bahasa di lintas batas: kajian akomodasi komunikasi

14
29 TOTOBUANG Volume 8 Nomor 1, Juni 2020 Halaman 2941 BAHASA DI LINTAS BATAS: KAJIAN AKOMODASI KOMUNIKASI MASYARAKAT PERBATASAN INDONESIA-TIMOR LESTE (Cross-border Language: a Study of Communication Accomodation in Indonesian-Timor Leste Border Community) Inayatusshalihah a & Retno Handayani b a, b Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Jalan Daksinapati Barat IV, Rawamangun, Jakarta Timur 13220 Pos-el: [email protected] Diterima: 20 Desember 2019; Direvisi: 27 Maret 2020; Disetujui: 7 April 2020 doi: https://doi.org/10.26499/ttbng.v8i1.176 Abstract The RI-RDTL border community in the Motamasin (Metamauk-Salele) cross-border post consists of local people and migrants from the Timor Leste. Although the ethnic group languages used are generally the same, there are absorbing elements from other languages that distinguish them. This paper examines how communication between these two groups works. The study includes community attitudes and language choices used in their daily communication. The study showes that the percentage index of respondents' interpretations of the questions regarding attitudes towards mother tongue lies on a scale of 6180. This shows the tendency of positive attitudes toward their mother tongue, while attitudes toward other languages range on a scale of 040 which shows the tendency of negative attitudes. This tendency influences the use and choiceof daily language. Local people tend to use mother tongue with their ethnic groups and migrant communities from Timor Leste. Likewise, migrants from East Timor. However, they tend to use local language when they comunicate with local people. Mother tongue language is only used with their fellow from Timor Leste. Keywords: communication accommodations, language attitudes, Tetun Terik language, Tetun Porto languange Abstrak Masyarakat perbatasan Republik Indonesia-Republik Demokratik Timur Leste (RDTL) di bagian pos lintas batas Motamasin (Metamauk-Salele) terdiri atas masyarakat lokal dan masyarakat pendatang (eks pengungsi) dari Timor Leste. Meskipun bahasa kelompok etnis yang digunakan pada umumnya sama, ada unsur-unsur serapan dari bahasa daerah lain yang membedakannya. Tulisan ini mengkaji bagaimana komunikasi antara dua kelompok masyarakat tersebut. Kajian mencakup sikap masyakarat dan pilihan bahasa yang digunakan oleh masyarakat lokal dan masyarakat pendatang di pos lintas batas Motamasin dalam komunikasi sehari-hari. Dalam kajian ini ditemukan bahwa indeks persentase interpretasi responden terhadap butir tanyaan yang berkenaan dengan sikap terhadap bahasa ibu terletak pada skala 6180. Hal ini menunjukkan kecenderungan sikap positif masyarakat terhadap bahasa ibu di perbatasan RI-RDTL, sedangkan sikap bahasa masyarakat lokal terhadap bahasa daerah lain berkisar pada skala 040 yang menunjukkan kecenderungan sikap negatif. Kecenderungan ini memmengaruhi penggunaan dan pilihan bahasa sehari-hari. Masyarakat lokal cenderung menggunakan bahasa ibu dengan kelompok etnisnya dan masyarakat pendatang dari Timor Leste. Demikian pula dengan masyarakat pendatang dari Timor Leste yang cenderung menggunakan bahasa lokal jika berbicara dengan masyarakat lokal. Sementara itu, bahasa ibu digunakan dengan sesama penutur dari Timor Leste. Kata-kata kunci: akomodasi komunikasi, sikap bahasa, Tetun Terik, Tetun Porto PENDAHULUAN Keberagamanan kelompok etnis yang mendiami wilayah Indonesia mencerminkan keberagaman bahasa yang ada. Selain menunjukkan kekayaan bangsa, keberagaman bahasa dapat menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan komunikasi. Adyana dan Rokhman (2016, hlm. 89) menjelaskan bahwa ketika seseorang berkomunikasi dengan berbagai

Upload: others

Post on 06-Dec-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAHASA DI LINTAS BATAS: KAJIAN AKOMODASI KOMUNIKASI

29

TOTOBUANG

Volume 8 Nomor 1, Juni 2020 Halaman 29—41

BAHASA DI LINTAS BATAS: KAJIAN AKOMODASI KOMUNIKASI

MASYARAKAT PERBATASAN INDONESIA-TIMOR LESTE

(Cross-border Language: a Study of Communication Accomodation

in Indonesian-Timor Leste Border Community)

Inayatusshalihaha & Retno Handayanib

a, b Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Jalan Daksinapati Barat IV, Rawamangun, Jakarta Timur 13220

Pos-el: [email protected]

Diterima: 20 Desember 2019; Direvisi: 27 Maret 2020; Disetujui: 7 April 2020

doi: https://doi.org/10.26499/ttbng.v8i1.176

Abstract

The RI-RDTL border community in the Motamasin (Metamauk-Salele) cross-border post consists of local

people and migrants from the Timor Leste. Although the ethnic group languages used are generally the same,

there are absorbing elements from other languages that distinguish them. This paper examines how communication between these two groups works. The study includes community attitudes and language choices

used in their daily communication. The study showes that the percentage index of respondents' interpretations of

the questions regarding attitudes towards mother tongue lies on a scale of 61–80. This shows the tendency of

positive attitudes toward their mother tongue, while attitudes toward other languages range on a scale of 0–40

which shows the tendency of negative attitudes. This tendency influences the use and choiceof daily language.

Local people tend to use mother tongue with their ethnic groups and migrant communities from Timor Leste.

Likewise, migrants from East Timor. However, they tend to use local language when they comunicate with local

people. Mother tongue language is only used with their fellow from Timor Leste.

Keywords: communication accommodations, language attitudes, Tetun Terik language, Tetun Porto languange

Abstrak

Masyarakat perbatasan Republik Indonesia-Republik Demokratik Timur Leste (RDTL) di bagian pos lintas

batas Motamasin (Metamauk-Salele) terdiri atas masyarakat lokal dan masyarakat pendatang (eks pengungsi)

dari Timor Leste. Meskipun bahasa kelompok etnis yang digunakan pada umumnya sama, ada unsur-unsur serapan dari bahasa daerah lain yang membedakannya. Tulisan ini mengkaji bagaimana komunikasi antara dua

kelompok masyarakat tersebut. Kajian mencakup sikap masyakarat dan pilihan bahasa yang digunakan oleh

masyarakat lokal dan masyarakat pendatang di pos lintas batas Motamasin dalam komunikasi sehari-hari.

Dalam kajian ini ditemukan bahwa indeks persentase interpretasi responden terhadap butir tanyaan yang

berkenaan dengan sikap terhadap bahasa ibu terletak pada skala 61–80. Hal ini menunjukkan kecenderungan

sikap positif masyarakat terhadap bahasa ibu di perbatasan RI-RDTL, sedangkan sikap bahasa masyarakat lokal

terhadap bahasa daerah lain berkisar pada skala 0–40 yang menunjukkan kecenderungan sikap negatif.

