bantuan penelitian kompetitif mandiri iain ...akreditasi.iainkendari.ac.id/2018/aipt/lampiran...
TRANSCRIPT
LAPORAN PENELITIAN
HARMONI MASJID-GEREJARelasi Jamaah Masjid Da’wah Wanita dengan
Jemaat Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari
PENYUSUN:
HASAN BASRI, S.Ag., M.Pd.IMUHAMMAD RUDINI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KENDARIJl. Sultan Qaimuddin No. 17 Kendari Sulawesi Tenggara
Tlp. (0401) 3193710 Fax. (0401) 3193710 http://iainkendari.ac.idemail: [email protected]
2016
BANTUAN PENELITIAN KOMPETITIF MANDIRIIAIN KENDARI TAHUN ANGGARAN 2016
KATA PENGANTAR
سيدنا محمد وع ن والصلاة والسلام ع رب العالم مد نا ابھ اجمع الھ واAlhamdulillah, hanya kepada Allah swt. segala puji dan syukur patut dihaturkan
atas segala nikmat yang tak terhitung kepada manusia yang segala sesuatu di bumi inidiciptakan untuknya. Atas nikmatnya pula sehingga penulis dapat menyelesaikanpenulisan laporan penelitian ini yang berjudul Harmoni Masjid-Gereja, Pola HubunganJamaah Masjid Da’wah Wanita dengan Jemaat Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari.
Penelitian ini dapat terlaksana tentu saja berkat bantuan dan keterlibatan berbagaipihak, yang oleh penulis tidak dapat menyebutkan satu persatu di sini. Kepada merekasemua layak untuk disampaikan penghargaan dan terima kasih. Tanpa mengurangi artibantuan dan partisipasi pihak-pihak terkait, langsung maupun tidak langsung, di sinipenulis sampaikan terima kasih masing-masing kepada:1. Dr. Nur Alim, M.Pd., Rektor IAIN Kendari yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk melakukan penelitian.2. Dr. Muhammad Alifuddin, M.Ag., Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat (LPPM) IAIN Kendari serta seluruh jajaran dan stafnya yang telahmenfasilitasi terlaksananya penelitian ini.
3. H. Suharman AK, STP., Ketua Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari, yangberkenan menerima dengan baik peneliti untuk melakukan penelitian. Begitu jugaterhadap seluruh pengurus masjid, pengurus Remaja Masjid dan pengurus MajlisTa’lim Masjid Da’wah Wanita Kendari.
4. Pdt. Ir. David Agus Setiawan, M.Th., pimpinan Gereja Pantekosta Bukit ZaitunKendari, yang telah menerima dengan baik untuk melakukan penelitian dan telahmemberikan banyak informasi tentang berbagai hal terkait gereja, aktivitas gereja dankondisi jemaat Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari.
5. Kepada semua informan yang telah banyak membantu memberikan berbagai informasipenting yang dibutuhkan dalam penulisan laporan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak pihak terkait yang telah ikut memberikanandil dalam penyelesaian penelitian ini yang belum sempat penulis sebutkan namanya satupersatu, semoga segala bantuannya mendapatkan balasan yang setimpal.
Penelitian ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi bahasa, paparan, maupunmetodologi penulisannya. Oleh karenanya, saran dan kritik yang konstruktif sangatdiharapkan demi penyempurnaannya di masa yang akan datang. Saran dan kritik tersebutpenulis hargai setinggi-tingginya sebagai suatu tradisi ilmiah.
Akhirnya, kepada Allah Swt. saja diserahkan segalanya, semoga bermanfaat bagipara pembaca, baik kaum intelektual, peneliti, maupun masyarakat pada umumnya,terutama bagi para praktisi dakwah. Amin.
Kendari,
Penulis,
Hasan Basri, S.Ag., M.Pd.I
3 Oktober 2016 M.2 Muharram 1438 H.
DAFTAR TABEL
TABEL 1 : Daftar Kelurahan di Kecamatan Kendari Barat Kota Kendari ................. 65
TABEL 2 : Daftar Rumah Ibadah di Kota Kendari ..................................................... 66
TABEL 3 : Daftar Masjid dan Gereja di Kecamatan Kendari Barat ........................... 66
TABEL 4 : Data Pendudukan Menurut Agama Kelurahan Dapu-dapura
Kecamatan Kendari Barat .................................................................................... 66
TABEL 5 : Jumlah Sarana Ibadah di Kota Kendari ............................................................... 67
TABEL 6 : Sarana Ibadah di Kendari Barat ........................................................................... 67
TABEL 7 : Daftar Nama Masjid/Mushalla di Kecamatan Kendari Barat .............................. 68
TABEL 8 : Daftar Nama Gereja di Kecamatan Kendari Barat .............................................. 69
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. iLEMBAR PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN ....................................... iiKATA PENGANTAR ........................................................................................... iiiABSTRAK ............................................................................................................. ivDAFTAR TABEL .................................................................................................. viDAFTAR GAMBAR ............................................................................................. viiDAFTAR ISI .......................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 - 11A. Latar Belakang ................................................................................ 1B. Rumusan Masalah ........................................................................... 5C. Signifikansi ...................................................................................... 5D. Tujuan dan Kegunaan ...................................................................... 7E. Penelitian Relevan ........................................................................... 7
BAB II PERSPEKTIF TEORETIS RELASI MUSLIM-NONMUSLIM............... 12 - 64A. Konsep Dasar Relasi dalam Masyarakat Beragama ........................ 12B. Relasi Muslim dengan Nonmuslim dalam Islam ............................ 16C. Sikap Beragama ............................................................................... 45D. Kerangka Teori ................................................................................ 61
BAB III METODE PENELITIAN ...................................................................... 65 - 73A. Lokasi Penelitian ............................................................................. 65B. Subjek Penelitian ............................................................................. 70C. Data dan Sumber Data ..................................................................... 70D. Pengumpulan Data .......................................................................... 71E. Analisisi Data .................................................................................. 72
BAB IV RELASI DAN SIKAP JAMAAH MASJID DA’WAH WANITATERHADAP JEMAAT GPdI BUKIT ZAITUN KENDARI ............... 74 - 153A. Profil Masjid Da’wah Wanita dan GPdI Bukit Zaitun Kendari ....... 74B. Relasi Jamaah Masjid Da’wah Wanita dengan Jemaat GPdI
Bukit Zaitun Kendari........................................................................ 88C. Sikap Jamaah Masjid Da’wah Wanita terhadap Jemaat GPdI
Bukit Zaitun Kendari ....................................................................... 127
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 154 - 156A. Kesimpulan ...................................................................................... 154B. Rekomendasi ................................................................................... 155
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 157 - 165
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BIOGRAFI PENULIS
ABSTRAK
N a m a : Hasan Basri
Judul Penelitian : HARMONI MASJID-GEREJA: Relasi Jamaah Masjid Da’wah Wanitadengan Jemaat GPdI Bukit Zaitun Kendari
Penelitian ini menfokuskan kajiannya pada relasi dan sikap jamaah Masjid Da’wahWanita terhadap jemaat GPdI Bukit Zaitun Kendari. Perolehan data dilakukan melaluiobservasi dan wawancara mendalam terhadap jamaah dan pengurus Masjid Da’wahWanita dan pengurus Gereja Bukit Zaitun Kendari. Selain itu, teknik dokumentasidigunakan untuk mengumpulkan data tertulis berupa catatan atau naskah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa relasi jamaah Masjid Da’wah Wanita denganjemaat gereja secara umum hanya terjadi dengan pengurus gereja yang tinggal dilingkungan gereja dalam bentuk hubungan sehari-hari di rumah, di lingkungan gerejadalam aspek muamalah individu. Relasi asosiasional terjalin dalam bentuk saling berbagiinformasi, bantuan secara material dari pihak gereja, kerja sama dalam bentuk komitmenbersama menjaga kebersihan, ketertiban dan keindahan rumah ibadah masing-masing.Adapun sikap jamaah masjid terhadap jemaat gereja secara umum cenderung bersifattoleran pasif yang ditunjukkan dengan kesiapan mereka berdampingan selama puluhantahun tanpa mempersoalkan keberadaan gereja di samping masjid. Pada aspekberkomunikasi, cenderung bersifat pasif terbuka, pada aspek kesediaan berbagi bersifatpasif pragmatis, dan pada aspek kerja sama bersifat pasif tertutup. Mengenai keberadaanmasjid berdempetan dengan gereja, jamaah masjid pada dasarnya memahami bahwaseharusnya hal itu tidak sesuai dengan ajaran Islam dan peraturan pemerintah. Akan tetapi,karena sudah terlanjur terjadi, mereka lebih memilih mendiamkan ketimbangmempermasalahkannya.
ABSTRACT
N a m e : Hasan BasriTitle : MOSQUE-CHURCH HARMONY: Relations Da'wah Wanita Mosque’s
Congregations with GPdI Bukit Zaitun’s of Kendari
This research focuses on the relation and attitude Da'wah Wanita Mosque’scongregation to GPdI Bukit Zaitun’s in Kendari. Data acquisition is done throughobservation and depth interviews with congregations and boards of mosque andcongregations of the. In addition, documentation techniques used to collect the datawritten in the form of notes or a script.
The results showed that the relationship Da'wah Wanita Mosque’s congregationwith church’s are generally only occurs with the sexton who lived in the neighborhood ofthe church in the form of everyday relationships at home, in the neighborhood of thechurch and in muamalah individual aspects. Associational relationships established in theform of sharing information and material assistance from the church, the cooperation inthe form of a joint commitment to maintain cleanliness, order and beauty of the houses ofworship of each. As for the attitude of the mosque's congregation to church members ingeneral tend to be passive-tolerance shown by their readiness to co-exist for decadeswithout questioning the existence of the church next to the mosque. In the aspect ofcommunication tend to be passive-open, the aspect of willingness to share is passive-pragmatic, and in the aspect of cooperation is passive-closed. Regarding the existence ofthe mosque attached to the church, the mosque's congregation was basically understandsthat it should not in accordance with Islamic teachings and regulations. However, becauseit was already happening, they prefer silence rather than making an issue.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kasus pembakaran masjid di Tolikara, Papua dan pembakaran gereja di Singkil, Aceh
merupakan dua kasus yang menciderai hubungan antarumat beragama di Indonesia.
Pembakaran masjid di Tolikara terjadi pada hari raya Idul Fitri, 1 Syawal 1436 H oleh
sekelompok jamaah Kristen GIDI (Gereja Injili di Indonesia) di daerah Tolikara yang mayoritas
kristen.1 Begitu juga pembakaran gereja di Singkil, Aceh pada tahun baru 1437 H dilakukan
oleh sekelompok muslim di daerah mayoritas muslim.2
Meskipun kedua kejadian di atas tidak berdiri sendiri sebagai suatu kasus konflik
keagamaan, tetapi pristiwa pembakaran rumah ibadah apapunn motifnya tidak dapat dihindari
untuk mengatakan bahwa ada masalah yang merusak hubungan antara muslim dengan kristiani
di kedua tempat tersebut.
Kasus pertama sepertinya sudah banyak terjadi di berbagai daerah minoritas muslim3,
tetapi kasus kedua termasuk jarang terjadi di daerah mayoritas muslim. Meskipun di berbagai
daerah ang mayoritas muslim tersebut antara masjid dan gereja banyak yang berdekatan
jaraknya.
Memang pemicu utama dari konflik antara penganut kristen dan Islam selama ini sering
bersumber dari pembangunan masjid atau gereja.4 Masjid yang dibangun di tengah-tengah
kristen biasanya tidak disenangi oleh kaum kristiani. Begitu juga gereja yang berada di tengah-
1Berita selengkapnya dapat dibaca di berbagai media online, seperti dihttp://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/07/17/nrmprs-ini-kronologis-pembakaran-masjid-di-tolikara
2Berita selengkapnya dapat dibaca di https://beritagar.id/artikel/berita/kronologi-pembakaran-gereja-di-singkil-aceh
3Kasus pengrusakan dan pembakaran masjid di daerah minoritas muslim di antaranya di Medantahun 2011 terjadi sejumlah pembakaran dan pengrusakan masjid, seperti: Masjid Nur Hikmah danMasjid Taqwa, Dusun Lima Desa Aek Loba Kec. Aek Kuasan, Kab. Asahan, Masjid Al Ikhlas di Jl.Timur kel. Perintis Kec. Medan Timur, Masjid Fii Sabilillah di Jl. Lintas Tobasa, Lumban Lowu, Kab.Toba Samosir, Masjid Besitang, Desa Selamet, Kec. Besitang, Kabupaten Langkat. Lihathttp://www.voa-islam.com. Di Sulawesi Utara, seperti Masjid Asy-Syuhada di Kompleks Aer Ujang,Kelurahan Girian Permai, Kecamatan Girian, Kota Bitung, Sulawesi Utara. Lihat http://sketsanews.com.
4Masalah yang biasa muncul di seputar pendirian rumah ibadah selain perkara tidak adanya izindari pemerintah, juga adanya penolakan terhadap pembangunan rumah ibadah, pemanfaatan rumahtinggal sebagai rumah ibadah, tidak adanya rekomendasi dari FKUB, keluhan sulitnya mendirikan rumahibadah bagi minoritas di suatu daerah, dan lain-lain. M. Yusuf Asry (Ed.), Pendirian Rumah Ibadat diIndonesia (Pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 danNomor 8 Tahun 2006), (Ed. 1, Cet. 1; Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011),h. 4.
2
tengah muslim tidak disenangi oleh kaum muslimin. Hal ini adalah perkara yang wajar,
mengingat masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah bagi umat beragama, melainkan juga
simbol keagungan agama yang juga berfungsi sebagai pusat penyiaran agama tersebut.
Ketika rumah ibadah sebagai simbol keagungan suatu agama yang minoritas begitu
menonjol di tengah umat yang mayoritas, tentu akan mengganggu perasaan penganut agama
yang mayoritas. Apalagi jika penyiaran agama umat minoritas tersebut dilakukan secara
terbuka dan masif di wilayah minoritas, sudah tentu akan memicu terjadi konflik.
Padahal, agama seharusnya menjadi sumber ajaran positif yang dapat menjadi perekat
perbedaan, mewujudkan kerukunan dan perdamaian ketika diamalkan secara benar dan
konsisten. Kirsten yang mengajarkan cinta kasih, begitu juga Islam dengan maknanya sebagai
agama damai atau selamat, jika diamalkan secara baik oleh pemeluknya, seharusnya akan
melahirkan kedamaian, keselamatan yang diwarnai oleh suasana cinta dan kasih.
Akan tetapi, ternyata perjalanan kehidupan manusia membuktikan bahwa agama juga
bisa menjadi alasan bagi pemeluknya untuk memunculkan konflik. Ketika diamalkan secara
parsial dan serampangan oleh pemeluknya, hal itulah yang akan melahirkan konflik dengan
agama lain. Sejarah membuktikan bahwa potensi konflik antara pemeluk agama kristen dan
Islam kerap terjadi jika mereka memahami agama secara parsial dan penuh distorsi.5
Jika pemahaman agama yang parsial dan distorsi tersebut diikuti dengan tindakan
gegabah, misalnya dengan membangun rumah ibadah agama minoritas dipaksakan di tengah
umat beragama yang mayoritas, maka konflik antarpemeluk agama tinggal menunggu pemicu
saja.6 Apalagi jika pemerintah tidak konsisten dalam memberlakukan aturan dan ketentuan-
ketentuan tentang pendirian rumah ibadah. Terdapat beberapa kasus konflik antara umat Islam
dengan kristen di berbagai daerah di Indonesia dipicu oleh inkonsistensi penerapan aturan oleh
pemerintah dan penyelesaian berbagai masalah yang muncul kaitannya dengan hubungan
antarpemeluk agama.7
Oleh karena itu, dengan adanya beberapa masjid dan gereja yang berdekatan di Kota
Kendari8 merupakan fenomena tersendiri yang patut untuk dicermati. Karena keberadaan
5Alirman Hamzah, “Hubungan Antarumat Beragama (Pengalaman Rukun dan Konflik diIndonesia)”, Tajdid (Vol. 17, No.2, November 2014), h. 155.
6Pendirian rumah ibadah telah menjadi salah satu masalah keagamaan di Indonesia yang telahlama terjadi. Masalah lain adalah penyiaran agama terhadap umat lain, bantuan finansial dan penyuluhagama dari luar negeri. Moh. Abdul Khaliq Hasan, “Merajut Kerukunan dalam Keragaman Agama diIndonesia, Perspektif Nilai-nilai al-Qur’an”, PROFETIKA, Jurnal Studi Islam (Vol. 14, No. 1, Juni2013), h. 74.
7Moh. Abdul Khaliq Hasan, “Merajut Kerukunan dalam Keragaman Agama di Indonesia,Perspektif Nilai-nilai al-Qur’an”, h. 74.
8Beberapa masjid yang berdekatan di Kota Kendari, seperti: Masjid Raya Kota Lama denganGereja GPIB Sumber Kasih, Masjid Akbar Benu-Benua dengan Gereja Imanuel, Masjid Raya Al Kautsar
3
rumah ibadah, misalnya gereja di wilayah yang mayoritas penduduknya muslim sudah cukup
dapat menjadi masalah antara dua penganut agama. Apalagi jika jarak antara masjid dan gereja
cukup dekat.
Masjid Da’wah Wanita dan Gereja Pantekosta Bukit Zaitun yang terletak di Kelurahan
Dapu-dapura Kecamatan Kandari Kota Kendari mungkin satu-satunya masjid dan gereja di
Sulawesi Tenggara yang jaraknya sangat dekat.9 Antara dinding masjid dengan dinding gereja
hanya berjarak sekitar sejengkal orang dewasa, dimana pondasi, dinding bagian belakang gereja
dan atapnya bertemu.
Hal menarik yang dijumpai di dua tempat ibadah yang dibangun sekitar tahun 1960 itu,
adalah belum pernah terjadi keluhan berarti dari pemeluk agama kedua tempat ibadah terkait
aktivitas ibadah di dalamnya. Kedua tempat ibadah masing menjalankan semua aktivitas sesuai
agama keduanya tanpa merasa diganggu atau merasa mengganggu pihak lain. Meskipun
bangunan Masjid dan Gereja hanya dipisahkan oleh tembok yang hampir bertemu, tidak
menjadi halangan bagi umat muslim maupun nasrani dalam melaksanakan kegiatan keagamaan,
bahkan tidak terbesit perasaan saling terganggu, baik di bulan suci Ramadhan, maupun hari-
hari besar keagamaan lainnya.10
Bagi jamaah masjid, kegiatan ibadah merupakan urusan masing-masing pemeluk
agama, tidak ada kaitannya dengan keberadaan tempat ibadah agama lain. Karena itu,
keberadaan gereja di samping masjid bukan masalah. Meskipun mereka mengakui bahwa tidak
pernah terjadi gesekan antara jamaah masjid dengan gerja, tetapi mereka juga tidak pernah
bekerja sama secara langsung terutama dalam kaitannya urusan tempat ibadah. Begitu juga
pihak Jemaat Gereja Pantekosta Bukit Zaitun, mengakui terpeliharanya kerukunan dan saling
menghargai dalam menjalankan ibadah, bahkan pengurus Gereja maupun pengurus Masjid
biasa saling mengunjungi dan membantu untuk menjalin keakraban.11
Keberadaan dua tempat ibadah dari dua agama berbeda ini merupakan potret kehidupan
beragama yang patut dipuji, sekaligus di sisi lain patut untuk dikaji. Tentu dalam rangka
memeliharan keharmonisan di waktu yang panjang di masa mendatang.
dengan Gereja Ora Et Labora, Masjid Al Mukarrabun dengan Gereja Yesus Gembala, Masjid At-TaqwaSodohoa dengan Gereja Santaana. Masjid Da’wah Wanita dan Gereja Pantekosta Bukit Zaitun.
9Selain masjid di Kota Kendari yang letaknya berdampingan dan hampir ketemu temboknya,ada juga masjid lain di Indonesia yang serupa, misalnya di Jalan Gatot Subroto Kota Solo antara Masjidal-Hikmah yang dibangun tahun 1947 dengan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningrat yang lebi dahuludibangun tahun 1939, ada juga di Jalan Enggano Tanjung Priok, Jakarta Utara, yakni Masjid Al-Muqarrabien yang dibangun 1959 dan Gereja Masehi Injil Sangihe Talaud Mahanaim yang dibanguntahun 1957, viva.co.id.
10H. Jamaluddin, imam Masjid Da’wah Wanita Kendari, dalam www.rri.co.id, 25/6/2015.11Pdt. David Agus Setiawan, Pimpinan Gereja Pantekosta Bukit Zaitun, dalam www.rri.co.id,
25/6/2015.
4
Patut dipuji karena keberadaan masjid dan gereja berdempetan berarti terdapat saling
pengertian yang tinggi antara jamaah masjid dengan jemaat gereja. Kerukunan antara pemilik
kedua rumah ibadah selama puluhan tahun ini telah menjadikan Masjid Da’wah Wanita dan
GPdI Bukit Zaitun Kendari sebagai ikon kerukunan umat beragama di Kendari, khususnya dan
Indonesia pada umumnya.
Sedangkan patut dikaji adalah untuk mengetahui lebih dalam kondisi hubungan kedua
pemilik rumah ibadah selama ini. Karena bisa jadi kerukunan hubungan antara kedua jamaah
tempat ibadah hanya terlihat pada tataran permukaan, padahal ke dalam tidak terdapat
ketulusan dalam penerimaan atau sikap membelakang atau paling tidak sikap tidak peduli
keberadaan kedua belah pihak. Bahkan tidak menutup kemungkinan salah satu pihak atau
keduanya memendam rasa tidak nyaman dengan keberadaan rumah ibadah lain di sisi rumah
ibadahnya. Jika hal terakhir ini yang terjadi, maka berarti keharmonisan yang terlihat selama ini
hanya dinikmati oleh yang menyaksikan dari luar..
Hidup rukun dan harmonis antara dua komunitas jamaah tempat ibadah yang berbeda
seperti ini tentu sangat diharapkan terus terpelihara, meskipun tidak ada jaminan di masa datang
tidak akan terjadi gesekan. Pasalnya, selain secara teologis dan aturan banyak yang bertolak
belakang, juga aktivitas ibadah kedua tempat ibadah sangat berbeda dan masing-masing
menggunakan peralatan pengeras suara yang bukan hanya didengar dalam ruangan bahkan
sampai keluar dengan jarak yang cukup jauh.
Namun demikian, kerukunan tetap mesti terwujud. Karena agama bukan alasan untuk
melakukan konflik. Agama sejatinya merupakan patokan dan dalam menjalani kehidupan
dalam menjalin hubungan dalam kehidupan.12
Atas dasar ini perlu dilakukan kajian mendalam agar ditemukan berbagai model,
strategi, dan trik-trik jitu yang bisa memberikan jaminan pemeliharaan keharmonisan hubungan
antarumat beragama dalam koridor kedinamisannya, khsusunya masjid yang jaraknya sangat
dekat dengan gereja, seperti di Masjid Da’wah Wanita Kendari.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran relasi antara jamaah Masjid Da’wah Wanita dengan jemaat Gereja
Pantekosta Bukit Zaitun Kendari?
12Agama merupakan pola bagi tindakan dan pola dari tindakan. Sebagai pola bagi tindakanartinya agama menjadi aturan, pedoman dalam bertindak. Sedangkan pola dari tindakan artinya tindakanseseorang dalam menjalin hubungan sekitar menunjukkan wujud agama dari agama itu. Abd. RahimYunus, “Membangun Budaya Toleransi di Tengah Pluralitas Agama di Indonesia”, Jurnal Rihlah (Vol.1, Nomor 1, 2013), h. 3.
5
2. Bagaimana sikap jamaah Masjid Da’wah Wanita terhadap jemaat Gereja Pantekosta Bukit
Zaitun Kendari?
Relasi yang dimaksud dalam masalah pertama penelitian ini adalah semua bentuk
hubungan antara kedua jamaah tempat ibadah, baik komunikasi verbal, kerja sama secara
individu maupun bersama-sama. Adapun sikap jamaah adalah ungkapan psikologis dan yang
dapat disaksikan dalam bentuk tingkah laku dalam memandang dan bertingkah laku dalam
kaitannya dengan jemaat gereja. Sikap ini sangat dipengaruhi oleh pemahaman13 tentang ajaran
Islam yang mengatur hubungan dan sikap umat Islam terhadap nonmuslim.14 Pemahaman
dalam pengertian ini juga bisa dimaknai sebagai persepsi, yakni persepsi jamaah Masjid
Da’wah Wanita Kendari yang berdomisili di Kecamatan Kendari terhadap jemaat Gereja
Pantekosta Bukit Zaitun Kendari.
C. Signifikansi Penelitian
Menurut Sudarta pada masa kolonial, ketegangan dalam hubungan umat Islam dan
umat Kristen lebih dipicu oleh kegiatan misionaris yang dibantu oleh Belanda. Sementara pada
masa Orde lama ketegangan itu mencuat saat pembahasan UUD 1945 dan pada sidang
Konstituante hasil Pemilu 1955. Dalam pembukaan UUD 1945 telah ditetapkan tujuh kata yang
bernuansa Islami, yang oleh kaum Kristen dianggap sebagai upaya pembentukan negara Islam,
yang pada akhirnya dihapuskan.15
Belajar dari perkembangan situasi yang tidak menguntungkan, maka pada 1967
diadakan dialog yang dipelopori oleh Menteri Agama, KH. Muhammad Dahlan, tetapi dialog
itu belum dianggap berhasil menyelesaikan konflik antar agama. Sampai pada periode
berikutnya pada masa Mukti Ali menjadi Menteri Agama yang melibatkan lebih banyak tokoh
dan pemimpin agama. Pada dekade tahun 1980-an hingga saat ini prakarsa dialog dalam
mewujudkan kerukunan antar umat beragama dan sosialisasi pemahaman pluralisme ini pun
terus dilakukan, baik oleh para tokoh agama, intelektual muda maupun pemerintah sendiri.
Akan tetapi, kenyataannya sampai sekarang, ketegangan yang disebabkan oleh
sentimen keagamaan (Islam-Kristen) di beberapa daerah, seperti di Situbondo, Tasikmalaya,
Ketapang, Kupang, Ambon, Poso, Maluku, Bekasi, terakhir di Tolikara dan Sinkil masih terus
13Kata paham berasal dari bahasa Arab, yakni: فھم - یفھم - فھما artinya mengerti, memahami,faham. Sedangkan kata مفھوم artinya apa yang dimengerti atau dipahami. Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia (Cet. 4; Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1075.
14Pemahaman yang dimaksud adalah pemikiran tentang sesuatu yang berpengaruh pada tingkahlaku dalam menjalani kehidupan. Muhammad Hawari, Reideologi Islam, Membumikan Islam sebagaiSistem (Cet. 3; Bogor: Al-Azhar Press, 2011), h. 4.
15Sudarta (1999), Konflik Islam-Kristen, Menguak Akar Masalah Hubungan AntarumatBeragama di Indonesia, dalam Muhammadong, Pluralitas Agama dan Dialog Antarumat Beragama,unm-digilib-unm-drmuhammad-341-1-pluralit-a.
6
terjadi yang mengakibatkan hancur nya tempat-tempat ibadah seperti masjid, mushalla, dan
gereja. Fenomena dalam sejarah tersebut menunjukkan kesenjangan antara idealitas agama
dengan realitas empirik yang terjadi dalam masyarakat masih terjadi.
Adanya gesekan yang berujung konflik di berbagai daerah yang minoritas muslim
merupakan salah satu potensi laten yang dapat memicu konflik bernuangsa agama di berbagai
daerah lain. Sekadar contoh, pembakaran gereja di Singkil, Aceh merupakan kasus yang jarang
terjadi, tidak dapat diabaikan begitu saja untuk dikatakan tidak ada kaitannya dengan kasus
konflik di daerah minoritas muslim seperti di Tolikara.16
Masjid Da’wah Wanita yang letaknya berdekatan dengan gereja, selama ini dikenal
jamaah kedua tempat ibadah dapat hidup damai, saling menghormati dan merasa tidak saling
mengganggu. Meskipun demikian, kondisi harmonis yang terlihat selama ini tentu tidak boleh
dibiarkan berjalan apa adanya, tanpa ada upaya sungguh-sungguh untuk mempertahankannya.
Karena bisa jadi kondisi ini tercipta karena hubungan komunitas maupun individual jamaah
dari kedua tempat ibadah masih berjalan secara wajar dan tidak ada fakor eksternal yang bisa
memicu terusiknya kedamaian itu. Sementara hidup berdampingan merupakan suatu yang
dinamis, bukan statis.
Kedinamisan dan pergerakan setiap individu sedikit banyak akan bersentuhan dengan
individu lainnya. Pada titik persentuhan itu tidak selamanya tetap selalu positif, terkadang ada
juga yang negatif. Ditambah lagi dengan saluran informasi melalui media massa yang begitu
deras memberitakan semua pristiwa yang terjadi belahan dunia dan daerah tidak terkendali.
Termasuk pemberitaan konflik yang terjadi di berbagai daerah, bahkan di luar negeri yang tidak
jarang mengundang sentimen agama. Apalagi, penyelesaian konflik yang dilakukan oleh
pemerintah terkadang cenderung berat sebelah, seperti kasus di Tolikara. Semua faktor ini bisa
saja dalam waktu panjang mempengaruhi hubungan antarumat beragama di berbagai daerah,
termasuk di kedua jamaah tempat ibadah di Kecamatan Kendari Barat ini.
D. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan gambaran jalinan hubungan antara jamaah Masjid Da’wah
Wanita dengan jemaat Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari.
2. Untuk menjelaskan sikap jamaah Masjid Da’wah Wanita yang menjadi dasar dalam
menjalin hubungan dengan jemaat Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari. Juga untuk
menjelaskan sikap jamaah masjid terhadap keberadaan gereja yang berdempetan dengan
masjid.
16Selengkapnya di republika.co.id
7
E. Penelitian Relevan
Telah banyak penelitian terkait hubungan antarumat beragama yang pernah dilakukan
oleh berbagai kalangan dengan berbagai ragam aspek yang dikaji, sehingga penelitian ini
bukanlah yang pertama –tentu bukan pula yang terakhir, dan bukan satu-satunya. Dengan
segenap keterbatan penulis dan ruang, tentu penelitian itu tidak akan dicantumkan di sini.
Beberapa di antaranya adalah penelitian Nuhrison M. Nuh dan Kustini dengan judul penelitian
Kerjasama Antarumat Beragama di Berbagai Daerah Indonesia.17 Secara umum penelitian ini
mengelaborasi tentang karakteristik individu, status sosial ekonomi, sikap keberagamaan,
tingkat kepercayaan (trust) dalam kaitannya dengan kerjasama antarumat beragama.
Penelitian berjudul Kerukunan Antarumat Beragama dalam Masyarakat Plural, Studi
Kerukunan Antarumat Islam, Kristen Protestan, Katolik dan Buddha di Losari, Kecamatan
Grabag, Kabupaten Magelang yang ditulis oleh Umi Maftukhah18 memperlihatkan bahwa
adanya corak kerukunan antarumat beragama dari semua umat beragama yang terlihat dari
bentuk kerukunan saat perayaan hari besar keagamaan semua umat beragama yang saling
toleransi bekerja sama tanpa memandang perbedaan agama yang ada. Adanya peran tokoh
agama untuk membantu mempertahankan kerukunan yang ada yaitu adanya rasa patuh yang
diberikan masyarakat kepada pemimpin yang berbeda agama, menentukan adanya sikap tunduk
untuk mencapai tujuan bersama. Dengan adanya hubungan yang satu dengan yang lainya, maka
masyarakat dapat mengatasi terjadinya konflik antarumat beragama. Dalam pergaulan dari
masing-masing tetap mempertahankan prinsip agama yang diyakininya dan norma budaya
(pattern maintenance).
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, melakukan kajian dengan judul:
Peran Lembaga Sosial Keagamaan Dalam Pengembangan Wawasan Multikulturalisme.19 Di
antara hasil penelitian yang dilaksanakan di 6 lokasi, yaitu: Medan, Palu, Bandung, Semarang,
Bandar Lampung, dan Singkawang, Kalimantan Barat tersebut menunjukkan bahwa sebagian
besar (91,67%) responden tidak keberatan bila tetangga berbeda agama mengadakan acara
keagamaan mereka dan tidak keberatan jika mereka yang berbeda agama memberi bantuan ke
lembaga-lembaga Islam atau sebaliknya jika orang muslim membantu lembaga-lembaga non
Islam. Sebagian besar responden (86,67%) tidak setuju dengan tindakan seseorang/sekelompok
17Nuhrison M.Nuh dan Kustini, Kerjasama Antarumat Beragama di Berbagai DaerahIndonesia,
18Umi Maftukhah, “Kerukunan Antarumat Beragama dalam Masyarakat Plural, StudiKerukunan Antarumat Islam, Kristen Protestan, Katolik dan Buddha di Dusun Losari, Kelurahan Losari,Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang”, Skripsi, Yogyakarta: UIN Suka Yogyakarta, 2014.http://digilib.uin-suka.ac.id/14903/2/10520029_bab-i_iv-atau-v_daftar-pu
19Direktorat Agama dan Pendidikan, Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan, Peran LembagaSosial Keagamaan dalam Pengembangan Wawasan Multikulturalisme
8
orang menutup atau merusak rumah ibadah kelompok lain dengan alasan apapun. Hasil kajian
ini menunjukkan bahwa tingkat toleransi warga masyarakat sudah tergolong tinggi dan sangat
kondusif untuk terciptanya kerukunan.
Ali Imron HS melakukan penelitian berjudul Kearifan Lokal Hubungan Antarumat
Beragama di Kota Semarang20 dan menyimpulkan selain peran forum lintas agama dan
dukungan Pemerintah, faktor pendorong yang sangat penting adalah adanya itikad baik tokoh
agama, kematangan berfikir, keterbukaan sikap para penganut agama dan bersilaturahim tokoh
agama keberpihakan media massa, dan keterlibatan generasi muda. Selain itu, bagi para
pemangku kepentingan, agar kerukunan hidup antarumat beragama dapat terus ditingkatkan
dan berkesinambungan adalah adanya kajian agama merupakan salah satu hal yang penting
untuk diperhatikan.
Nindya Kartika Putri juga pernah melakukan penelitian dengan judul Pola Komunikasi
Antarumat Beragama, Studi Kasus Pola Komunikasi Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) dalam Menumbuhkan Kerukunan Antarumat di Purwokerto.21 Hasilnya menunjukkan
bahwa pola komunikasi yang terdapat di dalam dalam FKUB adalah komunikasi dua tahap,
dimana dalam mengambil kebijakan dilakukan secara terbuka dan musyawarah. Setiap
perwakilan agama boleh menyampaikan pendapat atau usulannya di dalam forum, kemudian
pendapat tersebut masih dipertimbangkan lagi oleh penasehat FKUB yang bertindak dalam
menetapkan suatu putusan, sehingga keputusan yang diambil tidak dilakukan secara berpihak.
Komunikasi formal yang dilakukan antartokoh agama dalam FKUB di Purwokerto dengan
umatnya dilaksanakan secara rutin dan sesuai dengan program kerja yang telah ditetapkan oleh
FKUB Purwokerto. Sedangkan komunikasi informal yang dilakukan oleh antar tokoh agama di
Purwokerto dengan umatnya dilaksanakan dalam berbagai bentuk, seperti kunjungan biasa atau
silaturahmi, mengadakan diskusi terbuka, penyelenggaraan perlombaan dan lainnya. Interaksi
tokoh agama dengan umatnya dilakukan secara rutin dengan mengadakan pertemuan tiap
bulannya agar para tokoh agama dapat menumbuhkan hubungan kerukunan umatnya sehingga
potensi konflik yang terdapat didalam umat beragama dapat diredam dan dikendalikan,
sehingga konflik antaragama dapat dihindarkan.
20Ali Imron HS, “Kearifan Lokal Hubungan Antarumat Beragama di Kota Semarang”, Riptek(Vol.5, No.I, Tahun 2011), h. 7-18.
21Nindya Kartika Putri, “Pola Komunikasi Antar Umat Beragama, Studi Kasus Pola KomunikasiForum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam Menumbuhkan Kerukunan Antarumat di Purwokerto,(Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman, 2012).
9
Fu Xie juga meneliti dengan judul Hubungan antara Orang Kristen dan Islam dalam
Masyarakat Sipil: Studi di Kota Sukabumi dan Kota Bandung.22 Hasilnya menunjukkan bahwa
masyarakat sipil dari kedua kota yang diteliti menunjukkan pola hubungan yang baik. Kondisi
itu bisa terjaga karena adanya ruang luas terjadinya perjumpaan antara orang Kristen dan Islam.
Seringnya terjadi perjumpaan antara kedua kominitas akan semakin menguatkan hubungan
antar kedua kelompok, dan terutama harus saling mempunyai trust.
Imam Suprayogo dan M. Zainuddin melakukan penelitian dengan judul Potret
Kerukunan Hidup Antarumat Beragama di Malang Selatan.23 Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa di lokasi penelitian, terciptanya kerukunan hidup antarumat beragama didorong oleh
beberapa factor, yakni: tradisi, dimana sejak dulu masyarakat sudah hidup dalam suasana
rukun, aman, yang bercirikan paguyuban, saling bahu membahu dan tolong menolong; faktor
aliran/madzhab yang berkembang adalah moderat baik dari Kristen maupun Islam; faktor
dakwah dan misi yang lebih menitikberatkan misi kemanusiaan, kerja sosial dan pemberdayaan
ekonomi rakyat, bukan dakwah atau misi yang menonjolkan fantisme dan perbedaan agama;
faktor kerjasama antara tokoh agama dengan umat, antar tokoh agama dan antar tokoh agama
dengan pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk dialog dengan pendekatan kultural dan etis,
tidak struktural dan politis; dan faktor kondisi sosial-ekonomi, dimana masyarakat secara rata-
rata hidup dalam kondisi yang baik dan sejahtera. Selain itu, bisa jadi karena umumnya
komunitas beragama, terutama Islam masih pada tingkat awam, sehingga mereka tidak
mempedulikan batas wilayah agama yang sakral, ritual dan yang bersifat sosial.
Hasil penelitian terkait harmoni kehidupan antara umat Islam dengan kristen juga
pernah dilakukan di Lemah Putro Sidoarjo oleh Anjar Tri Lutfianto dan Muhammad Turhan
Yani dengan judul Pola Interaksi antara Umat Islam dengan Kristen di Desa Lemah Putro
Kecamatan Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo. Dari studi yang dilakukan terhadap komunitas
muslim yang berjumlah 912 jiwa dan komunita kristen yang berjumlah 230 jiwa di desa Lemah
Putro, ia menemukan bahwa terjalinnya hubungan yang harmonis antara umat Islam dan kristen
di desa tersebut karena didasari oleh faktor kesadaran diri sendiri dan kerja sama. Dari kerja
sama yang terwujud dalam bentuk silaturrahmi dan aktivitas sosial tersebut terbentuk pola
hubungan yang bersifat asimilasi antara kedua umat beragama.24
22Fu Xie,”Hubungan antara Orang Kristen dan Islam dalam Masyarakat Sipil: Studi di KotaSukabumi dan Kota Bandung”, Prosiding The 5th International Conference on Indonesian Studies:“Ethnicity and Globalization, icssis.files.wordpress.com/2013/09/2013-01-17.pdf
23Imam Suprayogo dan M. Zainuddin, Potret Kerukunan Hidup Antarumat Beragamadi Malang Selatan (Jakarta: Mediacita, 2002).
24Anjar Tri Lutfianto dan Muhammad Turhan Yani, ”Pola Interaksi antara Umat Islam denganKristen di Desa Lemah Putro Kecamatan Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo”, e-JournalUnesa, Kajian Moraldan Kewarganegaraan (Volume 02 Nomor 03; Surabaya: Universitas Negeri Surabaya, 2015).
10
Penelitian yang cukup penting bagi peneliti adalah yang pernah dilakukan di Kendari
berjudul Dakwah dalam Masyarakat Plural: Peranan Tokoh Agama dalam Memelihara
Harmoni Sosial Hubungan Antarumat Beragama di Kendari yang dilakukan oleh La Malik
Idris tahun 2008.25 Penelitian ini memfokuskan penelitiannya terhadap 30 orang tokoh agama di
Kota Kendari yang dianggap memiliki peran penting dalam memelihara keharmonisan
hubungan antarumat beragama di Kota Kendari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
umumnya tokoh agama di Kendari secara prinsip tetap memegang keyakinan bahwa hanya
agamanyalah satu-satunya kebenaran universal dan absolut, tetapi mereka sepakat untuk
menerima perbedaan dan menolak segala bentuk tindak kekerasan atas nama agama. Adapun
terkait dengan peran muballigh dalam dakwah, keyakinan yang demikian itu tidak
mengharuskan mereka untuk menarik atau mempengaruhi agama lain agar memeluk Islam
sehingga harmonisasi bisa tetap terjaga.
Penelitian terkait hubungan muslim dengan Kristen yang rumah ibadahnya berdekatan
dilakukan oleh Lilam Kadarin Nuriyanto dengan judul Integrasi Sosial Pengelolaan Rumah
Ibadah Islam dan Kristen Di Surakarta.26 Hasil penelitian yang dilakukan terhadap Masjid Al-
Hikmah dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan yang posisinya bersebelahan, serta
Gereja Baptis Indonesia (GBI) Diaspora Sejahtera dan Masjid Sami’na yang posisinya
berhadapan di Kestalan, Banjarsari Surakarta, menunjukkan bahwa rumah-rumah ibadah
tesebut tampak terbuka dalam bekerjasama, menjaga toleransi, dan saling menghormati dalam
berbagai praktik ibadah. Kondisi tersebut terwujud dengan dukungan beberapa faktor, yakni:
masih ada nilai gotong-royong dan menghormati kebebasan menjalankan ibadah, sikap inklusif
dalam beragama, kearifan sikap saling terbuka dalam mensikapi kegiatan yang diadakan antar
tempat ibadah yang berdekatan. Meskipun demikian masih terdapat sejumlah faktor yang dapat
menghambat keharmonisan dalam pengelolaan tempat ibadah yakni eksklusif beragama yang
salah, seperti pelarangan dari kelompok muslim tertentu terhadap GKJ Joyodiningratan dalam
menyediakan nasih bungkus ketika bulan puasa dan larangan parkir bagi umat GBI Diaspora
Sejahtera.
Peneltian tentang hubungan muslim dan kristen juga pernah dilakukan oleh Khelmy
Kalam Pribadi dengan judul Relasi Muslim dan Kristen (Studi Interpretatif tentang Konstruksi
Sosial Toleransi Jamaah Masjid Al Hikmah dan Jemaat Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan
25La Malik Idris, “Peran Tokoh Agama dalam Memelihara Harmoni Hubungan AntarumatBeragama di Kendari”, Disertasi (Makassar: PPs UIN Makassar, 2008).
26Lilam Kadarin Nuriyanto, Integrasi Sosial Pengelolaan Rumah Ibadah Islam dan Kristen diSurakarta, Analisa, Journal of Social Science and Religion, (Volume 22, No. 01, Juni 2015).
11
Surakarta).27 Temuan penting dalam penelitian adalah bahwa hal yang mendasar dalam proses
konstruksi toleransi muslim dan kristen adalah pada pewarisan nilai yang terjadi pada setiap
generasi tentang toleransi dan penjagaan memori kolektif oleh elit masyarakat termasuk
pendeta dan takmir masjid.
Dari beberapa penelitian yang ada kaitannya dengan topik hubungan antarumat
beragama, penelitian yang terakhir disebut secara objek sama dengan penelitian ini yakni
terhadap tempat ibadah yang jaraknya berdekatan. Namun demikian, penulis melihat topik yang
dikaji berbeda karena penelitian tersebut memfokuskan diri pada aspek pengelolaan rumah
ibadah, tidak secara khusus mengkaji aspek hubungan jamaah masjid dengan jemaat gereja.
Karena itu, penulis belum menemukan adanya penelitian yang secara khusus mengkaji
topik ini, terutama di Masjid Da’wah Wanita Kendari. Kalaupun ternyata penelitian itu ada,
tetap penelitian ini merupakan hal yang berbeda dan akan saling melengkapi penelitian yang
ada sebelumnya. Sehingga penelitian-penelitian tersebut merupakan bahan informasi berharga
bagi penulis dalam melakukan penelitian ini.
27Khelmy Kalam Pribadi, “Relasi muslim dan kristen (studi interpretatif tentang konstruksisosial toleransi jamaah Masjid Al Hikmah dan Jemaat Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan Surakarta)”,Skripsi (Surakarta: UNS-FISIP, 2011).
12
BAB II
PERSPEKTIF TEORETIS RELASI MUSLIM DENGAN NONMUSLIM
A. Konsep Dasar Relasi dalam Masyarakat Beragama
Salah satu unsur utama yang membentuk bangunan sebuah masyarakat adalah
adanya relasi di antara individu yang ada di dalamnya. Sekelompok manusia yang
berkumpul di suatu tempat belum dapat dikatakan masyarakat apabila tidak terjadi
relasi di antara mereka. Relasi antara individu dalam masyarakat akan membentuk
interaksi timbal balik sehingga akan terwujud saling mempengaruhi, baik disadari
maupun tidak.
Proses ini menurut Peter L. Berger (1991) disebut sebagi sebuah relasi dialektis.
Menurutnya, relasi dalam masyarakat akan membentuk individu dimana individu akan
menyesuaikan dirinya dengan masyarakat. Begitu juga sebaliknya, relasi-relasi individu
dalam masyarakat akan dibentuk oleh individu sehingga masyarakat akan berubah
mengikuti individu.1
Dalam proses relasi, interaksi dan saling pengaruhi itulah individu akan
menunjukkan dirinya dalam komunitasnya. Pada kedirian seseorang ditunjukkan dalam
komunitas, maka pada saat itulah koumitas menilai. Penilaian akan mengerucut
menjadi kesimpulan apakah individu-individu memiliki kesamaan dengan individu lain
atau tidak. Ketika terdapat banyak kesamaan di antara mereka pada umumnya akan
terjadi solidaritas yang mengantarkan pada integrasi. Akan tetapi, jika terlalu banyak
perbedaan di antara mereka, maka mereka akan menganggap diri berbeda dan bukan
bagian dengan yang lain. Persepsi ini merupakan peluang terjadinya konflik. Meskipun
sebenarnya, keduanya (persamaan dan perbedaan) dalam komunitas masing-masing
sesungguhnya bisa menjadi potensi integrasi sekaligus potensi konflik.
Dari sisi inilah secara sosiologis, pada umumnya orang terbagi dua kutub dalam
memandang hubungan-hubungan yang terjadi dalam masyarakat. Kutub pertama
menitikberatkan pandangannya pada anggapan bahwa dalam menjalin hubungan antara
individu dalam masyarakat terdapat potensi konflik. Pandangan ini terbangun dari
realitas sosial yang terdapat banyak hubungan-hubungan yang diwarnai konfik. Hal itu
merupakan suatu keniscayaan karena masyarakat merupakan komunitas yang selalu
1Dadang Kahmad, Sosisologi Agama (Cet. 2; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), h. 54.
13
dinamis. Karena itu, dalam upaya memelihara keserasian hubungan dalam masyarakat
harus difokuskan pada upaya mencegah agar tidak terjadi konflik. Caranya dengan
mencari dan mengidentifikasi keumngkinan-kemungkinan yang dapat menjadi sumber
atau pemicu terjadinya konflik. Golongan yang menekankan pada upaya menyelesaikan
konflik dalam masyarakat kemudian dikenal dengan penganut teori konflik.
Kutub kedua adalah mereka yang beranggapan bahwa masyarakat sebenarnya
menyimpan potensi harmonis. Tokoh yang dianggap sebagai perintis teori ini, Herbert
Spencer (1820-1903) mengemukakan bahwa dalam relasi antara individu dalam
masyarakat tersimpan aspek saling ketergantungan timbal balik. Ketergantungan timbal
balik dalam masyarakat itu meniscayakan adanya keterkaitan fungsi antara bagian-
bagian termasuk individu dalam masyarakat. Keterkaitan fungsional dalam hubungan
atau ketergantungan timbal balik itulah yang dalam konsep dinamakannya sebagai
differensiasi.2
Berasarkan teori ini, sesungguhnya perbedaan-perbedaan yang ada dalam
komunitas bukan pemicu konflik jika bisa dikelola dengan baik. Justru perbedaan-
perbedaan yang banyak itu dapat dijadikan modal untuk melakukan solitaritas dan
intergrasi. Agar perbedaan itu dapat menghasilkan soolidaritas, maka syarat yang harus
dipenuhi adalah bahwa perbedaan-perbedaan itu mesti memiliki kaitan secara
fungsional atau saling membutuhkan. Jika perbedaan itu justru saling menghalangi
kepentingan satu sama lain, maka perbedaan seperti itulah yang akan menghasilkan
konflik.
Terlepas dari polemik antara teori konflik dengan teori solidaritasi. Said Agil
Husin al-Munawar mengemukakan bahwa kedua teori tersebut sesungguhnya berangkat
dari realitas masyarakat yang sama, sehingga tidak seharusnya dipertentangkan.
Menurutnya, kondisi masyarakat sudah pasti terdapat di dalamnya kesamaan-kesamaan
dan perbedaan-perbedaan. Begitu juga relasi yang terjadi dalam masyarakat secara
nyata memang menyimpan potensi konflik sekaligus menyimpan potensi solidaritas
atau integrasi. Dalam masyarakat yang hidup dalam suasana rukun sekalipun
sebenarnya tetap tersimpan potensi konflik. Sebaliknya juga demikian, dalam
masyarakat yang selalu terjadi konflik tetap tesimpan potensi solidaritas. Maka yang
2Dadang Kahmad, Sosisologi Agama, h. 57.
14
penting dilakukan adalah mengeliminir konflik dan memperkuat solidaritas. Upaya ini
disebut pengelolaan keserasian sosial.3
Pengelolaan keserasian sosial ini hanya akan berhasil jika semua individu yang
ada dalam komunitas mampu menganggap orang lain sebagai bagian dari dirinya.
Dengan sikap seperti ini, maka akan muncul sikap saling memahami karakteristik
masing-masing, saling menghormati keadaan masing-masing, dan saling menghargai
pilihan masing-masing.
Untuk kepentingan pengelolaan keserasian sosial ini, maka pemerhati masalah
sosial mestinya mengarahkan perhatian mereka pada bentuk-bentuk hubungan yang
terjadi dalam masyarakat agar dapat dikelola secara positif dalam rangka menciptakan
keserasian sosial.
Jika dicermati manusia sebagai makhluk sosial yang selalu berhubungan antara
seorang dengan orang lain. Maka relasi dan interaksi sesungguhnya merupakan penentu
dari adanya konflik dan solidaritas dalam kehidupan bersama. Interaksi tersebut baru
akan terjadi apabila orang atau kelompok manusia yang saling berkomunikasi, bekerja
sama, kontestasi, bahkan mengadakan persaingan, maupun pertikaian.4
Maka, dapat dikatakan bahwa interaksi sosial merupakan dasar dari proses
sosial yang menunjuk pada hubungan-hubungan yang dinamis. Secara sederhana dalam
masyarakat, hubungan atau relasi antar orang atau kelompok terjadi dalam dua bentuk,
yaitu hubungan sehari-hari dan asosiasional (associational).5
Interaksi sehari-hari terdiri dari hubungan yang sederhana dan rutin antara
individu dalam masyarakat, seperti: keluarga atau kelompok yang satu mengunjungi
keluarga atau kelompok yang lain, makan bersama, pesta bersama, mendorong anak-
anak untuk bermain bersama dan lain-lain. Interaksi ini biasanya bersifat alamiah,
spontan, dan tanpa direncanakan.
3Said Agil Husin al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama (Cet. 1; Jakarta: Ciputat Press,2003), h. 213.
4Dalam proses interaksi terjadi penyesuaian diri yang menjadi intinya, baik seseorangmenyesuaikan dirinya dengan yang lain (outoplastis) maupun yang lain dengan dirinya(aloplastis).Selengkapnya dalam W.A.Gerungan, Psikologi Sosial (Cet. 11; Bandung: Eresco, 1988), h. 57.
5Varshney, Ethnic Conflict and Civic Life, dalam Fu Xie,”Hubungan antara Orang Kristen danIslam dalam Masyarakat Sipil: Studi di Kota Sukabumi dan Kota Bandung, Prosiding The 5th
International Conference on Indonesian Studies:“Ethnicity and Globalization,icssis.files.wordpress.com/2013/09/2013-01-17.pdf
15
Adapun interaksi asosiasional terjadi dalam kelompok-kelompok seperti
asosiasi bisnis, organisasi profesional, klub membaca, klub film, klub olah raga, klub
musik, organisasi pesta, persatuan dagang, organisasi masyarakat, organisasi
keagamaan dan juga partai politik.
Setiap daerah pada umumnya mengalami perberkembangan, seperti desa
berubah menjadi kota kecil, kota kecil menjadi kota besar, dan kota besar berubah
menjadi kota metropolitan. Seiring dengan perkembangan itu, orang-orang yang ada di
dalamnya pun mulai berubah. Mereka mulai menempuh jarak yang jauh untuk bekerja
dan menghabiskan waktu lama di tempat kerja. Dalam keadaan seperti ini, pertemuan
tatap muka sehari-hari sulit dilakukan sehingga hubungan asosiasional menjadi perlu
baik untuk tujuan ekonomi, sosial maupun politik.
Dua bentuk hubungan ini juga berlaku dalam kaitannya dengan hubungan antara
pemeluk agama yang berbeda. Pada satu komunitas yang mendiami satu daerah dan
terdapat pemeluk agama yang berbeda, mereka tentu melakukan interaksi, baik
interaksi seharai-hari maupun dalam bentuk yang formal, misalnya kelompok suku atau
paguyuban, kelompok bisnis atau mungkin kelompok kerja sama keilmuan.
Dalam melakukan interaksi antara pemeluk agama yang berbeda tentu tidak
statis, tetapi selalu dinamis. Kedinamisan itu membuka peluang terjadinya harmoni
sebagaimana terbukanya peluang terjadinya dishamoni. Penyebabnya adalah adanya
sejumlah perbedaan yang terdapat dalam agama yang berbeda-beda itu. Perbedaan itu
terdapat dalam ranah ideologis, ritual, juga karakteristik da cakupan ajaran agama.
Perbedaan-perbedaan itu pada pokonya secara fundamental bersumber dari teologi
memang tidak dapat dipertemukan.
Akan tetapi, adanya perbedaan fundamental itu tidak boleh dijadikan sebagai
pembenar untuk membiarkan terjadinya gesekan bahkan konflik di tengah umat
beragama. Karena jika itu yang terjadi, maka tidak ada pemeluk agama yang dapat
tenang mengamalkan agamanya ketika di sekitar mereka terdapat pemeluk agama lain.
Jika itu yang terjadi, maka akan hilang makna esensi agama yang seharusnya
membimbing umat kepada kebaikan. Padahal, semua agama sejatinya mengajarkan
untuk hidup bermakna dengan sesama manusia. Kebermaknaan hidup akan terasa jika
manusia mampu hidup secara harmoni. Sedangkan harmoni, bukanlah suatu anugerah
yang ditunggu kedatangannya, melainkan harus diusahakan untuk diwujudkan.
16
Agar suasana harmoni itu bisa terwujud, sejumlah ilmuan menawarkan dialog
antarpemeluk agama untuk menumbuhkan dan memelihara keharmonisan antarpemeluk
agama dalam masyarakat. Secara umum bentuk dialog tersebut dapat bedakan menjadi:
dialog parlementari, dialog institusional, dan dialog dalam komunitas masyarakat.6
Dialog parlementari dilakukan dalam bentuk pertemuan antara mereka yang
berbeda agama dalam kapasitas yang relatif besar, seperti konferensi atau kongres dan
semacamnya. Dalam pertemuan itu dibicarakan usaha untuk membangun kerja sama
antarapemeluk agama yang berbeda. Dialog seperti ini juga dimanfaatkan untuk mereka
yang ingin mengenal lebih jauh ajaran agama lain.
Sedangkan dialog institusional adalah sebuah pertemuan yang melibatkan
pemuka-pemuka agama dari institusi yang ada dalam agama yang berbeda-beda. Dalam
pertemuan itu dibicarakan berbagai masalah kekinian yang dihadapi oleh umat
beragama untuk dicarikan solusinya. Selain itu, pertemuan kelembagaan ini juga dapat
dijadikan sarana untuk meluruskan persepsi jika terdapat mispersepsi atau
misunderstanding (kesalahpahaman) pemeluk agama yang satu terhadap agama dan
pemeluk agama yang lain.
Adapun dialog dalam komunitas adalah bentuk dialog yang relatif kecil, terbatas
dan lebih fokus pada upaya penyelesaian berbagai masalah yang bersifat praktis yang
muncul di tengah kehidupan. Dalam pertemuan ini misalnya dibicarakan penyelesaian
terhadap satu masalah atau konflik antara pemeluk agama. Bahkan tidak menutup
kemungkinan forum ini bisa menjadi wadah penyelesaian masalah krusial bersama,
seperti kemiskinan, keterbelakangan dan pemberdayaan masyarakat di daerah mereka.
Mode-model dialog yang ditawarkan tersebut bersifat menyeluruh dan secara
intensif adalah hal yang positif dan konstruktif, terutama seperti di Indonesia yang
tingkat pluralitasnya tinggi. Apalagi tawaran model dialog itu lahir dari riset mendalam
terhadap fenomena masyarakat yang berbeda agama.
B. Relasi Muslim-Nonmuslim dalam Islam
Dalam masyarakat yang majemuk dimana agama tertentu tidak dijadikan basis
dalam pengelolaan hubungan masyarakat, maka dialog agama ini nampaknya menjadi
6Mun’im A. Sirry, Membendung Militansi Agama: Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern(Jakarta; Erlangga, 2003), h. 199-201.
17
tawaran yang konstruktif untuk dikembangkan. Model dialog ini meniscayakan adanya
pihak ketiga yang mendudukkan agama-agama dan pemeluknya sejajar dalam konteks
hubungan kemasyarakatan.
Akan tetapi, penting untuk dicermati bahwa tawaran dialog itu berangkat dari
semangat untuk mencari solusi yang digali dari peserta pertemuan atau dari masyarakat
beragama sendiri. Meskipun kedengarannya baik, tetapi sesungguhnya perlu dicermati
lebih jauh. Cermatan mesti diarahkan pada aspek paradigma dan metodologis.
Secara paradigma, solusi dialog berangkat dari menempatkan semua agama
pada posisi yang sama sebagai sebuah sumber kebenaran. Ketika semua agama
diposisikan sebagai sumber kebenaran yang mesti diakui oleh semua pemeluk agama,
maka di sana terdapat anggapan bahwa kebenaran masing-masing agama bersifat
relatif. Sifat relatifnya dapat dipahami dari segi bahwa kebenaran agama yang berbeda-
beda itu dapat dipertemukan lalu dijadikan satu kesimpulan solusi berdasarkan
kesepakan pemeluk agama yang berbeda-beda itu. Paradigm ini meniscayakan adanya
pemikiran pluralisme agama.
Dalam wacana pemikiran pluralisme, teologi agama yang berbeda-beda
merupakan sekat yang membatasi antara pemeluk agama untuk menjalin harmoni
dalam kehidupan. Karena itu, masing-masing agama tidak boleh mengklaim bahwa
hanya agamanya yang benar sementara yang salah. Akan tetapi, pemeluk agama
hendaknya menyadari bahwa semua agama pada dasarnya sama.7
Paradigma seperti ini tentu tidak semua agama dapat menerimanya.
Menganggap bahwa semua agama sama karena sama-sama mengajarkan kebenaran
tidak dapat dibenarkan dalam Islam. Islam memandang kebenaran mutlak bersumber
dari Allah Swt., Pencipta manusia. Kebenaran dari Allah Swt. tidak dapat disamakan
dengan yang lain, dicampur, direduksi apalagi direvisi. Umat Islam hanya boleh
melakukan kreasi dalam aspek cara dan wasilah pelaksanaannya saja. Misalnya, Islam
mengajarkan wajib mendakwahi umat agama lain agar mereka memeluk Islam. Ajaran
ini merupakan konsep yang tidak dapat direduksi sedikitpun. Yang dapat dilakukan
adalah mencari teknik penyampaian dan sarana yang sesuai dengan kondisi yang
dihadapi.
