biodiversitas - cs.unsyiah.ac.idcs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/03-biodiversity-a.pdf · sehingga...

30
21 3 BIODIVERSITAS Biodiversity Djufri Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh Abdullah Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan, Universitas Syiah kuala, Darussalam Banda Aceh Muchlisin Program Studi Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh I. LATAR BELAKANG awa gambut adalah ekosistem yang unik dan rentan, baik dari segi habitat lahannya yang berupa gambut dengan kandungan bahan organik yang tinggi dengan ketebalan kurang dari 0,5 meter sampai dengan kedalaman lebih dari 20 m, maupun dari segi keragaman vegetasi dan biotanya yang khas (Wahyunto, 2005). Ekosistem rawa gambut dicirikan oleh salah satunya dengan tingginya kandungan bahan organik yang terdiri dari serasah daun yang telah mengalami dekomposisi. Rawa gambut sebagian besar terdapat di empat pulau besar, yaitu Sumatera 35%, Kalimantan 32%, Sulawesi 3%, dan Papua 30%. Di Provinsi Aceh rawa gambut terdapat di beberapa lokasi di sepanjang pantai barat Aceh diantaranya Tripa, Kluet dan Singkil. Salah satu rawa gambut yang paling serius mengalami kerusakan yaitu kawasan Rawa Gambut Tripa. Rawa Gambut Tripa secara geografis terletak pada posisi 03 0 44’-03 0 56’ LU dan 96 0 23’ - 96 0 46’ BT dan masuk dalam Kawasan Ekosistim Leuser (KEL) dengan luas lebih kurang 62.000 Ha, dimana 60% kawasannya masuk dalam administratif Kabupaten Nagan Raya dan 40% lainnya masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya. Menurut data yang ada dari 62.000 Ha Rawa Gambut Tripa yang ada, hanya lebih kurang 12.000 Ha saja yang kondisinya masih dalam keadaan baik (Satgas REDD+, 2012). Terdapat empat sungai besar yang mengalir dalam kawasan Rawa Gambut Tripa, yaitu Sungai Tripa, Sungai Seumanyam, Sungai Batee dan Sungai Seuneuam. Keberadaan keempat sungai yang mengapit kawasan Rawa Gambut Tripa serta berbatasan langsung dengan perairan pantai Samudera Hindia memberikan gambaran bahwa Ekosistem Rawa Gambut Tripa dipengaruhi oleh limpasan air sungai pengapitnya dan juga air pasang yang berasal dari perairan pantai Samudera Hindia yang berada di sebelah barat/selatan dari kawasan ini. Fenomena seperti itu menciptakan suatu dinamika biofisik yang unik, diantaranya terkait dengan kedalaman gambut, cadangan karbon, R

Upload: donga

Post on 07-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

21

3 BIODIVERSITAS Biodiversity

Djufri Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh

Abdullah

Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan, Universitas Syiah kuala, Darussalam Banda Aceh

Muchlisin Program Studi Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh

I. LATAR BELAKANG

awa gambut adalah ekosistem yang unik dan rentan, baik dari segi habitat lahannya yang berupa gambut dengan kandungan bahan organik yang tinggi dengan ketebalan kurang dari 0,5 meter sampai dengan kedalaman lebih dari 20

m, maupun dari segi keragaman vegetasi dan biotanya yang khas (Wahyunto, 2005). Ekosistem rawa gambut dicirikan oleh salah satunya dengan tingginya kandungan bahan organik yang terdiri dari serasah daun yang telah mengalami dekomposisi. Rawa gambut sebagian besar terdapat di empat pulau besar, yaitu Sumatera 35%, Kalimantan 32%, Sulawesi 3%, dan Papua 30%. Di Provinsi Aceh rawa gambut terdapat di beberapa lokasi di sepanjang pantai barat Aceh diantaranya Tripa, Kluet dan Singkil. Salah satu rawa gambut yang paling serius mengalami kerusakan yaitu kawasan Rawa Gambut Tripa.

Rawa Gambut Tripa secara geografis terletak pada posisi 030 44’-030 56’ LU dan 960 23’ - 960 46’ BT dan masuk dalam Kawasan Ekosistim Leuser (KEL) dengan luas lebih kurang 62.000 Ha, dimana 60% kawasannya masuk dalam administratif Kabupaten Nagan Raya dan 40% lainnya masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya. Menurut data yang ada dari 62.000 Ha Rawa Gambut Tripa yang ada, hanya lebih kurang 12.000 Ha saja yang kondisinya masih dalam keadaan baik (Satgas REDD+, 2012).

Terdapat empat sungai besar yang mengalir dalam kawasan Rawa Gambut Tripa, yaitu Sungai Tripa, Sungai Seumanyam, Sungai Batee dan Sungai Seuneuam. Keberadaan keempat sungai yang mengapit kawasan Rawa Gambut Tripa serta berbatasan langsung dengan perairan pantai Samudera Hindia memberikan gambaran bahwa Ekosistem Rawa Gambut Tripa dipengaruhi oleh limpasan air sungai pengapitnya dan juga air pasang yang berasal dari perairan pantai Samudera Hindia yang berada di sebelah barat/selatan dari kawasan ini. Fenomena seperti itu menciptakan suatu dinamika biofisik yang unik, diantaranya terkait dengan kedalaman gambut, cadangan karbon,

R

22 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

tingkat kesuburannya, kondisi habitat (tawar dan payau), dan komposisi vegetasi serta satwa yang hidup di dalam ekosistem ini termasuk ikan dan makrozoobentos.

Kerusakan dan perambahan Rawa Gambut Tripa didominasi oleh illegal logging dan pembukaan perkebunan Kelapa Sawit dan penggunaan lain yang semakin meluas sehingga berdampak pada penurunan kualitas lingkungan dan mengganggu keseimbangan hidro-ekologis sehingga terindikasi memberikan dampak negatif terhadap kawasan di sekitarnya, dan mendorong terjadinya bencana alam seperti banjir dan kekeringan. Dampak lain dari kerusakan Rawa Gambut Tripa juga mengganggu keberadaan biota-biota yang hidup di di ekosistim ini, seperti keberadaan ikan dan makrozoobentos. Menurut Wahyunto (2005) bahwa pembukaan lahan rawa gambut Tripa menjadi perkebunan kelapa sawit belum memberikan dampak positif terhadap sosial ekonomi masyarakat di kawasan ini secara umum, namun sebaliknya berkontribusi terhadap terjadinya bencana alam seperti banjir yang frekuensi dan sebarannya semakin meluas, bahkan telah mencapai kawasan-kawasan yang sebelumnya belum pernah terendam banjir.

Tercatat empat perusahaan besar yang mendapat hak pengelolaan hutan di kawasan rawa Gambut Tripa, yaitu PT. Kalista Alam (6.888 ha), PT. Gelora Sawita Makmur (8.605 ha), PT. Astra Prima Lestari (7.877 ha) dan PT. Cemerlang Abadi (8.170 ha). Selain itu juga ada proyek PIR Kabupaten Aceh Barat Daya di kawasan ini, yaitu mencapai 6.610 ha. Sehingga luas lahan yang dikuasai oleh perusahaan tersebut telah mencapai 38.150 ha (PIU-SERT Unsyiah, 2013).

Menurut laporan inisial survey Tim Monitoring YLI-AFEP (2008) bahwa di hutan rawa Tripa gambut dijumpai lebih dari 300 jenis tumbuhan sebagai makanan satwa dan bernilai ekonomis tinggi, diantaranya cemenggang (Nessia sp.) dan malaka (Tetrameristra glabra) yang merupakan makanan utama Orangutan, ramin (Gonystylus bancanus), meranti (Shorea sp.), pulai (Alstonia sp.). Selain itu juga hutan gambut Rawa Tripa juga berfungsi sebagai habitat bagi berbagai jenis satwa langka, diantaranya orang utan (Pongo abelii), mentok rimba (Cairina scutulata), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), buaya muara (Crocodilus porosus), beruang madu (Helarctos malayanus), burung rangkong (Buceros sp.) (SERT Unsyiah team, 2013). Namun demikian, informasi terperinci mengenai biodiversitas baik flora maupun fauna khususnya lagi tentang biota akuatik khususnya ikan dan bentos belum pernah dilaporkan, sementara dilain pihak kerusakan Rawa Gambut Tripa terus terjadi sehingga mengancam keberadaan ikan dan makrozoobentos di sana. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengkaji dan menginventarisasikan jenis-jenis flora dan fauna baik teresterial maupun akuatik di kawasan ini sebagai baseline data untuk tujuan-tujuan konservasi dan memonitoring kualitas lingkungan Rawa Gambut Tripa.

Laporan ini terdiri dari 4 (empat) bagian yang merepresentasikan tentang; (1) biodiversitas flora, (2) biodiversitas fauna teresterial, (3) biodiversitas ikan, dan (4) biodiversitas makrozoobentos. II. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian untuk mendapatkan data base tentang (1) jumlah jenis flora dan fauna terrestrial dan akuatik, (2) jenis fauna endemik, (3) status konservasi (kelangkaan) flora dan fauna dan (4) flora fauna potensial ekonomi dan ekologi (5) mengidentifikasi ikan-ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan berpeluang untuk dibudidayakan dan pengelolaannya (6) potensi koridor dalam dan antar kawasan sebagai konservasi.

