beban pembuktian

20
http://anitasilalahi.wordpress.com/2013/04/19/beban-pembuktian- terbalik-dalam-perampasan-aset-pada-tindak-pidana-pencucian-uang/ Beban Pembuktian Terbalik dalam Perampasan Aset pada Tindak Pidana Pencucian Uang Posted on April 19, 2013 | Leave a comment Pencucian uang merupakan tindakan yang melanggar hukum karena pendapatan atau kekayaan yang didapat dari hasil kejahatan dirubah menjadi dana yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal. Tujuannya antara lain untuk: (a) Menyembunyikan uang/kekayaan yang diperoleh dari kejahatan; (b) Menghindari penyelidikan dan/atau tuntutan hukum; (c) Menghindari Pajak; (d) Meningkatkan keuntungan dengan cara uang ilegal diikutsertakan dalam bisnis legal. Dalam prakteknya, orang-orang yang melakukan white collar crimecenderung untuk melakukan kejahatan yang sama berulang kali jika dia menganalis secara ekonomi keuntungan yang akan diperolehnya akan lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. Keuntungan itu diperhitungkan dari kemungkinan biaya bila tertangkap dan terbukti melakukan kejahatan serta besarnya hukuman yang akan dijatuhkan. Bila biaya kejahatan yang telah diperhitungkan lebih rendah dibandingkan keuntungan yang akan didapat saat melakukan kejahatan tersebut, maka orang tersebut akan merespon dengan melakukan kejahatan yang sama.[1] Kejahatan pencucian uang sebagai salah satu white collar crimes, apabila dilakukan penindakan dengan menggunakan hukum konvesional melalui cara “follow the suspect” akan sulit mengungkap identitas pelaku pencucian uang. Alasannya bila diperhitungkan dari sisi ekonomi kurang berhasil dalam mengembalikan keuangan negara atau pihak yang dirugikanantara lain karena:[2] 1. Sebagai tindak pidana yang terorganisir, tindak pidana pencucian uang tentu melibatkan oknum pejabat dan cukong penyandang dana, biasanya disebut dengan sindikat atau jaringan. Namun di pengadilan, kebanyakan yang dihukum adalah pelaku lapangan, sementara oknum pejabat dan cukong yang mendalangi hampir tidak ada yang terjerat.[3]

Upload: alfi-luthfan

Post on 26-Oct-2015

25 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: beban pembuktian

http://anitasilalahi.wordpress.com/2013/04/19/beban-pembuktian-terbalik-dalam-perampasan-aset-

pada-tindak-pidana-pencucian-uang/

Beban Pembuktian Terbalik dalam Perampasan Aset pada Tindak Pidana Pencucian UangPosted on April 19, 2013 | Leave a comment

Pencucian uang merupakan tindakan yang melanggar hukum karena pendapatan atau kekayaan yang didapat dari hasil kejahatan dirubah menjadi dana yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal. Tujuannya antara lain untuk: (a) Menyembunyikan uang/kekayaan yang diperoleh dari kejahatan; (b) Menghindari penyelidikan dan/atau tuntutan hukum; (c) Menghindari Pajak; (d) Meningkatkan keuntungan dengan cara uang ilegal diikutsertakan dalam bisnis legal.

          Dalam prakteknya, orang-orang yang melakukan white collar crimecenderung untuk melakukan kejahatan yang sama berulang kali jika dia menganalis secara ekonomi keuntungan yang akan diperolehnya akan lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. Keuntungan itu diperhitungkan dari kemungkinan biaya bila tertangkap dan terbukti melakukan kejahatan serta besarnya hukuman yang akan dijatuhkan. Bila biaya kejahatan yang telah diperhitungkan lebih rendah dibandingkan keuntungan yang akan didapat saat melakukan kejahatan tersebut, maka orang tersebut akan merespon dengan melakukan kejahatan yang sama.[1]Kejahatan pencucian uang sebagai salah satu white collar crimes, apabila dilakukan penindakan dengan menggunakan hukum konvesional melalui cara “follow the suspect” akan sulit mengungkap identitas pelaku pencucian uang. Alasannya bila diperhitungkan dari sisi ekonomi kurang berhasil dalam mengembalikan keuangan negara atau pihak yang dirugikanantara lain karena:[2]

1. Sebagai tindak pidana yang terorganisir, tindak pidana pencucian uang  tentu melibatkan oknum pejabat dan cukong penyandang dana, biasanya disebut dengan sindikat atau jaringan. Namun di pengadilan, kebanyakan yang dihukum adalah pelaku lapangan, sementara oknum pejabat dan cukong yang mendalangi hampir tidak ada yang terjerat.[3]

2. Harta atau aset yang diambil oleh pelaku tindak pidana pencucian uang sulit untuk dilacak secara utuh lagi keberadaannya karena pelaku telah berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usulnya dengan melakukan reinvestasi hasil kejahatan ke dalam bisnis yang sah.

