file · web viewdisiplin ilmu mempunyai keterkaitan dengan ilmu filsafat, seni, ataupun...
TRANSCRIPT
Sajian Matakuliah 2ESTETIKA SASTRA
(Estetika dan Interdisipliner Ilmu)Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Malang
Dosen Pembina: Moh Badrih, S.Pd., M.Pd
A. Estetika dan Filsafat
Estetika atau lazim dikenal dengan istilah ‘keindahan’ tidak hanya tampak melalui
indra penglihatan (visual) atau pendengaran (audio) saja, malainkan juga tanpak melalui
perasaan (sense). Bentuk keindahan yang pertama dapat dirasakan dengan alat penglihatan,
wujudnya dapat berupa keindahan manusia, keindahan pemandangan alam sekitar, sedangkan
yang dapat didengar berupa keindahan irama musik, keindahan kicau burung, dll. Keindahan
yang dirasakan melalui indra itu dapat menjadi keindahan perasaan kalau segala sesuatu yang
dirasakan dari keindahan itu diinternalisasi ke dalam diri, sehingga akan muncul kesadaran
diri untuk memberikan respon terhadap keindahan tersebut. Respon itu berupa kesadaran
bahwa pemandangan alam yang terlihat, keindahan manusia dll terbentuk dengan keselarasan
dan keseimbangan.
Setiap waktu fenomena-fenomena keindahan selalu ada, fenomena itu seperti
membawa pesan bahwa keindahan itu telah diperuntukkan semuanya bagi semua makhluk
tidak terkecuali manusia. Disenaja ataupun tidak, keindahan-keindahan yang menampakkan
diri datang melalui indra penglihatan bersama aspek-aspek keindahan lainnya. Aspek itu
sebenarnya merupakan unsur perpaduan dari keindahan, karena keindahan itu hadirnya
bersamaan perasaan ekstasi (berada di luar diri/luar biasa) maka bagian-bagian itu tidak
terlihat. Aspek yang menjadi keutuhan dari keindahan itu antara lain: (1) Kesatuan (unity),
(2) keselarasan (harmony), (3) keseimbangan, (balance), dan (4) perlawanan (contras)yang
keempat hal tersebut merupkan tolok ukur estetika pada bentuk, jenis, dan sifat suatu benda
atau yang lain.
Herbert Read dalam The Meaning of Art merumuskan keindahan sebagai kesatuan
bentuk yang terdapat di antara pencerapan-pencerapan indera kita. Kesatuan bentuk yang
dimaksud merupakan benda atau segala sesuatu yang mempunyai ‘nilai’ estetik yang unsur-
unsur estetikanya tidak dapat dipisahkan atau dengan kata lain unsur-unsur keindahan yang
terdapat di dalamnya keindahan yang satu mendukung keindahan yang saling mendukung.
Keberadaan unsur-unsur estetika yang saling keterkaitan ini apabila ditinjau dari kacamata
8
disiplin ilmu mempunyai keterkaitan dengan ilmu filsafat, seni, ataupun dengan ilmu yang
lain.
Sebagai sebuah ilmu yang mempertanyakan mengenai hakikat segala sesuatu, filsafat
lahir dengan segala persoalan-persoalan yang dibawanya. Persoalan-persoalan dalam ilmu
Filsafat seperti yang telah dikemukanan Liang Gie antara lain: 1) persoalan metafisis, 2)
persoalan epistemologis, 3) persoalan metodologis, 3) persoalan logis, 4) persoalan etis, 5)
persoalan estetika.
Pertama, persoalan metafisis, selain mengkaji segala sesuatu yang tanpak oleh fisik,
filsafat juga mengkaji persoalan yang tidak tanpak atau kasat mata. Persoalan mengenai
hakikat alam bawah sadar sampai pada persoalan hakikat ketuhanan.. Estetika subjektif atau
hakikat keindahan menurut pengatahuan dan pengalaman kita sangat perpengaruh di dalam
memberikan penilaian terhadap unsur estetika termasuk estetika kepribadian orang (inter
beauty). Inter beauty kadang kalanya terbaca melalui perkataan, prilaku, dan penampilan kita.
Namun semuanya itu tidak dapat dijadikan ukuran, karena inter beauty kita termasuk salah
satu yang kasat mata, dan penilaian mengenai keberadaannya tidak cukup dengan indikator
pengatahuan dan pengalaman orang lain. Dalam inter beauty mencakup nilai-nilai agama,
nilai kultur, nilai adat, dan konteks yang berlaku pada saat kita diukur inter beautynya.