BIODIVERSITAS | 23

PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA

III. URGENSI PENELITIAN

Rawa Gambut sebagai tipe ekosistem yang unik yang sangat berbeda dengan ekosistem lainnya diduga memiliki karakteristik jenis biodiversitas di dalamnya. Namun kondisi kerusakan yang tinggi menuntut dilakukan assessment kondisi biodiversitas di dalamnya serta potensi penyelamatan dengan pembentukan lokasi habitat satwa. IV. LUARAN PENELITIAN

1. Terinventarisasi dan teridentifikasi jenis flora dan fauna teresterial dan akuatik kawasan Rawa Gambut Tripa.

2. Terinventarisasi dan teridentifikasi jenis flora di kawasan Rawa Gambut Tripa. 3. Ditemukan jenis flora dan fauna endemik dan memiliki potensi ekonomi dan ekologi. 4. Menemukan potensi lahan koridor (penghubung dalam dan antar kawasan) dan

kawasan perlindungan satwa. V. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Biodiversitas Hutan Rawa Gambut

Rawa merupakan sebutan untuk semua daerah yang tergenang air, yang penggenangannya bersifat musiman ataupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan. Hutan rawa memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, diantaranya jenis-jenis flora; durian burung (Durio carinatus), ramin (Gonystylus sp.), terentang (Camnosperma sp.), kayu putih (Melaleuca sp.), sagu (Metroxylon sp.), rotan, pandan, palem-paleman dan berbagai jenis liana. Fauna yang umum dijumpai di kawasan rawa gambut antara lain; harimau (Panthera tigris), Orangutan (Pongo pygmaeus), rusa (Cervus unicolor ), buaya (Crocodylus porosus), babi hutan (Sus scrofa), badak, gajah, musang air dan berbagai jenis ikan (Masaubat, 2011). Perairan rawa dicirikan oleh tebalnya lapisan tanah organik (gambut) dan kondisi fisik-kimiawi tanah yang memengaruhi kondisi fisik, kimia dan biologi perairan. Pada umumnya perairan rawa bersifat sangat asam sampai netral (pH berkisar 3,5-7), tingkat kecerahan sechi disk sedang sampai cukup tinggi (lebih dari 100 cm) dan dengan kandungan unsur hara yang rendah (Welcomme, 1979).

Rawa gambut merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai fungsi hidro-ekologis yaitu fungsi sebagai penopang pengaturan tata air dan perlindungan tanah, fungsi ini merupakan fungsi terpenting. Rawa gambut mempunyai fungsi lingkungan lainnya seperti sosial-ekonomi yaitu fungsi sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan estetika yaitu fungsi sebagai pelindung alam dan lingkungan yang penting bagi kehidupan mahluk hidup (Wahyunto et al., 2005). Oleh karena itu pemanfaatkan lahan rawa gambut perlu dilakukan secara bijaksana, hati-hati dan penuh pertimbangan, penerapan teknologi yang sesuai dan pengelolaan yang tepat, sehingga diharapkan mutu dan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya dapat dipertahankan untuk menunjang pembangunan berkelanjutan. Informasi tentang sifat-sifat kritis sumberdaya lahan rawa gambut, kondisi dan penggunaan lahan saat ini (existing land use) merupakan sumber informasi utama dan penting untuk menyusun perencanaan yang lebih akurat, mengoptimalkan pemanfaatan dan usaha konservasinya (Wahyunto et al., 2005), oleh karena itu kajian-kajian yang komprehensif perlu dilakukan secara berkelanjutan.

Secara umum sebagian besar lahan dan hutan rawa gambut di Indonesia kini mengalami kerusakan akibat adanya kegiatan-kegiatan yang kurang atau tidak berwawasan

24 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

lingkungan. Menurut Giesen (1991) kerusakan hutan alam atau lahan rawa gambut di Indonesia umumnya disebabkan beberapa hal, diantaranya penebangan liar, perambahan, kebakaran hutan dan lahan gambut, pembuatan saluran atau drainase di lahan gambut yang tidak diperhitungkan dengan baik, lemah dan kurangnya kesadaran dan pengertian masyarakat akan fungsi manfaat hutan rawa gambut, masih lemahnya penegakan hukum (law enforcement) dan pengelolaan hutan rawa gambut yang masih lemah. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak hanya menyebabkan rusaknya kondisi biofisik lahan dan hutan gambut (seperti subsident/penurunan muka tanah, kekeringan, kebakaran, dan berkurangnya luasan lahan gambut), tapi juga menyebabkan hilangnya fungsi lahan gambut sebagai penyimpan (sink) dan penyerap (sequester) karbon, sebagai daerah resapan air (recharge water conservation) yang mampu mencegah banjir pada wilayah sekitarnya pada musim hujan dan mencegah intrusi air asin pada musim kemarau (Chambers,1979; Murdiyarso dan Suryadiputra, 2004). Disamping itu kerusakan hutan dan lahan gambut juga menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam didalamnya.

Kawasan Hutan Gambut Tripa merupakan salah satu hutan rawa gambut yang terdapat di wilayah Provinsi Aceh, selain Rawa Singkil dan Kluet Selatan. Hutan gambut rawa Tripa luasnya mencapai sekitar 62.000 ha dan secara administrasi berada dalam wilayah Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya (60%) dan Kecamatan Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya (40%). Kawasan ini secara geografis terletak pada 030 44’ - 030 56’ Lintang Utara dan 960 23’ - 960 46’ Bujur Timur (PIU-SERT Unsyiah, 2013).

Pembukaan hutan gambut menjadi areal perkebunan sawit khususnya yang terjadi di Rawa Gambut Tripa telah menyebabkan semakin meluasnya jaringan drainase yang dibangun (kanal-kanal) dan mengakibatkan subsidensi rata-rata sebesar 5 cm/tahun (Satgas REDD, 2012). Para ahli memperkirakan bahwa dalam kurun waktu 30 tahun ke depan Rawa Gambut Tripa akan berada di bawah permukaan laut. Kondisi ini akan mengakibatkan terjadinya intrusi air laut, serta menyebabkan salinitas tanah meningkat, berdampak pada penurunan kualitas sumberdaya lahan untuk pertanian maupun kehidupan penduduk yang tinggal di sekitarnya. Pada saat ini telah mulai dirasakan semakin langkanya sumber air tawar. Sistem drainase tersebut menyebabkan kedalaman air tanah turun sampai sekitar 80 cm, menyebabkan lepasnya gas rumah kaca (melalui oksidasi) sekitar 20 ton C/ha/thn (Satgas REDD, 2012).

Berdasarkan Kajian awal yang dilakukan Satgas REDD+ (2012) bahwa jumlah perkiraan stok karbon di lahan gambut Provinsi Aceh bervariasi dari 459 juta ton C5 sampai sekitar 50–100 juta ton C6 dengan variasi ketebalan gambut 1 sampai 5 meter . Sebagian besar stok karbon berada pada tanah gambutnya (1.300 ton C/ha) sedangkan yang berada pada vegetasi di atas gambut sekitar 110 ton C/ha.

B. Biodiversitas Ikan

Keanekaragaman suatu komunitas dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas tersebut untuk menjaga dirinya tetap stabil walau ada gangguan terhadap komponen-komponennya. Keanekaragaman jenis adalah suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisme biologisnya yang dapat membedakan antara hewan yang satu dengan hewan yang lain. Menurut Soetjipto (1993), bahwa komunitas di lingkungan yang berlainan akan memperlihatkan perbedaan dalam keragaman spesies yang dikandungnya, oleh karena itu perlu dikembangkan analisis kuantitatif untuk menunjukkan hubungan antara struktur komunitas tidak hanya dalam keragaman spesies, namun juga individu secara nisbi dalam tiap-tiap spesies.

BIODIVERSITAS | 25

PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA

Keanekaragaman hayati atau keanekaragaman biologi adalah variasi tingkat kehidupan, di semua tingkat organisasi biologis dan diklasifikasikan menjadi dua kriteria, yaitu keanekaragaman evolusi (filogenetik) dan ekologi (fungsional) (Colwell, 2009). Oleh karena itu, keanekaragaman hayati ikan dapat dimaknai sebagai tingkatan keragaman jenis ikan di suatu tempat dan waktu tertentu.

Ikan adalah vertebrata akuatik yang memiliki insang sebagai organ pernapasan utama, memiliki sirip untuk bergerak, bersifat poikilotermal dimana suhu tubuhnya dapat menyesuaikan dengan suhu air dimana ikan tersebut hidup (Muchlisin, 2011). Layli (2006) mengatakan bahwa ikan sebagai salah satu organisme yang menjadi kajian ekologi, sehingga harus dijaga kelestariannya. Sebagai langkah awal diperlukan kegiatan identifikasi terhadap organisme tersebut. Identifikasi adalah menempatkan atau memberikan identitas suatu individu melalui prosedur deduktif ke dalam suatu takson dengan menggunakan kunci determinasi. Kunci determinasi adalah kunci yang digunakan untuk menetapkan identitas suatu individu. Kegiatan identifikasi bertujuan untuk mencari dan mengenal ciri-ciri taksonomi yang sangat bervariasi dan memasukkannya ke dalam suatu takson. Selain itu untuk mengetahui nama suatu individu atau spesies dengan cara mengamati beberapa karakter atau ciri morfologi spesies tersebut dengan membandingkan ciri-ciri yang ada sesuai dengan kunci determinasi.

Ikan dibedakan berdasarkan karakter-karakter umum yang dapat membedakan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Adapun karakter-karakter yang biasa digunakan dalam identifikasi ikan antara lain, yaitu karakter morfometrik meliputi: bentuk umum tubuh, bentuk sirip, bentuk mulut, bentuk ekor, dan perbandingan dan posisi anggota tubuh (Adrim, 2010), dan karakter meristik meliputi: rumus jari-jari sirip, jumlah sisik kunci dan sisik gurat sisi (Muchlisin, 2011).

