bahasa bahasa
DESCRIPTION
HAKEKAT BAHASA DALAM HERMENEUTIKA WILHELM DILTHEYTRANSCRIPT
1
HAKEKAT BAHASA DALAM HERMENEUTIKA WILHELM DILTHEY
Makalah disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Filsafat Bahasa
Dosen Pengampu:
Dr. Muhammad Pribadi, M.A.
Oleh:
Nur Nissa Nettiyawati
13.2041.0213
KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2014
2
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembahasan kali ini, kami mencoba menjelaskan mengenai hakekat
bahasa dalam hermeneutika Wilhelm Dilthey. Berbicara mengenai hakekat
bahasa, kita akan dibawa pada pembahasan mengenai filsafat. Bahasa pada
hakikatnya merupakan suatu sistem simbol yang tidak hanya merupakan
urutan bunyi-bunyi secara empiris, malainkan memiliki makna yang sifatnya
nonempiris. Dari pemaparan di atas, dapat kami jelaskan bahwa bahasa
merupakan sistem simbol yang memiliki makna di dalamnya. Selain itu
bahasa juga merupakan alat komunikasi antara manusia untuk menuangkan
emosi di antara mereka dan untuk meluapkan pikiran manusia dalam
kehidupan sehari-hari1. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, bahasa adalah
sistem lambing bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat ucap) yang bersifat
sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi
untuk melahirkan perasaan dan pikiran2.
Setiap kalimat yang diucapkan dalam menyampaikan keinginannya
kadang masih menyimpan makna yang rancu. Hal ini disebabkan pemikiran
manusia yang berbeda, dan manusia merupakan makhluk yang berakal yang
mana akal manusia selalu berkembang. Dengan begitu perbedaan diantara
mereka merupakan suatu yang wajar-wajar saja. Untuk menghadapi masalah
tersebut, sebuah pemahaman terhadap makna muncul dari diri manusia.
Seiring dengan berkembangnya waktu, pengetahuan mengenai pemahaman
terhadap makna menjadi sebuah kajian ilmu pengetahuan. Sering disebut
dengan kajian Hermeneutika.
Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuo yang berarti
mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata atau hermeneuein
1 Prof. Dr. Kaelan, M.S., Filsafat Bahasa Semiotik dan Hermeneutika, Paradigma,
Yogyakarta 2009, hlm : 6. 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia.
3
yang berarti menafsirkan dan hermeneia yang berarti penafsiran. Kata Yunani
tersebut berhubungan dengan dewa Hermes, dewa dalam mitos Yunani yang
bertugas untuk menyampaikan berita dari para dewa di gunung Olympus
kepada manusia. Sedangkan dalam bahasa Latin, sosok dewa ini lebih dikenal
dengan nama Mercurius. Dewa Hermes harus mampu menginterpretasikan
atau menyadur (mengolah/mengambil) sebuah pesan ke dalam bahasa yang
digunakan dalam pendengarnya3.
Manusia menggunakan bahasa untuk menyampaikan tujuannya kepada
manusia yang lain. Setiap manusia mampu memahami makna dari kata-kata
yang disampaikan. Pemahaman merupakan proses bahasa. Memahami berarti
menginterpretasikan sesuatu. Keberadaan hermeneutika dalam bahasa
merupakan awal dari pemahaman. Pemahaman terhadap bahasa yang
disampaikan dengan meneliti dari teks-teks yang ada. Hermeneutika menjadi
sebuah sistem baru muncul jauh setelah ia dipratekkan dalam filologi dan
studi-studi kitab suci. untuk memahami sebuah teks misalnya, seseoranng
penafsir selalu memahami realitas dengan titik tolak sekarang yang sesuai
dengan data historis teks-teks tersebut. Pada pembahasan kami ini akan
mencoba mengupas hakekat bahasa dalam hermeneutika.
1.2 Rumusan Masalah
Merujuk pada latarbelakang di atas, kami paparkan beberapa rumusan
masalah sebagai berikut:
1.2.1 Apa itu bahasa dan hermeneutika?
1.2.2 Bagaimana hubungan bahasa dengan hermeneutika?
1.2.3 Bagaimana pandangan Wilhelm Dilthey tentang bahasa dalam
hermeneutika?
3 Aat Hidayat, Epistemologi Hans-Georg Gadamer: Menyelami Kedalaman Tradisi,
Menuai Kelezatan Maknal.