Kecenderungan ini memmengaruhi penggunaan dan pilihan bahasa sehari-hari. Masyarakat lokal cenderung

menggunakan bahasa ibu dengan kelompok etnisnya dan masyarakat pendatang dari Timor Leste. Demikian

pula dengan masyarakat pendatang dari Timor Leste yang cenderung menggunakan bahasa lokal jika berbicara

dengan masyarakat lokal. Sementara itu, bahasa ibu digunakan dengan sesama penutur dari Timor Leste. Kata-kata kunci: akomodasi komunikasi, sikap bahasa, Tetun Terik, Tetun Porto

PENDAHULUAN

Keberagamanan kelompok etnis yang

mendiami wilayah Indonesia mencerminkan

keberagaman bahasa yang ada. Selain

menunjukkan kekayaan bangsa,

keberagaman bahasa dapat menimbulkan

permasalahan yang berkaitan dengan

komunikasi. Adyana dan Rokhman (2016,

hlm. 89) menjelaskan bahwa ketika

seseorang berkomunikasi dengan berbagai

Page 2: BAHASA DI LINTAS BATAS: KAJIAN AKOMODASI KOMUNIKASI

Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 29—41

30

kalangan yang berasal dari kelompok etnis

dan bahasa yang berbeda, ia akan berusaha

menyesuaikan perilaku komunikasinya

dengan perilaku komunikasi mitra tuturnya.

Penyesuaian diri itu dapat dilakukan dengan

cara mengadaptasi perilaku komunikasi satu

sama lain, mempertahankan perbedaan di

antara penutur dan mitra tuturnya, atau

melakukan akomodasi secara berlebihan.

Proses akomodasi tersebut bertujuan untuk

menyesuaikan bahasa pada situasi tutur, baik

dalam interaksi sesama etnis maupun

antaretnis.

Keberagaman etnis dan bahasa tidak

hanya ditemukan di kota-kota besar, tetapi

juga di kawasan perbatasan Indonesia

dengan negara tetangga, seperti Desa Alas

Selatan, Kecamatan Kobalima Timur,

Kabupaten Malaka. Di desa itu terdapat

masyarakat pendatang dari Timur Leste yang

ikut bergabung ke dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Masyarakat pendatang

ini menyebut diri mereka sebagai eks

pengungsi. Namun, dalam tulisan ini penulis

menyebut masyarakat pendatang atau eks

pengungsi tersebut dengan sebutan

masyarakat Indonesia keturunan RDTL.

Interaksi antara masyarakat Indonesia

keturunan RDTL tersebut dengan penduduk

lokal tentu menimbulkan kontak ataupun

adaptasi bahasa. Sebagai pendatang,

masyarakat Indonesia keturunan RDTL akan

berusaha menyesuaikan diri dengan bahasa

lokal meskipun pengaruh bahasa ibunya

sama sekali tidak dapat dihilangkan.

Demikian pula halnya dengan penduduk

lokal. Selain itu, sebagai desa yang terletak

di perbatasan, Desa Alas merupakan pintu

keluar masuk penduduk Indonesia dan

penduduk Timor Leste.

Tulisan ini mengkaji akomodasi

bahasa masyarakat di Desa Alas Selatan

terhadap penutur bahasa lain. Sikap

masyarakat tutur, pilihan bahasa, dan cara

akomodasi yang digunakan oleh masyarakat

di kawasan perbatasan RI-Republik

Demokratik Timor Leste (RDTL) dalam

berkomunikasi antarkelompok etnis menjadi

objek kajian dalam tulisan ini. Sementara

itu, kajian difokuskan pada komunikasi

penduduk lokal dengan masyarakat

Indonesia keturunan RDTL, bukan dengan

penduduk Timor Leste.

Akomodasi bahasa masyarakat

perbatasan dapat terlihat melalui keterkaitan

ciri sosial dengan pendapat responden

terhadap sejumlah parameter akomodasi

bahasa, baik tentang bahasanya maupun

bahasa pendatang atau bahasa daerah lain

yang juga digunakan di sekitar lingkungan

tempat tinggalnya. Menurut Crystal (2008,

hlm. 6), akomodasi adalah suatu teori

sosiolinguistik yang bertujuan menjelaskan

alasan penutur bahasa memodifikasi

tuturannya sehingga menjadi mirip atau

terkadang menjadi berbeda dengan tuturan

yang digunakan oleh mitra tuturnya.

Sugiyono (2011, hlm. 64) menyatakan

bahwa tingkat akomodasi diukur dengan

menggunakan dua parameter, yaitu (1) cara

responden menyikapi bahasa yang

diakomodasi dan (2) cara responden

menggunakan bahasa atau unsur bahasa

yang diakomodasi. Akomodasi terhadap

sebuah bahasa dianggap positif apabila

seseorang mempunyai kemampuan dan

kesan yang baik terhadap bahasa itu dan

menggunakannya dalam berbagai ranah serta

mewarisi penggunaannya kepada generasi

berikutnya. Ylänne (2008:164) mengatakan

bahwa penutur termotivasi untuk

mengurangi perbedaan komunikatif secara

linguistik antara dirinya dan lawan tutur

pada situasi tertentu untuk menciptakan

komunikasi yang efektif. Di sisi lain,

penutur termotivasi untuk bersikap tidak

akomodatif dan bahkan menonjolkan

perbedaan antara dirinya dan lawan tutur

untuk menekankan perbedaan dan jarak.

Dalam tulisan ini, akomodasi bahasa

didefinisikan sebagai kemampuan untuk

menyesuaikan, memodifikasi, atau mengatur

bahasa seorang penutur dalam interaksinya

dengan penutur lain.

Menurut Dhanawaty (2004), seorang

penutur melakukan akomodasi disebabkan

Page 3: BAHASA DI LINTAS BATAS: KAJIAN AKOMODASI KOMUNIKASI

Bahasa di Lintas Batas …. (Iyanatusshalihah & Retno H.)

31

oleh adanya keinginan, antara lain untuk

meningkatkan keefektifan komunikasi,

mengurangi jarak sosial dengan mitra tutur,

menciptakan hubungan yang baik,

meningkatkan prestise dan kesantunan tutur,

dan menurunkan formalitas tutur.

Akomodasi dalam interaksi antarpenutur

bahasa yang berbeda dengan menggunakan

teori akomodasi pernah dilakukan oleh

beberapa penulis. Susilastri (2005) mengkaji

konvergensi linguistis penutur asli bahasa

Jawa terhadap pemakaian bahasa Melayu

Palembang dalam komunitas pasar

tradisional di Palembang. Hasil kajiannya

menyimpulkan bahwa fenomena yang terjadi

dalam kontak bahasa menunjukkan upaya

penutur asli bahasa Jawa membuat sebuah

modifikasi terhadap bahasa Melayu

Palembang agar sesuai dengan pola

pemakaian bahasa Melayu Palembang atau

agar konvergen.

Sugiono dkk. (2011) meneliti

akomodasi bahasa masyarakat multikultural

perkotaan di Indonesia dengan objek kajian

masyarakat yang tinggal di Batam, Jakarta,

Bandung, Yogyakarta, Denpasar, dan

Makasar. Persoalan yang menjadi fokus

penelitian tersebut adalah strategi

komunikasi yang digunakan oleh masyarakat

multikultural di daerah perkotaan Indonesia

dalam berkomunikasi antarkelompok etnis.

Dalam penelitian itu terlihat penutur bahasa

daerah lokal pada umumnya bersikap

akomodatif terhadap bahasa pendatang.