 

Salah satu contoh penanganan kejahatan korupsi pencucian uang yang banyak mendapat kiritik dan soroton tajam dari masyarakat adalah kasus

Page 2: beban pembuktian

mafia pajak Gayus Tambunan karena pengenaan sanksi yang dijatuhkan dianggap tidak sesuai dengan rasa keadilan. Pada tingkat pertama[4], Gayus divonis hanya 7 tahun penjara dan denda Rp. 300 juta. Kemudian pada tingkat banding[5], Gayus dipidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp. 500 juta. Sanksi ini tidak sebanding dengan harta yang dimiliki Gayus yang dilansir di berbagai media. Kepolisian berhasil menyita Rp. 10 miliar dari Rp. 28 miliar yang tersebar di berbagai rekening bank dan sebagian besar diduga telah habis untuk menyuap para aparat penegak hukum. Sementara polisi juga sedang menyelidiki aset Gayus lainnya sebesar Rp. 74 miliar bersama PPATK, BPK, BPKP, dan KPK.Pada kasus Gayus tercium aroma kolusi yang kental sehingga tidak digunakan mekanisme beban pembuktian terbalik. Kendala yang disampaikan oleh Kapolri Jendral Polisi Timur Pradopo bahwa untuk menggunakan beban pembuktian terbalik perlu rekomendasi dari pengadilan dan sampai saat ini, upaya pembuktian terbalik belum diatur secara tegas dalam undang-undang sehingga hal tersebut belum dapat dilakukan kecuali bila ada putusan hakim yang menyatakan hal tersebut.

Asas beban pembuktian terbalik sempat menjadi perdebatan panjang akibat anggapan bahwa asas ini melanggar hak-hak dasar seseorang yang dibentengi oleh asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Polemik ini sudah terjadi sejak tahun 1971, yang menurut istilah almarhum Prof. Oemar Senoadji adalah pergeseran bukan pembalikan beban pembuktian. Kata “beban” ditekankan bukan pada alat buktinya tapi pada siapa yang berhak untuk melakukan.

Prinsip-prinsip di negara demokrasi yang menjunjung tinggi rule of law, salah satu karakternya ialah presumption of innocence. Dalam sistem acara pidana terkait dengan pembuktian, non self incrimination dikenal dengan istilah pembuktian negatif.

Pembuktian negatif menurut International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) berarti tetap menghargai hak untuk tidak mempersalahkan diri sendiri dari seorang tersangka atau terdakwa. Jadi, amanah dari ICCPR ini adalah penekanan dari berlakunya non self-incrimination, bagian dari perlindungan HAM (right to remind silence). Pasal-pasal yang berkaitan dengan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah negara-negara yang mengakui sistem hukum pidana pada negara Anglo Saxon dan Eropa Kontinental. Pada KUHP atau KUHAP di negara-negara Kontinental atau dari doktrin-doktrin Anglo Saxon khususnya untuk korupsi, sampai sekarang belum pernah menemukan delik mengenai pemberlakuan pembalikan beban pembuktian, kecuali suap (bribery).

Page 3: beban pembuktian

Dari perkara tindak pidana korupsi di Indonesia, suap dikatakan sebagai kejahatan yang sulit pembuktiannya (invisible crime). Di negara-negara Anglo Saxon pun suap yang menjadi kendala, makanya lalu keluar istilah gratifikasi yang kemudian diadopsi di Indonesia.

Follow  The Money dan Pembuktian Terbalik

Menyikapi kenyataan sulitnya penegakan hukum, Pemerintah menyusun terobosan di dalam UU. No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut UU No. 8 Tahun 2010).  Kini sebagai terobosan digunakan cara kerja yang mengedepankan upaya mengikuti aliran uang (follow the money), yakni denganmeneliti aliran dana dari hilir ke hulu.

Dilihat dari teori Analisis Ekonomi pada Hukum, dengan “Follow the Money”  banyak keuntungan yang didapat antara lain:[6]1)    Jangkauannya lebih jauh karena dari aliran dana bisa terkuak aktor intelektual pencucian uang dan melakukan proses hukum yang lebih luas.

2)    Hasil kejahatan sebagai darah yang menghidupi tindak pidana itu sendiri (live bloods of the crime) dapat dikejar dan disita lebih banyak sehingga semangatnya untuk mengulangi perbuatan yang sama akan berkurang.[7]    3)    Mengejar dan menyita harta kekayaan hasil kejahatan akan memperlemah pelaku dan sindikatnya sehingga tidak lagi membahayakan kepentingan umum.

Buah keberhasilan dari penerapan pembuktian terbalik pada tindak pidana pencucian uang ini dapat dilihat pada kasus Bahasyim Assifie yang divonis 10 tahun penjara dan denda Rp. 250 juta oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu 2 Februari 2009. Bahasyim terbukti menerima hadiah dari wajib pajak Kartini Mulyadi senilai Rp1 miliar, saat menjabat Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta pada Dirjen Pajak Jakarta Tujuh.

