bau gosong yang sulit kulupakan - gelora45.com filemahasiswa se-jakarta, bogor, tangerang, dan...
TRANSCRIPT
1
KERUSUHAN MEI 1998
Bau Gosong yang Sulit Kulupakan
JOICE TAURIS SANTI
KOMPAS
20 Juni 2019 · 06:05 WIB
KOMPAS/EDDY HASBY
Mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung DPR/MPR pada
Mei 1998 menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto. Sebagian
mahasiswa melakukan aksi duduk di atap Gedung DPR/MPR.
Pertengahan Mei, 21 tahun lalu, situasi di Jakarta tidak menentu. Demonstrasi,
penembakan mahasiswa di Trisakti, pendudukan Gedung DPR/MPR, pembakaran dan
penjarahan toko dan rumah, pemerkosaan, serta kepulangan Presiden Soeharto dari Mesir,
semua terjadi berturut-turut dalam waktu yang singkat.
Ketika itu saya merupakan wartawan baru yang bertugas di Desk Politik. Baru selesai
menempuh pendidikan sebagai wartawan Kompas dan ditugasi memantau demonstrasi
mahasiswa. Narasumber saya adalah mahasiswa- mahasiswa pergerakan, seperti
mahasiswa yang tergabung dalam Forum Kota (Forkot). Beberapa di antaranya sekarang
telah menjadi politisi atau petinggi partai.
Mereka rajin mengabarkan jadwal demonstrasi, lengkap dengan lokasinya di kampus apa
dan jam berapa. Informasinya bukan melalui pesan singkat telepon genggam, melainkan
lewat pager. Telepon genggam masih menjadi barang mewah saat itu.
2
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Puluhan aktivis perempuan, korban, serta keluarga korban tragedi Mei 1998 menerbangkan
lampion di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Sabtu (31/5/2014). Acara malam 1.000
lilin diisi dengan doa bersama dan kesaksian korban dan keluarga korban peristiwa Mei
1998.
Terkadang ketika meliput demo, polisi yang berjaga bilang, ”Dek, sana masuk barisan sama
teman-temannya.”
Maksudnya, pak polisi meminta saya untuk bergabung bersama para mahasiswa pendemo
yang posisinya berhadapan dengan barisan polisi.
”Saya liputan Pak, bukan demo,” kata saya sambil menunjukkan kalung tanda pengenal
wartawan dan tetap berada di barisan polisi.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Peringatan sembilan tahun
tragedi Trisakti 12 Mei 1998
diikuti ratusan mahasiswa
Universitas Trisakti. Mereka
berunjuk rasa menuju Gedung
DPR/MPR, Jakarta, Jumat
(11/5/2007), karena kecewa
terhadap kinerja DPR yang tidak
pernah melakukan tekanan
politis untuk menyingkap siapa
3
yang bertanggung jawab atas tragedi tersebut.
Berada di belakang barisan polisi merupakan salah satu strategi peliputan yang sedikit lebih
aman. Ketika keadaan sudah memanas, biasanya polisi menembakkan gas air mata atau
peluru karet ke arah demonstran. Namun, bisa jadi demonstran balas melempar batu atau
bom molotov ke arah polisi. Kalau sudah begini, lebih baik minggir saja.
Eskalasi politik Indonesia yang semakin panas membuat kami bekerja lebih keras. Kami di
redaksi sudah membuat tim yang anggotanya tidak hanya wartawan Desk Politik, tetapi juga
wartawan dari desk lain. Semua perencanaan liputan di bawah kendali Kepala Desk Politik
saat itu, James Luhulima.
Kejadian yang cepat dan di mana-mana memerlukan koordinasi peliputan dan penempatan
orang yang tepat pula. Beberapa teman bahkan tidak pulang ke rumah, tidur di kantor,
karena apapun dapat terjadi pada waktu yang tidak pasti. Makan malam kadang hanya
cukup mengandalkan mi instan yang dimasak beramai-ramai di dapur kantor.
Beberapa teman bahkan tidak pulang ke rumah, tidur di kantor, karena apa pun dapat terjadi
pada waktu yang tidak pasti. Makan malam kadang hanya cukup mengandalkan mi instan
yang dimasak beramai-ramai di dapur kantor.
Warung makan yang biasa menyediakan makanan sudah jelas tutup. Bahkan, Pasar
Palmerah yang hanya sepelemparan batu dari kantor pun ikut terbakar. Saya tetap pulang
ke indekos karena hanya berjarak 40 langkah dari tembok pagar kantor. Tentu saja setelah
kenyang makan mi instan.
