bekantan vol. 2/no. 1/2014 - forda-mof.org · mahasiswa praktikum farmakognosi di khdtk rantau 11...

44
1 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

Upload: vanbao

Post on 27-Jun-2018

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

2 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

Pembaca yang budiman, senang rasanya bisa mengantarkan

pembaca sekalian edisi kedua Majalah Bekantan. Untuk edisi

kedua ini Bekantan menyorot masalah kondisi hutan kita yang

memprihatinkan. Angka deforestasi yang mencapai 3,8 juta ha/

tahun pada tahun 2003, membuat negara kita menjadi sorotan dunia,

untuk masalah pengrusakan hutan. Jika hutan yang merupakan

penyangga kehidupan kondisinya memprihatinkan, maka tidak bisa

dipungkiri, bencanalah yang akan kita tuai. Bencana alam seperti

banjir, kekeringan, tanah longsor yang sekarang ini sering terjadi,

juga disebabkan salah satunya oleh makin menipisnya hutan kita.

Di tengah kritisnya kondisi hutan Indonesia, muncul pula ancaman

kelangkaan terhadap makanan, energy, air, (food, energy, water)

secara global.

Dilatarbelakangi kondisi tersebut, maka kami mengangkat

tema “Selamatkan Hutan Kita” sebagai fokus bahasan, yang

akan dibahas dalam 4 makalah. Tema ini diangkat juga untuk

memperingati bulan bhakti rimbawan yang baru saja kita lalui.

Bagaimananpun juga kewajiban rimbawan untuk menyelamatkan

hutan dari jurang kehancuran. Rimbawan dengan berbagai peran

dalam sektor kehutanan, dituntut untuk lebih giat bekerja, bekarya

untuk keselamatan hutan.

Begitu juga dengan Badan Litbang Kehutanan, dituntut

peranannya sebagai rel pembangunan kehutanan, khususnya dalam

pengembangan KPH. Arah badan litbang kehutanan menjawab

tantangan deforestasi, menjadi topik bahasan dalam fokus kali ini.

Rubrik-rubrik lainnya menyajikan informasi yang tak kalah menarik

dengan topic bahasan yang diangkat. Akhir kata, selamat menikmati

edisi kedua Bekantan.

Salam Redaksi

PENANGGUNG JAWAB:

Ir. Tjuk Sasmito Hadi, MSc

DEWAN REDAKSI:

Dr. Acep Akbar

Marinus K. Harun, MSc

Adnan Ardana, S.Sos

REDAKSI PELAKSANA:

Winingtyas W, S.Hut, MT, MSc

Fauziah, S. Hut

Agus Fitrianto, S. Hut

DESAIN GRAFIS DAN LAYOUT:

Purwanto Budi S

Sukma Alamsyah

Henda Ambo Basiang

ALAMAT REDAKSI:

Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

Jl. A. Yani Km 28,7 Landasan Ulin

Banjarbaru - Kalimantan Selatan 70721

Phone. (0511) 4707872,

Fax. (0511) 4707872

E-mail : [email protected]

DIPA BPK Banjarbaru 2013

Daftar Isi

Salam Redaksi02

Lintas Peristiwa35

Lansekap04Kontribusi KHDTK Riam Kiwa dalam Rehabilitasi dan Reforestasi Lahan Alang-alang di Kalimantan

Heortia vitessoides moore: Musuh Petani Gaharu di Kalimantan Selatan

Fokus13Selamatkan Hutan Kita

Profesionalisme Rimbawan untuk Penyelamatan Hutan

Penyelamatan Plasma Nutfah Hutan Melalui Pengelolaan Kawan Konservasi

Arah Litbang Kehutanan Menjawab Tantangan Deforestasi

Artikel36Geliat Hutan Tanaman Rakyat di Kalimantan Selatan

Aplikasi Sederhana Pembukuan Bendahara dan Kartu Kendali (ASPENDAL, 1 = 13)

Berita43Mahasiswa Praktikum Farmakognosi di KHDTK Rantau

Profi l11Tri Joko Mulyono: Sukses Berkat Doa Ibu

3BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

4 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan yang mempunyai

tugas pokok sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.35/Menhut-II/2011 pada tanggal 20 April 2011 yaitu melaksanakan penelitian di bidang konservasi dan rehabilitasi, peningkatan produktivitas hutan, keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan, serta perubahan iklim dan kebijakan kehutanan sesuai peraturan perundang-undangan.

Salah satu dari empat kawasan hutan penelitan yang dikelola oleh Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru adalah Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Riam Kiwa.

KHDTK Riam Kiwa tersebut dibangun sejak tahun 1986 atas kerjasama Pemerintah Republik Indonesia dan Finlandia (Proyek ATA-267 yang diperuntukkan dalam kegiatan penelitian tanaman di lahan kering dengan vegetasi asal alang-alang. Kegiatan penelitian yang telah dilakukan didalam areal Hutan Penelitan ini seperti introduksi jenis (Species trial), uji tempat asal jenis (provenance trial), uji teknik silvikultur hutan tanaman (pengolahan lahan, pemupukan, jarak tanam), ujicoba tanaman campuran, aroforestry, penanaman pilot (pilot plantation), ujicoba pembangunan tegakan rotasi kedua,

Oleh : Rudy Supriadi | Tjuk Sasmito Hadi

pemuliaan pohon, pembangunan tegakan benih dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, KHDTK Riam Kiwa juga digunakan sebagai tempat pelatihan pengelolaan hutan tanaman, penelitian mahasiswa dalam menyelesaikan jenjang pendidikan S1, S2 dan S3.

Sumber foto : Seksi DIK BPK Banjarbaru

Gambar 1 : Kondisi awal KHDTK Riam Kiwa (1986)

Pada tahun 2004, areal Hutan Penelitian Riam Kiwa telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan RI sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Riam Kiwa dengan SK. 75/Menhut-II/2004 tanggal 10 Maret 2004 dengan luas 1.455 ha.

L ANSEK AP

Rehabilitasi dan ReforestasiRehabilitasi dan ReforestasiLahan Alang-Alang di KalimantanLahan Alang-Alang di Kalimantan

KONTRIBUSI KHDTK RIAM KIWA DALAMKONTRIBUSI KHDTK RIAM KIWA DALAM

4 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

5BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

Pada tahun 2010, areal ini telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru di Riam Kiwa. dengan SK Menteri Kehutanan No. 163/Menhut-II/2010 tanggal 31 Maret 2010 luas defi nitif areal KHDTK Riam Kiwa ini adalah 1.450 hektar.

KHDTK Riam Kiwa terletak pada 3o 21’ 40” - 3o 23’ 30” Lintang Selatan dan 115o 03’ 40” - 115o 06’ 20” Bujur Timur, ketinggian tempat bervariasi antara 50-100 m diatas permukaan laut. Menurut batas administrasi kehutanan, Riam Kiwa termasuk dalam wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Secara administratif pemerintahan, termasuk dalam wilayah Desa Lubang Baru, Desa Lok Tunggul, Desa maniapun, Kecamatan Pengaron dan Desa Sungai Jati, Kecamatan Mataraman, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan, berjarak 50 km sebelah timur laut dari Kota Banjarbaru.

Tipe tanah di KHDTK Riam Kiwa didominasi oleh podsolik merah, podsolik kuning tersebar secara mosaik dengan luasan yang relatif kecil, podsolik merah bercampur batu terdapat pada beberapa puncak bukit serta tanah aluvial terdapat pada daerah yang relatif datar sepanjang alur dan sungai. pH tanah rendah (4,8-5,4). Tingkat kandungan nitrogen dalam tanah tergolong rendah N tersedia 0.243 %, kandungan potasium dalam tanah 0.239 me/100 gr, tekstur fraksi debu 71,19 %, tekstur liat 21,71 %, tekstur pasir 6,99 %. Kandungan Kalium dalam tanah 0.289 me/100 gr, KTK pada tanah 36.513 me/100 gr, kandungan C organik 0.704 % dan bulk density 1.109 gr/ml. Kelas kelerengan tanah didalam areal KHDTK Riam Kiwa berkisar antara 0-15 % dengan luas 1092.5 ha (75.09 %) dan kelas kelerengan tanah 15-40 % dengan luas 362.51 ha (24.91 %). (Apriyanto, 2006)

Sumber foto : Rudy Supriadi BPK Banjarbaru

Gambar 2 : Tegakan Acacia mangium di KHDTK Riam Kiwa (2011)

Di KHDTK Riam Kiwa sudah banyak kegiatan penelitian yang mendukung kegiatan penelitian dan

pengembangan hutan tanaman di lahan alang-alang seperti :

Pada Proyek ATA-267 Kerjasama RI – Finlandia (1986-1995) telah diterbitkan 14 Judul laporan penelitian yang terdiri dari : 1). Uji jenis dan Penyisihan jenis (56 jenis). 2). Uji tempat asal Acacia mangium (30 seedlots). 3). Uji jenis Pinus spp (2 species). 4). Uji jenis Eucalyptus spp (5 species). 5). Uji tempat asal Paraserianthes falcataria (3 provenances.). 6). Uji tempat asal Gmelina arborea (6 provenances). 7). Uji tempat asal Gliricidia sepium (5 provenances). 8). Uji tempat asal Acacia auriculiformis (25 provenances). 9). Uji tempat asal Acacia crassicarpa (12 provenances.). 10). Tegakan benih Acacia mangium (14 collect. Provenances.), 11). Uji jarak tanam Acacia mangium (4 treatments), 12). Uji Base Populasi Acacia mangium (PNG), 13). Uji tanaman campuran Anisoptera marginata dan Shorea leprosulla dibawah tegakan P. Falcataria, 14). Uji tanaman campuran Acacia mangium dan Anisoptera marginata.

Sumber foto : Rudy Supriadi BPK Banjarbaru

Gambar 3 : Tegakan campuran Eucalyptus spp di KHDTK Riam Kiwa (2011)

Kegiatan penelitian yang telah dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru / Kementerian Kehutanan RI (1989 -2013) telah diterbitkan 59 judul laporan penelitian yang terdiri dari :1). Pengujian penyiapan lahan secara kimiawi (herbisida), 60 ha. 2). Pengujian norma kualitas bibit siap tanam yang dihasilkan dari beberapa produksi yang berbeda (kantong plastik, pottrays, barroot), 2 ha. 3). Ujicoba penanaman 15 jenis pohon lokal pada tapak lahan alang-alang, 2 ha. 4). Pembangunan tegakan campuran di tapak alang-alang dengan penyiapan lahan

5BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

6 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

herbisida, 40 ha. 5). Penanaman jenis Anisoptera marginata dibawah tegakan, 5 ha. 6). Pembuatan model tegakan campuran mangium dengan sungkai, mangium dengan gmelina di tapak alang-alang dengan penyiapan lahan herbisida, 50 ha. 7). Tingkat kerawanan api pada tanaman kehutanan berbahan bakar Epatorium. 8). Uji penanaman jenis pohon lokal dibawah tegakan Acacia Mangium. 9). Ujicoba rotasi kedua jenis pohon cepat tumbuh, 8 ha. 10). Teknik pembangunan tegakan “base population” dan seleksi pohon plus jenis Acacia mangium dan Gmelina arborea, 8 ha. 11). Teknik reduksi bahan bakar pada tanaman kehutanan di lahan alang-alang. 12). Ujicoba inokulasi mikoriza untuk peningkatan produktifi tas pada beberapa jenis lahan kritis di Riam Kiwa. 13). Teknik rehabilitasi padang alang-alang di Riam Kiwa. 14). Pembangunan “base population” jenis akasia mangium, 10 ha. 15). Ujicoba penjarangan tegakan campuran, 10 ha. 16). Ujicoba penanaman jenis pohon lokal pada tegakan Acacia mangium. 17). Tingkat kerawanan api pada tanaman kehutanan berbahan bakar Epatorium. 18). Model penghutanan kembali Hutan Lindung menggunakan tegakan campuran dan sekat bakar pada zona penyangga. 19). Pengendalian penyakit karat daun (gaal) pada bibit Acacia mangium. 20). Pola pembuatan hutan tanaman campuran. 21). Teknik konservasi tanah dan air untuk rehabilitasi hutan bekas kebakaran. 22). Teknik pemanfaatan biofertilizer dan control release fertilizer dalam rangka pengembangan hutan kemasyarakatan. 23). Teknik pembangunan dan peningkatan produktivitas HTI rotasi kedua di Kalimantan Selatan. 24). Penerapan teknologi olah tanah konservasi di areal HTI tumpang sari. 25). Teknik pengelolaan hutan lindung Riam Kanan – Riam Kiwa setelah terbakar. 26). Uji multilokasi jenis Acacia mangium dengan benih hasil pemuliaan. 27). Teknik Rehabilitasi hutan lahan basah dan lahan kering. 28). Penerapan teknologi olah tanah konservasi dan pemanfaatan biofertilizer dan control release di areal Hkm. 29). Penerapan fi re management plan di lahan kering. 30). Model hutan tanaman beresiko kecil kebakaran. 31). Pembangunan populasi propagasi jenis pulai dan penerapan teknik pembiakan vegetative. 32). Kajian sosio antropologis penyebab kebakaran hutan. 33).

Teknologi pencegahan dan pengendalian hama, penyakit dan gulma hutan tanaman di Kalsel. 34). Penelitian dan pengembangan pemuliaan Pulai. 35). Uji Multilokasi A. Mangium dan Eucalyptus pellita asal benih F.1. 36). Evaluasi ujimultilokasi dan uji intensifi kasi silvikultur. 37). Pembangunan populasi propagasi jenis Pulai dan penerapan teknik pembiakan vegetatif dan pembangunan kebun uji provenan Pulai. 38). Kajian status iptek penanggulangan kebakaran hutan. 39). Pembangunan populasi propagasi dan uji teknik silvikultur jenis Pulai. 40). Pengembangan model-model rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air dengan pendekatan sosial forestry. 41). Pembangunan model hutan tanaman beresiko kecil kebakaran. 42). Uji standardisasi dan mutu bibit Antocephalus sp, 43). Uji penyiapan lahan dan teknik penyiangan Eucalyptus pellita. 44). Silvikultur hutan tanaman penghasil kayu pertukangan (silvikultur jenis campuran). 45). Silvikultur hutan tanaman penghasil kayu pertukangan (silvikultur jenis Pulai). 46). Pengelolaan lingkungan hutan tanaman (perubahan keanekaragam jenis dan lingkungan akibat pembangunan hutan tanaman). 47). Silvikultur hutan tanaman tegakan campuran. 48). UJi silvikultur jenis Alstonia spp, 2,5 ha. 49). Penelitian dan kajian persyaratan tumbuh jenis alternatif penghasil kayu pertukangan (uji tapak bagi tanaman Toona sureni dan Toona sinensis di Kalimantan). 50). Pembangunan Arboretum jenis asli Kalimantan. 51). Identifi kasi jenis-jenis hama dan penyakit pada tanaman Jelutung rawa (Dyera polyphylla Miq. Steenis), Meranti (Shorea balangeran Korth. Burck), dan Suren (Toona spp). 52). Pembangunan data base Grwoth & Yield Hutan tanaman penghasil kayu pertukangan. 53). Uji tapak bagi tanaman Toona sureni dan Toona sinensis serta kajian persyaratan tumbuh Suren (Toona sureni dan Toona sinensis) di Kalimantan. 54). Pengaruh tapak terhadap respon pertumbuhan dan perkembangan tanaman Nyawai di Kalimantan. 55). Analisis konfl ik dan model pengembangan institusi untuk resolusi konfl ik lahan di KPH model Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. 56). Pengaruh mulsa dan dosis pupuk organik terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman Nyawai pada tapak alang-alang di Riam Kiwa. 57). Model resolusi konfl ik lahan berbasis

6 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

7BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

masing adalah 196,5 cm/tahun, 166,5 cm/tahun dan 176,5 cm/tahun. Sedangkan rataan riap diameter batang adalah 20 – 20,50 mm atau 2,0 – 2,5 cm/tahun.

Sumber data : Rusmana, BPK Banjarbaru

Gambar 4. Tren pertumbuhan tinggi tanaman nyawai pada masing-masing perlakuan jarak tanam mulai umur 1 bulan sampai 24 bulan di tapak lahan

terbuka bervegetasi awal alang-alang di KHDTK Riam Kiwa.

Pertumbuhan awal tanaman Nyawai perlu dipacu dengan pupuk organik antara 2 – 3 kg/tanaman pada saat penanaman, agar pertumbuhan awalnya cepat. Dosis minimum pemupukan awal dengan pupuk anorganik, dapat dilakukan sebanyak 50 – 100 gram/tanaman NPK (Nitrogen + Posfor + Kalium).

Dengan demikian saat ini jenis Nyawai dapat menjadi jenis alternatif unggulan kayu pertukangan berdaur pendek yang dapat dikembangkan di lahan bervegetasi awal alang-alang (< 10 tahun sudah dapat dijadikan kayu pertukangan).

system agroforestry di Kalimantan Selatan. 58). Pengaruh jarak tanam, tipe tapak dan dosis pupuk terhadap pertumbuhan tanaman Nyawai di Kalimantan. 59). Identifi kasi jenis-jenis hama dan penyakit pada tanaman Nyawai (Ficus variegata).

Di KHDTK Riam Kiwa saat ini sedang dikembangkan jenis Nyawai (Ficus variegata Blum, fam Moraceae) yang sumber benihnya diambil dari PT. ITCIKU (International Timber Cooperation Indistries Kartika Utama) Kalimantan Timur. Jenis ini telah mulai dicoba penanamannya untuk sekat bakar hijau ( jalur hijau) dan sekaligus memenuhi kebutuhan bahan baku industri kayu. Berdasarkan kajian, kayunya juga telah diujicoba menjadi kayu lapis bagian luarnya dengan kualitas hampir sama dengan kayu meranti, sehingga sangat menjanjikan jenis nyawai jika dikembangkan penanamannya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri kayu. Di PT. ITCIKU Kalimantan Timur telah dilakukan percobaan pembuatan plywood dari jenis Nyawai dengan hasil hampir sama dengan meranti.

Dari hasil penelitian Rusmana, et al (2013), Pertumbuhan tinggi tanaman nyawai umur 24 bulan pada perlakuan jarak tanam 2 x 2 m menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan jarak tanam 4 x 4 m dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan jarak tanam 3 x 3 m. Sedangkan diameter batang, lebar tajuk dari setiap perlakuan jarak tanam tidak memunjukkan perbedaaan yang nyata.

Riap pertumbuhan tinggi pada uji jarak tanam 2 x 2 m, 3 x 3 m dan 4 x 4 m sampai umur 2 tahun masing-

Sumber foto : Rusmana, BPK Banjarbaru

Gambar 5. Tegakan Nyawai di tapak lahan terbuka bervegetasi awal alang-alang di KHDTK Riam Kiwa umur 24 bulan.

7BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

8 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

(Sitepu at al. 2011). Serangan pertama hama ulat gaharu terjadi pada tahun 2008 di Carita, Banten, Jawa Barat dan kerusakan yang ditimbulkan mencapai 100%. Serangan ini menyebabkan penggundulan daun sampai dengan kematian tanaman. Keseriusan akibat serangan hama ini juga terjadi di India, yakni menyebabkan tanaman gaharu kehilangan seluruh daunnya (Beniwal, 1989).

Serangan dan ciri khas hama ulat daun Ulat H. vitessoides menyerang daun tanaman

penghasil gaharu pada stadia larva dengan cara memakan pucuk tanaman, daging daun terutama daun muda dan ranting muda. Pada tahun 2010, serangan paling tinggi mencapai 41% di desa Gumbil kecamatan Telaga Langsat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Ulat jenis ini menyerang pada berbagai pola tanam yaitu gaharu dengan karet, gaharu dengan jati, dan gaharu dengan rambutan serta penanaman gaharu secara monokultur.

Hama ini bertelur pada daun tanaman penghasil gaharu. Telur biasanya ditemukan pada permukaan bawah daun yang ditandai dengan adanya bercak berwarna putih kecoklatan dan kasar apabila diraba (Gambar 2). Berdasarkan informasi diketahui bahwa telur ulat

PendahuluanPengembangan tanaman penghasil gaharu di

Kalimantan Selatan dilakukan dengan pembentukan Wana Tani. Pengembangan tanaman gaharu tersebar di beberapa daerah yaitu Rantau, Kandangan, Barabai, Balangan dan Tanjung. Pengembangan tanaman ini dimulai sejak tahun 2004 di Kandangan Hulu Sungai Selatan dan 2005 di Barabai Kabupatan Hulu Sungai Tengah. Pada tahun 2012, penanaman gaharu telah mencapai lebih dari 125.000 batang yang tersebar di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Balangan, dan Tabalong.

