bidang ilmu hukum penelitian pertanggungjawabab …
TRANSCRIPT
0
Bidang Ilmu Hukum
Penelitian
PERTANGGUNGJAWABAB PENYALAH GUNAAN
BAHAN-BAHAN KIMIA DALAM
SUATU TINDAK PIDANA
Peneliti :
I GUSTI NGURAH PARWATA SH MH
19561224 198603 1005
PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
KATA PENGANTAR
Om Swastiastu
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa atas
asung nugrahanya penulis dapat menyelesaikan penelitiani ini dengan judul :
“PERTANGGUNGJAWABAN PENYALAHGUNAAN BAHAN-BAHAN
KIMIA DALAM SUATU TINDAK PIDANA”. Penelitan ini merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai rangkaian Tri Dharma Perguruan
Tingi di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Dalam penelitian ini telah banyak mendapatkan bimbingan dan dukungan dari
berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan
rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu
penulis secara langsung maupun tidak langsung dalam memberi dorongan,
motivasi, bantuan dan fasilitas. Adapun pihak-pihak yang telah membantu penulis
dalam hal penulisan ini adalah, yang terhormat :
1. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH. selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Udayana
2. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Dharmajaya, SH., MH. selaku Ketua Bagian
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Semoga semua budi baik beserta bantuan semua teman sejawat mendapatkan
imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa. Karena terbatasnya kemampuan peneliti,
maka penelitian ini jauh dari sempurna, sehingga peneliti sangat mengharapkan
adanya kritik dan saran yang sifatnya membangun dari berbagai pihak demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, Peneliti berharap peneliti ini dapat
bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.
Om Shanti, Shanti, Shanti Om
Denpasar, 15 Agustus 2016
Peneliti
HALAMAN PENGESAHAN
1) Judul Penelitian : Pertanggungjawaban Penyalahgunaan Bahan-
Bahan Kimia Dalam Suatu Tindak Pidana.
2) Ketua Peneliti : a. Nama Lengkap : I Gusti Ngurah Parwata SH.MH b. Jenis Kelamin : Laki c. NIP : 19561224 198603 1.005 d. Jabatan Struktural : - e. Jabatan Fungsional : peñata f. Bidang Keahlian : Hukum Pidana g. Fakultas/Jurusan : Hukum / Hukum Pidana h. Perguruan Tinggi : Universitas Udayana i. Tim Peneliti : I Gst Ngr Parwata SH MH
3) Pendanaan dan Jangka waktu Penelitian
a. Jangka waktu penelitian yang diusulkan : 6 (enam) Bulan
b. Biaya total yang diusulkan : Mandiri
c. Biaya yang disetujui :-
Mengetahui :
Ketua urusan Kepala Bagian Ilmu Hukum
Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, SH.MH NIP. 19530401 198003 I 001
ABSTRAK
Pada dasarnya Bahan-bahan Kimia Berbahaya sangat diperlukan oleh
manusia dalam bidang-bidang tertentu, bahkan seluruh kehidupan manusia pada
umumnya dapat dikatakan akan selalu berdampingan dan bersentuhan dengan
keberadaan bahan-bahan kimia tersebut. Dengan sifatnya yang berbahaya, oleh
oknum-oknum tertentu banyak disalahgunakan sebagai sarana untuk memuluskan
aksi dalam suatu tindak pidana. Maka dari itu, dalam penelitian ini permasalahan
yang diangkat adalah bagaimanakah sesungguhnya pengaturan bahan-bahan kimia
berbahaya dalam hukum positif Indonesia dan bagaimana pertanggungjawaban
pidana jika pelaku tindak pidana terbukti menyalahgunakan bahan-bahan kimia
berbahaya. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaturan
bahan-bahan kimia berbahaya dalam Hukum Positif Indonesia dan sekaligus
menganalisis bahan-bahan Kimia Berbahaya dalam Undang-Undang No. 9 Tahun
2008.
Adapun metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah
metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif ini digunakan
karena mengingat terjadinya kekosongan norma disaat timbulnya suatu
permasalahan hukum yang susah untuk dicarikan jalan keluarnya. Dalam hal ini
belum terdapatnya suatu aturan yang memuat ancaman pidana bagi orang yang
menyalahgunakan bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu tindak pidana.
Sampai saat ini keberadaan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya diatur dalam
berbagai Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Namun yang hanya secara
spesifik mengatur mengenai penggunaan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya adalah
Undang-Undang No. 9 Tahun 2008. Dalam Undang-undang No. 9 Tahun 2008
menjelaskan bahwa dalam hal-hal tertentu Bahan-Bahan Kimia Berbahaya hanya
boleh dapat dipergunakan, seperti keperluan pendidikan dan kesehatan. Namun
selebihnya tidak memuat ancaman pidana bagi orang atau korporasi yang
menggunakan atau menyalahgunakan diluar keperluan yang telah ditentukan oleh
undang-undang ini. Oleh sebabnya sangat dibutuhkan suatu peraturan pelaksana
yang diharapkan dapat memback-up Undang-undang dalam hal pemberian izin
menggunakan dan ancaman pidana bagi setiap orang yang menyalahgunakan
Bahan-Bahan Kimia Berbahaya.
Kata Kunci : Penyalahgunaan, Bahan-Bahan Kimia, Pertanggungjawaban Pidana
ABSTRACT
Basically Hazardous Chemical Substances needed by humans in certain
fields, even the whole of human life in general can be said to be always adjacent
to and in touch with the presence of these chemicals. By its hazardous nature,
some persons widely abused as a means to smooth out the action in a criminal
act. Therefore, in this study the issue raised is how the actual setting of hazardous
chemicals in the regulation of Indonesia and how the criminal responsibility
works if the person evidently abuses the hazardous chemicals. This study aimed to
find out the setting of hazardous chemicals in Indonesia and the Positive Law as
well as analyzing the materials of Hazardous Chemicals in the Act No. 9, 2008.
The research methods used in this study is a normative legal research.
Normative legal research is used as a vacuum in the norm when considering the
emergence of a legal problem that is difficult to find a way out. In this case, it is
not the presence of a rule that contains the punishment for those who abuse
hazardous chemicals in a criminal act.
Until now the existence of Hazardous Chemicals is arranged in a variety
of legislation in Indonesia. But the regulation in the use of Hazardous Chemicals
specifically arranged in the Act No. 9, 2008. It explains that Hazardous Materials
may only be used in the particular occasions such as for education and health.
But for the rest, it does not contain the punishment for people or corporations that
use or abuse beyond the purposes that stipulated by this act. That is why an
implementing regulation is needed which expected to back up the Act for licensing
use and the punishment for any person who abuses the Hazardous Chemicals.
Keywords : Abuse, Hazardous Chemicals, Criminal Responsibility
DAFTAR ISI
Kulit
Coper tengah
Halaman Pengesahan
Daftar Isi
Ringkasan
Judul Penelitian
Daftar Isi
BAB I : PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
2. Rumusan Masalah
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
BAB III : TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian :
a. Tujuan Umum
b. Tujuan Khusus
2. Manfaat Hasil Penelitian
a. Manfaat Teoritis
b. Praktis
BAB IV : METODE PENELITIAN
1.Jenis Penelitian
2.Metode Pendekatan
3.Sumber Bahan Hukum
4.Teknis Pengumpulan bahan Hukum
5.Teknis Analisis Bahan Hukum
BAB V : HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB VI : PENUTUP
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, kehadiran bahan kimia
banyak disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu. Tidak jarang diantaranya
digunakan sebagai sarana untuk melancarkan aksi tindak pidana. Sebagai contoh
yang sangat menarik dan menggemparkan adalah, penggunaan bahan kimia
sianida dalam kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin. Dalam kasus tersebut di
duga kuat bahwa terdapat campuran bahan kimia sianida dalam kopi yang
diminum oleh wayan mirna. Bahan kimia sianida pada dasarnya adalah bahan
kimia yang tidak diperbolehkan untuk dicampur kedalam makanan ataupun
minuman, karena kandungannya yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
Bahan Kimia Sianida atau Natrium Sianida (NaCN), merupakan bahan
kimia berbentuk kristal kubus atau serbuk, dan tidak berwarna. Bahan kimia ini
biasa digunakan dalam bidang pertanian, fotografi dan industri logam.
Selain berfungsi dalam bidang pertanian dan juga industri logam, beberapa
nelayan juga biasa menggunakan bahan kimia ini guna kepentingan penangkapan
ikan di laut. Sebagai contohnya, di perairan Sulawesi Utara, Bahan Kimia Sianida
beredar secara illegal. Bahan Kimia ini digunakan untuk memperlancar aktivitas
penangkapan ikan secara illegal. Para nelayan hanya cukup menebar bahan kimia
sianida di air laut, maka ikan-ikan akan mati dan mengambang.1 Maka oleh itu,
sangatlah berbahaya jika bahan kimia seperti sianida disalahgunakan guna
kepentingan-kepentingan tertentu.
Dalam buku Metode Identifikasi Berbagai Kasus Kejahatan, Amri
menyebutkan setidaknya ada tiga kelompok bahan kimia yang bisa dirakit
menjadi bom, yakni :
1 Faizal Maksum, “Bahaya Sianida bagi Manusia dan Lingkungan”, Tribun Manado, 27
Agustus 2013
1. Kelompok Oksidator. Merupakan bahan kimia yang bersifat
pembawa oksigen dalam proses peledakan atau pembakaran
oksigen. Dalam kelompok ini antara lain; asam sulfat, asam nitrat,
asam oksalat, hidrogen peroksida, natrium broksida, kalium
peroksida, kalium klorat, kalium nitrat, kaporit, dan zat asam.
2. Kemudian kelompok reduktor. Yakni bahan kimia yang bersifat
menarik oksigen atau memerlukan oksigen dalam proses peledakan
atau pembakaran. Dalam kelompok ini antara lain; bubuk carbonat,
belerang atau sulfur, amoniak, astilen, benzon, siloheksan, dioktil
plalat, gas hidrogen, gas alam, karbon monoksida, metanal, dan
propilen.
3. Kelompok terakhir biasanya merupakan bahan tambahan yang
berfungsi sebagai katalisator. Bahan-bahan ini berfungsi
mempercepat proses peledakan, menimbulkan efek bakar, efek
racun dan panas yang tinggi. Dalam kelompok ini adalah;
aluminium powder, magnesium powder, termit, fenil merkuri
asetat, dan kalium sianida.
Keseluruhan bahan kimia tersebut diatas merupakan bahan-bahan kimia
yang mudah dapat diketemukan oleh setiap orang di toko-toko bahan kimia.
Dalam koran kompas tanggal 18 Januari 2016, menyatakan bahwa pelaku Bom
Bali I, Amrozi, mengaku membeli sendiri bahan-bahan kimia di Jalan Tidar
Surabaya yang digunakannya untuk meracik bahan peledak.2
Berdasarkan 2 (dua) contoh kasus riil yang telah disebutkan diatas, dapat
dimaknai bahwa keberadaan bahan-bahan kimia pada dasarnya dapat diketemukan
secara mudah dimana pun. Hal ini dikarenakan bahan-bahan kimia tersebut
merupakan salah satu kebutuhan pokok yang digunakan pada bidang-bidang
tertentu, sebagai contoh adalah penggunaan bahan kimia sianida pada bidang
pertanian, fotografi, dan industri logam, serta penggunaan bahan kimia Asam
2 Achmad Faizal, “Pasca-Bom Thamrin, Polisi Surabaya Awasi Penjualan Bahan Kimia”,
Kompas, 18 Januari 2016.
Sulfat yang biasa digunakan untuk pemrosesan bijih mineral, sintesis kimia,
pemrosesan air limbah dan pengilangan minyak. Keberadaan bahan-bahan kimia
berbahaya tersebut dibutuhkan dan diperlukan oleh masyarakat pada umumnya.
Oleh sebabnya sangat sulit untuk dibatasi atau pun dilarang
penggunaannya karena bahan-bahan kimia tersebut sejatinya memiliki fungsi dan
kegunaan yang dapat membantu berbagai hal. Namun dalam hal ini, dengan
maraknya penyalahgunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu tindak
pidana, seperti pembunuhan wayan mirna dengan menggunakan bahan kimia
sianida pada kopi yang diminumnya serta penggunaan bahan-bahan kimia pada
rakitan bom yang digunakan oleh terorisme, hal ini menunjukkan bahwa telah
terjadi penyalahgunaan fungsi bahan-bahan kimia berbahaya menjadi suatu sarana
untuk memuluskan aksi tindak pidana.
Oleh sebabnya dirasa perlu adanya suatu regulasi atau aturan yang jelas
dan yang dapat memberi arahan bahwa bahan-bahan kimia hanya boleh digunakan
untuk keperluan-keperluan tertentu saja.