Bahasyim diminta membuktikan transaksi yang mencapai Rp932 miliar di rekeningnya dan keluarganya, namun ia mengatakan sama sekali tidak tahu jumlah tersebut karena pengelolaan dana keuangan yang dimilikinya tidak lebih dari Rp. 60 miliaran dalam bentuk investasi. Ketidakmampuan Bahasyim membuktikan hartanya membuat Hakim menyatakan dirinya melanggar Pasal 11 UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 3 Ayat 1 huruf a UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Page 4: beban pembuktian

Dari kasus ini nampak jelas secara analisis ekonomi pada hukum bahwa dengan menggunakan beban pembuktian terbalik efektif dalam mengembalikan kerugian negara akibat korupsi dan pencucian uang. Dengan “follow the money” dan beban pembuktian terbalik sebagaimana yang diterapkan dalam kasus Bahasyim maka seharusnya sanksi yang dijatuhkan kepada Gayus dapat lebih maksimal.

Beban Pembuktian Terbalik di Indonesia

Ruang pemberlakuan asas beban pembuktian terbalik di Indonesia diatur dalam beberapa undang-undang, antara lain: Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 37 ayat (1), dikatakan bahwa: “terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Ayat (2), Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

Pada pasal 37A ayat (1) dan (2), lebih menguatkan posisi beban pembuktian terbalik tersebut, dengan menegaskan bahwa, “Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan”. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. 

Namun pelaksanaan pembuktian terbalik ini lemah, karena meskipun seseorang telah gagal membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang patut dicurigai dari hasil tindak pidana, jaksa sebagai penuntut umum tetap memiliki kewajiban untuk membuktikan dakwaannya di pengadilan. 

Beban pembuktian terbalik bisa dikatakan setengah hati, dengan tetapmembebankan pembuktian kepada jaksa penuntut umum, meski si terdakwa gagal membuktikan asal-usul kekayaannya. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 37A ayat (3), yang menyebutkan bahwa, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai

Page 5: beban pembuktian

dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya”. 

Selanjutnya pengaturan tentang pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, secara jelas juga telah memberikan amanat agar penyelenggara negara menjelaskan asal-usul kekayaannya apabila dimintai keterangan oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Disamping itu, dalam pasal 17 ayat (2) huruf e, disebutkan bahwa, “Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari Korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 

Dalam Pasal 77 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dinyatakan: “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.”

Dari sisi teori hukum progresif, pelaksanaan mekanisme beban pembuktian terbalik pada kasus pencucian uang dapat dikuatkan dalam beberapa alasan, antara lain : [8]Pertama, filosofi dan sifat dasar hukum adalah bahwa ia ada bukan untuk dirinya sendiri, namun hukum ada untuk memberikan rasa nyaman dan keadilan bagi manusia. Persoalan korupsi, penggelapan dan pencucian uang Negara yang dilakukan oleh penyelenggara Negara, merupakan tindakan kejahatan yang telah menyerang rasa keadilan masyarakat. Untuk itu, aturan hukum yang bersifat status quo, perlu untuk ditinjau ulang dengan tidak hanya terpatok kepada aturan-aturan teks semata. Jika system aturan hukum telah menghalang-halangi proses pencarian keadilan masyarakat, maka adalah keharusan kita untuk mencari jalan keluar dengan memberlakukan asas pembuktian terbalik sebagai wujud keberpihakan hukum di Negara kita. Progresivitas hukum harus dipandang sebagai proses pengembangan dan pembangunan hukum yang tidak sekedar sebagai wujud pelaksanaan aturan, namun sebagai perwujudan esensi dasar hukum sebagai sarana manusia untuk memperoleh kebahagiaan dan keadilan secara utuh.

Kedua, jika kita memaknai tindakan penyalahgunaan uang Negara, sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka sepatutnya pulalah asas pembuktian terbalik diberlakukan sebagai cara yang luar biasa pula, meski

Page 6: beban pembuktian

bertentangan dengan prinsip-prinsip praduga tak bersalah. Logika hukum (logic of law), adalah sebagai upaya hukum luar biasa untuk menutup kelemahan lembaga penuntut kita yang cenderung lemah dalam menyelesaikan perkara korupsi. Dengan demikian, upaya pemberlakukan beban pembuktian terbalik, juga harus kita maknai sebagai upaya hukum luar biasa dalam membangun sistem penyelenggaraan Negara yang bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. 

Pelaksanaan mekanisme beban pembuktian terbalik ini juga mendapat respon  positif dari lembaga kemasyarakatan, antara lain ICW, Masyarakat Transparansi Indonesia, dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Anti Korupsi (KOMPAK) yang mendambakan adanya perubahan citra dalam penegakan hukum di Indonesia. Dengan menyerap aspirasi masyarakat tersebut berdasarkan teori Hukum Responsif, Pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2011 dan Nomor 2 Tahun 2011, untuk penggunaan metode pembuktian terbalik dalam mengefektifkan penegakan hukum tindak pidana korupsi dan pencucian uang.