7Ulasan selengkapnya tentang pluralisme ini dapat dilhat dalam tulisan Sanuri, “DinamikaWacana Pluarlisme Keagamaan di Indonesia”, Religio, Jurnal Studi Agama-agama (Vol. 2, No. 1, Maret2012), h. 71-75.
18
Mengenai metodologis, tawaran dialog agama ini mengindikasikan adanya
pengambilan keputusan hukum dengan jalan kesepakatan tanpa mengindahkan standar
dari agama-agama yang berbeda tentang metode melahirkan sebuah solusi atau hukum
terhadap suatu masalah.
Model penyelesaian masalah dengan mengambil solusi dari beberapa ajaran
agama untuk dijadikan satu keputusan merupakan bentuk sinkretisme atau
pencampurbauran ajaran agama. Terhadap suatu masalah yang muncul, diajukan solusi
dari beberapa agama, lalu diambil titik temu yang disepakati dari ajaran-ajaran agama
tersebut.
Islam sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan tentu tidak serta
merta dapat menerima konsepsi dialog demikian. Ketika yang didialogkan perkara
teknis yang tidak terkait dengan aspek kosep dan metode, maka tentu Islam
mengakomodasi dialog bahkan membuka lebar pintu dialog. Akan tetapi, jika materi
dialog bukan perkara teknis, tetapi menyangkut ajaran agama, maka Islam memiliki
cara tersendiri.
Islam tidak mentolerir adanya unsur ajaran dari selainnya untuk masuk menjadi
bagian darinya. Dengan kata lain, Islam menolak upaya pencampurbauran ajaran
agama. Allah Swt, menegaskan dalam al-Qur’an:
ولا تلبسوا الحق بالباطل وتكتموا الحق وأنتم تعلمون Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlahkamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui (TQS. al-Baqarah/2:42).
Dalam pemecahan suatu masalah, Islam menjadikan penggalian hukum
(instimbath) sebagai metode untuk menetapkan solusi hukum setiap masalah yang
dihadapi, tidak terkecuali hubungan antara pemeluk agama yang juga merupakan objek
pembahasan dalam Islam. Pelaksanaan istimbath ini dilakukan oleh ulama dengan
mengetahui secara detail persoalan yang muncul, baik dari segi bentuk, sifat dan
cakupan suatu masalah. Selanjutnya memahami nash yang terkait dengan masalah
dimaksud lalu menerapkannya secara tepat terhadap sebuah masalah. Di sinilah
lahirnya hukum terhadap masalah baru yang digali dari sumber ajaran Islam.
Musyawarah atau dialog dalam Islam hanya dibenarkan dalam perkara-perkara
yang terkait dengan teknis, cara, fasilitas dan sarana yang digunakan dalam pelaksanaan
solusi yang telah digali dari sumber-sumber Islam.
19
Dalam hal hubungan antara muslim dengan nonmuslim merupakan suatu
perkara yang telah diatur oleh hukum syara’ sehingga hubungan itu telah diatur di
dalamnya dan tidak ada peluang bagi umat Islam untuk menentukan bentuk hubungan
yang lain selain apa yang telah ditetapkan oleh hukum syara’. Perkara yang boleh
didialogkan bukanlah perkara hubungan itu sendiri, melainkan sarana atau wasilah apa
yang akan diambil untuk mewujudkan hukum syara’ terkait hubungan itu.
Tegasnya, Islam telah mengatur bentuk-bentuk dan tata cara menjalin hubungan
dengan orang yang berbeda agama. Aturan itu bukan diambil dari fakta atau realitas
kebutuhan hubungan yang ada di tengah masyarakat, bukan pula melalui rekomendasi
riset sosiologi dan antropologis, melainkan dari ajaran Islam sendiri yang berasal dari
sumber utamanya, yakni al-Qur’an dan Sunnah.
Untuk memudahkan pembahasan, maka hubungan muslim dengan nonmuslim
dapat dibedakan pembahasannya menjadi dua segi, yakni dari segi hubungan secara
individu yang dilakukan sebagai individu dalam masyarakat dan dari segi hubungan
sebagai sebuah entitas masyarakat Islam.
1. Hubungan Muslim dengan Nonmuslim secara Individu
Kenyataan bahwa terdapat banyak manusia yang berbeda-beda merupakan
fenomena yang tidak bisa dihindari. Keberagaman manusia di bumi ini sekaligus
merupakan hukum sosial yang tidak dapat diubah. Keberagaman atau pluralitas itu
ditinjau dari segi suku atau ras, bahasa, rumpun atau kebangsaan adalah perkara yang
telah menjadi sunnatullah.
Allah Swt. sendiri menciptakan manusia dengan beragam. Keragaman itu
terdapat dalam jenis, warna kulit, bentuk tubuh, rumpun, bahasa, dan karakteristik
lainnya, baik yang sudah diketahui oleh manusia maupun yang belum diketahui. Dalam
al-Qur’an disebutkan:
وقبائل لتعارفوا إن ن ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا یا أیھا الناس إنا خلقناكم م
علیم خبیر أكرمكم عند ا أتقاكم إن اHai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki danseorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-sukusupaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling muliadiantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
20
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (TQS. Al-Hujurat/49: 13).
Selain keberagaman dari segi biologis, fisiologis dan sosial, terdapat pula
keragaman dari segi ideologi, keyakinan atau agama. Dalam al-Qur’an, Allah Swt.
menegaskan bahwa perbedaan itu merupakan suatu yang hadir di tengah manusia.
Meskipun ada kemungkinan bisa diubah dan diseragamkan keseluruhannya, tetapi
upaya itu hanya mungkin dilakukan dengan pemaksaan. Dan Allah Swt. tidak
menghendaki manusia melakukannya. Artinya, penyeragaman keyakinan agama
dengan jalan paksaan dilarang. Termasuk menerima kebenaran Islam dengan cara
pemaksaan tidak dibenarkan. Dalam al-Qur’an, Allah Swt. memperingatkan manusia
akan hal ini sebagaimana dalam ayat berikut:
ولو شاء ربك لآمن من في الأرض كلھم جمیعا أفأنت تكره الناس حتى یكونوا مؤمنین Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di mukabumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya merekamenjadi orang-orang yang beriman semuanya (TQS. Yunus/10: 99).
Kedua ayat tersebut merupakan justifikasi teologis bagi umat Islam bahwa
keberadaan manusia dengan beragam latar belakang dan agama adalah sebuah
fenomena yang nature dan atas izin Allah Swt. Untuk itu, Islam diturunkan oleh Allah
Swt. dengan seperangkat aturan yang mengatur seluruh interaksi muslim dalam
kehidupannya yang beragam tersebut, termasuk interaksi dengan non muslim.
Dalam Islam, semua bentuk interaksi atau hubungan manusia telah diatur secara
keseluruhan, baik hubungan antara manusia dengan Pencipta, antara manusia dengan
manusia lainnya, termasuk antara manusia dengan dirinya sendiri. Hubungan manusia
dengan penciptanya tercakup dalam perkara iman (aqidah) dan ibadah (’ubudiyyah).
Hubungan manusia dengan manusia lain tercakup dalam perkara muamalah dan sanksi
(’uqubat). Dalam aspek muamalah inilah terdapat interaksi dalam masyarakat agar
individu bisa memenuhi kebutuhan mereka dari sesama manusia, seperti kebtuhan
ekonomi, kebutuhan akan pendidikan, kesehatan, hukum dan sanksi-sanksi terhadap
pelanggaran hukum, politik dan pemerintahan.8
8Arif B. Iskandar, Materi Dasar Islam, Islam Mulai dari Akar Hingga Daunnya (Cet. 4; Bogor:Al-Azhar Press, 2010), h. 9. Kelengkapan atau kesempurnaan Islam sebagai aturan hidup ditegaskanAllah dalam al-Qur’an: …Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
21
Dari sini diketahui bahwa Islam merupakan kumpulan aturan hidup yang
mencakup seluruh aspek interaksi manusia di dunia. Aturan hidup itu keseluruhannya
didasarkan dan dilahirkan dari akidah Islam. Dari akidah Islam ini kemudia terpancar
aturan-aturan (nizham) hidup secara keseluruhan. Inilah yang disebut sebagai sebagai
mabda’ (ideologi) yang terdiri dari konsep dan metode pelaksanaan konsep berupa
aturan-aturan yang harus digunakan dalam menjalani kehidupan.9
Hanya saja, ajaran Islam sebagai sistem hidup itu hanya bisa menjadi aturan
hidup, jika Islam dilaksanakan secara utuh dalam kehidupan nyata, baik secara
individu, masyarakat maupun negara.10 Inilah yang dikehendaki oleh Allah swt dalam
ayat berikut:
بعوا خطوات الشیطان إنھ لكم ع لم كآفة ولا تت بین یا أیھا الذین آمنوا ادخلوا في الس دو مHai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, danjanganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuhyang nyata bagimu (QS. al-Baqarah/2: 208).
Terkait hubungan antara pribadi muslim dengan nonmuslim, terdapat dalil yang
sangat tegas dalam hal ini. Secara umum, umat Islam diperintahkan untuk berbuat baik
dan berbuat adil kepada sesame manusia. Di antara ayat yang memerintahkan berbuat
baik adalah sebagai berikut:
یحب المحسنین وأنفقوا في سب ولا تلقوا بأیدیكم إلى التھلكة وأحسنوا إن ا یل اDan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamumenjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karenasesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik (TQS. Al-Baqarah/2: 195).
ولا تشركوا بھ شیئا وبالوالدین إحسانا وبذي القربى والیتامى والمساك ین والجار واعبدوا ا
لا یحب ذي القربى والجار احب بالجنب وابن السبیل وما ملكت أیمانكم إن ا الجنب والص
من كان مختالا فخورا
cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu… (TQS. al-Maidah/5:3).
9Taqiyuddin al-Nabhani, Nizām al-Islāmiyyah (Cet. 6; Bogor: Pustaka Fikrul Mustanir, 2001),h. 70.
10Hamka, Studi Islam (Cet. 1; Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 1982), h. 192-195.
22
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim,orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan temansejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukaiorang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri (TQS. al-Nisa’/4: 36).
Kedua ayat di atas (QS. Al-Baqarah/2: 195 dan QS. al-Nisa’/4: 36) adalah dalil
umum tentang kewajiban untuk berbuat baik. Sasaran atau objek kepada siapa harus
berbuat baik tidak disebutkan dalam ayat pertama di atas (QS. al-Baqarah/2: 195).
Sehingga dipahami bahwa berbuat baik itu tidak terdapat pengecualian sehingga berarti
diperintahkan kepada siapa saja, termasuk nonmuslim.
Ayat kedua (al-Nisa/4: 36) menentukan sasaran kepada siapa harus berbuat baik,
yaitu: kepada orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga, teman, ibnu sabil
dan hamba sahaya. Konteks perintah dalam ayat ini adalah keharusan berbuat baik
kepada orang-orang dekat (kerabat), baik dari segi hubungan keturunan maupun bukan
(hubungan dengan sebab pernikahan). Kategori orang-orang yang disebutkan tidak
membedakan dari segi latar belakang suku, bahasa dan agama. Sehingga siapa saja
yang termasuk dalam kategori yang disebutkan dalam ayat itu adalah orang yang harus
menjadi sasaran berbuat baik, termasuk dalam hal ini muslim maupun nonmuslim. Jadi,
seorang muslim wajib berbuat baik kepada kerabatnya yang nonmuslim dalam koridor
yang tidak melanggar ketentuan Islam.
Meskipun kedua ayat di atas sama-sama memerintahkan berbuat baik, tetapi
makna ayat yang kedua (QS. al-Nisa/4: 36) lebih khusus dari pada ayat pertama (QS.
al-Baqarah/2: 195). Sehingga dipahami bahwa memang mesti berbuat baik kepada
semua orang, tetapi ada yang harus diprioritaskan, yakni berbuat baik kepada orang-
orang yang disebutkan dalam ayat kedua (QS. al-Nisa/4: 36), yakni kerabat karena
kedekatan hubungan kekeluargaan dengan mereka.
Masih terdapat dalil dari al-Qur’an mengenai berbuat baik yang lebih khusus
dibandingkan kedua ayat sebelumnya. Kekhususan berbuat baik itu secara tegas
ditujukan kepada nonmuslim. Dalam al-Qur’an disebutkan:
وھم ن دیاركم أن تبر ین ولم یخرجوكم م عن الذین لم یقاتلوكم في الد وتقسطوا لا ینھاكم ا
یحب المقسطین إلیھم إن اAllah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
23
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (TQS. al-Mumtahanah/60: 8).
Ayat ini secara tegas menyatakan bahwa umat Islam dibolehkan menjalin
hubungan dengan pemeluk agama lain. Dalam ayat di atas tidak disebutkan kepada
pemeluk agama tertentu, sehingga mencakup nonmuslim mana saja. Asalkan terpenuhi
syarat bahwa mereka tidak tergolong yang memusuhi dan memerangi karena agama.
Jika mereka termasuk memusuhi dan memerangi kalum muslimin berarti ada
ketentuan lain berupa diperangi. Namun, konteks memerangi nonmuslim dalam islam
bukan untuk menghabisi atau memaksa mereka masuk Islam, tetapi melenyapkan
kezaliman mereka. Sehingga ketika memerangi nonmuslim pun diharuskan
melakukannya dengan baik seperti tidak berlebih-lebihan, tidak menyiksa, termasuk
dalam kategori ini adalah tidak mengganggu wanita, anak-anak dan orang-orang lemah
di antara mereka yang tidak turut memerangi kaum muslimin meskipun orang tua atau
suami mereka memerangi kaum muslimin.11
Bentuk hubungan itu adalah berbuat baik yang diungkapkan dengan kata
tabarru dan berbuat adil yang diuangkapkan dalam ayat di atas dengan ungkapan
tuqsithu.
Berbuat baik mengandung makna umum yang mencakup seluruh bentuk
perbuatan yang secara kemanusiaan dianggap baik, seperti menolong, meringankan
beban, memberikan harta dalam bentuk makanan atau pakaian atau benda-benda
kebutuhan lainnya, meminjamkan harta, atau bekerja sama secara bisnis dan
kekelargaan. Sedangkan berbuat adil mencakup seluruh perbuatan yang menghargai
sesama sesuai harkat dan martabat kemanusiaannya, menunaikan apa yang menjadi
haknya dan tidak menganiaya.
Untuk mengaplikasikan konsep berbuat baik dan adil kepada nonmuslim (orang
kafir)12 ini, perlu dicermati secara detail keadaan orang kafir yang menjadi objek
11Selengkapnya lihat Ibnu Katsir, Lubabut Tafsir min Ibni Katsir, pentahqiq Abdullah binMuhammad bn Abdurrahman bin Ishaq Alu al-Syaikh, diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar E.M, dkk.,Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 8 (Cet. 5; Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2008), h. 142.
12Jika disimpulkan pendapat para ulama tentang term kafir, menurut Harifuddin Cawidu dapatdibagi menjadi dua bagian, yakni kafir dalam pengertian keluar dari Islam dan kafir dalam pengertianingkar kepada nikmat dan menyalahi perintah Allah Swt., tetapi tidak keluar dari Islam. Lihat HarifuddinCawidu, Konsep Kufr dalam al-Qur’an, dalam Islah Gasmian, Khazanah Tafsir Indonesia, DariHermeneutika Hingga Ideologis (Cet. 1; Jakarta: Teraju, 2003), h. 301.
24
pembicaraan. Islam mengkategorikan nonmuslim menjadi dua kelompok besar, yakni
harbi13 dan non harbi.
Kafir harbi adalah orang kafir yang memerangi umat Islam. Setiap non muslim
yang statusnya memusuhi umat Islam, baik secara nyata terlibat dalam peperangan atau
memerangi umat Islam maupun dalam keadaan tidak sedang berperang atau tidak
memerangi umat Islam. Begitu juga apakah ia sebagai individu, kelompok maupun
sebagai kekuatan negara. Terhadap kafir harbi, maka sikap Islam sangat tegas yakni
tidak menjalin hubungan dalam bentuk apapun.14 Dalam al-Qur’an ditegaskan:
ن ین وأخرجوكم م عن الذین قاتلوكم في الد دیاركم وظاھروا على إخراجكم أن إنما ینھاكم ا
تولوھم ومن یتولھم فأولئك ھم الظالمون Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, danmembantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan merekasebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (TQS. al-Mumtahanan/60: 9).
Larangan menjadikan kawan atau teman dan berbuat baik kepada orang-orang
yang disebutkan dalam ayat ini bersifat tegas sehingga dimaknai haram. Qarinah15
(indikasi) yang menunjukkan ketegasan makna haram tersebut diketahui dari adanya
celaan16 dan ancaman yang disebutkan di ujung ayat, yakni ”Dan barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS.
al-Mumtahanan/60: 9). Maksud qarinah celaan dalam ayat ini adalah bawah Allah
memvonis siapa saja dari kaum muslimin yang menjadikan kawan atau mengambil
13Kata harbi ( حربي ) dalam bahasa Arab terambil dari akar kata haraba ( حرب ) yang artinyamerampas. Kata bentukan selanjutnya adalah hāraba ( حارب ) artinya memerangi. Dapat dilihatselengkapnya dalam Ahmad Warson Munawwar, Al-Munawwir, Kamus Arab Indonesia (Cet. 14;Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 248.
14http://hizbut-tahrir.or.id/2014/10/06/kebijakan-khilafah-terhadap-non-muslim/15Untuk mendapatkan batasan tentang ketentuan hukum syara’ mengenai perbuatan manusia
ditempuh dengan dua cara, yakni mencari dalil yang menentukan atau menyebutkan tuntutan untukmengerjakan atau meninggalkannya atau mencari qarinah baik dalam satu dalil maupun di dalil yang lainyang apabila digabungkan akan menjelaskan jenis tuntuutan perbuatan yang dituntut. Lihat selengkapnya‘Atha bin Khalil, Taisir alWushul ila alUshul, diterjemahkan oleh Yasin as-Siba’i, Ushul Fiqih, KajianUshul Fiqih Mudah dan Praktis (Cet. 4; Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2011), h. 17.
16Celaan adalah satu indikasi bahwa perbuat yang dicela itu adalah haram hukumnya. Lihatselengkapnya ‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqih, Kajian Ushul Fiqih Mudah dan Praktis, h. 25.
25
penolong dari kalangan orang-orang kafir –yang memusuhi umat Islam– sebagai orang
yang berbuat zalim.17
Berkawan atau menjadikan mereka sebagai penolong bisa dilakukan secara
perorangan, seperti seseorang yang berkawan dengan orang atau kelompok orang kafir
yang memusuhi umat Islam. Bisa juga dilakukan dalam bentuk kelompok atau negara,
dimana sekelompok umat Islam atau diwakili oleh pemimpin negara mereka yang
bersahabat atau meminta pertolongan dari kelompok atau negara kafir yang memerangi
umat Islam.
Keharaman yang disebutkan juga berlaku kepada siapa saja yang memenuhi
ketentuan yang menjadi illat18 ayat ini yakni karena mereka memerangi karena agama
atau mengusir dari kampung atau negeri atau bekerja sama dengan orang yang
mengusir, baik dalam bentuk bersama-sama, menyiapkan fasilitas, atau mendukung
mereka yang mengusir atau memusuhi.
Meskipun Islam melarang berbuat baik terhadap orang kafir yang memerangi
kaum muslimin secara tegas, tidak berarti bahwa umat Islam boleh melakukan
kekerasan terhadap mereka. Kekerasan hanya dilakukan terhadap mereka dalam
suasana perang. Itupun dilakukan dalam koridor yang tidak melanggar ketentuan
syariah. Ketika terjadi peperangan tidak dibenarkan membunuh kecuali dalam suasana
perang dan tidak dibenarkan membunuh atau menganniaya orang yang tidak ikut
dalam peperangan. Begitu juga tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, hamba
sahaya, orang sakit, orang tua jompo, pendeta dan pegawai. Islam juga mengharamkan
kekejaman sehingga tidak boleh membunuh binatang, merusak tanaman, mencemari
sumur, dan menghancurkan tempat tinggal. Dilarang juga menghabisi orang yang luka
dan tidak boleh mengejar orang yang lari, sebab perang dalam Islam ibarat pembedahan
dalam operasi, tidak boleh melampaui tempat yang sakit.19
17Sayyid Quthb, Fi Dzilal al-Qur’an, ditermahkan oleh As’ad Yasin, dkk., Fi Zilalil Qur’an, DiBawah Naungan al-Qur’an, jilid 11 (Cet. 2; Jakarta: Gema Insani, 2008), h. 240.
18‘Illat adalah perkara yang memunculkan hukum. Illat adalah sesuatu yang karenakeberadaannya menjadikan adanya hukum dan ketiadaannya menjadikan tidak adanya hukum. Uraianselengkanpnya dapat dilihat dalam ‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqih, Kajian Ushul Fiqih Mudah danPraktis, h. 113.
19Sayyid Sabiq, Fiqhu Sunnah, Penerjemah Nor Hasanuddin, dkk. (Jilid 4, Cet. 2; Jakarta: PenaPundi Aksara, 2007), h. 37.
26
Islam mengajarkan bahwa dalam kondisi bermusuhan atau peperangan pun
masih disisakan ruang untuk memperlakukan musuh dengan jiwa yang penuh kasih
serta membersihkan perbuatan dengan kejujuran dalam muamalah. Hal itu dilakukan
dengan harapan dan penantian, mudah-mudahan di suatu saat mereka merasakan
kebaikan Islam dan menjadi yakin bahwa kebaikan hanya itu hanya ada ketika
bergabung dengan Islam yang mulia dan tinggi.20
Hikmah ini mengajarkan umat Islam agar tidak pernah berputus asa menanti
kesadaran orang-orang yang memusuhi Islam hingga waktu itu tiba dimana orang-
orang kafir berbondong-bondong memeluk Islam yang akan memuliakan mereka. Allah
menyebutkan dalam ayat-Nya:
قدیر ودة وا نھم م أن یجعل بینكم وبین الذین عادیتم م حیم عسى ا غفور ر واMudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orangyang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan AllahMaha Pengampun lagi Maha Penyayang (TQS. al-Mumtahanan/60: 7).
Ini adalah kaedah yang bersifat tetap terkait hubungan kaum muslim dengan
nonmuslim yang berstatus sebagai kafir harbi. Ketentuan ini tidak boleh dilanggar oleh
orang Islam. Jika ada orang Islam, baik secara pribadi maupun kelompok menjalin
hubungan dengan kafir harbi, baik secara individu maupun kelompok atau negara,
maka Islam akan mengenakan sanksi dengan hukuman ta’zir21 kepada pelakuknya
karena telah melakukan perbuatan haram dan membahayakan umat Islam.
Adapun non harbi, maka mereka tidak boleh diganggu dan tidak boleh
diperangi. Non muslim yang termasuk kategori ini terdiri dari tiga kategori, yakni: kafir
mu’ahhad (orang kafir yang terikat perjanjian dengan Islam), kafir musta’min (orang
kafir yang mendapat jaminan keamanan dari Islam), dan kafir zimmi (orang kafir yang
tinggal dalam Darul Islam yang mendapat hak yang sama dengan muslim).22
20Sayyid Quthb, Fi Dzilal al-Qur’an, ditermahkan oleh As’ad Yasin, dkk., Fi Zilalil Qur’an, DiBawah Naungan al-Qur’an, jilid 11 (Cet. 2; Jakarta: Gema Insani, 2008), h. 240
21Ta’zir adalah sanksi yang bersifat edukatif, yakni hukuman yang diberikan kepada setiappelanggaran syariat atau yang melakukan maksiat yang di dalamnya tidak ada had dan kafarat. Bentukdan kadar sanksinya diserahkan kepada penguasa untuk menetapkannya. Selengkapnya dalamAbdurrahman al-Maliki dan Ahmad Da’ur, Nidzam al-‘Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat fi al-Islam,diterjemahkan oleh Syamsuddin Ramadhan, Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam (Cet. 4;Bogor Pustaka Thariqul Izzah, 2011), h. 219.
22Sebagian ulama membagi kafir menjadi: kafir harbi (al-muhâribîn), kafir yang memilikiperjanjian dengan kaum Muslimin (ahlu al-‘ahd) dan kafir ahlu dzimmah (adz-dzimmi). Ustadz Kholid
27
Kafir mu’ahhad adalah orang kafir atau nonmuslim yang melakukan perjanjian
damai dengan kaum muslimin. Terhadap mereka, Islam mewajibkan untuk memelihara
perjanjian terhadap mereka dalam bentuk tidak memusuhi, tidak mengganggu, dan
tetap berlaku baik kepada mereka semuanya.23
Terhadap kafir musta’min dan mu’ahhad mendapat jaminan keamanan, maka
kaum muslim tidak boleh mengganggu apapun yang dimiliki.24 Keharusan ini berlaku
sepanjang mereka tidak melanggar perjanjian.
Dalam hal muamalah, orang Islam dipersilakan bermuamalah secara baik
dengan nonmuslim sesuai dengan ketentuan Islam (QS. al-Mumtahanan/60: 8-9), di
antaranya: muslim boleh memakan sebelihan Ahlul Kitab dan menikahi wanita baik-
baiknya (QS. al-Maidah/5: 5), meski muslimah diharamkan dinikahi orang kafir (QS.
al-Mumtahanan/60: 10), dan berbisnis dalam berbagai produk dan jasa yang diboleh
oleh syariat Islam.25
Kafir dzimmi adalah non muslim yang tinggal dalam wilayah kekuasaan Islam.
Semula mereka adalah ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani), tetapi kemudian meluas
kepada setiap non muslim yang bersedia menjadi warga negara dengan kesiapan tunduk
kepada negara Islam. Kepada mereka diberikan jaminan dan perlindungan oleh umat
Islam dan tidak dibebankan selain kewajiban membayar jizyah.26
Ketentuan jizyah ini diwajibkan dalam Islam berdasarkan nash al-Qur’an:
ولا بالیوم الآخر ورسولھ ولا قاتلوا الذین لا یؤمنون با م ا مون ما حر ولا یحر
یدینون دین الحق من الذین أوتوا الكتاب حتى یعطوا الجزیة عن ید وھم صاغرون Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepadahari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah
Syamhudi, Apakah Semua Orang Kafir Sama, dalam http://almanhaj.or.id/content/2569/slash/0/apakah-semua-orang-kafir-sama/
23Sayyid Quthb, Fi Dzilal al-Qur’an, diterjemahkan oleh As’ad Yasin, dkk., Fi Zilalil Qur’an,Di Bawah Naungan al-Qur’an, jilid 11 (Cet. 2; Jakarta: Gema Insani, 2008), h. 240
24http://hizbut-tahrir.or.id/2014/10/06/kebijakan-khilafah-terhadap-non-muslim/25Rasulullah sendiri selama di Mekah dipercaya menyimpan harta kaum musyrikin,begitu juga
dalam perjalanan hijrah, Nabi mengupah Abdullah bin Uraiqith sebagai penunjuk jalan. Ia seorang Arabmusyrik dari Bani al-Dail bin Bakr, ibunya dari Bani Sahm bin Amr. Lihat Abu Muhammad AbdulMalik bin Hisyam al-Muafiri, al-Sirah al-Nabawiyah li Ibni Hisyam, diterjemahkan oleh Fadhli Bahri,Sirah Ibnu Hisyam, Jilid I (Cet. 1; Jakarta: Darul Falah, 2000), h. 439.
26Philip K. Hitti, The Histoey of the Arab, diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dan DediSlamet Riadi (Ed. Baru, Cet. 1; Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2014), h. 149.
28
dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaituorang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayarjizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (QS. al-Taubah/9: 29).
Diriwayatkan al-Khathib dari Ibn Mas’ud, bahwa Rasulullah saw. pernah
bersabda:
یا فأنا خصمھ ومن كنت خصمھ خصمتھ یوم القیامة من آذى ذم
Barangsiapa menyakiti dzimmi, maka aku berperkara dengannya, dan barangsiapaberperkara dengan aku, maka aku akan memperkarakannya pada Hari Kiamat (HRas-Suyuthi, al-Jami’ as-Shaghir).
Dari uraian tentang hubungan muslim dengan non muslim di atas, dapat
digarisbawahi, bahwa konsep hubungan antara muslim dengan nonmuslim sebagai
individu dalam Islam sangat jelas dan terbuka dalam hampir seluruh aspek kehidupan,
yakni:
a. Aspek Keluarga (silaturrahmi)
Silaturrahmi atau silaturrahim adalah menjalin hubungan dengan orang-orang
yang memiliki pertalian darah atau keturunan. Islam mewajibkan setiap muslim untuk
memelihara hubungan ini dan dilarang memutuskannya. Kewajiban memeliharan
hubungan rahim ini berlaku umum kepada siapa saja yang memiliki pertalian rahim,
tanpa memandang agama seseorang, tetapi semata-mata karena hubungan darah atau
keluarga.
Keharusan berbuat baik ini tidak gugur meskipun kondisi kerabat suka berbuat
buruk, atau bahkan jika mengajak untuk melakukan perbuatan buruk sekalipun.
Perintah untuk tetap berlaku baik dalam aspek kekeluargaan ini dalam konteks individu
dan keluarga, bukan sebagai entitas kaum muslimin. Begitu juga perlakukan buruk
keluarga adalah dalam konteks individu dengan keluarga atau kerabatnya, tidak ada
kaitannya dengan agama dan negara umat Islam.
Dalam al-Qur’an, Allah Swt. menegaskan:
وإن جاھداك على أن تشرك بي ما لیس لك بھ علم فلا تطعھما وصاحبھما في الدنیا معروفا
مرجعكم فأنبئكم بما كنتم تعملون واتبع سبیل من أناب إلي ثم إلي Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatuyang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
29
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orangyang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, makaKuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (TQS. Luqman/31: 15).
Ayat di atas mewajibkan anak untuk tetap berbuat baik kepada kedua orang
tuanya dalam kondisi bagaimanapun. Kewajiban anak berbuat baik itu tidak berubah
selama dalam konteksnya sebagai hubungan antara anak dan orangtua. Hanya saja anak
tidak boleh mengiyakan dan tidak pula boleh mengikuti keburukan orang tuanya.
Termasuk harus menolak mengiktui ajakan orang tuanya untuk melakukan keburukan
dan kemusyrikan.
Jika keluarga yang nonmuslim tersebut secara nyata memusuhi Islam dan umat
Islam, maka hubungan baik ini tidak boleh dilakukan. Fakta sejarah telah menunjukkan
bahwa Nabi Saw. selalu menjalin hubungan dan berbuat baik kepada pamannya (Abu
Thalib), karena ia tidak memusuhi Islam. Sementara Nabi Saw. tidak menjalin
hubungan baik dengan pamannya yang lain (Abu Jahal) karena ia selalu memusuhi
Islam dan kaum muslimin.
Terkait larangan menjalin hubungan dengan keluarga nonmuslim yang
memusuhi Islam, alam al-Qur’an Allah menetapkan dengan firman-Nya:
یؤمن ورسولھ ولو كانوا آباءھم أو لا تجد قوما والیوم الآخر یوادون من حاد ا ون با
نھ یمان وأیدھم بروح م ویدخلھم أبناءھم أو إخوانھم أو عشیرتھم أولئك كتب في قلوبھم الإ
أ جن عنھم ورضوا عنھ أولئك حزب ا لا ات تجري من تحتھا الأنھار خالدین فیھا رضي ا
ھم المفلحون إن حزب اKamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, salingberkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudaraataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkankeimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yangdatang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalirdi bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadapmereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Merekaitulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalahgolongan yang beruntung (TQS. al-Mujadilah/58: 22).
Di antara anjuran terkait bersilaturrahmi adalah mempelajari nasab atau garis
keturunan serta mencar-cari kerabat baik hubungan pertaliannya dekat maupun jauh,
baik muslim maupun nonmuslim. Bagi kerabat nonmuslim hanya disampaikan
30
kebenaran Islam, mengajak mereka kepada Islam tanpa boleh memaksa.27 Selain itu,
sangat dianjurkan agar bisa memberikan nasihat kepada kerabat untuk tetap pada jalan
kebaikan, beramar ma’ruf dan nahi mungkar kepada mereka.
b. Hubungan Bertetangga
Islam mewajibkan umatnya untuk memelihara hubungan baik dengan
tetangganya tanpa memandang agama apa yang dianut oleh tetangga. Hubungan
pertetanggaan tidak hanya yang dekat tetapi juga yang jauh dimana terjadi hubungan
dalam kehidupan sehari-hari. Allah Swt. menyebutkan kewajiban ini dalam al-Qur’an:
ولا تشركوا بھ شیئا وبالوالدین إحسانا وبذي القربى والیتامى والمساكین والجار واعبدوا ا
لا ی احب بالجنب وابن السبیل وما ملكت أیمانكم إن ا حب ذي القربى والجار الجنب والص
من كان مختالا فخورا Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim,orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan temansejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukaiorang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri (TQS. Al-Nisa/4: 36).
Dalam ayat ini secara berurut disebutkan perintah untuk berbuat baik kepada
kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, selanjutnya kepada
tetangga. Tetangga meliputi baik yang jauh maupun yang dekat dengan mendahulukan
mereka yang lebih dekat dengan rumah. Perintah berbuat baik kepada tetangga dalam
ayat ini tidak dibatasi, sehingga berlaku umum kepada siapa saja yang menjadi
tetangga, termasuk tetangga yang nonmuslim.
Dalam sebuah hadis Nabi Saw. yang populer juga disebutkan:
ان ـيئعن ابي شرح الخزا ه وسلم قال: من من ؤیـرضي الله عنه أن النبي صل الله علرم جاره... والیوم الاخرفال ا
Dari Abu Syuraih al-Khuza’i ra, bahwasanya Nabi saw bersabda: Barang siapaberiman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya...(HR. Muslim, juga diriwayatkan oleh al-Bukhari Hadis Nomor 6019).28
27Abdul ‘Aziz bin Fathi al-Sayyid Nada, Mausu’at al-Adab al-Islamiyyah, diterjemahkan olehAbu Ihsan al-Atsari, Ensiklopedi Adab Islam Menurut al-Qur’an dan al-Sunnah (Cet. 2; Jakarta: PustakaImam Syafi’i, 2009), h. 113.
31
Terkait dengan ayat dan hadis ini, maka tetangga dapat dibagi menjadi tiga,
yakni: pertama, tetangga muslim yang memiliki hubungan kekerabatan, mereka
memiliki tiga hak, yakni: hak sebagai kerabat, hak sebagai saudara sesama muslim dan
hak sebagai tetangga. Kedua, tetangga muslim yang tidak memiliki hubungan
kekerabatan yang memiliki dua hak, yakni: hak sebagai saudara sesama muslim dan
hak sebagai tetangga. Ketiga, tetangga yang bukan muslim mereka memiliki satu hak,
yakni hak sebagai tetangga. Adapun jika tetangga nonmuslim itu merupakan kerabat,
maka mereka memiliki dua hak, yakni sebagai tetangga dan sebagai kerabat.
c. Pernikahan
secara umum tidak dibenarkan terjadinya hubungan pernikahan antara muslim
dengan nonmuslim, kecuali kepada pihak-pihak yang telah dibolehkan oleh syara’.
Terkait pernikahan dengan pemeluk agama lain, umat Islam dibolehkan menikah
kepada nonmuslim dengan ketentuan: pertama, laki-laki muslim boleh menikahi wanita
ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani) yang menjaga kehormatan mereka.29 Ketentuan ini
sesuai firman Allah dalam al-Qur’an berikut:
تاب حل لكم وطعامكم حل لھم والمحصنات الیوم أحل لكم الطیبات وطعام الذین أوتوا الك
صنین من المؤمنات والمحصنات من الذین أوتوا الكتاب من قبلكم إذا آتیتموھن أجورھن مح
فر بالإیمان فقد حبط عملھ وھو في الآخرة من غیر مسافحین ولا متخذي أخدان ومن یك
الخاسرین Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagimereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antarawanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayarmas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzinadan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudahberiman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan iadi hari kiamat termasuk orang-orang merugi (TQS. al-Maidah/5: 5).
28Al-Hafidz ‘Abdul ‘Azhim bin ‘Abdul Qawi Zakiyuddin al-Mundziri, Muktashar ShahihMuslim, diterjemahkan oleh Achamd Zaidun, Ringkasan Shahih Muslim (Cet. 2; Jakarta: Pustaka Amani,2003), h. 23-24.
29Sebagian ulama memandang tidak boleh laki-laki muslim menikah dengan wanita ahl kitabdengan alasan mereka tergolong musyrik, sehingga berlaku ayat yang melarang meikah dengan musyrik.Lihat Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum Islam (Ed. 2, Cet. 8; Jakarta: HajiMasagung, 1994), h. 5.
32
Kedua, umat Islam tidak boleh menikahi wanita nonmuslim selain ahl al-kitab
(Yahudi Nasrani) apapun agamanya, termasuk yang tidak beragama. Begitu pula
sebaliknya, wanita tidak boleh dinikahi oleh laki-laki nonmuslim apapun agamanya,
lebih-lebih jika tidak beragama. Dalam al-Qur’an disebutkan ketentuan ini sebagai
berikut:
شركة ولو أعجبتكم ولا ت ن م ؤمنة خیر م نكحوا ولا تنكحوا المشركات حتى یؤمن ولأمة م
ؤمن خیر شرك ولو أعجبكم أولـئك یدعون إلى النار المشركین حتى یؤمنوا ولعبد م ن م م
یدعو إلى الجنة والمغفرة بإذنھ ویبین آیاتھ للناس لعلھم یتذكرون واDan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik,walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orangmusyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnyabudak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunandengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran (TQS. al-Baqarah/2: 221).
Ketiga, wanita muslimah tidak boleh dinikahi oleh laki-laki nonmuslim secara
mutlak. Ketentuan ini ditetapkan berdasarkan ayat al-Qur’an berikut:
أعلم بإیمانھن فإن یا أیھا الذین آمنوا إذا جاءكم المؤمنات مھاجرات فامتحنوھن ا
ا علمتموھن مؤمنات فلا ترجعوھن إلى الكفار لا ھن حل لھم ولا ھم یحلون لھن وآ توھم م
ورھن ولا تمسكوا بعصم الكوافر واسألوا أنفقوا ولا جناح علیكم أن تنكحوھن إذا آتیتموھن أج
علیم حكیم یحكم بینكم وا ما أنفقتم ولیسألوا ما أنفقوا ذلكم حكم اHai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allahlebih mengetahui tentang keimanan mereka. Maka jika kamu telah mengetahuibahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan merekakepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Danberikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dantiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada merekamaharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) denganperempuan-perempuan kafir, dan hendaklah mereka meminta mahar yang telahmereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu danAllah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (TQS. al-Mumtahanah/60: 10).
33
Dari ketentuan nash di atas, diketahui bahwa dalam Islam keboleh menikah
dengan nonmuslim hanya berlaku dalam satu keadaan, yakni laki-laki muslim boleh
menikahi wanita ahl kitab. Itupun disebutkan dengan ketentuan, bahwa wanita-wanita
ahl kitab tersebut menjaga kehormatan, bukan pelacur.
Selain itu, laki-laki muslim yang menikahi mereka di samping wajib memenuhi
hak-hak wanita yang dinikahi yakni membayar mas kawin, juga tidak boleh dengan
maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Pernikahan itu harus
benar-benar pernikahan yang semestinya dengan kewajiban suami mempergauli
istrinya, termasuk kewajiban menunjuki istrinya kepada jalan kebaikan Islam.
d. Muamalah secara umum
Muamalah diartikan sebagai segala bentuk hubungan antara sesama manusia.
Muamalah dapat dikelompokkan menjadi muamalah adabiyah dan muamalah
maddiyah. Muamalah adabiyah meliputi segala bentuk hubungan dalam pergaulan,
komunikasi dan interaksi, kerja sama sosial, tolong menolong dan saling meringankan
beban, saling menghormati dan menghargai sebagai sesama manusia (yang bukan pada
wilayah aqidah dan ibadah atau aspek lain yang diatur oleh Islam). Muamalah
maddiyah meliputi seluruh bentuk hubungan yang bersifat ekonomi yang berbasis pada
kebendaan, mencakup jual beli, upah mengupah, gadai, pinjam memimjam, sewa
menyewa dan sebagainya.30
وھم ن دیاركم أن تبر ین ولم یخرجوكم م عن الذین لم یقاتلوكم في الد وتقسطوا لا ینھاكم ا
یحب المقسطین إلیھم إن اAllah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu darinegerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (TQS.Al-Mumtahanah/60: 8).
Ibnu Abbas menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenan dengan kabilah
Khuza’ah. Mereka mengadakan perjanjian damai dengan Rasulullah Saw., bahwa
mereka tidak akan memerangi dan tidak akan membantu siapa pun untuk memerangi
30Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Al-Islam, jilid 2 (Cet.1, Ed. 2; Semarang: PTPustaka Rizki Putra, 1998), h. 192.
34
atau merugikan Nabi Saw. dan kaum muslimin.31 Juga diriwayatkan bahwa Asma’ binti
Abu Bakar menghadap kepada Nabi saw. karena ibunya yang masih kafir datang
menemuinya pada saat perjanjian Hudaibiyah. Nabi mengizinkannya untuk menerima
dan berbuat baik kepada ibunya.32
Islam juga memerintahkan untuk berbuat adil kepada sesama manusia tanpa
memandang latar belakang keagamaan, bahkan kepada orang yang dibenci sekalipun,
tetap harus berbuat adil. Allah Swt. menjelaskan dalam al-Qur’an berikut:
شھداء بالقسط ولا یجرمنكم شنآن قوم على ألا تعدل یا أیھا امین وا الذین آمنوا كونوا قو
خبیر بما تعملون إن ا اعدلوا ھو أقرب للتقوى واتقوا اHai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalumenegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlahsekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlakutidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Danbertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamukerjakan (TQS. al-Maidah/5: 8).
Bahkan terdapat ayat lain yang memerintahkan umat Islam untuk membalas
perbuatan baik yang diterima dengan balasan kebaikan yang lebih dari yang diberikan
oleh orang lain, minimal dengan kebaikan yang serupa. Allah berfirman dalam surah al-
Nisa’ ayat 86:
كان على كل شيء حسیبا وإذا حییتم بتحیة فحیوا بأحسن منھا أو ردوھا إن اApabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslahpenghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslahpenghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkansegala sesuatu (TQS. al-Nisa’/4: 86).
Makna memberikan penghormatan dalam ayat ini bisa diperluas maknanya
dengan penghormatan kepada siapa saja yang memberikan penghormatan. Kepada
nonmuslim, tentu penghormatan diberikan sesuai koridor yang dibenarkan oleh syariat.
Di antara ketentuan itu adalah menghormati nonmuslim sebagai manusia, bukan
keyakinannya. Tidak boleh mengucapkan salam kepada nonmuslim dan tidak pula
31Ar-Razi, al-Tafsir al-Kabir dalam Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatu al-Tafasir,Jilid 5, Penerjemah KH. Yasin (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), h. 317.
32Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni mengatakan bahwa riwayat ini diriwayatkan olehBukhari dan Ahmad. Lihat Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatu al-Tafasir Jilid 5, PenerjemahKH. Yasin (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), h. 317.
35
membalas jika diberi salam, tetapi cukup dengan isyarat atau ungkapan lain yang bukan
bermakna salam.
Dari paparan di atas, dapat ditekankan bahwa Islam sebagai agama universal
telah memerintahkan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada semua manusia.
Makna berbuat baik dalam ayat-ayat yang telah dikemukakan mencakup semua aspek
kehidupan, kecuali yang ditetapkan ketidakbolehannya oleh Islam, yang secara umum
pada aspek akidah dan ibadah. Pada aspek ini, Islam menatapkan prinsip ayat berikut:
لكم دینكم ولي دین Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku (TQS. Al-Kafirun/109: 6).
Ayat inilah yang dewasa ini dimaknai sebagai toleransi. Toleransi yang
diajarkan dalam adalah pengakuan atau keyakinan bahwa Islam sebagai satu-satunya
kebenaran yang terbukti secara normatif maupun rasional yang diperuntukkan bagi
semua manusia. Agama selain Islam secara otomatis tidak benar, sehingga diwajibkan
untuk mengajak mereka kepada Islam. Akan tetapi, jika mereka menolak ajakan itu,
maka hubungan umat Islam kepada mereka tercermin dalam suruhan untuk mengatakan
bagimu agamamu, dan bagiku agamaku. Artinya, umat Islam tidak akan mencampuri
agama mereka, merekapun tidak boleh mencampuri agama umat Islam.
2. Hubungan Muslim dengan Nonmuslim sebagai Sebuah Masyarakat
Islam memandang semua manusia sama, yakni sebagai hamba Allah Swt.
Tuhan menciptakan manusia dengan derajat yang sama, tidak ada yang lebih dibanding
yang lain. Dalam Islam, tak seorang pun yang dikecualikan. Semua manusia
bertanggung jawab atas perbuatannya, bukan bertanggung jawab atas perbuatan orang
lain. Semua orang mendapat peluang yang sama untuk mendekatkan diri kepada
Penciptanya tanpa perlu melalui perantara. Inilah sifat egalitas dan universalitas Islam.
Karena itu, semua manusia harus mendapatkan perlakuan yang sama sebagai manusia
dan hanya tunduk kepada aturan buatan penciptanya saja.
Untuk alasan inilah, Islam mengajak semua manusia untuk memasuki agama ini
agar mereka mendapatkan kebebasan dan persamaan sejati dalam hidupnya. Dalam al-
Qur’an disebutkan. Seandainya mereka menolak ajakan memeluk Islam, mereka tidak
dipaksa. Islam tidak memaksa non-muslim masuk Islam. Bahkan mereka bebas
36
menjalankan aqidah dan ibadah sesuai agaman tanpa boleh dicampuri, termasuk tempat
ibadah mereka dijamin keamanannya.33 Kaedah ini berlaku kepada semua non muslim.
Akan tetapi, Islam mengupayakan terwujudnya masyarakat universal34 yang
mencakup seluruh manusia, sehingga mereka yang tidak bersedia memeluk Islam masih
diseru untuk menjadi anggota masyarakat Islam agar mereka merasakan keadilan dalam
Islam, dan agar mereka mendapatkan perlakukan dan hak yang sama dengan kaum
Muslim. Harta dan darah mereka terjaga sebagaimana darah dan harta kaum Muslim.
Inilah pondasi kehidupan yang dipancangkan oleh Islam terhadap masyarakat yang
beragam.
Model kehidupan universal tersebut telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad
Saw. di Madinah. Di Madinah, Nabi menghimpun manusia dalam sebuah masyarakat
Islam yang ia sendiri sebagai pemimpinnya. Asas-asas pembentukan masyarakat
diambil keseluruhannya dari Islam sementara masyarakatnya sendiri terdiri dari empat
kelompok pemeluk agama, yakni: pertama, kaum muslimin dari kalangan Muhajirin
(orang Mekkah yang berhijrah) dan Anshar (penduduk Madinah yang memeluk Islam),
kedua, kaum Yahudi35 dari kalangan penduduk Madinah, ketiga, kaum musyrik Arab
yang masih menyembah berhala, dan keempat, penduduk yang beragama Kristen dalam
jumlah minoritas.36
33Syaikh al-‘Allamah Muihammad bin Abdurrahman al-Dimasqy, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilafal-Aimmah, diterjemahkan oleh Abdullah Zaki al-Kaf, Fiqih Empat Mazhab (Cet. 3; Bandung: Hasyimi,2010), h. 507.
34Masyarakat universal adalah: pertama, masyarakat yang dihimpun oleh negara beradasarkancita-cita mulia yang menhormati manusia sesuai peran kosmisnya. Kedua, masyarakat yang dipandangberdasarkan kepercayaan agamanya yang berdiri di bawah Tuhan yang sama. Ketiga, masyarakat yangapabila diperlukan komunikasi antara pemeluk agama harus dilakukan tanpa tirai dan sensor, agarmasing-masing mengetahui kebenaran berdasarkan akal pikiran. Keempat, apabila diakui masyarakatberdasarkan keyakinan agama, maka tidak boleh ada pemecahan dunia berdasarkan kebangsaan untuksaling berlomba. Selengapnya lihat Ismail Raji al-Faruqi (ed.), Trialogue of the Abrahmic Faith,diterjemahkan oleh Joko sulistyo Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Tiga Agama Besar, Yahudi-Kristen-Islam (Cet. 1; Surabaya:Pustaka Progresif, 1994), h. 180-181.
35Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, al-Rahiq al-Makhtum, Bahtsu fi Sirat al-Nabawiyah‘ala Shahibiha Afdhal al-Shalat wa al-Salam, diterjemahkan oleh Hanif yahya, et.al., Perjalanan HidupRasul yang Agung Muhammad Saw., Dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir (Ed. Revisi; Jakarta:Darussalam, 2001), h. 255.
36Dari pengkajian terhadap berbagai literatur, J. Suyuthi menyimpulkan bahwa pendudukanMadinah di awal hijrahnya Nabi Saw. terdiri dari golongan, yakni: muslim (Arab Madinah/anshar danArab Mekah/muhajiri), orang arab pagan (penyembah berhala), orang munafiq, Yahudi (suku bangsaYahudi dan Arab yang beragama Yahudi), dan Kristen dalam jumlah minoritas. Lihat J. SuyuthiPulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan al-Qur’an(Cet. 2; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), h. 57.
37
Keempat golongan keyakinan yang ada di Madinah ini semuanya dihimpun
menjadi warga negara yang tunduk kepada Nabi Saw sebagai pemimpinnya dengan
Islam sebagai konstitusi negara. Dengan demikian, Islam tidak pernah memisahkan
antara urusan agama dengan urusan negara. Negara justru merupakan alat untuk
mengaplikasikan agama.37
Ketundukan nonmuslim kepada Islam bukan sebagai keyakinan, melainkan
sebagai konstitusi negara yang memang setiap warga negara harus tunduk pada
konstitusi.
Oleh karena itu, Negara menurut Islam akan memperlakukan umat non muslim
dengan perlakuan sebagai berikut:
a. Negara menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya aturan. Namun, Islam
memberikan kebebasan kepada nonmuslim untuk melaksanakan keyakinan dan
ibadahnya sesuai ajaran agama mereka tanpa boleh diganggu. Termasuk dalam
kategori ini adalah ritual ibadah, pakaian khas keagamaan, pernikahan, kematian,
dan makanan.
b. Aturan Islam terkait muamalah secara umum diberlakukan kepada semua warga
negara. Aturan itu mencakup semua urusan publik, meliputi: bidang ekonomi,
kesehatan, pendidikan, politik dan penerapan sanksi atau hukum.38 Penerapan sistem
hukum ini berlaku kepada semua warga negara karena ia menjadi aturan negara
kepada rakyatnya. Di negara manapun mereka hidup tetap diharuskan untuk
mengikuti aturan negara tempatnya berada. Selain itu, maksud penerapan system
Islam ini agar nonmuslim merasakan kebaikan hidup dalam system Islam sehingga
mereka dengan sukarela memeluk Islam.
c. Semua warga negara termasuk nonmuslim berhak turut dalam mengontrol perjalanan
negara dan mengadukan pelayanan pemerintahan (syakwa) yang buruk terhadap
mereka, termasuk kezaliman penguasa terhadap mereka.
37Terdapat tiga kategori dari sudut pandang hubungan agama dengan negara, yakni:integralistik, simbiotik, dan pluralistik. Selengkapnya dalam Nur Ahmad, “Pesan Dakwah dalammenyelesaikan Konflik Pembangunan Rumah Ibadah, Kasus Pembangunan Rumah Ibadah antara Islamdan Kristen di Desa Payaman”, Fikrah (Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013), h. 348.
38Yasin bin Ali, Daulta al-Khilafah wa Maa Yusamma bi al-Aqalliyat, diterjemahkan oleh AbuFuad, Negara Khilafah dan Kaum Minoritas (Cet. 1; Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2015), h. 77.
38
d. Warga negara nonmuslim tidak diwajibkan untuk ikut berjihad, tetapi mereka boleh
turut berjihad.39 Tidak diwajibkannya jihad kepada nonmuslim karena jihad
merupakan sebuah ibadah dalam Islam. Sementara kebolehan mereka terlibat di
dalam pasukan jihad karena kedudukan mereka sebagai warga negara.
e. Warga negara nonmuslim dikenai kewajiban membayar jizyah yang secara umum
hanya dikenakan atas laki-laki yang telah balig dan mampu secara ekonomi. Jizyah
tidak diambil dari wanita, anak-anak, orang yang sakit secara permanen seprti tua
renta, orang buta, orang gila, dan pendeta.40 Jizyah juga tidak diambil dari mereka
yang berstatus budak sebab mereka pada dasarnya tidak memiliki hak kepemilikan
harta.41 Jizyah merupakan satu-satunya kewajiban harta atas nonmuslim yang
menjadi warga negara, sebagaimana warga muslim diwajibkan membayar zakat
yang dipungut oleh negara. Dalam kondisi sangat mendesak dimana terjadi
kekosongan kas negara, maka dharibah (semacam pajak yang dipungut sekali waktu
saja, tidak terus menerus) dikenakan kepada warga muslim tidak kepada warga
nonmuslim.
Selain ketentuan di atas, terdapat hal lain yang penting terkait hubungan muslim
dengan nonmuslim sebagai suatu entitas masyarakat, yakni kepemimpinan yang tidak
boleh diserahkan kepada nonmuslim. Artinya, masyarakat muslim tetap
mengakomodasi semua pemeluk agama untuk hidup berdampingan sebagai sebuah
masyarakat, tetapi kepemimpinan mesti berada di tangan kaum muslimin. Dalam al-
Qur’an ditegaskan ketentuannya sebagai berikut:
ن الذین أوتوا ا م خذوا الذین اتخذوا دینكم ھزوا ولعبا ن قبلكم لكتاب م یا أیھا الذین آمنوا لا تت
ؤمنین إن كنتم م والكفار أولیاء واتقوا اHai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu,orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) diantara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir
39Muhammad Husain Abdullah, Dirasaat fi al-Fikr al-Islamiy, diterjemahkan oleh Zamroni,Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam (Cet. 5; Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2011), h. 263-264.
40Syaikh al-‘Allamah Muihammad bin Abdurrahman al-Dimasqy, Fiqih Empat Mazhab…, h.503.
41Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Jilid 8 Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 61.
39
(orang-orang yang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betulorang-orang yang beriman (TQS. al-Maidah/5: 57).
Di ayat lain juga disebutkan:
علیكم یا أیھا الذین آمنوا لا خذوا الكافرین أولیاء من دون المؤمنین أتریدون أن تجعلوا تت
بینا سلطانا مHai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafirmenjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Inginkah kamumengadakan alasan yang nyata bagi Allah untuk menyiksamu (TQS. al-Nisa’/4:144).
Orang-orang yang tidak boleh dijadikan pemimpin dalam ayat di atas adalah
orang-orang nonmuslim, baik dari kalangan ahl kitab maupun orang musyrik
(nonmuslim selain ahl kitab). Ketidakbolehan nonmuslim sebagai pemimpin atas umat
Islam dalam konteks ayat di atas adalah pemimpin dalam pengertian sebagai penguasa,
baik kepala negara maupun kepala daerah. Adapun pemimpin administratif yang bukan
sebagai penguasa, nonmuslim memiliki kesempatan yang sama dengan muslim yang
dapat direkrut berdasarkan spesifikasi atau keahlian yang dituntut oleh posisi
kepemimipinan terkait.
3. Keberadaan Rumah Ibadah Nonmuslim di Tengah Komunitas Muslim
Setiap umat beragama memiliki tata cara beribadah tertentu yang dilaksanakan
menurut tuntutan agamanya. Pelaksanaan ibadah agama-agama tersebut adakalanya
dapat dilaksanakan di rumah masing-masing, tetapi ada juga ragam ibadah yang
melibatkan banyak orang sehingga tidak dapat dilaksanakan di rumah sehingga
memerlukan tempat ibadah khusus yang disebut rumah ibadah. Atau memang ada
karakteristik ibadah tertentu yang mengharuskan dilaksanakan di rumah ibadah.
Misalnya, shalat juma’at bagi kaum muslimin harus dilaksanakan di masjid dan tidak
boleh di rumah penduduk. Maka keberadaan masjid, baik masjid umum maupun masjid
negara42 bagi kaum muslimin merupakan keharusan di suatu daerah.
42Dalam Islam, masjid dibedakan menjadi dua macam, yakni masjid umum yang dibangun olehmasyarakat atas inisiatif mereka atau oleh orang-orang kaya di antara mereka dan masjid negara yangdibangun oleh negara. Lihat selengkapnya Imam al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyah fi al-Wilayah al-Diniyyah, diterjemahkan oleh Fadhli Bahri, Hukum-hukum Penyelenggaraan Negara dalam Islam (Cet.4; Bekasi: Darul Falah, 2012), h. 178-182.
40
Begitu juga dalam agama Kristen, terdapat banyak upacara agama yang
mengharuskan dilaksanakan di gereja. Karena itu, rumah ibadah bagi setiap agama
merupakan bagian dari ajaran agama itu, sekaligus menjadi simbol keberadaan agama
di suatu tempat tertentu. Itulah sebabnya mengapa keberadaan rumah ibadah menjadi
suatu yang niscaya bagi umat beragama.
Keberadaan rumah ibadah di kalangan satu umat beragama yang sama tentu
bukan menjadi masalah. Akan tetapi, keberadaan rumah ibadah di suatu tempat dimana
terdapat umat agama lain biasanya menjadi masalah serius bagi umat agama berbeda.
Misalnya, pendirian gereja di tengah komunitas Kristen yang di sekitarnya terdapat
umat Islam atau sebaliknya pendirian masjid di tengah kaum muslimin yang di
sekitarnya terdapat umat kristiani. Keduanya bisa menjadi masalah bagi umat Islam
sekaligus menjadi masalah bagi umat Kristen.
Ketika umat Islam mayoritas di daerah itu dan didirikan gereja, maka menjadi
bisa masalah bagi Kristen karena terkait dengan respon mayoritas warga yang
beragama Islam. Sebaliknya jika Kristen adalah mayoritas di daerah itu lalu didirikan
masjid, maka bisa menjadi masalah bagi umat Islam. Begitu juga dengan rumah ibadah
agama lain.
Untuk itu, diperlukan sebuah aturan yang dapat dijadikan acuan dalam masalah
pendirian rumah ibadah agar bisa terpeliharan kerukunan dan aktivitas ibadah di rumah
ibadah masing-masing pemeluk agama. Lebih dari itu, aturan tersebut dapat dijadikan
rujukan ketika terjadinya gesekan yang mengarah ke konflik.
Salah satu produk hukum yang berisi pedoman tentang pendirian rumah ibadat
di Indonesia ialah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pembedayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat. Dalam aturan ini disebut
beberapa ketentuan pendirian rumah ibadah, yakni:
1. Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh
berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang
bersangkutan di wilayah kelurahan/desa (Pasal 13 ayat 1).
2. Pendirian rumah ibadat dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat
beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi
41
peraturan perundang-undangan (Pasal 13 ayat 2).
3. Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan
teknis bangunan gedung (Pasal 14 ayat 1).
4. Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: daftar nama
dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan
puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat, adanya dukungan masyarakat
setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala
desa, dan adanya rekomendasi tertulis dari Kemeterian Agama Kabupaten dan
FKUB Kabupaten/Kota (Pasal 14 ayat 2).43
Meskipun terdapat aturan yang dikeluarkan pemerintah sebagaimana dalam
Peraturan Bersama tersebut, tetapi di lapangan tidak semua bisa berjalan sesuai
ketentuan tersebut. Terdapat banyak celah untuk dimasuki argumentasi oleh pihak-
pihak yang merasa tidak puas dengan ketentuan itu atau merasa bahwa pihak yang
mendirikan rumah ibadah itu tidak memenuhi ketentuan itu.