Permasalahan yang sering muncul dalam pengembangan suatu tanaman berkaitan adanya serangan hama maupun penyakit, yang biasa dikenal dengan istilah organisme pengganggu tanaman (OPT). Demikian pula dengan pengembangan tanaman penghasil gaharu di Kalimantan Selatan, yang dilaporkan telah di serang hama. Serangan hama tersebut cukup meresahkan para petani gaharu dan berpotensi sebagai ancaman dalam pengembangan tanaman tersebut. Berdasarkan hasil identifi kasi yang telah dilakukan diketahui bahwa hama tersebut adalah ulat daun Heortia vitessoides Moore (Lepidoptera) (Gambar 1 ).

Sampai saat ini, ulat jenis ini dilaporkan merupakan hama yang paling penting dan dianggap potensial (Irianto et al. 2010). Hama ini telah dilaporkan menyebabkan kerusakan yang cukup berat pada tanaman gaharu di berbagai daerah di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Lombok pada beberapa tahun terakhir

ULAT DAUN, ULAT DAUN, Heortia VitessoidesHeortia Vitessoides Moore : Moore :Musuh Petani Gaharu di Kalimantan SelatanMusuh Petani Gaharu di Kalimantan SelatanOleh : Fajar Lestari dan Beny Rahmanto

L ANSEK AP

Gambar 1. Ulat jenis H. vitessoides menyerang dengan memakan daging daun gaharu

8 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

9BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

diletakkan oleh ngengat dalam jumlah ratusan selama 10 hari.

Gambar 2. Telur ulat H. vitessoides menggunakan digital microscope dengan perbesaran 30x dan 182x

Telur yang telah menetas menghasilkan ulat muda yang sangat banyak antara 200-400 ekor dalam satu koloni. Kelahiran ulat setelah menetas dikenal dengan ulat instar pertama yang diperkirakan berumur 1 sampai dengan 3 hari setelah menetas. Ulat – ulat muda tersebut ditemukan mengelompok dalam satu helai daun yang sedikit menggulung sangat kecil dan berwarna kuning terang dan berada pada pucuk (tajuk atas) dari tanaman. Koloni ulat muda melakukan aktifi tas makan di permukaan atas maupun bawah daun muda dengan mengelompok membentuk koloni. Koloni ulat terdiri dari ratusan ekor ulat muda. Pada umur-umur tersebut aktifi tas memakan yang dilakukan belum tinggi dan bagian daun yang dimakan biasanya pada ujung daun atau pangkal daun dengan memakan daging daunnya saja. Hal ini dikarenakan bagian – bagian tersebut masih sangat lunak dan kemampuan memakan ulat muda masih rendah (Gambar 3).

Gambar 3. Koloni dan aktifi tas makan ulat setelah menetas

Ulat instar selanjutnya menunjukkan perilaku yang berbeda dengan instar sebelumnya. Kemampuan memakan daun semakin banyak dan tingkat kerusakan daun gaharu semakin tinggi dengan bertambahnya umur ulat. Pada fase ini, ulat mulai menyebar ke seluruh bagian daun dalam satu tanaman serta membentuk lebih dari satu koloni yakni menggunakan sulur/sutra/benang (Gambar 4).

Gambar 4. Ulat dewasa berjajar di bawah permukaan daun dan aktifi as makannya

Kerusakan terberat biasanya ditimbulkan pada ulat umur 14 sampai dengan 18 hari. Pada umur ini pergerakan ulat lebih aktif menyebar pada seluruh tanaman mulai dari pucuk hingga tajuk bagian bawah. Ulat biasanya menempel pada tangkai daun dan ranting sehingga tidak terlihat apabila dilihat dari jarak yang cukup jauh. Ulat biasanya berjajar di bagian bawah permukaan daun tanaman, namun demikian ulat dapat dikenali dengan warna tubuhnya yaitu hijau sedikit kekuning-kuningan, kepala berwarna kuning kecoklatan serta adanya strip berwarna biru mengkilap sepanjang sisi kiri kanan punggung dari ujung kepala sampai ekor (Gambar 5). Ulat – ulat ini sangat sensitif dengan gerakan – gerakan seperti tanaman di goyang maka ulat akan berjatuhan dan kembali naik ke dahan dengan menggunakan sulur/sutra/benang.

Gambar 5. Morfologi ulat H. vitessoides menggunakan digital microscope dengan perbesaran 75x

Populasi ulat jenis ini berkembang cukup cepat dengan siklus hidup yang pendek. Siklus hidupnya dimulai dari telur larva (ulat) pupa (kepompong) Ngengat (imago). Fase larva (ulat) : 20 hari, fase pupa (kepompong) : 9 hari, fase ngengat (imago) : 7 hari. Pada saat fase larva (20 hari) terbagi menjadi tiga waktu yaitu 1) waktu aktif memakan daun mulai dari baru menetas (15 hari), 2) waktu puasa dalam rangka memasuki fase pupa (kepompong) (2 hari), 3) peralihan dari ulat menjadi pupa (kepompong) (3 hari).

9BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

10 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

Melakukan pengendalian dengan penyemprotan pestisida/insektisida nabati seperti Bachillus thuringiensis (bt), ekstrak daun dan biji mimba, ekstrak daun dan biji sirsak, ekstrak daun dan biji suren, ekstrak daun dan biji birik, ekstrak daun dan biji srikaya.

Beberapa teknik pencegahan dan pengendalian yang telah dipaparkan di atas merupakan salah satu bentuk pengendalian yang ramah terhadap lingkungan. Pengendalian ramah lingkungan mulai digalakkan untuk mengurangi efek samping yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida kimia sintetik terhadap lingkungan. Selain merugikan bagi ekosistem di sekitarnya penggunaaan pestisida kimia sintetik juga berefek samping terhadap hama itu sendiri yaitu menjadi resisten.

Penutup Serangan hama ulat H. vitessoides bersifat

sporadis dan fl uktuatif, serta perkembangannya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Monitoring secara rutin dan pengaturan pola penanaman perlu diterapkan guna meminimalisir terjadinya ledakan ulat sehingga tanaman gaharu yang sehat, lestari dan berkelanjutan dapat terwujud. Tindakan pengendalian harus dilakukan pada tanaman dengan tingkat serangan yang tinggi, namun pengendalian ini harus tetap bermuara pada konsep PHT yang ramah lingkungan. Pengendalian yang dilakukan harus tepat dan terpadu karena populasi ulat berkembang secara cepat, siklus hidup ulat pendek, dan sering berulang dalam kurun waktu tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan trubusan pasca serangan.

Bahan Bacaan

Anggraeni, I dan N. E. Lelana. 2011. Diagnosis Penyakit Tanaman Tanaman Hutan. Kementrian Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Litbang Produktifi tas Hutan. Bogor.

Beniwal, B.S. 1989. Silvical characteristics of Aquilaria agallocha Roxb. Indian Forester 79: 17-21.

Irianto, R., E. Santoso, M. Turjaman, I.R. Sitepu. 2010. Hama pada tanaman penghasil gaharu. Dalam Siran, A.S. dan M. Turjaman (eds.) Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor. Hal. 151 – 156.

Sitepu, I.R., E. Santoso, S.A. Siran, and M. Turjaman. 2011. Fragrant Wood Gaharu: When the Wild Can No Longer Provide. Indonesia’s Work Programme for 2011 ITTO PD 425/06 Rev 1(I) R&D Center for Forest Conservation and Rehabilitation, Bogor, Indonesia.

Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, 2013. Rekam Jejak Gaharu Inokulasi Teknologi Badan Litbang Kehutanan. Forda Press, Bogor.

Gambar 6. Siklus hidup ulat H. vitessoides di Kalimantan Selatan

Pengendalian dan pencegahan serangan hama ulatPencegahan (preventive) artinya suatu tindakan yang

dilakukan agar tanaman yang masih sehat terhindar dari penyakit, sedangkan pengendalian (control) artinya kita mengusahakan atau melakukan tindakan – tindakan terhadap tanaman yang sudah terserang hama /penyakit, dengan harapan agar tanaman akan sembuh dan tumbuh normal kembali (Anggraeni dan Lelana, 2011). Penggunaan pestisida harus dilakukan dengan hati-hati guna meminimalisir dampak penggunaan pestisida. Penggunaan pestisida harus berdasarkan prinsip sebagai berikut : 1) Legal : penggunaan pestisida harus mengikuti peraturan atau undang-undang yang berlaku. Hal ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif pestisida. 2) Benar : penggunaan pestisida harus sesuai rekomendasi dari produsen dan sesuai dengan syarat-syarat teknis aplikasinya. Hal ini bertujuan agar penggunaan pestisida efektif. 3) Bijaksana : penggunaan pestisida sesuai dengan tujuan utamanya. Penggunaan pestida yang rasional, mengedepankan akal sehat, tidak berlebihan dan sejalan dengan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT).

Dalam kasus serangan hama ulat pada tanaman penghasil gaharu beberapa teknik pengendalian dilakukan dengan beberapa variasi yang sesuai dengan konsep pengendalian hama terpadu (PHT) yang dapat diterapkan antara lain :

Pengaturan pola tanam, komposisi tegakan dan menggunakan tanaman pencampur yang tidak disukai hama.

Melakukan monitoring, mengambil/menangkap ulat dengan cara memotong bagian ranting/daun yang menjadi inang ulat apabila ulat yang ditemukan masih muda (umur 1-3 hari), ataupun dengan menggoyang tanaman apabila ulat yang ditemukan telah dewasa.

Menggunakan musuh alami (predator) seperti semut rang – rang.

10 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

11BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

Sukses BerkatSukses Berkat

Doa IbuDoa Ibu

Terlahir dari keluarga sederhana di Ponorogo, Tri Joko Mulyono meniti karir sebagai PNS di Kemenhut. Dibalik capaian karir saat ini sebagai Sekretaris Badan Litbang Kehutanan, ada ibu yang selalu berdoa bagi anaknya tercinta.

Tim redaksi majalah Bekantan berkesempatan mewawancarai beliau dalam kunjungannya ke BPK Banjarbaru pada tanggal 6 Maret 2014 lalu, berikut petikannya :

Bagaimana bapak mengatur waktu antara pekerjaan, keluarga dan kesenangan pribadi

Saya dididik untuk bekerja, saya bukan dari keluarga pejabat, segala sesuatu harus dilakukan dengan serius dan disiplin. Itulah nasehat dari ibu saya. Dalam pemikiran saya disiplin dalam melaksanakan tugas adalah kewajiban dan itu tidak memerlukan biaya. Melaksanakan tugas, keluarga kesenangan pribadi, harus disinergikan. Kalau kehidupan keluarga tergantung pada kantor jadi jangan menduakan kantor. Karena seriusnya di pekerjaan akan berakibat baik untuk keluarga juga, jangan sekali-kali keluarga merasakan di nomer dua kan. Untuk kesenangan pribadi, silahkan masuk dikantor saya, musik selalu saya putar diruangan saya. Foto cucu menghiasi ruangan kantor saya, fotografi adalah hoby saya jadi saya membuat

program KFF, jadi sambil saya bekerja sambil menjalankan hobby... sinergikan semuanya. Dan tidak dikotomikan.

Bagaimana budaya kerja yang bapak harapkan, apalagi setelah tunjungan kinerja telah kita terima?

Saya tidak punya sesuatu yang baru karena hanya melaksanakan, ikuti aturan yang sudah ada untuk mendorong pada budaya kerja yang baik. Yang terpenting adalah :1). Komunikasi, sangat penting untuk menciptakan komunikasi yang baik antara pegawai dalam satu instansi. 2). Kita bekerja sebagai satu kesatuan, masing-masing tidak perlu merasa hebat. Orang seperti itu justru krisis kepercayaan. Saya akan kesulitan bekerja bila sekretaris saya nggak masuk. Saya pusing karena minum nggak ada dll. Bila kita dilibatkan dalam institusi adalah menjadi baut jadi lah baut yang kuat. Kita punya kewajiban, dan itu adalah pilihan kita yang cuma sekali

Bagaimana peneliti itu seharusnya ?Saya tidak menjawab secara khusus seorang peneliti

itu harus seperti apa. Tapi bagi saya Litbang bukan masinis, justru Litbang adalah rel yang akan menuntun kemana arah pembangunan Kehutanan. Jadi Litbang sebagai dasar pengambilan kebijakan Kehutanan. Karenanya Peneliti harus siap dalam perputaran roda Kehutanan.

PROFIL

11BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

12 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

Harapan bapak terhadap BPK Banjarbaru ?Setiap institusi di bangun ada tupoksinya.

Hayati tupoksi kita, kemudian lakukan reposisi, dan mengakomodir isu-isu aktual di sekitar kita. Penelitian dasar dan teknologi tinggi harus dikuasai. BPK Banjarbaru harus sebagai problem solving dan menjadi rujukan bagi pemecahan masalah Kehutanan di wilayah kerjanya, jadi tidak hanya menjawab apa, tapi bagaimana. Meningkatkan penguasaan teknologi dasar, karena daya saing diperlukan dalam tingkat tanggap Iptek. Kita harus menjadi inovator, referensi, dan pusat ilmu pengetahuan.

Apa motto hidup bapak?Doa ibu adalah segalanya. Saya tidak akan jadi seperti

saat ini tanpa doa ibu. Setiap ke bandara saya telepon ibu mohon doa, setiap memimpin rapat saya telpon ibu saya minta doa ibu bahwa saya memimpin rapat yang dihadiri

ratusan orang. Ayah saya meninggal sejak saya masih kecil, jadi ibu yang membesarkan dan mendidik saya dan saudara-saudara saya. Sungguh tanpa doa ibu saya yang hanya berjuang sendiri membesarkan kami, yang tanpa pamrih dan sampai saat ini terus bekerja. Jadi itulah yang menjadi penguat saya dalam setiap kesempatan dimanapun dan kapan pun.

BIODATANama Lengkap : Ir. Tri Joko Mulyono, M.MTempat/Tanggal Lahir : Kab. Ponorogo, 13 Juli 1958

A g a m a : Islam Pendidikan : S1, Iinstitut Pertanian Bogor, 1981

S2, Manajemen Keuangan, Universitas Satyagama Jakarta, 1997 Jabatan : Sekretaris Badan Pada Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Badan Penelitian

dan Pengembangan Kehutanan.Diklat : Training Course On Audit 

International Training Workshop On Tropical Forest & Timber Trade Statistic, 1998Pengenalan Iso 9000, 1993Bahasa Inggris - 1991Penguji Moulding, 1990Pengawas Pengujian, 1987Dasar-dasar Amdal,  1985

Karir : Sekretaris Badan Pada Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 22-04-2013 s/d sekarangDirektur Pada Direktorat Pengukuhan, Penatagunaan dan Tenurial Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, 28-08-2012 Direktur Pada Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, 01-04-2011 Direktur Pada Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, 12-10-2010Kepala Sub Direktorat Penataaan Ruang Kawasan Hutan II Pada Direktorat Perencanaan Kawasan Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, 25-02-2009Kabid Penyusunan Rencana Umum Kehutanan Pada Pusat Rencana Dan Statistik Ke- Hutanan Baplan Kehutanan Di Bogor, 15-07-2008Kabid Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan Pada Pusat Wilayah Pengelolaan Kawasan Hutan Badan Plano Logi Kehutanan, 13-07-2005Kabid Penerapan Standar Dan Evaluasi Lingkungan Pada Pustandarling Setjen Dephut, 25-04-2001Kabid Standarisasi Dan Lingkungan Kehutanan Pada Pusat Standarisasi Dan Lingkungan Hutbun, 06-03-2000Kabid Standarisasi Dan Lingkungan Kehutanan, Pusat Standarisasi Kehut. Dan Perkebunan Dephutbun, 03-06-1999Kasi Sarana Pengujian Hasil Hutan Pd Ditjen PH, 23-03-1993Pjs.kasi Sertifi kasi Pada Bishh Iii Palembang, 16-06-1986Staf Pada Kanwil Dephut Propinsi Sumatera Selatan, 01-03-1985

12 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

13BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan pemilik hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia, setelah Brasil dan Kongo dengan luas sekitar 109 juta ha. Oleh karena itu, hutan tropis merupakan salah satu sumberdaya alam yang penting bagi Indonesia, dengan sumbangan yang tinggi bagi pendapatan ekspor, lapangan kerja, serta sumber penghidupan bagi masyarakat lokal. Menurut Dudley (2002) paling tidak empat belas juta orang menggantungkan hidupnya secara langsung pada hutan. Hasil hutan mencakup lebih dari 11% dari pendapatan ekspor selama 1994 – 1999. Namun sangat disayangkan, kondisi hutan hujan tropis kita saat ini hampir setengahnya telah terdegradasi. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara pada peringkat kelima di belakang Rusia, Brasil, Amerika Serikat, dan Kanada dalam hal hilangnya hutan. Sedangkan laju penanaman (reboisasi) hanya mencapai sekitar 7 juta ha selama periode tersebut. Namun dari lima negara hutan di atas, berdasarkan persentase, maka Indonesia berada di peringkat pertama dari laju kehilangan hutan yaitu 8,4 persen. Sebagai perbandingan, Brasil hanya kehilangan separuh dari proporsi tersebut. Dari 98 persen kehilangan hutan di Indonesia, deforestasi terjadi di

wilayah hutan berkerapatan tinggi yang ada di Sumatera dan Kalimantan, lokasi dimana konversi akibat hutan tanaman industri dan perkebunan sawit berkembang amat marak selama 20 tahun terakhir. Tingginya laju deforestasi hutan di Indonesia ini membuat Guiness Book of The Record menganugrahi Indonesia sebagai negara yang laju kerusakan hutannya tercepat di dunia. Sebuah prestasi yang tidak patut untuk dibanggakan.

Saat ini diperkirakan luas hutan alam yang tersisa hanya 28%. Jika tidak segera dihentikan, maka hutan yang tersisa akan segera musnah. Kerusakan hutan di Indonesia terutama disebabkan oleh: (a) penebangan liar (illegal logging), (b) kebakaran hutan dan lahan, (c) kegiatan penambangan, (d) peralihan fungsi hutan (konversi) menjadi perkebunan skala besar dan hutan tanaman industri, dan (e) penebangan yang tidak lestari (unsustainable logging). Industri pengolahan kayu Indonesia saat ini membutuhkan sekitar 80 juta meter kubik kayu untuk memenuhi kebutuhan industri penggergajian, kayu lapis, kertas, dan pulp. Lebih dari setengahnya didapatkan dari hasil pembalakan illegal di hutan alam. Tabel 1 menjelaskan estimasi deforestasi setiap tahun di Indonesia (ribu ha).

Tabel 1 Estimasi deforestasi setiap tahun di Indonesia (ribu ha)

Sumber: Sunderlin et.al 1997.

SELAMATKAN HUTAN KITASELAMATKAN HUTAN KITAOleh:

Marinus Kristiadi Harun, S.Hut., M.Si

“Tatapilah Hutan dengan Mata Hati, Agar Bisa Kau Baca Kalam Illahi”

FOKUS

13BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

14 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

Tabel 2 menjelaskan perubahan pandangan mengenai penyebab deforestasi di Indonesia sejalan dengan waktu. Penyebab deforestasi harus diklasifi kasi dalam tiga tingkatan penjelasan yakni: pelaku; penyebab langsung; dan penyebab yang mendasari perubahan tutupan hutan (underlying cause). Pertama, Pelaku merujuk pada orang-orang atau organisasi (misalnya petani rakyat, perusahaan HPH, perkebunan atau HTI) yang mempunyai peranan fi sik dan/atau peranan membuat keputusan langsung dalam perubahan tutupan hutan. Kedua, penyebab langsung perubahan tutupan hutan adalah parameter-parameter keputusan yang mempunyai

pengaruh langsung pada perilaku para pelaku. Contoh-contoh parameter-parameter yang dimaksud adalah: harga-harga relatif; akses relatif ke sumberdaya dan pasar; ketersediaan teknologi; peraturan-peraturan mengenai penggunaan sumberdaya; dan tradisi kebudayaan. Ketiga, penyebab yang mendasari perubahan tutupan hutan mencakup kekuatan-kekuatan nasional, regional, atau internasional yang dapat mengatur pengaruh parameter-parameter keputusan. Contoh-contoh kekuatan-kekuatan demikian adalah struktur sosial, hubungan kekuasaan, pola akumulasi modal, ketentuan-ketentuan perdagangan, dan perubahan-perubahan demografi s dan teknologi.

Tabel 2 Perubahan pandangan mengenai penyebab deforestasi di Indonesia sejalan dengan waktu

Keterangan: Petak yang diberi warna gelap menunjukkan bentuk pelaku/penyebab yang memegang peran utama

dalam deforestasi. Sumber: Sunderlin et.al 1997.

