bina swadaya konsultan - new...
TRANSCRIPT
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES | i
ABSTRAK
STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN, Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menyediakan bahan pertimbangan kebutuhan Wajar 12 Tahun baik dalam
perspektif yuridis, sosiologis kultural, pendidikan dan ekonomi (anggaran). Kedua,
dalam jangka panjang (outcome) yaitu terselenggaranya Wajar 12 Tahun dengan
memberikan dorongan kepada pemerintah. Penelitian jenis deskriptif kualitatif ini
dilaksanakan di Jakarta. Data dikumpulkan melalui multimetode seperti
wawancara mendalam, kajian literatur, dan Focus Group Discussion (FGD).
Analisis dan interpretasi data menggunakan model Miles dan Huberman
menunjukkan bahwa: 1) pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar
memerlukan dasar hukum yang dapat dilakukan dengan cara judicial review dan
amandemen. 2) pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar secara sosial
kultural diperlukan untuk mengatasi tinggi angka putus sekolah anak, menekan
pertumbuhan pekerja anak, membantu siswa miskin, dan mengembangkan
sumberdaya manusia yang berkualitas. 3) pendidikan 12 tahun sebagai program
wajib belajar dari pertimbangan mutu pendidikan diperlukan untuk meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang kompetitif. 4) pendidikan 12 tahun
sebagai program wajib belajar dari pertimbangan anggaran tercukupi dari
anggaran yang tersedia. Rekomendasi disampaikan kepada NEW berupa
diusulkan untuk menempuh langkah judicial review terhadap pasal 34 ayat 2 UU
Sisdiknas yang bertentangan dengan hak anak untuk memperoleh jaminan
pembiayaan pendidikan sesuai batas usia anak. Rekomendasi kepada
pemerintah, diusulkan agar dilakukan pembenahan perundangan-undangan
sistem pendidikan untuk memberikan jaminan pelaksanaan pendidikan 12 tahun
secara gratis, peningkatan anggaran pendidikan sebesar 6% dari PDB, dan agar
alokasi dana pendidikan dapat digunakan untuk mendanai seluruh pendidikan
anak hingga pendidikan menengah.
Kata Kunci: Pendidikan 12 tahun
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
ii | New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan rasa syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa, atas segala rahmat dan limpahan nikmat dan karunia-Nya, akhirnya tim
peneliti dapat menyelesaikan penelitian mengenai “Studi Kebutuhan Pendidikan
12 Tahun Di Indoneisa”. Penelitian ini bertujuan memberikan naskah akademik
untuk mendorong pemerintah menyelenggarakan program pendidikan 12 tahun
melalui program wajib belajar bagi warga negara secara gratis dan bermutu.
Kami menyadari bahwa penelitian ini dapat diselesaikan berkat dukungan
dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada
semua pihak yang secara langsung dan tidak langsung memberikan kontribusi
dalam penyelesaikan penelitian ini. Ucapan terimakasih juga kami khususkan
kepada:
1. Segenap anggota jaringan Network Edication Watch (NEW) Indonesia.
2. Segenap pengurus Network Edication Watch (NEW) Indonesia.
3. Segenap para narasumber yang telah kami wawancarai.
Penelitian yang kami susun ini, semoga dapat memberikan nilai tambah
bagi perbaikan dan pengembangan pendidikan nasional di Indonesia. Kami
menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab
itu, kami berharap ketulusan semua pihak untuk memberikan masukan, saran,
serta kritik sebagai upaya perbaikan dan penyempurnaan di masa akan datang.
Harapan kami, kekurangan yang ada dapat menjadi bahan perbaikan untuk
keperluan kegiatan penelitian selanjutnya.
Terima kasih dan semoga bermanfaat.
Jakarta, 3 April 2014
TIM PENELITI
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES | iii
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 4
C. Fokus Permasalahan .................................................................... 4
D. Perumusan Masalah ..................................................................... 4
E. Batasan Masalah .......................................................................... 5
F. Tujuan Penelitian .......................................................................... 5
G. Kegunaan Penelitian ..................................................................... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA ...................................................................... 6
A. Landasan Konstituisonal Hak Berpendidikan ................................ 6
B. Landasan Konstitusional Wajib Belajar ......................................... 8
C. Landasan Konstitusional Pendidikan Dasar dan Menengah ......... 9
D. Landasan Konstitusional Hak Anak Memperoleh Pendidikan ....... 11
E. Landasan Konseptual Anggaran Pendidikan ................................ 13
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 16
A. Sumber Data Penelitian ................................................................ 16
B. Waktu Penelitian ........................................................................... 16
C. Jenis Penelitian ............................................................................. 16
D. Metode Pengambilan Data ........................................................... 16
E. Instrumen Pengambilan Data ....................................................... 16
F. Analisis Data ................................................................................. 17
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................. 18
A. Pertimbangan Konstitusional Kebutuhan Pendidikan 12 Tahun ... 18
B. Pertimbangan Sosiologis Kultural Kebutuhan Pendidikan
12 Tahun ........................................................................................ 21
C. Pertimbangan Mutu Pendidikan Kebutuhan Pendidikan 12 Tahun 25
D. Pertimbangan Anggaran Pendidikan Kebutuhan Pendidikan
12 Tahun ....................................................................................... 27
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
iv | New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES
BAB V PENUTUP .................................................................................... 30
A. Kesimpulan ................................................................................... 30
B. Rekomendasi ................................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 32
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES | v
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Perbandingan Isi Pasal dan Usulan Perubahan Isi Pasal ............ 20
Tabel 2 : Angka Putus Sekolah SD-SM Tahun 2011 (versi kompas.com)
Dan Tahun 2013 (versi BPS) ....................................................... 23
Tabel 3 : Trend Jumlah Pekerja Anak di Indonesia Tahun 2010-2013 ....... 23
Tabel 4 : Kondisi Mutu Pendidikan Indonesia dalam Perspektif Global ...... 26
Tabel 5 : Perhitungan Biaya Satuan Pendidikan Berdasarkan
Tingkat Satuan Pendidikan ......................................................... 29
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES | 1
B A B - I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak memperoleh pendidikan merupakan hak konstitusional warga negara.
UUD 1945 secara tegas menjamin hak warga negara untuk memperoleh
pendidikan sebagaimana tercantum pada pasal 28C ayat 1 dan pasal 31 ayat 1.
Dalam pasal 28C ayat 1 dinyatakan, “Setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya,
demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan manusia.
Selanjutnya, pasal 31 ayat (1) disebutkan, “Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan.”
Dalam pernyataan sedunia HAM PBB tahun 1948 disebutkan setiap orang
berhak atas pendidikan. Menurut salah satu artikel piagam tersebut dikatakan,
“Everyone has the right to education. Education shall be free, at least in the
elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory.
Technical and professional education shall be made generally available and
higher education shall be equally accessible to all on the basis of merit.”1 PBB
mengelompokan 3 jenjang pendidikan yaitu pendidikan dasar, teknikal dan
profesional, serta pendidikan tinggi. Pendidikan dasar menurut deklarasi tersebut
seharusnya bebas biaya dan menjadi kewajiban (compulsory). Sebab itu, menjadi
kewajiban negara untuk menyediakan pendidikan dasar yang diperlukan seluruh
warga negara secara gratis baik di lingkungan sekolah negeri maupun swasta.
Konstitusi/UUD 1945 di samping memberikan jaminan warga negara
untuk memperoleh pendidikan, mewajibkan pula setiap warga negara untuk
mengikuti pendidikan dasar. Untuk melaksanakan kewajiban tersebut, konstitusi
membebankan kepada pemerintah untuk membiayai penyelenggaraan
pendidikan dasar. Pasal 31 ayat (2) menyebutkan bahwa “Setiap warga negara
wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
Kewajiban mengikuti pendidikan dasar merupakan kewajiban yang dibebankan
kepada warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun atau
usia SD sampai SMP.2
Kewajiban mengikuti jenjang pendidikan dasar adalah program wajib
belajar (wajar) minimal yang harus diikuti setiap warga negara. Pasal 34 ayat (2)
UU No. 20 tahun 2003 menyatakan, “Pemerintah dan pemerintah daerah
menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar
tanpa memungut biaya”. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang
1 United Nations Universal Declaration of Human Right 1948, artikel 26 ayat 1. 2 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 6 ayat 1.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
2 | New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat (ayat 3).
Penyelenggaraan pendidikan dasar dalam piagam deklarasi HAM PBB,
mengandung dua aspek pokok yakni free dan compulsory (gratis dan wajib).
Pemerintah Indonesia dalam memenuhi hak pendidikan dasar bagi warga negara
menganut tiga aspek yakni konsep free, compulsory dan universal.3 Untuk
menjamin hak-hak pendidikan warga negara dan terselenggaranya pendidikan
dasar, konstitusi menetapkan prioritas besaran anggaran pendidikan sebesar
20% dari APBN/APBD.4
Program wajar di Indonesia secara historis telah diselenggarakan selama
dua kali periode yaitu program wajar sekolah dasar (SD) dan program wajib
belajar pendidikan dasar. Program wajar SD sebagai program wajib belajar 6
tahun, dicanangkan pada 2 Mei 1984. Pemerintah memperluas wajar 6 tahun
menjadi wajar 9 tahun, yakni program wajib belajar pendidikan dasar (SD dan
SMP). Pada tahun 2009, secara nasional program wajar 9 tahun oleh pemerintah
dicanangkan telah tuntas. Ketuntasan program wajar 9 tahun didasarkan indikator
pencapaian APM SD/setara dan APK SMP/setara sudah melampaui angka di
atas 95 persen.
Sekalipun program wajar 9 tahun telah dinyatakan tuntas, angka putus
sekolah masih tergolong tinggi. Pada tahun 2010, UNESCO melaporkan ada
160.000 anak Indonesia yang putus sekolah. Angka putus sekolah meningkat
pada tahun 2011 menjadi 260.000 anak.5 Harian Terbit memberitakan angka
putus sekolah SD-SMA pada tahun 2010 mencapai 1,08 juta anak.6 Pada tahun
2013, berdasarkan data BPS, rata-rata nasional angka putus sekolah usia 7–12
tahun mencapai 0,67 persen; usia 13–15 tahun sebanyak 2,21 persen; dan usia
16–18 tahun semakin tinggi hingga 3,14 persen.7 Zuhdan menyebutkan bahwa
tercatat ada 1,3 juta anak usia 7-15 tahun di Indonesia terancam putus sekolah.8
Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, menyebutkan kasus
putus sekolah yang paling menonjol pada tahun 2013 terjadi di tingkat SMP, yaitu
48 persen. Adapun di tingkat SD tercatat 23 persen. Sedangkan prosentase
jumlah putus sekolah di tingkat SMA adalah 29 persen. Kalau digabungkan
kelompok usia pubertas, yaitu anak SMP dan SMA, jumlahnya mencapai 77
persen. Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tahun ini
tak kurang dari 8 juta orang.9
Tingginya angka putus sekolah berdampak pada timbulnya masalah-
masalah sosial seperti maraknya anak jalanan, tingginya anak yang bekerja.
