bahasa bahasa

14
1 HAKEKAT BAHASA DALAM HERMENEUTIKA WILHELM DILTHEY Makalah disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Filsafat Bahasa Dosen Pengampu: Dr. Muhammad Pribadi, M.A. Oleh: Nur Nissa Nettiyawati 13.2041.0213 KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM SEKOLAH PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2014

Upload: nissa-de-saussure

Post on 31-Dec-2015

190 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

HAKEKAT BAHASA DALAM HERMENEUTIKA WILHELM DILTHEY

TRANSCRIPT

Page 1: BAHASA BAHASA

1

HAKEKAT BAHASA DALAM HERMENEUTIKA WILHELM DILTHEY

Makalah disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Filsafat Bahasa

Dosen Pengampu:

Dr. Muhammad Pribadi, M.A.

Oleh:

Nur Nissa Nettiyawati

13.2041.0213

KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM

SEKOLAH PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2014

Page 2: BAHASA BAHASA

2

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembahasan kali ini, kami mencoba menjelaskan mengenai hakekat

bahasa dalam hermeneutika Wilhelm Dilthey. Berbicara mengenai hakekat

bahasa, kita akan dibawa pada pembahasan mengenai filsafat. Bahasa pada

hakikatnya merupakan suatu sistem simbol yang tidak hanya merupakan

urutan bunyi-bunyi secara empiris, malainkan memiliki makna yang sifatnya

nonempiris. Dari pemaparan di atas, dapat kami jelaskan bahwa bahasa

merupakan sistem simbol yang memiliki makna di dalamnya. Selain itu

bahasa juga merupakan alat komunikasi antara manusia untuk menuangkan

emosi di antara mereka dan untuk meluapkan pikiran manusia dalam

kehidupan sehari-hari1. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, bahasa adalah

sistem lambing bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat ucap) yang bersifat

sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi

untuk melahirkan perasaan dan pikiran2.

Setiap kalimat yang diucapkan dalam menyampaikan keinginannya

kadang masih menyimpan makna yang rancu. Hal ini disebabkan pemikiran

manusia yang berbeda, dan manusia merupakan makhluk yang berakal yang

mana akal manusia selalu berkembang. Dengan begitu perbedaan diantara

mereka merupakan suatu yang wajar-wajar saja. Untuk menghadapi masalah

tersebut, sebuah pemahaman terhadap makna muncul dari diri manusia.

Seiring dengan berkembangnya waktu, pengetahuan mengenai pemahaman

terhadap makna menjadi sebuah kajian ilmu pengetahuan. Sering disebut

dengan kajian Hermeneutika.

Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuo yang berarti

mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata atau hermeneuein

1 Prof. Dr. Kaelan, M.S., Filsafat Bahasa Semiotik dan Hermeneutika, Paradigma,

Yogyakarta 2009, hlm : 6. 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Page 3: BAHASA BAHASA

3

yang berarti menafsirkan dan hermeneia yang berarti penafsiran. Kata Yunani

tersebut berhubungan dengan dewa Hermes, dewa dalam mitos Yunani yang

bertugas untuk menyampaikan berita dari para dewa di gunung Olympus

kepada manusia. Sedangkan dalam bahasa Latin, sosok dewa ini lebih dikenal

dengan nama Mercurius. Dewa Hermes harus mampu menginterpretasikan

atau menyadur (mengolah/mengambil) sebuah pesan ke dalam bahasa yang

digunakan dalam pendengarnya3.

Manusia menggunakan bahasa untuk menyampaikan tujuannya kepada

manusia yang lain. Setiap manusia mampu memahami makna dari kata-kata

yang disampaikan. Pemahaman merupakan proses bahasa. Memahami berarti

menginterpretasikan sesuatu. Keberadaan hermeneutika dalam bahasa

merupakan awal dari pemahaman. Pemahaman terhadap bahasa yang

disampaikan dengan meneliti dari teks-teks yang ada. Hermeneutika menjadi

sebuah sistem baru muncul jauh setelah ia dipratekkan dalam filologi dan

studi-studi kitab suci. untuk memahami sebuah teks misalnya, seseoranng

penafsir selalu memahami realitas dengan titik tolak sekarang yang sesuai

dengan data historis teks-teks tersebut. Pada pembahasan kami ini akan

mencoba mengupas hakekat bahasa dalam hermeneutika.