Karena cakupan inter beauty ini sangat luas dan sistematis maka cakupan bidang ini termasuk
kajian filsafat. Dalam bidang sastra kajian metafisis merupakan kajian dari aliran idealis
mistisisme yang merupakan aliran kesusastraan yang bersifat melukiskan hubungan manusia
dengan Tuhan. Mistisisme selalu memaparkan keharuan dan kekaguman si penulis terhadap
keagungan Maha Pencipta. Contoh karya sastra yang beraliran ini adalah sebagaian besar
karya Amir Hamzah, Bahrum Rangkuti, dan JE Tatengkeng.
Kedua, persoalan epistemologis, (persoalan tentang bagaimana cara belajar sesuatu).
Kajian bidang filsafat yang sangat luas di dalamnya juga mengkaji tentang bagaimana cara
mempelajari ilmu filsafat dan bagaimana cara mempelajari suatu ilmu dari sudut pandang
filsafat. Bagi ilmu Filsafat logika adalah segala-galanya, sehingga dapat dikatakan tidak ada
filsafat tanpa logika. Kita yang ingin berfilsafat harus mempunyai pemikiran yang logis, atau
setidaknya pemikirannya dapat dipahami dan diterima oleh umum sebagai sebuah kebenaran.
Karena mengedepankan nalar yang logis, maka kita yang ingin berfikir filsafat harus belajar
bagaimana caranya berfikir yang logis.
Ketiga, persoalan metodologis, (persoalan mengenai langkah atau cara mempelajari
sesuatu). Konsep mengenai langkah-langkah atau prosedur cara mempelajari mempelajari
atau membuat sesuatu juga merupakan bidang kajian Filsafat. Bertitik tolak dari cara berfikir
9
filsafat yang mengharuskan penggunanya harus mengedepankan logika daripada perasaan.
Secara motodologis setiap pendekatan atau cara yang berbeda akan menghasilkan sesuatu
yang berbeda. Dalam ilmu filsafat hal ini berarti setiap sudut pandang yang berbeda, akan
didapatkan suatu gambar yang berbeda, atau sesuatu objek akan berwujud berbeda apabila
didekati dari sisi yang berbeda akan tanpak berbeda meskipun objeknya sama. Estetika
sastrapun juga demikian, keempat unsur estetika dalam sastra akan melahirkan corak yang
berbeda karena pendekatan yang digunakan dan nuansa batin seorang pengarang ketika
mencipta karya sastra berbeda pula.
Keempat, persoalan logis, (persoalan keberterimaan oleh akal). Indikator keberterimaan
pendapat kita pada orang lain tergantung seberapa besar argumen tersebut dapat diterima oleh
akal. Apabila setiap argumen yang disampaikan kita pada orang lain dapat diterima oleh nalar
sehat dapat disimpulkan argumen tersebut logis. Namun sebaliknya apabila argumen yang
disampaikan oleh kita tidak dapat dicerna oleh nalar berarti argumen tersebut tidak logis.
Argumen yang logis dapat disampaikan dengan dua cara, di antaranya: 1) deduktif, dan 2)
induktif. Berfikir deduktif berarti berfikir dari sesuatu yang umum menuju yang khusus,
sedangkan berfikir induktif berarti berfikir dari sesuatu yang khusus menuju umum. Kedua
bentuk berfikir ini dapat digunakan oleh kita untuk menarik simpati lawan bicaranya dengan
cara diberi dalil-dalil yang logis. Bagi kita yang tidak dapat berargumen logis, dapat
diasumsikan bahwa terdapat kesalahan-kesalahan nalar pada diri kita tersebut atau terdapat
kesalahan cara menyimpulkan. Kesalahan nalar diakibatkan dari cara sudut pandang kita
yang sudah salah mengenai sesuatu misalnya: setiap perkataan yang dikeluarkan oleh
Profesor atau Kiyai sudah benar. Dalam hal ini kita berfikir bahwa kebenaran itu berangkat
dari titel atau gelar kita. Padalah tidak semua yang dikatakan Profesor dan Kiyai itu benar
adanya. Hal seperti ini merupakan kesalahan nalar. Selanjutnya tentang kesalahan cara
menyimpulkan. Kadangkalanya kita salah menarik kesimpulan dari sesuatu yang telah
diasumsikan sebelumnya, sehingga segala sesuatu yang disimpulkan menjadi kurang tepat.
Keempat, persoalan etis, (persoalan norma yang terdapat pada adat dan kultur). Pribadi
kita dapat dikatakan etis apabila pribadi yang bersangkutan sesuai atau selaras dengan norma
agama, adat setempat, dan kultur tempat tinggal kita. Filsafat menggambarkan persoalan etis
dengan melihat keberagaman kepercayaan, adat, dan budaya. Dalam hal ini, filsafat mencari
benang merah yang dapat menarik garis lurus dari nilai-nilai etis yang terdapat pada ketigal
hal yang dimaksud. Hasilnya dapat disimpulkan bahwa nilai etis yang terdapat pada
kepercayaan (agama), adat, dan kultur bertujuan untuk melindungi kesucian agama,
10
perlindungan jiwa, dan harta. Ketiga tujuan nilai-nilai etis tersebut setidaknya diapresiasi
dengan baik, bukan bertentangan dengan norma.