Dalam Undang-undang No. 9 Tahun 2008 pada dasarnya secara garis
besar hanya memuat ketentuan tentang :
1. Ketentuan mengenai perizinan dalam memproduksi, memiliki,
menyimpan, mentransfer, atau menggunakan Bahan Kimia beserta
sanksinya (Pasal 7 dan Pasal 9).
Dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa :
(1) Setiap orang yang memproduksi, memiliki, menyimpan,
mentransfer, atau menggunakan Bahan Kimia Daftar 1 atau
Bahan Kimia Daftar 2 dan/atau Bahan Kimia Daftar 3 wajib
memiliki izin.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), khususnya
dengan Bahan Kimia Daftar 2 dan/atau Bahan Kimia Daftar 3,
dilakukan hanya untuk kepentingan:
a. industri, pertanian, penelitian, medis, farmasi, atau tujuan
damai lainnya;
b. perlindungan, yaitu untuk tujuan yang berkaitan langsung
dengan perlindungan menghadapi bahan kimia beracun atau
menghadapi senjata kimia;
c. pertahanan yang tidak berkaitan dengan penggunaan senjata
kimia dan tidak bergantung pada penggunaan bahan kimia
beracun yang digunakan sebagai metode perang; atau
d. penegakan hukum, termasuk di dalamnya untuk mengatasi
kerusuhan di dalam negeri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perizinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Jika melihat penjelasan dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia
No. 9 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Bahan Kimia Dan Larangan Penggunaan
Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia, maka hanya dijelaskan terkait penjelasan
pada Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa Bahan Kimia Daftar 1 pada
dasarnya dilarang, tetapi dapat diadakan dan digunakan untuk kepentingan
penelitian, medis, dan/atau farmasi dengan izin Menteri. Terlepas dari hal
tersebut, dalam pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) tidak diberikan penjelasan secara
rinci atau dengan kata lain hanya dinyatakan dengan perkataan “cukup jelas”.
Sedangkan dalam Pasal 9 sendiri dinyatakan bahwa :
(1) Setiap orang yang membuat, memproduksi, memiliki,
menyimpan, mentransfer, atau menggunakan Bahan Kimia
Daftar 1, Bahan Kimia Daftar 2, atau Bahan Kimia Daftar 3
wajib menyampaikan laporan sekurang-kurangnya sekali
dalam satu tahun kepada Menteri.
(2) Setiap orang yang memproduksi bahan kimia organik diskret
nondaftar dengan batasan jumlah yang harus dideklarasikan
wajib menyampaikan laporan kepada Menteri.
(3) Setiap orang yang mempunyai fasilitas pabrik yang
memproduksi Bahan Kimia Daftar 1, Bahan Kimia Daftar 2,
Bahan Kimia Daftar 3, dan bahan kimia organic diskret
nondaftar wajib menyampaikan laporan kepada Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Jika melihat penjelasan yang berhubungan dengan pasal 9, maka hanya
didapatkan suatu penjelasan terkait dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 9
ayat (2), dengan kata lain pasal 9 ayat (1) dan ayat (3) tidak dijelaskan secara
rinci. Adapun hal yang dijelaskan dalam pasal 9 ayat (2) adalah Yang dimaksud
dengan “batasan jumlah” adalah jumlah minimum yang harus dideklarasikan
sebagaimana tercantum dalam Konvensi Senjata Kimia.
Dari hal tersebut diatas dapat dimaknai beberapa hal penting, yakni :
Pertama, bahwa berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam pasal 7 ayat (1)
mengharuskan setiap orang yang memiliki, menyimpan, dan bahkan memproduksi
bahan-bahan kimia berbahaya wajib memiliki izin. Namun demikian jika
mencermati secara mendalam, baik dalam penjelasan undang-undang ini dan
peraturan pemerintah yang diharapkan dapat menjadi peraturan pelaksana dari
Undang-undang No. 9 Tahun 2008 tidaklah ada, dalam arti lain secara lebih lanjut
tata cara perizinan dalam orang memiliki, menyimpan, dan memproduksi bahan-
bahan kimia berbahaya tidak terdapat aturan yang secara khusus mengaturnya.
Hal tersebutlah yang memungkinkan dan memberi peluang kepada setiap orang
untuk dapat membeli secara bebas setiap bahan kimia berbahaya tanpa suatu
prosedur yang pasti. Jika niat seseorang dalam membeli bahan-bahan kimia
tersebut baik, dalam arti digunakan untuk keperluan-keperluan tertentu dalam
menunjang aktifitasnya, maka tidaklah perlu dipermasalahkan tata cara prosedur
ataupun izin dalam memiliki bahan-bahan kimia berbahaya.
Kedua, melalui ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) beserta
dengan penjelasannya maka dapat dimaknai bahwa setiap orang yang telah
memiliki izin untuk memiliki, menyimpan, dan bahkan memproduksi bahan-
bahan kimia berbahaya hanya diperbolehkan penggunaannya dalam hal-hal
tertentu saja. Hal tertentu yang dimaksud yaitu seperti keperluan industri,
pertanian, medis, dan lain sebagainya. Yang menjadi suatu permasalahan pokok
disini adalah, dalam Undang-undang ini tidak memuat pengaturan mengenai
pidana apa yang diberikan jika seseorang ketika telah memiliki bahan-bahan
kimia berbahaya dan selanjutnya disalahgunakan untuk melakukan hal-hal yang
dilarang oleh undang-undang.
Ketiga, dalam pasal 9 ayat (1) ditegaskan bahwa setiap orang yang
membuat, memproduksi, memiliki, menyimpan, mentransfer, atau menggunakan
bahan-bahan kimia harus menyampaikan laporan sekurang-kurangnya sekali
dalam satu tahun kepada menteri. Lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan tidak
dijelaskan secara rinci dalam penjelasan undang-undang tersebut. Selain itu sama
halnya dengan izin yang diatur dalam pasal 7, peraturan pelaksana mengenai tata
cara pelaporan yang diatur dalam pasal 9 pun sampai saat ini belum ada. Hal
inilah yang pada dasarnya menjadi ruang bagi beberapa oknum untuk
menyalahgunakan bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu tindak pidana.
2. Selain mengatur mengenai ketentuan terkait perizinan dalam
memproduksi, memiliki, menyimpan, mentransfer, atau
menggunakan Bahan Kimia, Undang-undang No. 9 Tahun 2008
juga hanya sebatas mengatur mengenai sanksi atau pidana bagi
setiap orang yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan bahan
kimia sebagai senjata kimia dan penggunaan senjata kimia di
dalam dan di luar wilayah negara Republik Indonesia. (Pasal 3)
Hal tersebut menunjukkan bahwa sampai saat ini Hukum Positif Indonesia
terkhusus kaitannya dengan Undang-undang No. 9 Tahun 2008 Tentang
Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai
Senjata Kimia, belum sepenuhnya mengakomodir mengenai ketentuan pidana
terhadap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan fungsi bahan-bahan kimia
berbahaya tersebut sebagai sarana bagi mereka untuk melakukan sebuah
kejahatan. Dengan kata lain, telah terjadi kekosongan norma dalam Undang-
undang No. 9 Tahun 2008 terkhusus kaitannya dengan pengaturan yang diatur
dalam pasal 7. Akan sangat sulit kedepannya jika tidak diadakannya suatu
pembenahan atau penambahan norma dalam hal ini. Karena pada dasarnya
Peraturan Perundang-undangan yang hanya mengatur tentang penggunaan bahan-
bahan kimia berbahaya adalah Undang-undang No. 9 Tahun 2008 saja, oleh
sebabnya sangat diperlukan suatu pembaharuan dalam undang-undang ini agar
kedepannya benar-benar terciptanya suatu kepastian hukum.
Dalam hukum pidana sendiri, tidak akan pernah bisa seseorang dapat di
pidana kalau perbuatan yang ia lakukan belumlah diatur dalam undang-undang.
Hal ini dalam hukum pidana lebih dikenal dengan Asas Legalitas, yang dimuat
dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Hal ini bagi
Moeljatno mengandung 3 makna penting, yakni :
1. Tidak ada suatu perbuatan pun yang dapat dilarang dan diancam dengan
pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan
undang-undang;
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi (kias);
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.3
Jika dikaitkan dengan kasus-kasus penyalahgunaan bahan-bahan kimia
berbahaya yang telah terjadi, pada dasarnya perbuatan yang dilakukan oleh
beberapa oknum tersebut telah menimbulkan suatu akibat sehingga ada pihak atau
3 Moeljatno, 2009, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, (selanjutnya disebut
Moeljatno I), h.27
korban yang dirugikan dalam hal ini. Penyalahgunaan fungsi bahan-bahan kimia
berbahaya sebagai sarana suatu tindak pidana sesungguhnya dianggap sebagai
suatu tindakan tercela, sehingga bagi setiap pelaku harusnya ditimpakan pidana.
Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 Tentang
Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai
Senjata Kimia seharusnya mengakomodir mengenai pertanggungjawaban pidana
terhadap orang yang menyalahgunakan bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu
tindak pidana. Oleh sebabnya sangat dianggap perlu untuk dilakukan
pembaharuan hukum terkhusus mengenai hal ini, agar terciptanya kenyamanan,
keamanan, dan kepastian hukum kedepannya.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka peneliti sangat tertarik
untuk mengkaji lebih lanjut Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 9
Tahun 2008 Tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan
Kimia Sebagai Senjata Kimia terkhusus kaitannya dengan pertanggungjawaban
pidana terhadap orang yang menyalahgunakan bahan-bahan kimia berbahaya
dalam suatu tindak pidana, dan judul yang diangkat dalam penelitian ini yakni
“PERTANGGUNGJAWAABAN PENYALAHGUNAAN BAHAN-BAHAN
KIMIA DALAM SUATU TINDAK PIDANA”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah regulasi pengaturan bahan-bahan kimia berbahaya dalam
hukum positif Indonesia?
2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana bagi pelaku yang
menggunakan bahan-bahan kimia dalam suatu tindak pidana?
1.2.1 Konsep Kepastian Hukum
Pada dasarnya kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari
hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan
kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku
bagi setiap orang. Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma
itu sendiri adalah pernyataan yang menekankan pada aspek “seharusnya” atau
“das sollen”, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus
dilakukan. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi
pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam
hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan
masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani
atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan-aturan itu dan
pelaksanaan aturan tersebutlah yang akan menimbulkan kepastian hukum
nantinya.4
Gustav Radbruch berpendapat bahwa hukum harus mengandung 3
(tiga) nilai identitas, yakni :
- Asas kepastian hukum (rechtmatigheid), yang dimana Asas ini
meninjau dari sudut yuridis;
- Asas keadilan hukum (gerectigheit), yang dimana Asas ini meninjau
dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk
semua orang di depan pengadilan;
- Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau utility).
Menurut Utrecht, kepastian hukum pada dasarnya mengandung dua
pengertian, yaitu : pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Kedua, berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan
adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang
boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.5
Dalam hukum pidana sendiri jiwa kepastian hukum tersebut tertuang atau
tercermin dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP, atau yang lebih akrab disebut
dengan Asas Legalitas. Asas legalitas sejatinya memang menghendaki agar
4 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta,
(selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I), h.158.
5 Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti,
Bandung, h.23.
terciptanya suatu kepastian hukum dengan memberikan batasan bahwa tidak akan
pernah ada suatu perbuatan yang dapat dipidana jika tidak ada undang-undang
atau peraturan yang mengaturnya.
Hal tersebutlah yang pada dasarnya menjadi suatu kelemahan dalam
Undang-undang No. 9 Tahun 2008, karena undang-undang tersebut tidak
mengatur dan seolah-olah memberi ruang kepada setiap orang untuk dapat
melakukan tindakan penyalahgunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu
tindak pidana.
1.2.2 Tindak Pidana
Pada dasarnya banyak istilah yang digunakan untuk kata tindak pidana.
Moeljatno memakai istilah “perbuatan pidana” untuk kata tindak pidana/delik.
Menurut beliau, kata “tindak” lebih sempit cakupannya dari pada “perbuatan”.
Kata “tindak” tidak menunjukkan pada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi
hanya menyatakan keadaan yang konkret.6
Dipihak lain E. Utrecht memakai istilah “peristiwa pidana” karena yang
ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana. Adapun Mr.