1.2 Rumusan Masalah

Merujuk pada latarbelakang di atas, kami paparkan beberapa rumusan

masalah sebagai berikut:

1.2.1 Apa itu bahasa dan hermeneutika?

1.2.2 Bagaimana hubungan bahasa dengan hermeneutika?

1.2.3 Bagaimana pandangan Wilhelm Dilthey tentang bahasa dalam

hermeneutika?

3 Aat Hidayat, Epistemologi Hans-Georg Gadamer: Menyelami Kedalaman Tradisi,

Menuai Kelezatan Maknal.

Page 4: BAHASA BAHASA

4

1.3 Tujuan Masalah

Dari rumusan masalah di atas, dapat kami fokuskan tujuan dari

pembahasan kali ini sebagai berikut:

1.3.1 Mengetahui apa itu bahasa dan hermeneutika.

1.3.2 Mengetahui hubungan bahasa dengan hermeneutika.

1.3.3 Mengetahui pandangan Wilhelm Dilthey tentang bahasa dalam

hermeneutika.

Page 5: BAHASA BAHASA

5

2. PEMBAHASAN

2.1 Bahasa dan hermeneutika

2.1.1 Bahasa

Bahasa merupakan alat komunikasi antara manusia untuk menuangkan

emosi di antara mereka dan untuk meluapkan pikiran manusia dalam

kehidupan sehari-hari4. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, bahasa

adalah sistem lambing bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat ucap) yang

bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai alat

komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran5.

Menurut Keraf, memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian

pertama menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota

masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.

Kedua, bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-

simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer. Lain halnya menurut

Owen, menjelaskan definisi bahasa yaitu language can be defined as a

socially shared combinations of those symbols and rule governed

combinations of those symbols (bahasa dapat didefenisikan sebagai kode

yang diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk menyampaikan

konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan kombinasi

simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan)6.

Pendapat di atas mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Tarigan,

beliau memberikan dua definisi bahasa. Pertama, bahasa adalah suatu

sistem yang sistematis, barang kali juga untuk sistem generatif. Kedua,

bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-

4 Prof. Dr. Kaelan, M.S., Filsafat Bahasa Semiotik dan Hermeneutika, Paradigma,

Yogyakarta 2009, hlm 6. 5 Kamus Besar Bahasa Indonesia.

6 Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta: Rineka

Cipta, 2010) hal 11

Page 6: BAHASA BAHASA

6

simbol arbitrer. Menurut Santoso, bahasa adalah rangkaian bunyi yang

dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar.

2.1.2 Hermeneutika

Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani,

hermeneuein, yang berarti manafsirkan. Dalam mitologi Yunani, kata ini

sering dikaitkan dengan seorang dewa yang bernama Hermes, seorang

utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan dari Jupiter untuk

manusia. Tugas menyampaikan pesan yang dilakukan Hermes juga

sekaligus tugas mengalih bahasakan pesan para dewa ke bahasa manusia.

Pengalih bahasaan bisa juga diartikan sebagai menafsirkan bahasa. Dari

sinilah istilah hermeneutika diartikan dengan pekerjaan penafsiran atau

interpretasi.

Hermeneutika dapat didevinisikan secara luas sebagai suatu teori atau

filsafat interpretasi makna. Hermeneutika juga merupakan studi

pemahaman, khususnya pemahaman teks. Kajian hermeneutika

berkembang sebagai sebuah usaha untuk menggambarkan pemahaman

teks, lebih spesifik pemahaman historis dan humanistik. Dengan demikian,

hermeneutika mencakup dalam dua fokus perhatian yang berbeda dan

saling berinteraksi, yaitu; 1) peristiwa pemahaman teks, 2) persoalan yang

mengarah mengenai apa pemahaman interpretasi itu7.

