butirat, sedangkan untuk domba mengandung 53-66% asetat, 19-27% propionat
dan 12-17% butirat dari persen molar total VFA. Produksi VFA cairan rumen
mencerminkan tingkat fermentasi suatu bahan. Semakin rendah suatu bahan
difermentasi semakin besar pula produksi VFA yang dihasilkan. VFA yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan dan aktifitas mikroba maksimum 80-160 mM
(Arora 1995).
31
Kosentrasi amonia dalam rumen bervariasi dari 0-130 mM cairan rumen.
Protein yang berasal dari ransum masuk ke dalam rumen akan mengalami proses
degradasi oleh mikroba rumen menjadi peptida dan asam-asam amino.
Selanjutnya asam amino mengalami deaminasi amonia, CO2 dan mikroba dan
untuk menilai keefisienan penggunaan N pada ruminansia. Konsentrasi amonia
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 1) kandungan protein dalam ransum
serta kelarutannya, 2) jumlah karbohidrat dalam ransum, dan 3) waktu setelah
makan (Sutardi 1990).
Peningkatan karbohidrat yang mudah difermentasi (RAC) akan menurunkan
produk amonia, karena terjadi peningkatan penggunaan amonia untuk
pertumbuhan mikroba. Kondisi yang ideal adalah sumber energi sama cepatnya
difermentasi dengan pembentukan amonia, sehingga pada saat terbentuk amonia
terdapat juga rantai karbon dari fermentasi karbohidrat yang akan digunakan
sebagai sumber kerangka karbon protein mikroba yang telah tersedia (McDonald
et al. 2002).
Kebutuhan nutrisi pada domba
Nutrisi diperlukan oleh ternak untuk kebutuhan hidup pokok membangun
jaringan ba ru dan jaringa n tubuh yang mengalami kerusakan serta produks i,
sehingga dalam pemberian pakan untukternak domba harus memperhatikan
kandungan nutrisi dalam ransumnya serta disesuaikan dengan kebutuhannya
(Tillman et al. 1991). Standar kebutuhan nutrisi yang memenuhi persyaratan
kebutuhan domba di Indonesia, dengan pertambahan bobot badan harian (PBBH)
50 – 100 g/ekor/hari adalah BK 3.1 – 3.4% BB, PK 73.7 – 135.8 g/ekor/hari dan
energi 6.23 - 11.63 MJ/ekor/hari (Haryanto dan Djajanegara 1993). Ternak
domba lokal jantan umur 10 – 12 bulan dengan bobot badan 24.88± 3.77 kg yang
diberi pakan konsentrat 2% bobot badan dengan kandungan PK ±15%dan TDN
±70% menghasilkan rataan PBBH 122 g/ekor/hari (Ernawati dan Sunarso 2001).
Standar kebutuhan nutrisi per ekor per hari untuk domba di Indonesia disajikan
pada Tabel 5.
Anggorodi (1994) mengatakan bahwa faktor- faktor yang dapat menentukan
kebutuhan nutrisi adalah laju pertumbuhan, ukuran, jenis kelamin, kondisi
32
fisiologis dan lingkungan. Individu ternak dalam suatu bangsa yang memiliki laju
pertumbuhan cepat akan memerlukan nutrisi yang lebih banyak dibandingkan
ternak dengan laju pertumbuhan lambat (Tulloh dan William dalam Soeparno
1994). Selanjutnya menurut Berg dan Butterfield dalam Soeparno (1994), ternak
dengan ukuran tubuh yang besar memerlukan nutrisi yang lebih banyak daripada
ternak dengan ukuran kecil.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat konsumsi pakan seekor
domba antara lain meliputi jenis dan tipe ternak, umur dan bobot badan, tingkat
produksi, pakan yang diberikan erta lingkungan tempat domba tersebut dipelihara
(Anggorodi 1994). Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa bangsa
unggul dengan tingkat
Tabel 5 Standar kebutuhan energi dan protein per ekor per hari untuk domba di Indonesia
BB (kg) PBB (g)
Kebutuhan Energi Kebutuhan Protein Konsumsi Bahan kering (% BB)
DE (MJ) ME (MJ) TP (g) DP (g) 10 12 14 16 18 20
0 50 100 0 50 100 0 50 100 0 50 100 0 50 100 0 50 100
4.84 6.23 8.28 4.90 6.91 8.95 5.57 7.58 9.62 6.23 8.24
10.29 6.91 8.95
10.96 7.57 9.62
11.63
3.43 5.11 6.78 4.02 5.65 7.32 4.56 6.23 7.91 5.11 6.78 8.45 5.65 7.32 8.99 6.32 7.87 9.54
44.7 73.7 102.7 51.3 80.3 109.3 57.9 86.9 116.0 64.5 93.6 122.6 71.2 100.2 129.2 77.8 106.8 135.8
16.5 35.2 54.0 24.9 43.6 62.3 33.2 52.0 70.7 41.6 60.3 79.1 40.0 68.7 87.4 58.4 77.1 95.8
3.4
3.3
3.2
3.2
3.1
3.1
Sumber: Haryanto dan Djajanegara (1993) Keterangan:BB = bobot badan PBB= pertambahan bobot badan DE = d igestible energy ME= metabolizable energy TP = total protein DP= d igestible protein produktivitas tinggi cendrung mengkonsumsi pakan yang lebih banyak dibanding
dengan bangsa lokal. Haryanto dan Djajanegara (1993) menyatakan bahwa domba
tipe pedaging mengkonsumsi lebi banyak daripada tipe wool, dan domba dengan
bobot badan (BB) yang besar cendrung mengkonsumsi pakan lebih banyak
33
dibanding BB yang kecil. Cekaman panas sebagai akibat suhu lingkungan yang
tinggi akan menurunkan konsumsi pakan oleh ruminansia (Moose et al dalan
Rianto 1997). Jumlah konsumsi pakan dipengaruhi oleh kebutuhan BK dan zat-
zat pakan lainnya sesuai dengan BB dan fungsi fisiologisnya (Herman 1977).
Komposisi kimia dan kualitas dag ing
Daging adalah seluruh bagian karkas, tidak hanya terdiri dari jaringan otot,
tulang dan lemak, tetapi termasuk juga organ-organ tubuh dan kelenjar yang dapat
atau lazim dimakan. Daging terdiri dari otot, lemak dan sejumlah jaringan ikat
seperti jaringan epithel, syaraf dan pembuluh darah. Komposisi kimia daging
bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ; bangsa, umur, pakan
dan perbedaan pertumbuhan, termasuk perbedaan waktu penggemukan (Soeparno
1998).
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil
pengolahan jaringan-jaringa n tersebut yang sesuai unt uk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya, keadaan fisik daging
dapat dikelompokkan menjadi (1) daging segar yang dilayukan atau tanpa
pelayuan, (2) daging yang dilayukan kemudian didingin-kan (daging dingin), (3)
daging yang dilayukan, didinginkan, kemudian dibekukan (daging beku), (4)
daging masak, (5) daging asap, dan (6) daging olahan. Karkas tersusun atas
kurang lebih enam ratus jenis otot yang berbeda ukuran dan bentuknya, susunan
syaraf dan persediaan darahnya serta perlekatannya pada bagian tulang dan tujuan
serta jenis geraknya. Kesehatan daging merupakan bagian yang penting bagi
kesehatan makanan dan selalu menjadi pokok permasalahan yang mendapatkan
perhatian khusus dalam penyediaan daging bagi konsumen (Aberley et al. 2001).
Daging yang dapat dikonsumsi adalah daging yang berasal dari hewan
yang sehat. Saat penyembelihan dan pemasaran berada dalam pengawasan
petugas rumah potong hewan serta terbebas dari pencemaran mikroorganisme.
Secara fisik, kriteria daging yang baik adalah berwarna merah segar, berbau
aromatis, memiliki konsistensi
yang kenyal dan bila ditekan tidak terlalu banyak mengeluarkan cairan. Daging
sebagai sumber protein hewani memiliki nilai hayati (biological value) yang
34
tinggi, mengandung 19% protein, 5% lemak, 70% air, 3,5% zat-zat non protein
dan 2,5% mineral dan bahan-bahan lainnya (Forrest et al. 1992). Komposisi
daging menurut Lawrie (2003) terdiri atas 75% air, 18% protein, 3,5% lemak
dan 3,5% zat-zat non
protein yang dapat larut. Secara umum, komposisi kimia daging terdiri atas 70%
air, 20% protein, 9% lemak dan 1% abu. Jumlah ini akan be rubah bila
hewan
digemukkan yang akan menurunkan persentase air dan protein serta
meningkatkan persentase lemak (Romans et al. 1994). Daging merupakan sumber
utama untuk mendapatkan asam amino esensial. Asam amino esensial terpenting
di dalam otot segar adalah alanin, glisin, asam glutamat, dan histidin. Daging sapi
mengandung asam amino leusin, lisin, dan valin yang lebih tinggi daripada daging
babi atau domba. Pemanasan dapat mempengaruhi kandungan protein daging.
Daging sapi yang dipanaskan pada suhu 70oC akan mengalami pengurangan
jumlah lisin menjadi 90 persen, sedangkan pemanasan pada suhu 160o
Lawrie (2003) menyatakan bahwa susunan kimia daging secara umum
terdiri dari 75% air, 19% protein, 2,5% lemak, 1,2% karbohidrat, dan 2,3% zat
terlarut dan vitamin. Protein daging terdistribusi pada miofibril 11,5%,
sarcoplasma 5,5% dan jaringan ikat 2%. Kadar protein daging relatif konstan
akan tetapi pada kasus tertentu perbedaan kadar protein pada urat daging
disebabkan karena perbedaan struktur daging yang terdiri atas protein miobril dan
jaringan ikat (kolagen, elastin dan retikulin). Actin dan myosin menyusun 75-
80% protein, sedangkan yang lain pada protein pengatur kontraksi yakni;
tropomin, tropomiosin, M-protein, C-protein, alfaactinin, dan beta actinin.
Kolagen ada lah komponen utama jaringan ikat, dan jaringan ini terdapat hampir
disemua komponen tubuh, sehingga kolagen paling banyak terdapat dalam tubuh
ternak.
C akan
menurunkan jumlah lisin hingga 50 persen. Pengasapan dan penggaraman juga
sedikit mengurangi kadar asam amino (Lawrie 2003).
Kualitas daging ditentukan oleh beberapa kriteria antara lain warna,
keempukan, flavor dan bau, cita rasa dan jueceness, kandungan lemak, susut
masak, retensi cairan dan pH daging (Soeparno 1998). Kadar kolagen daging
35
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : kandungan lemak, umur ternak, dan
aktifitas gerak dari urat daging. Kualitas daging ditentukan oleh beberapa kriteria
antara lain: warna, keempukan, flavor, dan aroma (bau, cita rasa, dan juceness),
kandungan lemak intramusculair (marbling), Susut masak (cooking lost ), retensi
cairan, dan pH daging (Soeparno 1998).
Komponen lemak yang paling menentukan adalah lemak intramuskuler
(marbling), lemak tersebut sangat menentukan keempukan rasa dan aroma.
Daging yang dinilai baik adalah daging yang tingkat perlemakannya tidak terlalu
banyak, tetapi cukup mempunyai perlemakan di dalam urat daging (McPhee
2008). Daging yang hampir tidak mengandung marbling tampak kering dan yang
mempunyai flavor yang kurang baik, namun sebaliknya apabila marbling terlalu
banyak akan mengurangi palatabilitas.
Satuan produk karkas dinyatakan dalam bobot dan persentase. Persentase
karkas dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot potong, kondisi ternak, bangsa,
proporsi bagian non karkas, dan makanan. Persentase karkas sangat bervariasi
antar 50-60% dari bobot hidup, rata-rata persentase karkas domba lokal adalah
43.60 persen (Sunarlin & Usmiati 2006). Faktor yang perlu diperhitungkan
dalam memperkirakan jumlah daging dari karkas dalah; 1) ketebalan lemak sub
kutan, 2) luas mata rusuk longisimus dorsi area, 3) persen lemak viscena
(penyelubung gijal, pelvis, dan jantung), dan 4) berat karkas (Swatland 1994).
Lawrie (2003) menyatakan bahwa pembagian karkas menjadi potongan-
potongan karkas sangat bervariasi pada beberapa negara atau daerah, berbeda dari
satu tempat ke tempat lainnya, disesuaikan dengan spesies ternak dan selera
konsumen. Karkas domba terbagi atas dua bagian besar yaitu forsadle (51%) dan
hindsadle (49%), forsadle (bagian depan) terdiri shuoulder, rack, freshank, dan
breast, sedangkan hindsadle (bagian belakang) terdiri dari loin, leg, dan flank.
Selanjutnya dinyatakan bahwa potongan utama dari karkas domba adalah leg,
rack, dan breast, Potongan-potongan komersial karkas tercantum pada Gambar 6.
36
Topside and silverside Steakmeal Aitchbone Rumo S irloin Forerib Midrib Clod and sticking
Leg Top rump Flank Briska l Shin Gambar 6 Potongan-potongan karkas ko mersial (Lawrie 2003)
Soeparno (1998) menyatakan bahwa, kandungan lemak pada daging
menentukan kualitas daging karena lemak menentukan cita rasa dan aroma
daging. Keragaman yang nyata pada kompos isi lemak terdapat antara jenis ternak
memamah biak dan ternak tidak memamah biak adalah karena adanya
hidrogenasi oleh mikroorganisme rumen. Protein daging terdiri dari protein
sederhana dan protein terkonjugasi, berdasarkan asalnya protein dapat dibedakan
dalam 3 kelompok yaitu protein sarkoplasma, protein miofibril, dan protein
jaringan ikat. Protein sarkop lasma adalah protein larut air karena umumnya dapat
diekstrak oleh air dan larutan garam encer. Protein miofibril terdiri atas aktin dan
miosin, serta sejumlah kecil troponin dan aktinin. Protein jaringan ikat ini
memiliki sifat larut dalam larutan garam. Protein jaringan ikat merupakan fraksi
protein yang tidak larut, terdiri atas protein kolagen, elastin, dan retikulin.
Kualitas fisik dag ing
Warna daging
Faktor utama yang menentukan warna daging yaitu konsentrasi pigmen
daging myoglobin, tipe molekul dan status kimia myoglobin. Faktor penentu
warna daging tersebut dipengaruhi oleh pakan, spesies, bangsa, umur, jenis
kelamin, stress (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen (Purbowati et al.
2005). Pada umumnya, makin bertambah umur ternak, konsentrasi myoglobin
37
makin meningkat, tetapi peningkatan ini tidak konstan. Warna daging dapat
diukur dengan notasi atau dimensi warna “tristimulus”, yaitu: 1. hue = warna
(misalnya merah, hijau, dan biru), 2. nilai = terang atau gelap, dan 3. kroma =
jumlah atau intensitas warna. Warna daging domba bervariasi antara merah
terang hingga merah gelap. Dalam daging segar, sebelum dimasak bentuk kimia
yang paling penting adalah oksimioglobin. Walau itu terjadi dipermukaan saja,
pigmen ini sangat penting karena menggambarkan warna merah cerah yang
dikehendaki oleh konsumen (Lawrie 2003).
Nilai pH dag ing
Perubahan nilai pH sangat penting untuk diperhatikan dalam perubahan
daging postmortem. Nilai pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging,
karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air, dan
masa simpan. Konsentrasi glikogen otot pada saat pemotongan merupakan salah
satu faktor terpenting yang mempengaruhi kualitas daging. Glikogen adalah
subs trat metabolik dalam glikolisis postmortem yang menghasilkan asam laktat,
yang akan mempengaruhi pH otot. Proses glikolisis dan penurunan pH
berlangsung hingga cadangan glikogen habis atau terhentinya proses metabolik
terkait terhentinya proses enzimatik akibat pH yang rendah (Lukman et al 2007).
Aberley et al. (2001) menyatakan bahwa nilai pH daging ditentukan oleh
kadar glikogen dan asam laktat daging hewan setelah dipotong. Perubahan pH ini
tergantung dari jumlah glikogen sebelum dilakukan pemotongan. Bila jumlah
glikogen dalam ternak normal akan mendapatkan daging yang berkualitas baik,
tetapi bila glikogen dalam ternak tidak cukup atau terlalu banyak akan
menghasilkan daging yang kurang berkualitas, bahkan mendapatkan daging yang
berkua litas jelek. Laju penurunan pH daging secara umum dapat dibagi menjadi
tiga yaitu:
1. Nilai pH menurun secara bertahap dari 7.0 sampai berkisar 5.6 – 5.7 dalam
waktu 6 – 8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3 – 5.7.
Pola penurunan pH ini ada lah normal.
38
2. Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan
dan tetap sampai mencapai pH akhir sekitar 6.5 – 6.8 . Sifat daging yang
dihasilkan adalah gelap, keras dan kering atau dark firm dry (DFD).
3. Nilai pH turun relative cepat sampai berkisar 5.4 – 5.5 pada jam-jam pertama
setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.4 – 5.6 . Sifat daging
yang dihasilkan ialah pucat, lembek dan berair atau disebut pale soft
exudative (PSE).
Keempukan daging
Keempukan merupakan penentu kualitas daging domba. Komponen
utama yang menentukan keempukan ada lah jaringa n ikat dan lemak yang
berhubungan dengan otot (Aberle et al. 2001). Bertambahnya umur ternak akan
mengurangi tingkat keempukan dari daging karena ikatan silang intra dan
intermolekuler antara polipeptida kolagen meningkat. Pertumbuhan yang cepat
dapat mengurangi ikatan silang sehingga meningkatkan keempukan, perbedaan
bangsa juga dapat menimbulkan perbedaan keempukan daging, daging dari tipe
kecil lebih empuk dari pada daging dari tipe besar (Lawrie 2003). Menurut
Epley (2008) bahwa keempukan daging akan menurun seiring dengan
meningkatnya umur hewan. Jaringan ikat pada otot hewan muda banyak
mengandung retikuli dan memiliki ikatan silang yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan hewan tua. Pemasakan daging dalam oven 135oC sampai
suhu dalam 50oC atau 60oC tidak mempengaruhi nilai daya putus Warner Bratzler
(Lawrie 2003). Perbedaan suhu dalam daging saat pemasakan (60oC, 70oC,
80oC) akan mempengaruhi keempukan dari daging, semakin tinggi suhu akhir
pemasakan akan menghasilkan daging yang lebih empuk. Suhu akhir (60oC,
70oC, 80oC) secara akurat dapat digunakan sebagai alat untuk klasifikasi
keempukan daging, tetapi pada suhu yang rendah (60oC) perbedaan suhu dalam
daging tidak dapat dijadikan patokan yang akurat untuk klasifikasi keempukan
daging karena dipengaruhi oleh waktu pemasakan, jumlah perubahan jaringan
dan rendahnya nilai klasifikasi keempukan (Wheeler et al. 1999). Combes et al.
(2002) menyatakan bahwa nilai keempukan daging dengan Warner Bratzler
mencapai minimum pada suhu dalam 60-65oC dan meningkat kembali mencapai
maksimum pada suhu dalam daging 80-90oC. Keempukan daging berkisar antara
39
3.83-5.49 dan secara statistik hampir sama, hal ini disebabkan komposisi PK dan
lemak yang hampir sama.
Faktor yang mempengaruhi keempukan daging dapat digolongkan menjadi
dua, yakni faktor antemortem dan faktor postmortem.
Kriteria keempukan menurut Suryati dan Arief (2005) berdasarkan panelis
yang terlatih menyebutkan bahwa daging sangat empuk memiliki daya putus WB
(Warner Bratzler) < 4.15 kg/cm
Faktor antemortem tersebut
meliput i genetik termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, umur, manajemen, jenis
kelamin, dan stress. Faktor postmortem diantaranya adalah metode chilling,
refrigerasi, pelayuan, dan metode pengolahan. Jadi keempukan bisa bervariasi
antara spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas, dan
diantara otot, serta pada otot yang sama. Keempukan daging ditentukan oleh 3
komposisi daging yaitu : 1. Struktur miofibril dan status kontraksinya, 2.
Kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silang dan 3. Daya ikat air oleh
protein daging dan marbling (Abe rle et al 2001). Perbedaan bangsa juga dapat
menimbulkan perbedaan keempukan daging, daging dari tipe kecil lebih empuk
daripada daging dari tipe besar (Lawrie 2003). Menurut Epley (2008)
keempukan daging akan menurun seiring dengan meningkatnya umur hewan.
Jaringan ikat pada otot hewan muda banyak mengandung retikuli dan memiliki
ikatan silang yang lebih rendah jika dibandingkan dengan hewan tua.
2, daging empuk 4.15 - < 5.86 kg/cm2, daging
agak empuk 5.86 - < 7.56 kg/cm2, daging agak alot 7.56 - < 9.27 kg/cm2, daging
alot 9.27 - < 10.97 kg/cm2, daging sangat alot = 10.97 kg/cm2
Keempukkan daging ditentukan oleh tiga komponen daging yaitu; 1)
struktur miofibril dan status kontraksi, 2) kandungan jaringan ikat dan ikatan
silang, dan 3) daya ikat air oleh protein daging dan marbling (Soeparno 1998).
Tingkat keempukkan daging dapat dihubungkan dengan tiga katagori protein
otot yaitu; 1) protein jaringan ikat (ko lagen, elastin, dan mukopolisakarida),
2) miofibril (miosin, actin, dan tropomiosin), dan 3) sarkoplasma (protein
sarkoplasmatik, dan sarkoplas-matik retikulum). Kontribusi masing-masing
kategori protein tersebut tergantung pada tingkat kontraksi miofibril, tipe otot dan
lama serta suhu pemasakan (Lawrie 2003).
.
40
Daya mengikat air (DMA)
Daya mengikat air (DMA) oleh protein daging atau water holding capacity
merupakan suatu nilai yang menunjukkan kemampuan untuk mengikat air atau
cairan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar yang ditambahkan. Daya
mengikat air merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan daya
terima daging oleh konsumen. Pengukuran banyak air yang hilang atau drip
merupakan hal yang penting dalam penentuan rantai harga, karena mempengaruhi
bobot daging. Tingkat daya mengikat air ini ditentukan oleh spesies, genetik, laju
glikolisis, pH akhir, proses pemotongan dan waktu (Honikel 1998). Fungsi atau
gerakan otot yang berbeda mengakibatkan perbedaan jumlah glikogen yang
menentukan besarnya pembentukan asam laktat dan akhirnya menghasilkan DMA
yang berbeda. Lawrie (2003) menambahkan bahwa daya mengikat air daging
sangat dipengaruhi oleh pH, semakin tinggi pH akhir semakin sedikit penurunan
DMA. Daya mengikat air sangat penting dalam proses pengolahan daging
sebaga i protein yang mampu menahan lebih banyak air menjadi lebih mudah
larut. Daya mengikat air menurun dari pH tinggi (sekitar 7-10) sampai pada pH
titik isoelektrik protein-potein daging antara 5.0 – 5.1.
Daya ikat air (DMA) daging adalah kemampuan daging untuk mengikat
airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar,
misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Daya ikat
air dipengaruhi oleh perbedaan macam otot, species, umur dan fungsi otot. Fungsi
atau gerakan otot yang berbeda mengakibatkan perbedaan jumlah glikogen yang
menentukan besarnya pembentukan asam laktat dan akhirnya menghasilkan DIA
yang berbeda. Daya ikat air menurun dari pH tinggi (sekitar 7-10) sampai pada pH
titik isoelektrik protein-potein daging antara 5,0–5,1
Salah satu faktor yang
mempengaruhi DMA daging adalah umur ternak. Semakin tua umur ternak,
kapasitas memegang air daging lebih sedikit.
(Purbowati et al. 2005).
Lawrie (2003) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi DMA
daging adalah umur ternak. Semakin tua umur ternak, kapasitas memegang air
daging lebih sedikit.
41
Susut masak
Susut masak dipengaruhi oleh temperatur dan lama pemasakan. Semakin
tinggi temperatur pemasakan maka semakin besar kadar cairan daging yang hilang
sampai mencapai tingkat yang konstan. Beberapa faktor yang memepengaruhi
susut masak adalah pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut
otot, status kontraksi myofibril, ukuran dan berat sampel daging dan penampang
lintang daging (Soeparno 1998). Daging dengan susut masak yang lebih rendah
mempunyai kualitas yang lebih baik daripada daging dengan susut masak yang
lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit.
Besarnya susut masak dapat dipergunakan untuk mengestimasi jumlah jus dalam
daging. Kesan jus daging atau juiciness mempunyai hubungan yang erat dengan
susut masak. Kadar jus daging yang rendah dapat disebabkan oleh susut masak
yang tinggi. Kadar jus daging yang rendah dapat disebabkan oleh susut masak
yang tinggi. Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas
yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar,
karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Perebusan daging
pada suhu 60 – 90oC menyebabkan rusaknya jaringan epimisium, perimisium dan
endomisium sehingga myofibril menyus ut yang menstimulasi keluarnya cairan
daging. Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama pemasakan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi susut masak adalah pH, panjang sarkomer
serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi myofibril, ukuran dan
berat sampel daging dan penampang lintang daging. Daging dengan susut masak
yang lebih rendah mempunyai kualitas yang lebih baik daripada daging dengan
susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan
akan lebih sedikit. Besarnya susut masak dapat dipergunakan untuk
mengestimasi jumlah jus dalam daging, jus daging atau juiciness mempunyai
hubungan yang erat dengan susut masak, kadar jus daging yang rendah dapat
disebabkan oleh susut masak yang tinggi, umumnya susut masak bervariasi
dengan kisaran antara 15-40% (Soeparno 1998). Selanjutnya Lawrie (2003)
menjelaskan bahwa bobot potong dapat mempengaruhi susut masak apabila
terdapat perbedaan deposisi lemak intramuskuler (marbling). Daging dengan
susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dari
42
pada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi
selama pemasakan akan lebih sedikit.
III. PENGARUH KONSENTRASI NaOH DAN LAMA PEMERAMAN TERHADAP KANDUNGAN GIZI SERAT SAWIT
ABSTRACT
Study the influence of NaOH concentration and immersion periode on the nutrients content of palm press fiber has been done to obtain the best level of NaOH concentration and immersion periode. The design used Completely Randomized Design with factorial pattern (3x3) and 2 replicates. Factor A was concentration of NaOH (A1 = 2.5%, A2 = 5%, A3 = 7.5%) and factor B was immersion periode of palm press fiber in NaOH (B1 = 6 hours, B2 = 12 hours, B3 = 24 hours). Data obtained from this study were statistically processed by analysis of variance Variables observed in this study were: (1) dry matter content of nutrients, crude protein (AOAC 1990). The content of the fiber fraction NDF, ADF, cellulose, hemicellulose, and lignin was determined by analysis of Van Soest, (2) the structure of the cell wall (scanning electron microscope) by using the ESM-JSM-5310 LV to determine the porosity occurred during NaOH treatments to determine the porosity occurred during NaOH treatments. The results of this study indicated that the NaOH concentration of 2.5% with 24-hour immersion periode showed that the NaOH concentration of 2.5% with 24-hour immersion periode showed the best results in lowering the content of NDF, ADF palm press fiber without affecting the value of crude protein. By using a scanning electron microscope (SEM), it showed that some of cell wall fractions were dissolved by NaOH treatment especially the lignin was split from the ligno-cellulose bond in the epidermis. Key words : palm press fiber, NaOH, nutritive quality
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Serat sawit (palm press fibre) adalah salah satu hasil samping pengolahan
kelapa sawit. Setiap ha luasan kebun kelapa sawit dihasilkan berupa serat sawit
sebanyak 2.681 kg bahan kering per tahun (Diwyanto et al 2004). Dengan luas
perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia yakni 7 juta Ha (90 % nya
berproduksi), jumlah serat sawit yang dihasilkan adalah sebesar 16,888 metrik
ton BK/th. Tingginya kadar serat kasar terutama selulosa (48.96%) dan lignin
serta rendahnya kandungan protein kasar (3.93%) dari serat sawit (Rahman et al
2007) merupakan faktor pembatas penggunaannya sebagai pakan ternak. Dilain
pihak ketersediaan hjauan yang berfluktuasi terutama pada musim kemarau dapat
menyebabkan masalah serius bagi ternak khususnya ruminansia, karena hijauan
merupakan salah satu pakan yang sangat umum digunakan. Untuk mengatasi
44
masalah tesebut diperlukan pakan lain yang ketersediaannya terus menerus dan
tidak tergantung pada musim. Serat sawit dapat dijadikan sebagai salah satu
alternatif pengganti rumput.
Pemanfaatan serat sawit sebagai pakan ternak menghadapi kendala
disebab-kan nilai nutrisinya yang rendah, sehingga perlu pengolahan. Untuk
mengantisipasi keadaan tersebut perlu dilakukan pengolahan serat sawit sebelum
diberikan kepada ternak, antara lain dengan penggunaan alkali seperti NaOH.
Menurut Moss et al. (1990) pengolahan dengan NaOH adalah suatu metode yang
efektif untuk meningkatkan kualitas yang rendah dari jerami padi walaupun
dengan penambahan NaOH membuat defisiensi nitrogen yang lebih buruk pada
jerami padi. Pengolahan ini pada prinsipnya ditujukan untuk merenggangkan
ikatan ligno-selulosa dan ligno-hemiselulosa, meningkatkan daya cerna bahan,
daya guna limbah serta memper-panjang waktu penyimpanan. Untuk
mengoptimalkan penggunaan serat sawit sebagai pakan ternak dapat dilakukan
lagi perlakuan fisik (dipotong, digiling) atau kimia. Penelitian pemeraman serat
sawit dengan NaOH dilakukan guna mendapatkan informasi level NaOH yang
tepat selama pemeraman. Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan adalah
perendaman dengan NaOH.
MATERI DAN METODE
Preparas i Serat Sawit
Serat sawit diperoleh dari pabrik pengolahan kelapa sawit PT Incasi Raya
di Padang. Serat sawit dibersihkan dari kotoran dan cangkang kelapa sawit,
kemudian dikeringkan dengan panas matahari hingga kadar air ± 12%. Bahan
kimia yang digunakan adalah NaOH kristal (teknis) diperoleh dari toko bahan
kimia di Bogor.
Pembuatan Serat Sawit-NaOH
Serat sawit-NaOH dibuat dengan memodifikasi metode Sunstøl (1984).
Diagram alur pembuatan serat sawit-NaOH ditampilkan pada Gambar 7.
45
Serat Sawit 200g + NaOH (2.5; 5; 7.5%)
Diperam (6, 12 dan 24 jam)
Dicuci, d itiriskan dan dikeringkan
± pH 7
Serat Sawit-NaOH
Gambar 7 Diagram alur pembuatan serat sawit-NaOH
Metode Analisis
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah: (1) kandungan nutrisi
meliputi bahan kering, protein kasar (AOAC 1990). Kandungan fraks i serat
NDF, ADF, selulosa, hemiselulosa, dan lignin ditentukan dengan analisis Van
Soest (Van Soest 1987); (2) struktur dinding sel (scanning electron microscope)
dengan menggunakan ESM-JSM-5310 LV.
Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola
faktorial dengan 2 faktor (3x3) dan 5 ulangan (Steel & Torrie 1993). Faktor
perlakuan A = Level konsentrasi NaOH (A1=2,5%, A2=5%, A3=7,5%) dan faktor
perlakuan B = Lama pemeraman serat sawit dalam NaOH (B1=6 jam, B2=12 jam,
B3 = 24 jam). Data yang diperoleh dari penelitian ini diolah secara statistik
dengan analisis keragaman. Jika analisis keragaman menunjukkan perbedaan
nyata maka dilakukan uj i Duncan`s Multiple Range Test (DMRT).
Analisis Sampel
1. Bahan kering, Protein Kasar (Analisis Proksimat metode Kjedahl)
46
2. Kandungan Neutral Detergent Fiber (NDF), Acid Detergent Fiber (ADF),
Selulosa, Hemiselulosa, Lignin dan Silika (Van Soest 1994)
3. SEM (Scanning Electron Microscope). Scanning Electron Microscope
dengan menggunakan ESM-JSM-5310 LV. Sampel diambil sebanyak 2 g,
kemudian diletakkan ditempat preparasi sampel terus ditutup dan dilakukan
pengecekan dengan SEM (Gambar 8).
A Gambar 8 Scanning Electron Microscope
A.Tempat meletakkan sampel
HASIL DAN PEMBAHASAN
Scanning elektron mikroskop (SEM)
SEM dimaksud untuk mengetahui porositas yang terbentuk akibat
pemeraman serat sawit dengan NaOH, yaitu berupa rongga primer maupun
sekunder secara detail, sangat berguna karena mampu memberi informasi jauh
lebih detil daripada sekadar analisis mikroskopis. SEM sanggup memperbesar
image puluhan ribu kali sehingga struktur dalam serat terlihat dengan jelas
termasuk porositas (Lelono & Isnawati 2007).
47
A B
pl pr pl pr Gambar 9 Penampang dinding sel serat sawit dengan SEM
A. Serat sawit pada perbesaran 1.000 x. B. Serat sawit diperam NaOH perbesaran 1.000x. pl = parenkim longitudinal, pr = parenkim jari-jari pecah terbentuk lokus- lok us
Serat sawit mengandung selulosa merupakan komponen utama penyusun
dinding sel berikatan dengan lignin dan hemiselulosa membentuk suatu
lignoselulosa. Pengaruh konsentrasi NaOH dan lama pemeraman terhadap dinding
sel serat sawit jelas sekali terlihat dengan menggunakan scanning electron
microscopy (SEM) disajikan pada Gambar 9A dan 9B. Pada Gambar 9A serat
sawit tanpa pemeraman dengan NaOH terlihat jaringan dasar terjalin dengan pita
parenkim longitudinal dan dengan parenkim jari- jari, pembuluh tertutup oleh
tilosis. Semakin tinggi konsentrasi NaOH maka aktivitas alkali akan lebih kuat
dalam memutuskan ikatan antara lignin dengan hemiselulosa dan selulosa dinding
sel serat sawit berupa rongga primer maupun sekunder. Pada Gambar 9B dengan
bantuan scanning electron microscope (SEM) jelas terlihat prubahan porositas
yang terbentuk akibat pemeraman serat sawit dengan NaOH yaitu perubahan
rongga primer maupun sekunder yang pecah menjadi tidak kelihatan, yang
terbentuk ada lah berupa lokus- lokus berarti sebagian dinding sel larut dan terjadi
perubahan struktur dinding sel yang berperan untuk melonggarkan dan memecah
ikatan lignin dengan selulosa dan hemiselulosa.
