bencana alam
TRANSCRIPT
MANAJEMEN BENCANA BERBASIS ILMU GIZI
Posisi geografis Indonesia menyebabkan berbagai bencana alam membayangi
kehidupan kita setiap waktu. Mulai dari gempa bumi, banjir, tsunami, tanah longsor hingga
letusan gunung berapi. Indonesia terletak pada pertemuan lempeng tektonik aktif, jalur
pegunungan aktif, dan kawasan beriklim tropik, sehingga menjadikan sebagian wilayahnya
rawan terhadap bencana alam. Jumlah korban bencana tergolong sangat tinggi dibandingkan
dengan Negara-negara lain. Data terakhir menunjukkan adanya peningkatan, baik dalam hal
jenis bencana, jumlah kerugian, dan jumlah korban jiwa. Bedasarkan data yang berhasil
dikelola oleh Badan Koordinasi Nasional Penanggulang Bencana (Bakornas – PB) diperoleh
data statistik mengenai rekapitulasi Bencana di Indonesia yang terjadi dari tahun 2004-2008
(Gambar .1), bencana yang paling sering terjadi adalah banjir sebesar 13%, kemudian
kekeringan sebesar 12%, banjir dan longsor sebesar 10%, angin topan 11 %, gempa bumi 7%
dan letusan gunung berapi 4%. Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat berbagai lembaga
pemerintah, Lembaga swadaya masyarakat atau pun organisasi masyarakat maupun
mahasiswa melakukan berbagai tindakan persiapan sebagai wujud kesiapsiagaan terhadap
bencana alam yang akan datang.
Kita memang tidak berharap agar bencana menimpa bumi Indonesia ini. Namun,
tindakan pencegahan dan proses penanggulangan bencana harus dilakukan secara cepat dan
tepat. Pujiono (2006) mengemukakan pada dasarnya penanggulangan bencana muncul dari
keyakinan bahwa hidup manusia pada hakekatnya adalah sangat berharga. Undang Undang
No. 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai “peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis. ISDR 2004 menjelaskan bahwa pada dasarnya bencana terbagi menjadi beberapa
tahap yaitu: tahap preventif yang terdiri atas mitigasi, dan tahap kesiapsiagaan
(preparedness), tahap tanggap darurat (response phase), tahap pemulihan.
Tahap preventif terdiri atas mitigasi dan kesiap siagaan. Berdasarkan UU no. 24 tahun
2007, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman
bencana. Bentuk mitigasi dapat berupa: mitigasi struktural (membuat rumah tahan gempa,
penyediaan obat-obatan, dan lain-lain) serta mitigasi non-struktural (peraturan perundang-
undangan, penyuluhan, pelatihan, dan lain-lain.) Sedangkan tahap kesiapsiagaan
(Preparedness) berdasarkan UU no. 24 tahun 2007, adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah
yang tepat guna dan berdaya guna. Misalnya: Penyiapan sarana komunikasi, pos komando,
penyiapan lokasi evakuasi, rencana kontinjensi, dan sosialisasi peraturan atau pedoman
penanggulangan bencana, penyiapan tim kesehatan, penyediaan tim farmasi, pembangunan
kerjasama dengan pensuplai obat, manajemen distribusi obat, dan lain-lain.
Tahap event phase terdiri atas tanggap bencana ( response) dimana dibutuhkan upaya
yang dilakukan segera pada saat terjadinya bencana, untuk menanggulangi dampak yang
ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan
pengungsian.
Tahap terakhir adalah Post-event phase terdiri atas pemulihan (Recovery). Pemulihan
adalah upaya atau langkah yang diambil setelah terjadinya bencana untuk membantu korban
bencana. Pada tahap ini, upaya yang dilakukan dapat berupa memulihkan korban dari luka-
luka dan sakit akibat gempa; pemulihan dari trauma; memperbaiki rumah, fasilitas umum dan
fasilitas sosial penting; menghidupkan kembali roda perekonomian, dan lain-lain.
Pasca terjadi bencana, daerah yang ditimpa bencana akan kehilanga sumber daya
penting yang berguna untuk memulihkan kembali kondisi daerah tersebut. Sumber daya alam
rusak, sumber logistik hilang entah kemana serta banyak sumber daya manusia berharga yang
direnggut oleh bencana alam. Disadari bahwa tindakan tanggap bencana sangat penting untuk
menghindari dampak yang lebih besar yang akan ditimbulkan oleh bencana. Tanggapan
terhadap bencana mencakup implementasi dari rencana-rencana kesiapan bencana dan
prosedur-prosedurnya. Kondisi seperti ini akan menumbuhkan permintaan terhadap bantuan
yang ditujukan kepada masyarakat di luar wilayah bencana. Dengan demikian, sistem logistik
menjadi salah satu hal yang sangat penting untuk penanganan pasca bencana.
Pengelolaan sistem logistik adalah aktivitas terpadu yang berkaitan dengan pengadaan
(procurement), penyimpanan (storage) dan penghantaran (delivery) barang sesuai dengan
jenis, jumlah, waktu, dan tempat yang dikehendaki atau diperlukan konsumen dari titik asal
(point of origin) ke titik tujuan (point of destination). Titik asal (point of origin) sebagai
titik pemasok yaitu titik-titik yang memiliki pasokan komoditi barang bantuan, misalnya,
Palang Merah Indonesia, Rumah Sakit, atau gudang-gudang penampungan barang bantuan
yang dimiliki oleh Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana. Logistik dari sumber akan
dibawa menuju titik persinggahan (transshipment point), yaitu titik-titik permintaan yang
juga sekaligus berperan sebagai titik pasokan. Bila titik permintaan ini dipasok sejumlah
barang yang jumlahnya lebih besar dari jumlah kebutuhan, maka akan terdapat sejumlah
kelebihan barang. Jumlah kelebihan barang ini selanjutnya dapat dikirimkan ke titik
permintaan yang lainnya. Selanjutnya logistik dibawa ke titik permintaan atau titik tujuan
tempat lokasi dimana bencana terjadi dan titik lokasi yang terkena dampak bencana.