Vida dan Kotai (2006) memperkirakan ada sekitar 50.000 spesies ikan di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut sekitar 22.000-25.000 spesies telah dinamai dan dideskripsikan (Allen, 2000; Gilbert dan Williams, 2002). Lebih lanjut Nelson (1994) memprediksikan akan ditemukan spesies ikan baru sekitar 200 spesies per tahun dimana 40% adalah ikan air tawar. Sedangkan Djajadiredja (1977) memperkirakan bahwa ada 4000 spesies ikan di perairan Indonesia, dan lebih dari 964 spesies air tawar atau air payau dapat ditemukan di Indonesia bagian barat dan Sulawesi (Kottelat et al., 1993). Suwelo (2004) lebih lanjut melaporkan bahwa ada 1000 spesies ikan air tawar di perairan Indonesia. Sedangkan di perairan dalam kawasan Hutan Rawa gambut Tripa diprediksi hidup lebih kurang 40 spesies ikan (PIU-SERT Unsyiah, 2013).

Sangat mungkin jumlah ikan air tawar dan laut di Indonesia diperkirakan akan terus bertambah karena banyak daerah yang belum dieksplorasi, termasuk salah satunya perairan di Hutan Rawa Gambut Tripa. Sebagai ilustrasi, Kottelat dan Whitten, (1996) menemukan total 79 spesies air tawar baru dalam rentang waktu hanya lima tahun. Selain itu, sekitar 40 spesies baru dari kedua air tawar dan ikan laut juga dilaporkan dari Papua, Indonesia selama 1995-1999 (Allen dan Renyaan, 2000). Muchlisin et al. (2009) melaporkan lebih kurang 114 spesies ikan air tawar hidup di perairan Aceh, namun jumlah tersebut belum termasuk dari kawasan gambut Tripa.

C. Makrozoobentos

Menurut Odum (1993) makrozoobentos merupakan organisme yang melekat atau beristirahat pada dasar atau hidup di dasar endapan. Hampir semua zoobentos yang ada

26 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

di perairan merupakan makrobentos. Hewan ini merupakan organisme kunci dalam jaring makanan karena dalam sistem perairan berfungsi sebagai pedator, suspension feeder, detritivor, scavenger, dan parasit. Menurut Wahyunto (2008) berdasarkan cara hidupnya, makrozoobentos dibedakan atas 2 kelompok yaitu: infauna dan epifauna. Infauna adalah kelompok makrozoobentos yang hidup terbenam di dalam lumpur (berada didalam substrat), sedangkan epifauna adalah kelompok makrozoobentos yang menempel di permukaan dasar perairan.

Sebagaimana kehidupan biota yang lainnya, penyebaran jenis dan populasi komunitas makrozoobentos ditentukan oleh sifat fisika, kimia dan biologi perairan. Sifat fisik perairan seperti kedalaman, kecepatan arus, warna, kecerahan dan suhu air. Sifat kimia perairan antara lain, kandungan gas terlarut, bahan organik, pH, kandungan hara dan faktor biologi yang berpengaruh adalah komposisi jenis hewan dalam perairan diantaranya adalah produsen yang merupakan sumber makanan bagi hewan bentos dan hewan predator yang akan mempengaruhi kelimpahan benthos (Setyobudiandi, 1997).

Distribusi hewan makrozoobenthos sangat ditentukan oleh sifat fisika, kimia dan biologi perairan. Sifat fisika yang berpengaruh langsung terhadap hewan makrozoobentos adalah kedalaman, kecepatan arus, kekeruhan, substrat dasar dan suhu perairan. Sedangkan sifat kimia yang berpengaruh langsung adalah derajat keasaman dan kandungan oksigen terlarut (Odum, 1971). Menurut krebs (1978) bahwa faktor biologi perairan yang mempengaruhi komunitas hewan bentos adalah kompetisi (persaingan ruang hidup dan makanan), predator (pemangsa) dan tingkat produktivitas primer. Masing-masing faktor biologi tersebut dapat berdiri sendiri akan tetap ada kalanya faktor tersebut saling berinteraksi dan bersama-sama mempengaruhi komunitas pada suatu perairan.

Nybakken (1988) mengungkapkan banwa kelompok organisme dominan makrozoobentos di dasar perairan terbagi dalam empat kelompok, yaitu Polychaeta, Crustacea, Echinodermata dan Mollusca. Lebih lanjut dijelaskan bahwa berdasarkan pola makannya, makrozoobentos dibedakan menjadi tiga macam. Pertama, suspension feeder (pemakan suspensi) yang memperoleh makanannya dengan cara menyaring partikel-partikel melayang di perairan. Kedua, deposit feeder (pemakan deposit) yang mencari makanan pada sedimen dan mengasimilasikan bahan organik yang dapat dicerna dari sedimen. Ketiga, pemakan detritus (detritus feeder) yang hanya makan detritus.

Menurut Dobson dan Frid (1998) komunitas benthos adalah organisme yang hidup di dasar perairan. Selanjutnya dinyatakan bahwa epifauna adalah yang hidup di atas dasar, sedangkan infauna hidup diantara partikel sedimen. Berdasarkan ukurannya fauna benthos dibagi menjadi makrofauna (> 0,5 mm), meiofauna (10-500 µm) dan mikro-organisme (< 10 µm).

D. Faktor- faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Benthos

Makrozoobentos merupakan organisme yang menempati substrat dasar perairan, baik di atas maupun di dalam sedimen dasar perairan. Sebagaimana kehidupan biota lainnya, penyebaran jenis dan populasi komunitas makrozoobentos ditentukan oleh sifat fisik, kimia dan biologi perairan. Sifat fisik perairan seperti pasang surut, kedalaman, kecepatan arus, kekeruhan atau kecerahan, substrat dasar dan suhu air. Sifat kimia antara lain kandungan oksigen dan karbondioksida terlarut, pH, bahan organik, dan kandungan hara berpengaruh terhadap hewan benthos (Setyobudiandi, 1997). Kehidupan makrozoobentos dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik. Faktor abiotik

BIODIVERSITAS | 27

PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA

yang mempengaruhi diantaranya produsen, sedangkan faktor abiotik berupa substrat dasar, kandungan kimia dan fisika air, serta kecepatan arus(Lind, 1985; Horne et al., 1994).

1. Salinitas

Salinitas perairan menggambarkan kandungan garam dalam suatu perairan. Garam yang dimaksud adalah berbagai ion yang terlarut dalam air termasuk garam dapur (NaCl). Pada umumnya salinitas disebabkan oleh 7 ion utama yaitu : natrium (Na), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), klorit (Cl), sulfat (SO4) dan bikarbonat (HCO3). Salinitas dinyatakan dalam satuan gram/kg atau promi (0/00) (Effendi, 2003). Biota akuatik umumnya dapat menyesuaikan diri dengan perubahan salinitas sampai batas tertentu, menurut Setyobudiandi (1997) kisaran salinitas optimal untuk gastropoda di perairan berkisar antara 26 ‰ - 32 ‰, sedangkan untuk bivalvia dapat hidup pada salinitas antara 20 ‰ - 36‰.

2. Kecerahan

Kejenihan sangat ditentukan oleh partikel-partikel telarut dalam lumpur. Semakin banyak partikel atau bahan organik terlarut maka kekeruhan semakin meningkat. Hal ini menyebabkan turunnya efisiensi makan dari organisme pemakan suspensi (Levinton,1982).

3. Suhu

Suhu air di daerah estuaria biasanya memperlihatkan fluktuasi annual dan diurnal yang lebih besar daripada laut, terutama apabila estuaria tersebut dangkal dan air yang datang (pada saat pasang-naik) ke perairan estuaria tersebut kontak dengan daerah yang substratnya terekspos (Kinne, 1964). Suhu merupakan faktor langsung yang mempengaruhi laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup makrozoobenthos, batas toleransi tertinggi untuk keseimbangan struktur populasi hewan bentos pada suhu mendekati 32˚C (Adriman, 1995).

4. Arus

Arus secara langsung berpengaruh terhadap organisme bentos dan secara tidak langsung pada substrat perairan (Nybakken, 1992). Menurut Odum (1994) pengendapan partikel lumpur di dasar perairan tergantung pada kecepatan arus, apabila perairan memiliki arus yang kuat maka partikel yang mengendap adalah partikel yang ukurannya lebih besar. Sebaliknya pada tempat yang arusnya lemah, maka yang mengendap di dasar perairan adalah lumpur halus. Penyebab utama timbulnya arus adalah pasang surut.

5. Oksigen Terlarut

Oksigen adalah gas yang amat penting bagi hewan. Perubahan kandungan oksigen terlarut di lingkungan sangat berpengaruh terhadap hewan air. Kandungan oksigen terlarut mempengaruhi jumlah dan jenis makrobenthos di perairan. Semakin tinggi kadar O2 terlarut maka jumlah makrozoobentos semakin besar (Sastrawijaya, 2000).

6. Derajat Keasaman (pH)

Nilai derajat keasaman (pH) suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan.

28 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 - 8,5 (Effendi, 2003).

VI. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian menggunakan metode survei, penentuan area sampling dengan teknik purposive sampling dan didasarkan pada pertimbangan topografi kondisi lingkungan. Berdasarkan hasil survey awal, lokasi sampling akan difokuskan pada kawasan yang memiliki potensi ketersediaan biodiversity, selanjutnya dibuat transek atau titik sampling untuk pengamatan jenis flora dan fauna di lokasi tersebut. Jumlah titik sampling pada setiap lokasi disesuikan dengan kondisi dan waktu sampling. Untuk sampling biota kautik sampling juga juga dilakukan pada beberapa suak dan anak-anak sungai yang ada. Metode penelitian untuk masing-masing komunitas fauna dan flora dipaparkan secara terinci pada Poin A. untuk Flora dan Fauna Teresterial, dan B. Fauna Akuatik Ikan dan C. Fauna Akuatik Makrozoobentos.

