batubara

12
1. Pendahuluan Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang dilintasi garis khatulistiwa, secara geografis terletak di antara benua Asia dan benua Australia, dan di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Negara Indonesia sangat kaya akan adanya hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis ini menutupi sebagian besar dari pulau-pulau besar bangsa ini (Central Intelligence Agency (CIA), 2002). Kayu yang cukup melimpah di hutan tersebut diambil untuk keperluan industri, akhirnya menyebabkan kekeringan. Selama masa kekeringan tersebut, sering terjadi kebakaran yang cukup luas melanda di wilayah Indonesia. Kebakaran melanda di wilayah Kalimantan pada tahun 1980 sampai sekitar 1990. Dalam masa kekeringan yang panjang pada tahun 1997 dan 1998, terjadi kebakaran hutan dan asap kebakaran di Kalimantan dan Sumatra menyelimuti kawasan yang ada di sekitarnya. Suatu wilayah menjadi rusak dan kesehatan jutaan orang menjadi terancam. Selain itu, kebakaran ini secara langsung meningkatkan CO2 di atmosfer dan 40% emisi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil. Kebakaran tersebut, ternyata sebagian besar memang sengaja dilakukan untuk membuka hutan agar dapat ditanami pulp, karet dan kelapa sawit. Berdasarkan data dari satelit, kebakaran pada tahun 1997-1998 menghanguskan 5.000.000 ha wilayah Kalimantan. Bagian dari Pulau Kalimantan dan Sumatra yang menjadi wilayah kebakaran tersebut ternyata mengandung lebih dari 90% cadangan batubara di Indonesia. Lapisan batubara yang terbakar akibat kebakaran hebat pada tahun 1997 1

Upload: avita-avionita-sari

Post on 02-Sep-2015

216 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

teknik kimia

TRANSCRIPT

1. PendahuluanNegara Indonesia merupakan negara kepulauan yang dilintasi garis khatulistiwa, secara geografis terletak di antara benua Asia dan benua Australia, dan di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Negara Indonesia sangat kaya akan adanya hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis ini menutupi sebagian besar dari pulau-pulau besar bangsa ini (Central Intelligence Agency (CIA), 2002). Kayu yang cukup melimpah di hutan tersebut diambil untuk keperluan industri, akhirnya menyebabkan kekeringan. Selama masa kekeringan tersebut, sering terjadi kebakaran yang cukup luas melanda di wilayah Indonesia. Kebakaran melanda di wilayah Kalimantan pada tahun 1980 sampai sekitar 1990. Dalam masa kekeringan yang panjang pada tahun 1997 dan 1998, terjadi kebakaran hutan dan asap kebakaran di Kalimantan dan Sumatra menyelimuti kawasan yang ada di sekitarnya. Suatu wilayah menjadi rusak dan kesehatan jutaan orang menjadi terancam. Selain itu, kebakaran ini secara langsung meningkatkan CO2 di atmosfer dan 40% emisi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil.Kebakaran tersebut, ternyata sebagian besar memang sengaja dilakukan untuk membuka hutan agar dapat ditanami pulp, karet dan kelapa sawit. Berdasarkan data dari satelit, kebakaran pada tahun 1997-1998 menghanguskan 5.000.000 ha wilayah Kalimantan. Bagian dari Pulau Kalimantan dan Sumatra yang menjadi wilayah kebakaran tersebut ternyata mengandung lebih dari 90% cadangan batubara di Indonesia. Lapisan batubara yang terbakar akibat kebakaran hebat pada tahun 1997 masih membara di bawah tanah. Pada musim penghujan keadaan ini hampir tidak ada masalah, karena bara tersembunyi di bawah permukaan tanah. Tetapi pada musim kemarau kadar air tanah turun menyebabkan tanah kering dan retak-retak merekah. Demikian pula karena kebakaran lapisan batubara terus berlangsung menyebabkan longsoran-longsoran pada bibir lubang/sumur api. Akibat rekahan dan longsoran ini api batubara menyentuh bahan bakar dari vegetasi yang telah kering (terlebih dahulu mati akibat panas api batubara) selanjutnya merembet ke segala jurusan di lantai hutan. Saat ini masih terdapat banyak titik-titik api batubara yang membara dan sangat potensial sebagai penyebab kebakaran hutan di Kalimantan Timur. Keadaan serupa itu dapat pula terjadi di tempat-tempat lain yang mempunyai lapisan batubara dangkal di bawah permukaan tanah. Kebakaran batubara ini memberi dampak serius bagi kesehatan karena mengandung asap yang beracun dan membuat permukaan tanah menjadi rusak sehingga merusak infrastruktur. Dalam basis global, peristiwa ini memberi gas rumah kaca pada atmosfer.