Pengaruh konsentrasi NaOH dan lama pemeraman terhadap kandungan bahan kering serat sawit
Respon perlakuan menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antar per-
lakuan, tapi masing-masing perlakuan berbeda sangat nyata (P<0.01) antara
48
konsentrasi NaOH dan lama pemeraman terhadap kandungan bahan kering dan
protein kasar serat sawit seperti disajikan pada Tabel 6.
Tabe l 6 Pengaruh konsentrasi NaOH dan lama pemeraman terhadap kandungan bahan kering dan protein kasar
Konsentrasi NaOH (A)
Lama pemeraman (B) Rataan 6 jam 12 jam 24 jam
Kandungan bahan kering 2.5% 92.31±0.08 91.49±0.08 90.62±0.91 91.47±0.86a 5% 91.69±0.57 91.69±0.57 85.64±3.25 89.45±3.41
7.5%
ab 90.47±2.60 85.74±1.67 84.90±2.87 87.04±3.28
Rataan
b 91.49±1.46 89.42±3.06A 87.05±3.42AB 89.32 B
Kandungan protein kasar 2.5% 4.35±0.06 4.08±0.14AB 4.48±0.13C A 5% 4.19±0.11 3.99±0.11BC 3.52±0.01DC E
7.5% 3.69±0.21 3.22±0.06D 3.30±0.04F EF Keterangan: Superskrip dengan huruf kapital yang berbeda pada baris atau kolom yang sama
menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.01). Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05).
Percobaan pemeraman serat sawit dengan NaOH memperlihatkan bahwa
dengan meningkatnya konsentrasi NaOH dan semakin lama diperam terjadi
penurunan bahan kering serat sawit. Serat sawit setelah diperam dilakukan
pencucian sehingga menyebabkan berkurangnya bahan kering karena pencucian
dan perlakuan NaOH. Hal ini menyebabkan turunnya persentase bahan kering
serat sawit-NaOH. Hal ini sesuai dengan pendapat Arisoy (1998) yang
menyatakan bahwa perlakuan alkali diharapkan berperan dalam melonggarkan
ikatan hidrogen pada kristal selulosa dan silika jerami sehingga senyawa ini akan
mudah terlarut. Pada pemeraman dengan NaOH akan terjadi penurunan bahan
kering sesuai dengan yang dilaporkan oleh peneliti sebelumnya (Moss et al.
1990). Konsentrasi NaOH sangat mempengaruhi persentase bahan kering yang
dihasilkan. Konsentrasi NaOH 2.5% (91.47%±0.86) nyata lebih tinggi
menghasilkan bahan kering daripada konsentrasi NaOH 7.5% (87.04%±3.28). Secara umum konsentrasi NaOH 2.5% dapat digunakan pada penelitian tahap
selanjutnya. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahan kering yang dihasilkan
tinggi kemudian konsentrasi NaOH lebih rendah, bahan yang hilang akibat
pencucian sedikit.
49
Respon lama pemeraman terhadap persentase bahan kering serat sawit
menurun seiring dengan semakin lamanya pemeraman. Lama pemeraman 6 jam
memberikan persentase bahan kering (91.49% ±1.46) yang lebih tinggi
dibandingkan dengan lama pemeraman 24 jam (87.05% ± 3.42). Persentase bahan
kering yang dihasilkan dengan lama pemeraman 24 jam lebih rendah dari 6 dan 12
jam, tapi bahan yang hilang akibat pencucian sama dengan lama pemeraman 6
jam. Berdasarkan kenyataan tersebut lama pemeraman 24 jam dapat digunakan
pada penelitian selanjutnya (Rahman et al 2007).
Pengaruh Konsentrasi NaOH dan Lama Pemeraman terhadap Kandungan Protein Kasar Serat Sawit
Percobaan konsentrasi NaOH dan lama pemeraman terhadap kandungan
protein kasar serat sawit menunjukkan interaksi antara konsentrasi NaOH dan
lama pemeraman (P<0.01) seperti disajikan pada Tabe l 5. Pada percobaan ini
terlihat bahwa kandungan protein kasar tertinggi adalah pada perlakuan NaOH
2.5%, 24 jam yaitu 4.48% diikuti oleh NaOH 2.5%, 6 jam tetapi antara ke duanya
tidak terdapat perbedaan yang nyata. Dibandingkan dengan serat sawit yang tidak
diperlakukan ternyata terdapat peningkatan protein kasar dari 3.93% vs 4.48%
pada perlakuan NaOH 7.5% 24 jam (peningkatan 13.99%). Protein juga
mengalami hidrolisis pada pH alkalis yang menghasilkan suatu campuran asam
amino bebas. Asam amino tersebut akan ikut tercuci waktu pencucian serat sawit
yang terlihat dari adanya sedikit penurunan kandungan protein kasar dibandingkan
dengan serat sawit yang tidak dipemeraman (dari 3.93% menjadi 3.22%).
Asam amino merupakan monomer yang menyusun polimer-polimer pada protein.
Asam amino dapat mengalami proses hidrolisis yang menghasilkan hidrolisat
protein. Pada hidrolisis dalam suasana basa, asam–asam amino akan mengalami
rasemasi (kehilangan kegiatan optik) (Schumm 1992). Hidrolisis dapat
menyebabkan perubahan sifat suatu senyawa kimia akibat dari perenggangan
ikatan senyawa kimia. Hasil dari hidrolisat tergantung dari jenis substrat atau
senyawa yang akan dihidrolisis, bahan pelarut hidrolisis, dan kondisi sekeliling
(Mulyono 2001). Perlakuan NaOH pada serat sawit ternyata dapat
menurunkan kandungan protein kasar sesuai menurut penelitian Vadiveloo et al.
(2009) dan Arysoi (1998), dimana kandungan protein kasar sekam padi lebih
50
rendah dibandingkan pada jerami padi atau seperti residu pengolahan minyak
kelapa sawit dan serat sawit di Malaysia (Vadiveloo & Fadel 1992). Perlakuan
SS-NaOH dapat menyebabkan kehilangan bahan organik dan dapat diasumsikan
bahwa tidak merubah bentuk komponen anti nutrisi furfural dan phenolik dari
degradasi lignin.
Pengaruh Konsentrasi NaOH dan Lama Pemeraman terhadap Kandungan Neutral Detergent Fiber (NDF) Serat Sawit
Neutral detergent fiber adalah zat makanan yang tidak larut dalam
detergent neutral, merupakan bagian terbesar dari dinding sel tanaman. Bahan ini
terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, silica dan beberapa protein fibrosa (Van
Soest 1994). Hasil analisis kandungan NDF serat sawit yang direndam dalam
larutan NaOH sesuai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil analisis
keragaman menunjukkan bahwa interaksi antara konsentrasi NaOH dan lama
pemeraman berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap penurunan kandungan NDF.
Berbeda sangat nyatanya konsentrasi NaOH terhadap kandungan NDF disebabkan
berbedanya kemampuan NaOH untuk memutuskan ikatan lignoselulosa dan lingo-
hemiselulosa serta melarutkan sebagian lignin, silika dan hemiselulosa. Semakin
tinggi konsentrasi NaOH maka aktivitas alkali akan lebih kuat dalam
memutuskan ikatan ligno-selulosa dan lignohemiselulosa dan makin banyak
lignin, silika dan hemiselulosa yang larut.
Tabe l 7 Pengaruh konsentrasi NaOH dan lama pemeraman terhadap kandungan NDF dan ADF (% BK)
Konsentrasi NaOH (A)
Lama pemeraman (B) 6 jam 12 jam 24 jam
Kandungan NDF 2.5% 90.94±0.03 90.83±0.11A 88.67±0.16A B 5% 88.46±0.42 88.05±0.14B 87.71±1.05B
7.5% BC
87.05±0.31 86.89±0.21C 86.74±0.01C Kandungan ADF
C
2.5% 67.65±0.03 67.85±0.14A 62.50±0.21A E 5% 65.53±0.03 63.88±0.23B 60.56±0.66C
7.5% G
65.46±0.03 63.13±0.21B 61.29±0.17D F
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjuk-kan perbedaan yang nyata (P<0.01).
51
Reaksi katalisis dari selulosa dengan alkali halide disajikan pada Gambar
10. Fengel dan Wegener (1995), menyatakan bahwa alkali dapat menyebabkan
perubahan struktur dinding sel yang berperan untuk melonggarkan ikatan lignin
dengan selulosa dan hemiselulosa. Lebih lanjut dijelaskan bahwa reaksi
penyabunan oleh NaOH akan membuat hemiselulosa, lignin dan silika sebagian
menjadi larut. Hal ini dapat disebabkan lebih kuatnya kemampuan NaOH dalam
memutus ikatan lignoselulosa, lignohemiselulosa serta melarutkan lignin, silika
dan hemiselulosa. Skema reaksi kata- lisis alkali dari selulosa dengan alkil halide
diperlihatkan pada Gambar 10.
Cell OH + NaOH Cell O- Na+ + H2
Cell O
O - Na+ + Cl R Cell O R + NaCl
Gambar 10 Skema reaksi katalisis alkali dari selulosa dengan alkil halida
Lama pemeraman juga memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0.01)
terhadap kandungan NDF. Hal ini disebabkan semakin lamanya pemeraman
maka kesempatan NaOH semakin lama dalam memutuskan ikatan ligno-
hemiselulosa. Uji lanjut DMRT terhadap lama pemeraman memperlihatkan
bahwa lama pemeraman 24 jam, mengandung NDF paling rendah dibandingkan
dengan lama pemeraman 6 jam dan 12 jam. Hal ini disebabkan semakin lama
pemeraman yang dilakukan, maka aktivitas alkali akan lebih lama dalam
memutuskan ikatan ligno-selulosa dan ligno-hemiselulosa dan makin banyak
lignin, silika dan hemiselulosa yang larut, sehingga kandungan NDF makin turun.
Kandungan NDF yang tinggi diperoleh pada serat sawit yang diperam dalam
larutan NaOH 2.5% dengan lama pemeraman 6 jam walaupun tidak berbeda
dengan perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan masih rendahnya kemampuan
alkali dalam merenggangkan ikatan ligno-selulosa dan ligno-hemiselulosa,
sehingga dinding sel masih dilindungi oleh ikatan lignin yang kuat. Hal ini
membuat larutan NaOH memerlukan waktu yang lebih lama lagi untuk dapat
mendegradasi dinding sel. Perlakuan serat sawit dengan NaOH 7.5%, 12 jam
mengandung NDF 86.74%, menurun 9.8% dari serat sawit yang tidak
diperlakukan (NDF 96.50%).
52
Pengaruh Konsentrasi NaOH dan Lama Pemeraman terhadap Kandungan Acid Detergen Fiber (ADF) Serat Sawit
Acid detergent fiber merupakan zat makanan yang tidak larut dalam
detergent asam, terdiri atas selulosa, lignin dan silika (Van Soest 1994). Hasil
analisis rataan kandungan ADF serat sawit yang diperam dalam larutan NaOH
dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil analisis keragaman menunjukka n interaksi
antara konsentrasi NaOH dengan lama pemeraman sangat nyata (P<0.01) terhadap
penurunan kandungan ADF. Hal ini disebabkan berbedanya konsentrasi NaOH
dan lama pemeraman yang diperlakukan. Berdasarkan uji DMRT diperoleh
bahwa kandungan ADF serat sawit yang diperam dalam larutan NaOH 5.0%
dengan lama pemeraman 24 jam menghasilkan kandungan ADF terendah
(60.56%), sehingga bila dibandingkan dengan perlakuan di atas (A2B3) maka
terlihat penurunan kandungan ADF sebesar 11.% dibandingkan dengan serat sawit
yang tidak mendapat perlakuan (kandungan ADF nya 71.56%). Rendahnya
kandungan ADF pada konsentrasi NaOH 5.0% lama pemeraman 24 jam
dikarenakan berbedanya lama pemeraman dan konsentrasi NaOH yang digunakan,
semakin lama pemeraman dilakukan maka aktivitas alkali akan lebih besar dalam
merenggangkan ikatan ligno-selulosa dan makin banyak lignin dan silika yang
larut, sehingga kandungan ADF menjadi turun dan selanjutnya NaOH bersifat
basa yang diduga dapat menghidrolisis karbohidrat yang sulit dicerna oleh
mikroba menjadi lebih mudah dicerna. Hasil penelitian Jamarun et al (2001),
jerami padi yang diperam dalam larutan NaOH selama 24 jam dapat menurunkan
kandungan serat kasar jerami padi dari 42.15% menjadi 38.37%. Liu and Wyman
(2005) mengemukakan bahwa alkali dapat memutuskan ikatan hidrogen inter
molekul dan melarutkan sebagian lignin dan silika, tetapi apabila konsentrasi
NaOH semakin tinggi maka kandungan ADF bertambah tinggi pula. Hal ini
disebabkan adanya sebagian fraksi NDF yang mudah larut, sehingga proporsi
ADF meningkat.
Pengaruh Konsentrasi NaOH dan Lama Pemeraman terhadap Kandungan Selulosa Serat Sawit
Selulosa merupakan komponen terbanyak dari batang tanaman dan
membentuk struktur dasar dari dinding sel tanaman (Fengel dan Wegener 1995).
53
Pengaruh konsentrasi NaOH dan lama pemeraman terhadap kandungan selulosa
serat sawit disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Pengaruh konsentrasi NaOH dan lama pemeraman terhadap kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin (% BK)
Konsentrasi NaOH (A)
Lama pemeraman (B) Rataan 6 jam 12 jam 24 jam
Kandungan selulosa 2.5% 44.44±0.10 30.55±0.01B 26.64±0.14F I 5% 46.82±0.10 28.48±0.04A 28.66±0.07H G
7.5% 42.44±0.01 41.54±0.04C 33.23±0.06D E
Kandungan hemiselulosa 2.5% 23.29±0.06 22.98±0.25 26.17±0.06 24.15±1.58ab 5% 22.93±0.40 24.17±0.08 27.17±1.74 24.76±2.11
7.5%
a 21.59±0.34 23.76±0.00 25.45±0.16
23.60±1.74Rataan
b 22.60±0.83 23.64±0.55A 26.26±1.10B C 24.17
Kandungan lignin 2.5% 23.99A 23.92±0.04 AB 22.22±0.06 C ±0.08 5% 23.93AB 23.81±0.04 B 21.14±0.04 E ±0.06
7.5% 22.26C 21.45±0.11 D 21.18±0.03 E ±0.06
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.01).
Berdasarkan analisis keragaman menunjukkan bahwa interaksi antara
konsentrasi NaOH dan lama pemeraman sangat nyata (P<0.01) terhadap
penurunan kandungan selulosa.
Hasil uji DMRT diperoleh bahwa kandungan selulosa terendah adalah
pada konsentrasi NaOH 2.5% dengan lama pemeraman 24 jam (A1B3)
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Jika dibandingkan dengan serat sawit
yang tidak diperlakukan (selulosa 31.16%) terdapat penurunan sebesar 14.51%.
Kandungan selulosa yang rendah pada konsentrasi NaOH 2.5% dengan lama
pemeraman 24 jam,
hal ini mengindikasikan bahwa NaOH dapat memindahkan beberapa komposisi
serat sawit, seperti hemiselulosa dan lignin, dan mendapatkan selulosa yang lebih
tinggi dilihat dari rataan sellulosa (35.87%). Semakin lama pemeraman yang
dilakukan maka aktivitas alkali akan lebih besar dalam memutus ikatan hidrogen
kristal selulosa, sehingga sebagian selulosa menjadi larut. Seba liknya menurut
Subkaree et al (2007) kandungan selulosa setelah pra-perlakuan NaOH meningkat
54
dibandingkan dengan kandungan selulosa pada serat sawit yang ditekan tanpa
perlakuan.
Umikalsom et al (1998) menyatakan bahwa sodium hidroksida
menurunkan kristalin selulosa dan lignin ke CO2, H2
Pengaruh Konsentrasi NaOH dan Lama Pemeraman terhadap Kandungan Hemiselulosa Serat Sawit
O dan asam karboksil.
Selanjutnya Zhu et al (2006) melaporkan bahwa berat jerami padi hilang setelah
pra perlakuan oleh NaOH karena kehilangan komposisinya, seperti hemiselulosa
dan lignin sampai pada peningkatan selulosa. Perlakuan NaOH diharapkan
mampu memutuskan ikatan hidrogen pada kristal selulosa dan sebagian silika
menjadi larut, kristal selulosa sebagian kecil dapat larut dalam alkali encer tetapi
tidak dapat larut dalam asam encer. Apabila konsentrasi NaOH semakin tinggi,
kandungan selulosa semakin tinggi pula akibat besarnya kemampuan NaOH
dalam memutus ikatan lignoselulosa sehingga terbebas dari lignin. NaOH
mempunyai pH sangat tinggi, sehingga dapat meningkatkan kelarutan
hemiselulosa dan selulosa. Banyaknya selulosa terbebas dari ikatan lignin
memerlukan waktu yang lebih lama untuk melarutkannya.
Hemiselulosa adalah suatu nama untuk menunjukkan suatu golongan
substansi yang termasuk didalamnya araban, xilan, heksosa tertentu dan
poliuronat yang lebih tidak tahan terhadap reaksi kimia dibandingkan dengan
selulosa (Tilman et al. 1998). Rataan analisis kandungan hemiselulosa serat
sawit yang diperam dengan larutan NaOH sesuai pelakuan dapat dilihat pada
Tabe l 8. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa interaksi antara
konsentrasi NaOH dan lama pemeraman berbeda tidak nyata (P>0.05), namun
masing-masing faktor tersebut memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0.01)
terhadap kandungan hemiselu- losa. Berbeda sangat nyatanya konsentrasi NaOH
terhadap kandungan hemiselulosa disebabkan berbedanya kemampuan NaOH
dalam melarutkan hemiselulosa. Semakin tinggi konsentrasi NaOH maka
aktivitas alkali akan lebih kuat dalam memutuskan ikatan hidrogen hemiselulosa
dan makin banyak hemiselulosa yang larut. Hal ini sesuai dengan pendapat
Arysoi (1998), Subkaree et al. (2007) dan Garmroodi et al. (2009) yang
55
menggunakan berbagai jenis alkali, ternyata meningkatnya daya cerna ditentukan
oleh jenis alkali dan jumlah zat kimia yang digunakan.
Pengaruh Konsentrasi NaOH dan Lama Pemeraman terhadap Kandungan Lignin Serat Sawit
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa terjadi interaksi yang
berbeda sangat nyata (P<0.01) antara konsentrasi NaOH dengan lama pemeraman
terhadap kandungan lignin serat sawit yang diperam dengan NaOH. NaOH dapat
melarutkan lignin, silika dan hemiselulosa tetapi tidak melarutkan selulosa,
dengan NaOH menyebabkan terjadinya perombakan struktur dinding sel akibat
adanya penetrasi yang kuat dari NaOH ke dinding sel sehingga meningkatkan
kecernaan bahan kering dan bahan organik (Arisoy 1998). Selanjutnya pada
penggunaan larutan alkali sebagai larutan penghidrolisis, alkali yang efektif
digunakan adalah alkali kuat misalnya NaOH dan Ca(OH)2. Pada proses
pe leburan, lignin didalam sekam akan terlepas dari ikatannya dengan selulosa,
sedang pada pemanasan lebih lanjut mengalami oksidasi dan perombakan
menjadi garam-garam oksalat, asetat dan formiat (Mastuti 2001). Reaksi yang
terjadi pada peleburan adalah sebagai berikut:
(C6H10O5)n + 4n NaOH + 3n O2 n (COONa)2 + n CH3COONa +
n HCOONa + 5n H2O + n CO2
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada proses hidrolisis yaitu konsentrasi zat
penghidrolisis, waktu, suhu, perbandingan reaktan, ukuran bahan dan kecepatan
pengadukan. Dengan demikian konversi akan naik dengan naiknya suhu.
Semakin lama waktu hidrolisis, konversi yang dicapai semakin besar sampai batas
waktu tertentu, dan bila waktu diperpanjang, pertambahan konversi kecil sekali
karena terjadi dekomposisi hasil. Agar persentuhan antara zat-zat pereaksi
berlangsung baik, maka perlu diberikan pengadukan. Pengadukan juga akan
meratakan suhu pemanasan sehingga reaksi berjalan sempurna. Ukuran bahan
makin halus akan memperluas bidang kontak, kecepatan reaksi bertambah dan
konversi akan naik. Peningkatan konsentrasi zat penghidrolisis akan memperbesar
kecepatan reaksi, tetapi konsentrasi yang tinggi kadang-kadang dapat memberikan
hasil samping yang tidak diinginkan.
56
Pada Tabel 8 terlihat kandungan lignin serat sawit yang diperam dengan
NaOH berkisar antara 21.14 sampai 23.99%. Rataan kandungan serat sawit yang
diperam dalam NaOH adalah 22.66%, kandungan lignin terendah diperoleh pada
konsentrasi NaOH 5% dengan lama pemeraman 24 jam. Hal ini terjadi karena
NaOH mampu memecah ikatan antara ligno-selulosa atau ligno-hemiselulosa dan
melarutkan sebagian lignin. Rahman (1990) menyatakan bahwa NaOH adalah
alkali yang paling efektif dalam merenggangkan ligno-selulosa sehingga serat
kasar mudah dicerna. Lignin sangat tahan terhadap degradasi kimia. Senyawa
NaOH mampu merusak atau memutuskan ikatan antara lignin dengan selulosa
atau hemiselulosa, selain itu dapat menyebabkan pembengkakan matrik selulosa
dan hemiselulosa yang telah terputus dengan ikatan lignin, sehingga lebih mudah
dicerna oleh mikroba rumen.
Pada lama pemeraman 24 jam dengan konsentrasi 5% diperoleh
kandungan lignin 21.14%, menurun sekitar 2.87% dibandingkan dengan serat
sawit yang tidak diperlakukan. Secara rata-rata konsentrasi NaOH 2.5-7.5% cukup
efektif untuk menurunkan kandungan lignin. Sedangkan bila dilihat dari lama
pemeraman, semakin lama waktunya kandungan lignin semakin turun, hal ini
disebabkan NaOH semakin lama bekerja. NaOH berfungsi untuk mendegradasi
dan melarutkan lignin sehingga mudah dipisahkan dari selulosa dan hemiselulosa
(Sihite 2008) selanjutnya menurut penelitian Subkaree et al (2007), perlakuan
NaOH dapat mengurangi kandungan lignin pada pra-perlakuan serat sawit.
Dengan adanya larutan NaOH ikatan dapat dilepas dan selulosa dalam keadaan
bebas. Menurut Haddad et al (1995) mengatakan bahwa hidrolisis bahan
berserat kasar dengan NaOH, NH4OH, urea dan Ca(OH)2 menurunkan kadar
lignin dan peningkatan daya cerna secara proporsional dengan turunnya kadar
lignin. Perlakuan NaOH pada serat sawit ternyata dapat meningkatkan bahan
kering, bahan organik, abu, energi dan retensi N, namun tidak terjadi peningkatan
kecernaan serat kasar (Arysoi 1998), tetapi pada penelitian Ginting (1996)
perlakuan NaOH dengan konsentrasi 5 % memberikan koefisien cerna bahan
kering in-vitro serat sawit yang terbaik dibanding dengan konsentrasi NaOH
2.5 dan 7.5 %.
57
SIMPULAN
Konsentrasi NaOH 2.5% dengan lama pemeraman 24 jam mampu
memberikan hasil yang terbaik dalam menurunkan kandungan NDF, ADF serat
sawit tanpa mempengaruhi nilai protein kasar. Dengan menggunakan scanning
elektron mikroskop (SEM) dapat dilihat, terjadi pemecahan dinding sel serat sawit
setelah pemeraman serat sawit dengan NaOH. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa lignin terpecah dari lignin-selulosa.
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] The Association of Official Analytical Chemists. 1990. Method of Analysis. 16thEd. Washington DC. Assoc Agric Chemist.
Arisoy M. 1998. The effect of sodium hydroxide treatment on chemical
composition and digestibility of straw. Tr J of Veterinary and Animal Sicences 22 p:165-170.
Diwyanto K, Sitompul D, Manti I, Mathius IW, Soentoro. 2004. Pengkajian
pengembangan usaha sistem integrasi kelapa sawit-sapi. Dalam Setiadi et al. (Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. hlm. 11-22. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT Agricinal.
Fengel D, Wegener G. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi.
Diterjemahkan oleh Hardjono Sastrohamidjojo. Cetakan Pertama. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Garmrood i AF et al. 2009. In vitro firtsorder kinetic disappearance of dry matter
and neutral detergent fiber of chemically and physically treated cottonseed hulls. Research Journal of biological Sciences 4(11):1180-1184.
Ginting BL. 1996. Penggunaan serat sawit (palm press fiber) yang diperlakukan
dengan NaOH dalam ransum domba lokal [tesis]. Padang. Program Pascasarjana, Universitas Andalas.
Haddad SG, Grant RJ, Klopfenstein TJ. 1995. Digestibility of alkali-treated
wheat straw measured in vitro or in vivo using Holstein heifers. J Anim Sci 72:3258-3265.
Jamarun N, Nur YS, Rahman J. 2001. Pemanfaatan serat sawit fermentasi
sebagai pakan ternak ruminansia. Panduan Seminar dan Abstrak.
58
Pengembangan peternakan berbasis sumberdaya lokal. Bogor. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor..
Lelono EB, Isnawati. 2007. Peranan iptek nuklir dalam eksplorasi hidrokarbon.
Puslitbang Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”. JFN,Vol1 No2, p:79-92
Liu CG, Wyman CE. 2005. Partial flow of compressed-hot water through corn stover to enhance hemicellulose sugar recovery and enzymatic digestibility of cellulose. Bioresource Technology 96(18):1978-1985.
Mastuti WE. 2001. Pembuatan asam oksalat dari sekam padi. Jurusan Teknik
Kimia Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta. http://si.uns.ac.id/profil/uploadpublikasi/Pembuatan Asam Oksalat dari Sekam Padi.pdf
Moss AR, Givents DI, Everington M. 1990. The effect of sodium hydroxide
treatment on the chemical composition, digestibility and digestible energy content of wheat, barley and oat straws. Anim. Feed Sci. Technol. 29:73-87.
Mulyono. 2001. Kamus Kimia Untuk Siswa dan Mahasiswa Sains dan Teknologi.
Bandung. PT. Genesindo. Rahman A. 1990. Pengantar Teknologi Fermentasi. Bahan Pengajaran.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Rahman J, Harnentis, Wiryawan KG. 2007. Biokonvesi limbah sawit menjadi
komponen ransum komplit bermineral organic esensial untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan kwalitas daging domba. Padang. Laporan Penelitian Hibah Pekerti. Universitas Andalas Padang.
Schumm DE. 1992. Intisari Biokimia. Diterjemahkan oleh Moch. Sadikin. 1993.
Jakarta. Binarupa Aksara. Sihite O. 2008. Hubungan umur kayu Eucalyptus sp dengan kandungan pentosan
bahan baku pulp pada PT Toba Pulp Lestari. Tesis Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. http://repository.usu.ac.id/bitstream/
123456789/5903/1/08E00327.pdf Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan
Biometrik. Edisi II. Terjemahan: B. Sumantri. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.
59
Subkaree Y, Boonswang P, Srinorakutara T. 2007. Palm press fibre treatment by sodium hydroxide and its enzymic hydrolysis. The 19th Annual Meeting of the Tai Society for Biotechnology. TSB2007: Biotechnology for Gross National Happiness. http://www.tistr.or.th/thesis/P8/Teerapatr/
Yuttasak/PalmPressed.pdf. Sunstøl F, Owen E. (Editors). 1984. Straw and other fibrous by product as feed.
Developments in animal and Veterinary Sciences. 14 :545-546. Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosukojo S.
1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-4. Yogyakarta. Gajah Mada University Press..
Umikalsom MS, Ariff AB, Karim MIA. 1998. Saccharification of pretreatment
oil palm empty fruit bunch fiber using cellulase of Chaetomium globosum. Agric.Food Chem. 46:3359-3364.
Vadiveloo J, Nurfariza B, Fadel JG. 2009. Nutritional improvement of rice
husks. Anim.Feed Sci.Technol. 151:299-355. Vadiveloo J, Fadel JG. 1992. Compositional analyses and rumen degradability of
selected tropical feeds. Anim.Feed Sci.Technol.37:265-279. Van Soest PJ. 1994. Nutritional Ecology of Ruminant Metabolism. New York
Cornell University Press.. p:154-160. Zhu S et al. 2006. Microwave-assisted alkali pretreatment of wheat straw and its
enzymatic hydrolysis. Biosystem Eng. 94:437-442.
60
IV. FERMENTASI SERAT SAWIT-NaOH DENGAN Aspergillus niger PENSINTESA KROMIUM ORGANIK UNTUK MENINGKATKAN
EFISIENSI PAKAN
ABSTRACT
The aim of this study was to determine the effective Cr (chromium) level for Aspergillus niger growth in solid state fermentation of palm press fiber. Treatments were combination of Cr levels (2, 4 and 6 ppm) and level of Aspergillus niger (5%; 7,5% and 10%) and fermentation time 6 days. The treatments were allocated in a factorial 3x3 of completely randomized design with two replications. Inoculant of Aspergillus niger was grown in potato dextrosa agar (PDA) medium for 3 days and then innoculated to substrate which have been autoclaved and mixed with CrCl3.6H2O. The moisture of substrate was maintained at 60%. Growth media of Aspergillus niger was diluted with aquadest and the supernatant was analysed for its Cr content. The result showed that the addition of Cr up to 6 ppm into the medium stimulated the Aspergillus niger growth in all experimental condition. The Cr ions were incorporated into the media and Aspergillus niger cells during fermentation. Incorporation of chromium by Aspergillus niger was higher in palm press fiber subs trate with 6 ppm Cr than the others. It is concluded that Cr can be incorporated into the Aspergillus niger cells during fermentation. The effective level of Cr for Aspergillus niger growth was 6 ppm with efficiency of Cr incorporation 68.23% in 6 days fermentation and chromium in protein of fermentation product was 12.01%. Key words: NaOH, chromium, Aspergillus niger, palm press fibre
Pendahuluan
Latar Belakang
Serat sawit yang diperoleh dari industri minyak sawit di Indonesia akan
terus meningkat sejalan dengan meningkatnya luas area penanaman kelapa sawit.
Di Indonesia saat ini penanaman kelapa sawit (Elais gueneensis JACK) sedang
dikembangkan dengan peningkatan luasan yang pesat dari 120.000 hektar tahun
1969 menjadi 5.500.000 hektar pada tahun 2005. Terbatasnya penggunaan serat
sawit dalam ransum karena tingginya kandungan selulosa (38.69 %) dan lignin
(20.99%) yang mengakibatkan rendahnya daya cerna serat kasar. Untuk mengatasi
ini dipe rlukan suatu teknologi biofermentasi yakni dengan menggunakan kapang
Aspergillus niger yang dapat meningkatkan kecernaan dan kandungan protein
kasar serat sawit. Jamarun et al. (2000) telah melakukan penelitian dengan
menggunakan berbagai level inokulum Aspergillus niger menghasilkan enzim
62
selulase, xylanase. dan lama fermentasi serat sawit dengan NaOH terhadap
kecernaan bahan kering (KCBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KCBO)
meningkat, dengan meningkatnya level inokulum dan lama fermentasi.
Kromium (Cr) merupakan unsur mikro esensial yang dibutuhkan da lam
metabolisme karbohidrat,lemak dan protein (NRC 1997). Kromium juga berperan
menstabilkan struktur tersier dari protein (Demirci & Porne 2000). Suplementasi
Cr meningkatkan GTF (glucose tolerance factor) pada darah tikus (Pechova &
Pavlata, 2007). Molekul GTF mengandung Cr, asam nikotinat, asam amino glisin,
glutamat dan sistein, yang berfungsi meningkatkan peran insulin dalam oksidasi
glukosa (Zetic et al., 2001).
Kromium kini telah diakui sebagai nutrien esensial yang berfungsi antara
lain dalam metabolisme karbohidrat, lipid dan asam nukleat (Atmosukarto &
Rahmawati 2004) Mineral kromium (Cr) dalam sistem biologis didapatkan
terutama dalam status +3 ion, walaupun +2 dan +6 juga ada. Garam kromium
(anorganik) walaupun mengandung Cr+3
, kurang efektif disebabkan
penyerapannya hanya sedikit, sekitar 1% (Linder 1992). Mineral Cr dalam
bentuk faktor toleransi glukosa (glucose tolerance factor, GTF) telah lama
diketahui berperan dalam metabolisme karbohidrat, khususnya dalam
meningkatkan entri glukosa ke dalam sel melalui peningkatan potensi aktifitas
insulin. Kromium dalam bentuk trivalen (Cr3+) yang tidak beracun sangat sulit
diserap tubuh. Suplementasi Cr ke dalam pakan akan lebih menguntungkan
apabila diberikan dalam bentuk Cr organik. Supplementasi Cr organik pada sapi
perah laktasi mening-katkan produks i dan kualitas susu yang d ihasilkan. Pada sapi
perah di daerah panas selama musim kemarau, suplementasi Cr organik mampu
meningkatkan daya adaptasi ternak terhadap suhu lingkungan yang panas.
Supp lementasi Cr pikolinat terbukti mampu meningkatkan kemampuan sel
memanfaatkan glukosa darah dan menurunkan resiko akibat gangguan diabetes
melitus, selanjutnya supplementasi Cr organik dapat meningkatkan respon
imunitas ikan mas secara maksimal sehingga mampu mengurangi tingkat virulensi
virus herpes. Burton (1995), mengatakan Cr berperan dalam sistem kekebalan
tubuh dan konversi tiroksin (T4) menjadi triodotironin (T3).
63
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi terbaik A. niger
pensintesa Cr-organik dengan kecernaan, kandungan gizi dan kandungan Cr
terinkorporasi yang tinggi.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini menggunakan serat sawit yang diperoleh dari pabrik
pengolahan ke lapa sawit PT Incasi Raya di Padang dan Malimping Banten. Dedak
diperoleh dari penggilingan padi di Cilubang Bogor. Bahan kimia yang digunakan
adalah NaOH kristal (teknis), Kromium (CrCl3.6H2O), trypthopan, Aspergillus
niger diperoleh dari Puslitbang Mikrobiologi-LIPI Cibinong dan aquadest
diperoleh dari toko bahan kimia di Bogor. Penelitian dilakukan di Laboratorium
Ilmu dan Teknologi Pakan, Laboratorium Mikrobiologi PPSHB IPB dan
Laboratorium Nutrisi Ternak Perah IPB Institut Pertanian Bogor.
Metode Analisis
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah: (1) kandungan nutrien
meliputi bahan kering, protein kasar (metoda Kjedhal), kandungan Cr-organik,
NDF, ADF, selulosa, hemiselulosa, dan lignin (metoda Van Soest 1987); (2)
struktur dinding sel (scanning electron microscope).