Untuk dapat menerapkan mekanisme beban pembuktian terbalik, perlu pembenahan sistem hukum.[9]1)   Substance

Pengaturan beban pembuktian terbalik perlu diatur seutuhnya dan tidak setengah hati dengan memberikan kewajiban kembali kepada jaksa penuntut umum untuk membuktikan asal usul harta hasil tindak pidana korupsi. Selain itu, perlu perubahan baik di dalam hukum acara pidana maupun peraturan pendukung lainnya.

2)   Organ

Cara efektif memberantas tindak pidana pencucian uang adalah kerjasama yang efektif di antara aparat penegak hukum, dengan dibekali pemahaman yang sama dan keahlian dalam melakukan financial investigation.

3)   Legal Culture

Para penyelenggara membuktikan political will yang kuat untuk memberikan tauladan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan pencucian uang, salah satunya dengan memberikan  Laporan Kekayaan Pejabat Negara. Ini bertujuan membangun budaya hukum dan kepercayaan masyarakat dalam penegakan hukum.

Page 7: beban pembuktian

 Menindak-lanjuti Inpres tersebut, Pemerintah menyusun rancangan UU Perampasan Aset Tindak Pidana yang memuat dua model perampasan aset melalui sarana hukum pidana (criminal based forfeiture/ Cb)  dan sarana hukum perdata (non-convition based forfeiture/NCB)

Perampasan Aset

Doktrin hukum pidana dan konvensi internasional mengenai  perlindungan hak asasi manusia tidak mengakui pembuktian terbalik untuk menentukan kesalahan tersangka. Lazimnya, sejak lama diakui sistem hukum perampasan aset tindak pidana melalui sarana hukum pidana (criminal based forfeiture/ Cb) yang dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Namun, pembuktian terbalik untuk menetapkan perampasan aset tindak pidana sejak tahun 2000, telah dipraktikkan dalam sistem hukum perampasan aset tindak pidana di Amerika Serikat melalui sarana hukum perdata (civil based forfeiture atau non-convition based forfeiture/NCB). Praktik NCB di Amerika Serikat dan Inggris, juga di beberapa negara Uni Eropa, telah berhasil mengembalikan keuangan secara signifikan dari organisasi kejahatan, terutama yang berasal dari kejahatan narkotik dan pencucian uang.

Pengalaman DEA menggunakan cara perampasan melalui sarana hukum perdata (civil based forfeiture) berhasil secara signifikan membekukan dan merampas aset organisasi kejahatan. Langkah hukum pembuktian terbalik dengan NCB, di Amerika Serikat berdasarkan UU Pembaruan tentang Perampasan Aset melalui Keperdataan (Civil Asset Forfeiture Reform Act/CAFRA) Tahun 2000 dan di Inggris dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (Procedd of Crime Act) Tahun 2002.

Lahirnya konsep NCB disebabkan perkembangan organisasi kejahatan transnasional pasca perang dingin telah meningkatkan aset organisasi kejahatan tiga kali APBN negara berkembang, terutama diperoleh dari kejahatan narkotik dan pencucian uang. Perkembangan itu dipandang sebagai ancaman terhadap ketenteraman dan ketertiban dunia. Fakta tersebut membuktikan bahwa efek jera penghukuman tidak cukup dan tidak berhasil secara tuntas memerangi kejahatan transnasional. Bahkan, di dalam penjara sekalipun, organisasi kejahatan dapat mengendalikan aktivitas kejahatannya, sedangkan ancaman hukuman mati dalam sistem hukum negara maju terlanjur tidak diakui.

Page 8: beban pembuktian

Beranjak dari kenyataan tersebut, terjadi perubahan drastis dalam kebijakan kriminal, khususnya di negara maju, yaitu strategi perampasan aset organisasi kejahatan atau yang diduga berasal dari kejahatan terbukti lebih ampuh sehingga dapat “mematikan” kehidupan organisasi kejahatan.

Model perampasan aset NCB dengan pembuktian terbalik tidak melanggar HAM karena didasarkan pada teori Balanced Probability Principle, yang memisahkan antara aset tindak pidana dan pemiliknya. Hal itu didasarkan premis bahwa perlindungan hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah (praduga tak bersalah) dan prinsipnon-self incrimination harus diimbangi kewajiban terdakwa membuktikan asal-usul aset yang dimilikinya.

Teori ini masih memberikan jaminan perlindungan hak asasi tersangka untuk dianggap tidak bersalah, sebaliknya tidak memberikan jaminan perlindungan hak kepemilikan terdakwa atas aset yang diduga berasal dari tindak pidana, kecuali yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya.

Di dalam sistem hukum acara pidana Indonesia digunakan cara Cb, dan perlu menunggu waktu 400 hari untuk sampai pada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Adapun perampasan aset tindak pidana melalui NCB tidak perlu menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap apabila terdakwa di pengadilan tidak mampu menjelaskan asal-usul asetnya yang diduga berasal dari tindak pidana melalui beban pembuktian terbalik.