Tirtaamidjaja menggunakan istilah “pelanggaran pidana” untuk kata “tindak
pidana”, sedangkan Leden Marpaung sendiri menggunakan istilah “delik”.7
Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro dalam hal ini menggunakan
istilah “Tindak Pidana”. Menurut Wirjono, Tindak Pidana berarti suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. Bagi pelaku tindak pidana ini
dapat dikatakan sebagai “subjek” tindak pidana.8 Dari berbagai istilah yang
dikemukakan oleh para ahli, dalam penulisan ini, istilah yang digunakan untuk
menunjukkan kata delik, peristiwa pidana, dan perbuatan pidana adalah kata
6 Leden Marpaung, 2009, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cet Keenam, Sinar Grafika,
Jakarta, h.7
7 Ibid.
8 Wirjono Prodjodikoro, 2014, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Cet. Keenam, PT
Refika Aditama, Bandung, h.59
“Tindak Pidana”, hal ini dikarenakan istilah tindak pidana lah yang digunakan
dalam istilah perundang-undangan di Indonesia.
Terlepas dari pandangan para ahli mengenai berbagai istilah yang tepat
untuk menunjukkan kata “tindak pidana”, dalam doktrin hukum pidana terdapat
dua ajaran yang dijadikan acuan untuk menarik unsur-unsur tindak pidana, yakni :
a. Ajaran Monisme
Dalam ajaran ini secara garis besar memasukkan pengertian
pertanggungjawaban pidana kedalam pengertian tindak pidana. Konsep
pertanggungjawaban pidana, kesalahan, kemampuan bertanggung jawab, dan
alasan pemaaf menjadi satu kesatuan atau tidak dapat terpisahkan dengan konsep
tindak pidana. Para ahli yang dalam memberikan pengertian tindak pidana yang di
dalamnya memasukkan keempat hal tersebut, sesungguhnya berpandangan bahwa
antara tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana/ kesalahan tidak dapat
dipisahkan. Implikasinya, pembuktian unsur objektif (tindak pidana) dan unsure
subjektif (kesalahan) tidak dipisahkan.9
b. Ajaran Dualisme
Dalam, ajaran ini pengertian tindak pidana semata-mata menunjukkan kepada
perbuatan baik secara aktif maupun secara pasif. Sedangkan apakah pelaku ketika
melakukan tindak pidana patut dicela atau memiliki kesalahan, tidak lagi
merupakan wilayah tindak pidana tapi sudah masuk pada diskusi
pertanggungjawaban pidana/ kesalahan. Dengan lain perkataan, apakah
inkonkreto yang melakukan perbuatan tadi sungguh dijatuhi pidana atau tidak, itu
sudah di luar arti tindak pidana.10
Menurut Moeljatno, jika memakai ajaran dualisme maka perbuatan pidana
atau tindak pidana dapat diartikan sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum
9 Moeljatno, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bima Aksara,
Jakarta, (selanjutnya disebut Moeljatno II), h.11
10
Ibid.
dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan
ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan
oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang
yang menimbulkan kejadian itu.11
Sedangkan menurut Mr. D. Simons, jika memakai ajaran monisme maka
definisi strafbaaf feit (terjemahan harfiah: peristiwa pidana) ialah perbuatan
melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang
mampu bertanggungjawab. Kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah
kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan culpa late (alpa dan
lalai). Dari rumus tersebut Simons mencampurkan unsur-unsur perbuatan pidana
(criminal act) yang meliputi perbuatan dan sifat melawan hukum perbuatan dan
pertanggungjawaban pidana (criminal liability) yang mencakup kesengajaan,
kealpaan serta kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab.12
Van Hamel yang juga menganut ajaran monisme memberikan definisi
tindak pidana sebagai perbuatan manusia yang diuraikan oleh undang-undang,
melawan hukum, strafwaardig (patut atau bernilai untuk dipidana), dan dapat
dicela karena kesalahan (en ann schuld te wijten).13
Sedangkan menurut R. Achmad Soemadipradja yang dimaksud dengan
tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia, yang termasuk dalam batas-batas
perumusan suatu delik yang melawan hukum, dan disebabkan karena kesalahan
dari pada si petindak.14
Berdasarkan beberapa definisi yang diberikan oleh para ahli, maka dapat
dimaknai bahwa unsur-unsur tindak pidana sejatinya adalah berbeda-beda, namun
pada umumnya terdapat unsur-unsur yang sama yakni unsur perbuatan aktif/
positif atau pasif/ negative, unsur akibat, unsur melawan hukum formil dan
melawan hukum materiil, dan unsur tidak adanya dasar pembenar.15
11
Moeljatno I, Op.cit, h. 59
12
Zainal Abidin Farid, 2010, Hukum Pidana 1, Cet. Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, h. 225
13
Ibid.
14
R. Achmad Soemadipradja, 1982, Asas-asas Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung,
h. 65
15
Zainal Abidin Farid, Op.cit, h.221
Dipihak lain para ahli membedakan unsur-unsur tindak pidana menjadi 2
bagian, yakni unsur subjektif dan unsur objektif.
a. Unsur Subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas
hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”.
Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh
kesengajaan.
b. Unsur Objektif, merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas :
- Perbuatan Manusia;
- Akibat (result) Perbuatan Manusia;
- Keadaan-keadaan (circumstances) baik keadaan saat perbuatan dilakukan
maupun keadaan setelah perbuatan tersebut dilakukan;
- Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.16
Menurut Lamintang unsur subjektif dan unsur objektif dari suatu tindak
pidana adalah sebagai berikut :
a. Unsur-unsur Subjektif :
- Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
- Maksud (Voornemen) pada suatu percobaan atau poging;
- Berbagai maksud (Oogmerk);
- Merencanakan terlebih dahulu (Voorbedachte raad);
- Perasaan takut
b. Unsur-unsur Objektif :
- Sifat melawan hukum
- Kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan
suatu kenyataan sebagai akibat.17
16
Leden Marpaung, Op.cit, h. 10
17
Lamintang, 1983, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sumur Batu, Bandung, h. 184
Dipihak lain, Moeljatno secara sederhana menyebutkan bahwa pada
hakikatnya setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur kelakuan dan
akibat, hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, keadaan
tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum obyektif dan unsure
melawan hukum subjektif.18
Wirjono Prodjodikoro menguraikan bahwa unsur-
unsur tindak pidana terdiri dari Subjek tindak pidana, perbuatan dari tindak
pidana, hubungan sebab akibat, sifat melanggar hukum, kesalahan pelaku tindak
pidana, kesengajaan, culpa, dan kelalaian.19
1.2.3 Pertanggungjawaban Pidana
Konsep “Liability” atau “Pertanggungjawaban pidana” pada dasarnya
dapat dilihat dari segi falsafah hukum. Seorang Filsaf besar Roscou Pound secara
sistematis mengartikan liability sebagai suatu kewajiban untuk membayar
pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan.
Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang terhadap
kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya
keyakinan bahwa pembalasan sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran
ganti rugi bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu hak istimewa kemudian
menjadi suatu kewajiban.20
Ukuran ganti rugi tersebut tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang
harus dibeli, melainkan dari sudut kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan
oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan. Oleh karena itu, konsepsi “liabilty”
diartikan sebagai “reparation”, sehingga terjadilah perubahan arti konsepsi
“liabilty”, dari “composition for vengeance” menjadi “reparation for injury”.
Perubahan bentuk wujud ganti rugi dengan sejumlah uang kepada ganti rugi
18 Moeljatno I, Op.cit, h. 69
19
Wirjono Prodjodikoro, Loc.cit.
20
Romli Atmasasmita, 1989, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cet. Pertama, Yayasan
LBH, Jakarta, h. 80
dengan penjatuhan hukuman, secara historis merupakan awal dari “liabilty” atau
“pertanggungjawaban”.21
Dalam hukum pidana konsep pertanggungjawaban merupakan konsep
sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran
kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada
suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran
orang itu jahat. Dalam bahasa inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act
does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy. Berdasar
asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana
seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/ perbuatan pidana (actus
reus), dan ada sikap batin jahat/ tercela (mens rea).22
Roeslan Saleh mengartikan pertanggungjawaban pidana sebagai
diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara
subjektif memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena pebuatannya itu.23
Maksud celaan objektif disini adalah bahwa perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang memang merupakan suatu perbuatan yang dilarang. Indikatornya adalah
perbuatan tersebut melawan hukum baik dalam arti melawan hukum formil
maupun melawan hukum materiil. Sedangkan maksud celaan subjektif menunjuk
kepada orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tadi. Sekalipun perbuatan
yang dilarang telah dilakukan oleh seseorang, namun jika orang tersebut tidak
dapat dicela karena pada dirinya tidak terdapat kesalahan, maka
pertanggungjawaban pidana tidak mungkin ada.
Chairul Huda menegaskan bahwa dasar adanya tindak pidana adalah asas
legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini
berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai
21 Ibid.
22
Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, 2015, Sistem Pertanggungjawaban Pidana (Perkembangan
dan Penerapan), Rajawali Pers, Jakarta, h. 21.
23
Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Dua Pengertian
Dasar dalam Hukum Pidana), Cet. Ketiga, Aksara Baru, Jakarta, (Selanjutnya disebut Roeslan
Saleh I), h. 75.
kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Oleh karena itu,
pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak
pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah
ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana
pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana
untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan
tertentu.24
Dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa
pelaku dan hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana dan
berdasarkan kejiwaan itu pelaku dapat dicela karena perbuatannya. Adanya
kesalahan pada diri pelaku, harus dipenuhi unsur-unsur berikut :
a) Kemampuan bertanggungjawab yaitu kondisi batin yang normal atau sehat
dan mampunya akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-hal yang baik
dan yang buruk. Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan
bertanggungjawab seseorang yaitu faktor akal yang dapat membedakan antara
perbuatan yang diperbolehkan oleh hukum dan perbuatn yang tidak
diperbolehkan oleh hukum, dan faktor kehendak yaitu seseorang dapat
menyesuaikan tingkah laku dengan kesadaran akan sesuatu yang
diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.
b) Hubungan kejiwaan antara pelaku dengan perbuatannya, hal ini berkaitan
dengan keadaan batin pelaku yang normal yang ditentukan oleh faktor akal
yang dapat membedakan antara perbuatan yang boleh dilakukan dengan
perbuatan yang tidak boleh dilakukan.
c) Dolus atau culpa berkaitan dengan hubungan batin antara pembuat dengan
perbuatannya. Kesengajaan (dolus) adalah apabila akibat suatu tindakan
dikehendaki, apabila akibat itu menjadi maksud yang sebenarnya dari
tindakan yang dilakukan tersebut. Sedangkan kealpaaan (culpa) adalah
24
Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cet. Kedua, Kencana, Jakarta, h. 68
keadaan batin pembuat yang bersifat ceroboh, teledor, atau kurang hati-hati
sehingga perbuatannya dan akibat yang dilarang oleh hukum terjadi.25
Secara lebih rinci, Sudarto menyatakan bahwa agar seseorang memiliki
aspek pertanggungjawaban pidana, dalam arti dipidananya pembuat, terdapat
beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
a) Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat;
b) Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan;
c) Adanya pembuat yang mampu bertanggung jawab;
d) Tidak ada alasan pemaaf.26
Hal senada pun disampaikan oleh Moeljatno, untuk adanya suatu
kesalahan pada terdakwa, maka terdakwa harus melakukan perbuatan pidana (sifat
melawan hukum), diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab, mempunyai
suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan, tidak adanya
alasan pemaaf.27
Berdasarkan uraian diatas, seseorang baru dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana jika sebelumnya orang tersebut telah terbukti
melakukan perbuatan yang dilarang. Merupakan hal yang tidak mungkin jika
terdapat seseorang yang dimintai pertanggungjawaban pidana sementara dia
sendiri tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum. Jika terjadi
demikian, loncatan berpikir tidak dapat dielakkan dan pelanggaran terhadap hak
asasi manusia juga tidak dapat dihindari.
1.2.4 Teori Penemuan Hukum
Penemuan Hukum menurut Sudikno Mertokusumo diartikan
sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum lain yang
25
M. Abdul Kholiq, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, h. 129.
26
Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Op.cit, h. 22
27
Moeljatno I, Op.cit, h. 177
diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang konkret, artinya
penemuan hukum merupakan proses konkretisasi peraturan hukum (das sollen)
yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret (das sein).28
Ada
Beberapa aliran yang melandasi dalam hal penemuan hukum, yakni :
- Aliran Legisme
Aliran ini berpandangan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah Undang-
undang, karena undang-undang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam mengatur
semua persoalan hukum. Kedudukan hakim ada dibawah undang-undang sebagai
pelaksana sehingga hakim tidak berwenang mengubah isi undang-undang.
- Aliran Historis
Aliran ini berpandangan bahwa undang-undang sebagai sumber hukum saja tidak
lengkap. Konsekuensinya akan terdapat kekosongan dan ketidakjelasan dalam
Undang-undang, oleh karena itu hakim dapat membuat hukumnya (judge made
law). Hukum kebiasaan dan yurisprudensi dapat melengkapi undang-undang dan
dianggap sebagai unsure system hukum.