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah:
1. Peremajaan kapang A. niger Cz 51 VI/1 dan pembuatan inokulum
Kapang murni A. niger Cz 51 VI/1 yang digunakan diperoleh dari
Mikrobiologi Balitbang LIPI Bogor. Kapang ini diremajakan pada media
ekstrak toge agar, yang akan digunakan sebagai bahan unt uk membuat
inokulum yang dicampur dengan substrat dedak padi (Nur et al., 1993).
Inokulum yang diperoleh kemudian dihitung jumlah sporanya, untuk 1 gram
bahan kering inokulum mengandung 6 x 106
2. Pembuatan serat sawit fermentasi
spora A. niger Cz 51 VI/1
mengikuti metode Nur (1998) dan Nur (2001).
a. Persiapan Substrat. Serat sawit alkali yang terbaik yang akan digunakan
sebagai media fermentasi (substrat) dibersihkan, kemudian digiling.
64
b. Persiapan Inokulum. Bahan dasar inokulum adalah dedak padi.
Inokulum yang sudah dibuat ditimbang sesuai perlakuan yaitu 5 , 7,5 dan
10% dari BK bahan. Selanjutnya dicampur dengan larutan CrCl3
Medium selektif dibuat dari bahan-bahan sebagai berikut: MgSO
triptopan,
medium selektif dan air, sehingga campuran substrat tersebut mempunyai
konsentrasi Cr dan triptopan sesuai dengan perlakuan.
4 . 7H2O
0.25 g; KH2PO4 1.00 g; FeSO4. 7H2
c. Pencampuran. Campuran substrat disterilkan menggunakan autoklaf
selama 20 menit pada suhu 120
O 0.01 g; Thyamin hidrochlorid
12.50 mg, urea 5.00 g, larutan tripthopan 600 ppm 1.2 g dalam 1 liter
aquadest.
o
d. Inkubasi. Substrat serat sawit yang sudah dicampur dengan inokulum,
Cr-anorganik dan tripthopan dimasukkan ke dalam kantong plastik.
Kantong plastik tersebut ditutup dan diberi lobang (diameter 0.5 cm),
ketebalan substrat dibuat ± 2 cm dengan luas permukaan 20 x 20 cm
(Jamarun et al. 2000). Selanjutnya kantong plastik tersebut disimpan pada
rak fermentasi selama 6 hari masa inkubasi.
C, 15 psi. Setelah dingin substrat
diratakan dalam nampan plastik dan ditambahkan inokulum. Pencampuran
dilakukan agar substrat serat sawit alkali dan inokulum tercampur merata.
e. Pemanenan. Setelah diinkubasi serat sawit dipanen, kemudian ditimbang,
diukur pHnya dan dikeringkan dalam oven pada suhu 600
Penelitian In-vitro
C selama 24
jam. Setelah kering serat sawit fermentasi, dianalisis kandunga n nutrient
protein dan serat kasar (proksimat), analisis Van Soest dan kandungan Cr
organik.
Tujuan percobaan ini untuk mengetahui fermentabilitas serat sawit
fermentasi dalam rumen.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah IPB Institut
Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai Juli 2006 sampai dengan
November 2006.
65
Percobaan dilakukan secara in-vitro. Peubah yang diukur ada lah: VFA
total [Kromatografi gas (AOAC 1995)], NH3
1. Kecernaan Bahan Kering (BK) dan Bahan Organik (BO) in vitro
[Microdifusi Conway (General
Laboratory 1966)], kecernaan bahan kering dan bahan organik (Metode Tilley &
Terry 1963).
Parameter yang diamati
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah:
Dilakukan dengan metode Tilley dan Terry (1963)
2. Pengukuran Kadar
Kadar ditentukan dengan teknik microdifusi Conway (General
Laboratory Procedure 1966).
3. Pengukuran asam lemak volatil (VFA) total
Pengukuran VFA ditentukan dengan destilasi uap (General Laboratory
Procedure, 1966).
4. Pengukuran Kandungan Kromium
Inkorporasi Cr ke dalam protein fungi (Cr organik) diukur dengan
menggunakan atomic absorption spectrophotometer (AAS) menurut metode
Carry & Allaway (1971). Satu gram sampel Cr organik dimasukkan ke dalam
tabung dan ditambahkan larutan TCA 20%. Tabung disentrifugasi dengan
kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Endapan yang dihasilkan ditimbang
sebanyak 0,8 gram dan dimasukkan ke dalam labu destruksi lalu ditambahkan
HNO3 pekat sebanyak 10 ml. Labu dipanaskan sampa i larutan mendidih
selama 5 menit. Setelah dingin larutan itambah 2 ml H2SO4 pekat, 2 ml
HClO4 70%, dan 0,2 ml AgNO3 10% dan pemanasan kembali dilakukan
sampai larutan menjadi jernih. Larutan jernih tersebut siap dibaca kadar Cr-
nya dengan menggunakan AAS.
Analisis data
Adapun faktor perlakuan dalam penelitian ini adalah: Faktor A level
kapang A. niger adalah (1) 5% BK bahan, (2) 7,5% BK bahan dan (3) 10% BK
bahan, faktor B adalah level mineral CrCl3 yang ditambahkan ke dalam substrat,
yaitu; (1) 2 mg/kg substrat,(2) 4 mg/kg substrat dan (3) 6 mg/kg substrat
66
dengan penambahan triptopan 600 mg/kg substrat untuk setiap perlakuan. Data
yang diperoleh dari penelitian ini diolah secara statistik dengan analisis
keragaman. Jika analisis keragaman menunjuk-kan perbedaan nyata maka
dilakukan uj i Duncan`s Multiple Range Test (DMRT).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Level Aspergillus niger dan Konsentrasi Kromium terhadap Scanning Elektron Mikroskop (SEM)
Scanning elektron mikroskop (SEM) dimaksud untuk mengetahui
porositas yang terbentuk akibat level Aspergillus niger dan konsentrasi kromium
pada serat sawit yang diperam dengan NaOH, yaitu berupa rongga primer maupun
sekunder secara detail, sangat berguna karena mampu memberi informasi jauh
lebih detil daripada sekadar analisis mikroskopis. SEM sanggup memperbesar
image puluhan ribu kali sehingga struktur dalam serat terlihat dengan jelas
termasuk porositas (Lelono dan Isnawati 2007). Serat sawit mengandung serat
kasar yang merupakan komponen utama penyusun dinding sel berikatan dengan
lignin dan hemiselulosa membentuk suatu lignoselulosa. Pengaruh level
Aspergillus niger dan konsentrasi kromium terhadap struktur serat sawit dengan
scanning elektron mikroskop (SEM) disajika n pada Gambar 11.
67
pl = parenkim longitudinalpr = parenkim jari-jari
SEM permukaan Seratsawit-NaOH perbesaran1000x(A)
SEM Serat sawitfermentasiperbesaran 1000x (B)
pl dan pr larut
pr
pl
pr
pl
Gambar 11 SEM permukaan serat sawit-NaOH (A) dan serat sawit fermentasi perbesaran 1000x (B) perbesaran 1.000x. pl = parenkim longitudinal dan pr = parenkim jari- jari tidak kelihatan lagi dengan meningkatnya perlakuan
Pada Gambar 11 dinding sel SSF-Cr terlihat lebih tipis (halus), partikel-
partikel yang ada pada dinding sel SS-NaOH hilang dengan adanya inkorporasi
Aspergillus niger-Cr. Dinding sel yang mengandung lignin-selulosa dan lignin–
hemiselulosa terputus, ini memudahkan enzim selulase yang dihasilkan
Aspergillus niger memecah selulosa dan hemiselulosa, berarti sebagian dinding
sel larut dan terjadi perubahan struktur dinding sel yang berpe ran untuk
melonggarkan ikatan lignin dengan selulosa dan hemiselulosa.
Pengaruh Level Aspergillus niger dan Konsentras i Kromium terhadap Kandung-an Protein Kasar
Penggunaan persentase inokulum yang berbeda tidak nyata pengaruhnya
terhadap kandungan protein kasar SSF-Cr. Hal ini disebabkan oleh laju
pertumbuhan dan perkembangbiakan kapang bervariasi menurut jenis biakannya.
Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan protein
kasar SSF-Cr disajikan pada Tabel 9.
68
Tabe l 9 Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan protein kasar dan serat kasar SSF-Cr (% BK)
Persentase Inokulum (% BK)
Level Kromium (mg/kg) Rataan 2mg/kg(A1) 4mg/kg(A2) 6mg/kg(A3)
Kandungan protein kasar 5% (B1) 7.84±0.32 8.74±0.32 8.96±0.0 8.51±0.59
7.5% (B2) 8.06±0.64 8.96±0.0 9.18±0.31 8.73±0.59 10% (B3) 8.51±0.64 9.07±1.43 9.18±0.95 8.92±0.36
Rataan 8.14±0.34 8.92±0.17 9.11±0.13 8.72 Kandungan serat kasar
5% (B1) 45.93±2.69 49.84±2.60 48.35±2.11 48.04±2.61 7.5% (B2) 53.43±0.69 50.64±7.13 52.23±2.62 52.09±3.64 10% (B3) 48.92±6.96 49.21±6.44 43.90±6.48 47.34±5.79
Rataan 49.43±4.76 49.89±4.49 48.16±4.95 49.16
Terjadi peningkatan protein kasar pada penelitian ini dari 3.93% (serat
sawit tanpa fermentasi) menjadi 7.84 – 9.18% (serat sawit fermentasi), tetapi
pengaruh antar perlakuan berbeda nyata. Peningkatan protein kasar pada serat
sawit fermentasi disebabkan oleh adanya pertumbuhan kapang. Jamarun et al.
(2001) menjelaskan bahwa kapang yang mempunyai pertumbuhan dan
perkembangbiakan yang baik akan merubah lebih banyak komponen penyusun
media menjadi suatu massa sel, sehingga akan terbentuk protein yang berasal dari
tubuh kapang itu sendiri dan dapat meningkatkan protein kasar dari bahan.
Disamping itu, peningkatan protein kasar SSF-Cr disebabkan hasil kerja enzim
perombak pati yang mengakibat-kan komposisi bahan berubah, yaitu karbohidrat
dan lemak menjadi semakin rendah, sehingga secara proporsional persentase
protein meningkat. Pada perlakuan A2 dan A3 memperlihatkan miselia yang lebih
kompak dibandingkan A1. Ini membuktikan bahwa kapang A2 dan A3 lebih
mampu tumbuh pada media serat sawit alkali yang ditambahkan kromium dan
trypthopan.
Pengaruh persentase inokulum dan leve l kromium terhadap kandungan serat kasar SSF-Cr (%BK)
Tidak terjadi interaksi antara persentase inokulum dengan level kromium
(Tabel 9), kadar serat kasar tertinggi pada A1, selanjutnya menurun pada A2 dan
A3. Tingginya kadar serat kasar SSF-Cr pada A1 bertolak belakang dengan
meningkatnya persentase inokulum yang diberikan. Hal ini diduga terjadinya
69
inkorporasi kromium ke dalam A. niger membentuk kromium organik yang
menyebabkan terjadi penurunan jumlah serat kasar SSF-Cr. Perubahan kadar serat
kasar setelah fermentasi tanpa penambahan kromium dan trypthopan menurut
Krishna (2005) disebabkan oleh pertumbuhan miselia kapang yang mengandung
serat serta terjadinya kehilangan dari sejumlah padatan lainnya, pada percobaan
ini terjadi penurunan jumlah serat kasar SSF-Cr. Percobaan ini juga didukung
dari hasil SEM yang menunjukkan bahwa terjadi porositas berupa rongga-rongga
atau lokus yang banyak akibat fermentasi dengan A. niger dan penambahan
kromium trypthopan. Hal inilah yang mengakibatkan turunnya jumlah serat kasar
pada SSF-Cr dengan meningkatnya level inokulum dan konsentrasi kromium.
Pengaruh Persentase Inokulum dan Level Kromium terhadap Kandungan Sintesis Cr-organik oleh Aspergillus niger
Inkorporasi Cr ke dalam protein kapang A. niger seperti disajikan pada
Tabel 10. Respons perlakuan memperlihatkan adanya interaksi antara persentase
inokulum dengan level kromium. Adanya kerjasama antara A. niger , kromium
dan tripthopan terjadi kromium organik (kromium pikolinat) yang terlihat dengan
semakin bertambahnya persentase inokulum dan level kromium pada SSF-Cr.
Asam pikolinat adalah metabolik sekunder yang dihasilkan pada metabolisme
triptopan sebelum membentuk niasin atau asam nikotinat (Combs 1992; Groff &
Gropper 2000).
Tabel 10 Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan sintesis Cr-organik pada sel A. niger (mg/kg)
Persentase Inokulum (% BK)
Level Kromium 2mg/kg(A1) 4mg/kg(A2) 6mg/kg(A3)
5% (B1) 1.54E 1.66±0.01 D 1.87±0.03 D±0.01 7.5% (B2) 3.17C 3.26±0.03 C 3.45±0.01 C
10% (B3) ±0.35
4.88B 5.57±0.06 A 5.69±0.01 A±0.0 Keterangan : Superskrip menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01).
Telah diketahui bahwa fungi dapat mensintesis niasin melalui metabolisme
trypthopan. Selain menghasilkan niasin, dalam metabolisme tersebut juga
dihasilkan asam pikolinat sebagai metabolit sekundernya (Combs 1992).
Selanjutnya tiga molekul asam pikolinat berikatan dengan Cr3+ membentuk Cr-
pikolinat yang meru-pakan salah satu bentuk Cr-organik (Lyons 1995). Dengan
70
demikian penambahan tryptopan akan meningkatkan inkoporasi Cr ke dalam
protein fungi.
Pengaruh persentase inokulum dan leve l kromium terhadap kandungan Neutral Detergent Fiber (NDF) SSF-Cr (%BK)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh persentase inokulum dan
level kromium terhadap kandungan Neutral Detergent Fiber (NDF) SSF-Cr (%
BK) berbeda tidak nyata (P>0.05) terhadap kandungan NDF.
Tabel 11 Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan NDF dan ADF SSF-Cr (% BK)
Persentase Inokulum (% BK)
Level Kromium Rataan 2mg/kg (A1) 4mg/kg(A2) 6mg/kg (A3)
Kandungan NDF 5% (B1) 79.64±1.72 82.77±2.32 80.96±2.94 81.12±2.32
7.5% (B2) 83.17±2.34 81.96±1.42 81.46±3.75 82.19±2.22 10% (BK3) 76.99±0.65 82.81±1.10 78.20±4.37 79.33±3.42
Rataan 79.93±3.07 82.51±1.38 80.21±3.29 80.88 Kandungan ADF
5% (B1) 70.69±6.46 72.43±4.24 71.07±6.27 71.39±4.52 7.5% (B2) 73.01±0.30 66.26±3.26 69.88±11.48 69.71±6.14 10% (B3) 59.49±10.38 72.63±9.59 67.07±12.52 66.39±10.30
Rataan 67.73±8.47 70.44±5.88 69.34±8.31 69.17
Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan tidak mempengaruhi NDF,
berarti suplementasi kromium organik pada SS-NaOH yang berbeda tidak
mempengaruhi NDF. Hal ini disebabkan masing-masing perlakuan mengandung
bahan kering dan serat kasar yang hampir sama, dan hal ini juga menunjukkan
bahwa selama kurun waktu enam hari, pertumbuhan kapang sudah maksimal
walaupun jumlah inokulum berbeda sehingga jumlah bahan kering dan serat kasar
yang dirombak juga sama. NDF yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu 80.88%
lebih rendah daripada NDF SS yaitu 88.72%.
Penurunan NDF terjadi karena NDF mengandung hemiselulosa yang
merupakan fraksi yang mudah dicerna sehingga kapang dapat menguraikannya
dengan baik. Moore & Landeker (1992) menyatakan bahwa dalam aktivitas
pertumbuhan kapang, hifa berperan untuk menyerap zat-zat makanan yang
71
terdapat dalam media berupa molekul yang lebih sederhana seperti glukosa akan
digunakan lebih dahulu.
Pengaruh persentase inokulum dan leve l kromium terhadap kandungan Acid Detergent Fiber (ADF) SSF-Cr (% BK)
Acid detergent fiber (ADF) merupakan zat makanan yang tidak larut
dalam detergent asam. ADF terdiri dari selulosa, lignin dan silika (Van Soest
1987). Menurut Parakkasi (1999) ADF erat hubungannya dengan kecernaan,
sehingga apabila kecernaannya tinggi maka ADF yang tercerna akan tinggi pula.
Komponen ADF yang mudah dicerna adalah selulosa, sedangkan lignin sulit
dicerna karena memiliki ikatan rangkap, jika kandungan lignin dalam bahan pakan
tinggi maka koefisien cerna pakan tersebut menjadi rendah (Sutardi 1990). Hasil
analisis ragam (Tabel 11) menunjukkan pengaruh persentase inokulum dan level
kromium terhadap kandungan ADF SSF-Cr berbeda tidak nyata (P>0.05),
sehingga dalam percobaan ini dapat dikatakan bahwa perlakuan persentase
inokulum dan level kromium tidak mempengaruhi kandungan ADF SSF-Cr secara
nyata. Pada percobaan A1, lebih rendah dari A2 dan A3 tetapi pada percobaan B3
lebih rendah daripada B1 dan B2. Pada masing-masing perlakuan mengandung
bahan kering dan serat kasar yang hampir sama, dan hal ini juga menunjukkan
bahwa selama kurun waktu enam hari, pertumbuhan kapang sudah maksimal
walaupun jumlah inokulum berbeda sehingga jumlah bahan kering dan serat kasar
yang dirombak juga sama.
Pengaruh persentase inokulum dan leve l kromium terhadap kandungan Hemi-selulosa SSF-Cr (% BK)
Hemiselulosa dengan mudah dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme
dengan memecah komponen komplek menjadi zat-zat yang mudah dicerna dan
digunakan untuk mensintesa beberapa vitamin seperti riboflavin, vitamin B2,
provitamin A dan faktor pertumbuhan lainnya (Church 1988). Dinyatakan juga
oleh Fardiaz (1988) bahwa mikroorganisme menggunakan karbohidrat sebagai
sumber energi setelah terlebih dahulu dipecah menjadi glukosa. Kandungan
hemiselulosa pada berbagai perlakuan disajikan pada Tabel 12.
72
Kandungan hemiselulosa SSF-Cr (11.72%) yang dihasilkan lebih rendah
dari SS (17.16%). Hasil analisis ragam menunjukkan pengaruh level A. niger dan
penggunaan level kromium pada serat sawit fermentasi berbeda tidak nyata
terhadap kandungan hemiselulosa. Penurunan kandungan hemiselulosa terjadi
karena kapang A. niger mampu mencerna hemiselulosa menjadi zat-zat yang
mudah dicerna, disamping itu juga dapat mensintesa beberapa vitamin seperti
riboflavin, vitamin B12 dan provitamin A. Pengaruh inkorporasi kromium pada
A. niger terlihat berfluktuasi pada setiap perlakuan, tapi dengan semakin tinggi
level inokulum terjadi peningkatan kandungan hemiselulosa walaupun secara
statistik berbeda tidak nyata. Sebaliknya dengan meningkatnya level kromium
kandungan hemiselulosa semakin menurun.
Pengaruh Persentase Inokulum dan Level Kromium terhadap Kandungan Selulosa SSF-Cr (%BK)
Selulosa merupakan komponen terbanyak dari batang tanaman dan
membentuk struktur dasar dari dinding sel tanaman (Fengel dan Wegener 1995).
Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan selulosa
SSF-Cr (% BK) disajikan pada Tabel 12. Berdasarkan analisis keragaman
menunjukkan bahwa interaksi antara persentase inokulum dan level kromium
berbeda tidak nyata (P>0.05) terhadap kandungan selulosa.
Tabe l 12 Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan hemiselulosa dan selulosa SSF-Cr (% BK)
Persentase Inokulum (% BK)
Level Kromium Rataan 2mg/kg (A1) 4mg/kg(A2) 6mg/kg (A3)
Kandungan hemiselulosa 5% (B1) 8.95±4.74 10.35±6.55 9.89±3.33 9.73±3.96
7.5% (B2) 10.16±2.64 15.70±4.68 11.58±7.73 12.48±4.94 10% (B3) 17.50±11.03 10.19±10.69 11.14±8.15 12.94±8.55
Rataan 12.20±6.88 12.07±6.61 10.87±5.30 11.72 Kandungan selulosa
5% (B1) 42.03±1.84 46.04±3.14 44.87±7.48 44.31±4.15 7.5% (B2) 41.03±4.03 43.74±4.45 40.48±10.23 41.75±5.53 10% (B3) 35.90±9.92 47.40±4.69 37.63±0.76 40.32±7.41
Rataan 39.66±5.68 45.73±3.61 40.99±6.55 42.13
73
Hasil analisis ragam menunjukkan pengaruh level Aspergillus niger dan
penggunaan level kromium pada serat sawit fermentasi berbeda tidak nyata
terhadap kandungan selulosa. Peningkatan kandungan selulosa terjadi karena
selulosa sebenarnya lebih sulit dicerna dibandingkan hemiselulosa karena ikatan
ligno-selulosa lebih kuat dari pada ikatan ligno-hemiselulosa (Sutardi 1990).
Selanjutnya selama fermentasi berlangsung, meningkatnya kandungan selulosa
disebabkan oleh pertumbuhan miselia kapang A. niger yang mengandung serat
kasar. Pengaruh inkorporasi kromium pada A. niger terlihat berfluktuasi pada
setiap perlakuan, tapi dengan semakin tinggi level inokulum terjadi penurunan
kandungan selulosa walaupun secara statistik berbeda tidak nyata. Sebaliknya
dengan meningkatnya level kromium kandungan selulosa pada A2 meningkat
tapi pada A3 turun kembali.
Pengaruh Persentase Inokulum dan Level Kromium terhadap Kandungan VFA (mM)
Produksi VFA cairan rumen mencerminkan tingkat fermentasi suatu
bahan, semakin banyak suatu bahan difermentasi semakin besar pula produksi
VFA yang dihasilkan. VFA merupakan produk akhir dari fermentasi karbohidrat
dan meru-pakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia (Parakkasi 1999).
Peningkatan jumlah VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut
didegradasi oleh mikroba rumen. Produks i VFA yang tinggi merupakan
kecukupan energi bagi ternak. Pengaruh persentase inokulum dan level kromium
terhadap kandungan VFA (% BK) disajika n pada Tabe l 13.
Konsentrasi VFA yang dihasilkan dalam penelitian ini (Tabel 12) berkisar
antara 83,51-143,56 mM, berarti masih dalam kisaran normal dimana VFA yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan dan aktivitas mikroba antara 80-160 mM
(Suryapratama 1999). VFA total yang dihasilkan pada penelitian ini berada pada
kisaran kebutuhan untuk pertumbuhan dan aktivitas mikroba rumen yang optimal.
Konsentrasi VFA total SSF-Cr lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, berarti
SSF-Cr lebih fermentabel dibandingkan pakan kontrol. Hal ini disebabkan oleh
aktivitas mikroorganisme pada SSF-Cr membantu menguraikan bahan makan dan
menyebabkan SSF-Cr lebih fermentabe l di rumen. Volatile fatty acid (VFA)
merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan merupakan sumber energi
74
Tabel 13 Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan VFA dan NH3 SSF-Cr (mM)
Persentase Inokulum (% BK)
Level Kromium Rataan 2mg/kg (A1) 4mg/kg(A2) 6mg/kg (A3)
Kandungan VFA 5% (B1) 117.94AB 124.50±0.58 AB 122.37 ±4.35 AB ±7.74
7.5% (B2) 106.39AB 143.56±10.30 A 83.51 ±39.39 AB ±5.07 10% (B3) 108.82AB 127.40±28.94 AB 99.82±26.29 AB ±40.06
Kandungan NH3 5% (B1) 4.57± 0.88 5.46±0.71 5.01±0.76 4.53±0.66
7.5% (B2) 4.09±0.71 4.67±0.52 5.52±0.14 4.85±0.63 10% (B3) 4.92±0.46 4.42±0.10 4.40±0.34 4.98±0.63
Rataan 4.52±0.73 4.76±0.76 4.58±0.37 4.79 Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata
(P<0.01).
utama ruminansia asal rumen. Peningkatan jumlah VFA menunjukkan mudah
atau tidaknya pakan tersebut difermentasi oleh mikroba rumen. Oleh sebab itu,
produksi VFA didalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolok ukur
fermentabilitas pakan (Hartati 1998).
Terjadi interaksi antara persentase inokulum A. niger dengan level
kromium terhadap konsentrasi VFA (Tabel 13). Hal ini disebabkan oleh tingkat
degradasi bahan ke ring yang hampir sama. Pada perlakuan A3B2 konsentrasi
VFA paling rendah, diduga hal ini disebabkan oleh penggunaan VFA oleh
mikroba rumen untuk mensintesis protein mikroba dan juga untuk pembentukan
enzim, karena pada A3B2 terjadi kecernaan bahan kering dan bahan organik yang
nyata lebih rendah dibanding-kan perlakuan A3B3. Menurut Astriana (2009)
bahwa VFA pada ransum yang mengandung kromium organik dengan
Ganoderma lucidum adalah 125.8 mM, sedangkan pada penelitian ini yang
mengandung kromium organik dengan A. niger adalah VFA 103.96mM, hal ini
disebabkan kapang yang digunakan berbeda, sehingga pemanfaatan serat kasar
dari SSF-Cr oleh mikroba juga berbeda. Selain itu Ganoderma lucidum mampu
medegradasi lignin, sedangkan A. niger hanya mampu mendegradasi serat kasar.
Produksi VFA sebesar 117.94 mM terdapat pada perlakuan A1B1,
selanjutnya terjadi peningkatan pada perlakuan A2B1 dan turun pada A3B1
dibandingkan dengan A1B1, berarti pada persentase 5% inokulum dengan level
kromium 2, dan 4 mg/kg terjadi peningkatan jumlah VFA yang dihasilkan.
75
Peningkatan jumlah VFA menunjuk-kan mudahnya pakan tersebut didegradasi
oleh mikroba rumen. Perlakuan A2B2 terjadi peningkatan VFA yang tertinggi
dibanding perlakuan lainnya yaitu 143.56 mM, hal ini disebabkan SSF-Cr yang
mengandung kromium organik 4 mg/kg dengan persentase inokulum 7.5%
memberikan asupan energi yang optimal bagi ternak, sehingga VFA yang
dihasilkan lebih tinggi. Konsentrasi tersebut sesuai dengan pernyataan
Suryapratama (1999) bahwa kisaran optimum produksi VFA total bagi
kelangsungan hidup ternak ruminansia yaitu antara 80 – 160 mM.
Pengaruh Persentase inokulum dan leve l kromium terhadap kandungan NH3 SSF-Cr (mM)
Amonia (NH3) diproduksi bersama dengan peptida dan asam amino yang
akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba.
Produksi NH3 berasal dari protein yang didegradasi oleh enzim proteolitik. Di
dalam rumen protein dihidrolisis pertama kali oleh mikroba rumen. Tingkat
hidrolisis protein tergantung dari daya larutnya yang berkaitan dengan kadar NH3
(Arora 1995). NH3 merupakan sumber nitrogen utama untuk sintesis protein
mikroba, oleh karena itu konsentrasinya dalam rumen merupakan suatu hal yang
perlu dipe rhatikan.
Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan
NH3 SSF-Cr (%BK) dapat dilihat pada Tabel 13. Hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa fermentabilitas SSF-Cr tidak memperlihatkan perbedaan
antar perlakuan (P>0.05). Rataan produksi NH3 dalam penelitian ini adalah 4.79
mM, nilai tersebut berada pada kisaran produksi NH3 di dalam rumen yang
mendukung pertumbuhan mikroba rumen yaitu pada kisaran 4 – 12 mM (Erwanto
et al. 1993). Hal ini berarti inkorporasi A. niger dengan kromium pada SS
berfluktuasi dalam memproduksi NH3. Suplementasi kromium pada level 4
mg/kg Cr menghasilkan produksi NH3 lebih tinggi dari perlakuan lainnya, begitu
juga dengan 10% inokulum A. niger. Produksi NH3 pada SS adalah 4.55 mM,
sedangkan pada penelitian ini rataan produksi NH3 adalah 4.79 mM. Pada
penelitian ini terjadi peningkatan produksi NH3 sebanyak 5.27 %, berarti dengan
adanya penambahan kromium terjadi peningkatan NH3.
76
Pengaruh persentase inokulum dan leve l kromium terhadap kandungan kecerna-an bahan kering (% BK)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kecernaan bahan kering
berkisar antara 9.63% - 141.47% dan bahan organik antara 4.60% - 197.77%.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan A3B3 memiliki kecernaan bahan
kering dan bahan organik yang nyata lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan
perlakuan lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh degradasi serat sawit
pada penggunaan inokulum 10% A. niger lebih cepat dibandingkan dengan
perlakuan lainnya, sehingga dengan lama fermentasi yang sama, jumlah bahan
kering dan bahan organik yang dirombak oleh A. niger menjadi lebih banyak.
Pengaruh persentase A. niger dan level CrCl3 yang dilakukan memberikan respon
yang berbeda terhadap persentase peningkatan kecernaan bahan organik dan
bahan kering. Level Cr 2 dan 4 mg/kg memberikan respon yang sangat nyata
dengan level Cr 6 mg/kg dan A. niger 10% (A3B3). Terjadinya peningkatan
persentase peningkatan kecernaan bahan organik dan bahan kering diduga akibat
kinerja mikroba rumen yang semakin aktif karena suplai energi yang cukup
sebagai akibat dari pengaruh persentase A. niger dan leve l CrCl3Hasil kecernaan bahan kering (Tabel 14) memperlihatkan kisaran antara
9.14% - 22.07% dan bahan organik antara 7.17% - 21.35%. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa perlakuan A3B3 memiliki kecernaan bahan kering yang
nyata lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan
oleh degradasi serat sawit pada penggunaan inokulum 10% dan kromium 6 mg/kg
lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sehingga dengan lama
fermentasi yang sama, jumlah bahan kering yang dirombak oleh A. niger
menjadi lebih banyak.
.
Menurut Parakkasi (1999) bahwa kecernaan zat makanan dapat
dipengaruhi oleh umur ternak, level pemberian, dan kadar zat makanan yang
dikandungnya. Ternak ruminansia dapat memecah dan menggunakan sebagian
karbohidrat struktural (selulosa dan hemiselulosa) dengan bantuan mikroba
rumen. Parakkasi (1999) juga menambahkan bahwa dengan adanya bantuan
mikroba rumen akan meningkatkan kecernaan bahan makanan yang mengandung
karbohidrat struktural (karbohidrat pembangun); kandungan lignin dan silika pada
77
Tabel 14 Pengaruh pe rsentase A. niger dan level Kromium yang berbeda terhadap kecernaan bahan ke ring dan kecernaan bahan organik serat sawit fermen-tasi in vitro (%)
Persentase Inokulum (% BK)
Level Kromium (mg/kg)
2mg/kg (A1) 4mg/kg(A2) 6mg/kg (A3) Kecernaan Bahan Kering
5% (B1) 11.75B 10.21±0.22 B 10.02 ±1.19 B ±0.11 7.5% (B2) 10.41 B 9.14 ±0.04 B 11.82 ±0.02 B
10% (B3) ±1.72
10.11 B 11.78 ±1.74 B 22.07 ±0.30 A
Kecernaan Bahan Organik ±0.72
5% (B1) 10.72B 8.52±0.02 BC 7.50±1.45 C±0.28 7.5% (B2) 8.5BC 7.17±1.28 C 10.40±0.44 B
10% (B3) ±1.34
8.82BC 9.45B±1.78 C 21.35±1.72 A±0.27 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris menunjukkan
perbedaan yang sangat nyata (P<0.01).
bahan makanan dapat mempengaruhi produksi energi metabolis (ME), karena
bahan makanan yang memiliki kandungan lignin dan silika tinggi akan lebih sulit
dicerna, sehingga lebih banyak energi dari bahan makanan tersebut yang keluar
melalui feses.
Tilman et al. (1998) mengatakan bahwa hewan tidak menghasilkan enzim
untuk mencerna serat kasar dan hemiselulosa, tetapi mikroorganisme dalam suatu
saluran pencernaan menghasilkan selulase dengan hemiselulase yang dapat
mencerna selulosa dan hemiselulosa, juga dapat mencerna pati dan karbohidrat
yang larut dalam air menjadi asam-asam asetat, propionat, dan butirat.
Serat adalah lignin dan polisakarida yang merupakan dinding sel
tumbuhan dan tidak tercerna oleh cairan sekresi dalam saluran pencernaan.
Kandungan serat dalam dinding sel dapat diekresikan dengan metode Neutral
Detergen Fiber (Arora 1995) sehingga kemampuan serat dapat dipisahkan. Jika
kandungan lignin dalam bahan pakan tinggi maka koefisien cerna pakan menjadi
rendah (Sutardi 1990 ).
Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan kecerna-an bahan organik SSF-Cr (%BK)
Pengaruh persentase inokulum Aspergillus niger dan Kromium berbeda
nyata terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik (Tabel 14 ) ada yang
hilang, yang nyata lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini
78
kemungkinan disebabkan oleh degradasi serat sawit pada penggunaan inokulum
10% dan kromium lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sehingga
dengan lama fermentasi yang sama, jumlah bahan organik yang dirombak oleh
A. niger menjadi lebih banyak.
SIMPULAN
Inkorporasi Cr oleh A. niger tidak berpengaruh terhadap kandungan
protein, serat kasar, NDF, ADF, emiselulosa, selulosa dan NH3, tetapi
berpengaruh terhadap VFA, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan
organik. Penggunaan persentase inokulum A. niger 10% dan level kromium 6
mg/kg bahan memberikan hasil serat sawit fermentasi dan inkorporasi Cr yang
terba ik
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] The Association of Official Analytical Chemists. 1995. Method of
Analysis. 16thEd. Washington DC. Assoc Agric Chemist. Arora SP. 1995. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Yogyakarta. Gajah
Mada University press. Astriana D. 2009. Fermentabilitas dan kecernaan in vitro ransum ruminansia
yang disuplementasi dengan kromium organik dan lingzhi [skripsi]. Bogor : Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB.
Atmosukarto K, Rahmawati M. 2004. Terapi nutrisi kromium untuk penderita
diabetes. Cermin Dunia Kedokteran No. 143:51-53 Burton JL. 1995. Supplemental chromium : its benefits to the bovine immune
system. Anim. Feed Sci. Tech. 53:117 Cary EE, Allaway WH. 1971. Determination of chromium in plants and other
biological materials. J. Agric. Food Chem. 19:1159-1167 Church DC. 1993. The Ruminant Animal : Digestive Physiology and Nutrition.