Di Indonesia, langkah hukum pembuktian terbalik diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan UU Pemberantasan Teroris.

Sesungguhnya, pembuktian terbalik melalui CB dan NCB di Indonesia akan lebih mudah dilaksanakan jika sistem pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara telah dilaksanakan secara konsisten dan sistemik. Sistem pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara yang demikian akan memberikan dukungan signifikan terhadap aparat penegak hukum, termasuk KPK, dalam menyita dan merampas aset penyelenggara  negara yang diduga berasal dari tindak pidana.

Sistem pelaporan harta kekayaan yang telah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pengelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN

Page 9: beban pembuktian

masih perlu direvisi dan diperkuat dengan sistem pembuktian terbalik jika ditemukan bukti awal (prima facie evidence) aset penyelenggara diduga berasal dari tindak pidana. Jika sistem pelaporan harta kekayaan, sistem klarifikasi, dan sistem verifikasi aset penyelenggara negara berjalan baik sejak diberlakukan UU Nomor 28 Tahun 1999, maka peristiwa Gayus Tambunan sejak lama dapat dicegah.

Mencuatnya kasus Gayus merupakan momentum yang mendorong pemerintah mempertimbangkan secara serius pemberlakuan RUU Perampasan Aset Kejahatan (RUU PAK). Pemerintah telah menyusun RUU PAK, menggunakan model perampasan CB dan NCB bersamaan.

Penggunaan model perampasan CB dan NCB secara bersamaan memerlukan dukungan sumber daya manusia dan anggaran yang memadai. Jika tidak, maka jangan diharapkan aspirasi pembuktian terbalik terhadap aset yang diduga berasal dari kejahatan dapat dicapai dalam waktu dekat.

Untuk tujuan perampasan aset dengan cara CB dan NCB melalui pembuktian terbalik diperlukan database harta kekayaan penyelenggara negara yang akurat, serta data wajib pajak yang akurat dari semua warga negara ataupun orang asing. Namun, yang terpenting dari pemberlakukan UU tersebut adalah masih diperlukan ketentuan lain yang mengatur khusus sistem check and balancesagar UU baru tersebut tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik dan tidak rentan dari suap dan KKN.

WaktuDalam pembuktian terbalik, terkandung kemudahan dan kecepatan yang sangat dibutuhkan dalam penangan tindak pidana pencucian uang, korupsi, dan penyuapan. Hal ini sejalan dengan pandangan teori Analisis Ekonomi pada Hukum yang mendukung efisiensi pelaksanaan hukum  demi kepentingan negara dan pihak lain yang dirugikan

Secara implisit, Pasal 71 ayat (1) dan (3) UU No.8/2010 serta penjelasannya telah memberikan batasan waktu yang jelas, yaitu ditingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan pihak-pihak yang berwenang dapat memerintahkan pemblokiran Harta Kekayaan paling lama 30 hari kerja. Ini berarti, selama 90 hari status Harta Kekayaan apakah akan disita untuk negara atau sebaliknya harus mempunyai kekuatan hukum yang jelas. Waktu 90 hari itu memang sangat singkat, namun pihak yang berwenang itu dapat menggunakan asas pembuktian terbalik, maka waktu itu masih cukup memadai. Yang penting ada kemauan dari aparat penegak hukum untuk menuntaskan status hukum Harta Kekayaan.[10]Untuk dapat merampas kembali  aset yang disembunyikan para koruptor Indonesia di luar negeri, maka paling tidak diperlukan dua syarat utama:

Page 10: beban pembuktian

1)    Indonesia harus mempunyai sistem peradilan yang jelas dan tegas melawan korupsi (dalam hal ini UU Korupsi, KPK dan Pengadilan Tipikor);

2)    Indonesia mempunyai undang-undang yang jelas dalam “merampas kembali” aset yang dicuri oleh para koruptor (baik aset yang disembunyikan di dalam negeri, maupun di luar negeri)

Indonesia tidak akan dapat begitu saja meminta/merampas aset koruptor Indonesia di luar negeri, tetapi harus melalui jalur hukum negara di mana aset tersebut ditempatkan. Indonesia adalah yang meminta (requesting state), atau “negara korban”, dan negara lain tersebut adalah yang kita minta bantuannya (requested state), “negara tempat aset”.

Rancangan undang-undang perampasan aset tindak pidana tentu harus sesuai sistem hukum di Indonesia dan juga diakui oleh negara-negara tempat aset (disembunyikan) dengan memenuhi persyaratan tentang “rule of law” dan “due process of law”.

Perampasan aset tindak pidana

Perampasan aset dikenal dalam hukum pidana Indonesia melalui Pasal 10 b (pidana tambahan) KUHP dan selanjutnya diatur lebih lanjut dalam pasal-pasal 39-42 KUHP. Konsep hukum (legal concept) perampasan aset menurut hukum pidana Indonesia (dan Belanda) adalah: suatu pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh hakim, bersama-sama dengan pidana pokok (di Belanda dapat juga dijatuhkan secara tersendiri oleh hakim). Pasal 39 KUHP selanjutnya mengatur barang (aset) apa saja yang dapat dirampas.