A. Metode Penelitian Biodiversitas Fauna Teresterial

1. Jenis Parameter

Parameter utama: (1) jumlah jenis fauna terrestrial, (2) jenis fauna endemic, (3) status konservasi (kelangkaan) dan (4) fauna potensial ekonomi dan ekologi (5) potensi koridor dalam dan antar kawasan sebagai konservasi.

2. Waktu dan Lokasi Survey

Survey dilakukan pada tiga lokasi (stasiun) dalam Kawasan Rawa Tripa. Survey I dilakukan pada tanggal 5 s.d 8 Juli 2013 di Stasiun I yaitu di Kawasan Muara Krueng Rawa Tripa Desa Babah Lueng dan Desa Alue Seupek Kec. Darul Makmur serta Kawasan PT. Gelora Sawita Makmur (Kawasan Krueng Seuneuam), survey II pada tanggal 19 s.d 20 JuLi 2013 di Stasiun II (Kawasan Krueng Seumayam) Desa Alue Bateung Broek Kec. Darul Makmur serta Kawasan PT. Surya Panen Subur 2 dan PT. Kalista Alam dan survey III dilakukan pada tanggal 21 s.d 22 di hutan primer dan kebun sawit masyarakat Kawasan Kulam Gajah Desa Lama Tuha Kec. Kuala Batee Kab. ABDYA (Gambar 1).

3. Teknik sampling dan pengumpulan data fauna teresterial

a. Jenis Fauna dan Potensi Ekonominya

Pengamatan jenis fauna dilakukan dengan metode survey langsung terhadap jenis-jenis fauna yang ditemukan dalam garis transek (line transect). Pemilihan lokasi garis transek dilakukan dengan teknik purposive sampling, pengamatan data dilakukan pada tiga stasiun dengan menyusuri transek garis yang melewati tipe habitat yang berbeda yaitu hutan primer, sekunder, hutan campuran (kebun masyarakat), kebun sawit masyarakat dan kebun sawit perusahaan. Setiap jenis fauna yang ditemukan dicatat nama spesiesnya dan direkam posisi koordinatnya dengan menggunakan GPS Garmin CSX. Penetapan lokasi sampling mempertimbangkan aksesibilitas dan kondisi lapangan. Pengumpulan data fauna potensial ekonomi dilakukan dengan wawancara masyarakat setempat tentang jenis fauna yang bernilai ekonomi.

BIODIVERSITAS | 29

PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA

b. Potensi Kawasan Perlindungan Satwa dan Koridor

Penetapan potensi Kawasan Perlindungan Satwa dilakukan berdasarkan (1) survey penutupan hutan dan (2) Koordinat lokasi ditemukan keberadaan Fauna (Fisik dan jejak) Penting dalam habitatnya. Lokasi yang memiliki penutupan hutan primer dan hutan sekunder serta di dalamnya ditemukan fauna penting dipetakan sebagai potensi kawasan perlindungan satwa. Keberadaan faktor habitat penting diamati seperti potensi makanan, keberadaan penutupan tajuk hutan, dan keberadaan air. Sedangkan penetapan koridor dilakukan dengan analisis peta penutupan dan keberadaan kawasan tersebut berdekatan dengan kawasan hutan sekitarnya.

Gambar 1. Peta kawasan hutan Rawa Gambut Tripa Kab. Nagan Raya dan Kabupaten

Aceh Barat Daya.

B. Metode Penelitian Biodiversitas Flora

1. Teknik Sampling dan Pengumpulan Data Flora

Sebelum dilakukan pengambilan sampel, terlebih dahulu dilakukan observasi dan pembuatan stasiun pengamatan (segmentasi). Luas seluruh kawasan mencapai 12.000 ha, dari luas keseluruhan tersebut diambil sampel 10%, Selanjutnya pada setiap stasiun pengamatan dicuplik sampel sebanyak 10 kuadrat sampel dengan demikian diperoleh kuadrat sampel (ulangan) sebanyak 50 kuadrat. Teknik sampling disajikan pada Gambar 2 dan 3. Variabel yang diamati mencakup jumlah spesies, nilai Kerapatan Mutlak (KM), Frekuensi Mutlak (FM), dan Dominansi Mutlak (DM). Pengenalan spesies di lapangan mengacu pada buku Backer & Bakhuizen (1968); Steenis (1978); dan Soerjani et al. (1987). Bila dengan menggunakan buku tersebut masih ada spesies yang belum teridentifikasi, maka dibuat spesimen herbarium untuk diidentifikasi lebih lanjut di Herbarium Bogoriense Bogor.

30 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Pengambilan data yang arealnya luas, paling efektif menggunakan cara transek. Cara ini paling baik untuk mempelajari perubahan stratifikasi vegetasi menurut topografi dan elevasi. Pada areal sampling dibuat transek yang terdiri atas petak ukur per transek (Gambar 2). Transek dibuat memanjang memotong topografi dengan jarak antara transek 100 meter. Setiap transek dibagi dalam petak-petak ukur 20 m x 20 m, selanjutnya petak ukur dibagi dalam empat bagian yang sama besar, setiap bagian dilakukan pengukuran pada semua tingkatan bentuk pertumbuhan sebagai berikut :

Petak contoh berukuran 20 m x 20 m digunakan untuk tingkat pohon (diameter pohon > 20 cm), liana epifit, parasit, serta pohon inang.

Petak contoh berukuran 5 m x 5 m digunakan untuk tingkat perdu. Petak contoh berukuran 2 m x 2 m, digunakan untuk tingkat semai (seedling)

untuk tinggi tumbuhan < 1,5 cm) dan tumbuhan bawah penutup tanah Parameter-parameter yang dicatat adalah nama spesies tumbuhan, densitas

spesies, frekuensi spesies, dan dominasi spesies.

Gambar 2. Perletakan Kuadrat Bersarang

10 m

KET:

Kuadrat untuk Pohon

10 m x 10 m

5 m

5m

10 m

Kuadrat untuk semak/perdu

5 m x 5 m

1 m 1 m

Kuadrat untuk herba

1 m x 1 m

Gambar 3. Perletakan Kuadrat Bersarang Untuk Sampling Flora

Jumlah individu pada semua petak KM = Kerapatan Mutlak = X 10.000/luas petak

Jumlah luas semua petak

Kerapatan suatu jenis KR = Kerapatan Relatif = X 100 %

Kerapatan seluruh jenis

BIODIVERSITAS | 31

PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA

Untuk menghitung Nilai Penting (NP) setiap spesies digunakan rumus menurut Cox (2001), sebagai berikut : NP = Frekuensi Relatif (FR) + Kerapatan Relatif (KR) + Dominansi Relatif (DR). Hasil perhitungan nilai penting selanjutnya digunakan sebagai nilai untuk mengetahui besarnya Indeks Keanekaragaman Spesies (H’) pada suatu komunitas dengan menggunakan rumus berikut : (Barbour et al., 1987). Data diolah menggunakan Program Ecological Methodology 2nd edition (Krebs, 2002), dengan formula :

s

i

pipiH'1

)(ln)(

dimana : pi = ni/N

ni = Jumlah nilai penting satu spesies N = Jumlah nilai penting seluruh spesies ln = Logaritme natural (bilangan alami)

Agar nilai Indeks Keanekaragaman Spesies (H’) Shanon-Wiever dapat ditafsirkan maknanya maka digunakan kriteria sebagai berikut : (Barbour et al., 1987; Djufri, 2002). Nilai H’ biasanya berkisar dari 0-7. Jika H’ = < 1 kategori sangat rendah, Jika H’ = > 1-2 kategori rendah, Jika H’ = > 2-3 kategori sedang (medium), Jika H’ = > 3-4 kategori tinggi, dan jika H’ = > 4 kategori sangat tinggi. Untuk mengetahui Indeks Kemerataan spesies (e) pada seluruh stasiun pengamatan digunakan rumus menurut Barbour et al. (1987) ; Djufri, 2004; Djufri, 2005) : E = H’/Hmax atau E = H’/Log2 S Hmax = Log2 S H ’ = Indeks Keanekaragaman Spesies, S = Jumlah spesies

2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian biodiversitas flora di kawasan rawa gambut Tripa disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan dalam Penelitian Biodiversitas Flora

No Nama alat Jumlah

1 GPS Garmin 60 CSX + battery 2 unit 2 Teropong binokuler 2 Unit 3 Kamera Handycam + battery 1 Unit 4 Kamera digital zoom + battery 1 Unit 5 Jas hujan 2 buah 6 Camping material Secukupnya 7 Field material Secukupnya 8 Alat tulis lapangan 2 paket 9 Herbarium press, alcohol

Jumlah petak berisi suatu petak FM = Frekuensi Mutlak = X 100 %

Jumlah seluruh petak

Frekuensi suatu jenis FR = Frekuensi Relatif = X 100 %

Frekuensi seluruh jenis

32 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

3. Analisis Data Flora

Data dianalisis secara deskriptif. Identifikasi fauna yang ditemukan dilakukan di lapangan dan laboratorium serta analisis literatur untuk memastikan status konservasinya.

C. Metode Penelitian Biodiversitas Biota Akuatik (Ikan dan Makrozoobentos)

1. Lokasi dan waktu

Penelitian biodiversitas biota akuatik di kawasan Rawa Gambut Tripa difokuskan pada dua biota, yaitu ikan dan makrozobentos. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu Tanggal 22-30 Juni 2013 dan Tanggal 14-19 Juli 2013, dengan titik koordinat sampling ikan disajikan pada Tabel 2 dan titik koordinat sampling bentos pada Tabel 3. Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Iktiologi Koordinatorat kelautan dan perikanan, Universitas Syiah Kuala. Kondisi beberapa lokasi sampling disajikan pada Gambar 1 sampai Gambar 5.

a. Gambaran Umum Habitat Kuala Tripa, Nagan Raya

Lokasi penelitian disini berupa daerah muara Sungai Tripa atau juga disebut Sungai Lamie. Dua titik koordinat sampling ditetapkan disini, titik pertama lebih kurang 500 meter dari muara (masih dipengaruhi oleh pasang surut) dan titik kedua lebih kurang 5 km dari muara atau masuk dalam desa Drien Tujoh yang tidak lagi terpengaruh oleh pasang surut. Kedalaman maksimal di daerah muara maksimal 2 meter sedangkan di kawasan Drien Tujuh kedalaman maksimal mencapai 3 meter lebih.