Waveland Press. Combs GF. 1992. The Vitamins, Fundamental Aspect in Nutrition and Health.
San Diego. Academic Press, Inc. Admission of Harcourt Brace & Company.
79
Demirci A, Pornetto AL, 2000. Enhanced organically bound chromium yeast
production. J. Agric Food Chem 48:531-536. Erwanto, Sutardi T, Sastradipradja D, Nur MA. 1993. Effects of ammoniated
zeolite on metabolic parameters of rumen microbes. Indon J Trop Agric 5(1) : 5-9
Fengel D, Wegener G. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi.
Diterjemahkan oleh Hardjono Sastrohamidjojo. Cetakan Pertama. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press..
General Laboratory Procedures. 1996. Department of Dairy Science. Madison.
University of Wisconsin. Groff JL, Gropper SS. 2000. Advanced Nutrition an Human Metabolism.
Belmont, CA. USA. Third Edition. Wadsworth Thomson Learning. Hartati E. 1998. Supplementasi minyak lemuru dan seng ke dalam ransum yang
mengandung silase pod kakao dan ure untuk memacu pertumbuhan sapi Holstein jantan [Disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Jamarun N, Nur YS dan Jurnida R. 2000. Biokonversi serat sawit dengan
Aspergillus niger sebagai pakan ternak ruminansia. Laporan Penelitian Hiba h Bersaing II 1999/2000. Padang. Fakultas Peternakan Universitas Anda las .
Jamarun N, Nur YS, Rahman J. 2001. Pemanfaatan serat sawit fermentasi
sebagai pakan ternak ruminansia. Panduan Seminar dan Abstrak. Pengembangan peternakan berbasis sumberdaya lokal. Bogor. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Krishna C. 2005. Solid-state fermentation systems-an overview. Crit Rev
Biotechnol 25:1-30. Lelono EB, Isnawati. 2007. Peranan iptek nuklir dalam eksplorasi hidrokarbon.
Puslitbang Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”. JFN, Vol1 No2, p:79-92.
Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Universitas Indonesia
Press. Jakarta. Lyons TP. 1995. Biotechnology in the Feed Industry a Look Forward and
Backward. Alltech Asia-Pasific Lecture Tour. Moore E, Landeker. 1992. Fundamental of Fungi. Frentice Hall, Inc., New
York.
80
Nur YS. 2006. Efisiensi penggunaan protein bungkil inti sawit yang difermentasi
dengan Aspergillus niger sebagai pakan broiler. Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat Peternakan Di Bidang Agribisnis untuk Mendukung Ketahanan Pangan Semarang, 3 Agustus 2006. ISBN:979-704-485-8
Nur YS. 1998. Pemanfaatan enzim selulase dari Aspergillus niger pada
biokonversi dedak padi untuk pakan ternak. Penelitian Dosen Muda /BBI 1997/1998. Lembaga Penelitian Universitas Andalas Padang.
Nur YS, Sofyan LA, Syarief R, Sugandi D. 1993. Peningkatan nilai gizi onggok
dengan kultur campuran Aspergillus niger dan Aspergillus oryzae sebagai pakan broiler. Prosiding Workshop Teknologi Lingkungan. Jakarta. DTPLH. BPPT..
Parakkasi A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Jakarta.
Universitas Indonesia. Pechova A, Pavlata L. 2007. Chromium as an essential nutrient: a review.
Veterinarni Medicina 52(1):1-18 Suryapratama W. 1999. Efek suplementasi asam lemak volatile bercabang dan
kapsul lisisn serta treonin terhadap nutrisi protein sapi Holstein [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sutardi T. 1990. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Bogor. Departement
Ilmu Makanan Ternak Fapet Institut Pertanian Bogor. Tilley JWA, Terry RA. 1963. Two-Stage technique for the in-vitro digestion of
forage crops. J. British Grasslandsoc. 18:104-111. Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosukojo S.
1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-4. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Van Soest PJ. 1994. Nutritional Ecology of Ruminant Metabolism. Cornell
University Press. Zetić VG
, Stehlik-Tomas V, Grba S, Lutilsky L, Kozlek Z. 2001. Chromium uptake by Saccharomyces cerevisiae and isolation of glucose tolerance factor from yeast biomass. Journal of Biosciences. Vol 26, Issue : 2, p:217-223
V. PEMANFAATAN SERAT SAWIT-Cr ORGANIK FERMENTASI SEBAGAI PENGGANTI RUMPUT LAPANGAN TERHADAP
PERFORMA DAN KUALITAS DAGING
ABSTRACT This study aimed to obtain a complete ration formula for sheep based on fermented palm press fiber containing organic Cr as an alternative for native grass. The complete rations were formulated to have 64% TDN and 12.50%. protein to feed lambs with body weight ranged from 12-16 kg. Levels of fermented palm press fiber (FPPF) in the ration were : A = 0% FPPF + 60% Native grass (NG) + 40% concentrate, B = 15% FPPF+ 45% NG + 40% concentrate, C = 30% FPPF + 30% NG40% concentrate, D = 45% FPPF+ 15% NG + 40% concentrate. Variables observed in this study were: dry matter and nutrients consumption, body weight gain, feed conversion and digestibility. For meat production variables were carcass weight and meat chemical composition. The physical properties of meat were meat color, meat pH, meat water holding capacity, the percentage of intramuscular fat, and fatty acid composition of saturated and unsaturated fatty acids and chromium content of sheep meat. Experimental design used was Block Randomized Design with 4 treatments and 4 replicates. Types of rations serve as treatments and differences in body weight of sheep as block. The results showed that consumption of DM, protein, crude fiber (CF) Nitrogen free extract (NFE) on treatment A, B and C were significantly higher (P <0.01) compared with treatment D. Digestibility of DM, CF, Fats and NFE was similar in each treatment (P> 0.05), whereas the digestibility of protein in the treatment A, B and D was higher (P <0.01) compared to treatment C Sheep body weight gain (P> 0.05), nitrogen retention (P <0.01), meat cholesterol, meat chromium, chromium liver, in the treatment D were significantly higher (P <0.01) compared to treatment A, B and C, while the water content, protein, fat and meat fatty acids did not differ significantly (P> 0.05), meat pH, tenderness of meat, cook ing shrinkage, water holding capacity of meat did not differ significantly (P> 0.05), meat color on D treatment was more bright compared to treatment A, B and C and feed conversions in the treatment A and D were lower (P <0.01) than treatments B and C. Based on the research results it can be concluded that ration containing 45% Cr-FPPF combined with 40% concentrate and 15%. Key words: FPPF, complete ration, sheep, performance, meat quality
Pendahuluan
Latar Belakang
Domba lokal adalah jenis ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara
dan penting dalam kehidupan petani di pedesaan. Domba lokal mempunyai
potensi mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim tropis dan memiliki
82
sifat seasonal polyestroes sehingga dapat beranak sepanjang tahun. Domba
mempunyai perdagingan sedikit dan disebut juga domba kampung atau negeri
(Murtidjo 1993).
Serat sawit (SS) merupakan produk samping pengolahan kelapa sawit
yang berpotensi sebagai bahan pakan ternak ruminansia terutama domba. Serat
sawit yang diperoleh dari industri minyak sawit di Indonesia akan terus
meningkat sejalan dengan meningkatnya luas area penanaman kelapa sawit.
Dengan luas perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia yakni 7 juta Ha (90
% nya berproduksi), jumlah serat sawit yang dihasilkan adalah sebesar 16,888
metrik ton BK/th. Hal ini merupakan potensi yang besar untuk dijadikan pakan
ternak, terutama ternak ruminansia. Beberapa peneliti memanfaatkan serat sawit
sebagai bahan baku penyusunan ransum untuk ternak domba (Jamarun et al. 2001;
Purwaningrum 2003; Rahman et al. 2007; Agustin 2010). Beberapa penelitian
tentang potensi serat sawit sebagai pengganti pakan hijauan juga telah dilakukan
diantaranya ada lah penelitian yang dilakukan Jamarun et al (2001) melaporkan
bahwa SS yang mendapat pengolahan dengan amoniasi kemudian difermentasi
dengan Aspergillus niger dapat digunakan sebagai pengganti hijauan sebanyak
25% dalam ransum. Purwaningrum (2003) mengatakan bahwa pemanfaatan SS
yang mendapatkan pengolahan dengan Trichoderma harzianum diperoleh SS dan
LSKS (limbah serat kelapa sawit) dengan rasio 1:2, dan digunakan sebagai
pengganti hijauan konvensional dengan taraf 50% dan lebih dari itu akan
menurunkan kecernaan dan keracunan amonia.
Kromium penting di dalam metabolisme karbohidrat, selain itu juga
dibutuh-kan dalam metabolisme lemak dan protein (Davis & Vincent 1997, NRC
1997), asam nukleat dan mencegah stress. Kromium juga berperan dalam sistem
kekebalan tubuh dan konversi tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3), yaitu
hormon yang berperan dalam meningkatkan laju metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein di dalam hati, ginjal, jantung dan otot serta meningkatkan sintesis
protein (Burton 1995). Suplemen-tasi Cr ke dalam pakan lebih menguntungkan
apabila diberikan dalam bentuk Cr organik. Kromium dalam bentuk trivalen yang
tidak beracun sangat sulit diserap. Pada beberapa kasus, Cr organik yang
dikonsumsi manusia lewat makanan 98% tidak diserap dan dikeluarkan lewat
83
feses, sebaliknya ketersediaan Cr organik cukup tinggi yaitu antara 25 sampai
30% (NRC 1997). Suplementasi kromium pada silase jagung dapat menurunkan
kortisol dan meningkat-kan respon imun anak sapi (Chang and Mowat 1992).
Kemampuan A. niger dalam menginkorporasikan kromium inorganik ke
da lam komponen miselium perlu didukung dengan kajian secara nutrisi manfaat
produk hasil inkoporasi tersebut. Unsur kromium dalam produk hasil inkorporasi
oleh A. niger diharapkan dapat digunakan dan berperan aktif dalam tubuh ternak.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formula ransum komplit
domba secara optimal dan untuk menghasilkan daging domba yang berkualitas,
baik dikonsumsi untuk penderita diabetes.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilakukan di laboratorium lapang dan laboratorium mikrobiologi dan biokimia, kandang metabolik Fakultas Peternakan IPB serta PPSHB IPB Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai Januari sampai Desember 2007 yang meliputi pembuatan serat sawit fermentasi penelitian, percobaan makanan pada ternak domba dan analisis di laboratorium. Penelitian ini meng-gunakan serat sawit yang diperoleh dari pabrik pengolahan kelapa sawit PT Incasi Raya di Padang dan Malimping Banten. Dedak diperoleh dari penggilingan padi di Cilubang Bogor. Bahan kimia yang digunakan adalah NaOH kristal (teknis), Kromium (CrCl3.6H2O), trypthopan, Aspergillus niger dan aquadest diperoleh dari toko bahan kimia di Bogor.
Metode Penelitian
Ransum disusun untuk memenuhi kebutuhan domba lokal dengan berat
badan berkisar 12 – 16 kg. Perbandingan penggunaan hijauan segar dan pakan
komplit adalah 60:40 berdasarkan bahan kering. Bahan pakan terdiri dari rumput
lapangan, SSF, polard, jagung, bungkil kedelai, molases, NaCl, cattle mix, CaCO3
dan garam, pakan diberikan berupa rumput lapangan segar dan pakan komplit.
Ransum perlakuan dan bahan penyusun ransum komplit disajikan pada Tabel 15
dan Tabel 16.
84
Perlak uan Penelitian
Adapun faktor perlakuan dalam penelitian ini adalah serat sawit
fermentasi digunakan untuk menyusun 4 macam ransum komplit dengan TDN
64% dan Protein 12.50%. Level pemanfaatan serat sawit terfermentasi dalam
ransum yaitu:
A = 0% SSF + 60% rumput lapangan + 40% konsentrat B = 15% SSF + 45% rumput lapangan + 40% konsentrat C = 30% SSF + 30% rumput lapangan + 40% konsentrat D = 45% SSF + 15% rumput lapangan + 40% konsentrat SSF = serat sawit fermentasi
Tabel 15 Formula ransum penelitian
Bahan Makanan
Perlakuan A B C D
R 60 45 30 15 SSF 0 15 30 45 Pollard 18.5 18.5 18.5 18.5 Jagung 10 10 10 10 B. kedelai 5 5 5 5 Molases 5 5 5 5 NaCl 0.5 0.5 0.5 0.5 Cattle mix 0.5 0.5 0.5 0.5 CaCO3 0.5 0.5 0.5 0.5 Total (%) 100.00 100.00 100.00 100.00 PK (% BK) 12.14 12.53 12.52 13.32 TDN(%) 64.81 64.54 64.27 64.00 Keterangan : A = Kontrol ( 60% RL + 40% konsentrat), B = 15% SSF-Cr + 45% RL, C = 30%
SSF-Cr + 30% RL, D = 45% SSF-Cr + 15% RL, SSF-Cr = serat sawit fermentasi-Cr, RL = rumput lapangan
Tabel 16 Kompo sisi kimia pakan domba penelitian
Komposisi kimia
(%)
Pakan
Rumput lapangan Konsentrat SSF
Bahan kering 24.22 86.51 85.79 Protein 8.29 16.92 6.03 Serat kasar 25.04 5.59 33.80 Lemak 1.46 2.77 1.60 A b u 9.36 8.18 3.99 BETN 50.87 66.54 54.58 TDN 56.00 78.01 54.21 Cr (ppm/BK) 11.34 7.53 10.78 Keterangan: SSF= serat sawit fermentasi
85
Peubah yang diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah: kandungan nutrisi
meliputi bahan kering, protein kasar (metoda Kjedhal), konsumsi, pertambahan
bobot badan , konversi pakan dan kecernaan juga diukur sebagai tolok ukur
kualitas ransum. Untuk produksi daging peubah yang diukur adalah produk karkas
dan komposisi kimia daging. Sifat fisik daging yang diukur warna daging, pH
daging, daya mengikat air daging, persentase lemak intramuskuler, dan komposisi
asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh (Kromatografi gas) serta kandungan
kromium daging domba. Ransum dicobakan pada 20 ekor domba sebagai hewan
model untuk menjelaskan pola pertumbuhan.
Kegiatan yang dilakukan pada penelitian ini :
1. Pembuatan serat sawit fermentasi dengan menggunakan 10% A niger dan
6 mg Cr/kg substrat serta penambahan 600 ppm tripthopan (1.20gr/100ml)
serat sawit yang digunakan setelah diperam 2.5% NaOH selama 24 jam
dan dicuci sampai NaOH nya hilang selanjutnya dikeringkan.
2. Persiapan kandang
3. Sebelum domba dimasukkan kandang dibersihkan desinfektan, kemudian
dimasukkan domba secara acak dan diberi obat cacing
4. Dilakukan periode adaptasi selama 1.5 bulan
5. Dilakukan periode pengamatan selama 125 hari
6. Periode koleksi dilakukan 7 hari
7. Pada masa ini dilakukan penampungan feses dan urine, pengambilan
sampel hijauan dan konsentrat.
Metode Analisis
1. Pertambahan Bobot Badan
Diperoleh dari mengurangkan bobot badan akhir dengan bobot badan awal
dibagi lama waktu pengamatan, penimbangan bobot badan ternak dilakukan setiap
minggu.
2. Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan harian dihitung berdasarkan jumlah pakan segar yang
disediakan dikalikan dengan kandungan bahan keringnya dikurangi sisa pakan
86
dikalikan dengan bahan kering sisa pakan tersebut, dengan menggunakan
timbangan. Penentuan kebutuhan konsumsi bahan kering atau Dry Matter Intake (DMI)
didasarkan pada rekomendasi Kearl (1982) dengan mempertimbangkan hasil evaluasi
pada masa adaptasi yakni 3,6 persen dari berat badan ternak.
3. Konve rsi Pakan
Diperoleh berdasarkan jumlah konsumsi bahan kering pakan dibagi
dengan kenaikan bobot badan per satuan waktu.
4. Kecemaan Zat Makanan
Ditentukan dengan metode koleksi total (Harris, 1970). Koleksi total
dilaksanakan selama 7 hari berturut-turut. Setiap hari selama periode koleksi
tersebut konsumsi ransum diukur, begitu juga dengan pengeluaran feses dan urine.
Sampel feses dan urine diambil sebanyak 10% dari total harian. Sampel harian
feses dan urine dikomposit dan dianalisis kadar zat makananya dengan analisis
proksimat. Kecemaan zat makanan dihitung sebagai berikut :
Zat makanan yang dikonsumsi – zat makanan dalam feses Kecernaan = ------------------------------------------------------------------------- x 100% Zat makanan yang dikonsumsi 5. Retensi Nitrogen
Dihitung dari besarnya konsumsi nitrogen dikurangi dengan jumlah
nitrogen da lam feses dan urine. Besarnya retensi nitrogen dapa t dinyatakan :
RN (g/h) = KN – (NF+NU)
Dimana : RN = retensi nitrogen NF = nitrogen feses KN = konsumsi nitrogen; NU = nitrogen urine
6. Pemotongan dan Pengkarkasan
Setelah mencapai target lama pemeliharaan/penggemukan yaitu enam
minggu domba dipotong tanpa pembiusan (stunning) pada bagian leher atas dekat
rahang bawah sampai semua pembuluh darah, trachea dan oesophgus terputus.
Pemotongan ternak d ilakukan tanpa pemuasaan domba terlebih dahulu.
Kepala dipisah dari tubuh pada sendi occipito atlantis, kaki depan
dipotong pada sendi carpo metacarpal dan kaki belakang pada sendi tarso
metatarsal. Bagian-bagian tersebut kemud ian ditimbang. Tubuh hewan tanpa
87
kepala dan kaki digantung pada paha belakang dekat tendo achiles. Kulit dilepas
dengan hati-hati sehinggal m. cutaneus trunci tetap melakat pada karkas.
Sebelum jeroan dikeluarkan, rektum dipisahkan dari anus da n di ikat
supaya feses tidak mencemari karkas. Jeroan dikeluarkan melalui sayatan lurus
ditengah-tengah perut hingga tulang dada. Karkas disimpan di dalam ruang
pendingin (chiller) selama 24 jam. Pada hari berikutnya dilakukan penguraian
Karkas yang telah didinginkan ditimbang untuk memperoleh bobot karkas
dingin. Setelah lemak pelvis dan ginjal dipisah, karkas sebelah kiri dipotong
menjadi beberapa potongan komersial yaitu leg, loin, rack, shoulder, neck, shank,
breast, dan flank (Lawrie 2003). Sampel daging otot longisimus dorsi pada
potongan dari persendian thoracic vertebrae ke-12 dan ke-13 sampai dengan
lumbar certebrae ke 6 dari setengah karkas bagian kiri dipisahkan. Sampel daging
tersebut diblender kemudian diambil secara acak untuk dianalisa kandungan asam
lemak dan kolesterolnya.
Bobot Awal
Diperoleh dari pernimbangan bobot domba sebelum dilakukan perlakuan.
7. Bobot Potong
Diperoleh dari penimbangan yang dilakukan sebelum pemotongan.
8. Bobot Tubuh Kosong
Diperoleh dari pengurangan bobot potong dengan bobot digesta.
9. Warna Daging
Ditentukan dengan Standards Meat Fat Colours da ri AUSTRALIAN
MEAT (1997), lemak pada longisimus dorsi
10. Kadar Air dan Bahan Kering Daging
Nilai bahan kering daging diperoleh dengan cara cawan kosong yang
digunakan ditimbang (a gram). Kedalam cawan dimasukkan sample daging lalu
ditimbang (b gram). Cawan yang berisi sampel daging disimpan dalam oven yang
bersuhu 105°C sekama 24 jam. Setelah 24 jam dikeluarkan dari oven, kemudian
didinginkan pada deskator selama 30 menit. Setelah itu cawan tersebut ditimbang
(c gram).
88
Bahan kering daging = (100) – Kadar air daging) %.
11. pH Daging
Pengukuran pH daging dilakukan dengan menggunakan pH meter merk
Corning. Sampel daging bagian Bicep femoris seberat 10 gram dihaluskan.
Kemudian, daging yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam beker glass dan
diencerkan dengan akuades sampai 100 ml, selanjutnya diblender selama satu
menit agar sampai menjadi lebih homogeny. Sebelum pH daging diukur,
thermometer harus dikalibrasi dulu dengan pH standard. Sampel daging siap
diukur derajat keasamannya.
12. Daya Mengikat Air (Water Holding Capacity) dagi ng
Pengukuran dilakukan dengan metode tekan menurut Hamm (Swatland
1994). Sampel daging sebanyak 0,3 g diletakkan diantara dua kertas saring
Whatman 41 dan dijepit dengan alat pressure guage merk Chattllon bertekanan 35
kg/m2
Luas daerah basah (cm
selama 5 menit. Luas daerah basah adalah luas air yang diserap kertas
saring akibat penjepitan dan diperoleh dari selisih luas lingkaran luar dan dalam,
pada kertas saring. Pengukuran lingkaran tersebut dilakukan dengan
menggunakan planimeter merk Hruden. Bobot air bebas yang terlepas karena
proses penekakan dapat dihitung berdasarkan rumus dibawah ini: 2
Mg H2O = - 8,0 0,0948
)
mg H2O % Air bebas = x 100% 300 g
DMA = Kadar air total – Kadar air bebas (%)
13. Keempukan Daging
Nilai keempukan daging ditentukan dengan metode shear press menurut
Warner-Blatzer (Bouton et al., 1971). Pengukuran keempukan daging dilakukan
secara objektif. Hasil pengukuran dinyatakan dalam satuan kg/cm2. Cara kerja
alat ini adalah sebagai berikut, sampe daging seberat 150 gram dimasukkan ke
dalam air rebusan, sebelum itu thermometer bimetal ditancapkan hingga
menembus bagian dalam sampel daging, kemudian direbus hingga thermometer
bimetal menunjukkan angka 80oC, sampel diangkat dan didinginkan. Setelah itu
89
sampel daging dicetak dengan alat pencetak daging (corer) yang berdiameter 1,27
cm. Potongan-potongan daging tersebut diukur keempukan-nya dengan
menggunakan alat berskala (kg/cm2
14. Susut Masak Daging
) Warner Blatzer.
Dihitung berdasarkan selisih berat sampel awal dikurangi dengan berat
sampel yang telah konstan. Sampel yang digunakan terlebih dahulu ditimbang
sebelum dilakukan perebusan dan ditancapkan thermometer bimetal hingga
menembus bagian dalam daging. Kemudian direbus hingga suhu dalam daging
80o
15. Pengukuran kadar N-amonia (
C, lalu diangkat. Sampel tersebut didinginkan sampai mencapai berat konstan,
setelah itu ditimbang sebagai berat akhir sampel konstan.
) cairan rumen
Kadar ditentukan dengan teknik Microdifusi Conway (General
Laboratory Procedures 1966).
16. Pengukuran Asam Lemak Volatile (VFA)
Pengukuran VFA ditentukan dengan desetilasi uap (General Laboratory
Procedures, 1966).
18. Populasi total Bakteri
Populasi bakteri rumen dicacah menggunakan metode pancacahan koloni.
Bakteri yang dicacah hanya yang hidup. Prinsip perhitunganya adalah cairan
rumen diencerkan secara serial lalu dilakukan pembiakan bakteri dalam tabung
selama 7 hari. Kultivasi bakteri dilakukan pada pH 7, dibuat suasananya anaerob,
dan pada suhu 39°C. Media pembiakan yang digunakan adalah non selektif
media untuk total bakteri. Prosedur yang dilakukan adalah menurut Suryahadi
(1990).
19. Komposisi Asam Lemak Daging
Lemak daging diekstraksi dengan petroleum benzena dengan metode Soxhlet.
Analisa komposisi asam lamak sesuai dengan AOAC (1995).
20. Kolestrol Daging
Analisa kolestrol daging dilakukan sesuai dengan metode yang dimodifikasi
Tangendjaja et al. (1983).
90
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK) dengan 4 perlakuan dan 4 kelompok. Jenis ransum berfungsi sebagai
perlakuan dan perbedaan bobot badan domba sebagai kelompok. Data yang
diperoleh dari peneitian ini diolah secara statistik dengan analisis keragaman. Jika
analisis keragaman menunjukkan perbedaan nyata maka dilakukan uji Duncan`s
Multiple Range Test (DMRT).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Ransum Perlakuan terhadap Konsumsi Zat Makanan pada Domba
Jumlah bahan kering yang dapat dimakan oleh seekor ternak selama satu
hari perlu diketahui. Dengan mengetahui jumlah bahan kering yang dimakan
dapat dipenuhi kebutuhan seekor ternak akan makanan yang perlu untuk hidup
pokok, pertumbuhan dan produksinya. Konsumsi tergantung dari hijauan saja
yang dibe rikan atau bersamaan dengan konsentrat. Konsumsi bahan kering untuk
ternak domba menurut Devendra dan Burn (1994) yang menyatakan bahwa
kebutuhan BK pada domba adalah sekitar 2,8 – 4,9% dari bobot badan.
Hasil penelitian tentang konsumsi bahan kering (BK) selama penelitian
dapat dilihat pada Tabel 17. Konsumsi BK menunjukkan berbeda sangat nyata
(P<0,01), ini menggambar-kan bahwa tingkat konsumsi BK dipengaruhi oleh
perlakuan, domba yang mendapat suplemen Cr organik dari fungi A. niger dengan
substrat serat sawit (SSF-Cr organik) menunjukkan konsumsi yang lebih rendah
daripada kontrol. Hal ini dimungkinkan perbedaan persentase SSF didalam
ransum masing-masing perlakuan, walaupun kandungan nutrisinya hampir sama.
Persentase BK yang dikonsumsi dari pe rlakuan A-D adalah sebesar 571.3
- 405.07 g/eko r/hr. Adanya respon konsumsi pakan yang berbeda disebabkan
karena kandungan dan kualitas gizi pakan menurun, terutama serat kasar
meningkat dan nutrisi tercerna dan aroma menurun sehingga palatabilitas rendah
yang mengakibatkan konsumsi pakan menurun. Selain itu, keragaman konsumsi
pakan disebabkan oleh status ternak dan bobot badan bervariasi dengan ternak
yang lebih besar mengkonsumsi pakan lebih banyak, hal ini berhubungan dengan
kapasitas tampung lambung berbeda.
91
Tabel 17 Pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi pakan (g/ ekor/hr)
Peubah Perlakuan A B C D
Konsumsi BK 571.3A 568.99±22.45 A 534.54±107.65 A 405.07 ±90.61 B±64.52 Konsumsi PK 85.41 A 77.19 ±3.01 A 67.86 ±14.34 B 49.16±11.16 C
Konsumsi SK ±6.79
91.71 A 101.09 ±5.81 A 105.44 ±22.77 A 78.85 ±18.64 B
Konsumsi Lemak ±15.61
11.78 A 11.87 ±0.36 A 10.79 ±1.90 A 8.32 ±1.81 B
Konsumsi BETN ±1.31
331.84A 334.46 ±11.58 A 310.88 ±58.4 A 236.45 ±52.57 B ±38.41 Keterangan: A = Kontrol ( 60% RL + 40% konsentrat), B = 15% SSF-Cr + 45% RL,
C = 30% SSF-Cr + 30% RL, D = 45% SSF-Cr + 15% RL, SSF-Cr = serat sawit fermentasi-Cr, RL = rumput lapangan. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0.01)
Pada penelitian ini (Tabel 17) terlihat bahwa konsumsi BK antara 405.07
- 571.3 g/ekor/hr. Data ini menunjukkan bahwa konsumsi BK menurun secara
nyata dari perlakuan A ke perlakuan D (P<0.01). Hal ini disebabkan bertambah
banyaknya level serat sawit fermentasi yang diberikan untuk pengganti rumput
lapangan menyebabkan palatabilitas ransum menurun. Menurut Arora (1995)
bahwa beberapa pakan tertentu kurang palatabilitasnya dibandingkan pakan lain.
Konsumsi pakan akan lebih banyak jika aliran lewatnya pakan cepat, sedangkan
serat sawit fermentasi dengan kandungan serat kasar yang tinggi menyebabkan
laju makanan dalam sistem pencernaan akan lama karena but uh waktu yang
cukup guna mencerna. Besar kecilnya konsumsi BK dipengaruhi oleh kualitas
atau komposisi zat makanan dalam ransum. Komposisi BK dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain palatabilitas, jumlah zat makanan ransum yang
diberikan (Tillman et al 1998). Konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah
makanan yang dimakan oleh ternak, dimana zat makanan yang dikandungny a
akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk produksi
hewan tersebut (Tillman et al 1991). Pada perlakuan A, B, dan C berbeda tidak
nyata artinya, penggunaan SSF-Cr sampa i level 30 % da ri total ransum tidak
berpengaruh terhadap konsumsi bahan kering. Konsumsi pakan yang berbeda
tidak nyata untuk ketiga macam perlakuan tersebut diduga disebabkan kandungan
serat kasar, energi dan palatabilitas yang relatif sama dari ketiga macam ransum
perlakuan. Pada perlakuan D tidak terjadi peningkatan konsumsi BK ransum
walaupun mengandung susunan ransum dan Cr-organik yang sama. Diduga
peranan cr dalam penelitian inibelum menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini
92
sesuai dengan hasil penelitian lain yang menunjukkan suplementasi kromium
tidak mempengaruhi konsumsi ransum (Amoiko n et al. 1995 dan Page et al.
1993). Status protein pakan yang hampir sama, mengingat masing-masing
perlakuan menggunakan jenis bahan penyusun pakan dan proporsi penggunaan
yang hampir sama pula, sehingga memungkinkan tingkat palatabilitas yang tidak
jauh berbeda. Wallace dan Newbold (1992) menjelaskan bahwa tingkat
palatabilitas dan status protein pakan serta tingkat kecernaan pakan dapat
mempengaruhi jumlah konsumsi pakan. Selanjutnya menurut Parakkasi (1999),
bahwa serat kasar mempunyai hubungan positif dengan tingkat konsumsi,
sehingga dengan kandungan serat kasar yang relatif sama pada ketiga macam
perlakuan menyebabkan konsumsi pakan berbeda tidak nyata. Menurut Arora
(1995), bahwa konsumsi pakan sangat dipengaruhi oleh laju pakan dalam rumen.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Parakkasi (1999), pakan yang berkualitas rendah dan
banyak mengandung serat kasar mengakibatkan jalannya pakan akan lebih lambat
sehingga ruang dalam saluran pencernaan cepat penuh. Selain itu yang membatasi
tingkat konsumsi adalah kebutuhan energi. Hewan akan mengkon-sumsi lebih
banyak agar dapat memenuhi kebutuhan energinya. Peningkatan SSF-Cr
mempengaruhi konsumsi bahan kering ransum, ini juga disebabkan kandungan
gizi SSF-Cr sangat mempengaruhi palatabilitas ransum. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Parakkasi (1999) bahwa tingkat konsumsi ternak dipengaruhi oleh
ternak, makanan yang diberikan, lingkungan tempat hewan tersebut dipelihara.
Faktor ternak dipengaruhi oleh bobot badan atau ukuran besarnya tubuh, bobot
badan dewasa, jenis kelamin, umur, faktor genetik dan tipe bangsa. Menurut
Aregheore (2001) konsumsi merupakan faktor yang penting dalam menentukan
jumlah dan efisiensi produktivitas ruminansia, dimana ukuran tubuh ternak sangat
mempengaruhi konsumsi pakan. Menurut NRC (1997) konsumsi bahan kering
domba yakni domba dengan bobot badan ± 12 kg, membutuhkan konsumsi bahan
kering 4 % dari bobot badan adalah 480 g. Berarti untuk perlakuan A, B, dan C
kebutuhan konsumsi bahan kering ransum sesuai dengan NRC (1985), sedangkan
untuk perlakuan D terjadi penur unan konsumsi bahan ke ring ransum
dibandingkan dengan NRC (1997).
93
Secara fisik SSF-Cr memiliki bentuk seperti tepung yang masih kasar,
warna hitam kecoklatan dan bahu fermentasi. Menurut Kartadisastra (1997)
bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi adalah
palatabilitas, yang dicerminkan oleh organoleptiknya seperti bau, rasa (hambar,
pahit, asin dan manis). Bentuk dan tekstur SSF-Cr yang hampir mirip dengan
tepung dan mudah dicampurkan pada konsentrat sehingga menghasilkan
konsumsi pakan yang tidak berbeda. Tekstur bahan pakan mempengaruhi
palatabilitas pakan dan palatabilitas berpengaruh pada tingkat konsumsi pakan
(Prawirodigdo et al. 1995). Rata-rata konsumsi bahan kering pada domba lokal
jantan yang mendapat ransum perlakuan dapat dilihat pada Tabel 17.
Kemampuan ternak ruminansia mengkonsumsi makanan dipengaruhi oleh
faktor genetik, lingkungan, tingkat produksi, umur dan kesehatan ternak
sedangkan faktor dari ransum yaitu frekuensi pemberian dari keseimbangan gizi
(Siregar 1994). Konsumsi PK pada (Tabel 17) terlihat 24.12-85.41 g. konsumsi
ini menurun dengan banyaknya jumlah SSF-Cr yang diberikan pengganti rumput
lapangan disebabkan konsumsi BK juga menurun (P<0.01). Menurut Parakkasi
(2002) jumlah konsumsi dipengaruhi kecepatan degradasi, semakin cepat
penghancuran makanan semakin mudah ternak lapar dan mengkonsumsi makanan
lebih banyak. Konsumsi protein didapat dengan perkalian antara jumlah
konsumsi BK dengan presentase protein ransum (Soder & Gregorini 2010) .
Konsumsi protein merupakan faktor yang menentukan dari domba untuk
berproduksi ataupun berproduksi secara optimal. Menurut Davendra dan Burn
(1994), kebutuhan protein untuk hidup pokok sangat tergantung dari tipe ransum,
kualitas protein, tingkat energi juga kondisi ternak yang bersangkutan.Adapun
kebutuhan protein untuk hidup pokok menurut Tomaszewska et al. (1993)
berkisar 2,82g/kg0.75, diperlukan 0,195 g protein tercerna tiap gram pertambahan
bobot badan. Konsumsi PK dapat dilihat ada Tabel 17. Konsumsi PK antara tiap
perlakuan pakan menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01) Konsumsi serat
kasar da lam penelitian ini 41.45-105.44 g (Tabel 17) dan dalam analisa statistik
ternyata konsumsi serat kasar tersebut berbeda nyata (P<0.05). Konsumsi serat
kasar mula-mula cendrung meningkat, selanjutnya terjadi penurunan pada
perlakuan D dan E, hal ini disebabkan tingginya level SSF-Cr yang diberikan
94
pada perlakuan E menyebakan konsumsi serat kasar juga terendah. Total
konsumsi pakan dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain komposisi bahan
makanan (Van Soest 1987). Pemberian protein yang tepat akan meningkatkan
sekresi LH yang akan meningkatkan persentase kebuntingan. Konsumsi BETN
penelitian antara 236.45 -334.46 g dan secara statistik berbeda nyata ( P<0.05).