Fenomena yang sering kita saksikan langsung atau mendengar dari media adalah
terjadinya kekurangan pangan, atau sistem distribusi pangan yang mengalami banyak
hambatan atau kalaupun memang kebutuhan pangan tersedia secara kuantitas, namun sangat
tidak memenuhi kebutuhan gizi korban bencana. Pangan yang disediakan tidak beragam jenis
dan kandungan gizinya. Perihal distribusi pangan merupakan permasalahan teknis dimana
ahli gizi tidak begitu membantu jika ahli gizi mengambil andil hal tersebut. Namun dalam hal
pengadaan pangan yang berkualitas, ahli gizi dapat memainkan peran sebagai wujud
kontribusi dalam penanggulangan bencana.
Peran ahli gizi akan berawal dari rantai distribusi logistik yang pertama yaitu mulai
dari rantai distribusi di titik asal (point of origin), dimana logistik tersebut dikumpulkan.
Kerap kali logistik yang diberikan hanya sebatas pengganjal rasa lapar. Asupan zat gizi yang
dikonsumsi tidak mampu membentengi tubuh korban bencana sehingga banyak diantara
mereka yang akhirnya jatuh sakit. Bagaimana tidak, ujian kekuatan fisik mereka sangat ketat
karena tinggal di lingkungan yang kumuh, dengan sanitasi sangat alakadarnya, ditambah lagi
asupan makanan yang sangat terbatas. Pada point of origin ini, ahli gizi dapat melakukan
sosialisasi makanan bergizi sesuai PUGS ( Pedoman Umum Gizi Seimbang). Sebelumnya,
PERSAGI ( Persatuan Ahli Gizi) akan mengadakan komunikasi dengan donatur bahan
makanan. Sebelum donatur memberikan sumbangan logistik kepada point of origin, pastilah
terlebih dahulu mereka akan mendeskripsikan bahan makanan apa yang akan mereka
sumbangkan. Jika dari suatu provinsi terdapat beberapa donatur besar, maka ahli gizi akan
mengarahkan mereka agar menyalurkan bahan makanan yang berbeda-beda sehingga
kandungan gizinya lebih beragam. Misal, perusahaan Indofood akan menyalurkan bantuan
berupa mie instant. Mie instant adalah bentuk logistik yang tidak dapat dimodiikasi menjadi
pangan lain. Dalam hal ini, jika pemerintah akan memberi bantuan kepada korban bencana,
maka dilakukan sosialisasi oleh ahli gizi yang mengarahkan pemerintah agar jangan lagi
memberi mie instant. Misal, pemerintah disarankan untuk mengirimkan buah yang
dimodifikasi agar tahan lama menjadi bentuk asinan buah atau sayur dimodifikasi menjadi
asinan sayur. Jika sosialisasi ini berjalan dengan baik dan berbagai pihak mengikuti program
yang diatur oleh ahli gizi untuk menciptakan pangan yang beragam jenis dan mengandung
beragam zat gizi, diharapkan jumlah korban bencana alam yang sakit dipengungsian
berkurang.
Tidak hanya itu, untuk donatur yang mengirimkan bahan mentah, ahli gizi dapat
memodifikasi bahan mentah untuk menciptakan makanan yang tinggi energi tinggi protein.
Menu makanan tinggi energi dan tinggi protein akan dimasak di dapur umum. Ahli gizi akan
mensosialisasikan bahan dan cara pembuatan menu makanan tersebut. Hal ini bukan mustahil
karena pangan tinggi nergi tinggi protein tidaklah pangan yang mahal dan memhabiskan
waktu yang lama serta prosedur yang kompleks untuk pengolahannya.
Tenaga kesehatan seperti ahli gizi juga dapat berkontribusi dalam menjalankan
menajemen bencana, seperti: a) Berkolaborasi dengan tenaga kesehatan fisik (dokter), tenaga
keperawatan, dan tenaga kesehatan lainnyauntuk penyediaan pangan pada keadaan darurat. b)
memberikan pelayanan pada pasien sebagai bagian dari tim medis. c) Berpartisipasi dalam
usaha pencegahan dan peningkatan kualitas kesehatan d) Berkontribusi dalam penelitian
tentang upaya pertolongan dalam keadaan darurat.
DAFTAR REFERENSI
http://www.gitews.org/tsunami-kit/en/E6/further_resources/national_level/
peraturan_kepala_BNPB/Perka%20BNPB%2013-2008_Pedoman%20Manajemen
%20Logistik%20dan%20Peralatan%20PB.pdf (diunduh 18 April 2011 pukul 02.00)
http://kampus.okezone.com/read/2010/11/08/95/390813/95/tanggap-bencana-dan-antisipasi-
risiko (diunduh 18 April 2011 pukul 07.00)
http://pid-sumbar.blogspot.com/ (diunduh 18 April 2011 pukul 06.48)
http://journal.uii.ac.id/index.php/Snati/article/viewFile/1034/990 (diunduh 18 April 2011
pukul 09.23)
http://www.idepfoundation.org/download_files/pbbm/01_Pendahuluan.pdf (diunduh 18 April
2011 pukul 07.56)