Tabel 2. Titik Koordinat Sampling Ikan di Ekosistim Gambut Rawa Tripa

No. Nama Lokasi Koordinat

1. Kuala Tripa N. 03°51’02,6’’ E. 096°23’10’’; N. 03°51’04,1’’ E. 096°23’09,9’’

2. Suak Tripa N. 03°51’55,6’’ E. 096°22’33,3’’ 3. Alue Sapek N. 03°55’47,9’’ E. 096°27’40’’

4. Pulo Ie N. 03°47’05’’ E. 096°28’20,9’’ 5. Kuala Seuneuam N. 03°45’56,9’’ E. 096°28’47,6’’ 6. Krueng Seumanyam N. 03°54’38,6’’ E. 096°36’25,7’’; N. 03°53’32,1’’E.

096°35’53’’ 7. Kuala Batee N. 03°44’47,4’’ E. 096°44’22,7’’ 8. Ranto Kepala Gajah N. 03°55’15,8’’ E. 096°20’35,3’’ 9. Kuala Tadu N. 03°57’53,4’’ E. 096°18’31,8’’

10. Krueng Matee N 03° 47’ 21.6’’ E 96° 46’ 00.0’’ 11. Krueng Lamie (Keubejagat dan

Jembatan) N 03° 54’ 50.6’’ E 96° 25’ 51.7’’; N 03° 59’ 29.4’’ E 96° 29’ 14.3’’

12. Alue Ie Itam N 04° 02’ 33.7’’ E 96° 27’ 31.9’’; N 04° 02’ 20.7’’ E 96° 27’ 22.2’’; N 04° 00’ 20.6’’ E 96° 25’ 59.4’’

Tabel 3. Titik koordinat sampling bentos di Ekosistim Gambut Rawa Tripa

No. Nama Lokasi Koordinat

1. Kuala Tripa N = 03° 51’ 02,6’’ E = 096° 23’ 10,0’’ 2. Suak Tripa N = 03° 51’ 55,6’’ E = 096° 22’ 33,3’’ 3. Kuala Seuneuam N = 03° 45’56,9’’E = 096° 28’ 47,6’’

4. Kuala Batee N = 03° 44’ 47,4’’ E = 096° 44’ 22,7’’

5. Kuala Tadu N = 03° 57’ 53,4’’ E = 096° 18’ 31,8’’

BIODIVERSITAS | 33

PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA

Daerah muara ini adalah lokasi tempat pendaratan ikan dan kawasatan wisata, sedangkan diseberangnya adalah kebun palawija masyarakat. Sedangkan di kawasan Drien Tujuh diselah Barat adalah perkebunan sawit dan palawija, sedangkan disebelah timur adalah hutan rabo (sejenis tanaman yang umum dijumpai dikawasan rawa).

Secara umum kondisi kedua lokasi sampling adalah ekosistim yang agak labil karena sering dilanda banjir sehingga kondisi senantiasa berubah terutama dalam hal kedalaman, kecuraman tebing, debit dan kualitas air. Parameter utama kualitas air yang diukur di daerah muara disajikan pada Tabel 4, dan kondisi lingkungannya dapat dilihat pada Gambar 4. Kegiatan sampling dilakukan pada Tanggal 23 Juni 2013 mulai pukul 11.00 sampai dengan pukul 02.00 WIB dini hari.

Tabel 4. Kualitas Air di Lokasi Tempat Pendarata Ikan (TPI) Kuala Tripa pada Pengukuran

Tanggal 23 Juni 2013

No Parameter Satuan

Nilai

Surut (500 m dari muara)

Pasang (500 m dari muara)

Pasang (300 m dari muara)

1. Kecerahan cm 30 20 50 2. Ph 7,5 7,5 7,9 3. Salinitas ppt 0 5,4 17 4. DO ppm 5,8 4,6 3,35 5. Suhu °C 31,1 26,8 26,8

Gambar 4. Kondisi Lokasi Penelitian di Kuala Tripa, Nagan Raya. (a,b,c) pemandangan di Kawasan Muara Sungai Tripa, (d,e,f); pemadangan di kawasan Drien Tujoh

a b

c d

e f

34 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

b. Gambaran Umum Habitat SuakTripa, Nagan Raya

Lokasi penelitian disini berupa suak, atau muara sungai kecil yang airnya tidak mengalir pada musim kemarau disebabkan terbentuknya benteng pasir (sand bar) yang menutupi muara sungai, pada musim penghujuan benteng pasir akan hilang ditempa arus sungai yang kencang sehingga muara terbuka kembali dan air mengalir kelaut. Lokasi suak ini masih berhampiran dengan daerah Kuala Tripa atau berjarak lebih kurang 2 km dari muara ke arah barat.

Kondisi air yang berdekatan dengan air masih payau, namun secara umum habitat disini tawar. Kedalam suak bervariasi dari 0,5 meter dipinggir sampai dengan 3 meter ditengah. Parameter kualitas air yang diukur dan pemandangan lokasi sampling di Suak Tripa disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 5. Kegiatan sampling disini dengan mengunakan jalan dan jaring insang dengan cara menempatkan jaring insang pada beberapa lokasi, yaitu di daerah pinggir dan tengah suak, sampling juga dilakukan dengan cara menebar jala secara acak dengan cara mengelilingi suak. Sampling dilakukan pada tanggal 24 Juni 2013 mulai pukul 08.00 sampai dengan pukul 14.00 WIB.

Tabel 5. Kualitas Air Suak Tripa pada pengukuran tanggal 24 Juni 2013

Gambar 5. Kondisi lokasi sampling di Suak Tripa. (a) pemandangan dari arah laut dekat

muara; (b) alur kecil yang bermuara ke suak. c. Gambaran Umum Habitat Alue Sapek, Nagan Raya

Lokasi sampling disini berupa alur (sungai kecil) yang mengalir melewati areal perkebunan sawit PT. Gelora Sawita Makmur (GSM) tepatnya di kawasan jembatan dekat pintu masuk perkebunan tersebut. Lebar alur lebih kurang 3-4 meter dengan kedalaman 1-2 meter. Sampling di kawasan ini dilakukan pada tanggal 24 Juni 2013

No. Parameter Satuan Nilai

1. Kecerahan cm 30 - 35

2. pH 7,6 – 7,8

3. Salinitas ppt 0 - 5

4. DO ppm 2 – 4

5. Suhu °C 31,6 - 33,5

a b

BIODIVERSITAS | 35

PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA

dimulai pukul 16.00 s/d 21.00 WIB. Hasil pengkuran kualitas air dan kondisi lingkungan di areal sampling disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 6.

Tabel 6. Kualitas Air Alue Sapek pada Pengukuran tanggal 24 Juni 2013

No. Parameter Satuan Nilai

1. Kecerahan cm 1,3 - 1,9

2. pH 6,4 – 6,6

3. Salinitas ppt 0 4. DO ppm 2,3 – 4,1

5. Suhu °C 29,8 - 30,5

Gambar 6. Kondisi Lokasi Sampling di Alue Sapek memperlihatkan tim peneliti sedang

memasang jaring di beberapa lokasi di kawasan ini.

d. Gambaran Umum Habitat Sungai Seumanyam (berdekatan dengan Alue Getah), Nagan Raya

Sampling di Sungai Seumanyam direncanakan dilakukan di daerah muara sungai dan sekitarnya, untuk mencapai lokasi muara ini harus melewati perkebunan PT. Kalista Alam namun sayangnya tim peneliti tidak mendapatkan izin masuk ke kawasan tersebut dari pihak manejemen PT. Kalista Alam walaupun tim sudah memperlihatkan surat tugas dan beberapa surat rekomendasi lainnya sehingga titik sampling dipindahkan ke tempat lain di luar kawasan PT. Kalista Alam, tepatnya di kawasan Desa Alue Bateang Broek.

Tipe habitat disini adalah sungai dengan kedalaman maksimal 3,5 meter yang tepi kiri kanan sungai dipenuhi oleh kebun sawit masyarakat dan perusahaan (PT. Kalista Alam), teping sungai terlihat telah mengalami erosi yang cukup parah yang disebabkan oleh banjir yang kerap melanda sungai ini. Di kawasan ini sampling juga dilakukan di anak Sungai Seumanyam, yaitu Alue Getah. Sampling dilakukan tanggal 25 Juni 2013 mulai pukul 20.00 s/d 02.00 WIB dini hari dan dilanjutkan keesokan harinya Tanggal 26 Juni 2013 mulai pukul 11.00 s/d 15.00 WIB. Data kualitas air hasil pengukuran di lapangan dan gambaran kondisi di lokasi sampling disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 7.