Konsumsi ini turun seiring dengan turunnya konsumsi BK ransum. Konsumsi
terendah terdapat pada perlakuan D yaitu 236.45 g. Rendahnya konsumsi BETN
karena semua hijauan diganti dengan SSF-Cr dengan kandungan BETN SSF-Cr
lebih rendah dan serat kasarnya lebih tinggi. Kandungan BETN memberikan
gambaran kasar tentang banyaknya pati dari gula bahan makanan (Sutardi 1990).
Jumlah konsumsi dipengaruhi oleh kecepatan kecernaan semakin cepat
penghancuran makanan maka ternak semakin mudah lapar dan akan
mengkonsumsi makanan lebih banyak (Parakkasi 2002).
Pengaruh Ransum Perlakuan terhadap Kecernaan Zat Makanan pada Domba
Nilai kecernaan adalah persentase bahan makanan terkonsumsi yang tidak
didapatkan dalam feses dan dapat diserap oleh saluran pencernaan; jika
dinyatakan dalam persen maka disebut dengan koefisien cerna (Tillman et al.
1998). Faktor yang mempengaruhi daya cerna ransum menurut Anggorodi (1999)
yaitu suhu, laju pe rjalanan pakan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan
pakan, komposisi ransum, dan pengaruh terhadap perbandingan nutrien lainnya.
Hasil pengaruh ransum perlakuan terhadap kecernaan zat makanan pada domba
disajikan pada Tabel 18. Analisis sidik ragam memperlihatkan pengaruh perlakuan
yang tidak nyata (P>0.05). Kondisi ini kemungkinan besar disebabkan adanya
suplemen katalitik yang memberikan pengaruh yang sama terhadap aktivitas mikroba
rumen pada setiap kombinasi perlakuan. Berbagai organisme memerlukan mineral
untuk pertumbuhannya, termasuk pula mikroorganisme dalam rumen.
Kecernaan BK ransum adalah 74.12 - 80.35% terlihat disini, kecernaan
menurun dengan semakin banyaknya pemakaian serat sawit fermentasi. Kualitas
pakan, bentuk fisik, komposisi kimia, jumlah kalori dalam pakan dan ukuran
partikel, faktor ternak dan tingkat pemberian pakan adalah faktor yang
mempengaruhi daya cerna dalam lambung sekaligus menentukan jumlah
95
konsumsi pakan, jumlah zat makanan yang dicerna dari suatu bahan pakan
berhubungan erat dengan konsumsi (Tillman et al. 1998, Pond et al. 2005).
Tabel 18 Pengaruh ransum perlakuan terhadap kecernaan zat makanan (%)
Peubah Perlakuan
A B C D
Kecernaan BK 79.60±3.86 80.35±5.75 74.12±5.06 78.89±2.18 Kecernaan PK 82.33A 82.45±3.48 A 76.29±5.08 B 79.28±4.98 A
Kecernaan SK ±3.71
73.77±4.15 71.46±8.95 64.71±7.05 71.43±4.13 Kecernaan LK 80.27±5.12 84.46±8.34 74.06±4.30 82.92±2.24 Kecernaan BETN 82.41±4.05 83.83±4.65 78.85±4.52 82.89±2.81 Keterangan : A = Kontrol ( 60% RL + 40% konsentrat), B = 15% SSF-Cr + 45% RL, C = 30%
SSF-Cr + 30% RL, D = 45% SSF-Cr + 15% RL, SSF-Cr = serat sawit fermentasi-Cr, RL = rumput lapangan. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0.01)
Daya cerna protein kasar adalah 76.29-82.45% (P>0,05). Pada konsumsi
terlihat penurunan konsumsi protein tetapi daya cernanya hampir sama. Hal ini
disebabkan frekuensi pemberian pakan dan komposisi zat makanan yang
diberika n sama, sehingga aktifitas untuk mensintesa zat-zat makanan juga sama.
Penurunan atau peningkatan daya cerna protein disebabkan oleh keseimbangan
protein itu sendiri dengan zat-zat lain seperti energi dan serat kasar dan
tercernanya suatu makanan. Daya cerna PK yang sama juga disebabkan komposisi
ransum yang sama dan PK yang sama.serta energi ransum yang sama. Komposisi
ransum akan mempengaruhi kondisi pH, suhu rumen, populasi mikroba rumen
dan kemampuan protein itu sendiri untuk lolos ke pasca rumen, hal ini dapat
mempengaruhi kecernaan protein. Penambahan kromium organik yang berbentuk
SSF dalam ransum tidak menaikan konsumsi protein ransum, hal ini sesuai
dengan hasil penelitian lain yang menunjukkan suplementasi kromium tidak
mempengaruhi konsumsi ransum (Amoikon et al. 1995 dan Page et al. 1993).
Dalam proses pencernaan, protein dan urea mengalami degradasi oleh enzim
proteolitik yang dihasilkan oleh mikroba menjadi peptida. Peptida atau
oligopeptida yang terbentuk sebagian digunakan oleh mikroba untuk membentuk
protein tubuhnya dan sebagian lagi diproses lebih lanjut menjadi asam amino.
96
Sebagian asam-asam amino dikatabolis (deaminasi) lebih lanjut menjadi asam-
asam organik, NH3 dan CO2
Peningkatan daya cerna ini seiring dengan penurunan PK, dengan
sedikitnya konsumsi, maka aktivitas pencernaan akan lebih meningkat jika
dibandingkan dengan ternak yang mengkonsumsi PK lebih banyak pada batas
konsumsi yang sesuai dengan kebutuhannya. Tillman et al. (1998) menyatakan
bahwa daya cerna yang tertinggi didapat pada jumlah konsumsi sedikit lebih
rendah dari kebutuhan ternak.
(McDonald et al. 1995).
Daya cerna serat kasar dalam penelitian adalah 64,71-73,77 % (Tabel 17)
dan secara statistik berbeda tidak nyata. Daya cerna ini jauh lebih tinggi dari pada
penelitian penggunaan jerami padi fermentasi yang menggunakan A. niger ( rata-
rata 63.17 % ) walaupun secara statistik kecernaan pada penelitian ini hampir
sama, namun terlihat kecendrungan peningkatan kecernaan serat kasar. Hal ini
disebabkan penggunaan SSF-Cr dalam ransum proses fermentasi menyebabkan
terputusnya ika tan antara serat kasar dan hemiselulosa dengan lignin sehingga
lebih muda h dicerna. Kecepatan cerna dari bahan yang tinggi kandungan lignin
dan silika akan meningkat setelah perlakuan (pengolahan), karena bahan yang
mengalami proses pengolahan menjadi lebih muda h larut sehingga kecernaan
terhadap dinding sel menjadi cepat.
Daya cerna yang berbeda tidak nyata juga disebabkan jumlah dari jenis
bahan ko nsentrat yang diberikan sama antara perlakuan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Mathius et al (2004) bahwa jumlah dan jenis konsentrat yang ada dalam
campuran ransum akan mempengaruhi daya cerna zat makanan. Daya cerna serat
kasar yang hampir sama juga disebabkan kecernaan BK ransum juga hampir
sama dan frekuensi pemberian pakan yang sama. Kandungan serat kasar ransum,
frekuensi pemberian pakan, jenis ternak dan selera makan akan mempengaruhi
daya cerna (Church 1993). Aktivitas mikroba rumen dalam mencerna serat kasar
sangat dipengaruhi oleh jumlah energi dan protein yang seimbang. Pond et al.
(2005) menyatakan bahwa jumlah energi dan protein yang optimum dalam
ransum akan meningkatkan populasi mikroba rumen sehingga daya cerna serat
kasar akan meningkat.
97
Konsumsi lemak dalam penelitian 10.79 - 8.32g/ekor/hr dan secara
statistik berbeda nyata (P<0.05). Konsumsi lemak ini menurun dengan bertambah
banyaknya penggunan SSF-Cr dan turun pada pe rlakuan D. Rendahnya konsumsi
pada perlakuan D karena konsumsi BK pada D juga paling rendah, sedangkan
lemak tersebut terdapat dalam BK yang dikonsumsi, sehingga seiring dengan
kemampuan mikroba mencerna lemak kasar dan akhirnya konsumsi lemak pada
perlakuan D juga rendah. Tingkat konsumsi pada perlakuan ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain koefisien cerna, kualitas bahan makanan, fermentasi
dalam rumen dan laju makanan dalam saluran pencernaan. Bentuk fisik,
komposisi kimia dan ukuran partikel pakan adalah faktor yang mempengaruhi
daya cerna pakan dalam lambung yang sekaligus akan menentukan jumlah
konsumsi pakan. Besar kecilnya konsumsi zat makanan dipenga-ruhi oleh
beberapa faktor antara lain palatabilitas, jumlah makanan yang tersedia dan
komposisi zat makanan dalan ransum (Parakkasi 1999).
Daya cerna lemak penelitian antara 74.06 - 84.46% dan secara statistik
berbeda tidak nyata (P > 0.05). Daya cerna lemak yang hampir sama seiring
dengan hampir samanya daya cerna BK ransum. Faktor yang mempengaruhi
kecernaan lemak adalah kadar lemak pakan dan laju makanan melalui saluran
pencernaan (Pond et al. 2005) menyatakan bahwa tingkat kecernaan makanan
dipengaruhi oleh laju kecernaan makanan dalam alat pemcernaan dan kondisi
fisiologis ternak, selanjutnya makin tinggi konsumsi serat kasar makin rendah
daya cerna dari zat lain, bahan makanan yang difermentasi sering mempunyai
daya cerna yang tinggi (Cakra & Siti 2008) Daya cerna lemak penelitian ini
rataannya 80.43 % lebih tinggi dari penelitian Rooswandani (2003) yang
mendapatkan daya cernanya ±75.35% dengan pemberian probiotik pada sapi
peranakan ongole. Tillman et al. (1998) menyatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi daya cerna adalah kadar lemak ransum dan laju makanan dalam
saluran pencernaan, disamping itu kadar lemak dan efek asosiasi juga
mempengaruhi daya cerna. Pada percobaan ini dilihat secara angka perlakuan B
memberikan daya cerna lemak lebih tinggi dari pada perlakuan C, D dan A.
Suplementasi SSF sebanyak 15% pada perlakuan B memberikan daya cerna
lemak yang lebih tinggi, tapi perlakuan D dengan pemberian SSF-Cr 45%
98
menghasilkan daya cerna lemak lebih tinggi daripada perlakuan C dan A
(kontrol).
Kecernaan BETN yang didapat dalam penelitian antara 78.48 - 83.83 %
dan secara statistik berbeda tidak nyata (P > 0.05). Daya cerna dipengaruhi oleh
komposisi pakan, spesies ternak, umur dan rasio komposisinya (Tillman et al
1998). Tidak berbedanya kecernaan BETN karena ternak mendapatkan sumber
pati yang sama dari kosentrat, sesuai dengan pendapat Parakkasi (1999) bahwa
perbedaan sumber karbohidrat dalam ransum akan mempengaruhi pula tinggi
rendahnya daya cerna BETN. Patinya yang terdapat dalam sebagian besar
makanan penguat akan lebih dapat dicerna dari pada serat kasarnya. Menurunnya
konsentrasi BETN menyebabkan meningkatnya daya cerna BETN karena BETN
akan lebih lama berada didalam saluran pencernaan, sesuai dengan pendapat
Church (1993) yang menyatakan bahwa lamanya zat makanan di dalam saluran
pencernaan menunjukkan salah satu faktor yang menentukan daya cerna zat
makanan.
Pengaruh Ransum Perlakuan terhadap Pertambahan Bobot Badan Domba
Salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan
ialah dengan pengukuran pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan
yang diperoleh dari percobaan pada ternak merupakan hasil metabolisme zat-zat
makanan yang dikonsumsi. Makin baik kualitas pakan yang dikonsumsi ternak
akan diikuti dengan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi Pond et al (2005)
Menurut Lawrence dan Fowler (1997) pertumbuhan adalah perubahan skala dan
bentuk serta peningkatan dalam massa tubuh. Menurut Tillman et al (1998)
pertumbuhan mempunyai tahap-tahap yang cepat dan lambat. Tahap cepat terjadi
pada saat sampai pubertas, dan tahap lambat terjadi pada saat kedewasaan tubuh
telah telah tercapai. Pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran
kenaikan bobot badan yang dilakukan dengan penimbagan berulang yaitu tiap
hari, minggu, atau bulan (Tillman et al. 1998). Setelah dilakukan penimbangan
bobot badan domba dalam penelitian yaitu akhir kolekting dan satu bulan
sesudahnya didapat rataan pertambahan bobot badan (BB) disajikan pada Tabel
19. Pada penelitian ini pertambahan bobot badan antara 47.10- 74.98 g dan secara
statistik pengaruh penggantian rumput lapangan dengan serat sawit fermentasi
99
berbeda tidak nyata (P>0.05). Hal ini menunjukkan kemampuan ransum A, B, C,
dan D sama untuk pertumbuhan dan penggantian rumput lapangan dengan serat
sawit fermentasi sampai 45% tidak mempengaruhi pertumbuhan. Tidak
terdapatnya perbedaan yang nyata terhadap pertambahan bobot badan disebabkan
daya cerna zat-zat makanan yang hampir sama pada semua perlakuan sehingga
retensi N juga berbeda tidak nyata sampai perlakuan D (45% SSF-Cr).
Pada penelitian ini konsumsi zat makanan memang semakin sedikit
dengan semakin banyaknya serat sawit fermentasi tetapi daya cernanya hampir
sama sehingga penyerapannya pun mungkin hampir sama. Sesuai dengan
pendapat Parakkasi (1999) bahwa dalam pertumbuhan hewan tidak sekedar
meningkatkan berat badannya tetapi juga menyebabkan perubahan konformasi
oleh perbedaan tingkat pertumbuhan komponen tubuh. Konsumsi PK dari
perlakuan A sampai dengan D juga hampir sama, begitu juga konsumsi
BK dan serat kasar. Pertumbuhan yang dimanifestasikan dengan pertambahan
bobot badan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain jumlah konsumsi, total
Tabel 19 Pengaruh ransum perlakuan terhadap pertambahan bobot badan domba dan retensi nitrogen (g/ekor /hari)
Peubah Perlakuan A B C D
1. Pertambahan BB 74.98±29.84 61.18±16.93 52.90±18.38 47.10±19.54 2. Retens i N 7.05A 7.36±0.96 A 5.19±2.34 AB 3.88±1.79 B±0.69
Keterangan: A = Kontrol ( 60% RL + 40% konsentrat), B = 15% SSF-Cr + 45% RL, C = 30% SSF-Cr + 30% RL, D = 45% SSF-Cr + 15% RL, SSF-Cr = serat sawit fermentasi-Cr, RL = rumput lapangan. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0.01)
protein yang didapat setiap hari, jenis bangsa ternak, jenis kelamin, iklim,
kesehatan, tipe kelahiran dan managemen (Tillman et al. 1998).
Pertambahan bobot badan menurun pada perlakuan D, tapi tidak
memberikan perbedaan yang nyata antar perlakuan. Ini menggambarkan sebagian
besar percobaan penambahan mineral kromium organik yang dilakukan di daerah
sub-tropis tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan
bobot badan, sedangkan pada daerah tropis pengaruh suplementasi kromium lebih
baik. Lindemann et al (1995) menyatakan bahwa penambahan mineral kromium
dapat meningkatkan pertambahan bobot badan hingga 30% tergantung pada
100
tingkat stress (keadaan nutrisi, lingkungan dan penyakit). Pada percobaan ini
beberapa domba di dalam rumennya terdapat kawat spiral yang sebelumnya tidak
diketahui, diduga hal ini yang menyebabkan berkurang-nya pertambahan bobot
badan domba. Page et al (1993), yang meneliti tentang suplementasi Cr pada babi
sedang tumbuh, mendapatkan bahwa suplementasi Cr pikolinat sebanyak 200 ppb
meningkatkan pertambahan bobot badan 0.87 kg/hari lebih tinggi dibanding
kontrol 0.81 kg/hari, sedangkan pada penelitian ini pertambahan bobot badan
lebih rendah dari yang diatas, ini menggambarkan terjadinya penurunan sintesis
protein dan lemak pada jaringan perifer akibat menurunnya uptake asam amino
dan glukosa oleh efektifitas kerja insulin akibat adanya Cr.
Retensi N penelitian berkisar antara 3.88-7.05 g (Tabe l 19) dan secara
statistik berbeda sangat nyata (P< 0.01). Rendahnya retensi N pada perlakuan D
disebabkan konsumsi PK pada perlakuan D juga terendah, tapi daya cerna sama.
Rendahnya retensi nitrogen pada perlakuan dapat juga dipengaruhi oleh
banyaknya protein yang digunakan untuk membentuk energi (ATP), sehingga N
yang diretensi jadi berkurang. Berapa banyak asam amino dari protein bahan
makanan yang digunakan untuk sintesa di da lam tubuh tergantung pada komposisi
asam aminonya. Kualitas protein yang baik akan mendukung pembentukan
protein mikroba sehingga jumlah protein yang tertinggal dalam tubuh ternak
pakan meningkat, karena sebagian besar nitrogen dalam rumen berasal dari
protein mikroba. Untuk mencapai efisiensi harus ada keseimbangan zat-zat
makanan yang ada dalam bahan makanan (Church 1993). Tingkat retensi N
tergantung pada konsumsi nitrogen, keseimbangan antara energi metabolisme dan
protein dalam ransum, daya cerna protein dan kualitas protein, sehingga untuk
menyusun ransum perlu keseimbangan antara protein dan energi (Wahyu
1992).
Pengaruh Ransum Perlakuan terhadap Kimia Daging Domba Komposisi kimia adalah salah satu faktor yang menentukan mutu daging.
Sumbangan terbesar dari daging sebagai sumber bahan makanan adalah kualitas
proteinnya yang tinggi, sumber vitamin B kompleks dan beberapa mineral
khususnya yaitu Fe. Menurut Lawrie (2003) mengatakan bahwa kadar protein
daging relatif konstan dengan kisaran 16-22%, adanya perbedaan kadar protein
101
diantara otot dapat disebabkan oleh perbedaan struktur otot terutama terdiri atas
protein miofibrilar dan jaringan ikat. Kadar air yang berbeda pada otot
menyebabkan perbedaan kadar protein, karena protein otot mempunyai hubungan
yang erat dengan kadar airnya, karena protein otot ini mempunyai sifat hidrofilik,
yaitu dapat mengikat molekul-molekul air. Ngadiyono (1995) mendapatkan
bahwa kadar air yang berbeda diantara bangsa sapi dapat menyebabkan perbedaan
kadar protein. Secara umum daging terbentuk dari beberapa unsur pokok seperti air,
protein, lemak dan abu Sifat dan komposisi kimianya bervariasi tergantung pada
spesies hewan, umur, jenis kelamin, pakan, perbedaan pertumbuhan, letak dan fungsi
bagian daging tersebut dalam tubuh, kondisi ternak, potongan karkas, proses
pengawetan, penyimpanan dan cara pengepakan (Lawrie 2003).
Protein daging terlihat antara 15.74 - 18.77% dan secara statistik berbeda
tidak nyata (P>0.05), seiring dengan konsumsi BK dan serat kasar yang juga
berbeda tidak nyata. Komposisi kimia daging bervariasi dan dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain bangsa, umur pakan, perbedaan pertumbuhan,
termasuk perbedaan waktu penggemukan (Lawrie 2003). Peningkatan jumlah
SSF-Cr dalam ransum terjadi peningkatan protein daging, hal ini disebabkan
supplementasi kromium organik yang dapat membantu metabolisme protein. Di
da lam struktur GTF kromium adalah komponen aktifnya, sehingga tanpa adanya
Cr pada pusat atau intinya, GTF tidak dapat bekerja mempengaruhi insulin
(Burton 1995). Linder (1992) menyatakan kerja GTF pada sistem transport
glukosa dan asam amino adalah meningkatkan pengikatan insulin dengan reseptor
spesifik pada organ target. Saat insulin mengikat reseptor spesifiknya, uptake
seluler glukosa dan asam amino dipermudah dalam hal fungsi GTF adalah
meningkatkan efektifitas potensi insulin. Lemak daging cenderung menurun
dengan masuknya SSF-Cr tetapi secara statistik hampir sama, ini disebabkan
umur ternaknya juga hampir sama dan dengan adanya SSF-Cr merobah
komposisi lemak daging akibat penggunaan kromium. Hal ini juga terjadi pada
penelitian di Brazil yang memperlihatkan bahwa suplementasi kromium ragi 400
ppb pada ayam broiler sangat nyata menurunkan persentase lemak daging bagian
dada dan memperbaiki efisiensi penggunaan pakan (Hossain 1995). Pada
percobaan ini rataan kandungan lemak SSF-Cr adalah 2.58% hampir sama dengan
102
yang dikatakan oleh Lawrie (2003) kandungan lemak daging 2.5%. Daging yang
dinilai baik adalah daging yang tingkat perlemakan-nya tidak terlalu banyak,
tetapi cukup mempunyai perlemakan di dalam urat daging (Thu 2006). Murray
dan Slezacek (1976) menyatakan bahwa domba yang memperoleh pakan ad
libitum nyata mempunyai lebih banyak lemak subkutan dan sedikit lemak
intermuskuler daripada domba yang diberi pakan terbatas. Domba yang diberi
pakan berselang atau kompensasi lebih banyak lemak intermuskuler daripada
domba dengan perlakuan ad libitum pada bobot karkas yang sama. Suplementasi
kromium lebih baik pada negara-negara sedang berkembang yang mempunyai
masalah nutrisi. Hal ini disebabkan oleh defisiensi kromium dan tingginya
cekaman panas di daerah tersebut. Pada percobaan ini secara umum asam lemak
yang didapat terjadi penurunan seiring dengan meningkatnya jumlah SSF-Cr
dalam ransum. Ransum A adalah perlakuan tanpa menggunakan SSF-Cr,
sedangkan ransum B, C, dan D menggunakan SSF-Cr dengan penggunaan yang
meningkat. Hal ini terlihat, bahwa kadar lemak yang mendapatkan pakan limbah
sawit SSF-Cr cenderung lebih kecil dibandingkan dengan yang mendapat pakan
kontrol. Ini terjadi karena diduga kadar glukosa pakan limbah sawit terbatas,
sehingga NADP yang dihasilkan juga terbatas untuk mengubah asam asetat yang
berasal dari serat kasar limbah kelapa sawit menjadi lemak tubuh.
Pada penelitian ini diperoleh asam lemak daging yang berpengaruh tidak
nyata (P>0.05) disajikan pada Tabel 20. Asam lemak jenuh (laurat, miristat,
palmitat dan stearat) yang diperoleh dari penelitian ini terjadi penurunan sesuai
dengan penambahan SSF-Cr dalam ransum, tetapi terjadi peningkatan pada asam
lemak tidak jenuh (oleat), sedangkan pada linoleat, linolenat dan arakidonat tidak
terjadi peningkatan. Hal ini menunjukkan efektifitas jumlah SSF-Cr yang
diberikan dalam ransum cukup memberikan pengaruh terhadap penurunan asam
lemak jenuh.
Kolesterol daging yang didapat dalam penelitian (Tabel 20) terjadi
penurunan sesuai dengan jumlah SSF-Cr yang meningkat tapi secara statistik
berbeda tidak nyata (P>0.05). Nampaknya suplementasi kromium organik (SSF-
Cr) dalam ransum dapat menurunkan jumlah kolesterol daging domba, terjadi
persentase penurunan yaitu 23.24%. kadar kolesterol pada otot Longissimus dorsi
103
domba yang mendapat pakan komersial adalah 70,4 – 78,1 mg/100 g, sedangkan
dengan pakan berserat kasar tinggi adalah 64,20 mg/100 g (Solomon et al. 1991).
Arnim (1992) menyatakan tidak terdapat pengaruh pakan terhadap kandungan
kolesterol pada sapi dan kerbau, karena salah satu penyebabnya adalah adanya
mekanisme homeostasis dalam tubuh.
Kandungan Cr dalam daging dan hati meningkat dengan meningkatnya
SSF_Cr dalam ransum (P< 0.01). Sesuai menurut Linder (1992) mengatakan
bahwa Cr organik diserap melalui intestin akan masuk ke dalam darah tanpa
perubahan bentuk atau juga terikat dengan transferin. Dari intestin, hampir semua
kromium masuk ke dalam hati dimana akan terinkoperasi ke dalam GTF.
Tabe l 20 Pengaruh ransum perlakuan terhadap kimia daging domba
Peubah Perlakuan
A B C D
Kimia daging Kadar air (%) 74.55±2.16 78.31±2.89 77.68±0.93 73.26±2.81 Protein (%) 15.74±2.11 16.77±1.17 17.12±2.93 18.77±1.10 Lemak (%) 6.47±3.34 2.92±1.92 3.09±1.17 1.74±0.74 Asam lemak daging (mg/100g )
Laurat 0.0139±0.00311 0.0079±0.00141 0.0086±0.00354 0.00895±0.00643 Miristat 0.11245±0.0354 0.07155±0.0207 0.0848±0.0113 0.0817±0.0110
Palmitat 2.8791±0.9451 2.5804±0.7799 2.0664±0.2188 2.0062±0.4006 Stearat 0.0233±0.0076 0.0280±0.0086 0.0207±0.0006 0.0171±0.0109 Oleat 7.3620±2.6308 7.3544±2.6297 5.0954±0.6422 8.6974±2.6558 Linoleat 0.0361±0.0083 0.0276±0.0006 0.0244±0.0110 0.0247±0.0117
Linolenat 0.0026±0.0004 0.0099±0.0087 0.0471±0.0566 0.0026±0.0014 Arakidonat 0.0599±0.0408 0.0642±0.0433 0.0498±0.0196 0.0593±0.0156
Kolesterol daging (mg/100g
41.35
)
a 39.69 ±1.89 a 35.48 ±1.77 b ±3.68 31.74 c ±1.33
Kromium daging (ppm)
0.61 a 1.17±0.50 b 1.30±0.45 b 3.06±0.28 c
Kromium hati (ppm)
±1.76
0.75 a 1.17 ±0.23 a 1.49 ±0.57 a 2.48 ±0.47 b ±1.41
Keterangan: A = Kontrol ( 60% RL + 40% konsentrat), B = 15% SSF-Cr + 45% RL, C = 30% SSF-Cr + 30% RL, D = 45% SSF-Cr + 15% RL, SSF-Cr = serat sawit fermentasi-Cr, RL = rumput lapangan
104
Sejumlah GTF tertentu disekresi ke dalam plasma dimana akan tersedia
dalam membantu aktivitas insulin. Kalau kadar glukose darah meningkat,
dan/atau insulin disekresi, meningkatkan aliran GTF dan/atau kromium ke dalam
plasma, GTF akan meningkatkan pengaruh insulin yang disekresi tersebut dan
kemudian keluar melalui urin. Pada percobaan ini terjadi penyerapan Cr organik
yang meningkat dengan meningkatnya level SSF-Cr.
Pengaruh Ransum Perlakuan terhadap Uji Fisik Daging Domba
Hasil utama yang diharapkan dari pemeliharaan ternak potong adalah
daging-nya. Daging dari berbagai jenis ternak mempunyai daya terima yang
berbeda bagi konsumen. Daya terima setiap jenis daging oleh setiap individu
konsumen juga berbeda, tergantung pada fakor fisiologis dan sensasi organoleptik.
Beberapa faktor yang menentukan kelezatan dan daya terima daging yang
dikonsumsi adalah warna, pH, daya mengikat air (DMA) oleh protein daging atau
water holding capacity (WHC), susut masak, dan keempukan daging (Purbowati
et al. 2005). Setelah ternak dipotong akan terjadi perubahan pH (Lawrie 2003),
pada penelitian ini level SSF-Cr dalam ransum berpengaruh tidak nyata (P>0.05)
terhadap pH daging. Perlakuan A sebagai kontrol mempunyai nilai pH lebih
rendah dari perlakuan D dengan 45% SSF-Cr, ini berarti nilai pH yang dihasilkan
dari penggantian rumput lapangan dengan SSF-Cr adalah meningkat, tidak terjadi
penurunan pH berarti tidak terjadi akumulasi asam laktat akibat proses glikolisis
selama proses konversi otot menjadi daging pasca pemotongan. Hasil perhitungan
pH pada penelitian ini menunjukkan bahwa nilai pH yang diperoleh berada dalam
kisaran pH normal daging. Nilai pH daging segar menurut Bahar (2003) adalah
5.6.
Nilai pH daging mempunyai pengaruh yang berarti pada kualitas
daging, karena nilai pH daging berhubungan dengan warna, DMA, jus daging,
keempukan dan susut masak. pH daging ultimat (pH yang tercapai setelah
glikogen otot habis atau glikogen tidak lagi sensitif oleh serangan-serangan enzim
glikolitik) normalnya adalah 5,4–5,8 (Soeparno 1994). Nilai pH daging ultimat
hasil penelitian ini lebih rendah (5.25) dari pH daging ultimat normal. Hal ini
kemungkinan karena jumlah cadangan glikogen otot saat pemotongan lebih tinggi
105
sehingga penimbunan asam laktat tidak terjadi karena cadangan glikogen otot
masih tersedia sebelum pH daging ultimat normal tercapai. Terdepresinya
glikogen dapat terjadi karena ternak lelah, lapar atau takut sebelum pemotongan
(Lawrie 2003). Keempukan merupakan penentu kualitas daging yang paling
besar. Keempukan bisa bervariasi antara spesies, bangsa, ternak dalam spesies
yang sama, potongan karkas, dan diantara otot, serta pada otot yang sama.
Keempukan daging yang diperoleh pada penelitian ini (Tabel 21) antara 3.83-5.49
kg/cm2, berarti keempukan daging SSF-Cr berada pada kriteria daging empuk
memiliki daya putus WB (Warner Bratzler) ya itu 4.15 - < 5.86 kg/cm2
Peubah
(Suryati
dan Arief 2005). Suplementasi SSF-Cr dalam ransum lebih menguntungkan
karena adanya inkoporasi Cr dan A. niger yang mengakibatkan perubahan struktur
miofibrilar akan mempengaruhi keempukan daging.
Tabe l 21 Pengaruh ransum perlakuan terhadap analisis fisik daging domba
Perlakuan A B C D
Analisis fisik daging - pH daging 5.22±0.07 5.24±0.01 5.25±0.05 5.23±0.01 -Keempukan daging (kg/cm2
3.83±0.28 )
4.87±1.84 4.55±0.96 5.49±0.54
-Warna daging 4 4 dan 5 5 3 dan 4 -Susut masak (%) 40±3.01 41.34±0.86 36.29±2.21 43.36±2.03
-DMA (mg H2 126.38±4.33 O) 111.41±5.29 121.28±9.62 127.72±12.06 Keterangan: A = Kontrol ( 60% RL + 40% konsentrat), B = 15% SSF-Cr + 45% RL, C = 30%
SSF-Cr + 30% RL, D = 45% SSF-Cr + 15% RL, SSF-Cr = serat sawit fermentasi-Cr, RL = rumput lapangan. 3= merah muda, 4= merah, 5= merah tua
Perbedaan bangsa juga dapat menimbulkan perbedaan keempukan daging,
daging dari tipe kecil lebih empuk daripada daging dari tipe besar (Lawrie 2003).
Menurut Epley (2008) keempukan daging akan menurun seiring dengan
meningkatnya umur hewan. Jaringan ikat pada otot hewan muda banyak
mengandung retikuli dan memiliki ikatan silang yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan hewan tua. Pemasakan daging dalam oven 135oC sampai
suhu dalam 50oC atau 60oC tidak mempengaruhi nilai daya putus Warner Bratzler
(Lawrie 2003). Combes et al. (2002) menyatakan bahwa nilai keempukan
daging dengan Warner Bratzler mencapai minimum pada suhu dalam 60-65oC
dan meningkat kembali mencapai maksimum pada suhu dalam daging 80-90oC.
106
Faktor utama yang menentukan warna daging yaitu konsentrasi pigmen
daging myoglobin, tipe molekul dan status kimia myoglobin (Purbowati et al.
2005). Warna daging pada otot longissimus dorsi (LD) pada penelitian ini hampir
sama dengan kontrol, hal ini disebabkan sistem pemeliharaan domba yang
dikandangkan mengakibatkan ternak tidak bebas bergerak. Otot yang banyak
digunakan untuk bergerak mempunyai myoglobin (penentua warna merah daging)
yang lebih banyak daripada otot yang kurang banyak digunakan untuk bergerak
(misalnya otot LD) (Lawrie 2003). Faktor penentu warna daging tersebut
dipengaruhi oleh pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress (tingkat
aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen (Purbowati et al. 2005). Pada penelitian
ini (Tabel 19) terlihat bahwa warna daging yang diperoleh merah muda sampai
merah tua yang dihasilkan dari otot longissimus dorsi. Hal ini terjadi karena
adanya SSF-Cr dalam ransum yang mengakibatkan warna merah pada daging.
Pada perlakuan C warna daging merah tua, ini adalah akibat menurunnya
kapasitas aerobik dan meningkatnya kapasitas anaerobik otot-otot tersebut dengan
adanya penurunan aktifitas sitokrom oksidase (Abd El-aal dan Suliman 2008).
Susut masak pada penelitian ini berkisar 36.29 – 43.36% (P>0.05).
Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang lebih
baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan
nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Pada umumnya, susut masak
bervariasi dengan kisaran 15 - 40% (Soeparno 1994). Pada perlakuan B susut
masak adalah 41.34% dan D susut masak adalah 43.36%. Hal ini berarti pada
perlakuan B dan D terjadi susut masak yang lebih tinggi dibandingkan kisaran
susut masak menurut Soeparno (1994) yang mengakibatkan daging mempunyai
kualitas kurang baik, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih
banyak. Selanjutnya dijelaskan, bahwa bobot potong dapat mempengaruhi susut
masak apabila terdapat perbedaan deposisi lemak intramuskular (lemak marbling).
Perlakuan C mempunyai susut masak 36.29% berada pada kisaran susut masak
yang disarankan, ini menunjukka n bahwa daging dengan susut masak yang lebih
rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut
masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih
sedikit.