14 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

15BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

KONDISI AKTUAL HUTAN KALIMANTANKalimantan meliputi lima provinsi yakni

Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Tengah (Kalteng), Kalimantan Selatan (Kalsel), Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Utara (Kaltara) yang merupakan provinsi baru hasil pemekaran dari Kaltim. Secara keseluruhan meliputi areal seluas 587.013 km2. Pulau Kalimantan mempunyai luas 743.330 km2 (sebagian termasuk wilayah Negara Malaysia dan Brunei Darussalam) merupakan pulau terbesar ke 3 di dunia setelah Pulau Greenland dan Papua dengan luas hutan mencapai 40,8 juta hektar.

Pada tahun 1971 jumlah penduduk di Kalimantan hanya 5,2 juta jiwa, tahun 1980 menjadi 6,7 juta jiwa, tahun 1990 menjadi 9,1 juta jiwa, kemudian tahun 2010 menjadi 13,8 juta jiwa. Laju pertumbuhan penduduk (LPP) antara tahun 1971-1980 mencapai 3,04 persen per tahun, dan antara 1980-1990 menjadi 3,23 persen per tahun. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk antara 1990-2010 masih melampaui 2,5 persen. Angka tersebut melampaui rata-rata nasional. LPP yang tinggi terutama disebabkan banyaknya pendatang terutama transmigrasi. Dengan demikian angka kepadatan penduduk (densitas) pun terus meningkat, jika pada tahun 1971 hanya 10 jiwa per km2, tahun 1980 menjadi 12 jiwa per km2, tahun 1990 mencapai 17 jiwa per km2, dan tahun 2010 melampaui 23 jiwa per

15BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

km2. Sebagaimana di pulau-pulau lainnya, penyebaran penduduk di Kalimantan pun tidak merata, daerah yang terpadat ialah Kota Banjarmasin mencapai 8.606 jiwa per km2. Sekitar 17,25 persen penduduk Kalsel bermukim di Banjarmasin. Beberapa daerah padat lainnya ialah Kota Pontianak, Samarinda, Balikpapan, Kabupaten Kotabaru dan Tanah Laut. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, maka tekanan terhadap lingkungan pun makin meningkat, terutama terhadap hutan.

Laju deforestasi di Kalimantan demikian cepatnya, dikarenakan banyaknya penebangan hutan secara liar dan banyaknya tambang (tambang minyak, gas dan batu bara) yang meninggalkan lubang – lubang besar. Diperkirakan penebangan hutan berlangsung dengan kecepatan sekitar 1 persen per tahun, atau sekitar 20-40 hektar hutan hilang tiap menit. Menurut laporan FAO tahun 1989, laju kerusakan hutan di Kalimantan mencapai lebih dari 600 ribu ha per tahun, dan merupakan yang paling tinggi dibanding pulau-pulau lainnya di Indonesia. Menurut Save Our Borneo (SOB), sekitar 80 persen kerusakan hutan yang terjadi di Kalimantan disebabkan oleh perluasan areal perkebunan sawit oleh perusahaan besar dan sekitar 20 persen karena pertambangan dan area transmigrasi. Kerusakan paling luas terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu mencapai 256 ribu ha per tahun,

atau sekitar 2,2 persen per tahun. Menurut data yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan, angka deforestasi di Kalimantan pada Tahun 2000 sampai dengan Tahun 2005 mencapai sekitar 1,23 juta ha. Hal ini berarti sekitar 673 ha hutan di Kalimantan mengalami deforestasi setiap harinya pada periode tersebut. Menurut data Greenpeace hutan di Kalimantan hanya akan tersisa seluas 25,5 juta ha di Tahun 2010.

Ditinjau dari laju penurunan tutupan hutan alamnya, proses penyusutan hutan alam di Kalimantan sudah terjadi sejak dekade 90-an dan terus mengalami penyusutan. Dari luas sekitar 38,59 juta hektar

16 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

pada tahun 1990 (73,91 % dari luas Kalimantan), menurun menjadi 29,48 juta hektar pada tahun 2000, pada tahun 2003 seluas 28,42 juta hektar, dan tersisa 25,48 juta hektar pada tahun 2009. Secara keseluruhan tutupan hutan alam di Pulau Kalimantan saat ini diperkirakan kurang lebih 47,57 % dari luas pulau, atau terjadi penurunan rata-rata 720 ribu hektar per tahun sejak tahun 1990.Berkurangnya luasan dan kualitas hutan di Kalimantan menjadi ancaman serius bagi keanekaragaman hayati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman hayati di pulau ini tercatat paling tidak ada 222 jenis mamalia, 420 jenis aves, 136 jenis ular, 394 jenis ikan tawar dan lebih dari 3.000 jenis pepohonan. Hutan Kalimantan juga merupakan “bank genetik” (plasma nutfah) untuk keperluan pemuliaan tanaman (plant breeding), serta banyak terdapat tumbuhan obat-obatan dan fl orikultur seperti anggrek.

16 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

Gambar 1 Laju deforestasi yang terjadi di Kalimantan sejak Tahun 1950 sampai dengan Tahun 2010 dan prediksi kondisi hutan pada Tahun 2020 (Sumber: Radday, 2007).

17BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014 17BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

Gambar 2 Grafi k Kehilangan Tutupan Hutan di Kalimantan

PEMBANGUNAN “EKONOMI HIJAU” SEBAGAI KONSEP PENYELAMATKAN HUTAN

Kita patut bersyukur mempunyai hutan hujan tropis, sebab di bumi hanya ada tiga kawasan hutan raksasa yang khas sifatnya, yaitu Amazon di Brazil, Hutan Konggo di Afrika dan Hutan Hujan Tropis di Indonesia. Hutan di Brazil dan Afrika terletak di kawasan benua, sedangkan hutan hujan tropis di Indonesia adalah satu-satunya di bumi ini yang terletak di ribuan pulau, sehingga memiliki sifat unik yang tak terbandingkan. Hutan hujan tropis

Indonesia tumbuh di atas ribuan pulau yang terbentang dalam jarak “dari London, Inggris, ke Kairo, Mesir.” Kondisi ini menumbuhkan macam-ragam ekosistem dengan aneka-ragam sumber alam hayati yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan posisi nomor satu di bumi untuk sumber alam kupu-kupu, nomor dua untuk mamalia, dan nomor tiga untuk reptile. Hal tersebut masih ditambah dengan keanekaragaman hayati fauna-fl ora serta mikro-organisme yang belum banyak diteliti. Oleh karena itu menjaga keberadaan hutan menjadi penting dan mutlak.

18 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

Pola pembangunan dan pertumbuhan yang dicanangkan harus menghindari terjadinya kerusakan lingkungan dan menurunnya keanekaragaman hayati. Para Pihak (stakeholders) selayaknya bersinergi untuk melakukan perencanaan tata ruang wilayah berbasis ekosistem sesuai dengan karakteristik dan kondisi masing-masing daerah. Konsep pembangunan yang dapat dikemukakan adalah “Ekonomi Hijau”.

Defi nisi Ekonomi hijau menurut UNEP (2010) adalah kegiatan ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan manusia dan keadilan sosial yang secara bersamaan mengurangi secara signifi kan dampak kerusakan lingkungan hidup dan kelangkaan ekologis. Untuk mendorong terjadinya transisi ke ekonomi hijau tersebut, diperlukan kondisi pemungkin (enabling condition) yang terdiri dari regulasi nasional dan regional, intervensi subsidi dan insentif serta pengembangan kebijakan, peraturan perdagangan dan bantuan. Dengan demikian, diharapkan pembangunan ekonomi yang dilakukan sekaligus dapat menjawab isu-isu lingkungan dan kemiskinan, khususnya dalam rangka mengimplementasikan komitmen Pemerintah RI untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26% hingga tahun 2025, dimana 53% berasal dari konservasi lahan gambut dan 36% berasal dari sektor kehutanan.

Terkait dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) maka Pemerintah telah menetapkan Koridor Ekonomi Kalimantan dengan tema pembangunan “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang dan Lumbung Energi Nasional”. Di dalam strategi pembangunan ekonominya, Koridor Ekonomi Kalimantan berfokus pada enam kegiatan ekonomi utama, yaitu: minyak dan gas bumi, batubara, kelapa sawit, besi dan baja, bauksit dan perkayuan yang memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi mesin pertumbuhan ekonomi koridor ini.

Dalam dokumen perencanaan penerapan MP3EI ada indikasi pemanfaatan potensi pertambangan yang mengancam keutuhan kawasan-kawasan konservasi dan ekosistem esensial lainnya. Apabila rencana ini diterapkan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai penting dan strategis dari kawasan-kawasan tersebut, maka dikhawatirkan akan menyebabkan tidak konsistennya tujuan MP3EI dengan program nasional lainnya seperti RAN-GRK, konservasi SDA, dan Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP). Menurunnya tutupan hutan alam ini telah menyebabkan timbulnya berbagai gangguan terhadap kehidupan manusia, tumbuhan dan satwa liar di Pulau Kalimantan. Hidup dan kehidupan manusia terganggu karena seringnya terjadi bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan. Gagal panen dan kesulitan air bersih

merupakan hal yang terus berulang setiap tahun dan terjadi di hampir seluruh daratan Kalimantan sehingga kemiskinan meningkat dan menyebabkan hilangnya sumber pokok masyarakat dan beberapa potensi ekonomi lokal. Hilangnya tutupan hutan alam juga menyebabkan terjadinya fragmentasi dan penyempitan habitat, dan menimbulkan ancaman kepunahan keanekaragaman hayati yang akan menentukan keberhasilan dan keberlanjutan pembangunan dan kehidupan manusia yang berkualitas. Untuk menjaga dan mempertahankan keseimbangan lingkungan di Pulau Kalimantan, beberapa upaya dan inisiatif telah dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, seperti: (a) Pemerintah telah menetapkan beberapa kawasan-kawasan hutan menjadi kawasan konservasi dan hutan lindung. Saat ini, di Pulau Kalimantan terdapat 18 Cagar Alam, 2 Suaka Margasatwa, 1 Tahura, 8 Taman Nasional, 8 Taman Wisata Alam dengan total luas sekitar 4,8 Juta hektar. Sementara Hutan Lindung telah ditetapkan seluas 6,820,539.171 hektar; (b) Pemerintah daerah yang berada pada DAS Kapuas telah membuat kesepakatan untuk menjaga DAS Kapuas (tahun 2002); dan (c) Dalam rangka memasukkan pertimbangan lingkungan pada perencanaan pengembangan wilayah, pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjalankan instrument Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) terhadap kebijakan, rencana dan program baik di tingkat pulau, propinsi, dan kabupaten; (d) Untuk menjaga dan memelihara ekosistem dataran tinggi dan pembangunan berkelanjutan di Kalimantan, pemerintah telah membuat strategi nasional inisiatif Heart of Borneo (HoB) dan melalui PP 26 tahun 2008, pemerintah telah menetapkan kawasan HoB sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) Jantung Kalimantan; (e) Penetapan kawasan-kawasan konservasi yang ada saat ini belum cukup mengakomodasi keterwakilan tipe-tipe ekosistem penting di Kalimantan, dan belum mencakup seluruh daerah jelajah dan sebaran satwa-satwa liar yang dilindungi Undang-Undang. Untuk itu telah dibangun dan dikembangkan koridor ekologi di Kalimantan, yaitu Koridor Betung kerihun-Danau Sentarum, yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) Labian-Laboyan di kabupaten Kapuas Hulu. Saat ini dikembangkan Koridor Kayan Mentarang-Betung kerihun dan Koridor Muller-Schwanner sebagai koridor ekologi lainnya; (f). Pemerintah melalui unit UKP4 (Satgas REDD+) telah menetapkan Provinsi Kalimantan Tengah sebagai propinsi percontohan penerapan REDD+ yang nantinya juga akan diterapkan di Provinsi Kalimantan Timur; (g) Perairan laut Kalimantan bagian Timur termasuk ke dalam Coral Triangle Initiative (CTI) yang disepakati oleh 6 kepala Negara tahun 2009 dengan tujuan untuk

18 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

19BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

pengelolaan terumbu karang, perikanan berkelanjutan, dan ketahanan pangan bagi masyarakat pesisir di 6 negara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon). Pada pertemuan tingkat menteri bulan Oktober 2011 telah disepakati Indonesia sebagai sekretariat regional permanen CTI; (h) Pada tahun 2004, pemerintah Indonesia, Malaysia dan Filipina telah

19BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

membuat MoU untuk mengelola kawasan perairan laut di bentang Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) yang bertujuan untuk mengelola kawasan perlindungan laut, perikanan berkelanjutan, dan perlindungan spesies laut langka dan terancam punah. Wilayah perairan Kalimantan Timur antara lain kawasan perlindungan laut Berau termasuk ke dalam wilayah SSM. Gambar 5 menjelaskan

tentang peta kawasan ekosistem penting Kalimantan yang perlu dipertahankan.

Gambar 4 menggambarkan kondisi tutupan hutan di Kalimantan

j i k a upaya penyelamatan huta tidak dilakukan. Skenario ini merupakan implementasi MP3EI tanpa pendekatan ekonomi hijau. Pada skenario ini, laju deforestasi dan degradasi yang selama ini terjadi akan terus berlanjut dan semakin meningkat sejalan dengan upaya-upaya untuk percepatan pembangunan ekonomi

d i enam sektor prioritas dan infrastuktur pendukungnya sebagaimana dituangkan dalam PerPres MP3EI. Dengan menggunakan skenario ini maka laju deforestasi yang akan terjadi diprediksi sebesar 10,3 juta hektar pada tahun 2025 (berdasarkan pada rata-rata investasi tahunan tanpa MP3EI; untuk analisis pada paragraf berikutnya perlu regresi deforestasi dengan besaran investasi

d i enam sektor sebagai independen variable). Dampaknya: (1) Penurunan fungsi ekosistem dan tata air, (2) Peningkatan emisi gas rumah kaca,

( 3 ) Kepunahan keanekaragaman hayati, ( 4 ) Penurunan nilai natural kapital

(ancaman terhadap keberlanjutan investasi), (5) Peningkatan pencemaran, (6) Penurunan kualitas hidup dan (7) terancamnya sistem sosial budaya masyarakat yang mengakibatkan konfl ik sosial.

Oleh karena itu, agar pembangunan di Kalimantan dapat berjalan dengan lestari dan selaras dengan lingkungan hidup maka perlu adanya skenario yang menerapkan prinsip-prinsip Better Management

Gambar 3 Peta Kawasan Ekosistem Penting Kalimantan Yang Perlu Dipertahankan

Sumber: Laporan MP3EI, 2011

Gambar 4 Prediksi Tutupan Hutan tahun 2020 berdasarkan “Business As Ussual Scenario”

Sumber: Laporan MP3EI, 2011

20 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/201420 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

PENUTUP

Sampai pada tingkat tertentu deforestasi di Indonesia pada umumnya dan di Kalimantan pada khususnya memang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan akan produksi pangan yang meningkat dan untuk kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan

perkembangan ekonomi. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia telah menetapkan hutan konversi (kira-kira seperempat dari keseluruhan lahan hutan) sebagai kawasan-kawasan yang tepat untuk deforestasi. Agar dapat mengatasi masalah yang terjadi akibat hilangnya tutupan hutan yang tidak seharusnya di Indonesia, perlu diketahui laju perubahan tutupan hutan dan penyebabnya. Keraguan dan kerancuan fundamental mengenai laju dan penyebab deforestasi di Indonesia harus diselesaikan. Pemahaman situasi secara lebih baik merupakan prasyarat untuk merancang kebijakan-kebijakan baru dan menyesuaikan kebijakan-kebijakan yang ada dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar dan di dalam hutan dan konservasi serta pengelolaan hutan-hutan di Indonesia. Selain itu, upaya menyelamatkan hutan Kalimantan juga perlu menghilangkan kecenderungan mencari penyebab tunggal, karena penyebab-penyebab deforestasi tertanam dalam kekuatan-kekuatan sosio-ekonomis yang mapan dan luas jangkauannya.

Practices (BMP) dan Responsible Cultivation Area (RCA) untuk sektor yang mengelola sumberdaya alam hayati seperti perkebunan dan kehutanan.

Penerapan BMP dan RCA pada sektor berbasis SDA hayati diperkirakan dapat menahan laju deforestasi. Gambar 5 menggambarkan kondisi yang ingin dicapai dengan menerapkan BMP dan RCA.

Gambar 5 Predisksi Tutupan Hutan tahun 2020 dengan menerapkan BMP dan RCA Sumber: Laporan MP3EI, 2011

Selain itu kita harus terus mendorong agar pembangunan ekonomi yang dilakukan di Kalimantan selalu menggunakan Pendekatan Ekonomi Hijau yang mencakup 6 kegiatan ekonomi dan infrastruktur pendukungnya. Pendekatan tersebut diharapkan dapat semakin membuat kegiatan pembangunan yang dilakukan di Kalimantan semakin ramah lingkungan. Hal ini seperti digambarkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Prediksi Tutupan Hutan tahun 2020 dengan menerapkan MP3EI pada 6 kegiatan ekonomi di Kalimantan. Sumber: Laporan MP3EI, 2011

21BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

”No Forest, No Future”

Pendahuluan Laju kerusakan hutan di Indonesia pada umumnya dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan dan mencapai puncaknya pada tahun 2003 dengan laju pengurangan hutan (deforestasi) mencapai 3,8 juta hektar tiap tahun dengan kerugian negara mencapai Rp. 30 trilyun per tahunnya (Nugraha dan Murtijo, 2005). Faktor mendasar yang menyebabkan kerusakan sumberdaya hutan adalah adanya anggapan hutan sebagai sumber ekonomi yang dapat diperoleh dengan cepat, mudah dan murah. Anggapan tersebut mengakibatkan sumberdaya hutan dipandang sebagai kawasan terbuka (open property resources) yang bebas untuk dimanfaatkan. Dalam pandangan ini setiap anggota masyarakat merasa berhak atas pemanfaatan hutan tanpa mengindahkan aturan/norma. Akibatnya, setiap orang akan mengeksploitasi hutan semaunya tanpa mempedulikan dampak negatif terhadap orang lain dan kelangkaan sumberdaya hutan diabaikan sama sekali. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Hardin (1968) sebagai “The Tragedy of the Commons” (tragedi massal).

