bilateral undesensus testis

25
UNDESENSUS TESTIS BILATERAL Nor Ain, Rizal Basry, Farid Nur Mantu I. PENDAHULUAN Undesensus testis (UDT) merupakan suatu kondisi medis yang ditandai dengan tidak adanya testis didalam skrotum sewaktu persalinan bayi laki-laki. UDT juga disebut sebagai cryptorchidism, merupakan kelainan bawaan genitalia yang paling sering ditemukan. Sekitar 10% dari kasus UDT adalah bilateral, sedangkan selebihnya adalah unilateral. (1) Normalnya testis terbentuk pada rongga perut bayi dan turun ke dalam skrotum seiring dengan pertumbuhan bayi di dalam kandungan ibu. Testis biasanya turun secara lengkap pada usia 8 bulan kehamilan. Namun pada kasus undesensus, testis tidak turun sepenuhnya hingga ke ruang skrotum. Penanganan dapat dilakukan secara terapi hormonal atau terapi bedah untuk mengoreksi posisi abnormal dari undesensus testis. Komplikasi yang bisa timbul akibat keterlambatan terapi antaranya adalah infertilitas dan timbulnya keganasan. (1) 1

Upload: aienx-zali

Post on 11-Dec-2014

348 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

UDT bilateral

TRANSCRIPT

Page 1: Bilateral Undesensus Testis

UNDESENSUS TESTIS BILATERAL

Nor Ain, Rizal Basry, Farid Nur Mantu

I. PENDAHULUAN

Undesensus testis (UDT) merupakan suatu kondisi medis yang ditandai dengan

tidak adanya testis didalam skrotum sewaktu persalinan bayi laki-laki. UDT juga

disebut sebagai cryptorchidism, merupakan kelainan bawaan genitalia yang paling

sering ditemukan. Sekitar 10% dari kasus UDT adalah bilateral, sedangkan

selebihnya adalah unilateral.(1)

Normalnya testis terbentuk pada rongga perut bayi dan turun ke dalam skrotum

seiring dengan pertumbuhan bayi di dalam kandungan ibu. Testis biasanya turun

secara lengkap pada usia 8 bulan kehamilan. Namun pada kasus undesensus, testis

tidak turun sepenuhnya hingga ke ruang skrotum. Penanganan dapat dilakukan secara

terapi hormonal atau terapi bedah untuk mengoreksi posisi abnormal dari undesensus

testis. Komplikasi yang bisa timbul akibat keterlambatan terapi antaranya adalah

infertilitas dan timbulnya keganasan.(1)

John Hunter memulakan studi tentang desensus testis fetal pada tahun 1762 dan

menemukan tentang posisi testis di abdominal dan juga suplai neurovaskuler serta

muskulus kremaster. Hunter turut mengemukakan tentang fungsi dari gubernakulum

yang berperan dalam proses penurunan testis. Pada tahun 1820, operasi orchidopexy

pertama kali dilakukan oleh J.F Rosenmerkel namun tidak berhasil karena terjadi

komplikasi infeksi peritonitis setelah operasi. Pada tahun 1877, Tommy Anandale

berhasil melakukan orchidopexy tanpa ada komplikasi yang berakibat fatal.(1,2)

1

Page 2: Bilateral Undesensus Testis

II. EPIDEMIOLOGI

Secara keseluruhannya, 3% bayi laki-laki yang lahir cukup bulan mengalami

undesensus testis, dan angka ini turun menjadi 1% pada bayi laki-laki dengan usia 6

bulan hingga 1 tahun. Prevalensi undesensus testis pada bayi laki-laki yang prematur

adalah sebanyak 30%. Jarang terjadi penurunan testis secara spontan setelah umur

anak diatas 1 tahun. Undesensus testis diidentifikasi sebanyak 1,5% hingga 4% pada

ayah dan 6,2% pada saudara laki-laki penderita dengan kondisi medis ini.(1)

III. ANATOMI

Gambar 1: Anatomi skrotum, testis dan struktur sekitar.

2

Page 3: Bilateral Undesensus Testis

Gambar 2: Anatomi testis, epididimis, duktus deferens serta vaskularisasi pada testis.