Akan tetapi, tingkat akomodasi masyarakat

terhadap bahasa pendatang memiliki ambang

batas tertentu. Kecenderungannya semakin

banyak kelompok etnis yang ada di

lingkungan hidupnya justru dapat

mengurangi tingkat akomodasi. Penelitian

ini menyimpulkan bahwa secara umum

masyarakat Indonesia yang hidup di kota

besar memiliki tingkat akomodasi yang

memadai untuk hidup berdampingan.

Efendi (2018) mengkaji komunikasi

antarbudaya etnis Jawa dengan etnis Banjar

dengan pendekatan teori akomodasi

komunikasi dan dengan metode deskriptif

kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa masyarakat di Desa Teluk Dalam,

Kecamatan Tenggarong Seberang selalu

melakukan akomodasi komunikasi dengan

menggunakan jenis konvergensi dan juga

divergensi ketika melakukan percakapan

dengan mitra tuturnya yang memiliki latar

belakang budaya dan bahasa yang berbeda.

Dalam proses akomodasi, baik etnis Jawa

maupun etnis Banjar memiliki sikap saling

menghargai dan menggunakan komunikasi

antarpribadi diadik dan triadik.

LANDASAN TEORI

Coupland (2010, hlm. 21) menyatakan

bahwa teori akomodasi komunikasi

merupakan kerangka teoretis umum

mengenai komunikasi antarperseorangan dan

antarkelompok. Dalam bentuknya yang

paling awal, teori akomodasi merupakan

model modifikasi gaya tutur yang bersifat

sosio-psikologis. Namun, saat ini teori

akomodasi memiliki status sebagai model

proses relasional dalam interaksi

komunikatif. Teori akomodasi merupakan

model utama pada antarmuka

sosiolinguistik, komunikasi, dan psikologi

sosial.

Menurut Matthews (1997, hlm. 5)

akomodasi adalah cabang linguistik yang

menelaah penyesuaian-penyesuaian yang

dilakukan penutur dalam mengadaptasi atau

mengakomodasi tuturannya dalam interaksi

dengan mitra tuturnya. Teori akomodasi

komunikasi digagas oleh Giles (1973) dan

dikembangkan oleh Trudgill (1986). Teori

ini melihat motivasi dan konsekuensi yang

mendasari dua penutur menyesuaikan gaya

komunikasi mereka.

West dan Turner (2008, hlm. 219)

mengidentifikasikan empat asumsi teori

akomodasi, yaitu (i) persamaan dan

perbedaan berbicara dan perilaku terdapat di

dalam semua percakapan, (ii) cara kita

mempersepsikan tuturan dan perilaku orang

lain akan menentukan bagaimana kita

mengevaluasi sebuah percakapan, (iii)

bahasa dan perilaku orang memberikan

Page 4: BAHASA DI LINTAS BATAS: KAJIAN AKOMODASI KOMUNIKASI

Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 29—41

32

informasi mengenai status sosial dan

keanggotaan kelompok, dan (iv) akomodasi

bervariasi dalam hal tingkat kesesuaian dan

norma mengerahkan proses akomodasi.

Keempat asumsi tersebut membentuk dasar

yang kuat untuk mempelajari cara-cara

beradaptasi yang digunakan orang dalam

sebuah komunikasi.

Dhanawaty (2004) membedakan

akomodasi berdasarkan waktu, arah turun

naiknya (ke atas atau ke bawah), dan

kelengkapannya.

(1) Akomodasi berdasarkan waktunya

dibedakan atas akomodasi jangka

pendek dan akomodasi jangka panjang.

Akomodasi jangka pendek adalah

akomodasi yang terjadi dalam kontak

jangka pendek, sedangkan akomodasi

jangka panjang adalah akomodasi yang

terjadi dalam kontak jangka panjang

yang memungkinkan terjadinya

komunikasi bersemuka secara sering.

(2) Akomodasi berdasarkan arah turun

naiknya dibedakan atas akomodasi ke

bawah dan akomodasi ke atas.

Akomodasi digolongkan ke bawah jika

penutur memodifikasi tuturannya

dengan menyerap fitur-fitur dari bahasa

atau dialek mitra tutur yang dianggap

lebih rendah daripada bahasa atau

dialeknya sendiri. Sementara itu,

akomodasi digolongkan ke atas jika

penutur mengadaptasi bahasanya ke

arah fitur-fitur bahasa yang digunakan

mitra tutur yang dirasakan lebih tinggi

prestisenya atau lebih fungsional

daripada bahasa yang digunakannya.

(3) Akomodasi berdasarkan kelengkapan

dibedakan atas (i) akomodasi total

secara fonetis, (ii) akomodasi parsial

secara fonetis, dan (iii) akomodasi

parsial secara leksikal. Akomodasi total

secara fonetis berarti bahwa bunyi

tertentu dimodifikasi menjadi persis

sama dengan bunyi yang ada pada

bahasa sasaran. Akomodasi parsial

secara fonetis berarti bahwa bunyi yang

ada pada bahasa asal dimodifikasi,

tetapi belum menjadi persis sama

dengan yang ada pada bahasa sasaran.

Akomodasi parsial secara leksikal

berarti bahwa sebuah bunyi dalam

lingkungan fonetis tertentu tidak

berubah secara serentak pada semua

leksem.

Akomodasi pada umumnya dibedakan

menjadi konvergensi dan divergensi. Giles

et.al. (1991, hlm. 7–8; lihat juga Coupland,

2010, hlm. 22) mendefinisikan konvergensi

sebagai strategi individu untuk beradaptasi

dengan perilaku komunikatif satu sama lain

yang berkaitan dengan fitur-fitur nonverbal

ataupun verbal seperti kecepatan bicara,

panjang tuturan, fonologi segmental, jeda

bicara, senyuman, gestur, tatapan mata, dan

lain-lain. Divergensi juga digunakan sebagai

istilah yang merujuk pada cara penutur

menonjolkan tuturan dan perbedaan

nonverbal antara dirinya dan orang lain.

Divergensi dilihat sebagai fenomena tingkat

kelompok yang mencerminkan motivasi

penutur untuk memisahkan dirinya secara

simbolis dari keanggotaan kelompok sosial

(etnis, politik, kelas, usia, atau gender) mitra

tutur. Ketika seseorang melakukan

konvergensi, ia bergantung pada persepsi

mengenai perkataan dan perilaku mitra

tuturnya.

West dan Turner (2008, hlm. 225)

menyatakan bahwa konvergensi juga dapat

dimaknai sebagai tindakan penutur untuk (i)

meningkatkan daya tarik bagi lawan tutur,

(ii) memberikan dukungan, (iii)

menunjukkan keterlibatan interpersonal, (iv)

menunjukkan kesalahpahaman, dan (v)

memperoleh persetujuan atau keserasian

dengan lawan tutur. Konvergensi dapat

terjadi secara positif ketika penutur

bertindak dalam gaya yang mirip dengan

lawan tuturnya. Konvergensi juga dapat

bersifat negatif jika dilakukan untuk

mempermalukan, menggoda, atau

merendahkan.