Kelima, persoalan estetika, (hakikat keindahan). Persoalan-persoalan yang terdapat
dalam bidang ilmu estetika sebenarnya sudah menjadi kajian para filsuf Yunani. Saat itu telah
dibicarakan mengenai hakikat keindahan alam semesta dan keindahan tuhan. Tidak hanya
yang bernuansa definitif, dan ruang lingkup. Unsur pembangun keindahanpun, seperti materi
alam itu dari apa, bagaimana cara terwujudnya, dll. menjadi pembicaraan wajib dikalangan
para filsuf (Hidayat, 2005:13).
Sebagai cabang dari filsafat, estetika hadir dengan memberikan tempat dan ruang pada
kajian ilmu filsafat. Apabila Filsafat beroreintasi pada hakikat sesuatu, hadirnya estetika
sebagai indikator-indikator nilai mengenai sesuatu yang dimaksud. Dengan demikian estetika
berpijak dari nilai-nilai yang terdapat pada suatu benda dengan mempertanyakan nilai-nilai
estetika dan tolok ukurnya berdasarkan pengalaman masing-masing individu di dalam
memberikan penilaian terhadap kriteria estetika.
Kajian mengenai nilai-nilai estetika sebenarnya merupakan kajian dalam bentuk
abstrak. Nilai-nilai tersebut mencakup konsep abstrak tentang keberhargaan (worth), dan
kebaikan (goodness) (Sudarsono, 2004:12). Uraian tersebut dapat diurai dengan kalimat
sederhana bahwa nilai segala sesuatu tergantung pada nilai keberhargaannya, dan
kebaikannya. Apabila sebuah benda sudah tidak mempunyai keberhargaan, baik
keberhargaan idealis (sebuah gagasan) ataupun materialis (kebendaan) serta nilai kebaikan
atau fungsinya sudah tidak ada, dapat dikatakan bahwa benda tersebut tidak lagi mempunyai
nilai. Filsafat yang mendekati sesuatu dengan mencari nilai-nilai hakiki pada sesuatu, namun
apabila nilai-nilai hakiki sudah tidak terdapat lagi pada wujud pada benda yang bersangkutan
maka hakikat sesuatu itu tidak akan pernah ditemukan. Dalam pengertian yang lain Filsafat
tidak akan dapat menemukan hakikat sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat nilai harga dan
kebaikan.
Kaintannya Filsafat dengan Estetika dapat ditarik kesimpulan bahwa estetika
mempelajari dan mengkaji keindahan yang terdapat pada benda yang tanpak ataupun yang
tidak tanpak, baik dari segi penilaian objektif ataupun dari seni penilaian subjektif. Di sisi
yang lain filsafat merupakan media estetika untuk memberikan penjelasan mengenai hakikat
sebuah benda yang tanpak ataupun yang tidak tanpak berdasarkan nilai-nilai estetika.
11
Bagan 1: Kaitan Filsafat dan Estetika
Filsafat/HakikatEstetika/Keindahan
Benda A
Benda BNIlai Nilai
Nilai benda dan fungsi
B. Estetika dan Ilmu
Ada dua hal penting yang berkaitan antara ilmu dan estetika. Kaitan ilmu dan estetika
sebenarnya merupakan kajian setelah sebuah konsep menjadi ‘ilmu’. Sebelum konsep itu
bernama ‘ilmu’ yang ada terlebih dulu adalah pengetahuan, sehingga ada istilah ilmu sebagai
pengatahuan dan pengetahuan sebagai ilmu. Perihal yang kedua yakni “pengetahuan sebagai
ilmu” merupakan segala sesuatu yang diketahui, dialami oleh manusia baik dengan indra
ataupun perenungannnya yang selanjutnya dijadikan ilmu dengan proses metodologis,
analsisis, dan empiris. Tiga tahanpan ini telah dilakukan oleh pengetahuan maka pengetahuan
tersebut akan menjadi sebuah ilmu. Kaitannya dengan konsep yang pertama yakni “ilmu
sebagai pengetahuan” merupakan pengkajian ulang ilmu yang selanjutnya dikaji kembali
sebagai sebuah pengatahuan dasar manusia.
Kehadiran estetika merupakan bentuk kedua dari proses pengetahuan menjadi ilmu atau
sebaliknya. Nilai estetika muncul pada saat pengetahuan diproses menjadi ilmu atau dari ilmu
menjadi sebuah pengetahuan dengan sistem metodologis, analisis, dan empiris. Uraian
tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut.