Berdasarkan data dari Dinas Sosial DKI Jakarta, jumlah anak jalanan tahun 2010
3 Hasil wawancara dengan Ace Suryadi pada 3 Maret 2014 di UPI Bandung. 4 UUD 1945, pasal 31 ayat 4. 5 Kompas.com. 21/10/2013. 6 Harianterbit.com.02/08/2012. 7 Kompas.com.16/10/ 2013 8 Kompas.com. 21/10/2013. 9 Austinsfoundation.wordpress.com.24/02/2013.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES | 3
sebanyak 5.650 orang, dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 7.315 orang.10
Pada sisi lain, jumlah anak Indonesia yang bekerja cukup tinggi. Muhaimin,
menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan jumlah pekerja anak pada
tahun 2013 sekitar 2 sampai 4 juta.11 Sementara itu, Sekretaris Jenderal Komnas
PA, Samsul Ridwan, mengatakan jumlah pekerja anak mencapai 4,7 juta jiwa.12
Konsep pendidikan gratis (free) sebagaimana yang diamanatkan UUD
1945 belum sepenuhnya terpenuhi. Sebagian anak-anak Indonesia yang berhak
memperoleh pendidikan dan wajib belajar mengalami putus sekolah. Di samping,
tingginya angka pekerja anak di Indonesia menunjukkan hak anak untuk
memperoleh pendidikan tidak dipenuhi negara. Besarnya angka putus sekolah
sehingga berdampak pada bertambahnya pekerja anak, di antaranya karena
orang tua siswa tidak mampu membayar biaya sekolah karena miskin. Di
Kabupaten Banyumas misalnya, menurut Kepala Dinas Pendidikan Santoso Edy
Prabowo, dari total lulusan SD sebanyak 25.810 anak, hanya 24.344 yang
mampu melanjutkan sekolah. Sementara, dari 24.000 lulusan SMP, hanya
16.000 siswa yang mampu melanjutkan ke jenjang SMA.13
Trend meningkatnya angka putus sekolah, maraknya anak-anak jalanan
yang di kota-kota besar, serta jumlah pekerja anak di bawah umur yang besar
menunjukkan bahwa sebagian warga negara (anak-anak) Indonesia tidak dapat
menikmati hak-hak dasar atas pendidikan. Hal itu disebabkan di antaranya oleh
faktor kemiskinan anak (orang tua anak). Ketidakmampuan ekonomi orang tua
membatasi hak anak untuk memperoleh pelayanan pendidikan seluas-luasnya.
Akses mendapatkan pendidikan yang seharusnya difasitiasi negara, sebagian
warga negara atau anak-anak yang miskin masih sulit untuk memperolehnya.
Dengan demikian, negara berkewajiban untuk menyediakan pendidikan
(sekolah) yang dapat diakses oleh setiap warga negara secara mudah. Alokasi
dana pendidikan minimal 20 persen dari APBN/APBD dimaksudkan untuk
memfasilitasi setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan. Program
pendidikan (sekolah) gratis di tingkat pendidikan dasar/menengah merupakan
kebijakan yang dapat memberikan jaminan bagi setiap warga negara
memperoleh hak-hak dasar pendidikan.
Program Pendidikan Menengah Universal (PMU) yang dicanangkan pada
tahun 2013 sebagai program rintisan wajib belajar 12 tahun, belum memberikan
dasar imperatif bagi pemerintah pusat/daerah untuk memberikan jaminan
pendidikan menengah gratis. Program PMU, menurut Suryadi tidak
menggunakan konsep free dan compulsory, namun terbatas pada universal.14
Konsep universal dalam program PMU bertujuan untuk memberikan akses
seluas-luasnya bagi warga negara untuk memperoleh pendidikan yang lebih
10 Kompas.com.21/10/2013. 11 Republika.Co.id. 05/06/2013. 12 Tempo.Co. 18/07/2013. 13 Tempo.Co.12/10/2011 14 Hasil wawancara dengan Ace Suryadi.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
4 | New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES
tinggi setingkat SMA/SMK. Dengan demikian, pemerintah tidak dibebankan untuk
menyediakan pendidikan menengah gratis dan memberikan kewajiban bagi
warga negara untuk mengikuti pendidikan menengah.
Pemberian jaminan hak warga negara untuk memperoleh pendidikan
perlu terus didorong agar selaras dengan amanat UUD 1945 termasuk
Pernyataan Sedunia Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948. Wajib belajar 9 tahun
yang telah berlangsung selama 20 tahun perlu ada penyesuaian dengan
kebutuhan dan tantangan bangsa Indonesia sekarang ini dan masa akan datang
melalui perluasan program wajar 9 tahun menjadi 12 tahun. Program wajar 12
tahun untuk meningkatkan standar minimal pendidikan warga negara Indonesia.
Pemerintah perlu didorong dalam meningkatkan pendidikan dasar warga negara
hingga pada bentuk sekolah menengah (SM) baik SMA maupun SMK sebagai
pendidikan minimal yang harus diikuti setiap warga negara.
Penelitian terhadap kebutuhan pendidikan 12 tahun dilakukan dalam
menyiapkan naskah akademik yang komprehenshif dari berbagai perspektif baik
konstitusional, sosial kultural, mutu pendidikan, dan anggaran pendidikan untuk
mendorong pemerintah menyelenggarakan program pendidikan 12 tahun secara
gratis dan bermutu.
B. Identifikasi Masalah
Sejumlah persoalan yang dapat diidentifikasi dari uraian di atas antara
lain: Ada tidaknya dasar konstitusional pendidikan 12 tahun? Dasar alasan
kebutuhan pendidikan 12 tahun? Perlu tidaknya pendidikan 12 tahun bersifat
compulsory? Bagaimana pembiayaan pendidikan 12 tahun? Besar biaya yang
diperlukan dalam merealisasikan pendidikan 12 tahun?
C. Fokus Pemasalahan
Fokus penelitian ini yakni kebutuhan pendidikan dua belas (12) tahun. Sub
fokus penelitian mencakup:
1. Kebutuhan pendidikan dua belas (12) tahun dalam tinjauan konstitusional.
2. Kebutuhan pendidikan dua belas (12) tahun dalam tinjauan sosiologis kultural.
3. Kebutuhan pendidikan dua belas (12) tahun dalam tinjauan mutu pendidikan.
4. Kebutuhan pendidikan dua belas (12) tahun dalam tinjauan anggaran
pendidikan.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi latar belakang di atas, sejumlah rumusan masalah
yang menjadi perhatian penelitian adalah:
1. Bagaimana pertimbangan konstitusional untuk memenuhi kebutuhan
pendidikan 12 tahun?
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES | 5
2. Bagaimana pertimbangan sosiologis kultural untuk memenuhi kebutuhan
pendidikan 12 tahun?
3. Bagaimana pertimbangan mutu pendidikan untuk memenuhi kebutuhan
pendidikan 12 tahun?
4. Bagaimana pertimbangan anggaran untuk memenuhi kebutuhan pendidikan
12 tahun?
E. Batasan Masalah
1. Konstitusional yakni peraturan perundangan nasional berupa pasal-pasal
yang terdapat dalam UUD 1945, UU serta peraturan lain yang menjadi
landasan hukum penyelenggaraan pendidikan dasar, wajib belajar. Di
samping itu, mencakup pula sumber-sumber hukum internasional yang
menjamin hak berpendidikan yang mendasari kebutuhan pendidikan 12
tahun.
2. Sosiologis kultural yakni kecenderungan perkembangan sosial budaya
nasional dan global yang berpengaruh terhadap kebutuhan pendidikan dan
pengembangan sumberdaya manusia Indonesia bersifat kekinian yang
mendasari kebutuhan pendidikan 12 tahun.
3. Mutu Pendidikan yakni aspek kualitas sumberdaya manusia Indonesia
sebagai hasil proses pendidikan yang mendasari kebutuhan pendidikan 12
tahun.
4. Anggaran pendidikan yakni model dan varian penganggaran pendidikan yang
diperlukan untuk pendidikan 12 tahun.
F. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian mencakup dimensi ouput (jangka pendek) dan outcome
(jangka panjang) penelitian. Adapun tujuan penelitian yang dimaksud yaitu:
1. Output penelitian yaitu tersedianya bahan pertimbangan kebutuhan Wajar 12
Tahun baik dalam perspektif yuridis, sosiologis kultural, pendidikan dan
ekonomi (anggaran).
2. Outcome penelitian yaitu terselenggaranya Wajar 12 Tahun dengan
memberikan dorongan kepada pemerintah.
G. Kegunaan Penelitian
Hasil temuan penelitian diharapkan memberikan manfaat bagi:
1. Pemerintah untuk merealisasikan program Wajib Belajar 12 tahun melalui
langkah-langkah konstitusional.
2. Masyarakat mendapatkan perluasan hak memperoleh pendidikan minimal
yang lebih tinggi yaitu pendidikan menengah secara gratis dan bermutu.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
6 | New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES
B A B - I I
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Konstitusional Hak Berpendidikan
Hak asasi adalah hak kodrati yang diberikan Tuhan kepada seluruh
manusia, tanpa kecuali. Hak asasi merupakan hak dasar atau pokok seperti hak
hidup dan perlindungan. Hak asasi manusia adalah hak yang dilindungi secara
internasional dalam piagam deklarasi PBB yaitu Declaration of Human Right.15
Piagam deklarasi PBB tersebut memuat 37 artikel yang menjamin hak-hak asasi
manusia.
Piagam deklarasi HAM PBB, dimaksudkan sebagai standar minimum
yang diharapkan dalam penegakkan HAM bangsa-bangsa di dunia. Pernyataan
tersebut secara yuridis bersifat tidak mengikat. Namun, piagam tersebut
melambangkan komitmen secara moral dunia internasional pada norma-norma
hak asasi manusia.16 Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia berupaya
memberikan jaminan terhadap hak-hak asasi sebagaimana dirumuskan dalam
piagam deklarasi HAM PBB. Dalam sejumlah pasal UUD 1945, konstitusi negara
Indonesia telah memasukkan hak-hak asasi manusia yang terdapat pada piagam
deklarasi HAM melalui proses amandemen UUD. Pasal-pasal UUD 1945 hasil
amandemen tentang hak asasi manusia dituangkan seperti pada pasal 28A
sampai 28J.
Hak memperoleh pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia.
Hak kodrati yang dijamin oleh hukum baik secara nasional maupun internasional.
Dinyatakan pada Artikel 26, sebagai berikut:
1. Everyone has the right to education. Education shall be free, at least in the
elementary and fundamental stages. Elementary education shall be
compulsory. Technical and professional education shall be made generally
available and higher education shall be equally accessible to all on the
basis of merit.
2. Education shall be directed to the full development of the human
personality and to the strengthening of respect for human rights and
fundamental freedoms. It shall promote understanding, tolerance and
friendship among all nations, racial or religious groups, and shall further the
activities of the United Nations for the maintenance of peace.
3. Parents have a prior right to choose the kind of education that shall be
given to their children.17
15 KBBI Pusat Bahasa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008). 16 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997), h.124. 17 United Nations Universal Declaration of Human Right 1948 artikel 26 ayat 1-3.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES | 7
Bagi bangsa Indonesia, hak memperoleh pendidikan adalah hak
konstitusional warga negara. UUD 1945 secara tegas menjamin hak warga
negara untuk memperoleh pendidikan sebagaimana tercantum pada pasal 28C
ayat 1 dan pasal 31 ayat 1. Dalam pasal 28C ayat 1 dinyatakan, “Setiap orang
berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan manusia.” Selanjutnya, pasal 31 ayat (1) disebutkan, “Setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan.”