Awal mula istilah ini digunakan oleh kalangan agamawan. Melihat

hermeneutika dapat menyuguhkan makna dalam teks klasik, maka abad

ke-17 kalangan gereja menerapkan telaah hermeneutis untuk membongkar

makna teks injil. Ketika menemukan kesulitan dalam memahami bahasa

dan pesan kitab suci itu, mereka berkesimpulan bahwa kesulitan itu akan

membantu pemecahan oleh hermeneutik. Dengan begitu hermeneutik

menjadi suatu metode dalam memahami teks kitab suci.

7 Palmer Richard E., Musnur Hery., Interpretation Theory in Scheimacher, Dilthey,

Heidger dan Gadamer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar. 2005, hlm 8.

Page 7: BAHASA BAHASA

7

Menurut Carl Braathen, hermeneutika adalah ilmu yang merefleksikan

bagaimana satu kata atau satu peristiwa di masa dan kondisi yang lalu bisa

dipahami dan menjadi bermakna di masa sekarang sekaligus mengandung

aturan-aturan metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran dan

asumsi-asumsi metodologis dari aktifitas pemahaman8. Sebagai sebuah

metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai

komponen pokok dalam kegiatan penafsiran yakni teks, konteks, dan

kontekstualisasi.

Pemahaman lebih lanjut mengenai hermeneutika adalah sebagai

berikut: pertama, sebagai teknik praktis pemahaman atau penafsiran, dekat

dengan eksegegis, yakni kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu

atau kegiatan untuk mengungkapkan makna tentang sesuatu agar dapat

dipahami. Kedua, sebagai sebuah metode penafsiran tentang the conditions

of possibility sebuah penafsiran. Hal-hal apa yang dibutuhkan atau

langkah-langkah bagaimana yang harus dilakukan untuk menghindari

pemahaman yang keliru terhadap teks. Ketiga, sebagai penafsiran filsafat.

Dalam pemahaman ini, hermeneutika menyoroti secara kritis bagaimana

bekerjanya pola pemahaman manusia dan bagaimana hasil pemahaman

manusia tersebut diajukan, dibenarkan dan bahkan disanggah9. Objek

utama hermeneutika adalah teks dan teks adalah hasil atau produk praktis

berbahasa, maka antara hermeneutika dan bahasa akan terjalin hubungan

sangat dekat.

2.2 Hubungan Bahasa dengan Hermeneutika

Pada hakekatnya bahasa merupakan hal yang paling hakiki dalam

kehidupan, karena bahasa membantu manusia untuk menemukan dirinya

dalam dunia yang terus berubah ini. Akan tetapi bahasa tidak boleh

dipikirkan sebagai hal yang mengalami perubahan. Sebaliknya, bahasa

8 Mudjia Raharjo., Dasar-dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme dan Gadamerian,

Jogjakarta: ar-Ruzz Media, 2012, hlm 30. 9 Mudjia Raharjo., Dasar-dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme dan Gadamerian,

Jogjakarta: ar-Ruzz Media, 2012, hlm 32.

Page 8: BAHASA BAHASA

8

harus dipikirkan sebagai sesuatu yang memiliki tujuan di dalam dirinya10

.

Manusia sebagai pelaku penggunaan bahasa mempunyai tujuan dalam

menyampaikan keinginannya atau tujuannya. Baik itu dengan

menggunakan bahasa ibu atau bahasa umum lainnya. Bahasa memproses

sesuatu yang ada di pikiran dan hati yang kemudian dituangkan dengan

wujud kata-kata untuk disampaikan kepada pendengar, yang mana

pendengar menerima pesan-pesan lewat makna-makna dalam pembicaraan

penutur dengan baik11

.