Pertama, motodologis (cara untuk membuktikan kebenaran). Untuk membuktikan
kebenaran ilmu, langkah pertama yang seharusnya dilakukan adalah menyusun langkah-
langkah atau prosedur untuk membuktikan apakah ilmu tersebut benar secara ilmiah ataukah
tidak. Setiap langkah atau prosedur yang berbeda akan menghasilkan kebenaran ilmiah yang
berbeda. Maka kita dituntut untuk benar-benar mengetahui metodologi atau alat yang akan
digunakan untuk menganalisis sesuatu pengatahuan. Kita tidak dapat menentukan hasil dari
sebuah analisis kecuali hanya dapat menentukan prosedurnya dan kita hanya mengikuti
kemana prosedur itu mengarah. Kebenaran ilmiah merupakan wujud mutlak dari prosedur
tanpa campur “keinginan”. Demikian juga dengan sastra, untuk mengetahui wujud
12
estetikanya diperlukan pengamatan langsung dan langkah-langkah yang akan dibahas pada
bab kemudian.
Kedua, analisis (proses untuk membuktikan kebenaran). Analisis merupakan langkah
selanjutnya setelah kita menentukan prosedurnya. Dalam menganalisis hal yang perlu kita
perhatikan di samping prosedurnya adalah keobjektivan segala sesuatu yang ingin kita
ketahui nilai keberadaan atau hasilnya. Unsur objektif berkaitan dengan sesutu yang kita
analisis, sedangkan subjektif berkaitan dengan sudut pandang kita. Pada prinsipnya segala
sesuatu yang kita analisis tidak akan pernah terhindar dari kesan subjektif, untuk itu data
yang akurat dan lengkap sebagai jalan satu-satunya untuk menganalisis secara objektif.
Ketiga, ilmiah (kebenaran ilmu). Kebenaran ilmiah berbeda dengan kebenaran
spekulatif (kebenaran filsafat), atau dengan kebenaran mutlak (kebenaran tuhan). Kebenaran
ilmiah merupakan ilmu yang bersifat empiris. Ilmiah dalam dalam konteks ini berarti apabila
suatu ilmu dapat dibuktikan dengan nalar yang logis dan bukti-bukti empiris maka kebenaran
ilmu tersebut sudah dapat dikataorikan ilmiah. Namun sebaliknya apabila kebenaran tersebut
tidak didukung oleh nalar logis atau bukti-bukti empiris maka tidak ada kebenaran ilmiah
pada suatu konsep tersebut, dengan kata lain benar secara ilmiah apabila logis dan terbukti.
kebenaran ilmiah tidak dapat digugurkan, selagi tidak ditemukan kebenaran-kebenaran yang
lebih ilmiah (logis – empiris) terhadap suatu kajian atau konsep yang sedang dikaji. Apabila
suatu teori mendukung kebenaran ilmiah sebelumnya maka kebenaran tersebut semakin
kokoh. Namun sebaliknya, apabila ditemukan kebenaran ilmiah yang lebih empiris dan dapat
dipertanggungjawabkan dengan nalar logis dan bukti yang lebih kuat (evidens) maka
kebenaran sebelumnya dapat gugur dengan sendirinya.
Bertitik tolak dari deskripsi tetsebut, estetika sastra dapat juga dapat diwujudkan
dengan langkah-langkah pengilmiahan suatu bidang pengetahuan. Apabila estetika diyakini
sebagai sebuah simpulan dari sebuah pengetahuan, maka diperlukan metodologis (cara),
analisis (proses pembuktian), empiris (bukti) untuk memberikan simpulan pada sebuah karya
sastra apakah sudah termasuk dalam kategori estetika atau tidak. Hal tersebut dapat
didukung oleh kerangka pemikiran logis sistematis disertai bukti, sehingga terwujudlah
estetika karya sastra.
C. Estetika dengan Seni
Estetika dan seni merupakan kajian bidang yang sama, kebanyakan orang menyebut
estetika sebagai seni dan sebaliknya menyebut seni sebagai estetika. Perihal yang pertama
(estetika sebagai seni) merupakan perwujudan sebuah konsep yang masih abstrak menjadi
13
menjadi sebuah bentuk seni. Seorang sastrawan yang sedang membuat karya sastra, hal kali
pertama yang seharusnya dilakukan adalah membangun konsep estetika dalam imajinasinya.
Konsep tersebut membuat nama-nama tokoh, alur, setting, dll. yang kemudian diwujudkan
dalam bentuk tulisan. Tulisan itu merupakan implementasi ide seorang pengarang. Cuma
tidak semua konsep atau keindahan dalam ide seorang pengarang dapat dituangkan semuanya
dalam bentuk tulisan. Semahir apapun seorang pengarang kadangkalanya masih menyisakan
bentuk konsep yang tidak tertuliskan.