Pendidikan merupakan hak asasi yang fundamental. Konferensi
pendidikan untuk semua, “World Conference on Education for All” di Thailand,
1990, merumuskan: that education is a fundamental right for all people, women
and men, of all ages, throughout our world.18 Pendidikan adalah suatu hak yang
fundamental bagi semua orang, wanita dan laki-laki, semua umur, dan seluruh
dunia. Disebutkan dalam pertemuan Dakkar, Senegal pada tahun 2000, bahwa
pendidikan menjadi kunci bagi keberlangsungan pembangunan, perdamaian, dan
stabilitas antarnegara, juga penting bagi partisipasi yang efektif dalam
masyarakat, ekonomi pada abad dua puluh satu.
Pertemuan Dakkar menegaskan komitmen negara peserta untuk
mencapai tujuan dan target pendidikan untuk semua (EFA) bagi setiap warga
negara dan masyarakat. Dengan demikian negara bertanggung jawab dalam
memberikan jaminan hak berpendidikan bagi warga negara secara adil, tanpa
diskriminasi. Warga negara dijamin memperoleh pendidikan seluas-luasnya untuk
mengembangkan diri sehingga dapat hidup secara beradab dan bermartabat.
Bentuk jaminan yang diberikan negara di antaranya seperti penyediaan akses
memperoleh pendidikan secara mudah bagi setiap warga negara, peningkatan
pemerataan memperoleh pendidikan yang bermutu.
UUD 1945 dalam memberikan jaminan hak pendidikan sekaligus
memberikan tanggung jawab terhadap warga negara untuk berpendidikan atas
dasar prinsip equalitiy and responsibility. Tanggung jawab warga negara dalam
pendidikan yaitu kewajiban warga negara minimal berpendidikan dasar (pasal 31,
ayat 2). Kewajiban mengikuti pendidikan dasar yang dibebankan kepada warga
negara merupakan rekayasa sosial pemerintah (negara) dalam menciptakan
tatanan sosial kebangsaan yang bermartabat melalui instrumen hukum.19
Rekayasa sosial melalui instrumen hukum, dapat dikembangkan sesuai dengan
tiga pertimbangan yaitu: tinjauan filosofis hukum, sosiologis hukum, dan historis
hukum.
18 World Declaration on Education For All, 1990. 19 Hasil wawancara dengan Yusuf Hidayat, di Bogor pada 31 Januari 2014.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
8 | New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES
B. Landasan Konstitusional Wajib Belajar
Wajib bermakna tidak bisa diabaikan, ditinggalkan. Sesuatu yang wajib
menuntut untuk dilaksanakan. Kewajiban sebagai sesuatu yang harus
dilaksanakan. Jika hal itu tidak dilaksanakan ada konsekuensi atau akibat yang
ditanggung bagi pelanggar.
Wajib belajar (wajar) sebagai suatu kewajiban untuk belajar. Menurut UU
No. 20 Tahun 2003 wajar adalah kewajiban yang dibebankan kepada warga
negara Indonesia berusia 7-12 tahun. Dalam istilah pembangunan pendidikan di
Indonesia, wajar merupakan program wajib belajar seperti program wajar 6 tahun
yaitu wajib bersekolah dasar dan wajar 9 tahun yaitu wajib belajar pada tingkat
sekolah dasar (SD) dan SMP. Istilah wajib belajar merujuk pada konsep
compulsory yang terdapat pada Piagam Deklarasi HAM PBB sedunia artikel 26.
Ada dua konsep yang mendasari hak asasi memperoleh pendidikan dasar yaitu
free dan compulsory. Pendidikan dasar (elementary education) dilaksanakan
secara gratis dan diwajibkan.
Di dalam UUD 1945, setiap warga negara diwajibkan untuk mengikuti
pendidikan dasar. Di samping itu, mewajibkan pula kepada pemerintah untuk
membiayai penyelenggaraan pendidikan dasar. Pasal 31 ayat (2) menyebutkan
bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya.” Kewajiban mengikuti pendidikan dasar merupakan
kewajiban yang dibebankan kepada warga negara yang berusia tujuh sampai
dengan lima belas tahun atau usia SD sampai SMP.
Kewajiban mengikuti jenjang pendidikan dasar menurut pasal 34 ayat (2)
UU Sisdiknas adalah program wajib belajar minimal yang harus diikuti setiap
warga negara. Pasal 34 ayat (2) menyatakan, “Pemerintah dan pemerintah
daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang
pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Wajib belajar merupakan tanggung
jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat (ayat 3).
Program wajib belajar dalam sejarah pembangunan pendidikan di
Indonesia telah dilaksanakan dalam dua kali periode, yaitu program wajib belajar
6 tahun dan program wajib belajar 9 tahun. Program wajar 6 tahun yaitu program
wajib belajar 6 tahun bagi anak Indonesia usia sekolah dasar (7-12 tahun) yang
sudah harus bisa membaca, menulis, dan berhitung. Program wajar 6 tahun telah
mendorong pemerintah untuk mempercepat pembangunan sekolah dasar yang
lebih dikenal dengan SD Inpres. Pembangunan SD Inpres terbesar terjadi pada
tahun 1982/1983 sebanyak 22.600 gedung baru. Hingga tahun 1993/1994 hampir
150.000 unit SD Inpres dibangun. Program Wajar 6 tahun dinilai berhasil dalam
mempercepat pembangunan pendidikan dan bangsa pada umumnya. Fokus
utama wajar 6 tahun yakni memberikan pemerataan pendidikan dasar ke seluruh
pelosok Indonesia.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES | 9
Pencanangan program wajar 9 tahun berdasarkan Instruksi Presiden No.
1 tahun 1994, sebagai gerakan nasional. Menurut Pedoman Pelaksanaan Wajar
Dikdas, wajib belajar pendidikan dasar diselenggarakan dalam rangka
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga negara Indonesia
untuk memperoleh pendidikan dasar.
Program wajar 9 tahun merupakan program perluasan wajar 6 tahun yang
telah dilaksanakan sejak 2 Mei 1984. Perluasan Wajar 6 tahun menjadi 9 tahun
dengan pertimbangan, antara lain: 1) adanya tuntutan dan tantangan yang terus
meningkat, dan 2) menguatnya kecenderungan globalisasi yang berdampak
dalam persaingan global. Kecenderungan tersebut mengharuskan adanya
peningkatkan kualitas manusia Indonesia agar dapat bertahan dan hidup
bermartabat.
Memasuki tahun 2013, pemerintah mencanangkan program Pendidikan
Menengah Universal (PMU). Program PMU digulirkan untuk memperluas akses
masyarakat memperoleh pendidikan menengah (SMA/SMK). Perluasan akses
diperlukan karena rendahnya angka partisipasi kasar APK pendidikan tingkat
menengah (SMA/SMK). Sasaran PMU tercapai APK pendidikan menengah
sekurang-kurangnya mencapai 97% adalah pada tahun 2020.
Program PMU sebagai program rintisan wajib belajar 12 tahun.
Penggunaan konsep PMU dikarenakan program wajib belajar 12 tahun tidak
memiliki dasar hukum dalam UU Sisdiknas. Program wajar 12 tahun, jika ditinjau
dari RPJPN merupakan implementasi prioritas kedua pembangunan nasional
pendidikan yaitu Peningkatan akses, kualitas, dan relevansi pendidikan
menengah. Dalam konteks pentahapan pembangunan pendidikan program wajar
12 tahun merupakan strategi pembangunan pendidikan untuk peningkatan daya
saing regional, pada periode 2014-2019.
C. Landasan Konstitusional Pendidikan Dasar dan Menengah
Pendidikan adalah proses pemanusiaan dan pembudayaan. Ki Hajar
Dewantara berpandangan bahwa pendidikan adalah upaya memanusiakan
manusia secara manusiawi.20 Kegiatan pendidikan sebagai proses pemanusiaan
berarti pendidikan mengembangkan dan memberdayakan potensi-potensi yang
dimiliki peserta didik secara integral. Sedangkan sebagai proses pembudayaan,
pendidikan menanamkan nilai-nilai kehidupan. Nilai merupakan esensi dari
kebudayaan. Kebudayaan umumnya menunjuk pada perilaku manusia yang
merujukan pada sistem nilai yang ada di masyarakat.21 Dengan demikian,
pendidikan dalam konteks pembudayaan berarti pengembangan peserta didik
menjadi manusia berbudaya.
Kegiatan pendidikan sebagian teori menyebutkan sebagai proses alami
yang terjadi dari dalam diri manusia dan sebagian menilai pendidikan sebagai
20 Giat Wahyudi, Sketsa Pemikiran Ki Hajar Dewantara (Jakarta: Sanggar Filsafat Indonesia Muda, 2007), h. 34. 21 Giat Wahyudi, Sketsa Pemikiran...h. 112.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
10 | New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES
proses pembentukan dari luar diri manusia melalui tekanan eksternal.22
Pengembangan potensi kemanusiaan dan nilai-nilai budaya dengan demikian
dapat berkembang secara alamiah dalam diri peserta didik maupun dapat
berkembang melalui pembiasaan dari lingkungan eksternal.
Pendidikan menurut UU Sisdiknas adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.23
Kegiatan pendidikan menjadi medium yang memfasilitasi tersedianya kondisi dan
suasana bagi proses belajar dan pembelajaran. Pendidikan sebagai proses
kegiatan yang berbeda dengan proses belajar.
Belajar adalah proses psikologis perolehan pengetahuan, nilai-nilai, dan
keterampilan baik melalui serangkaian kegiatan terstruktur maupun tidak. Karl
Popper berpandangan bahwa belajar sebagai hasil usaha aktif memecahkan
persoalan melalui trial and error (coba-coba). Pengalaman menurut Dewey
merupakan faktor terciptanya pendidikan. Walaupun demikian tidak seluruh
pengalaman manusia bersifat edukatif.24 Belajar terstruktur berlangsung melalui
serangkaian proses akademik yang terlembagakan dalam bentuk sekolah-
sekolah. Sedangkan belajar tidak terstruktur adalah proses pengalaman hidup
manusia secara luas melalui interaksi sosial maupun dengan alam sekitar.
Sekolah merupakan sistem kelembagaan sosial yang menjalankan proses
pendidikan yang terstruktur. Di era sekarang, eksistensi sekolah sangat penting
sebagai instrumen sosial dalam proses pendidikan dan pengembangan
sumberdaya manusia. Sekolah memegang peran dominan dalam transformasi
pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan hidup. Sekolah menurut Reimer yakni
lembaga yang menghendaki kehadiran penuh kelompok-kelompok umur tertentu
dalam ruang-ruang kelas yang dipimpin oleh guru untuk mempelajari kurikulum-
kurikulum yang bertingkat.25 Kelompok umur sekolah antara lain, 0-5 tahun (usia
PAUD), 6-12 tahun (usia anak SD), 13-15 tahun (usia anak SMP), 16-18 tahun
(usia anak sekolah menengah (SMA). Selebihnya usia mengikuti pendidikan
tinggi.
Pendidikan dasar (elementary education) diadopsi dari terminologi
Declaration of Human Right artikel ke 26 tentang hak memperoleh pendidikan.
Pendidikan dasar merupakan tahap pendidikan yang penting dan fundamental.
Jenis pendidikan lainnya yaitu pendidikan tekhnikal dan profesional sebagai
pendidikan setingkat diploma (politeknik), dan pendidikan tinggi (higher
education). Pendidikan dasar menurut Declaration of Human Right
diselenggarakan secara gratis dan wajib, pendidikan tekhnikal dan profesional
22 John Dewey, Pengalaman dan Pendidikan (Yogyakarta: Kepel Press, 2002), h. 1. 23 UU No. 20 Tahun 2003, pasal 1 ayat 1. 24 John Dewey, Pengalaman dan..., h. 12. 25 Everet Reimer, Matinya Sekolah (Yogyakarta: Hanindita Graha Widia, 2000), h. 25.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES | 11
dilakukan secara terbuka untuk umum, dan pendidikan tinggi dapat diakses
secara adil berdasarkan kemampuan.