- Begriffjurisprudenz
Aliran ini member kebebasan pada hakim, jadi hakim tidak perlu terikat pada
bunyi Undang-undang, tetapi dapat mengambil argumentasinya dari peraturan
hukum yang tersirat dalam Undang-undang. Kesalahan dari aliran ini adalah
terlalu menjunjung rasio dan logika dalam meluaskan Undang-undang sampai
terbentuknya hukum. Penganut aliran ini secara terbalik memandang alat sebagai
tujuan sehingga keadilan dan manfaat kemasyarakatan tidak tercapai.
- Penemuan Hukum Modern
Pada aliran ini, yang menjadi titik tolak bukan pada system perundang-undangan,
tetapi masalah kemasyarakatan konkret yang harus dipecahkan. Tujuan
28
Sudikno Mertokusumo dan A Pitlo, 1993, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra
Aditya Bakti, Jakarta, h.4
pembentuk Undang-undang dapat digeser, dikoreksi, tetapi tidak boleh
diabaikan.29
Dari keempat aliran yang melandasi dalam hal terjadinya
penemuan hukum, terlebih kaitannya dengan pertanggunggjawaban pidana bagi
setiap orang yang menyalahgunakan bahan-bahan kimia berbahaya, maka aliran
penemuan hukum modern yang paling tepat untuk dapat digunakan dalam hal ini.
Hal tersebut dikarenakan dalam aliran hukum modern, tidak hanya berpatokan
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saja akan tetapi melihat pada
kenyataan yang ada bahwa Undang-undang No. 9 Tahun 2008, belum mampu
memberikan kepastian hukum dalam hal penjatuhan pidana terhadap orang yang
menyalahgunakan bahan-bahan kimia berbahaya. Berdasarkan hal tersebut besar
harapan pembuat Undang-undang dapat merancang dan menetapkan aturan yang
baru dengan tujuan memberikan keadilan dan kepastian bagi masyarakat.
29
Bambang Sutiyoso, 2006, Metode Penemuan Hukum, UI Press, Yogyakarta, h. 52
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memahami isi ketentuan
yang tertuang dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 9
Tahun 2008 Tentang Penggunaan Bahan Kimia Dan Larangan
Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia.
b. Tujuan Khusus
Terdapat beberapa tujuan khusus yang ingin dicapai dengan
dilakukannya penelitian hukum ini, yaitu:
1. Untuk mendeskripsi dan menganalisis tentang pengaturan
bahan-bahan kimia berbahaya dalam hukum positif di
Indonesia
2. Untuk mendeskripsi dan menganalisis tentang bagaimana
pertanggungjawaban pidana bagi orang yang menyalahgunakan
bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu tindak pidana.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum dalam
pengembangan hukum pidana, khususnya pemahaman teoritis
mengenai pengaturan bahan-bahan kimia berbahaya dalam hukum
positif Indonesia, termasuk didalamnya mengenai pertanggungjawaban
pidana bagi orang yang menyalahgunakan bahan-bahan kimia
berbahaya dalam suatu tindak pidana.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan
kontribusi dan solusi kongkrit bagi lembaga yang berwenang untuk
membentuk undang-undang serta bagi para lembaga penegak hukum,
terkait dengan upaya memperlengkapi hukum terkhusus dalam bidang
penyalahgunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu tindak
pidana. Dengan ini diharapkan kedepannya terciptanya suatu hukum
yang jelas dalam bidang penyalahgunaan bahan-bahan kimia
berbahaya dalam tindak pidana agar terwujudnya kenyamanan,
keamanan, dan kepastian hukum di tengah-tengah masyarakat.
BAB IV
METODE PENELITIAN
1.4 Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk yang untuk
mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisisnya. Di samping itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam
terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu
pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang
bersangkutan.30
Untuk memudahkan dalam menganalisis gejala hukum yang
timbul, maka dalam penulisan ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut.
1.4.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini termasuk dalam
kategori/jenis penelitian hukum normatif.31 Dipilihnya jenis penelitian
normatif karena penelitian ini menguraikan permasalah-permasalahan yang
ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian yang berdasarkan teori-teori
hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam praktek hukum.32 Penelitian hukum normatif merupakan
penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder.
30
Soerjono Soekonto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, (selanjutnya
disebut Soerjono Soekonto I), h. 43.
31Soerjono Soekanto, 1985, Penulisan Hukum Normaif Suatu Tinjauan Singkat, CV.
Rajawali, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekonto II), h. 15.
32Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penulisan Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji
III), h.13.
Penelitian hukum normatif ini digunakan karena mengingat terjadinya
kekosongan norma disaat timbulnya suatu permasalahan hukum yang susah
untuk dicarikan jalan keluarnya. Dalam hal ini belum terdapatnya suatu
regulasi yang mengatur mengenai penyalahgunaan bahan-bahan kimia
berbahaya dalam suatu tindak pidana, mengingat begitu banyak kasus yang
telah terjadi terkait dengan pemasalahan penyalahgunaan bahan-bahan kimia
berbahaya. Berdasarkan hal tersebut dalam mengkajinya lebih mengutamakan
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
1.4.2 Jenis Pendekatan
Penulisan ini mengunakan jenis pendekatan perundang-undangan
(The Statue Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & The
Conseptual Approach) dan pendekatan kasus (The Case Approach).
Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua
peraturan perundang-undangan yang menjadi fokus dalam penelitian ini
sedangkan pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.33
Dalam penulisan ini
menggunakan pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach) di
karenakan untuk mengkaji beberapa aturan hukum yang ada, apakah telah ada
suatu aturan hukum yang mengatur mengenai penyalahgunaan bahan-bahan
kimia berbahaya dalam suatu tindak pidana.
Pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & The Conseptual
Approach) merupakan pendekatan yang digunakan untuk memahami konsep-
konsep aturan yang jelas tentang penyalahgunaan bahan-bahan kimia
berbahaya dalam suatu tindak pidana. Sedangkan pendekatan kasus (The Case
Approach) digunakan dalam penulisan ini untuk mengidentifikasi dan
mengetahui kasus-kasus yang pernah terjadi terkait dengan penyalahgunaan
bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu tindak pidana.
33
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 95
1.4.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang dipakai dalam penulisan ini berasal dari :
1) Sumber bahan hukum primer
Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum
yang mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan
yang berkaitan, yang bersifat mengikat.34 Sumber bahan hukum
primer yang digunakan adalah :
- Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
- Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun
2008 tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan
Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia.
2) Sumber bahan hukum sekunder
Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Meliputi
buku-buku, literatur, makalah, skripsi, tesis, dan bahan-bahan
hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian.35 Dipergunakan juga bahan-bahan hukum yang
diperoleh melalui electronic research yaitu melalui internet
dengan cara mengcopy atau mendownload bahan hukum yang
diperlukan.
3) Sumber bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
34Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1988, Penulisan Hukum Normatif, Rajawali Press,
Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji IV), h. 34.
35Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penulisan Hukum, Cetakan ke-4, Kencana, Jakarta,
(selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II), h. 141.
sekunder, seperti kamus besar bahasa Indonesia dan kamus
hukum.36
1.4.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang
diperlukan dalam penulisan ini yakni teknik kepustakaan (study document).37
Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu cara
mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder secara berurut dan sistematis
sesuai dengan permasalahan.
1.4.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini
adalah teknik deskripsi dan teknik argumentasi. Teknik dekripsi adalah teknik
analisa dimana menjabarkan data yang diperoleh dalam bentuk uraian yang
nantinya akan menjawab permasalahan.
Metode argumentasi adalah alasan berupa uraian penjelasan yang
diuraikan secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara logis untuk
memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan
dengan asas hukum, norma hukum dan peraturan hukum konkret.
36Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penulisan Hukum,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 119.
37H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penulisan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.107.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaturan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya Dalam Undang-undang Negara
Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Bahan Kimia
dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia
Pada dasarnya regulasi yang secara rinci mengatur mengenai pemakaian
bahan-bahan kimia berbahaya adalah Undang-undang Negara Republik Indonesia
No. 9 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan
Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia. Dalam Undang-undang tersebut dijelaskan
mengenai perizinan dalam memproduksi, memiliki, menyimpan, mentransfer, dan
bahkan menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya. Selain hal tersebut, dalam
undang-undang ini juga diatur mengenai sanksi atau pidana bagi setiap orang yang
melakukan tindak pidana penyalahgunaan bahan kimia sebagai senjata kimia dan
penggunaan senjata kimia di dalam dan di luar wilayah negara Republik
Indonesia.
Keberadaan Undang-undang No. 9 Tahun 2008 sampai saat ini merupakan
salah satu wujud keaktifan Indonesia dalam masalah ketertiban dan keamanan
dunia. Dalam Penjelasan Undang-undang No. 9 Tahun 2008 Tentang Penggunaan
Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia
72
72
diterangkan bahwa pada tanggal 13 Januari 1993 di Paris, Indonesia ikut
menandatangani Convention on the Prohibition of the Development, Production,
Stockpiling and Use of Chemical Weapons and on their Destruction (Konvensi
tentang Pelarangan Pengembangan, Produksi, Penimbunan, dan Penggunaan
Senjata Kimia serta tentang Pemusnahannya) bersama-sama dengan 129 negara.
Dalam perkembangannya, sampai dengan tahun 2007 Konvensi itu telah
ditandatangani oleh 182 negara atau lebih kurang 90% (sembilan puluh persen)
dari negara di dunia.
Upaya bersama negara di dunia untuk melakukan perlucutan senjata
pemusnah massal dimaksudkan untuk membebaskan dunia dari bencana yang
dapat ditimbulkan dari keberadaan dan penggunaan senjata pemusnah massal,
yaitu senjata nuklir, biologi, dan kimia. Langkah konkret yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia terhadap masalah pelarangan senjata pemusnah massal tidak
hanya sebatas penandatanganan Konvensi Senjata Kimia, tetapi diwujudkan pula
dalam pembentukan instrumen hukum berupa Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1998 tentang Pengesahan Convention on the Prohibition of the Development,
Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapons and on their Destruction
(Konvensi tentang Pelarangan Pengembangan, Produksi, Penimbunan, dan
Penggunaan Senjata Kimia serta tentang Pemusnahannya) yang ditetapkan pada
tanggal 30 September 1998.
Konvensi itu memuat ketentuan dan sistem verifikasi yang wajib
diberlakukan, diterapkan, dan dilaksanakan oleh Indonesia sebagai negara pihak
dalam berbagai sektor, termasuk sektor industri, khususnya subsektor industri
kimia dan industri farmasi. Terlepas dari hal tersebut, Indonesia sebagai negara
pihak berkewajiban mengambil langkah dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yang relevan untuk menjamin penerapan Konvensi di
tingkat nasional. Upaya lebih lanjut dalam menerapkan ketentuan dan sistem
verifikasi serta pembentukan Otoritas Nasional diatur dalam suatu peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang. Di samping itu, kebutuhan
mengenai pengaturan terhadap tindak pidana senjata kimia dan bahan kimia daftar
serta bahan kimia organik diskret nondaftar bagi Indonesia sudah sangat
mendesak mengingat tindak pidana kejahatan terorisme di tingkat regional dan di
tingkat internasional semakin meningkat.
Untuk mencegah penyalahgunaan bahan kimia sebagai senjata kimia, perlu
pengaturan, pelarangan, pengawasan, dan pengenaan sanksi terhadap pelaku
tindak pidana. Oleh sebab itulah di bentuk dan di undangkan Undang-undang No.
9 Tahun 2008 Tentang Tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan
Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia.
Dalam Undang-undang No. 9 Tahun 2008 diterangkan bahwa sejatinya
Bahan Kimia dapat dibagi menjadi 2 golongan, yakni :
- Golongan Bahan Kimia Daftar;
- Dan Golongan Bahan Kimia Ornagik Diskret Nondaftar.
Bahan Kimia Daftar dalam Undang-undang ini dibagi lagi menjadi 3
golongan, yakni :
- Bahan Kimia Daftar 1
Dalam Pasal 1 angka 3 didefinisikan sebagai bahan kimia yang
bersifat sangat beracun dan mematikan yang dikembangkan,
diproduksi, dan digunakan hanya sebagai senjata kimia. Adapun
contoh bahan kimia dalam golongan ini, adalah Sarin, Soman, Tabun,
VX, Sulfur Mustard, Lewisites, Nitrogen Mustard, Saxitoxin, dan
Ricin.
- Bahan Kimia Daftar 2
Dalam Pasal 1 angka 4 didefinisikan sebagai bahan kimia kunci untuk
pembuatan senjata kimia (prekursor), tetapi memiliki kegunaan
komersial. Adapun contoh bahan kimia dalam golongan ini adalah
Amiton, Pentafluoro, dan Quinuclidinyl Benzilate.