Kedua (seni sebagai estetika) muncul pada saat seseorang mengkagumi isi karya sastra.
Rasa kekaguman pembaca terhadap isi karya sastra sebagai pengejawantahan konsep estetika
seorang pengarang terasa pada saat pembaca membaca dan mengikuti alur pemikiran
pengarang. Pembaca merasa terbuai dalam bentuk estetika yang dibuat pengarang, sehingga
terwujudlah kristal-kristal nilai estetika dalam benak pembaca. Rasa kagum yang membentuk
kristal-kristal estetika pada seorang pembaca karya sastra disebut sebagai seni sebagai
sebuah estetika.
Estetika yang hadir pada saat seorang sastrawan menemukan inspirasi kreatif atau pada
saat seorang pembaca menemukan ‘ruh’ estetika pengarang dalam karyanya dapat dikatakan
“estetika sebagai konsep dan akan bermakna dalam konsep”. Konsep estetika seorang
pengarang yang terwujud dalam sebuah karya akan ditemukan kembali oleh pembaca pada
saat pembaca secara totalitas mencurahkan semua energi, perasaan, dan imajinasi sampai
merasakan ekstasi. Pada saat seorang pembaca ekstasi atau berada dalam dunia bacaannya
akan ditemukanlah estetika.
Sebenarnya ada batasan-batasan ilmiah antara estetika dan seni. Sudarsono (2007:23)
cenderung memberikan penilaian terhadap bentuk ‘luar‘ sebagai sebuah kajian seni,
sedangkan keindahan ‘dalam’ sebagai sebuah bentuk estetika. Perbedaan estetika dan seni
dideskripsikan sebagai berikut.
Estetika Seni
1) Estetika adalah sebagai filsafat
keindahan.
2) Estetika adalah idea yang terwujud di
dalam indera.
3) Estetika adalah obyek pemuasan darurat
yang terkonsep.
1) Seni bukan sekedar alat filsafat tapi
sumber yang sesungguhnya.
2) Seni adalah hasil idea, sedang bentuknya
terdapat dalam gambaran indrawi dan
khayalinya.
3) Seni adalah penciptaan sadar terhadap
14
4) Estetika merupakan segala sesuatu yang
mendatangkan kesenangan dengan
menyeluruh dan “tidak berkonsepsi”.
5) Estetika adalah berada pada keselarasan
pikiran di imajinasi (dengan dasar
bebasnya kerja imajinasi).
6) Estetika bergantung pada ilmu seni,
maka estetika adalah hasil-hasil
eksperimen yang tercipta dan
meyakinkan.
7) Estetika adalah tidak selalu berpangkal
pada pengetahuan atau kemauan tetapi
pada rasa senang dan sedih.
8) Estetika adalah bahasa orang banyak
atau ilmu untuk mengeluarkan isi hati.
objek-objek yang menyebabkan orang
yang mengenangnya merasa seolah
objek-objek itu dicipta tanpa tujuan.
4) Seni adalah pekerjaan dan hasil jerih
payah.
5) Seni adalah suatu aktivitas kemanusiaan
yang sadar menyangkut lambang-
lambang atau simbol-simbol untuk
menyampaikan perasaan dan ikut
mengalami.
6) Seni adalah jalan yang terbagus, bentuk
mencapai pengetahuan murni tentang
dunia.
7) Seni adalah hiburan yang terbaik, seni
sebagai tempat istirahat yang terjamin.
D. Estetika dan Nilai
Nilai merupakan sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata (abstrak). Keberadaanya
yang abstrak memungkinkan nilai untuk berwujud simbol-simbol salah-satunya simbol angka
ataupun prilaku apresiasi yang lain. Simbol angka 1 s.d 9 atau A s.d E dalam persepsi
masyarakat umum merupakan nilai. Benar ataukah tidak, secara konvensional orang sudah
akrap menyebut (1 s.d 9/A s.d E) di dalam raport atau Kartu Hasil Studi (KHS) sebagai nilai
akan tetapi di luar itu sebagai angka dan huruf. Seandainya keberadaan angka atau huruf itu
tidak dapat mewakili nilai, maka selamanya nilai hanya ada dalam persepsi manusia dan tidak
pernah berwujud. Orang tidak dapat mengapresiasi segala sesuatu yang bernilai karena tidak
mempunyai bentuk nilai.
Nilai hanya ada dalam persepsi manusia sebagai tolok ukur entitas sesuatu. Karena
hanya ada dalam persepsi maka sesuatu itu harus menampakkan wujudnya atau
memperlihatkan keberadaanya, sehingga dapat dilihat oleh manusia. Setelah sesuatu terlihat,
maka pengatahuan dan pengalaman yang ada pada diri manusia akan merespon sesuatu itu
dengan nilai dan nilai dapat berwujud sesuatu sesuai dengan keinginan manusia.