Anggapan tersebut bertentangan dengan tujuan utama pengelolaan sumberdaya hutan yang secara normatif bertujuan untuk memanfaatkan seoptimal mungkin fungsi hutan. Sumberdaya hutan mempunyai tiga fungsi utama yang saling terkait satu sama lain. Pertama, secara ekonomi sumberdaya hutan diharapkan dapat menjadi sumber peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kedua, secara ekologi sumberdaya hutan diharapkan dapat menjadi salah satu faktor utama terwujudnya keberlanjutan ekosistem secara lintas generasi. Ketiga, secara sosial budaya sumberdaya hutan diharapkan dapat menjadi sumber kehidupan masyarakat melalui sistem dan praktek pengelolaan hutan. Ketiga fungsi pokok sumberdaya hutan tersebut haruslah dimanfaatkan secara adil dan demokratis dengan menjunjung tinggi aspek kelestarian dan keberlanjutannya sehingga dapat dinikmati oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Ketentuan normatif sistem pengelolaan hutan tersebut dalam prakteknya mengalami kendala. Dominasi peran aspek ekonomi dalam aktualisasi praktek pengelolaan hutan cenderung mengemuka. Pengelolaan sumberdaya hutan pada prakteknya hanya mengedepankan kepentingan ekonomis semata. Kerusakan hutan dianggap sebagai resiko pembangunan yang wajar. Anggapan “kewajaran” ini seringkali mengakibatkan munculnya praktek-praktek yang semakin menyebabkan kerusakan

FOKUS

PROFESIONALISME RIMBAWANPROFESIONALISME RIMBAWANUNTUK PENYELAMATAN HUTANUNTUK PENYELAMATAN HUTAN

(Memperingati Hari Bakti Rimbawan Tahun 2014)

Marinus Kristiadi Harun dan Adnan Ardhana

21BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

22 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

hutan, seperti penebangan liar (illegal logging) dan alih fungsi hutan tanpa analisis dampak lingkungan yang benar. Penempatan sumberdaya hutan yang semata-mata hanya untuk memenuhi kepentingan ekonomi, menyebabkan semakin rusaknya ekologi hutan. Akibat langsung dari deforestasi yang banyak kita rasakan adalah terjadinya bencana alam seperti banjir dan tanah longsor di musim hujan serta kekeringan dan kebakaran di musim kemarau. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka refl eksi pembangunan kehutanan yang dibahas dalam tulisan ini bertujuan untuk membahas upaya memperbaiki kondisi tersebut melalui pembangunan sumberdaya manusia kehutanan (rimbawan) yang profesional (menjunjung tinggi kode etik rimbawan). Rimbawan Sebagai Suatu Profesi Rimbawan menurut Kamus Kehutanan (1989) adalah seseorang yang berkecimpung dalam profesi bidang kehutanan. Mengupas defi nisi rimbawan, sangatlah luas dimensi yang tercakup di dalamnya. Membicarakan rimbawan, adalah berbicara mengenai orang yang bertanggung jawab mengelola sumberdaya hutan. Rimba atau hutan adalah induk pembahasan masalah sumberdaya lahan. Bukankah lahan pertanian berasal dari hutan yang dibuka, dibersihkan lalu ditanami. Semua kegiatan pengelolaan lahan bermula dari hutan, maka pembahasan mengenai defi nisi, peran dan tanggung jawab rimbawan mengacu pada perspekstif pelestarian alam. Oleh karena itu, rimbawan bukan sekedar profesi dengan syarat menyandang gelar tertentu, tetapi semua pihak yang bertanggung jawab atas pengelolaan alam ini khususnya hutan. Etika rimbawan bisa dimaknai dengan prinsip, sikap dan tindakan yang menunjukkan rasa peduli dan tanggung jawab terhadap pelestarian alam. Prinsip seorang rimbawan hendaknya selalu kokoh, tegas dan berkomitmen kuat untuk menjadikan hutan lestari dan bermanfaat untuk kemakmuran semua manusia. Dengan berprinsip seperti itu, maka sikap yang muncul dari seorang rimbawan adalah peduli, jujur, loyal, berhati-hati, teliti, kritis, bersahabat, dekat dengan alam dan sederhana. Sehingga tindakan yang mucul adalah tindakan yang mulia laksana seorang manusia yang diberi “amanat agung” oleh Tuhan untuk menjadi pengelola alam ini (khalifah). Dengan memahami prinsip, sikap dan perilaku rimbawan, maka segala perilaku yang menyimpang dari perbuatan mulia maka bisa dikatakan telah melanggar etika profesi rimbawan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia rimbawan adalah sebagai ahli kehutanan dan pecinta hutan. Dalam kamus tersebut juga terdapat istilah perimba, yakni orang yang mencari nafkah di hutan. Pergeseran budaya dan kemajuan

mungkin bisa digunakan sebagai landasan logika berpikir bahwa mencari nafkah di rimba bukan lagi para peramu, pemburu. Namun demikian, setiap orang yang bekerja pada sektor kehutanan belum tentu rimbawan. Perimba bisa juga menjadi seorang rimbawan, jika memiliki nilai "ahli" (pada taraf tertentu) tentang hutan dan juga mencintai hutan. Jika dibalik, apakah rimbawan bisa menjadi perimba, hal ini sangat mungkin ketika keahliannya tentang hutan tadi telah dilupakan dan kecintaan terhadap hutan telah luntur. Jadi semangatnya adalah semangat "mencari" nafkah saja. Rimbawan adalah merupakan sikap mental, pikiran, perhatian, dan dedikasinya untuk perbaikan dan pembangunan hutan Indonesia (Kartiko, 2008). Nilai-nilai yang ada didalam diri itulah yang menunjukkan apakah dia rimbawan atau bukan. Para pemikir di LIPI (atau dimana saja), para penggagas nasib rakyat di DPR bisa jadi seorang rimbawan yang baik walau mungkin tidak pernah masuk ke hutan tetapi mereka mencurahkan energi bagi perbaikan dan pembangunan hutan Indonesia. Dan orang yang memiliki dasar keilmuan kehutanan belum tentu seorang rimbawan ketika nilai yang diusung dalam kesehariannya adalah rupiah. Pada Tanggal 13 April 2007 Menteri Kehutanan menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE.01/Menhut-II/2007 tentang Sembilan Nilai Dasar Rimbawan yang merupakan penjabaran dari empat kriteria utama sumberdaya manusia aparatur kehutanan dalam menjaring pejabat-pejabat dalam lingkup Departemen kehutanan. Maksud dari sembilan nilai dasar rimbawan ini dalam rangka pembentukan SDM Kehutanan yang proporsional dalam pengelolaan hutan secara adil dan lestari yang didasari iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta sadar akan pentingnya sumber daya hutan bagi kehidupan manusia. Nilai dasar rimbawan yang merupakan komitmen spiritual rimbawan dalam melaksanakan tugas pembangunan kehutanan tersebut harus dihayati, dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh rimbawan. Sembilan nilai dasar rimbawan tersebut adalah: (1) Jujur, adalah sikap ketulusan hati dalam melaksanakan tugas dan kemampuan untuk tidak menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya. (2) Tanggung jawab, adalah kemauan dan kemampuan seseorang untuk menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat waktunya serta berani memikul resiko atas putusan yang diambil atau tindakan yang dilakukannya. (3) Ikhlas, adalah sikap rela sepenuh hati, datang dari lubuk hati, tidak mengharapkan imbalan atau balas jasa atas sesuatu perbuatan khususnya yang berdampak positif pada orang lain, dan semata-mata karena menjalankan tugas atau amanah dari Tuhan Yang Maha Esa. (4) Disiplin, adalah sikap mental yang tercermin dalam perbuatan dan perilaku pribadi atau kelompok, berupa kepatuhan dan ketaatan terhadap aturan kerja, hukum dan norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

22 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

23BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

dan bernegara yang dilakukan secara sadar. (5) Visioner, adalah mempunyai wawasan/pandangan jauh ke masa depan dan arah tujuan yang ingin diwujudkan. (6) Adil, adalah perbuatan yang dilandasi rasa tidak sewenang-wenang, tidak memihak (netral) serta proporsional sesuai peraturan/hukum yang berlaku. (7)Peduli, adalah sikap memperhatikan orang lain dan lingkungan sebagaimana ia memperlakukan dirinya sendiri. (8) Kerjasama, adalah kemauan dan kemampuan untuk bekerjasama dengan semua pihak dalam menyelesaikan suatu tugas yang ditentukan sehingga mencapai hasil guna dan daya guna yang sebesar-besarnya. (9) Profesional, adalah kemampuan konseptual, analisis dan teknis dalam bekerja yang diperoleh melalui pendidikan atau pelatihan yang dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, berorientasi penghargaan dan kepuasan bersama sehingga keputusan dan tindakannya didasari atas rasionalitas dan etika profesi. Beberapa masalah yang muncul dalam pengelolaan hutan di Indonesia pada masa sekarang, tidak terlepas dari bagaimana rimbawan Indonesia bekerja. Ada tiga hal sumber kerusakan hutan yang datangnya dari rimbawan itu sendiri. Pertama, moral dan mental. Selama ini, banyak kebijakan-kebijakan kehutanan yang tidak berpihak kepada alam dan cenderung dikeluarkan berdasarkan kebutuhan sesaat atau kebutuhan saat itu. Hal ini mencerminkan posisi para pengambil kebijakan yang tidak memiliki moral seorang rimbawan, belum lagi banyaknya rimbawan yang ketika masih berstatus mahasiswa mengepalkan tangan diatas untuk kepentingan hutan, namun ketika duduk menjadi pengambil keputusan, ia sudah melupakan apa yang pernah ia perjuangkan. Kedua, pola pikir (mind set). Selama ini, ketika berbicara tentang hutan maka yang ada di benak kita adalah bagaimana memanfaatkan hutan untuk menghasilkan keuntungan secara ekonomi. Ini adalah cerminan pola pikir yang eksploitatif dan harus ditinggalkan. Ketiga, Skill. Rimbawan dituntut untuk memiliki keahlian dalam menangani permasalahan hutan dan kehutanan. Oleh karena itu rimbawan dituntut untuk mempunyai kompetensi, integritas dan independent. Ketiga hal tersebut menuntut seorang rimbawan untuk mempunyai kemampuan meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya di bidang kehutanan. Penemuan jati diri sebagai seorang rimbawan perlu ditanamkan sehingga terciptanya kemandirian dalam bekerja. Perbaikan Rimbawan Pertama, masalah etika. Masalah kerusakan hutan menjadi masalah etika karena manusia seringkali lupa dan kehilangan orientasi dalam memperlakukan alam. Karena lupa dan kehilangan orientasi itulah, manusia lantas memperlakukan alam secara tanpa adanya tanggungjawab.

Pendekatan etis dalam menyikapi masalah kerusakan hutan sungguh sangat diperlukan. Pendekatan tersebut pertama-tama dimaksudkan untuk menentukan sikap, tindakan serta manajemen pengelolaan hutan dan seluruh anggota ekosistem di dalamnya dengan tepat. Maka, sudah sewajarnyalah jika saat ini dikembangkan etika lingkungan hidup dengan sikap ramah terhadap lingkungan hidup. Menghadapi masalah kerusakan lingkungan hidup yang terus terjadi, rasanya pendekatan etika human-centered tidak lagi memadai untuk terus dipraktekkan. Artinya, kita perlu menentukan pendekatan etis lain yang lebih sesuai dan lebih ramah terhadap lingkungan hidup. Jenis pendekatan etika yang kiranya memungkinkan adalah pendekatan etika life-centered. Pendekatan etika ini dianggap lebih memadai sebab dalam praktisnya tidak menjadikan lingkungan hidup dan makhluk-makhluk yang terdapat di dalamnya sebagai obyek yang begitu saja dapat dieksploitasi. Sebaliknya, pendekatan etika ini justru sungguh menghargai mereka sebagai subyek yang memiliki nilai pada dirinya. Mereka memiliki nilai tersendiri sebagai anggota komunitas kehidupan di bumi. Nilai mereka tidak ditentukan dari sejauh mana mereka memiliki kegunaan bagi manusia. Mereka memiliki nilai kebaikan tersendiri seperti manusia juga memilikinya, oleh karena itu mereka juga layak diperlakukan dengan respect seperti kita melakukanya terhadap manusia. Kedua, masalah moral. Dalam kehidupan sehari-hari tindakan moral adalah tindakan yang paling menentukan kualitas baik buruknya hidup seseorang. Agar tindakan moral seseorang memenuhi kriteria moral yang baik, ia perlu mendasarkan tindakanya pada prinsip-prinsip moral secara tepat. Para rimbawan Indonesia juga harus menyadari bahwa kecenderungan kerusakan atau pengrusakan hutan di Indonesia bermuara pada ”masalah perut” atau dengan kata lain sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan hidup, namun disisi lain motif kegiatan penebangan liar merupakan hasrat akumulasi keuntungan. Disini kita sebut dua motif tersebut sebagai turunan dari needs (kebutuhan) dan greeds (keserakahan) ekonomi. Oleh karena itu, dua bentuk penanganan tersebut harus mampu berjalan secara terintegrasi agar hubungan simbiosis mutualisme ekonomi antara aktor yang bermotif needs dengan aktor yang bermotif greeds itu dapat terurai. Para aktor bermotif needs itu biasanya dari akar rumput, sementara aktor yang bermotif greeds adalah cukong atau pemodal. Bukan tidak mungkin motif needs berubah menjadi greeds karena sekedar diperalat oleh para pihak yang mengincar keuntungan berlipat. Sehingga mata rantai haram pun akan semakin sulit dikendalikan.

23BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

24 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

Pengelolaan Hutan Kedepan

Pengelolaan hutan kedepan tidak bisa dilakukan terpisah dari kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Hal ini berarti bahwa hutan akan lestari jika dan hanya jika masyarakat lokal sejahtera. Masyarakat lokal memandang hutan sebagai sumber kehidupan pada waktu sekarang dan masa yang akan datang. Mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dari hutan berdasarkan peraturan adat. Kearifan masyarakat lokal dalam mengelola hutan adatnya dapat dijadikan sebagai contoh bentuk pengelolaan hutan yang lestari. Dua hal yang menjadi esensi dari sikap masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya hutan adalah: pertama, adanya kesadaran untuk menempatkan hutan sebagai sesuatu yang dimiliki dan dimanfaatkan secara bersama-sama (common property resources) dan kedua, unsur kelangkaan sumberdaya hutan menjadi pertimbangan penting. Kedua prinsip tersebut menjadikan pemanfaatan hutan oleh masyarakat lokal tidak bersifat eksploitatif.

Perlu disadari bahwa hubungan masyarakat lokal dengan hutan merupakan hubungan yang bersifat fungsional ekologis (Mubyarto et al., 1992). Hal ini berarti perilaku masyarakat lokal dalam pemanfaatan sumberdaya hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup merupakan bagian dari sistem budaya mereka. Bagi mereka hutan pada hakekatnya merupakan “ketahanan pangan” (food security). Berdasarkan pemaparan tersebut di atas maka paradigma pembangunan kehutanan harus dirubah. Pembangunan kehutanan tidak lagi hanya menjadi pendukung industri yang berorientasi ekspor dan pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi harus mulai mengembangkan ekonomi masyarakat lokal.

Pembangunan kehutanan harus mempertimbangkan kebutuhan dasar masyarakat lokal, distribusi pemerataan hasil-hasil hutan dan partisipasi masyarakat lokal sehingga diharapkan dapat menciptakan hal-hal berikut. Pertama, meningkatkan peran serta masyarakat lokal dalam pengelolaan tanah-tanah hutan yang rusak dan tanah kritis lainnya dalam rangka mengurangi proses deforestasi. Kedua, membangun sosial ekonomi masyarakat lokal melalui penyerapan tenaga kerja, pengembangan lembaga dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, masyarakat lokal mempunyai akses yang lebih baik terhadap barang dan jasa yang dihasilkan dari dalam hutan. Keempat, meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sebagai tujuan antara peningkatan kemandirian mereka.

Selain faktor peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal, faktor lain yang tidak kalah penting dalam pengelolaan

sumberdaya hutan kedepan adalah penguatan peran kelembagaan pengelolaan hutan yang mampu mengidentifi kasi permasalahan spesifi k wilayah tertentu, sehingga dapat diambil keputusan yang berdasarkan informasi keterbatasan daya dukung hutan dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Fakta di lapangan selama ini menunjukkan bahwa penguasaan hutan yang berlebihan oleh perusahaan besar pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) telah mendatangkan dampak negatif seperti deforestasi, lahan kritis, ketimpangan sosial dan konfl ik sosial yang mengancam kelestarian sumberdaya hutan. Harapan pemerintah bahwa perusahaan skala besar yang dipercaya akan mampu melestarikan sumberdaya hutan tidak pernah menjadi kenyataan. Kata orang bijak “jauh panggang dari api”. Pada saat yang sama, masyarakat lokal terbukti telah mampu mengelola hutan secara lestari melalui suatu proses yang panjang. Banyak bukti yang menunjukkan hal ini, misalnya saja Sistem Lembo di Kalimantan Timur, Sistem Dukuh di Kalimantan Selatan, Repong Damar di Krui, Lampung dan Kebun Tembawang di Sanggau yang telah terbukti mampu menghijaukan lahan-lahan yang dulunya kritis menjadi produktif kembali. Sistem tembawang misalnya merupakan salah satu contoh bukti keberhasilan budidaya Dipterocarpaceae oleh masyarakat lokal. Praktek-praktek kearifan tradisional tersebut merupakan bentuk penggelolaan sumberdaya hutan yang mampu menjawab persoalan ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Kita berharap agar pengelolaan hutan yang benar oleh Rimbawan yang profesional mampu mereduksi laju deforestasi dan menyelamatkan hutan di Kalimantan yang masih tersisa.

Penutup Kita tergantung pada hutan, bukan hutan tergantung pada kita. Kalimat tersebut harus selalu tertanam dalam sanubari rimbawan agar rimbawan dapat tegak berdiri sebagai suatu “profesi” bukan hanya sekedar “pekerjaan pencari nafkah”. Dalam menghadapi proses deforesatasi yang kian menambah ”sakit” hutan kita dan prioritas ”penyembuhan” kehutanan nasional, rimbawan memiliki beberapa tantangan kedepan, yaitu: (a) tantangan tentang jiwa korsa dan konservasi, (b) penyamaan visi dan misi, (c) penentuan prioritas, (d) penguatan networking, (e) doing the best. Oleh karena itu, sangat diperlukan SDM Rimbawan yang memiliki integritas moral, kemampuan profesionalisme, kemampuan kepemimpinan, dan kemampuan untuk bekerjasama. Karenanya rimbawan harus berkomitmen (committed), konsekuen (consequent), konsisten (consistent), dan percaya diri (confi dent) dalam mengemban amanah untuk mengelola hutan secara lestari dan mensejahterakan masyarakat.

24 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

25BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, pada hakekatnya dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sejalan dengan hal tersebut, sebagian hutan di Kalimantan Selatan ditetapkan menjadi kawasan konservasi antara lain dalam bentuk Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata dan Taman Hutan Raya. Meskipun sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi keberadaan kawasan tersebut tidak luput tekanan dan gangguan. sehingga fungsi kawasan konservasi tersebut tidak optimal.

Provinsi Kalimantan Selatan dengan luas wilayah 4.987.899 hektar (daratan dan perairan), memiliki luas hutan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. Sk. 435/Menhut-II/2009 tentang penunjukkan kawasan hutan Provinsi Kalimantan Selatan seluas 1.779.982 ha yang terdiri atas :a. Kawasan suaka alam/konservasi : 213.285 hab. Hutan lindung : 526.425 hac. Hutan produksi terbatas : 126.660 had. Hutan produksi terbatas : 762.188 hae. Hutan produksi yang dapat dikonversi : 151.424 ha

Untuk melindungi fl ora dan fauna yang ada di Kalimantan Selatan tersebut terfasilitasi oleh sebelas kawasan konservasi yaitu empat cagar alam, tiga suaka margasatwa, tiga taman wisata alam,dan satu tahura. Status perkembangan kawasan konservasi di Propinsi Kalimantan Selatan hingga tahun 2014 disajikan dalam Tabel 1.

FOKUS

Penyelamatan Plasma Nutfah HutanPenyelamatan Plasma Nutfah HutanMelalui Pengelolaan Kawasan KonservasiMelalui Pengelolaan Kawasan Konservasi

Wawan HalwanyPeneliti Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

25BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

26 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

Tabel 1. Perkembangan kawasan konservasi di Kalimantan Selatan No. Nama Kawasan Kabupaten Luas (ha) Status Kawasan1 2 3 4 5

1. Cagar Alam (CA) Gunung Kentawan Hulu Sungai Selatan 257,9 Penetapan SK. Menhutbun No. 336/Kpts-II/1999 tanggal 24 Mei 1999

2. CA. Teluk Kelumpang, Selat Sebuku dan Selat Laut

Tanah Bumbu dan Kotabaru

66.650 Penetapan SK. Menhut No. 329/Kpts-II/1987 tanggal 14 Oktober 1987

3. CA. Teluk Pamukan Kotabaru 20.618 Penunjukkan SK. Menhut No. 453/Kpts-II/1999 tanggal 17 Juni 1999

4. CA. Sungai Bulan dan Sungai Lulan Kotabaru 1.857 Penunjukkan SK. Menhut No. 453/Kpts-II/1999 tgl 17 Juni 1999

5. Suaka Margasatwa (SM) Pulau Kaget Barito Kuala 63,6 Penetapan SK. Menhutbun No. 337/Kpts-II/1999 tanggal 24 Mei 1999

6. SM. Peleihari Tanah Laut Tanah Laut 6.000 Penunjukkan SK. Mentan No. 695/Kpts-II/1991 tgl 11 Oktober 1991

7. SM. Kuala Lupak Barito Kuala 2.975 Penunjukkan SK. Menhut No. 453/Kpts-II/1999 tgl 17 Juni 1999

8. Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Kembang Barito Kuala 60 Penunjukkan SK. Mentan No. 780/Kpts/Um/12/1976 tanggal 27 Desember 1976

9. TWA. Pulau Bakut Barito Kuala 18,7 Penunjukkan SK. Menhutbun No. 140/Kpts-II/2003 tgl. 21 April 2003

10. TWA. Peleihari Tanah Laut Tanah Laut 1.500 Penunjukkan SK. Mentan No. 695/Kpts-II/1991 tgl 11 Oktober 1991

11. Tahura Sultan Adam Banjar dan Tanah Laut 112.000 Penetapan Kepres RI. No. 52 Tahun 1989 tgl 18 Oktober 1989

Sumber : Statistik BKSDA Kalimantan Selatan Tahun 2012

Kawasan konservasi yang dikelola tersebut didominasi oleh tipe hutan mangrove (sekitar 90%) dan sisanya berupa hutan dataran rendah dan tinggi. Kawasan konservasi di Propinsi Kalimantan Selatan mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi. Berdasarkan hasil laporan survey tahun 1980-2008, pada kawasan konservasi tersebut telah teridentifi kiasi 54 jenis mamalia (24 jenis dilindungi), 183 jenis aves (59 jenis dilindungi), 26 jenis reptilia (5 jenis dilindungi), 38 jenis amphibia, 252 jenis anggrek (1 jenis dilindungi), dan berbagai jenis tumbuhan lainnya. Potensi keanekaragaman hayati tersebut belum termasuk keragaman hayati perairan pada kawasan perairan (BKSDA, 2008).