Hal ini tentu wajar, karena masing-masing pemeluk agama sangat
membutuhkan keberadaan rumah ibadah mereka untuk aktivitas kegamaan berapapun
jumlah mereka. Karena itu, jika diserahkan aturan itu pada masing-masing pemeluk
agama untuk mengatur tata cara pendirian rumah ibadah. Karena itu, negara perlu
mengambilalih pengaturan pendirian rumah ibadah.
Masalahnya, dari manakah negara mengambil aturan untuk mengatur pendirian
rumah ibadah? Inilah yang perlu didudukkan perkaranya secara tepat. Negara
hendaknya mengambil aturan ini bukan dari pemeluk agama, sebab sangat berpeluang
akan terjadi tarik ulur kepentingan bagaimanapun usaha mereka untuk bersifat netral.
Karena itu, negara harus mengambilnya dari Pencipta, yaitu Allah Swt.
Dalam Islam, aturan tentang keberadaan rumah ibadah agama lain disebutkan
dalam al-Qur’an:
الناس بعضھم ببعض الذین أخرجوا ولولا دفع ا من دیارھم بغیر حق إلا أن یقولوا ربنا ا
من ین كثیرا ولینصرن ا مت صوامع وبیع وصلوات ومساجد یذكر فیھا اسم ا ن صره إ لھد
لقوي عزیز ا
43Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam PemeliharaanKerukunan Umat Beragama, Pembedayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian RumahIbadat.
42
(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasanyang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dansekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagianyang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebutnama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa (TQS. al-Hajj/22: 40).
Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya (QS. al-Hajj/22: 39)
tentang izin berperang kepada umat Islam. Ayat ini menegaskan tentang larangan
mengganggu rumah ibadah nonmuslim meskipun dalam suasana peperangan dengan
mereka. Adapun ketika pihak nonmuslim yang diperangi itu telah menyatakan
ketundukan kepada kepemimpinan kaum muslimin, rumah ibadah mereka tetap tidak
boleh diganggu.
Selanjutnya, mengenai keberadaan rumah ibadah non muslim menurut
pandangan Islam dapat dibagi menjadi dua, yakni: rumah ibadah non muslim di jazirah
Arab dan di negeri muslim lainnya.44
a. Rumah ibadah non muslim di jazirah Arab
Jazirah Arab adalah sebutan untuk wilayah atau semenanjung besar yang berada
di Asia Barat Daya pada persimpangan benua Afrika dan Asia. Batas jazirah Arab
adalah sebelah barat daya terdapat Laut Merah dan Teluk ‘Aqabah, di sebelah tenggara
Laut Arab, di timur laut Teluk Oman dan Teluk Persia. Sekarang, dimana wilayah itu
sudah terpecah secara politik menjadi beberapa negara, maka yang tergolong jazirah
Arab meliputi Arab Saudi, Oman, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan
Yaman.45
Di wilayah ini mendapat perlakuan khusus dalam Islam. Islam melarang
mendirikan rumah ibadah selain masjid di wilayah ini.46 Dalam hal ini ditemukan
riwayat yang berkaitan, yakni:
44Syaikh Ismail bin Muhammad al-Anshari, “Hukm Bina' al-Kana'is wa al-Ma'abid as-Syirkiy-yah fi Bilad al-Muslimin”, diulas kembali oleh Hafiz Abdurrahman, “Mendirikan Tempat Ibadah nonMuslim di Negeri Islam”, Tabloid Media Umat (Ed. Januari 2011), h.
45Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Jazirah_Arab, diakses 28 Maret 2016.46Hafiz Abdurrahman, “Mendirikan Tempat Ibadah Non Muslim di Negeri Islam”, Tabloid
Media Umat (Ed. Januari 2011). Lihat http://mediaumat.com/siyasah-syariyyah/2182-44-mendirikan-tempat-ibadah-non-muslim-di-negeri-islam.html. Diakses 20 April 2016.
43
لايجتمع ديـنان فى جزيـرة العرب Tidak boleh ada dua agama bergabung di jazirah Arab (HR.).47
Dari riwayat ini, maka ulama sepakat bahwa tidak boleh mendirikan rumah
ibadah agama lain selain masjid di wilayah jazirah Arab. Ketentuan dalam riwayat ini
diperkuat dengan adanya ijma’ shahabat dan ijma’ para ulama kaum muslimin
mengenai masalah ini.48 Ketentuan ini tetap berlaku baik pada saat adanya
pemerintahan Islam maupun ketika pemerintahan Islam tidak ada seperti saat ini.
Ketika pemerintahan Islam masih tegak, ketentuan hukum syariah ini tentu
sangat mudah untuk dilaksanakan. Namun, ketika pemerintah Islam tidak ada lagi
seperti dewasa ini, maka ketentuan ini pun menjadi hal yang sangat sulit untuk
dilaksanakan. Penyebabnya, karena masing-masing penguasa negara merasa memiliki
hak untuk menentukan aturan sendiri bagi negaranya. Selain itu, wacana global tentang
pluralisme agama terus digalakkan oleh dunia barat untuk menghantam negeri-negeri
muslim. Bagi negara yang masih ketat mempertahankan ketentuan ini, akan dilabeli
negatif sebagai mendukung fundamentalisme atau radikalisme.
b. Rumah ibadah non muslim di negeri muslim lainnya
Negeri muslim selain jazirah Arab dapat dikategorikan menjadi dua, yakni
negeri yang dibangun oleh kaum muslimin dan negeri yang difutuhat (dibebaskan) oleh
kaum muslimin. Terhadap negeri yang dibangun oleh kaum muslimin maka tidak boleh
membangun rumah ibadah selain masjid di dalamnya. Negeri-negeri muslim yang dapat
dikategorikan di dalamnya seperti kota Bagdad dan Samarra di Iraq. Sedangkan negeri
yang difutuhat oleh kaum muslimin, maka keadaannya terbagi menjadi dua keadaan,
yakni yang difutuhat secara paksa melalui peperangan dan melalui jalan damai. Negeri
yang difutuhat secara paksa maka rumah ibadah yang ada di dalamnya dihilangkan baik
dalam arti bangunannya maupun dalam arti fungsinya atau bangunnannya tetap ada
hanya difungsikan bukan lagi sebagai rumah ibadah agam itu. Sedangkan negeri yang
47Muwaththa` Malik 2/892 (1582) dan asalnya dalam Shahihain: al-Bukhari 3053, 3168, 4431dan Muslim 1637, 1767. Hafiz Abdurrahman, “Mendirikan Tempat Ibadah non Muslim di NegeriIslam”, Tabloid Media Umat (Ed. Januari 2011). Lihat http://mediaumat.com/siyasah-syariyyah/2182-44-mendirikan-tempat-ibadah-non-muslim-di-negeri-islam.html. Diakses 20 April 2016.
48Redaksi Islam center, “Hukum Membangun Tempat Ibadah Non Islam di Semenanjung Arab”dalam http://www.islam-center.net/id/fatwas/215-hukum-membangun-gereja-di-jazirah-arab-.html.Diakses 20 April 2016.
44
dikuasai oleh kaum muslimin secara damai, maka keadaan rumah ibadah agama lain
yang ada di dalmnya tetap dibiarkan tidak boleh diganggu. Akan tetapi jika bangunan
rumah ibadah itu rusak tidak boleh diperbaiki. Begitu juga aktivitas di dalamnya hanya
untuk aktivitas keagamaan saja, tidak boleh digunkan sebagai tempat provokasi,
propaganda ajaran mereka kepada yang lain. Negeri kaum muslim yang tergolong
dalam kategori terakhir adalah Indonesia, Malyasia, Syam, Pakistan, Afganistan, India,
termasuk Iraq.49
Inilah ketentuan dalam syariat Islam mengenai rumah ibadah non muslim dalam
negeri kaum muslimin. Meskipun ketentuan ini tetap berlkau, tetapi dalam realitasnya
sekarang tidak dapat diterapkan. Penyebabnya karena meskipun penguasa negeri-negeri
muslim semuanya beragama Islam dan rakyatnya juga mayoritas muslim, tetapi para
penguasa itu tidak berdaya melaksanakan ajaran agama ini. Para penguasa itu takut dan
tunduk kepada penguasa kafir sehingga mereka dipaksa menyetujui pendirian rumah
ibadah agama lain di negeri mereka bahkan di samping masjid mereka tanpa mampu
mereka hindari.
Karena ketentuan mendirikan rumah ibadah nonmuslim ini tidak diindahkan
oleh umat Islam, maka banyak terjadi rumah ibadah nonmuslim berada di tengah-
tengah komunitas mayoritas muslim, yang tidak jarang memicu ketegangan hubungan
muslim dengan nonmuslim.
Ketika konflik terjadi, solusi yang diambil juga tidak dapat mengacu pada
ajaran Islam dengan anggapan bahwa negeri ini bukan negara Islam, atau umat Islam
harusnya mengalah karena mereka mayoritas, dan sejumlah alasan lainnya yang jauh
dari Islam. Akibatnya kerugian besar terjadi dan menimpa umat Islam. Ketika terjadi
konflik itu muncul lagi, tuduhan-tuduhan negatif segera dilontarkan kepada umat Islam
termasuk kepada ajaran Islam.
Dalam kondisi runyam seperti itu, tampillah pemikir muslim melakukan
pembelaan terhadap ajaran Islam, tetapi tidak jarang pembelaan itu justru mendistorsi
ajaran Islam sendiri dengan memaksanya untuk dilakukan re-interpretasi makna-makna
nash agar lebih sesuai dengan realitas keragaman yang ada.
49Hafiz Abdurrahman, “Mendirikan Tempat Ibadah non Muslim di Negeri Islam”, TabloidMedia Umat (Ed. Januari 2011). Lihat http://mediaumat.com/siyasah-syariyyah/2182-44-mendirikan-tempat-ibadah-non-muslim-di-negeri-islam.html. Diakses 20 April 2016.
45
Keadaan ini telah menyebabkan umat Islam semakin jauh dari gambaran ideal
kehidupan Islam yang menjunjung tinggi pluralitas agama tanpa perlu menerapkan
gagasan pluralisme agama.
B. Sikap Beragama
Sikap bukan merupakan hal yang berdiri sendiri. Sikap seseorrang selalu tekait
dengan pemahaman atau persepsinya. Sehingga beragama juga terkait dengan
pemahaman seseorang terahadap agama yang dianutnya. Karena itu, membicarakan
sikap uberagama tidak dapat dilepaskan dari membicarakan pemahaman agama itu
sendiri.
1. Pemahaman Agama
Setiap manusia memiliki naluri atau potensi beragama.50 Naluri ini merupakan
fitrah penciptaan manusia. Tidak ada seorang pun yang lahir tanpa dibekali oleh naluri
ini, karena ia merupakan pemberian Pencipta yang tidak dapat dihilangkan. Meskipun
bisa saja seseorang mengingkari atau tidak mau mengakui bahwa dirinya beragama.
Keberadaan naluri beragama yang ada pada setiap manusia ini menutut untuk dipenuhi
jika ia muncul. Munculnya naluri ini pemicunya bukan bersumber dari dalam atau
naluri manusia, tetapi bersumber dari luar diri manusia atau naluri itu, baik berupa
realitas maupun pemikiran.51
Keinginan pemenuhan naluri beragama pada diri seseorang akan muncul dari
adanya kesadaran akan keberadaan dirinya dalam kehidupan ini. Kesadaran akan
keberadaan diri di dunia akan muncul ketika manusia mulai menyadari adanya
berinteraksi dan saling ketergantungan dirinya dengan alam dan lingkungannya. Ketika
kesadaran itu muncul, maka seseorang akan memberikan respon, baik respon teologis
maupun respon ritual.
Respon teologis dan ritual yang diberikan dapat dibedakan menjadi respon
naluriyah atau emosional dan respon akliyah atau rasional.
50Setiap manusia memiliki tiga naluri dalam dirinya, yakni: naluri beragama (garizat al-tadayyun), naluri mempertahankan diri (garizat al-baqa’), dan naluri melestarikan keturunan (garizat al-naw’). Selengkapnya Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik dan Spiritual (Cet. 3; Bogor: Al-Azhar Press, 2010), h. 53.
51Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik dan Spiritual, h. 53.
46
a. Respon naluriah
Respon emosional atau naluriyah berbeda dengan respon rasional. Respon
emosional hanya merupakan reaksi spontan terhadap fenomena dari hubungan manusia
dengan alam di luar dirinya. Ketika alam atau benda-benda alam di luar diri manusia
memberikan efek yang menyenangkan, maka respon yang diberikan berbentuk pujian
atau kekaguman. Sedangkan jika hunbungan memberikan efek menakutkan, maka
respon yang diberikan benbentuk permintaan perlindungan. Kedua bentuk respon ini
semuanya mengarah kepada kultus dan ritual. Kedua bentuk respon ini melahirkan
pemenuhan naluri beragama yang bersifat naluriah.
Dalam perjalanannya, pemenuhan agama secara naluriah ini kemudian
mengkristal menjadi sebuah pemahaman agama yang tumbuh dan berkembang di
tengah masyarakat, terlepas apakah pemahaman ini benar atau salah.
Pemahaman agama yang bersifat naluriah semata ini dapat dijumpai di tengah
masyarakat, baik pemeluk Islam maupun agama lain. Dalam masyarakat muslim,
pemahaman agama seperti ini terlihat pada individu atau masyarakat yang kurang
mendapatkan pelajaran agama yang cukup sehingga mereka mengikuti pemahaman
peninggalan pendahulu mereka dalam beragama.
Dari segi pemahaman mendasar seputar pokok-pokok keimanan mereka tidak
terdapat masalah serius karena secara bulat meyakini kalimat tauhid dan kenabian
Muhammad saw. dan rukun-rukun iman lainnya. Akan tetapi, mereka masih
menyimpan keyakinan-keyakinan tertentu terkait memandang berbagai hal atau
fenomena alam yang ditemui dalam kehidupan. Pangkal keyakinan-keyakinan itu
bermuara pada dua pemahaman agama nenek moyang (sebelum Islam), yakni: pertama,
mereka masih menyangka ada kaitannya antara roh-roh yang sudah meninggal dengan
keselamatan atau kecelakaan orang-orang yang masih hidup. Dari sinilah muncul di
tengah masyarakat pemahaman dan pengamalan agama yang bercampur dengan adat-
istiadat bahkan ritual animisme, seperti pelepasan roh orang yang sudah meninggal,
upacara dan sajian makanan untuk roh-roh yang sudah meninggal pada bilangan hari-
hari tertentu.
Kedua, mereka masih menyangka ada kaitannya antara benda-benda tertentu
dengan keselamatan atau kecelakaan manusia. Mereka menganggap benda, tempat,
binatang, atau waktu-waktu tertentu dapat membawa keberuntungan atau sial. Dari sini
47
muncul pemahaman dan pengamalan agama yang mengaitkan antara doa-doa, zikir-
zikir atau upacara agama lainnya dengan benda-benda tersebut. Misalnya acara
pernikahan ditetapkan waktunya berdasarkan hitungan bilangan-bilangan yang
dianggap membawa kebaikan.
Pemahaman beragama yang bersifat naluriah semata ini sangat sederhana, tetapi
cenderung membahayakan bagi penganutnya karena apa yang mereka angggap sebagai
suatu ajaran agama tidak lain karena mereka cenderung kepadanya, sehingga mereka
selalu mencari pembenaran untuk mencocokkan pemahamannya dengan ajaran
agamanya. Dengan kata lain, mereka beragama menggunakan perasaan (wijdan).
Sementara perasaan sering keliru dan terkadang menfasirkan atau menggambarkan
sesuatu objek termasuk yang gaib berdasarkan hayalan. Karena itu beragama secara
naluriah semata akan menyebabkan seseorang mengikuti agama berdasarkan perasaan
kebatinannya yang bisa saja jauh menyimpang dari ajaran agama yang sebenarnya.
Pemahaman beragama seperti ini sudah disebutkan dalam al-Qur’an:
لا یأمر با أمرنا بھا قل إن ا لفحشاء أتقولون وإذا فعلوا فاحشة قالوا وجدنا علیھا آباءنا وا
ما لا تعلمون على اDan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapatinenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kamimengerjakannya." Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh(mengerjakan) perbuatan yang keji." Mengapa kamu mengada-adakan terhadapAllah apa yang tidak kamu ketahui? (TQS. Al-A’raf/7: 28).
b. Respon aqliyah
Respon aqliyah atau rasional berbeda dengan respon naluriah. Jika respon
naluriah bertumpu pada perasaan, maka respon aqliyah bertumpu pada pemikiran atau
akal yang bersifat rasional dengan menggunakan potensi berpikir secara rasional.52
Dalam Islam, akal merupakan sandaran (manath) beragama. Agama ditujukan
kepada orang yang berakal, sehingga tidak ada agama bagi yang tidak berakal. Proses
berpikir dengan menggunakan akal dilakukan dengan mengindera fakta atau objek lalu
52Berpikir rasional adalah berpikir dengan melibatkan potensi akal, melalui panca indra denganmengaitkannya dengan informa awal atau pengetahuan sebelummnya sehingga menghasilkan kesimpulanyang rasional dan faktual. Apabila metode rasional ini diterapkan terhadap keberadaan fakta, maka pastikesimpulannya benar. Berbeda jika digunankan untuk menilai keberadaan fakta, maka kesimpulannyabisa zhan (dugaan), yaitu benar sepanjang tidak ada bukti-bukti yang menunjukkan kesalahannya.Selengkapnya lihat Taqiuddin al-Nabhani, al-Tafkir, diterjemahkan oleh Taqiyuddin al-Siba’i, HakekatBerpikir (Cet. 5; Bogor: Putaka Thariqul Izzah, 2010), h. 30.
48
dihubungkan dengan informasi awal yang ada dalam otak, kemudian menghasilkan
kesimpulan rasional. Dengan demikian akal mampu membuktikan objek terindera
maupun objek yang tidak terindera asalkan terdapat objek terindera yang mengantarkan
akal dalam membuktikannya.
Dalam agama, terdapat dua aspek, yakni aspek keyakinan dan aspek ajaran atau
aturan. Pada aspek kayakinan, proses berpikir ini mampu membuktikan adanya Tuhan
dengan metode berpikir rasional. Caranya dengan mengindera fakta-fakta terindera,
baik dari segi keberadaanya, kaitannya dengan sesama benda dan kemampuan dan
keterbatasan benda-benda terindera itu. Dari penginderaan itu didapati kesimpulan
bahwa semua benda atau ojek terindera adalah materi yang memiliki keterbatasan
waktu (ada awalnya dan ada akhirnya), keterbatasan kemampuan (saling membutuhkan
dan bergantungan dengan sesama objek) yang tidak bisa dilanpauinya. Dari sini
terdapat petunjuk kuat bagi akal untuk menyimpulkan bahwa semua objek terindera itu
hanyalah buatan dari yang selain mereka semua. Pembuat (pencipta) itulah yang
merupakan awal dari sebelum keberadaan mereka sekaligus yang menentukan taraf
kemampuan mereka.
Dengan metode rasional inilah akal membuktikan adanya Pencipta (khaliq)
yang tidak diciptakan, yang mengawali dan tidak ada yang sebelumnya sekaligus tidak
ada setelahnya. Kemampuan akal seperti ini diabadikan dalam al-Qur’an dalam kasus
Ibrahim as. Menemukan Penciptanya:
ا جن علیھ اللیل .والأرض ولیكون من الموقنین وكذلك نري إبراھیم ملكوت السماوات فلم
ا أفل قال لا أحب الآفلین ا رأى القمر بازغا قال ھـذا ربي . رأى كوكبا قال ھـذا ربي فلم فلم
ا أفل قال لئن لم یھدن الین فلم ا رأى الشمس بازغة قال ھـذا . ي ربي لأكونن من القوم الض فلم
ا تشركون م ا أفلت قال یا قوم إني بريء م ھت وجھي للذي فطر . ربي ھـذا أكبر فلم إني وج
ض حنیفا وما أنا من المشركین السماوات والأر Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kamiyang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar diatermasuk orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang(lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam diaberkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala dia melihatbulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam, diaberkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilahaku termasuk orang yang sesat." Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, diaberkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari ituterbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang
49
kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yangmenciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, danaku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan (TQS. al-An’am/6: 75-79).
Adapun pada aspek ajaran atau aturan agama, maka fungsi akal bukan lagi
membuktikan keberadaannya, karena ia telah dibuktikan oleh akal dengan
membuktikan keberadaan Pencipta yang menurunkan aturan itu. Peran akal dalam hal
ini adalah memahami kebaradaan aturan itu sehingga jelas apa yang diingankan atau
apa yang dituntut oleh aturan itu.
Jika terdapat indikasi yang menunjukkan tuntutan itu tegas memerintahkan
sesuatu, maka jelas bahwa perintah itu wajib untuk dilaksanakan, tetapi jika
perintahnya tidak menunjukkan adanya ketegasan untuk melakasanakannya, maka
perintah itu hanya berupa anjuran untuk dilaksanakan, tanpa adanya sanksi jika
ditinggalkan. Sebaliknya jika tuntutan itu terdapat indikasi kuat yang mengharuskan
untuk ditinggalkan, maka tuntutan itu bertati haram atau harus ditinggalkan. Tetapi, jika
tuntutannya tidak secara tegas menuntut untuk ditinggalkan, maka larangan itu hanya
bersifat anjuran untuk ditinggalkan dan tidak ada sanksi bagi yang melakukannya.
Selebihnya, jika terdapat indikasi yang menyerahkan kepada manusia untuk memilih
melaksanakan atau meninggalkan, maka ajaran itu bersifat pilihan, boleh (mubah)
dilaksanakan atau ditinggalkan.
Jika semua ini sudah terbukti melalui pemahaman akal, maka manusia tidak
punya pilihan lain kecuali mengikuti dan tunduk kepada kebenaran yang telah diproses
secara akal tersebut. Inilah cara beragama yang benar yang diajarkan oleh Islam. Bukan
beragama dengan cara ikut-ikutan secara buta. Bahkan beragama dengan ikut-ikutan
saja dicela oleh Islam. Firman Allah swt dalam surah al-Isra’ ayat 36 berikut:
ولا تقف ما لیس لك بھ علم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولـئك كان عنھ مسؤولا Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuantentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akandiminta pertanggungan jawabnya (TQS. al-Isra’/17: 36).
2. Sikap Muslim terhadap Pemeluk Agama Lain
Sikap adalah ekspresi kejiwaan dan perilaku seseorang dalam kaitannya dengan
fakta, baik berupa benda maupun berupa perbuatan. Sikap lahir setelah seseorang
50
mendapatkan pemahaman tertentu terkait dengan objek, sehingga sikap merupakan
bagian dari atau cerminan pemahaman seseorang.
Jadi, sikap beragama adalah keseluruhan kesan dan ekspresi dalam beragama
yang menunjukkan bentuk pemahaman tertentu terhadap agama, baik agama yang
dianutnya maupun dengan agama lain termasuk hubungannya dengan pemeluk agama
lain.
Mukti Ali menyebutkan ada empat sikap beragama masyarakat dalam
mempraktekkan agama mereka, yakni eksklusif, toleran, inklusif dan pluralis.53
Selain klasifikasi ragam sikap beragama yang dikemukakan oleh Mukti Ali
tersebut, Ninian Smart juga menyebutkan kategori yang mirip, tetapi
menggabungkannya dan menyederhanakan pembagiannya menjadi menjadi lima
kategori yakni: eksklusif absolut, eksklusif relatif, inksklusif hegemonistik, pluralis
realistik, dan pluralis regulatif.54 Tanpa mengabaikan kedua pendapat di atas, penulis
menjelaskan empat klasisikasi sikap beragama dalam kaitannya dengan keberadaan
agama dan pemeluk agama lainnya, yakni: sikap ekslusif, sikap inklusif, toleran dan
pluralis.
a. Sikap eksklusif
Kata ekslusif berarti tertutup atau terpisah dengan yang lain. Sikap ekslusif
dalam beragama adalah sikap yang menganggap diri dan agama mereka lain atau
terpisah atau tidak ada hubungannya dengan yang lain. Sikap ini berangkat dari asumsi
bahwa selain agama yang dianutnya salah, sehingga agama dan pemeluknya tidak perlu
diperhitungkan.55
Sikap eksklusif dapat berbentuk absolut atau relatif. Sikap eksklusif yang
absolut memandang hanya agamanya yang benar sementara yang lain dengan
sendirinya salah. Adapun eksklusif relatif memandang hanya agamanya yang benar,
53Mukti Ali, Agama dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, dalam Malik Idris, “Dakwahdalam Masyarakat Plural, Peran Tokoh Agama dalam Memelihara Hubungan Antarumat Beragama diKendari”, Disertasi (Makassar: UIN Alauddin Makassar, 2008), h. 81.
54Ninian Smart, “Pluralism” dalam Donal W. Musser dan Joseph L. Price, A New handbook ofCristian Theology, dalam Malik Idris, “Dakwah dalam Masyarakat Plural, Peran Tokoh Agama dalamMemelihara Hubungan Antarumat Beragama di Kendari”, Disertasi (Makassar: UIN Alauddin Makassar,2008), h. 81.
55Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, Akhlak al-Qur’an Menyikapi Keragaman (Cet. 2;Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 19.
51
tetapi memandang bahwa kepercayaan agama tidak dapat dibandingkan karena untuk
mengerti kebenaran masing-masing agama harus terlebih dahulu menjadi orang dalam
agama itu.
b. Sikap toleran
Toleran berasal dari kata tolerate, artinya membiarkan. Sikap toleran didasari
oleh fakta keragaman dan klaim kebenaran masing-masing yang ada pada agama.
Praktek toleransi yang berkembang dewasa ini menunjukkan pada dua hal, yakni
adanya asimilasi individu dalam masyarakat yang beragam dan adanya pengakuan akan
hak-hak kelompok.56
Sikap toleran, yakni memandang agamanya sebagai satu-satunya yang benar,
tetapi tetap membiarkan dan menghormati kayakinan agama lain yang berbeda
dengannya. Orang yang toleran tidak menganggap agama lain memiliki kebenaran,
tetapi menghargai mereka sebagai manusia.
c. Sikap inklusif
Sikap beragama yang lain yang tampak dalam kehidupan adalah inklusif. Sikap
ini merupakan kebalikan dari eksklusif yang terbuka dan memandang keberadaan
agama lain sebagai suatu kenyataan yang ada dan harus diakui keberadaannya.
Sikap ini lahir sebagai respon terhadap perjalanan panjang sejarah agama-agama
yang selalu diwarnai dengan gesekan dan permusuhan. Permusuhan antara pemeluk
agama itu diduga muncul sebagai bentuk sikap beragama yang hanya mengakui
kebenaran agama yang dianut, sementara yang lain salah. Klaim seperti ini telah
membuat seseorang terhalang untuk berdampingan dan menutup pintu dialog dengan
pemeluk agama lain. Bahkan seolah menjadi justifikasi untuk melakukan pemaksaan
terhadap pemeluk agama lain agar memasuki agama yang dianut.
Agar hal itu tidak terjadi lagi, maka perlu dikembangkan sikap inklusif. Sikap
inklusif berangkat dari sebuah asumsi bahwa seseorang tidak hanya mengakui
kebenaran agamanya sendiri, tetapi ia mesti mengakui bahwa bisa jadi penafsiran
kebenaran yang dipahaminya berbeda dengan penafsiran kebenaran yang dipahami oleh
pihak lain. Sehingga Islam sebagai agama yang benar di sisi Allah (QS. Ali Imran/3:
56Ihsan Ali Fauzi, Syafiq Hasyim, J.H. Lamardy, Demi Toleransi Demi Pluralisme, Esay-esayuntuk Merayakan 65 Tahun M. Dawam Rahadjo (Cet. 1; Jakarta: Paramadina, 2007), h. 351.
52
19), misalnya, adalah perkara yang sudah pasti. Namun, Islam yang dimaksud tentu
memiliki beragam makna dari sudut penafsiran orang.57 Akan teapi, yang jelas, makna
atau penafsiran mana yang benar, hanya Penuturnya (Tuhan) saja yang lebih tahu.58
Orang yang inklusif dalam beragama memandang bahwa agamanya bukanlah
satu-satunya kebenaran yang mesti diperuntukkan bagi semua orang, tetapi di luar
agama dan keyakinannya juga memiliki aspek-aspek kebenaran yang penting untuk
diperhatikan.
d. Sikap pluralis
Sikap pluralis adalah sikap tertinggi yang dicapai oleh kaum inklusifis. Sikap
pluralis tidak hanya mengakui kenyataan adanya banyak agama. Bukan juga sekedar
untuk menghalau fanatisme beragama. Sikap pluralis dimaknai sebagai sebuah pertalian
sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban.59 Orang yang bersikap pluralis
memandang bahwa selain agama yang dianutnya juga memiliki kebenaran sebagaimana
sebagaimana kebenaran agama yang diyakini, bahkan kebenaran yang terdapat pada
agama dapat memperkaya kehidupan rohani bagi yang tidak memeluk agama tersebut.
Bahkan seorang pluras sejatai memahami bahwa setiap agama memiliki peluang yang
sama untuk masuk surga.60
Keempat sikap beragama di atas tentu dirumuskan berdasarkan fakta dengan
melihat fenomena di tengah masyarakat. Bahwa sikap masyarakat beragama terhadap
keberadaan pemeluk agama lain bisa digolongkan ke dalam empat kategori di atas
adalah sebuah fakta empiris. Kesimpulan ini tentu terlepas dari apakah keempatnya
merupakan sesuatu yang benar menurut pemeluk agama tertentu.
Karena kategori tersebut bersifat umum, maka tentu di antara umat Islam juga
ada yang memiliki sikap beragama salah satu dari keempatnya. Karena itu, penting
untuk dikaji, manakah dari keempat sikap beragama yang sesuai dengan yang
57Penjelasan tentang polemic makna din dan Islam dapat juga dibaca dalam JalaluddinRakhmat, Islam dan Pluralisme, Akhlak al-Qur’an Menyikapi Keragaman, h. 35-47.
58Alwi Shihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dan Beragama (Cet. 5; Bandung: PenerbitMizan, 1999), h. 78.
59Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Orang Beriman (Cet. 1;Jakarta: PT. RajaGrafindo Pesada, 2004), h. 39
60Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, Akhlak al-Qur’an Menyikapi Keragaman, h. 21.
53
dikehendaki oleh Islam. Untuk itu, perlu dikaji beberapa nash yang terkait dengan sikap
beragama kaitannya dengan keberadaan pemeluk agama lain.
Jika dicermati nas-nas yang berbicara tentang sikap umat Islam terhadap umat
beragama selain Islam, ternyata Islam telah menempatkan posisi pemeluk agama sesuai
dengan sikap Islam sendiri terhadap agama selain Islam. Terkait dengan hal ini, Islam
menetapkan bahwa sejak awal Allah Swt hanya menurunkan Islam sebagai teologi yang
lurus kepada semua Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. Karena itu, hanya Islam yang
benar, selain Islam –karena telah mengalami perubahan sehingga tidak lagi sejalan
dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah Swt., menjadi tidak benar.
Namun, meskipun demikian Islam tidak memaksakan pemeluk agama lain
untuk menerima Islam. Umat Islam hanya berkewajiban menyampaikan kebenaran
Islam kepada semua manusia agar mereka berpikir kembali tentang agama yang
dianutnya selama ini.
Berdasarkan konsep dasar ini, maka terdapat beberapa prinsip yang mendasari
sikap muslim dengan nonmuslim. Prinsip itu dapat dilihat empat sisi, yakni:
a. Dalam hubungannya dengan pemeluk agama lain harus dijauhkan sikap paksaan,
tekanan, intimidasi dan seumpamanya. Islam melarang segala macam paksaan
terhadap agama lain. Dalam pergaulan dengan pemeluk-pemeluk agama lain, umat
Islam harus bersikap toleran yang dalam Islam disebut tasamuh.
b. Umat Islam memandang pemeluk agama lain, khususnya ahl kitab mepunyai
landasan kesamaan secara aqidah, yakni sama-sama bersumber dari kitab suci yang
diturunkan dari Allah Swt. Islam mengakui keberanan injil dan taurat dalam
keadaannya yang orisinil.
c. Islam mengajarkan untuk mengulurkan tangan persahabatan terhadap pemeluk
agama lain, selama mereka tidak menunjukkan sikap dan melakukan permusuhan
terhadap umat Islam.
d. Pendekatan terhadap pemeluk-pemeluk agama lain dalam mengajak mereka
memeluk Islam harus dilakukan dengan diskusi yang baik, sikap yang sportif,
elegan. Semuanya harus dengan argumentasi rasional, bukan emosional.61
Keempat prinsip di atas dapat dilihat dari ayat-ayat berikut:
61HM. Yunan Nasution, Islam dan Problema-problema Kemasyarakatan (Cet. 1; Jakarta: BulanBintang, 1988), h. 13-14.
54
فقد است شدمن الغي فمن یكفر بالطاغوت ویؤمن با ین قد تبین الر مسك لا إكراه في الد
سمیع علیم بالعروة الوثقى لا انفصام لھا واTidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelasjalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkarkepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegangkepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah MahaMendengar lagi Maha Mengetahui (TQS. al-Baqarah/2: 256).
Dalam surah al-Kafirun ayat 6, juga ditegaskan:
لكم دینكم ولي دین Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku". (TQS. al-Kafirun/109: 6).
وھم ن دیاركم أن تبر ین ولم یخرجوكم م عن الذین لم یقاتلوكم في الد وتقسطوا لا ینھاكم ا
یحب المقسطین إلیھم إن اAllah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu darinegerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (TQS. al-Mumtahanah/60: 8).
Dari paparan tentang prinsip yang dibangun Islam dalam bersikap terhadap
nonmuslim tersebut jika dikaitkan dengan keempat kategori yang dibahas sebelumnya,
maka Islam sesungguhnya mengajarkan penghormatan dan menghargai kebebasan
terhadap pemeluk agama lain. Sikap inilah yang kemudian lebih dekat untuk
dinamakan toleransi.
Dalam bahasa Arab, istilah ini biasa disebut tasammuh, yang biasa dimaknai
tenggang rasa, tepo selero dan saling membiarkan. Toleransi bukan berarti memasuki
wilayah agama lain. Bukan juga mengambil satu atau beberapa prinsip atau ajaran dari
gama lain. Terlebih lagi, toleransi bukan mencampuradukkan antara satu atau beberapa
ajaran agama untuk diamalkan bersama-sama. Semuanya ini bukan makna toleransi
yang dikehendaki oleh Islam. Islam memaknai toleransi dengan prinsip sebagai berikut:
1. Toleransi terhadap pemeluk agama lain terbatas pada aspek hubungan sosial
kemasyarakatan yang dibangun atas dasar kasih sayang dan persauadaraan sesama
manusia sejauh tidak bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam.
2. Dalam aspek agama dan kepercayaan, toleransi berarti membiarkan dan tidak
menggangu umat beragama lainnya untuk menjalankan agama sesuai dengan
keyakinannya
55
3. Umat Islam wajib memelihara kemurnian akidah dan syariah Islam tidak
dibenarkan adanya kompromi apalagi pencampuradukan atau sinkretisme.62
Dari prinsip ini, dapat dikatakan bahwa apa yang dipraktekkan oleh sebagian
orang dewasa ini dengan mengikuti ritual agama yang bukan agamanya, merupakan
bentuk toleransi yang yang tidak dibenarkan dalam Islam. Termasuk dalam cakupan ini
adalah mengucapkan selamat pada pelaksanaan ajaran agama atau perayaan agama
orang lain. Islam tidak membenarkan mengucapkan selamat atas pelaksanaan ajaran
agama atau perayaan agama selain Islam karena penghormatan itu mengandung makna
pengakuan atau pembenarran terahadap ajaran atau pearayaan agama tersebut.
Sementara Islam telah menetapkan seorang muslim hanya mengakui kebenaran mutlak
dari Islam. Kewajiban menghormati pemeluk agama lain tidak berarti mengakui
kebenaran ajaran agamanya. Akan tetapi, menghormati pemeluk agama lain merupakan
penghormatan terhadap hamba ciptaan Allah Swt., yang merupakan syarat terciptanya
kerukunan hidup di antara pemeluk agama dan keyakinan yang berbeda.
3. Dakwah terhadap Nonmuslim
Islam telah berkembang pesat karena dakwah. Sekiranya tidak ada dakwah,
maka Islam tidak akan sampai kepada manusia di luar Arab. Pesatnya perkembangan
Islam ke seluruh penjuru dunia karena keyakinan umatnya bahwa dengan Islam sajalah
dunia ini akan tertata dengan damai, manusia akan dihargai martabatnya sebagai
manusia sehingga menghapus segala bentuk eksploitasi dan perbudakan.
Mendakwah Islam bukan hanya mendakwahkan nilai-nilai atau substansinya,
melainkan mendakwah Islam sebagai sebuah ideology yang memiliki seperangkt
konsep dan metode aplikasi terhadap konsep tersebut.63
Islam adalah agama spiritual, ritual dan sosial. Sebagai agama spiritual, Islam
adalah seperangkat ajaran atau konsep tentang keimanan. Keimanan dalam Islam
62Suryan A. Jamrah, “Toleransi Antarumat Beragama Perspektif Islam”, Jurnal Ushuluddin(Vol. 23, No 2 Juli-Desember 2015), h. 192.
63Islam berkembang pesat dengan diterimanya Islam sebagai spiritual dan syariat. Bukan sepertiklaim sebagian orang yang menyatakan bahwa Islam tersebar karena berkat substansi, bukan karenabentuk. Bahkan menurut mereka, Islam terhenti menyebar ketika yang didakwahkan adalah bentukformalnya. Pernyataan ini dapat dilihat dalam Frithjof Schuon, Islam and the PerenialPhilosophy,diterjemahkan oleh Rahmani Astuti dengan judul Islam dan Filsafat Perenial (Cet. 1; Bandung: Mizan,1993), h. 25.
56
berpangkal pada keyakinan adanya Pencipta (Khaliq) dan Pengatur (Mudabbir) alam
semesta, yakni Allah Swt. di atas keyakinan inilah dibangun seluruh keyakinan lain
yang menjadi bagian atau cabangnya, seperti keimanan kepada adanya Malaikat,
keimanan adanya Kitab, adanya hari kiamat, surga dan neraka, dan sebagainya.
Islam juga memiliki seperangkat ajaran ritual dalam rangka berhubungan
dengan Pencipta dalam bentuk ibadah, baik ibadah yang diwajibkan atau maktubah
maupun yang dianjurkan atau nafilah/tathawwu’.64 Keberadaan ibadah ritual dalam
Islam ini merupakan upaya hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus
merupakan simbol kesiapan untuk tunduk kepada Allah.
Sedangkan sebagai agama yang mengajarkan sosial, maksudnya Islam adalah
agama yang berisi aturan hidup yang menyeluruh dalam semua lapangan kehidupan
manusia. Sebagai aturan hidup, Islam berisi konsep pemecahan masalah yang dihadapi
oleh manusia di dunia, baik dalam lapangan ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan,
hukum, hubungan sesama muslim, hubungan dengan non muslim, termasuk hubungan
internasional.65
Islam memandang manusia menurut aqidahnya menjadi dua, yakni orang Islam
atau muslim dan non muslim. Semua manusia yang tidak memeluk aqidah Islam
dinamakan kafir. Orang kafir terdiri dari dua golongan, yakni ahl al-kitāb (Yahudi dan
Nasrani) dan musyrikīn, yakni orang yang beragama selain Islam dan selain ahl al-
kitāb, termasuk yang tidak beragama. Dalam al-Qur’an Allah menegaskan:
لدین فیھا أولئك ھم شر البریة إن الذین كفروا من أھل الكتاب والمشركین في نار جھنم خا
64Istilah nafilah atau tathawwu’ memiliki makna yang sama, yakni ibadah yang dianjurkansebagai tambahan terhadap yang wajib. Misalnya, shalat lima waktu (Magrib, isya’, shubuh, zuhur, danashar) adalah maktubah, sedangkan shalat dua rakaat sebelum dan sesudah zuhur adalah tathawwu’.Lihat Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, diterjemahkan oleh Muh. Zuhri, dkk.,Fiqh Empat Mazhab, Jilid I (Cet. 1; Semarang: Asy-Syifa’, 1994), h. 577.
65Hukum-hukum Islam ini meskipun banyak jumlahnya, tetapi dapat digolongkan menjadi dua:pertama, yakni aturan yang mengatur perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Pencipta dalambentuk ibadah. Kedua, hukum-hukum yang mengatur perbuatan manusia dalam hubungannya dengansesama manusia, termasuk dirinya sendiri. Aturan ini merupakan pedoman agar manusia mendapatkankemaslahatan dan mencegah kemudaratan. Lihat Syaikh Mahmoud Syalthout, al-Islam, Aqidah waSyari’ah, diterjemahkan oleh Bustami A. Gani dan B. Hamdany Ali, Islam, Aqidah dan Syariah, Jilid 2(Cet. 3; Jakarta; Bulan Bintang, 1985), h. 1-2. Syariat Islam yang menjadi konstitusi ini dilaksanakanoleh umat Islam sebagai aturan yang diambil berdasarkan keimanan sehingga menjadi rumus ataupedoman kehidupan (qa’idah fikriyah). Sedangkan bagi nonmuslim, mereka melaksanakan syariat Islambukan atas dasar keimanan, melainkan sebagai konstitusi, sehingga mereka hanya tunduk danmenerimaya sebagai kepemimpinan berpikir saja (qiyadah fikriyah). Muhammad Hawari, ReideologiIslam, Membumikan Islam sebagai Sistem (Cet. 3; Bogor: Al-Azhar Press, 2011), h. 107.
57
Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yangmusyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka ituadalah seburuk-buruk makhluk (TQS. al-Bayyinah/98: 6).
Awal dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhamad Saw. adalah mengajak
manusia memeluk Islam karena pada saat diutus, tidak seorang pun yang beragama
Islam selain dirinya sendiri yang ditugasi mengajak manusia kepada Islam. Karena itu,
dakwah Nabi Saw. ditujukan kepada kafir Quraisy agar mereka memeluk Islam. Nabi
saw. memulai ajakan kepada Islam dengan mengajak orang-orang yang dekat
dengannya untuk menerima seruan Allah dan mereka pun beriman. Mereka adalah:
istrinya Khadijah ra. (55 tahun), sepupunya Ali bin Abi Thalib (10 tahun), maulanya
Zaid (8 tahun), dan temannya Abu Bakar (37 tahun). Dalam Sirah Ibnu Hisyam
disebutkan bahwa orang yang pertama masuk Islam dan beriman kepada Nabi saw.
adalah Khadijah binti Khuwailid (istri Nabi saw.), sedang laki-laki yang pertama
beriman adalah Ali bin Abi Thalib, selanjutnya Zaid bin Haritsah.66 Kemudian
selanjutnya semakin bertambah seiring dengan dengan bertambahnya jumlah mereka
yang telah memeluk Islam dan mengajak orang-orang terdekat mereka untuk memeluk
Islam.
Bagi mereka yang telah memeluk Islam, diberikan dakwah dalam bentuk
pembinaan agar mereka dapat mengamalkan Islam, mentaati syariat Islam yang
mengatur seluruh aspek tingkah laku manusia.
Umat Islam memiliki kewajiban yang sama berdakwah kepada orang kafir.
Dakwah ini hukumnya wajib. Kewajiban dakwah kepada nonmuslim dipahami dari
firman Allah yang memerintahkan umat Islam untuk mengajak orang-orang untuk
memeluk aqidah Islam secara tegas disebutkan dalam al-Qur’an, seperti ayat berikut:
ك ھو أعلم ادع إلى سبیل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلھم بالتي ھي أحسن إن رب
بمن ضل عن سبیلھ وھو أعلم بالمھتدین Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baikdan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialahyang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yanglebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (TQS. al-Najl/16: 125).
66Lihat selengkapnya Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam al-Muafiri, al-Sirah al-Nabawiyah li Ibni Hisyam, diterjemahkan oleh Fadhli Bahri, Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, Jilid I (Cet.7; Jakarta: Darul Falah, 2009), h. 203-213.
58
Selain itu, adanya perintah tegas untuk memerangi manusia agar memeluk Islam
atau menjadikan diri mereka sebagai ahl zimmah.
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepadahari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allahdan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah),(yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai merekamembayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (TQS. al-Tawbah/9: 29).
Perintah untuk mengajak kepada Islam dan perintah untuk memerangi dalam
kedua ayat di atas menunjukkan adanya ketegasan perintah untuk berdakwah, mengajak
manusia kepada Islam. Ketegasan pendirian ini merupakan konsistensi Islam terhadap
kebenaran dan kasih sayang kepada semua manusia agar mereka juga dapat hidup
dalam kebenaran yang mutlak yang bersumber dari pencipta manusia.
Meskipun dakwah kepada nonmuslim hukumnya wajib, tidak berarti bahwa
Islam membenarkan untuk memaksa orang lain untuk memeluk Islam. Memaksa non
muslim memeluk Islam justru diharamkan oleh Islam. Dalam al-Qur’an ditegaskan:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelasjalan yang benar dari pada jalan yang sesat… (TQS. al-Baqarah/2: 256).
جس على الذین لا یعقلون ویجعل الر وما كان لنفس أن تؤمن إلا بإذن اDan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allahmenimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya(Yunus/10: 100).
Jadi, dalam Islam wajib mengajak nonmuslim memeluk Islam, dan pada waktu
yang sama haram hukumnya memaksa mereka memeluk Islam. Maknanya adalah
bahwa dakwah yang diwajibkan adalah dengan pemikiran dan argumentasi. Dalam
mendakwahi nonmuslim memeluk Islam dilakukan dengan menunjukkan kebenaran
secara faktual dan intelektual, bukan emosional. Sehingga ketika nonmuslim bersedia
menerima Islam, maka itu bukan sekedar ikut-ikutan, bujukan, iming-iming hadiah,
paksanaan, dan intimidasi. Karena keislaman dengan jalan demikian hanya akan
59
menghasil pribadi-pribadi nifaq67 tidak menghasil kebaikan sama sekali untuk Islam
dan dirinya.
Inilah yang dimaksud dalam firman Allah berikut ini:
وما أنا من ال على بصیرة أنا ومن اتبعني وسبحان ا مشركین قل ھـذه سبیلي أدعو إلى اKatakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutikumengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, danaku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (TQS. Yusuf/12: 108).
Seruan atau dakwah kepada mereka ini semata-mata sebagai konsekuensi dari
keyakinan bahwa Islam adalah satu-satu agama yang benar dan diridai oleh Allah (QS.
Ali Imran/3: 19, 83, 85). Jika diyakini hanya Islam yang benar, berarti tidak ada yang
benar selainnya. Jika agama terkait dengan jalan keselamatan, berarti hanya dengan
memeluk Islam seorang itu akan selamat. Sehingga dakwah mengajak orang kafir
masuk Islam sesungguhnya sebagai bentuk kasih sayang umat Islam kepada seluruh
manusia agar mereka juga bisa mencapai keselamatan, sekaligus merupakan penegasan
keumuman risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. seperti dalam ayat berikut:
لا یعلمون وما أرسلناك إلا كافة للناس بشیرا ونذیرا ولكن أكثر الناس Dan Kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia seluruhnyasebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapikebanyakan manusia tiada mengetahui (TQS. Saba’/34: 28).
Adanya perintah untuk mengajak manusia memeluk Islam menunjukkan bahwa
Islam sebagai agama yang benar dan sempurna. Sementara larangan memaksa orang
kafir untuk masuk Islam menunjukkan bahwa beragama merupakan pilihan dari semua
orang untuk menentukan pilihannya.68 Pilihan tanpa paksaan inilah yang menjadi dasar
sehingga mereka harus mempertanggungjawabkan pilihannya. Katika dakwah tentang
kebenaran Islam telah sampai kepada mereka dan ditolak, maka tidak ada hujjah untuk
menolak azab Allah swt. di akhirat.
Hal ini sekaligus menunjukkan sikap atau karakter Islam menghadapi realitas
pluralitas agama. Umat Islam diwajibkan memposisikan semua manusia dengan
memandang mereka sebagai manusia sebagaimana diri mereka sendiri yang sama sekali
67Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah, Jejak Risalah dan Dasar Da’wah (Cet. 12; Jakarta:Media Da’wah, 2003), h. 123-124.
68Hasan Basri, “Pola Dakwah Dalam Rangka Peningkatan Pengamalan Ajaran Agama di PantiSosial Tresna Werda Minaula Kendari”, Laporan Penelitian (Kendari: PPPM STAIN Kendari), h. 20.
60
tidak berbeda statusnya sebagi makhluk Allah swt. Sehingga sikap umat Islam kepada
nonmuslim tegas, yakni memandang mereka sebagai sesama makhluk Tuhan yang
harus disampaikan dakwah, tetapi tidak boleh membenci dan memusuhi.69 Karena
sesungguhnya dakwah itu hanyalah salah satu perintah dari banyak perintah Allah,
yang menentukan hasilnya hanya Allah swt. Inilah yang ditegaskan Allah dalam al-
Qur’an:
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di mukabumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya merekamenjadi orang-orang yang beriman semuanya? (TQS. Yunus/10: 99).
Tegasnya, ajakan kepada nonmuslim ditujukan kepada pemikiran. Perubahan
pemikiran untuk memeluk Islam hanya bisa terjadi melalui penyajian fakta dan
argumen rasional yang memuaskan akal dan menetramkan jiwa.70
Ketika realitas dan rasionalitas telah disajikan baik melalui hikmah, nasihat atau
debat lalu diterima dan mengubah keyakinan berarti perubahan itu murni dilakukan
oleh yang bersangkutan untuk memeluk Islam atas dasar kepahaman dan kesadarannya.
Namun, ketika mereka menolak setelah menerima paparan yang jelas mana
yang benar dan mana yang salah, lalu memilih untuk menolak kebenaran Islam yang
disampaikan berarti kekafiran itu merupakan pilihannya sendiri. Kewajiban dakwah
hanya sampai di situ. Tidak ada lagi kewajiban apapun untuk mendakwahi mereka.
Menurut al-Qur’an, orang seperti ini disebut tertutup hatinya.
على قلوبھم وعلى . إن الذین كفروا سواء علیھم أأنذرتھم أم لم تنذرھم لا یؤمنون ختم ا
سمعھم وعلى أبصارھم غشاوة ولھم عذاب عظیم Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatanatau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah
69Irena Handono, et.al., Islam Dihujat, Menjawab Buku The Islamic Invasion (Cet. 5; Kudus:Bima Rodheta, 2004), h. 321.
70Menurut M. Quraish Shihab, cara-cara menarik yang dapat ditempuh, seperti: mengemukakankisah yang berkaitan dengan tujuan dan materi dakwah yang disampaikan, menyampaikan dalam bentukmemberi nasihat sesuai kondisi audiens, teknik pembiasaan terutama bagi anggota keluarga dan orang-orang yang ada di sekitar. Selengkapnya dapat dilihat dalam M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Cet. 29; Jakarta: Mizan, 2006), h.197-199.
61
mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup, danbagi mereka siksa yang amat berat (TQS. al-Baqarah/2: 6-7).
Sikap Islam terhadap mereka ini adalah membiarkan mereka pada kondisinya
sebagai orang kafir baik ia beragama atau tidak beragama. Mereka dibiarkan beribadah
sesuai keyakinannya dengan semua hal-hal yang terkait dengan ibadahnya. Termasuk
tidak dibenarkan untuk menghina sesembahan mereka, meskipun sesembahan mereka
itu terbukti secara nyata merupakan benda-benda yang tidak layak diadikan
sesembahan. Larangan itu bukan berarti menghormati sesembahan mereka, melainkan
agar mereka tidak balik menghina Allah Swt, Tuhan sekalian alam. Dalam al-Qur’an
ditegaskan sebagai berikut:
عدوا ب فیسبوا ا ة عملھم ثم ولا تسبوا الذین یدعون من دون ا غیر علم كذلك زینا لكل أم
رجعھم فینبئھم بما كانوا یعملون إلى ربھم مDan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selainAllah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpapengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaanmereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Diamemberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan (TQS. al-An’am/6: 108).
C. Kerangka Teori
Interaksi merupakan kebutuhan dan penentu dari adanya kehidupan kehidupan
bersama. Interaksi tersebut baru akan terjadi apabila orang atau kelompok manusia
saling berkomunikasi, bekerja sama, bahkan mengadakan persaingan, maupun
pertikaian. Maka, dapat dikatakan bahwa interaksi sosial merupakan dasar dari proses
sosial yang menunjuk pada hubungan-hubungan yang dinamis. Dalam masyarakat,
hubungan antar orang atau kelompok terjadi dalam dua bentuk, yaitu hubungan sehari-
hari dan asosiasional (associational).71
Interaksi sehari-hari terdiri dari hubungan yang sederhana dan rutin antar
anggota masyarakat, seperti: keluarga kelompok yang satu mengunjungi kelompok
yang lain, makan bersama, pesta bersama, mendorong anak-anak untuk bermain
bersama dan lain-lain.
71Varshney, Ethnic Conflict and Civic Life, dalam Fu Xie,”Hubungan antara Orang Kristen danIslam dalam Masyarakat Sipil: Studi di Kota Sukabumi dan Kota Bandung, Prosiding The 5th
International Conference on Indonesian Studies:“Ethnicity and Globalization,icssis.files.wordpress.com/2013/09/2013-01-17.pdf
62
Adapun interaksi asosiasional terjadi dalam kelompok-kelompok seperti
asosiasi bisnis, organisasi profesional, klub membaca, klub film, klub olah raga, klub
musik, organisasi pesta, persatuan dagang, dan juga partai politik. Saat desa berubah
menjadi kota kecil, kota kecil menjadi kota besar, dan kota besar berubah menjadi kota
metropolitan, orang-orang mulai untuk menempuh jarak yang jauh untuk bekerja.
Dalam keadaan ini pertemuan tatap muka sehari-hari sulit dilakukan sehingga
hubungan asosiasional menjadi perlu baik untuk tujuan ekonomi, sosial maupun politik.
Dua bentuk hubungan ini juga berlaku dalam kaitannya dengan hubungan antara
pemeluk agama yang berbeda. Masalahnya adalah, hubungan dalam bentuk apa saja
yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim terhadap umat agama lain?
Apakah semua bentuk hubungan yang telah ada dalam masyarakat seluruhnya sesuai
dengan Islam atau tidak? Lalu bagaimana jika ternyata hubungan itu tidak dibenarkan
Islam?
Dari sudut pandang Islam, terdapat dalil yang sangat tegas mengenai hubungan
dengan pemeluk agama lain dalam kehidupan, dimana umat Islam tidak dilarang
berbuat baik terhadap pemeluk agama lain (TQS. al-Mumtahanah/60: 8-9).
Sebagai aturan hidup, Islam adalah diturunkan Allah swt kepada Nabi
Muhammad saw. untuk mengatur hubungan antara manusia dengan pencipta, antara
manusia dengan manusia lainnya, termasuk antara manusia dengan dirinya sendiri.
Hubungan manusia dengan penciptanya tercakup dalam perkara iman (aqidah) dan
ibadah (’ubudiyyah). Hubungan manusia dengan manusia lain tercakup dalam perkara
muamalah dan ’uqubat, seperti urusan ekonomi, sistem pendidikan, kesehatan, hukum
dan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran hukum, politik dan pemerintahan. Dengan
demikian, Islam merupakan mabda’ (ideologi) yang terdiri dari konsep dan metode
pelaksanaan konsep berupa aturan-aturan yang harus digunakan dalam menjalani
kehidupan.72 Hanya saja, ajaran Islam sebagai sistem hidup itu hanya bisa menjadi
aturan hidup, jika Islam dilaksanakan secara utuh dalam kehidupan nyata (QS. al-
Baqarah/2: 208).
Dalam kaitannya dengan hubungan dengan nonmuslim, Islam mengkategorikan
nonmuslim menjadi empat: kafir harbi (orang kafir yang memerangi umat Islam), kafir
72Taqiyuddin al-Nabhani, Nizām al-Islāmiyyah, diterjemahkan Abu Amin, dkk., PeraturanHidup dalam Islam (Cet. 3; Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003), h. 99.
63
mu’ahhad (orang kafir yang terikat perjanjian dengan Islam), kafir musta’min (orang
kafir yang mendapat jaminan keamanan dari Islam), dan kafir zimmi (orang kafir yang
tinggal dalam darul Islam yang mendapat hak yang sama dengan muslim).73 Hubungan
Islam dengan mereka dapat dirinci sebagai berikut:
1. Islam tidak memaksa non-muslim masuk Islam. Kaedah ini berlaku kepada semua
non muslim. Nonmuslim bebas menjalankan aqidah dan ibadah sesuai agaman tanpa
boleh dicampuri, termasuk tempat ibadah mereka dijamin keamanannya.74
2. Kafir dzimmi tidak dibebankan selain kewajiban membayar jizyah (QS. al-Taubah/9:
29) yang hanya dikenakan atas laki-laki yang telah balig dan mampu secara
ekonomi. Jizyah tidak diambil dari wanita, anak-anak, orang tua renta, orang buta,
orang gila, dan pendeta.75
3. Dalam hal muamalah, orang Islam dipersilakan bermuamalah secara baik dengan
nonmuslim sesuai dengan ketentuan Islam (QS. al-Mumtahanah/60: 8-9), di
antaranya: muslim boleh memakan sebelihan Ahlul Kitab dan menikahi wanita baik-
baiknya (QS. al-Maidah/5: 5), meski muslimah diharamkan dinikahi orang kafir
(QS. al-Mumtahanah/60: 10), dan berbisnis.76 Terhadap kafir musta’min dan
mu’ahhad mendapat jaminan keamanan, maka kaum muslim tidak boleh
mengganggu apapun yang dimiliki.
4. Terhadap kafir harbi, maka sikap Islam sangat tegas yakni tidak menjalin hubungan
dalam bentuk apapun (QS. al-Mumtahanah/60: 9).77
73Sebagian ulama membagi kafir menjadi: kafir harbi (al-muhâribîn), kafir yang memilikiperjanjian dengan kaum Muslimin (ahlu al-‘ahd) dan kafir ahlu dzimmah (adz-dzimmi). Ustadz KholidSyamhudi, Apakah Semua Orang Kafir Sama, dalam http://almanhaj.or.id/content/2569/slash/0/apakah-semua-orang-kafir-sama/
74Syaikh al-‘Allamah Muihammad bin Abdurrahman al-Dimasqy, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilafal-Aimmah, diterjemahkan oleh Abdullah Zki alKaf, Fiqih Empat Mazhab (Cet. 3; Bandung: Hasyimi,2010), h. 507.
75Syaikh al-‘Allamah Muihammad bin Abdurrahman al-Dimasqy, Fiqih Empat Mazhab…, h.503.
76Rasulullah sendiri selama di Mekah dipercaya menyimpan harta kaum musyrikin,begitu jugadalam perjalanan hijrah, Nabi mengupah Abdullah bin Uraiqith sebagai penunjuk jalan. Ia seorang Arabmusyrik dari Bani al-Dail bin Bakr, ibunya dari Bani Sahm bin Amr. Lihat Abu Muhammad AbdulMalik bin Hisyam al-Muafiri, al-Sirah al-Nabawiyah li Ibni Hisyam, diterjemahkan oleh Fadhli Bahri,Sirah Ibnu Hisyam, Jilid I (Cet. 1; Jakarta: Darul falah, 2000), h. 439.
77Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy, “Kebijakan Khilafah terhadap Non-muslim’ al-Wa’ie, Ed. Oktober 2014, dalam http://hizbut-tahrir.or.id/2014/10/06/kebijakan-khilafah-terhadap-non-muslim/ diakses kembali 8 Maret 2016.
64
Dari uraian di atas dapat digarisbawahi, bahwa konsep hubungan antara muslim
dengan nonmuslim dalam Islam sangat jelas dan terbuka dalam hampir seluruh aspek
kehidupan, mencakup aspek keuarga (silaturrahmi), bertetangga, muamalah-ekonomi,
kerja sama sosial, tolong menolong dan saling meringankan beban, saling menghormati
dan menghargai sebagai sesama manusia. Dalam aspek akidah, ibadah tidak boleh
saling mencampuri, apalagi memaksakan agama (QS. Al-Kafirun/109: 6, QS. al-
Baqarah/2: 256).