Selanjutnya, divergensi didefinisikan

oleh Littlejohn dan Foss (2008:153) sebagai

strategi yang digunakan penutur untuk

Page 5: BAHASA DI LINTAS BATAS: KAJIAN AKOMODASI KOMUNIKASI

Bahasa di Lintas Batas …. (Iyanatusshalihah & Retno H.)

33

menunjukkan ketaksamaan tuturan dan

perbedaan nonverbal antara penutur dan

lawan tuturnya. Divergensi juga dapat

dianggap sebagai taktik pembedaan

interkelompok yang digunakan oleh

seseorang untuk mencari identitas sosial

yang positif. Divergensi adalah komunikasi

yang menjauh karena penutur menunjukkan

perbedaannya kepada lawan tutur

Divergensi terjadi ketika seorang penutur

berusaha menunjukkan perbedaan-perbedaan

saat berkomunikasi, seperti gaya bahasa,

jeda bicara, bahasa, tatapan mata, dan

lainnya. Divergensi seringkali terjadi ketika

ditemukan perbedaan peran yang jelas dalam

komunikasi, misalnya komunikasi dokter

dan pasien, guru dan murid. Menurut West

dan Turner (2008, hlm. 227), terdapat

beberapa alasan orang melakukan

divergensi. Salah satunya adalah untuk

mempertahankan identitas sosial mereka

satu sama lain dalam rangka ingin selalu

mempertahankan budayanya sendiri di

hadapan lawan tutur ketika berkomunikasi.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

deskriptif. Sudaryana (2017) meyebutkan

penelitian deskriptif sebagai penelitian yang

menganalisis dan menyajikan fakta secara

sistematis sehingga dapat lebih mudah untuk

dipahami dan disimpulkan. Penelitian

deskriptif dengan pendekatan secara

kuantitatif bertujuan untuk mendeskripsikan

atau menjelaskan suatu fenomena yang

terjadi dalam bentuk angka-angka yang

bermakna.

Populasi dalam penelitian ini adalah

masyarakat yang tinggal di kawasan

perbatasan RI dengan Timor Leste, yaitu di

Dusun Metamauk, Transmetamauk, dan

Mahkota Biru, Desa Alas Selatan,

Kecamatan Kobalima Timur, Kabupaten

Malaka, Nusa Tenggara Timur. Sampel

penelitian berjumlah 108 orang yang terdiri

atas dua kelompok masyarakat, yaitu

kelompok masyarakat asli dan kelompok

masyarakat pendatang yang telah menetap di

Alas Selatan. Adapun penentuan responden

dilakukan secara acak dengan

memperhatikan kriteria tertentu, seperti jenis

kelamin, usia, tingkat pendidikan, kelompok

etnis, dan bahasa daerah responden.

Pengumpulan data dalam penelitian ini

dilakukan dengan instrumen berupa

kuesioner yang dilengkapi dengan

wawancara. Kuesioner dan wawancara

digunakan untuk menjaring informasi

tentang sikap, penggunaan bahasa, dan

akomodasi bahasa responden. Kuesioner

terdiri atas 46 butir pernyataan dan 6 butir

pertanyaan terbuka. Setiap butir pernyataan

diberikan lima kategori jawaban, yaitu

sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak

setuju, dan sangat tidak setuju.

Pengolahan data dilakukan secara

bertahap melalui tabulasi dan penghitungan

indeks terhadap jawaban dua kelompok

responden. Indeks diperoleh dengan

menggunakan skala Likert untuk mengetahui

persentase interpretasi responden terhadap

butir pernyataan. Selanjutnya, hasil indeks

dikategorikan ke dalam skala pemeringkatan

(rating scale) yang terdiri atas lima skala,

yaitu 0–20, 21–40, 41–60, 61–80, dan 81–

100. Adapun kategori dari lima skala

berdasarkan hasil penghitungan indeks

sebagai berikut. Tabel 1

Skala Pemeringkatan

Indeks Kategori

0—20 Sangat Tidak Setuju

21—40 Tidak Setuju

41—60 Ragu-Ragu

61—80 Setuju

81—100 Sangat Setuju

PEMBAHASAN

Pembahasan ini diuraikan

berdasarkan dua subbab pembahasan.

Subbab pertama mengenai bahasa di

kawasan perbatasan Kabupaten Malaka dan

subbab kedua membahas akomodasi

komunikasi masyarakat Alas Selatan.

Page 6: BAHASA DI LINTAS BATAS: KAJIAN AKOMODASI KOMUNIKASI

Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 29—41

34

Bahasa di Kawasan Perbatasan Kabupaten

Malaka

Kawasan perbatasan menurut

Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008

tentang Wilayah Negara adalah bagian dari

wilayah negara yang terletak pada sisi dalam

sepanjang batas wilayah Indonesia dengan

negara lain, dalam hal batas wilayah negara

di darat, kawasan perbatasan berada di

kecamatan. Dalam laman resmi Pemerintah

Provinsi Nusa Tenggara Timur disebutkan

bahwa kawasan perbatasan antarnegara di

wilayah Provinsi NTT meliputi 10

kecamatan perbatasan darat dan 5 kecamatan

perbatasan laut sebagaimana pada tabel 1.

Tabel 2

Kawasan Perbatasan di Provinsi NTT

Kabupaten Kecamatan

Dar

at Belu Malaka Timur

Rehaat

Lakmanen Tasifeto Timur

Tasifeto Barat

Kobalima

Timor

Tengah

Utara

Insana Utara

Miomaffo Timur

Miomaffo Barat

Kupang Amfoang Utara L

Lau

t Kupang Amfoang Utara

Belu Tasifeto Barat Kobalima

Timor Tengah

Utara

Insana Utara

Alor Alor Barat Daya

(Sumber: www.nttprov.go.id)

Perbatasan darat di Timor Barat

dengan Republik Demokratik Timor Leste

(RDTL) meliputi tiga wilayah kabupaten,

yaitu Kabupaten Belu sepanjang 149,9 Km,

dari Motaain di utara sampai Motamasin di

selatan. Perbatasan darat pada wilayah

enclave Ambenu dengan Kabupaten Kupang

sepanjang 15,2 Km dan dengan Kabupaten

Timor Tengah Utara sepanjang 114,9 Km.

Total garis perbatasan darat di Kabupaten

Belu, Timor Tengah Utara dan Kupang

adalah sepanjang 268,8 Km.

Susanti (tt:208) menyebutkan bahwa di

sepanjang perbatasan di Kabupaten Belu

terdapat tujuh titik pintu pelintas batas dan

titik pos pengamanan bersama, yaitu

Motaain, Motamasin, Nunura, Turiscain,

Dilomil, Lakmars, dan Laktutus. Selain itu,

hampir semua perbatasan darat RI-RDTL

adalah sungai. Di antara sungai yang

berbatasan langsung dengan daratan utama

Timor Leste adalah sungai Aplal, Malibaka,

Baukama, dan Motamasin.

Gambar 1

Peta Perbatasan Darat RI-RDTL

Kawasan perbatasan yang menjadi

lokasi penelitian ini adalah Kabupaten

Malaka, yakni di Desa Alas Selatan,

Kecamatan Kobalima Timur. Menurut data

BPS Kabupaten Belu (2019), Kabupaten

Malaka merupakan pemekaran dari

Kabupaten Belu, terletak pada 124°--88°25

bujur timur dan 9°--10,26° lintang selatan.