Sebagian besar kawasan konservasi di Indonesia mengalami tekanan dan gangguan. Begitu juga yang terjadi pada kawasan konservasi di Propinsi Kalimantan Selatan. Kasus pada kawasan Cagar Alam yang ada di Kabupaten Kotabaru dan Kabupaten Tanah Bumbu dimana pada kawasan konservasi mangrove telah terjadi konversi menjadi areal tambak liar, pelabuhan khusus, pemukiman dan peruntukkan lainnya. Tekanan dan gangguan pada kawasan konservasi perlu diminimalisasi sehingga kawasan konservasi dengan ciri khas tertentu dan mempunyai fungsi pokok sebagai pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya dapat terpelihara. Pemanfaatan kawasan konservasi harus dilihat dari tujuan jangka panjang yaitu jasa lingkungan yang diberikan dari kawasan konservasi bagi kehidupan manusia dan ekosistem. Kawasan konservasi yang terlanjur rusak maka untuk pemulihannya diperlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit.

Kawasan Konservasi

Cagar alam Gunung KentawanKawasan ini memiliki keunikan berupa perwakilan

tipe ekosistem hutan dataran tinggi. Terdapat setidaknya 28 jenis anggrek alam yang didominasi oleh anggrek lukuk (Cattleya sp.) dan anggrek paikat (Eria regida). Kawasan ini juga menjadi habitat berbagai jenis fauna yang dilindungi seperti bekantan (Nasalis larvatus), owa-owa (Hylobates muelleri), pelanduk kancil (Tragulus javanicus), landak (Hystrix brachyura), kucing hutan (Felis bengalensis), trenggiling (Manis javanica), rangkong (Buceros rhinoceros), burung raja udang (Alcedo euryzona), dan lain-lain

Nilai konservasi kawasan ini selain menjaga kelestarian fungsi hidrologis/tata air dan perlindungan terhadap kerawanan erosi tanah bagi daerah sekitarnya, juga untuk menjaga kelestarian keanekaragaman jenis fl ora dan fauna beserta ekosistemnya.

Cagar Alam Teluk Kelumpang, Selat Laut dan Selat Sebuku

Perwakilan tipe ekosistem mangrove dan hutan dataran rendah yang unik memiliki berbagai jenis fauna yang dilindungi serta fl ora khas hutan mangrove dan hutan dataran rendah. Komposisi jenis fl ora pada ekosistem mangrovenya seperti bakau (Rhizophora mucronata), langadai (Bruguiera parvifl ora), api-api (Avicennia marina), nipah (Nypa fruticans), mirih (Xylocarpus granatum), perapat (Sonneratia caseolaris), tengar (Ceriops tagal), dan lain-lain. Jenis fauna yang dilindungi yang terdapat pada kawasan cagar alam ini adalah bekantan (Nasalis larvatus),

26 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

27BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

kijang (Muntiacus muntjak), beruang madu (Helarctos malayanus), pelanduk kancil (Tragulus javanicus), buaya muara (Crocodylus porosus), bangau tongtong (Leptoptilus javanicus), pecik ular (Anhinga melanogaster), dan lain-lain.

Tipe hutan mangrove mempunyai fungsi ekologis sebagai pelindung dari abrasi dan gelombang laut, pengendali intrusi air laut, habitat fauna, tempat memijah dan berkembang biak ikan, dan mereduksi polutan dan pencemar air.

Cagar Alam Teluk Pamukan Komposisi jenis berupa tipe hutan mangrove dan hutan dataran rendah. Jenis yang dapat dijumpai diantaranya api-api (Avicennia alba), perapat (Sonneratia alba), bakau (R. mucronata), langadai (Bruguiera parvifl ora), mirih (Xylocarpus granatum) dan nipah (Nypa fructicans). Jenis fauna yang terdapat di kawasan ini diantaranya buaya muara (Crocodillus porosus), bekantan (Nasalis larvatus), rusa (Cervus unicolor), bangau tongtong (Leptoptilus javanicus), elang bondol (Haliastur indus), elang laut perut putih (Heliastur leucogaster), burung raja udang (Pelargopsis javensis).

Cagar Alam Sungai Bulan dan Sugai LulanKawasan ini memiliki keunikan berupa tipe

ekosistem hutan mangrove. Berbagai jenis fl ora khas hutan mangrove yang tumbuh seperti bakau (R. mucronata), langadai (Bruguiera parvifl ora), api-api (Avicennia marina), nipah (Nypa fructicans), mirih (Xylocarpus granatum), perapat (Sonneratia caseolaris), tengar (Ceriops tagal), dan lain-lain. Habitat berbagai jenis fauna yang dilindungi seperti bekantan (Nasalis larvatus), rusa (Cervus unicolor), pelanduk kancil (Tragulus javanicus), burung pecuk ular (Anhinga melanogaster), kuntul (Egretta garzetta dan E. Intermedia), elang laut perut putih (Heliaetus leucogaster), dan lain-lain. Kawasan ini mempuyai fungsi sebagai perlindungan keanekaragaman hayati jenis fl ora dan fauna beserta ekosistem hutan mangrove. Kegiatan pertambakan dan penebangan liar banyak terjadi pada kawasan ini.

Suaka Margasatwa Pulau Kaget

Tipe hutannya merupakan hutan mangrove dengan komposisi jenis fl ora seperti rambai (Sonneratia caseolaris), nipah (Nypa fructicans), bakung (Crinumm asiaticum), jeruju (Acanthus ilicifolius), dan lain-lain. Satwa yang ada pada kawasan ini diantaranya bekantan (Nasalis larvatus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), elang laut perut putih (Haliastur leucogaster), elang bondol (Haliastur indus), raja udang biru (Halycon chloris), dan lain-lain. Dengan pengelolaan jumlah bekantan yang ada, upaya pemulihan kawasan saat ini mulai membuahkan hasil. Anakan pohon rambai yang tumbuh secara alami maupun buatan tumbuh secara baik. Diharapkan kawasan ini dapat berfungsi sebagaimana mestinya sebagai perlindungan ekosistem beserta keragaman hayatinya.

Suaka Marga Satwa Pleihara Tanah Laut Tipe ekosistem kawasan ini terdiri dari hutan rawa air tawar, hutan mangrove, hutan pantai, dan hutan hujan dataran rendah. Formasi hutan mangrovenya terdapat jenis fl ora seperti Nypha fructicans, Sonneratia caseolaris, Bruguiera parvifl ora, Xylocarpus granatum, Rhizophora sp., Avicennia sp., dan lain-lain. Beberapa fauna yang dilindungi pada kawasan ini diantaranya Nasalis larvatus, rusa (Cervus unicolor), buaya muara (Crocodylus porosus), pecuk ular (Anhinga melanogaster), elang bondol (Haliastur indus), bangau tong-tong (Leptoptilus javanicus). Suaka Margasatwa Kuala Lupak Hutan mangrove dengan komposisi jenis fl ora seperti Sonneratia caseolaris, Ficus sp., Eugenia sp., Bruguiera sp., Gluta renghas, Nypa fructicans, Pandanus sp., Crinum asiaticum, Acanthus ilicifolius, Heretiera littoralis dan lain-lain. Jenis satwa yang terdapat pada kawasan ini diantaranya Nasalis larvatus, Heliaetus leucogaster (elang laut perut putih), elang bondol (Haliastur indus), elang hitam (Elanus caeruleus), elang (Spilornis sheela), raja udang biru (Halycon chloris), dan lain-lain.

27BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

28 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Kembang Komposisi jenis hutan mangrovenya diantaranya Gluta renghas, Sonneratia caseolaris, Ficus retusa, Alstonia pnematophora, Nypa Fructicans, Pandanus tectorius), Acanthus iliciofolius, Acrostichum aureum, dan lain-lain. Jenis fauna yang terdapat pada kawasan ini diantaranya Nasalis larvatus, lutung (Presbytis cristata), kera abu-abu (Macaca fascicularis), Haliastur indus, Heliaetus leucogaster, raja udang (Pelargopsis capensis), raja udang (Alcedo meninting). Pada kawasan ini terdapat seluas 6 ha yang dikelola pihak swasta yaitu CV. Sinar kencana. Pihak swasta memperoleh ijin hak pengusahaan pariwisata alam.

Taman Wisata Alam Pulau Bakut Kawasan hutan ini berada di bawah jembatan Barito yang merupakan jembatan terpanjang di Kalimantan (1.082 m). Komposisi jenis mangrove pada kawasan ini diantaranya jenis Gluta renghas, Sonneratia caseolaris, Ficus retusa, Xylocarpus granatum, kelampan (Cerbera manghas), Hibiscus tiliaceus, dan lain-lain. Kawasan ini merupakan habitat dari satwa Nasalis larvatus, dari jenis burung : Haliastur indus, Heliaetus leucogaster, dan trinil pantai (Tringa hypoleucos).

Taman Wisata Alam Pleihari Tanah Laut Keunikan kawasan ini berupa gabungan hutan rawa air tawar, hutan mangrove, hutan pantai, dan hutan hujan dataran rendah memiliki berbagai jenis fl ora dan fauna serta pantai landau dengan hamparan pasir putih (kwarsa) sepanjang 12 m. Formasi hutannya terdiri dari cemara laut (Casuarina equisetifolia), Terminalia catappa, Baringtonia racemosa, Waru laut (Hibiscus tiliaceus), dadap laut (Erythrina variegate), Callophylum inophyllum , dan lain-lain. Jenis satwa yang dapat ditemui diantaranya bekantan, monyet ekor panjang, burung elang laut perut putih, elang bondol, raja udang biru dan lain-lain. Lokasi taman wisata ini di Kecamatan Panyipatan Kabupaten Tanah Laut. Kawasan ini merupakan areal SM. Pleihari yang diubah fungsi menjadi Taman Wsata Alam sebagai perlindungan keanekaragaman hayati jenis fl ora dan fauna dan pemanfaatan sebagai obyek wisata alam,

Tahura Sultan Adam Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 107/Kpts-II/2003 tanggal 24 Maret 2003 dan Peraturan Gubernur No. 8 Tahun 2008 Tahura Sultan Adam dikelola oleh Propinsi Kalimantan Selatan melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Taman Hutan Raya Sultan Adam yang bertanggung jawab kepada Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan. UPTD Tahura mempunyai tugas melaksanakan perlindungan, perbaikan dan pemanfaatan sumber daya alam hutan lindung serta hutan wisata. Kawasan hutan bertipe hujan tropika memiliki nilai konservasi yaitu perlindungan terhadap satwa liar, sebagai daerah tangkapan air (cathment area) daerah aliran sungai riam kanan, sebagai penjaga iklim mikro, serta pemanfaatan wisata alam, pendidikan dan penelitian. Hutan hujan tropikanya memiliki sedikitnya 107 jenis fl ora di antaranya Shorea spp., Eusideroxy zwageri, Kahingai (Santiria tomentosa), Dipterocarpus spp., pampahi (Ilexsimosa spp.,) Kuminjah laki (Memecylon leavigatum), keruing (Dipterocarpus grandifl orus), Mawai (Cethocarpus grandifl orus), Jambukan (Mesia sp.) Kasai (Arthocarpus kemando), dan lain-lain. Jenis satwa yang terdapat pada tahura diantaranya bekantan, owa-owa (Hylobates muelleri), lutung merah (Presbytis rubicunda), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor), Kijang merah (Muntiacus muntjak), Kijang Mas (Muntiacus atherodes), Pelanduk (Tragulus javanicus), landak (Hystrix brachyura), musang air (Cynogale benetti), macan dahan (Neofelis nebulosa), dan lain-lain. Jenis aves yang ada di tahura diantaranya Kuau/Harui (Argusianus argus), rangkong badak (Buceros rhinoceros), Enggang (Berenicornis comatus), Elang hitam (Ictinaetus malayensis), Elang bondol (Haliastur indus), raja udang sungai (Alcedo athtis), raja udang hutan (Halycon chloris). Jenis reptile diantaranya biawak (Varanus salvator), ular air (Homolopsus buccata), kadal (Mabouja multifascia), Bunglon (Calotus jubatus), labi-labi (Amyda cartilagenia), ular sawa (Phyton reticulatus), dan lain-lain. Potensi wisata kawasan yang ada dalam Tahura Sultan Adam diantaranya adalah danau/waduk PLTA, pulau pinus, pulau bukit batas, air terjun surian, air

28 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

29BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

terjun bagugur, bumi perkemahan awang bangkal, pusat pengelola/informasi mandiangin.

Kendala dan Peluang PengelolaaanKawasan Konservasi

Sebagian besar kawasan konservasi yang ada

di Kalimantan Selatan adalah lahan basah atau kawasan hutan mangrove(90%). Hutan mangrove mempunyai fungsi dan manfaat yang besar bagi kehidupan masyarakat sekitar dan global. Selain itu mangrove merupakan salah satu hutan terkaya karbon di kawasan tropis, yang mengandung sekitar 1023 Mg karbon perhektar. Tanah dengan kandungan organik tinggi memiliki kedalaman antara 0,5 m sampai lebih dari 3 m dan merupakan 49-98% simpanan karbon dalam ekosistem ini. (Donato,D.C., et al., 2012).

Tekanan terhadap kawasan konservasi di Indonesia banyak terjadi karena kepentingan jangka pendek. Begitu juga yang terjadi pada kawasan cagar alam di Kalimantan Selatan mengalami kerusakan dan tekanan dari berbagai pihak. Sebagai contoh pada kawasan Cagar alam Teluk Kelumpang, Selat Laut dan Selat Sebuku areal mangrove yang dijadikan tambak, pemukiman dan pelabuhan. Padahal berdasarkan hasil penelitian deforestasi mangrove menyebabkan emisi sebesar 0,02-0,12 Pg karbon per tahun, yang setara dengan sekitar 10% emisi dari deforestasi secara global, walaupun luasnya hanya 0,7% dari seluruh kawasan hutan tropis (Donato,D.C., et al., 2012).

Berdasarkan studi lapangan yang pernah penulis lakukan pada lahan-lahan tambak di kawasan cagar alam yang ditinggalkan, pada sekitar tambak-tambak tersebut terdapat anakan-anakan alam yang cukup banyak, Potensi semai pada tegakan mangrove tidak terganggu sangat tinggi yaitu sebanyak 5.625 batang/ha untuk Bruguiera sexangula. Kondisi anakan alam jenis tumbuuhan mangrove pada kawasan cagar alam sangat besar. Salah satu faktor penghambat distribusi benih alam adalah adanya tanggul-tanggul pada tambak. Menurut Mangrove Action Project (2006), beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dalam kegiatan restorasi dan rehabilitasi mangrove:1. Memahami autekologi, yakni sifat-sifat ekologi tiap-

tiap jenis mangrove di lokasi, khususnya reproduksi, distribusi benih, dan keberhasilan pertumbuhannya, serta ekologi hutan bakau keseluruahan.

2. Memahami pola hidrologi normal yang mengatur distribusi dan pertumbuhan jenis-jenis mangrove.

3. Meneliti perubahan yang telah terjadi pada ekosistem mangrove yang menghambat regenerasi alami

4. Kerjasama masyarakat lokal, LSM, pemerintah dan para akademisi untuk memilih lokasi yang layak secara teknis.

5. Membuat disain program restorasi hidrologi untuk memungkinkan pertumbuhan mangrove secara alami

6. Melakukan pembibitan dan penanaman hanya jika kelima langkah telah dilakukan namun tidak memberikan hasil yang diharapkan.

7. Pelibatan dan sosialisasi terhadap masyarakat sekitar perlu ditingkatkan akan fungsi dan manfaat mangrove bagi kehidupan. Bukan hanya kepentingan jangka pendek saja namun kepentingan jangka panjang juga perlu diperhatikan

Penutup

Kawasan konservasi yang ada di Kalimantan Selatan merupakan sumber daya alam yang perlu dipertahankan dan di jaga kelestariannya. Oleh karena itu perlu ada kemauan semua pihak terkait baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat dan pihak lain yang terkait, Kawasan konservasi tersebut bukan hanya untuk kepentingan masyarakat sekitar tetapi keberadaan kawasan konservasi juga untuk menjaga kepentingan global dan kehidupan masyarakat luas dalam hal pengembangan pendidikan dan penelitian.

Daftar Pustaka

BKSDA Kalimantan Selatan. 2008. Kawasan Konservasi Kalimantan Selatan.

BKSDA Kalimantan Selatan. 2012. Statistik Balai KSDA Kalimantan Selatan.

Donato, C. D., J. B. Kauffman, D. Murdiyarso., S. Kurnianto, M. Stidham, dan M. Kanninen. 2012. Mangrove adalah salah satu hutan terkaya karbon di kawasan tropis. Brief. Cifor.

Mangrove Action Project. 2006. Five Steps to Successful Ecological Restoration of Mangroves. Yayasan Akar Rumput Laut. Yogyakarta.

Undang-undang Repuplik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya alam Hayati dan Ekosistemnya.

29BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

30 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

PENDAHULUANSesungguhnya hutan memiliki kemampuan

untuk memenuhi tuntutan-tuntutan untuk kepentingan kehidupan manusia mengingat kelangkaan makanan, energi, dan air (Food Energy Water Scarcity) dan adanya perubahan iklim (Climate change) yang telah menjadi isu global saat ini. Yang menjadi persoalan adalah seberapa besar keberadaan kelompok manusia yang memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang fungsi hutan dalam menyediakan bahan makanan, energi, dan air, mengikat gas karbon dioksida (CO2), dan menyediakan gas oksigen (O2) untuk kepentingan bernapas manusia. Terdapat kecenderungan bahwa dalam jangka pendek keberadaan hutan semakin tidak dirasakan oleh sebagian manusia. Bagi masyarakat perkotaan, hutan tidak berhubungan secara langsung dengan mereka sehingga lambat laun pengetahuan mereka tentang hutan dengan segala fungsinya akan semakin miskin. Kerusakan hutan tidak menjadi perhatian bagi masyarakat kota. Kalangan pengusaha pertambangan baik pertambangan batubara, nikel, bijih besi, tembaga, emas, dan intan lebih mengutamakan menghilangkan vegetasi hutan apabila didalam tanah hutan mengandung barang tambang. Di sisi lain, para pengusaha perkebunan lebih bersemangat mengganti vegetasi hutan dengan komoditi perkebunan seperti karet, kelapa sawit, kopi, coklat, dan jenis hortikultura lainnya daripada mempertahankan jenis-jenis pohon hutan sebagai sisa degradasi hutan sekunder. Untuk membangkitkan kembali kesadaran manusia tentang pentingnya hutan diperlukan adanya interpensi pengetahuan hutan yang intensif kepada masyarakat tentang manfaat hutan bagi kehidupan manusia. Di sisi lain, produk hasil hutan harus mampu menyentuh kebutuhan primer manusia.

Mengembangkan pengetahuan tentang hutan hubungannya dengan permasalahan global saat ini hanya dapat ditempuh dengan cara melakukan berbagai penelitian ilmiah secara terus-menerus. Semua permasalahan kehutanan kedepan akan dapat diperoleh solusinya manakala penelitian diarahkan untuk mencari jawaban kebutuhan manusia tersebut. Ketersediaan hasil-hasil penelitian akan menjadi bahan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat sehingga melalui penyuluhan, seminar, diskusi, dan ekspose,tranfer knowledge manfaat hutan kepada berbagai pihak akan berjalan.

ARAH LITBANG KEHUTANANMENJAWAB TANTANGAN DEFORESTASI

Oleh : Dr.Acep Akbar, MP.