Testis merupakan gonad laki-laki yang dapat memproduksi sperma dan hormon

testosterone. Testis berada dalam skrotum dan digantung oleh spermatic cord.

Permukaan testis dilapisi oleh lapisan visceral tunika vaginalis. Testis mempunyai

lapisan luar berupa fibrosa yang kuat, yang disebut tunika albuginea. Tunika

albuginea akan menebal membentuk mediastinum testis dan akan memanjang

membentuk septa. Septa membatasi lobula yang berada di dalam testis. Testis dibagi

menjadi 200 hingga 300 lobulus yang masing-masing lobulus berisi 1 hingga 3 tubula

seminiferous. Bagian posterior tubula terhubung dengan pleksus yang masuk ke

dalam rete testis yang kemudian akan penetrasi kedalam tunika albuginea di bagian

atas testis. Caput epididymis dibentuk oleh duktus deferens yang berfungsi untuk

membentuk satu tuba yang membentuk kaudal dan korpus dari epididimis.(3,4)

3

Page 4: Bilateral Undesensus Testis

Epididimis merupakan struktur perpanjangan dari bagian posterior testis. Duktus

eferen memindahkan sperma menuju ke epididimis. Epididimis berfungsi sebagai

tempat pematangan penyimpanan dan sekresi.(3,4)

Duktus deferens merupakan perpanjangan saluran epididimis yang mempunyai

dinding otot yang tebal dengan lumen yang halus sehingga membentuk satu struktur

yang kuat. Duktus deferens merupakan komponen utama dari spermatic cord yang

masuk ke dinding anterior abdomen melalui inguinal canal dan berakhir dengan

menyatu dengan duktus vesika seminalis untuk membentuk duktus ejakulatori.(3,4)

Testis menerima darah dari arteri testikular yang berasal dari aorta abdominal,

berjalan secara retroperitoneal, melewati ureter dan bagian inferior dari arteri iliaca

eksterna untuk masuk ke dalam kanalis inguinalis dan menjadi satu komponen

daripada spermatic cord. Arteri testikular beranastomosis dengan arteri duktus

deferens. Pembuluh darah vena yang meninggalkan testis dan epididimis membentuk

pleksus pampiniformis yang terletak anterior dari duktus deferens dan mengelilingi

arteri testikular. Vena testikular kanan mengalirkan darah ke vena kava inferior,

sedangkan vena testikular kiri ke vena renalis kiri.(3,4)

Aliran limfatik testis mengikuti pembuluh darah di spermatic cord menuju ke

nodus para-aorta. Testis dipersarafi oleh serabut saraf dari pleksus nervus testikularis

yang dibentuk oleh vagus parasimpatetik dan serabut aferen visceral dari segmen

thorakal T7 korda spinalis.(3,4)

IV. EMBRIOLOGI

Pada minggu ke-6 usia gestasi, primordial germ cells mengalami migrasi dari

yolk sac ke genital ridge. Dengan adanya gen sex determining region Y (SRY), maka

genital ridge akan berkembang menjadi testis pada minggu ke-7. Testis yang berisi

prekursor sel-sel Sertoli dengan stimulasi FSH yang dihasilkan di kelenjar hipofise

4

Page 5: Bilateral Undesensus Testis

mulai berfungsi dengan aktif sejak minggu ke-8 kehamilan dengan mengeluarkan

Mullerian Inhibiting Factor (MIF). MIF menyebabkan involusi ipsilateral dari duktus

Mullerian. MIF turut meningkatkan reseptor androgen pada membran sel Leydig.

Pada minggu ke-10 hingga minggu ke-11 kehamilan, sel-sel Leydig akan mensekresi

testosteron akibat stimulasi dari chorionic gonadotropin yang dihasilkan plasenta dan

hormone luteinizing yang disekresi oleh kelenjar hipofise. Testosteron sangat esensial

dalam proses diferensiasi duktus Wolfian menjadi epididimis, duktus deferens dan

vesika seminalis. (5,6)

Gambar 3: Penurunan testis mulai dari usia 8 minggu kehamilan hingga bulan ke-8

kehamilan.