36 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Tabel 7. Kualitas Air di Sungai Seumanyam pada Pengukuran Tanggal 25 & 26 Juni 2013

No. Parameter Satuan Nilai

1. Kecerahan Cm 25 - 35

2. pH 6,9 - 7,41

3. Salinitas Ppt 0

4. DO Ppm 4,7 – 7,8

5. Suhu °C 27,2 – 29,8

Gambar 7. Kondisi Lokasi Penelitian di Krueng Seumanyam, Nagan Raya

e. Gambaran Umum Habitat Kuala Seuneuam dan Pulo Ie, Nagan Raya

Krueng Seuneuam adalah termasuk sungai kecil yang mengalir melewati perkebunan PT. Astra Prima Abadi serta perkebunan masyarakat, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hampir semua daerah pinggiran sungai telah dikonversi menjadi perkebuna sawit. Secara fisik kondisi air sungai sudah mulai tercemar dengan sejenis kaloid yang diduga berasal dari pembuangan limbah pabrik pengolahan sawit perusahaan tersebut yang sudah beroperasi lebih kurang 4 bulan. Anggota tim yang masuk ke dalam sungai sampai daerah muara melaporkan gatal-gatal dikulit setelah terendam air sungai. Sebenarnya kawasan sampling ini sebenarnya adalah kawasan konservasi karena merupakan sempatan laut, namun sayangnya kawasan ini juga telah dibuka oleh masyarakat untuk areal perkebunan. Kualitas air hasil pengukuran selama dilapangan dan gambaran kondisi lokasi sampling disajikan pada Tabel 8 dan Gambar 8. Lokasi sampling adalah di daerah muara dan 2 km dari muara (Pulo ie), sampling di Kuala Seuneuam dilakukan pada tanggal 25 Juni 2013 mulai pukul 08.00 s/d 17.30 WIB.

Tabel 8. Kualitas Air Kuala Seuneuam pada Pengukuran Tanggal 25 Juni 2013

No. Parameter satuan Nilai

1. Kecerahan cm 40 2. pH 7,2

3. Salinitas ppt 5 4. DO ppm 4,5

5. Suhu °C 29,1

BIODIVERSITAS | 37

PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA

Gambar 8. Kondisi Lokasi Sampling di Kuala Seuneuam, Nagan Raya

f. Gambaran Umum Ranto Kepala Gajah (Alue Ie Kuneng), Nagan Raya

Lokasi sampling berupa sungai kecil (Alur) yang mengalir melewati areal perkebunan sawit, lebar sungai lebih kurang 3-4 meter dengan kedalaman berkisar 1-2 meter. Sampling dilakukan berhampiran jembatan yang berada di dalam Kecamatan Tripa Makmur atau berada di jalan lintas Alue Bili – Kuala. Sampling disini dilakukan pada tanggal 28 Juni 2013 mulai pukul 10.00 s/d 16.00 WIB. Kualitas air dan gambaran kondisi di lapangan disajikan pada Tabel 9 dan Gambar 9. Tabel 9. Kualitas Air Alue Ie Kuneng, Ranto Kepala Gajah pada Pengukuran Tanggal

28 Juni 2013

No. Parameter Satuan Nilai

1. Kecerahan cm 1,8 - 20

2. pH 6,5 - 6,6

3. Salinitas ppt 0

4. DO ppm 3,2 – 4,1

5. Suhu °C 31,2 - 32,3

38 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Gambar 9. Gambaran Kondisi Sampling di Alue Ie Kuneng, Ranto Kepala Gajah

g. Gambaran Umum Habitat Kuala Tadu, Nagan Raya

Lokasi sampling di Kuala Tadu (Sunagi Tadu) berada di dua titik, yaitu pertama di daerah muara berdekatan dengan Tempat Pendaratan Ikan dan yang kedua berada di Suak berdekatan dengan muara. Kawasan ini masuk dalam Kecamatan Tadu Raya, Kabupaten Nagan Raya. Lokasi sampling adalah lokasi wisata dan juga merupakan lokasi yang disukai oleh penjala ikan khususnya ikan belanak. Berdekatan dengan lokasi juga terdapat suatu tempat kandang kerbau yang berhampir sungai, dan di seberang sungai adalah rawa yang ditumbuhi oleh tumbuhan rabo. Sampling disini dilakukan pada Tanggal 28 Juni 2013 mulai pukul 16.30 s/d 20.00 WIB. Alat tangkap yang digunakan adalah jala, jaring dan pancing. Kualitas air di Kuala Tadu dan gambaran umum lokasi disajika pada Tabel 10 dan Gambar 10. Tabel 10. Kualitas Air Lokasi Sampling di Kuala Tadu Pengukuran pada Tanggal 28 Juni

2013

No Parameter Satuan Nilai

1 Kecerahan cm 40 - 45 2 pH 7,14 – 7,20 3 Salinitas ppt 2 - 7

4 DO ppm 3 - 5 5 Suhu °C 29,2- 30,3

BIODIVERSITAS | 39

PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA

Gambar 10. Kondisi Lapangan di Kuala Tadu, Nagan Raya

h. Gambaran Umum Habitat Sungai Lamie (Lueng Keubejagat dan Jembatan), Nagan Raya

Lokasi sampling adalah Sungai Lamie di dua lokasi, yaitu di Desa Lueng Keubejagat dan didekat jembatan Lamie. Kondisi habitat sungai di lokasi pertama memiliki tepian yang curam dan rusak terkena erosi, arus kencang dan kedalaman air 2-3 meter. Sedangkan pada lokasi kedua (dekat jembatan Lamie) berupa pantai berpasir dengan arus deras dan dangkal (0,5-1 meter). Jika ditarik garis lurus jarak lokasi pertama dengan lokasi kedua lebih kurang 4 km. Hasil pengukuran kualitas air di lokasi sampling ini disajikan pada Tabel 11 dan Gambar 11. Sampling dilakukan pada tanggal 16 Juli 2013 mulai pukul 14.00 s/d 22.00 WIB dan Tanggal 17 Juli 2013 di Lueng Keubejagat mulai pukul 20.00 s/d 01.00 WIB dini hari.

Tabel 11. Kualitas Air Lokasi Sampling di Lueng Keubejagat Pengukuran pada Tanggal 16 Juli 2013

No Parameter Satuan Nilai

Pengukuran Tanggal 16 Juli 2013

1 Kecerahan cm 160-180

2 pH 7,3 – 7,4

3 Salinitas ppt 0

4 DO ppm 4,5 – 5,2

5 Suhu °C 28,8 – 29,8

Pengukuran tanggal 17 Juli 2013

1 Kecerahan cm 170-180

2 pH 7,2 – 7,3

3 Salinitas ppt 0

4 DO ppm 5,2 – 5,8

5 Suhu °C 28,6 – 29,2

40 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Gambar 11. Suasana Sampling di Lueng Keubejagat (kiri) dan di dekat Jembatan Lamie (kanan).

i. Gambaran Umum Habitat Alue Ie Itam, Nagan Raya

Lokasi sampling di Alue Ie Itam merupakan alur (sungai kecil) yang mengalir melalui perkebunan sawit PT. Kalista dan perkebunan masyarakat dan kawasan pemukiman. Sebanyak tiga titik sampling ditetapkan di kawasan ini, titik pertama dan kedua berada dalam kawasan PT. Kalista Alam dan titik ketiga berada dalam kawasan perkebunan masyarakat dan pinggiran desa. Sampling disini dilaksanakan pada Tanggal 18 Juli 2013 mulai pukul 08.00 s/d 18.00 WIB. Data pengukuran kualitas air disajikan pada Tabel 12 dan Gambar 12. Tabel 12. Kualitas air lokasi sampling di Alue Ie Itam pengukuran pada Tanggal 18 Juli

Juli 2013

No Parameter Satuan Nilai

1 Kecerahan cm 75 - 95

2 pH 5,89 – 6,44

3 Salinitas ppt 0

4 DO ppm 4,2 – 7,5

5 Suhu °C 29,0 – 31,2

j. Gambaran Umum Habitat Kuala Batee, Aceh Barat Daya

Lokasi sampling di Kuala Batee berupa muara sungai yang cukup luas, kawasan ini banyak ditumbuhi oleh tanaman bakau dan nipah. Berhampiran lokasi juga terdapat BBI dan pertambakan milik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat Daya dan

BIODIVERSITAS | 41

PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA

masyarakat. Kawasan ini masih sangat terpengaruh pasang surut laut. Hasil pengamatan menunjukkan kawasan ini adalah nursery ground bagi ikan dan udang karena ditemukan banyak larva dan anakan ikan-ikan dan udang ekonomis penting. Sampling di Kuala Batee dilakukan pada Tanggal 26-27 Juni 2003, mulai pukul 09.00 s/d 01.00 WIB dini hari. Hasil pengukuran kualitas air pada lokasi ini disajikan pada Tabel 13 dan Gambar 13.

Gambar 12. Pemandangan Hutan Gambut yang telah dialih fungsikan menjadi

perkebunan sawit berhampiran alue Ie Itam (gambar atas), dan pemandangan lokasi sampling di Alue Ie Itam (gambar bawah).

Tabel 13. Kualitas Air di Kuala Batee (Kuala Lamamuda) pada pengukuran Tanggal 26 -

27 Juni 2013

No Parameter Satuan Nilai

1. Kecerahan cm 45 -47

2. pH 7, 79 - 7,98

3. Salinitas ppt 5,7 – 6,8

4. DO ppm 5,4 – 5,9

5. Suhu °C 28, 9 - 30.8

42 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Gambar 13. Kondisi Lokasi Penelitian di Kuala Batee, Aceh Barat Daya

k. Gambaran Umum Habitat Krueng Matee, Aceh Barat Daya

Lokasi sampling disini berupa dua alur kecil, yang pertama alur yang airnya tidak mengalir (musim kemarau) dan mengalir pada musim penghujan, sedangkan titik kedua adalah juga alur kecil yang airnya mengalir, jernih dan dangkal. Kedua alur ini berada ditengah-tengah perkebunan sawit masyarakat (bekas perkebunan perusahaan yang telah ditinggalkan). Sampling disini dilakukan pada Tanggal 16 Juli 2013, mulai pukul 10.00 s/d 16.00. Kondisi kualitas air dan gambaran lingkungan sampling disajikan pada Tabel 14 dan Gambar 14.