Konsep “penyitaan” menurut hukum pidana Indonesia dijelaskan dalam KUHAP (hukum acara) Indonesia, antara lain dalam Pasal 1, butir 16. Berbeda dengan “perampasan” di mana hak milik aset berpindah permanen ke negara, tanpa kompensasi; maka “penyitaan” sifatnya sementara. Penyitaan ini juga dipakai dalam RUU PA dalam arti “pemblokiran” (Pasal 8 RUU).

Berdasarkan pengalaman di beberapa negara, pengembalian aset melalui perdata lebih cepat dan lebih banyak hasilnya. Apalagi, standar pembuktian pidana dinilai sulit. Mengenai tata cara perampasan aset  sebelum melakukan perampasan,Jaksa Agung yang diwakili jaksa pengacara negara terlebih dahulu mengajukan permohonan perampasan kepada ketua pengadilan negeri. Setelah ada putusan pengadilan, aset diserahkan kepada lembaga yang disebut Badan Pengelola Aset. Dalam kasus ini, negara bukan beperkara dengan orang, melainkan asetnya. Dengan kata lain, pihak yang

Page 11: beban pembuktian

menguasai aset terakhir yang dimaksud harus bisa membuktikan aset tersebut bukan hasil kejahatan.

Kalau pemilik terakhir aset tidak bisa membuktikan dari mana perolehannya, pengadilan bisa memutuskan disita untuk negara. Dalam Pasal 29 RUU PA disebutkan, aset yang dapat dikenakan perampasan adalah benda atau tagihan tersangka, atau terdakwa yang seluruh atau sebagian asetnya diduga diperoleh dari tindak pidana, atau benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana. Dalam pasal tersebut, juga disebutkan aset yang dapat dirampas adalah benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.

Non-Conviction Based (NCB) ForfeitureKonsep baru yang diajukan dalam RUU ini adalah yang di luar negeri (PBB dan Bank Dunia) dikenal sebagai “NCB Forfeiture”, yang dalam Pasal 1 butir 1 RUU didefinisikan sebagai: “… upaya paksa (dwangmiddel) yang dilakukan oleh negara untuk merampas aset tindak pidana berdasarkan penetapan pengadilan, tanpa dikaitkan dengan penghukuman terhadap pelakunya” (non conviction).

Konsep “perampasan NCB” ini di negara Amerika Serikat di namakan juga “civil forfeiture”, atau  “perampasan perdata” (menurut hukum perdata).  

Bank Dunia telah menerbitkan sebuah buku (oleh Theodore S. Greenberg, dkk) berjudul: Stolen Asset Recovery: A Good Practice Guide for Non-Conviction Based Asset Forfeiture (April 2009). Dalam promosi buku ini (saya belum mempunyainya) dikatakan antara lain:

“… (NCB) asset forfeiture is a powerful tool for recovering the proceeds of corruption, particulary in cases where the proceeds have been transferred abroad.”[... (NCB) perampasan aset adalah alat yang tangguh untuk merampas kembali hasil korupsi, terutama dalam kasus-kasus di mana hasilnya telah ditranfers ke luar negeri]

Jadi “Perampasan NCB” ini didesain khusus untuk perampasan aset tindak pidana yang disembunyikan di luar negeri. Sekali lagi, hanya efektif bilamana undang-undang perampasan NCB  ini diakui di luar negeri sebagai berdasarkan “rule of law” dan mengakui “due process of law”.

Menurut informasi di Internet, bab 3 dari Bagian A buku ini akan menjelaskan:

Page 12: beban pembuktian

“Distinguishing between Criminal Forfeiture and NCB Asset Forfeiture … in Civil dan Common Law Jurisdiction … Appropriate Laws to Introduce Forfeiture … Asset Recovery”.[membedakan antara perampasan menurut hukum pidana dan NCB perampasan aset ... di yurisdiksi hukum “Civil Law dan “Common Law” ... Undang-undang (hukum) yang cocok untuk mengantar Perampasan ... Aset]

Agar RUU kita memang dapat diakui di negara-negara tempat aset, maka sebaiknya kita mempergunakan bab 3, Bagian A buku yang dikeluarkan Bank Dunia (April 2009) ini sebagai pedoman.

Civil vs Criminal ForfeitureAda dua jenis perampasan yang dipergunakan secara internasional untuk memperoleh kembali hasil korupsi, yaitu menurut hukum pidana dan menurut hukum perdata. Perampasan menurut hukum perdata (civil forfeiture) sering pula dinamakan “in rem forfeiture”, sedangkan perampasan menurut hukum pidana (yang kita kenal dalam KUHP-criminal forfeiture) disebut sebagai “in personam forfeiture”.