2. Tanggapan pemerintah Amerika SerikatMenanggapi peristiwa kebakaran dan krisis asap di Indonesia pada tahun 1997-1998, Pemerintahan Amerika Serikat mengadakan kelompok kerja untuk memberikan bantuan. Office of Surface Minning (OSM) menyediakan kemampuan untuk mengambil tindakan cepat pada kebakaran batubara yang mengancam kesehatan, infrastruktur dan lingkungan. Proyek OSM ini didanai oleh US Department of States Southeast Asia Environmental Protection Initiative melalui US Agency for International Development (USAID). Bantuan ini diberikan untuk memberi ketrampilan dalam mengelola kebakaran batubara melalui Ministry of Energy and Mineral Resources Training Agency. Ketrampilan yang diberikan berupa identifikasi bahayanya, karakteristik lokasi, teknik pengurangan, memilih alternatif mengurangi, pengembangan desain konstruksi dan estimasi biaya.

3. Kebakaran Batubara di IndonesiaKebakaran batubara di Indonesia terjadi baik pada batubara yang sudah ditambang maupun yang belum ditambang, perhatian terbesar yang diberikan oleh OSM dan kementrian ESDM berpusat pada batubara yang belum ditambang. Dari 263 kasus kebakaran batubara yang diinvestigasi di Indonesia, semua bermula dari batubara yang belum ditambang dan dihasilkan dari hutan, semak atau pembakaran sampah. Tanggal terjadinya dan sebab kebakaran untuk setiap kebakaran yang terjadi telah dikonfirmasi berdasarkan inspeksi lapangan dan wawancara penduduk lokal.Kebakaran batubara yang belum ditambang terjadi karena kurang konstannya persediaan oksigen yang terdapat di dalam tambang, di dalam limbah, atau di gudang. Kebakaran tersebut terjadi sangat cepat ketika ada pasokan oksigen baru yang muncul ketika runtuhnya sebagian atap tambang dan kemudian bara api tersebut menunggu keruntuhan berikutnya. Sebagai tambahan, api yang ada pada batubara yang belum ditambang memiliki sedikit kemungkinan untuk mencapai bagian tambang yang lebih dalam. Kebakaran batubara yang lambat ini dampaknya relatif murah di Indonesia, selama api dari kebakaran tersebut padam dengan cepat.

4. Posisi Pemerintah Indonesia di Awal ProyekMeskipun pemerintah Indonesia telah menyadari kebakaran batubara yang terjadi di Kalimantan dan Sumatra, namun hanya sedikit usaha yang dilakukan untuk menangani masalah ini. Kebakaran batubara sebelumnya telah mengancam infrastruktur penting, tetapi pemerintah lebih memilih merelokasi infrastruktur dibandingkan menanggulangi kebakaran tersebut. Meskipun demikian, di Kalimantan Timur, telah dilakukan suatu cara untuk mengisolasi sebuah jalan dari bahaya kebakaran dengan cara menutup kebakaran tersebut dengan tanah liat. Pemerintah Indonesia menerima bantuan internasional untuk penanggulangan pertama dan dari industri untuk penanggulangan kedua. Namun, kedua usaha tersebut gagal. Berdasarkan pengalaman tersebut, kita dapat dengan mudah melihat, mengapa warga yang menghadapi bahaya kebakaran batubara tidak memiliki satu orang pun untuk dimintai bantuan, sehingga menjadikan pengungsian sebagai satu-satunya pilihan mereka. Tidak ada berkas- berkas milik pemerintah yang berfungsi untuk mengakiri kebakaran batubara tersebut atau untuk mengkoordinasikan kebijakan penanggulangan kebakaran batubara di tingkat DPRD. OSM menghubungi beberapa kementrian yang berpotensi sebagai kandidat untuk mengatur kebijakan kebakaran batubara, namun tidak ada yang merasa bertanggung jawab atas permasalahan ini. Bahkan kementrian ESDM, kementrian yang berfungsi untuk mengatur sumber daya batubara Indonesia, yakin bahwa kebakaran batubara bukan tanggung jawab mereka. Kebakaran batubara biasanya terjadi di hutan, taman, dan wilayah pemukiman, dimana wilayah tersebut diluar wilayah hukum kementrian ESDM. Kementrian ESDM juga percaya bahwa kebakaran batubara tidak dapat ditanggulangi dan tidak ada kementrian yang ingin diasosiasikan dengan kegagalan yang mahal tersebut. Hal tersebut menjadi jelas, bahwa untuk menemukan solusi jangka panjang untuk menanggulangi masalah ini, hal pertama yang harus dilakukan adalah menetapkan kepemilikan masalah kebakaran batubara ini.Sebelum dimulainya diskusi tentang kewajiban ini, kementrian ESDM harus dapat diyakinkan bahwa ada permasalahan nyata yang dapat mereka pecahkan. Mereka juga harus dapat melihat beberapa solusi teknis yang terjangkau dan kemudian mencari cara untuk mendapatkan dana agar program tersebut dapat diimplementasikan. Bagian permasalahan relatif mudah, tetapi pegawai kementrian ESDM sangat ragu terhadap solusi dari permasalahan tersebut, mengingat kegagalan-kegagalan yang terjadi di masa lalu.