5

Page 6: Bilateral Undesensus Testis

Penurunan testis terjadi mulai minggu ke-10. Mekanisme penurunan testis masih

belum diketahui dengan pasti namun terdapat beberapa faktor yang berperan penting,

yaitu faktor endokrin, mekanik dan neural. Desensus testis terjadi dalam 2 fase yaitu

fase transabdominal dan fase inguinoskrotal. (5,6)

Gambar 4: Proses penurunan testis pada fase transabdominal dan fase inguinoscrotal

Fase transabdominal terjadi antara minggu ke-8 dan ke-15 kehamilan, di mana

testis mengalami penurunan dari urogenital ridge ke regio inguinal. Hal ini terjadi

karena adanya regresi ligamentum suspensorium kranialis dibawah pengaruh

androgen disertai pemendekan gubernakulum di bawah pengaruh MIF. Dengan

perkembangan yang cepat dari regio abdominopelvic maka testis akan terbawa turun

ke daerah inguinal anterior. Pada bulan ke-3 kehamilan, terbentuk processus vaginalis

6

Page 7: Bilateral Undesensus Testis

yang secara bertahap berkembang ke arah skrotum. Selanjutnya fase ini akan

menjadi tidak aktif sampai bulan ke-7 kehamilan. (5,6)

Fase inguinoskrotal terjadi mulai minggu ke-25 hingga minggu ke-35 kehamilan.

Testis mengalami penurunan dari regio inguinal ke dalam skrotum dibawah pengaruh

hormon androgen. Mekanisme yang pasti masih belum diketahui namun diduga

melalui mediasi pengeluaran calcitonin gene-related peptide (CGRP). Androgen akan

merangsang nervus genitofemoral untuk mengeluarkan CGRP yang menyebabkan

kontraksi ritmis dari gubernakulum. Faktor mekanik yang turut berperan adalah

tekanan abdominal yang meningkat yang menyebabkan keluarnya testis dari kavum

abdomen, disamping tekanan abdomen akan menyebabkan terbentuknya ujung dari

processus vaginalis melalui canalis inguinalis menuju skrotum. Proses penurunan

testis ini bisa berlangsung sampai bayi berusia 9 hingga 12 bulan. (5,6)

V. ETIOGENESIS

Penyebab pasti bagi undesensus testis masih belum diketahui dengan jelas.

Namun terdapat beberapa hal yang berhubungan dengan kondisi ini, antaranya adalah

prematuritas, bayi lahir dengan berat badan yang rendah, berat janin dibawah umur

kehamilan, kelahiran kembar dan ibu-ibu yang terpapar dengan estrogen sepanjang

trimester pertama kehamilan.(1)

Beberapa hal yang dianggap menyebabkan undesensus testis adalah kelainan

aksis hipotalamus-hipofise-testis. Hipotalamus menghasilkan GnRH, hipofise

menghasilkan FSH dan LH sedangkan testis terdiri dari sel Sertoli yang

menghasilkan MIF dan sel Leydig yang menghasilkan hormon testosteron dan

hormon Insulin-like 3 (INSL3). Desensus testis dikatakan tidak terjadi pada mamalia

yang diangkat hipofisenya, dan ini menandakan bahwa kekurangan FSH dan LH

dapat menjadi penyebab kepada terjadinya undesensus testis. Pemberian hormon

7

Page 8: Bilateral Undesensus Testis

gonadotropin pada pengobatan undesensus testis ternyata efektif maka dianggap

bahwa undesensus testis juga disebabkan defisiensi sekresi gonadotropin. Hormon

INSL3 berperan dalam pertumbuhan gubernakulum dan desensus testis pada fase

transabdominal, maka kekurangan hormon ini dikatakan menyebabkan undesensus

testis. Demikian juga halnya pada kasus dengan kekurangan hormon testosteron dan

MIF. (1,5)

Undesensus testis dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor mekanik. Kondisi

medis yang berhubungan dengan penurunan tekanan intraabdominal seperti prune

belly syndrome, cloacal exstrophy dan omphalocele meningkatkan resiko terjadinya

undesensus testis. Efek dari penurunan tekanan intraabdominal ini lebih signifikan

pada fase inguinoskrotal berbanding fase intraabdominal.(1,5)

VI. KLASIFIKASI

Gambar 5: Posisi testis yang abnormal pada kasus undesensus testis.