Pendidikan dasar di sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan negara-
negara Eropa mencakup pendidikan di tingkat sekolah dasar (primary school)
hingga sekolah menengah (senior high school). Di Amerika Serikat, pendidikan
dasar berlangsung selama 14 tahun, sejak usia PAUD sampai semenengah.
Sedangkan di negara-negara Eropa penyelenggaraan pendidikan dasar
berlangsung selama 12 tahun.
Pasal 31 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa pendidikan dasar harus
diikuti warga negara Indonesia. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 17 ayat (1)
disebutkan bahwa pendidikan dasar merupakan pendidikan yang melandasi
jenjang pendidikan menengah. Bentuk pendidikan dasar disebutkan dalam pasal
17 ayat (2) yaitu berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau
bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan
madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
Adapun yang dimaksud pendidikan menengah pada pasal 18 merupakan
kelanjutan pendidikan dasar (ayat 1). Pendidikan menengah terdiri atas
pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan (ayat 2).
Bentuk pendidikan menengah yaitu sekolah menengah atas (SMA), madrasah
aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan
(MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Konsep pendidikan dasar yang dianut UU Sisdiknas tidak mencakup
pendidikan menengah (SMA/SMK). Bentuk pendidikan dasar hanya pada tingkat
sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Penyelenggaraan pendidikan
dasar berlangsung selama 9 tahun. Kewajiban mengikuti pendidikan dasar
(pendidikan 9 tahun) menjadi wajib belajar bagi warga negara yang berusia 7-15
tahun. Kewajiban belajar di Indonesia tidak mencapai tingkat pendidikan
menengah (SMA/SMK) seperti di sejumlah negara, melainkan hanya sampai
SMP.
D. Landasan Konstitusional Hak Anak Memperoleh Pendidikan
Hak memperoleh pendidikan adalah hak dasar bagi setiap warga negara
yang dinyatakan pada pasal 28C dan 31 ayat 1 UUD 1945, termasuk hak bagi
anak-anak. Dalam UU Sisdiknas secara eksplisit setiap warga negara yang
berusia 7-15 tahun dalam wajib mengikuti pendidikan dasar. Batasan usia yang
disebutkan pada UU Sisdiknas yaitu termasuk usia anak-anak. Karena itu, setiap
anak Indonesia yang berusia 7-15 tahun diwajibkan mengikuti program belajar
dengan bersekolah pada tingkat SD sampai SMP. UU Sisdiknas juga
menyebutkan bahwa anak berusia 6 tahun dapat diikutsertakan dalam program
wajar 9 tahun.
Batasan usia anak bila merujuk pada sejumlah sumber berbeda-beda.
Secara psikologis, masa anak remaja awal (early adolescence) pada usia 10-13
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
12 | New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES
tahun dan pada usia 18-22 memasuki masa remaja akhir (late adolescence).26
Masa anak-anak dari perspektif sosiologis adalah masa sosialisasi. Anak di masa
itu belajar untuk memahami nilai dan norma yang ada di lingkungan sekitar.
Montessori mengelompokkan anak usia di bawah 18 tahun (12-18 tahun)
merupakan periode penemuan diri dan kepekaan sosial.27 Dalam Konvensi Hak-
Hak Anak PBB, dinyatakan bahwa anak adalah setiap orang yang berusia di
bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak
ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.28 International Labour
Organization (ILO) menyebutkan kelompok kategori pekerja anak pada usia 5-17
tahun. Anak menurut UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.29 Berdasarkan batasan-batasan tersebut, yang
dimaksud anak yaitu setiap orang, warga negara yang belum mencapai usia 18
tahun.
Pasal 28 Konvensi Hak-Hak Anak PBB menyatakan: Negara-negara
peserta mengakui hak anak atas pendidikan. Untuk mencapai hak tersebut,
negara peserta konvensi akan:
a. Membuat pendidikan dasar wajib dan tersedia cuma-cuma untuk semua
anak;
b. Mendorong pengembangan bentuk-bentuk yang berbeda dari pendidikan
menengah, termasuk pendidikan umum dan kejuruan;
c. Membuatnya tersedia dan bisa diperoleh oleh setiap anak, dan akan
mengambil langkah-langkah yang layak, seperti penerapan pendidikan cuma-
cuma dan menawarkan bantuan keuangan apabila diperlukan;
d. Membuat pendidikan tinggi wajib untuk semua anak yang didasarkan pada
kemampuan dari setiap sarana yang layak; membuat informasi pendidikan
dan kejuruan dan bimbingan tersedia dan dapat dicapai oleh semua anak;
e. Mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadiran anak secara teratur
di sekolah dan penurunan tingkat putus sekolah.
Negara dalam UU Perlindungan Anak, menjamin hak-hak berpendidikan
setiap anak. Dinyatakan, “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya
sesuai minat dan bakatnya.”30 Untuk memenuhi hak anak, maka:
1) Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati
dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras,
golongan, jenis kelamin, etnik budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan
kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.31
26 John W. Santrock, Remaja (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 20-21. 27 Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 22. 28 Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak PBB tahun 1989. 29 Pasal 1 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2002. 30 UU No. 23 Tahun 2002, pasal 9 ayat 1. 31 UU No. 23 Tahun 2002, pasal 21.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES | 13
2) Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan
dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan
anak.32
3) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan
yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.33
Dalam hal pembiayaan pendidikan anak, pemerintah bertangung jawab
untuk membiayai. “Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya
pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari
keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di
daerah terpencil.”34 Dalam UU Perlindungan Anak tersebut, pemerintah
bertangung jawab membiayai pendidikan anak hingga usia di bawah 18 tahun
atau pendidikan menengah. Pemerintah di samping itu bertanggung jawab
menjamin anak dari keluarga miskin, terlantar, terpencil untuk memperoleh akses
pendidikan seluas-luasnya.
E. Landasan Konseptual Anggaran Pendidikan
Pembiayaan pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam
pembangunan pendidikan secara keseluruhan. Biaya (cost) mencakup semua
jenis pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan, baik
dalam bentuk uang maupun barang dan tenaga.35 Biaya pendidikan dapat
dibedakan antara biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect
cost). Biaya langsung adalah segala pengeluaran yang secara langsung
menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan, biaya tidak langsung yakni
pengeluaran yang tidak secara langsung menunjang proses pendidikan tetapi
memungkinkan proses pendidikan tersebut terjadi di sekolah, seperti biaya hidup
siswa, biaya transportasi ke sekolah, biaya jalan, biaya kesehatan, dan harga
kesempatan.36 Biaya tidak langsung ada yang menyebutnya berupa keuntungan
yang hilang (earning forgone) dalam bentuk kesempatan yang hilang (opportunity
cost).37
Pembiayaan pendidikan dalam PP No. 19 tahun 2005 dibagi ke dalam tiga
jenis yaitu: biaya investasi, biaya operasi, dan personal.38 Biaya investasi adalah
biaya penyelenggaraan pendidikan yang sifatnya lebih permanen dan dapat
dimanfaatkan jangka waktu relatif lama, lebih dari satu tahun. Biaya investasi
terdiri dari biaya investasi lahan dan biaya investasi selain lahan. Biaya investasi
menghasilkan aset dalam bentuk fisik dan non fisik, berupa kapasitas atau
kompetensi sumber daya manusia. Dengan demikian, kegiatan pengembangan
32 UU No. 23 Tahun 2002, pasal 22. 33 UU No. 23 Tahun 2002, pasal 49. 34 UU No. 23 Tahun 2002, pasal 53. 35 Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 3. 36 Ibid., h. 4. 37 Nanang Fatah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 23. 38 PP No. 19 Tahun 2005, pasal 62 ayat 1.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
14 | New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES
profesi guru termasuk ke dalam investasi yang perlu mendapat dukungan dana
yang memadai.
Biaya operasi adalah biaya yang diperlukan sekolah untuk menunjang
proses pendidikan. Biaya operasi terdiri dari biaya personalia dan biaya
nonpersonalia. Biaya personalia mencakup: gaji dan tunjangan yang melekat
pada gaji, tunjangan struktural, tunjangan fungsional, tunjangan profesi, dan
tunjangan-tunjangan lain yang melekat dalam jabatannya. Biaya non personalia,
antara lain biaya untuk: Alat Tulis Sekolah (ATS), Bahan dan Alat Habis Pakai,
yang habis dipakai dalam waktu satu tahun atau kurang, pemeliharaan dan
perbaikan ringan, daya dan jasa transportasi/perjalanan dinas, konsumsi,
asuransi, pembinaan siswa/ekstra kurikuler.
Biaya personal pribadi termasuk biaya-biaya seperti untuk buku dan alat
tulis sekolah, pakaian dan perlengkapan sekolah, akomodasi, transportasi,
konsumsi, kesehatan, karyawisata, uang saku, kursus tambahan, iuran sekolah,
forgone eraning.39
Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara
pemerintah (pemerintah pusat maupun pemerintah daerah) dan masyarakat
(penyelenggara satuan pendidikan, peserta didik, orang tua/wali, dan pihak lain
yang peduli terhadap pendidikan). Pemerintah bertanggung jawab atas
pendanaan pendidikan dengan mengalokasikan anggaran pendidikan pada
APBN maupun APBD. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 49, merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 13/PUU-VI I 2008, mengamanatkan bahwa dana pendidikan dialokasikan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada
sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).
Sistem pembiayaan pendidikan merupakan proses dimana pendapatan
dan sumber daya tersedia digunakan untuk memformulasikan dan
mengoperasionalkan sekolah. Sistem pembiayaan pendidikan sangat bervariasi
tergantung dari kondisi masing-masing negara seperti kondisi geografis, tingkat
pendidikan, kondisi politik pendidikan, hukum pendidikan, ekonomi pendidikan,
program pembiayaan pemerintah dan administrasi sekolah. Sementara itu
terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mengetahui sesuai
tidaknya sistem dengan kondisi negara. Untuk mengetahui apakah sistem
tersebut memuaskan, dapat dilakukan dengan cara: i) menghitung berbagai
proporsi dari kelompok usia, jenis kelamin, tingkat buta huruf; ii) distribusi alokasi
sumber daya pendidikan secara efisien dan adil sebagai kewajiban pemerintah
pusat mensubsidi sektor pendidikan dibandingkan dengan sektor lainnya.
39 Abbas Ghozali, “Strategi Pembiayaan dan Pendanaan Pendidikan di Indonesia,” bahan ini disampaikan dalam Semiloka Sektor Review tentang “Standar Biaya Minimum Pendidikan Siswa: Kebijakan, Anggaran, dan Mutu Pendidikan” yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (di Bogor, 14 dan 15 Desember 2011), h. 4.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES | 15
Setiap keputusan dalam masalah pembiayaan sekolah akan
mempengaruhi bagaimana sumber daya diperoleh dan dialokasikan. Oleh karena
itu perlu dilihat siapa yang akan dididik dan seberapa banyak jasa pendidikan
dapat disediakan, bagaimana mereka akan dididik, siapa yang akan membayar
biaya pendidikan. Demikian pula sistem pemerintahan seperti apa yang paling
sesuai untuk mendukung sistem pembiayaan pendidikan. Tanggungjawab
pemerintah dalam pembiayaan pendidikan termasuk untuk pendidikan kejuruan
dan bantuan terhadap murid. Hal itu perlu dilihat dari faktor kebutuhan dan
ketersediaan pendidikan, tanggungjawab orang tua dalam menyekolahkan
versus social benefit secara luas, pengaruh faktor politik dan ekonomi terhadap
sektor pendidikan.