RISET PERANAN HUTAN SEBAGAI SUMBER PANGANHutan sebagai sumber makanan secara langsung

bagi manusia telah dikenal sejak jaman timbulnya peradaban manusia di bumi ini. Makanan jenis buah-buahan dan sayur-sayuran berawal dari adanya tubuhan liar di hutan. Jenis padi dan jagung berawal dari tumbuhan gulma yang tumbuh secara liar di sekitar hutan. Demikian pula talas-talasan pada mulanya tumbuh liar di hutan. Setelah padi dibuktikan menjadi tanaman penghasil beras bergiji yang enak dimakan, maka padi telah mengalami domestikasi ditanam di sawah-sawah areal pemukiman dan ladang di sekitar pemukiman. Demikian juga talas dan jagung akhirnya menjadi makanan berkarbohidrat tinggi selain mengandung nilai gizi lainnya. Selama ini jenis-jenis pohon hutan yang telah mengalami domestikasi dan telah dinikmati oleh manusia diantaranya pohon sukun (Arthocarpus heterophyllus), campedak (Arthocarpus chimpeden), pisang (Musa spp.), mangga (Mangifera spp.), rambutan (Nephelium lappaceum), kecapi (Sandoricum koetjapi), aren (Arenga pinnata), sagu (Metroxylon sago), durian (Durio zibethinus), petai (Parkia spiceosa), kedondong (Spondias pinnata), jengkol (Pithecelobium jiringa), kemiri (Aleurites molucaena), alpokat (Persea americana), kopi (Coffea arabica), teh (Camellia sinensis), cokelat (Theobroma cacao), melinjo (Gnetum gnemon), sirsak (Annona muricata), nangka (Artocarpus heterophyllus), jeruk (Citrus spp.), salak (Salacca edulis), jambu air (Syzygium aqueum), jambu biji (Psidium guajava), dan jambu mede (Anacardium occidentale). Sebagian jenis masih merupakan peralihan antara tanaman budidaya dengan tanaman liar di hutan yaitu sagu (Metroxylon sago) dan aren (Arenga pinnata). Kelapa (Cocos nucifera), kepala sawit (Elaeis guinencis), kopi, dan kakau/coklat telah menjadi komoditi perkebunan dalam skala luas. Sesungguhnya masih banyak jenis-jenis pohon hutan penghasil bahan makanan yang telah dikonsumsi masyarakat sekitar hutan tetapi belum tergeneralisasi dan teruji kandungan gijinya secara kimia.Hasil pengalaman penulis di Hutan tropis basah Kintap Kalimantan Selatan telah mendata ada sekitar 50 jenis pohon hutan yang secara kearifan lokal telah berfungsi langsung sebagai makanan masyarakat. Jenis-jenis pohon hutan yang menghasilkan makanan berupa buah di Hutan Kintap disajikan dalam Tabel 1.

FOKUS

30 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

31BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

Tabel 1. Jenis-Jenis Pohon Hutan Penghasil Buah sebagai Bahan Pangan Berdasarkan Kearifan Lokal Masyarakat Kintap Kalimantan Selatan

No Nama pohon Fungsi Keterangan rasa

1 Maritam Buah dimakan Manis seperti rambutan2 Maritam Kaca Buah dimakan Manis rambutan daging

buah kuning3 Raring Buah dimakan Manis rambutan warna hitam4 Buluan Buah dimakan Manis mirip rambutan5 Rambutan Buah dimakan Manis6 Kalaingan Buah dimakan Manis seperti rambutan7 Patiti Dahan Buah dimakan Manis seperti rambutan8 Jari-jari Buah dimakan Manis seperti matoa9 Marlapang Buah dimakan Manis seperti matoa10 Lengking Buah dimakan Manis seperti lengkeng11 Marlangsat Buah dimakan Asam manis mirip langsat12 Langsat batu Buah dimakan Asam mirip langsat13 Manggis Besar Buah dimakan Manis 14 Manggis kucung Buah dimakan Manis15 Jumit Buah dimakan Manis seperti kersen16 Lahong Buah dimakan Manis sama dgn durian17 Karantungan Buah dimakan Manis sama dgn durian18 Pampakin Buah dimakan Manis sama dgn durian19 Mardaunan Buah dimakan Manis sama dgn durian20 Durian habang Buah dimakan Manis sama dgn durian21 Kasturi Buah dimakan Manis sama mangga kecil22 Binjai Binglo Buah dimakan Manis sama dgn mangga23 Samarusa Buah dimakan Manis sama dgn mangga24 Pelipisan Buah dimakan Manis sama dgn mangga25 Rawa-rawa Buah dimakan Asam manis mangga26 Sambusur Buah dimakan Manis mirip Mangga Golek27 Tanduy padi Buah dimakan Manis mirip mangga28 Tanduy batu Buah dimakan Asam mirip mangga29 Alamirang Buah dimakan Manis mirip Mangga kecil30 Ambawang Buah dimakan Manis miri mangga31 Mundar Buah dimakan Asam manis mirip pala32 Bintang Liti Buah dimakan Mirip ramania33 Suyuk-suyuk Buah dimakan Mirip ramania34 Petai hutan Buah dimakan Sepet sama dgn petai35 Kupan Buah dimakan Sepet sama dgn petai36 Gitaan Buah dimakan Lejat mirip mentega37 Kacapuri Buah dimakan Lejat mirip rasa keju38 Tampirik Buah dimakan Manis 39 Jaring Buah dimakan Tawar sbg lalapan makan40 Bangan pipit Buah dimakan Rasa lejat41 Pantalin Buah dimakan Rasa tawar42 Kumpat Buah dimakan Lezat untuk lalapan makan43 Tatau Buah dimakan Lezat untuk lalapan makan44 Baitis tengkawang Buah dimakan Manis seperti Sawo45 Baitis sawo Buah dimakan Manis sawo46 Meranja Buah dimakan Manis seperti sawo47 Buah upas Buah dpt dimakan Menyengat untuk

memabukkan48 Selingsingan Buah dpt dimakan Menyengat untuk

memabukkan49 Tigaron Buah dpt dimakan Menyengat untuk

memabukkan50 Grunggang Buah dpt dimakan Menyengat untuk

memabukkanSumber: Hasil wawancara Penulis dengan Masyarakat Kintap, 2014

Riset yang diperlukan untuk menjadikan makanan berasal dari hutan menjadi lebih layak dimakan diantaranya : Riset kandungan giji jenis-jenis buah dari pohon hutan (Tabel 1), riset paska panen dan pengolahan makanan, riset perbanyakan vegetatif, riset teknik silvikultur persemaian dan penanaman di kebun-kebun masyarakat. Selama ini, cara masyarakat memanen buah-buah hutan tersebut dilakukan dengan cara memotong dahan bahkan ada sebagian dengan cara menebang batang pohonnya. Hal tersebut dilakukan akibat pohon yang tinggi (> 15 m) dan pertimbangan kepraktisan. Cara demikian akan sangat mengancam kelestarian pohon buah hutan tersebut. Pembangunan kebun cangkok sebagai stok plasma nutfah diperlukan, dilanjutkan dengan penanaman cangkok di kebun-kebun masyarakat. Di sisi lain, kebun cangkok dapat menjadi gudang bahan stek untuk perbanyakan pohon secara vegetatif dan pemuliaan pohon. Eksperimen-eksperimen untuk keperluan tersebut di atas sangat diperlukan.

RISET PERANAN SEBAGAI SUMBER ENERGISaat ini mulai digalakkan penggunaan bahan

bakar minyak (BBM) non-fosil yang berarti bahan bakar minyak nabati (BBN). Bahan bakar minyak nabati diharapkan dapat menggantikan BBM fosil yang tidak diperbaharui (unrenewable resources) dengan BBM dapat diperbaharui (renewable resources) berupa tumbuhan penghasil senyawa minyak solar. Jenis-jenis tumbuhan hutan yang selama ini telah diketahui mengandung banyak senyawa biodiesel/solar/biosolar adalah jenis jarak pagar (Jatropha curcas),kelapa sawit (Elaeis guinensis), dan nyamplung (Calophyllum inophyllum).Tidak menutup kemungkinan dari 4000 jenis kayu hutan yang diduga berada didalam hutan tropika basah indonesia,banyak jenis-jenis potensial mengandung biosolar. Untuk menguji potensi jenis-jenis pohon hutan tropis indonesia dalam mengandung senyawa biosolar diperlukan aspek-aspek peneitian kandungan kimia hasil hutan setiap jenis pohon hutan. Apabila telah diketahui persentasi kandungan senyawa dimaksud cukup tinggi (>30%) maka riset berikutnya adalah eksperimen-eksperimen teknik pengolahan bahan baku menjadi barang jadi yang paling efi sien. Penelitian budidaya jenis-jenis terpilih akan diperlukan setelah suatu jenis pohon benar-benar prospektif dapat menghasilkan senyawa minyak solar atau diesel. Teknik budidaya jenis-jenis berpotensi penghasil biosolar diperlukan untuk membangun hutan tanaman dalam sekala luas atau berskala perusahaan. Penelitian budidaya yang diperlukan meliputi teknik silvikultur persemaian, pembangunan tanaman,perlindungan tanaman, dan pemulyaan tanaman. Riset silvukultur persemaian utamanya meliuti perbenihan, nutrisi tanaman, dan standar kualitas bibit siap tanam. Riset pembangunan tanaman meliputi penelitian kesesuaian jenis dengan tempat tumbuh, pola tanaman, lobang tanam, dan pemupukan. Teknik pemanenan produk hasil

31BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

32 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

hutan untuk bahan biosolar menjadi tantangan riset hasil hutan.Riset lainnya adalah menuju penggunaan bahan baku energi dari limbah kayuseperti wood pellet, arang briket, dan pengembangan biogas. Pemanfaatan sungai-sungai kecil permanen di kampung-kampung sekitar hutan untuk penerangan listrik dengan sistem mikrohidrojuga memiliki prospek baik ke depan sehingga menjadi bahan riret berkelanjutan.

RISET PERANAN HUTAN SEBAGAI PENGATUR SIKLUS HIDROLOGI

Kelangkaan air pada dasarnya diakibatkan oleh terlalu cepatnya curahan air hujan mengalir menjadi air permukaan diteruskan menuju sungai. Hanya sebagian kecil air hujan yang masuk ke pori-pori tanah sebagai air perkolasi dan air gravitasi. Adanya komunitas pohon hutan yang rapat telah mengakibatkan air hujan yang jatuh dihambat alirannya oleh tajuk, daun, batang, dan akar sehingga sebagian air akan tersimpan didalam lingkungan akar (rhyzosfer) dan dilepaskan sedikit demi sedikit melalui sistem leher botol (botle neck) menjadi air gravitasi. Dengan demikian pada musim kemarau sebagian air tanah akan tetap tersedia dan secara perlahan dialirkan menuju hulu sungai sampai musim hujan datang kembali. Air kapasitas lapang yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman akan selalu tesedia apabila tanah tidak mengalami kekeringan. Penelitian peran hutan dalam mengatur tata air tidak terlepas dari penelitian yang mengarah kepada upaya-upaya konservasi tanah dan air melalui pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Didalam sistem DAS, faktor utama yang menghubungkan bagian hulu berupa pegunungan dan perbukitan dengan bagian hilir berupa wilayah pantai adalah siklus hidrologi. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan di daerah hulu akan berdampak kepada daerah hilir dalam bentuk fl uktuasi debit air, kualitas air, dan transport sedimen serta bahan-bahan terlarut didalamnya. Perlakuan-perlakuan terhadap lahan untuk meningkatkan fungsi DAS biasanya dilakukan dengan cara penanaman pohon dan tumbuhan lainnya serta bangunan sivil teknis (terasering dan bendungan). Untuk memberikan perlakuan-perlakuan konservasi pada suatu lahan diperlukan pemilahan areal-areal lahan dalam hubungannya dengan kesinambungan air dalam tanah. Identifi kasi sifat-sifat daerah aliran sangat diperlukan manakala kesinambungan air didalam tanah perlu dipertahankan. Demikian pula dalam teknik pengelolaan DAS selalu diperlukan pemisahan antara daerah rawa gambut, wilayah pantai, dan wilayah darat. Di sisi lain, erosi tanah mesti diupayakan tidak melebihi ambang batas yang di bolehkan. Upaya meminimalkan erosi dengan berbagai perlakuan merupakan tantangan penelitian konservasi tanah dan air. Penelitian yang lain diperlukan untuk menjawab bagaimana karakteristik berbagai jenis pohon hutan dalam menahan curahan air hujan agar aliran permukaan (run off) dapat diminimalisir.

Penelitian pencarian variasi teknologi pembangunan sipil teknis untuk meminimalisir aliran permukaan juga diperlukan dalam rangka kestabilan siklus hidrologi.

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan suatu kesatuan wilayah daratan dengan anak sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Setiap DAS memiliki komponen tanah, vegetasi, dan air/sungai berperan sebagai prosesor dari setiap input yang masuk kedalam DAS sehingga output berupa air, erosi, banjir, dan tanah longsor sangat tergantung kepada kondisi vegetasi dan biofi sik lahannya. DAS di Indonesia sebagian besar dalam kondisi kritis dengan indikator sering terjadinya bencana banjir dan kekeringan, serta tanah longsor dan meluasnya lahan kritis.Kini ada sekitar 108 DAS dalam kondisi kritis yang memerlukan prioritas penanganan. Penelitian yang mengarah kepada sistem pengelolaan DAS yang selaras dengan sistem pemerintahan otonomi daerah dan sesuai dengan kriteria sistem pengelolaan daerah tangkapan air masih sangat diperlukan.Penelitian selayaknya memiliki ruang lingkup POAC pengelolaan DAS, optimalisasi luas hutan terhadap tata air pada berbagai kondisi, dan sistem implementasi DAS skala mikro.Riset pengelolaan lahan dan air masih perlu diarahkan pada ruang lingkup kegiatan menjaga fungsi daya dukung lahan dan air bagi kehidupan fl ora, fauna, dan manusia. Untuk menjawab pertanyaan bagaimana agar penggunaan lahan dan air selalu sesuai dan tidak melebihi daya dukungnya maka penelitian rehabilitasi dengan menguji berbagai jenis pohon dan tanaman lain dikombinasi dengan sistem terasering dan drainase yang tepat sangat diperlukan. Dalam penelitian teknik rehabilitasi DAS seyogyanya selalu dikaitkan dengan kondisi biofi sik, sosial, dan ekonomi masyarakat sekitar DAS.

RISET PERAN HUTAN DALAM MENSTABILKAN IKLIMSaat ini sebagian masyarakat dunia telah

menyadari bahwa terjadinya fenomena alam seperti musim kemarau semakin panjang, musim hujan yang relatif pendek dengan intensitas hujan yang tinggi adalah indikator nyata telah terjadi perubahan iklim. Hal ini berdampak pada berbagai kehidupan manusia seperti kekeringan yang berkepanjangan, gagal panen, krisis pangan, air bersih, pemanasan permukaan laut serta banjir dan tanah longsor. Walaupun dampak dari perubahan iklim lebih dirasakan oleh negara-negara berkembang akibat tidak mampu membangun inprastruktur untuk beradaptasi, namun negara-negara majupun cukup merasakan perubahan iklim tersebut bahkan mungkin lebih menyadari perlu adanya penanganan serius. Perubahan iklim yang terjadi ternyata lebih diakibatkan

32 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

33BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

oleh adanya pemanasan secara global pada muka bumi termasuk zona biosfer (tempat kehidupan makhluk hidup).Pemanasan global terjadi akibat meningkatnya gas-gas rumah kaca di atmosfer. Bagian terbesar gas rumah kaca adalah gas karbon dioksida (CO2) diikuti gas Metan (CH4), Nitrogen oksida (N2O), Hidrofl uorokarbon (HFC), Perfl uorokarbon (PFC), dan Sulfurheksafl orida (SF6). Satu-satunya komponen ekosistem yang mampu menurunkan gas rumah kaca CO2adalah tumbuhan hijau melalui proses fotosintesis. Hutan yang merupakan sekutuan hidup tumbuhan menjadi sangat penting dalam memitigasi gas rumah kaca. Oleh karena itu negara-negara maju berani membayar hutan milik negara berkembang agar tidak menebang hutannya. Hutan akan dibayar berdasarkan jumlah kandungan karbonnya. Indonesia telah dikenal memiliki hutan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan Republik demokratik Kongo. Luasan tersebut mencerminkan betapa besar peranan hutan indonesia didalam menstabilkan iklim dunia. Akibat peran besar hutan indonesia inilah sehingga negara-negara maju yang tergabung dalam negara-negara Annex I menyanggupi adanya kerjasama dalam bentuk proyek Clean development mecanism (CDM) dan Reducing Emission from Deforestation and Degradations (REDD) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Kesepakan negara-negara maju dalam mengantisipasi terjadinya perubahan iklim tersebut telah dimulai sejak adanya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth summit) di Rio De Janeiro Brazil tahun 1992. Pada KTT yang dikenal dengan nama United Nation Conference on Environment and Development (UNCED) tersebut, lebih dari 180 negara telah sepakat untuk mengadopsi Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim(Unit Nations Frameworks Convention on Climate Change, UNFCCC). Indonesia berpeluang besar untuk memanfaatkan dana konpensasi mempertahankan dan membuat hutan tersebut. Untuk memanfaatkan dana pengelolaan hutan tersebut, Indonesia harus dapat menghitung jumlah karbon hutan pada berbagai tipe termasuk hutan rawa gambut. Di sisi lain, jika kebijakan pemerintah tidak hati-hati dalam mengkonversi hutan menjadi tempat kegiatan usaha non-kehutanan, maka akan sangat menentukan adanya deforestasi dan degradasi. Proteksi hutan dari kerusakan lain seperti perambahan, perdagangan dan penebangan kayu hutan illegal dan kebakaran hutan harus tetap menjadi fokus penelitian ke depan. Untuk mendukung era perdagangan karbon dan dana konvensasi mengurangi kerusakan hutan, penelitian yang perlu terus dikembangkan adalah teknik perhitungan karbon hutan, potensi jenis-jenis pohon hutan yang paling efektif memfi ksasi CO2, riset pembangunan hutan kota dan kebun raya, pengembangan riset GIS (Geograpical Information system) dan citera satelite, peneitian daya adaptasi manusia, hewan dan tumbuhan dalam perubahan iklim, observasi indikator-indikator meningkatnya peristiwa perubahan iklim, kajian kebijakan-kebijakan yang

mendukung dan tidak mendukung mitigasi perubahan iklim, dan riset yang mengarah ke potensi ekonomi dan sosial ketika perdagangan karbon hutan telah diterapkan dan memasyarakat. Teknik-teknik efektif berkolaborasi dengan masyarakat sekitar hutan dalam memelihara dan merehabilitasi hutan perlu ditemukan melalui penelitian. Penelitian yang mengarah ke perbaikan hutan seperti rehabilitasi hutan rawa gambut, rehabilitasi lahan kritis, revegetasi dan reklamasi areal lahan bekas tambang batubara, dan rehabilitasi hutan mangrove masih tetap memegang peranan penting sebagai kegiatan penelitian hutan ke depan.

Mengapa manusia sekarang mulai menurun kesadarannya tentang pentingnya hutan. Salah satu penyebabnya adalah akibat promosi tentang hutan sebagai sumberdaya alam yang memiliki berbagai jenis tumbuhan dan hewan kurang tergalakkan. Intervensi pengetahuan jenis-jenis pohon hutan disertai fungsi dalam bentuk komunitas nampaknya perlu dilakukan hingga pendidikan tingkat sekolah dasar. Terdapat kecenderungan bahwa pengenalan hutan di masyarakat perkotaan akan semakin hilang. Keberadaan hutan tidak lagi menjadi perhatian bagi masyarakat perkotaan yang umumnya cukup menikmati berbagai teknologi yang tidak berbasis komponen hutan. Manusia saat ini telah mulai tidak memerlukan buku berbahan kertas, tetapi lebih membutuhkan aipad/tablet yang dapat menyimpan memory cukup besar karena selain dapat dijadikan alat pencatat, aipad juga dapat berisi berbagai mainan (game) dan informasi dunia yang menggairahkan. Dari usia anak-anak hingga dewasa dan tua kini menyenangi aipad. Kayu kaso dalam pelapon rumah, secara berangsur-angsur telah tergantikan oleh almunium yang berbahan dasar logam. Kondisi demikian telah menurunkan posisi kegunaan hutan di masyarakat. Fungsi hutan yang tak tergantikan adalah hutan sebagai paru-paru dunia yang memberi oksigen kepada makhuk hidup konsumen dan dapat memfi ksasi CO2 dari udara.

REFLEKSI ATAS KEJADIAN KEBAKARAN BERULANG DI RIAU

Penelitian kebakaran hutan dan penebangan kayu ilegal (ilegal logging) kini telah dihentikan dengan alasan bahwa masalah kebakaran dan penebangan kayu ilegal bukan lagi berada dalam domain riset tetapi menjadi masalah penegakan hukum. Perlu keseragaman pemahaman dalam kalangan pengambil kebijakan bahwa penelitian dalam segala aspek kehutanan sesungguhnya tidak akan pernah berakhir. Masalah-masalah yang berhubungan dengan kerusakan hutan oleh kebakaran dan penebangan kayu ilegal sebenarnya selalu ada, sehingga jawaban ilmiah harus selalu tersedia. Oleh karena itu riset dari kedua aspek ini masih tetap diperlukan di masa datang.