Tabel 14. Kualitas Air di Krueng Matee pada Pengukuran tanggal 16 Juli 2013

No. Parameter Satuan Nilai

1. Kecerahan cm 55 - 85

2. pH 6,21 - 6,48

3. Salinitas ppt 0

4. DO ppm 6,9 – 8,2

5. Suhu °C 30,5 – 31,1

BIODIVERSITAS | 43

PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA

Gambar 14. Kondisi Lingkungan di lokasi sampling Krueng Matee. Alur yang airnya tidak mengalir di musim kemarau (dua gambar diatas), dan alur yang airnya senantiasa mengalir (dua gambar dibawah).

D. Sampling dan Preservasi

1. Sampling dan Identifikasi Ikan

Pengambilan sampel ikan menggunakan berbagai jenis alat tangkap yang disesuaikan dengan kondisi perairan, pada perairan yang berarus kuat digunakan jala, pada perairan yang berarus lemah dan dalam digunakan jaring insang, sedangkan pada perairan yang berarus lemah dan dangkal digunakan serok dan buba. Selain itu juga digunakan pancing pada tempat-tempat tertentu. Jala dan jaring insang yang digunakan terdiri dari beberapa ukuran mata jaring (1, 1,5, dan 2 inci). Sampling juga dilakukan pada malam hari. Sampel yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam plastik sampel yang telah berisi formalin 10%, dan selanjutnya dibawa ke Laboratorium Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Unsyiah untuk diidentifikasi lebih lanjut. Sampel ikan yang diperoleh dari lokasi yang telah diawetkan dalam formalin di ambil dan dicuci dangan air bersih yang mengalir sampai aroma formalin hilang. Selanjutnya ikan diidentifikasi dengan menggunakan buku panduan identifikasi ikan yang ada, antara lain: Kottelat el al. (1993), Nelson (1994) dan Saanin (1968). setelah dianalisis sampel ikan disimpan dalam larutan alkohol 96%. Ikan-ikan sampel yang sedang dalam proses identifikasi ditempatkan dalam wadah secara terpisah-pisah menurut spesies dan lokasi penangkapan untuk mempermudah proses identifikasi (Gambar 15). Ikan diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri morfometrik (Gambar 16 dan Tabel 15) dan meristik (Tabel 16). Morfometrik adalah ciri yang berkaitan dengan ukuran tubuh atau bagian tubuh ikan misalnya panjang total dan panjang baku. Ukuran ini merupakan salah satu hal yang dapat digunakan sebagai ciri taksonomi saat mengidentifikasi ikan. Sedangkan meristik

44 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

adalah yang berkaitan dengan perhitungan karakter yang terdapat pada tubuh ikan, misalnya rumus sirip dan jumlah sisik kunci pada beberapa bagian tubuh ikan.

Gambar 15. Sampel ikan ditempatkan dalam wadah terpisah menurut spesies dan lokasi

penangkapan.

Gambar 16. Skema pengukuran dan perhitungan ikan (Haryono, 2010).

BIODIVERSITAS | 45

PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA

Tabel 15. Deskripsi Karakter Morfometrik Ikan

No. Karakter morfometrik Deskripsi

1. Panjang total (PT) Jarak dari ujung moncong terdepan sampai jari-jari sirip ekor terpanjang.

2. Panjang standar (PS) Jarak dari ujung moncong terdepan sampai pangkal sirip ekor.

3. Tinggi Badan (TB) Jarak tertinggi badan namun tidak termasuk sirip.

4. Panjang pangkal ekor (PPE)

Jarak antara pangkal sirip dubur sampai pangkal sirip ekor.

5. Tinggi pangkal ekor (TPE) Bagian yg paling rendah dari pangkal ekor

6. Panjang didepan sirip punggung/panjang kuduk (PDP)

Jarak dari ujung moncong sampai awal pangkal jari-jari sirip punggung pertama.

7. Panjang pangkal sirip punggung (PPSP)

Diukur mulai pangkal jari-jari pertama sampai dengan pangkal jari-jari terakhir.

8. Tinggi sirip punggung (TSP) atau sirip dubur (TSD)

Panjang jari-jari sirip yang terpanjang mulai dari pangkal sampai ujungnya.

9. Panjang sirip dada (PSD) atau sirip perut (PSP)

Panjang yang diukur mulai dari pangkal sirip sampai ujung filament terpanjang.

10. Panjang kepala (PK) Jarak dari ujung bibir atas sampai bagian paling belakang dari tutup insang.

11. Tinggi kepala (TK) Jarak dari pertengahan kepala sampai pertengahan dada

12. Panjang moncong (PM) Jarak dari dari moncong sampai awal kelopak mata. 13. Diameter mata Jarak paling lebar dari mata

14. Panjang rahang atas (PRA)

Jarak dari ujung bibir atas sampai bagian akhir tulang rahang atas.

15. Lebar kepala Jarak dari bagian yang paling lebar dari jarak antar kedua tutup insang.

Tabel 16. Deskripsi Karakter Meristik Ikan

No Perhitungan Meristik Keterangan

1 Gurat sisi Merupakan jumlah sisik berpori di sepanjang gurat sisi, biasanya sempurna atau terputus, dihitung mulai sisik di belakang tutup insang sampai sisik pada pertengahan pangkal ekor.

2 Sisik melintang badan Dihitung berdasarkan jumlah sisik diatas gurat sisi sampai pangkal sirip punggung, dan dibawah gurat sisi sampai pangkal sirip dubur.

3 Sisik sebelum sirip punggung

Jumlah sisik pada pertengahan punggung mulai dari pertengahan kepala sampai awal sirip punggung.

4 Sisik pada pipi Jumlah sisik antara mata dan preoperkulum.

5 Sisik melingkar pada pangkal ekor

Jumlah baris sisik yang melingkari batang ekor pada bidang yang tersempit.

46 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

6 Jari-jari sirip Secara umum jari-jari sirip terbagi dua jenis yaitu jari-jari keras (duri) dan jari-jari lemah. Sirip yang dihitung jari-jarinya sangat tergantung kondisi dan spesies ikan, sedapat mungkin semua sirip dihitung, namun demikian sekurangnya yang dihitung adalah sirip punggung, sirip anal dan sirip ventral.

2. Sampling dan Identifikasi Bentos

Pengambilan sampel dilakukan pada titik sampling dalam area yang telah ditentukan. Pengambilan sampel menggunakan Eckmann grab dan alat lain yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Sampel yang didapat disortir dengan tangan dan ayakan bertingkat mesh berukuran 0,5 mm dan 1 mm, selanjutnya dibersihkan dengan air dan dimasukkan dalam botol sampel yang telah berisi formalin 10% selama 24 jam kemudian dicuci dengan aquades dan dikeringkan, selanjutnya dimasukkan kembali kedalam botol sampel yang telah diberikan alkohol 70% (Suin, 2002), selanjutnya dibawa ke Laboratorium Biologi Laut Jurusan Ilmu Kelautan Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala untuk diindentifikasi dengan panduan buku identfikasi: Robert et al. (1982); Dance (1977) dan Masson (1997).

E. Parameter

1. Distribusi lokal (Frekuensi kehadiran)

Frekuensi kehadiran = Nsp / N.st x 100%

Dimana, Nsp: jumlah stasiun tempat dijumpainya jenis ke-i, NSt : jumlah stasiun keseluruhan. Nilai Frekuensi Kehadiran antara 0-25% diartikan sangat jarang, 25-50% adalah jarang, 50-75% adalah sering, dan lebih besar dari 75% diartikan sangat sering (Krebs, 1985). 2. Indeks Keragaman (Indek Shannon-Wiener)

H' = - pi ln pi

Nilai indeks diversitas Shannon Wiener di artikan sebagai H' , ln merupakan logaritma nature, sedangkan pi merupakan proporsi spesies ke-i dan pi = ni/N merupakan

Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis. Indek keragaman mengambarkan kekayaan jenis dalam suatu komunitas dan menunjukkan keseimbangan proporsi individu setiap spesies. Indek keragaman akan tinggi jika jumlah spesies meningkat dan total individu setiap spesies seimbang atau merata (Kreb, 185). Nilai Indek keragaman dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) tingkatan, yaitu; keragaman rendah jika nilai H<1, keragaman sedang jika nilai (1<H<3), dan keragaman tinggi jika H>3 (Odum, 1971). 3. Kekayaan jenis (Indek Margalef)

Kekayaan jensi (d) = (S-1)/log N

Dimana, S adalah jumlah semua spesies, dan N adalah jumlah individu dari semua spesies.

BIODIVERSITAS | 47

PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA

4. Indek kemerataan (Indek Pielou)

J’= H’/ log (S)

Dimana, H’ adalah indek keragaman, dan S adalah jumlah semua spesies. Nilai Indek Kemerataan berkisar 0 – 1. Jika nilai mendekati 0 (rendah), bermakna jumlah individu tidak merata terdistribusi, sedangkan jika mendekati 1 (tinggi) bermakna jumlah individu terdistribusi merata diantara spesies yang diamati (Clarke dan Warwick, 2001). 5. Similaritas

Hasil tangkapan ikan (jenis dan jumlah individu) dianalisis dengan menggunakan multivariat statistik dengan menggunakan Software PRIMER-E. Metode ini membandingkan kehadiran spesies dan komposisi individu setiap spesies antara satu lokasi dengan lokasi lainnya yang menghasilkan klaster-klaster/group dari setiap lokasi. Nilainya berkisar 0 - 100%, dimana jika bernilai mendekati 0 bermakna tingkat kemiripan rendah dan jika mendekati 100 bermakna kemiripan antar lokasi tinggi.