Setiap kebijakan dalam pembiayaan sekolah akan mempengaruhi
bagaimana sumber daya diperoleh dan dialokasikan. Dengan mengkaji berbagai
peraturan dan kebijakan yang berbeda-beda di sektor pendidikan, kita bisa
melihat konsekuensinya terhadap pembiayaan pendidikan, yakni:
Keputusan tentang siapa yang akan dididik dan seberapa banyak jasa
pendidikan dapat disediakan.
Keputusan tentang bagaimana mereka akan dididik.
Keputusan tentang siapa yang akan membayar biaya pendidikan.
Keputusan tentang sistem pemerintahan seperti apa yang paling sesuai untuk
mendukung pembiayaan sekolah.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, ada dua hal pokok yang harus
dapat dijawab, yakni: i) bagaimana sumber daya akan diperoleh, ii)
bagaimana sumber daya akan dialokasikan pada berbagai jenis dan jenjang
pendidikan/tipe sekolah/kondisi daerah yang berbeda. Terdapat dua kriteria
untuk menganalisis setiap hal tersebut, yakni, i) efisiensi yang terkait dengan
keberadaan sumber daya yang dapat memaksimalkan kesejahteraan
masyarakat dan ii) keadilan yang terkait dengan benefits dan costs yang
seimbang.
Pembiayaan program wajib belajar menjadi tanggung jawab pemerintah.
Dalam pasal 34 ayat (2) menyatakan, “Pemerintah dan pemerintah daerah
menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar
tanpa memungut biaya”. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat (ayat 3).
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
16 | New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES
B A B - I I I
METODOLOGI PENELITIAN
A. Sumber Data Penelitian
Sumber data pada penelitian ini meliputi: subyek primer penelitian yakni:
1) para narasumber dalam wawancara mendalam, 2) para peserta FGD, 3)
peserta dalam konsultasi ahli.
Kedua, sumber sekunder yang berasal dari dokumen, catatan resmi
sekolah, foto-foto liputan sekolah, artikel Koran, majalah, serta liputan lain yang
relevan.
B. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan selama 3 bulan, kurun waktu bulan Januari sampai
awal April 2014, dengan rincian jadwal kegiatan sebagai berikut:
C. Jenis Penelitian
Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif deskriptif-naratif.
D. Metode Pengambilan Data
Metode atau teknik/cara pengambilan data penelitian dilakukan melalui
tiga cara yaitu studi dokumentasi, wawancara mendalam, dan focus group
discussion (FGD).
1. Studi Dokumentasi dilakukan untuk mengkaji berbagai sumber seperti: UU,
buku, jurnal/majalah ilmiah, media massa, laporan resmi pemerintah, LSM,
lembaga internasional
2. Wawancara mendalam dilakukan kepada para ahli hukum, sosiolog, politisi,
pendidikan, pengganggaran, praktisi dan pengamat pendidikan dengan
jumlah narasumber 15 orang.
3. Focus Group Discussion, dilakukan dengan peserta 20 orang, termasuk 1
orang peserta ahli dan 1 orang fasilitator. Durasi pelaksanaan FGD 1,5 jam sd
2 jam.
4. Konsultasi Ahli, dilakukan untuk memverifikasi hasil laporan sementara
penelitian. Diikuti oleh satu orang ahli yang bertindak sebagai konsultan, dan
peserta lain untuk memberikan tanggapan. Durasi pelaksanaan FGD 1,5 jam
sd 2 jam.
E. Instrumen Pengambilan Data
Instrumen diperlukan untuk mengambil data baik dengan cara studi
dokumentasi, wawancara mendalam, FGD, dan konsultasi ahli. Instrumen
penelitian yang digunakan yaitu:
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES | 17
1. Catatan lapangan yang dipakai pada pengambilan data melalui studi
dokumen. Berisi kategorisasi temuan dan deskripsi temuan.
2. Pedoman wawancara dipakai pada saat wawancara mendalam. Pedoman
wawancara secara spesifik dibuat sesuai keahlian narasumber yang terdiri
dari bidang hukum, politisi, sosiologi, pendidikan, penganggaran.
3. Pedoman FGD dipakai untuk melaksanakan kegiatan FGD, berisi teknik
operasional FGD dan substansi masalah FGD.
4. Pedoman Konsultasi Ahli dipakai untuk melaksanakan kegiatan konsultasi,
berisi teknik operasional konsultasi dan substansi temuan penelitian.
F. Analisis Data
Proses analisis data dilakukan model Miles dan Huberman melalui tahap
kegiatan kategorisasi, triangulasi data, analisis induktif deskriptif.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
18 | New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES
B A B - I V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pertimbangan Konstitusional Kebutuhan Pendidikan 12 tahun
Pendidikan menengah (SMA/SMK) menurut UU Sisdiknas tidak termasuk
bentuk pendidikan yang diwajibkan dalam program wajib belajar 9 tahun.
Program wajib belajar diselenggarakan minimal pada pendidikan dasar.40 Dalam
UUD 1945, pendidikan dasar merupakan tingkat pendidikan yang wajib diikuti
oleh setiap warga negara. Pasal 31 ayat (2) berbunyi “Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
Bentuk pendidikan dasar mencakup pendidikan sekolah dasar (primary
school) dan sekolah menengah pertama (junior high school). Bentuk pendidikan
dasar yaitu berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau
bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan
madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.41 Dengan
demikian, pendidikan menengah (SMA/SMK) menurut UU Sisdiknas tidak
termasuk pendidikan dasar dan tidak termasuk tingkat pendidikan yang
diwajibkan dalam program wajib belajar. Penyelenggaraan wajib belajar di
sejumlah negara berlangsung beragam. Di Amerika Serikat wajib belajar
diselenggarakan selama 14 tahun pada tingkat Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) sampai sekolah menengah atas (Senior High School). Sementara itu di
negara-negara Eropa, pendidikan dasar diselenggarakan selama 12 tahun atau
hingga sekolah menengah.42
Berdasarkan Pasal 31 ayat 2 UUD 1945, program wajar pendidikan dasar
menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan biaya pendidikan.
Program pendidikan dasar 9 tahun (SD-SMP) yang diatur pasal 34 ayat 2 UU
Sisdiknas diselenggarakan secara gratis atau cuma-cuma. Sedangkan, biaya
penyelenggaraan pendidikan menengah (SMA/SMK) di luar tanggung jawab
pemerintah. Warga negara berusia 16-17 tahun (usia pendidikan menengah)
memperoleh pendidikan tidak secara cuma-cuma.
Jaminan pembiayaan program pendidikan dasar 9 tahun yang diatur
dalam UU Sisdiknas pasal 34 ayat 2 membatasi hak untuk memperoleh
pendidikan seluas-luasnya. Dalam UU Perlindungan Anak pasal 53, pemerintah
bertanggung memberikan biaya pendidikan anak. Usia anak yang dimaksud
dalam UU Perlindungan Anak yakni sampai usia di bawah 18 tahun atau usia
sekolah menengah. Sebab itu, anak usia pendidikan menengah berhak
memperoleh pembiayaan pendidikan dari pemerintah atau negara.
40 UU No. 20 Tahun 2003, pasal 34 ayat 2. 41 UU No. 20 Tahun 2003, pasal 17 ayat 2. 42 Hasil wawancara dengan Ace Suryadi.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES | 19
Pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar hingga pendidikan
menengah (SMA/SMK) berdasarkan perspektif perundangan-undangan
(Sisdiknas) tidak memiliki landasan hukum. Sejumlah pasal UU Sisdiknas tidak
akomodatif untuk memenuhi kebutuhan pendidikan 12 tahun sebagai wajib
belajar. Sejumlah pasal UU Sisdiknas tersebut, yaitu:
1. Pasal 6 : Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima
belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
2. Pasal 34 ayat 2 : Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa
memungut biaya.
Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan 12 tahun sebagai program wajib
belajar, ada dua cara pertimbangan konstitusional dapat dilakukan yaitu sebagian
menyebutkan perlunya langkah judicial review dan sebagian menempuh langkah
amandemen sejumlah pasal UU Sisdiknas.
Upaya hukum berupa judicial review kepada Mahkamah Konstitusi
berdasarkan pertimbangan bahwa pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas yang
bertentangan/melanggar hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan seluas-
luasnya sebagaimana dinyatakan pasal 28C, pasal 31 ayat 1 UUD 1945.
Jaminan pembiayaan pendidikan oleh negara/pemerintah seharusnya mencakup
seluruh anak sebagai warga negara RI sebagaimana diatur pasal 53 UU No. 23
tahun 2002. Untuk memenuhi jaminan pembiayaan pendidikan, mengusulkan
kepada pemerintah (presiden dan DPR) untuk memberikan landasan hukum
yang kuat bagi pemenuhan hak-hak pendidikan anak sesuai batasan usia anak
sesuai UU Perlindunga Anak dan Konvensi Hak-Hak Anak PBB 1989.
Pertimbangan kedua yaitu perlu adanya perubahan (amandemen).
Pemerintah, dalam menyikapi kekosongan landasan hukum untuk
menyelenggarakan program wajib belajar 12 tahun, berencana melakukan upaya
amandemen terhadap UU Sisdiknas.43 ”Ada rencana segera mengamandemen
UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama yang berkaitan
wajib belajar. Pemerintah akan meningkatkan wajib belajar 9 tahun jadi 12 tahun,”
menurut M. Nuh.44 Langkah amandemen menurut Yusuf Hidayat merupakan
langkah yang dapat diterima, sebab secara konstitusional pasal-pasal yang
mengatur program wajib belajar 9 tahun tidak bertentangan dengan pasal 31
UUD 1945 ayat 1 dan 2.45
Usulan perubahan pasal 6 dan pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas
sebagaimana terlihat pada tabel 1 berikut ini:
43 “Tiga Sasaran Utama Pendidikan Menengah Universal,” Bangkapos.com (Diakses pada 20 Desember 2013). 44 Kompas.com (Diakses pada 20 Desember 2013). 45 Hasil wawancara dengan Yusuf Hidayat.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
20 | New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES
Tabel 1
Perbandingan Isi Pasal dan Usulan Perubahan Isi Pasal
Pasal UU
Sisdiknas Bunyi isi pasal Usulan isi bunyi pasal
Pasal 6 Setiap warga negara yang
berusia tujuh sampai dengan
lima belas tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar.
Setiap warga negara yang
berusia tujuh sampai dengan
delapan belas tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar
dan menegah.
Pasal 34 ayat 2 Pemerintah dan pemerintah
daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar
minimal pada jenjang
pendidikan dasar tanpa
memungut biaya.
Pemerintah dan pemerintah
daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar
minimal pada jenjang
pendidikan menengah tanpa
memungut biaya.
Amandemen terhadap kebutuhan wajib belajar dinilai Nusa Putra
merupakan pembenahan bidang pendidikan secara parsial, tidak sistemik yaitu
meninjau keseluruhan peraturan perundangan yang menjadi dasar sistem
pendidikan nasional.46 Menurut Nusa, peraturan perundangan secara
menyeluruh untuk membuat landasan hukum bagi pembangunan pendidikan
nasional di masa akan datang. Perbaikan secara parsial tidak cukup untuk
membenahi permasalahan pendidikan.