5. Demonstrasi proyekOSM memulai proyek bantuan dengan penindasan demonstrasi. Itu penting untuk memulai sehingga ESDM akan serius mempertimbangkan mengambil misi baru ini dan menunjukkan kantor regional dan pejabat pemerintah daerah bahwa kebakaran batubara dapat dikelola dan dipadamkan. OSM bekerjasama dengan ESDM Kantor Wilayah Kalimantan Timur dan memilih kebakaran batubara di km 24.1 antara Balikpapan dan Samarinda. Satu rumah sudah dikompromikan, dua rumah lainnya berisiko dan satu satunya jalan yang menghubungkan Samarinda, ibukota provinsi, dan Balikpapan.Kebakaran batubara di km 24.1 mulai dari Kampung Baru. Pemilik rumah membuat beberapa percobaan untuk memadamkan api dengan air tapi kami tak berhasil. Batubara dari Kampung Baru (Pliosen) ini memiliki kalori yang rendah, nilai sulfur (5100-5800 kcal / kg ADB dan 0,2-0,7 sulfur) dan jumlah zat terbang, kelembaban dan abu tinggi (12-16 volatil materi, 14-20 kelembaban, 10-16 abu). Ketika proyek ini dimulai pada tanggal 12 Oktober 1998, api sudah menyebar ke 0,8 ha, merambat disudut belakang rumah dan dalam waktu 5 menit di Jalan Samarinda-Balikpapan. Kantor Wilayah Kalimantan Timur menyediakan anggaran untuk pemilik rumah untuk memindahkan dan membangun kembali rumah. OSM menyediakan manajemen proyek onsite, kontraktor pengeboran yang digunakan untuk mengkarakterisasi dan menggambarkan api, dan backhoe, buldoser dan pompa untuk melengkapi angkatan kerja. Kantor Regional Kalimantan Timur menyediakan satu orang waktu penuh untuk membantu manajer proyek OSM dan bantuan yang diperlukan untuk survei, pemetaan, dan koordinasi dengan instansi pemerintah daerah. Pekerjaan dimulai dengan pengeboran empat lubang dalam (30 m) menentukan ketebalan batubara. Lubang tambahan dibor untuk bagian atas lapisan batubara di sekeliling api sehingga suhu bawah permukaan dapat diukur. Setelah api itu digambarkan, rumah yang terkena dipindahkan. Pada akhirnya, parit galian itu memisahkan area yang terbakar. Setelah coalface segar terpapar ke udara selama beberapa hari untuk memastikan tak ada api pada sisi '' dingin '', parit itu ditimbun dengan bahan sulit terbakar. Akhirnya, campuran pohon buah-buahan ditanam di lahan khusus yang menyelesaikan proyek pada 7 November 1998. Setelah selesai demonstrasi pertama yang berhasil dengan liputan pers positif, ESDM lebih tertarik mengambil pada masalah kebakaran batu bara dan mendukung Kegiatan OSM, tapi masih tidak siap tanggung jawab untuk masalah tersebut. Pada tahun berikutnya, OSM melatih empat orang Indonesia menjadi instruktur pencegah kebakaran batubara dan lebih 225 orang dalam teknik pengelolaan batu bara. Latihan praktis selama pelatihan dan demonstrasi bersifat terus-menerus untuk mendapatkan dukungan pemerintah, 20 kebakaran batubara tambahan yang padam. Latihan kelas dan demonstrasi proyek yang dilindungi memberikan manfaat nyata bagi sejumlah besar kepentingan lokal. Liputan pers lokal diperluas untuk televisi dan surat kabar wawancara dan termasuk tempat pelayanan publik di televisi nasional. Baik pers dan publik yang kuat dan dukungan pemerintah untuk upaya ini akhirnya meyakinkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral bahwa organisasinya harus bertanggung jawab pengelolaan kebakaran batu bara. Pada tanggal 7 Oktober 1999, ia menandatangani Keputusan Menteri Nomor 1539 K / 20 / MPE / 1999 berjudul pemadaman Kebakaran Batubara. Ini tanggung jawab keputusan ditugaskan untuk berbagai organisasi dalam Kementerian untuk melakukan pelatihan, koordinasi kebijakan, mengembangkan persediaan, memprioritaskan kegiatan, dan memadamkan kebakaran batubara. Anggaran untuk membayar program batu bara api telah disetujui berasal dari royalti batubara yang dibayarkan kepada pemerintah.