- Bahan Kimia Daftar 3
Dalam Pasal 1 angka 5 didefinisikan sebagai bahan kimia yang dapat
diproduksi sebagai senjata kimia (prekursor), tetapi dapat
dimanfaatkan untuk keperluan komersial. Adapun contoh bahan kimia
dalam golongan ini adalah Phosgene (Carbonyl Dichloride), Cyanogen
Chloride, Hydrogen Cyanide, Chloropicrin (Trichloronitromethane).
Sedangkan yang dimaksud dengan bahan kimia organik diskret nondaftar
(discrete organic chemicals/ DOC) menurut Pasal 1 angka 6 diartikan sebagai
bahan kimia yang tidak termasuk dalam Bahan Kimia Daftar 1, 2, dan 3, tetapi
merupakan senyawa yang mengandung unsur karbon, kecuali dalam bentuk
oksida, sulfida, dan logam karbonat. Adapun contoh senyawa yang mengandung
unsur karbon adalah Urea dan Formaldehyde. Lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 7
diterangkan bahwa Bahan kimia organik diskret nondaftar PSF (DOC-PSF)
adalah DOC yang mengandung unsur fosfor, sulfur, atau fluor, seperti Alkyl
Benzene Sulfonat dan Glyphosate.
Jika diperhatikan secara mendalam, pada dasarnya pengaturan mengenai
penggunaan bahan kimia dalam undang-undang ini dilakukan dengan
memperhatikan prinsip keselamatan, keamanan, pemanfaatan, dan keseimbangan.
Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mencegah dan menanggulangi
penyalahgunaan bahan kimia sebagai senjata kimia. Hal ini dinyatakan jelas
dalam Pasal 2 Undang-undang No. 9 Tahun 2008. Sampai saat ini hukum positif
Indonesia yang secara khusus mengatur mengenai perizinan dalam memproduksi,
memiliki, menyimpan, mentransfer, dan bahkan menggunakan bahan-bahan kimia
berbahaya adalah Undang-undang No. 9 Tahun 2008. Selebihnya Peraturan
perundang-undangan lainnya mengatur mengenai bahan-bahan kimia berbahaya
dengan ruang lingkup dan fokus yang berbeda-beda.
Pengaturan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya Dalam Peraturan Perundang-
undangan lainnya
Pada dasarnya regulasi yang mengatur mengenai bahan-bahan kimia
berbahaya di Indonesia sudah ada sejak jaman kolonial. Hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya beberapa peraturan yang pernah berlaku dan bahkan ada yang
masih berlaku sampai saat ini di Indonesia terkait dengan keberadaan bahan-
bahan kimia berbahaya, diantaranya :
Suatu izin khusus atau umum dari atau atas nama Kepala D.V.G. pada izin
mana dapat dikenakan syarat-syarat.” :
- Peraturan Menteri Kesehatan No. 472 Tahun 1996 Tentang Pengamanan
Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan
Bahan-bahan Kimia Berbahaya yang di istilahkan sebagai Bahan
Berbahaya dalam Peraturan ini di definisikan sebagai zat, bahan kimia dan
biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat
membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak
langsung, yang mempunyai sifat racun, karsinogenik, teratogenik, mutagenic,
korosif dan iritasi. Hal tersebut dinyatakan dalam ketentuan yang tertuang
dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri ini.
Pada dasarnya Peraturan Menteri ini hanya difokuskan pada pengaturan
mengenai pendaftaran setiap jenis bahan berbahaya yang akan didistribusikan
atau diedarkan. Pendaftaran tersebut dilakukan di Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan. Hal tersebut
dinyatakan jelas dalam Pasal 3 Peraturan Menteri ini.
Adapun jenis-jenis bahan berbahaya yang diawasi pendistribusian dan
pengedaranya dapat di klasifikasikan berdasarkan sifat bahayanya, yakni
racun, karsinogenik, teratogenik, mutagenic, korosif dan iritasi. Adapun
contoh jenis bahan berbahaya yang sifat bahayanya racun adalah Alkonitin,
Asam Floroasetat, Atropin, dan Azinfas-etil. Sedangkan contoh jenis bahan
berbahaya yang sifat bahayanya karsinogenik adalah aminoazobenzen,
benzidin, Benzo Arsen, Benzo Floranthen, dan Carbadox.
Dipihak lain, jenis-jenis Bahan Berbahaya dengan sifat teratogenik adalah
Etilenthiourea, Etoksietanol, Atoksieasetat, Karbon Disulfida, dan
Metoksietanol. Sedangkan contoh Bahan Berbahaya dengan sifat bahaya
mutagenic adalah Phospamidon, Ziram, Benzo piren, Dietil sulfat, DNOC,
dan Heksametilfosfor triamida. Dipihak lain contoh Bahan Berbahaya dengan
sifat korosif adalah Boron tribromida, Boron Triflorida, Boron Triklorida,
Butil kloroformat, Dimetilsulfamoiklorida, dan Florin. Dan yang terakhir
contoh Bahan Berbahaya dengan sifat iritasi adalah Garam auramin, Garam
diquat, Garam Paraquat, Berilium Butenal, dan Captan.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 74 Tahun 2001 Tentang
Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun
Dalam Peraturan Pemerintah ini Bahan-bahan kimia berbahaya di
istilahkan sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun, yang selanjutnya disebut
dengan B3. Pengaturan B3 dalam Peraturan Pemerintah ini pada dasarnya
bertujuan untuk mencegah dan atau mengurangi risiko dampak B3 terhadap
lingkungan hidup, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya, mengingat
dewasa ini penggunaan dan jumlah B3 di Indonesia semakin meningkat.
Penggunaan B3 yang terus meningkat dan tersebar luas di semua sektor
apabila pengelolaannya tidak dilakukan dengan baik, maka akan dapat
menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, mahluk hidup lainnya
dan lingkungan hidup, seperti pencemaran udara, pencemaran tanah,
pencemaran air, dan pencemaran laut.
Dalam Peraturan Pemerintah ini, Bahan Berbahaya dan Beracun digolongkan
ke dalam 3 kelompok, yakni :
1. Bahan Berbahaya dan Beracun yang dapat dipergunakan
Adapun contoh Bahan Berbahaya dan Beracun dalam kelompok ini
adalah Dikloroetilena, Akrilamida, Akrilonitril, Akrolein, Alil Alkohol,
Aluminium chloride, Amoniak, Anilin, Argon, Arsen (III) Oksida, dan
Arsen Triklorida.
2. Bahan Berbahaya dan Beracun yang dilarang dipergunakan
Adapun contoh Bahan Berbahaya dan Beracun dalam kelompok ini
adalah Aldrin, Chlordane, DDT, Dieldrin, Endrin, Heptachlor, Mirex,
Toxaphene, Hexachlorobenzene, dan PCBs.
3. Bahan Berbahaya dan Beracun yang terbatas dipergunakan.
Adapun contoh Bahan Berbahaya dan Beracun dalam kelompok ini
adalah Captafol, Chlordimeform (CDM), Chlorobenzilate, Dinoseb dan
garam-garam dinoseb (DNBP), Ethylene Dibromida (EDB), serta
Fluoroacetamide.
- Keputusan Presiden No. 21 Tahun 2003 Tentang Pengesahan Protocol 9
Dangerous Goods (Protokol 9 Barang-Barang Berbahaya)
Dalam Keputusan Presiden ini adapun istilah yang digunakan untuk
menunjuk Bahan-bahan kimia berbahaya adalah istilah barang-barang
berbahaya. Pada dasarnya keputusan ini hanya difokuskan pada pengaturan
dalam hal pergerakan barang-barang berbahaya dalam transit pada rute-rute
jalan (atau jalan raya antar negara) yang telah ditentukan oleh para pihak
yang mengadakan perjanjian dalam protokol ini. Adapun para pihak yang
mengadakan perjanjian tersebut adalah Pemerintah Negara Brunei
Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik Indonesia, Republik Demokrasi
Rakyat Laos, Malaysia, Uni Myanmar, Republik Philipina, Republik
Singapura, Kerajaan Thailand dan Republik Sosialis Vietnam (Anggota dari
Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara).
Adapun barang-barang berbahaya yang diatur dalam Protokol
tersebut dibagi dalam Kelas/ Divisi sebagai berikut :
1. Kelas 1 : Mudah meledak
2. Kelas 2 : Divisi 2.1 : Gas-gas mudah terbakar
Divisi 2.2 : Gas-gas tidak mudah
terbakar, gas- gas tidak
beracun
Divisi 2.3 : Gas-gas beracun.
3. Kelas 3 : Cairan mudah terbakar dan cairan yang
mengandung unsur mudah meledak.
4. Kelas 4 : Divisi 4.1 : Padatan mudah terbakar,
zat-zat yang bereaksi
sendiri dan padatan yang
mengandung unsur mudah
meledak.
Divisi 4.2 : Zat-zat yang dapat menyala secara
spontan
Divisi 4.3 : Zat-zat yang jika kontak dengan air
menimbulkan gas yang mudah
terbakar.
5. Kelas 5 : Divisi 5.1 : Zat-zat yang berbahaya jika
dihirup
Divisi 5.2 : Peroksida Organik
6. Kelas 6 : Divisi 6.1 : Zat-zat beracun
Divisi 6.2 : Zat-zat yang mengandung
unsur menular.
7. Kelas 7 : Bahan radioaktif
8. Kelas 8 : Zat-zat yang korosif/mudah berkarat
9. Kelas 9 : Bahan-bahan dan zat-zat lainnya.
- Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia No. 24/M
IND/PER/5/2006 Tentang Pengawasan Produksi Dan Penggunaan Bahan
Berbahaya Untuk Industri
Dalam Peraturan Menteri ini sama halnya dengan Peraturan Menteri
Perdagangan No. 23 Tahun 2011, adapun istilah yang digunakan untuk
menunjuk Bahan-bahan kimia berbahaya adalah Bahan Berbahaya. Bahan
Berbahaya dalam peraturan menteri ini hanya difokuskan pada
pengawasan produksi dan penggunaan bahan berbahaya untuk industri.
Adapun industri yang dimaksud adalah suatu kegiatan ekonomi
yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi dan
atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk
penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan
industri. Hal tersebut dinyatakan jelas dalam ketentuan pasal 1 angka 1
Peraturan Menteri ini.
Terlepas dari hal tersebut, adapun jenis-jenis Bahan Berbahaya
yang diatur dalam peraturan menteri ini adalah Formalin, Borax,
Kuning Metanil, Rodamin B, Paraformaldehyde, dan Trioksan.
- Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 23/M-
Dag/Per/9/2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor : 44/M-Dag/Per/9/2009 Tentang Pengadaan,
Distribusi, Dan Pengawasan Bahan Berbahaya
Dalam Peraturan Menteri ini, adapun istilah yang digunakan untuk menunjuk
Bahan-bahan kimia Berbahaya adalah Bahan Berbahaya. Peraturan Menteri ini
hanya difokuskan pada pengawasan tata niaga impor dan distribusinya. Adapun
jenis-jenis Bahan Berbahaya yang diawasi pengimporan dan distribusinya dalam
Peraturan Menteri menteri ini, adalah :
1. Jenis Bahan Berbahaya yang diatur tata niaga impornya
Adapun contoh dalam jenis ini adalah Borat Alam dan
pekatannya, Sodium borat alam dan pekatannya, Air raksa,
Sianida, oksida sianida dan sianida komplek, Dari natrium,
Peroksoborat (perborat), Methanal (Formaldehida), Metanil
Yellow, serta Rodamin B.
2. Jenis Bahan Berbahaya yang diatur distribusi dan
pengawasannya
Adapun contoh dalam jenis ini adalah Alkannin, Asam Borat,
Asam Monokloroasetat, Asam Nordihidroguaiaretat, Asam
Salisilat, Auramin, Amaran, Besi (III) oksida, Bismut
Oksiklorida, Boraks, Coklat FB, Dietil Pirokarbonat, dan
Dulsin.
- Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 10 Tahun 2013
Tentang Pengesahan Rotterdam Convention On The Prior Informed
Consent Procedure For Certain Hazardous Chemicals And Pesticides
In International Trade (Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur
Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia Dan
Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional)
Dalam Undang-undang ini keberadaan bahan-bahan kimia hanya diatur dalam
ruang lingkup perdagangan internasional saja. Perlunya pengaturan dalam hal ini
dikarenakan perdagangan global dalam bidang industri bahan kimia dan pestisida
saat ini tumbuh pesat dalam rangka memenuhi kebutuhan perindustrian dan
pertanian. Perdagangan bahan kimia dan pestisida berbahaya tetap berjalan karena
dianggap memberikan keuntungan dan masih diperlukan terutama oleh negara
berkembang seperti Indonesia, yang pada umumnya digunakan sebagai bahan
baku atau bahan penolong untuk kegiatan industri dan pertanian.