Kabupaten Malaka berdiri pada tanggal 11

Januari 2013 berdasarkan Undang-Undang

Nomor 13 tahun 2013 dengan Betun sebagai

ibu kota kabupaten. Malaka memiliki

wilayah seluas 1.160,63 km² yang terdiri

atas 12 kecamatan, yaitu Wewilku, Malaka

Barat, Weliman, Rinhat, Io Kufeu, Sasita

Mean, Malaka Tengah, Botin Leobele, Iaen

Manen, Malaka Timur, Kobalima, dan

Kobalima Timur.

Desa Alas Selatan adalah salah satu

dari empat desa yang masuk wilayah

administrasi Kecamatan Kobalima Timur.

Desa ini terletak 500 meter di atas

permukaan laut dengan luas wilayah sekitar

Page 7: BAHASA DI LINTAS BATAS: KAJIAN AKOMODASI KOMUNIKASI

Bahasa di Lintas Batas …. (Iyanatusshalihah & Retno H.)

35

30,60 km2; terdiri atas 12 dusun (data BPS

Kabupaten Belu, 2019). Menurut data Ditjen

PPMD Kemendesa, jumlah penduduk Desa

Alas Selatan adalah 2.744 jiwa yang terdiri

atas 657 kepala keluarga. Desa Alas Selatan

berbatasan langsung dengan Timor Leste,

yakni berbatasan dengan daerah Salele dan

Suai, Distrik Covalima (lihat tabel 2). Di

desa ini terdapat pos lintas batas Motamasin

(Metamauk-Salele) yang merupakan pintu

perbatasan paling selatan antara Indonesia

dengan Timor Leste. Perbatasan ini diapit

gunung dan hanya dipisahkan sungai kecil. Gambar 2

Pos Lintas Batas RI-RDTL

Budiarta (2013:4) menyebutkan bahwa

di Kabupaten Malaka, terdapat empat suku

dengan empat bahasa yang berbeda.

Keempat suku dan bahasa tersebut adalah

(1) suku Tetun yang menuturkan bahasa

Tetun, (2) suku Bunak atau Marae yang

menuturkan bahasa Bunak, (3) suku Dawan

yang menuturkan bahasa Dawan, dan (4)

suku Kemak yang menuturkan bahasa

Kemak. Penduduk Kabupaten Malaka

sebagian besar berasal dari suku Tetun yang

menggunakan bahasa Tetun.

Bahasa Tetun atau Tetum merupakan

bahasa pergaulan sehari-hari di wilayah

Kabupaten Belu, termasuk Kabupaten

Malaka, dan berkedudukan sebagai bahasa

nasional di Republik Demokratik Timor

Leste. Bahasa ini termasuk anggota

subkelompok Ambon-Timor yang tergolong

bahasa Austronesia bagian tengah (Central

AN). Manhitu (2007) menyebutkan bahwa

bahasa Tetun digunakan di tiga wilayah,

yaitu (1) wilayah dari Selat Ombai hingga

Laut Timor dan termasuk Atapupu dan

Atambua di Timor Barat, Balibo, Fatumean,

Fohoren dan Suai di Timor Timur; (2)

daerah pantai selatan sekitar Alas, Luca dan

Viqueque, termasuk dua kerajaan tua

Samoro dan Soibada; (3) Kota Dili dan

sekitarnya.

Bahasa Tetun memiliki beberapa

dialek sebagai berikut.

(1) Tetun Loos (Tetun Murni), digunakan

oleh para penutur di sekitar Soibada

dan Kerajaan Samoro serta di

sepanjang pesisir antara Alas dan

Luca.

(2) Tetun Terik, digunakan di wilayah

barat laut dan timur laut Timor Timur

dan Timor Barat. Dialek ini sangat

dekat dengan Tetun Belu. Sebagian

besar ahli bahasa-bahasa Timor

berpendapat bahwa Tetun Terik dan

Tetun Loos adalah dialek yang satu

dan sama.

(3) Tetun Belu, digunakan di wilayah

barat daya Timor Timur dan tenggara

Timor Barat.

(4) Tetun Prasa atau Tetun Dili, digunakan

di Dili. Dialek ini distandardisasi

menjadi bahasa resmi di Republik

Demokratik Timor Leste.

Bahasa Tetun yang digunakan di

wilayah Kabupaten Belu (Malaka) dan

RDTL pada umumnya sama, tetapi yang

membedakan adalah adanya unsur-unsur

serapan dari bahasa lain. Bahasa Tetun di

RDTL banyak dipengaruhi bahasa Portugis,

sedangkan bahasa Tetun di wilayah

Kabupaten Belu dipengaruhi oleh bahasa

Indonesia.

Akomodasi Komunikasi Masyarakat Alas

Selatan

Akomodasi komunikasi masyarakat

diuraikan berdasarkan komposisi responden,

sikap bahasa masyarakat perbatasan RI-

RDTL, dan tingkat akomodasi bahasa

masyarakat. Berikut uraian mengenai hal

tersebut.

Page 8: BAHASA DI LINTAS BATAS: KAJIAN AKOMODASI KOMUNIKASI

Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 29—41

36

A. Komposisi Responden

Responden dalam kajian ini berjumlah

108 orang yang dapat dikelompokkan

berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat

pendidikan, kelompok etnis, dan bahasa

daerahnya. Berdasarkan jenis kelamin,

komposisi responden lebih didominasi oleh

laki-laki sebanyak 51% (55 orang) dan

perempuan sebanyak 49% (53 orang).

Responden yang berusia lebih dari 51 tahun

berjumlah 31 orang dari keseluruhan 108

responden atau sebesar 29%, sedangkan

responden yang berusia kurang dari 25 tahun

berjumlah 37 orang atau sebesar 34%.

Sementara itu, responden yang berusia di

antara 25 dan 50 tahun berjumlah 40 orang

atau sebesar 37%.

Berdasarkan tingkat pendidikan,

responden yang berpendidikan tinggi

berjumlah paling sedikit, yaitu 5,6%, diikuti

yang berpendidikan dasar sebesar 45,4%,

dan berpendidikan menengah sebesar 49,1%.

Berkenaan dengan jumlah kelompok etnis

yang tinggal di sekitar rumah responden,

sebanyak 18,5% responden memiliki

tetangga yang berasal dari satu atau dua

kelompok etnis yang berbeda; sebanyak

40,7% responden berada dalam lingkungan

dengan tiga sampai lima kelompok etnis

berbeda; dan 28,7% responden tinggal di

lingkungan dengan lebih dari lima kelompok

etnis berbeda.

Adapun komposisi responden

berdasarkan bahasa daerah yang dikuasai

dan dianggap penting perannya dalam

pergaulan responden dapat dilihat pada

grafik 1 berikut ini.

Grafik 1

Komposisi Responden menurut Bahasa Ibu yang

Dikuasai

Bahasa A merupakan bahasa ibu

responden, sedangkan bahasa B dan C

adalah bahasa daerah lain yang dianggap

sangat penting dalam pergaulan responden.