107
Daya ikat air (DMA) daging adalah kemampuan daging untuk mengikat
airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar,
misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Daya ikat
air dipengaruhi oleh perbedaan macam otot, species, umur dan fungsi otot. Fungsi
atau gerakan otot yang berbeda mengakibatkan perbedaan jumlah glikogen yang
menentukan besarnya pembentukan asam laktat dan akhirnya menghasilkan DIA
yang berbeda. DMA yang dihasilkan pada penelitian ini hampir sama. Penurunan
nilai daya mengikat air juga dapat meningkatkan nilai susut masak. Daya ikat air
menurun dari pH tinggi (sekitar 7-10) sampai pada pH titik isoelektrik protein-
potein daging antara 5,0 – 5.1.
Konversi Pakan. Konversi pakan dihitung dengan membandingkan
antara konsumsi bahan kering pakan dan pertambahan bobot badan harian domba.
Rerata konversi pakan dalam penelitian ini berturut-turut dari A, B, C dan D
adalah 7.62, 9.30, 10.10 dan 8.60. Angka di atas pada pakan perlakuan A
menggambarkan bahwa domba lokal jantan pada penelitian mengkonsumsi bahan
kering sebanyak 7,62 g untuk menaikkan 1 g bobot badannya, sedangkan pada
pakan perlakuan B membutuhkan pakan sebanyak 9,30 g untuk menaikka n 1 g
bobot badan dan seterusnya. Konversi ransum dipengaruhi oleh kualitas ransum,
nilai kecernaan dan efisiensi pemanfaatan nutrisi dalam proses metabolisme di
(Lawrie 2003), mengatakan bahwa salah satu
faktor yang mempengaruhi DMA daging adalah umur ternak, semakin tua umur
ternak, kapasitas memegang air daging lebih sedikit.
Analisis Ekonomi
Suatu usaha yang dijalankan tentu untuk mendapatkan keuntungan,
keuntungan akan diperoleh apabila dalam proses produksi mampu memanfaatkan
sumberdaya yang dimiliki secara optimal dan ekonomis. Untuk mengetahui
perlakuan mana yang paling ekonomis, maka dilakukan analisis ekonomis dengan
pendekatan Efisiensi Pemberian Pakan (Feed Efisiensi) yakni jumlah pakan yang
dihabiskan untuk mendapatkan satu kilogram pertambahan bobot badan, dan Feed
Cost per Gain (FC/G) yaitu nilai rupiah pakan yang dihabiskan untuk
menghasilkan satu kilogram pertambahan bobot badan. Hasil analisis ekonomis
antar perlakuan disajikan pada Tabel 22.
108
dalam jaringan tubuh ternak. Semakin baik kualitas ransum yang dikonsumsi
ternak, diikuti dengan pertambahan bobot badan yang ba ik maka nilai konversi
pakan akan semakin rendah dan akan semakin efisien pakan yang digunakan
(Ponds et al. 1995). Hasil analisis variansi menunjukan bahwa subs titusi hijauan
menggunakan serat sawit fermentasi berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap
konversi pakan. Hasil penelitian ini lebih besar dari pada penelitian Purbowati et
al (2007), yaitu sebesar 6,63. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai konversi pakan
yang diperoleh tidak seefisien hasil penelitian Purbowati, hal ini disebabkan
karena penggunaan bahan pakan sumber protein dan kandungan PK yang berbeda,
sumber protein yang digunakan pada penelitian Purbowati adalah tepung ikan dan
bungkil kedele.
Feed Cost per Gain (FC/G). Nilai feed cost per gain dihitung
berdasarkan biaya pakan, pertambahan bobot badan harian dan konversi pakan.
Feed cost per gain perlakuan A (kontrol) lebih rendah dari pada perlakuan lainnya,
Tabe l 22 Analisis ekonomis masing-masing perlakuan
Uraian Nilai (Rp) A B C D
RL (Rp/100 kg) 40.000,20 30.000,15 20.000,10 10.000,05 SSF-Cr (Rp/100 kg) - 8.625 17.250 25.875 Biaya konsentrat per 100 kg
Pollard 53.650 53.650 53.650 53.650 Jagung 40.000 40.000 40.000 40.000 B. kedelai 40.000 40.000 40.000 40.000 Molases 20.000 20.000 20.000 20.000 NaCl 825 825 825 825 Cattle mix 7.500 7.500 7.500 7.500 CaCO3 300 300 300 300 Biaya ransum (Rp/100 kg)
202.275,20 200.900,15 199.525,10 198.1150,05
Biaya ransum (Rp/ kg) 2.022,75 2.009 1.995 1.981 PBBH (g/ekor/hr) 74,98 61,18 52,90 47,10 Konsumsi BK ransum (g/ ekor/hr)
571,3 568,99 534,54 405,07
Konversi Pakan 7,62 9,3 10,1 8,6 Feed Cost per Gain (Rp) 15.413,36 18.683,70 19.950 17.036,60 Keterangan: A = Kontrol ( 60% RL + 40% konsentrat), B = 15% SSF-Cr + 45% RL, C = 30%
SSF-Cr + 30% RL, D = 45% SSF-Cr + 15% RL, SSF-Cr = serat sawit fermentasi-Cr, RL = rumput lapangan
109
ini berarti bahwa semakin tinggi substitusi hijauan dengan serat sawit fermentasi
akan meningkatkan biaya pakan dalam menghasilkan kenaikan per kilogram
bobot badan domba lokal jantan. Hal ini terjadi karena nilai feed cost per gain
erat kaitannya dengan konversi pakan yang semakin meningkat dengan
meningkatnya substitusi hijauan dengan serat sawit fermentasi. Hasil penelitian
ini masih lebih rendah apabila dibandingka n dengan hasil penelitian Karjito
(2010), pada penelitian Karjito diperoleh feed cost per gain sebesar Rp 18.013,
51/kg sedangkan pada penelitian ini feed cost per gain yang didapat sebesar Rp
15.413,36/kg. Artinya pada penelitian ini untuk mendapatkan 1 kg pertambahan
bobot badan di dibutuhkan biaya pakan sebesar Rp 15.413,36 (lebih efisien),
apabila harga domba per kg bobot hidup sebesar Rp 30.000, maka income over
feed cost yang dihasilkan pada penelitian ini sebesar Rp 14.586,64.
SIMPULAN
Suplementasi 6 pp m Cr mampu menurunkan kandungan lemak dan
kolesterol daging serta meningkatkan kandungan kromium pada daging dan hati,
namun tidak dapat meningkatkan pertambahan bobot badan pada domba lokal.
Ransum yang mengandung 45% SSF-Cr dikombinasikan dengan 40% konsentrat
dan 15% rumput lapangan merupakan ransum yang terbaik dan lebih
menguntungkan dari pada ransum yang mengandung SSF-Cr 15% atau SSF-Cr
30%.
DAFTAR PUSTAKA
Aberle et al. 2001. Principles of Meat Science. San Fransisco. W.H/ Freeman and Co.
Abd El-aal HA, Suliman AIA. 2008. Carcass traits and meat quality of lamb fed
on ration containing different levels of Leuceaena hay (Leucaena leucocephala L.) Biotechnology in Animal Husbandry 24 (3-4), p 77-92, 2008. Belgrade-Zemun. Publisher : Institute for Animal Husbandry.
Agustin F et al. 2010. Inkorporasi Kromium oleh Fungi Ganoderma lucidum
dengan Limbah Industri Kelapa Sawit Sebagai Substrat. Media Peternakan, 33(1). April 2010, hlm. 18-24.
110
Amatya JL, Haldart S, Ghosh TK. 2004. Effects of chromium supplementation
from inorganic and organic sources on nutrient utilization, mineral metabolism and meat quality in broiler chicken exposed to natural heat stress. Animal Science. 79:241-253.
Amoiko n EK et al. 1995. Effect of chromium tripicolinate on growth, glucose
tolerance, insulin sensitivity, plasma metabolites, and growth hormone in pigs. J. Anim. Sci. 73:1123-1130.
[AOAC] The Association of Official Analytical Chemists. 1990. Method of
Analysis. 16thEd. Washington DC. Assoc Agric Chemist. Areghero EM. 2001. Nutritive value and utilization of three grass species by
crossbed Anglo-Nubian goays in Samoa. J. Anim. Sci. 14(10):1353-1364.
Arnim. 1992. Komposisi asam lemak dan kandungan kholesterol lemak pelvis
serta kandungan energi daging pada sapi Peranakan Brahman dan kerbau dengan sumber energi ransum yang berbeda [Disertasi]. Bogor : Program Pasca-sarjana IPB.
Arora SP. 1995. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Yogyakarta : Gajah
Mada University press. Aus-meat. 1995. Aus-Meat for Indonesia Workshop. Work Book No.1. Australian Meat and Livestock Corpo ration. Perth Western Australia. Bahar B. 2003. Panduan Praktis Memilih Produk Daging Sapi. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama. Bentley R, Bennett JW. 2008. A ferment of fermentations: Reflections on the
production of commodity chemical using microorganisms in Advances in Applied Microbiology Volume 63. First edition. Academic Press of Elsevier.
Boleman SL et al. 1995. Effect of chromium picolinate on growth, body
composition, and tissue accretion in pigs. J.Anim.Sci. 73:2033-2042. Burton JL. 1995. Supplemental chromium : its benefits to the bovine immune
system. Anim. Feed Sci. Tech. 53:117 Burton JL, Mallard BA, Mowat DN. 1994. Effect of supplemental chromium on
antibody responses of newly weaned feedlot calves to immunization with infectious bovine rhinotracheitis and parainfluenza 3 virus. Can J Vet Res 58:1148-151
111
Cakra IGLO, Siti NW. 2008. Koefisen cerna bahan kering dan nutrient ransum kambing peranakan etawah yang diberi hijauan dengan suplementasi konsentrat molamik. Majalah Ilmiah Peternakan. 11 (1), p:12-17
Campbell RG. 1994. Effects of chromium picolinate on the performance carcass
characteristic and some measure of meat quality of female pigs. Report on a contract Research program by Bunge Meat Industry for prince Agri Products (Unpublished)
Chang X, Mowat DN. 1992. Supplemental chromium for stressed and growing
feeder calves. J. Anim Sci. 70:559-565. Church DC. 1993. The Ruminant Animal : Digestive Physiology and Nutrition.
Waveland Press. Combes S, Lepetit J, Darche B, Lebas F. 2002. Effect of cooking temperature
and cooking time on Warner Bratzler tenderness measurement and collagen content in rabbit meat. J. Meat Sci. 66:91-96
Combs GF. 1992. The Vitamins, Fundamental Aspect in Nutrition and Health.
San Diego: Academic Press, Inc. Admission of Harcourt Brace & Company.
Davendra C, Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Penerjemah:
Ir. IDK Harya Putra, PhD. Penerbit ITB Bandung dan Universitas Udayana
Davis CM, Vincent JB. 1997. Chromium in carbohydrate and lipid metabolism.
J Cell Biol 2:675-679 Dunn TG, Moss GE. 1992. Effects of nutrient deficiencies and excesses on
reproductive effeiciency of livestock. J. Anim. Sci. 70:1580-1693 Edey TN. 1983. Lactation, Growth and Body Composition In : Tropical Sheep
and Ltd. Melbourne. p: 81-108. Epley RJ. 2008. Meat tenderness.http://www.extension.umn.edu/distribution
/nutrition/ DJ0856.html [27oktober 2009] Freer M, Dove H. Sheep Nutrition. 2002. Canberra. CABI Publishing. Gatenby RM. 1991. The Tropical Agriculturalist Sheep. 1'' Edition. Mc Millan
Education Ltd. London and Basingtone Gatenby RM et al. 1995. Reproductive performance of Sumatera and hair sheep
crossbred ewes. SR-CRSP annual report 1994-1995, Sungai Putih, Sumatera Utara.
112
General Laboratory Procedures. 1996. Department of Dairy Science. Madison. University of Wisconsin. Gentry LR et al. 1999. Dietary protein and chromium tripcolinate in suffoklk
wether lambs: effects on production characteristics, metabolic and hormonal responses, and immune status. J.Anim.Sci. 77:1284-1294.
Ginting BL. 1996. Penggunaan serat sawit (palm press fiber) yang diperlakukan
dengan NaOH dalam ransum domba lokal [tesis]. Program Pascasarjana, Universitas Andalas. Padang.
Haddad SG, Grant RJ, Klopfenstein TJ. 1995. Digestibility of alkali-treated
wheat straw measured in vitro or in vivo using Holstein heifers. J Anim Sci 72:3258-3265.
Handayanta E, Sujito. 2000. Pengaruh suplementasi onggok dan ampas tahu
dalam ransum terhadap performans domba. Majalah Ilmiah Dian Andhini. Th II No. 10 Edisi Maret 2000:82-87
Hartati E. 1998. Supplementasi minyak lemuru dan seng ke dalam ransum yang
mengandung silase pod kakao dan urea untuk memacu pertumbuhan sapi Holstein jantan [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Herman R. 1993. Perbandingan Pertumbuhan, Komposisi Tubuh dan Karkas
antara Domba Priangan dan Ekor Gemuk [Disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hobson PN, Stewart CS. 1997. The Rumen microbial ecosystem. Springer. Hosain S. 1995. Effect of chromium yeast on performance and carcass quality of
broiler. Alltech`s Elevent Ann. Symp. Poster Presentation. Hungate RE. 1966. The Rumen and Its Microbes. United Kingdom Edition.
Published by Academic Press. London. p:50-62. Iyayi EA. 2004. Change in the cellulose, sugar and crude protein contens of
agro- industrial by-products fermented with Aspergillus niger, Aspergillus flavus and Penicilium sp. Afr J Biotechnol 3:186-188.
Iyayi EA, Aderolu ZA. 2006. Enhancement of the feeding value of some agro-
industrial by-products for laying hens after their solid state fermentation with Trichoderma viride. Afr J Biotechnol 3:186-188.
Jamarun N, Nur YS, Rahman J. 2001. Pemanfaatan serat sawit fermentasi
sebagai pakan ternak ruminansia. Panduan Seminar dan Abstrak. Pengembangan peternakan berbasis sumberdaya lokal. Bogor. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
113
Jamhari. 2000. Perubahan sifat fisik dan organoleptik da ging sapi selama
penyimpanan beku. Buletin Peternakan Vol. 24 (1). 2000 Kamalzadeh A, Hasanbaigy A, Achshang A. 2008. Intake, growth, energy and
nitrogen requirements and amino acid nitrogen availability in growing sheep. World Journal of Zoology 3 (2): 63-70, 2008 ISSN 1817-3098 © IDOSI Publications Corresponding.
Kamalzadeh A, Koops WJ,
Kiasat A. 2009. Effect of qualitative feed restriction on energy metabo lism and nitrogen retention in sheep. South African Journal of Animal Science. © South African Society for Animal Science.
Kearl LC. 1982. Nutrient Requirement of Ruminant in Developing Countries.
International Feeds tuffs Institute Utah. Agric. Exp. USA. Station Utah Satate University Logan, Utah.
Kim BG, Lindemann MD, Cromwell GL. 2009. The effects of dietary chromium
(III) picolinate on growth performance, blood measurement, and respiratory rate in pigs kept in high and low ambient temperature. J.Anim.Sci. 87:1695-1704.
Krishna C. 2005. Solid-state fermentation systems-an overview. Crit Rev
Biotechnol 25:1-30. Kitchalong L, Fernandez JM, Bunting LD, Southern LL, Bidner TD. 1995.
Influence of chromium tripicolinate on glucose metabolism and nutrient partitioning in growing lambs. J.Anim.Sci. 73:2694-2705.
Lateef A et al. 2008. Improving the quality of agro-wastes by solid-state
fermentation: enhanced antioxidant activities and nutritional qualities. World Journal of Microbiology and Biotechnology 24:2369-2374
Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Diterjemahkan oleh : A. Parakkasi. Edisi kelima.
Penerbit UI-Press, Jakarta. Lewis RM, Emmans GC, Dingwall WS, Simn G. 2002. A description of the
growth of sheep and its genetic analys is. British Society of Animal Sci.74:51-62
Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Universitas Indonesia
Press. Jakarta. Lindemann MD et al. 2004. A regional evaluation of chromium tripicolinate
supplementation of diets fed to reproducing sows. J Anim Sci 82: 2972-2977.
114
Lynd LR, Weimer PJ, Van Zyl WH, Pretorius IS. 2002. Microbial cellulose utilization: Fundamentals and biotechnology. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 66(3):506-577.
Mathius IW, Sitompul D, Manurung BP, Asmi. 2004. Produk samping tanaman
dan pengolahan buah kelapa sawit sebagai bahan dasar pakan komplit untuk sapi : suatu tinjauan. Prosiding. Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-sapi. Bengkulu, 9 – 10 September 2003. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pemerintah Propinsi Bengkulu dan PT Agricial, Bogor.
Matthews JO et al. 2003. Effect of chromium propionate and metabolizable
energy on growth, carcass traits, and pork quality of growing-finishing pigs.
J Anim Sci 81: 191-196.
McDonald PR, Edwards A, Greenhalg JFD. 1988. Animal Nutrition 4 th
Ed. Longman Scientificand Technical, John Willey and Sons Inc. NewYork. Hlm 90-95.
Mooney KW, Cromwell GL. 1995. Effects of dietary chromium picolinate supplementation on growth, carcass characteristics, and accretion rates of carcass tissues in growing-finishing swine. J.Anim.Sci. 73:3351-3357
Moore E, Landeker. 1992. Fundamental of Fungi. Frentice Hall, Inc., New
York. Mordenti A, Piva A, Piva G. 1997. the Europen perspective on organic chromium
in animal nutrition. Proc. Alltech 13th
Annual Symp. Hal. 227.
Moss AR, Givents DI, Everington M. 1990. The effect of sodium hydroxide treatment on the chemical composition, digestibility and digestible energy content of wheat, barley and oat straws. Anim. Feed Sci. Technol. 29:73-87.
Murtidjo BA. 1993. Memelihara Domba. Kanisius. Yogyakarta [NRC] National Research Council. 1985. Nutrient Requerement of Sheep. 6th
Revised Ed. Washington DC: National Academic Press.
[NRC] National Research Council, Committee on Animal Nutrition. 1997. The Role of Chromium in Animal Nutrition. Washington DC: National Academic Press.
Negussie E, Rottmann OJ, Pirchner F, Rege JEO. 2004. Growth and carcass
composition of tropical fat-tailed Menz andHorro sheep breeds. Animal Science, 78:245-252 © 2004 British Society of Animal Science
115
Ngadiyono N. 1995. Pertumbuhan serta Sifat-sifat Karkas dan Daging Sapi Sumba Ongole, Brahman Cross dan Australian Commercial Cross yang Dipelihara Secara Intensif pada Berbagai Bobot Potong. Bogor. [Disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Nur YS. 2006. Efisiensi penggunaan protein bungkil inti sawit yang difermentasi dengan Aspergillus niger sebagai pakan broiler (catatan penelitian). Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat Peternakan Di Bidang Agribisnis untuk Mendukung Ketahanan Pangan Semarang, 3 Agustus 2006. ISBN:979-704-485-8
Nur YS, Sofyan LA, Syarief R, Sugandi D. 1993. Peningkatan nilai gizi onggok
dengan kultur campuran Aspergillus niger dan Aspergillus oryzae sebagai pakan broiler. Prosiding Workshop Teknologi Lingkungan. Jakarta. DTPLH. BPPT.
Nur YS. 1998. Pemanfaatan enzim selulase dari Aspergillus niger pada
biokonversi dedak padi untuk pakan ternak. Penelitian Dosen Muda/BBI 1997/1998. Padang. Lembaga Penelitian Universitas Andalas.
Page TG, Southern LL, Ward TL, Thompson Jr DL. 1993. Effect of chromium in
animal nutrition. Proc Alltech 13th
Pond WG,
Annual Symp. p. 227. Parakkasi A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Jakarta. UI
Press. Pechova A, Pavlata L. 2007. Chromium as an essential nutrient: a review.
Veterinarni Medicina 52(1):1-18 Pérez J, Muñoz-Dorado J, de la Rubia T, Martinez J. 2002. Biodegradation and
biological treatments of cellulose, hemicelluloses and lignin: an overview. J International Microbiology. 5:53-63.
Church DC, Pond KR, PA. 2005. Basic Animal Nutrition and
Feeding, 5th Edition. New York. John Willey and Sons. Prawirodigdo S, Yuwono DM, Andayani D. 1995. Substitusi Bungkil Kedelai
dengan Bungkil Biji Kapok (Ceiba petandra) dalam Ransum Kelinci Sedang Tumbuh. Jurnal Ilmiah Ternak Klepu. Balitbang Pertanian. Deptan 1 (3) : 26 – 31.
Prawoto JA, Lestari CMS, Purbowati E. 2001. Keragaan dan kenerja produksi
domba lokal yang dipelihara secara intensif dengan memanfaatkan ampas tahu sebagai bahan pakan campuran. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis, special edition: 227-285.
Purbowati E, Sutrisno CI, Baliarti E, Budhi SPS, Lestariana W. 2005. Komposisi
kimia otot Longissimus dorsi dan Biceps femoris domba lokal jantan
116
yang dipelihara di pedesaan pada bobot potong yang berbeda. Journal Animal Production, [Inpress]
.
Purbowati E, Sutrisno CI, Baliarti E, Budhi SPS, Lestariana W. 2007. Pengaruh pakan komplit dengan kadar protein dan energi yang berbeda pada penggemukan domba lokal jantan secara feedlot terhadap konversi pakan. Pros iding : Semina r Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Peranian, Departemen Pertanian, hal : 394-401.
Purbowati E, Suryanto E. 2001. Karakteristik fisik otot Longissimus dorsi dan
Biceps femoris domba hasil penggemukan feedlot dengan berbagai level konsentrat dan pakan dasar yang berbeda. Buletin Peternakan. Edisi Tambahan, Desember 2001:89-94.
Purwaningrum IF. 2003. Study of mold isolate potential in converting palm oil
fiber waste as ruminant feed stuff [skrips i]. Bogor : Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor..
Rachmadi, D. 2003. Dampak pemberian bungkil inti sawit dan konsentrat yang
dilindungi formaldehida pada domba terhadap kinerja dan kandungan asam lemak poli tak jenuh. [Disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rahman J, Harnentis, Wiryawan KG. 2007. Biokonvesi limbah sawit menjadi
komponen ransum komplit bermineral organic esensial untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan kwalitas daging domba. Padang. Laporan Penelitian Hibah Pekerti. Universitas Andalas Padang.
Riyanto J. 2004. Tampilan kualitas fisik daging sapi peranakan ongole (PO).
Journal Pengembangan Peternakan Tropis. Special Edition October 2004: 28-32.
Sebsibe A, Casey NH, van Niekerk WA, Tegegne A,
Coertze RJ. 2007. Growth
performance and carcass characteristics of three Ethiopian goat breeds fed grainless diets varying in concentrate to roughage ratios. South African Journal of Animal Science 37 (4) © South African Soc iety for Animal Science
Scanes CG. 2003. Biology of growth of domestic animals.
First Edition. Iowa State Press
Siregar Z, Handarini R, Harahap AS. 2008. Penggunaan limbah industry kelapa sawit sebagai pakan terhadap pertumbuhan domba jantan persilangan sei putih. Jurnal Agribisnis Peternakan Vol.4 No.2 Agustus 2008
117
Soder KJ, Gregorini P. 2010. Relationship between supplemental protein and ruminal fermentation of an orchardgrass-based herbage diet. The Professional Animal Scientist 2 6:290–297. © 2010 American Registry of Professional Animal Scient ist.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta. Solomon MB, Lynch GP, Paroczay E, Norton S. 1991. Influence of rapessed
meal, whole rapessed and soybeen meal on fatty acid composition and cholesterol content of muscle and adipose tissue from ram lamb. J. of Anim. Sci. 69 (10) : 4055-4061
Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan
Biometrik. Edisi II. Terjemahan: B. Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sunarlin R, Usmiati S. 2006. Profil karkas ternak domba dan kambing.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veterinir. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Hal : 590-597.
Suryahadi, Piliang WG. 1997. Pemanfaatan limbah kelapa sawit sebagai ransum
komplit ruminansia. Prosiding Seminar II Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Kerjasama Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dengan Asosiasi Ilmu Nutrisi Indonesia. Bogor.
Suryati I, Arief II. 2005. Pengujian daya putus Warner Blatzer, susu masak dan
organoleptik sebagai penduga tingkat keempukan daging sapi yang disukai konsumen. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suryapratama W. 1999. Efek suplementasi asam lemak volatile bercabang dan
kapsul lisisn serta treonin terhadap nutrisi protein sapi Holstein. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sutardi T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Departement Ilmu
Makanan Ternak Fapet IPB Bogor. Sutardi T. 1997. Peluang dan tntangan pengembangan ilmu-ilmu nutrisi
ternak.Orasi imiah Guru Besar Tetap Ilmu Nutrisi Ternak. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Swastike W, Baliarti E, Agus A. 2006. Pertambahan bobot badan dan
keberhasilan sinkronisasi estrus pada domba dara dengan kualitas pakan yang berbeda (Body weight gain and evaluated in synchronization estrus of ewes with different feeding quality). AGROSAINS 19 (3) Juli 2006
118
Swatland HJ. 1994. Structure and Development of Meat Animals and Poultry. Technomic Publishing Company, Inc., Pennsylvani.
Tangendjaja B, Santoso B, Wina E. 1983. Protected fat : preparation and
digestibility. Proc. Advances in Small Ruminant Research in Indonesia. RIAP. Bogor. p. 439-447.
Thu DTN. 2006. Meat quality: Understanding o f meat tenderness and influence
of fat content on meat flavor. Tap Chi Phat Trien KH&CN, TAP 9, SO12-2006
Tilley JWA, Terry RA. 1963. Two-Stage technique for the in-vitro digestion of
forage crops. J. British grasslandsoc. 18: 104-111. Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosukojo S.
1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-4. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Tomaszewka MW, Sutama IK, Putu IG, Chaniago TD. 1993. Reproduksi,
Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Van de Ligt JGL, Lindemann MD, Harmon RJ, Monegue HJ, Cromwell GL.
2002. Effect of chromium tripicolinate supplementation on po rcine immune response during the postweaning period. J.Anim.Sci. 80:449-455
Valkeners D, The´wis A, Amant S, Beckers Y. 2006. Effect of various levels of
imbalance between energy and nitrogen release in the rumen on microbial protein synthesis and nitrogen metabolism in growing double-muscled Belgian Blue bulls fed a corn silage-based diet. J Anim. Sci. 84:877-885.
Van Soest PJ. 1994. Nutritional Ecology of Ruminant Metabolism. Cornell
University Press. Vyas S, Lachke A, Ahmad A. 2003. Fungal cellulases for novel industrial
app lications. In: Rao GP, Manoharachari C, Bhat DJ, Rajak RC, Lakhanpal TN Eds. Frontiers of Fungal Diversity in India. Lucknow: International Book Distributing Co., 143-159.
Wheeler TL, Shackelford SD, Koohmaraie M. 1999. Tenderness classification of
beef III: Effect of the interaction between and point temperature and tenderness on Warner-Blatzer shear force of beef longissimus. J. Anim. Sci. 77: 400-407
Zain M. 1999. Subsitusi rumput dengan sabut sawit dalam ransum pertumbuhan
domba pengaruh amoniasi, defaunasi dan suplementasi analog hidroksi metionin serta asam amino bercabang [Disertasi]. Bogor. Program Pasca-sarjana Institut Pertanian Bogor.
PEMBAHASAN UMUM
Penelitian tahap ke-I. Pengaruh konsentrasi NaOH dan lama pemeraman terhadap kandungan gizi serat sawit
Usaha peningkatan produk peternakan menuntut adanya pakan yang murah,
berkualitas dan tersedia dalam jumlah yang banyak dan tidak bersaing dengan
kebutuhan manusia. Umumnya kecernaan dari ransum pakan serat sekitar 40-45
%, karena itu sangat diperlukan upaya perbaikan nutrisi untuk meningkatkan
kecernaannya. Usaha yang dapat dilakukan antara lain dengan perlakuan secara
kimia diantaranya pemeraman dengan fisik, NaOH, (menggiling dan memotong,
uap panas) dan biologi (menggunakan khamir, kapang atau jamur) untuk
memperkaya nilai nutrisi dari sekam dan sekam yang digiling. NaOH adalah
alkali yang paling efektif untuk menaikkan kecernaan zat makanan limbah
pertanian/industri karena mampu memutuskan ikatan lignosellulosa yang lebih
besar sehingga kecernaan lebih tinggi, hal ini sesuai menurut Moss et al. (1990)
bahwa perlakuan dengan NaOH ada lah suatu metode yang efektif untuk
meningkatkan kualitas jerami padi yang rendah, walaupun penambahan NaOH
membuat defisiensi nitrogen lebih buruk pada jerami padi. Oleh karena itu
penggunaan NaOH pada SS dimanfaatkan untuk melepas ikatan lignoselulosa
yang akan menurunkan kadar lignin dan peningkatan daya cerna secara
proporsional dengan turunnya kadar lignin akan memudahkan untuk difermentasi
dengan A. niger sebagai pensintesa kromium organik. Perlakuan NaOH pada serat
sawit ternyata dapat meningkatkan bahan kering, bahan organik, abu, energi dan
retensi N, namun tidak terjadi peningkatan kecernaan serat kasar (Arysoi 1998),
tetapi pada penelitian Ginting (1996) perlakuan NaOH dengan konsentrasi 5 %
memberikan koefisien cerna bahan kering in-vitro serat sawit yang terbaik
dibanding dengan konsentrasi NaOH 2.5 dan 7.5 %. Metode pencucian pada
hasil pemeraman dengan NaOH memberikan hasil yang tidak menguntungkan,
karena hilangnya sebagian nutrisi dari SS, hal ini tidak dapat diaplikasikan dalam
pengolahan bahan berserat tinggi dengan tujuan sebagai pakan ternak. Metode
alternatif yang dapat dilakukan adalah pengolahan fisik setelah itu meningkatkan
120
pertumbuhan kapang. Pertumbuhan kapang dapat dilihat dengan banyaknya
pertumbuhan hifa dan miselium dan dapat diukur panjang dan berat miselium.
Penentuan mor fologi SS-NaOH ditunjukkan dengan menggunakan
teknologi Scanning Electron Microscope (SEM). Pengaruh konsentrasi NaOH
dan lama pemeraman terhadap dinding sel serat sawit jelas sekali terlihat dengan
menggunakan scanning electron microscopy (SEM). Serat sawit tanpa
pemeraman dengan NaOH terlihat jaringan dasar terjalin dengan pita parenkim
longitudinal dan dengan parenkim jari- jari, pembuluh tertutup oleh tilosis.
Semakin tinggi konsentrasi NaOH dan lama pemeraman maka aktivitas alkali
akan lebih kuat dalam melarutkan dinding sel serat sawit berarti terjadi perubahan
struktur dinding sel yang berperan untuk memutuskan ikatan lignin dengan
selulosa dan hemiselulosa.
Percobaan pemeraman serat sawit dengan NaOH memperlihatkan bahwa
dengan mengingkatnya konsentrasi NaOH terjadi penurunan bahan kering dan
protein kasar serat sawit. Serat sawit setelah diperam dilakukan pencucian seiring
dengan berkurangnya bahan kering dan protein kasar karena pencucian dan
perlakuan NaOH. Perlakuan alkali diharapkan berperan dalam memutuskan
ikatan hidrogen pada kristal selulosa dan silika jerami sehingga senyawa ini akan
mudah terlarut (Arisoy 1998), pada pemeraman dengan NaOH akan terjadi
penurunan bahan kering sesuai dilapo rkan oleh Moss et al. (1993). Protein juga
mengalami hidrolisis pada pH alkalis yang menghasilkan suatu campuran asam
amino bebas. Perlakuan NaOH pada serat sawit ternyata dapat menurunkan
kandungan protein kasar sesuai menurut penelitian Vadiveloo et al. (2009) dan
Arysoi (1998). Perlakuan SS-NaOH dapat menyebabkan kehilangan bahan
organik dan dapat diasumsikan bahwa tidak merubah bentuk komponen anti
nutrisi furfural dan phenolik dari degradasi lignin (Vadiveloo 1995; Vadiveloo &
Fadel 1992).
Hasil penelitian terhadap NDF, ADF, hemiselulosa, selulosa dan lignin
berbeda tidak nyata. Selulosa yang dihasilkan terjadi penurunan, semakin tinggi
konsentrasi NaOH maka akt ivitas alkali aka n lebih kuat da lam melarutkan ikatan
ligno-selulosa dan lignohemiselulosa dan makin banyak lignin, silika dan
hemiselulosa yang larut. Fengel dan Wegener (1995) mengatakan bahwa alkali
121
dapat menyebabkan perubahan struktur dinding sel yang berperan untuk
memutuskan ikatan lignin dengan selulosa dan hemiselulosa. Liu (1998)
mengemukakan bahwa alkali dapat memutuskan ikatan hidrogen inter molekul
dan melarutkan sebagian lignin dan silika, tetapi apabila konsentrasi NaOH
semakin tinggi maka kandungan ADF bertambah tinggi pula. Hal ini disebabkan
adanya sebagian fraksi NDF yang mudah larut, sehingga diduga sebagian NDF
berubah bentuk menjadi ADF.
Umikalsom et al (1998) menyatakan bahwa sodium hidroksida
menurunkan kristalin selulosa dan lignin ke CO2, H2O dan asam karboksil.
Perlakuan NaOH diharapka n mampu memutuskan ikatan hidrogen pada kristal
selulosa dan sebagian silika menjadi larut, kristal selulosa sebagian kecil dapat
larut dalam alkali encer tetapi tidak dapat larut dalam asam encer. Banyaknya
selulosa terbebas dari ikatan lignin memerlukan waktu yang lebih lama untuk
melarutkannya. Secara rata-rata konsentrasi NaOH 2.5-7.5% cukup efektif untuk
menurunkan kandungan lignin. Sedangkan bila dilihat dari lama pemeraman,
semakin lama waktunya kandungan lignin semakin turun, hal ini disebabkan
NaOH semakin lama bekerja. NaOH berfungsi untuk mendegradasi dan
melarutkan lignin sehingga mudah dipisahkan dari selulosa dan hemiselulosa
(Sihite 2008), selanjutnya menurut penelitian Subkaree et al 2007, bagaimanapun
pra perlakuan NaOH dapat mengurangi kandungan lignin pada pra-perlakuan serat
sawit.