Seperti pola kerusuhan yang sudah-sudah, setelah terjadi demonstrasi yang tidak terkendali
dan tidak terdeteksi siapa massanya, biasanya akan diikuti dengan pembakaran dan
penjarahan.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
4
Warga melihat koleksi Museum Tragedi 12 Mei yang terdapat di Universitas Trisakti, Jakarta
Barat, Sabtu (1/8/2015). Di museum itu tersimpan berbagai barang untuk mengenang
peristiwa Tragedi Trisakti 12 Mei 1998. Empat mahasiswa tewas karena ditembak dalam
peristiwa tersebut.
Begitu juga di Jakarta saat itu. Penjarahan kemudian terjadi di beberapa titik pada Rabu
(13/5/1998) dan Kamis (14/5/1998). Kejadian terbesar terjadi di Sentral Plaza, Klender, yang
dikenal juga dengan nama Toserba Yogya. Massa masuk ke dalam plaza yang gelap untuk
mengambil apa saja. Ketika mereka sedang berada di dalam, kebakaran terjadi. Korban
baru dapat dievakuasi pada Jumat (15/5/1998) pagi.
Hari Jumat itu saya mendapat tugas ”duduk manis” di kantor saja. Menurut rencana, hanya
memantau dan menerima berita-berita dari teman-teman di lapangan. Namun, tengah hari,
redaktur pelaksana waktu itu, Mas Ace Suhaedi Madsupi, mengatakan, ”Kayaknya di RSCM
belum ada yang pantau tuh. Ini sekalian sama temen wartawan lain, coba ke sana.”
Saat itu di kantor sedang ada seorang wartawan. Saya agak lupa, kalau tidak dari Korea, ya,
dari Jepang. Akhirnya kami berangkat bareng. Untung saja ada taksi biru melintas yang
kemudian kami tumpangi. Jalanan masih lengang. Perjalanan dari Palmerah ke RSCM di
Salemba terhitung cepat.
KOMPAS/LASTI KURNIA
Foto empat mahasiswa yang tewas tertembak pada tragedi 21 Mei 2016, yaitu Elang Mulia
Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977-1998), Hafidin Royan (1976-1998), dan
Hendriawan Sie (1975-1998) pada upacara dan napak tilas peringatan 18 tahun tragedi
tersebut di Kampus Trisakti, Jakarta, Kamis (12/5/2016). Peringatan tragedi tersebut selalu
dilaksanakan di kampus Trisakti setiap tahun.
5
Sebenarnya liputan ke kamar jenazah sudah beberapa kali saya lakukan ketika bertugas di
Desk Metropolitan. Banyak berita-berita kota menarik berasal dari kamar jenazah. Polisi
selalu mengirim jenazah korban kejahatan atau kecelakaan ke RSCM.
Namun, kali ini suasana kamar jenazah RSCM terasa sangat berbeda, sibuk sekali.
Ambulans keluar dan masuk. Ternyata sudah ada rekan saya sesama wartawan Kompas,
Yunas Santhani, di halaman kamar jenazah. Dia tersenyum kecut. ”Lihat saja ke dalam,”
katanya.
Rekan wartawan dari beberapa media juga sudah berkumpul. Ambulans masih berdatangan.
Ketika dibuka, petugas menurunkan beberapa jenazah sekaligus. Petugas kamar jenazah
menerima dan siap dengan catatan, lalu bertanya dingin, ”Dari mana? Berapa?”
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Kamar jenazah RS Sumber Waras Jakarta, 12 Mei 1998 malam.
Sebagian jenazah berada dalam kantong hitam. Sebagian lagi tidak. Semua jenazah legam.
Api membuat daging menjadi gosong menghitam. Bentuk tubuh sudah tidak keruan. Hanya
ada sisa-sisa daging hitam yang menempel di tulang. Panas membuat tulang mengerut
sehingga jenazah menjadi lebih kecil.
Jenazah-jenazah itu diletakkan di aula. Teronggok. Beberapa tidak ditempatkan di dalam
kantong. Ada yang dalam posisi meringkuk. Ada pula yang membujur kaku dengan tubuh
yang masih lebih baik dari jenazah lain, mungkin karena letaknya jauh dari panas api, tetapi
sudah tidak dapat bernapas. Sungguh sulit membayangkan bagaimana keadaan mereka
ketika menghadapi saat-saat akhir hidupnya.