Berdasarkan grafik 1 di atas, dapat dilihat

bahwa sebagian besar responden berbahasa

Tetun Terik (76%) sebagai bahasa ibu atau

bahasa kelompok etnis (A), diikuti oleh

responden yang berbahasa Tetun Porto

(16%), berbahasa Bunak (7%), berbahasa

Mambae (6%), dan yang paling kecil

persentasenya yang berbahasa Kemak

(0,9%). Bahasa Tetun Terik merupakan

bahasa etnis di Kabupaten Malaka (Belu),

sedangkan bahasa Tetun Porto adalah bahasa

etnis di Timor Leste. Responden yang

berbahasa ibu Tetun Porto dan bahasa

Mambae merupakan eks pengungsi dari

Timor Leste yang menetap di Desa Alas

Selatan. Demikian pula dengan responden

yang berbahasa ibu, yaitu bahasa Bunak dan

Kemak. Mereka tinggal menetap di Alas

Selatan salah satunya karena alasan

perkawinan dengan penduduk desa tersebut.

B. Sikap Bahasa Masyarakat Alas Selatan

Sikap adalah kepercayaan, penilaian,

dan pandangan terhadap bahasa, penutur

atau masyarakatnya, serta kecenderungan

untuk berperilaku terhadap bahasa, penutur

atau masyarakat tersebut dengan cara-cara

tertentu (Siregar dkk., 1998:10). Sikap

bahasa berkaitan dengan perasaan penutur

terhadap bahasa. Crystal (2008:266)

Page 9: BAHASA DI LINTAS BATAS: KAJIAN AKOMODASI KOMUNIKASI

Bahasa di Lintas Batas …. (Iyanatusshalihah & Retno H.)

37

menyatakan sikap bahasa adalah ”the

feelings people have about their own

language or the language of others”. Fasold

(1984) dalam Masruddin (2013:169)

menyatakan bahwa sikap terhadap bahasa

seringkali merupakan refleksi dari sikap

terhadap anggota masyarakat tutur bahasa

itu. Reaksi orang terhadap variasi bahasa

menunjukkan persepsi mereka tentang

penutur bahasa itu, yakni latar belakang

sosial, politik, dan ekonominya.

Tulisan ini membahas sikap

masyarakat Desa Alas Selatan terhadap

bahasa kelompok etnisnya dan juga sikap

masyarakat terhadap bahasa daerah lain yang

digunakan di Desa Alas Selatan. Masyarakat

Alas Selatan yang dimaksudkan adalah yang

tinggal di dusun Transmetamauk,

Metamauk, dan Mahkota Biru.

Transmetamauk merupakan wilayah eks

pengungsi dari Timor Leste yang dihuni oleh

sekitar 143 kepala keluarga. Dusun ini

sebelumnya masuk ke wilayah dusun

Metamauk, tetapi pada tahun 2013

Metamauk mengalami pemekaran menjadi

dua dusun, yaitu Metamauk dan

Transmetamauk. Dusun Transmetamauk

dibangun terutama untuk masyarakat Timor

Leste yang memilih tetap sebagai penduduk

Indonesia. Masyarakat dusun ini

berkomunikasi menggunakan bahasa Tetun

Porto, di samping bahasa Mambae dan Tetun

Terik. Sementara itu, masyarakat Metamauk

dan Mahkota Biru merupakan masyarakat

lokal yang berkomunikasi menggunakan

bahasa Tetun Terik.

Sebanyak 76 orang dari 108 responden

merupakan penutur bahasa Tetun Terik, 17

orang penutur Tetun Porto, 6 orang penutur

bahasa Mambae, 8 orang penutur bahasa

Bunak, dan 1 orang penutur bahasa Kemak.

Bahasa-bahasa tersebut merupakan bahasa

ibu atau kelompok etnis responden. Dalam

kajian ini, indeks persentase interpretasi

responden terhadap butir tanyaan yang

berkenaan dengan sikap terhadap bahasa ibu

mereka terletak pada skala 61–80.

Sementara itu, indeks persentase sikap

terhadap bahasa daerah lain (bahasa A dan

bahasa B) berkisar pada skala 0–40. Indeks

persentase sikap bahasa masyarakat Desa

Alas Selatan dapat dilihat pada grafik 2

berikut.

Grafik 2

Sikap Bahasa Masyarakat Alas Selatan

Masyarakat Desa Alas Selatan dapat

dikatakan cenderung memiliki sikap yang

positif terhadap bahasa ibu atau bahasa

kelompok etnisnya. Hampir seluruh

responden menyatakan mampu berbahasa

kelompok etnisnya dengan baik. Mereka

cenderung memandang bahwa bahasa itu

mengandung banyak nilai luhur dan

meyakini bahwa bahasa itu dapat digunakan

untuk mengekpresikan seluruh rasa dan

pikiran penuturnya. Meskipun demikian,

sebagian responden menyatakan tidak setuju

bahwa bahasa ibu membantu mereka dalam

memperoleh pekerjaan dan memperluas

pergaulan serta memudahkannya dalam

menambah informasi dan pengetahuan.

Menurut pengakuan responden, bahasa

daerah tidak dapat memperluas pergaulan.

Bahasa daerah justru membatasi pergaulan

karena jika hanya menguasai bahasa daerah,

pergaulan akan terbatas pada lingkungan

penutur yang menguasai bahasa itu saja.

Sikap responden yang cenderung

positif terhadap bahasa ibu yang dikuasainya

berbeda dengan sikap responden terhadap

bahasa lain. Jika dilihat dari kemampuan

responden berkomunikasi dengan bahasa

daerah lain yang ada di Desa Alas Selatan,

dapat dikatakan sikap responden cenderung

negatif terhadap bahasa itu. Dari 108 orang

Page 10: BAHASA DI LINTAS BATAS: KAJIAN AKOMODASI KOMUNIKASI

Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 29—41

38

76,975

30864

22,209

87654

6,3756

61376

0 50 100

Bahasa Etnis

Bahasa Lain A

Bahasa Lain B

responden, hanya 34 orang yang menyatakan

memiliki kemampuan berbahasa selain

bahasa kelompok etnisnya. Akan tetapi, dari

34 orang tersebut hanya 27 orang yang

menyatakan mampu berbahasa daerah lain

dengan baik.

Hampir seluruh responden yang

menyatakan mampu berbahasa selain bahasa

kelompok etnisnya merupakan penutur yang

bahasa etnisnya adalah Tetun Porto dan

sebagian lainnya berbahasa etnis Mambae

dan Bunak. Sementara bahasa daerah lain

yang mereka kuasai adalah bahasa Tetun

Terik yang merupakan bahasa kelompok

etnis masyarakat Alas Selatan.

Sebagian besar dari 34 responden

cenderung memiliki sikap positif terhadap

bahasa daerah lain yang ada di Desa Alas

Selatan. Sebagaimana terhadap bahasa

kelompok etnisnya, mereka memandang

bahasa daerah lain yang dikuasainya itu

mengadung nilai-nilai luhur dan dapat

digunakan untuk mengekspresikan seluruh

rasa dan pikiran. Selain itu, bahasa tersebut

memudahkan mereka dalam menambah

informasi dan pengetahuan.