Terlepas dari hal tersebut, setiap negara berkembang masih mempunyai
kesulitan dalam rangka melakukan pengawasan serta untuk menentukan bahan
kimia dan pestisida yang aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
Keprihatinan terhadap praktik perdagangan bahan kimia dan pestisida berbahaya
tertentu mendorong ditetapkannya dua prosedur yaitu The International Code of
Conduct on Distribution and Use of Pesticides pada Konferensi Food and
Agriculture Organization (FAO) pada tahun 1985, dan The London Guidelines for
the Exchange of Information on Chemicals in International Trade oleh United
Nations Environment Programme (UNEP) Governing Council pada tahun 1987
dan direvisi pada tahun 1989.
Dalam kenyataannya kedua prosedur di atas belum dapat dilaksanakan secara
efektif karena bersifat sukarela dan belum mengatur mengenai tanggung jawab
bersama dan kerja sama dalam perdagangan internasional bahan kimia dan
pestisida berbahaya. Untuk itulah, masyarakat internasional menganggap perlu
adanya suatu komitmen yang mengatur prosedur persetujuan atas dasar informasi
awal dalam perdagangan internasional bahan kimia dan pestisida berbahaya
tertentu yang diwujudkan melalui Rotterdam Convention on the Prior Informed
Consent Procedure for Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in
International Trade (Konvensi Rotterdam tentang Prosedur Persetujuan atas
Dasar Informasi Awal untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu
dalam Perdagangan Internasional) yang selanjutnya disebut Konvensi Rotterdam.
Konvensi Rotterdam bertujuan untuk meningkatkan upaya tanggung jawab
bersama dan kerja sama antarnegara dalam perdagangan internasional bahan
kimia dan pestisida berbahaya tertentu untuk melindungi kesehatan manusia dan
lingkungan hidup serta untuk meningkatkan penggunaan bahan kimia dan
pestisida yang ramah lingkungan melalui Pertukaran informasi dan proses
pengambilan keputusan ekspor dan impor.
Dari beberapa Peraturan Perundang-undangan yang telah disebutkan diatas
maka dapat dimaknai beberapa hal penting, yakni : Pertama, bahwa keberadaan
Bahan-Bahan Kimia Berbahaya selain diatur dalam Undang-undang No. 9 Tahun
2008 juga diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Kedua,
selain keberadaannya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya,
hal tersebut juga menunjukkan bahwa keberadaan peraturan perundang-undangan
lainnya sejatinya memback-up keberadaan Undang-undang No. 9 Tahun 2008
bilamana terjadi suatu peristiwa yang tidak diketemukan pengaturannya dalam
UU No. 9 Tahun 2008. Ketiga, berdasarkan pemaparan mengenai beberapa
regulasi yang pernah dan masih berlaku dalam Hukum Positif Indonesia, maka
dapat dimaknai bahwa keberadaan bahan-bahan kimia berbahaya dari dulu hingga
sekarang penting untuk diatur dalam suatu regulasi, karena pengaruh dan
dampaknya yang sangat berbahaya bagi lingkungan, kesehatan manusia, dan juga
terhadap makhluk hidup lainnya.
Pertanggungjawaban Pidana Bagi Setiap Orang/ Individu Yang
Menyalahgunakan Bahan-bahan Kimia Berbahaya Dalam Suatu Tindak
Pidana
Pada dasarnya pelaku dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan yang
telah dilakukan, apabila telah melakukan tindak pidana. Pengertian perbuatan
pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang
mana disertai ancaman (sanksi) atau berupa pidana tertentu, bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut.
Pada waktu membicarakan pengertian perbuatan pidana, telah diajukan
bahwa dalam istilah tersebut tidak termasuk pertanggungjawaban.
Pertanggungjawaban pidana dilakukan atas asas hukum “tidak dipidana jika tidak
ada kesalahan” (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sist
rea).107
Kesalahan selalu bertalian dengan pembuat tindak pidana. Kesalahan
adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena sebenarnya dapat berbuat
lain. Dicelanya subjek hukum manusia karena melakukan tindak pidana, hanya
dapat dilakukan terhadap mereka yang keadaan batinnya normal. Dengan kata
107
Moeljatno I, Op.cit, h. 165
lain, untuk adanya kesalahan pada diri pembuat diperlukan syarat, yaitu keadaan batin
yang normal.39
Moeljatno mengatakan, hanya terhadap orang-orang yang keadaan jiwanya
normal sajalah, dapat kita harapkan dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan
pola yang telah dianggap baik dalam masyarakat. Oleh karena itu, hanya orang yang
keadaan batinnya normal memenuhi syarat untuk dinilai, apakah dapat dicela atas
suatu tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, menurut Mezger dapat
disimpulkan bahwa di dalam pertanggungjawaban pidana semua unsur kesalahan
tersebut harus dihubungkan dengan perbuatan pidana yang telah dilakukan sehingga
untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka terdakwa
haruslah :
- Melakukan perbuatan pidana;
- Mampu bertanggungjawab;
- Dengan kesengajaan atau kealpaan;
- Tidak adanya alasan pemaaf.40
Kesalahan seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang
dipertanggungjawabkannya juga ditujukan kepada timbulnya tindak pidana yang
bersifat melawan hukum. Kesalahan dapat timbul dari kesengajaan dan kealpaan.
Kesengajaan merupakan tanda utama dalam menentukan adanya kesalahan pada
pelaku pidana. Frank mengatakan bahwa “sengaja apabila suatu akibat yang
ditimbulkan karena suatu tindakan dan oleh sebab itu tindakan yang bersangkutan
dilakukan sesuai dengan bayangan yang lebih dahulu telah dibuat tersebut”.41
39
Chairul Huda, Op.cit, h. 88
40 Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Cetakan ke-1, Alfabeta,
Bandung, h. 155
41 Dwija Priyatno, 2004, Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawaban
Korporasi di Indonesia, Bandung, h. 133
Kesengajaan ditujukan kepada terjadinya tindak pidana yang bersifat melawan
hukum. Tindak pidana yang perwujudannya khusus, seperti percobaan dan
penyertaan, hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap pembuatnya, apabila
dilakukan dengan sengaja, yaitu apabila si pelaku menghendaki dan mengetahui hal
tersebut pada waktu melakukan perbuatan pidana.
Pertanda kesalahan yang lain, secara teknis hukum pidana disebut dengan
kealpaan. Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang bersifat eksepsional. Artinya,
tidak semua perbuatan yang terjadi karena kealpaan pembuatnya, dapat dicela.
Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan adalah suatu struktur yang sangat
“gecompliceerd”, yang di satu sisi mengarah pada kekeliruan dalam perbuatan
seseorang secara lahiriah dan di sisi lain mengarah pada keadaan batin orang itu.42
Terlepas dari hal tersebut diatas, keberadaan bahan-bahan kimia berbahaya pada
dasarnya telah diakui dan bahkan diatur dalam Hukum Positif Indonesia.
Keberadaannya diatur dikarenakan sifat dan dampaknya yang berbahaya bagi
kesehatan manusia, lingkungan, dan makhluk hidup lainnya. Meskipun disatu sisi
bahan-bahan kimia berbahaya tersebut dibutuhkan di berbagai sektor, sebagai salah
satu contohnya adalah bahan kimia berbahaya sianida pada dasarnya di fungsikan
untuk mengekstraksi emas dan perak di pertambangan atau dengan kata lain bahan ini
berfungsi untuk memisahkan kandungan emas dari material lainnya, sehingga unsur
emas murni didapatkan.
Namun jika melihat dan memperhatikan beberapa kasus yang telah terjadi
dewasa ini, seperti pembunuhan Wayan Mirnah Salihin dengan menggunakan bahan
kimia berbahaya sianida, penyalahgunaan bahan kimia berbahaya sebagai bahan
untuk merakit bom dan penyalahgunaan bahan kimia sebagai sarana untuk
menangkap ikan secara illegal. Hal tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi
42
Mahrus Ali, Op.cit, h. 177
penyalahgunaan fungsi dari bahan-bahan kimia berbahaya tersebut. Dengan
berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahun, maka cara-cara orang untuk
melakukan kejahatan pun semakin berkembang. Pada awalnya, bahan-bahan kimia
berbahaya hanya digunakan dalam bidang medis, pendidikan, perindustrian dan lain
sebagainya, namun sekarang dengan mengandalkan dampak dan sifatnya yang
beracun, bagi beberapa oknum hal tersebut sangat menguntungkan dalam hal
memperlancar aksi kejahatannya.
Hal ini jika tidak dicegah sedini mungkin maka keberadaan bahan-bahan kimia
pada dasarnya akan menjadi salah satu cara yang akan digunakan oleh setiap orang
untuk melakukan kejahatan. Ini sangat mungkin sekali terjadi dikarenakan bahan-
bahan kimia berbahaya pada dasarnya sangat mudah untuk didapatkan atau di beli
oleh setiap orang. Sampai saat ini Undang-undang yang hanya secara khusus
mengatur mengenai penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya adalah Undang-
Undang Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 tentang Penggunaan Bahan
Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia. Diluar dari
pada itu memang keberadaan bahan-bahan kimia berbahaya diatur dalam peraturan
perundang-undangan lainnya, namun fokus pengaturannya berbeda-beda. Hal
tersebutlah yang menguatkan bahwa hanya Undang-undang No. 9 Tahun 2008 lah
yang secara khusus mengatur mengenai pemakaian atau penggunaan bahan-bahan
kimia berbahaya.
Terlepas dari hal tersebut, pada dasarnya jika memperhatikan secara detail
Undang-undang No. 9 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan
Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia, maka sesungguhnya tidak
ditemukan satu pasal yang secara khusus mengatur mengenai pertanggungjawaban
pidana bagi setiap orang/ individu yang menyalahgunakan bahan-bahan kimia
berbahaya dalam suatu tindak pidana. Hal ini berarti bahwa setiap pasal dalam
undang-undang ini tidak mengatur baik secara implisit ataupun eksplisit mengenai
sanksi pidana bagi tindak pidana penyalahgunaan bahan-bahan kimia berbahaya yang
oleh oknum-oknum tertentu digunakan untuk memuluskan aksi kejahatannya.
Dalam Undang-undang No. 9 Tahun 2008 pada dasarnya secara garis besar
hanya memuat ketentuan tentang :
3. Ketentuan mengenai perizinan dalam memproduksi, memiliki, menyimpan,
mentransfer, atau menggunakan Bahan Kimia beserta sanksinya (Pasal 7
dan Pasal 9).
Dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa :
(1) Setiap orang yang memproduksi, memiliki, menyimpan,
mentransfer, atau menggunakan Bahan Kimia Daftar 1 atau
Bahan Kimia Daftar 2 dan/atau Bahan Kimia Daftar 3 wajib
memiliki izin.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), khususnya dengan
Bahan Kimia Daftar 2 dan/atau Bahan Kimia Daftar 3, dilakukan
hanya untuk kepentingan:
a. industri, pertanian, penelitian, medis, farmasi, atau tujuan
damai lainnya;
b. perlindungan, yaitu untuk tujuan yang berkaitan langsung
dengan perlindungan menghadapi bahan kimia beracun atau
menghadapi senjata kimia;
c. pertahanan yang tidak berkaitan dengan penggunaan senjata
kimia dan tidak bergantung pada penggunaan bahan kimia
beracun yang digunakan sebagai metode perang; atau
d. penegakan hukum, termasuk di dalamnya untuk mengatasi
kerusuhan di dalam negeri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perizinan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Jika melihat penjelasan dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia
No. 9 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Bahan Kimia Dan Larangan Penggunaan
Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia, maka hanya dijelaskan terkait penjelasan pada
Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa Bahan Kimia Daftar 1 pada dasarnya
dilarang, tetapi dapat diadakan dan digunakan untuk kepentingan penelitian, medis,
dan/atau farmasi dengan izin Menteri. Terlepas dari hal tersebut, dalam Pasal 7 ayat
(2) dan ayat (3) tidak diberikan penjelasan secara rinci atau dengan kata lain hanya
dinyatakan dengan perkataan “cukup jelas”.
Sedangkan dalam Pasal 9 sendiri dinyatakan bahwa :
(1) Setiap orang yang membuat, memproduksi, memiliki, menyimpan,
mentransfer, atau menggunakan Bahan Kimia Daftar 1, Bahan
Kimia Daftar 2, atau Bahan Kimia Daftar 3 wajib menyampaikan
laporan sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun kepada
Menteri.
(2) Setiap orang yang memproduksi bahan kimia organik diskret
nondaftar dengan batasan jumlah yang harus dideklarasikan
wajib menyampaikan laporan kepada Menteri.