4
1.3 Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah di atas, dapat kami fokuskan tujuan dari
pembahasan kali ini sebagai berikut:
1.3.1 Mengetahui apa itu bahasa dan hermeneutika.
1.3.2 Mengetahui hubungan bahasa dengan hermeneutika.
1.3.3 Mengetahui pandangan Wilhelm Dilthey tentang bahasa dalam
hermeneutika.
5
2. PEMBAHASAN
2.1 Bahasa dan hermeneutika
2.1.1 Bahasa
Bahasa merupakan alat komunikasi antara manusia untuk menuangkan
emosi di antara mereka dan untuk meluapkan pikiran manusia dalam
kehidupan sehari-hari4. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, bahasa
adalah sistem lambing bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat ucap) yang
bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai alat
komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran5.
Menurut Keraf, memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian
pertama menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota
masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Kedua, bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-
simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer. Lain halnya menurut
Owen, menjelaskan definisi bahasa yaitu language can be defined as a
socially shared combinations of those symbols and rule governed
combinations of those symbols (bahasa dapat didefenisikan sebagai kode
yang diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk menyampaikan
konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan kombinasi
simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan)6.
Pendapat di atas mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Tarigan,
beliau memberikan dua definisi bahasa. Pertama, bahasa adalah suatu
sistem yang sistematis, barang kali juga untuk sistem generatif. Kedua,
bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-
4 Prof. Dr. Kaelan, M.S., Filsafat Bahasa Semiotik dan Hermeneutika, Paradigma,
Yogyakarta 2009, hlm 6. 5 Kamus Besar Bahasa Indonesia.
6 Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010) hal 11
6
simbol arbitrer. Menurut Santoso, bahasa adalah rangkaian bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar.
2.1.2 Hermeneutika
Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani,
hermeneuein, yang berarti manafsirkan. Dalam mitologi Yunani, kata ini
sering dikaitkan dengan seorang dewa yang bernama Hermes, seorang
utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan dari Jupiter untuk
manusia. Tugas menyampaikan pesan yang dilakukan Hermes juga
sekaligus tugas mengalih bahasakan pesan para dewa ke bahasa manusia.
Pengalih bahasaan bisa juga diartikan sebagai menafsirkan bahasa. Dari
sinilah istilah hermeneutika diartikan dengan pekerjaan penafsiran atau
interpretasi.
Hermeneutika dapat didevinisikan secara luas sebagai suatu teori atau
filsafat interpretasi makna. Hermeneutika juga merupakan studi
pemahaman, khususnya pemahaman teks. Kajian hermeneutika
berkembang sebagai sebuah usaha untuk menggambarkan pemahaman
teks, lebih spesifik pemahaman historis dan humanistik. Dengan demikian,
hermeneutika mencakup dalam dua fokus perhatian yang berbeda dan
saling berinteraksi, yaitu; 1) peristiwa pemahaman teks, 2) persoalan yang
mengarah mengenai apa pemahaman interpretasi itu7.
Awal mula istilah ini digunakan oleh kalangan agamawan. Melihat
hermeneutika dapat menyuguhkan makna dalam teks klasik, maka abad
ke-17 kalangan gereja menerapkan telaah hermeneutis untuk membongkar
makna teks injil. Ketika menemukan kesulitan dalam memahami bahasa
dan pesan kitab suci itu, mereka berkesimpulan bahwa kesulitan itu akan
membantu pemecahan oleh hermeneutik. Dengan begitu hermeneutik
menjadi suatu metode dalam memahami teks kitab suci.
7 Palmer Richard E., Musnur Hery., Interpretation Theory in Scheimacher, Dilthey,
Heidger dan Gadamer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2005, hlm 8.
7
Menurut Carl Braathen, hermeneutika adalah ilmu yang merefleksikan
bagaimana satu kata atau satu peristiwa di masa dan kondisi yang lalu bisa
dipahami dan menjadi bermakna di masa sekarang sekaligus mengandung
aturan-aturan metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran dan
asumsi-asumsi metodologis dari aktifitas pemahaman8. Sebagai sebuah
metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai
komponen pokok dalam kegiatan penafsiran yakni teks, konteks, dan
kontekstualisasi.
Pemahaman lebih lanjut mengenai hermeneutika adalah sebagai
berikut: pertama, sebagai teknik praktis pemahaman atau penafsiran, dekat
dengan eksegegis, yakni kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu
atau kegiatan untuk mengungkapkan makna tentang sesuatu agar dapat
dipahami. Kedua, sebagai sebuah metode penafsiran tentang the conditions
of possibility sebuah penafsiran. Hal-hal apa yang dibutuhkan atau
langkah-langkah bagaimana yang harus dilakukan untuk menghindari
pemahaman yang keliru terhadap teks. Ketiga, sebagai penafsiran filsafat.
