bahasan ayat 1 pasal 34 uu no 44 tahun 2009

4
Pasal 34 UU no 44 tahun 2009 (1) Kepala Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian dibidang perumahsakitan. Edisi No 12 Vol XXXVI - 2010 - Kolom Direktur Rumah Sakit: Haruskah Dokter? Prof. Dr. Purnawan Junadi, MPH, PhD.i Sejak UU No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit resmi diundangkan pada 28 September 2009, banyak diskusi hadir di media massa. Diskusi berkisar pada hak dan kewajiban pasien serta rumah sakit, yang lebih tegas diatur dalam UU yang baru itu. Misalnya, pasien sekarang bebas melaporkan keluh kesah tentang ketidaknyamanan di rumah sakit pada media massa, atau tentang rumah sakit yang tidak boleh menolak pasien dengan alasan apapun.1 Ada juga diskusi tentang rumah sakit pemerintah yang harus seluruhnya kelas III, yang membuat kegelisahan baik bagi manajer rumah sakit maupun pemerintah daerah.2 Jadi, umumnya diskusi berkisar pada hubungan provider kesehatan (rumah sakit atau pemerintah daerah) dengan konsumen kesehatan (pasien). Ada juga beberapa diskusi tentang aspek pembiayaan sebagai dampak UU itu yang membo- lehkan model BLU. Jarang sekali diskusi rumah sakit tentang pengorganisasian, kecuali protes organisasi keperawatan tentang tidak adanya komite keperawatan dalam undang-undang itu. Seingat saya, belum ada isu yang membahas tentang keharusan direktur rumah sakit dari tenaga medis. Dalam pasal 34 UU itu, dengan jelas disebutkan ayat (1) Kepala rumah sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan.

Upload: nurdiansyah-sopian-adi-pratama

Post on 29-Dec-2015

134 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bahasan Ayat 1 Pasal 34 UU No 44 Tahun 2009

Pasal 34 UU no 44 tahun 2009

(1) Kepala Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian dibidang perumahsakitan.

Edisi No 12 Vol XXXVI - 2010 - Kolom

Direktur Rumah Sakit: Haruskah Dokter?Prof. Dr. Purnawan Junadi, MPH, PhD.i

Sejak UU No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit resmi diundangkan pada 28 September 2009, banyak diskusi hadir di media massa. Diskusi berkisar pada hak dan kewajiban pasien serta rumah sakit, yang lebih tegas diatur dalam UU yang baru itu. Misalnya, pasien sekarang bebas melaporkan keluh kesah tentang ketidaknyamanan di rumah sakit pada media massa, atau tentang rumah sakit yang tidak boleh menolak pasien dengan alasan apapun.1 Ada juga diskusi tentang rumah sakit pemerintah yang harus seluruhnya kelas III,

yang membuat kegelisahan baik bagi manajer rumah sakit maupun pemerintah daerah.2 Jadi, umumnya diskusi berkisar pada hubungan provider kesehatan (rumah sakit atau pemerintah daerah) dengan konsumen kesehatan (pasien). Ada juga beberapa diskusi tentang aspek pem-biayaan sebagai dampak UU itu yang membolehkan model BLU.

Jarang sekali diskusi rumah sakit tentang pengorganisasian, kecuali protes organisasi keperawatan tentang tidak adanya komite keperawatan dalam undang-undang itu. Seingat saya, belum ada isu yang membahas tentang keharusan direktur rumah sakit dari tenaga medis. Dalam pasal 34 UU itu, dengan jelas disebutkan ayat (1) Kepala rumah sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan.

Isu ini muncul ketika teman saya menelpon saya untuk menanyakan hal itu. Hal itu menjadi masalah karena sebelum UU itu keluar, tenaga kesehatan yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang kerumahsakitan bisa menjadi direktur rumah sakit. Ketika RUU itu dirancang, memang ada perdebatan apakah direktur rumah sakit harus tenaga medis atau tenaga kesehatan yang menguasai manajemen perumahsakitan. Bisik-bisik dari teman yang mengikuti perkembangan RUU itu mengatakan bahwa pilihan jatuh ke tenaga medis, semata-mata karena kalah jumlah. Komisi yang membidani lahirnya UU rumah sakit itu lebih banyak dokter dibanding bukan dokter.