Perampasan menurut KUHP adalah pidana (tambahan) terhadap harta kekayaan (vermogensstraf), yang bermaksud untuk “merugikan” terpidana dengan mengurangi kekayaannya. Di Belanda pasal-pasal tentang perampasan menurut hukum pidana ini disempurnakan bulan Oktober 1992. Antara lain ditetapkan bahwa yang dapat dirampas adalah:

“rights in rem and rights in personam pertaining to the objects specified in a through e (a s/d e). Sedangkan “civil forfeitures” (perampasan NCB) dianggap“in rem actions”, didasarkan pada “the unlawful use of the res (the thing), irrespective of its owner’s culpability”. Di Amerika Serikat (yang mendorong dipergunakannya lembaga hukum ini untuk memerangi narkoba, dan sekarang terorisme) pada dasarnya dipergunakan “rules of civil procedure) (hukum acara perdata). Namun demikian diakui pula bahwa sifatnya sebenarnya “quasi-criminal” (hampir seperti hukum pidana). Karena itulah di Amerika Serikat, civil forfeiture atau NCB forfeiture tetap mendapat jaminan konstitusi Fourth Amendement, mengenai “search and seizure”. Untuk Indonesia, maka jaminan konstitusi itu ada dalam Pasal 28g UUD:

“(1) Setiap orang berhak atas perlindungan … harta benda yang dibawah kekuasaannya …”

Hal ini antara lain berarti bahwa harta benda (kekayaan) seseorang tidak boleh secara sewenang-wenang digeledah atau dirampas (ini termasuk dalam perlindungan hukum acara pidana dan hukum pidana).

Page 13: beban pembuktian

Dari Basel Institute on Governance, International Centre for Asset Recovery: keuntungan prosedur perampasan asset tindak pidana melalui prosedur khusus perundang-undangan adalah dalam hal:

1)    Terdakwa telah wafat. Hukum Pidana tradisional yang bertumpu pada pertanggungjawaban pidana seorang pelaku menyebabkan aset ilegal pelaku tidak dapat dirampas negara. Melalui perampasan NCB, maka melalui proses in rem terhadap aset, harta illegal tersebut dapat dirampas.

2)    Terdakwa bebas dalam peradilan pidana dan karena itu perampasan menurut hukum pidana tidaklah mungkin. Perampasan NCB memungkinkan untuk merampas hasil kejahatan. Ini bukan membuka kembali kasus tersebut, karena sekarang tidaklah bertujuan meminta pertanggungjawaban terdakwa, tetapi bermaksud untuk membuktikan asal-usul aset yang bersangkutan.

3)    Terdakwa tidak dapat ditemukan dalam “negara korban”, karena dia sudah melarikan diri keluar negeri.

4)    Pemilik aset bersangkutan tidak pasti. Kejahatan ekonomi biasanya diikuti dengan usaha “pencucian uang” (money laundering), kalau hal ini berhasil, maka kepemilikan (Tersangka) sukar di buktikan. Perampasan NCB diharapkan dapat sangat bermanfaat.

5)    Ketentuan daluarsa menuntut kejahatan korupsi (bila ada), tidak memungkinkan penyidikan perbuatan ini. Perampasan NCB diharapkan memungkinkan perampasan hasil kejahatan.

Tugas PPATK  

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dibentuk sebagaiFinancial Intelligence Unit atau lembaga yang tidak berada di bawah struktur suatu lembaga pemerintah ataupun  lembaga lainnya dalam rangka menjaga independensi pelaksanaan tugas serta jaminan agar pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsinya tidak diintervensi oleh pihak lain, termasuk dalam kaitan ini adalah menjaga kerahasiaan data dan informasi intelijen yang dimiliki.[11] Sejak diundangkannya UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, tugas dan kewenangan PPATK diperluas. PPATK saat ini bertugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Kewenangan PPATK juga diperluas, antara lain dengan ditambahkan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang terindikasi tindak pidana

Page 14: beban pembuktian

pencucian uang. Akan tetapi, PPATK tetap tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Kewenangan PPATK diatur dalam pasal 41 sampai dengan pasal 46 UU No. 8 Tahun 2010.

Untuk mengawasi pelaksanaan ketentuan UU 8 Tahun 2010, PPATK diberi wewenang untuk memberikan peringatan kepada pihak yang wajib lapor yang dianggap tidak melakukan kewajiban pelaporannya secara benar dan merekomendasikan kepada lembaga yang berwenang untuk mencabut izin usaha pihak yang wajib lapor tersebut.

Sementara untuk menganalisis informasi yang ada, PPATK berwenang untuk meminta keterangan dari pihak yang wajib lapor, merokemendasikan dilakukannya penyadapan atas informasi elektronik, atau meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara transaksi yang dicurigai merupakan hasil tindak pidana.

Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah (Know your Customer)

Prinsip Mengenal Nasabah membantu melindungi reputasi dan integritas sistem perbankan dengan mencegah perbankan digunakan sebagai alat kejahatan ekonomi termasuk pencucian uang. Penerapan prinsip mengenal nasabah(Know Your Customer Principle) ini didasari pertimbangan bahwa prinsip ini penting dalam rangka prudential banking untuk melindungi bank dari berbagai risiko dalam berhubungan dengan nasabah.