Dalam pemahaman ini, hermeneutika menyoroti secara kritis bagaimana
bekerjanya pola pemahaman manusia dan bagaimana hasil pemahaman
manusia tersebut diajukan, dibenarkan dan bahkan disanggah9. Objek
utama hermeneutika adalah teks dan teks adalah hasil atau produk praktis
berbahasa, maka antara hermeneutika dan bahasa akan terjalin hubungan
sangat dekat.
2.2 Hubungan Bahasa dengan Hermeneutika
Pada hakekatnya bahasa merupakan hal yang paling hakiki dalam
kehidupan, karena bahasa membantu manusia untuk menemukan dirinya
dalam dunia yang terus berubah ini. Akan tetapi bahasa tidak boleh
dipikirkan sebagai hal yang mengalami perubahan. Sebaliknya, bahasa
8 Mudjia Raharjo., Dasar-dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme dan Gadamerian,
Jogjakarta: ar-Ruzz Media, 2012, hlm 30. 9 Mudjia Raharjo., Dasar-dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme dan Gadamerian,
Jogjakarta: ar-Ruzz Media, 2012, hlm 32.
8
harus dipikirkan sebagai sesuatu yang memiliki tujuan di dalam dirinya10
.
Manusia sebagai pelaku penggunaan bahasa mempunyai tujuan dalam
menyampaikan keinginannya atau tujuannya. Baik itu dengan
menggunakan bahasa ibu atau bahasa umum lainnya. Bahasa memproses
sesuatu yang ada di pikiran dan hati yang kemudian dituangkan dengan
wujud kata-kata untuk disampaikan kepada pendengar, yang mana
pendengar menerima pesan-pesan lewat makna-makna dalam pembicaraan
penutur dengan baik11
.
Dalam berbahasa, seseorang memahami makna yang terkandung,
dengan memahami tersebut seseorang akan mampu menangkap keinginan
dari orang lain. Keberadaan hermeneutika dalam bahasa merupakan awal
dalam pemahaman. Dalam sejarah perkembangan awal hermeneutika yang
telah kami singgung sebelumnya, hermeneutika digunakan untuk
memahami makna yang terkandung dalam teks-teks kitab suci. kedekatan
antara hermeneutika dan bahasa tidak bisa disangkal lagi. Karena dengan
hermeneutika sebuah teks agama misalnya akan lebih mudah dipahami
oleh umatnya dari pada hanya disodorkan teks aslinya tanpa
mempertimbangkan maknanya.
2.3 Pandangan Wilhelm Dilthey terhadap Hakekat Bahasa
Sebelum kita membahas lebih jauh, kita akan sedikit mengupas siapa
gerangan Wilhelm Dilthey itu. Dari literatur yang kami dapatkan, ia adalah
seorang filosof yang lahir pada tahun 1833 di Biebrich am Rhein. Ia
merupakan seorang professor di Universitas Berlin. Perhatiannya dalam
bidang filsafat sangat banyak, semisal filsafat sistematis dan juga sejarah
filsafat. Sumbangan Dilthey yang sangat besar pada filsafat adalah
penyelidikannya tentanng kehidupan. Sehingga tidak mengherankan karya
Dilthey disebut sebagai ‘filsafat kehidupan’ atau ‘Philosophie des Lebens’.
10
E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 1999 hal
: 26. 11
Kaelan. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma, 2009,
hal 22.
9
Kehidupan yang ia maksud bukan pada arti biologis saja, melainkan
seluruh kehidupan manusiawi yang dialami oleh manusia dengan segala
kompleksitasnya yang amat kaya. Kehidupan itu sendiri dari banyak sekali
kehidupan individual dan bersama-sama membentuk kehidupan umat
manusia sebagai realitas sosial dan historis12
.
Dilthey merupakan pemikir yang menentukan jalannya sendiri. Namun
demikian konsep filosofisnya merupakan sintesa pemikiran tradisi empiris
Inggris dan Perancis, filsafat transendental dari masa pasca Kantian dari
Jerman, romantisme dan gerakan pergolakan pimikiran dalam bidang
sejarah. Pemikiran tentang filsafat hidup Dilthey dapat mengungkapkan
apresiasi yang mendalam tentang kekayaan dan keragaman hidup13
.