Undesensus testis diklasifikasikan menjadi testis teraba dan testis tidak teraba.

Testis teraba terdiri dari testis retraktil, testis ektopik dan murni undesensus testis,

8

Page 9: Bilateral Undesensus Testis

sedangkan testis yang tidak teraba diklasifikasikan menjadi testis intraabdominal dan

kanalikular. Kebanyakan UDT adalah inguinal (63%) diikuti prescrotal (24%),

ektopik (12%) dan intraabdominal (8%).(1)

Testis ektopik merupakan penyimpangan turunnya testis dari saluran yang

normal, tidak melalui cincin inguinalis eksterna dan tidak berhubungan dengan

kerusakan testis atau transformasi keganasan. Umumnya yang menjadi tempat dari

testis ektopik adalah bagian luar dari kantong inguinal, pada perineum, kanalis

femoralis, daerah suprapubik dan kontralateral dari skrotum. Testis retraktil

merupakan bentuk lain dari penurunan testis ke dalam skrotum di mana aktifnya

reflex otot kremaster menyebabkan testis tertarik ke pangkal paha. Testis retraktil

biasanya bilateral dan sering ditemukan pada anak usia 2 hingga 6 tahun. (1,5,7)

Dari testis yang tidak teraba, 50%-60% kasus testisnya masih utuh dan berada

pada posisi intraabdominal atau inguinal, dan 20% kasus lainnya adalah anorchia. (1,5,7)

Gambaran Undescended testis Testis ektopik Testis retraktil

Abnormalitas Tidak turun Deviasi dari normal Refleks kremaster meningkat

Histologi testis Testis disgenesis Testis normal Testis normal

Skrotum Perkembangan kurang baik

Perkembangan normal

Perkembangan normal

Spermatic cord Panjang Panjang Normal

Hernia Sering Jarang Normal

Komplikasi Keganasan, infertilitas Trauma Jarang

Tabel 1: Perbandingan antara undesensus testis, testis ektopik, testis retraktil.

9

Page 10: Bilateral Undesensus Testis

VII. DIAGNOSIS

a. Anamnesis

Pada anamnesis, harus ditanyakan tentang status kelahiran penderita, apakah lahir

cukup bulan atau prematur, penggunaan obat-obatan saat ibu sedang hamil, dan juga

riwayat operasi inguinal. Harus dipastikan apakah sebelumnya testis penderita pernah

teraba di skrotum pada saat lahir atau tahun pertama kehidupan. Juga ditanyakan

tentang riwayat keluarga tentang penyakit yang sama, infertilitas dalam keluarga, dan

kelainan bawaan genitalia. (1,8,9)

b. Pemeriksaan Fisis

Pemeriksaan dilakukan dengan mencari adanya tanda-tanda sindrom tertentu,

dismorfik, hipospadia atau genitalia ambigua. Pemeriksaan testis dilakukan pada

posisi terlentang dengan frog leg position. Pemeriksaan palpasi dimulai dari bagian

SIAS menyusuri kanalis inguinalis ke arah medial dan skrotum. Jika teraba testis,

harus dicoba untuk diarahkan ke skrotum, dan terkadang testis dapat didorong ke

dalam skrotum dengan cara ini. Dengan mempertahankan posisi testis dalam skrotum

selama 1 menit, otot-otot cremaster diharapkan akan mengalami fatigue. Sekiranya

testis dapat bertahan di dalam skrotum, ini menunjukkan testis bersifat retractile,

sedangkan pada undesensus testis, testis akan kembali ke posisi asal setelah testis

dilepaskan.(1,8,9)

10

Page 11: Bilateral Undesensus Testis

Gambar 6: Teknik pemeriksaan testis. A: Menyusuri kanalis inguinalis dimulai dari

SIAS. B & C: Jika teraba testis, diarahkan ke arah skrotum dengan ujung jari. D:

Memanipulasi ke dalam skrotum.