Dalam berbahasa, seseorang memahami makna yang terkandung,

dengan memahami tersebut seseorang akan mampu menangkap keinginan

dari orang lain. Keberadaan hermeneutika dalam bahasa merupakan awal

dalam pemahaman. Dalam sejarah perkembangan awal hermeneutika yang

telah kami singgung sebelumnya, hermeneutika digunakan untuk

memahami makna yang terkandung dalam teks-teks kitab suci. kedekatan

antara hermeneutika dan bahasa tidak bisa disangkal lagi. Karena dengan

hermeneutika sebuah teks agama misalnya akan lebih mudah dipahami

oleh umatnya dari pada hanya disodorkan teks aslinya tanpa

mempertimbangkan maknanya.

2.3 Pandangan Wilhelm Dilthey terhadap Hakekat Bahasa

Sebelum kita membahas lebih jauh, kita akan sedikit mengupas siapa

gerangan Wilhelm Dilthey itu. Dari literatur yang kami dapatkan, ia adalah

seorang filosof yang lahir pada tahun 1833 di Biebrich am Rhein. Ia

merupakan seorang professor di Universitas Berlin. Perhatiannya dalam

bidang filsafat sangat banyak, semisal filsafat sistematis dan juga sejarah

filsafat. Sumbangan Dilthey yang sangat besar pada filsafat adalah

penyelidikannya tentanng kehidupan. Sehingga tidak mengherankan karya

Dilthey disebut sebagai ‘filsafat kehidupan’ atau ‘Philosophie des Lebens’.

10

E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 1999 hal

: 26. 11

Kaelan. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma, 2009,

hal 22.

Page 9: BAHASA BAHASA

9

Kehidupan yang ia maksud bukan pada arti biologis saja, melainkan

seluruh kehidupan manusiawi yang dialami oleh manusia dengan segala

kompleksitasnya yang amat kaya. Kehidupan itu sendiri dari banyak sekali

kehidupan individual dan bersama-sama membentuk kehidupan umat

manusia sebagai realitas sosial dan historis12

.

Dilthey merupakan pemikir yang menentukan jalannya sendiri. Namun

demikian konsep filosofisnya merupakan sintesa pemikiran tradisi empiris

Inggris dan Perancis, filsafat transendental dari masa pasca Kantian dari

Jerman, romantisme dan gerakan pergolakan pimikiran dalam bidang

sejarah. Pemikiran tentang filsafat hidup Dilthey dapat mengungkapkan

apresiasi yang mendalam tentang kekayaan dan keragaman hidup13

.

Menurut Dilthey bahwa hidup adalah objek yang sebenarnya bahkan

satu-satunya objek dalam filsafat. Sebagai seorang empirisis Dilthey

menolak setiap bentuk transendentalisme, seperti ‘Ding an sich’, dunia ide

sebagaimana dikemukakan plato dimana hudup hanya sebagai sekedar

fenomena. Dilthey menolak adanya titik tolakpemikiran yang bersifat

mutlak. Demikian juga dia menganggap bahwa doktrin positivism bahwa

pengalaman adalah sekedar kesan indera, merupakan suatu prinsip yang

mempersempit pengetahuan. Maka Dilthey tidak hanya puas untuk

menyelidiki kenyataan-kenyataan kongkret individual, melainkan berusaha

untuk menyusun suatu pandangan yang komprehensif tentang realitas14

.

Dilthey memandang bahwa hermeneutika memiliki tugas dalam

melengkapi teori pembuktian validitas universal interpretasi agar mutu

sejarah tidak tercemari oleh pandangan-pandangan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan.