(3) Setiap orang yang mempunyai fasilitas pabrik yang memproduksi
Bahan Kimia Daftar 1, Bahan Kimia Daftar 2, Bahan Kimia
Daftar 3, dan bahan kimia organic diskret nondaftar wajib
menyampaikan laporan kepada Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Jika melihat penjelasan yang berhubungan dengan pasal 9, maka hanya
didapatkan suatu penjelasan terkait dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 9 ayat
(2), dengan kata lain pasal 9 ayat (1) dan ayat (3) tidak dijelaskan secara rinci.
Adapun hal yang dijelaskan dalam pasal 9 ayat (2) adalah Yang dimaksud dengan
“batasan jumlah” adalah jumlah minimum yang harus dideklarasikan sebagaimana
tercantum dalam Konvensi Senjata Kimia.
Dari hal tersebut diatas dapat dimaknai beberapa hal penting, yakni : Pertama,
bahwa berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam pasal 7 ayat (1) mengharuskan
setiap orang yang memiliki, menyimpan, dan bahkan memproduksi bahan-bahan
kimia berbahaya wajib memiliki izin. Namun demikian jika mencermati secara
mendalam, baik dalam penjelasan undang-undang ini dan peraturan pemerintah yang
diharapkan dapat menjadi peraturan pelaksana dari Undang-undang No. 9 Tahun
2008 tidaklah ada, dalam arti lain secara lebih lanjut tata cara perizinan dalam orang
memiliki, menyimpan, dan memproduksi bahan-bahan kimia berbahaya tidak
terdapat aturan yang secara khusus mengaturnya. Dipihak lain dalam undang-undang
ini juga tidak memberikan suatu ancaman pidana bagi setiap orang yang memiliki,
menyimpan, dan memproduksi bahan-bahan kimia berbahaya tanpa adanya suatu izin
sah yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Hal tersebutlah yang memungkinkan dan memberi peluang kepada setiap
orang untuk dapat membeli secara bebas setiap bahan kimia berbahaya tanpa suatu
prosedur yang pasti. Jika niat seseorang dalam membeli bahan-bahan kimia tersebut
baik, dalam arti digunakan untuk keperluan-keperluan tertentu dalam menunjang
aktifitasnya, maka tidaklah perlu dipermasalahkan tata cara prosedur ataupun izin
dalam memiliki bahan-bahan kimia berbahaya. Namun jika melihat dan berkaca dari
beberapa kasus yang telah terjadi belakangan ini, seperti penyalahgunaan bahan-
bahan kimia berbahaya untuk meracuni orang melalui minuman, dan penyalahgunaan
bahan-bahan kimia sebagai bahan untuk merakit bom, maka dianggap perlu untuk
diadakannya penambahan-penambahan pasal ataupun dibentuknya suatu peraturan
pelaksana yang sekiranya dapat mengatur mengenai tata cara atau prosedur mengenai
izin dalam orang memiliki, menyimpan, dan bahkan memproduksi bahan-bahn kimia
berbahaya.
Kedua, melalui ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) beserta dengan
penjelasannya maka dapat dimaknai bahwa setiap orang yang telah memiliki izin
untuk memiliki, menyimpan, dan bahkan memproduksi bahan-bahan kimia berbahaya
hanya diperbolehkan penggunaannya dalam hal-hal tertentu saja. Hal tertentu yang
dimaksud yaitu seperti keperluan industri, pertanian, medis, dan lain sebagainya.
Yang menjadi suatu permasalahan pokok disini adalah, dalam Undang-undang ini
tidak memuat pengaturan mengenai pidana apa yang diberikan jika seseorang ketika
telah memiliki bahan-bahan kimia berbahaya dan selanjutnya disalahgunakan untuk
melakukan hal-hal yang dilarang oleh undang-undang.
Hal tersebutlah sejatinya yang memberi ruang kepada oknum-oknum tertentu
untuk melakukan penyalahgunaan bahan-bahan kimia berbahaya, selain tata cara izin
memiliki yang tidak jelas, juga tidak adanya suatu aturan yang pasti yang dapat
mempidanakan seseorang dalam hal menyalahgunakan bahan-bahan kimia berbahaya
dalam suatu tindak pidana.
Ketiga, dalam pasal 9 ayat (1) ditegaskan bahwa setiap orang yang membuat,
memproduksi, memiliki, menyimpan, mentransfer, atau menggunakan bahan-bahan
kimia harus menyampaikan laporan sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun
kepada menteri. Lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan tidak dijelaskan secara
rinci dalam penjelasan undang-undang tersebut. Selain itu sama halnya dengan izin
yang diatur dalam pasal 7, peraturan pelaksana mengenai tata cara pelaporan yang
diatur dalam pasal 9 pun sampai saat ini belum ada. Hal inilah yang pada dasarnya
menjadi ruang bagi beberapa oknum untuk menyalahgunakan bahan-bahan kimia
berbahaya dalam suatu tindak pidana.
Keempat, berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan 9 ayat
(1) Undang-undang No. 9 Tahun 2008 sesungguhnya memberikan keleluasaan
kepada setiap orang untuk memproduksi, memiliki, menyimpan, mentransfer, atau
menggunakan Bahan-bahan Kimia. Namun jika diperhatikan secara seksama, maka
bilamana seseorang dapat diberikan suatu keleluasaan untuk dapat menggunakan
bahan kimia tersebut maka ia harus melakukan kewajibannya dalam hal memiliki izin
yang sah dari Pemerintah seperti yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1)
serta wajib menyampaikan laporan sekurang-kurangnya sekali dalam setahun kepada
Menteri seperti yang dinyatakan dalam Pasal 9 ayat (1).
Hal tersebut diatas jika dimaknai maka sesungguhnya konsekuensi logis dari
ketentuan tersebut adalah seseorang bisa saja memiliki dan menggunakan bahan-
bahan kimia berbahaya asalkan ia mampu melakukan kewajibannya dalam hal
memiliki izin dari Pemerintah dan melakukan kewajibannya untuk melapor kepada
Menteri. Secara logis jika suatu kewajiban tersebut tidak dilaksanakan oleh seseorang
yang bersangkutan maka secara langsung hak orang lain akan merespon karena telah
dilanggarnya atau tidak dilakukannya. Namun sesungguhnya jika diperhatikan secara
seksama, kewajiban yang tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) tidak
diiringi dengan konsekuensi yuridis. Ketentuan yang tertuang dalam Pasal 7 ayat (1)
dan Pasal 9 ayat (1) tidak memuat ancaman pidana jika seseorang terbukti tidak
memiliki izin dan tidak melapor kepada Menteri ketika seseorang menggunakan dan
bahkan menyimpan bahan-bahan kimia berbahaya. Hal ini juga yang terlihat dalam
ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-undang No. 9 Tahun 2008, yang tidak memuat
konsekuensi yuridis kepada setiap orang yang menyalahgunakaan bahan-bahan kimia
berbahaya diluar kepentingan-kepentingan yang telah diatur dalam undang-undang
ini. Oleh sebabnya sampai saat ini orang dapat secara bebas dan leluasa untuk dapat
memperoleh, menyimpan dan bahkan menggunakan bahan-bahan kimia yang
sesungguhnya memiliki sifat berbahaya bagi dirinya sendiri dan bahkan lingkungan
sekitarnya.
Dengan keterbatasan yang dimiliki oleh undang-undang inilah maka sejatinya
memberikan ruang lebar kepada setiap orang untuk dapat menyalahgunakan fungsi
awal bahan-bahan kimia berbahaya guna keperluan untuk melancarkan aksi
kejahatan. Undang-undang ini dalam setiap pasal dan ketentuan pidananya belum
merumuskan mengenai ancaman pidana bagi mereka yang secara sengaja
menyalahgunakan bahan-bahan kimia berbahaya. Padahal dengan unsur sengaja
tersebut menurut teori yang telah dipaparkan diatas dikatakan merupakan tanda utama
dalam menentukan adanya kesalahan pada pelaku pidana.
Seluruh contoh kasus yang terjadi dari dulu hingga sekarang, setiap pelaku
pidana penyalahgunaan bahan-bahan kimia berbahaya secara terang melakukan
perbuatan tersebut dengan sengaja menyalahgunakan fungsi awal bahan-bahan kimia
berbahaya untuk keperluan yang sesungguhnya dilarang oleh undang-undang. Hanya
sangat disesalkan sampai saat ini Undang-undang No. 9 Tahun 2008 yang secara
khusus mengatur mengenai penggunaan bahan kimia dan larangan penggunaan bahan
kimia sebagai senjata kimia belum dapat mengakomodir terkait pemidanaan bagi
mereka yang menyalahgunakan, meskipun pada dasarnya akibat yang ditimbulkan
telah merugikan banyak pihak.
Pertanggungjawaban Pidana Bagi Korporasi Yang Menyalahgunakan Bahan-
bahan Kimia Berbahaya Dalam Suatu Tindak Pidana
Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah
seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusan-perumusan dari
tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi
subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman/pidana yang termuat
dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan, dan denda.43
Keberadaan KUHP Indonesia memang hanya menetapkan bahwa yang menjadi
subjek tindak pidana hanyalah orang perseorangan, sehingga pembuat Undang-
Undang dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia yang
melakukan tindakan didalam atau melalui organisasi, yang dalam hukum keperdataan
maupun diluarnya (misalnya dalam hukum administrasi) muncul sebagai satu
kesatuan dan karena itu diakui serta mendapatkan perlakuan sebagai badan hukum
atau korporasi, oleh karena itu pembuat Undang-Undang akan merujuk kepada
pengurus atau komisari korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi semacam
ini. Atas hal tersebut, KUHP Indonesia tidak bisa dijadikan sebagai landasan
pertanggungjawaban pidana oleh korporasi , namun hanya dimungkinkan
pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi.
Meskipun korporasi di Indonesia saat ini tidak diikutsertakan dalam KUHP
sebagai subjek hukum yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, namun
korporasi mulai diposisikan dalam hukum pidana dengan diterapkannya Undang-
Undang No. 7/Drt/1995 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi.
Pada dasarnya antara korporasi dengan manusia memiliki karakteristik yang
berbeda. Bila manusia memiliki pikiran, kehendak, dan tangan sehingga bisa
membunuh, memerkosa, dan mencemarkan nama baik atau kehormatan seseorang,
tidak demikian dengan korporasi. Karena itulah, penentuan tindak pidana oleh
korporasi berbeda dengan kapan suatu tindak pidana dilakukan manusia. Tindak
43
Wirjono Prodjodikoro, Loc.cit.
pidana korporasi selalu merupakan tindakan fungsional dan berbentuk delik
penyertaan.44
Korporasi dapat diartikan sebagai suatu gabungan orang yang dalam pergaulan
hukum bertindak bersama-sama sebagai subjek hukum tersendiri atau suatu
personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota serta memiliki hak dan
kewajiban sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing. J.C.
Smith dan Brian Hogan mendefiniskan korporasi sebagai badan hukum yang tidak
memiliki fisik dan oleh karena itu tidak dapat bertindak atau memiliki kehendak
kecuali melalui direktor atau karyawannya. Direktor atau atau karyawan juga
merupakan entitas hukum yang berbeda dengan korporasi, karena semua bentuk
pertanggungjawaban hukum korporasi adalah melalui pertanggungjawaban
pengganti. Pemikiran ini berarti bahwa korporasi tidak bisa melakukan kejahatan, tapi
orang-orang yang bertindak untuk dan/ atau atas nama korporasilah yang bisa
melakukan kejahatan.45
Terkait dengan pemikiran bahwa korporasi tidak bisa melakukan tindakan
hukum tanpa melalui orang-orang tertentu, Chidir Ali menyatakan bahwa hukum
memberi kemungkinan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, bahwa suatu
perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang yang merupakan pembawa hak,
karenanya dapat menjalankan hak-hak seperti orang biasa serta dapat
dipertanggunggugatkan. Namun demikian, badan hukum (korporasi) bertindak harus
dengan perantaraan orang biasa, akan tetapi orang yang bertindak itu tidak untuk
dirinya sendiri, melainkan untuk dan atas pertanggunggugatkan korporasi.46
44
Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Op.cit, h. 145.
45 Ibid, h.147
46 Ibid.
Korporasi dalam tataran hukum pidana Indonesia termasuk bentuk lain dari
badan hukum. Selain badan hukum, organisasi maupun perkumpulan orang yang
tidak terdaftar sekalipun juga dapat dikatakan sebagai korporasi dalam hukum pidana.