Inilah potret toleransi yang pernah diterapkan dalam Islam sepanjang
sejarahnya. Penerapan sistem Islam secara konsisten khususnya ajaran tentang toleransi
terbukti mampu menjamin kaharmonisan hubungan antarumat beragama selama
belasan abad.
65
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlangsung selama 6 (enam) bulan, yakni dari bulan April sampai bulan
September 2016.
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Dapu-dapura Kecamatan Kendari Barat Kota
Kendari1 kepada jamaah Masjid Da’wah Wanita Kendari dalam menjalin hubungan dengan
jemaat Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari.
Masjid Da’wah Wanita dan Gereja Pantekosta Bukit Zaitun terletak di wilayah
administratif kelurahan Dapu-dapura Kecamatan Kendari Barat Kota Kendari. Dari segi
wilayah, Kelurahan Dapu-dapura merupakan kelurahan paling sempit wilayahnya di antara 9
(sembilan) kelurahan dalam wilayah Kecamatan Kendari Barat.2
Tabel 1
Daftar Kelurahan Di Kecamatan Kendari Barat Kota Kendari
No Nama Kelurahan Luas (dalam km2) Persentase1 Kemaraya 5,04 26,372 Watu-watu 1,78 9,313 Tipulu 3,35 17,534 Punggaloba 2,72 14,235 Benu-benua 1,38 7,226 Sodoha 1,82 9,527 Sanua 1,83 9,588 Lahundape 0,99 5,189 Dapu-dapura 0,20 1,05
Jumlah 19.11 100
Sumber: Kendari Dalam Angka 2015
1Kota Kendari adalah ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara yang memiliki 10 kecamatan dengan64 kelurahan berdasarkan data tahun 2014, yakni: Mandonga (6 kelurahan), Wua-wua (4 kelurahan),Kadia (5 kelurahan), Baruga (4 kelurahan), Kambu (4 kelurahan), Kendari (9 kelurahan), Kendari Barat (9kelurahan), Puuwatu (6 kelurahan), Poasia (4 kelurahan), dan Abeli (13 kelurahan). Lihat Seksi IntegrasiPengolahan dan Deseminasi Statistik Badan Pusat Statistik Kota Kendari, Kota Kendari dalam Angka2015 (Kendari: BPS Kota Kendari, 2015), h. 48.
2Dalam wilayah Kecamatan Kendari Barat terdapat 9 (sembilan) kelurahan. Kelurahan Dapu-dapura memiliki luas 0,20 km2 (1,05%). Sedangkan kelurahan lainnya yakni: Kemaraya (5,04km2/26,37%), Watu-watu (1,78 km2 /9,31%), Tipulu (3,35 km2/17,53%), Punggaloba (2,72 km2/14,23%),Benu-benua (1,38 km2/7,22%), Sodoha (1,82 km2/9,52%), Sanua (1,83 km2/9,58%), Lahundape (0,99km2/5,18%), Lihat Seksi Integrasi Pengolahan dan Deseminasi Statistik Badan Pusat Statistik KotaKendari, Kota Kendari dalam Angka 2015(Kendari: BPS Kota Kendari, 2015), h. 32.
66
Dalam tabel di atas terlihat bahwa Kelurahan Dapu-dapura hanya 0,20 km2 (0,34 km2)3
atau 1,05 % dari 19,11 km2 total luas wilayah Kecamatan Kendari Barat. Secara keseluruhan
Kecamatan Kendari Barat merupakan kecamatan yang jumlah penduduknya terbanyak di antara
semua kecamatan yang ada dalam wilayah Kota Kendari. Dari sejumlah 335.889 jiwa penduduk
Kota Kendari, sebanyak 49.725 jiwa atau 14,80 % berdomisili di Kecamatam Kendari Barat.
Dari jumlah penduduk tersebut sebanyak 3.802 berdomisili di Kelurahan Dapu-dapura. Berikut
disajikan data penduduk menurut jenis kelamin, suku, dan agama.
Tabel 2
Data Pendudukan Menurut Jenis Kelamin Kelurahan Dapu-dapura Kecamatan Kendari Barat
No Agama Jumlah Jiwa Persentase1 Pria 1.907 50,162 Wanita 1.895 49,84Jumlah 3.802 100
Sumber: Monografi Kelurahan Dapu-dapura Kec. Kendari Barat Tahun 2016
Tabel 3
Data Pendudukan Menurut Etnis Kelurahan Dapu-dapura Kecamatan Kendari Barat
No Agama Jumlah Jiwa Persentase1 Bugis 680 17.892 Muna 550 14.473 Makassar 535 14.074 Tolaki 450 11.845 Buton 355 9.346 Jawa 220 5.797 Tidak ada data 1012 26.62Jumlah 3.802 100
Sumber: Monografi Kelurahan Dapu-dapura Kec. Kendari Barat Tahun 2016
Tabel 4
Data Pendudukan Menurut Agama Kelurahan Dapu-dapura Kecamatan Kendari Barat
No Agama Jumlah Jiwa Persentase Keterangan1 Islam 3.625 95,34 Data ini terdapat
kekurangan dalam jumlahtotal, sehingga ditambahpoin 6. lain: 3.
2 Kristen 30 0,793 Protestan 40 1,054 Hindu 72 1,895 Budha 32 0,846 Lain 3 0,08Jumlah 3.802 100
Sumber: Monografi Kelurahan Dapu-dapura Kec. Kendari Barat Tahun 2016
3Angka berbeda dengan yang tertera pada data Monografi Kelurahan Dapu-dapura tahun 2016,dimana luas keluarahan Dapu-dapura tercatat 0,34 km2.
67
Kecamatan Kendari Barat adalah kecamatan yang paling banyak terdapat rumah ibadah
nonmuslim. Dari sejumlah 32 gereja yang ada di Kota Kendari, 7 gereja terdapat di kecamatan
ini, dan 2 vihara yang ada di Kota Kendari terdapat di Kecamatan Kendari Barat.
Tabel 5
Jumlah Sarana Ibadah di Kota Kendari
No Nama Kelurahan Masjid Mushalla Gereja Pura Vihara Jumlah1 Mandonga 27 11 3 - - 412 Baruga 40 1 4 - - 453 Puuwatu 42 5 5 - - 524 Kadia 51 1 5 1 - 585 Wua-wua 37 1 1 - - 396 Poasia 36 3 2 - - 417 Abeli 23 - 1 - - 248 Kambu 27 4 1 - - 329 Kendari 18 2 3 - - 23
10 Kendari Barat 36 12 7 - 2 57Jumlah 337 40 32 1 2 412
Sumber: Kementerian Agama Kota Kendari.4
Namun, sarana ibadah yang terdapat di Kelurahan Dapu-dapura terbilang kurang. Dari
48 masjid dan mushalla berdasarkan data tabel di atas5 dalam wilayah Kecamatan Kendari Barat,
hanya ada sebuah masjid, sebuah mushalla (lihat tabel 6) dan sebuah gereja (lihat tabel 7) yang
terdapat di Kelurahan Dapu-dapura.
Tabel 6
Sarana Ibadah di Kendari Barat
No Nama KelurahanMasjid/
MushallaGereja
ProtestanGerejaKatolik
Vihara
1 Kemaraya 5 1 - 12 Watu-watu 6 - - -3 Tipulu 6 1 - 14 Punggaloba 3 1 - -5 Benu-benua 2 - - -6 Sodoha 4 - 1 -7 Sanua 2 - 1 -8 Lahundape 6 - - -9 Dapu-dapura 2 1 - -
Jumlah 36 4 2 2
Sumber: Diolah Kecamatan Kendari Barat Dalam Angka 2014
4BPS, Kendari Dalam Angka 2015, h. 146.5Berdasarkan data terbaru tahun 2016 dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Kendari Barat,
jumlah masjid dan mushalla sebanyak 42 buah.
68
Tabel 7
Daftar Nama Masjid di Kecamatan Kendari Barat
No. Nama Masjid/Mushalla Kelurahan Alamat1 Masjid Khairunnisa Kemaraya Jl. Bina Guna2 Masjid Al-Muhlisin Jl. Palapa3 Masjid Jabal Nur Jl. Bungan Kolosua4 Masjid Nurul Falah Jl. Dr. Sam Ratulangi5 Masjid Nur Afiat Kompleks Dinkes6 Mushallah Nurul Fikri Jl. Bunga Kolosua (SDN 12)7 Masjid Nurul Jannah Lahundape Jl. Bunga Matahari8 Masjid Al-Amin Jl. Wijaya Kusuma9 Masjid Sabilil Muttaqin Jl. Komplek UHO Lama10 Masjid Al-Anshar Jl. Bunga Kaboja11 Masjid Nurul Shalihin Jl. Bunga Duri12 Masjid Al-Munawwarah Jl Bunga Dahlia No. 1713 Masjid Nurul Syakirah Jl. Bunga Duri II14 Mushalla SDN 34 Kemaraya Jl. Wijaya Kusuma15 Masjid Fastabiqul Khairat Watu-watu Jl. Mayjen Sutoyo16 Masjid Jabal Rahmah Jl. Bunga Teratai17 Masjid At-Tarbiyah Jl. Palem Raya18 Masjid Jabal Nur Jl. Kodya No. 3919 Masjid Jabal Uhud Jl. Amarilis20 Masjid Ar-Risalah Jl. Alape21 Mushalla Khusnul Khatimah Jl. Mayjen Sutoyo (SMA 1)22 Masjid Babut Taqwa Tipulu Jl. Mayjen Sutoyo23 Masjid Nurul Jihad Jl. Sultan Hasanuddin24 Masjid Al-Mizan Jl. Kijang25 Masjid Alauddin Jl. St. Hasanuddin (Kampus IAIN
Lama).26 Masjid Al-Ikhlas Jl. Srigala RT 9/RW 527 Masjid Hj. Zubaidah Jl. Pariama28 Masjid Akbar Punggaloba Jl. Pangeran Diponegoro29 Masjid Baitul Muawwanah Jl. St. Alauddin (LDII)30 Mushalla al-Ikhlas Jl. Nuri31 Masjid Al-Mu’minin Benu-benua Jl. Pangeran Diponegoro32 Masjid Al-Madani Jl. Pembangunan (By Pass)33 Masjid At-Taqwa Sodoha Jl. Bete-bete34 Masjid Al-Ihsan Jl. Muh. Hatta35 Masjid Al-Aqsha Jl. Pembangunan (Kompleks TPI)36 Mushalla al-Hikmah Jl. HKSN RT 2/RW 437 Masjid Nurul Iman Sanua Jl. Muh. Hatta38 Masjid Nur Rahmah Jl. Lasolo No. 10039 Mushalla Annizamiyah Jl. Muh. Hatta No. 61 (SMP 2)40 Mushalla Nurul Ilmi Jl. Pembangunan No. 16 (MIN 1)41 Masjid Da’wah Wanita Dapu-dapura Jl. Ir. Soekarno No. 4542 Mushalla Ar-Rahman Jl. Pembangunan (Pasar Sentral
Kota Lama)
Sumber: Kantor Urusan Agama Kecamatan Kendari Barat Tahun 2016
69
Tabel 8
Daftar Nama Gereja di Kecamatan Kendari Barat
No. Nama Gereja Kelurahan Alamat1 GPdI Bukit Zaitun Dapu-dapura Jl. Ir. Soekarno Kel. Dapu-
dapura2 Gereja Santa Anna Sodoha Jl. Pangeran Diponegoro Kel.
Sodoha3 Gereja Kebangunan Kalam
AllahSodoha Kel. Sodoha
4 GEP Sultra Imanuel Punggaloba Jl. Pangeran Diponegoro Kel.Punggaloba
5 Gereja Katolik Clemen Kemaraya Jl. Saranani Kel. Kemaraya6 GEP Sultra Kel. Kemaraya7 GPdI Yesus Gembala Kemaraya Jl. Saranani Kel. Kemaraya
Sumber: Pendataan Lapangan oleh Peneliti dari data Kendari Dalam Angka 2015.
Posisi lokasi Masjid Da’wah Wanita dan Gereja Pantekosta Bukit Zaitun berada pada
perbatasan kelurahan Dapu-dapura Kecamatan Kendari Barat dengan Kelurahan Kandai
Kecamatan Kendari6 di bagian timur. Letak bangunan masjid terapit oleh dua jalan besar dan
satu jalan kecil. Di sebelah utara yang merupakan bagian utama masjid adalah jalan Ir. Sokarno,
jalan utama yang menghubungkan pelabuhan (Kota Lama) dengan pusat kota (Mandonga). Di
jalan ini persis di depan masjid terdapat pertigaan jalan Tekaka menuju ke utara ke Kelurahan
Kandai Kecamatan Kendari.
Di bagian selatan masjid terdapat jalan sepanjang 100 meter yang menghubungkan jalan
Ir. Soekarno dengan jalan Kongoasa sehingga masjid berada dalam posisi terapit oleh jalan yang
membentuk segi tiga. Halaman masjid terletak di bagian barat yang berbentuk segi tiga. Di
sebelah selatan halaman ini, tepatnya di jalan yang pedek ini terdapat sekolah swasta, yakni
SMPS Muhammadiyah.
Di sebelah timur masjid terdapat Gereja Pantekosta Bukit Zaitun yang dindingnya hanya
berjarak sejengkal orang dewasa dengan dinding masjid pada bagian depan (bagian utara), dan
tidak ada jarak sama-sekali pada bagian belakang (bagian selatan). Sebelah timur gereja terdapat
kantor Kelurahan Kandai yang posisinya juga berdempet dengan gereja. Berikut peta lokasi
Masjid Da’wah Wanita dan GPdI Bukit Zaitun Kendari.
6Pada awalnya, Masjid Da’wah Wanita berada dalam wilayah Kelurahan Kandai KecamatanKendari. Namun, jika masjid tetap berada dalam wilayah tersebut, berarti kelurahan Dapu-dapura tidakmemiliki masjid sama sekali. Atas pertimbangan tersebut dan atas persetujuan dua kelurahan dan duakecamatan yang berbatasan, maka batas wilayah Kelurahan Dapu-dapura digeser ke arah timur, sehinggamasjid masuk ke wilayahkelurahan Dapu-dapura Kecamatan Kendari Barat. Karena bangunan gereja,pondasi dan sebagian dindingnya menyatu dengan masjid, maka gereja pun ikut masuk ke wilayahkelurahan tersebut. Drs. Zulikfli, Lurah Kandai Kecamatan Kendari, Wawancara, di Kandai tanggal 13Juli 2016.
70
Bangunan Masjid Da’wah Wanita berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar
15 meter panjang 30 meter dengan lebar mihrab 5 meter panjang 4 meter. Tinggi dinding
bangunan sekitar 4 meter yang berdiri di atas pondasi bangunan yang cukup tinggi, yakni sekitar
4 meter dari permukaan jalan. Hal itu karena masjid dibangun di atas gundukan tanah yang
tinggi (berbukit). Untuk memasuki masjid, jamaah bisa memilih dua jalan, yakni bagian selatan
masjid dengan tangga darurat di mana pada sisi ini terdapat dua pintu masjid. Pada umumnya
jamaah memasuki masjid dengan melalui bagian utara dengan menaiki tangga yang berada di
bagian depan (jalan Ir. Soekarno). Di bagian ini terdapat dua tangga bagian barat dan bagian
timur berbatasan dengan gereja. Bagian tengah terdapat tangga utama setinggi 5 meter yang
langsung menuju teras utama dimana terdapat pintu utama masjid.
Setiap masuk waktu shalat, di masjid ini dikumandangkan azan melalui pengeras suara
yang dapat didengar oleh masyarakat dengan jarak yang cukup jauh karena suara muazin
dilontarkan oleh pengeras suara yang dipasang di atas menara setinggi 15 meter yang terletak di
sebelah utara mihrab masjid. Jamaah yang ingin menuaikan shalat berjamaah di masjid ini
disiapkan dua tempat berwudhu’ yang terdapat di luar masjid di depan mihrab sebelah barat dan
di sayap kiri belakang masjid berbatasan dengan dinding gereja. Kini Masjid dibangun pada
tahun 1970-an ini sedang direnovasi dan ditingkatkan menjadi dua lantai. Pembangunan menjadi
dua lantai merupakan renovasi ketiga kalinya sejak masjid dibangun.
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian merupakan sumber tempat memperoleh keterangan atau data untuk
menjawab petanyaan penelitian. Subyek utama dari penelitian ini adalah pengurus Masjid
Da’wah Wanita Kendari. Selain itu, sebagian jamaah masjid baik sebagai anggota pengurus
maupun jamaah masjid lain, termasuk remaja masjid dan majlis ta’lim yang dapat memberikan
informasi yang relevan dan diperlukan dalam penelitian ini. Selain dari pihak jamaah masjid,
juga dari pihak gereja, yakni pengurus gereja yang tinggal dalam lingkungan gereja.
C. Data dan Sumber Data
Data penelitian ini adalah: pertama, ungkapan pemahaman dalam bentuk kata-kata,
tindakan dan keadaan para jamaah dan pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari. Kedua,
tulisan-tulisan, baik berbentuk buku maupun hasil penelitian terkait kerukunan beragama secara
umum dan secara khusus di Sulawesi Tenggara.
Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data utama dalam penelitian
kualitatif adalah “kata-kata”, selebihnya adalah data tembahan seperti dokumen dan lain-lain.
Berkaitan dengan hal itu pada bagian ini jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata dan sumber
71
data tertulis. Kata-kata orang marupakan sumber utama, yakni para jamaah dan pengurus masjid.
Di sisi lain sumber tertulis walaupun dikatakan bahwa sumber data di luar kata merupakan
sumber kedua yang tentu tidak dapat diabaikan. Dilihat dari segi sumber data, bahan tambahan
yang berasal dari sumber tertulis maupun rekaman. Sumber tertulis dapat berupa, buku dan
majalah ilmiah/jurnal, baik cetak maupun online, catatan tidak terpublikasi, serta arsip lainnya.
D. Pengumpulan Data
Data lapangan dikumpulkan dengan menggunakan teknik observasi, wawancara dan
dokumentasi.
Observasi dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai hubungan antara jamaah
Masjid Da’wah Wanita dengan jemaat Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari. Selain itu,
observasi juga digunakan untuk mencocokkan data yang diperoleh dari wawancara dengan
jamaah masjid, khususnya dalam hal aktivitas mereka dalam hubungannya dengan jemaat gereja.
Selain itu, observasi juga berguna untuk menjalin kedekatan emosional dengan pengurus dan
jamaah masjid dalam mengumpulkan data lebih jauh.
Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data berupa keterangan mengenai topik
penelitian. Wawancara kepada para pengurus masjid dan pendeta serta jamaah masjid dalam
bentuk dialog untuk mengungkap pemahaman dan peran mereka dalam memelihara hubungan
antarumat beragama jamaah masjid Da’wah Wanita dengan jemaat Gereja Pantekosta Bukit
Zaitun Kendari. Wawancara kepada para pengurus7 dan pendeta dilakukan dengan wawancara
terstruktur dan tidak terstruktur8, yakni dengan menggunakan pedoman wawancara yang berisi
poin-poin penting yang ditanyakan kepada informan yang selanjutnya dilakukan pendalaman
terhadap poin-poin pertanyaan wawancara.
Peneliti juga menggunakan teknik dokumentasi untuk mengumpulkan data berupa
dokumen, baik tertulis, visual maupun audio mengenai hubungan antara jamaah masjid dan
jemaat gereja dan sikap jamaah masjid terhadap jemaat gereja. Untuk menjalankan teknik ini,
dibuat daftar dokumen yang dicari, lalu di-check list apabila telah ditemukan. Apabila data yang
7Penentuan pengurus yang diwawancarai dilakukan dengan menetapkan ketua pengurus danimam masjid sebagai informan awal atau kunci, selanjutnya pengurus dan jamaah yang lain ditetapkandengan menggunakan teknik snowball sampling. Informan awal tersebut kemudian menjadi sumberinformasi tentang informan-informan lain yang juga dapat dijadikan sumber untuk mendapatkan data atauinformasi yang diperlukan. Lihat Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, Suatu Teknik PenelitianBidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya (Cet. 3; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999),h. 63.
8Dalam literatur mengenai metodologi penelitian lazim dibedakan antara wawncara terstrukturdan tidak terstruktur. Lihat misalnya Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma BaruIlmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya (Cet. 4; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 186.Namun, dalam penelitian ini penulis menggabungkan kedua macam teknik wawancara tersebut.
72
dicari tidak ditemukan, maka peneliti mencari informasi mengapa data atau dokumen tersebut
tidak ada.
E. Analisis Data
Inti dari tahapan ini adalah menjelaskan fenomena temuan di lapangan penelitian.
Menjelaskan fenomena tidak lain adalah aktivitas menetapkan keterkaitan dari serangkaian
hubungan timbal balik mengenai fenomena tersebut.9
Sebelum dan selama proses menjelaskan data lapangan, beberapa langkah yang
ditempuh setelah data diperoleh adalah memeriksa kelengkapan data, memilah, dan
mengelompokkannya sesuai masalah penelitian. Data yang diperoleh melalui wawancara
dikumpulkan, diedit, lalu dikelompokkan sesuai permasalahan penelitian. Data yang diperoleh
melalui observasi dikelompokkan berdasarkan jenis kegiatan atau peristiwa. Adapun data berupa
dokumen dikelompokkan sesuai jenisnya. Data hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi
dipisahkan menjadi dua, yakni data/informasi utama yang berkaitan langsung dengan masalah
penelitian, dan informasi pendukung.10
Selajutnya, data dijelaskan, dipisah-pisahkan, atau dihubung-hubungkan satu sama lain
kemudian diinterpretasi dan dianalisis secara induktif.11 Dalam tahap inilah dipaparkan hasil
temuan kemudian dengan menggunakan nalar, penulis mendiskusikan temuan-temuan tersebut
dengan teori-teori yang ada dan kerangka pikir yang terbangun.
Untuk mendapatkan data penelitian yang valid, peneliti melakukan proses triangulasi.
Data yang terkumpul berupa dokumen tertulis dikonfirmasi dengan data lain yang diperoleh
dengan wawancara dan observasi untuk memperjelas atau melengkapi isi informasinya.
Misalnya, data tertulis yang diperoleh melalui media cetak tentang kerja sama atau kerja bakti
antara jamaah masjid dan jemaat gereja secara bersama-sama di masjid dan di gereja. Informasi
tertulis ini diuji kebenarannya dengan menanyakan langsung kepada pengurus masjid dan
pengurus gereja untuk membuktikan kebenarannya.
9Robert K. Yin, Case Study, Research Design and Methods, diterjemahkan oleh M. DjauziMudzakir, Studi Kasus, Desain dan Metode (Cet. 2; Jakarta: RajaGrafindo, Persada, 1997), h. 147.
10Dalalm perspektif yang lain ditempuh dengan tiga langkag yakni: persiapan, tabulasi danpenerapan data sesuai masalah penelitian. Selengkapnya bisa dilihat dalam Suharsimi Arikunto, ProsedurPenelitian, Suatu Pendekatan Praktek (Cet. 9; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), h. 205-208.
11Penarikan kesimpulan dalam penelitian kualitatif berproses secara induktif, yakni prosesnyadiawali dari upaya memperoleh data yang detail mengenai masalah penelitian, kemudian dikategorisasi,serta dicari tema sebagai konsep teori atau temua. Lihat Hamidi, Metode Penelitian Kualitatif: AplikasiPraktis Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian (Ed. 1, Cet. 3; Malang: Universitas MuhammadiyahMalang, 2005), h. 15. Lihat juga Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D (Cet. 3;Bandung: Alfabeta, 2007), h. 245.
73
Begitu juga data wawancara, di-crosscheck kesesuaiannya melalui observasi (triangulasi
teknik). Selain itu, informasi dari nasumber yang satu dibandingkan dengan informasi dari
sumber yang lain dengan materi informasi yang sama. Jika dianggap perlu, terutama data
observasi diuji kembali tingkat kebenarannya dengan melakukan observasi pada waktu yang
berbeda.
Semua data yang terkumpul didiskusikan dengan sumber-sumber pustaka, baik yang
tercatum maupun yang belum tercantum pada bab kajian teori. Dengan kemampuan analisa dan
kajian teori, peneliti menarik kesimpulan sebagai hasil penelitian. Penulisan laporan penelitian
dilakukan sesuai petunjuk teknis penulisan karya ilmiah yang dikeluarkan oleh IAIN Kendari.
74
BAB IV
RELASI DAN SIKAP JAMAAH MASJID DA’WAH WANITATERHADAP JEMAAT GPdI BUKIT ZAITUN KENDARI
A. Profil Masjid Da’wah Wanita dan GPdI Bukit Zaitun Kendari
1. Masjid Da’wah Wanita Kendari
Masjid adalah tempat yang sangat penting bagi umat Islam. Bukan hanya
sebagai tempat ibadah, tetapi sekaligus merupakan simbol keberadaan dan keagungan
umat Islam. Di awal terbentuknya masyarakat Islam di Madinah, Nabi Saw.
memulainya dengan membangun masjid.1 Masjid Nabawi merupakan tempat utama
yang sangat penting dalam membangun masyarakat Islam yang kokoh, karena
keberadaan masjid merupakan tempat pembinaan aqidah dan sistem dan tatanan
masyarakat sesuai syariat Islam.2 Karena itu, Masjid Nabawi bukan hanya sebagai
tempat shalat, tetapi juga sebagai tempat pendidikan dan pusat pemerintahan, dimana
hampir semua urusan kenegaraan dibicarakan dan diselesaikan oleh Nabi Saw. di
masjid.3
Begitu juga pada masa pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidun4, masjid berjalan
fungsinya sebagaimana di zaman Nabi Saw. Pada masa-masa selanjutnya, di mana para
1Masjid di Madinah merupakan bangunan masjid pertama yang dibangun Nabi Saw. di KotaYatsrib, kemudian dikenal dengan nama Masjid Nabawi, dibangun pada bulan Rabiul Awal tahun 1 Hatau tahun 622 M. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Cet. 9; Jakarta: PT. IchtiarBaru Van Hoeve, 2001), h. 169.
2Di antara prinsip penting dalam pelaksanaan sistem Islam pada masyarakat Islam adalahpersaudaraan, persamaan dan penegakan keadilan. Hal itu semua tidak mungkin terwujud selama kaummuslimin tidak bertemu setiap hari dalam satu shaf di belakang kepemimpinan Nabi Muhammad Saw.untuk menghadap dan menghambakan diri secara bersama-sama kepada Allah swt. di masjid. Tanpaadanya kesamaan dalam ubudiyah ini betapapun rajinnya umat Islam ruku’ dan sujud tidak akan mampumenundukkan egoisme dan keangkuhan yang ada pada individu umat Islam. Selengkapnya lihatMuhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, Fiqhu al-Sirah, Dirasat Manhaj ‘Ilmiyah li Sirat al-Musthafa‘Alaihi al-Shalat wa al-Salam, diterjemahkan oleh Ainur Rafiq Shaleh Tamhid, Sirah Nabawiyah:Analisis Ilmiah Manhaj Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah Saw. (Cet. 1; Jakarta: RobbaniPress, 1999), h. 187-188.
3Bahkan di awal berdirinya masyarakat Islam di Madinah, masjid menjadi tempat untuk semuaaktivitas yang bersifat, termasuk jual beli. Kemudian, ternyata banyak terjadi hiruk pikuk, maka NabiSaw. memisahkan masjid dari aktivitas jual beli. Lihat A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam(Penerjemah Mukhtar Yahya). (Jakarta: PT. Pustaka Al-Husna, 2003), h. 103.
4Para ulama menyebutkan bahwa masa pemerintahan khulafa’ al-rasyidun berlansung selama 30tahun setelah wafatnya Rasulullah Saw. Mereka adalah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar Bin al-Khattab,Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Hasan Bin Ali yang berlangsung selama 30 tahun. Lihat
75
khalifah mulai membangun semacam istana negara dan mahkamah, masjid mulai
berkurang fungsinya sebagai pusat pemerintahan. Terlebih lagi setelah masa kejayaan
umat Islam yang ditandai dengan berkembanganya ilmu pengetahuan dan pendidikan,
masjid tidak dapat lagi menampung semua aktivitas pendidikan sehingga menuntut
untuk dibangun tempat khusus bagi kegiatan pendidikan.
Fungsi masjid semakin berkurang ketika terjadinya sekularisasi di dunia Islam
yang bersamaan dengan runtuhnya kekhilafahan Islam pada tahun 1924 M, dimana
antara urusan agama dengan urusan dunia pada semua aspek kehidupan dipisahkan,
maka masjid menjadi tempat pelaksanaan ibadah saja, khususnya shalat lima waktu
ditambah kegiatan-kegiatan perayaan hari-hari besar Islam.
Masjid secara bahasa berarti tempat sujud.5 Dari arti bahasa ini, maka semua
permukaan bumi ini bagi umat Islam merupakan masjid karena digunakan untuk
bersujud kepada pencipta. Namun, menurut pengertian istilah tidak semua tempat sujud
dapat dikatakan masjid. Suatu tempat dapat dikategorikan masjid yakni sebuah
bangunan yang diperuntukkan untuk mendirikan shalat, baik shalat lima waktu (shalat
magrib, isya’, shubuh, zuhur, dan ’ashar) maupun shalat jum’at dan shalat hari raya
(’idul fithri dan ’idul adha).
Di Indonesia, kata masjid telah menjadi istilah dengan pengertian sebagai
tempat shalat yang di dalamnya didirikan shalat jumat. Jika tidak digunakan untuk
shalat jumat, tidak dikatakan masjid.6 Terdapat beberapa sebutan yang biasa digunakan
sebagai nama untuk tempat ibadah itu di beberapa daerah, seperti langgar dan surau
(Sumatera), dan mushalla, tetapi pada umumnya disebut mushalla (tempat shalat).
Masjid Da’wah Wanita merupakan masjid jami’, yakni masjid induk yang
terdapat di ibukota kelurahan.7 Masjid Da’wah Wanita berada dan satu-satunya masjid
yang ada di kelurahan Dapu-dapura Kecamatan Kendari Barat.8
Imam al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, Sejarah Para Penguasa Islam, diterjemahkan oleh SamsonRahman (Cet. 7; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010), h. 11.
5Masjid dari akar kata سجد - یسجد – سجودا (sujud, membungkuk dengan khidmat), المسجد atauالمسجد berarti tempat sujud, masjid. Lihat Ahmad Warson Munawwar, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia (Cet. 14; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 610.
6Nana Rukmana, Masjid dan Dakwah, Merencanakan, Membangun dan Mengelola Masjid,Mengemas Substansi Dakwah Upaya Pemecahan Krisis Moral dan Spiritual (Cet. 1; Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2002), h. 41.
7Di Indonesia, masjid dikategorikan menjadi masjid negara (masjid induk di ibukota negara,yakni masjid Istiqlal Jakarta), masjid raya (masjid induk di ibukota provinsi), masjid agung (masjid induk
76
a. Sejarah Pembangunan Masjid Da’wah Wanita
Terdapat dua versi tentang waktu pembangunan Masjid Da’wah Wanita
Kendari. Versi pertama menyebutkan bahwa masjid lebih dahulu dibangun dari pada
gereja dan versi kedua menyebutkan gereja lebih dahulu dibangun dari pada masjid.
Salah seorang pengurus masjid menjelaskan, bahwa seingatnya masjid lebih
dahulu dibangun dari pada gereja. Pada awalnya masjid hanya merupakan bangunan
biasa terbuat dari kayu kemudian digunakan untuk shalat berjamaah.9 Pendapat ini
diperkuat oleh imam Masjid Da’wah Wanita yang menjelaskan bahwa dirinya telah
tinggal di sekitar masjid pada tahun 1960-an dan masjid dan gereja belum dibangun. Ia
menjelaskan, pada tahun 1970-an mulai dibangun sebuah tempat berukuran kira-kira
5x7 meter yang terbuat dari kayu kemudian digunakan untuk tempat pengajian atau
majlis ta’lim untuk ibu-ibu. Sekitar tiga atau empat tahun kemudian (1973 atau 1974)
baru kemudian gereja dibangun.10
Bagi yang menyebutkan masjid lebih dahulu dari pada gereja menjelaskan
antara lain. Pada mulanya di tempat yang gereja yang sekarang sedang berdiri hanya
sebuah bangunan rumah tinggal, bukan gereja. Sementara balai-balai atau mushallah
telah digunakan sebagai tempat pengajian atau majlis ta’lim bagi ibu-ibu.
Adapun versi yang menyebutkan gereja lebih dahulu dibangun dari pada masjid,
antara lain ada yang menyebutkan bahwa masjid dibangun sekitar tahun 1971,
di ibukota kabupaten atau kota), masjid besar (masjid induk di ibukota kecamatan), masjid jami’ (masjidinduk di ibukota desa atau kelurahan), dan masjid di tempat publik, yakni masjid-masjid yang lain yangtidak ditetapkan sebagai masjid induk di wilayah ibukota negara sampai desa/kelurahan atau lingkungan.Adalagi kategori lain, yakni masjid bersejarah, yang adakalanya mencakup salah satu kategori yangdisebutkan sebelumnya. Untuk keperluan pendataan/verifikasi, informasi dan penilaian masjid,Kementerian Agama RI melalui Dirjen Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Dirjen Bimas Islamtelah meluncurkan SIMAS (sistem informasi masjid), dapat dilihat di http://simas.kemenag.go.id
8Jumlah masjid dalam wilayah Kota Kendari berdasarkan data Kementerian Agama KotaKendari tahun 2014 sebanyak 377 masjid yang tersebar di 10 kecamatan, yakni: Kecamatan Mandongasebanyak 38 masjid, Baruga 41 masjid, Puuwatu 47 masjid, Kadia 38 masjid, Wua-wua 38 masjid,Poasia 39 masjid, Abeli 23 masjid, Kambu 31 masjid, Kendari 20 masjid, Kendari Barat 48 masjid. LihatBPS Kota Kendari Seksi Integrasi Pengolahan dan Desiminasi Statistik, Kota Kendari Dalam Angka2015 (Kendari: BPS Kota Kendari, 2015), h. 146. Jumlah ini tampaknya mengalami perubahan di tahun2016 ini karena menurut pengamatan, terdapat beberapa masjid dibangun setelah tahun 2014.
9Makmur Dg. Kulle, B.Sc., Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari,tanggal 27 Mei 2016.
10H. Tamangking, Imam Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari pada tanggal3 Juni 2016.
77
sementara gereja sudah ada sejak tahun 1960.11 Informasi ini diperkuat oleh salah
seorang pengurus masjid yang mengaku sudah berdomisili di sekitar lokasi masjid
sebelum masjid dibangun. Ia menceritakan bahwa sebelum masjid dibangun dirinya
bersama keluarga sudah tinggal di Jalan Ir. Sukarno yang sekarang berjarak sekitar 50
meter dari masjid. Seingatnya, waktu itu ia masih kecil dan sering bermain di pondasi
masjid yang sedang dibangun, sekitar tahun 1970-an dan gereja sudah ada.12
Sumber lain dari pihak gereja menyebutkan bahwa masjid dibangun sekitar tiga
tahun setelah gereja, sementara gereja dibangun tahun 1960.13 Berarti berdasarkan
sumber ini, masjid dibangun sekitar tahun 1963 atau 1964. La Ode Maerdi, seorang
sepuh yang telah lama menetap di sekitar masjid (di jalan Tekaka) juga menyebutkan
waktu yang sama. Meskipun ia mengaku tidak ingat lagi tahun berapa persisnya masjid
dibangun, tetapi yang jelas seingatnya sejak ia tinggal di wilayah itu pada tahun 1960,
masjid belum ada.14
Dari berbagai sumber yang dihimpun, mengenai kedua versi tentang mana lebih
dahulu masjid atau gereja, ternyata agak sulit untuk memastikan mana yang
benarkarena semua menyebutkan sesuai ingatan masing-masing. Tidak ditemukan
adanya dokumen tertulis yang menyebutkan tentang tahun dibbangunnya masjid.
Namun, hemat penulis, berdasarkan beberapa informasi yang ada, versi yang
menyatakan gereja lebih dahulu dibangun dari pada masjid lebih mendekati kebenaran.
Selain lebih banyak sumber informasi yang menyebutkan, juga terdapat sumber tertulis
yang dimiliki oleh pihak gereja yang dapat menguatkan versi tersebut. Karena itu,
kemungkinan besar gereja dibangun lebih awal dari pada masjid. Selain itu, sekiranya
masjid yang lebih dahulu dibangun, tentu umat Islam tidak setuju bila dibangun gereja
di sampingnya.15
11Sarini Ido, “Cerita Harmonis 30 cm Bangunan Masjid dan Gereja”, Rubrik Berita SultraTerkini, ed.7 Agustus 2015, http://www.sultrakini.com. Akses 14 April 2016.
12M. Yusuf Latif, SE., Sekretaris Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, diKendari pada tanggal 28 April 2016.
13Pdt. David Agus Setiawan, Wawancara, di Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari, tanggal21 Mei 2016.
14Laode Maerdi, Jamaah Sepuh Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari padatanggal 8 April 2016.
15Rustam, Jamaah Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari pada tangga l 4Agustus 2016.
78
Adapun mengenai waktu pembangunan masjid, meskipun tidak ada informasi
yang benar-benar tepat tentang waktu pembangunan masjid, tetapi dari sejumlah
informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa pembangunan Masjid Da’wah Wanita
diperkirakan sekitar tahun 1970-an.
Masjid Da’wah Wanita adalah masjid yang dibangun atas prakarsa tokoh
masyarakat untuk keperluan pelaksanaan pengajian Islam dan ibadah bagi masyarakat
di situ. Kronologi pembangunan masjid yang berlokasi di tempat dimana masjid berdiri
sekarang ini adalah sebagai berikut.
Tanah lokasi masjid tersebut adalah tanah warga yang dijadikan sebagai tanah
wakaf untuk masjid.16 Awalnya sebidang tanah yang disebut-sebut sebagai milik H.
Tonggo yang bersumber dari keluarganya yang bernama Made Alam. Menurut
penuturan sebagin pengurus masjid, tanah tersebut dipersengketakan kepemilikannya
sampai masing-masing pihak mengadukannya kepada Brigjen Madjid Yoenoes.17
Karena masing-masing pihak merasa kuat atas kepemilikan tanah tersebut, maka
disarankan kepada keduanya agar tidak perlu melanjutkannya sampai ke penyelesaian
secara hukum agar tidak terjadi kekecewaan yang berkepanjangan bagi pihak yang
kalah. Telah banyak terjadi sengketa tanah yang berujung pada perkelahian
antarkeluarga yang berujung pada pembunuhan. Jika hal itu terjadi, maka keburukan
dunia dan akhirat yang akan didapat. Untuk itu, Brigjen Madjid Yoenoes menawarkan
jalan yang lebih baik dari pada keinginan kedua belah pihak memilikinya, yakni agar di
atas tanah itu dibangun masjid atau mushalla. Dengan begitu maka kedua belah pihak
akan mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat. Saran itupun diterima secara baik
16Status tanah wakaf masjid baru diperoleh dengan terbitnya sertifikat wakaf pada tahun 2012.Sebelumnya, lokasi tersebut sebagai tanah yang dipermasalahkan antara pemilik (H. Tonggo) denganpihak Ibu Madjid bersama suaminya, Brigjend. Madjid Yoenoes. Status tanah yang dipermasalahkanberakhir dengan diserahkannya tanah tersebut sebagai pemberian atau hibah dari H. Tonggo kepada Drs.Marsuki. Dengan status sebagai hibah, maka Drs. Marsuki kemudian mengurus sertifikat tanah wakaf.Informasidiperoleh dari Drs. Marsuki, Ketua I Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari Periode 2015-2020, Wawancara, di Kendari pada tanggal 18 Mei 2016.
17Brigjen. Madjid Yoenoes adalah putra daerah Sulawesi Tenggara yang pertama kali pernahmenjabat Danrem 143/HO. Aziz Senong, rubrik berita di http://www.antarasultra.com/berita. diaksestanggal 29 April 2016. Madjid Yoenoes pernah juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD ProvinsiSulawesi Tenggara periode tahun 1971-1977. Lihat Sejarah DPRD Sultra http://www.dprd-sultraprov.go.id/p/sejarah-dprd.html. diakses tanggal 29 April 2016. Untuk mengenang pengabdianBrigjen Madjid Yoenoes di Sulawesi Tenggara, namanya diabadikan sebagai nama jalan besar di KotaKendari, yakni Jalan Majid Yunus. Sebuah jalan by pass yang terletak di kelurahan Kadia KecamatanKadia yang bersambung dengan jl. Made Shabara, jl. Edy Shabara, Jl. Alala dan jl. Pembangunan ke arahkota dan jl. Poros Bandara Haluoleo ke arah Bandara.
79
oleh pihak yang mengklaim sehingga tanah itu diserahkan kepada Brigjen Madjid
Yoenoes untuk keperluan pembangunan tempat ibadah bagi kaum muslimin.18
Sebagai awal pemanfaatan tanah tersebut dibangunlah sebuah balai-balai untuk
tempat pengajian atau majlis ta’lim untuk ibu-ibu. Pengajian ini dipandang penting
untuk mebina kaum muslimin khususnya ibu-ibu agar mereka memiliki pemahaman
agama yang baik agar tidak mudah terpengaruh dengan lingkungan sekitar, termasuk
agar tidak terpengaruh dengan paham-paham komunis yang masih tersisa pada waktu
itu. Termasuk agar tidak terpengaruh dengan keberadaan agama lain di sekitarnya. Ibu
Madjid Yoenoes adalah nama orang yang disebut memiliki andil besar dalam
memprakarsai pembentukan majlis ta’lim wanita di tempat itu. Ibu Madjid (sapaan
akrab untuk Ny. Hj. Hilda Yoenoes Boekoesoe) adalah istri almarhum Brigjen Madjid
Yoenoes.
Pengajian yang dirintis oleh Ibu Madjid hanya diikuti oleh ibu-ibu. Pengajian
tersebut kemudian dikenal dengan nama Majlis Ta’lim Da’wah Wanita. Setelah
berjalan beberapa waktu, tempat atau balai yang semula hanya diperuntukkan sebagai
tempat pengajian tersebut kemudian digunakan juga sebagai tempat shalat (mushalla)
dengan nama Mushalla Da’wah Wanita.
Seiring dengan bertambahnya jumlah warga yang menetap di sekitar mushalla,
maka warga kemudian bersepakat untuk mengembangkan fungsi mushala menjadi
masjid yang secara rutin digunakan untuk pelaksanaan shalat lima waktu dan
pelaksanaan shakat jumat. Masjid yang dibangun itu pun kemudian tetap menggunakan
nama majlis ta’lim tersebut sebagai namanya, yakni Masjid Da’wah Wanita Kendari
(biasa disingkat MDW). Nama itu tetap dipertahankan sampai sekarang.
Pertimbangan untuk mengganti nama masjid pernah diisukan oleh sebagian
pengurus masjid, terutama mereka yang masih muda-muda dengan anggapan sudah
tidak relevan. Akan tetapi, sebagian besar pengurus masjid tetap mempertahankan
penggunakan nama Majlis Ta’lim Da’wah Wanita sebagai nama masjid agar jamaah
tetap mengenang sejarah berdirinya masjid yang berawal dari sebuah kegiatan dakwah
18Sukarman, AK.STP. Ketua Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari Periode 2015-2020,Wawancara, di Kendari pada tanggal 21 Juli 2016.
80
ibu-ibu.19 Selain itu, dengan tetap menggunakan nama tersebut adalah dalam rangka
mengenang jasa istri Bapak Madjid Yoenoes yang telah banyak memberikan kontribusi
dalam perencanaan dan pendanaan pembangunan masjid, terutama pada masa-masa
awal.20
Saat ini, Masjid Da’wah Wanita Kendari sedang direhabilitasi secara besar-
besaran. Pondasi masjid ditinggikan dari pondasi semula dengan penambahan luas
bangunan, sehingga ke depan masjid akan lebih besar ukuran dari kondisi yang ada
sekarang. Selain itu, dari rangka bangunan yang sudah terpasang, terlihat jelas bahwa
pembangunan masjid sedang dipersiapkan untuk bangunan dua lantai. Namun, dari
keterangan pengurus masjid, bahwa pembangunan masjid sekarang ini berjalan agak
lambat disebabkan faktor pendanaan yang memang mengandalkan swadaya jamaah
masjid. Bantuan dari pemerintah daerah memang ada, tetapi sangat terbatas
jumlahnya.21 Hal ini disebabkan karena banyaknya masjid yang ada di Kota Kendari
yang juga memerlukan bantuan yang sama dari pemerintah kota.
b. Kepengurusan Masjid Da’wah Wanita
Setelah mushalla dijadikan masjid pada tahun 1990-an, maka dibentuklah
kepengurusan masjid yang diketuai oleh H. Adiandi yang menjabat sampai tahun 1998.
Kepengurusan berikutnya diketuai oleh H. Mude sampai tahun 2006. Selanjutnya
dilakukan regenerasi kepengurusan masjid periode tahun 2006 sampai 2011 yang
diketuai oleh H. Sahabuddin. Sejak tahun 2011 sampai sekarang kepengurusan masjid
diketuai oleh Sukarman, AK.STP. dalam dua periode kepengurusan, yakni periode
tahun 2011-2014 dan periode tahun 2015-2020.22
Selama masa kepengurusan tersebut, Masjid Da’wah Wanita telah beberapa
imam masjid yang pernah menjadi pemimpin ibadah shalat lima waktu. Imam yang
19Drs. Marsuki, Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari Periode 2015-2020, Wawancara, diKendari pada tanggal 18 Mei 2016.
20Dg. Ngai, Pengurus Masjid Da’wah Wanita Periode 2015-2020, Wawancara, di MasjidDa’wah Wanita Kendari, pada tanggal 8 April 2016.
21Bantuan untuk masjid dari pemerintah Kota Kendari biasanya berkisar 10 juta sampai 15 jutasaja. Makmur, Sos., M.Pd., Sekretaris Kecamatan Kendari Barat, Wawancara, di Kecamatan KendariBarat tanggal 13 Juli 2016.
22Drs. Marsuki, Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari Periode 2015-2020, Wawancara, diKendari pada tanggal 18 Mei 2016.
81
pertama adalah H. Kaseng, selanjutnya H. Mustafa (ayah dari Andi Muzakkir Mustafa,
mantan walikota Kendari), Dg. Marakka, dan sekarang H. Tamangking.23
c. Remaja Masjid Da’wah Wanita
Remaja masjid adalah perkumpulan remaja muslim yang melakukan aktivitas di
masjid.24 Remaja Masjid Da’wah Wanita merupakan organisasi tersendiri yang berada
di bawah bimbingan pengurus masjid. Remaja masjid dibentuk untuk mewadahi para
remaja pencinta masjid untuk membantu pengurus masjid dalam pembinaan dan
pengarahan kegiatan masjid khususnya terkait dengan remaja atau pemuda.
Sejauh pemantauan, kegiatan remaja Masjid Da’wah Wanita yang aktif berjalan
yakni pembinaan baca al-Qur’an kepada remaja dan anak-anak. Setiap hari (setelah
shalat magrib) kegiatan bimbingan membaca al-Qur’an dilakukan di masjid oleh para
remaja. Selain belajar mengaji, para remaja juga membimbing anak-anak yang pemula
dalam membaca al-Qur’an diajar dengan menggunakan Buku Iqra’25 sebagai buku
panduan utama. Setelah menamatkan buku Iqra’ jilid 1 sampai jilid 6, barulah peserta
belajar ini dipindahkan membaca al-Qur’an dan diajarkan tajwid. Selain itu, bahkan
beberapa remaja di antaranya menekuni program menghafal al-Qur’an bi bawah
bimbingan pengurus masjid yang lebih dahulu menghafal.
Kegiatan lain yang dilakukan oleh remaja masjid adalah mengikuti pengajian
rutin yang dilakukan oleh orang dewasa pada malam Ahad. Pada kegiatan pengajian ini
terbuka untuk umum sehingga boleh diikuti oleh siapa saja. Peserta pengajian ini diikuti
oleh jamaah dan remaja Masjid Da’wah Wanita Kendari. Selain itu, diikuti juga oleh
jamaah dari Masjid Akbar Benu-benua Kecamatan Kendari Barat. Menurut informasi
yang disampaikan oleh remaja masjid, kegiatan pengajian malam Ahad lebih banyak
23H. Tamangking, Imam Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari pada tanggal3 Juni 2016.
24Remaja masjid di Indonesia yang marak hari ini terbentuk awalnya pada tahun 1970-an,dimana waktu itu dilatarbelakangi oleh adanya tren santrinisasi masyarakat abangan pasca pembubaranPKI dan meluasnya kesadaran untuk merekat ukhuwah Islamiyah. Selain itu, adanya pemberlakuanNormalisasi Kehidupan Kampus (NKK) pasca pristiwa Malari tahun 1974 yang melahirkan jargon “Backto Mosque” di kalangan aktivis kampus. HM. Jazir ASP, “Sejarah Kebangkitan Remaja MasjidIndonesia”, Makalah, dipresentasikan pada Pertemuan Pengurus DPW BKPRMI DIY, 20 Mei 2009,dalam www.bkprmi-diy.blogspot.co.id. Diakses tanggal 22 Juni 2016.
25Buku Iqra’ adalah buku panduan cepat membaca al-Qur’an terdiri dari 6 jilid yang disusunoleh KH. As’ad Humam, pengasuh Team Tadarrus AMM Kotagede Yogyakarta, kemudian diterbitkanoleh Balai Penelitian dan Pengembangan Sistem Pengajaran Baca Tulis al-Qur’an LPTQ Nasional DIYogyakarta.
82
diikuti oleh jamaah masjid dari luar, hanya sedikit dari kalangan jamaah Masjid
Da’wah Wanita.
d. Majlis Ta’lim Masjid Da’wah Wanita Kendari
Majlis Taklim26 yang dimaksud di sini adalah majlis ta’lim khusus untuk ibu-
ibu atau muslimah. Majlis ta’lim ibu-ibu merupakan awal dari hadirnya Masjid Da’wah
Wanita Kendari. Sebelum masjid dibangun, Majlis Ta’lim ibu-ibu ini telah melakukan
aktivitas pengajian agama Islam terutama mengaji al-Qur’an.
Dewasa ini Majlis Ta’lim Da’wah Wanita masih tetap eksis membina jamaah
masjid khususnya muslimah meskipun tidak lagi seaktif pada awalnya. Kegiatan utama
majlis ta’lim adalah pengajian, ceramah (kuliah tujuh menit), tadarus atau membaca al-
Qur’an, yasinan dan membaca surah-surah pilihan.27
Kegiatan pengajian ruitn dijadwalkan setiap hari Kamis setelah shalat Ashar.
Kegiatan utamanya adalah membaca al-Qur’an dengan dibimbing oleh ketua atau
anggota yang lebih baik bacaannya.
Selain itu, kegiatan pengajian umum dilaksanakan sekali sebulan yang biasanya
dilaksanakan seusai shalat Ashar bekerja sama dengan BKMT (Badan Kontak Majlis
Taklim) Kota Kendari dan RRI (Radio Republik Indonesia) Kendari melalui program
radio Suara di Balik Surau.
Kegiatan majlis ta’lim lainnya adalah terlibat dalam pelaksanaan peringatan
hari-hari besar Islam yang dilaksanakan bersama-sama dengan pengurus masjid,
seperti: maulid dan isra’ mi’raj Nabi Muhammad Saw.
26Secara etimologi majlis taklim berarti tempat untuk melaksanakan pengajaran atau pengajianagama Islam. Pada masa awal, majlis taklim berkembang di pulau jawa khususnya Jakarta dan JawaBarat. Pada musyawarah majlis taklim se-DKI Jakarta tahun 1980, majlis taklim didefinisikan sebagailembaga pendidikan nonformal Islam yang memiliki kurikulum, tersendiri, diselenggarakan secaraberkala dan teratr dan diikuti oleh jamaah yang relative banyak dan bertujuan untuk membina danmembangun yang santun dan serasi antara manusia dengan Allah Swt, manusia dengan sesamanya, danmanusia dengan lingkungannya dalam rangka membina masyarakat yang bertakwa kepada Allah Swt.Meskipun kata ini dari bahasa Arab yakni مجلس dan تعلم , tetapi istilah ini tidak digunakan di negeri-negeriyang berbahasa Arab. Lihat Ensiklopedi Islam, Jilid 3, h. 120.
27Dra. Hasmira Said, M.Pd., Ketua majlis Taklim Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara,di Kendari pada tanggal 10 Agustus 2016.
83
2. Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari
Gereja28 pantekosta adalah gereja reformasi protestan yang berlandaskan ajaran-
ajaran pantekosta. Pantekosta sendiri berarti hari kelima puluh atau minggu putih, yakni
hari raya kristiani yang memperingati hari terjadinya curahan roh kudus kepada para
rasul di Yerusalem yang terjadi lima puluh hari setelah kebangkitan Yesus. Pada hari
patekosta roh kudus dicurahkan setelah kenaikan Yesus ke surga sesuai janjinya.
Menurut al-kitab, murid-murid Yesus berhasil mempertobatkan tiga puluh ribu jiwa
pada hari pantekosta dan hal inilah yang disebut hari lahirnya gereja yang mula-mula.
Sebelumnya pantekosta adalah hari raya besar orang-orang yahudi yang kemudian
diwarisi oleh gereja-gereja timur dan barat.29
Ajaran pokok pantekosta antara lain: al-kitab adalah firman Allah yang
diilhamkan kepada manusia untuk menjadi tata tertib bagi iman dan perilaku; Allah
yang benar dan hidup sebenarnya Maha Esa, tetapi menyatakan diri dalam tiga pribadi:
Bapa, Anak, dan Roh Kudus; keselamatan sebagai buah kasih Allah yang diberikan
kepada manusia melalui pemberitaan dan ajakan menyataka penyesalan dan mohon
pengampunan kepada Allah dan iman kepada Yesus Kristus; baptisan terdiri dari
baptisan air dan baptisan roh atau api; perjamuan kudus dengan roti dan anggur;
kesucian hidup dan perilaku menyeluruh; kedatangan kristus kedua kali untuk
memerintah dalam kerajaan selama 1000 tahun di dunia ini.30
Agama Kristen Protestan masuk pertama kali ke daratan Sulawesi Tenggara
diketahui terjadi pada tahun 1915.31 Menurut catatan sejarah, bahwa agama kristen
28Gereja berasal dari bahasa Portugis, yaitu kata igreja dan dalam bahasa Yunani ekklesia yangberarti suatu perkumpulan atau lembaga dari agama Kristen. Lihat Khotimah, “Studi terhadap KomunitasGereja HKBP Kota Pekanbaru”, Toleransi, Media Komunikasi Umat Beragama (Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2015), h. 108.
29Rasid Rachman, “Hari Raya Liturgi”, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Pentakosta. diaksestanggal 14 April 2016.
30Nuhrison M. Nuh, dkk., Direktori Paham, Aliran dan Tradisi Keagamaan di Indonesia, Jilid 2(Cet. 2; Jakarta: Kementerian Agama Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan,2014), h. 244-245.
31Sebelum agama Kristen Pantekosta masuk ke Sulawesi Tenggara, telah dilakukan penelitianterlebih dahulu oleh Paul Sarasin dan Frits Sarasin pada tahun 1903 di bawah pengawasan pemerintahBelanda. Kedua orang ini merupakan orang Eropah pertama yang mengunjungi Sulawesi Tenggara.Dalam melakukan perjalanannya dari Kolaka ke Kendari, ia menemukan beberapa daerah yang belumtersentuh secara signifikan oleh Islam sehingga cocok untuk dijadikan tempat penyebaran agama KristenProtestan. Daerah-daerah itu adalah: Taubonto (Rumbia), Lambuya (Konawe), dan Mowewe (Kolaka).Lihat Burhanuddin, “Sejarah Daerah Sulawesi Tenggara” dalam Basrin Melamba dan Abdul Aziz,Peradaban Mekongga Kolaka, Sejarah Sosial, Politik dan Ekonomi (Cet. 1; Yogyakarta: PD. Aneka
84
masuk ke Sulawesi Tenggara dibawa oleh orang-orang Belanda sehubungan dengan
usahanya untuk menguasai daerah ini.
Pada akhir tahun 1915, organisasi zending milik Belanda yang bernama
Nederlansche Zending Vereniging (NZV) mengutus dari Jawa Barat seorang yang
bernama Dr. Henriek van Der Klift ke Sulawesi Tenggara tepatnya di Kolaka, lalu
berpindah ke Mowewe (sekarang masuk wilayah Kabupaten Kolaka Timur). Dari
mowewe agama kristen kemudian menyebar ke wilayah lain termasuk ke
Kendari/Laiwoi.32
Namun, karena keterbatasan sumber daya manusia di masa-masa awal, maka
penyebaran di wilayah Kota Kendari tidk begitu masif terjadi. Selain itu, di daerah
pesisir sebagaimana pada umumnya di wilayah perkotaan, Islam sudah terlebih dahulu
mengakar sehingga cukup sulit untuk berkembangnya agama lain termasuk Kristen.
Perkembangan agama Kristen di Kendari mulai terlihat pesat ketika Gubernur
Sulawesi Tenggara dijabat oleh Edi Sabara. Atas dukungan istrinya yang beragama
kristen, maka penyebaran agama kristen terlihat gencar dilakukan, terbukti dengan
berdirinya gereja di beberapa tempat.33 Gereja Pantekosta Bukit Zaitun adalah salah
satu gereja yang berdiri di Kendari berkat usaha tokoh protestan dan bantuan
pemerintah daerah.
Usaha Kolaka bekerjasama Penerbit Rona Pancaran Ilmu, 2012), h. 235. Dari beberapa daerah yangcocok untuk tempat pengabaran injil tersebut, yang dipilih sebagai tempat pertama penyemaian benih-benih Kristen adalah Mowewe (Kolaka). Orang pribumi pertama yang menganut agama Kristen didaratan Sulawesi Tenggara adalah Petrus Wongga yang dibaptis pada tahun 1916 di Lembah Mowewe.Tahun pembaptisan itu dijadikan tonggak pertama masuknya injil di Sulawesi Tenggara, yang pada tahun2016 ini diperingati sebagai 100 Tahun Injil masuk di Sulawesi Tenggara yang pelaksanaannyadipusatkan di lembah Mowewe Kabupaten Kolaka Timur. Lihat Bimas Kristen Subbag Hukum danKerukunan Umat Beragama, Subbag Informasi dan Humas Kantor Wilayah Kementerian AgamaProvinsi Sulawesi Tenggara, http://sultra.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=330486. Diakses padatanggal 13 Juni 2016.
32Burhanuddin, “Sejarah Daerah Sulawesi Tenggara” dalam Basrin Melamba dan Abdul Aziz,Peradaban Mekongga Kolaka, h. 235.
33Jumlah keseluruhan gereja yang ada dalam wilayah Kota Kendari berdasarkan dataKementerian Agama Kota Kendari tahun 2014 sebanyak 32 gereja yang tersebar di 10 kecamatan, yakni:Kecamatan Mandonga 3 gereja, Baruga 4 gereja, Puuwatu 5 gereja, Kadia 5 gereja, Wua-wua 1 gereja,Poasia 2 gereja, Abeli 1 gereja, Kambu 1 gereja, Kendari 3 gereja, dan Kendari Barat 7 gereja. Lihat BPSKota Kendari Seksi Integrasi Pengolahan dan Desiminasi Statistik, Kota Kendari Dalam Angka 2015(Kendari: BPS Kota Kendari, 2015), h. 146.
85
Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Bukit Zaitun, biasa juga disebut Gereja
Bukit Zaitun (GBZ) adalah gereja Kristen Protestan Pantekosta yang tersebar di seluruh
Indonesia. Pusat gereja ini terdapat di Surabaya Provinsi Jawa Timur.34
Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari dibangun pada tahun 196035 di atas
tanah yang dihibahkan oleh pemerintah Sulawesi Tenggara. Bangunan gereja
menghadap ke utara tepat di jalan Ir. Soekarno sebagai jalan utama. Karena sempitnya
lokasi, maka bangunan pondasi sampai bersambung dengan trotoar shingga gereja tidak
memiliki halaman. Begitu juga bagian belakang yang menghadap ke selatan langsung
berhadapan dengan jalan pendek sekitar 100 meter yang menghubungkan antara jalan
Ir. Soekarno dengan jalan Konggoasa yang terletak di pinggir pelabuhan petikemas
Kendari.