6. Masalah lingkunganKebakaran batubara juga mengancam sumber daya ekologi Kalimantan Timur di Sungai Wain Nature Reserve dan Taman Nasional Kutai. Selama 1997 1998 kekeringan, kebakaran hutan memasuki 10 000 ha hutan dari Sungai Wain dan kebun di sekitarnya rusak 5000 ha. Sungai Wain memiliki salah satu daerah hutan hujan primer terbakar di Balikpapan- Samarinda dengan keanekaragaman hayati yang sangat kaya dan sejumlah satwa liar langka dan spesies terancam punah. Dari 20000 orangutan di alam liar, sekitar 15000 berada di Kalimantan (Hamilton et al., 2000).Kementerian Kehutanan Indonesia dan Estate Tanaman bekerja sama dengan TROPENBOS- Belanda mengelola Sungai Wain Nature Reserve. Program didanai oleh Balikpapan Orangutan Survival Foundation. Meskipun kebakaran hutan yang rusak hampir 50% dari daerah tangkapan air, di wilayah tersebut digunakan sebagai tempat reintroduksi untuk orangutan terancam punah (Fredriksson, 2001). Kebakaran batubara pertama kali terlihat di Sungai Wain selama pengkajian kerusakan yang diikuti kebakaran hutan. Selama periode 2 tahun, 76 kebakaran batubara ditemukan. Selama waktu itu, beberapa telah menyebar lebih dari 300 m dari titik nyala meninggalkan daerah mati hingga 1000 m2 (Fredriksson, 2001). OSM dan ESDM mengunjungi Reserve di Kalimantan Timur. Hubungan antara Kementerian Kehutanan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Indonesia selalu rapuh. Sebagai langkah awal, staf Sungai Wain termasuk dalam kelas pelatihan batu bara api yang diajarkan oleh OSM dan ESDM. Setelah pelatihan awal dan berkonsultasi dengan manajer Reserve, OSM Proyek kebakaran batubara menyediakan keuangan dan teknis dukungan kepada Proyek Tropenbos-Kalimantan ke memadamkan sisa 68 kebakaran batubara di Sungai Wain Nature Reserve. Orang-orang dari masyarakat setempat dipekerjakan di bawah harga tetap (Fredriksson, 2001). Pekerja berjalan ke situs membawa pompa portabel dan alat-alat tangan untuk memadamkan kebakaran batubara. Setelah satu tahun bekerja, semua kebakaran batubara di ekologis berharga Sungai Wain Nature Reserve tersingkir.