F. Penentuan Lokasi Reservat

Penentuan lokasi reservat dilakukan dengan teknik skoring, yaitu pemberian nilai dan bobot terhadap beberapa parameter yang ditentukan. Parameter tersebut adalah: - Aspek Biologis, dengan bobot 3. Terdiri dari 2 parameter kunci, yaitu; Kekayaan jenis

dan Keragaman jenis, dengan nilai 0-2. - Aspek Ekologis, dengan bobot 2. Terdiri dari 2 paramter kunci, yaitu; Potensi

pencemaran dan Keberadaan hutan primer/sekunder/mangrove. - Aspek Sosiologis, dengan bobot 1. Terdiri dari 2 paramter kunci, yaitu; Dukungan

masyarakat, dan ada tidaknya pemukiman atau perkebunan masyarakat dalam calon kawasan reservat.

Nilai masing-masing aspek dihitung dengan cara mengalikan bobot dengan nilai, sedangkan skor akhir adalah penjumlahan skor dari masing-masing aspek yang dinilai.

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Flora Hutan Rawa Gambut Tripa

1. Kelompok Herba dan Perdu

Selama penelitian berhasil ditemukan sebanyak 41 jenis tumbuhan kelompok herba pada kawasan Rawa Gambut Tripa yang disurvei , namun dari jenis tersebut di atas hanya sebagian kecil yang umum dijumpai pada hutan rawa gambut yaitu Colocasia argentia, Colocasia longifolia, Colocasia esculenta, Colocasia gigantea, Typonium flagelliformis, Asplenium nidus, Neprolepis radicans, Pandanus immersus, Pandanus amarylifolius, Zingiber zerumbet, Costus spiciosus, Costus spiralis, Costus malacensis, Dipcranopteris linearis. Hasil penelitian tumbuhan kelompok herba di kawasan Rawa Gambut Tripa disajikan pada Tabel 17.

Berdasarkan data tersebut dapat dikemukakan bahwa masih dijumpai beberapa jenis herba yang menjadi penciri hutan rawa gambut di hutan Rawa Gambut Tripa, dengan demikian dari aspek keanekaragaman jenis tumbuhan maka kawasan hutan rawa gambut Tripa perlu dikonservasi, mengingat sebagian besar jenis tumbuhan herba bukan sebagai jensi penciri hutan Rawa Gambut Tripa. Fakta ini tentunya mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan komunitas hutan rawa gambut akibat

48 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

pengalihan fungsi menjadi kebun kelapa sawit. Sebagian besar jenis herba yang dijumpai merupakan jenis yang sering dijumpai di daerah terbuka (indikator daerah terbuka). Selain itu hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan jenis tumbuhan herba palawija yang ditanam oleh masyarakat, dengan demikian sebagian lahan Rawa Gambut Tripa telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bertani, spesies yang dimaksud adalah pisang (Musa paradisiaca), kacang panjang (Vigna sinensis), labu (Cucurbita moscata), serai (Cymbopogon nordus), tebu (Saccharum officinarum), dan semangka (Citrulus lunatus) (Gambar 17). Hasil penelitian tumbuhan kelompok semak (perdu) di kawasan Rawa Gambut Tripa disajikan pada Tabel 18.

Gambar 17. Jenis tumbuhan herba palawija yang ditemukan di lokasi survey;

Cucurbita moschatam( kiri), Citrulus lunatus (kanan).

Tabel 17. Jenis- jenis Herba yang ditemukan di Kawasan Rawa Gambut Tripa selama survey

No. Nama Umum Nama Ilmiah Familia

1. Alang-alang (I) Imperata cylindrica Poaceae

2. Rumput gunung (I) Oplismenus burmanii Poaceae

3. Belulang (J) Eleusine indica Poaceae

4. Rumput katelan (J) Dactyloctenium aegyptium Poaceae

5. Cakar ayam (I) Sporobilus diander Poaceae

6. Cakar ayam (I) Sporobulus heterolepis Poaceae

7. Serai (I) Cymbopogon nordus Poaceae

8. Tebu (I) Saccharum officinarum Poaceae

9. Teki (I) Cyperus pumilus Cyperaceae

10. Teki payung (I) Cyperus pygmaeus Cyperaceae

11. Urang-aring (I) Eclypta prostrata Asteraceae

12. Babadotan (I) Ageratum conyzoides Asteraceae

13. Patikan kebo (J) Euphorbia hirta Euphorbiaceae

14. Mericaan (J) Hedyotis corymbosa Rubiaceae

15. Sidagori (J) Sida rhombifolia Malvaceae

16. Talas (J) Colocasia longifolia Araceae

17. Boroco (A) Colocasia argentea Araceae

18. Keladi (I) Colocasia esculenta Araceae

19. Keladi hutan (I) Colocasia gigantea Araceae

BIODIVERSITAS | 49

PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA

Tabel 18. Jenis-jenis tumbuhan pedu yang ditemukan di hutan Rawa Gambut Tripa

selama penelitian

No. Nama Umum Nama Ilmiah Familia

1. Pakis jepang (I) Cycas revoluta Cycadaceae

2. Palem merah (I) Cyrtostachys lakka Arecaceae 3. Rimbang (I) Solanum torvum Solanaceae 4. Sagu (I) Metroxylon sagu Arecaceae 5. Salak (I) Salacca zalaca Arecaceae 6. Senduduk (J) Melastoma malabatricum Melatomataceae 7. Terong kuning (I) Solanum melongena Solanaceae 8. Ubi kayu (I) Manihot utilissima Euphorbiaceae 9. Sirih hutan (I) Piper aduncum Piperaceae

10. Seri hutan (I) Elaeo sp Piperaceae 11. Kumis kucing besar (I) Mimosa virgatus Mimosaceae 12. Ketepeng (J) Casia sapan Caesalpinaceae

Keterangan : I = Indonesia, J = Jawa, A = Aceh

Berdasarkan data pada Tabel 18 dapat dijelaskan bahwa ditemukan 4 jenis tumbuhan semak (perdu) di rawa gambut Tripa dijumpai, jenis ini umum ditemukan di kawasan gambut di Indonesia, jenis yang dimaksud adalah Casia sapan, Mimosa virgatus, Piper aduncum, dan Elaeo sp. (Gambar 18).

20. Keladi tikus (I) Typonium flagelliformis Araceae

21. Paku sarang burung (I) Asplenium nidus Aspleniaceae

22. Paku rawa (I) Neprolepis radicans Oleandraceae

23. Pandan rawan (I) Pandanus immersus Pandanaceae

24. Pandan (I) Pandanus amaryllifolius Pandanaceae

25. Paku hutan (I) Stenochlaena plaustris Pteridanaceae

26. Kumis kucing hijau (I) Mimosa pudica Mimosaceae

27. Bayam berduri (I) Amaranthus hybridus Amaranthaceae

28. Cabe rawit (I) Capsicum frutescens Solanaceae

29. Kacang panjang (I) Vigna sinensis Fabaceae

30. Orok-orok (J) Crotalaria setriata Fabaceae

31. Kangkung (I) Ipomoea aquatica Convolvulaceae

32. Labu (I) Cucurbita maxima Cucurbitaceae

33. Lempuyang (J) Zingiber zerumbet Zingiberaceae

34. Pacing (J) Costus malacensis Zingiberaceae

35. Pacing spiral (J) Costus spiralus Zingiberaceae 36. Pacing putih (J) Costus spiciousus Zingiberaceae

37. Merkisah hutan (I) Passiflora foetida Passifloraceae

38. Semangka (I) Citrulus lunatus Passifloraceae

39. Paku resam (J) Dipcranopteris linearis Gleceniaceae

40. Jarong lelaki (I) Stachytarpeta indicfa Verbenaceae

41. Rotan (I) Calamus caesius Arecaceae

50 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Gambar 18. Beberapa jenis perdu yang sering ditemukan di lokasi penelitian; (a) Casia sapan, (b) Mimosa virgatus, (c) Elaeocarpus sp. (d) Piper duncum.

Vegetasi rawa gambut meliputi tumbuhan spesies palem, pandan, Podocarpus dan wakil kebanyakan familia yang biasa ditemukan di hutan tropis basah, termasuk familia Dipterocarpaceae. Banyak spesies yang khas pada hutan rawa gambut. Jumlah spesies anggota vegetasi gambut terbatas, karena pH yang rendah (pH = 3,2); dan habitatnya hampir steril, jumlah jenis hutan gambut di Sumatera sekitar 100 jenis. Hutan gambut mempunyai kecenderungan membentuk vegetasi hampir murni, menutup daerah yang sangat luas, misalnya Gonystyllus bancanus dan G. macrophyllus di hutan gambut Sukalanting (Kalimantan Barat) dan Campnosperma macrophylla di Sumatera.

Komposisi floristik berangusur-angsur berubah dari tepi ke arah pusat gambut. Di beberapa tempat, di Sumatera mulai dari pinggir ”hutan merapung”, hutan gambut tipis kurang dari 0,5 m tebal bahan organik sampai ke arah pusat gambut dijumpai zona berikut : (i) hutan dengan tumbuhan bawah lebat terutama jenis palem (Licuala dan Zalacca), (ii) hutan lebat, (iii) ”higt forest” dengan pohon berbatang kecil bercampur pohon berbatang kecil bercampur pohon cebol, dan (iv) hutan cebol didominasi oleh Tristania di pusat gambut dimana lapisan gambut paling tebal adalah Tristania abovata dan Pleiarium alternifolium yang dominan. Disini terdapat Nephentes ampularia sebagai liana (Muhadiono, 2001).

Jenis komponen rawa gambut antara lain; Alstonia pneumatophora, A. angustifolia, Antidesma puncticulatum, Aphanamiscis grandifolia, Aporosa facifera, Articarpus elasticus, A. kemando, Baccaurea bracteata, B. motleyana, Calophylum spectabile, Campnosperma macrophylla, C. Minor, Cratoxylon arborescens, Dehaadia Sp., D. Lowii,