Menurut Dilthey bahwa hidup adalah objek yang sebenarnya bahkan
satu-satunya objek dalam filsafat. Sebagai seorang empirisis Dilthey
menolak setiap bentuk transendentalisme, seperti ‘Ding an sich’, dunia ide
sebagaimana dikemukakan plato dimana hudup hanya sebagai sekedar
fenomena. Dilthey menolak adanya titik tolakpemikiran yang bersifat
mutlak. Demikian juga dia menganggap bahwa doktrin positivism bahwa
pengalaman adalah sekedar kesan indera, merupakan suatu prinsip yang
mempersempit pengetahuan. Maka Dilthey tidak hanya puas untuk
menyelidiki kenyataan-kenyataan kongkret individual, melainkan berusaha
untuk menyusun suatu pandangan yang komprehensif tentang realitas14
.
Dilthey memandang bahwa hermeneutika memiliki tugas dalam
melengkapi teori pembuktian validitas universal interpretasi agar mutu
sejarah tidak tercemari oleh pandangan-pandangan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
12
Bertens, Filsafat Barat dalam abad XX, Jakarta: Gramedia, 1981, hal: 88 13
Kaelan. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma, 2009,
hal : 269 14
Poespoprodjo, Interpretasi, Bandung: Remadja Karya, 1987, hal: 49
10
Sebelum interpretasi yang sesungguhnya dapat dimulai, maka dituntut
adanya suatu latar belakang pengetahuan. Pengetahuan tersebut harus
bersifat gramatikal kebahasaan serta bersifat sejarah maksudnya agar kita
mempunyai alat dalam mempertimbangkan karya, yang ada mengenai
lingkungan munculnya karya dan bahasa yang dipakai dalam karya
tersebut. Dengan pengetahuan tersebut kita mendekati tugas interpretasi.
Interpretasi nampaknya niscaya berupa suatu proses yang melingkar, yaitu
setiap bagian dan suatu karya sastra misalnya dapat ditangkap lewat
keseluruhannya. Kemudian sebaliknya keseluruhannya hanya dapat
ditangkap lewat bagian-bagiannya. Setiap bagian suatu karya sastra hanya
dapat mempunyai arti yang tidak terbatas. Setiap kata selain istilah-istilah
teknik tertentu, senantiasa lebih dari satu. Ekuivokasi kata atau arti
bermacam ragam yang ditimbulkan kata dapat memberi berbagai macam
kemungkinan15
.
Sebuah kamus dapat bercerita tentang ruang lingkup kemungkinan arti,
tetapi di dalam ruang lingkup tersebut arti suatu kata dapat bergerak
dengan bebas, Dilthey menyebut sebagai pasti secara tidak pasti. Arti
suatu kata didalam suatu kesempatan tertentu ditentukan arti
fungsionalnya oleh sesuatu konteks. Demikian juga keadaannya dengan
kata, juga kalimat, paragraph, bab dan seluruh bagian structural dari suatu
karya. Interpretasi yang setepatnya dari masing-masing bagian dari
keseluruhan tersebut bergantung pada struktur logis keseluruhan serta
maksud tujuannya yang dapat bersifat ilmiah, polemis, oratoris dan
seterusnya.
Selanjutnya keseluruhan terdiri atas bagian-bagian dan dapat dipahami
dengan hanya membaca keseluruhannya secara berturut-turut dan
membangun menjadi suatu gambaran yang bersifat saling bertautan
(koheren). Dengan demikian kita dihadapkan pada suatu lingkaran logis.
15
Kaelan. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma, 2009,
hal : 271
11
Lingkaran yang sama juga dijumpai manakala kita mencoba memahami
pengaruh-pengaruhnya yang dialami oleh pengarang atas suatu karyanya.
Kita dapat memahami situasi apa yang terdapat dibenaknya hanya jikalau
kita telah mengetahui apa yang sudah dipikirkan.
Lingkaran tersebut secara logis berpautan, tidak terpecahkan, akan
tetapi dalam praktek kita dapat memecahkan setiap saat kita
memahaminya. Secara garis besar, kita memahami pada bagian-bagian,
dan dari bagian-bagian itu kita memperoleh kesan yang pertama tentang
keseluruhan tersebut. Dalam pengertian inilah kita mendapat suatu
pemahaman, kita menangkap struktur atau bentuk dalam suatu karya,
makna secara keseluruhan dan signifikansinya dalam setiap bagian.