Untuk melindungi kepentingan perbankan dan dalam hal penegakan prudential system, maka bank harus melakukan berbagai upaya antara lain: [12]

1. Bank harus mengetahui identitas nasabah yang akan atau sedang menggunakan jasa perbankan (know your customer principles);

2. Manajemen bank harus menjamin bahwa transaksi yang dilakukan telah sesuai dengan kode etik dan peraturan atau ketentuan yang berkaitan dengan transaksi tersebut (prudential system) UU No 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan;

3. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan ketentuan rahasia bank, bank harus bekerjasama dengan aparat penegak hukum sesuai ketentuan yang berlaku(bank secrecy).

 Peraturan BI

Dalam rangka penerapan prinsip “Mengenal Nasabah”, Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan BI No 5/21/PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah jo Peraturan No.12 /3/ PBI/2010 tentang Penerapan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Pedagang Efek

Page 15: beban pembuktian

Non-Bank Asing. Tujuannya mendukung upaya mencegah tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, mengacu pada standar yang dikeluarkan oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF).

Hasil penerapan prinsip ini adalah berupa laporan yang sangat membantu PPATK, karena dalam menjalankan analisa perlu didukung oleh data yang akurat mengenai transaksi yang dilakukan nasabah. Apabila terjadi transaksi yang mencurigakan, Penyedia jasa keuangan dapat menunda transaksi selama 5 hari berdasarkan Pasal 26 UU No. 8 Tahun 2010. Yang dimaksud sebagai transaksi mencurigakan adalah: [13]1)    transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan.

2)    menghindari pelaporan transaksi

3)    transaksi yang dilakukan/batal terkait hasil tindak pidana

4)    transaksi keuangan yang diminta PPATK karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana.

Adapun dasar penundaan transaksi yang mencurigakan karena: (a) transaksi diduga terkait dengan pidana, (b) rekening digunakan nasabah untuk menampung hasil kejahatan, (c) nasabah menggunakan dokumen palsu.

Selain itu, PPATK juga dapat menggunakan data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang disampaikan kepada KPK. LHKPN bisa menjadi sumber informasi adanya laporan harta kekayaan yang tidak wajar. Juga analisis Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang berindikasi korupsi atau penyuapan dan laporan masyarakat dapat menjadi sumber informasi pendukung. 

[1] Hikmahanto Juwana, Bahan Kuliah Magister Hukum, Teori hukum, UI Press hal. 152.[2]Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, Pustaka Juanda Tigalima, hal. 65-67.[3] Kabareskrim Polri, Peran Polri dalam Penanggulangan Illegal Logging, makalah sosialisasi Upaya Pemerintah dalam Mengatasi Illegal Logging, 2006, hal. 2-3.[4] Nomor Putusan 1195/Pid.B/2011/PN.Jkt.Sel tanggal 19 Januari 2011[5] Nomor Putusan 06/ PID/TPK/2011/PT DKI tanggal 29 April 2011

Page 16: beban pembuktian

[6] Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, Pustaka Juanda Tigalima: Jakarta, hal. 62.[7] Ibid.[8] Herdiansyah Hamzah, Asas Pembuktian Terbalik, Hukum, Pidana[9] Yunus Husein, Negara Sang Pencuci Uang, Pustaka Juanda Tigalima, hal. 67.[10] NHery Nugroho, Staf Ahli Khusus Anggota Dewan, Fraksi Demokrat DPR-RI, mantan staf peneliti LP3ES, mantan jurnalis SCTV,.alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada 

[11] Yunus Husein, Peranan PPATK sebagai Financial Intelligence Unit, hal. 5.[12] Pradjoto, 2003, Mencegah Kebangkrutan Bangsa, Masyarakat Transparansi Indonesia, Jakarta, hal.93 [13] Yunus Husein, Bahan Kuliah Magister Hukum UI, “Rezim Anti Pencucian Uang”, 2 Mei 2011.This entry was posted in Hukum. Bookmark the permalink.

LEAVE A REPLY

SEARCH IT!

Search for:  

RECENT ENTRIES

Penyalahgunaan Narkoba di Kalangan Remaja: Suatu   Perspektif

Muroja’ah Surah Al Baqoroh 1 –   101

Beban Pembuktian Terbalik dalam Perampasan Aset pada Tindak Pidana

Pencucian   Uang

Bangga   Indonesiaku

A Sunrise in   Life

Analisa Sengketa Merek TOSHIBA Vs.   TOSHIMA

Cheers   :)

Komentar Pasal 9 Uniform Commercial Code   (UCC)

Perlunya Perubahan UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan

Retribusi   Daerah

Ahlan   Wasahlan….

LINKS

Discuss

Get Inspired

Get Polling

Get Support

Page 17: beban pembuktian

Learn WordPress.com

WordPress Planet