Sejarah pendirian Gereja Pantekosta Bukit Zaitun berawal dari usaha seorang
wanita bernama Ibu Loa Liem Bun yang datang ke Kendari pada tahun 1958. Ibu Loa
Liem Bun adalah pengusaha keturunan Cina dari Makassar Sulawesi Selatan yang
sedang melebarkan sayap usahanya di Kendari. Ia adalah anggota jemaat aktif dalam
pelayanan di GPdI (Gereja Pantekosta di Indonesia) Makassar yang digembalakan oleh
Pdt. (Pendeta) Lesnussa. Di sela-sela kesibukannya di Kendari, Ibu Loa Liem Bun juga
berupaya mengajak istri-istri rekan bisnisnya dan berhasil dengan tergeraknya 3 (tiga)
orang dari mereka yang bersedia menerima Yesus sebagai juru selamat. Ketiga orang
itu adalah Ibu Yohana, Ibu Motan dan Ibu Setia. Bersama tiga orang rekannya tersebut,
Ibu Loa Liem Bun sering berkumpul di rumahnya untuk berbagi cerita termasuk
mengenai ajaran-ajaran Kristen. Ibu Loa Liem Bun bersama tiga orang temannya telah
menjadi pantekosta pertama di Kendari. Untuk membantu Ibu Loa Liem Bun dalam
membimbing jiwa-jiwa yang baru menerima ajaran Yesus tersebut, maka mulai 1
Desember 1958, dikirimlah Pdt. Palese dari Makassar untuk memimpin ibadat
persekutuan doa (Biston) yang sekaligus merintis upaya pendirian gereja pantekosta
pertama di Kendari. Upaya ini kemudian dilanjutkan oleh Pdt. George Mangkey yang
34Aliran Pantekosta masuk di Indonesia di beberapa tempat, yakni di Cepu, Surabaya,Temanggung, Jawa Tengah dan Bandung kira-kira sekitar 1919-1923. Sebagian terjadi tidak terencana,sebagian lagi memang direncanakan oleh para penginjil yang berasal dari Belanda, Inggris dan Amerika.Lihat Nuhrison M. Nuh, dkk., Direktori Paham, Aliran dan Tradisi Keagamaan di Indonesia, Jilid 2, h.242.
35Sarini Ido, “Cerita Harmonis 30 cm Bangunan Masjid dan Gereja”, Rubrik Berita SultraTerkini, ed. 7, Agustus 2015, http://www.sultrakini.com. Akses 14 April 2016.
86
juga dikirim khusus dari Makassar oleh Pdt. Lesnussa untuk menggantikan Pdt. Palese.
Pdt. George Mangkey melaksanakan tugas di Kendari sampai tahun 1960.36
Untuk melanjutkan tugas pelayanan, diutuslah seorang pemuda dari Makassar
bernama John San Lumangkun. John San Lumangkun terbilang pribadi yang cakap
bergaul dengan siapa saja, termasuk kepada para tokoh dan pejabat setempat. Dengan
modal kepribadian yang demikian ia mudah untuk menarik minat orang ke dalam
ajaran Kristen, sehingga berkembanglah pengikut-pengikut pantekosta di Kendari. Ia
pun mendapat hibah sebidang tanah dari pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara yang
terletak di Jalan Ir. Soekarno tempat gereja berdiri sekarang. Seiring dengan semakin
bertambah pengikut-pengikutnya, ia membuat bangunan sederhana untuk tempat
pelaksanaan kebaktian dan sebagai cikal-bakal bangunan Gereja Bukit Zaitun Kendari.
Setahun kemudian, yakni pada tahun 1961, John San Lumangkun dilantik menjadi
gembala jemaat di Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Kendari sebagai gereja
pantekosta pertama di Kendari.37
Pada tahun 1970, seiring dengan semakin bertambahnya anggota jemaat, gereja
direnovasi dengan bangunan permanen sehingga menjadi bangunan rumah ibadah yang
layak. Pada tahun 1981, dilakukan renovasi kedua yang selesai pada tahun 1983
sekaligus dilakukan peresmian atau pentahbisan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara,
Kol. Inf. H. Z.A. Soegianto. Pada pentahbisan yang dilaksanakan tanggal 2 April 1983
itulah mulai diperkenalkan nama GPdI Bukit Zaitun Kendari yang digunakan sebagai
gereja protestan tersebut sampai sekarang.38
Pada tahun 1999, kembali dilakukan renovasi besar-besaran dengan
perencanaan dan perhitungan teknis yang dipersiapakan oleh Ir. Davis Agus Setiawan,
M.Th. Renovasi ketiga ini resmi dimulai tanggal 19 April 1999 bersamaan dengan
pembukaan Musyawarah Daerah ke VI GPdI Sulawesi Tenggara. Sepuluh tahun
kemudian, pada tahun 2009, jemaat gereja telah mencapai 70 orang jemaat.
Pertambahan jumlah jemaat dan semakin meningkatnya bangunan dan fungsi gereja
36Pdt. David Agus Setiawan, “Asal-usul (Sejarah) GPdI Bukit Zaitun Kendari”, Skrip tidakterpublikasi, h. 1.
37Pdt. David Agus Setiawan, “Asal-usul (Sejarah) GPdI Bukit Zaitun Kendari”, Skrip tidakterpublikasi, h. 1.
38Pdt. David Agus Setiawan, “Asal-usul (Sejarah) GPdI Bukit Zaitun Kendari”, Skrip tidakterpublikasi, h. 2.
87
tidak lepas dari peran dua tokoh utama gereja, yakni Pdt. John San Lumangkun dan Pdt.
Armyn A. Rere yang keduanya pernah menjabat sebagai anggota DPRD Provinsi
Sulawesi Tenggara tahun 1977-1987. Kedua tokoh ini pula yang merintis sehingga
terbentuknya Badan Kerja Sama Gereja (BKSG) Sulawesi Tenggara pada tahun 1976.
Kepemimpinan Pdt. John San Lumangkun atas GPdI di Kendari berakhir
dengan meninggalnya pada tahun 2000. Selanjutnya, penggembalaan jemaat gereja
dilanjutkan oleh istrinya bernama Pdt. Ny. Pien Lumangkun sampai tahun 2004.
Setelah itu, penggembalaan gereja dilanjutkan oleh Pdt. Ir. David Agus Setiawan,
M.Th. sampai sekarang. Saat ini (2016), jemaat GPdI Bukit Zaitun sudah berjumlah
150 orang jemaat. Mereka sebagian besar berasal dari wilayah Kendari dan sebagian
kecil dari luar Kendari, tetapi masih di sekitar Kota Kendari. Menurut penuturan Pdt.
Agus, jemaat GPdI Bukit Zaitun mayoritas atau lebih dari 65% di antaranya tinggal
jauh dari gereja.39 Mereka datang ke gereja ketika hendak melakukan kebaktian pada
hari Minggu dan hari-harai raya lainnya.
Keberadaan bangunan gereja yang bersebelahan dengan masjid menyimpan
banyak cerita menarik, di antaranya seringnya jemaat gereja dan jamaah masjid salah
menaiki tangga. Beberapa tahun lalu, tangga gereja berada di sebelah kiri gereja hampir
berdekatan dengan tangga masjid yang berada di sisi kanan masjid. Karena adanya dua
tangga yang posisinya berdekatan, beberapa kali jemaat gereja menaiki tangga yang
menuju masjid. Begitu juga sebaliknya, beberapa kali jamaah masjid menaiki tangga
milik gereja sehingga mereka sampai ke pintu gereja. Setelah melihat tanda salib besar
terpampang di depannya, barulah jamaah ini turun kembali.40 Karena seringnya terjadi
salah naik tangga, maka pihak gereja memindahkan posisi tangga gereja ke sisi kanan
gereja sehingga jauh dari tangga masjid, sehingga tidak ada lagi jemaat gereja maupun
jamaah masjid yang salah naik tangga.
39Pdt. David Agus Setiawan, Wawancara, di Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari, tanggal21 Mei 2016.
40Pdt. David Agus Setiawan, Wawancara, di Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari, tanggal21 Mei 2016.
88
B. Relasi Jamaah Masjid Da’wah Wanita dengan Jemaat GPdI Bukit Zaitun
1. Relasi Islam dan Kristen
Membicarakan relasi41 antara jamaah masjid dengan jemaat gereja adalah
membicarakan hubungan antara pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama kristen.
Dalam pembahasan ini, meskipun akan diungkap bagaimana hubungan jemaat gereja
terhadap jamaah masjid, tetapi yang menjadi titik fokus pembahasan adalah jamaah
masjid dalam menjalin hubungan dengan jemaat gereja.
Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang memuat masalah hubungan antara
umat Islam dengan umat non Islam.42 Di antara ayat-ayat itu terdapat ayat-ayat yang
yang secara khusus menyebutkan hubungan muslim dengan nasrani atau kristen. Salah
satu ayat yang menggambarkan hubungan antara kaum muslimin dengan nasrani
sebagai yang paling dekat persahabatannya dibandingkan dengan pemeluk agama
lainnya. Firman Allah menyebutkan:
ودة للذین آمنوا لتجدن أشد الناس عداوة للذین آمنوا الیھود والذین أشركوا ولتجدن أقربھم م
یسین ورھبانا وأنھم لا یستكبرون الذین قالوا إنا نصارى ذلك بأن منھم قسSesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannyaterhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orangmusyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannyadengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata:"Sesungguhnya kami ini orang nasrani". Yang demikian itu disebabkan karena diantara mereka itu (orang-orang nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib,(juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri (TQS. al-Maidah/5: 82).
Fakta dari ayat itu tercatat dalam sejarah ketika umat Islam hijrah pertama kali
dari Mekah ke Habasyah. Pada saat umat Islam mulai mendakwahkan Islam secara
terang-terangan, muncul reaksi penolakan terhadap Islam. Pemuka Quraisy berusaha
menghalangi, merintangi bahkan berusaha menghentikan gerak dakwah dengan
41Kata relasi merupakan serapan dari bahasa Inggris relation, dari akar kata kerja relate yangberarti menceritakan, menghubungkan, mempertalikan, atau menjalin hubungan. Lihat John M. Echolsdan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Cet. 29; Jakarta: PT. Gramedia, 2007), h. 475. Dalambahasa Indonesia juga berarti hubungan, perhubungan, pertalian, kenalan, atau pelanggan. Tim PenyusunPusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ed. 3, Cet. 3; Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 943.
42Abdal Wahab Khallaf telah menghitung dan menemukan terdapat 25 ayat dalam al-Qur’anyang berkaitan dengan hubungan muslim dengan nonmuslim. Lihat Abdal Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, dalam Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Cet. 6; Jakarta: UI Press,1986), h. 8.
89
sejumlah . yang menghadapi tekanan dari orang-orang Quraisy, Nabi Saw.
memerintahkan mereka untuk hijrah dan diterima serta diperlakukan baik oleh
penguasa Najasi yang beragama kristen.43
Meskipun terdapat ayat yang menyebutkan kedekatan persahabatan antara umat
Islam dengan Nasrani, tetapi ada juga ayat yang menyebutkan secara umum kondisi
hubungan antara umat Islam dengan Nasrani, dimana orang Nasrani diposisikan sama
dengan orang Yahudi yang menginginkan agar orang Islam mengikuti mereka. Dalam
surah al-Baqarah ayat 120 disebutkan sebagai berikut:
ھو الھدى ولئن بع ملتھم قل إن ھدى ا اتبعت ولن ترضى عنك الیھود ولا النصارى حتى تت
من ولي ولا نصیر أھواءھم بعد الذي جاءك من العلم ما لك من اOrang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamumengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulahpetunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan merekasetelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindungdan penolong bagimu (TQS. al-Baqarah/2: 120).
Ayat di atas, meskipun menyebutkan adanya kesamaan visi antara Yahudi dan
Nasrani terhadap kaum muslimin, tidak berarti bahwa ia bertolak belakang dengan ayat
pertama di atas. Secara umum ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) memang selalu berusaha
agar mereka bisa menggait umat Islam untuk mengikuti jalan hidup mereka. Namun,
tidak berarti menafikan makna ayat yang menyebutkan adanya kedekatan persahabatan
antara orang-orang Nasrani dengan orang-orang Islam.
Selain itu, juga terdapat ayat al-Qur’an yang lain secara umum memerintahkan
umat Islam untuk tetap bijak dengan umat Nasrani (kristen) sebagaimana kepada
Yahudi. Hal itu terlihat ketika al-Qur’an mengakui mereka dengan sebutan ahl al-kitab
(orang yang pernah diturunkan kitab dari Allah kepada mereka). Terhadap mereka, al-
43Diceritakan bahwa ketika rombongan muslimin yang dipimpin oleh Ja’far bin Abu Thalib tibadi Habasyah, kafir Quraisy mengutus Amru bin Ash dan Abdullah bin Rabi’ah untuk membujuk RajaNajasyi agar memulangkan umat Islam ke Mekah. Untuk mengambil keputusan, Raja Najasyi memintaketerangan kepada umat Islam. Ja’far sebagai juru bicara menjelaskan pendirian mereka terhadap agamayang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. dan permusuhan Quraisy terhadap pendirian mereka itu. RajaNajasyi kemudian meminta sesuatu yang menjadi bukti kenabian Muhammad Saw. ketika itu Ja’farmembacakan ayat 29-33 surah Maryam. Mendengar ayat yang dibacakan, Raja Najasyi mengambilsepotong kayu lalu membuat garis di atas tanah dan mengucapkan kata yang terkenal: لیس بین دینكم
ذا الحطودیننااكثرمن ھ (Antara agama kalian dan agama kami (perbedaannya) tidak lebih dari garis ini). LihatTaqiyuddin an-Nabhani, al-Dawlat al-Islamiyyah (Cet. 6; Bogor: Pustaka Fikrul Mustanir, 2002), h. 20-21.
90
Qur’an memerintahkan untuk berdialog dengan baik, bahkan dilarang berdebat kecuali
dengan cara yang paling baik. Dalam surah al-Ankabut ayat 46 disebutkan:
لینا وا أھل الكتاب إلا بالتي ھي أحسن إلا الذین ظلموا منھم وقولوا آمنا بالذي أنزل إ ولا تجادل
وأنزل إلیكم وإلھنا وإلھكم واحد ونحن لھ مسلمون Al-Ankabut/29: 46. Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengancara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dankatakanlah: "Kami telah beriman kepada ( kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami danyang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanyakepada-Nya berserah diri" (TQS. al-Ankabut/29: 46).
Sepanjang sejarah, hubungan antara dua umat yang secara geneologi keagamaan
memiliki kaitan yang sangat erat ini, mengambil 3 (tiga) pola hubungan, yakni:
polemik-apologetik, konflik-konfrontatif, dan irenik persuasif. Pola hubungan polemik
adalah hubungan yang cenderung berlawanan atau bermusuhan, sementara apologetik
artinya menjauhi persoalan untuk membela diri dalam suasana perang keyakinan.
Konflik-konfrontatif adalah pola hubungan yang diwarnai dengan kekerasan pisik, aksi
militer dan peperangan bersenjata. Adapun irenik persuasif adalah pola hubungan hidup
bersama yang penuh toleransi dan kerukunan dan kedamaian.44
Pola hubungan polemik sebenarnya berakar dari ajaran mendasar antara Islam
dengan kristen sebagai dua agama dakwah dan missi. Kewajiban dakwah bagi setiap
muslim didasari oleh keyakinan bahwa hanya Islam yang benar sementara yang lain
salah. Begitu juga kewajiban menyebarkan kristen bagi umat kristiani adalah terbangun
dari keyakinan bahwa tidak ada keselamatan di luar gereja. Keyakinan ini mendorong
penganut agama untuk melakukan polemik dan apologasi terhadap pihak lain yang
diwujudkan dalam bentuk terbuka seperti debat antara Islam dan Kristen atau debat
melalui karya tulis yang diarahkan untuk meruntuhkan klaim kebenaran pihak lain dan
mengangkat kaliam kebenaran dari agamanya.
Adapun pola konflik pisik biasa terlihat terjadi antara umat Islam dengan kristen
di beberapa daerah seperti di Poso Sulawesi Tengah dan di Ambon Maluku pada tahun
1999, dimana kekerasan pisik terjadi antara umat Islam dengan kristen. Hal serupa juga
terjadi antara umat Islam dengan penganut kristen yang dipelolori oleh negara Amerika
44Syamsuddin Arif, “Interfaith Dialogue dan Hubungan Antaragama Perspektif Islam”, JurnalTsaqafah, (Vol. 6, No. 1; Gontor, Ponorogo: Universitas Darussalam Gontor, April 2010), h. 153.
91
Serikat, seperti di Irak, Afganistan, dan Pakistan. Meskipun konflik antar kelompok dan
antar negara itu terjadi karena faktor ekonomi, sosial dan kepentingan politik global,
tetapi konflik-konflik tersebut tidak dapat dilepaskan dari faktor keyakinan dari kedua
agama.
Jauh sebelum konflik-konflik yang terjadi dewasa ini, sesungguhnya konflik
bersenjata telah terjadi antara umat Islam dengan kristen. Konflik Islam dengan kristen
yang sangat terkenal terjadi pada abad ke-11 M, ketika pasukan perang salib menyerang
dan menguasai Yerusalem pada tahun 1099 M.45 Selanjutnya, Yerusalem dapat direbut
kembali oleh umat Islam dengan semangat jihad46 di bawah pimpinan Salahuddin al-
Ayyubi pada tahun 1187 M.47 Hal yang sama juga terjadi terhadap umat Islam di
Spanyol pada pristiwa inkuisisi pada tahun 1492 M.48
Sedangkan pola hidup bersama dalam suasana toleransi telah sesungguhnya
telah diperankan dengan indah ketika Nabi Muhammad Saw. memimpin masyarakat
Madinah, dimana umat Islam, Yahudi, Musyrik Arab, dan Kristen49 hidup bersama
secara rukun, damai, dan adil di bawah naungan Islam. Kondisi yang sama juga terjadi
45Pada tahun 462 H/1095 M, Raja Romawi menyiapkan pasukan untuk menyerang kaummuslimin dengan pasukan yang sangat besar, terdiri dari orang Romawi, Geogia dan Prancis. Ia didukungoleh 35.00 batrix dan setiap batrix mengepalai 200.000 personel pasukan kavileri. Tentara dari Prancisberjumlah 35.000 orang. Tentara yang bermarkas di Konstantinopel berjumlah 15.000 plus 200.000seruling dan penggali lobang, 1000 kuda kerja, 400 gerobak pengangkut sandal dan paku, 1000 lagigerobak untuk mengangkut senjata, alat penerang dan alat pelempar batu. Pristiwa ini terjadi pada masapemerintahan Khalifah al-Qaim Biamrillah abu Ja’far Abdullah bin Qadir. Lihat Muhammad Sayyid al-Wakil, Lamhah min Tarikh al-Da’wah, asbab al-Da’fi fi alUmmat al-Islamiyyah, diterjemahkan olehFadhli Bahri dengan judul Wajah Dunia Islam, Dari bani Umayyah Hingga Imperialisme Modern (Cet.5; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 161.
46Jihad adalah istilah khas dalam Islam yang sejatinya memiliki arti yang cukup luas, yaknimencakup segala usaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan totalitas, baik harta maupun jiwauntuk mencapai tujuan demi Allah dan di jalan Allah. Lihat Basri Mahmud, Jihad Perspektif Sayid Qutbdalam Tafsir Fi Zilalil Qur’an (Cet. 1; Samata-Gowa: Gunadarma Ilmu, 2014), h. 34.
47Pasukan Salib menguasai Palestina dan menguasai Bait al-Maqdis pada tahun 1099 M.Mereka mendirikan kerajaan Latin yang sempat bertahan selama 88 tahun sampai kemudian ditaklukkankembali oleh kaum muslimin di bawah pimpinan Shalahuddin al-Ayyubi pada tahun 1187 M.Selengkapnya lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Ed. 1, Cet. 21; Jjakarta: Rajawali Press,2008), h. 77-78.
48Islam masuk ke Spanyol pada tahun 711 M dan sempat bertahan selama tujuh abad lebih.Setelah pemerintahan Islam mengalami kelemahan akibat pertikaian, maka penguasa Kristen, Ferdenanddan Isabella menyatukan kekuatan dan berhasil meruntuhkan kekuasaan Islam pada tahun 1492 M.Ketika kekuasaan Islam hancur, maka umat Islam dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit, masuk Kristenatau pergi meninggalkan Spanyol atau dibunuh. Pada tahun 1607 M bisa dikatakan tidak ada lagi umatIslam di Spanyol. Lihat selengkapnya Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 100.
49Lihat J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjaudari Pandangan al-Qur’an (Cet. 2; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), h. 57.
92
sepanjang masa Khilafah Rasyidah selama 30 tahun di bawah kepemimpinan empat
khalifah: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dan
masa kekhalifahan umat Islam selanjutnya selama 13 abad di bawah kepemimpinan
Bani Umayyah, Bani Abbasiyah dan Bani Ustmaniyah. Suasana toleransi sepanjang
sejarah Islam tersebut tercipta karena Islam diterapkan sebagai aturan atau konstitusi
negara secara konsisten.
Pola hubungan persuasif dan toleransi ini juga masih dapat dijumpai dewasa ini
di berbagai negeri berpenduduk mayoritas muslim, seperti di Timur Tengah, termasuk
di Indonesia.
Meskipun di beberapa daerah di Indonesia terdapat konflik antara pemeluk
Islam dan kristen, tetapi kejadian-kejadian itu tidak dapat menghapus image di mata
dunia, bahwa di Indonesia secara umum umat beragama hidup rukun dan penuh
toleransi yang tinggi.
Toleransi di negeri ini tentu tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan umat
Islam yang mayoritas di Indonesia. Islamlah yang menjadi semangat tumbuh dan
berkembangnya toleransi. Jika ada yang mengatakan bahwa toleransi di Indonesia
tercipta berkat Pancasila, mungkin ada benarnya, tetapi tidak seluruhnya benar.
Terbukti bahwa Pancasila tidak mampu membuat model toleransi bagi warga
nonmuslim yang mayoritas di beberapa daerah di negeri ini. Atau toleransi tidak dapat
terwujud di negara-negara yang mayoritas nonmuslim terhadap minoritas muslim
seperti di Thailand, Philipina, atau di Myammar. Sebaliknya toleransi sudah mengakar
bagi negeri-negeri muslim di Timur Tengah terhadap warga nonmuslim di negeri itu.50
Salah satu indikator terukur yang dapat dijadikan bukti kerukunan itu adalah
terdapatnya sejumlah besar rumah ibadah yang berdekatan di berbagai daerah di
Indonesia. Banyak masjid dan gereja yang dibangun berdekatan, termasuk masjid di
ibukota negara, Masjid Istiqlal Jakarta berdiri berhadapan dengan Gereja Katedral.
Bahkan di antara rumah-rumah ibadah itu terdapat rumah ibadah nonmuslim yang
berdiri di tengah-tengah komunitas muslim. Bukan hanya itu, letak bangunan rumah
ibadah pun banyak yang berdekatan, bahkan ada yang berdempetan atau berjarak
sangat dekat.
50Ngainun Naim, “Membangun Toleransi dalam Masyarakat Majemuk, Telaah PemikiranNurcholis Madjid”, Harmoni, Jurnal Multikultural dan Multireligius (Vol. 12, No. 2, Mei-Agustus2013), h. 40.
93
Masjid Da’wah Wanita dan Gereja Pantekosta Bukit Zaitun di Kendari Sulawesi
Tenggara adalah contoh paling nyata untuk mengungkap pola hubungan toleransi ini.
Bagi orang yang belum pernah melihat secara langsung masjid dan gereja saling
berdempetan, dimana pondasi, atap, dan sebagian dindingnya bertemu, mungkin akan
memiliki sejumlah perasaan penuh tanda tanya, mengapa bisa terjadi dan bagaimana
kondisi jamaah kedua rumah ibadah itu? Bagaimana jika pelaksanaan hari raya besar
mereka suatu saat bertepatan waktunya? Dan sejumlah pertanyaan lainnya yang bisa
saja muncul.
Memang ketika melihat dari jauh Masjid Da’wah Wanita Kendari, terasa ada
sesuatu yang lain dibandingkan melihat masjid yang lain. Bagaimana mungkin dua
rumah ibadah yang memiliki keyakinan dan peribadatan berbeda bisa dibangun persis
berdekatan, hanya tembok yang memisahkannya. Perasaan itu terus terbawa setelah
memasuki masjid. Akan tetapi, setelah beberapa lama di dalam masjid dan mulai
mengikuti pelaksanaan ibadah, apalagi jika sempat berbincang dengan jamaah masjid,
maka perasaan dan pertanyaan-pertanyaan tersebut seolah hilang begitu saja tanpa
memerlukan jawaban. Suasana dalam masjid, pelaksanaan ibadah dan aktivitas di
dalamnya berjalan sebagaimana pada umumnya masjid di daerah ini.
Namun, tentu keadaan yang biasa saja itu justru merupakan sesuatu yang perlu
untuk digali lebih jauh bagaimana gambaran utuh sebenarnya tentang hubungan
mereka, baik hubungan sehari-hari maupun hubungan asosiasional mereka sebagai
sebuah komunitas.
Hal ini penting karena manusia adalah makhluk sosial memiliki kebutuhan
terhadap aktvitas. Dalam beraktivitas, manusia selalu berinterkasi dengan sesamanya.
Setiap manusia beraktivitas termasuk berinterkasi, ia selalu membawa sebuah nilai
transendental yang diyakini sebagai pegangan hidup yang disebut dengan keyakinan
atau agama. Keyakinan seseorang tentang makna hidup serta aturan-aturan yang
diyakininya mempengaruhi cara dan gaya hidup dan cara dan gaya interaksinya dengan
sesama manusia. Meskipun keyakinan atau agama yang dianut oleh sekelompok
masyarakat sama, tetap saja terdapat perbedaan dalam mengaplikasikannya karena hal
itu erat kaitannya dengan persepsi yang dimiliki tentang ajaran agamanya itu.
Jika sesama umat beragama saja bisa terjadi perbedaan persepsi tentang
kehidupan dan cara menjalani kehidupan, maka sudah tentu lebih berbeda lagi dengan
94
yang berlainan keyakinan atau agama. Di sana terdapat perbedaan yang prinsipil yang
tidak bisa dikompromikan dan tidak bisa dipertemukan, meskipun bisa dijalankan oleh
masing-masing dengan prinsip saling menghormati.
2. Bentuk Relasi Jamaah Masjid dengan Jemaat Gereja
Relasi yang dimaksud pada bagian ini adalah hubungan yang terjadi antara
pihak jamaah masjid dengan pihak jemaat gereja, baik antara orang per orang, antara
kelompok dengan kelompok, antara orang dengan dengan kelompok atau antara
kelompok dengan perorangan. Hubungan yang terjadi bisa saja berbentuk komunikasi,
baik verbal amupun nonverbal dan interaksi, baik pisik maupun pemikiran.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, bahwa secara
sederhana, dalam masyarakat, hubungan antara orang atau kelompok terjadi dalam dua
bentuk hubungan, yaitu: pertama, hubungan sehari-hari dimana masyarakat secara
individu maupun bersama-sama melakukan interaksi tanpa dikendalikan oleh dan atas
nama identitas kelompok atau organisasi. Kedua, hubungan asosiasional
(associational), yakni hubungan yang dilakukan oleh masyarakat secara bersama-sama
maupun sendiri-sendiri tetapi di atas nama kelompok dengan membawa identitas
kelompok atau asosiasi, baik dalam bidang sosial, agama, ekonomi dan sebagainya.51
Kedua bentuk hubungan inilah yang dijadikan kerangka dalam membahas
hubungan antara jamaah Masjid Da’wah Wanita dengan jemaat Gereja Pantekosta
Bukit Zaitun Kendari.
a. Hubungan Sehari-hari
Telah dikemukakan bahwa yang dimaksud hubungan sehari-hari adalah
hubungan yang alamiah yang terjadi dalam keseharian masyarakat dimana mereka
menjalin hubungan dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Adakalanya hubungan
sehari-hari itu dilakukan sendiri, tetapi juga adakalanya dilakukan secara bersama-
sama. Begitu juga, hubungan sehari-hari bisa dilakukan dengan spontan, bisa juga
dengan direncanakan terlebih dahulu. Namun, bagaimana pun bentuk hubungan itu, jika
51Varshney, Ethnic Conflict and Civic Life, dalam Fu Xie,”Hubungan antara Orang Kristen danIslam dalam Masyarakat Sipil: Studi di Kota Sukabumi dan Kota Bandung, Prosiding The 5th
International Conference on Indonesian Studies:“Ethnicity and Globalization,icssis.files.wordpress.com/2013/09/2013-01-17.pdf
95
dilakukan bukan atas nama atau atas identitas asosiasi atau kelompok tertentu dalam
masyarakat, maka hubungan itu dikategorikan sebagai hubungan sehari-hari.
1) Hubungan Sesama Jamaah Masjid
Sebelum menguraikan lebih jauh hubungan antara jamaah Masjid Da’wah
Wanita dengan jemaat Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari, perlu terlebih dahulu
digambarkan bagaimana suasana jamaah masjid secara umum, termasuk hubungan-
hubungan antara sesama jamaah masjid sendiri. Hal ini penting untuk mengambil
pengetahuan awal tentang karakteristik hubungan-hubungan yang terjadi untuk
dibandingkan bagaimana hubungannya dengan warga nonmuslim. Kemungkinan yang
didapat dari hasil pencermatan itu adalah: pertama, mungkin hubungan antara sesama
jamaah masjid terjalin harmonis, begitu juga dengan hubungan mereka dengan jemaat
gereja. Kedua, mungkin hubungan antara sesama jamaah masjid terjalin harmonis,
tetapi tidak dengan jemaat gereja. Ketiga, mungkin hubungan antara sesama jamaah
masjid kurang harmonis dan juga dengan jemaat gereja. Atau keempat, mungkin
hubungan antara sesama jamaah masjid kurang harmonis, tetapi sebaliknya dengan
jemaat gereja berjalan harmonis.
Masjid Da’wah Wanita terletak di lingkungan perkotaan yang dipenuhi dengan
keramaian dengan tingkat kesibukan kota yang tinggi. Selain aktivitas perdagangan,
juga aktivitas kerja pelabuhan membuat hubungan antar pribadi masyarakat terwarnai
oleh suasana kota yang serba sibuk sehingga tidak banyak waktu untuk bercengkrama
dengan sesama warga. Bahkan terkadang tidak ada waktu untuk salng mengunjungi
antara tetangga. Kondisi ini terjadi antara sesama masyarakat muslim sendiri. Antara
sesama jamaah jarang terjadi hubungan yang hangat karena selalu dibatasi oleh
keterbatasan waktu. Bagi masyarakat yang masih aktif bekerja mereka seolah tidak ada
waktu untuk saling berkunjung ke rumah tetangga. Sedangkan bagi mereka yang sudah
tidak aktif bekerja karena usia tua, selalu ada waktu tetapi keterbatasan keadaan dimana
kondisi tubuh yang tidak kuat untuk saling berkunjung. Adapun anak-anak muda,
mereka disibukkan dengan jadwal sekolah, les, kursus dan jadwal permainan dan
hiburan lewat televisi dan game dan sebagainya.
Itulah sedikit gambaran kondisi masyarakat kota, yang hampir sama di berbagai
kota. Selain itu, masyarakat kota juga digambarkan sebagai masyarakat yang heterogen,
indiviualistik, penuh persaingan, pola hubungan yang bersifat transaksional yang
96
didasari atas penilaian untung rugi. Begitu juga karena tingkat kesibukan masyarakat
cukup tinggi, dapat memicu individu di dalamnya cenderung bersifat cuek, kurang
peduli dengan urusan orang lain, kurang aktivitas yang bernilai sosial bahkan dalam
lingkungan tempat tinggal sendiri dan cenderung menjalin hubungan berdasarkan
kepentingan-kepentingan yang terukur.52
Akibat kondisi masyarakat kota yang demikian, suasana hubungan antara warga
masyarakat menjadi kurang intens. Bukan hanya orang dewasa, anak-anak pun
demikian. Anak-anak pada dasarnya memiliki kecenderungan tinggi untuk bermain
bersama teman-temannya, sehingga mereka biasanya akan banyak keluar rumah untuk
bertemu dengan teman-teman sepermainan. Namun, seiring dengan perkembangan
zaman, termasuk dengan perubahan-perubahan kurikulum pendidikan yang semakin
menyibukkan anak-anak dengan seperangkat pembelajaran yang banyak telah menyita
waktu anak-anak untuk bermain bersama teman atau tetangga mereka. Kesempatan
bermain biasanya didapatkan anak-anak pada saat liburan sekolah, seperti libur
semester atau liburan bulan Ramadhan.
Dalam kondisi demikian, masjid merupakah salah satu –meskipun bukan satu-
satunya wadah yang dapat menjadi sarana melakukan komunikasi dengan sesama
jamaah adalah di masjid ketika menghadiri shalat jamaah.
Aktivitas shalat jamaah sejauh yang terpantau di masjid berjalan cukup baik.
Sebelum waktu shalat tiba, pengurus masjid telah mempersiapkan suasana shalat
berjamaah dengan membunyikan suara rekaman murattal (mengaji) dan tarhim
(shalawat) yang dihubungkan dengan pengeras suara yang terdapat di dalam masjid dan
di menara masjid sehingga dapat terdengar hingga ratusan meter. Dengan begitu warga
sekitar, mulai berdatangan untuk menunggu waktu shalat tiba. Ketika waktu shalat tiba,
muazzin mengumandangkan azan yang membuat jamaah berdatangan. Umumnya orang
tua yang sudah tergolong lanjut usia (di atas 50 tahun) dan remaja dan anak-anak.
Meskipun masjid ini bernama Masjid Da’wah Wanita, tetapi sangat sedikit jamaah
wanita yang shalat berjamaah di masjid ini.
Jamaah pada waktu shalat zuhur dan shalat ’ashar tergolong paling sedikit,
kecuali hari jumat, masjid dipenuhi oleh jamaah. Selain jumat, waktu shalat yang paling
52Irwansyah, “Interaksi Sosial Muslim-Kristen di Sumatera Utara (Studi tentang HubunganKeduanya di Pemukiman)”, Jurnal Tsaqafah (Vol. 10, No. 2; Medan: UIN Sumatera Utara, November2014), h. 295.
97
banyak dihadiri oleh jamaah adalah shalat magrib dan isya sebagaimana juga pada
umumnya masjid di tempat lain. Jumlah jamaah pada shalat magrib berkisar 70 sampai
100 orang remaja dan dewasa, selain anak-anak. Sedangkan pada waktu shalat isya’
berkisar 40 sampai 60 orang. Kondisi yang sama juga terlihat pada waktu shalat subuh,
zuhur dan ashar.
Setelah selesai shalat, jamaah membubarkan diri kembali pada kesibukan
masing-masing. Kondisi ini terjadi terutama pada waktu shalat zuhur dan shalat ashar.
Pada waktu shalat magrib, khususnya malam Ahad, malam Senin, dan malam Rabu
jamaah sebagian tinggal di masjid untuk mengikuti dirasah (belajar tajwid: membaca
dan memperbaiki bacaan al-Qur’an) dan ta’lim (belajar atau kajian keislaman). Dirasah
dan ta’lim ini berlangsung sampai masuk waktu shalat isya’. Pada waktu-waktu inilah
terjadi interaksi antara jamaah masjid. Namun, tampaknya peserta dirasah atau belajar
al-Qur’an didominasi anak-anak dan remaja masjid, sedikit sekali dari kalangan dewasa
dan orang tua. Begitulah gambaran umum interaksi sesama jamaah Masjid Da’wah
Wanita Kendari.
2) Hubungan Jamaah Masjid dengan Jemaat Gereja
Jika sesama jamaah masjid saja interaksi jamaah tidak begitu hangat, tentu
sudah dapat diduga bagaimana jika berhubungan dengan umat kristiani yang berbeda
keyakinan dan standar-standar hidup serta tidak hidup bertetangga dengan mereka,
bahkan mereka sangat jarang bertemu.
Meskipun demikian, tidak berarti tidak terjalin hubungan antara jamaah masjid
dengan jemaat gereja sama sekali. Jalinan komunikasi dan iteraksi di antara keduanya
tetap terjalin. Namun, dengan kondisi warga yang tidak berdekatan tempat tinggal,
membuat volume relasi terutama dalam bentuk bertemu menjadi sangat jarang terjadi.
Dari pengamatan di lapangan, diketahui bahwa rumah-rumah yang ada di
sekitar kedua rumah ibadah itu hampir semuanya milik umat Islam. Letak rumah-rumah
mereka hampir semuanya berdempetan dan sangat dekat jaraknya dengan jalan bahkan
sebagian pondasi rumah warga berada tepat di pinggir jalan. Rumah yang menghadap
ke badan jalan Ir. Soekarno sejauh jarak 200 meter kiri dan kanan semuanya milik
kaum muslim. Begitu juga di jalan Konggoasa yang bersambung dengan jalan ke
pelabuhan, semuanya warga muslim. Begitu juga jalan Tekaka yang menuju ke arah
dataran tinggi di bagian utara, semuanya milik kaum muslimin.
98
Di jalan Ir. Soekarno sebagai jalan utama hanya terdapat beberapa toko warga
milik warga keturunan Cina yang nonmuslim. Mereka pada umumnya berprofesi
sebagai pedagang dan membuka toko emas53, toko onderdil kenderaan bermotor, dan
sebagian toko bahan bangunan. Warga keturunan yang nonmuslim yang menjadi jemaat
GPdI Bukit Zaitun hanya beberapa orang saja, pada umumnya bukan jemaat dari Gereja
Pantekosta Bukit Zaitun Kendari. Warga keturunan Cina yang menjadi jemaat gereja
pada sebagianya berada di sebelah timur gereja yang sudah menjadi wilayah keluarahan
Kandai Kecamatan Kendari.54
Dari letak perumahan warga yang demikian, dapat diketahui bahwa
kemungkinan akan terjadi interakasi yang intens antara jamaah masjid dengan jemaat
gereja memang sulit terjadi. Meskipun gereja berdampingan dengan masjid, tetapi
warga masyarakat yang tinggal di sekitar kedua rumah ibadah tersebut mayoritas
bahkan hampir seluruhnya muslim.55 Tidak terdapat rumah warga yang nonmuslimm
kecuali sedikit, yakni rumah toko yang hanya terbuka pada jam buka toko, yaitu pagi
sampai sore hari. Letaknya pun rata-rata agak jauh dari tempat masjid dan gereja
berada. Bahkan rumah terdekat dari gereja di sebelah timur, utara dan selatan bukan
rumah milik jemaat gereja, tetapi milik muslim jamaah masjid.
Selain itu, jemaat gereja yang tempat tinggalnya jauh pada umumnya datang ke
gereja pada saat mereka hendak melakukan ibadat mingguan, yakni pada hari minggu
atau pada jadwal lain yang ditetapkan oleh gereja, yakni: hari Senin dan hari Sabtu.
Selain waktu itu gereja tertutup dan sepi, tidak terlihat ada acara atau aktivitas gereja,
kecuali aktivitas keseharian keluarga pendeta yang tingggal dalam kompleks gereja.
Pada hari Minggu ketika acara kebaktian, terlihat banyak kendaraan yang parkir
di sepanjang jalan di depan gereja. Sebagaimana umumnya jemaat gereja bersifat tetap,
jika terdaftar di satu gereja maka ia menjadi jemaat tetap gereja itu sehingga mereka
53Saat penelitian ini dilakukan, hampir semua bangunan yang berjarak sekitar 200 meter sebelahtimur masjid/gereja termasuk toko-toko pedagang emas di jalan Ir. Soekarno telah dirobohkan untukpersiapan pembangunan jembatan Bahteramas Kendari.
54Orang-orang China sebenarnya sudah datang di Kendari bersamaan dengan datangnya orang-orang Arab. Orang China yang ada sekarang ini sudah generasi keempat atau kelima. Mereka padaumumnya tidak begitu akrab bergaul dengan masyarakat sekitar yang mayoritas muslim. Sehinggameskipun mereka terbilang sudah lama tinggal di Kendari, tetapi tidak terbuka dengan penduduk lokal.Selengkapnya dapat dilihat dalam Joni Lisungan, “Interasi Orang hina dengan Penduduk Lokal di KotaKendari”, Walasuji (Vol. 6, No. 1, Juni 2015), h. 198.
55La Ali, SH., Sekretaris Lurah Dapu-dapura Kecamatan Kendari Barat, Wawancara, di Kendaripada tanggal 13 Juli 2016.
99
mesti mendatangi gereja tempat mereka terdaftar dimanapun mereka berdomisili
sepanjang masih dapat dijangkau. Hal ini tentu berbeda dengan kaum muslimin yang
bebas mendatangi masjid mana saja yang diinginkan tanpa halangan sedikit pun.
Ketika ditanya apakah mengenal jemaat gereja, jamaah masjid mengaku tidak
mengenal mereka. Dg. Ngai, salah seorang jamaah wanita yang memang tinggal dalam
lingkungan masjid menjawab tidak mengenal salah seorang pun di antara jemaat gereja,
kecuali pengurus yang tinggal di dalam gereja itu. Itupun hanya mengetahui jika ada
yang tinggal di dalam gereja. Pengurus gereja tersebut sesekali terlihat olehnya ketika
ia ke pasar untuk berbelanja keperluan sehari-hari. Ia mengaku tidak pernah berkunjung
ke gereja dan tidak pernah bercakap-cakap dengan pengurus gereja tersebut. Terhadap
jemaat lain, Dg. Ngai menambahkan bahwa dirinya tidak pernah bertemu karena
mereka tidak tinggal di sini.56
Jika seorang yang tinggal di lingkungan masjid saja yang sehari-hari ada di
masjid tidak mengenal salah seorang dari jemaat gereja yang berdampingan dengan
masjid, artinya dapat dipahami bahwa memang kehadiran jemaat di gereja hanya pada
saat melakukan ibadah dan selebihnya mereka tidak berupaya menjalin komunikasi
dengan masyarakat tempat ibadat mereka. Ketika dikonfirmasi, pihak gereja mengakui
kebenaran apa yang dikemukakan oleh jamaah masjid tersebut, bahwa mayoritas atau
diperkirakan dalam Kota Kendari lebih 65% dari 150 anggota jemaat gereja tinggal
jauh dari gereja, bahkan ada juga yang tinggal di luar Kota Kendari, seperti di
Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan.57 Selebihnya (kurang dari 35%) tinggal
tersebar di kecamatan lain (Kecamatan Kendari) yang bertetangga dengan Kendari
Barat, tetapi tidak ada yang tinggal di wilayah Kelurahan Dapu-dapura.
Jemaat gereja yang tidak tinggal di lingkungan gereja yang berdekatan dengan
masjid tentu tidak akan mengalami secara langsung apa yang terjadi di sekitar masjid
dan gereja. Suasana hiruk-pikuk aktivitas masjid sehari-hari yang hampir dikata tidak
pernah sepi dari jamaah masjid, praktis juga tidak disaksikan oleh mereka. Begitu juga,
bunyi pengeras suara (orang umumnya menyebut TOA masjid), yang kebanyakan
56Dg. Ngai, Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Masjid Da’wah WanitaKendari, 8 April 2016.
57Pdt. David Agus Setiawan, Wawancara, di Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari, tanggal21 Mei 2016.
100
warga nonmuslim di beberapa daerah tidak menyukainya karena dianggap
mengganggu58, juga tidak dialami oleh jemaat Gereja Bukit Zaitun Kendari.
Dari gambaran umum kondisi jemaat gereja yang mayoritas tidak tinggal di
sekitar gereja itu, maka dapat diketahui secara umum bahwa hubungan antar pribadi
tentu sulit terjadi. Penulis hampir tidak menemukan informasi yang dapat menjelaskan
tentang bagaimana hubungan antara jamaah masjid dengan jemaat gereja.
Namun demikian, tidak berarti bahwa tidak terjalin hubungan sama sekali antara
jamaah masjid dengan jemaat gereja. Secara individu, hubungan dalam bentuk saling
berkunjung antara jamaah masjid dengan jemaat gereja tetap terjadi antara beberapa
orang jamaah masjid dengan pendeta atau pengurus gereja. Meskipun hubungan itu
hanya terjadi antara pengurus gereja yang tinggal dalam lingkungan gereja dengan
beberapa orang jamaah masjid saja.
Beberapa tahun lalu, Aslan (remaja masjid) mengakui, pernah ada salah seorang
jemaat gereja yang tinggal di dekat gereja yang sering datang berkunjung ke rumah
orang tuanya. Jemaat gereja tersebut begitu sering berkunjung ke rumah orang tuanya
sehingga terjalin hubungan yang akrab.59
Hal serupa juga dikemukakan Makmur Dg. Kulle, B.Sc. yang mengatakan
bahwa sekitar 2 tahun lalu (2013 atau 2014) seorang pengurus gereja yang tinggal
dalam gereja sering berkunjung ke rumahnya berbincang-bincang dengan keluarganya
pada malam hari sehingga terjalin keakraban di antara jemaat tersebut dengan keluarga
Pa Makmur. Ketika ditanya identitas pengurus gereja dimaksud, dirinya tidak
mengetahui secara persis kecuali nama sapaannya, yakni Pa Kris atau anak-anaknya
biasa memanggilnya Om Kris. Selain Pa Kris sering berkunjung ke rumahnya, Pa
Makmur juga meskipun tidak sering, tetapi biasa berkunjung ke kediaman Pa Kris yang
58Di beberapa daerah minoritas muslim seperti di Papua, umumnya pemeluk Kristenmenganggap bunyi TOA masjid mengganggu mereka karena selalu terdengar setiap hari, yakni pada saatazan dikumandangkan. Bahkan durasi waktu yang lama sebelum azan, bunyi rekaman bacaan al-Qur’an,shalawat atau tahrim sudah dibunyikan oleh pengurus atau remaja masjid. Lihat Zuly Qodir, “KontestasiPenyiaran Agama di Ruang Publik: Relasi Kristen dan Islam di Kota Jayapura”, Harmoni, JurnalMultikultural dan Multireligius (Vol. 14, No. 1, Januari-April 2015), h. 48.
59Aslan, Pengurus Remaja Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Masjid Da’wahWanita Kendari, 8 April 2016.
101
tinggal di dalam kompleks gereja, terutama untuk urusan muamalah, seperti
memperbaiki peralatan elektronik yang ada dalam gereja.60
Hampir sama dengan penuturan Pa Makmur di atas, jalinan keakraban juga
terjadi sebagaimana yang dikemukakan oleh jamaah masjid sekaligus pengurus masjid,
Drs. Marsuki yang pernah tinggal di lingkungan masjid sejak tahun 1998. Ia
menuturkan bahwa dirinya justru akrab dengan Pak Agus (sapaan akrab untuk Pendeta
Ir. David Agus Setiawan, M.Th.) yang juga tinggal dalam lingkungan gereja bersama
keluarganya. Ia biasa berkunjung ke gereja untuk suatu keperluan, baik keperluan
pribadinya sendiri maupun keperluan orang lain, seperti ketika ada tamu beragama
Islam yang ingin bertemu dengan Pak Agus.61
Bahkan pengurus masjid yang sejak kecil tinggal di sekitar masjid dan gereja itu
menuturkan bahwa dirinya biasa saling berkunjung dengan pengurus gereja di masa
Pdt. John san Lumangkun.
Apa yang dikemukakan oleh pengurus masjid tentang hubungannya dengan
pihak gereja dibenarkan oleh pengurus gereja. Pak Agus mengisahkan dirinya senang
dan menerima dengan baik jika ada saudara muslim yang kunjung ke tempat
tinggalnya. Ia pun siap berbincang dengan ramah tentang berbagai hal. Sebagai wujud
kesenangannya jika dikunjungi oleh orang Islam, dirinya menyuguhkan alakadarnya
berupa minuman air putih, teh atau kopi sebagaimana kepada tamunya yang lain, yang
juga penulis alami ketika melakukan wawancara di kediamannya.
Begitu juga sebaliknya, Pak Agus meskipun tidak rutin, tetapi biasa berkunjung
ke rumah beberapa orang pengurus masjid di sekitar gereja, baik pada hari-hari biasa
maupun pada momen setelah hari raya umat Islam, terutama idul fitri. Bukan hanya
dirinya yang aktif melakukan kunjungan ke rumah tetangga muslim, tetapi pendeta
sebelumnya yang juga merupakan mertuanya (Pdt. John San Lumangkun) juga
termasuk aktif melakukan kunjungan. Kunjungan itu hanya dilakukan oleh dirinya tidak
melibatkan anggota keluarganya yang lain dan tidak juga pengurus gereja lainnya.
Kunjungan itu, menurutnya karena murni kunjungan biasa seorang tetangga ke rumah
60Makmur Dg. Kulle, B.Sc., Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari,tanggal 27 Mei 2016.
61Drs. Marsuki, Ketua I Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari Periode 2015-2020,Wawancara, di Kendari pada tanggal 18 Mei 2016.
102
tetangganya untuk mempererat jalinan silaturrahmi62 yang tidak perlu memandang
agama dan keyakinan.63
Dari pertemuan-pertemuan dan kunjungan tersebut, pengurus masjid (Pak
Marsuki) mengaku hubungan dirinya dengan Pak Agus menjadi semakin baik. Seiring
perjalanan waktu, tidak terasa hubungan antara keduanya sudah terjalin dengan suasana
keakraban. Demikian akrabnya hubungan antara Pak Marsuki dengan Pak Agus,
sampai mereka biasa saling menegur untuk hal yang sifatnya urusan dalam rumah. Ia
menceritakan pernah suatu ketika, Pak Agus bersama teman-temannya sedang
mempersiapkan hidangan makanan dengan menu [maaf] anjing yang dibakar di dalam
kompleks gereja. Ketika jamaah masjid sedang siap-siap akan menunaikan shalat zuhur
tercium aroma yang tidak biasa bagi jamaah masjid, maka tanpa beban Pak Marsuki
spontan saja meminta supaya dihentikan dan bekas apinya disiram dengan air. Begitu
mendengar suara Pak Marsuki dari balik tembok masjid dan gereja, mereka pun
melakukan apa yang diminta oleh Pak Marsuki dengan segera tanpa menimpali dengan
pembicaraan.64 Mungkin terdapat rasa keberatan dalam hati jemaat gereja mendapat
teguran tiba-tiba, tetapi mereka segera menyadari bahwa apa yang dilakukannya adalah
hal yang tidak disukai oleh tetangganya dan mengganggu jamaah masjid, sehingga
mereka memilih untuk mendiamkan saja. Bersabar dan harus banyak memaklumi,
menurut mereka itulah yang harus dilakukan oleh pihak gereja dan jemaatnya.65 Pilihan
itu tentu didasari oleh sebuah kesadaran keberadaan mereka dan rumah ibadahnya yang
tinggal di tengah-tengah komunitas mayoritas muslim.
Jika diperhatikan cerita tentang kejadian di atas, sebenarnya cara menegur yang
dipilih pihak jamaah dapat dinilai kurang etis dan dapat merusak hubungan dengan
pihak yang ditegur. Model teguran seperti itu juga biasa ditujukan kepada pihak yang
62Penggunaan istilah silaturahmi atau silaturahim sangat umum digunakan, baik di kalangankaum muslimin maupun di kalangan nonmuslim –seperti yang digunakan oleh Pdt. Agus– untuk aktivitassaling mengunjungi atau saling bertemu. Namun, istilah ini sesungguhnya lebih tepat digunakan untukorang-orang yang memiliki pertalian rahim atau nasab dengan seseorang, bukan kepada semua orang.Karena itu, ungkapan yang tepat bukan jalinan silaturrahmi, tetapi jalinan persahabatan.
63Pdt. David Agus Setiawan, Wawancara, di Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari, tanggal21 Mei 2016.
64Drs. Marsuki, Ketua I Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari Periode 2015-2020,Wawancara, di Kendari pada tanggal 18 Mei 2016.
65Pdt. David Agus Setiawan, Wawancara, di Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari, tanggal21 Mei 2016.
103
orang atau golongan yang keadaannya tidak memungkinkan melakukan perlawanan.
Bisa karena secara usia tergolong anak atau dianggap anak yang tidak boleh
membantah orang yang lebih tua. Bisa juga karena secara derajat kebutuhan yang lebih
tinggi dari yang ditegur kepada yang menegur. Atau bisa juga secara komunitas, pihak
yang ditegur tidak patut untuk melakukan perlawanan baik kata maupun pisik kepada
yang menegur.
Selain itu, model komunikasi seperti itu sebenarnya biasa bagi kedua belah
pihak yang sudah saling mengenal sebelumnya dan telah terjalin komunikasi yang
dekat antara keduanya. Nampaknya, dari kejadian itu, diketahui bahwa pihak jamaah
masjid yang menegur pihak jemaat gereja yang melakukan perbuatan yang tidak
disenangi oleh jamaah masjid didasari oleh dua kondisi hubungan antara keduanya,
yakni bahwa pihak gereja tidak mungkin untuk menunjukkan reaksi balik atas teguran
kepada mereka karena memang tindakannya telah mengganggu jamaah masjid dan
warga yang mayoritas muslim. Selain itu, memang karena oknum jamaah yang
menegur telah menjadin hubungan kedekatan dengan pihak pengurus gereja, sehingga
tidak mungkin teguruannya ditanggapi negatif. Dan terbukti setelah kejadian itu,
hubungan mereka tetap berjalan baik.
Masih terkait dengan kesiapan untuk saling tegur menegur, pernah juga pihak
jamaah masjid menerima teguran dari pihak gereja. Pa Makmur menuturkan bahwa
beberapa waktu lalu sebagian anak-anak warga muslim biasa melempari anjing milik
pengurus gereja. Mungkin karena anak-anak yang biasa lewat dan bermain di sekitar
gereja merasa jengkel atau iseng dengan anjing yang sering terlihat, anak-anak pun
biasa mengambil krikil dan meleparkan ke arah anjing. Karena anjing berada dalam
pagar gereja, maka kesannya adalah anak-anak ini melempari gereja. Menanggapi
kejadian itu, salah seorang anggota keluarga yang tidak lain adalah istri Pdt. Agus
mengeluhkannya kepada Pa Makmur, lalu dirinya memperingatkan anak-anak agar
tidak lagi mengulangi perbuatannya.66
Hal serupa juga dituturkan oleh Yahsam, salah seorang jamaah masjid yang
sejak kecil berdomisili di sekitar masjid, bahwa jika ada masalah terkait dengan ulah
anak-anak yang terkadang melempari anjingnya, maka Pdt. Agus datang mengadukan
66Makmur Dg. Kulle, B.Sc, Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari,pada tanggal 27 Mei 2016.
104
hal tersebut ke rumahnya. Ketika ditanya, apakah dirinya mengenal jemaat gereja.
Yahsan mengaku tidak mengenal mereka karena memang tidak ada yang tinggal di
sekitar gereja. Ia hanya mengenal Pdt. Agus dan istrinya yang tinggal dalam lingkungan
gereja.67
Jika dicermati hubungan sehari-hari antara jamaah masjid dengan jemaat gereja,
dapat diketahui bahwa hubungan mereka terjadi dalam aspek kehidupan yang terbatas.
Hubungan mereka cenderung spontan dan tidak mengakar, kecuali hanya beberapa
orang jamaah saja.
Muamalah ekonomi terjadi sangat sedikit, yakni pada saat juali untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehar-hari antara keduanya. Aktivitas kehidupan pertetanggaan
seperti: saling memberi, saling meminjam keperluan sehari-hari, termasuk saling
bertukar informasi ringan yang biasanya terjadi di sela-sela kesibukan sehari-hari
dengan sesama tetangga hampir tidak terjadi.
b. Hubungan Asosiasional
Hubungan asosiasional adalah hubungan secara kelembagaan atau asosiasi. Jika
dihubungkan antara jamaah masjid dengan jemaat gereja, berarti hubungan secara
kolektif antara jamaah yang diwadahi oleh sebuah organisasi atau perkumpulan, dalam
hal ini adalah atas nama jamaah masjid dengan jemaat gereja.
Terkait hubungan secara kolektif ini menurut pengakuan beberapa jamaah
masjid tidak pernah dilakukan. Tidak pernah jamaah masjid melakukan pertemuan
dengan jemaat gereja untuk suatu keperluan tertentu, baik yang digagas oleh jamaah
masjid maupun yang digagas oleh jemaat gereja. Informasi ini diperkuat oleh
keterangan yang diberikan oleh sekretaris pengurus masjid, bahwa sepanjang dirinya
menjadi pengurus masjid tidak pernah terjadi pertemuan resmi antara jamaah masjid
dengan jemaat gereja.68
Adapun terkait dengan kerja bakti bersama sebagaimana yang diberitakan lewat
media, hal itu tidak pernah dilakukan secara terencana. Masih menurut sekretaris
pengurus masjid, seingatnya pernah memang terjadi kerja bakti bersama dengan pihak
67Yahsam, Jamaah Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari, pada tanggal 17Agustus 2016.
68M. Yusuf Latif, SE., Sekretaris Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari Periode 2015-2020,Wawancara, di Kendari pada tanggal 28 April 2016.
105
gereja, tetapi hal itu terjadi secara kebetulan, atau tidak ada rencana untuk kerja bakti
bersama. Dalam kerja bakti itu, tidak bersama-sama di suatu tempat yang sama,
melainkan masing-masing melakukannya di rumah ibadah masing-masing.69
Sebagaiamana lazimnya kerja bakti yang dilakukan oleh banyak orang, jamaah
masjid sering melakukannya secara terencana terutama menjelang Ramadhan, hari raya
Idul Fithri atau Idul Adha, acara-acara perayaan hari besar Islam dan pada saat kerja
bakti renovasi bangunan masjid. Adapun kerja bakti yang dimaksud dilakukan oleh
pihak gereja dilakukan bukan secara massal dengan melibatkan jemaat gereja, tetapi
dilakukan oleh beberapa orang saja yang tinggal di dalam kompleks gereja yang
dipimpin oleh Pendeta Agus. Mereka secara rutin tentu melakukan pembersihan
lingkungan gereja yang sekaligus sebagai lingkungan tempat tinggalnya.
Namun, ketika mengetahui jamaah masjid melakukan kerja bakti massal di
masjid, sebagai bentuk ungkapan tenggang rasa sebagai tetangga, Pak Agus juga turut
melakukan kerja bakti, tetapi tetap di lingkungan gereja dengan turut membersihkan
dan menata taman sekitar yang berbatasan antara bangunan gereja dengan masjid, tidak
tergabung dalam kerja bakti dalam lingkungan masjid. Begitu juga sebaliknya, jamaah
masjid tidak turut melakukan pembersihan di lingkungan gereja kecuali di tempat yang
berbatasan antara masjid dengan gereja.
Pihak gereja sangat mudah mengetahui jika ada kegiatan kerja bakti di masjid
karena biasanya remaja masjid membunyikan lantunan tartil atau suara musik kasidah
melalui pengeras suara luar untuk memberitahukan warga akan adanya kerja bakti di
masjid.
Dalam momen yang kebetulan itulah terjadi komunikasi dan pembicaraan yang
tidak direncanakan antara beberapa jamaah masjid dengan Pak Agus. Sebagaimana
biasanya pembicaraan yang terjadi adalah pembicaraan yang alamiah tentang
kebersihan dan keindahan lingkungan masing-masing.
Namun, dari pembicaraan yang insidental itu tercapai kesepakatan antara pihak
jamaah masjid dengan jemaat gereja. Kesepakatan yang pernah dicapai itu meskipun
tidak resmi dan tidak tertulis, tetapi menurut sekretaris pengurus masjid hal itu cukup
69M. Yusuf Latif, SE., Sekretaris Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari Periode 2015-2020,Wawancara, di Kendari pada tanggal 28 April 2016.