6
Orang-orang berdatangan berusaha menemukan jenazah kerabatnya. Namun, sebagian
besar jenazah sudah sangat sulit dikenali. Tubuh-tubuh manusia itu hanya seperti seonggok
arang hitam yang seolah tidak berharga. Hingga siang menjelang sore mungkin ada sekitar
200 jenazah terbakar yang dikirim ke kamar jenazah RSCM.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Foto jurnalistik karya pewarta foto Sunaryo Haryo Bayu yang menampilkan peristiwa kerusuhan Mei 1998
yang menimpa Kota Solo ditampikan dalam pameran Refleksi Peristiwa 1998 di gedung Monumen Pers
Nasional, Solo, Jawa Tengah, Jumat (11/5/2018). Pameran dalam rangka peringatan 20 tahun peristiwa
tersebut berlangsung hingga 18 Mei 2018.
”Bapak sudah bilang, jangan main keluar,” teriak seorang bapak sambil menangis di dekat
sesosok jenazah yang diyakini anaknya.
Telepon umum yang ada di selasar ruang jenazah ikut sibuk. Beberapa orang menelepon
sambil menangis, mencari kabar kepastian kerabat mereka ada atau tidak di antara jenazah
itu.
Ada mitos di kalangan wartawan yang meliput di kamar jenazah, seburuk apa pun keadaan
jenazah, jangan pernah membuang ludah. Begitu selesai membuang ludah, biasanya
pertahanan luruh. Isi perut bisa keluar semua. Saya pun ikut memercayai mitos itu.
Saya merogoh tas, memberi beberapa keping uang logam kepada seseorang untuk
menelepon. Perasaan saya campur aduk. Ngeri. Marah. Sedih. Bau daging gosong
menguar hingga ke luar kamar jenazah. Tidak ada lagi bau formalin seperti biasanya.
7
Ada mitos di kalangan wartawan yang meliput di kamar jenazah, seburuk apa pun keadaan
jenazah, jangan pernah membuang ludah. Begitu selesai membuang ludah, biasanya
pertahanan luruh. Isi perut bisa keluar semua. Saya pun ikut memercayai mitos itu.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Warga menunggu datangnya armada bus Transjakarta di Halte Grogol 2 12 Mei Reformasi,
Jakarta, Minggu (6/5/2018). Penamaan Halte yang diresmikan pada 2013 ini untuk
mengenang empat mahasiswa yang tewas akibat terjangan peluru saat berunjuk rasa di
Kampus Universitas Trisakti, Jakarta, pada 12 Mei 1998. Unjuk rasa itu untuk menuntut
mundurnya Presiden Soeharto dari jabatannya.
Ditarik pulang
Sejak suasana politik menghangat, selain pager, kami dibekali handy talky (HT). Hanya
sedikit yang menggunakan telepon genggam. Dengan HT, komunikasi menjadi lebih mudah
karena anggota Desk Politik bisa saling mengetahui situasi dan posisi rekan lainnya.
Kami berbagi informasi dengan rekan dari Radio Sonora yang juga melaporkan situasi
melalui HT dan disiarkan di radio. Di lapangan, selain kami, hanya petugas intelijen berbaju
sipil yang menggunakan HT. Akibatnya, kadang-kadang para demonstran mencurigai kami
sebagaiintel karena menenteng-nenteng HT.
Saya kemudian dipanggil Kepala Desk Politik James Luhulima. Saya lupa, apakah lewat
telepon atau HT.
”Di mana?”
”RSCM.”
8
”Pulang sekarang. Pulang!”
KOMPAS/JOHNNY TG
Rumah obat Tay Ho Tong adalah satu dari sekian banyak bangunan tua dan bersejarah
yang hancur dalam kerusuhan 14 Mei 1998. Hanya bagian depan yang tersisa dari toko
yang dibangun pada tahun 1898 itu. Semua lemari obat yang tua dan antik menjadi abu.
Sejak hancur dalam kerusuhan itu, toko obat itu tidak lagi dibuka.
Tidak perlu banyak tanya, saya tahu apa arti dari nada bicaranya itu. Saya tidak terlalu lama
berada di kamar jenazah RSCM, mungkin hanya 2 jam. Saya lalu mencari Yunas,
mengatakan bahwa JL—panggilan untuk James Luhulima—meminta saya pulang ke kantor.
”Ya udah, gue jaga di sini,” kata Yunas.
Saya kembali ke kantor bersama wartawan asing yang tadi ikut bersama saya. Suasana
masih lengang. Sepanjang jalan pulang, saya berpikir, kenapa sih JL selalu mencari-cari
saya.