12

Bertens, Filsafat Barat dalam abad XX, Jakarta: Gramedia, 1981, hal: 88 13

Kaelan. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma, 2009,

hal : 269 14

Poespoprodjo, Interpretasi, Bandung: Remadja Karya, 1987, hal: 49

Page 10: BAHASA BAHASA

10

Sebelum interpretasi yang sesungguhnya dapat dimulai, maka dituntut

adanya suatu latar belakang pengetahuan. Pengetahuan tersebut harus

bersifat gramatikal kebahasaan serta bersifat sejarah maksudnya agar kita

mempunyai alat dalam mempertimbangkan karya, yang ada mengenai

lingkungan munculnya karya dan bahasa yang dipakai dalam karya

tersebut. Dengan pengetahuan tersebut kita mendekati tugas interpretasi.

Interpretasi nampaknya niscaya berupa suatu proses yang melingkar, yaitu

setiap bagian dan suatu karya sastra misalnya dapat ditangkap lewat

keseluruhannya. Kemudian sebaliknya keseluruhannya hanya dapat

ditangkap lewat bagian-bagiannya. Setiap bagian suatu karya sastra hanya

dapat mempunyai arti yang tidak terbatas. Setiap kata selain istilah-istilah

teknik tertentu, senantiasa lebih dari satu. Ekuivokasi kata atau arti

bermacam ragam yang ditimbulkan kata dapat memberi berbagai macam

kemungkinan15

.

Sebuah kamus dapat bercerita tentang ruang lingkup kemungkinan arti,

tetapi di dalam ruang lingkup tersebut arti suatu kata dapat bergerak

dengan bebas, Dilthey menyebut sebagai pasti secara tidak pasti. Arti

suatu kata didalam suatu kesempatan tertentu ditentukan arti

fungsionalnya oleh sesuatu konteks. Demikian juga keadaannya dengan

kata, juga kalimat, paragraph, bab dan seluruh bagian structural dari suatu

karya. Interpretasi yang setepatnya dari masing-masing bagian dari

keseluruhan tersebut bergantung pada struktur logis keseluruhan serta

maksud tujuannya yang dapat bersifat ilmiah, polemis, oratoris dan

seterusnya.

Selanjutnya keseluruhan terdiri atas bagian-bagian dan dapat dipahami

dengan hanya membaca keseluruhannya secara berturut-turut dan

membangun menjadi suatu gambaran yang bersifat saling bertautan

(koheren). Dengan demikian kita dihadapkan pada suatu lingkaran logis.

15

Kaelan. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma, 2009,

hal : 271

Page 11: BAHASA BAHASA

11

Lingkaran yang sama juga dijumpai manakala kita mencoba memahami

pengaruh-pengaruhnya yang dialami oleh pengarang atas suatu karyanya.

Kita dapat memahami situasi apa yang terdapat dibenaknya hanya jikalau

kita telah mengetahui apa yang sudah dipikirkan.

Lingkaran tersebut secara logis berpautan, tidak terpecahkan, akan

tetapi dalam praktek kita dapat memecahkan setiap saat kita

memahaminya. Secara garis besar, kita memahami pada bagian-bagian,

dan dari bagian-bagian itu kita memperoleh kesan yang pertama tentang

keseluruhan tersebut. Dalam pengertian inilah kita mendapat suatu

pemahaman, kita menangkap struktur atau bentuk dalam suatu karya,

makna secara keseluruhan dan signifikansinya dalam setiap bagian.

Proses selanjutnya dari hermeneutika adalah bahwa arti suatu karya

dapat terungkap secara lebih penuh lewat karya-karya lain si pengarang,

dan arti karya-karya lain tersebut dapat dibaca lewat hidup dan watak si

pencipta. Dari pengertian inilah dapat diperoleh suatu pemahaman

keadaan-keadaannya sewaktu dia masih hidup. Kemudian tulisan-

tulisannya dipahami sebagai suatu kejadian dalam suatu proses sejarah

buadaya atau sejarah sosial yang jauh melampaui dirinya dan merupakan

suatu bagian besar kisah umat manusia. Dengan demikian terlihat bahwa

interpretasi suatu karya dapat berkembang dan meluas sehingga menjadi

suatu studi sejarah. Pemahaman pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan

dengan apresiasi dan penentuan sehingga interpretasi secara perlahan-

lahan berkembang menjadi kritik. Sejauh ini proses interpretasi hanya

dipahami sebagai suatu proses logis, namun sebenarnya lebih jauh dari itu

yaitu proses interpretasi bertumpu pada suatu proyeksi diri kepada orang

lain16

.