106
menjadi komitmen bersama untuk saling menghormati dan menghargai pelaksanaan
ibadah atau kegiatan masing-masing di dua rumah ibadah.
Misalnya ketika ada acara di gereja, maka pihak masjid hendaknya mengerti
dan akan mengecilkan suara pengeras suara. Begitu juga sebaliknya, jika di masjid ada
kegiatan, maka pihak gereja dengan sendirinya berusaha untuk menjaga ketenangan
dengan tidak mengeraskan suara pengeras suara gereja. Komitmen itu betul-betul
merupakan komitmen murni antara pengelola dua rumah ibadah yang bersifat moral
semata tanpa ada ketentuan-ketentuan apapun terhadap terlaksana atau tidaknya
komitmen tersebut.70 Artinya, apapun yang terjadi apakah satu pihak memenuhi atau
tidak memenuhi komitmen itu tidak perlu pihak lain untuk mengingakan atau menegur
ketika ada pihak yang lupa atau lalai terhadap komitmen itu. Begitu juga salah satu
pihak tidak perlu merasa bahwa pihak lain itu melanggar kesepakatan, karena arah
kesepatakan itu murni sebagai komitmen ke dalam.
Pernah sekali waktu terjadi acara penting di masjid bersamaan dengan acara
penting di gereja, yakni pada tahun 1998 dimana bulan Ramadhan 1419 H. bertepatan
dengan malam natal tanggal 25 Desember 1998. Pada malam itu adalah tanggal 5
Ramadhan 1419 H.71, sebagaimana dimaklumi bahwa seluruh masjid selalu ramai
dengan aktivitas ibadah di bulan Ramadhan, terutama pada malam-malam awal
Ramadhan. Begitu juga diketahui bahwa pada malam natal juga semua gereja ramai
dikunjungi oleh jemaat untuk aktivitas persiapan menyambut natal yang dipusatkan di
gereja.
Pada saat jamaah masjid sedang melaksanakan Shalat Tarwih berjamaah di
Masjid Da’wah Wanita, jemaat Gereja Patekosta Bukit Zaitun juga mulai aktivitasnya
70M. Yusuf Latif, SE., Sekretaris Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari Periode 2015-2020,Wawancara, di Kendari pada tanggal 28 April 2016
71Meskipun tidak menyebut tahun, menurut penuturan Pak Marsuki, malam itu adalah malamawal Ramadhan bertepatan dengan malam Natal. Setelah dicek pada kalender hijriyah online, ternyatamalam natal dimaksud adalah tanggal 25 Desember tahun 1998 yang bertepatan dengan tanggal 5Ramadhan 1419 H. Belum pernah terjadi malam natal bertepatan dengan 1 Ramadhan atau awalRamadhan kecuali pada tahun 1998. Seblumnya pernah terjadi hari natal bertepatan dengan awalRamadhan, yakni pada tanggal 25 Desember 1965 yang bertepatan dengan tanggal 2 Ramadhan 1385 H.Sumber: http://kasmui.com/v1/?page_id=838, diakses tanggal 20 Mei 2016. Akan tetapi, tentu bukan iniyang dimaksud karena pada tahun 1965, Pak Marsuki belum tinggal di lingkungan masjid, bahkanmenurut keterangan yang paling kuat, Masjid Da’wah Wanita sendiri belum dibangun pada tahun itu.
107
sehingga terdengar suara alat musik72 dan suara jemaat yang agak keras sampai
mengganggu konsentrasi jamaah shalat tarwih. Suasana demikian tentu akan
mengganggu kekhusyuan jamaah shalat tarwih. Selain itu, jamaah tidak konsentrasi
mendengarkan suara imam yang melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an dan suara takbir
imam yang mengomandoi peralihan dari satu gerakan ke gerakan shalat lainnya.
Menghadapi situasi demikian, jamaah sepakat menghentikan sementara shalat
tarwih dan tidak meneruskannya hingga keadaan bisa kembali tenang. Pak Marsuki
sebagai salah seorang pengurus masjid meminta jamaah agar tetap tenang dan dirinya
pergi menemui pengurus gereja untuk membicarakan solusi terbaik agar tidak salingga
mengganggu pelaksanaan aktivitas ibadah masing-masing. Agar solusi yang diambil
tidak terkesan dilakukan oleh sepihak pengurus masjid dengan pengurus gereja, maka
diadakan pertemuan singkat antara jamaah masjid dengan pengurus gereja. Pihak gereja
diwakili oleh tiga orang yang dipimpin oleh Pendeta Agus. Pertemuan yang dilakukan
di masjid itu tidak perlu memakan waktu lama, kedua belah pihak segera bersepakat
untuk tetap melangsungkan agenda masing-masing pada malam itu, tetapi dengan
melakukan penyesuaian waktu pelaksanaannya. Caranya, agenda di gereja ditunda
sementara waktu menunggu selesainya shalat tarwih di masjid. Setelah jamaah selesai
menunaikan shalat tarwih, barulah aktivitas gereja dilanjutkan kembali.73
Solusi ini ditempuh dengan pertimbangan, bahwa shalat tarwih tidak
berlangsung lama, yakni sekitar setengah jam (30 menit), sementara acara di gereja
biasanya berlangsung lama sampai tengah malam.
Seingat pengurus masjid, belum pernah terjadi dialog dengan pihak gereja
sebelum dan setelah pristiwa di tahun 1998 tersebut. Namun, dari pristiwa tahun 1998
tersebut dapat diketahui bahwa meskipun pernah terjadi kekeruhan hubungan antara
jamaah masjid dengan jemaat gereja, tetapi hal itu terjadi secara wajar dirasakan dan
dipersepsi sebagai sebuah gangguan insidental dari pihak gereja atas jemaah masjid.
Sehingga ketika gangguan itu berlalu, hubungan jamaah masjid secara komunitas
jamaah masjid dengan komunitas jemaat gereja dapat berlangsung baik kembali.
72Gereja pantekosta terkenal sebagai gereja yang full musik, artinya dalam setiap aktivitaskebaktian selalu diiringi oleh music sebagai bagian dari pelaksanaan ibadat.
73Drs. Marsuki, Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari Periode 2015-2020, Wawancara, diKendari pada tanggal 18 Mei 2016.
108
Itulah sebabnya, jika diamati selama ini, pihak masjid hampir selalu
membunyikan pengeras suara masjid setiap menjelang masuk waktu shalat lima waktu
tanpa merasa perlu untuk melihat atau mempertimbangkan apakah ada kegiatan di
gereja atau tidak. Sebelum waktu azan tiba, di Masjid Da’wah Wanita selalu
dibunyikan rekaman suara tilawah atau tartil al-Qur’an selanjutnya suara lantunan
shalawat dan suara azan setelah masuk waktu shalat. Keadaan itu telah berlangsung
bertahun-tahun tanpa ada masalah. Hal itu memungkin terjadi karena selama ini jarang
terjadi kegiatan gereja bersamaan dengan kegiatan masjid. Selain itu, dengan bangunan
tembok masjid dan tembok gereja yang tertutup penuh sampai ke atas pada bagian yang
saling berdekatan, maka suara soundsystem dari dalam gereja tidak terdengar lagi.
Demikian juga halnya suara dari dalam masjid tidak lagi terdengar dari dalam gereja,
kecuali suara azan yang dipancarkan lewat menara masjid masih terdengar, tetapi tidak
lagi mengganggu aktivitas dalam gedung karena menggunakan pengeras suara
lemparan jarak jauh.
Kesediaan berdialog juga merupakan bentuk kesediaan untuk memperbaiki
hubungan antara keduanya, meskipun dialog tersebut sangat jarang terjadi dan tidak
pernah direncanakan. Bahkan pengurus masjid secara kelembagaan memang tidak
pernah mengagendakan kegiatan yang berkaitan hubungan jamaah masjid dengan
jemaat gereja. Apalagi dialog agama dalam rangka upaya saling memahami keyakina
dan ajaran agama masing-masing, menurut penuturan pengurus masjid tidak pernh
dilakukan.
3. Kondusivitas Hubungan Jamaah Masjid dan Jemaat Gereja
Paparan mengenai hubungan antara jamaah masjid dengan jemaat gereja di atas
menunjukkan satu hal, bahwa suasana kehidupan beragama di wilayah ini cukup
kondusif. Secara umum tidak terjadi konflik berarti antara kedua pemilik rumah ibadah
yang berdempetan. Beberapa hal yang menjadi pendukung terwujudnya kondisi
demikian dapat dikemukakan berikut.
a. Volume interaksi
Uraian mengenai bentuk-bentuk hubungan antara jamaah masjid dengan jemaat
gereja di atas menunjukkan suatu kondisi bahwa antara jamaah masjid dengan jemaat
gereja secara umum tidak terjalin hubungan atau interaksi yang kuat antara keduanya.
109
Pada umumnya jamaah masjid justru tidak mengenal siapa-siapa yang menjadi
anggota jemaat gereja tetangganya. Sebagian mereka hanya mengenal pengurus gereja
yang tinggal dalam kompleks gereja beserta para keluarganya. Itupun hanya beberapa
orang saja yang pernah berkomunikasi dengan pengurus gereja. Di antara jamaah
bahkan tidak mengenal nama pendeta gereja di sebelah masjidnya. Jamaah masjid
lainnya justru tidak mengenal pengurus gereja, kecuali hanya mengetahui bahwa ada
pengurus yang tinggal dalam gereja. Sebagian mereka mengetahui identitasnya
sebagian tidak mengetahuinya. Adapun jemaat gereja lain secara umum tidak dikenal
oleh jamaah masjid. Begitu juga sebaliknya jamaah masjid secara umum tidak dikenal
oleh jemaat gereja. Hal itu terjadi karena mayoritas jemaat gereja tidak berdomisili di
sekitar gereja. Mereka datang ke gereja ketika ada kegiatan gereja, setelah itu mereka
kembali pulang ke rumah masing-masing.
Jadi, meskipun rumah ibadah mereka berdempetan nyaris tanpa jarak, tetapi
secara geografis mereka berjauhan tempat tinggal sehingga nyaris tidak jarang –untuk
tidak mengatakan tidak pernah bertemu, berkunjung, apalagi bercengkrama. Inilah yang
menjadi faktor utama yang menghalangi terjadinya interaksi antara jemaat gereja
dengan jamaah masjid.74
Interaksi yang terjadi selama ini adalah antara pengurus gereja dengan beberapa
orang jamaah masjid yang mereka adalah pengurus masjid. Dari penuturan kedua belah
pihak, diketahui bahwa hubungan mereka cukup menggembirakan, baik secara pribadi,
maupun hubungan yang merepresentasikan diri mereka sebagai jamaah masjid.
Namun, baiknya hubungan antara sebagian pengurus masjid dengan pengurus
gereja belum dapat dikatakan menggambarkan hubungan antara jamaah masjid secara
umum terhadap jemaat gereja, karena jamaah masjid termasuk pengurus masjid lainnya
justru tidak menjalin hubungan dengan pihak jemaat gereja.
Meskipun belum terjalin hubungan antara jamaah masjid dengan jemaat gereja,
tetapi suasana kehidupan keagamaan berjalan secara baik. Keberadaan dua rumah
ibadah yang berdekatan dengan seluruh aktivitas keagamaan yang berjalan dengan baik
tanpa ada gangguan dan hambatan dari salah satu pemilik rumah ibadah tentu
74Padahal interaksi di tengah masyarakat hanya akan terwujud jika terdapat komunikasi dankontak antara dua pihak. Anjar Tri Lutfianto dan Muhammad Turhan Yani, ”Pola Interaksi antara UmatIslam dengan Kristen di Desa Lemah Putro Kecamatan Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo”, e-Journal Unesa,Kajian Moral dan Kewarganegaraan (Volume 02, Nomor 03; Surabaya: Universitas Negeri Surabaya,2015), h. 724.
110
merupakan indikator utama adanya suasana kerukunan, kedamaian dan ketenangan
antara dua penganut agama yang berbeda.
b. Karakter Jamaah Masjid
Karakter yang dimaksudkan di sini adalah cara jamaah masjid dalam membawa
diri atau menampilkan diri dalam kehidupan sosial.
Salah satu faktor penting yang menjadi pendukung terwujudnya suasana tenang
dan damai selama ini menurut cermatan pihak gereja adalah karena secara umum umat
Islam di Kendari termasuk masyarakat yang low profile.75
Low profile secara bahasa berarti rendah profil, yakni orang yang mengambil
sikap sengaja tidak mau menonjol atau menghindari pulisitas.76 Maksudnya adalah
orang yang tidak mencari perhatian publik baik melalui media maupun nonmedia. Low
profile cenderung sederhana tidak ingin tampil atau menampilkan diri, tidak ingin
terekspos, meskipun sebenarnya mereka dikenal orang banyak.77
Pada masyarakat umum, tipe seperti ini secara cenderung pasif. Mereka tidak
banyak perhatian terhadap keberadaan orang lain di sekitarnya. Karakter masyarakat
model ini tetap akan ramah, sopan dan menghargai orang lain sepanjang mereka merasa
tidak terganggu kepentingannya, baik secara pribadi maupun agama dan keyakinannya.
Tipe seperti ini pun tetap akan mentolerir kesalahan-kesalahan78 yang terjadi di
sekelilingnya sepanjang tidak ada gangguan terhadap diri dan komunitasnya.
Apa yang diungkapan pihak gereja tersebut ada juga benarnya, meskipun tidak
seluruhnya benar. Dari pengamatan terhadap jamaah masjid dan umat Islam pada
umumnya di wilayah itu, diketahui bahwa mereka memang tidak mengetahui banyak
75Pdt. David Agus Setiawan, Pendeta GPdI Bukit Zaitun Kendari, Wawancara, di Kendari, padatanggal 21 Mei 2016.
76Dapat dilihat pada Kamus Bebas online di http://www.thefreedictionary.com/low+profile77Lihat Wikipedia, The Free Ensiklopedia pada https://en.wikipedia.org. Diakses tanggal 3 Juni
2016.78Sebenarnya mengizinkan masjid dan gereja dibangun berdempetan menyalahi peraturan
pemerintah sendiri terkait perlunya pembangunan rumah ibadah itu mempertimbangkan komposisijumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa. LihatPasal 13 ayat (1) Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menterri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun2006/Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerahdalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, danPendirian Rumah Ibadat.
111
tentang gereja, aktivitasnya orang-orangnya, termasuk siapa yang tinggal dalam gereja
itu.
c. Nonmuslim dari Etnis Setempat
Beberapa pemeluk agama kristen termasuk protestan yang ada di Kendari telah
banyak dari kalangan etnis setempat (suku Tolaki).79 Adanya kesamaan etnis, bahasa,
adat-istiadat, dan simbol-simbol etnis lainnya secara emosional merupakan faktor yang
mempengaruhi manusia dalam melakukan interaksi sosial, termasuk adaptasi di tengah
masyarakat. Bahkan sejatinya kebudayaan ini dapat digunakan oleh manusia untuk
melakukan penyesuaian-penyesuaian diri di tengah masyarakat.80
Sehingga ketika terjadi masalah antara muslim dengan kristen, faktor
kekeluargaan dan kesamaan etnis menjadi perekat yang dapat mereduksi emosi,
sekaligus penghalang bagi terjadinya konflik.
Kondisi masyarakat yang seperti ini meskipun dianggap mendukung
terpeliharanya suasana baik dalam hubungannya antara dua pemeluk agama, tetapi
sesungguhnya masih tergolong rawan jika hanya dibiarkan terus-menerus berjalan
secara alami. Apalagi kondisi perpolitikan di negeri ini yang mengandalkan pada
dukungan massa tanpa melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Untuk
kepentingan memperoleh suara misalnya, pelaku politik biasanya menghalalkan segala
cara untuk mendapatkan suara dari masyarakat, termasuk dengan melakukan money
politic.
Kerawanannya terletak pada faktor yang melandasi hubungan baik, yakni lebih
banyak bersifat emosional, dibandingkan rasional. Hubungan baik yang lebih banyak
didominasi oleh faktor emosional cenderung berubah-ubah tegantung kondisi
emosional. Sedangkan emosi seseorang dalam kaitannya dengan keberadaan orang atau
komunitas lain dapat dipicu perubahannya oleh faktor eksternal.81 Maka kondisi
79Makmur, S.Sos.,M.Pd., Sekretaris Kecamatan Kendari Barat, Wawancara, di Kendari Barat,pada tanggal 13 Juli 2016.
80Selengkanpnya dalam Kurnia Novianti, “Kebudayaan, Perubahan Sosial dan Agama dalamPerspektif Antropologi”, Harmoni, Jurnal Multikultural dan Multirelgius (Vol. 12, No. 2, Mei-Agustus2013), h. 11.
81Emosi seseorang terhadap keberadaan orang atau pihak lain yang berbeda dengan diri ataukelompoknya termasuk dalam kategori naluri mempertahankan diri (garizat al-baqa’). Naluri manusiaakan bangkit ditentukan oleh faktor pemicu dari luar, bukan dari dalam. Naluri itu akan bangkit jikaterdapat faktor luar yang memancing dan memicunya.
112
masyarakat yang tergolong tipe ini harus benar-benar dijaga agar tidak dimasuki oleh
orang atau pihak yang tidak bertanggung jawab (provokator) yang akan merusak
hubungan kedua pemilik rumah ibadah. Jika hal ini dapat dijaga, maka hubungan akan
tetap bisa dipertahankan, meskipun tidak tejadi interaksi yang intens.
Namun, jika kehadiran orang atau pihak yang tidak bertanggung jawab sulit
dihindari, maka cara terbaik untuk memelihara hubungan baik tersebut adalah dengan
jalan menjalin komunikasi yang tulus. Pihak jamaah masjid mesti memberikan
informasi secara honesty (secara jujur) tentang masjid, aktivitas masjid, pokok-pokok
atau prinsip-prinsip pengelolaan masjid yang tidak bisa disesuaikan dan aktivitas
masjid yang tidak boleh diganggu. Termasuk aktivitas masjid yang memungkinkan bisa
dilakukan penyesuaian, baik waktu maupun teknis pelaksanaannya. Begitu juga pihak
gereja mesti menyampaikan kepada pihak masjid jika ada aktivitas gereja yang
diperkirakan akan mengganggu pelaksanaan kegiatan masjid.
Perlu disadari, bahwa hubungan yang ”hangat” antara pengurus gereja dengan
beberapa pengurus dan jamaah masjid masih sebatas saling menjaga agar tidak terjadi
gesekan atau miskomunikasi saja. Belum sampai pada taraf untuk menjalin kedekatan
sehingga terjadi kerja sama. Hal ini mudah saja dipahami karena sedekat bagaimanapun
hubungan seseorang atau kelompok orang dengan pihak lain selama terdapat norma
atau aturan apalagi keyakinan yang berbeda, tidak akan mungkin bisa melebihi dari
saling menjaga dan saling menghormati atau berlapang dada terhadap apa yang tidak
sesuai dengan norma aturan atau keyakinan yang diperpeganginya. Karena pada
dasarnya, setiap kelompok, etnis, aturan dan keyakinan berbeda itu normalnya
cenderung mempertahankan apa yang dianggap baik dan benar. Sementara setiap
kelompok masyarakat memiliki norma, aturan dan keyakinan yang belum tentu bisa
diterima oleh kelompok lain. Jika demikian, maka semakin majemuk suatu masyarakat,
maka semakin sulit terjadinya sosialisasi.82
Tampaknya kondisi demografis inilah yang lebih dominan yang menyebabkan
hubungan antara jamaah masjid dengan jemaat gereja tetap bisa terpelihara. Bahkan
bisa jadi kondisi seperti inilah yang juga terjadi di berbagai daerah sehingga umat Islam
bisa hidup berdampingan dengan kristen dalam satu lingkungan, meskipun secara
82Darmansyah M, “Pemuda dan Sosialisasi, dalam Darmansyah M, dkk., Ilmu Sosial Dasar(Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h. 88.
113
regulasi terkadang cenderung pendirian rumah ibadah di daerah mayoritas muslim
merugikan umat Islam.
4. Analisis Sikap Jamaah Masjid terhadap Masjid dan Gereja Berdempetan
Keberadaan Masjid Da’wah Wanita yang berdempetan dengan GPdI Bukit
Zaitun Kendari sepertinya bukan merupakan hal yang istimewa bagi masyarakat
sekitar. Justru yang menganggapnya sebagai suatu yang istimewa adalah orang dari
luar, baik dari luar daerah maupun dari luar negeri. Begitu juga bagi pengurus masjid
menganggap sebagai suatu yang wajar saja terjadi. Keberadaan masjid dan gereja
berdempetan sebagai sesuatu yang biasa, yang tidak perlu dipersoalkan apakah suatu
yang kebetulan atau sesuatu yang mempunyai maksud tertentu.
Namun, bagi sebagian pengurus masjid yang ditemui berpendapat lain.
Meskipun mereka memandang bahwa pendapatnya merupakan pendapat pribadi yang
tentunya bersifat subjektif dan belum tentu benar, tetapi hal itu patut untuk dicermati
karena asumsi mereka bukan tanpa dasar sama sekali. Sebagian dari mereka menilai
bahwa pembangunan kedua rumah ibadah yang berdempetan sepertinya bukan hal yang
kebetulan terjadi. Apalagi dengan memperhatikan adanya beberapa masjid dan gereja di
Kendari, khususnya di Kendari Barat yang dibangun berdekatan. Sebagian pengurus
masjid membenarkan bahwa terdapat maksud tertentu yang melatarbelakangi
pembangunan masjid dan gereja berdampingan, sebagaimana juga kondisi masjid dan
gereja di tempat lain.83
Penilaian mereka tentu tidak boleh diabaikan begitu saja. Sebagaimana
diketahui bahwa Islam dan kristen adalah agama yang mewajibkan umatnya untuk
mengajak orang lain kepada agamanya. Inilah ciri agama dakwah. Sehingga adanya
masjid dan gereja di suatu daerah adalah bagian dari upaya dakwah. Selain itu,
keberadaan rumah ibadah di tengah-tengah umatnya sesungguhnya merupakan simbol
eksistensi yang juga berfungsi untuk membentengi umatnya agar mereka tetap kuat
dalam menjalankan agamanya, sekaligus menjadi perisai dari adanya upaya pihak lain
untuk mengeluarkan mereka dari agamanya.
83Makmur Dg. Kulle, B.Sc., Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari Periode 2015-2020,Wawancara, di Kendari pada tanggal 27 Mei 2016; Drs. Marzuki, MA, Mantan Pengurus Remaja MasjidDa’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari pada tanggal 24 Mei 2016.
114
Bagi umat Islam, kehadiran masjid di tengah-tengah umat, selain merupakan
kebutuhan untuk aktivitas ibadah, juga sebagai pusat aktivitas dakwah. Karena itu,
adalah hal yang cukup beralasan jika umat Islam bereaksi terhadap kehadiran gereja di
tengah-tengah mereka sementara mereka adalah penduduk mayoritas di tempat itu. Jika
gereja bisa dianggap wajar untuk berdiri di sekitar rumah mereka padahal penganut
agama kristen sangat sedikit, maka tentu dianggap lebih wajar lagi jika masjid didirikan
di tempat itu.
Lebih jauh dari itu, wajar juga jika umat Islam secara subjektif menganggap
bahwa pendirian gereja di lingkungan yang hampir seluruhnya muslim merupakan
sebuah ”ancaman” bagi eksistensi umat Islam di tempat itu. Sebagaimana wajarnya jika
umat kristen menganggap sebuah ”ancaman” jika ada masjid yang dibangun di tengah-
tengah mayoritas umat kristiani.
Analisis ini mungkin bagi sebagian orang merupakan sesuatu yang tabu untuk
dikemukakan, tetapi bagi sebuah penelitian, hal ini semestinya bukan hal yang tabu
untuk diungkap. Justru menganggap hal ini sebagai sesuatu yang tabu lalu
menyimpannya rapat-rapat dalam ketertutupan yang dibalut subjektivitas akan
berpotensi melahirkan kecurigaan terpendam terhadap pihak lain. Pada suhu tertentu,
kecurigaan itu akan boleh jadi berkembang menjadi ketidaksukaan atau bahkan
kebencian terhadap pihak lain yang merupakan bentuk awal dari konflik nyata.
Karena itu, kesediaan sebagian jamaah masjid untuk mengungkap hal yang
sensitif seperti ini hemat penulis justru merupakan suatu hal yang positif dan
menunjukkan adanya kemajuan yang dicapai oleh seeseorang atau pemeluk agama
karena berani mengemukakan pandangannya secara tulus. Begitu juga mengungkapnya
dalam tulisan ini tentu bukan dengan maksud untuk mengeruhkan suasana
keberagamaan kedua belah pihak, tetapi justru agar masing-masing penganut agama
bisa saling memahami eksistensi masing-masing pemeluk agama. Apalagi Islam dan
kristen yang secara teologis memiliki misi untuk mengajak orang lain ke dalam agama
mereka.
Islam sejak awal diwahyukan telah mewajibkan setiap umatnya untuk
berdakwah mengajak nonmuslim untuk memeluk Islam sebagai agama keselamatan.
Hanya saja dalam mengajak orang lain, Islam mengharamkan cara paksaan maupun
iming-iming yang jauh dari sikap rasional. Dalam salah satu ayat al-Qur’an disebutkan:
115
وما أنا من ال على بصیرة أنا ومن اتبعني وسبحان ا مشركین قل ھـذه سبیلي أدعو إلى اKatakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutikumengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, danaku tiada termasuk orang-orang yang musyrik (TQS. Yusuf/12: 108).
Berdasarkan beberapa hal yang dikemukakan di atas, maka nampaknya hal yang
wajar jika Masjid Da’wah Wanita segera dibangun di dekat GPdI Bukit Zaitun yang
dibangun beberapa tahun lebih dahulu.
Selain apa yang dikemukakan di atas, sebuah tinjauan yang lebih luas
dikemukakan oleh Faisal Makmur yang diiyakan oleh beberapa rekannya sesama
pengurus remaja masjid ketika diwawancarai. Pemuda yang setiap hari membimbing
remaja untuk belajar Islam di masjid ini mengemukakan, bahwa pembangunan masjid
di samping gereja mungkin memiliki tujuan tertentu. Ia menduga bahwa pembangunan
masjid di dekat gereja itu memiliki maksud, baik secara sosial maupun politik. Secara
sosial, dengan adanya dua rumah ibadah yang berdekatan dapat mendekatkan hubungan
antara kedua agama, dimana Islam merupakan agama terbanyak jumlah penganutnya di
wilayah ini dibandingkan dengan agama lain. Penganut Islam adalah yang mayoritas di
Kota Kendari. Adapun secara politik, keberadaan masjid dengan gereja yang
berdekatan ini diduga merupakan salah satu upaya untuk menunjukkan kepada daerah
lain maupun dunia bahwa keragaman agama di Indonesia bukan merupakan halangan
untuk mewujudkan hidup berdampingan dalam kebhinekaan.84
Terlepas benar atau tidaknya dugaan yang dikemukakan oleh Remaja Masjid di
atas, terbukti bahwa masjid dan gereja bisa dibangun dengan pondasi dan atap saling
bertemu, akitivitas ibadah di dalamnya juga berjalan berpuluh-puluh tahun tetap tidak
terdapat masalah berarti. Bahkan kedua rumah ibadah itu tetap berdiri gagah seolah
keduanya sedang bergandengan tangan berdiri menyambut setiap tamu-tamunya yang
selalu berdatangan untuk beribadah di dalamnya. Para pemeluk kedua agama yang
berbeda ini pun terbukti bisa hidup rukun, damai karena saling menghormati, meskipun
memang agak jarang terjadi interaksi.
Apa yang dikemukakan oleh Faisal Makmur bersama rekan-rekannya di atas
mungkin ada benarnya. Sebagai anka-anak muda yang aktif mengkaji Islam, tentu
84Faisal Makmur, Ketua Remaja Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari padatanggal 8 April 2016.
116
mereka bisa lebih peka terhadap fenomena ini. Meskipun mereka mengakui tidak tahu
persis perkembangan keberadaan rumah ibadah ini sejak awal, tetapi apa yang
diungkapkannya patut diapresiasi karena mungkin ungkapan itu keluar dari benaknya
dengan pengamatan dan pengalamannya selama aktif memakmurkan Masjid Da’wah
Wanita. Apalagi jika diamati, keberadaan rumah ibadah umat Islam dan kristen di
Kendari, khususnya di Kecamatan Kendari Barat terbilang banyak, yakni 48 masjid dan
mushalla dan sebanyak 7 gereja. Di antara 7 gereja itu terdapat 5 di antaranya yang
berdekatan, yaitu: Masjid Akbar dengan Gereja Imanuel di Kelurahan Benu-benua,
Masjid al-Muqarrabun dengan Gereja Yesus Gembala di jalan Saranani Kelurahan
Kemaraya, Masjid At-Taqwa dengan Gereja Santaana dan Gereja Kebangunan Kalam
Allah (GKKA) di Kelurahan Sodoha, dan Masjid Da’wah Wanita dengan GPdI Bukit
Zaitun sendiri.
Selain itu, masjid dan gereja di Kecamatan Kendari Barat yang berdekatan,
masih terdapat di wilayah kecamatan lain, yakni: Masjid Raya Kota Lama dengan
Gereja GPIB Sumber Kasih di Kota Lama, Masjid Tanwirul Qulub dengan Gereja
Katolik Santo Clemens dan Masjid Raya al-Kautsar dengan Gereja Ora Et Labora di
Kecamatan Mandonga. Melihat letak dan banyaknya masjid yang berdekatan dengan
gereja di Kota ini, rasanya sulit diterima jika semuanya terjadi secara kebetulan tanpa
ada unsur kesengajaan.
Berbeda dengan hasil cermatan pengurus remaja masjid, menurut pengurus
Masjid Da’wah Wanita Kendari, pemilihan lokasi untuk membangun masjid persis di
dekat gereja murni karena tuntutan ketersediaan lokasi, tidak terdapat niat atau tujuan
lain selain itu.85
Sebagaimana diketahui bahwa sekitar tahun 1960 sampai tahun 1970-an,
wilayah Kendari yang terbilang kota adalah di sekitar tempat lokasi masjid itu, yakni
kota lama yang terdapat pelabuhan di pesisir pantai Teluk Kendari sampai di jalan
Muh. Hatta di sekitar kantor BNI Cabang Kendari atau kantor Polres Kendari yang
sekarang merupakan wilayah Kecamatan Kendari dan Kendari Barat. Artinya tidak ada
lokasi lain yang memungkinkan pembangunan masjid yang strategis yang letaknya
mudah dijangkau oleh warga sekitar selain di tempat itu. Selain pertimbangan itu,
85M. Yusuf Latif, SE., Sekretaris Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari Periode 2015-2020,Wawancara, di Kendari pada tanggal 28 April 2016; Drs. Marzuki, Ketua I Pengurus Masjid Da’wahWanita Kendari Periode 2015-2020, Wawancara, di Kendari pada tanggal 18 Mei 2016;
117
lokasi yang ditempati masjid sekarang adalah pernah berstatus tanah sengketa sehingga
kurang aman sekiranya ditempati meskipun oleh pihak yang memenangkan sengketa
tanah tersebut, sehingga jalan yang paling aman adalah diwakafkan untuk
pembangunan masjid.
Tentu tidak menjadi urgen untuk mempertentangkan mana yang benar dan mana
yang salah antara kedua pandangan di atas, karena yang dikemukakan adalah persepsi
masing-masing. Namun, patut dikemukakan di sini adalah apa yang dikemukakan oleh
pihak gereja. Pdt. Agus mengemukakan bahwa pembangunan masjid di samping gereja
yang juga diprakarsai oleh pihak pemerintah daerah sebagaimana juga gereja.
Tujuannya adalah dalam rangka merekat jalinan di tengah keragaman agama warga
masyarakat di Kendari.86
Dari penuturan ini sesungguhnya tersirat makna bahwa keberadaan gereja –yang
lebih dahulu dibangun dari pada masjid, tidak sepenuhnya direstui oleh umat Islam di
sekitarnya. Sehingga untuk meredakan sedikit tensi emosional warga yang kurang
menerima itu, mereka setuju dan menganggap perlu dibangun masjid di wilayah itu
yang kebetulan lokasi yang tersedia adalah di samping gereja itu.
Jadi, pembangunan masjid berdempetan dengan gereja lebih menonjol sebagai
inisiatif dan prakarsa pemerintah dibandingkan dengan inisiatif warga setempat.
Sangat mudah dipahami bahwa pemerintah menaruh kepentingan besar terhadap
kerukunan umat beragama di wilayahnya. Sehingga keberadaan masjid dan gereja
berdempetan ini dianggap dan tentu diharapkan dapat semakin memperindah harmoni
yang sudah ada di daerah ini.
Asumsi dan harapan ini tentu cukup ideal, tetapi asumsi tetaplah asumsi, yang
belum tentu betul seperti yang diasumsikan. Faktanya, bahwa pembangunan gereja di
sekitar lokasi dimana hampir seluruhnya warga beragama Islam secara subjektif
keyakinan kurang diterima oleh umat Islam di wilayah tersebut.
Bahkan sebagian pengurus masjid yang ditemui berpendapat tegas bahwa
menurut pemahamannya bahwa keberadaan gereja di samping masjid tidak dibenarkan
86Pdt. David Agus Setiawan, Pendeta GPdI Bukit Zaitun Kendari, Wawancara, di Kendari,tanggal 21 Mei 2016. Diketahui bahwa Kendari adalah satu kota yang dihuni oleh warga masyarakatyang cukup beragam dari segi etnis dan agama. Warga yang mendiami Kota Kendari terdiri daribeberapa etnis, yakni: Bugis (etnis dengan jumlah terbesar), Makassar, Tolaki, Jawa, Muna, Buton,Batak, dan Bali. Sedangkan agama, terdapat 4 agama yang dianut oleh masyarakat, yakni: Islam (jumlahpenganut terbesar), Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Lihat Kota Kendari dalam Angka 2015, h. 62.
118
dalam Islam.87 Mereka menambahkan bahwa sekiranya masjid yang duluan dibangun di
tempat itu, maka tidak mungkin gereja diizinkan dibangun didekatnya. Karena memang
Islam menghormati pemeluk agama lain, tetapi tidak membenarkan pembangunan
rumah ibadah gama selain Islam apalagi di tengah perumahaan yang hampir semuanya
muslim.
Sebagian lagi misalnya mengatakan tidak boleh ada gereja berdekatan dengan
masjid tanpa menyebutkan alasannya.88 Sebagian pengurus masjid dengan hati-hati
mengatakan tidak boleh.89 Ada lagi yang meragukan apakah boleh atau tidak, tetapi
lebih cenderung mengatakan bahwa keberadaan gereja di samping masjid tidak bagus
karena akan terjadi saling ganggu ketika masing-masing menjalankan ibadah.90
Pendapat yang lebih akomodatif lagi dikemukakan oleh remaja masjid dengan
mengatakan bahwa Indonesia ini berdasarkan Pancasila, sehingga semua agama boleh
mendirikan rumah ibadahnya. Jadi, meskipun dalam Islam tidak boleh masjid dan
gereja berdekatan, tetapi karena pemerintah mengizinkan, maka diterima saja.91
Ada juga sebagian kecil jamaah masjid yang mengatakan agak ragu mengenai
keberadaan masjid dan gereja berdempetan, tetapi ketika dimintai kembali
pendapatnya, mereka mengatakan tidak apa-apa kalau masjid dan gereja berdempetan.
Akan tetapi, pendapatnya dikemukakan tanpa didasarkan pada satu argumen apapun,
baik dari segi rasional maupun argumen dari dalil-dalil agama yang mereka pahami.92
87Sebagian jamaah yang dapat disebutkan di sini secara tegas menyatakan demikian adalah:Sukarman, Ketua Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari pada tanggal 21Juli 2016; Rustam, Pedagang Makanan Jadi/Jamaah Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, diKendari pada tanggal 10 Agustus 2016; Abdullah, Jamaah Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara,di Kendari pada tanggal 17 Agustus 2016.
88Umi, Pengusaha Bengkel Motor/Jamaah Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, diKendari pada tanggal 10 Agustus 2016.
89Hasmira, Anggota Majlis Ta’lim Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendaripada tanggal 20 Agustus 2016; Fatma, Anggota Majlis Ta’lim Masjid Da’wah Wanita Kendari,Wawancara, di Kendari pada tanggal 20 Agustus 2016.
90M. Arief Tangke, BA., Jamaah Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari padatanggal 10 Agustus 2016.
91Dedi, Anggota Remaja Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari, pada tanggal20 Agustus 2016.
92Anton, Jamaah Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari, pada tanggal 17Agustus 2016.
119
Atau mereka hanya beralasan yang penting tidak saling mengganggu.93 Atau sebagian
jamaah masjid lain mengatakan tidak tau.94
Dari semua semua pengurus dan jamaah masjid yang ditemui, secara umum
mengakui bahwa tidak setuju atau kurang setuju masjid dibangun berdempetan dengan
gereja. Mereka juga umumnya memahami bahwa dalam Islam sebenarnya tidak
dibenarkan terjadi dua tempat ibadah agama yang berbeda dibangun berdekatan apalagi
berdempetan.
Meskipun jamaah masjid tidak menerima keberadaan gereja di samping masjid,
tetapi mereka semuanya mengaku pasrah (menerima) dengan alasan ”apa boleh buat,
sudah terlanjur terjadi, dan tidak mungkin dibongkar”. Mereka pun tidak melakukan
penolakan secara terbuka. Hal itu karena banyak pertimbangan, di antaranya jika
mereka mengajukan protes akan menjadi pemicu kekeruhan hubungan umat Islam
dengan pemerintah dan dengan jemaat gereja. Mereka yang berani mempersoalkan
keberadaan gereja di samping masjid bisa saja dicap tidak toleran atau bahkan dituduh
radikal. Sebuah julukan yang sangat tidak baik bagi masyarakat dewasa ini. Karena itu
mereka lebih memilih posisi aman dengan mendiamkan atau menyimpan unek-uneknya
dalam hati.
Kesediaan warga muslim untuk legowo menerima kehadiran gereja yang
sesungguhnya tidak mereka senangi –karena kepatuhan mereka kepada pemerintah,
seharusnya dipandang sebagai suatu sikap positif yang patut dihargai. Mereka telah
melakukan pengorbanan dengan mempertimbangkan perasaan pemerintah daerah. Hal
ini melebihi apa yang dilakukan oleh pemerintah yang kurang mempertimbangkan
perasaan umat Islam yang ada di lokasi tersebut.
Secara jujur diakui oleh jamaah masjid bahwa meskipun mereka mengakui
bahwa pembangunan masjid di sisi gereja tidak seharusnya terjadi. Lebih tidak boleh
lagi, pembangunan gereja di lingkungan yang hampir seluruhnya muslim justru
seharusnya lebih tidak boleh lagi terjadi. Meskipun secara subjektif jamaah kurang
menerima keberadaan gereja di lingkungan mereka, tetapi ketika ditanya apa yang
93Mulwi, Jamaah Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari, pada tanggal 20Agustus 2016; Hj. Hatma, Anggota Majlis Taklim Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, diKendari, pada tanggal 20 Agustus 2016.
94Murni, Jamaah Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari, pada tanggal 18September 2016.
120
seharusnya dilakukan. Mereka menjawab mau diapa lagi, semua sudah terjadi. Tidak
mungkin rumah ibadah mau dibongkar, karena akan lebih berakibat tidak baik lagi.
Maka yang harus dilakukan adalah menjaga agar tetap bisa saling menghormati.95
Lebih dari itu, sebagian jamaah masjid mengungkapkan kekecewaannya
terhadap keterlanjuran ini. Mereka menyesalkan kebijakan pemerintah yang
mengizinkan pembangunan Gereja Pantekosta Bukit Zaitun di kelurahan Dapu-dapura
–termasuk gereja-gereja lain yang berdekatan dengan masjid di Kendari. Mereka
mengungkapkan bahwa sebenarnya pemerintah telah menyalahi ketentuan yang
mengatur tata cara dan ketentuan mendirikan rumah ibadah.96
Ketentuan dimaksud adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006. Dalam Peraturan Bersama Menteri
(PBM) tersebut tercantum ketentuan pendirian rumah ibadah sebagai berikut:
Pasal 13 ayat (1):Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguhberdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yangbersangkutan di wilayah kelurahan/desa.
Pasal 13 ayat (2):Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengantetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman danketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan.
Pasal 13 ayat (3):Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayahkelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangankomposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan ataukabupaten/kota atau provinsi.
Pasal 14 Ayat (2):Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirianrumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a. daftar nama danKartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh)orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayahsebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); b. dukungan masyarakatsetempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepaladesa.
95Sariono A. Tanjing, S.Ag., Ketua Seksi Dakwah Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara,di Kendari pada tanggal 10 Agustus 2016.
96Abdullah, Jamaah Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari pada tanggal 17Agustus 2016.
121
Pasal 14 Ayat (3):Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhisedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajibanmemfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.97
Berdasarkan beberapa keterangan menyebutkan bahwa di awal berdirinya GPdI
Bukit Zaitun, jumlah jemaat gereja tersebut hanya beberapa orang saja, belum
mencapai jumlah yang dipersyaratkan oleh ketentuan dalam Peraturan Bersama Menteri
tersebut di atas.98 Namun, untuk alasan kepentingan pembinaan umat, maka kegiatan
ibadat dilakukan di rumah tempat pendeta berdomisili yang akhirnya dijadikan lokasi
pembangunan gereja.
Jika pun dengan alasan untuk kepentingan pembinaan umat, sebenarnya
pemerintah daerah dapat saja menyiapkan lahan untuk pembangunan gereja di tempat
lain yang bukan merupakan kantong-kantong warga muslim. Atau bisa juga dipilih
lokasi yang masih sepi penduduknya pada waktu itu, bukan justru menunjukkan lahan
yang berada di tengah-tengah pemukiman padat kaum muslimin. Inilah kebijakan
pemerintah yang disayangkan oleh sebagain jamaah.
Perlu juga diingat bahwa pembangunan gereja yang banyak jumlah di Kota
Kendari terjadi pada masa kepemimpinan Gubernur Edi Sabara yang kebetulan
isterinya beragama kristen.99 Dengan keberadaannya sebagai istri gubernur Sulawesi
Tenggara, maka akan lebih mudah untuk mendapatkan izin bagi pendirian gereja di
daerah ini.
Mungkin bukan satu-satunya bahwa adanya rumah ibadah yang berdempetan
termasuk rumah ibadah di tempat lain yang juga berdekatan di Kota Kendari, telah
membuat umat Islam menganggap biasa atau terbiasa hidup bersama dengan warga
yang berbeda agama dengan mereka. Dengan kebiasaan hidup berdampingan tersebut
97Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/Nomor 8 Tahun2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam PemeliharaanKerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian RumahIbadat, Pasal 14 ayat 2 dan 3.
98Pdt. David Agus Setiawan, Pendeta GPdI Bukit Zaitun Kendari, Wawancara, di Kendari,tanggal 21 Mei 2016.
99H. Tamangking, Imam Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari pada tanggal3 Juni 2016. Informasi bahwa istri mantan Gubernur Edi Sabara beragama Kristen diklarifikasi olehpengurus masjid yang mengaku memiliki kedekatan hubungan dengannya. M. Arief A. Tangke,Penasihat Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari pada tanggal 14 Agustus2016.
122
telah memberikan citra positif tersendiri dalam kehidupan, bahwa umat beragama di
Kendari berjalan harmonis.
Adapun adanya beberapa insiden, seperti yang terjadi antara jamaah Masjid
Da’wah Wanita dengan jemaat GPdI Bukit Zaitun Kendari, yang sedikit banyaknya
melukai perasaan beragama, tidak sampai menyebabkan terjadinya konflik yang serius
antara umat Islam dengan umat kristisni. Apalagi sampai melibatkan sentimen agama
secara meluas di tengah komunitas beragama.
Jika saja di tempat lain, terjadi konflik antara umat Islam dengan kristen sampai
berakhir dengan destruktif, seperti pembakaran gereja atau pembakaran masjid. Hal
serupa nampaknya sulit terjadi di tempat ini. Karena jika salah satu tempat ibadah
dibakar, maka tentu tempat ibadah yang satunya juga akan turut terbakar. Oleh karena
itu, bagi sebagian kalangan, gereja dan masjid yang berdempetan dianggap sebagai
salah satu berkah tersendiri.
Namun, upaya merajut harmoni melalui adanya rumah ibadah yang dibangun
berdekatan, tidak dapat dijadikan jaminan terhadap keberlangsungan harmoni
kehidupan beragama yang sesungguhnya. Hal itu, karena penempatan rumah ibadah
yang berdekatan hanya bersifat simbolik dan emosional belaka. Sejatinya belum
menyentuh persoalan mendasar untuk mewujudkan hubungan yang harmonis antara
dua agama yang berbeda.
Terdapat temuan yang menyebutkan bahwa harmoni kehidupan di tengah
masyarakat plural akan tercipta jika terdapat kesadaran dan kerja sama antara kedua
belah pihak.100 Masing-masing pemeluk agama mesti memiliki kesadaran mengenai
keberadaan masing-masing sebagai manusia yang memang sengaja diciptakan beragam
oleh Pencipta. Dari keragaman itu justru akan menjadi indah jika dijalin dengan dengan
penuh pengertian, saling menghormati dan kerja sama dalam beberapa aspek
kemanusiaan dan sosial, tanpa mencampuri urusan agama masing-masing.
Bagi umat Islam, ajaran tentang hidup rukun, damai dan saling menghormati
telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam yang wajib diamalkan oleh
semua umat Islam. Karena itu, pemahaman terhadap ajaran agama secara utuh dan
menyeluruh adalah hal mendasar yang mesti diupayakan untuk mewujudkan
100Anjar Tri Lutfianto dan Muhammad Turhan Yani, ”Pola Interaksi antara Umat Islam denganKristen di Desa Lemah Putro Kecamatan Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo”, e-Journal Unesa, Kajian Moraldan Kewarganegaraan (Volume 02, Nomor 03; Surabaya: Universitas Negeri Surabaya, 2015), h.
123
masyarakat yang plural agar hidup harmonis. Kesadaran itu sekaligus merupakan
jaminan untuk langgengnya keharmonisan di masa mendatang.
Untuk mendapat pemahaman dan kesadaran beragama diperlukan penanaman
yang secara terus menerus di tengah masyarakat. Kesadaran untuk mengamalkan ajaran
agama tidak cukup diharapkan datang dari individu umat beragama. Juga tidak dapat
terlaksanakan maksimal jika hanya dilakukan oleh masing-masing keluarga termasuk
pengurus masjid dan muballigh saja. Justru tugas itu merupakan tugas vital dari negara
yang mesti dijalankan oleh penguasa atau pemerintah. Ketika individu, keluarga,
pengurus masjid dan penguasa yang melakukannya secara sinergi, maka hasilnya jauh
lebih efektif ketimbang menyerahkannya menjadi tanggung jawab tokoh agama saja.
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya terlibat aktif dalam menanamkan
pemahaman dan kesadaran agama (Islam) kepada umat agar kerukunan dan harmoni
berjalan atas dasar dorongan pengamalan ajaran agama.
Meskipun demikian, perlu juga diperhatikan bahwa penanaman ajaran agama
yang dapat menjamin kelanggengan kerukunan itu jika dilakukan secara benar, lurus
dan murni. Jika terjadi kekeliruan dalam menanamkan pemahaman ajaran agama yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam. Apalagi jika pihak penguasa yang melakukannya,
maka efek negatifnya jauh lebih besar dan merata, bahkan sulit diatasi.
Dengan memberikan izin membangun rumah ibadah yang berbeda dengan jarak
yang berdekatan justru akan mengakibatkan tumbuhnya pemahaman akan makna
toleransi dalam Islam menjadi kabur. Orang yang dangkal pemahaman Islamnya akan
menganggap bahwa Islam membolehkan adanya gereja di samping masjid. Padahal hal
itu tidak benar. Toleransi dalam Islam yang intinya menghormati dan menghargai
agama lain tidak identik dengan membolehkan membangun gereja di samping masjid.
Dalam kasus masjid yang diteliti, adalah suatu hal yang wajar jika mungkin
muncul ketidakpuasan dari jamaah masjid. Meskipun juga tidak mesti terjadi. Kalau toh
terjadi, maka tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi
dampaknya di tengah masyarakat.
Salah satu cara yang sering digunakan dewasa ini adalah dengan mengusahakan
terwujudnya pemahaman inklusif dengan cara reinterpretasi ajaran-ajaran Islam terkait
dengan hubungan dengan nonmuslim. Disuguhkanlah pemahaman ajaran agama Islam
yang toleran dalam makna luas. Bahkan diduga dapat lebih efektif lagi jika umat Islam
124
meningkat pemahamannya ke taraf pluralisme.101 Akan tetapi, jika hal itu terjadi, maka
mereka (umat Islam) akan cenderung mengabaikan sebagian prinsip-prinsip dalam
agamanya.
Dengan kata lain, diduga bahwa jika umat Islam semakin longgar dalam
memegang agamanya, maka kerukunan keharmonisan dan kerja sama dengan pihak
nonmuslim bisa semakin baik. Bangunan asumsi seperti ini mungkin berdiri di atas
hasil survey yang menunjukkan bahwa angka persepsi terendah tentang kerukunan,
interaksi dan kerja sama antar umat beragama terdapat pada pemeluk agama Islam.102
Seolah-olah umat Islam tidak toleran karena ajaran agamanya yang
mengajarkan agar tidak toleran. Padahal sikap umat Islam yang tidak toleran di
beberapa daerah juga bukan atas dasar pemahamannya yang baik terhadap ajaran Islam.
Sebagaimana mereka yang menunjukkan sikap toleransi yang berlebihan sampai
melewati batas ketentuan agama, juga bukan didasari atas pemahaman yang baik
terhadap ajaran Islam.
Kurangnya toleransi sebagian umat Islam terhadap nonmuslim lebih disebabkan
oleh pemahaman agama yang kaku dan tidak utuh yang menyangkut hubungan dengan
nonmuslim. Mereka hanya memahami secara sebagian dan berdiri sendiri terhadap
beberapa nash yang mengindikasikan bolehnya permusuhan terhadap nonmuslim.
Begitu juga mereka yang melampaui batas toleransi samapi pada mencampuri
atau turut dalam aktivitas keagamaan nonmuslim dengan melanggar prinsip-
prinsipajaran Islam lebih disebabkan oleh pemahaman pluralisme agama yang memang
marak dipropagandakan di tengah masyarakat.
101Dari sejarah lahirnya pluralisme di barat diketahui bahwa gagasan ini lahir sebagai responterhadap ekslusivisme Katolik yang menurut ilmuan barat akan menyulut konflik agama. Karenafanatisme agama dapat memicu konflik, maka dicetuskanlah gagasan agar masing-masing agama,terutama Katolik dan Protestan agar saling menghormati. Tujuannya mulia untuk mewujudkankerukunan antara pemeluk-pemeluk agama yang berbeda. Ahmad Muttakin, “Rekonstruksi GagasanPluralisme Agama, (Telaah atas Buku Pluralisme Agama, Musuh Agama-agama Karya Adian Husaini)”,Jurnal al-Adyan (Vol. IX, No. 1, Januari-Juni 2014), h. 97.
102Terbukti di beberapa daerah di Indonesia dimana umat Islam mayoritas dan terhitung kuatberpegang kepada agamanya (seperti di Jambi dan DKI Jakarta), angka persepsinya tinggi tentangkerukunan, interaksi dan kerja sama dengan pihak nonmuslim. Sebaliknya di daerah yang terdapatbanyak nonmuslim dan umat Islam tidak mengakar dalam diri kaum muslimin (seperti di Sulawesi Utara)angka persepsi itu tinggi. Selengkapnya dapat dilihat dalam Haidlor Ali Ahmad (ed.), Survey NasionalKerukunan Umat Beragama di Indonesia (Ed. 1, Cet. 1; Jakarta: Puslitbang Kehidupan KeagamaanBadan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2013), h. 57.
125
Paham pluralisme sebenarnya berangkat dari penafsiran terhadap konsep
universalitas yang ada dalam Islam. Islam adalah agama yang diperuntukkan kepada
semua umat manusia sehingga Islam adalah agama universal yang kebenaran ajarannya
juga bersifat universal. Prinsip universal Islam ini dimbil dari ayat 64 surah Ali Imran
berikut:
ولا نشرك ب قل ھ شیئا ولا یا أھل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بیننا وبینكم ألا نعبد إلا ا
فإن تولوا فقولوا اشھدوا بأنا مسل ن دون ا مون یتخذ بعضنا بعضا أربابا مKatakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kitasembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dantidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selainAllah". Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah,bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri kepada Allah" (TQS. AliImran/3: 64).
Makna kalimatun sawa’ dalam ayat di atas sebenarnya dijelaskan sendiri setelah
kalimat itu, yakni bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan
Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain
sebagai tuhan selain Allah. Artinya, kalimatun sawa’ artinya kalimat tauhid. Maka jika
semua pemeluk agama mau menerima konsep tauhid, berarti mereka telah berpegang
pada kalimat kalimatun sawa’, yakni kembali pada ajaran agamanya yang asli yang
lurus, yakni mengimani seluruh Nabi dan ajaran yang dibawa oleh para Nabi itu,
termasuk kepada Nabi Muhammad Saw.
Namun, ternyata makna kalimatun sawa’ dimaknai berbeda dengan apa yang
dikehendaki oleh ayat tersebut. Penganut relativisme dan pluralisme memaknai bahwa
pada mulanya manusia berpegang pada kebenaran tunggal dari Pencipta. Namun karena
masing-masing pihak menafsirkan kebenaran tunggal itu, maka terjadi perbedaan dalam
aplikasinya dalam kehidupan. Semakin banyak orang yang turut andil dalam memberi
penafsiran terhadap kebenaran tunggal itu, maka semakin beragam pula bentuknya
dalam kehidupan. Akan tetapi, semakin banyak terjadi pergumulan bahkan perseteruan
antara berbagai interpretasi terhadap kebenaran tunggal itu, baik yang terjadi dalam
internal pemeluk agama maupun persinggungannya dengan agama lainnya, maka
secara berangsur-angsur pada akhirnya akan kembali mengenal dan menemukan
126
kebenaran asalnya sehingga semuanya nanti bertumpu pada titik temu (common
platform), yakni kebenaran tunggal (kalimatun sawa’).103
Dengan kerangka pemamahaman seperti ini, nantinya umat Islam akan lebih
bisa memahami keberadaan pemeluk agama lain sehingga lebih bisa menerima
keberadaan ajaran agama lain. Bahkan ketika terdapat ajaran agama lain yang memiliki
kesamaan dengan ajaran Islam, maka mereka bisa menganggapnya bahwa ajaran itu
sama dengan ajaran Islam. Inilah salah satu prinsip dalam keberanan universal bahwa,
agama lain juga memiliki sisi-sisi kebenaran yang dapat diambil. Dengan menanamkan
pemahaman tersebut, umat Islam akan mengadopsi nilai-nilai kesamaan universal
dengan keharusan menghilangkan klaim kebenaran mutlak terhadap agama yang
diyakini.
Pemahaman seperti ini merupakan gagasan yang bersumber dari filsafat
relativisme104 yang memiliki prinsip bahwa suatu yang dikalim sebagai kebenaran
sesungguhnya serba relatif. Karena bisa jadi benar menurut seseorang atau sekelompok
orang atau pemeluk agama, tetapi tidak bagi orang, sekelompok orang atau pemeluk
agama lain. Sehingga tidak ada nilai ang dapat dijadikan sebagai standar baku yang
dapat diberlakukan untuk semua orang dan masyarakat. Anggapan kebenaran universal
menurut mereka merupakan sebuah mitos.105
Terkait dengan agama, kaum relativis memaknai kebenaran mutlak hanya ada
pada Tuhan. Ketika Ia menurunkan ajaran kebenaran itu, sesungguhnya hanya dirinya
sedniri yang mengetahui hakikat kebenarannya itu. Sedangkan kebenaran yang diklaim
oleh manusia hanyalah penafsirannya terhadap kebenaran dari Tuhan yang belum tentu
seperti yang dimaksudkan oleh Tuhan sendiri.
Oleh karena itu, ketika manusia atau pemeluk agama mengklaim suatu
kebenaran ada pada agamanya, pada waktu yang sama mereka juga harus mengakui
103Budhy Munawar Rahman, Islam dan Pluralisme Nurcholis Madjid (Cet. 1; Jakarta:Universitas Paramadina, 2007), h. 161.
104Relativisme sebenarnya sebuah gagasan yang sudah lama diwacanakan di dunia Barat.Disebutkan bahwa sebelum penanggalan masehi, Protagoras telah menulis pernyataan bahwa manusiaadalah ukuran bagi segala-segalanya. Bahkan relativisme diartikan sebagai lawan atas absolutisme.Menurut mereka tidak ada yang namanya kebenaran absolute ang berlaku universal untuk manusia.Lebih jauh kaum relativis mengaku bahwa setiap keyakinan mengandung kebenarannya sendiri. XaveriusChandra (ed.), Menanggapi Relativisme (Ed. 1; Surabaya: Fakultas Filsafat Universitas Katolik WidyaMandala, 2012), h. 25, 48.
105Satrijo Budhiwibowo, “Kajian Filsafat Ilmu dan Filsafat Pendidikan tentang RelativismeKultural dalam Perspektif Filsafat Moral”, Premiere Educondum (Vol. 2, No. 1, 2012), h. 23.
127
bahwa orang lain juga mengklaim kebenaran yang berbeda dengannya. Sehingga
kebenaran yang mutlak itu bukan pada agama yang dia yakini, bukan juga pada agama
lain yang diyakini, tetapi oleh pemeluknya, tetap hanya ada pada Tuhan.
Bahkan pada tataran pluralisme yang sempurna, seorang pemeluk agama mesti
juga mengakui kebenaran agama orang lain yang berbeda dengan agamanya. Dengan
kata lain, semua agama besar yang ada sama benarnya dan sama baiknya, meskipun
terdapat perbedaan-perbedaan secara formal.106
Kalau hal ini yang terjadi, maka bisa jadi umat Islam dan umat agama lain akan
hidup rukun tanpa konflik, bahkan mereka bisa bekerja sama, tetapi sesungguhnya
kerugian besar tentu akan menimpa umat Islam secara berkepanjangan, bukan hanya di
dunia tetapi sampai di akhirat. Kerugian itu adalah bahwa meskipun umat Islam telah
menganut agama yang benar, tetapi dirinya telah tergelincir pada kaidah berpikir yang
melenceng, yakni tercerabutnya keyakinannya bahwa hanya Islam agama yang benar
(QS. Ali Imran/3: 19).
Umat Islam meyakini bahwa kebenaran mutlak ada pada Tuhan, dan Ia telah
menurunkannya kepada manusia melalui utusan-Nya untuk dijelakan kepada manusia
agar dimengerti dan dijalankan oleh manusia sebagai sesuatu yang mutlak
kebenarannya dari Allah Swt., bahkan tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya (QS.
al-Baqarah/2: 2-3).
Kebenaran yang ada dalam Islam akan menghasilkan kebaikan jika dijalankan
secara konsisten. Termasuk ajaran Islam yang mengatur hubungannya dengan
keberadaan nonmuslim. Jika ajaran itu dilaksanakan secara benar pasti akan
menghasilkan kerukunan, keharmonisan dan ketentraman hidup baik muslim maupun
nonmuslim.
C. Sikap Jamaah Masjid Da’wah Wanita terhadap Jemaat GPdI Bukit Zaitun
1. Pemahaman Agama
Telah dibahas sebelumnya bahwa sikap seseorang terhadap agama dan pemeluk
agama lain ditentukan oleh pemahamannya terhadap keberadaan pemeluk agama lain.
Pemahaman itu bersumber dari pengetahuannya terhadap ajaran agama yang dianutnya.
106Syamsuddin Arif, “Interfaith Dialog dan Hubungan Antaragama dalam Perspektif Islam”,Jurnal Tsaqafah (Vol. 6 No. 1, April 20110), h. 151. Selanjutnya dapat dilihat dalam artikel berjudulWhat is Pluralism di http://pluralism.org/what-is-pluralism/
128
Karena itu, sikap beragama seseorang, termasuk jamaah Masjid Da’wah Wanita sangat
tergantung dari pemahaman terhadap ajaran agamanya, khususnya yang mengenai
ajaran Islam yang mengatur interaksi dengan nonmuslim.