7. Kondisi sekarang di Kalimantan Timur Kebakaran batubara terus menimbulkan risiko serius bagi ekosistem, populasi, dan sumber daya hutan di Indonesia. ESDM dan pemerintah daerah di Kalimantan Timur masih bekerja pada persediaan kebakaran batubara, saat ini terdapat 164, tapi masih jauh dari sempurna. Kebakaran di tempat persediaan cenderung lebih mudah diakses karena dekat dengan jalan dan infrastruktur. Paling banyak dari 5 juta hektar terbakar di Kalimantan Timur pada kebakaran hutan tahun 1997 -1998 yang jauh dari jalan atau infrastruktur tetapi didasari dengan batubara. Sangat sedikit dari daerah ini telah disurvei untuk kebakaran batubara. Sebuah komplikasi lebih lanjut untuk tempat persediaan adalah bahwa, perkebunan, dan perusahaan pertambangan dengan akses ke daerah-daerah terpencil enggan untuk melaporkan kebakaran batubara karena takut diperlukan untuk mematikan mereka, jadi informasi yang sangat handal dari sumber-sumber menjadi langka. Hal ini dimungkinkan, namun, untuk membangun perkiraan jumlah total dari kebakaran batubara di Kalimantan Timur dari kebakaran batubara dimulai di Sungai Wain dan dekat dengan Pusat Penelitian Pendidikan Hutan Hujan Tropis (Pusrehut). Keduanya dikelola secara intensif oleh penelitian dan keduanya telah disurvei untuk kebakaran batubara setelah kebakaran hutan tahun 1997- 1998. Di Sungai Wain, 76 kebakaran batubara dinyalakan dalam 5000-ha dan di Pusrehut, 60 kebakaran batubara dinyalakan di 1000-ha. Jika rasio dari kebakaran batubara dengan jumlah hektar terbakar diterapkan pada 5 000 000-ha di Kalimantan Timur, mungkin ada di antara 76 000 dan 300 000 kebakaran batubara. Perkiraan ini mungkin tinggi karena ada banyak variabel yang mempengaruhi pengapian dan umur panjang kebakaran batubara. Namun, jika hanya 1% dari rasio yang benar, jumlah kebakaran batubara di Kalimantan Timur di suatu tempat antara 760 dan 3000. Selama bagian yang paling aktif dari proyek, ESDM hanya memiliki sumber daya staf untuk mengelola 10 kebakaran batubara per tahun. Pada tingkat itu, itu akan mengambil lebih dari 15 tahun untuk memadamkan kebakaran yang ada di tempat persediaan kecuali beban kerja dibagi. Bahkan pada akhir dari estimasi, 760 merupakan jumlah yang besar untuk titik potensi pengapian untuk kebakaran hutan baru dan akan memerlukan beberapa tahun komitmen dan anggaran yang cukup besar untuk memadamkan.8. KesimpulanKebakaran batubara di Indonesia adalah salah satu yang tidak diinginkan oleh-produk dari konversi lahan dan kebakaran pertanian. Kebakaran batubara dapat membara dan terbakar selama beberapa sisa dekade sebagai sumber api kebakaran hutan baru dan mungkin pembakaran batubara baru. Sebelum tahun 1998, Pemerintah Indonesia tidak menyadari setiap strategi praktis untuk menanggulangi kebakaran ini. Program OSM tentang pengembangan kapasitas kelembagaan, bantuan teknis dan pelatihan yang diberikan ESDM secara praktis, solusi '' teknologi rendah '' sehingga mereka bisa mulai mengelola kebakaran batubara, beberapa pembakaran sejak tahun 1982. Secara keseluruhan, 104 kebakaran batubara padam dengan dukungan dari proyek OSM itu. Upaya ini diperoleh manfaat terlihat untuk sejumlah besar kepentingan lokal dan menerima respon masyarakat yang sangat menguntungkan. Keberhasilan ini mendorong Kementerian ESDM untuk secara resmi menganggap tanggung jawab untuk pengelolaan kebakaran batubara dengan Keputusan 1539-1520 / MPE / 1999. ESDM dialokasikan dana internal untuk mendukung bagian-bagian dari proyek-penindasan-proyek langsung dan melakukan sebagian dari royalti Dana Batubara untuk memberikan dukungan jangka panjang untuk kegiatan pemadaman kebakaran batubara. Pada saat ini ada 164 tempat persediaan kebakaran batubara di Kalimantan Timur. Tempat persediaan mewakili sebagian kecil dari 760-3000 kebakaran batubara yang mungkin ada jika dibandingkan dengan jumlah kebakaran batubara dimulai pada Cagar Alam Sungai Wain dan Pusrehut berdasarkan jumlah hektar yang terbakar di suatu tempat. Kecuali kebakaran batubara tersebut dikelola atau padam, mereka akan menambah siklus bencana kebakaran hutan antropogenik, lebih lanjut mengurangi sumber daya hutan Indonesia dan spesies yang terancam punah dengan kontribusi yang tidak perlu dalam emisi karbon global. Indonesia saat ini memiliki kapasitas kelembagaan untuk mengelola masalah kebakaran batubara, tetapi keberhasilan akan memerlukan komitmen yang berkelanjutan, perkiaraan anggaran tahunan dan kerjasama antara kementerian ESDM, Kehutanan, pemerintah daerah, dan industri.

3