Pembenahan UU Sisdiknas, termasuk landasan hukum wajib belajar 12
tahun telah menjadi agenda DPR. Komisi X DPR untuk memfasilitasi wajib
belajar 12 tahun telah membentuk Panja (Panitia Kerja) untuk membahas
program wajib belajar 12 tahun.47 Anggota komisi X DPR menurut Rohmani
berkepentingan untuk mengupayakan payung hukum terhadap program wajib
belajar 12 tahun agar rakyat memperoleh pendidikan SMA secara gratis.
Pengadaan dasar hukum pemenuhan kebutuhan pendidikan 12 tahun
melalui program wajib belajar dengan tiga pertimbangan yakni filosofis,
sosiologis, dan historis hukum. Pertama, pertimbangan filosofis hukum
pemenuhan kebutuhan pendidikan 12 tahun melalui program wajib belajar,
dengan alasan:
1) Pendidikan 12 tahun dalam bentuk program wajib belajar memperluas akses
warga negara untuk memperoleh hak pendidikan yang lebih tinggi dan
bermutu.
2) Pendidikan 12 tahun dalam bentuk program wajib belajar mendorong
pemerintah (negara) untuk memberikan jaminan pembiayaan pendidikan
minimal sampai sekolah menengah atas/kejuruan.
46 Hasil wawancara dengan Nusa Putra di Bekasi pada 2 Februari 2014. 47 Hasil wawancara dengan Rohmani di Jakarta pada 11 Februari 2014.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES | 21
3) Pendidikan 12 tahun dalam bentuk program wajib belajar sebagai upaya
negara mewujudkan salah satu tujuan nasional, yakni mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Kedua, pertimbangan sosiologis hukum pemenuhan kebutuhan
pendidikan 12 tahun melalui program wajib belajar, dengan alasan antara lain:
1) Bangsa Indonesia membutuhkan sumberdaya manusia yang unggul, mampu
bersaing di dunia internasional.
2) Tingkat pendidikan yang rendah berdampak pada rendahnya nilai kompetitif
tenaga kerja Indonesia, merusak harkat dan martabat sebagai bangsa.
Ketiga, pertimbangan historis hukum pemenuhan kebutuhan pendidikan
12 tahun melalui program wajib belajar, dengan alasan antara lain:
1) Program wajib belajar 9 tahun telah berlangsung selama 2 dasa warsa (20
tahun) dan pemerintah telah mencanangkan ketuntasan secara nasional
program wajib belajar 9 tahun pada tahun 2009.
2) Program wajib belajar 9 tahun telah memberikan dampak positif dalam
pemerataan akses memperoleh pendidikan dasar bagi warga negara. Untuk
memenuhi kebutuhan dewasa ini dan akan datang, program wajib belajar 9
tahun perlu diperluas menjadi wajib belajar 12 tahun.
3) Pemerintah pada tahun 2013 telah menggulirkan program Pendidikan
Menengah Umum (PMU) sebagai rintisan program wajib belajar 12 tahun.
Berdasarkan uraian dan temuan yang telah dipaparkan, kebutuhan
pendidikan 12 tahun menurut pertimbangan konstitusional dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1) Penyelenggaraan wajib belajar minimal jenjang pendidikan dasar atau 9 tahun
jenjang pendidikan SD hingga SMP (pasal 6) dengan jaminan pembiayaan
pendidikan dari pemerintah dan pemerintah daerah (pasal 34 ayat 2) belum
mencakup hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan sesuai batasan usia
anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak dan Konvensi Hak-
Hak Anak PBB 1989.
2) Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan 12 tahun sebagai program wajib
belajar secara konstitusional diperlukan dasar hukum melalui dua cara yakni
upaya judicial review terhadap pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas ke MK sekaligus
memberikan usulan kepada pemerintah (presiden/legislatif) yang mengatur
wajib belajar 12 tahun. Langkah kedua dengan upaya amandemen pasal 6
dan pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas. Perubahan terhadap UU Sisdiknas
didasarkan pertimbangan filosofis, historis, dan sosiologis hukum.
B. Pertimbangan Sosiologis Kultural Kebutuhan Pendidikan 12 tahun
Realitas sosial kultural adalah landasan obyektif pentingnya pendidikan 12
tahun bagi bangsa Indonesia. Perkembangan dunia dewasa ini dengan
kecenderungan globalisasi menurut Anies Baswedan, bangsa Indonesia
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
22 | New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES
membutuhkan manusia yang berkualitas.48 Negara Indonesia didirikan dengan
tujuan di antaranya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembangunan
manusia Indonesia melalui instrumen pendidikan harus dipahami secara utuh
bukan berdasarkan perspektif industri. Dalam konteks industri manusia sebagai
sumberdaya seperti faktor produksi lainnya yaitu modal, mesin, dan tanah.49
SDM yang berkualitas diperlukan bangsa Indonesia.50 Pendidikan yang
lebih tinggi dibutuhkan untuk membangun masyarakat yang rasional dan
kompetitif secara global. Pengembangan sumberdaya manusia melalui program
wajib belajar 12 tahun menurut Suryadi dengan mengacu pada Kriteria
Kompetensi Nasional Indonesia (KKNI). Lulusan pendidikan 12 tahun (sekolah
menengah atas) sudah harus mampu memenuhi kebutuhan hidup.51
Kemandirian, kreativitas, dan kecakapan merupakan faktor penting untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidup secara layak dan bermartabat.
Kebutuhan pendidikan 12 tahun secara sosiologis diperlukan bagi setiap
warga negara agar kecakapan, keahlian, dan kompetensi profesional relevan
dengan perkembangan sosial baik di tingkat nasional maupun global. Suryadi
menyatakan bahwa keberhasilan pendidikan kompulsori/universal tidak diukur
berdasarkan serapan lapangan kerja tetapi kemampuan belajar lulusan untuk
belajar lebih lanjut. Sebab itu, pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar
tidak memasukkan pendidikan kejuruan.52
Secara obyektif, Anies mencatat ada selisih sebesar 3,3 juta siswa antara
siswa sekolah dasar yaitu 5,6 juta dengan jumlah lulusan sekolah menengah
sebanyak 2,3 juta.53 Hal itu menggambarkan besarnya angka putus lanjut/putus
sekolah selama ini. Perkembangan anak putus sekolah di Indonesia selama
kurun waktu tiga tahun terakhir mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 angka
anak putus sekolah mencapai 1,08 juta.54 Angka anak putus sekolah tahun 2011
dengan sebaran tingkat SD mencapai 1,5 persen dari sekitar 31 juta siswa, di
SMP 1,8 persen dari 12,69 juta siswa, serta di SMA/SMK meningkat menjadi 4,27
persen dari 9,11 juta siswa. Jumlah siswa SD yang putus lanjut mencapai 9
persen, di tingkat SMP putus lanjut ke SMA/SMK sebesar 24 persen, dan sekitar
51 persen lulusan SMA/SMK tidak melanjutkan ke perguruan tinggi.55
BPS tahun 2013 melaporkan, rata-rata nasional angka putus sekolah usia
7–12 tahun mencapai 0,67 persen atau 182.773 anak; usia 13–15 tahun
sebanyak 2,21 persen, atau 209.976 anak; dan usia 16–18 tahun semakin tinggi
48 Anies Baswedan, disampaikan dalam standing commitmen pada acara Konvensi Partai Demokrat di Bogor, 2 Maret 2014. 49 Hasil wawancara dengan Anies Baswedan di Jakarta, 3 Maret 2014. 50 Hasil wawancara dengan Suryadi di Bogor, 26 Januari 2014. 51 Hasil wawancara dengan Suryadi. 52 Hasil wawancara dengan Ace Suryadi. 53 Hasil wawancara dengan Anies Baswedan. 54 Harianterbit.com.02/08/2012. 55 Nusa Putra, Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (Jakarta: Balitbang Kemendikbud, 2012), h. 28.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES | 23
hingga 3,14 persen atau 223.676 anak.56 Komnas Perlindungan Anak
menyebutkan angka putus sekolah SMP-SMA mencapai sekitar 8 juta.57
Tabel 2
Angka Putus Sekolah SD-SM
Tahun 2011 (versi kompas.com) dan Tahun 2013 (versi BPS)
No. Usia Anak (thn) 2011 2013
1. 7-12 (SD) 465.000 182.773
2. 13-15 (SMP) 228.420 209.976
3. 16-18 (SM) 388.997 223.676
Tingginya angka putus sekolah menimbulkan dampak sosial lanjutan
seperti meningkatnya jumlah anak-anak jalanan di kota-kota besar,
bertambahnya jumlah tenaga kerja anak di bawah umur, dan dampak sosial
lainnya. Jumlah pekerja anak pada tahun 2013 menurut menteri tenaga kerja dan
transmigrasi sekitar 2 sampai 4 juta. Sebelumya, hasil survey ILO dan BPS pada
tahun 2010 diketahui dari jumlah keseluruhan anak berusia 5-17, yang berjumlah
sekitar 58,8 juta, 4,05 juta atau 6,9 persen di antaranya termasuk dalam kategori
anak yang bekerja.58 Hasil pendataan Badan Pusat Statistik pada tahun 2011
menunjukkan bahwa 1,7 anak-anak adalah pekerja.59 Laporan Understanding
Children's Work (UCW), yang merupakan kemitraan antara ILO, UNICEF, dan
Bank Dunia tahun 2012 menunjukkan sebanyak 2,3 juta anak berusia 7-14 tahun
merupakan pekerja anak di bawah umur.60
Tabel 3
Trend Jumlah Pekerja Anak di Indonesia Tahun 2010-2013
No. Tahun Jumlah Sumber
1. 2010 4,05 juta Hasil survey ILO dan BPS
2. 2011 1,7 juta Hasil pendataan BPS
3. 2012 2,3 juta Laporan UCW
4. 2013 4 juta Kementrian Tenaga Kerja/Trans
Data diolah dari berbagai sumber.
Penyebab tingginya angka putus sekolah dikarenakan berbagai alasan
seperti kesulitan ekonomi, pernikahan dini, akses ke sekolah yang jauh, juga
alasan membantu orang tua bekerja. Pada tahun 2011, jumlah siswa miskin
56 Kompas.com. 21/10/2013. 57 Austinsfoundation.wordpress.com.24/02/2013. 58 http://www.ilo.org/jakarta, diakses pada 29/03/2014 pukul 17.31. 59 Tempo.co.11/06/2011. 60 Kompas.com.20/06/2012.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
24 | New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES
mencapai 50 juta. Jumlah tersebut terdiri dari 27,7 juta siswa SD, 10 juta siswa
SMP, 7 juta siswa SMA.61 Sementara itu, kasus-kasus di kota seperti Jakarta,
Surabaya, dan kota-kota lainnya, anak-anak putus sekolah menurut Nusa Putra,
tidak dapat menamatkan SD atau melanjutkan ke SMP karena dipaksa orang
tuanya menjadi pengamen, pengemis, atau pemulung.62
Besarnya angka putus sekolah merupakan fakta sosial problem dalam
pembangunan pendidikan nasional. Angka putus sekolah disebabkan oleh
berbagai faktor, namun kesulitan ekonomi sangat signifikan mempengaruhi
keberlangsungan anak dalam mengikuti pendidikan di sekolah. Kemiskinan juga
menjadi alasan banyaknya anak yang bekerja di berbagai sektor. Anak yang
semestinya berhak mengikuti pendidikan, terpaksa atau dipaksa meninggalkan
bangku sekolah untuk meringankan kesulitan ekonomi keluarga. Mempekerjakan
anak merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak, termasuk hak anak untuk
memperoleh pendidikan.