Kebakaran di Provinsi Riau hingga tahun 2013 lalu telah memberi pelajaran untuk ke sekian kali dalam

33BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

34 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

mencari solusi masalah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Kebakaran tahun 2013 di Riau telah membakar lahan dan hutan 111.000 hektar. Asap kebakaran telah menjadi masalah lintas batas negara yang sering menuai protes negara yang terkena dampaknya. Kebakaran terparah terjadi di Kabupaten Bengkalis. Jika kebakaran besar telah terjadi, sangat sulit untuk menentukan siapa yang membakar awal. Perusahaan Perkebunan P.T Sinar Mas telah membantah dituduh melakukan persiapan lahan dengan membakar berdasarkan data hotspot yang diidentifi kasi sebanyak 300 titik panas didalam arealnya. Salah satu perusahaan yang dituntut ganti rugi sebesar Rp. 366 Milyar atas kerusakan lingkungan akibat kebakaran di arealnya adalah P.T. Kalita Alam. Memang Riau merupakan tempat buruan pengusaha Sawit dan HTI. Kini di Provinsi Riau terdapat 1,7 Juta ha perkebunan kelapa sawit dan 1,6 Juta ha Hutan Tanaman Industri (HTI). Pada tahun 2013 terdapat 58 Ijin usaha Hutan Tanaman Industri di Provinsi Riau.

Untuk merespon kejadian kebakaran rutin di Riau, beberapa kegiatan penelitian perlu dilakukan yaitu : Kajian sosioantropologis penyebab kebakaran, kearifan lokal pengelolaan api di masyarakat, kajian yang mengarah ke teknologi dan kelembagaan pengendalian kebakaran dalam skala perusahaan, kajian peluang kolaborasi dengan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran hutan melalui penanggulangan kebakaran berbasis masyarakat sekitar hutan, dan kajian pengembangan pemanfaat limbah hutan dan perladangan agar menjadi pupuk dan energi yang bernilai ekonomi sehingga tidak perlu dibakar. Penelitian dampak dari kebakaran terhadap lingkungan dan masyarakat hendaknya cukup menjadi prioritas kedua kecuali dalam rangka penegakan hukum. Sebaliknya penelitian yang mengarah ke pencegahan dan pemadaman dini kebakaran penting menjadi prioritas utama.

KESIMPULANHutan sesungguhnya telah terbukti dapat

menghasilkan dan menyediakan bahan makanan, energi, dan air bagi manusia baik secara kearifan lokal (local wisdom) maupun secara ilmu pengetahuan modern. Untuk itu penelitian di bidang kehutanan seyogyanya mampu terus-menerus membuka tabir secara ilmiah seluk beluk hutan hubungannya dengan kebutuhan primer manusia.

Penelitian dasar yang berhubungan dengan potensi setiap jenis pohon hutan dalam hubungannya

dengan kebutuhan makanan, energi, dan airyang dibutuhkan manusia serta pemilihan jenis-jenis pohon hutan yang paling efektif menyerap karbondioksida (CO2)hendaknya menjadi pokus riset ke masa depan

Penelitian yang berhubungan dengan peranan hutan dalam menstabilkan iklim serta upaya memanfaatkan dana konvensasi REDD dan mekanisme pembangunan bersih (A/R CDM) perlu menjadi focus kegiatan pasca 2014.

DAFTAR BACAANBaumert,K.A., T.Herzog and J.Pershing, 2005. Navigating the

Numbers : Greenhouse Gas Data and International Climate Policy. World Resource Institute.

Brooks, K.N., H.M.Gregersen, A.I.Lundgren, R.M.Quinn, 1990. Manual on Watershed Management Project Planning, monitoring and evaluation. ASEAN_US watershed Project. College. Laguna Philippines.

IPCC. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme. IGES. Japan.

Martawijaya,A., I.Kartasujana, Y.I.Mandang, S.A.Prawira, dan K. Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.

Notohadiprawiro, T. 1981. Pengelolaan DAS dan Program Penghijauan. Jurusan Ilmu Tanah. Faperta. Universitas Gajah Mada. 35 p.

Paimin, Sukresno, dan Purwanto, 2006. Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS). Puslitbang Hutan dan konservasi Alam. Bogor.

Peraturan Pemerintah (PP) No.38 tahun 2007 tentang pembagian Urusan Penerintah Antara Pemerintsh, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Sudradjat, 2006. Memproduksi Biodiesel Jarak Pagar. Solusi Hasilkan Biodiesel Berkualitas Tinggi. Penebar Swadaya. Depok.Bogor.

UU No.7 Tahun 2004. Tentang Sumber Daya Air.

34 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

35BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

”Metode penelitian perlu dipertajam dan diperbaiki lagi,” ujar Prof. Yudi Firmatul Arifi n, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) selaku

pembahas dalam pembahasan Rencana Penelitian Tim Peneliti (RPTP), 27-30 Januari 2014 di Hotel Rodita Banjarbaru. Pembahasan RPTP lingkup peneliti BPK Banjarbaru dimaksudkan untuk mendapatkan koreksi, masukan untuk mempertajam rencana kegiatan penelitian. Turut membahas dan memberikan masukan adalah Hamdani, S. Hut, MSc (Dosen Unlam), Prof(Ris). Nina Mindawati, Dr. Darwo, Dr. Tien Wahyuni yang masing-masing selaku Koordinator Rencana Penelitian Integratif (RPI) di Badan Litbang Kehutanan. RPTP tahun 2014 ini merupakan tahun ke 5 dari RPI tahun 2010-2014. Oleh sebab itu pada tahun ini juga disusun sintesa penelitian dari masing-masing judul.

Belajar di lingkungan alam sangat menyenangkan bagi anak-anak. Nampak keceriaan dan kegembiraan anak-anak belajar dan bermain di lingkungan kantor BPK Banjarbaru

(Selasa, 25 Maret 2014). Pada kesempatan tersebut, Fauziah S.Hut, staf Data Informasi Kerjasama (DIK) dan Junaidah, S. Hut, MSc, peneliti bidang Silvikultur BPK Banjarbaru mengajak anak-anak belajar tentang hutan. Sebanyak 40 anak PAUD Shabwa Amanah Banjarbaru mendengarkan cerita tentang pohon, menyapih bibit, dan mengenal macam-macam pohon.“Kami menyambut terbuka dan senang, anak-anak bisa belajar tentang hutan di lingkungan kantor kami,” kata Winingtyas Wardhani, S. Hut, MSc, MT., Kepala Seksi DIK dalam sambutannya kepada anak-anak PAUD.

Jalinan jiwa korsa rimbawan harus senantiasa terjaga. Hal merupakan salah satu tujuan acara Hari Bakti Rimbawan di lingkup Unit Pelaksana Teknis (UPT) dan Dinas Kehutanan

Propinsi dan Kabupaten di lingkup Propinsi Kalsel, yang diselenggarakan sepanjang bulan Maret 2014. Pada acara tersebut, terdapat beberapa agenda kegiatan yang dilaksanakan, diantaranya adalah pertandingan olahraga yaitu bola volley, futsal, bulutangkis, dan tenis lapangan. Tahun ini, tim bola volley putri BPK Banjarbaru untuk kali pertamanya mendapatkan kemenangan dengan menduduki peringkat 2 dan mempersembahkan piala sebagai tim paling favorit.

Kinerja pegawai perlu senantiasa disegarkan, agar tidak terjadi kejenuhan dan kinerja terus meningkat. Kerjasama antar pegawai juga harus terpelihara dalam

mewujudkan kerja tim yang baik, baik pejabat struktural, fungsional dan staf di lingkungan Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru. Hal ini dikemukakan Kepala Balai BPK Banjarbaru, Ir. Tjuk Sasmito Hadi, MSc, pada acara sambutan pembinaan peningkatan kinerja pegawai di Pelaihari, 5-6 Maret 2014. Pembinaan pegawai yang dikemas dalam outbond di Agrowisata Tambang Ulang, Pelaihari itu diikuti oleh seluruh karyawan BPK Banjarbaru.Turut berkenan hadir dan memberi arahan adalah Ir. Tri Joko Mulyono, MM, Sekretaris Badan Litbang Kehutanan dan Ir. Riharto, MM, Kepala Bagian Hukum Organisasi dan Tata Laksana (ORTALA) Badan Litbang Kehutanan. Pada kesempatan tersebut, Sekbadan Litbang memberikan motivasi dan arahan pentingnya disipilin pegawai serta berbagi pengalaman beliau dalam bekerja yang bisa menjadi teladan bagi pegawai BPK Banjarbaru.

Dukungan manajemen diperlukan dalam rangka meningkatkan dan memfasilitasi pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Hal ini dikemukakan Heri Budi Santoso, MSi, Dekan Fakultas

MIPA Unlam di Banjarbaru, (Jumat, 25/04/ 2014) dalam acara penandatangan kerjasama MOU antara BPK Banjarbaru dan Fakultas MIPA Unlam.Pada kesempatan tersebut, Ir. Tjuk Sasmito Hadi, MSc juga menyambut baik adanya kerjasama dengan Fakultas MIPA Unlam. “Tidak hanya mahasiswa saja yang bisa menggunakan tempat untuk praktikum di KHDTK kami, namun ke depan dapat kita lakukan penelitian bersama,” kata pak Tjuk. Untuk diketahui, mahasiswa jurusan farmasi Unlam memang telah rutin mengadakan praktek eksplorasi dan pengenalan tumbuhan berkhasiat obat di KHDTK Rantau. Pendampingan pada setiap kegiatan perkuliahan lapangan dan praktek dilakukan oleh pengelola KHDTK Rantau dan tim peneliti BPK Banjarbaru.

Untuk melindungi hutan dari hama penyakit dan kebakaran hutan membutuhkan praktek langsung di lapangan. Sebanyak 50 mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Lambung

Mangkurat (UNLAM) Kalsel mengikuti praktek mata kuliah pelindungan hutan di BPK Banjarbaru, (Selasa, 6/05/ 2014). Sebelum hama dan penyakit meledak dan merugikan tanaman dalam skala ekonomi perlu di deteksi sejak awal. “Deteksi dini terhadap hama dan penyakit di persemaian sangat diperlukan,“ ujar Beny Rahmanto, S. Hut, peneliti hama penyakit di BPK Banjarbaru. Pada skala tertentu hama penyakit dapat dikendalikan. “Untuk mengendalikan hama tanaman hutan, bisa juga digunakan pestisida nabati yang ramah lingkungan,” kata Fajar Lestari, S. Hut dalam penjelasannya di depan mahasiwa.Sementara itu, dalam acara praktek mahasiwa tersebut juga dikenalkan dan dilakukan demo penggunaan alat-alat pengendalian kebakaran hutan dan lahan hasil rekayasa BPK Banjarbaru.

LINTAS PERISTIWA

35BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

36 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

ARTIKEL

GELIATHutan Tanaman RakyatDI KALIMANTAN SELATANOleh:

Busran, S.Hut. dan Nunung Khusnul Faizah, S.Hut.1

Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) di Balai Pemantauan dan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XI Banjarbaru

1 Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) di Balai Pemantauan dan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XI Banjarbaru

I. PENDAHULUAN

Masyarakat di sekitar hutan sudah selayaknya dapat menikmati pembangunan kehutanan secara langsung maupun tidak langsung. Namun realitas saat ini menunjukkan bahwa mereka termarjinalkan akibat sebagian pola pembangunan hutan cenderung tidak mendorong peran serta masyarakat. Tatanan sistem pemerintahan yang semula sentralistis telah berubah menjadi desentralisasi yang memberikan penekanan otonomi urusan di bidang kehutanan belum sepenuhnya diikuti dengan peraturan dan ketentuan di daerah.

Revitalisasi sektor kehutanan perlu dipercepat untuk meningkatkan kontribusi kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi, mengurangi pengangguran dan pengentasan kemiskinan. Salah satu upaya dalam mendukung percepatan revitalisasi sektor kehutanan tersebut dilaksanakan melalui program pemantapan pemanfaatan potensi sumberdaya hutan. Kegiatan yang termasuk dalam program ini diantaranya adalah pengelolaan hutan produksi yang tidak dibebani hak/ijin pemanfaatan, pengembangan pengelolaan pemanfataan hutan alam, pengembangan hutan tanaman dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Nomor 3 Tahun 2008 dan selanjutnya ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011, telah ditetapkan pemberian ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat, guna memberikan akses hukum, akses kelembagaan keuangan dan akses pasar yang lebih luas kepada masyarakat dalam pemanfaatan hutan produksi. Program pembangunan hutan tanaman melalui skema

HTR merupakan kebijakan Kementerian Kehutanan yang strategis, karena sangat relevan dengan prinsip pembangunan pro-poor, pro-growth, pro-job dan pro-environment. Program HTR bertujuan untuk meningkatkan produktivitas hutan melalui kegiatan pembangunan hutan tanaman, dengan memberikan akses legal kepada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan produksi.

Pembangunan HTR akan melibatkan tugas dan fungsi seluruh instansi kehutanan, baik pusat maupun daerah, badan usaha milik negara, swasta, koperasi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat sehingga untuk kelancaran dan efektifi tas pelaksanaan di lapangan diperlukan data pendahuluan tentang kondisi penutupan lahan serta data tentang penguasaan lahan oleh warga sekitar lokasi rencana pembangunan Hutan Tanaman Rakyat demi keberhasilan rencana penyelenggaraan pembangunan hutan tanaman rakyat. Tujuan pembangunan HTR diantaranya adalah : 1). Untuk meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dengan menerapkan sistem silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. 2). Meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. 3). Mendukung Program Kabinet Indonesia Bersatu II (pro-poor, pro-growth, pro-job, pro-environment). Dalam pelaksanaannya, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) dapat diberikan kepada perorangan atau Koperasi pada lokasi yang dicadangkan sebagai areal pembangunan HTR, yakni : 1). Pada Hutan Produksi yang tidak produktif; 2).Tidak dibebani izin/hak lain; 3). Tidak terdapat tanaman reboisasi dan rehabilitasi; 4).Adanya masyarakat yang memiliki ketergantungan terhadap hutan dan hasil hutan namun belum mendapat legalitas/izin.

36 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

37BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

Pembangunan HTR merupakan proses penguatan kelembagaan kehutanan baru bagi para rimbawan dan masyarakat yang dimulai dari luasan kecil (satu-dua hektar) dengan kegiatan pokoknya menanam tanaman hutan dengan berdasarkan pada pengalaman menanam masyarakat. HTR menuntut kemauan dan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Penanaman kembali kawasan hutan produksi oleh masyarakat merupakan budaya baru dalam manajemen hutan yang melibatkan masyarakat secara langsung.

II. AREAL PENCADANGAN HTR

Provinsi Kalimantan Selatan dengan Keputusan Menteri Kehutanan telah memiliki areal pencadangan hutan untuk pembangunan Hutan Tanaman Rakyat seluas 29.758 Hektar yang tersebar pada 6 kabupaten. Masing-masing luasan dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan Pencadangan Areal HTR di Provinsi Kalimantan Selatan

No. KabupatenSK Pencadangan HTR oleh Menhut

Ket.Nomor Tanggal Luas (Ha)

1. Hulu Sungai Selatan SK.101/Menhut-II/2008 08-04-2008 8182. Tanah Laut SK.706/Menhut-II/2008 19-10-2008 5.3553. Banjar SK.393/Menhut-II/2008 10-11-2008 3.1604. Tabalong SK.395/Menhut-II/2008 10-11-2008 7.4905. Kotabaru SK.44/Menhut-II/2010 15-01-2010 3.9006. Tanah Bumbu SK.50/Menhut-II/2010 15-01-2010 9.035JUMLAH 29.758

Sumber: BP2HP Wilayah XI Banjarbaru (2013)

Kabupaten Balangan telah mengusulkan pencadangan HTR seluas 15.065 ha, yang saat ini prosesnya masih terhenti di Kementerian Kehutanan. Proses pencadangan terhambat karena Surat usulan pencadangan areal HTR hanya ditandatangani oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Balangan, bukan oleh Bupati. Dalam hal ini belum ada jawaban tertulis dari Kementerian Kehutanan yang menjelaskan terkait hal tersebut kepada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Balangan. Adapun perkembangan pembangunan HTR di masing-masing kabupaten yang telah mendapatkan SK Pencadangan dapat dijelaskan seperti uraian berikut.

1. Kabupaten Hulu Sungai SelatanLaporan Hasil Identifi kasi Lokasi Pencadangan

Areal Hutan Tanaman Rakyat yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Hulu Sungai Selatan menyatakan bahwa pencadangan areal untuk pembangunan HTR sesuai Kepmenhut Nomor: SK.101/Menhut-II/2008 terbagi dalam 2 wilayah kabupaten. Pertama, berada di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan seluas 755,48 Hektar, yang terletak di 3 kecamatan yaitu: (a) Desa Malinau, Kecamatan Loksado seluas 111,32 Hektar, (b) Desa Madang, Kecamatan Padang Batung seluas 122,02 Hektar, (c) Desa Batu Laki, Kecamatan Padang Batung seluas 477,15 Hektar dan tumpang tindih dengan areal kerja IUPHHK-HTI PT. Dwima Intiga dan (d) Desa Hamak Timur, Kecamatan Telaga Langsat seluas 44,99 Hektar. Kedua, berada di wilayah Kabupaten Tapin seluas 67,71 Hektar. SK Pencadangan areal untuk pembangunan

HTR sesuai Kepmenhut Nomor: SK.101/Menhut-II/2008 tanggal 8 April 2008 telah berumur lebih dari 3 tahun, berdasarkan Permenhut Nomor P.55/Menhut-II/2011 Pasal 29 ayat (3) bahwa terhadap Keputusan Pencadangan HTR yang telah berumur lebih dari atau sama dengan 3 (tiga) tahun, diberikan kesempatan 1 (satu) tahun sejak 13 Juli 2011 untuk menerbitkan Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu-HTR (IUPHHK-HTR). Hal ini dipertegas dengan lampiran Surat Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : S.337/VI-BUHT/2012 tanggal 10 Mei 2012 perihal Percepatan Penerbitan IUPHHK-HTR bahwa Kabupaten Hulu Sungai Selatan diberikan Kesempatan untuk menerbitkan IUPHHK-HTR pada Juli 2012.

Berdasarkan Surat Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Hulu Sungai Selatan Nomor: 522/590/Pml.1-Dishutbun/2012 tanggal 25 Oktober 2012 perihal Laporan Kemajuan Pembangunan HTR dalam rangka menjawab Surat Kepala BP2HP Wilayah XI Nomor: S.640/VI/BP2HP-XI/3/2012 tanggal 22 Oktober 2012 perihal yang sama dijelaskan bahwa areal yang dicadangkan dan telah dilakukan identifi kasi sebagaimana telah disebutkan di atas, kurang layak untuk dijadikan sasaran pembangunan HTR.

2. Kabupaten Banjar Berdasarkan analisis GIS terhadap areal pencadangan HTR di Kabupaten Banjar yang dilakukan oleh BP2HP Wilayah XI Banjarbaru pada tahun 2012 diperoleh hasil sebagai berikut: (a) terdapat Pemukiman (Desa Alimukim) overlap dengan areal penggunaan lain (APL) seluas + 26 Hektar, (b) terdapat tanaman hasil

37BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

38 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

kegiatan pembangunan Hutan Rakyat dan Gerhan tahun 2004 (DAK-DR) seluas + 40 Ha, (c) areal yang overlap dengan areal tanaman hasil kegiatan pembangunan Hutan Rakyat dan Gerhan tahun 2006 (DAK-DR) seluas + 55 Ha, (d) areal yang overlap dengan areal IUPHHK-HT seluas + 209 Ha dan (e) areal yang overlap dengan Tahura Sultan Adam seluas + 57 Ha.

3. Kabupaten Tanah LautKondisi areal pencadangan HTR terutama pada

Blok Asam-Asam umumnya didominasi oleh tanaman jenis Acacia Mangium yang umurnya sudah masak tebang dan diklaim oleh PT. Hutan Rindang Banua sebagai tanaman percobaan PT. Menara Hutan Buana, sedangkan pada blok Pemalongan sebagian tumpang tindih dengan Hutan Lindung dan areal Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan PD. Baratala Tuntung Pandang.