Berdasarkan prinsip-prinsip hermeneutika sebagaimana dikemukakan

Dilthey tersebut nampak pada kita bahwa bahasa memiliki peranan yang

16

Poespoprodjo, Interpretasi, Bandung: Remadja Karya, 1987, hal: 64.

Page 12: BAHASA BAHASA

12

sentral, karena proses dan dimensi hidup manusia tercover oleh bahasa.

Kompleksitas kehidupan manusia dapat dipahami dan diinterpretasi

melalui kacamata bahasa, yang diungkapkan oleh Dilthey bahwa

keseluruhan dapat dipahami melalui bagian-bagiannya, sedangkan bagian-

bagianya dapat dipahami melalui keseluruhannya17

.

17

Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 1999, hal :

35.

Page 13: BAHASA BAHASA

13

3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Bahasa merupakan alat komunikasi antara manusia untuk menuangkan

emosi di antara mereka dan untuk meluapkan pikiran manusia dalam

kehidupan sehari-hari18

. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, bahasa adalah

sistem lambing bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat ucap) yang bersifat

sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi

untuk melahirkan perasaan dan pikiran19

.

Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani,

hermeneuein, yang berarti manafsirkan. Dalam mitologi Yunani, kata ini

sering dikaitkan dengan seorang dewa yang bernama Hermes, seorang utusan

yang mempunyai tugas menyampaikan pesan dari Jupiter untuk manusia.

Tugas menyampaikan pesan yang dilakukan Hermes juga sekaligus tugas

mengalih bahasakan pesan para dewa ke bahasa manusia. Pengalih bahasaan

bisa juga diartikan sebagai menafsirkan bahasa. Dari sinilah istilah

hermeneutika diartikan dengan pekerjaan penafsiran atau interpretasi.

Dilthey memandang bahwa hermeneutika memiliki tugas dalam

melengkapi teori pembuktian validitas universal interpretasi agar mutu sejarah

tidak tercemari oleh pandangan-pandangan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan. Sebelum interpretasi yang sesungguhnya dapat

dimulai, maka dituntut adanya suatu latar belakang pengetahuan.

3.2 Kritik dan Saran

Hasil dari pembahasan ini belumlah lengkap bahkan jauh dari sempurna,

dengan begitu kami mengharap kritikan pembaca, khususnya pengampu

matakuliah filsafat bahasa. Kami sangat berharap ada masukan untuk

memperbaiki makalah ini.

18

Prof. Dr. Kaelan, M.S., Filsafat Bahasa Semiotik dan Hermeneutika, Paradigma,

Yogyakarta 2009, hlm : 6. 19

Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Page 14: BAHASA BAHASA

14

Daftar Pustaka

Prof. Dr. Kaelan, M.S., Filsafat Bahasa Semiotik dan Hermeneutika, Paradigma,

Yogyakarta 2009.

Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Aat Hidayat, Epistemologi Hans-Georg Gadamer: Menyelami Kedalaman

Tradisi, Menuai Kelezatan Maknal.

Prof. Dr. Kaelan, M.S., Filsafat Bahasa Semiotik dan Hermeneutika, Paradigma,

Yogyakarta 2009.

Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta:

Rineka Cipta, 2010).

Palmer Richard E., Musnur Hery., Interpretation Theory in Scheimacher, Dilthey,

Heidger dan Gadamer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005.

Mudjia Raharjo., Dasar-dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme dan

Gadamerian, Jogjakarta: ar-Ruzz Media, 2012.

E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

1999.

Kaelan. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma,

2009.