15
Berdasarkan deskripsi di atas, sangat penting untuk diketahui tentang hakikat nilai
yang dalam perspektif interdisipliner ilmu. Menurut Sudarsono (2007:45) nilai merupakan
keberhargaan (worth) dan kebaikan (goodness) yang ada pada segala bentuk/wujud dan hal.
Keberhargaan ada karena eksistensinya dan posisinya. Keberhargaan dalam bentuk
eksistensinya, karena sesuatu itu eksis dan posisinya ‘dibutuhkan’ orang lain. Ada dan
dibutuhkan orang lain menjadikan sesuatu itu berharga baik secara moral ataupun materi.
Keberhargaan suatu benda bergantung fungsi benda itu sendiri dan kreatifitas pengguna
benda, misalnya ‘koran’.
Pada umumnya koran berfungsi untuk menyajikan berita-berita terbaru setiap hari,
hampir dapat dipastikan bahwa berita yang tertulis di dalamnya merupakan peristiwa sehari
sebelumnya. Tidak ada koran yang menyajikan peristiwa seminggu atau sebulan sebelumnya.
Koran yang menyajikan berita atau peristiwa sehari sebelum koran itu terbit sangat
bermanfaat bagi pembaca. Namun berlaku sebaliknya, koran yang sudah tidak baru atau
koran dua hari yang sebelumnya akan menjadi koran bekas yang nilai keberhargaanya sudah
tidak ada. Hal ini membuktikan bahwa nilai sesuatu benda itu bergantung pada fungsi benda
secara riil. Di sisi lain, seorang pengguna koran yang tidak hanya menanfaatkan nilai berita,
melainkan kebermanfaatan yang lain, selalu menjadikan koran tersebut sebagai benda yang
multi fungsi dan dapat dimanfaatkan untuk segala hal. Dengan kata lain koran tersebut dapat
digunakan sebagai apa saja sesuai dengan subjektifitas pemakai.
Kaitannya dengan nilai, deskripsi tersebut memberikan gambaran eksplisit (tersurat)
bahwa nilai suatu benda itu dapat ditinjau dari sudut pandang objektif (benda) dan subjektif
(pemakai benda). Dalam kamus Dictionary of Sociology and Related Sciences diberikan
gambaran bahwa nilai adalah The believed capacity of any object which causes it to be
interest to any object which causes it to be of interest to an individual or group. (Nilai
merupakan kemampuan yang dipercayai pada suatu benda untuk memuaskan suatu keinginan
manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkannya menarik seseorang atau suatu
golongan). Menurut kamus tersebut dijelaskan oleh Sudarsono (2004:32) sebagai berikut.
Nilai adalah semata-mata suatu realita psikologis yang harus dibedakan secara tegas dari kegunaan, karena terdapat dalam jiwa manusia dan bukan benda itu sendiri. nilai itu dipercaya oleh orang dipercaya terdapat pada suatu benda sampai terbukti kebenarannya. Untuk penggolongannya, di samping terdapat nilai subjektif dan objektif, nilai perseorangan dan kemasyarakatan, juga terdapat niai intrinsik dan ekstrinsik. Nilai intrinsik merupakan sifat baik atau bernilai dalam dirinya atau sebagai suatu tujuan ataupun demi kepentingan dirinya sendiri dari benda yang bersangkutan. Nilai ini disebut juga sebagai nilai consummatory
16
value, yakni nilai yang telah lengkap atau telah mencapai tujuan yang dikehendaki. Selanjutnya, nilai ekstrinsik yaitu merupakan nilai baik suatu benda sebagai suatu sarana atau untuk suatu hal yang lain. Ini sering disebut sebagai contributory value, yakni nilai yang bersifat alat atau membantu.
Dari penyataan Sudarsono di depan, nilai dapat diklasifikasi menjadi tiga hal, antara
lain: 1) nilai objektif, dan subjektif, 2) nilai perorangan dan masyarakat, dan 3) nilai intrinsik
dan ekstrinsik. Deskripsi dari paparan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Nilai Objektif dan Nilai Subjektif
Teori objektif merupakan teori sastra yang memandang karya sastra sebagai
dunia otonom, sebuah dunia yang dapat melepaskan diri dari siapa pengarangnya, dan
lingkungan sosial budayanya. Karya sastra harus dilihat sebagai objek yang mandiri
dan menonjolkan karya sastra sebagai struktur verbal yang otonom dengan koherensi
intern. Dalam teori ini terjalin secara jelas antara konsep-konsep kebahasaan
(linguistik) dengan pengkajian karya sastra itu sendiri, baik secara metaforis maupun
secara elektis. Istilah lain dari teori objektif adalah teori struktural.