4. Kabupaten TabalongKondisi tapak areal pencadangan HTR

umumnya telah ditanami dengan tanaman Karet yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan yang telah lebih dahulu memanfaatkan lahan tersebut, dimana masing-masing orang yang menguasai lahan tersebut tersebar dalam 1 atau 2 bahkan lebih lokasi yang terpisah. Berdasarkan hasil verifi kasi permohonan IUPHHK-HTR atas nama Gapoktan Cahaya Tani sebagian areal pencadangan HTR tumpang tindih dengan Hutan

Lindung sesuai dengan Peta Hasil Verifi kasi HTR yang dibuat oleh BPKH Wilayah V.

5. Kabupaten Tanah BumbuAreal pencadangan umumnya merupakan areal

bekas tebangan (logged over area), dimana areal tersebut masih terdapat tegakan hutan alam dan telah ditumbuhi oleh jenis-jenis pionir seperti Mahang, dan lain-lain yang telah memiliki diameter diatas 20 cm. Di dalam areal pencadangan HTR di Kabupaten Tanah Bumbu sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.50/Menhut-II/2010 tanggal 15 Januari 2010, diterbitkan pula Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan atas nama PT. Borneo Indobara sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.288/Menhut-II/2010 tanggal 27 April 2010.

6. Kabupaten KotabaruAreal pencadangan umumnya merupakan areal

terbuka dan pemukiman serta areal bekas tebangan (logged over area), dimana pada beberapa titik masih terdapat tegakan hutan alam jenis Ulin dengan potensi yang cukup baik.

III. PENETAPAN IJIN USAHA PENGELOLAAN HASIL HUTAN KAYU-HTR

Berdasarkan data BPPHP Wilayah XI sampai dengan tahun 2013, perkembangan penerbitan IUPHHK-HTR dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Perkembangan Penerbitan IUPHHK-HTR

No. Nama Pemegang IUPHHK-HTRSK IUPHHK-HTR

Ket.Nomor Tanggal Luas (Ha)

I. TAHUN 20111. Kop. Akar Perjuangan 157 Tahun 2011 03-01-2011 5002. Kop. Rimba Raya 83 Tahun 2011 24-02-2011 3433. Kop. Budi Sejahtera 84 Tahun 2011 24-02-2011 3764. Kop. Maju Terus Jaya 85 Tahun 2011 24-02-2011 3305. Kop. Berkat Jaya Abadi 86 Tahun 2011 24-02-2011 3446. Kop. Bukit Barisan Jaya 87 Tahun 2011 24-02-2011 3337. Kop. Bersama Kita Membangun 88 Tahun 2011 24-02-2011 3298. Kop. Tani Gemah Ripah 188-45/759-KUM/2011 25-07-2011 500JUMLAH I 3.055II. TAHUN 20129. Kop. Hutan Masyarakat Sejahtera 210 Tahun 2012 06-03-2012 699,7310. Gapoktan Cahaya Tani 188.45/373/2012 20-06-2012 26,90 16 KK11. KUD Mahkota Banua Bersujud 76 Tahun 2012 01-03-2012 69612. KPM Kuntum Melati 188-45/695-KUM/2012 26-12-2012 48513. Kop. Suka Maju 188-45/696-KUM/2012 26-12-2012 61414. KSU Jasa Mandiri 188-45/697-KUM/2012 26-12-2012 593JUMLAH II 3.114,63III. TAHUN 2013

NIHILJUMLAH III -JUMLAH TOTAL 6.169,63

Sumber : BP2HP Wilayah XI Banjarbaru (2013)

38 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

39BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

IV. KENDALA PEMBANGUNAN HTR DI KALIMANTAN SELATAN

Hambatan dan kendala yang dihadapi oleh pengelola HTR di lapangan diantaranya adalah :a. Proses pencadangan areal HTR dimana areal yang

dicadangkan belum sepenuhnya clear dan clean, baik disebabkan karena perambahan, okupasi, perladangan, tumpang tindih peruntukan, illegal logging/illegal minning serta penguasaan lahan oleh masyarakat.

b. Pemahaman beragam dari para pihak terhadap program Hutan Tanaman Rakyat menyebabkan proses perizinan yang masih sangat lama, kekuatiran bahwa areal yang dibangun menjadi HTR akan diambil oleh Pemerintah.

c. Penguatan kelembagaan yang belum mantap menyebabkan administrasi HTR seperti RKU dan RKT masih kurang lancar.

d. Dari sisi kajian ekonomi, HTR masih dianggap belum menguntungkan, belum adanya jaminan pasar dan harga kayu HTR.

e. Hubungan antar stakeholder yang belum bersinergi dengan baik. Keberhasilan HTR sangat memerlukan sinergi dari berbagai pihak mulai dari instansi Kehutanan tingkat pusat, daerah, kelompok tani maupun tenaga pendamping / fasilitator.

f. Kekurangan biaya untuk pendanaan pembangunan HTR termasuk kegiatan penanaman, penataan batas, dll.

g. Khusus pada Kabupaten Tanah Bumbu areal yang dicadangkan untuk pembangunan HTR umumnya masih merupakan belukar dan hutan sekunder sehingga relatif belum siap untuk ditanam. Kondisi ini mengakibatkan inventasi penyiapan lahan lebih besar bila dibandingkan dengan standar BLU sehingga berakibat pada terhambatnya operasionalisasi pembangunan HTR di Kabupaten Tanah Bumbu.

V. UPAYA PERCEPATAN PEMBANGUNAN HTR

Beberapa upaya telah ditempuh oleh para stakeholder terkait pembangunan HTR di Provinsi Kalimantan Selatan, beberapa upaya tindak lanjut yang telah dilakukan dalam rangka percepatan progres pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di diantaranya:a. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanah

Bumbu telah melakukan kerjasama dengan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat dalam rangka penyusunan Rancangan Teknis Pembangunan

Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Tanah Bumbu.b. Sosialisasi bersama dengan stakeholder terkait

terutama dalam hal pemanfaatan hasil hutan melalui program HTR serta penguatan kelembagaan diantaranya melalui studi banding ke Yogyakarta bagi pemegang IUPHHK-HTR dan tenaga pendamping serta pelatihan peyiapan areal dan pengukuran areal kerja HTR dan teknik silvikultur HTR serta workshop pengembangan pembangunan HTR.

c. Telah dilakukan fasilitasi pertemuan dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Tanah Bumbu, Pemegang IUPHHK-HTR dan calon developer PT. Nusantara Batulicin serta Bank Rakyat Indonesia Unit Batulicin dalam rangka mengkaji proses kerjasama dan pembiayaan pembangunan HTR. Dalam hal ini yang diharapkan oleh BRI adalah lebih kepada skema kemitraan, bukan developer.

d. Mendorong dan mendampingi pemegang HTR untuk melakukan kegiatan lapangan seperti penataan batas, penanaman dan kegiatan lainnya dengan optimalisasi tenaga pendamping/fasilitator HTR.

VI. PERCEPATAN PEMBANGUNAN HTR DI KALIMANTAN SELATAN

Program HTR telah ditetapkan dalam PP No. 6 Tahun 2007. Program ini sangat erat kaitannya dengan urusan kawasan hutan dalam hal ini hutan produksi. Terdapat tiga fungsi yang harus dijalankan oleh Kementerian Kehutanan dalam bentuk proses transformasi pembangunan kehutanan melalui program HTR adalah : (1) transfer of knowledge and authority tentang fungsi kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan sebagaimana Pola Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) kepada para pihak terkait, (2) transfer of science and technology di bidang pengelolaan tanaman hutan kepada para pihak dan (3) peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dalam arti yang luas.

Pembangunan HTR sebagai sebuah program pemberdayaan masyarakat sudah seharusnya dilaksanakan secara terpadu dan terencana dengan melibatkan instansi pemerintah terkait baik pusat maupun daerah, swasta dan masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam seluruh proses pengelolaan hutan secara teknis dan sosial-ekonomis merupakan proses belajar bersama. Oleh karena itu upaya tindak lanjut yang masih perlu dilakukan dalam rangka percepatan progres pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan diantaranya:a. Melakukan identifi kasi dan evaluasi areal

pencadangan HTR sehingga areal yang tidak mungkin

39BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

40 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

dimanfaatkan untuk HTR agar diusulkan untuk dilakukan revisi baik dalam bentuk pengurangan, pembatalan atau dicarikan areal pengganti. Dalam proses pengajuan areal pencadangan HTR agar memperhatikan kriteria areal yang dipersyaratkan meliputi : 1) Pencadangan diberikan pada areal Hutan Produksi yang tidak produktif; 2) Belum dibebani izin/hak; 3) Tidak terdapat tanaman reboisasi dan rehabilitasi; dan 4) Aksesibilitasnya mudah/tidak sulit.

b. Sosialisasi program HTR harus secara terus menerus dilakukan terutama di tingkat tapak dan petani selaku pelaksana HTR dalam rangka mengatasi persoalan kurangnya pemahaman masyarakat.

c. Perubahan peraturan mengenai Standar Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat dengan memperhatikan komponen biaya yang diperlukan sesuai dengan kondisi tapak masing-masing mengingat standar biaya saat ini yang dibiayai oleh Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan(P2H) sangat rendah bila dibandingkan dengan komponen biaya riil serta perubahan peraturan perundangan terkait dengan komposisi tanaman budidaya tahunan dengan tanaman kehutanan.

d. Penguatan kapasitas pendamping/fasilitator HTR termasuk penyuluh kehutanan sehingga pendampingan dapat bersinergi dan saling mensukseskan dengan program pemberdayaan masyarakat lainnya.

e. Penguatan kelembagaan HTR dengan difasilitasi tenaga pendamping atau stakeholders terkait lainnya mengingat keberhasilan pembangunan HTR oleh Koperasi atau kelompok tani sangat tergantung pada keberhasilan pendampingan mulai dari pembentukan kelembagaan hingga operasionalisasi kegiatan di lapangan.

f. Sinergitas peran dan koordinasi para pihak yang terlibat dalam program HTR termasuk dengan pihak ke-3 (developer) maupun lembaga pembiayaan sehingga dapat berjalan simultan dan saling menguatkan.

g. Perlu dilakukan fasilitasi pembentukan asosiasi atau forum komunikasi HTR sebagai wadah untuk mengkomunikasikan dan mengkoordinasikan segala permasalahan dan solusi yang diperlukan dalam operasionalisasi pembangunan HTR, baik antar pemegang IUPHHK-HTR, fasilitator dan stakeholders lainnya

h. Penegasan pengaturan mengenai pedoman pelaksanaan penataan batas areal kerja IUPHHK-HTR

di lapangan sehingga diperoleh kepastian kawasan untuk mengantisipasi perambahan dan okupasi oleh pihak lain.

i. Fasilitasi penyusunan RKU dan RKT serta permohonan pinjaman dana bergulir ke BLU Pusat P2H.

VII. PENUTUPMeskipun program HTR telah dilengkapi dengan

kebijakan mengenai akses lahan, akses pasar, dan akses permodalan, namun banyak pihak yang meragukan pelaksanaan program ini (Noordwijk et al. 2007). Dalam Is HTR a new paradigm in community based tree planting in Indonesia? Noordwijk et al. (2007) menyatakan bahwa kebijakan HTR pada dasarnya mirip dengan program HTI-plasma dan program HKM (Hutan Kemasyarakatan) yang belum menunjukkan hasil memuaskan. Permasalahan utama yang harus menjadi perhatian dalam pelaksanaan program HTR adalah masalah akuntabilitasdan tingginya potensi konfl ik lahan. Program Kementerian Kehutanan pada tahun 2014 dengan target Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Provinsi yaitu penambahan 1 juta hektar lahan HTR sudah selayaknya didukung dengan strategi komunikasi yang tepat untuk mempercepat pemahaman masyarakat, kualitas sumberdaya pendamping yang mumpuni serta partisipasi total dari masyarakat pelaksana, sehingga HTR dapat menjadi program pengentas kemiskinan yang membumi.

SUMBER BACAAN

1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.

2) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011 jo. Nomor P.31/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman.

3) Iskandar, D.B. Paranoan dan Djumlani, A. 2013.Implementasi Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat Di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. eJournal Administrative Reform, 2013, 1 (2):525 -537. ar.mian.fi sip-unmul.ac.id

4) Laporan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2013. BP2HP Wilayah XI Banjarbaru.

40 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

41BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

Pekerjaan keuangan dalam administrasi DIPA merupakan pekerjaan yang membutuhkan ketelitian tinggi. Hal ini terkait dengan banyaknya dokumen yang dibutuhkan seperti GU, TU, SPJ, Kartu Kendali, SP2D, dan BKU. Dokumen-dokumen tersebut saling terkait antara dokumen satu dengan dokumen yang lain. Kondisi ini menyebabkan kesalahan satu dokumen akan menyebabkan kesalahan dokumen keuangan yang lain. Pada dasarnya dokumen-dokumen tersebut memerlukan input data yang sama namun setiap dokumen mempunyai bentuk/tampilan yang berbeda. Pekerjaan yang sering dilakukan dan sering mengalami kesalahan yakni input data yang sering berulang untuk setiap dokumen yang dibutuhkan. Oleh sebab itu dalam pekerjaan administrasi keuangan diperlukan alat bantu yang dapat mempercepat pekerjaan dan mempunyai ketelitian yang tinggi sehingga dokumen-dokumen keuangan terhindar dari kesalahan.

Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru mengembangakan alat bantu berupa aplikasi ASPENDAL (Aplikasi Sederhana Pembukuan Bendahara dan Kartu Kendali). ASPENDAL merupakan aplikasi sederhana yang dibuat dengan Microsoft Excel. Penggunaan Microsoft Excel didasari oleh pertimbangan bahwa program tersebut sudah biasa digunakan oleh hampir semua staf/karyawan, namun penggunaan program ini belum maksimal dan optimal. Penggunaan Microsoft excel hanya terbatas pada pembuatan tabel, grafi k, dan perhitungan sejumlah angka, meskipun Microsoft excel mempunyai kelebihan dalam membaca dan manajemen data. ASPENDAL dapat digunakan untuk mempersingkat pekerjaan pengolahan data keuangan secara cepat, tepat, akurat, dan meperkecil kemungkinan kesalahan terhadap dokumen keuangan yang dibutuhkan.

ASPENDAL mempunyai motto 1 = 13 artinya 1 kali input (entry) data dapat menyelesaikan 13 dokumen keuangan yang dikerjakan berhari-hari apabila pekerjaan itu dilakukan secara manual. ASPENDAL dapat menghemat waktu dan tenaga karena input data hanya 1 kali dengan waktu maksimal 1 jam dapat menampilkan 13 dokumen keuangan secara langsung. Input data pada ASPENDAL ini sangat mudah karena penggunaan Microsoft excel sebagai basis dari aplikasi ini. Proses input data dilakukan dengan menu copy dan paste untuk menghasilkan dokumen yang lain. Disamping itu, ASPENDAL telah dilengkapi

kontrol terhadap penulisan Mata Anggaran Keuangan (MAK) sehingga kesalahan penulisan MAK dapat dihindari. Keunggulan lain aplikasi ini yakni kartu kendali hasil dari ASPENDAl tidak mungkin minus, “salah kamar’ ataupun terjadi selisih terhadap realisasi keuangan aktual selain itu, penyerapan anggaran (realisasi) dapat diketahui secara cepat tanpa harus menghitung kembali secara manual. ASPENDAL ini akan membantu administrasi keuangan secara cepat dan akurat. Kecepatan administrasi keuangan dan pertanggungjawaban anggaran berpengaruh terhadap penyiapan dana (revolving), sehingga dana akan selalu tersedia. Penggunaan ASPENDAL harus memperhatikan proses input data. Proses ini harus dilakukan secara teliti dan tepat karena kesalahan dalam input data menyebabkan kesalahan dokumen keuangan yang dihasilkan. ASPENDAL dirancang dan disesuaikan dengan PMK Nomor 162/PMK.05/2013 tentang Kedudukan dan Tanggung jawab bendahara pada satuan kerja pengelola APBN dan PER-3/PB/2014 tentang petunjuk Teknis Pembukuan Bendahara dan Penyusunan LPJ Bendahara.

Namun demikian, keunggulan dan kelebihan ASPENDAL sangat tergantung pada pengguna (user) sehingga pengguna sebagai faktor penentu untuk menghasilkan dokumen yang tepat dan akurat. Aplikasi ini telah dipakai Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru sejak tahun 2013. Sejak saat itu, BPK Banjarbaru tidak pernah mengalami kesulitan dalam menyediakan uang dan kesalahan beberapa dokumen keuangan. Keberhasilan penggunaan ASPENDAL telah menarik perhatian dan keinginan beberapa instansi lingkup Litbang Kehutanan untuk belajar dan menggunakan ASPENDAL pada tahun 2014.

Aplikasi Sederhana Pembukuan Bendahara dan Kartu Kendali(ASPENDAL, 1 = 13)Oleh: SupriyadiTeknisi Litkayasa Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

ARTIKEL

Cover

41BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

42 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

BA n Rekonsiliasi

Kendali

Panel

Halaman Muka

Daftar Rekening

BKU

B Pembantu

Saldo

Data Satker

Data Pegawai

Input Data

LPJ

42 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

43BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

Foto Bersama

Pemberian Kenang-kenangan dari Koordinator praktikum ke KHDTK Rantau

Sambutan Camat Lok Paikat

Pengambilan sampel di dalam hutan

Uji Pendahuluan Kandungan kimia pada tumbuhan berpotensi obat

BERITAMahasiswa Praktikum Mahasiswa Praktikum FarmakognosiFarmakognosidi KHDTK Rantaudi KHDTK Rantau

Bitahan Baru, 15 Pebruari 2014. KHDTK Rantau menjadi tempat praktikum Farmakognosi II yang diselenggarakan oleh Fakultas MIPA Program Studi Farmasi Universitas Lambung Mangkurat.

Kegiatan ini diikuti oleh 82 orang praktikan (mahasiswa Farmasi), 5 orang Dosen pembimbing, 5 orang Asisten dosen dan 5 orang pemandu dari warga desa Bitahan Baru. Selain itu kegiatan ini dihadiri oleh Bapak Camat Lokpaikat Riduan Syahrani, S.Sos dan diliput oleh stasiun televisi lokal Tapin TV.

Praktikum Farmakognosi II ini kali kedua diselenggarakan di KHDTK Rantau yang sebelumnya (tahun 2013) telah dilaksanakan di desa Baramban kecamatan Piani. Koordinator praktikum Ibu Fadilaturrahmah, S.Farm., M.Sc., Apt. Dalam sambutannya menyebutkan bahwa tujuan dari praktikum ini adalah untuk melakukan uji pendahuluan terhadap beberapa tanaman yang berpotensi obat di areal KHDTK Rantau. Selain itu beliau juga mengucapkan terimakasih kepada Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru yang telah memfasilitasi sehingga kegiatan ini bisa berjalan dengan baik, beliau juga berharap agar kerjasama ini dapat terus berlangsung dan ditingkatkan.

Pengelola KHDTK Rantau sdr. Edi Suryanto beserta Syaifuddin, S.Hut., peneliti Perlindungan Hutan dan Pelestarian Lingkungan (PHPL) menyambut baik kegiatan ini dan secara langsung ikut memandu mahasiswa dalam hal mengeksplorasi jenis-jenis tanaman yang berpotensi obat di KHDTK Rantau.

Kegiatan yang dilakukan pada praktikum ini adalah identifi kasi dan deskripsi tumbuhan berpotensi obat, pengambilan specimen untuk kegiatan lanjutan di laboratorium, pembuatan herbarium, uji pendahuluan kandungan kimia dan pengabdian masyarakat di balai desa Bitahan Baru.

KHDTK Rantau memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi baik fauna maupun fl ora yang diantaranya memiliki potensi sebagai obat. Berdasarkan hasil survei pendahuluan hingga Pebruari 2014 di areal ini terdapat 55 jenis tanaman obat. Potensi ini akan terus bertambah karena masih dilakukan survei lanjutan. KHDTK Rantau juga sangat strategis karena aksesibilitas menuju areal ini sangat baik yaitu melalui jalan darat hanya berjarak sekitar 92 Km dari Banjarbaru dan 9 km dari kota Rantau. Lokasi ini berada tepat ditepi jalan raya yang menghubungkan kota Rantau dan Kecamatan Piani. Semakin maraknya pertambangan dan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan selatan maka semakin sedikit areal Hutan alam yang mudah dijangkau dan dekat dengan perkotaan. Dengan potensi yang dimiliki dan aksesibilitas yang mudah maka KHDTK Rantau dapat dikembangkan menjadi lokasi wisata alam dan edukasi hal ini selaras dengan harapan Camat Lok Paikat Bapak Riduan Syahrani, S.Sos. dalam sambutannya pada kegiatan pengabdian masyarakat praktikum lapangan farmakognosi II.

43BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014

44 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014