Kebutuhan pendidikan 12 tahun berdasarkan perspektif sosial kultural
diperlukan untuk memenuhi hak-hak pendidikan anak dan pengembangan
sumberdaya manusia Indonesia. Berikut alasan-alasan yang dapat disimpulkan
dari kondisi sosial kultural bangsa Indonesia yang mendasari perlunya pendidikan
12 tahun.
Pertama untuk menjamin anak-anak yang terancam putus sekolah
memperoleh hak atas pendidikan. Ada 8 juta anak usia SMP-SMA yang
terancam putus sekolah, karena kesulitan ekonomi. Sebab itu, penyelenggaraan
pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar dapat memfasilitasi anak-
anak yang putus sekolah memperoleh pendidikan secara gratis.
Kedua, untuk memberikan kesempatan anak-anak yang bekerja dan tidak
bersekolah untuk kembali ke sekolah. Mempekerjakan anak pekerja anak
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak. Pemerintah berkewajiban
melindungi anak dari segala tindakan mempekerjakan, mengeksploitasi anak.
Dalam masa perkembangannya, anak berhak memperoleh pendidikan hingga
usia di bawah 18 tahun. Dengan demikian, pendidikan 12 tahun sebagai program
wajib belajar penting untuk mengembalikan anak ke sekolah.
Ketiga, kondisi kemiskinan yang dialami sebagian keluarga/anak sekolah.
Kesulitan ekonomi yang dialami keluarga memaksa anak untuk meninggalkan
sekolah. Jumlah penduduk miskin menurut laporan BPS pada bulan Maret 2012
berjumlah 29,13 juta orang (11,96 persen). Siswa miskin pada tahun 2011
menurut Kemendikbud mencapai 50 juta siswa. Pendidikan 12 tahun sebagai
program wajib belajar memberikan tanggung jawab kepada pemerintah untuk
menyediakan dana yang diperlukan sehingga dapat menjamin hak-hak anak
mendapatkan pendidikan secara gratis.
61 Nusa Putra, Peningkatan Mutu...h. 28. 62 Ibid., hal. 27.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES | 25
Pertimbangan lainnya yakni kebutuhan sumberdaya manusia Indonesia
yang berkualitas merupakan keniscayaan bagi bangsa Indonesia dalam era
kompetisi global dewasa ini dan masa mendatang. Tingkat pendidikan yang
rendah yang dimiliki tenaga kerja Indonesia berdampak pada rendahnya daya
saing bangsa Indonesia di pentas global. Menurut World Economic Forum
tentang Global Competitiveness Report daya saing Indonesia berada di bawah
negara-negara Asian seperti Singapura pada posisi 3, Malaysia (26), dan
Thailand (39).
Berdasarkan uraian di atas, kebutuhan pendidikan 12 tahun dalam bentuk
program wajib belajar penting bagi bangsa Indonesia dewasa ini untuk mengatasi
tingginya angka putus sekolah, membatasi meningkatnya pekerja anak,
membantu siswa miskin, serta meningkatkan mutu sumberdaya manusia
Indonesia.
C. Pertimbangan Mutu Pendidikan Kebutuhan Pendidikan 12 tahun
Kualitas pendidikan nasional sampai saat ini belum memenuhi harapan.
Pembangunan pendidikan melalui program wajib belajar dari aspek kualitas
dinilai rendah. Menurut Suyanto, mesti angka partisipasi kasar (APK) yang
tercatat cukup tinggi, namun belum ada perubahan signifikan pada keterbukaan
masyarakat Indonesia terhadap pendidikan yang lebih tinggi.63 Program wajib
belajar 9 tahun berhasil dalam mendongkrak APM SD dan APK SMP di atas
95%. Walaupun demikian, pelaksanaan pendidikan selama ini dinilai belum
sesuai dengan delapan (8) standar nasional pendidikan (SNP).64 Disparitas
antardaerah, antarsekolah masih tinggi dalam memenuhi standar pelayanan
minimum (SPM) pendidikan. Hasil UN sebagai indikator keberhasilan pendidikan
masih dinilai kurang representatif, sekalipun angka standar kelulusan terus
dinaikkan. Di samping itu, pencapaian kuantitatif APM/APK SD-SMP secara
nasional belum mencerminkan kondisi di tingkat propinsi maupun kab/kota.65
Sejumlah laporan lembaga internasional memperlihatkan rendahnya
kualitas pendidikan nasional. Berikut sejumlah laporan yang menggambarkan
tingkat mutu pendidikan nasional berdasarkan standar internasional.
Survey yang dilakukan oleh Trends in International Mathematics and
Science Study/TIMSS (2007) terhadap kemampuan siswa SD dan SLTP dalam
bidang matematika (math) dan IPA (science), memperlihatkan bahwa
kemampuan siswa Indonesia termasuk dalam kelompok rendah (low). Di bidang
matematika, kemampuan siswa SLTP (kelas 8) Indonesia dengan skor rata-rata
397 menempati peringkat 34 dari 38 negara.66 Sedangkan di bidang IPA, siswa
63 Nusa Putra, Peningkatan Mutu ..., h. 7. 64 Retno Listyarti, penjelasan atas makalah “Akses dan Kualitas Pendidikan Indonesia,” pada diskusi NEW Indonesia di Jakarta, 6 Februari 2014. 65 Hasil wawancara dengan Nur Berlian VA. 66 TIMSS 2007 International Mathematics Report: Findings from IEA’s Trends in International Mathematics and Science Study at the Fourth and Eighth Grades. http://timss.bc.edu/TIMSS2007/mathreport.html.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
26 | New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES
Indonesia berada pada peringkat 32 dari 38 negara dengan skor rata-rata 427, di
bawah skor rata-rata (500).67
PISA (Performance in Reading, Mathematics, and Science) dalam
laporannya (2010) menempatkan siswa Indonesia pada posisi 57 dari 65 negara.
Singapura dan Thailand berada pada peringkat 5 dan 50.
Laporan UNDP tahun 2011 tentang tingkat pembangunan sumberdaya
manusia (IPM) yang mencakupi aspek pendidikan, indeks IPM Indonesia pada
peringkat 124. Sementara indeks pembangunan pendidikan pada peringkat 69
dari 127 negara menurut UNESCO.
World Economic Forum tentang Global Competitiveness Report pada
tahun 2010, menempatkan daya saing Indonesia pada peringkat 46. Negara
Asian seperti Singapura pada posisi 3, Malaysia (26), dan Thailand (39). Hasil
studi lain dari The International Institute for Management Development (IMD)
pada tahun 2011, posisi daya saing Indonesia pada urutan 37, Singapura (1),
Malaysia (10), dan Thailand (26).68
Tabel 4
Kondisi Mutu Pendidikan Indonesia dalam Perspektif Global
No Aspek Mutu/Kualitas
1. Kemampuan siswa SD di bidang IPA Ranking 32 dari 38 negara versi
TIMSS
2. Kemampuan siswa SLTP di bidang
matematika
Ranking 34 dari 38 negara versi
TIMSS
3. Kemampuan membaca Rangking 57 dari 65 negara versi
PISA
4. IPM/IHD Rangking 124 versi UNDP
5. Indeks pembangunan pendidikan Rangking 69 dari 127 negara versi
UNESCO
6. Daya saing bangsa Indonesia Rangking 46 versi World Economic
Forum; ranking 37 versi IMD
Data diolah dari berbagai sumber.
Berdasarkan data-data tersebut, diperlukan peningkatan kualitas
pendidikan bangsa Indonesia. Pendidikan dasar sebagai pendidikan yang
diwajibkan bagi setiap warga negara perlu diperluas cakupan hingga pada bentuk
pendidikan sekolah menengah atas/kejuruan. Sebab itu, kebutuhan pendidikan
dasar 12 tahun diperlukan bangsa Indonesia untuk meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia dan meningkatkan batas minimal pendidikan setiap warga
negara.
67 TIMSS 2007 International Science Report: Findings from IEA’s Trends in International Mathematics and Science Study at the Fourth and Eighth Grades. http://timss.bc.edu/TIMSS2007/sciencereport.html. 68 Nusa Putra, Peningkatan Mutu...hh. 32-33.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES | 27
Pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar diharapkan dapar
meningkatkan standar kompetensi bangsa Indonesia. Kompetensi lulusan
sekolah menengah atas berdasarkan Perpres No. 8 tahun 2012 yakni pada
level 2. Capaian lulusan pendidikan sekolah menengah atas dengan standar
kompetensi lulusan:
1) Mampu melaksanakan satu tugas spesifik, dengan menggunakan alat, dan
informasi, dan prosedur kerja yang lazim dilakukan, serta menunjukkan
kinerja dengan mutu yang terukur, dibawah pengawasan langsung
atasannya.
2) Memiliki pengetahuan operasional dasar dan pengetahuan faktual bidang
kerja yang spesifik, sehingga mampu memilih pemecahan yang tersedia
terhadap masalah yang lazim timbul.
3) Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung
jawab membimbing orang lain.
Pencapaian kompetensi berdasarkan level KKNI tersebut akan
meningkatkan kemampuan kompetisi lulusan pendidikan 12 tahun secara
global. Hal itu disebabkan, standarisasi KKNI secara komprehenship mengacu
pada standar internasional. Menurut UNESCO bahwa negara yang memiliki
SDM dengan pendidikan minimal SMU (17/18 tahun) dapat dikategorikan
sebagai negara yang berkualitas baik menurut kategori pendidikan.
D. Pertimbangan Anggaran Pendidikan Kebutuhan Pendidikan 12 tahun
Pelaksanaan program wajib belajar membebankan pada negara
(pemerintah) untuk menyediakan anggaran penyelenggaraan program.
Deklarasi PBB tentang Hak Atas Pembangunan yang diadopsi pada Sidang
Umum PBB (1986) menekankan kewajiban negara dalam mempersiapkan
wajib belajar pendidikan dasar dengan memperhatikan hal-hal, yaitu: 1)
ketersediaan (appealability) sarana seperti gedung sekolah dan tempat
pelaksanaan wajib belajar lainnya, 2) keterjangkauan (accessability) sarana
pelaksanaan wajib belajar, 3) penerimaan (acceptability) rakyat terhadap
sarana lembaga pendidikan, 4) kesesuaian (adaptability) lembaga pendidikan
dengan kebutuhan lingkungan.69
UUD 1945, menentapkan bahwa prioritas besaran anggaran pendidikan
sebesar 20% dari APBN/APBD. Ditegaskan, “Negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran dan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”70 Alokasi
anggaran pendidikan dirumuskan dalam UU Sisdiknas dengan merujuk pada
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-VI I 2008, bahwa dana
69 H.A.R.Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 165. 70 UUD 1945, pasal 31 ayat 4.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
28 | New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES
pendidikan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Besaran alokasi dana pendidikan dalam APBN dan APBD minimal 20%
dengan jumlah variatif. Pada APBN-P tahun 2010, alokasi anggaran untuk
fungsi pendidikan sebesar Rp 225 triliun, naik menjadi Rp 249 triliun (2011),
dan Rp 229 triliun (2012). Pada tahun 2014, jumlah alokasi dana pendidikan
sebesar Rp 368,899 triliun. Anggaran tersebut terdiri dari anggaran pendidikan
pusat sebesar Rp 130,279 triliun dan anggaran pendidikan di daerah (melalui
transfer daerah) sebesar Rp 236,619 triliun.