C. Tingkat Akomodasi Bahasa

Masyarakat Alas Selatan

Tingkat akomodasi masyarakat

menunjukkan seberapa besar penerimaan

terhadap penutur bahasa tertentu atau bahasa

tertentu itu sendiri oleh kelompok penutur

bahasa daerah lain. Tingkat akomodasi ini

dihitung dengan menilai seberapa besar

penerimaan unsur bahasa tertentu diterima

oleh penutur bahasa daerah lain. Semakin

banyak penggunaan unsur bahasa daerah lain

oleh penutur bahasa tertentu, semakin tinggi

akomodasi penutur bahasa itu terhadap

bahasa yang lain (Sugiyono, 2011, hlm. 82).

Dalam kajian ini, tingkat akomodasi

komunikasi masyarakat Desa Alas Selatan

dilihat dari penggunaan bahasanya. Dari

lima bahasa yang merupakan bahasa ibu

responden, bahasa Tetun Terik merupakan

bahasa mayoritas responden. Bahasa ini

dapat dikatakan sebagai bahasa kelompok

etnis masyarakat Desa Alas Selatan,

sedangkan empat bahasa daerah lainnya

adalah bahasa pendatang. Indeks persentase

penggunaan bahasa ibu masyarakat Alas

Selatan berkisar 77,0% yang menunjukkan

kecenderungan penggunaan bahasa ibu

dalam komunikasi sehari-hari dengan

kelompok penuturnya. Adapun indeks

persentase penggunaan bahasa daerah lain

sekitar 22,2% (bahasa A) dan 6,4% (bahasa

B). Artinya, bahasa daerah lain cenderung

kurang digunakan dalam komunikasi sehari-

hari. Intensitas penggunaannya sangat kecil

jika dibandingkan dengan penggunaan

bahasa ibu. Bahasa daerah lain cenderung

digunakan ketika berbicara dengan

kelompok penutur bahasa itu saja.

Grafik 3

Penggunaan Bahasa oleh Masyarakat Alas Selatan

Bahasa ibu cenderung digunakan

dalam komunikasi sehari-hari dengan

kelompok penutur bahasa itu. Hanya

sebagian kecil responden yang menyatakan

tidak menggunakan bahasa ibunya untuk

berkomunikasi sehari-hari. Responden yang

menyatakan hal tersebut ada yang berbahasa

ibu Bunak (2 orang), Tetun Porto (2 orang),

dan Mambae (1 orang). Terlihat di sini

bahwa responden yang tidak menggunakan

bahasa ibunya dalam komunikasi sehari-hari

adalah responden yang bukan penutur jati

bahasa daerah Alas Selatan, yaitu bahasa

Tetun Terik.

Salah satu responden yang berbahasa

ibu Tetun Terik menyatakan bahwa mereka

menggunakan bahasa Tetun Terik ketika

berbicara, baik dengan masyarakat asli Alas

Page 11: BAHASA DI LINTAS BATAS: KAJIAN AKOMODASI KOMUNIKASI

Bahasa di Lintas Batas …. (Iyanatusshalihah & Retno H.)

39

Selatan maupun dengan masyarakat

pendatang dari Timor Leste. Menurutnya,

masyarakat Alas Selatan yang mengungsi

dari Timor Leste dapat menuturkan bahasa

Tetun Terik dengan baik. Para pengungsi

inilah yang beradaptasi dengan masyarakat

setempat dengan menguasai bahasa Tetun

Terik. Hal ini sejalan dengan yang

dikemukakan oleh salah satu responden yang

berbahasa ibu Tetun Porto. Ia berbicara

dengan Tetun Porto atau Mambae dengan

sesama masyarakat Indonesia keturunan

Timor Leste, sedangkan dengan masyarakat

lokal dengan bahasa Tetun Terik. 1 Penutur

Tetun Terik dan Tetun Portu dapat saling

memahami ketika berbicara dengan

bahasanya masing-masing. Meskipun

demikian, ada kosakata Tetun Porto yang

menurut penutur Tetun Terik tidak mereka

pahami terutama kosakata yang merupakan

pengaruh dari bahasa Portugis.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya

bahwa dari 108 responden, 74 orang

responden hanya menguasai bahasa ibu atau

kelompok etnisnya dan 34 responden

mengaku dapat berbahasa selain bahasa ibu.

Hampir seluruh responden yang menyatakan

hanya menguasai bahasa ibunya merupakan

penutur bahasa Tetun Terik, sedangkan yang

menguasai bahasa daerah lain sebagian besar

merupakan penutur bahasa Tetun Porto.

Ada beberapa alasan responden

mempelajari dan menggunakan bahasa di

luar bahasa ibunya, yaitu (i) bahasa itu

merupakan bahasa ibu dari pasangannya

1 Bahasa Tetun Terik (TT) dan Tetun Porto (TP)

dapat dikatakan satu bahasa dengan dialek yang

berbeda karena jika 400 kosakata dasar Swadesh

kedua bahasa tersebut dibandingkan, ditemukan banyak persamaan kosakata. Misalnya kata ayah

dalam TT dan TP sama-sama disebut aman; kata

bintang dalam TT disebut fitun dan dalam TP disebut

pitun (perbedaan di bunyi pertama f dan p); kata

bengkak dalam TT disebut bubu? dan dalam TP

disebut bubu (perbedaan pada bunyi akhir glotal).

Dalam hal bilangan 1—5, bahasa Mambae, Tetun

Terik, dan Tetun Porto hamper memiliki penyebutan

yang sama. Tetun Terik dan Tetun Portu menyebut

1—5 dengan ida, ruwa, tOlu, hat, lima sedangkan

Mambae menyebutnya id, ruwa, tel, pat, lim.

(suami/istri), (ii) bahasa itu digunakan oleh

orang lain, dan (iii) bahasa itu memudahkan

dalam menambah informasi dan

pengetahuan. Dalam hal masyarakat Alas

Selatan, baik masyarakat lokal maupun

pendatang dari Timor Leste, berusaha

mempelajari bahasa masing-masing untuk

menciptakan suasana masyarakat yang

harmonis di samping bahasa itu merupakan

bahasa ibu pasangannya. Meskipun

mayoritas masyarakat lokal tidak menguasai

dengan baik bahasa masyarakat pendatang

dari Timor Leste, mereka berusaha untuk

sekadar menyapa dengan bahasa Tetun Porto

atau Mambae. Sementara itu, masyarakat

pendatang dari Timor Leste beradaptasi

dengan menggunakan bahasa Tetun Terik

untuk berkomunikasi dengan masyarakat

lokal. Berikut beberapa contoh unsur bahasa

daerah lain (bahasa A dan B), berupa

kosakata dan kalimat sederhana, yang

digunakan oleh responden.

Tabel 3

Penggunaan Unsur Bahasa daerah lain

No. Unsur Bahasa Arti

1 amina ibu

2 amama bapak

3 ana anak

4 riu (haris) mandi

5 boe (toba) tidur

6 hemu minum

7 katana parang

8 uma rumah

9 la bae mau ke mana?

10 um hata mari makan

11 mai tur mari duduk

12 mai hemu mari minum

13 ami lao lai kami jalan dulu

14 ami ka lai kami makan dulu

15 au na boe saya mau tidur

16 au ian leka saya baik-baik saja

17 au naha la iskola saya mau ke sekolah

18 ama atu ba nebe? mama mau ke mana?

19 o ba nebe? (o na la bae?)

kamu ke mana?