Proses selanjutnya dari hermeneutika adalah bahwa arti suatu karya
dapat terungkap secara lebih penuh lewat karya-karya lain si pengarang,
dan arti karya-karya lain tersebut dapat dibaca lewat hidup dan watak si
pencipta. Dari pengertian inilah dapat diperoleh suatu pemahaman
keadaan-keadaannya sewaktu dia masih hidup. Kemudian tulisan-
tulisannya dipahami sebagai suatu kejadian dalam suatu proses sejarah
buadaya atau sejarah sosial yang jauh melampaui dirinya dan merupakan
suatu bagian besar kisah umat manusia. Dengan demikian terlihat bahwa
interpretasi suatu karya dapat berkembang dan meluas sehingga menjadi
suatu studi sejarah. Pemahaman pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan
dengan apresiasi dan penentuan sehingga interpretasi secara perlahan-
lahan berkembang menjadi kritik. Sejauh ini proses interpretasi hanya
dipahami sebagai suatu proses logis, namun sebenarnya lebih jauh dari itu
yaitu proses interpretasi bertumpu pada suatu proyeksi diri kepada orang
lain16
.
Berdasarkan prinsip-prinsip hermeneutika sebagaimana dikemukakan
Dilthey tersebut nampak pada kita bahwa bahasa memiliki peranan yang
16
Poespoprodjo, Interpretasi, Bandung: Remadja Karya, 1987, hal: 64.
12
sentral, karena proses dan dimensi hidup manusia tercover oleh bahasa.
Kompleksitas kehidupan manusia dapat dipahami dan diinterpretasi
melalui kacamata bahasa, yang diungkapkan oleh Dilthey bahwa
keseluruhan dapat dipahami melalui bagian-bagiannya, sedangkan bagian-
bagianya dapat dipahami melalui keseluruhannya17
.
17
Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 1999, hal :
35.
13
3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bahasa merupakan alat komunikasi antara manusia untuk menuangkan
emosi di antara mereka dan untuk meluapkan pikiran manusia dalam
kehidupan sehari-hari18
. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, bahasa adalah
sistem lambing bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat ucap) yang bersifat
sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi
untuk melahirkan perasaan dan pikiran19
.
Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani,
hermeneuein, yang berarti manafsirkan. Dalam mitologi Yunani, kata ini
sering dikaitkan dengan seorang dewa yang bernama Hermes, seorang utusan
yang mempunyai tugas menyampaikan pesan dari Jupiter untuk manusia.
Tugas menyampaikan pesan yang dilakukan Hermes juga sekaligus tugas
mengalih bahasakan pesan para dewa ke bahasa manusia. Pengalih bahasaan
bisa juga diartikan sebagai menafsirkan bahasa. Dari sinilah istilah
hermeneutika diartikan dengan pekerjaan penafsiran atau interpretasi.
Dilthey memandang bahwa hermeneutika memiliki tugas dalam
melengkapi teori pembuktian validitas universal interpretasi agar mutu sejarah
tidak tercemari oleh pandangan-pandangan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Sebelum interpretasi yang sesungguhnya dapat
dimulai, maka dituntut adanya suatu latar belakang pengetahuan.
3.2 Kritik dan Saran
Hasil dari pembahasan ini belumlah lengkap bahkan jauh dari sempurna,
dengan begitu kami mengharap kritikan pembaca, khususnya pengampu
matakuliah filsafat bahasa. Kami sangat berharap ada masukan untuk
memperbaiki makalah ini.
18
Prof. Dr. Kaelan, M.S., Filsafat Bahasa Semiotik dan Hermeneutika, Paradigma,
Yogyakarta 2009, hlm : 6. 19
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
14
Daftar Pustaka
Prof. Dr. Kaelan, M.S., Filsafat Bahasa Semiotik dan Hermeneutika, Paradigma,
Yogyakarta 2009.
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Aat Hidayat, Epistemologi Hans-Georg Gadamer: Menyelami Kedalaman
Tradisi, Menuai Kelezatan Maknal.
Prof. Dr. Kaelan, M.S., Filsafat Bahasa Semiotik dan Hermeneutika, Paradigma,
Yogyakarta 2009.
Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta:
Rineka Cipta, 2010).
Palmer Richard E., Musnur Hery., Interpretation Theory in Scheimacher, Dilthey,
Heidger dan Gadamer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005.
Mudjia Raharjo., Dasar-dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme dan
Gadamerian, Jogjakarta: ar-Ruzz Media, 2012.
E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
1999.
Kaelan. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma,
2009.