Pada umumnya masyarakat mempunyai anggapan bahwa nilai objektif
merupakan nilai yang ditimbulkan oleh benda itu sendiri tanpa ada campur tangan dari
sesuatu yang lain (hubungan benda itu dengan benda yang lain, termasuk hubungan
benda dengan manusia). Hal tersebut mengindikasikan bahwa tidak adanya
keterlibatan yang lain dalam proses penilaian. Padahal nilai itu sendiri merupakan
keberhargaan dan keberfungsian, dan yang dapat memberikan keberhargaan dan
keberfungsian adalah benda atau orang lain. Berdasarkan pandangan tersebut dapat
diklasifikasi bahwa ciri-ciri nilai objektif karya sastra sebagai berikut.
1. Teori objektif memandang karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri sendiri.
2. Menghubungkan konsep-konsep kebahasaan (linguistik) dalam mengkaji suatu
karya sastra.
3. Pendekatan yang dilihat dari eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konvensi
sastra yang berlaku.
4. Penilaian yang diberikan dilihat dari sejauh mana kekuatan atau nilai karya sastra
tersebut berdasarkan kaharmonisan semua unsur-unsur pembentuknya.
17
5. Struktur tidak hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan dapat dikaji
berdasarkan unsur-unsur pembentuknya seperti tema, plot, karakter, setting, point
of view.
6. Untuk mengetahui keseluruhan makna dalam karya sastra, maka unsur-unsur
pembentuknya harus dihubungkan satu sama lain.
Dalam memahami karya sastra secara objektif, tentunya diperlukan adanya cara
untuk mengoperasikan teori itu. Dalam teori ini, terdapat pula pendekatan dan
penilaian secara objektif.
Pendekatan objektif (pendekatan struktural) adalah pendekatan yang
mendasarkan pada suatu karya sastra secara keseluruhan, dan memandang karya
sastra adalah sesuatu yang berdiri sendiri. Pendekatan yang dilihat dari eksistensi
sastra itu sendiri berdasarkan konvensi sastra yang berlaku. Konvensi tersebut
misalnya, aspek-aspek intrinsik sastra yang meliputi kebulatan makna, diksi, rima,
struktur kalimat, tema, plot, setting, karakter, dan sebagainya. Penilaian yang
diberikan dilihat dari sejauh mana kekuatan atau nilai karya sastra tersebut
berdasarkan kaharmonisan semua unsur-unsur pembentuknya.
Telaah struktur yang harus dikaitkan dengan fungsi struktur lainnya yang dapat
berupa pararelisme, pertentangan, inverse, dan kesetaraan. Dalam karya yang lebih
luas seperti novel, struktur tidak hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan
dapat dikaji berdasarkan unsur-unsur pembentuknya seperti tema, plot, karakter,
setting, point of view. Untuk mengetahui keseluruhan makna, maka unsur-unsur
tersebut harus dihubungkan satu sama lain.
Penilaian objektif berarti menilai suatu karya sastra secara objektif, tidak dengan
pendapat pribadi (subjektif). Kriteria utama dalam memberikan penilaian secara
objektif itu, menurut Graham Hough dan Wellek Warren adalah pada adanya :
1. Relevansi nilai-nilai eksistensi manusia yang terpapar melalui jalan seni, imajinasi
maupun rekaan yang keseluruhannya memiliki kasatuan yang utuh, selaras, serta
padu dalam pencapaian tujuan tertentu atau memiliki integritas, harmony, dan
unity.
2. Daya ungkap, keluasan, serta daya pukau yang disajikan lewat texture serta
penataan unsur-unsur kebahasaan maupun struktur verbalnya atau pada adanya
consonantia dan klantas.
18
Dari adanya sejumlah kriteria di atas memang pada dasarnya seseorang dengan
mudah dapat menentukan bahwa sebuah bacaan itu adalah teks sastra. Akan tetapi,
satu hal yang harus diingat, bacaan berupa teks sastra itu tidak selamanya
mengandung nilai-nilai sastra.
Ada tiga paham tentang penilaian terhadap karya sastra secara objektif, yaitu
paham relativisme, absolutisme, dan perspektivisme. Penilaian relativisme
menyatakan bahwa bila sebuah karya sastra dianggap bernilai pada suatu waktu dan
tempat tertentu, pada waktu dan tempat yang lain juga harus dianggap bernilai.
Penilaian absolutisme menyatakan bahwa penilaian karya sastra harus didasarkan
pada ukuran dogmatis. Sedangkan penilaian perspektivisme menyatakan bahwa
penilaian karya sastra harus dilakukan dari berbagai sudut pandang sejak karya sastra
itu tercipta (terbit) sampai sekarang (Pradopo, 1997: 49-51).