20 au na la marao (a

tu ba toos)

saya mau ke kebun

Page 12: BAHASA DI LINTAS BATAS: KAJIAN AKOMODASI KOMUNIKASI

Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 29—41

40

Adapun unsur-unsur bahasa daerah lain

seperti peribahasa dan ungkapan cenderung

tidak digunakan oleh responden.

Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa masyarakat perbatasan RI-RDTL,

tepatnya di Desa Alas Selatan cenderung

menggunakan bahasa Tetun Terik sebagai

bahasa ibu ketika berbicara dengan

kelompok etnisnya. Masyarakat lokal

berbicara dengan bahasa ibunya, baik ketika

berkomunikasi dengan kelompok etnisnya

maupun dengan eks pengungsi dari Timor

Leste yang berbahasa Tetun Porto dan

Mambae. Mereka cenderung tidak

menggunakan bahasa daerah lain dengan eks

pengungsi, hanya sesekali menggunakan

unsur bahasa eks pengungsi. Adapun eks

pengungsi dari Timor Leste menggunakan

bahasa ibunya ketika berkomunikasi dengan

kelompok etnisnya dan menggunakan

bahasa Tetun Terik dengan masyarakat

lokal. Hal ini dapat dipahami karena sebagai

masyarakat pendatang, eks pengungsi dari

Timor Leste harus dapat menyesuaikan diri

dengan masyarakat lokal sehingga dapat

diterima dengan baik.

PENUTUP

Akomodatif tidaknya suatu masyarakat

tutur salah satunya dapat dipengaruhi oleh

sikap penutur terhadap bahasa tertentu.

Masyarakat lokal di perbatasan RI-RTDL

cenderung memiliki sikap yang negatif

terhadap bahasa daerah lain. Hal ini dapat

dilihat dari segi penguasaan dan penggunaan

bahasa bahasa daerah lain dalam komunikasi

sehari-hari. Masyarakat lokal Alas Selatan

cenderung tidak menggunakan bahasa daerah

lain dalam komunikasi sehari-hari, baik

dengan sesama kelompok etnisnya maupun

dengan penutur bahasa daerah lain. Jumlah

unsur bahasa daerah lain yang digunakan

ataupun dikuasai sangat terbatas, hanya

ungkapan sapaan sehari-hari.

Berbeda halnya dengan masyarakat

Indonesia keturunan RDTL di Desa Alas

Selatan (masyarakat pendatang) yang lebih

berusaha mempelajari bahasa lokal untuk

dapat menjalin hubungan yang baik dengan

masyarakat lokal. Masyarakat pendatang dari

Timor Leste memiliki kecenderungan untuk

beradaptasi yang tinggi dengan masyarakat

lokal. Hal ini dilakukan agar masyarakat

pendatang dari Timor Leste memperoleh

pengakuan dari masyarakat lokal. Adaptasi

dilakukan dengan mempelajari dan

menggunakan bahasa masyarakat lokal untuk

dapat berkomunikasi dengan mereka. Dengan

demikian, masyarakat pendatang dari Timor

Leste menunjukkan sikap yang lebih

akomodatif dalam berbahasa.

DAFTAR PUSTAKA

Adyana, Sulis dan Fathur Rokhman. (2016).

Akomodasi Bahasa pada Masyarakat

Kota Pekalongan Etnis Jawa-

Tionghoa-Arab dalam Ranah

Perdagangan. Jurnal Seloka, 5(1),

88—95.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Belu.

(2019). Kecamatan Kobalima Timur

dalam Angka 2019. Belu: BPS.

_____(2019). Kabupaten Malaka dalam

Angka 2019. Belu: BPS.

Budiarta, I Wayan. (2013). Tipologi

Sintaksis Bahasa Kemak. Disertasi.

Universitas Udayana Denpasar, Bali.

Coupland, Niokolas. (2010). Accomodation

Theory. Dalam Jurgen Jasper et.al.

(ed.), Society and Language Use:

Handbook of Pragmatics Highlight.

Amsterdam: John Benjamin B.V.

Crystal, David. (2008). A Dictionary of

Linguistics and Phonetics. Oxford:

Blackwell Publisher.

Dhanawaty, Ni Made. (2004). Teori

Akomodasi dalam Penelitian

Dialektologi. Jurnal Linguistik

Indonesia, Vol. 22 No. 1, 1—16.

Efendi, Dedy Trio. (2018). Komunikasi

Antarbudaya Etnis Jawa dengan Etnis

Banjar di Desa Teluk Dalam,

Kecamatan Tenggarong Seberang.

eJurnal Ilmu Komunikasi, 6(1), 83—

97.

Page 13: BAHASA DI LINTAS BATAS: KAJIAN AKOMODASI KOMUNIKASI

Bahasa di Lintas Batas …. (Iyanatusshalihah & Retno H.)

41

Giles, Howard et.al. (1991). Context of

Accomodation. Cambridge: Cambridge

University Press.

Littlejohn, Stephen W. & Karen A. Foss.

(2008). Theories of Human

Communication. 9th Edition. Belmont:

Thomson Wadsworth.

Manhitu, Yohanes. (2007). Kamus

Indonesia-Tetun, Tetun-Indonesia.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Masruddin. (2013). Influnced Factors toward

the Language Shift Phenomenon of

Wotunese. Jurnal Kajian Linguistik

dan Sastra, Volume 25 Nomor 2,

162—192.

Matthews, P.H. (1997). The Concise Oxford

Dictionary of Linguistics. Oxford:

Oxford University Press.

Siregar, Bahren Umar dkk. (1998).

Pemertahanan Bahasa dan Sikap

Bahasa: Kasus Masyarakat Bilingual

di Medan. Jakarta: Pusat Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa.

Sugiyono dkk. (2011). Akomodasi Bahasa

Masyarakat Perkotaan di Indonesia.

Jakarta: Badan Pengembangan dan

Pembinaan Bahasa.

Susanti, Antik Ari. (2020, 21 Februari).

Kehadiran Negara dalam Pengelolaan

Sumber Daya Air di Perbatasan Negara

Republik Indonesia-Republik

Demokratik Timor Leste (RI_RDTL).

Diperoleh dari

https://ejournal.uksw.edu/.

West, Richard, dan Lynn H. Turner. (2008).

Pengantar Teori Komunikasi: Analisis

dan Aplikasi. Jakarta: Salemba

Humanika.

Ylänne, Virpi. (2008). Communication

Accomodation Theory. Dalam Helen

Spencer-Oatey (ed.), Culturally

Speaking: Culture, Communication,

and Politeness Theory (hlm. 164–186).

London: Continuum.

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.

(2020, 19 Februari). Profil Perbatasan.

Diperoleh dari

http://nttprov.go.id/ntt/profil-

perbatasan/ Direktorat Jenderal Pembangunan dan

Pemberdayaan Masyarakat Desa

Kementerian Desa Pembangunan

Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi

Republik Indonsia (2020, 21 Februari).

Ditjen PPMD Mendukung Kampung

Sejahtera di Kabupaten Malaka.

Diperoleh dari

https://ditjenppmd.kemendesa.go.id/ind

ex.php/view/detil/91/ditjen-ppmd-

mendukung-kampung-sejahtera-di-

kabupaten-malaka

Page 14: BAHASA DI LINTAS BATAS: KAJIAN AKOMODASI KOMUNIKASI