Satu hari sebelumnya, saya meliput demonstrasi di kawasan Semanggi. Menjelang sore, JL
kembali menelepon (atau memanggil melalui HT) menanyakan posisi saya.
”Semanggi, nih.”
”Cari tempat aman. Pulang sebelum gelap. Nanti ada anak rumah tangga yang jemput.”
9
KOMPAS/JOHNNY TG
Suasana Jakarta ketika rusuh pada 20 Mei 1998.
Saya lalu mlipir ke arah Pasar Bendungan Hilir. Sekitar setengah jam kemudian, salah
seorang rekan menjemput. Ah, mungkin saya satu-satunya wartawan yang pulang liputan
demo dijemput Vespa kantor.
Bertahun-tahun kemudian, ketika saya pindah ke Desk Ekonomi, saya bertanya mengapa
mantan editor saya itu selalu mencari-cari di mana saya berada ketika terjadi kerusuhan
Jakarta.
”Ya gimana, elu kan sakit-sakitan terus,” kata JL sambil tertawa.
Benar juga sih, dalam waktu yang singkat di Desk Politik, saya sudah kenyang dengan sakit
tifus, hepatitis, dan cacar air.
Seperti saat berangkat, pulang
dari RSCM menuju Palmerah
juga tidak butuh waktu lama.
Sampai kantor, dari jauh saya
lihat JL mukanya tertekuk.
”Ke mana sih, jangan pergi-
pergi tanpa setahu gue.”
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
10
Grafiti presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, terpampang di gang Jalan Pedati,
Kota Depok, Jawa Barat, Senin (21/5/2012). Pemimpin Orde Baru tersebut resmi
mengundurkan diri dari jabatan presiden RI pada 21 Mei 1998 yang menandai lahirnya era
reformasi.
Saya cuma nyengir. Sampai di kantor, bau sangit dari daging yang terbakar masih terasa
menempel di baju dan rambut. Segera saya mandi. Selesai mandi, bau itu masih tetap ada.
Serpihan-serpihan jelaga hitam di baju pun tidak hilang juga. Keesokan harinya, baju dan
celana jins itu saya cuci. Setelah kering, ternyata masih juga berbau.
Baca juga: Dag-dig-dug Gara-gara Koper
Bau itu pun terus ada di kepala saya hingga beberapa bulan kemudian. Tetap pekat.
Ditambah dengan terbangun di tengah malam akibat mimpi buruk tentang demonstrasi dan
kerusuhan. Sekitar dua tahun, saya tidak berani makan sate.
Padahal, biasanya lahap makan sate ayam madura Pak Syukur yang ada di dekat kantor.
Ayam bakar? Tidak lagi. Apalagi ayam bakar dengan kecap kehitaman dengan
gosong-gosong yang menempel. Atau steakdaging. Sejujurnya sebelum kerusuhan saya
juga jarang sih makan steakdaging. Mahal!
KOMPAS/LASTI KURNIA
Peringatan tragedi kemanusiaan yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru, mulai
dari kasus 12 Mei 1998 hingga sejumlah kasus kejahatan HAM masa lalu yang hingga kini
masih belum selesai dan mendapat keadilan, dilangsungkan di halaman Taman Ismail
11
Marzuki, Jakarta, Jumat (12/5/2017). Peringatan yang dilakukan oleh Persatuan Nasional
Aktivis 1998 tersebut juga mengajak masyarakat untuk mengingat mahalnya perjuangan
meraih era reformasi sehingga harus dijaga dari ancaman pemecah belahan yang
akhir-akhir ini terasa pada masyarakat.
Mungkin, setiap orang berkontribusi pada terjadinya kesalahan. Banyak orang tersakiti pada
rentetan peristiwa itu. Banyak hati yang menangis. Banyak orang yang tidak lagi pulang.
Baca juga: Tujuh Hari di Markas Uni Eropa
Mungkin juga hingga 21 tahun ini tetap ada stigma ”penjarah” yang melekat pada keluarga
mereka. Namun, selalu ada kesempatan untuk saling memaafkan dan memperbaiki
keadaan serta melanjutkan kehidupan. Jangan sampai terjadi lagi!
If you think you’ve had too much
Of this life
Well, hang on
’Cause everybody hurts
Take comfort in your friends
Everybody hurts
Don’t throw your hand
(lirik lagu Everybody Hurts oleh R.E.M)
Editor SRI REJEKI