Pada umumnya umat Islam termasuk jamaah Masjid Da’wah Wanita memahami
bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap. Islam tidak hanya mengatur
bagaimana umat Islam menjalankan ibadah, tetapi juga mengatur seluruh aspek
kehidupan, termasuk di dalamnya mengatur bagaimana menjalin hubungan dengan
sesama manusia. Bahkan Islam menjadikan menjalin hubungan kepada sesama manusia
sebagai sesuatu yang penting setelah menjalin hubungan kepada Allah. Dalam al-
Qur’an ditegaskan:
ضربت علیھم الذ ن ا ن الناس وبآؤوا بغضب م وحبل م ن ا لة أین ما ثقفوا إلا بحبل م
ویقتلون الأنبیاء بغی ما ر حق ذلك ب وضربت علیھم المسكنة ذلك بأنھم كانوا یكفرون بآیات ا
كانوا یعتدون عصوا وMereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika merekaberpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, danmereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan.Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuhpara nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhakadan melampaui batas (TQS. Ali Imran/3: 112).
Secara umum jamaah masjid memahami kewajiban setiap muslim untuk
menghormati nonmuslim sebagai sesama manusia ciptaan Tuhan, bukan karena
agamanya. Dari penuturan beberapa jamaah masjid yang sempat ditemui menunjukkan
bahwa pemahaman akan pentingnya menghormati pluralitas107 telah dimiliki oleh
jamaah masjid. Mereka telah memiliki kesadaran yang cukup tinggi bahwa selain kita
ada pihak lain yang memiliki agama selain agama kita, yang mereka juga berhak untuk
eksis dengan agama yang dianutnya. Keasadaran jamaah masjid akan sikap yang benar
terhadap pluralitas ini terbukti dengan adanya rumah ibadah mereka bisa bertahan
selama puluhan tahun tanpa ada masalah berarti di antara mereka.
107Pluralitas yang penulis maksud di sini adalah fenomena adanya keragaman di tengahmasyarakat, baik dari seggi latar belakang etnis, suku dan agama yang ada, sebagaimana yang disebutkandalam al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dariseorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-sukusupaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allahialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi MahaMengenal” (QS. al-Hujurat/49: 13).
129
Mereka juga memahami bahwa sebagai seorang muslim, meskipun meyakini
hanya Islam yang benar, tetapi tidak boleh memaksakan keyakinan atau agama kepada
orang lain apalagi kepada yang sudah beragama. Terkait dengan kewajiban
berdakwah108, yakni menyampaikan Islam kepada semua manusia, mereka secara
umum memahami, tetapi mayoritas mereka tidak pernah melakukannya terhadap
nonmuslim yang ada di sekitarnya, termasuk kepada pengurus yang tinggal dalam
lingkungan gereja.
Terkait dengan agama mereka memahami bahwa perkara akidah dan ibadah
tidak ada kompromi, tidak boleh dicampur aduk, bahkan tidak perlu didiskusikan
karena merupakan suatu yang berbeda dan tidak mungkin bisa dipertemukan.
Ungkapan yang paling sering dikemukakan adalah ”masing-masing”. Artinya tidak
boleh saling mencampuri urusan agama orang lain.
Meskipun pendirian jamaah masjid demikian, tidak berarti tertutup sama sekali
akses untuk saling membantu dalam aspek teknis agar pelaksanaan ibadah masing-
masing bisa berjalan lancar. Jamaah masjid malah di masa-masa awal selalu menerima
uluran bantuan dari pihak gereja, seperti dalam memenuhi kebutuhan air untuk
keperluan wudhu’ terutama pada hari jumat.
2. Bentuk Toleransi Jamaah Masjid terhadap Jemaat Gereja
Sikap beragama yang ditampilkan oleh jamaah masjid terhadap jemaat gereja
dan keberadaan gereja di lingkungannya cukup mudah untuk diketahui, baik dengan
memperhatikan sejarah keberadaan mereka di wilayah tersebut maupun dengan
menggali informasi dari mereka melalui wawancara.
Namun, sikap yang ditampilkan oleh jemaat gereja terhadap jamaah masjid
tampaknya agak sulit untuk dijelaskan secara detail. Hal ini disebakan –sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, jemaat gereja pada umumnya tidak tinggal bertetangga dengan
jamaah masjid, sehingga hampir tidak ada interaksi, kecuali antara beberapa pengurus
masjid dengan pendeta yang tingga dalam gereja. Karena itu, jika diamati kondisi
jamaah masjid maupun jemaat gereja ketika datang ke gereja terlihat biasa saja, tidak
108Mendakwahkan Islam merupakan kewajiban setiap muslim sebagaimana yang diperintahkanoleh Allah dalam al-Qur’an surah al-Nahl ayat 125: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu denganhikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya TuhanmuDialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebihmengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk 16: 125).
130
ada hal-hal yang lebih atau istimewa. Semua berjalan secara alamiah selama bertahun-
tahun nyaris tanpa ada masalah berarti yang patut untuk ditangani.
Ketika jamaah masjid melaksanakan aktivitas ibadah sehari-hari di masjid,
terlihat begitu alamiah, aktivitas masjid lainnya pun berjalan sesuai dengan kebiasaan
masjid-masjid pada umumnya, seolah-olah tidak ada tempat ibadah agama lain di
samping masjid yang perlu untuk dipertimbangkan. Suara lantunan bacaan al-Qur’an,
shalawat dan azan yang dikumandangkan setiap waktu shalat oleh muazin pun bergema
secara wajar melalui pengeras suara yang terpancar jauh dari atas menara masjid. Suara
khatib ketika berkhutbah pada hari jumat pun dpancarkan lewat pengeras suara dalam
dan luar sehingga terdengar dari jarak jauh. Begitu juga suara muballigh yang
menyampaikan pengajian setelah shalat magrib pun dapat terdengar lewat pengeras
suara. Tidak ada kesan yang terlihat bahwa terdapat kekhawatiran jika suara-suara dari
masjid yang terpancar luas akan mengganggu penghuni dan aktivitas di gereja.
Hanya saja pihak pengurus masjid pernah mengingatkan agar suara pengajian
setelah shalat magrib tidak dipancarkan melalui pengeras suara luar yang dapat
didengar keluar masjid, tetapi cukup menggunakan pengeras suara dalam masjid.109
Akan tetapi, apa yang disampaikan oleh pengurus masjid hanya bersifat himbauan,
bukan sesuatu yang mesti dilakukan. Terbukti ketika pengajian malam Ahad dilakukan,
pengisi kajian tetap menggunakan pengeras suara luar sehingga dapat terdengar
sebagaimana suara khutbah dan azan.
Begitu juga jemaat yang datang melakukan kebaktian Minggu, tampak berjalan
secara wajar sebagaimana di gereja-gereja lain. Begitu juga warga atau jamaah masjid
yang tinggal di sekitar gereja juga tanpak biasa. Keberadaan jemaat yang ramai pada
setiap hari Minggu tidak sedikitpun menjadi perhatian mereka. Begitu juga ketika
berlangsungnya ibadah dalam gereja sampai jemaat membubarkan diri. Begitu juga
jemaat gereja yang menghadiri acara gereja tidak terlihat di antara mereka yang
menunjukkan berusaha mengamati mungkin ada teman atau koleganya dari jamaah
masjid yang terlihat atau melintas di sekitar gereja atau masjid. Semua berjalan secara
wajar dan alamiah tanpa ada sesuatu yang dapat dikategorikan ada hubungan antara
mereka dengan amaah masjid.
109Drs. Marsuki, Ketua I Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari Periode 2015-2020,Wawancara, di Kendari pada tanggal 18 Mei 2016.
131
Hubungan mereka berlangsung sebagaimana biasanya warga masyarakat
perkotaan yang diwarnai dengan ciri-ciri yang kurang akrab, menegur seperlunya, agak
cuek dan cenderung individualistik. Tidak ada sedikitpun tanda-tanda mereka merasa
ada warga yang berbeda prinsip hidup karena berbeda keyakinan dengan mereka.
Begitu juga seolah-olah tidak ada dalambenak mereka rasa bahwa ada rumah ibadah
yang selalu melakukan aktivitas peribadatan yang berbeda di dekat mereka.
Begitu juga, setelah ditelusuri ternyata penampakan sikap mereka itu sudah
dianggap sebagai suatu yang wajar dan berjalan sudah sekian lama. Sikap jamaah
masjid memahami bahwa kita berbeda dengan jemaat gereja, yang perbedaan itu tidak
bisa sama-sekali dipertemukan sehingga masing-masing jalan sesuai keadaan mereka
dan tidak perlu ’memperdulikan’ yang lain. Sikap yang dapat dikategorikan kepedulian
jamaah masjid terhadap jemaat gereja adalah mereka begitu berlapang hati membiarkan
aktivitas keagamaan di gereja berjalan sesuai aturannya dan tidak mengurusi urusan
gereja dan kegiatan mereka.
Sikap membiarkan inilah yang sesungguhnya merupakan poin inti dari toleransi
sebagaimana pengertian dasarnya, yakni membiarkan, menghormati dan menjauhi
sikap-sikap kekerasan, paksaan, intimidasi dan semisalnya.110
Sikap toleran jamaah masjid terhadap keberadaan pemeluk Kristen protestan termasuk
gereja di lingkungan mereka sepertinya masih mengkonfirmasi temuan penelitian tentang sikap
agama tokoh agama Islam di Kendari yang dilakukan oleh La Malik Idris pada tahun 2007.
Namun, sikap toleran yang terlihat dari jamaah masjid pada umumnya tidak dapat
dikatakan persis seperti yang dikemukakan dalam penelitian tersebut sebagai suatu
pemahaman yang berdiri di atas pemahaman yang didasarkan oleh rasa saling hormat
dan menghargai.111
Sikap toleran jamaah masjid dapat dikatakan cenderung bersifat pasif dan
tertutup. Artinya, mereka bersikap membiarkan keberadaan jemaat dan gereja di sekitar
mereka, tetapi sesungguhnya penerimaan mereka terhadap keberadaan gereja dan
jemaat kristen di sekitar mereka lebih disebabkan karena sudah demikian adanya dan
tidak mungkin dicegah apalagi ditolak karena telah diizinkan oleh penguasa.
110HM. Yunan Nasution, Islam dan Problema-problema Kemasyarakatan (Cet. 1; Jakarta:Bulan Bintang, 1988), h. 13.
111La Malik Idris, “Dakwah dan Harmoni Sosial”, al-Izzah, Jurnal Penelitian STAIN Kendari(Vol. 1, No. 2, Desember 2007), h. 115.
132
Karena itu, mereka tetap menghormati dan berlapang dada terhadap keberadaan
umat lain dan pelaksanaan ibadah agama lain di sekitar mereka, tetapi mereka
menganggap tidak perlu untuk menjalin komunikasi lebih jauh, apalagi untuk
mendiskusikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah agama dan
keyakinan. Kalaupun terjadi komunikasi, pada umumnya secara kebetulan. Komunikasi
seperti ini pun tidak membekas karena hanya bersifat sepintas.
Toleransi pasif tertutup ini sebenarnya kurang bagus karena berpeluang terjadi
gesekan jika terdapat pemicu dari luar. Namun, selama ini tidak terdapat kendala berarti
di lokasi penelitian karena jemaat gereja tidak tinggal menetap di sekitar jamaah
masjid.
Agak sedikit berbeda dengan para jamaah pada umumnya yang cenderung pasif
dan tertutup sebagaimana disebutkan di atas, justru pengurus masjid menampakkan
sikap yang agak terbuka. Pada dasarnya pengurus masjid bersifat toleran secara pasif,
tetapi dalam hal-hal tertentu mereka bersifat terbuka. Maksudnya, mereka tetap
membiarkan, menghormati, bahkan tidak mau tau urusan gereja dan jemaatnya, tetapi
terbuka untuk berdialog jika ada masalah yang perlu dibicarakan. Bahkan dalam hal
yang dapat mengganggu ketenangan pelaksanaan ibadah di masjid, pengurus bersifat
aktif untuk mengkomunikasikannya dengan pihak gereja.
Indikator yang dapat dijadikan sebagai ukuran sikap keterbukaan pengurus
masjid adalah beberapa bentuk aktivitas yang menunjukkan kesediaan mereka
melibatkan pihak gereja dalam perwujudannya, yakni: kesediaan berbagi dengan pihak
gereja, kesediaan berkomunikasi, dan kesediaan bekerja sama.
a. Kesediaan Berbagi
Kesediaan berbagi adalah sebuah sikap yang dapat menerima dan dapat
memberi dengan pihak lain di luar dirinya atau di luar pihaknya. Kesediaan berbagi
yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah bentuk keterbukaan hati untuk menerima
pemberian orang lain, dalam bentuk materi seperti uang, benda-benda, peralatan atau
bahan-bahan material lain yang diperlukan dalam kehidupan.
Keterbukaan jamaah masjid untuk berbagi terlihat ketika di awal penggunaan
masjid untuk pelaksanaan ibadah jumat. Waktu itu, pihak masjid belum dapat
menyediakan air yang mencukupi untuk keperluan wudhu’ para jamaah pada hari
jumat. Maka jika jamaah kekurangan air untuk wudhu, maka pihak gereja bersedia
133
mengalirkan air dari sumurnya untuk digunakan oleh jamaah yang akan menuaikan
sahalat jumat di masjid.112 Ini adalah bukti sederhana kesediaan pihak jamaah masjid
untuk menerima kehadiran bantuan dari pihak gereja. Sekaligus merupakan bukti
kesediaan pihak gereja untuk memberi kepada pihak masjid.
Lebih dari itu, pengurus masjid juga bersedia menerima sumbangan yang
tergolong besar dari pihak gereja. Pada tahun 1995, pengurus masjid menerima
sumbangan seekor sapi dari pihak gereja untuk dijadikan sebagai hewan qurban atas
nama jamaah masjid.113 Setelah diqurbankan, dagingnya dibagikan kepada jamaah
masjid.
Sumbangan berupa sapi kepada jamaah masjid berawal dari ungkapan
kepedulian untuk memeliharan hubungan baik dari pihak gereja dengan jamaah masjid.
Pdt. Agus menuturkan bahwa pada waktu itu adalah tahun 1995 musim hujan, terdapat
ujung atap gereja yang ketika hujan airnya menetes dan mengenai lantai masjid, bahkan
sampai membasahi karpet masjid. Kondisi itu sempat dibiarkan oleh jamaah masjid
selama satu minggu tanpa ada seorang pun yang berusaha memberitahu pihak gereja.
Mungkin dengan maksud agar pihak gereja mengetahui sendiri keadaan itu lalu
memperbaiki ujung atap gerejanya. Namun, karena musim hujan berlanjut, dan setiap
hujan karpet masjid selalu basah, maka salah seorang jamaah dengan ringan setengah
bercanda menyampaikan kepada pihak gereja bahwa sudah satu minggu karpet masjid
basah karena percikan air dari atap gereja. Tanpa menunggu waktu, segera Pdt. John
San Lumangkun (mertua Pdt. Agus) memerintahkan untuk membetulkan atap gereja
dimaksud. Beberapa waktu setelah itu kebetulan umat Islam memasuki hari raya
Qurban. Mungkin dengan maksud untuk mengobati sedikit kekecewaan jamaah masjid
atas keteledoran pihak gereja, maka pihak gereja berinisiatif untuk smenyumbangkan
seekor sapi kepada jamaah masjid yang kemudian hewan tersebut dijadikan sebagai
hewan qurban.114
112Pdt. David Agus Setiawan, Wawancara, di Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari, padatanggal 21 Mei 2016.
113Drs. Marsuki, Ketua I Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari Periode 2015-2020,Wawancara, di Kendari pada tanggal 18 Mei 2016.
114Pdt. David Agus Setiawan, Wawancara, di Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari, padatanggal 21 Mei 2016.
134
Itulah sumbangan pertama yang diberikan atas nama gereja kepada jamaah
masjid Da’wah Wanita Kendari. Sejak saat itu, hubungan antara pengurus masjid
dengan pengurus gereja terjalin dengan baik.
Selain itu, pernah juga pengurus masjid menerima sumbangan dari pihak gereja
berupa uang tunai yang kemudian sumbangan itu ditambahkan untuk pembangunan
menara masjid.115 Sebenarnya sumbangan itu adalah bantuan dari Pemda untuk gereja
sebesar Rp 4.000.000 (empat juta rupiah). Awalnya, Pa Marzuki mendapatkan
informasi dari pihak pemerintah daerah jika ada sumbangan pemerintah untuk gereja.
Informasi itu disampaikan kepada pihak gereja melalui Pdt. Agus. Karena mengetahui
Pdt. Agus masih baru di Kendari dan belum mengetahui seluk-beluk pengurusan dana
bantuan itu, maka Pa Marzuki menawarkan bantuannya. Ia hanya meminta Pdt. Agus
menyiapkan proposal sesuai persyaratan yang diminta lalu dikirimkan ke Pemda melalu
Pa Marzuki. Tidak perlu menunggu lama, hanya beberapa hari dana bantuan pun
dicairkan pihak berwenang dan langsung diserahkan ke Pa Marzuki berupa uang tunai
sejumlah Rp 4.000.000 (empat juta rupiah). Uang sejumlah itu langsung diantarkan ke
gereja dan diserahkan ke Pdt. Agus. Sebagai ungkapan terima kasih, Pdt. Agus
menyerahkan Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) ke masjid lewat Pa Marzuki selaku
pengurus masjid.116
Ternyata bukan hanya sumbangan dari pihak gereja yang biasa diterima oleh
pengurus masjid. Sesuai penuturan pengurus masjid, masjid juga sering menerima
sumbangan berupa uang tunai dari beberapa pemilik toko yang nonmuslim yang ada di
sekitar masjid. Meskipun penyumbang tersebut bukan bagian dari jemaat Gereja
Pantekosta Bukit Zaitun, tetapi mereka juga ingin turut berpartisipasi dalam membantu
pembangunan masjid.117
Kesediaan pengurus masjid dan jamaah menerima sumbangan dari pihak gereja,
termasuk sumbangan dari pihak nonmuslim lainnya merupakan indikasi adanya sikap
115Drs. Marsuki, Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari Periode 2015-2020, Wawancara, diKendari pada tanggal 18 Mei 2016.
116Pdt. David Agus Setiawan, Wawancara, di Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari, padatanggal 21 Mei 2016.
117Drs. Marsuki, Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari Periode 2015-2020, Wawancara, diKendari pada tanggal 18 Mei 2016.
135
keterbukaan jamaah masjid –paling tidak yang diperlihatkan oleh pengurus masjid–
terhadap nonmuslim.
Meskipun pihak masjid menganggap tidak ada masalah menerima sumbangan
dari pihak gereja untuk masjid, tetapi mereka menganggap tidak perlu turut
menyumbang untuk gereja dan aktivitas nonmuslim lainnya.118
Dalam hal ini, sebenarnya mereka memahami bahwa sebenarnya tidak perlu ada
campur tangan dalam masalah ibadah dan rumah ibadah, termasuk masalah memberi
sumbangan untuk rumah ibadah agama lain. Akan tetapi, mereka juga tidak sampai hati
menolak jika pihak gereja atau nonmuslim lain ingin memberikan sumbangannya,
meskipun sesungguhnya terhadap sumbangan seperti itu mereka tidak
mengharapkannya.
Terlepas dari sikap positif secara sosio-emosional yang diperankan oleh
pengurus masjid dengan kesediannya menerima sumbangan dari non muslim untuk
digunakan di masjid, ada hal lain yang juga patut untuk dicermati. Hal itu adalah terkait
dengan status sumbangan non muslim untuk digunakan di masjd. Sebenarnya terdapat
perbedaan antara status sumbangan dari non muslim antara individu dengan individu
sebagai muamalah murni dengan sumbangan untuk digunakan dalam pembangunan
masjid atau untuk aktivitas yang terkait dengan masjid sebagai bait Allah (rumah Allah)
yang dipergunakan untuk beribadah kepada Allah Swt, Zat Yang Maha Suci.
Menerima bantuan dalam bentuk sumbangan, baik berupa uang, peralatan,
bahkan makanan adalah suatu pemberian atau hadiah yang secara syar’i mubah (boleh)
hukumnya diterima oleh individu muslim termasuk pemberian dari nonmuslim.
Kebolehan menerima pemberian dari nonmuslim sama statusnya dengan kebolehan
memberi kepada nonmuslim. Argumennya adalah bahwa pemberian adalah salah satu
bentuk mu’amalah umum sesama manusia yang tidak memandang agama, sebagaimana
jual beli, pinjam meminjam, tukar menukar, utang piutang dan semisalnya. Semua itu
termasuk kategori berbuat baik kepada sesama manusia yang dibolehkan dalam Islam,
sepanjang transaksi muamalah itu tidak menyalahi syariat dan benda transaksi itu dari
benda yang tidak diharamkan oleh syariat Islam.
118H. Jamaluddin, Imam Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari pada tanggal3 Juni 2016.
136
Adapun yang mengecualikan pemberian atau hadiah dengan pandangan bahwa
tidak boleh menerima pemberian, hadiah dan semacamnya dari nonmuslim karena
anggapan bahwa mereka banyak memperoleh harta dengan secara tidak halal,
berangkat dari kehati-hatian mereka terhadap harta yang pertanggungjawabannya berat
di akhhirat. Namun, sesungguhnya menerima atau memberi kepada nonmuslim,
kondisinya dapat dijelaskan sebagai berikut.
Suatu harta benda dapat menjadi haram karena dua keadaan, yakni karena
zatnya haram dan karena di luar zatnya. Harta yang zatnya haram, maka tidak boleh
dikonsumsi atau digunakan baik orang yang memiliki, pemberi maupun penerima.
Sedangkan haram karena sebab yang lain di luar zatnya, kondisinya dapat dibedakan
menjadi dua, yakni: pertama, haram karena harta tersebut hal orang lain yang diperoleh
dengan cara merampas, memaksa atau mencuri. Harta yang demikian haram bagi
pencuri atau perampas dan haram pula bagi yang diberi. Dengan kata lain, jika
seseorang diberikan harta hasil curian atau rampasan, maka tidak boleh diterima.
Bahkan harta tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya. Kedua, harta yang haram
karena diperoleh dengan cara muamalah yang batil, seperti harta atau uang hasil judi
dan hasil riba. Harta seperti ini hanya haram bagi orang yang melakukan mumamalah
secara batil tersebut, tetapi tidak haram bagi orang yang diberi olehnya.119
Karena itu, tidak ada halangan sedikitpun bagi kaum muslimin untuk menerima
pemberian atau hadiah dari nonmuslim, meskipun diduga bahwa mereka bermuamalah
secara batil menurut syariat Islam. Artinya, tidak ada dosa bagi orang yang menerima
pemberian dari pihak manapun sepanjang harta atau pemberian tersebut bukan dari
benda yang zatnya diharamkan dalam Islam.
وازرة وزر أخرىولا تكسب كل نفس إلا علیھا ولا تزر ...Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembalikepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa oranglain... (TQS. al-An’am/ 6: 164).
Lain halnya jika dengan sumbangan yang diberikan oleh nonmuslim itu dapat
menjadi sarana bagi mereka untuk menyebarkan kekufuran dan syiar-syiar mereka,
119Atha’ bin Khalil, Fatwa-fatwa Syaikh Atha’ bin Khalil, penerjemah: Abu Faiz (Cet. 2; Bogor:al-Azhar Press, 2014), h. 363-365.
137
apalagi untuk maksud menarik orang Islam ke agamanya, maka menerima sumbangan
seperti itu tidak boleh. Dalam hal ini, berlaku kaidah fiqh yang menyebutkan:
الوسیلة الى الحرام حرامWasilah, sarana, perantara kepada yang haram hukumnya haram.120
Karena itu, aktivitas menerima pemberian dari nonmuslim secara umum adalah
boleh. Saling memberi tersebut merupakan bentuk berbuat baik yang dicakup dalam
ayat al-Qur’an berikut:
وھم ن دیاركم أن تبر ین ولم یخرجوكم م عن الذین لم یقاتلوكم في الد وتقسطوا لا ینھاكم ا
یحب المقسطین إلیھم إن اAllah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu darinegerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (TQS. al-Mumtahanah/60: 8).
Kata tabarruu dalam ayat ini berasal dari akar kata barra ( بر ) yang secara
bahasa artinya taat, berbakti, bersikap baik dan sopan.121 Sedangkan tuqshituu yang
berasal dari kata qasatha ( قسط ) berarti berlaku adil dan taqassatha berarti membagi
dengan sama.122
Kandungan ayat di atas merupakan prinsip umum dan mendasar bagi umat
Islam dalam menjalin hubungan dengan nonmuslim. Selama nonmuslim bersikap baik
dan ingin bergaul secara baik dengan muslim, maka umat Islam wajib berbuat baik dan
bergaul secara baik dengan mereka. Dengan kata lain, boleh mengadakan hubungan
baik dengan nonmuslim, selama pihak nonmuslim melakukan yang demikian pula.123
Gabungan antara berbuat baik dan berlaku adil merupakan kumpulan perilaku
yang meliputi pemenuhan hak dan penunaian kewajiban kepada pihak lain. Ketika al-
Qur’an membolehkan berbuat baik dan berlaku adil kepada nonmuslim menunjukkan
120Taqiyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyah al-Islamiyah juz III, h. 440.121Ahmad Warson Munawwar, al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia (Cet. 14; Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 73.122Ahmad Warson Munawwar, al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, h. 1117-1118.123Zaini Dahlan, dkk., Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid X, Juz 28,29,30 (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Wakaf Universitas Islam Indonesia, 1990), h. 110.
138
bahwa hubungan antara muslim dengan nonmuslim harus berjalan secara alamiah
sebagai sesama manusia.
Bukan hanya sekadar membolehkan untuk memberikan bantuan kepada warga
negara, bahkan Islam mewajiban kepada negara untuk memberikan santunan (subsidi)
kepada rakyatnya yang membutuhkan dan menerima santunan tersebut merupakan hak
sebagai warga negara tanpa perbedaan muslim maupun nonmuslim. Santunan atau
pemberian negara tersebut merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh negara
kepada rakyatnya sebagaimana kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokok individu
berupa pangan, sandang dan papan, serta kebutuhan pokok publik lainnya, yakni
pendidikan dan kesehatan.124 Ketika negara wajib menunaikan kewajibannya itu, Islam
mewajibkan juga untuk melakukannya secara adil, tidak membedakan dari segi agama,
sebagaimana dikenal dalam kaidah:
لھم ما للمسلمین من الانصاف وعلیھم ما على المسلمین من الانتصافMereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslimin secaraadil.125
Adapun sumbangan nonmuslim kepada masjid, baik untuk keperluan
pembangunan pisik maupun untuk kepentingan kegiatan keagamaan di masjid, maka
terdapat perbedaan di kalangan umat Islam. Sebagian ulama mengatakan tidak boleh
menerima sumbangan untuk pembangunan masjid sebagian lagi membolehkan.
Golongan yang berpendapat bahwa menerima sumbangan dari nonmuslim untuk masjid
hukumnya boleh dengan ketentuan sumbangan tersebut tidak mengikat dan tidak
terdapat maksud-maksud lain yang dapat mempengaruhi kepengurusan masjid. Selain
itu, nonmuslim tersebut tidak boleh turut dalam pengaturan penggunaan dana
sumbangan apalagi menjadi pengurus masjid.126
Sedangkan pendapat yang melarang menerima sumbangan dari nonmuslim
untuk keperluan masjid beralasan, bahwa masjid adalah sebagai sebuah simbol akidah
dan ibadah tertinggi dalam Islam. Masjid sejatinya hanya dibangun, dibiayai dan
124Farid Wadjdi, “Khilafah Mewujdukan Islam Rahmatan Lil Alamin”, al-Wa’ie, Media Politikdan Dakwah (No. 189 Tahun XVI, 1-31 Mei 2016), h. 4.
125Yoyok Rudianto, “Bersikap Adil terhadap ahl Zimmah”, al-Wa’ie, Media Politik dan Dakwah(No. 183 Tahun XV, 1-30 november 2015), h. 63.
126Fatwa MUI DKI Jakarta tanggal 12 Dzulqaidah 1421 H/15 Februari 2001. Dapat dilihat dihttp://www.muidkijakarta.or.id. Diakses tanggal 23 Mei 2016.
139
dimakmurkan oleh kaum muslimin sendiri atau oleh pemerintah muslim sendiri tidak
melibatkan umat agama lain atau negara nonmuslim lainnya.127 Begitu juga sebaliknya,
rumah ibadah nonmuslim tidak boleh diberikan sumbangan oleh umat Islam termasuk
oleh negara yang menerapkan Islam. Mereka beralasan dengan firman Allah dalam
surah al-Taubah ayat 17-18 berikut:
ركین أن یعمروا مساجد الله شاھدین على أنفسھم بالكفر أولئك حبطت أعمالھم ما كان للمش
والیوم الآخر وأقام الصلاة وآتى .النار ھم خالدون وفي من آمن با إنما یعمر مساجد ا
ك فعسى أولـئك أن یكونوا من المھتدین الز اة ولم یخش إلا اTidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah,sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yangsia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Hanya yangmemakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allahdan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidaktakut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yangdiharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk (TQS. al-Tawbah/9: 17-18).
Memakmurkan masjid dalam ayat ini dipahami secara umum, yakni setiap
bentuk mengurus, membiayai, dan membantu membiayai pembangunan masjid. Karena
itu, sumbangan apapun bentuknya termasuk ke dalam makna memakmurkan atau
membantu memakmurkan masjid.
Lebih dari itu, secara filosofis, membangun masjid sebagai sarana untuk
aktivitas yang semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah tidak dicampuri
dengan dana yang sumbernya tidak jelas apalagi dari nonmuslim yang bermuamalah
tidak sesuai dengan Islam.
Dikecualikan dalam hal ini adalah pemberian dari nonmuslim yang telah masuk
menjadi harta atau kas negara yang diperoleh dari mereka berupa jizyah128, harta orang
127Muhammad Shiddiq al-Jawi, “Menerima Sumbangan Nonmuslim”, dapat dilihat dalamhttps://konsultasi.wordpress.com. Diakses 23 mei 2016.
128Jizyah adalah hak yang Allah berikan kepada kaum muslimin dari orang-orang kafir yangbermukim dalam negara Islam sebagai tanda bahwa mereka tunduk kepada Islam. Abdul Qadim Zallum,al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah, diterjemahkan oleh Ahmad S., dkk dengan judul Sistem KeuanganNegara Khilafah (Cet. 3; Jakarta: HTI Press, 2004), h. 74. Dalam al-Qur’an, jizyah disebutkan dalamsurah al-Taubah ayat 29: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNyadan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaantunduk” (QS. al-Tawbah/9: 29).
140
murtad129 atau harta lainnya yang sah berdasarkan syariat. Kondisi harta seperti ini
telah menjadi harta milik negara sehingga jika negara menyalurkannya untuk
kepentingan pembangunan dan pemakmuran masjid, maka hal itu tentu tidak menjadi
masalah.
Meskipun terdapat pandangan berbeda tentang hukum menerima sumbangan
nonmuslim untuk digunakan di masjid, tetapi seharusnya pengurus masjid bersikap
bijak dalam memandang hal tersebut. Bahwa memelihara hubungan baik dengan pihak
nonmuslim adalah perkara yang telah terang sebagai suatu yang penting, tetapi
memelihara kesucian, keberkahan, indepensi pengelolaan tempat ibadah juga perkara
yang penting.
Karena itu, keduanya tidak layak untuk dicampuraduk dengan alasan untuk
melaksanakan keduanya. Masing-masing dari kedua hal yang penting itu bisa
terlaksana dalam hubungan antara muslim dengan nonmuslim. Artinya, pengurus dan
jamaah masjid tetap dapat menjalin komunikasi, interaksi, saling membantu dalam
perkara muamalah sehari-hari, tetapi tetap bersikap bijak dengan tidak menerima
sumbangan dari mereka untuk keperluan pembangunan masjid. Agar hubungan dapat
terjaga dengan baik, justru pengurus masjid mesti bersikap terbuka mengungkapkan hal
tersebut kepada pihak gereja agar mereka memahami dan dapat memaklumi ajaran
Islam dalam masalah ini.
b. Keterbukaan dalam Berkomunikasi
Keterbukaan berkomunikasi sebenarnya dimiliki oleh jamaah masjid, begitu
juga jemaat gereja. Dari pristiwa yang terjadi pada tahu 1995 dimana bersamaan
perayaan natal dengan pelaksanaan ibadah tarwih di masjid. Dari dialog antara jemaat
gereja yang diwakili oleh pendeta dengan jamaah masjid yang menghasilkan
kesepakatan untuk mengatur waktu pelaksanaan aktivitas di gereja, diketahui adanya
kesediaan berkomunikasi pihak jemaat gereja dengan pihak jamaah masjid. Terbukti
setelah pristiwa itu sampai sekarang, pihak gereja sudah menyesuaikan aktivitasnya
129Dalam Islam, orang muslim yang keluar dari agamanya dinamakan murtad. Orang murtadharus disadarkan kembali agar bertaubat dan kembali kepada Islam. Jika orang tersebut menolak setelahdiberikan hujjah kebenaran Islam, maka hukumannya adalah dibunuh dan hartanya menjadi hak negara.(QS. al-Baqarah/2: 217).
141
agar tidak berbenturan dengan aktivitas masjid. Minimal jika tidak bisa dihindari, maka
volume suara di gereja diusahakan agar tidak mengganggu aktivitas di masjid.
Memang, model komunikasi yang dapat terlaksana tidak secara langsung,
melainkan melalui perwakilan oleh pengurus gereja. Hanya komunikasi tidak langsung
itu yang dapat berlangsung mengingat antara kedua komunitas tersebut memang sulit
terjadi karena jemaat gereja tidak tinggal berdekatan dengan jamaah masjid di sekitar
dua rumah ibadah itu.
Komunikasi langsung yang aktif terjadi hanya antara pengurus masjid dengan
pengurus gereja yang kebetulan keduanya tinggal menetap dalam kompleks kedua
rumah ibadah tersebut. Lebih dari itu, kedua pengurus rumah ibadah itu sama-sama
memiliki wawasan keagamaan secara akademik130 sehingga lebih dewasa dan terbuka
untuk menjalin komunikasi dengan orang atau pihak yang berbeda bahkan bertolak
belakang secara keyakinan.
Keterbukaan dalam berkomunikasi ditunjukkan antara lain adalah kesediaan
pengurus masjid menyampaikan pelaksanaan ibadah yang terganggu akibat suara musik
yang dibunyikan di gereja bersamaan dengan pelaksanaan shalat tarwih sebagaimana
telah dikemukakan pada bagian terdahulu, yakni pada tahun 1998 hari natal bertepatan
dengan bulan Ramadhan 1419 H.131
Menerima informasi dari pengurus masjid, maka pihak gereja bersedia untuk
membicarakannya dan melakukan penyesuaian, yakni menunggu selesainya
pelaksanaan shalat tarwih di masjid baru kegiatan persiapan natal di gereja dilanjutkan.
Itu terkait dengan pelaksanaan hari raya natal yang bertepatan dengan bulan puasa.
Adapun untuk aktivitas ibadat rutin yang bertepatan waktunya dengan pelaksanaan
shalat tarwih di masjid, maka penyesuaian dilakukan dengan memajukan jadwal
kebaktian sebelum pelaksanaan shalat tarwih di masjid.132
Bentuk komunikasi lain yang terjalin antara jamaah masjid dengan jemaat
gereja adalah kesediaan jamaah pengurus masjid untuk memberikan informasi kepada
130Drs. Marsuki adalah alumni Fakultas Dakwah IAIN Alauddin Makassar tahun 1992. AdapunPdt. Ir. David Agus Setiawan, M.Th. adalah sarjana teologi di salah satu perguruan tinggi di Jawa.
131Drs. Marsuki, Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari Periode 2015-2020, Wawancara, diKendari pada tanggal 18 Mei 2016.
132Pdt. David Agus Setiawan, Wawancara, di Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari, padatanggal 21 Mei 2016.
142
pihak gereja tentang adanya hak yang semestinya diterima oleh pihak gereja, yakni
terkait adanya dana sumbangan gereja di Pemerintah Daerah yang belum diketahui oleh
pihak gereja lalu disampaikan oleh pengurus masjid. Bukan hanya itu, tetapi sikap pro
aktif pengurus masjid untuk menguruskan sampai pencairan dana lalu diserahkan
kepada pihak gereja.
Dari berbagai pristiwa yang dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa pada
dasarnya sikap jamaah masjid, terutama pengurusnya dalam menjalin komunikasi
dengan pihak gereja cenderung terbuka. Hal itu terlihat paling tidak pada waktu Pak
Marsuki masih tinggal di lingkungan masjid. Saat ini ketika Pak Marsuki yang aktif
berkomunikasi dengan pihak gereja tidak lagi tinggal di masjid, meskipun masih pernah
dikunjungi oleh Pak Agus, tetapi tidak seperti sebelumnya.
Namun, tidak berarti bahwa selama puluhan tahun perjalanan aktivitas kedua
rumah ibadah ini tidak pernah terjadi gesekan. Menurut penuturan salah seorang
mantan pengurus remaja Masjid Da’wah Wanita, pernah terjadi hubungan yang kurang
harmonis antara jamaah masjid dengan pihak gereja sekitar tahun 1994 atau 1995.
Waktu itu, jamaah masjid sedang melaksanakan shalat jamaah di masjid. Sementara di
gereja juga beberapa orang jemaat sedang bernyanyi dan bermain alat musik yang
suaranya sampai mengganggu pelaksanaan shalat di masjid. Kondisi ini membuat
sebagian jamaah merasa terganggu, sehingga dengan spontan beberapa orang remaja
masjid sampai melempar benda keras ke arah atap gereja. Mendengar ada suara
lemparan di atap gereja, beberapa orang yang sedang memainkan alat musik kemudian
berhenti tanpa menanggapi perlakuan yang kurang menyenangkan dari remaja
masjid.133
Pristiwa pelemparan atap gereja oleh sebagian remaja masjid tersebut, menurut
penuturan beberapa pengurus masjid tidak pernah disinggung oleh pihak gereja pada
waktu-waktu setelahnya. Juga tidak ada upaya dari pengurus masjid untuk
mengkomunikasikan ulang kejadian tersebut kepada pengurus gereja. Begitu juga pihak
pengurus gereja justru mengambil sikap mediamkan saja perlakuan tidak wajar yang
diterimanya. Pengurus gereja malah berusaha memaklumkan kepada para jemaatnya
133Drs. Marzuki, MA., Mantan Pengurus Remaja Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara,di Kendari pada tanggal 24 Mei 2016.
143
bahwa sebagai minoritas yang hidup di tengah umat Islam yang mayoritas hendaknya
banyak mengalah dan memahami.134
Mencermati sikap pengurus gereja yang terkesan dingin menanggapi pristiwa
pelemparan atap gereja itu sebenarnya dapat dimengerti bahwa hubungan mereka pada
saat itu dalam bentuk komunikasi yang tertekan dari pihak yang mayoritas, sehingga
mereka merasa tidak perlu menyampaikan keberatan atas perlakuan tersebut. Hal ini
menjadi salah satu tanda bahwa bagi umat Islam di sekitar wilayah tersebut sebenarnya
belum sepenuhnya terdapat ketulusan yang murni atas keberadaan gereja dan pemeluk
agama lain di sekitar mereka.
Adapun konflik antara pemuda dan remaja masjid dengan pemuda gereja,
menurut penuturan pengurus remaja masjid, belum pernah terjadi selama ini (selama
masa kepengurusannya). Mereka menambahkan, bagaimana mungkin bisa terjadi
konflik sementara antara pemuda dan remaja dua rumah ibadah tidak pernah ketemu,
bahkan tidak saling mengenal. Ketika ditanya mengapa bisa tidak saling mengenal
padahal rumah ibadahnya saling bedempetan? Remaja masjid menjawab, bahwa
meskipun rumah ibadah berdempetan, tetapi aktivitas remaja gereja bisa dibilang tidak
ada kecuali pada waktu-waktu tertentu, misalnya ketika ada acara keagamaan. Tidak
pernah datang di waktu-waktu lain sebagaimana remaja masjid yang setiap hari datang
ke masjid. Kalau ketemu saja jarang bahkan nyaris tidak pernah, maka menurutnya
tidak mungkin terjadi konflik antara keduanya.135
c. Bekerja Sama
Kerja sama antara dua pihak dapat dilihat dari dua bentuk, yakni secara individu
dan secara kolektif. Secara individu, kerja sama terjadi antara dua orang. Sedangkan
secara kolektif terjadi lebih dari dua orang. Kerja sama yang dimaksud dalam
pembahasan ini adalah kerja sama yang melibatkan banyak orang, yakni lebih dari tiga
orang.
Dalam aspek kerja sama antara jamaah masjid dengan jemaat gereja, dapat
terlihat misalnya dalam aktivitas pemeliharaan kerja bakti untuk menjaga kebersihan,
134Pdt. David Agus Setiawan, Wawancara, di Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari, padatanggal 21 Mei 2016.
135Faisal Makmur, Ketua Remaja Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari padatanggal 8 April 2016.
144
kerapihan dan keindahan rumah ibadah. Telah diberitakan oleh media, bahwa biasa
dilakukan kerja bakti bersama antara jamaah masjid dengan jemaat gereja dalam bentuk
pemeliharaan kebersihan rumah ibadah. Jika pihak jamaah masjid yang melakukan
kerja bakti, maka pihak jemaat gereja turut melakukan kerja bakti di lingkungan masjid.
Sebaliknya, jika pihak jemaat gereja yang melakukan kerja bakti, maka pihak jamaah
masjid turut juga melakukan kerja di lingkungan gereja.136
Berita yang dimuat di media tersebut mungkin tidak sepenuhnya benar, tetapi
mungkin juga tidak seluruhnya salah. Namun, menurut hemat penulis, apa yang
dikemukakan di media terkesan dilebih-lebihkan sehingga tidak sesuai dengan fakta di
lapangan. Meskipun disadari bahwa pemberitaan itu sesungguhnya memiliki
kepentingan untuk terus melestarikan keharmonisan hubungan kedua rumah ibadah
yang berdempetan.
Berdasarkan penuturan pengurus masjid, belum pernah diadakan kerja bakti
bersama-sama dengan pihak jemaat gereja, baik yang dilakukan di masjid maupun
yang dilakukan di gereja. Kerja bakti yang dilakukan selama ini adalah masing-masing
pemilik rumah ibadah melakukannya di tempat rumah ibadah masing-masing. Pengurus
masjid mengemukakan bahwa kebersihan rumah ibadah semestinya mejadi tanggung
jawab pihak pemilik rumah ibadah untuk dijaga masing-masing oleh pemilik rumah
ibadah yang bersangkutan, sehingga tidak perlu melibatkan umat beragama lain. Tidak
perlu jamaah masjid turut kerja bakti di gereja atau jemaat gereja turut kerja bakti di
masjid.137 Begitu juga sebaliknya, kebersihan gereja menjadi tanggung jawab jemaat
gereja sehingga tidak perlu melibatkan jamaah masjid dan jemaat gereja juga tidak
perlu turut kerja bakti di masjid.138
Penuturan pengurus masjid ini dibenarkan oleh Laode Maerdi (80 tahun), salah
seorang jamaah yang sudah menetap di sekitar masjid sejak tahun 1960. Menurutnya, ia
sudah tinggal di wilayah itu sebelum masjid dibangun. Sampai saat ini ia tidak
136Berita tentang kerja bakti bersama ini dapat dilihat misalnya dihttp://sultra.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=273388. Berita yang sama juga pernah dimuat dihttp://regional.kompas.com/read/2015/07/21/14505321.
137Drs. Marsuki, Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari Periode 2015-2020, Wawancara, diKendari pada tanggal 18 Mei 2016; H. Jamaluddin, Imam Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara,di Kendari pada tanggal 3 Juni 2016.
138Pdt. David Agus Setiawan, Pendeta GPdI Bukit Zaitun Kendari, Wawancara, di Kendari,pada tanggal 21 Mei 2016.
145
mengetahui adanya kerja bakti bersama yang dilakukan oleh jamaah masjid dan jemaat
gereja.139
Memang belum pernah dilakukan kegiatan kerja bakti membersihkan rumah
ibadah yang dilakukan secara bersama-sama antara jamaah masjid dengan jemaat
gereja di dua rumah ibadah, tetapi bekerja pada waktu yang bersamaan biasa dilakukan.
Artinya pihak jamaah masjid melakukan kerja bakti di areal masjid sendiri dan
pengurus gereja melakukan kerja bakti di areal gereja sendiri, tetapi pernah dilakukan
pada waktu yang bersamaan. Karena waktunya bersamaan, maka seolah-olah kerja
bakti itu dilakukan bersama antara jamaah masjid dengan jemaat gereja.
Pemandangan inilah mungkin yang diamati sehingga diberitakan bahwa biasa
terjadi kerja bakti bersama. Padahal, yang benar adalah kerja bakti dilakukan oleh
masing-masing pemilik rumah ibadah, hanya waktunya bersamaan. Itupun kerja bakti
itu tidak dengan direncanakan terlebih dahulu dengan pihak gereja atau pihak masjid,
melainkan terjadi secara kebetulan.
Ketika pengurus gereja melihat jamaah masjid melakukan pembersihan halaman
masjid, maka sebagai bentuk tenggang rasa, maka pengurus gereja yang juga tinggal
dalam gereja turut membersihkan halaman gereja, membetulkan letak pot-pot bunga
yang terdapat di halaman gereja.140
Kebersihan dalam masjid biasanya dilakukan oleh remaja masjid dengan
petunjuk pengurus masjid. Begitu juga kebersihan halaman dan sekitar masjid juga
dilakukan oleh pengurus masjid dan remaja masjid sendiri dan tidak pernah berkeja
sama dengan permuda gereja. Ketika remaja masjid melakukan kerja bakti untuk
kebersihan di luar masjid, mereka membesihakan seluruh lahan dan halaman masjid
yang terdapat di sebelah barat masjid sampai ke jalan. Di bagian timur masjid yang
berbatasan dengan gereja mereka hanya membersihkan bagian yang jelas merupakan
bangunan dan lahan milik masjid yang berbatasan dengan gereja.141
139Laode Maerdi, Jamaah Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari pada tanggal8 April 2016.
140Pdt. David Agus Setiawan, Pendeta GPdI Bukit Zaitun Kendari, Wawancara, di Kendari,pada tanggal 21 Mei 2016.
141Aslan, Pengurus Remaja Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Masjid Da’wahWanita Kendari, 8 April 2016.
146
Dan ketika diperhatikan kondisi halaman masjid dan gereja, memang tidak
terdapat peluang untuk dikotori secara berlebihan, baik oleh sampah-sampah maupun
rumput yang tumbuh karena pondasi kedua bangunan sekitar 3 meter saja dari jalan
raya yang beraspal. Sementara kebersihan jalan dan trotoar secara umum ditangani oleh
petugas kebersihan kota.
Jadi, kerja sama yang dimaksud terjalin antara jemaat gereja dengan masjid
adalah bersama-sama bertanggung jawab terhadap kebersihan, keindahan dan
keamaanan rumah ibadah masing-masing. Ketika pihak lain melihat ada sesuatu dari
rumah ibadah tetangga yang butuh dibenahi, maka cukup menyampaikannya kepada
pengurus atau pemilik rumah ibadah bersangkutan.
Nampaknya, belum ditemukan adanya kerja sama yang lebih dalam antara
jamaah Masjid Da’wah Wanita dengan jemaat Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kendari
sebagaimana ditemukan di berbagai daerah142 dimana telah dilakukan kerja sama yang
bersifat terencana yang melibatkan penganut agama secara aktif.
Dari fakta terkait kerja sama antara jamaah masjid dengan jemaat gereja,
tampaknya jamaah masjid memandang bahwa kerja sama dalam hal memelihara
kebersihan, keindahan dan ketertiban rumah ibadah termasuk aktivitas yang tidak perlu
dilakukan secara bersama-sama atau melibatkan jemaat gereja. Artinya, mereka
menganggap bahwa kerja sama dalam aspek dimaksud merupakan bagian dari yang
dicakup oleh pengertian ayat berikut:
لكم دینكم ولي دین Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku (TQS. al-Kafirun/109: 6).
Dari penuturan pengurus masjid, diketahui bahwa mereka masih berpegang
pada prinsip yang dikandung oleh ayat di atas. Mereka tidak bersedia jika urusan
kebersihan masjid dilibatkan pihak nonmuslim untuk mengurusinya.
Tampaknya ada perbedaan sikap jamaah masjid terkait dengan kerja bakti
bersama dengan menerima sumbangan dari pihak nonmuslim. Jamaah masjid
142Kerja sama lebih mendalam antara muslim dengan nonmuslim biasanya dilakukan dalambentuk program kerja sama sosial kemasyarakatan yang pertama kali dirintis tahun 1970-an di Jakartadan Medan. Bentuk kegiatan itu antara lain: training dan dharma bakti kemasyarakatan yang diikuti olehgenerasi muda, camping bersama antara pemuda muslim dengan nonmuslim, dan sebagainya. LihatAlpizar, “Toleransi terhadap Kebebasan Beragama di Indonesia (Perspektif Islam)”, Toleransi, MediaKomunikasi Umat Beragama (Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2015), h. 135.
147
menganggap tidak masalah menerima pemberian dari pihak gereja, tetapi menganggap
tidak perlu pihak gereja turut kerja bakti di masjid, begitu juga sebaliknya.
Pendirian pengurus masjid yang demikian bisa dipahami, bahwa jika pihak
nonmuslim hadir di sekitar masjid atau bahkan dalam masjid dalam rangka bekerja
bersama dengan jamaah masjid sangat kelihatan secara kasat mata adanya unsur
campur tangan pihak gereja terhadap urusan rumah ibadah kaum muslimin. Sedangkan
jika menerima sumbangan dari pihak gereja tidak terlihat adanya campur tangan
sepanjang sumbangan itu tidak disertai dengan pembicaraan yang mengandung unsur-
unsur mengikat.
4. Analisis Sikap Jamaah Masjid terhadap Jemaat dan Gereja
Dari keseluruhan sikap jamaah masjid dari sisi menjalin berkomunikasi,
kesediaan untuk berbagi dan bekerja sama dengan jemaat gereja, dapat diketahui bahwa
secara umum sikap jamaah masjid –paling tidak yang ditunjukkan oleh pengurus masjid
dalam kaitannya dengan jemaat gereja masih cenderung bersikap toleran meskipun
masih bersifat pasif. Toleransi tersebut tumbuh secara alamiah dengan berbagai faktor
yang telah mendasari hubungan mereka selama ini.
Sikap toleran belum sulit untuk meningkat menjadi aktif –dalam aspek yang
telah dijelaskan, yakni: melakukan komunikasi, berbagi dan kerja sama dengan jemaat
gereja. Hal itu di antaranya karena keberadaan rumah ibadah yang berdekatan memang
tidak murni muncul dari keinginan mereka. Selain itu, penghatan terhadap ajaran agama
jamaah masjid yang masih rendah, terutama terkait ajaran Islam yang mengatur
masalah hubungan dengan nonmuslim.
Sikap pasif jamaah masjid tersebut dalam kaitannya dengan jemaat gereja jika
dicermati lebih jauh dapat dijelaskan dengan tiga bentuk, yakni: bersifat terbuka,
bersifat tertutup, dan ada yang bersifat pragmatis.143
143Pragmatis sebenarnya bermula dari sebuah aliran filsafat Barat yang menitikberakan ukurankebenaran sesuatu pada keadaannya sendiri, dari segi fungsi dan kegunaannya. Dasar pragmatism adalahlogika pengamatan, dimana apa yang ditampilkan oleh individu di dunia ini bersifat nyata dan kongkritdengan fakta yang berbeda-beda dan mesti diterima sesuai dengan keadaannya. Lihat Harun Hadiwijono,Seri Sejarah Filsafat Barat 2 dalam https://id.wikipedia.org. diakses tanggal 8 Juni 2016. Seorang yangbersikap pragmatis akan memandang sebuah ide sebagai sesuatu yang baik dan benar tergantungkemanfaatannya.
148
a. Sikap Terbuka dalam Berkomunikasi
Sikap terbuka terlihat ketika jamaah masjid bersedia untuk menjalin komunikasi
dengan pihak jemaat gereja, tetapi tidak berinisiatif untuk memulai jalinan komunikasi.
Sehingga komunikasi jamaah masjid dengan pihak jemaat gereja terkesan formil, tidak
hangat kecuali yang ditunjukkan oleh beberapa orang pengurus masjid saja.
Komunikasi seperti ini meskipun kurang baik untuk kelanggengan hubungan
antara kedua pemilik rumah ibadah. Seharusnya komunikasi keduanya dilakukan dalam
suasana terbuka dan tulus. Akan tetapi, komunikasi tersebut dilakukan dalam perkara
yang bersifat teknis dan bersifat hubungan kemanusiaan, bukan dalam rangka dialog
agama.
Dialog agama sebagaimana yang dikehendaki dalam wacana pluralisme tentu
bertentangan dengan Islam, bahkan bertentangan dengan konsep toleransi itu sendiri.
Toleransi bukan mendialogkan agama, apalagi kebenaran teologi agama. Toleransi
menghendaki adanya sikap lapang dada membiarkan orang lain dengan agamanya,
tanpa memaksa untuk memasuki agama orang lain.
Sebab itu, usulan dialog antar iman (interfaith dialog) yang banyak menjadi
rekomendasi penelitian tentang hubungan antara pemeluk agama, hemat penulis tidak
perlu dilakakukan. Dialog semacam itu akan justru mengarah para reduksi teologis
yang mengakibatkan pada pelemahan pondasi agama.144
b. Sikap Tertutup untuk Kerja Bersama di Rumah Ibadah
Sikap tertutup terlihat dalam aspek kerja sama, dimana jamaah masjid tidak
bersedia untuk melakukan kerja sama terkait dengan urusan masjid, baik dari segi
pemeliharaan kebersihan, kerja bakti di lingkungan masjid dan semisalnya.
Anggapannya, bahwa jika mereka menerima kehadiran nonmuslim untuk turut
bersama-sama melakukan pembersihan masjid, maka secara kasat mata berarti telah
menerima campur tangan pihak lain untuk mengurusi agama mereka. Demikian pula
sebaliknya, jika turut bekerja sama dalam kerja bakti di areal gereja dianggap
mencampuri urusan agama orang lain.
144Sebagian orang mengusulkan dialog agama sebagai wadah untuk mengubah konsep teologimasing-masing agama yang berdialog. Lihat misalnya Abdul Halim, “Pluralisme Agama dan DialogAntar Ummat Beragama”, Tajdid (Vol. XIV, No. 2, Juli-Desember 2015), h. 374.
149
Sikap seperti ini didasari oleh pemahaman tentang tidak perlunya mencampuri
urusan agama orang lain, termasuk dalam kaitannya dengan rumah ibadah.
c. Pragmatis
Sikap pragmatis terlihat ketika mereka menjelaskan bagaimana hukum
menerima sumbangan untuk pembangunan masjid. Dalam memberikan
argumentasinya, mereka tidak merujuk bagaimana Islam memandang perkara
menerima sumbangan untuk masjid, termasuk dari pendapat ulama yang menyatakan
kebolehannya. Bahkan di antara pengurus masjid ada yang dengan enteng
mengemukakan bahwa tidak ada masalah menerima sumbangan dalam bentuk apapun
dari pihak nonmuslim, karena mereka juga termasuk berbuat baik dan berpahala
menurut agamanya jika membantu pembangunan masjid.145
Padahal seharusnya setiap umat Islam –apalagi sebagai pengurus masjid– paling
tidak, secara umum mesti memiliki pengetahuan dasar terhadap perkara-perkara praktis
terkait dengan hukum-hukum seputar memakmurkan masjid. Pengurus masjid
seharusnya menjadi rujukan bagi jamaah masjid terkait bagaimana ajaran Islam
diaplikasikan dalam kehidupan praktis, khususnya terkait hubungan dengan
nonmuslim.
5. Motivasi Sikap Jamaah Masjid
Kondisi toleransi pasif ini tentu merupakan sebuah karakteristik yang tidak
berdiri sendiri, sebagaimana model toleransi yang ada di daerah lain. Terdapat berbagai
hal yang secara umum menjadi latar belakang terbentuknya sikap toleransi antara
pemeluk agama dalam berbagai coraknya.
Dengan mempelajari kondisi jamaah masjid dan penuturan jamaah masjid,
diketahui paling tidak terdapat faktor yang berpengaruh sehingga mendorong
terbentuknya toleransi pasif tersebut, yakni: faktor historis keberadaan pemeluk agama
dan rumah ibadahnya, faktor sosial dan politik.146
145H. Jamaluddin, Imam Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, di Kendari pada tanggal3 Juni 2016.
146Karwadi, “Motivasi Agama secara Toleran Masyarakat Dusun Sosowajan BanguntapanBantul Yogyakarta”, Aplikasia, Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama (Vol. V, No. 1, Juni 2004), h. 7.
150
a. Faktor Sejarah
Faktor sejarah yang dimaksud di sini adalah keberadaan umat Islam di Kendari
yang secara historis belum begitu mengakar dibandingkan daerah-daerah lain. Hal ini
disebabkan Islam masuk ke daerah ini terbilang agak terlambat bila dibandingkan
dengan daerah lain di Sulawesi Tenggara seperti Buton. Islam masuk ke Konawe pada
abad ke-16 M. pada masa Kerajaan Mokole Tabawo (Sangia Inato) yang dari arah barat
dibawa oleh pedagang muslim dari Sulawesi Selatan dan dari arah timur dibawa oleh
pedagang muslim dari Ternate dan Buton.147 Sebagian ahli sejarah menyebutkan
Islamisasi daratan Konawe baru terjadi pada pertengahan abad ke-18 M. Saat itu Islam
mulai menyebar pada abad ke-19 M.148
Artinya, Islam masuk ke Kendari pada saat Islam dalam kondisi lemah, baik
secara regional maupun dunia. Islam yang dalam keadaan sudah lemah ang dibawa oleh
para pedaganag berpengaruh secara signifikan terhadap pembentukan karakter Islam
yang diterima oleh masyarakat.149
Jadi, dari segi waktu yang relatif masih baru, Islam di daerah ini terbilang belum
begitu mengakar. Boleh dikata bahwa kedatangan Islam di wilayah ini kebanyakan
disebarkan oleh para pedagang dibandingkan dengan para ulama. Dari segi ini, maka
wajar saja jika perkembangan Islam dan pemahaman keislaman masyarakat setempat
belum begitu mengakar. Khususnya bagi umat Islam dari kalangan suku Tolaki, secara
umum masyarakat tidak begitu fanatik dalam menjalankan agamanya.150
Realitas historis ini tentu berpengaruh terhadap pemahaman dan sikap
keberagamaan masyarakat di Kendari. Perpaduan antara pemahaman Islam yang relatif
kurang mengakar dengan fenomena keragaman yang etnis dan agama yang dihadapi
oleh umat Islam, telah membentuk sikap tersendiri bagi umat Islam di wilayah ini.
147Aswati M, “Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Kerajaan Konawe”, Selami IPS (Ed.No. 34, Vol. 1, Tahun XVI, Desember 2011), h. 96.
148B. Bhurhanuddin, Dkk. Sejarah kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara dalamIdaman dan Rusland, “Islam dan Pergeseran Pandangan hidup Orang Tolaki”, Jurnal Al-Ulum (Volume12, Nomor 2, Desember 2012), h. 273.
149Secara umum Islam masuk ke Indonesia ketika dunia Islam telah melemah di antaranyaakibat pengaruh tasawuf. Tentu berbeda ketika Islam masu ke negeri ini ketika Islam berada pada puncakkekuatannya, pasti umat Islam di negeri ini akan memiliki karakter progresif dan optimis. MujamilQomar, “Ragam Identitas Islam di Indonesia Dari Perspektif Kawasan”, Episteme (Vol. 10, No. 2,Desember 2015), h. 324.