Jumlah alokasi anggaran sebesar 20% dari APBN jika dihitung
berdasarkan tingkat Product Domestic Bruto (PDB) atau pendapatan kotor
dalam negeri negara Indonesia kurang dari 6 persen. UNESCO
merekomendasikan besar anggaran pendidikan di setiap negara minimal
sebesar 6 persen dari PDB.71 Menurut Ghozali, alokasi anggaran pendidikan
sebesar 20% APBN hanya mencapai 3,2-3,7 persen dari PDB.72
Biaya pendidikan berdasarkan PP tentang Pendanaan Pendidikan,
terdiri dari: a) biaya satuan pendidikan; b) biaya penyelenggaraan dan/atau
pengelolaan pendidikan; dan c) biaya pribadi peserta didik.73 Besar biaya
satuan di satuan pendidikan berdasarkan SPM, untuk SD/MI sebesar Rp
4.057.104, SMP/MTs Rp 6.249.393, SMA Rp 8.710.662, dan SMK Rp
12.253.769. Jika dilihat berdasarkan biaya satuan faktual 2011, besaran biaya
pendidikan SD/MI sebesar Rp 3.216.725, SMP/MTs Rp 4.781.944, SMA Rp
6.233.267, dan SMK Rp 8.174.692.74
Berdasarkan biaya satuan tersebut, penyelenggaraan pendidikan 12
tahun membutuhkan dana sekitar Rp286,971 triliun untuk memenuhi
kebutuhan 26.508.500 siswa SD, 12.672.700 siswa SMP75, 4.235.774 siswa
SMA, 4.157.682 siswa SMK, 7.110 siswa SMLB, dan 1.414.554 MA.
Rincian anggaran untuk memenuhi kebutuhan pendidikan 12 tahun
dihitung berdasarkan satuan biaya (SPM) di satuan pendidikan tertera pada
tabel 5 berikut ini:
71 Abbas Ghozali, “Strategi Pembiayaan dan Pendanaan Pendidikan di Indonesia,” bahan ini disampaikan dalam Semiloka Sektor Review tentang “Standar Biaya Minimum Pendidikan Siswa: Kebijakan, Anggaran, dan Mutu Pendidikan” yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (di Bogor, 14 dan 15 Desember 2011), h. 35. 72 Ibid., h. 17. 73 PP No. 48 Tahun 2008, pasal 3 ayat 1. 74 Abbas Gozali, “Strategi...,”, h. 6. 75 Kemendikbud, Indonesia Educational Statistics in Brief 2011/2012 (Jakarta: Pusat Data Statistik Pendidikan, 2012), h. 2.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES | 29
Tabel 5
Perhitungan Biaya Satuan Pendidikan Berdasarkan Tingkat Satuan Pendidikan
No Satuan
Pendidikan
Jumlah
Siswa
Biaya Satuan
(SPM)
Jumlah
(Rp)
1. SD/MI 26.508.500 4.057.104 107.547.741.384.000
2. SMP/MTs 12.672.700 6.249.393 79.196.682.671.100
3. SMA 4.235.774 8.710.662 36.896.395.622.388
4. SMK 4.157.682 12.253.769 50.947.274.803.458
5. SMLB 7.110 8.710.662 61.932.806.820
6. MA 1.414.554 8.710.662 12.321.701.774.748
48.996.320 286.971.729.062.514
Alokasi dana pendidikan tahun 2014 yang dialokasi untuk pusat sebesar
130,279 triliun. Jumlah dana yang tersedia termasuk untuk alokasi anggaran
pendidikan tinggi yang berjumlah 39,8 triliun. Bila asumsi rata-rata inflasi
gabungan 3,65 persen, dana yang diperlukan penyelenggaraan pendidikan 12
tahun sebesar Rp297.446.197.173.296,00. Jumlah keseluruhan dana pendidikan
untuk tingkat dikdasmen dan dikti berjumlah Rp337.246.197.173.296,00. Dengan
demikian, dari aspek penganggaran kebutuhan pendidikan 12 tahun sebagai
wajib belajar dapat terpenuhi dari alokasi anggaran APBN sebesar 20%.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
30 | New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES
B A B - V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hasil studi terhadap kebutuhan pendidikan 12 tahun, dapat menyimpulkan
hal-hal berikut:
1. Pendidikan pada hakikatnya merupakan hak asasi setiap warga negara yang
memerlukan jaminan secara luas berdasarkan UUD 1945/konstitusi dan
sumber hukum internasional. Pada saat yang sama, setiap warga negara
berkewajiban untuk mengikuti pendidikan dasar.
2. Pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar (compulsory) yang
diselenggarakan secara gratis (free) dan universal dari pertimbangan
konstitusional belum memiliki payung hukum, untuk itu diperlukan langkah
konstitusional berupa judicial review atau amandemen UU Sisdiknas.
3. Pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar dari pertimbagan sosial
kultural diperlukan untuk mengatasi tinggi angka putus sekolah, menekan laju
pertumbuhan pekerja anak, dan memfasilitasi anak-anak dari keluarga miskin
untuk bersekolah serta menyiapkan sumberdaya manusia yang kompetitif di
dunia internasional.
4. Pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar dari pertimbagan mutu
pendidikan diperlukan untuk meningkatkan sumberdaya manusia Indonesia
yang berkualitas sehingga mampu bersaing dengan negara-negara lain.
5. Alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD cukup untuk
meng-cover kebutuhan anggaran pendidikan 12 tahun. Besar anggaran Rp
368,899 triliun pada tahun 2014 dapat menutupi anggaran pendidikan 12
tahun sekitar Rp284.674.753.283.769,00.
B. Rekomendasi
1. Rekomendasi untuk NEW, diusulkan untuk menempuh upaya konstitusional
judicial review terhadap pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas yang bertentang
dengan pemenuhan hak-hak untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan
batasan usia anak.
2. Rekomendasi untuk pemerintah sebagai berikut:
a) Diusulkan agar sejumlah pasal UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional disempurnakan untuk memberikan payung hukum
pemenuhan kebutuhan pendidikan 12 tahun sebagai program wajib
belajar.
b) Diusulkan agar anggaran pendidikan terus ditingkatkan dan mengacu
pada rekomendasi UNESCO yaitu minimal 6% dari PDB supaya
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES | 31
memenuhi prinsip kecukupan dan keberlanjutan seperti yang diamanatkan
dalam peraturan perundang-undangan.
c) Anggaran pendidikan harus dapat mendanai seluruh biaya pendidikan 12
tahun di satuan pendidikan baik di sekolah dasar, sekolah menengah
pertama, maupun sekolah menengah atas/kejuruan yang diselenggarakan
pemerintah maupun yang diselenggarakan masyarakat, sehingga peserta
didik tidak dipungut biaya.
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
32 | New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1997.
“Dari 1.000.000 Anak SD: Hanya 69 Siswa yang Sampai ke Perguruan Tinggi.”
http://edukasi.kompasiana.com/2013/10/21/dari-1000000-anak-sd-hanya-69-
siswa-yang-sampai-ke-perguruan-tinggi-602587.html (Diakses pada 29 Maret
2014 pukul 16.52).
Desmita. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja Rosdakarya.
2010.
Dewey, John. Pengalaman dan Pendidikan. Yogyakarta: Kepel Press. 2002.
Fatah, Nanang. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya. 2006.
“Gerakan Koin Banyumas Buat Anak Putus Sekolah.”
http://www.tempo.co/read/news/2011/10/12/177361112/Gerakan-Koin-
Banyumas-Buat-Anak-Putus-Sekolah. (Diakses pada 29 Mret 2014, pukul
17.04).
Ghozali, Abbas. “Strategi Pembiayaan dan Pendanaan Pendidikan di Indonesia.”
Semiloka Sektor Review tentang “Standar Biaya Minimum Pendidikan Siswa:
Kebijakan, Anggaran, dan Mutu Pendidikan” yang diselenggarakan oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan di Bogor, 14 dan 15 Desember 2011.
“ILO: Jumlah global pekerja anak menurun sepertiganya sejak tahun
2000.”http://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/WCMS_222023/lang--
en/index.htm (diakses pada 29/03/2014 pukul 22.55).
KBBI Pusat Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2008.
Kemendikbud. Indonesia Educational Statistics in Brief 2011/2012. Jakarta: Pusat
Data Statistik Pendidikan. 2012.
Konvensi Hak-Hak Anak PBB tahun 1989.
Moleong, J. Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda. 2009
“Muhaimin: Jumlah Pekerja Anak RI Capai 4 Juta Orang.”
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/06/05/mnwsld-muhaimin-
jumlah-pekerja-anak-ri-capai-4-juta-orang. (Diakses pada 29/03/2014 pukul
17.33).
Natsir, Moh. Metodologi Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. 2002.
“Pekerja Anak Paling Banyak di Papua.”
http://www.tempo.co/read/news/2013/07/18/173497715/Pekerja-Anak-Paling-
Banyak-di-Papua. (Diakses pada 29/03/2014 pukul 22.51).
LAPORAN | STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
New Indonesia - Bina Swadaya Konsultan - LP3ES | 33
PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Putra, Nusa. Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar. Jakarta: Balitbang Kemendikbud.
2012.
Reimer, Everet. Matinya Sekolah. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia. 2000.
Santrock, John W. Remaja .Jakarta: Erlangga. 2007.
Satori, Djaman. Metodologi Peneliian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. 2010
Slavin. Psikologi Pendidikan (Terjemahan). Jakarta: Indeks. 2008
“Si Miskin Tidak Dilarang Sekolah...”
http://lipsus.kompas.com/kemdikbud/read/2013/10/16/1236445/Si.Miskin.Tida
k.Dilarang.Sekolah. (Diakses pada 29/03/2014 pukul 23.03).
Supriadi, Dedi. Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah. Bandung: Remaja
Rosdakarya. 2006.
Suryadi, Ace. Mewujudkan Masyarakat Pembelajar (Konsep, Kebijakan,
Implementasi). Jakarta: Dirjen Pendidikan Non Formal dan Informal
Departemen Pendidikan Nasional. 2007.
“Tahun ini 1 Juta Anak Indonesia Putus Sekolah.”
http://harianterbit.com/2012/08/02/tahun-ini-1-juta-anak-indonesia-putus-
sekolah/ (diakses pada 29/03/2014 pukul 17.20).
Tilaar, H.A.R. Standarisasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. 2006.
TIMSS 2007 International Mathematics Report: Findings from IEA’s Trends in
International Mathematics and Science Study at the Fourth and Eighth
Grades. http://timss.bc.edu/TIMSS2007/mathreport.html.
TIMSS 2007 International Science Report: Findings from IEA’s Trends in
International Mathematics and Science Study at the Fourth and Eighth
Grades. http://timss.bc.edu/TIMSS2007/sciencereport.html.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
UUD 1945.
United Nations Universal Declaration of Human Right 1948.
Wahyudi, Giat. Sketsa Pemikiran Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Sanggar Filsafat
Indonesia Muda. 2007.
World Declaration on Education For All. 1990.
“12 Juta Anak Indonesia Putus Sekolah.”
http://austinsfoundation.wordpress.com/2013/02/24/12-juta-anak-indonesia-
putus-sekolah/. (Diakses pada 29/03/2014 pukul 17.27).