c. Pemeriksaan Laboratorium

Pada undesensus testis bilateral yang tidak teraba, kemungkinan disertai dengan

hipospadia sehingga diperlukan pemeriksaan analisis kromosom dan hormonal untuk

menyingkirkan kemungkinan intersex. Pada penderita undesensus testis bilateral

dengan usia kurang dari 3 bulan dan testis tidak teraba, pemeriksaan LH, FSH dan

testosteron diperlukan untuk menentukan apakah terdapat testis atau tidak. Bila umur

telah mencapai di atas 3 bulan, pemeriksaan hormonal tersebut harus dilakukan

dengan melakukan tes stimulasi, menggunakan human chorionic gonadotropin

hormone (hCG). Ketiadaan peningkatan kadar testosterone disertai peningkatan

LH/FSH setelah dilakukan stimulasi mengindikasikan anorchia. Prinsip dari stimulasi

test adalah mengukur kadar hormon testosteron pada keadaan basal dan 24 hingga 48

jam setelah stimulasi. (1,8,9)

d. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan penunjang radiologi dilakukan apabila testis tidak teraba atau hasil

pemeriksaan fisis meragukan. Antara modalitas yang bisa digunakan adalah

11

Page 12: Bilateral Undesensus Testis

ultrasonografi (USG). USG pada testis prepubertas akan memberikan gambaran

echogenitas derajat ringan sampai sedang, dan testis dewasa menunjukkan

echogenitas derajat sedang. USG hanya efektif dalam mendeteksi testis yang berada

di kanalis inguinalis, dan tidak dapat mendeteksi testis di intraabdominal. CT scan

pula dapat digunakan untuk mendeteksi testis intraabdominal. (8,10)

e. Laparoskopi

Laparoskopi dapat menjadi modalitas untuk menegakkan diagnosis dan juga

sebagai penatalaksanaan pada kasus undesensus testis. Laparoskopi dapat digunakan

jika testis tidak teraba pada pemeriksaan fisis. Laparoskopi berperan dalam

menentukan ada atau tidaknya testis, lokasi dan juga anatomi testis yang tidak teraba.

Jika testis dapat diidentifikasi saat pemeriksaan laparoskopi, mobilisasi vas

deferens dan spermatic cord dapat langsung dilakukan. Testis akan ditarik turun ke

skrotum melalui insisi kecil pada abdomen dekat pubic tubercle. (8,10)

VIII. PENATALAKSANAAN

Terapi pada kasus undesensus testis dapat berupa terapi non-bedah dan terapi

bedah. Terapi non-bedah terdiri atas terapi hormonal yang berefek terhadap rugositas

skrotum, ukuran testis, vas deferens, memperbaiki suplai darah dan diduga dapat

meningkatkan ukuran dan panjang vasa funikulus spermatikus, serta menimbulkan

efek kontraksi otot polos gubernakulum untuk membantu turunnya testis. Terapi

hormonal dianjurkan pada anak sebelum usia 2 tahun, sebaiknya 10 hingga 24 bulan. (8,10)

12

Page 13: Bilateral Undesensus Testis

Gambar 7: Algoritma penatalaksanaan UDT pada anak.

Hormon yang dapat diberikan adalah hormon hCG. Hormon ini dapat

merangsang sel Leydig untuk memproduksi testosteron. Terdapat banyak protokol

pengobatan dalam administrasi hormon hCG. Antaranya yang digunakan adalah

dengan dosis 1,500 sampai 2500 IU yang diberikan selama 2 kali seminggu selama 4

minggu. (8,10)

Tujuan bagi terapi pembedahan pada kasus undesensus testis adalah

mempertahankan fertilitas, mencegah kemungkinan terjadinya torsio testis,

mengurangi resiko terjadinya maligna, melakukan koreksi hernia yang biasanya

menyertai UDT, dan membantu psikologis pasien supaya tidak ada rasa rendah diri

akibat tidak ada testis. Teknik operasi pada undesensus testis dinamakan orchidopexy,