Penelitian tahap ke II. Fermentasi serat sawit-NaOH dengan Aspergillus niger pensintesa kromium organik untuk meningkatkan kualitas pakan
Penggunaan Aspergillus niger pensintesa Cr-organik sebagai penghasil
enzim selulase, dapat memutus rantai serat, enzim menyerang permukaan serat
menghasilkan efek pengelupasan dan dapat memflokulasi serat yang berukuran
kurang dari 75 μm serta partikel-partikel kecil serat. Serat yang kecil akan
dihidrolisa mengakibatkan peningkatan derajat giling dan permukaan serat
menjadi bersih dari fibril dan partikel-partikel. Hasil ini terlihat pada percobaan
dengan menggunakan SEM, dimana permukaan serat sawit yang mengandung
partikel-patikel kecil setelah difermentasi dengan Aspergillus niger pensintesa
Cr-organik menjadi bersih.
122
Penelitian tahap kedua ini terjadi peningkatan protein kasar dari 3.93%
(serat sawit tanpa fermentasi) menjadi 9.21 – 11.45% (serat sawit
fermentasi=SSF). Peningkatan protein kasar pada serat sawit fermentasi
disebabkan oleh adanya pertumbuhan kapang. Jamarun et al. (2001) menjelaskan
bahwa kapang yang mempunyai pertumbuhan dan perkembangbiakan yang baik
akan merubah lebih banyak komponen penyus un media menjadi suatu massa sel,
sehingga akan terbentuk protein yang berasal dari tubuh kapang itu sendiri dan
dapat meningkatkan protein kasar dari bahan. Ini membuktikan bahwa kapang
Aspergillus niger mampu tumbuh pada media serat sawit alkali yang
ditambahkan kromium dan tripthopan. Perbedaan ini disebabkan laju
pertumbuhan dan perkembang biakan kapang yang bervariasi. Kadar air,
karakteristik substrat, suplementasi nutrisi, aerasi dan lama fermentasi merupakan
variabel yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan pembentukan metabolit
dalam fermentasi media padat (Krisna et al. 2005).
Hasil penelitian tahap ke-II perlakuan tidak mempengaruhi NDF, ADF,
hemiselulosa, dan selulosa. Menurut Parakkasi (1999) ADF erat hubungannya
dengan kecernaan, sehingga apabila kecernaannya tinggi maka ADF yang tercerna
akan tinggi pula. Kandungan VFA yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar
antara 83,51-143,56 mM, berarti masih dalam kisaran normal dimana VFA yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan dan aktivitas mikroba antara 80-160 mM (Sutardi
1980, Suryapratama 1999). VFA total yang dihasilkan berada pada kisaran
kebutuhan untuk pertumbuhan dan aktivitas mikroba rumen yang optimal. Hal ini
disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme pada SSF-Cr membantu menguraikan
bahan makan dan menyebabka n SSF-Cr lebih fermentabe l di rumen. Produksi
NH3 dalam penelitian ini adalah 4.79 mM, nilai tersebut berada pada kisaran
produksi NH3 di dalam rumen yang mendukung pertumbuhan mikroba rumen
yaitu pada kisaran 4 – 12 mM (Erwanto et al. 1993) . Hal ini berarti inkorporasi
A. niger dengan kromium pada SS berfluktuasi dalam memproduksi NH3.
Suplementasi kromium pada level 4 mg/kg Cr menghasilkan produksi NH3 lebih
tinggi dari perlakuan lainnya, begitu juga dengan 10% inokulum A. niger.
Produksi NH3 pada SS adalah 4.55 mM, sedangkan pada penelitian ini rataan
produksi NH3 adalah 4.79 mM. Pada penelitian ini terjadi peningkatan produksi
123
NH3 sebanyak 5.27 %, berarti dengan adanya kromium organik terjadi
peningkatan NH3 yang sangat dibutuhkan untuk sintesis protein mikroba rumen.
Pada penelitian ini terlihat bahwa persentase kecernaan bahan kering
berkisar antara 9.63% - 141.47% dan bahan organik antara 4.60% - 197.77%. Hal
ini kemungkinan disebabkan oleh degradasi serat sawit pada penggunaan
inokulum 10% A. niger lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan lainnya,
sehingga dengan lama fermentasi yang sama, jumlah bahan kering dan bahan
organik yang dirombak oleh A. niger menjadi lebih banyak. Terjadinya
peningkatan persentase peningkatan kecernaan bahan organik dan bahan kering
diduga akibat kinerja mikroba rumen yang semakin aktif karena suplai energi
yang cukup sebagai akibat dari pengaruh persentase A. niger dan level CrCl3
Hasil penelitian tahap III pada domba lokal menunjukkan bahwa domba
yang diberikan isonutrien (12.5% protein kasar dan 65% TDN) dengan
penembahan Cr 6 mg/kg sangat ditentukan oleh kecukupan makronutrien protein
dan energi. Suplementasi Cr anorganik (CrCl3.6H2O) menunjukkan konsumsi
dan kecernaan berbeda tidak nyata, sama hal nya dengan yang dilaporkan oleh
Agustin et al. (2010) dan DePew et al. (1996). Hal ini disebabkan bertambah
banyaknya level serat sawit fermentasi yang diberikan untuk pengganti rumput
lapangan menyebabkan palatabilitas ransum menurun. Beberapa pakan tertentu
.
Hasil kecernaan bahan kering berkisar antara 9.14% - 22.07% dan bahan organik
antara 7.17% - 21.35%. Hal ini disebabkan oleh degradasi serat sawit pada
penggunaan inokulum 10% dan kromium 6 mg/kg lebih cepat dibandingkan
dengan perlakuan lainnya, sehingga dengan lama fermentasi yang sama, jumlah
bahan kering yang dirombak oleh A. niger menjadi lebih banyak. Kecernaan
bahan organik akibat inkorporasi A. niger dengan kromium terjadi peningkatan
sesuai dengan meningkatnya persentase inokulum dan level kromium. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh degradasi serat sawit pada penggunaan inokulum
10% dan kromium lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sehingga
dengan lama fermentasi yang sama, jumlah bahan organik yang dirombak oleh
A. niger menjadi lebih banyak.
Penelitian tahap ke-III. Pemanfaatan serat sawit-Cr organik fermentasi sebagai pengga nti rumput lapangan terhadap performa dan kualitas daging
124
kurang palatabilitasnya dibandingkan pakan lain (Arora 1986) konsumsi pakan
akan lebih banyak jika aliran lewatnya pakan cepat, sedangkan serat sawit
fermentasi dengan kandungan serat kasar yang tinggi menyebabkan laju makanan
da lam sistim pencernaan akan lama karena butuh waktu yang cukup guna
mencerna.
Pada penelitian ini pertambahan bobot badan antara 47.10- 74.98 gram dan
secara statistik pengaruh penggantian rumput lapangan dengan serat sawit
fermentasi berbeda tidak nyata (P>0.05). Hal ini menunjukkan kemampuan
ransum A, B, C, dan D sama untuk pertumbuhan dan penggantian rumput
lapangan dengan serat sawit fermentasi sampai 45% tidak mempengaruhi
pertumbuhan. Tidak terdapatnya perbedaan yang nyata terhadap pertambahan
bobot badan disebabkan daya cerna zat-zat makanan yang hampir sama pada
semua perlakuan sehingga retensi N juga berbeda tidak nyata sampai perlakuan
D (45% SSF-Cr). Ini menggambarkan sebagian besar percobaan penambahan
mineral kromium organik yang dilakukan di daerah subtropis tidak
memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan bobot badan (Evock-
Clover et al 1993, Lindemann et al 1995), sedangkan pada daerah tropis
pengaruh suplementasi kromium lebih baik, tetapi dengan penambahan SSF-Cr
sampai perlakuan D terjadi penurunan pertambahan bobot badan, hal ini
disebabkan rendahnya palatabilitas ransum sehingga jumlah ransum yang
dikonsumsi sedikit, mengakibatkan pertambahan bobot badan rendah.
Selanjutnya penelitian ini didukung DePew et al. (1996) dan Uyanik (2006)
bahwa suplementasi kromium tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan ,
kadar kromium darah LDL, tetapi menurunkan kadar glukosa darah pada domba
yang disuplementasi dengan 0.2 dan 0.4 Cr anorganik. William et al. (1994)
bahwa supplementasi 0.8 mg Cr pikolinat pada 24 ekor domba pada kondisi
cekaman panas (heat stress) dengan bobot badan 29 kg tidak mempengaruhi
efisiensi penggunaan ransum, kadar glukosa plasma, keseimbangan nitrogen, dan
kemampuan untuk mencerna serat (kandungan Cr ransum basal tidak diketahui).
Setelah ternak dipotong akan terjadi perubahan pH, pada penelitian ini
level SSF-Cr dalam ransum berpengaruh tidak nyata terhadap pH daging. Nilai
pH daging mempunyai pengaruh yang berarti pada kualitas daging, karena nilai
125
pH daging berhubungan dengan warna, DMA, jus daging, keempukan dan susut
masak. pH daging ultimat (pH yang tercapai setelah glikogen otot habis atau
glikogen tidak lagi sensitif oleh serangan-serangan enzim glikolitik) normalnya
adalah 5,4–5,8 (Soeparno 1994). Nilai pH daging ultimat hasil penelitian ini
lebih rendah (5.25) dari pH daging ultimat normal. Hal ini kemungkinan karena
jumlah cadangan glikogen otot saat pemotongan lebih tinggi sehingga
penimbunan asam laktat tidak terjadi karena cadangan glikogen otot masih
tersedia sebelum pH daging ultimat normal tercapai. Terdepresinya glikogen
dapat terjadi karena ternak lelah, lapar atau takut sebelum pemotongan (Lawrie
2003).
Keempukan daging yang diperoleh pada penelitian ini antara 3.83-5.49
kg/cm2, berarti keempukan daging SSF-Cr berada pada kriteria daging empuk
memiliki daya putus WB (Warner Bratzler) ya itu 4.15 - < 5.86 kg/cm2
Protein daging terlihat antara 15.74 - 18.77% seiring dengan konsumsi BK
dan serat kasar yang juga berbeda tidak nyata. Komposisi kimia daging bervariasi
dan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain bangsa, umur pakan, perbedaan
pertumbuhan, termasuk perbedaan waktu penggemukan (Lawrie 2003).
(Suryati
dan Arief 2005). Suplementasi SSF-Cr dalam ransum lebih menguntungkan
karena adanya inkoporasi Cr dan A. niger yang mengakibatkan perubahan struktur
miofibrilar akan mempengaruhi keempukan daging. Perbedaan bangsa juga dapat
menimbulkan perbedaan keempukan daging, daging dari tipe kecil lebih empuk
daripada daging dari tipe besar (Lawrie 2003).
Warna daging pada otot longissimus dorsi (LD) diperoleh merah muda
sampai merah tua. Hal ini terjadi karena adanya SSF-Cr dalam ransum yang
mengakibatkan warna merah pada daging. SSF-Cr nampaknya dapat
meningkatkan myoglobin sebagai penentu warna daging, karena pada otot LD
biasanya daging berwarna pucat disebabkan otot yang kurang banyak digunakan
untuk bergerak.
Susut masak dan daya ikat air (DMA) pada penelitian ini berbeda tidak
nyata. Pada umumnya, susut masak bervariasi dengan kisaran 15 - 40% (Soeparno
1994). Susut masak dan daya ikat air (DMA) yang dididapat pada penelitian ini
berkisar pada kisaran yang yang normal.
126
Peningkatan jumlah SSF-Cr dalam ransum terjadi peningkatan protein daging, hal
ini disebabkan supplementasi kromium organik yang dapat membantu
metabolisme protein. Di dalam struktur GTF kromium adalah komponen
aktifnya, sehingga tanpa adanya Cr pada pusat atau intinya, GTF tidak dapat
bekerja mempengaruhi insulin (Burton 1995). Anderson dan Kozlovsky (1985)
menyatakan kerja GTF pada sistem transport glukosa dan asam amino adalah
meningkatkan pengikatan insulin dengan reseptor spesifik pada organ target.
Saat insulin mengikat reseptor spesifiknya, uptake seluler glukosa dan asam
amino dipermudah dalam hal fungsi GTF adalah meningkatkan efektifitas
potensi insulin. Pendapat ini sesuai dengan pernyataan Linder (1992) bahwa kerja
GTF dalam transfer gula pada sel ragi tidak bergantung pada kehadiran insulin.
Hasil-hasil penelitian Cr menunjukkan bahwa selain esensial dalam metabolisme
karbohidrat, Cr juga dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan protein, dalam hal
ini difisiensi Cr dapat menyebabkan hiperkolesterolemia dan arterosklerosis serta
rendahnya inkorporasi asam amino pada protein hati. Ditambahkan bahwa asam
amino yang dipengaruhi oleh Cr adalah metionin, glisin dan serin (Anderson
1987).
Lemak daging cenderung menurun dengan masuknya SSF-Cr tetapi secara
statistik hampir sama, ini disebabkan dengan adanya SSF-Cr merobah komposisi
lemak daging akibat pengunaan kromium. Hal ini juga terjadi pada penelitian dari
Brazil memperlihatkan bahwa suplementasi kromium ragi 400 ppb pada ayam
broiler sangat nyata menurunkan persentase lemak daging bagian dada dan
memperbaiki efisiensi penggunaan pakan (Hossain 1995). Pada percobaan ini
rataan kandungan lemak SSF-Cr adalah 2.58% hampir sama dengan yang
dikataka n oleh Lawrie (1985) kandungan lemak daging 2.5%. Suplementasi
kromium lebih baik pada negara-negara sedang berkembang yang mempunyai
masalah nutrisi. Hal ini disebabkan oleh defisiensi kromium dan tingginya
cekaman panas di daerah tersebut. Pada percobaan ini secara umum asam lemak
yang didapat terjadi penurunan seiring dengan meningkatnya jumlah SSF-Cr
da lam ransum.
Pada penelitian ini asam lemak jenuh ( laurat, miristat, palmitat dan stearat),
asam lemak tidak jenuh (oleat) yang dipe roleh berbeda tidak nyata sesuai dengan
127
penambahan SSF-Cr dalam ransum. Hal ini menunjukkan efektifitas jumlah SSF-
Cr yang diberikan dalam ransum cukup memberikan pengaruh terhadap
penurunan asam lemak jenuh. Menurut French et al. (2000) asam lemak stearat
dan palmitat merupakan jenis asam lemak jenuh terbanyak pada daging,
sedangkan pada penelitian ini asam lemak jenuh yang terbanyak adalah asam
lemak miristat dan palmitat. Selama penelitian ini asam lemak jenuh yang
dihasilkan terjadi penurunan, berarti dengan adanya SSF-Cr dalam ransum terjadi
penurunan asam lemak jenuh yang dapat menyebabkan penyakit jantung koroner.
Dengan adanya penurunan asam lemak jenuh pada daging domba yang
mengandung ransum SSF-Cr, daging domba yang dihasilkan lebih baik dan akan
menghindari timbulnya penyakit jantung koroner bagi yang mengkonsumsi
daging.
Kolesterol daging yang didapat dalam percobaan ini terjadi penurunanan
sesuai dengan jumlah SSF-Cr yang meningkat, suplementasi kromium organik
(SSF-Cr) dalam ransum dapat menurunkan jumlah kolesterol daging domba. Cr-
organik berperan penting pada metabolisme dan penggunaan karbohidrat, sintesa
asam lemak, ko lesterol dan protein. Kromium berfungsi mengatur proses produksi
lemak dalam tubuh, sehingga mencegah pembentukan lemak berlebih dan. mampu
meningkatkan sensitifitas insulin tubuh sehingga membantu mencerna gula atau
karbohidrat dengan lebih baik. Inkorporasi Aspergillus niger dengan Cr
menunjukkan bahwa terjadi penurunan lemak, asam lemak jenuh, dan kolesterol
daging. Dalam hal ini suplementasi SSF-Cr sebagai ransum komplit perlu diteliti
lebih mendalam, tentang manfaat daging yang mengandung SSF-Cr yang
dikonsumsi manusia, berhubungan dengan penyakit diabetes mellitus dan jantung
koroner.
Konversi pakan yang didapat dari penelitian ini berbeda tidak nyata, hal ini
dipengaruhi antara lain oleh bahan pakan dan formulasi ransum. Konversi pakan
yang dihasilkan dalam penelitian ini sudah baik, konversi pakan domba di daerah
tropis berkisar antara 7-15 artinya untuk menghasilkan satu kilogram pertambahan
bobot badan dibutuhkan bahan kering pakan sebanyak 7-15 kg. Nilai feed cost
per gain dihitung berdasarkan biaya pakan pada saat penelitian berlangsung dan
pertambahan bobot badan harian yang dihasilkan. Subs itusi SSF-Cr yang
128
meningkat dalam ransum menurunkan biaya ransum, dengan memanfaatkan
bahan pakan loka l dan hasil samping agroindustri berupa serat sawit untuk
substitusi hijauan dapat mengurangi biaya pakan (besarnya biaya pakan berkisar
antara 60 – 80% dari total biaya). Nilai FC/G perlakuan A (Rp 15.413) adalah
terendah dibandingkan dengan pe rlakuan lainnya, dan perlakuan C (Rp 19.950)
adalah tertinggi, hal ini disebabkan oleh pertambahan bobot badan harian A juga
lebih baik dari pada perlakuan lainnya sehingga nilai FC/G nya juga berbeda,
walaupun harga ransum per kilogram perlakuan A lebih tinggi. Hal ini juga ada
kaitannya dengan palatabilitas serat sawit fermentasi lebih rendah dari pada
rumput lapang yang diberikan, walaupun konversi pakan dan feed cost per gain
SF-Cr yang dipe roleh berbeda tidak nyata, tapi SSF-Cr masih lebih baik
kualitasnya daripada rumput lapangan dan dapat digunakan sebagai pakan
alternatif.
VII. KESIMPULAN UMUM DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1) Aspergillus niger mampu mensintesis Cr-organik dengan prekursor CrCl3
2) Fermentasi serat sawit dengan A. niger dapat meningkatkan kualitas nutriennya
dan
triptofan pada substrat serat sawit
3) Penggunaan persentase inokulum A. niger dan level kromium 6 mg/kg bahan
memberikan hasil serat sawit fermentasi dan inkorporasi Cr yang terbaik
4) Serat sawit fermentasi dapat dipakai sebagai pengganti 45% rumput lapangan,
menurunkan kandungan lemak dan kolesterol daging pada ternak domba
Saran
Serat sawit bisa digunakan sebagai media fermentasi bagi Aspergillus
niger dan sekaligus sebagai media untuk mensintesis Cr-organik dari prekursor
CrCl3
dan triptofan. Produk serat sawit fermentasi perlu dikaji pengaruhnya pada
ternak untuk mengetahui efektifitasnya dalam memacu pertumbuhan dan produksi
daging. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan peningkatan dosis kromium dalam
fermentasi supaya jelas terlihat efek kromium terhadap pertumbuhan dan mutu
daging.
DAFTAR PUSTAKA
Aberle et al. 2001. Principles of Meat Science. W. H/Freeman and Co. San Fransisco.
Adams MR, Moss MO. 2008. Food Microbiology. Published by The Royal
Society of Chemistry. Thomas Graham House, Science Park, Milton Road. Cambridge CB4 OWF,UK.
Aderemi BO, Abu E, Highina BK. 2008. The kinetics of glucose production from
rice straw by Aspergillus niger. African Journal of Biotechnology, Vol. 7, 3, June, 1745-1752.
Adham, 2001, “Attempt at improving citric acid fermentation by Aspergillus niger
in beet- molasses”, Bioresource Technology, hal 97 – 100. Agustin F et al. 2010. Inkorporasi Kromium oleh Fungi Ganoderma lucidum
dengan Limbah Industri Kelapa Sawit Sebagai Substrat. Media Peternakan, Vol. 33 No. 1. April 2010, hlm. 18-24.
Ahamed, Vermette AP. 2008. Culture-based strategies to enhance cellulase
enzyme production from Trichoderma reesei RUT-C30 in bioreactor culture conditions. Biochemical Engineering Journal, 40, 399-407.
Ali, Ikram, Qadeer, Iqbal, 2002. Production of Citric acid by Aspergillus niger
using cane molasses in a strirred fermentor. Electronic Journal of Biotechnology. Vol 5, No.3.
Amatya JL, Haldart S, Ghosh TK. 2004. Effects of chromium supplementation
from inor ganic and organic sources on nutrient utilization, mineral metabolism and meat quality in broiler chicken exposed to natural heat stress. Animal Science. 79:241-253.
Anderson RA. 1994. Stress effects on chromium nutrition of humans and farm animals. In: Biotechnology in the Feed Industry (Lyons, T. P. & Jacques, K. A., eds.), University Press, Nottingham, UK. pp. 267–274.
Anggorodi R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan ke 4. PT Gramedia. Jakarta
Arisoy M. 1998. The effect of sodium hydroxide treatment on chemical composition and digestibility of straw. Tr J of Veterinary and Animal Sicences 22 p:165-170.
Arora SP. 1995. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Yogyakarta : Gajah
Mada University press.
132
Astuti WD, Sutardi T, Evvyernie D, Toharmat T. 2006. Inkoperasi kromium pada khamir dan kapang dengan substrat singkong yang diberi kromium anorganik. Media Peternakan 29 : 83-88.
Balk EM, et al: Effect of Chromium Supplementation on Glucose Metabolism and
Lipids, Diabetes Care vol. 30 no. 8, Agustus 2007, hal 2154-2163. Bentley R, Bennett JW. 2008. A ferment of fermentations: Reflections on the
production of commodity chemical using microorganisms in Advances in Applied Microbiology Volume 63. First edition. Academic Press of Elsevier.
Blaxter KK, Wainman FW, Wilson RS. 1986. The regulation of feed Intake by
Sheep. J. Brit. Soc. An.Prod 3 :51-53
Bintang IAK, Sinurat AP, Purwadaria T. 2003. Respon Broiler terhadap Pemberian Ransum yang Mengandung Lumpur Sawit Fermentasi pada Berbagai Lama Penyimpanan. JTIV8(2):71-75
Burton JL. 1995. Supplemental chromium : its benefits to the bovine immune system. Anim. Feed Sci. Tech. 53:117
Burton JL, Mallard BA, Mowat DN. 1994. Effect of supplemental chromium on
antibody responses of newly weaned feedlot calves to immunization with infectious bovine rhinotracheitis and parainfluenza 3 virus. Can J Vet Res 58:1148-151
Combes S, Lepetit J, Darche B, Lebas F. 2002. Effect of cooking temperature
and cooking time on Warner Bratzler tenderness measurement and collagen content in rabbit meat. J. Meat Sci. 66:91-96
Combs GF. 1992. The Vitamins, Fundamental Aspect in Nutrition and Health.
San Diego: Academic Press, Inc. Admission of Harcourt Brace & Company.
Demirci A, Pornetto AL, 2000. Enhanced organically bound chromium yeast
production. J. Agric Food Chem 48:531-536. Demirel, Yaykasli, Yasar, 2004, “The production of citric acid by using
immobilized Aspergillus niger A-9 and investigation of its various effects”, Food Chemistry, p:393 – 396.
De Vrije T, De Haas GG, Tan GB, Keijsers ERP, Claasen PAM. 2002.
Pretreatmen of miscanthus for hydrogen production by Thermotoga elfii. Int. J. Hydrogen Energy. 27:1381-1390
Diena BS, Jung HJG, Vogel KP, Casler MD, Lamb JFLI. 2006. Chemical
composition and response to dilute-acid pretreatment and enzymatic
133
saccharification of alfalfa, reed canarygrass, and switchgrass. Biomass and Bioenergy 30 , 880–891.
Diwyanto K, Sitompul D, Manti I, Mathius IW, Soentoro. 2004. Pengkajian
pengembangan usaha sistem integrasi kelapa sawit-sapi. hlm. 11-22. Dalam Setiadi et al. (Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT Agricinal.
Diwyanto K, Handiwirawan E. 2004. Peran litbang dalam mendukung usaha
agribisnis pola integrasi tanaman ternak. Di dalam ; Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Denpasar, Bali 20-22 Juli 2004. Hlm 63-80.
Dwidjoseputro D. 2003. Dasar-dasar Mikrobiologi. Cetakan kelima belas.
Penerbit Djambatan. Jakarta. Devendra C, Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Penerjemah: Ir.
IDK Harya Putra, PhD. Penerbit ITB Bandung dan Universitas Udayana Epley RJ. 2008. Meat tenderness. http://www.extension.umn.edu/distribution/
nutrition/ DJ0856.html [27
Gado HM, Metwally HM, Soliman H, Basiony AZL, El-Galil ER. 2007. Enzymatic treatments of bagasse by different sources of cellulase enzymes. Conf. Animal Nutr., 10: 607-613.
Garmrood i AF et al. 2009. In vitro firtsorder kinetic disappearance of dry matter
and neutral detergent fiber of chemically and physically treated cottonseed hulls. Research Journal of biological Sciences 4(11):1180-1184.
Ginting BL. 1996. Penggunaan serat sawit (palm press fiber) yang diperlakukan
dengan NaOH dalam ransum domba lokal [tesis]. Padang : Program Pascasarjana, Universitas Andalas.
oktober 2009] Ernawati, Sunarso. 2001. Keragaan penerapan teknologi pakan pada
penggemukan domba. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. Special Edition April 2001:236-248
Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Fengel D, Wegener G. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi.
Diterjemahkan oleh Hardjono Sastrohamidjojo. Cetakan Pertama. Gadjah Mada University Press Yogyakarta.
134
Groff JL, Gropper SS. 2000. Advanced Nutrition an Human Metabolism. Third Edition. Wadsworth Thomson Learning. Belmont, CA. USA.
General Laboratory Procedures. 1996. Department of Dairy Science.
University of Wisconsin. Madinson. Goering HK, Van Soest PJ. 1970. Forage fiber analysis (Apparatus, reagents and
some applications) Agricultural Handbook Number. 379. Agric. Res. Serv. USDA, Washington, DC.
Gokhan C, Arikan B, Unaldi MN, Guvenmez H. 2002. Some properties of crude
cerboxylmethyl cellulose of Aspergillus niger Z10 Wild-Type Strain. Turk J. Biol. 26(2002)209-213
Guo GL, Chen WH, Chen WH, Men LC, Hwang WS. 2008. Characterization of
dilute acid pretreatment of silvergrass for ethanol production. Bioresource Technology 99 , 6046–6053.
Haddad SG, Grant RJ, Klopfenstein TJ. 1995. Digestibility of alkali-treated
wheat straw measured in vitro or in vivo using Holstein heifers. J Anim Sci 72:3258-3265.
Handbook of Australian Meat . 6th
Edition.
Haryanto B, Djajanegara A. 1993. Pemenuhan kebutuhan zat-zat makan ternak ruminansia kecil. Dalam: M Wodzicka-Tomaszweska, A Djajanegara, IM Mastika, S Gardiner dan TK Wiradarya. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press Surakarta. Hal:159-196.
Hanson D, Calkins y CR, Miltonz T. 2000. The Effects of Induced Stress and
Supplemental Chromium on Meat Quality of Finishing Heifers. Animal Science Department Nebraska Beef Cattle Reports. p:82-83
Hendriks ATWM, Zeeman G. 2009. Pretreatmens to enhance the digestibility of
lignocellulosic biomass. Bioresource Technology 100:10-18. Herman R. 1977. Konsumsi bahan kering berdasarkan berat badan domba.
Buletin Makanan Ternak. 3(7):148. Hong LS, Ibrahim D, Omar IC. 2010. Microscopic Studies of oil palm frond
during processing for saccharification. The Internet Journal of Bioengineering. 2010 Volume 4 Number 2
Haq I, Javed MM, Khan TS, Sidd iq Z. 2005. Cotton saccharifying activity of
cellulases produced by co-culture of Aspergillus niger and Trichoderma viride. Research Journal of Agriculture and Biological Sciences 1(3): 241-245,
135
Haq IU, Javed MM, Khan TS. 2006. An innovative approach for hyper
production of cellulolityc and hemicellulolityc enzyme by consortium A. niger and T. viride MSK-10. African Journal of Biotechnology 5:609-614
Immanuel G, Bhagavath CMA, Raj PI, Esakkraj P, Palavesam A. 2007.
Production and partial purification of cellulase by Aspergillus niger and A. fumigatus fermented in coir waste and sawdust. Int. J. Microbiol.
Iyayi, EA. 2004. Change in the cellulose, sugar and crude protein contens of
agro- industrial by-products fermented with Aspergillus niger, Aspergillus flavus and Penicilium sp. Afr J Biotechnol 3:186-188.
Jamarun N, Nur YS, Rahman J. 2001. Pemanfaatan serat sawit fermentasi sebagai
pakan ternak ruminansia. Panduan Seminar dan Abstrak. Pengembangan peternakan berbasis sumberdaya lokal. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Jayanegara A, Tjakradidjaja AS, Sutardi T. 2006. Fermentabilitas dan kecernaan
in vitro ransum limbah agroindustri yang disuplementasi dengan kromium organik dan organik. Med Pet 29 : 54-62.
Ji LN, Zhao XR, Yang HY. 1992. Effects of Trace Elements on Citric Acid
Fermentation by Aspergillus niger and Treatment of cane Molasses as Raw Material. J. Industriall Microbiology 22(2) : 16-21
Juhasz T, Kozma K, Szengyel Z, Reczey K. 2003. Production of b-Glucosidase in
Mixed Culture of Aspergillus niger BKMF 1305 and Trichoderma reesei RUT C30. Food Technol.Biotechnol. 41 (1) 49–53.
Juhasz T, Szengyel Z, Reczey K, M. Silica-Aho M, Viikari L. 2005.
Characterization of cellulose and hemicellulases produced by Trichorderma reesei on various carbon source. Process Biochem., 40: 3519-3525.
Kabel MA, Bos G, Zeevalking J, Voragen AG, Schols HA. 2007. Effect of pretreatment severity on xylan solubility and enzymatic breakdown of the remaining cellulose from wheat straw. Bioresource Technology 98 , 2034–2042.
Karimi K, Emtiazi G, Taherzadeh M. 2006. Ethanol production from dilute-acid pretreated rice straw by simultaneous saccharification and fermentation with Mucor indicus, Rhizopus oryzae, and Saccharomyces cerevisiae. Enzyme and Microbial Technology 40 , 138-144.
136
Kim KH, Hong, J. 2001. Supercritical CO2 pretreatment of lignocellulose enhances enzymatic cellulose hydrolysis. Bioresource Technology 77 , 139-144.
Kitchalong L, Fernandez JM, Bunting LD, Southern LL, Bidner TD. 1995.
Influence of chromium tripicolinate on glucose metabolism and nutrient partitioning in growing lambs. J. Anim. Sci. 73:2694-2705.
Kogel-Kabner I. 2002. The macromolecular organic composition of plant and
microbial resiues as inputs to soil organic matter. Soil Biol Biochem 34 : 139-162
Komar, A. 1984. Teknologi Pengolahan Jerami Padi Sebagai Makanan Ternak.
Yayasan Dian Grahita. Indonesia. Krishna C. 2005. Solid-state fermentation systems-an overview. Crit Rev
Biotechnol 25:1-30. Kuryl T, Krejpcio Z, Wojciak RW, Lipko M, Debski B, Staniek H. 2006.
Chromium(III) propionate and dietary fructans supplementation stimulate erythrocyte glucose uptake and beta-oxidation in lymphocytes of rats. Biological trace element research . Volume: 114: 237-48.
Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Diterjemahkan oleh: A. Parakkasi. Edisi
kelima. Penerbit UI-Press, Jakarta. Linde, M., Jakobsson EL, Galbe M, Zacchi, G. 2008. Steam pretreatment of dilute
H2SO4-impregnated wheat straw and SSF with low yeast and enzyme loadings for bioethanol production. Biomass and Bioenergy 32 , 326-332.
Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Universitas Indonesia
Press. Jakarta. Liu MLY. 2010. Fermentation of hemicelluloses rich liquid fraction derived from
steam pretreated softwoods. Master of Science in The Faculty of Graduate Studies (Forestry) The University of British Columbia (Vancouver)
http://www.swst.org/wfs/PDF%20Files/ubc_2010_fall_liu_michael.pdf Liwang T. 2003. Palm oil mill effluent management. Burotrop 19 : 38 Lyons TP. 1995. Biotechnology in the Feed Industry a Look Forward and
Backward. Alltech Asia-Pasific Lecture Tour. Lynd LR, Weimer PJ, Van Zyl WH, Pretorius IS. 2002. Microbial Cellulose
Utilization: Fundamentals and Biotechnology. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 66(3) : 506-577
137
Martins LF, Kolling D, Camassola M, Dillon AJP, Ramos LP. 2008. Comparison of Penicillium echinulatum and Trichoderma reesei cellulases in relation to their activity against various cellulosic substrates. Bioresource Technology, 99, 1417–1424.
Mathius IW, Sitompul D, Manurung BP, Asmi. 2004. Produk samping tanaman
dan pengolahan buah kelapa sawit sebagai bahan dasar pakan komplit untuk sapi : suatu tinjauan. Pros. Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-sapi. Bengkulu, 9 – 10 September 2003. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pemerintah Propinsi Bengkulu dan PT Agricial, Bogor.
McDonald PR, Edwards A, Greenhalg JFD. 2002. Animal Nutrition 6 th Ed.
Longman Scientificand Technical, John Willey and Sons Inc. NewYork. Hlm 90-95.
McPhee MJ, Hopkins DL, Pethick DW. 2008. Intramuscular fat levels in sheep
muscle during growth. Australian Journal of Experimental Agriculture 48(7) 904–909.
Mertz W. 1993. Chromium in human nutrition. J. Nutr 123 : 626-633. Moonsie SS, Mowat DN. 1993. Effect of level of supplemental chromium on
performance serum constituents and immune status of stressed freeder calves. J. Anim Sci 71 : 232-238.
Mordenti A, Piva A, Piva G. 1997. The Europen perspective on organic
chromium in animal nutrition. Proc. Alltech 13th
Nur YS. 2006. Efisiensi penggunaan protein bungkil inti sawit yang difermentasi dengan Aspergillus niger sebagai pakan broiler (catatan penelitian). Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat Peternakan Di
Annual Symp. Hal. 227. Mos ier N et al. 2005. Features of promising technologies for pretreatment of
lignocellulosic biomass. Bioresource Technology 96 , 673–686. Moss AR, Givents DI, Everington M. 1993. The effect of sodium hydroxide
treatment on the chemical composition, digestibility and digestible energy content of wheat, barley and oat straws. Anim. Feed Sci. Technol. 29:73-87.