Sebenarnya, yang perlu dibahas adalah apakah direktur rumah sakit harus tenaga medis? Secara tidak langsung, isu ini bisa dijawab dengan sederhana: kalau harus direktur mengapa di negara lain, baik Eropah, Amerika, maupun Australia, banyak rumah sakit yang dipimpin bukan oleh tenaga medis, bahkan banyak yang bukan tenaga kesehatan. Pada umumnya, kualifikasinya adalah mereka yang menguasai manajemen, baik dokter maupun bukan. Apakah rumah sakit di Indonesia begitu berbedanya dibanding di luar negeri, sehingga direktur rumah sakit harus tenaga medis?

Page 2: Bahasan Ayat 1 Pasal 34 UU No 44 Tahun 2009

Dalam UU No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit itu disebutkan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (pasal 1). Agar pelayanan berjalan paripurna maka rumah sakit tidak hanya melakukan pelayanan kesehatan sampai ke tingkat yang canggih, tetapi juga pendidikan/pelatihan SDM, penelitian, dan pengembangan. Jadi, tugas direktur adalah sebagai leader dan manajer agar semua kegiatan itu bisa berjalan dengan baik dalam anggaran yang tersedia (rumah sakit publik) serta anggaran yang harus dicari (rumah sakit swasta dan rumah sakit publik melalui kerangka BLU). Dalam menjalankan tugas itu, direktur rumah sakit harus menguasai banyak aspek manajerial mengingat agar sukses ia harus memelihara komunikasi yang baik dengan konsumen dan berbagai pihak yang berkepentingan di luar rumah sakit, serta berkoordinasi dengan puluhan macam tenaga di dalam rumah sakit itu sendiri. Jadi, justru proporsi pelayanan medis hanyalah bagian dari seluruh kegiatan di rumah sakit. Karena itu, tidak salah kalau orang mendefinisikan rumah sakit sebagai organisasi pelayanan yang paling kompleks yang padat modal (peralatan canggih), sekaligus padat karya.

Kalau melihat itu, haruskah direktur rumah sakit tenaga medis? Menurut saya tidak harus. Seorang tenaga kesehatan —tidak harus dokter— yang dilatih dengan baik untuk mengelola rumah sakit mestinya mempunyai potensi untuk menjadi direktur rumah sakit. Bahkan, menurut saya, tenaga ahli di luar kesehatan, namun mempunyai keahlian manajemen rumah sakit atau mempunyai jam terbang yang cukup tentang manajemen rumah sakit, bisa menjadi direktur rumah sakit. Karena itu, banyak ekonom yang menjadi direktur rumah sakit karena memang tuntutannya adalah agar tidak merugi (rumah sakit publik) atau harus untung (rumah sakit swasta).

Bisakah tenaga medis memegang jabatan direktur rumah sakit ? Menurut saya juga bisa, dengan syarat ketika memegang jabatan itu, ia harus berkonsentrasi sebagai pemimpin dan pengelola, sehingga seluruh kegiatan di rumah sakit berjalan seperti orchestra yang dipimpin oleh konduktor yang ahli. Artinya, harus meninggalkan fungsinya sebagai “dokter”. Dokter spesialis pun harus melupakan sejenak keahliannya. Sering kali kata sejenak itu menjadi lama, sebab kalau lihat faktanya, sekali dokter ahli merambah karier manajemen, akhirnya terus menekuni karier itu. Dengan tenaga dokter yang relatif masih langka di negeri kita dan pendidikannya yang memakan biaya besar, bukankah lebih efisien kalau ia berfungsi tetap sebagai dokter spesialis, dan kita memberikan jabatan direktur rumah sakit kepada bukan dokter?

 

1 http://yepiye.wordpress.com/2009/09/29/undang-undang-rumah-sakit-pasien-bebas-berkeluh-kesah-pada-media-massa/ diakses 15 maret 2010.

2 Lihat misalnyahttp://www.solopos.com/2009/solo/ uu-rs-hambat-potensi-rsud-5473 diakses 15 maret 2010.

 

i Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Page 3: Bahasan Ayat 1 Pasal 34 UU No 44 Tahun 2009

ilihat dari sudut pandang legal, ketentuan yang tercantum dalam draf ruu rumah sakit ini merupakan kemunduran. keputusan menteri kesehatan dan kesejahteraan sosial nomor 191 tahun 2001 sebagai perubahan keempat dari peraturan menteri kesehatan nomor 159b tahun 1988 tentang rumah sakit, dinyatakan bahwa direktur rumah sakit adalah tenaga dokter atau tenaga kesehatan lain yang mempunyai kemampuan di bidang perumahsakitan, memahami dan menghayati etika profesi kesehatan khususnya etika kedokteran. namun tanpa kajian yang mendalam terhadap ketentuan ini, persyaratan itu langsung dirubah tanpa disertai data yang cukup kuat.