13

Page 14: Bilateral Undesensus Testis

dengan tujuan untuk mereposisi kembali testis ke dalam skrotum. Operasi ini

sebaiknya dilakukan antara pada pasien dengan usia 1 hingga 2 tahun karena setelah

usia 2 tahun terjadi perubahan bermakna pada histologi testis dan juga pembentukan

sperma. Orchidopexy ini meliputi 3 tahap, yaitu; funikulolisis, transposisi testis ke

dalam skrotum dan fiksasi testis ke dalam skrotum. (11,12)

Funikulolisis adalah pelepasan funikulus spermatikus dari musculus kremaster

dan memungkinkan untuk memperpanjang ukurannya. Vasa testicularis dibebaskan

sejauh mungkin ke ruang retroperitoneal dan dimobilisasi ke medial yang diharapkan

dapat meluruskan dan memperpanjang vasa. Funikulolisis dilakukan dengan cara

insisi tinggi inguinal dan testis diturunkan dengan bantuan tarikan tali benang

transkrotal ke arah paha. (11,12)

Gambar 8: Pasien berada dalam posisi supine dan insisi transversal dilakukan pada

daerah kanalis inguinalis, yaitu sekitar satu jari di atas pubic tubercle.

14

Page 15: Bilateral Undesensus Testis

Gambar 9: Kanalis inguinalis dibuka dengan insisi skalpel pada aponeurosis oblique

externa atau dengan cara membuka external inguinal ring dan membuka aponeurosis

secara lateral. Nervus ilioinguinal diidentifikasi pada permukaan fascia cremaster.

Gambar 10: Spermatic cord dipisahkan dari aponeurosis oblique externa dan testis

dimobilisasi keluar secara blunt dissection.

15

Page 16: Bilateral Undesensus Testis

Gambar 11: Gambaran anatomi dari processus vaginalis, aponeurosis oblique externa,

vas deferens.

Dinding skrotum diregangkan dengan diseksi jari-jari sehingga menciptakan suatu

ruangan. Traksi ditempatkan pada gubernakulum. Testis yang telah bebas dengan

funikulus spermatikus yang cukup panjang akan ditempatkan pada skrotum. (11,12)

Untuk fiksasi testis pada skrotum, benang ditembuskan pada ligamentum pada

bagian bawah testis dengan benang nonabsorbable dan meninggalkan ujung benang

yang panjang. Ruang di dalam skrotum diperlebar dengan 2 jari dan ujung benang

panjang tadi diambil dan dikeluarkan dari skrotum. Kedua ujung benang difiksasi

pada sisi medial paha pasien. (11,12)

16

Page 17: Bilateral Undesensus Testis

Gambar 12: Dinding skrotum diregangkan dengan cara diseksi jari untuk

menciptakan ruangan dalam skrotum. (11,12)

Gambar 13: Fiksasi testis dalam skrotum dengan menggunakan benang yang difiksasi

pada sisi medial esktremitas bawah pasien. (11,12)

17

Page 18: Bilateral Undesensus Testis

IX. PROGNOSIS

Komplikasi yang bisa timbul setelah dilakukan prosedur orchidopexy adalah

kurang dari 5%. Infeksi di tempat luka sering terjadi pada bayi akibat dari

kontaminasi eksternal pada luka. Prognosis untuk fertilitas masih belum diketahui

dengan pasti. (1,11)

Laki – laki dengan undesensus testis bilateral mempunyai resiko 6 kali lipat lebih

tinggi untuk mengalami infertilitas dibandingkan dengan kasus unilateral. Pada laki –

laki dengan undesensus testis bilateral yang tidak ditangani, sekitar 98% mengalami

azoospermia. Resiko azoospermia menurun hingga 32% pada pasien yang ditangani

dengan pengobatan, dan 46% pada pasien yang dilakukan prosedur orchidopexy.(13)

Penurunan jumlah sel germinal dimulai pada usia 6 bulan dan ini tergantung pada

posisi testis. Secara umum, semakin tinggi posisi testis pada saat diterapi, semakin

sedikit jumlah sel germinal.(13)

Hadziselimovic dkk menemukan pada pasien yang dilakukan orchidopexy

sebelum usia 6 bulan, hampir 35% pasien laki-laki akan menjadi infertile, meskipun

jumlah sel germinal pada saat dilakukan operasi adalah normal.(13)

18