Musa et al. 2008. Level of chromium in meat products, fruits and drinks in Zaria
Nigeria. Nigerian Journal of Pharmaceutical Sciences. March, Vol. 7 No. 1, P. 22 – 28
Narayana, Kishore, Reddy, 2006, “ Biokinetic studies on citric Acid production
using Aspergillus niger in batch fermentor”, Indian Chemical Engineer, Vol. 4 No.4, hal 217 – 229.
138
Bidang Agribisnis untuk Mendukung Ketahanan Pangan Semarang, 3 Agustus 2006. ISBN:979-704-485-8.
Oddy VH, Sainz RD. 2002. Nutrition for sheep-meat prod uction. In Sheep
Nutrition edited by M Freer and H Dove. CABI Publishing.
Olesko wicz-Pop iel P, Lisiecki P, Holm-Nielsen JB, Thomsen AB, Thomsen MH. 2008. Ethanol production from maize silage as lignocellulosic biomass in anaerobically digested and wet-oxidized manure. Bioresource Technology 99 , 5327–5334.
Oshel RE, Nandakumar MV, Urgaonkar S, Hendricker DG, Verkade JG. 2008. Water solubilization of DDGS via derivatization with phosphite esters. Bioresource Technology 99 , 5193–5205.
Olsen QR, Rule DC, Field RA, Snowder GD, Hu CY. 1996. Dietary chromium picolinatedoes not influence growth or carcass composition in feedlot lambs. Sheep Goat Res. J. 12:22-24.
Omojasola PF, Jilani OP, Ibiyemi SA. 2008. Cellulase production by some fungi cultured on pineapple waste. Nature Sci., 6: 64-69.
Paengkoum S, Wanapat M, Wachirapakorn C, Nontaso N. 2010. The Effect of Roughage and Urea Solution Infusion Levels on Ruminal NH3-N Concentration and Nutrient Digestibility in Beef Cattle and Swamp Buffaloes. Silpakorn U Science & Tech J Vol.4(1),p:47-55
Page TG, Southern LL, Ward TL, Thompson Jr DL. 1993. Effect of chromium in
animal nutrition. Proc Alltech 13th
Annual Symp. p. 227.
Parakkasi A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI Press. Jakarta
Pechova A, Pavlata L. 2007. Chromium as an essential nutrient: a review.
Veterinarni Medicina 52(1):1-18 Pérez J, Muñoz-Dorado J, de la Rubia T, Martinez J. 2002. Biodegradation and
biological treatments of cellulose, hemicelluloses and lignin: an overview. J International Microbiology.5:53-63.
Pond WG, Church DC, Pond KR, PA. 2005. Basic Animal Nutrition and
Feeding, 5th Edition. John Willey and Sons. New York. Pradeep MR, Narasimha G. 2011. Utilization of pea seed husk as a substrate for
cellulose production by mutant Aspergillus niger. Insight Biotechnology 1(2): 17-22.
139
Purbowati E, Sutrisno CI, Baliarti E, Budhi SPS, Lestariana W. 2005. Komposisi kimia otot Longissimus dorsi dan Biceps femoris domba lokal jantan yang dipelihara di pedesaan pada bobot potong yang berbeda. (Journal Animal Production, Inpress).
Purwaningrum IF. 2003. Study of mold isolate potential in converting palm oil
fiber waste as ruminant feed stuff [Skrips i]. Bogor : Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Rahman A. 1990. Pengantar Teknologi Fermentasi. Bahan Pengajaran. Departe-
men Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rahman J, Harnentis, Wiryawan KG. 2007. Biokonvesi limbah sawit menjadi
komponen ransum komplit bermineral organic esensial untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan kwalitas daging domba. Laporan Penelitian Hibah Pekerti. Padang : Universitas Andalas Padang.
Rianto E. 1997. Diperlukan strategi yang tepat dalam pemberian pakan pada
ruminansia di daerah tropis. Buletin Sinthesis VI (9):65-68
Saha BC, Cotta MA. 2006. Ethanol Production from Alkaline Peroxide Pretreated Enzymatically Saccharified Wheat Straw. Biotechnol. Prog. 22 , 449-453.
Saha BC, Cotta MA. 2008. Lime pretreatment, enzymatic saccharification and fermentation of rice hulls to ethanol. Biomass and Bioenergy , (In Press).
Sahin K et al. 2011. The effects of chromium complex and level on glucose metabolism and memory acquisition in rats fed high-fat diet. Biological trace element research 2011;143(2):1018-30.
Shimizu K et al. 1998. Integrated process for total utilization of wood
components by steam-explos ion pretreatment. Biomass and Bioenergy Vol. 14, No. 3 , 195-203.
Silverstein et al. 2007. A comparison of chemical pretreatment methods for
improving saccharification of cotton stalks. Bioresource Technology 98, 3000-3011.
Singh A, Singh N, Bishnoi NR. 2010. Enzymatic hydrolysis of chemically pretreated rice straw by two indigenous fungal strains: comparative study. Journal of Scientific & Industrial Research Vol 69 March 2010 pp232-237:
140
Sinurat AP. 2003. Pemanfaatan Lumpur Sawit untuk Bahan Pakan Unggas. Wartoza. Buletin Ilmu Peternakan Indonesia. Vol 13(2)39-47.
S’oderstr’om J, Pilcher L, Galbe M, Zacchi G. 2003. Two-step steam pretreatment of softwood by dilute H2SO4 impregnation for ethanol production. Biomass and Bioenergy 24 , 475 – 486.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sørensen A, Teller PJ, Hilstrom T, Ahring BK. 2007. Hydrolysis of Miscanthus
for bioethanol production using dilute acid presoaking combined with wet explosion pre-treatment and enzymatic treatment. Bioresource Technology , (in press).
Spears JW. 1999. Reevaluation of the metabolic essentiality of the minerals.
Review. Asian-Aus J. Anim Sci 12 : 1002-1008. Subkaree Y, Boonswang P, Srinorakutara T. 2007. Palm press fibre treatment by
sodium hydroxide and its enzymic hydrolysis. The 19th Annual Meeting of the Tai Society for Biotechnology. TSB2007: Biotechnology for Gross National Happiness. http://www.tistr.or.th/thesis/P8/Teerapatr/Yuttasak/ PalmPressed.pdf.
Sun F, C hen H. 2008. Enhanced enzymatic hydrolysis of wheat straw by aqueous glycerol pretreatment. Bioresource Technology 99 , 6156–6161.
Sunarlin R, Usmiati S. 2006. Profil karkas ternak domba dan kambing.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veterinir. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Hal :590-597.
Sunstøl F, Owen E. (Editors). 1984. Straw and other fibrous by product as feed.
Developments in animal and Veterinary Sciences. 14:545-546. Suryati I, Arief II. 2005. Pengujian daya putus Warner Blatzer, susu masak dan
organoleptik sebagai penduga tingkat keempukan daging sapi yang disukai konsumen. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sutardi T. 1990. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Departement Ilmu
Makanan Ternak Fapet IPB Bogor. Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan
Biometrik. Edisi II. Terjemahan: B. Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
141
Swatland HJ. 1994. Structure and Development of Meat Animals and Poultry. Technomic Publishing Company, Inc., Pennsylvani.
Taherzadeh MJ, Karimi K. 2008. Pretreatment of Lignocellulosic Wastes to
Improve Ethanol and Biogas Prod uction: A Review. Int. J. Mol. Sci., 9, 1621-1651
Taherzadeh MJ, Karimi K. 2007. Enzyme-based hydrolysis processes for ethanol from lignocellulosic materials: a review. BioResources , 2 (4), 707-738.
Taherzadeh MJ, Karimi K. 2007. Acid-based hydrolysis processes for ethanol from lignocellulosic materials: a review. Bioresources 2(3) , 472-499.
Tang, et al. 2008. Rapid detectionof picloram in agricultural field samples using a disposable immuno membran ebased electrochemical sensor. Environ Sci Technol 42 : 1207-1212
Thomsen MH, Thygesen A, Thomsen AB. 2008. Hydrothermal treatment of wheat straw at pilot plant scale using a three-step reactor system aiming at high hemicellulose recovery,high cellulose digestibility and low lignin hydrolysis. Bioresource Technology 99 , 4221–4228.
Tillman AD et al. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-4. Gajah
Mada University Press, Yogyakarta. Toghyani M et al. 2010. Effect of Dietary Chromium Yeast on Thigh Meat
Quality of Broiler Chicks in Heat Stress Condition. World Academy of Science, Engineering and Technology 72. p:346-349.
Traxler MJ et al. 1998. Predicting forage indigestible NDF from lignin
concentration J Anim Sci, 76:1469-1480. Underwood EJ, Suttle NF. 1999. Occasionally Beneficial Elements (Boron,
Chromium, Lithium, Molybdenum, Nickel, Silicon, Tin, Vanadium). In The Mineral Nutrition of Livestock. 3rd Edition New York. CABI Publishing CAB International.
Vadiveloo J, Nurfariza B, Fadel JG. 2009. Nutritional improvement of rice
husks. Anim Feed Sci Technol. 151:299-355. Van Soest PJ. 1987. Nutritional Ecology of Ruminant Metabolism. Cornell
University Press, Ithaca, New York. Hl. 154-160. Vincent JB, Davis CM. 1997. Chromium in carbohydrate and lipid metabolism.
J. Bio Sci 2 : 675-679.
142
Viola E, Cardinale M, Santarcangelo R, Villone A, Zimbardi F. 2008. Ethanol from eel grass via steam explosion and enzymatic hydrolysis. Biomass and Bioenergy , (in Press).
Vlasenko E, Ding H, Labavitch J, Shoemaker S. 1997. Enzymatic hydrolysis of pretreated rice straw. Bioresource Technology 59 , 109-119.
Wang Y, Spartling BM, ZoBell DR, Wiedmeier RD, McAllister TA. 2004. Effect of alkali pretreatment of wheat straw on the efficacy of exogenous fibrolytic enzymes. American Society of Animal Science : J. Anim Sci 82:198-208.
Walters EL et al. 1988. Meat Evaluation Handbook. National Livestock and
Meat Board. 444. North Michigan Avenue Chicago. USA. p:24-35. Wheeler TL, Shackelford SD, Koohmaraie M. 1999. Tenderness classification of
beef III: Effect of the interaction between and point temperature and tenderness on Warner-Blatzer shear force of beef longissimus. J. Anim .Sci. 77:400-407
Williams JF, Myers JL, Richard CR, Grebing SE. 1994. Influence of yeast
culture chromium and thermal challenge on N and mineral balance in lambs. J. Anim Sci 73 : 86 (abstr).
Wyman CE et al. 2005. Coordinated development of leading biomass pretreatment technologies. Bioresource Technology 96, 1959–1966.
Xu Z et al. 2007. Enzymatic hydrolysis of pretreated soybean straw. Biomass and Bioenergy 31 , 162-167.
Yang B, Wayman CE. 2007. Biotechnology for Cellulosic Ethanol. APBN, 555-563.
Zain M. 1999. Subsitusi rumput dengan sabut sawit dalam ransum pertumbuhan domba pengaruh amoniasi, defaunasi dan suplementasi analog hidroksi metionin serta asam amino bercabang [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Zetić VG
Zhu S et al. 2005. Simultaneous saccharification and fermentation of microwave/ alkali pre-treated rice straw to ethanol. Biosystems Engeneering 92(2) , 229-235.
, Stehlik-Tomas V, Grba S, Lutilsky L, Kozlek Z. 2001. Chromium uptake by Saccharomyces cerevisiae and isolation of glucose tolerance factor from yeast biomass. Journal of Biosciences. Vol 26, Issue : 2, p:217-223
143
Zhu S et al. 2006. Microwave-assisted alkali pretreatment of wheat straw and its enzymatic hydrolysis. Biosystem Eng. 94:437-442.
L A M P I R A N
146
147
Lampiran 1. Analisis ragam bahan kering SS-NaOH (%)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Konsentrasi NaOH Lama pemeraman Konsentrasi*lama pemeraman Error
8 2 2 4
9
142.3286 52.1197 0.0855 90.1234 2.9023
17.7911 26.0599 0.0427 22.5308 0.3225
55.17 80.81 0.13 69.87
0.0001 0.0001 0.8776 0.0001
** ** ns **
Total 17 145.2309 Keterangan : **: Berbeda sangat nyata (P<0.01) ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) Duncan s̀ Multiple Range Test bahan kering Perlakuan Konsentrasi NaOH A1 A2 A3 Bahan kering (%) 91.47 89.45 87.03 a b c Lama pemeraman B1 B2 B3 Bahan kering (%) 91.29 89.42 87.05 a a a Lampiran 2. Analisis ragam bahan protein kasar SS-NaOH (%)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Konsentrasi NaOH Lama pemeraman Konsentrasi*lama pemeraman error
8 2 2 4
9
2.9767 1.9951 0.7217 0.2599 0.5479
0.3721 0.9976 0.3608 0.0650
0.0609
6.11 16.39 5.93 1.07
0.0069 0.0010 0.0228 0.4267
** ** * ns
Total 17 3.5248 Keterangan : **: Berbeda sangat nyata (P<0.01) ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) Duncan s̀ Multiple Range Test Perlakuan Konsentrasi NaOH A1 A2 A3 Protein kasar (%) 4.30 3.90 3.40 C B A Lama pemeraman B1 B2 B3 Protein kasar (%) 5.20 5.30 5.44 a b c
148
Lampiran 3. Analisis ragam kandungan neutral detergent fiber (NDF) SS-NaOH (%)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Konsentrasi NaOH Lama pemeraman Konsentrasi*lama pemeraman error
8 2 2 4
9
39.6653 32.5210 4.0062 3.1380 2.0635
4.5962 16.2605 2.0031 0.7845
0.2293
21.63 70.92 8.74 3.42
0.0001 0.0001 0.0078 0.0580
** ** ** ns
Total 17 41.7288 Keterangan : **: Berbeda sangat nyata (P<0.01) ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) Duncan s̀ Multiple Range Test Perlakuan Konsentrasi NaOH A1 A2 A3 Kandungan NDF (%) 90.15 88.07 86.89 A B C Lama pemeraman B1 B2 B3 Kandungan NDF (%) 88.78 88.63 87.71 a a b Lampiran 4. Analisis ragam kandungan acid detergen fiber (ADF) SS-NaOH (%)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Konsentrasi NaOH Lama pemeraman Konsentrasi*lama pemeraman error
8 2 2 4
9
108.8210 29.0006 73.0604 6.7599 1.2160
13.6026 14.5003 36.5302 1.6899
0.1351
100.68 107.32 270.37 12.51
0.0001 0.0001 0.0001 0.0010
** ** ** **
Total 17 110.0370 Keterangan : **: Berbeda sangat nyata (P<0.01) Duncan s̀ Multiple Range Test Perlakuan Konsentrasi NaOH A1 A2 A3 Kandungan ADF (%) 66.03 63.32 63.29 C A A Lama pemeraman B1 B2 B3 Kandungan ADF (%) 66.24 64.95 61.45 a b c
149
Lampiran 5. Analisis ragam kandungan selulosa SS-NaOH (%)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Konsentrasi NaOH Lama pemeraman Konsentrasi*lama pemeraman error
8 2 2 4
9
983.6136 91.8352 100.7989 790.9795 3.6501
122.9517 45.9176 50.3995
197.7448
0.4056
303.16 113.22 124.27 487.57
0.0001 0.0001 0.0001 0.0001
** ** ** **
Total 17 987.2637 Keterangan : **: Berbeda sangat nyata (P<0.01) Duncan s̀ Multiple Range Test Perlakuan Konsentrasi NaOH A1 A2 A3 Kandungan selulosa (%) 33.87 34.65 39.07 A B C Lama pemeraman B1 B2 B3 Kandungan selulosa (%) 43.57 33.52 29.51 a b c Lampiran 6. Analisis ragam kandungan hemi-selulosa SS-NaOH (%)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Konsentrasi NaOH Lama pemeraman Konsentrasi*lama pemeraman error
8 2 2 4
9
264.2713 166.5955 75.1312 22.5449 35.2607
33.0339 83.2978 37.5656 5.6361
3.9179
8.43 21.26 9.59 1.44
0.0022 0.0004 0.0059 0.2979
** ** ** ns
Total 17 299.5320 Keterangan : **: Berbeda sangat nyata (P<0.01) ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) Duncan s̀ Multiple Range Test Perlakuan Konsentrasi NaOH A1 A2 A3 Kandungan hemi-selulosa (%) 24.15 24.75 23.45 A A B Lama pemeraman B1 B2 B3 Kandungan hemi-selulosa (%) 22.45 23.64 26.26 b b a
150
Lampiran 7. Analisis ragam kandungan lignin SS-NaOH (%)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Konsentrasi NaOH Lama pemeraman Konsentrasi*lama pemeraman error
8 2 2 4
9
4.1975 3.9775 0.1733 0.0467 0.0887
0.5247 1.9887 0.0867 0.0117
0.0099
53.21 201.68 8.79 1.18
0.0001 0.0001 0.0077 0.3810
** ** ** ns
Total 17 4.2862 Keterangan : **: Berbeda sangat nyata (P<0.01) ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) Duncan s̀ Multiple Range Test Perlakuan Konsentrasi NaOH A1 A2 A3 Kandungan lignin (%) 23.38 22.96 21.63 A A C Lama pemeraman B1 B2 B3 Kandungan lignin (%) 23.39 23.06 21.56 a a c Lampiran 8. Analisis ragam kandungan serat kasar SS-NAOH (%)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Konsentrasi NaOH Lama pemeraman Konsentrasi*lama pemeraman error
8 2 2 4
9
49.9072 20.7250 7.4628 21.7194 12.6858
6.2384 10.3625 3.7314 5.4298
1.4095
4.43 7.35 2.65 3.85
0.0198 0.0128 0.1247 0.0431
* * ns *
Total 17 62.5930 Keterangan : * : Berbeda nyata (P<0.05) ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) Duncan s̀ Multiple Range Test Perlakuan Konsentrasi NaOH A1 A2 A3 Kandungan Serat kasar (%) Lama pemeraman B1 B2 B3 Kandungan serat kasar (%)
151
Lampiran 9. Analisis ragam kandungan sintesis Cr-organik pada sel Aspergillus niger (mg/kg)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob >
F Nyata tdk
nyata Perlakuan Level CrCl3 Kapang A. niger CrCl3*Kapang Error
8 2 2 4
9
42.0396 0.6881 41.0819 0.2695 0.1306
5.25 0.34 20.54 0.07 0.01
362.13 23.71
1415.53 4.64
0.0001 0.0003 0.0001 0.0261
** ** ** *
Total 17 42.1702 Keterangan : * : Berbeda nyata (P<0.05) **: Berbeda sangat nyata (P<0.01) Duncan s̀ Multiple Range Test Perlakuan A1 A2 A3 Persentase inokulum 3.20 3.49 3.67 a b b Perlakuan B1 B2 B3 Level kromium (mg/kg) 1.69 3.27 5.38 a b c Lampiran 10. Analisis ragam kandungan serat kasar SSF-Cr (% BK)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Level CrCl3 Kapang A. niger CrCl3*Kapang Error
8 2 2 4 9
138.2241 9.6533
79.1672 49.4035 208.5223
17.2780 4.8267
39.5836 12.3509 23.1691
0.75 0.21 1.71 0.53
0.6551 0.8158 0.2350 0.7152
ns ns ns ns
Total 17 346.7464 Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) Lampiran 11. Analisis ragam kandungan NDF SSF-Cr (% BK)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Level CrCl3 Kapang A. niger CrCl3*Kapang Error
8 2 2 4
9
75.7507 24.1227 25.0262 26.6018 59.3168
9.4688 12.0613 12.5131 6.6504 6.5907
1.44 1.83 1.90 1.01
0.2994 0.2153 0.2052 0.4518
ns ns ns ns
Total 17 135.0675 Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05)
152
Lampiran 12. Analisis ragam kandungan ADF SSF-Cr (% BK)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Level CrCl3 Kapang A. niger CrCl3*Kapang Error
8 2 2 4
9
300.5203 22.2670 77.6451 200.6082 598.1899
37.5650 11.1335 38.8225 50.1520 66.4655
0.57 0.17 0.58 0.75
0.7832 0.8483 0.5774 0.5797
ns ns ns ns
Total 17 898.7102 Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) Lampiran 13. Analisis ragam kandungan hemi-selulosa SSF- Cr (% BK)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Level CrCl3 Kapang A. niger CrCl3*Kapang Error
8 2 2 4
9
134.5918 6.5167 36.1411 91.9339 467.7508
16.8240 3.2583
18.0706 22.9835 51.9723
0.32 0.06 0.35 0.44
0.9365 0.9396 0.7154 0.7756
ns ns ns ns
Total 17 602.3426 Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) Lampiran 14. Analisis ragam kandungan selulosa SSF-Cr (% BK)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Level CrCl3 Kapang A. niger CrCl3*Kapang Error
8 2 2 4
9
232.2223 122.2203 49.2181 60.7839 330.8938
29.0278 61.1101 24.6091 15.1960 36.7660
0.79 1.66 0.67 0.41
0.6252 0.2430 0.5358 0.7951
ns ns ns ns
Total 17 563.1161 Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05)
153
Lampiran 15. Analisis ragam kandungan VFA SSF-Cr (mM)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Level CrCl3 Kapang A. niger CrCl3*Kapang Error
8 2 2 4
9
24645.13 8681.15 5882.49
10081.49 4061.76
3080.64 4340.58 2941.25 2520.37 451.31
6.83 9.62 6.52 5.58
0.0047 0.0038 0.0178 0.0153
* * ns ns
Total 17 28706.89 Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) * : Berbeda nyata (P<0.05) Duncan s̀ Multiple Range Test Perlakuan A1 A2 A3 Level kromium 111.05 131.82 101.90 a b a Perlakuan B1 B2 B3 Persentase inokulum 122.37 111.15 112.01 a a a Lampiran 16. Analisis ragam kandungan NH3 SSF-Cr (mM)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Level CrCl3 Kapang A. niger CrCl3*Kapang Error
8 2 2 4
9
3.7638 0.5730 0.6471 2.5436 2.9997
0.4704 0.2865 0.3236 0.6359 0.3333
1.41 0.86 0.97 1.91
0.3081 0.4553 0.4151 0.1933
ns ns ns ns
Total 17 6.7635 Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) * : Berbeda nyata (P<0.05) **: Berbeda sangat nyata (P<0.01)
154
Lampiran 17. Analisis ragam kecernaan bahan kering SSF-Cr (%)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Level CrCl3 Kapang A. niger CrCl3*Kapang Error
8 2 2 4
9
249.4282 70.3209 69.1777 109.9295 12.7332
31.1785 35.1605 34.5888 27.4824 1.4148
22.04 24.85 24.45 19.42
0.0001 0.0002 0.0002 0.0002
** ** ** **
Total 17 262.1614 Keterangan : **: Berbeda sangat nyata (P<0.01) Duncan s̀ Multiple Range Test Perlakuan A1 A2 A3 Level kromium 10.76 11.15 14.64 a a c Perlakuan B1 B2 B3 Persentase inokulum 10.66 11.23 14.65 a a c Lampiran 18. Analisis ragam kecernaan bahan organik SSF-Cr (%)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Level CrCl3 Kapang A. niger CrCl3*Kapang Error
8 2 2 4
9
298.1649 73.8466 77.4281 146.8902 11.9992
37.2706 36.9233 38.7141 36.7226 1.3332
27.95 27.69 29.04 27.54
0.0001 0.0001 0.0001 0.0001
** ** ** **
Total 17 310.1641 Keterangan : **: Berbeda sangat nyata (P<0.01) Duncan s̀ Multiple Range Test Perlakuan Level Aspergillus niger A1 A2 A3 Kecernaan bahan organik (%) 9.36 8.38 13.08 a a c Konsentrasi CrCl3 B1 B2 B3 Kecernaan bahan organik (%) 8.91 8.70 13.21 A A C
155
Lampiran 19 Analisis ragam dan uji lanjut konsumsi bahan kering ransum (g/ekor/hr)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung F tabel 0.05 0.01
Perlakuan Error
4 15
389309.06 79244.9
97327.27 5282.99
18.42** 3.06 4.89
Total 19 468553.96 Keterangan : ** berbeda sangat nyata (P<0.01) Analisis uji lanjut konsumsi bahan kering ransum (g/ekor/hr)
Antar Perlakuan Selisih LSR Keterangan 5% 1%
A-B A-C A-D A-E B-C B-D B-E C-D C-E D-E
2.14 36.59 170.56 364.26 34.45 168.42 362.12 133.97 327.67 193.70
109.38 114.83 118.11 120.29 109.38 114.83 118.11 109.38 114.83 109.38
151.54 158.81 163.53 166.44 151.54 158.81 163.53 151.54 158.81 151.54
ns ns ** ** ns ** ** *
** **
Aa Ba Ca Db Ec
Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05)
* : Berbeda nyata (P<0.05) **: Berbeda sangat nyata (P,0.01) Lampiran 20 Analisis ragam dan uji lanjut konsumsi protein kasar ransum (g/ekor/hr)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung F tabel 0.05 0.01
Perlakuan Error
4 15
9621.49 1221.67
2405.37 81.44
29.54** 3.06 4.89
Total 19 10843.16 Keterangan : ** berbeda sangat nyata (P<0.01)
156
Analisis uji lanjut konsumsi protein kasar ransum (g/ekor/hr)
Antar Perlakuan Selisih LSR Keterangan 5% 1%
A-B A-C A-D A-E B-C B-D B-E C-D C-E D-E
8.22 17.55 36.25 61.29 9.33
28.03 53.07 18.7
43.74 25.04
13.57 14.25 14.66 14.93 13.57 14.25 14.66 13.57 14.25 13.57
18.81 19.71 20.30 20.66 18.81 19.71 20.30 18.81 19.71 18.81
ns *
** ** ns ** ** *
** **
Aa Ba Cab Dc Ed
Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) * : Berbeda nyata (P<0.05) **: Berbeda sangat nyata (P,0.01) Lampiran 21 Analisis ragam dan uji lanjut konsumsi serat kasar ransum
(g/ekor/hr)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung F tabel 0.05 0.01
Perlakuan Error
4 15
10600.34 3856.79
2650.08 257.11
10.30** 3.06 4.89
Total 19 14457.13 Keterangan : ** berbeda sangat nyata (P<0.01) Analisis uji lanjut konsumsi serat kasar ransum (g/ekor/hr)
Antar Perlakuan Selisih LSR Keterangan 5% 1%
C-B C-A C-D C-E B-A B-D B-E A-D A-E D-E
4.4 13.78 26.64 64.04 9.38
22.24 59.64 12.86 50.26 37.4
24.11 25.31 26.03 26.51 24.11 25.31 26.03 24.11 25.31 24.11
33.40 35.00 36.04 36.68 33.40 35.00 36.04 33.40 35.00 33.40
ns ns *
** ns ns ** ns ** **
Aab Bab Ca Db Ec
Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) * : Berbeda nyata (P<0.05) **: Berbeda sangat nyata (P,0.01)
157
Lampiran 22 Analisis ragam dan uji lanjut konsumsi lemak ransum (g/ekor/hr)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung F tabel 0.05 0.01
Perlakuan Error
4 15
156.34 28.32
39.08 1.88
20.78** 3.06 4.89
Total 19 184.66 Keterangan : ** berbeda sangat nyata (P<0.01) Analisis uji lanjut konsumsi lemak ransum (g/ekor/hr)
Antar Perlakuan Selisih LSR Keterangan 5% 1%
B-A B-C B-D B-E A-C A-D A-E C-D C-E D-E
0.09 1.08 3.55 7.39 0.99 3.46 7.3
2.47 6.31 3.84
2.04 2.14 2.21 2.25 2.04 2.14 2.21 2.04 2.14 2.04
2.83 2.97 3.06 3.11 2.83 2.97 3.06 2.83 2.97 2.83
ns ns ** ** ns ** ** *
** **
Aa Ba Ca Db Ec
Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) * : Berbeda nyata (P<0.05) **: Berbeda sangat nyata (P,0.01) Lampiran 23 Analisis ragam dan uji lanjut konsumsi BETN ransum (g/ekor/hr)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung F tabel 0.05 0.01
Perlakuan Error
4 15
127142.72 25402.89
31785.68 1693.52
18.76** 3.06 4.89
Total 19 152545.61 eterangan : ** berbeda sangat nyata (P<0.01)
158
Analisis uji lanjut konsumsi BETN ransum (g/ekor/hr)
Antar Perlakuan Selisih LSR Keterangan 5% 1%
B-A B-C B-D B-E A-C A-D A-E C-D C-E D-E
2.62 23.58 98.01 209.5 20.96 95.39 206.88 74.43 185.92 111.49
61.91 65.00 66.85 68.01 61.91 65.00 66.85 61.91 65.00 61.91
85.77 89.89 92.56 94.21 85.77 89.89 92.56 85.77 89.89 85.77
ns ns ** ** ns ** ** *
** **
Aa Ba Ca Db Ec
Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) * : Berbeda nyata (P<0.05) **: Berbeda sangat nyata (P,0.01) Lampiran 24 Analisis ragam daya cerna bahan kering ransum (% BK)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung F tabel 0.05 0.01
Perlakuan Error
4 15
72.2 879.86
18.05 58.66
0.31 3.06 ns 4.89
Total 19 952.06 Keterangan : ns berbeda tidak nyata (P<0.01) Lampiran 25 Analisis ragam dan uji lanjut daya cerna protein kasar ransum (%)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung F tabel 0.05 0.01
Perlakuan Error
4 15
372.74 305.58
93.19 20.36
4.57 3.06 * 4.89
Total 19 678.12 Keterangan : * berbeda nyata (P<0.05)
159
Analisis uji lanjut daya cerna protein kasar ransum (% BK)
Antar Perlakuan Selisih LSR Keterangan 5% 1%
B-A B-D B-C B-E A-D A-C A-E D-C D-E C-E
0.12 3.16 6.15 9.23 3.04 6.03 9.11 2.99 6.07 3.08
6.80 7.14 7.35 7.48 6.80 7.14 7.35 6.80 7.14 6.80
9.42 9.88
10.17 10.35 9.42 9.88
10.17 9.42 9.88 9.42
ns ns ns * ns ns * ns ns ns
Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) * : Berbeda nyata (P<0.05) Superskrip
Aa Ba Cab Dab Eb
Lampiran 26 Analisis ragam daya cerna serat kasar ransum (% BK)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung F tabel 0.05 0.01
Perlakuan Error
4 15
261.75 1129.09
65.43 75.27
0.86 3.06 ns 4.89
Total 19 1390.84 Keterangan : ns berbeda tidak nyata (P<0.01) Lampiran 27 Analisis ragam daya cerna lemak kasar ransum (% BK)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung F tabel 0.05 0.01
Perlakuan Error
4 15
326.20 475.58
81.55 31.70
2.57 3.06 ns 4.89
Total 19 801.78 Keterangan : ns berbeda tidak nyata (P<0.01) Lampiran 28 Analisis ragam daya cerna BETN ransum (% BK)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung F tabel 0.05 0.01
Perlakuan Error
4 15
96.57 400.53
24.14 26.70
0.90 3.06 ns 4.89
Total 19 497.10 Keterangan : ns berbeda tidak nyata (P<0.01)
160
Lampiran 29 Analisis ragam pertambahan bobot badan (g/ekor/hr)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung F tabel 0.05 0.01
Perlakuan Error
4 15
1754.87 5691.51
438.72 379.43
1.16 3.06 ns 4.89
Total 19 7446.38 Keterangan : ns berbeda tidak nyata (P>0.05) Lampiran 30 Analisis ragam dan uji lanjut retensi N (g/ekor/hr)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung F tabel 0.05 0.01
Perlakuan Error
4 15
162.70 30.67
40.68 2.04
19.94 3.06 ** 4.89
Total 19 193.37 Keterangan : ** berbeda sangat nyata (P>0.01) Analisis uji lanjut retensi ransum (g/ekor/hr)
Antar Perlakuan Selisih LSR Keterangan 5% 1%
B-A B-C B-D B-E A-C A-D A-E C-D C-E D-E
0.31 2.18 3.49 7.87 1.87 3.18 7.56 1.31 5.69 4.38
2.10 2.21 2.27 2.31 2.10 2.21 2.27 2.10 2.21 2.10
2.91 3.05 3.15 3.20 2.91 3.05 3.15 2.91 3.05 2.91
ns ns ** ** ns ** ** ns ** **
Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) **: Berbeda sangat nyata (P,0.01) Superskrip
Aa Ba Ca Dab Ec
Lampiran 31 Analisis ragam perlakuan terhadap pH daging
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Error
3 4
0.00074 0.00785
0.00025 0.00196
0.13 0.9403 ns
Total 7 0.00859 Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05)
161
Lampiran 32 Analisis ragam perlakuan terhadap keempukan daging (kg/cm2
)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Error
3 4
2.85 4.68
0.95 1.17
0.81 0.5505 ns
Total 7 7.53 Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) Lampiran 33 Analisis ragam perlakuan terhadap warna daging
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Error
3 4
1.38 5.50
0.46 1.38
0.33 0.8032 ns
Total 7 6.88 Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) Lampiran 34 Analisis ragam perlakuan terhadap susut masak daging (%)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Error
3 4
53.20 18.82
17.73 4.71
3.77 0.1163 ns
Total 7 72.02 Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) Lampiran 35 Analisis ragam perlakuan terhadap DMA (%mgH2
O)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Error
3 4
328.41 284.81
109.47 71.20
1.54 0.3350 ns
Total 7 613.22 Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) Lampiran 36 Analisis ragam perlakuan terhadap kadar air daging (%)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Error
3 4
35.52 21.88
11.84 5.47
2.16 0.2349 ns
Total 7 57.40 Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05)
162
Lampiran 37 Analisis ragam perlakuan terhadap kadar protein daging (%)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Error
3 4
323.79 311.14
107.93 77.78
1.39 0.3681 ns
Total 7 634.93 Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) Lampiran 38 Analisis ragam perlakuan terhadap kadar lemak daging (%)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Error
3 4
24.76 16.80
8.25 4.20
1.96 0.2614 ns
Total 7 41.56 Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) Lampiran 39 Analisis ragam perlakuan terhadap kadar kolesterol daging (%)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Error
3 4
112.30 268.06
37.43 67.02
0.56 0.67 ns
Total 7 380.36 Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) Lampiran 40 Analisis ragam perlakuan terhadap kadar kromium daging (%)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Error
3 4
6.72 3.65
2.24 0.91
2.46 0.2027 ns
Total 7 10.37 Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05) Lampiran 41 Analisis ragam perlakuan terhadap kadar kromium hati (%)
Sumber keragaman db JK KT F Hitung Prob > F
Nyata tdk nyata
Perlakuan Error
3 4
3.27 2.59
1.09 0.65
1.68 0.3069 ns
Total 7 5.86 Keterangan : ns : Berbeda tidak nyata (P>0.05)