Di Indonesia, terhadap korporasi dapat dilakukan pemidanaan, hal yang mengaturnya
tersebut tersebar dalam beberapa perundang-undangan yang menyatakan bahwa suatu
korporasi dapat dinyatakan sebagai subjek hukum pidana, sehingga oleh karenanya
dapatlah dilakukan pemidanaan atas korporasi. Adapun beberapa contoh perundang-
undangan yang menyatakan bahwa korporasi dapat dijadikan sebagai subjek hukum,
adalah :
- Undang-Undang No. 11/PNPS/1946 tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi;
- Undang-Undang No. 6 Tahun 1984 tentang Pos;
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
dan Ekosistemnya;
- Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
- Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;
- Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai;
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
- Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa Korporasi sebagai subjek tindak pidana,
keberadaannya hanya diakui dalam Undang-Undang Tindak Pidana Khusus (diluar
KUHP), sedangkan dalam KUHP korporasi tidak diakui sebagai subjek hukum.
Berkaitan dengan itu, E. Utrecht menyatakan bahwa, Pasal 59 KUHP yang
mengandung ancaman hukuman terhadap pengurus dan korporasi suatu badan hukum
(rechtpersoon) karena disangka atau diduga telah melakukan suatu delik, hanya
berlaku dalam hal pelanggaran saja. Yang dihukum menurut Pasal 59 KUHP adalah
komisaris atau anggota suatu badan hukum orangnya satu perusahaan publik satu.
Tidak dikatakan bahwa pasal 59 KUHP tercantum suatu tanggungjawab kolektif
terhadap komisaris atau anggota pengurus suatu badan hukum.
Namun, sebagaimana dapat diketahui juga lebih lanjut dalam Pasal 59 KUHP
yang menyebutkan :
“Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran pidana ditentukan terhadap
pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka
pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut
campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.”
Maksud dari bunyi pasal tersebut, maka sekalipun pengurus korporasi bertindak
mewakili korporasi atau bertindak atas nama korporasi, ketika suatu peristiwa yang
dapat diklasifikasikan sebagai suatu tindak pidana itu terjadi karena perbuatan
pengurus korporasi tersebut, bukan korporasi yang harus memikul beban
pertanggungjawaban pidananya, akan tetapi pribadi-pribadi dari pengurus korporasi
itu sendiri. Hal inilah yang menguatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana tidak
dikenal dalam KUHP, melainkan hanya manusialah yang dikenal dalam KUHP
sebagai subjek hukum pidana. Apabila pengurus suatu korporasi melakukan
perbuatan hukum dalam kapasitasnya mewakili korporasi, sehingga karena itu
bertindak untuk dan atas nama korporasi, maka pertanggungjawaban pidananya tidak
dibebankan kepada korporasi, tetapi kepada pribadi-pribadi pengurus yang
bersangkutan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, jika melihat keberadaan subjek hukum
korporasi di dalam Undang-undang No. 9 Tahun 2008, maka sesungguhnya korporasi
diakui sebagai subjek hukum yang sah yang dapat melakukan suatu perbuatan
hukum. Istilah “setiap orang” di dalam Undang-undang ini menunjuk kepada subjek
hukum orang perseorangan atau termasuk juga subjek hukum korporasi. Hal tersebut
dinyatakan jelas dalam ketentuan Pasal 1 angka 20 Undang-undang No. 9 Tahun
2008.
Selain itu dalam Pasal 10 Undang-undang No. 9 Tahun 2008 juga memberikan
penjelasan bahwa “Dalam hal pelaku kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) berbentuk korporasi, laporan yang disampaikan wajib ditandatangani oleh
pengurus korporasi yang bersangkutan.” Lebih lanjut pasal 9 ayat (1) menyatakan
bahwa “Setiap orang yang membuat, memproduksi, memiliki, menyimpan,
mentransfer, atau menggunakan Bahan Kimia Daftar 1, Bahan Kimia Daftar 2, atau
Bahan Kimia Daftar 3 wajib menyampaikan laporan sekurang-kurangnya sekali
dalam satu tahun kepada Menteri.” Ketentuan ini sesungguhnya mengandung makna
bahwa korporasi dalam Undang-undang ini dapat melakukan suatu kegiatan dalam
hal membuat, memproduksi, memiliki, menyimpan, mentransfer, atau menggunakan
bahan-bahan kimia berbahaya. Melalui ketentuan tersebut semakin memperjelas
bahwa korporasi sesungguhnya dapat melakukan suatu perbuatan yang sama seperti
yang dilakukan oleh subjek hukum perorangan. Hanya saja yang bertindak dalam hal
ini adalah pengurus korporasi atau orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama
korporasi.
Selain itu untuk penjatuhan pidana terhadap korporasi dalam Undang-undang
No. 9 Tahun 2008 dapat dimungkinkan untuk ditimpakan kepada korporasi atau dapat
juga ditimpakan kepada pengurusnya. Hal tersebut dinyatakan jelas dalam ketentuan
yang diatur dalam Pasal 29. Adapun ketentuan tersebut menyatakan bahwa :
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai
dengan Pasal 27 dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan
penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal
27 dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh
orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain,
bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun
bersama-sama.
(3) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda
dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
Melalui ketentuan tersebut maka dapat dimaknai bahwa sesungguhnya
korporasi pun dalam undang-undang ini bisa dikenakan pidana jika terbukti
melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Adapun pidana yang
dikenakan kepada korporasi jika terbukti melakukan suatu perbuatan tercela adalah
pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga). Hal
tersebut dikarenakan hanya pidana itulah yang memungkinkan dapat ditimpakan
kepadanya dan dengan harapan dapat memberikan efek jera kepada korporasi.
Berbeda dengan pidana pokok yang dapat ditimpakan kepada orang perorangan
seperti pidana penjara dan pidana denda, ketika orang tersebut terbukti melakukan
suatu tindak pidana, namun korporasi atau badan hukum hanya dapat dikenakan
pidana pokok berupa pidana denda. Dipihak lain, selain korporasi langsung yang
dapat dilakukan penuntutan dan juga penjatuhan pidana, pengurus atau juga orang-
orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi juga dapat ditimpakan pidana
jika terbukti bahwa telah melakukan suatu perbuatan yang dapat merugikan pihak lain
atau orang banyak.
Namun dalam konteks pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi atau
badan hukum yang melakukan suatu perbuatan penyalahgunaan bahan-bahan kimia
berbahaya terhadap suatu tindak pidana, sesungguhnya belumlah diatur satu pasal pun
dalam undang-undang ini. Memang sampai saat ini belum ada contoh kasus konkret
yang menunjukkan adanya korporasi yang melakukan tindakan penyalahgunaan
tersebut. Tindak pidana yang lumrah atau yang sering dilakukan oleh korporasi
adalah korporasi melakukan pencemaran lingkungan, melakukan unfair business atau
bahkan melakukan suatu tindak pidana di bidang ekonomi seperti tindak pidana
korupsi atau tindak pidana pencucian uang (tindak pidana korupsi dan tindak pidana
pencucian uang secara pasif bahkan secara aktif) yang tidak hanya merugikan orang
perseorangan ataupun masyarakat luas tetapi juga sangat berpotensi menimbulkan
suatu kerugian Negara.
Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dapat pula dikategorikan sebagai
kejahatan transnasional yang bersifat terorganisir. Dikatakan demikian karena
kejahatan korporasi melibatkan suatu sistem yang tersistematis serta unsur-unsurnya
yang sangat kondusif. Dikatakan melibatkan suatu sistem yang tersistematis karena
adanya organisasi kejahatan (Criminal Group) yang sangat solid baik karena ikatan
etnis, kepentingan politis maupun kepentingan-kepentingan lain, dengan kode etik
yang sudah jelas. Sedangkan terkait dengan “unsur-unsurnya yang sangat kondusif”
bahwa dalam tindak pidana korporasi selalu ada kelompok (protector) yang antara
lain terdiri atas para oknum penegak hukum dan professional dan kelompok-
kelompok masyarakat yang menikmati hasil kejahatan yang dilakukan secara
tersistematis tersebut.47
Namun jika melihat dari beberapa contoh kasus yang dilakukan oleh orang
perorangan dalam perbuatan penyalahgunaan bahan-bahan kimia berbahaya, sangat
memungkinkan kedepannya terjadinya suatu perbuatan penyalahgunaan bahan-bahan
kimia berbahaya yang dilakukan oleh korporasi. Karena mengingat kedepannya
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka kejahatan pun akan
semakin berkembang. Hukum mau tidak mau juga akan terus mengalami
pembaharuan dan penambahan seiring berjalannya waktu dan berkembangnya
kejahatan itu sendiri. Oleh sebab itulah, Undang-undang No. 9 Tahun 2008
seharusnya lebih dilengkapi lagi dan diharapkan dapat dibentuknya suatu peratuaran
pelaksana dari Undang-undang ini agar dapat memberikan kepastian hukum bagi
masyarakat disaat terjadi suatu tindakan penyalahgunaan bahan-bahan kimia
berbahaya yang dilakukan oleh korporasi atau badan hukum.
47
Kristian, 2013, “Urgensi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, Jurnal Hukum dan
Pembangunan Tahun ke-44 Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Katolik
Parahyangan , Bandung, h.578
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, akhirnya penulis
menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pada dasarnya keberadaan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya di Indonesia
dituangkan dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan, baik dari tingkat
Undang-undang hingga Peraturan terendah lainnya dibawah Undang-undang.
Namun hingga saat ini, regulasi yang hanya secara khusus mengatur mengenai
Penggunaan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya adalah Undang-undang No. 9
Tahun 2008 Tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan
Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia, sedangkan Peraturan Perundang-
undangan lainnya mengatur Bahan-Bahan Kimia Berbahaya dengan fokus
pengaturan yang berbeda-beda.
2. Dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2008 pada dasarnya tidak mengatur
mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang dengan sengaja
menyalahgunakan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya dalam suatu tindak pidana.
Dengan kata lain, bahwa setiap pasal yang termuat dalam undang-undang
tersebut belum memberi ancaman pidana kepada orang ataupun korporasi
yang dengan sengaja menyalahgunakan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya.
3. Pembatasan penggunaan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya pada dasarnya sudah termuat
dalam Pasal 7 ayat (2), yang hanya memperbolehkan penggunaan Bahan-Bahan Kimia
Berbahaya untuk keperluan-keperluan tertentu, hanya saja ancaman pidananya belum
termuat dalam undang-undang ini bagi mereka yang dengan sengaja mempergunakan
Bahan-Bahan Kimia Berbahaya diluar ketentuan yang diatur dalam pasal 7 ayat (2).
5.2 Saran
Berdasarkan uraian dari kesimpulan diatas, maka penulis mengemukakan beberapa saran
sebagai berikut :
1. Diharapkan kepada Presiden yang dibantu juga oleh Wakil Presiden sekiranya dapat
merancang dan menetapkan suatu peraturan pelaksana yakni Peraturan Pemerintah dari
Undang-undang No. 9 Tahun 2008 yang dapat dijadikan suatu dasar hukum ketika
nantinya suatu peristiwa penyalahgunaan bahan-bahan kimia berbahaya terjadi, atau
dengan kata lain terdapat suatu peraturan pelaksana yang dapat memback-up keberadaan
dari Undang-Undang No. 9 Tahun 2008.
2. Bagi aparat penegak hukum terkhusus lembaga kepolisian bersama lembaga atau dinas
terkait seperti Dinas Kesehatan dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan agar
kedepannya dapat lebih mengawasi keberadaan dan peredaran Bahan-Bahan Kimia
Berbahaya guna menghindari tindakan penyalahgunaan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya
yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Dan bilamana terbukti bahwa terdapat orang
atau korporasi yang menyalahgunakan bahan-bahan kimia berbahaya maka aparat
penegak hukum seperti jaksa, hakim, dan petugas lembaga pemasyarakatan diharapkan
kedepannya dapat lebih professional dalam menanganinya sesuai dengan undang-undang
yang mengaturnya.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ali, H. Zainuddin, 2009, Metode Penulisan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Ali, Mahrus, 2011, Dasar-dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penulisan Hukum,
Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Atmasasmita, Romli, 1989, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cet.
Pertama, Yayasan LBH, Jakarta.
Farid, Zainal Abidin, 2010, Hukum Pidana 1, Cet. Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta.
Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, 2015, Sistem Pertanggungjawaban Pidana
(Perkembangan dan Penerapan), Rajawali Pers, Jakarta.
Huda, Chairul, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cet. Kedua, Kencana,
Jakarta.
Kholiq, M. Abdul, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Lamintang, 1983, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sumur Batu, Bandung.
Marpaung, Leden, 2009, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cet Keenam, Sinar
Grafika, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penulisan Hukum, Cetakan ke-4, Kencana,
Jakarta.
_____________________, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta
Moeljatno, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bima
Aksara, Jakarta.
________, 2009, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Priyatno, Dwija, 2004, Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawaban
Korporasi di Indonesia, Bandung.