150Idaman dan Rusland, “Islam dan Pergeseran Pandangan hidup Orang Tolaki”, Jurnal Al-Ulum (Volume 12, Nomor 2, Desember 2012), h. 275.
151
b. Faktor Sosiologis
Faktor sosiologis yang dimaksud di sini adalah keberadaan pendudukan di
wilayah penelitian bahkan Kota Kendari pada umumnya yang secara etnis cukup
beragam. Penduduk Kelurahan Dapu-dapura terdiri dari 6 (enam) etnis besar yang
sudah tinggal menetap di wilayah tersebut, yakni: Suku Bugis 680 jiwa (17,89 %),
Muna 550 (14,47 %), Makassar 535 (14.07 %), Tolaki 450 (11.84 %), Buton 355 (9.34 %),
Jawa 220 (5.79 %), dan lain-lain 1012 (26.62 %).151
Begitu juga keragaman dari segi agama, meskipun pemeluk Islam lebih
dominan, tetapi hampir seluruh agama yang ada di Kendari juga terdapat di wilayah
kelurahan tersebut. Dari data demografi kelurahan diketahui bahwa penganut Islam
terdapat 3.625 jiwa (95,34 %), Kristen 30 jiwa (0,79 %)Protestan 40 jiwa (1,05 %), Hindu 72
jiwa (1,89 %), Budha jiwa 32 (0,84 %), dan lainnya 3 jiwa (0,08 %).152
Dari data monografi tersebut, diketahui bahwa komposisi penduduk Keluarahan
Dapu-dapura terdiri dari banyak etnis yang dominan dengan jumlah yang hampir
berimbang. Kondisi ini menunjukkan bahwa warga kelurahan ini sudah terbiasa dengan
keragaman sehingga tidak lagi merasa asing dengan keberadaan orang lain di sekitar
mereka. Hal ini tentu merupakan faktor sosial yang mendukung tumbuhnya benih-benih
toleransi.
Selain itu, secara ekonomi, penduduk wilayah kelurahan Dapu-dapura
mayoritas bermata pencaharian lebih 90 % sebagai pengusaha, yakni: pedagang,
tukang, jasa dan nelayan, selebihnya kurang dari 10 % sebagai pegawai negeri dan
TNI.153
Latar belakang mata pencaharian warga yang mayoritas sebagai pedagang
membuat keluarahan Dapu-dapura sebagai pusat perdagangan, dimana pasar sentral
kota juga berada di dalamnya, sehingga kesibukan bisnis mendominasi kehidupan
warga.
Kondisi keragaman etnis dan agama serta kesibukan bisnis kota inilah yang
membuat model toleransi jamaah masjid khususnya dan umat Islam pada umumnya
cenderung pasif.
151Monografi Kelurahan Dapu-dapura Kecamatan Kendari Barat Tahun 2016.152Monografi Kelurahan Dapu-dapura Kecamatan Kendari Barat Tahun 2016.153Monografi Kelurahan Dapu-dapura Kecamatan Kendari Barat Tahun 2016.
152
c. Faktor Politik
Faktor politik yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah penerapan aturan,
kebijakan dan usaha-usaha yang bersifat sistemik yang ditempuh oleh pemerintah
dalam kaitannya dengan hubungan umat beragama. Faktor kebijakan politik yang
dijalankan pemerintah sangat berpengaruh terhadap terbentuknya sikap masyarakat.
Telah disinggung di awal bahwa pendirian dua rumah ibadah yang saling
berdempetan tidak terlepas dari keterlibatan unsur pemerintah daerah. Brigjen (Purn)
Madjid Yoenoes yang ketika itu menjabat sebagai anggota DPR Provinsi Sulawesi
Tenggara telah memprakarsai perintisan masjid yang diawali dengan pembentukan
pengajian atau majlis ta’lim yang dijalankan oleh istrinya, yakni Ny. Hj. Hilda Yoenoes
Boekoesoe (lebih dikenal oleh ibu-ibu majlis ta’lim dengan nama Ibu Madjid).
Motivasi politik yang mendorong pembentukan pengajian ibu-ibu ini dituturkan
oleh pengurus masjid berikut:
Setelah Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G 30 S/PKI) pada
tahun 1965 berhasil diatasi, pemerintah selanjutnya gencar melakukan pembersihan
terhadap sisa-sisa pengikutnya yang ternyata juga terdapat di Sulawesi Tenggara.
Terjaringlah beberapa warga yang terindikasi terlibat dalam gerakan PKI dan ditahan
oleh aparat. Istri-istri warga yang telah ditahan ini dikumpulkan oleh Ny. Hj. Hilda
Yoenoes Boekoesoe (Ibu Madjid) untuk dibina dan diberikan pencerahan tentang
bahaya PKI. Kegiatan pembinaan ibu-ibu inilah yang menjadi cikal bakal Majlis Ta’lim
Da’wah Wanita Kendari.154
Begitu juga kebijakan pemerintah tampak nyata sebelumnya ketika
pembangunan GPdI Bukit Zaitun. Pembangunan gereja yang meskipun digagas sendiri
oleh pihak gereja yang dipimpin oleh Pdt. John San Lumangkun, tetapi penempatan
lokasi pembangunan gereja di tempat tersebut atas pengetahuan dan izin dari
pemerintah. Terlihat jelas keterlibatan pemerintah dalam pembangunan gereja, terutama
pada tahun 1983 ketika dilakukan peresmian atau pentahbisan oleh Gubernur Sulawesi
Tenggara, Kol. Inf. H. Z.A. Soegianto pada tanggal 2 April 1983.155
154M. Arief Tangke, BA., Penasihat Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari, Wawancara, diKendari pada tanggal 13 Agustus 2016.
155Pdt. David Agus Setiawan, “Asal-usul (Sejarah) GPdI Bukit Zaitun Kendari”, Skrip tidakterpublikasi, h. 2.
153
Ketika pemerintah telah menggagas berdirinya dua rumah ibadah yang
dibangun berdempetan tersebut, tentu tidak ada pihak yang berani mempersoalkannya.
Apalagi pada waktu itu merupakan masa Orde Baru dimana kepemimpinan pemerintah
dikenal cukup ditakuti oleh masyarakat. Maka meskipun pemerintah melanggar
ketentuan perundang-undangan yang dibuatya sendiri, tetapi tidak ada rakyat yang mau
mengambil inisiatif untuk menyampaikan keberatan, karena dianggap akan menuai
resiko. Apalagi jika kebijakan itu secara kasat mata kebijakan itu dianggap berpihak
kepada umat beragama dengan membangun rumah ibadah.
Itulah sebabnya, semua informan yang dimintai komentarnya tentang
keberadaan masjid di berdempetan dengan gereja, mengatakan bahwa sebenarnya hal
itu tidak perlu terjadi. Akan tetapi, semua sudah terlanjur terjadi. Mereka memang tidak
sepenuhnya menerima keberadaan gereja di sekitar mereka, tetapi mereka lebih tidak
dapat menerima lagi jika terjadi masalah yang lebih besar ketika salah satu rumah
ibadah itu diungkit kembali apalgi jika ingin dibongkar.
Akan tetapi, seandainya pemerintah mengambil keputusan untuk memindahkan
gereja ke tempat yang berjauhan dengan masjid, mungkin bisa saja diterima oleh pihak
Kristen asalkan ditunjukkan lokasi dan gerejanya dibangun seperti sedia kala.156
Namun, hal ini kelihatan agak sulit untuk dilakukan oleh pemerintah. Sejumlah
faktor yang bukan sekedar kesiapan finansial pemerintah, seperti ketersediaan lahan
yang berada dalam kota, dampak emosi sosial pengguna rumah ibadah, dan efek ikutan
lainnya yang dapat terjadi terhadap gereja dan masjid yang berdekatan.
Selain itu, masjid dan gereja yang berdekatan di Kota Kendari bukan hanya
masjid dan gereja yang ada di Kelurahan Dapu-dapura, tetap masih terdapat sejumlah
masjid di kelurahan dan kecamatan lainnya dalam Kota Kendari, bahkan beberapa
masjid dan gereja di wilayah Sulawesi Tenggara.
Tampaknya satu-satunya cara yang dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah
dengan membiarkan keduanya tetap berdempetan sembari terus mewacanakan
pemahaman toleransi yang bernuangsa pluralisme. Pilihan ini tentu merupakan
alternatif paling mudah dan nihil resiko, meskipun harus membebankan resiko spiritual
berkepanjangan bagi umat Islam di daerah ini.
156Sariono A. Tanjing, S.Ag., Ketua Seksi Dakwah Masjid Da’wah Wanita Kendari,Wawancara, di Kendari pada tanggal 10 Agustus 2016.
154
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Masjid Da’wah Wanita Kendari adalah satu-satunya masjid yang terdapat di Sulawesi
Tenggara yang berdempetan dengan gereja, yakni GPdI Bukit Zaitun Kendari. Meskipun
gagasan pembangunan masjid di samping gereja itu lebih dominan berasal dari pemerintah di
daerah ini, tetapi keduanya telah menjadi pewarta bisu akan adanya kondisi rukun antara
jamaah masjid dan jemaat gereja. Kerukunan itu terlihat dalam relasi dan sikap jamaah masjid
terhadap jemaat gereja sebagai berikut:
1. Relasi antara jamaah Masjid Da’wah Wanita dengan Jemaat GPdI Bukit Zaitun Kendari
terjadi antara sebagian jamaah masjid dengan pengurus yang tinggal dalam lingkungan
gereja. Relasi dalam kehidupan sehari-hari terjadi dalam bentuk pertemuan dan kunjungan
pribadi antara sebagian jamaah masjid dengan pengurus gereja, baik di rumah maupun di
lingkungan gereja dan sedikit dalam aspek muamalah individu. Adapun relasi dalam
bentuk asosiasional terjalin dalam bentuk berbagi informasi dan bantuan secara material
dari pihak gereja kepada pihak masjid. Kerja sama tidak terjalin kecuali dalam bentuk
komitmen masing-masing untuk menjaga kebersihan, ketertiban dan keindahan rumah
ibadah masing-masing. Terkait dialog antara jamaah masjid dengan jemaat gereja, jamaah
masjid menganggapnya tidak perlu kecuali terdapat suatu masalah yang dianggap
mengganggu pelaksanaan aktivitas dalam rumah ibadah khususunya di masjid. Secara
umum, hubungan kedua pihak berjalan tanpa gesekan dan konflik berarti. Hal ini
didukung oleh beberapa hal, yakni: pertama, jemaat gereja secara umum tidak berdomisili
di sekitar gereja mereka yang mayoritas muslim. Kedua, kondisi jamaah masjid dan kaum
muslimin di daerah ini yang low profile. Ketiga, secara sosiologis telah terjadinya
pembauran dengan etnis dan agama yang berbeda di lokasi penelitian yang berlangsung
sejak lama.
2. Sikap jamaah Masjid Da’wah Wanita terhadap Jemaat Gereja Pantekosta Kendari secara
umum toleran yang bersifat pasif. Sikap toleran ditunjukkan dengan kesiapan mereka
berdampingan selama lebih 40 tahun tanpa mempersoalkan keberadaan gereja di samping
masjid. Pada aspek berkomunikasi, jamaah masjid cenderung pasif terbuka, yakni tidak
berinisiatif untuk menjalin komunikasi dengan pihak jemaat gereja, tetapi tetap terbuka
untuk berkomunikasi jika pihak jemaat gereja memulainya. Pada aspek kesediaan berbagi,
jamaah masjid bersifat pragmatis, yakni mereka pada dasarnya tidak siap untuk memberi
155
dan menerima bantuan material dengan pihak jemaat gereja, tetapi ketika diberi mereka
dapat menerima tanpa mempersoalkan lebih jauh pemberian itu. Sementara pada aspek
kerja sama, jamaah masjid bersifat pasif tertutup, yakni mereka tidak bersedia untuk
bekerja secara bersama-sama dalam hal yang terkait dengan urusan rumah ibadah yang
bagi mereka tidak perlu dicampuri oleh penganut agama lain. Terkait keberadaan gereja
yang berdempetan dengan masjid, jamaah masjid pada dasarnya tidak setuju. Meskipun
demikian, mereka tidak mempersoalkannya dengan pertimbangan bahwa hal itu justru
akan menimbulkan masalah baru. Selain itu, mereka enggan untuk mengambil resiko
berhadapan dengan pemerintah, sehingga mereka lebih memilih untuk mendiamkannya
sambil berharap semoga tidak terjadi masalah dengan pihak gereja.
B. Rekomendasi
Dengan berdasar pada kesimpulan penelitian ini sebagaimana dikemukakan di atas,
maka peneliti menganggap perlu untuk mengajukan beberapa hal sebagai rekomendasi terkait
hubungan dan sikap jamaah Masjid Da’wah Wanita terhadap jemaat Gereja Pantekosta Bukit
Zaitun Kendari, sebagai berikut:
1. Kepada jamaah masjid yang telah menjalin hubungan dengan pihak jemaat gereja,
sebaiknya melakukannya dengan tetap berpedoman kepada ajaran Islam yang mengatur
hubungan dengan nonmuslim. Islam adalah ajaran sempurna yang telah meletakkan aturan
menjalin hubungan dengan nonmuslim yang akan menjamin eksisten, kedamaian,
kenyamanan dan ketertiban. Islam mengajarkan menjalin hubungan dan berbuat kepada
siapa saja tanpa memandang agama, tetapi hubungan dan perbuatan baik itu menurut
perspektif Islam, bukan berdasarkan dugaan, dan bukan pula berdasarkan nilai-nilai
budaya yang berkembang di tengah masyarakat yang lepas dari ajaran Islam.
2. Kepada pengurus masjid, hendaknya bijak dalam bersikap dan menjalin kerja sama
dengan pihak gereja. Dalam kasus menerima sumbangan dari pihak nonmuslim untuk
keperluan pembangunan dan aktivitas masjid, meskipun terdapat pandangan sebagian
kecil ulama yang membolehkannya, tetapi yang lebih terjaga adalah tidak menerima
sumbangan dalam bentuk apapun untuk keperluan masjid. Sikap seperti ini penting untuk
menjaga kesucian masjid dan independensi kepengurusan masjid sebagai simbol dan pusat
kemuliaan umat Islam. Hendaknya pengurus masjid menggalakkan aktivitas ilmu di
masjid untuk mengisi kekurangan akan pemahaman agama jamaah masjid, kususnya
terkait ajaran Islam yang mengatur relasi dan sikap terhadap nonmuslim.
3. Kepada pemerintah daerah, kiranya terus memperhatikan perkembangan dan memeliharan
hubungan baik antara jamaah Masjid Da’wah Wanita dan jemaat GPdI Bukit Zaitun,
156
termasuk hubunan antara jamaah masjid lainnya yang juga berdekatan dengan gereja.
Pemerintah hendaknya aktif untuk mendengarkan berbagai ungkapan hati jamaah Masjid
Da’wah Wanita dan GPdI Bukit Zaitun untuk mengetahui realitas sesungguhnya sikap
mereka terhadap keberadaan rumah ibadah yang berdempetan. Kedepan, pemerintah
hendaknya mempertimbangan secara bijaksana pemberian izin pembangunan rumah
ibadah agar tidak lagi terjadi bangunan rumah ibadah berdekatan apalagi berdempetan
dengan rumah ibadah agama lain. Karena sebenarnya, keberadaan gereja di tengah-tengah
komunitas muslim –seperti kasus Gereja Panteksota Bukit Zaitun, dimana jemaat gereja
bersangkutan tergolong kurang di tempat itu akan melukai perasaan umat Islam. Tentu
tidak selayaknya dengan alasan pencitraan akan kerukunan beragama, lalu mengorbankan
hal mendasar dalam kehidupan beragama. Keberadaan rumah ibadah yang berdekatan
sesungguhnya sulit untuk dihindari saling ganggu dalam pelaksanaan berbagai kegiatan
kedua rumah ibadah.
157
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Abdullah, Muhammad Husain. Dirasaat fi al-Fikr al-Islamiy. Diterjemahkan olehZamroni, Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam. Cet. 5; Bogor: Pustaka ThariqulIzzah, 2011.
Abdurrahman, Hafiz. “Mendirikan Tempat Ibadah Non Muslim di Negeri Islam”.Tabloid Media Umat. Ed. Januari 2011.
--------. Diskursus Islam Politik dan Spiritual. Cet. 3; Bogor: Al-Azhar Press, 2010.
Ahmad, Haidlor Ali (ed.). Survey Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia.Ed. 1, Cet. 1; Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang danDiklat Kementerian Agama, 2013.
Ahmad, Nur. “Pesan Dakwah dalam menyelesaikan Konflik Pembangunan RumahIbadah, Kasus Pembangunan Rumah Ibadah antara Islam dan Kristen di DesaPayaman”. Fikrah. Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013.
Ali, Mukti. Agama dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer. dalam Malik Idris,“Dakwah dalam Masyarakat Plural, Peran Tokoh Agama dalam MemeliharaHubungan Antarumat Beragama di Kendari”. Disertasi. Makassar: UINAlauddin Makassar, 2008.
Ali, Yasin bin. Daulat al-Khilafah wa Maa Yusamma bi al-Aqalliyat. Diterjemahkanoleh Abu Fuad. Negara Khilafah dan Kaum Minoritas. Cet. 1; Bogor: PustakaThariqul Izzah, 2015.
Alpizar. “Toleransi terhadap Kebebasan Beragama di Indonesia (Perspektif Islam)”.Toleransi, Media Komunikasi Umat Beragama. Vol. 7, No. 2, Juli-Desember2015
Al-Anshari, Syaikh Ismail bin Muhammad. “Hukm Bina' al-Kana'is wa al-Ma'abid as-Syirkiy-yah fi Bilad al-Muslimin”, diulas kembali oleh Hafiz Abdurrahman.“Mendirikan Tempat Ibadah non Muslim di Negeri Islam”. Tabloid MediaUmat. Ed. Januari 2011.
Arif, Syamsuddin. “Interfaith Dialogue dan Hubungan Antaragama Perspektif Islam”.Jurnal Tsaqafah. Vol. 6, No. 1; Gontor, Ponorogo: Universitas DarussalamGontor, April 2010.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Cet. 9; Jakarta:PT. Rineka Cipta, 1993.
ASP, HM. Jazir. “Sejarah Kebangkitan Remaja Masjid Indonesia”. Makalah.dipresentasikan pada Pertemuan Pengurus DPW BKPRMI DIY, 20 Mei 2009,dalam www.bkprmi-diy.blogspot.co.id. Diakses tanggal 22 Juni 2016.
158
Asry, M. Yusuf (Ed.). Pendirian Rumah Ibadat di Indonesia (Pelaksanaan PeraturanBersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8Tahun 2006). Ed. 1, Cet. 1; Jakarta: Badan Litbang dan Diklat KementerianAgama, 2011.
Aswati M. “Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Kerajaan Konawe”. SelamiIPS. Ed. No. 34, Vol. 1, Tahun XVI, Desember 2011.
Basri, Hasan. “Pola Dakwah Dalam Rangka Peningkatan Pengamalan Ajaran Agamadi Panti Sosial Tresna Werda Minaula Kendari”. Laporan Penelitian. Kendari:PPPM STAIN Kendari.
Budhiwibowo, Satrijo. “Kajian Filsafat Ilmu dan Filsafat Pendidikan tentangRelativisme Kultural dalam Perspektif Filsafat Moral”. Premiere Educondum.Vol. 2, No. 1, 2012.
Burhanuddin. “Sejarah Daerah Sulawesi Tenggara” dalam Basrin Melamba dan AbdulAziz, Peradaban Mekongga Kolaka, Sejarah Sosial, Politik dan Ekonomi. Cet.1; Yogyakarta: PD. Aneka Usaha Kolaka bekerjasama Penerbit Rona PancaranIlmu, 2012.
Al-Buthy, Muhammad Sa’id Ramadhan. Fiqhu al-Sirah, Dirasat Manhaj Ilmiyah liSirat al-Musthafa Alaihi al-Shalat wa al-Salam, diterjemahkan Ainur RafiqShaleh Tamhid. Sirah Nabawiyah:Analisis Ilmiah Manhaj Sejarah PergerakanIslam di Masa Rasulullah Saw. Cet.1; Jakarta: Robbani Press, 1999
Cawidu, Harifuddin. “Konsep Kufr dalam al-Qur’an”, dalam Islah Gasmian.Khazanah Tafsir Indonesia, Dari Hermeneutika Hingga Ideologis. Cet. 1;Jakarta: Teraju, 2003.
Chandra, Xaverius (ed.). Menanggapi Relativisme. Ed. 1; Surabaya: Fakultas FilsafatUniversitas Katolik Widya Mandala, 2012.
Dahlan, Zaini dkk. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jilid X, Juz 28,29,30. Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf Universitas Islam Indonesia, 1990.
Darmansyah M. “Pemuda dan Sosialisasi, dalam Darmansyah M, dkk. Ilmu SosialDasar. Surabaya: Usaha Nasional, 1986.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Cet. 9; Jakarta: PT. Ichtiar BaruVan Hoeve, 2001.
Al-Dimasqy, Syaikh al-‘Allamah Muihammad bin Abdurrahman. Rahmah al-Ummahfi Ikhtilaf al-Aimmah. Diterjemahkan oleh Abdullah Zaki al-Kaf. Fiqih EmpatMazhab. Cet. 3; Bandung: Hasyimi, 2010.
Direktorat Agama dan Pendidikan, Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan, PeranLembaga Sosial Keagamaan dalam Pengembangan WawasanMultikulturalisme
Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris-Indonesia. Cet. 29; Jakarta: PT.Gramedia, 2007.
159
Faruqi, Ismail Raji (ed.). Trialogue of the Abrahmic Faith. Diterjemahkan oleh Jokosulistyo Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Tiga Agama Besar, Yahudi-Kristen-Islam. Cet. 1; Surabaya:Pustaka Progresif, 1994.
Fatwa MUI DKI Jakarta tanggal 12 Dzulqaidah 1421 H/15 Februari 2001 dalamhttp://www.muidkijakarta.or.id..
Fauzi, Ihsan Ali, dkk. Demi Toleransi Demi Pluralisme, Esay-esay untuk Merayakan65 Tahun M. Dawam Rahadjo. Cet. 1; Jakarta: Paramadina, 2007.
Hadiwijono, Harun. Seri Sejarah Filsafat Barat 2 dalam https://id.wikipedia.org.
Halim, Abdul. “Pluralisme Agama dan Dialog Antar Ummat Beragama”. Tajdid. Vol.XIV, No. 2, Juli-Desember 2015.
Hamidi. Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal danLaporan Penelitian. Ed. 1, Cet. 3; Malang: Universitas MuhammadiyahMalang, 2005.
Hamka. Studi Islam. Cet. 1; Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 1982.
Hamzah, Alirman. “Hubungan Antarumat Beragama (Pengalaman Rukun dan Konflikdi Indonesia)”. Tajdid. Vol. 17, No.2, November 2014.
Handono, Irena, et.al. Islam Dihujat, Menjawab Buku The Islamic Invasion KaryaRobert Moorey. Cet. 5; Kudus: Bima Rodheta, 2004.
Hasan, Moh. Abdul Khaliq. “Merajut Kerukunan dalam Keragaman Agama diIndonesia, Perspektif Nilai-nilai al-Qur’an”. PROFETIKA, Jurnal Studi Islam .Vol. 14, No. 1, Juni 2013.
Hawari, Muhammad. Reideologi Islam, Membumikan Islam sebagai Sistem. Cet. 3;Bogor: Al-Azhar Press, 2011.
Hitti, Philip K. The Histoey of the Arab, diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasindan Dedi Slamet Riadi. Ed. Baru, Cet. 1; Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,2014.
HS., Ali Imron. “Kearifan Lokal Hubungan Antarumat Beragama di Kota Semarang”.Riptek. Vol.5, No.I, Tahun 2011.
Idaman dan Rusland. “Islam dan Pergeseran Pandangan hidup Orang Tolaki”. JurnalAl-Ulum. Volume 12, Nomor 2, Desember 2012
Ido, Sarini. “Cerita Harmonis 30 cm Bangunan Masjid dan Gereja”. Rubrik BeritaSultra Terkini, ed. 7, Agustus 2015, http://www.sultrakini.com
Idris, La Malik. “Peran Tokoh Agama dalam Memelihara Harmoni HubunganAntarumat Beragama di Kendari”. Disertasi. Makassar: UIN Makassar, 2008.
Irwansyah. “Interaksi Sosial Muslim-Kristen di Sumatera Utara (Studi tentangHubungan Keduanya di Pemukiman”. Jurnal Tsaqafah. Vol. 10, No. 2; Medan:UIN Sumatera Utara, November 2014.
160
Iskandar, Arif B. Materi Dasar Islam, Islam Mulai dari Akar Hingga Daunnya. Cet. 4;Bogor: Al-Azhar Press, 2010.
Jamrah, Suryan A. “Toleransi Antarumat Beragama Perspektif Islam”. JurnalUshuluddin. Vol. 23, No 2 Juli-Desember 2015.
Al-Jawi, Muhammad Shiddiq. “Menerima Sumbangan Nonmuslim” dalamhttps://konsultasi.wordpress.com..
Kahmad, Dadang. Sosisologi Agama. Cet. 2; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002.
Karwadi. “Motivasi Agama secara Toleran Masyarakat Dusun SosowajanBanguntapan Bantul Yogyakarta”. Aplikasia, Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmuAgama. Vol. V, No. 1, Juni 2004.
Katsir, Ibnu. Lubabut Tafsir min Ibni Katsir. Pentahqiq Abdullah bin Muhammad bnAbdurrahman bin Ishaq Alu al-Syaikh, diterjemahkan oleh M. Abdul GhoffarE.M, dkk., Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 8. Cet. 5; Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i,2008.
Al-Khalil, Atha bin. Taisir al-Wushul ila al-Ushul. Diterjemahkan oleh Yasin as-Siba’i. Ushul Fiqih, Kajian Ushul Fiqih Mudah dan Praktis. Cet. 4; Bogor:Pustaka Thariqul Izzah, 2011.
--------. Fatwa-fatwa Syaikh Atha’ bin Khalil. Penerjemah: Abu Faiz. Cet. 2; Bogor:al-Azhar Press, 2014.
Khallaf, Abdal Wahab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh, dalam Harun Nasution, Islam Ditinjau dariBerbagai Aspeknya. Jilid II. Cet. 6; Jakarta: UI Press, 1986.
Khotimah. “Studi terhadap Komunitas Gereja HKBP Kota Pekanbaru”. Toleransi.Media Komunikasi Umat Beragama. Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2015.
Lisungan, Joni. “Interasi Orang hina dengan Penduduk Lokal di Kota Kendari”.Walasuji. Vol. 6, No. 1, Juni 2015.
Lutfianto, Anjar Tri dan Muhammad Turhan Yani. ”Pola Interaksi antara Umat Islamdengan Kristen di Desa Lemah Putro Kecamatan Sidoarjo KabupatenSidoarjo”, e-Journal Unesa, Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Volume 02,Nomor 03; Surabaya: Universitas Negeri Surabaya, 2015.
Maftukhah, Umi. “Kerukunan Antarumat Beragama dalam Masyarakat Plural, StudiKerukunan Antarumat Islam, Kristen Protestan, Katolik dan Buddha di DusunLosari, Kelurahan Losari, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang”. Skripsi.Yogyakarta: UIN Suka Yogyakarta, 2014. http://digilib.uin-suka.ac.id/14903/2/10520029_bab-i_iv-atau-v_daftar-pu
Mahmud, Basri. Jihad Perspektif Sayid Qutb dalam Tafsir Fi Zilalil Qur’an. Cet. 1;Samata-Gowa: Gunadarma Ilmu, 2014.
Al-Maliki, Abdurrahman dan Ahmad Da’ur. Nidzam al-‘Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat fi al-Islam. Diterjemahkan oleh Syamsuddin Ramadhan. Sistem
161
Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam. Cet. 4; Bogor Pustaka ThariqulIzzah, 2011.
Al-Mawardi, Imam. al-Ahkam al-Sultaniyah fi al-Wilayah al-Diniyyah, diterjemahkanoleh Fadhli Bahri. Hukum-hukum Penyelenggaraan Negara dalam Islam. Cet.4; Bekasi: Darul Falah, 2012.
Al-Muafiri, Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam. al-Sirah al-Nabawiyah li IbniHisyam, diterjemahkan oleh Fadhli Bahri, Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, JilidI. Cet. 7; Jakarta: Darul Falah, 2009.
Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyurrahman. al-Rahiq al-Makhtum, Bahtsu fi Sirat al-Nabawiyah ‘ala Shahibiha Afdhal al-Shalat wa al-Salam. Diterjemahkan olehHanif yahya, et.al., Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad Saw.,Dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir. Ed. Revisi; Jakarta: Darussalam,2001.
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasidan Ilmu Sosial Lainnya. Cet. 4; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Al-Munawar, Said Agil Husin. Fikih Hubungan Antar Agama. Cet. 1; Jakarta: CiputatPress, 2003.
Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia. Cet. 4; Surabaya:Pustaka Progresif, 1997.
Al-Mundziri, Hafidz ‘Abdul ‘Azhim bin ‘Abdul Qawi Zakiyuddin. Muktashar ShahihMuslim, diterjemahkan oleh Achamd Zaidun. Ringkasan Shahih Muslim. Cet.2; Jakarta: Pustaka Amani, 2003.
Muttakin, Ahmad. “Rekonstruksi Gagasan Pluralisme Agama, (Telaah atas BukuPluralisme Agama, Musuh Agama-agama Karya Adian Husaini)”. Jurnal al-Adyan. Vol. IX, No. 1, Januari-Juni 2014.
Nabhani, Taqiuddin. al-Dawlat al-Islamiyyah. Cet. 6; Bogor: Pustaka Fikrul Mustanir,2002.
--------. al-Tafkir. diterjemahkan oleh Taqiyuddin al-Siba’i. Hakekat Berpikir. Cet. 5;Bogor: Putaka Thariqul Izzah, 2010.
--------. Nizām al-Islāmiyyah. Cet. 6; Bogor: Pustaka Fikrul Mustanir, 2001.
Nada, Abdul ‘Aziz bin Fathi al-Sayyid. Mausu’at al-Adab al-Islamiyyah,diterjemahkan oleh Abu Ihsan al-Atsari, Ensiklopedi Adab Islam Menurut al-Qur’an dan al-Sunnah. Cet. 2; Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2009.
Naim, Ngainun. “Membangun Toleransi dalam Masyarakat Majemuk, TelaahPemikiran Nurcholis Madjid”. Harmoni, Jurnal Multikultural danMultireligius. Vol. 12, No. 2, Mei-Agustus 2013.
Nasution, HM. Yunan. Islam dan Problema-problema Kemasyarakatan. Cet. 1;Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
162
Natsir, Mohammad. Fiqhud Da’wah, Jejak Risalah dan Dasar Da’wah. Cet. 12;Jakarta: Media Da’wah, 2003.
Nawiy, Fathiy Syamsuddin Ramadhan. “Kebijakan Khilafah terhadap Non-muslim’al-Wa’ie, Ed. Oktober 2014, dalam http://hizbut-tahrir.or.id/2014/10/06/kebijakan-khilafah-terhadap-non-muslim/ diakseskembali 8 Maret 2016.
Novianti, Kurnia. “Kebudayaan, Perubahan Sosial dan Agama dalam PerspektifAntropologi”. HARMONI, Jurnal Multikultural dan Multirelgius. Vol. 12, No.2, Mei-Agustus 2013.
Nuh, Nuhrison M. dan Kustini. Kerjasama Antarumat Beragama di Berbagai DaerahIndonesia,
Nuh, Nuhrison M. dkk. Direktori Paham, Aliran dan Tradisi Keagamaan diIndonesia, Jilid 2. Cet. 2; Jakarta: Kementerian Agama Badan Litbang danDiklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2014.
Nuriyanto, Lilam Kadarin. Integrasi Sosial Pengelolaan Rumah Ibadah Islam DanKristen Di Surakarta. Analisa. Journal of Social Science and Religion, Volume22 No. 01 June 2015.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil KepalaDaerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pembedayaan ForumKerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat.
Pribadi, Khelmy Kalam. “Relasi muslim dan kristen (studi interpretatif tentangkonstruksi sosial toleransi jamaah Masjid Al Hikmah dan Jemaat GerejaKristen Jawa Joyodiningratan Surakarta)”. Skripsi. Surakarta: UNS-FISIP,2011.
Pulungan, J. Suyuthi. Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjaudari Pandangan al-Qur’an. Cet. 2; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996.
Pulungan, Lihat J. Suyuthi. Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam MadinahDitinjau dari Pandangan al-Qur’an. Cet. 2; Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada, 1996.
Putri, Nindya Kartika. “Pola Komunikasi Antar Umat Beragama, Studi Kasus PolaKomunikasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam MenumbuhkanKerukunan Antarumat di Purwokerto. Purwokerto: Universitas JenderalSoedirman, 2012.
Qodir, Zuly. “Kontestasi Penyiaran Agama di Ruang Publik: Relasi Kristen dan Islamdi Kota Jayapura”, HARMONI, Jurnal Multikultural dan Multireligius. Vol.14, No. 1, Januari-April 2015.
Qomar, Mujamil. “Ragam Identitas Islam di Indonesia Dari Perspektif Kawasan”.Episteme. Vol. 10, No. 2, Desember 2015.
163
Quthb, Sayyid. Fi Dzilal al-Qur’an. Diterjemahkan oleh As’ad Yasin, dkk. Fi ZilalilQur’an, Di Bawah Naungan al-Qur’an. Jilid 11. Cet. 2; Jakarta: Gema Insani,2008.
Rachman, Budhy Munawar. Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Orang Beriman. Cet.1; Jakarta: PT. RajaGrafindo Pesada, 2004.
--------. Islam dan Pluralisme Nurcholis Madjid. Cet. 1; Jakarta: UniversitasParamadina, 2007.
Rachman, Rasid. “Hari Raya Liturgi”. dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Pentakosta.
Rakhmat, Jalaluddin. Islam dan Pluralisme, Akhlak al-Qur’an Menyikapi Keragaman.Cet. 2; Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Razi, al-Tafsir al-Kabir dalam Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatu al-Tafasir, Jilid 5, Penerjemah KH. Yasin. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011.
Redaksi Islam Center, “Hukum Membangun Tempat Ibadah Non Islam diSemenanjung Arab” dalam http://www.islam-center.net/id/fatwas/215-hukum-membangun-gereja-di-jazirah-arab-.html. Diakses 20 April 2016.
Rudianto, Yoyok. “Bersikap Adil terhadap ahl Zimmah”. al-Wa’ie, Media Politik danDakwah. No. 183 Tahun XV, 1-30 november 2015.
Rukmana, Nana. Masjid dan Dakwah, Merencanakan, Membangun dan MengelolaMasjid, Mengemas Substansi Dakwah Upaya Pemecahan Krisis Moral danSpiritual. Cet. 1; Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2002.
Sabiq, Sayyid. Fiqhu Sunnah. Penerjemah Nor Hasanuddin, dkk. Jilid 4, Cet. 2;Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007.
Sanuri. “Dinamika Wacana Pluarlisme Keagamaan di Indonesia”. Religio, JurnalStudi Agama-agama. Vol. 2, No. 1, Maret 2012.
Schuon, Frithjof. Islam and the Perenial Philosophy, diterjemahkan oleh RahmaniAstuti dengan judul Islam dan Filsafat Perenial. Cet. 1; Bandung: PenerbitMizan, 1993.
Seksi Integrasi Pengolahan dan Deseminasi Statistik Badan Pusat Statistik KotaKendari. Kota Kendari dalam Angka 2015. Kendari: BPS Kota Kendari, 2015.
Shabuni, Syaikh Muhammad Ali. Shafwatu al-Tafasir. Jilid 5. Penerjemah KH. Yasin;Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011.
Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Al-Islam, jilid 2. Cet.1, Ed. 2; Semarang: PTPustaka Rizki Putra, 1998.
Shihab, Alwi. Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dan Beragama. Cet. 5; Bandung:Penerbit Mizan, 1999.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalamKehidupan Masyarakat. Cet. 29; Jakarta: Mizan, 2006.
164
Sirry, Mun’im A. Membendung Militansi Agama: Iman dan Politik dalam MasyarakatModern. Jakarta; Erlangga, 2003.
Smart, Ninian. “Pluralism” dalam Donal W. Musser dan Joseph L. Price, A NewHandbook of Cristian Theology, dalam Malik Idris, “Dakwah dalamMasyarakat Plural, Peran Tokoh Agama dalam Memelihara HubunganAntarumat Beragama di Kendari”. Disertasi. Makassar: UIN AlauddinMakassar, 2008.
Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial, Suatu Teknik Penelitian BidangKesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Cet. 3; Bandung: PT. RemajaRosdakarya, 1999.
Sudarta (1999), Konflik Islam-Kristen, Menguak Akar Masalah Hubungan AntarumatBeragama di Indonesia, dalam Muhammadong, Pluralitas Agama dan DialogAntarumat Beragama,unm-digilib-unm-drmuhammad-341-1-pluralit-a.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Cet. 3; Bandung:Alfabeta, 2007.
Suprayogo, Imam dan M. Zainuddin. Potret Kerukunan Hidup Antarumat Beragamadi Malang Selatan. Jakarta: Mediacita, 2002.
al-Suyuthi, Imam. Tarikh al-Khulafa’, Sejarah Para Penguasa Islam diterjemahkanoleh Samson Rahman. Cet. 7; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010.
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam (Penerjemah Mukhtar Yahya). Jakarta: PT.Pustaka Al-Husna, 2003.
Syalthout, Syaikh Mahmoud. al-Islam, Aqidah wa Syari’ah. Diterjemahkan olehBustami A. Gani dan B. Hamdany Ali. Islam, Aqidah dan Syariah, Jilid 2. Cet.3; Jakarta; Bulan Bintang, 1985.
Syamhudi, Kholid. Apakah Semua Orang Kafir Sama, dalamhttp://almanhaj.or.id/content/2569/slash/0/apakah-semua-orang-kafir-sama/
Tim Penyusun Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. 3, Cet. 3; Jakarta:Balai Pustaka, 2005.
W.A.Gerungan. Psikologi Sosial. Cet. 11; Bandung: Eresco, 1988.
Wadjdi, Farid. “Khilafah Mewujdukan Islam Rahmatan Lil Alamin”. al-Wa’ie, MediaPolitik dan Dakwah. No. 189 Tahun XVI, 1-31 Mei 2016.
Al-Wakil, Muhammad Sayyid. Lamhah min Tarikh al-Da’wah, asbab al-Da’fi fi alUmmat al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh Fadhli Bahri dengan judul Wajah Dunia Islam, Daribani Umayyah Hingga Imperialisme Modern. Cet. 5; Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2005
Varshney. Ethnic Conflict and Civic Life, dalam Fu Xie. Hubungan antara OrangKristen dan Islam dalam Masyarakat Sipil: Studi di Kota Sukabumi dan KotaBandung. Prosiding The 5th International Conference on Indonesian
165
Studies:“Ethnicity and Globalization, icssis.files.wordpress.com/2013/09/2013-01-17.pdf
Wikipedia, The Free Ensiklopedia pada https://en.wikipedia.org.
Xie, Fu.”Hubungan antara Orang Kristen dan Islam dalam Masyarakat Sipil: Studi diKota Sukabumi dan Kota Bandung”. Prosiding. The 5th InternationalConference on Indonesian Studies: “Ethnicity and Globalization,icssis.files.wordpress.com/2013/09/2013-01-17.pdf
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Ed. 1, Cet. 21; Jakarta: Rajawali Press, 2008.
Yin, Robert K. Case Study, Research Design and Methods. Diterjemahkan oleh M.Djauzi Mudzakir, Studi Kasus, Desain dan Metode. Cet. 2; Jakarta:RajaGrafindo, Persada, 1997.
Yunus, Abd. Rahim. “Membangun Budaya Toleransi di Tengah Pluralitas Agama diIndonesia”. Jurnal Rihlah. Vol. 1, Nomor 1, 2013.
Zallum, Abdul Qadim. al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah. Diterjemahkan oleh AhmadS., dkk dengan judul Sistem Keuangan Negara Khilafah. Cet. 3; Jakarta: HTIPress, 2004.
Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh. Jilid 8. Penerjemah Abdul Hayyieal-Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani, 2011.
Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum Islam. Ed. 2, Cet. 8; Jakarta:Haji Masagung, 1994.
Sumber online:
KBRN, www.rri.co.id.
http://hizbut-tahrir.or.id/2014/10/06/kebijakan-khilafah-terhadap-non-muslim/
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/07/17/nrmprs-ini-kronologis-pembakaran-masjid-di-tolikara
http://regional.kompas.com/read/2015/07/21/14505321.
http://simas.kemenag.go.id
http://sketsanews.com
http://sultra.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=273388.
http://www.dprd-sultraprov.go.id/p/sejarah-dprd.html.
http://www.sultrakini.com.
https://id.wikipedia.org/wiki/Jazirah_Arab. diakses 28 Maret 2016.
https://beritagar.id/artikel/berita/kronologi-pembakaran-gereja-di-singkil-aceh
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1: Instrumen Penelitian
PEDOMAN WAWANCARA
Judul Penelitian : Harmoni Masjid-Gereja, Pola Hubungan Jamaah Masjid Da’wah Wanitadengan Jemaat Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kota Kendari
Peneliti : Hasan Basri
INFORMAN : KRISTIANIIdentitas informan
Nama :
Jabatan :
PERTANYAAN PENDAHULUAN
1. Apakah Bapak/Ibu berkunjung ke rumah tetangga yang beragama Islam (pada hari-
hari biasa, hari raya umat Islam, perjamuan)?
2. Apakah Bapak/Ibu memiliki hubungan bisnis (bekerja sama, berutang-piutang,
berjual-beli, dsb) dengan jamaah Masjid Da’wah Wanita?3. Berapa jumlah jemaat GPdI Bukit Zaitun yang tinggal di dekat gereja?
PERTANYAAN INTI
4. Bagaimana sejarah pendirian GPdI Bukit Zaitun?
5. Apakah pengurus masjid biasa menyampaikan kepada pihak gereja ketika ada
kegiatan, perayaan, rencana renovasi bangunan masjid, dll?
6. Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu mengenai keberadaan masjid yang dibangun di
samping gereja?
7. Apakah biasa dilakukan kerja bakti bersama antara jamaah masjid dengan jemaat
gereja?
8. Apakah jemaat gereja biasa memanfaatkan sarana/fasilitas milik masjid (seperti
halaman, air, listrik, dll.)?
9. Apakah Bapak/Ibu pernah berdiskusi tentang agama dengan tetangga/jamaah
masjid?
10. Menurut Bapak/Ibu, faktor apa yang bisa menjadi sebab paling potensial terjadinya
gesekan atau konflik antara jemaat gereja dengan jamaah masjid?
11. Menurut Bapak/Ibu, apa yang harus dilakukan agar hubungan jemaat gereja dengan
jamaah masjid tetap terpelihara?
12. Sebagai agama yang diyakini kebenarannya, bagaimana cara Bapak/Ibu
menyampaikannya kepada orang lain termasuk kepada orang Islam agar mereka
tertarik memeluk Kristen?
PEDOMAN WAWANCARA
Judul Penelitian : Harmoni Masjid-Gereja, Pola Hubungan Jamaah Masjid Da’wah Wanitadengan Jemaat Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kota Kendari
Peneliti : Hasan Basri, Dosen IAIN Kendari
INFORMAN : TOKOH MUSLIMIdentitas informan
Nama :
Jabatan :
PERTANYAAN PENDAHULUAN
1. Apakah Bapak/Ibu berkunjung ke rumah tetangga yang beragama Kristen (pada
hari-hari biasa, hari raya, perjamuan, dsb)?
2. Apa yang menjadi topik pembicaraan Bapak/Ibu ketika bertemu/berkunjung ke
tetangga/jemaat gereja?
3. Apakah Bapak/Ibu memiliki hubungan bisnis (bekerja sama, berutang-piutang,
berjual-beli, dsb) dengan jemaat gereja?
4. Sepengetahuan Bapak/Ibu, berapa banyak jemaat GPBZ yang tinggal di sekitar
masjid/gereja?
PERTANYAAN INTI (dikebangkan dalam proses wawancara)
5. Mengapa MDW dibangun berdempetan dengan GPBZ?
6. Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu mengenai keberadaan masjid yang dibangun di
samping gereja?
7. Bagaimana hubungan antara jamaah masjid dengan jemaat gereja selama ini?
8. Apakah pengurus GPBZ biasa menyampaikan kepada pihak masjid ketika ada
kegiatan, perayaan di gereja, rencana renovasi bangunan gereja, dll?
9. Apakah biasa dilakukan kerja bakti bersama antara jamaah masjid dengan jemaat
gereja?
10. Apakah jamaah masjid biasa memanfaatkan sarana/fasilitas milik gereja (seperti
halaman parkir, air, listrik, dll.)?
11. Apa yang harus dilakukan agar hubungan jamaah masjid dengan jemaat gereja tetap
terpelihara?
12. Faktor apa yang bisa menjadi sebab paling potensial terjadinya gesekan atau konflik
antara jamaah masjid dengan jemaat gereja?
13. Sebagai agama yang diyakini kebenarannya, bagaimana cara terbaik Bapak/Ibu
menyampaikannya kepada orang lain termasuk kepada orang Kristen agar mereka
tertarik memeluk Islam?
PEDOMAN WAWANCARA
Judul Penelitian : Harmoni Masjid-Gereja, Pola Hubungan Jamaah Masjid Da’wah Wanitadengan Jemaat Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kota Kendari
Peneliti : Hasan Basri, Dosen IAIN Kendari
INFORMAN : APARAT PEMERINAH (KELURAHAN DAN KECAMATAN)
Identitas informan
Nama :
Jabatan :
1. Peran dan kontribusi aparat pemerintah dalam pembangunan masjid dan gereja2. Hubungan sosial informan dengan kedua pemilik rumah ibadah3. Pengaruh informan terhadap kepengurusan masjid dan gereja4. Keuntungan dan kerugian bagi pemerintah dengan adanya masjid dan gereja yang
berdempetan5. Hambatan informan sebagai aparat dalam menjalin hubungan dengan jamaah masjid
dan jemaat gereja.6. Ada tidaknya perlakuan khusus terhadap informan selaku aparat terkait aktivitas
rumah ibadah yang melibatkan aparat daerah.7. Ada atau tidaknya penyampaian kepada aparat pemerintah ketika akan dilakukan
renovasi bangunan rumah ibadah8. Ada atau tidaknya keinginan informan untuk mepertahankan kondisi dua rumah
ibadah yang berdempetan.9. Pernah atau tidaknya aparat pemerintah terlibat dalam penyelesaian ketika terjadi
gesekan atau konflik antara pemilik rumah ibadah yang berdempetan.
PEDOMAN DOKUMENTASI
Judul Penelitian : Harmoni Masjid-Gereja, Pola Hubungan Jamaah Masjid Da’wah Wanitadengan Jemaat Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Kota Kendari
Peneliti : Hasan Basri, Dosen IAIN Kendari
No Nama Dokumen Ada Tidak ada Ket.
1 Peta lokasi: Kecamatan Kendari Barat,
kelurahan Dapu-dapura
2 Gambar masjid dan gereja
3 Dokumen sejarah masjid
4 Dokumen sejarah gereja
5 Data jumlah penduduk Kecamatan
Kendari Barat Kelurahan Dapu-dapura
6 Jumlah rumah ibadah di Kendari Barat
7 Jumlah jamaah masjid
8 Jumlah jemaat gereja
9 Data program kegiatan masjid
10 Data program kegiatan gereja
11 Data konflik yang pernah terjadi
12 Lainnya...
Lampiran 2: Daftar Informan
DAFTAR KEY INFORMAN
No N a m a Jabatan/Pekerjaan Alamat1 M. Arief Tangke, BA. Penasihat Pengurus
Masjid Da’wah WanitaKendari
Jl. Konggoasa Kel.Dapudapura Kec.Kendari Barat KotaKendari
2 Sukarman, STP.AK Ketua Pengurus MasjidDa’wah Wanita Kendari
Jl. Simbo Kel.Watubangga Kec.Baruga Kota Kendari
3 Drs. Marsuki Ketua I Pengurus MasjidDa’wah Wanita Kendari
Kel. Kambu Kec.Kambu Kota Kendari
4 M. Yusuf Latif, SE Sekretaris PengurusMasjid Da’wah WanitaKendari
Jl. Ir. Soekarno Kel.Dapudapura Kec.Kendari Barat KotaKendari
5 H. Tamanking Imam Masjid Da’wahWanita Kendari
Jl. Ir. Soekarno Kel.Dapu-dapura Kec.Kendari Barat KotaKendari
6 Sariono A. Tanjing, S.Ag. Ketua Seksi DakwahMasjid Da’wah WanitaKendari
Jl. Tekaka Kel. KandaiKec. Kendari
7 Dra. Hasmira Said, M.Pd. Ketua Majlis Ta’limMasjid Da’wah WanitaKendari
Jl. Tekaka Kel. KandaiKec. Kendari
8 Faisal Makmur Ketua Remaja MasjidDa’wah Wanita Kendari
Jl. Kongoasa Kel.Kandai Kec. KendariKota Kendari
9 Pdt. Ir. David AgusSetiawan,M.Th
Pendeta GPdI BukitZaitun Kendari
Jl. Ir. Soekarno Kel.Dapudapura Kec.Kendari Barat KotaKendari
DAFTAR INFORMAN BIASA
No N a m a Jabatan/Pekerjaan Alamat1 H. Jamaluddin Imam II Masjid Da’wah
Wanita KendariJl. Ir. Soekarno Kel.Dapudapura Kec. KendariBarat Kota Kendari
2 Makmur, S.Sos., M.Pd. Sekretaris KecamatanKendari Barat
Kecamatan Kendari Barat
3 Makmur Dg. Kulle, B.Sc, Sekretaris I PengurusMasjid Da’wah WanitaKendari
Jl. Kongoasa Kel. KandaiKec. Kendari Kota Kendari
4 Abdullah Jamaah Masjid Da’wahWanita Kendari
Jl. Ir. Soekarno Kel.Kandai Kec. Kendari KotaKendari
5 Drs. Marzuki, MA Mantan PengurusRemaja Masjid Da’wahWanita Kendari
Jl. Melati DesaKotabangun Kec.Ranomeeto Kab. KonaweSelatan
6 Yahsam Jamaah Masjid Da’wahWanita Kendari
Jl. Ir. Soekarno Kel.Kandai Kec. Kendari KotaKendari
7 Laode Maerdi Jamaah Masjid Da’wahWanita Kendari
Jl. Tekaka Kel. KandaiKec. Kendari
8 Drs. Zulkifli Lurah Kandai Kec.Kendari
Kel. Tipulu Kec. KendariBarat
9 Rustam Pedagang MakananJadi/Jamaah MasjidDa’wah Wanita Kendari
Jl. Ir. Soekarno Kel.Dapudapura Kec. KendariBarat Kota Kendari
10 La Ali, SH. Sekretaris Lurah Dapu-dapura
Tipulu Kendari Barat KotaKendari
11 Aslan Ketua Seksi KebersihanRemaja Masjid Da’wahWanita Kendari
Jl. Ir. Soekarno Kel. Dapu-dapura Kec. Kendari BaratKota Kendari
12 Dg. Ngai Seksi KebersihanPengurus MasjidDa’wah Wanita Kendari
Jl. Ir. Soekarno Kel. Dapu-dapura Kec. Kendari BaratKota Kendari
13 Hj. Hatma Pemilik toko alat rumahtangga/Jamaah MasjidDa’wah Wanita Kendari
Jl. Ir. Soekarno Kel.Dapudapura Kec. KendariBarat Kota Kendari
14 Umi Pengusaha BengkelMotor/Jamaah MasjidDa’wah Wanita Kendari
Jl. Ir. Soekarno Kel.Dapudapura Kec. KendariBarat Kota Kendari
15 Anton Security/Jamaah MasjidDa’wah Wanita Kendari
Jl. Ir. Soekarno Kel.Dapudapura Kec. KendariBarat Kota Kendari
16 Mulwi PengusahaSalon/Jamaah MasjidDa’wah Wanita Kendari
Jl. Ir. Soekarno Kel.Dapudapura Kec. KendariBarat Kota Kendari
17 Hasmira Pedagang makananjadi/Jamaah MasjidDa’wah Wanita Kendari
Jl. Ir. Soekarno Kel.Dapudapura Kec. KendariBarat Kota Kendari
18 Fatma Pedagang makananjadi/Jamaah MasjidDa’wah Wanita Kendari
Jl. Ir. Soekarno Kel.Dapudapura Kec. KendariBarat Kota Kendari
19 Dedi Remaja Masjid Da’wahWanita Kendari
Jl. Ir. Soekarno Kel.Dapudapura Kec. KendariBarat Kota Kendari
20 Murni Pedagang/JamaahMasjid Da’wah WanitaKendari
Jl. Ir. Soekarno Kel.Kandai Kec. Kendari KotaKendari
Lampiran 2: Pengurus Masjid Da’wah Wanita
SUSUNAN PENGURUS MASJID DA’WAH WANITA KENDARIPERIODE TAHUN 2015-2020
Pelindung : 1. Walikota Kendari2. Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Kendari3. Kepala Wilayah Kecamatan Kendari Barat4. Kepala Kantor Urusan Agama Kec. Kendari Barat5. Lurah Daupu-dapura Kec. Kendari Barat
Penasihat : 1. Ny. Hj. Hilda Yoenoes Boekoesoe2. H. Sahabuddin Said3. Sulfakri Sidik, SE., M.Pd4. Andi Tawakkal5. M. Arief Tangke, BA
PengurusKetua : Sukarman, AK.STP.Ketua I : Drs. MarsukiKetua II : Ali Hamzah, S.SosSekretaris : M. Yusuf Latif, SE.Sekretaris I : Arman, S.Sos.Sekretaris II : Makmur Dg. Kulle, B.Sc.Bendahara : H. Sangkala AmarWakil Bendahara : Makmur Tamangking
10. Seksi pembangunanKetua : Brusly S. Herman, S.SosAnggota : Ir. H. Dody Koeshariandi
Ir. Muchdar AssegafRusdi Elyas Syah
2. Seksi pendanaanKetua : Makmur TamangkingAnggota : Ashari Umar, SE.
H. Muhammad, S.Sos.H. Abdul RaufNasrun
3. Seksi perlengkapanKetua : Muh. Kudus KasimAnggota : Abdullah Rachim
Dg. AmirRamang Sahaka
4. Seksi dakwahKetua : Sariono A. Tanjing, S.Ag.Anggota : H. Fadly
Muh. Asfar Dahlan, Lc., MAIr. Ibrahim DahlanSuardi
5. Seksi ibadah/imam masjidKetua : H. Tamangking
H. JamaluddinH. Abdul KarimLa Ninsafu, S.Ag
6. Seksi pemberdayaan wanitaKetua : Dra. Hasmira Said
Hasnia Aras, S.EIHj. NurniatiHj. St.SuaraHj. MarlinaSugiani Makmur
7. Seksi kepemudaan/protokolKetua : Hamka, S.Pd.I
Faisal MakmurDhany Makmur TamangkingAyu Sulfiani Makmur
8. Seksi kebersihanKetua : M. Riski Dahlan, SKM
Asrib Abullah SahabuddinDg. Ngai
11. Seksi keamananKetua : AIPDA La Hanisi
Arifuddin CammingHamja Delallah
Sumber: Surat Keputusan Nomor 001/KEP-P.MDW/2015 tentang Pembentukan danKelengkapan Pengurus Masjid Da’wah Wanita Kendari Periode Tahun 2015 s.d 2020
PENGURUS REMAJA MASJID DA’WAH WANITA KENDARIPERIODE TAHUN 2015-2016
Ketua : Faizal Makmur
Wakil Ketua : Ilham
Sekretaris : Tober
Bendahara : Haslan
1. Seksi Dakwah : Aldi
2. Seksi perpustakaan : Jefri
3. Seksi perlengkapan : Syawal
4. Seksi Kebersihan : Edi
Lampiran 4: Foto Dokumentasi
Gambar 1Masjid Da’wah Wanita dan GPdI Bukit Zaitun dilihat dari arah utara (Jl. Ir. Soekarno)
Gambar 2 dan 3Masjid Da’wah Wanita dan GPdI Bukit Zaitun dilihat dari arah Selatan (Jl. Konggoasa)
Gambar 4Ibu Madjid (Ny. Hj. Hilda Yoenoes Boekoesoe)
Penggagas Majlis Ta’im (cikal-bakal) Masjid Da’wah Wanita Kendari
Gambar 5Ny. Hj. Hilda Yoenoes Boekoesoe dan Brigjen. Abdul Madjid
BIOGRAFI PENULIS
HASAN BASRI, lahir di Kuala Lemang, 10 Pebruari 1975 darikeluarga petani perantau dari Bone Provinsi Sulawesi Selatan keIndragiri Hilir Provinsi Riau. Anak kedua dari dua bersaudara,Ayahnya bernama Baddu bin Rahmani (di ijazah: Hidek), ibunyaHj. Huda binti Rukkeng. Pekerjaan sebagai dosen tetap IAINKendari. Alamat rumah Jl. Bukit Mekar RT/RW 04/01 DesaKotabangun Kecamatan Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan,Provinsi Sulawesi Tenggara.
Pendidikan dasar ditamatkan di Sekolah Dasar Negeri 014 Kuala Lemang,Kecamatan Keritang Tahun 1988 dan di Madrasah Tsanawiyah Pesantren Nurul WathanPasar Kembang Kecamatan Keritang Kabupaten Indragiri Hilir-Riau Tahun 1991.Pendidikan menengah ditamatkan di Madrasah Aliyah Negeri I Watampone KabupatenBone, Sulawesi Selatan Tahun 1994. Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) diperoleh dariJurusan Kependidikan Islam (KI) Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin UjungpandangTahun 1998 dan Magister Pendidikan Islam (M.Pd.I) pada Program Studi DirasahIslamiyah Pascasarjana UIN Alauddin Makassar tahun 2008.
Menikah dengan Nursiah binti Abd. Malik Saleh pada tahun 2001 dan barudikaruniai tiga orang anak, yakni: Al-Lailah Nur Muthmainnah HB. (perempuan, 15tahun), Al-Amin Abdullah Hasan (laki-laki, 13 tahun), Muhammad Ibnu Hasan (laki-laki, 7 tahun).
Sebelum diangkat sebagai dosen tetap pada IAIN Kendari, pernah mengajar dibeberapa lembaga pendidikan, seperti: Modern English College of Macassar (MECCA)di Makassar tahun 1997-1999, Bekasi English Student (BEST) di Bekasi Utara tahun1999-2000, Victory English Course Bekasi Utara Jawa Barat tahun 2000, Basic EnglishSchool of Training (BEST) Kendari dan BMS English Course Anduonohu, Kendaritahun 2002.
Karya ilmiah dan penelitian: Pendidikan Islam: Pewarisan Nilai Budaya diPesantren Ummusshabri Kendari (Tesis, 2008), Pola Dakwah dalam RangkaMeningkatkan Pengamalan Agama Lanjut Usia di PSTW Minaula Kendari (Penelitian,2013), Filsafat Pendidikan Islam (Buku, terbit 2008), Sejarah Pendidikan Islam (Buku,terbit 2008), Pengantar Manajemen, Pendekatan Baru (Buku Ajar, terbit 2009), Pesantrendi Indonesia, Dilema dan Prospek (jurnal, 2008), Konsep Pendidikan Ibnu Taymiyah,Tujuan Pendidikan dan Metode Pembelajaran (jurnal, 2009), Manajemen Dakwah,Pembentukan dan Aktivitas Kelompok Dakwah (jurnal, 2010), Dakwah MelanjutkanKehidupan Islam (jurnal, 2011), Dakwah Membentur Peradaban (jurnal, 2012),Manajemen Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Dakwah (jurnal, 2013),Manajemen Dakwah Rasul di Mekkah (jurnal, 2014), Manajemen Modern (Jurnal,2014), Manajemen Dakwah Nabi Saw. di Madinah (jurnal, 2015), ManajemenMultikulturalisme dalam Islam (jurnal, 2015), Manajemen Organisasi Dakwah (jurnal,2016).