2) Nilai Individu dan Nilai Masyarakat
Estetika karya sastra dapat pahami berdasarkan penilaian individu dan penilaian
masyarakat. Kategori penilaian individu tentunya harus dipahami bahwa seseorang
mempunyai tingkat pengalaman dan pengetahuan yang berbeda serta cara menilai
yang berbeda. Di tangan individu yang berpengalaman nilai estetika sastra dapat
dipahami sebagai hal yang objektif, karena dapat diasumsikan bahwa seorang
apresiator (individu) akan menjadikan pengalaman sebelumnya sebagai tolok ukur
penilaian dalam membaca atau mengapresi sastra sesudahnya. Sebaliknya di tangan
seseorang yang pengetahuan dan pengalamannya terhadap karya sastra rendah,
estetika karya sastra hanya dapat dipahami secara subjektif. Namun hal itu juga
tergantung karya sastranya, apabila karya sastra tersebut dapat membombastis para
pembaca dengan estetika umum, maka dapat diasumsikan orang yang membacanya
juga menilaianya dengan indah. Karya sastra yang demikian tentunya marupakan
karya sastra yang dapat menyajikan keindahan dalam berbagai aspek dan sesuai
dengan kebiasaan ‘masyarakat’.
Karya sastra yang tidak dapat menghadirkan keindahan sesuai dengan kebiasaan
atau kultur masyarakat setempat akan menjadi karya sastra pasif yang keberadaanya
sulit diterima oleh masyarakat. Sastra yang indah di masyarakat adalah sastra yang
mampu mewadai nilai-nilai yang telah menjadi adat kebiasaan masyarakat. Meskipun
fungsi utama karya sastra sebagai media hiburan, kalau hiburan tersebut dapat
menjerumuskan anggota masyarakat ke hal yang destruktif, maka fungsi hiburan yang
19
ada hanya menjadi hiburan semu. Masyarakat berharap bahwa wahana hiburan dalam
karya sastra dapat menjadi media hiburan yang totalitas, dalam hal ini hiburan
tersebut dapat membangkitkan spirit hidup. Apabila hiburan tersebut terkesan sebagai
hedonis (kesenangan nafsu) dan tidak diseimbangi dengan yang lain keberadaan karya
sastra tersebut sulit untuk diapresiasi oleh masyarakat.
Sastra yang hanya memberikan satu aspek saja atau hanya memberikan hiburan
pada satu golongan dengan satu bentuk karya sastra, maka sastra itu dapat
dikatagorikan sebagai sastra segmentatif atau sastra yang hanya diperuntukkan untuk
satu golongan satu oreintasi bukan semua golongan dan berbagai tujuan. Sastra
seharusnya dapat memberikan hiburan secara utuh, dengan melihat kebutuhan
masyarakat luas, sehingga keberadaan sastra dapat diterima oleh orang banyak.
3) Nilai Intrinsik dan Ekstrinsik
Keindahan karya sastra bergantung cara seseorang memahami karya tersebut.
Kadar pemahaman, dan kapasitas keilmuan seseorang tentang karya sastra dapat
mempengaruhi penilaian sebuah karya sastra. Sastra yang indah karena sang
apresiator memahaminya dari sisi keindahan. Pengwujudan keindahan dengan cara ini
dapat disebut juga sebagai kategori penilaian subjektif. Bertolak belakang dari
pandangan ini, keindahan karya sastra tidak hanya merupakan perwujudan dari sang
apresiator melainkan juga karena unsur-unsur pembangun karya sastra. unsur
pembangun tersebut dapat berupa unsur intrinsik dan ekstrinsik. Kedua klasifikasi
unsur tersebut dapat dijadikan salah satu penilaian karya sastra.
Penilaian karya sastra dari sudut pandang intrinsik dapat memakai indikator, a)
tema, b) alur, c) penokohan, d) setting, e) gaya, f) sudut pandang, dan g) pesan,
sedangkan dari sudut pandang ekstrinsik dapat memakai a) latar belakang pengarang,
b) lingkungan sosial pengarang. Untuk menilai sebuah karya sastra secara praktis,
seorang apresiator pemula dapat menggunakan penilaian intrinsik daripada unsur
ektrinsik karena unsur intrinsik dapat dipahami dalam sebuah teks, sedangkan
ekstrinsik di luar teks.
Tema memberikan gambaran pada pembaca tentang isi dan nilai yang
terkandung dalam karya sastra. Dengan memahami tema seorang pembaca sudah
dapat menafsirkan segala sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang termasuk
melalui karya sastranya. Konflik dan cara penyelesaian konflik sudah dapat
ditafsirkan dengan memahami tema. Namun seorang pengarang mempunyai cara
20
tersendiri untuk memaparkan sebuah cerita, sehingga alur dengan tema yang sama
dalam sebuah cerita tidak dapat ditebak oleh pembaca.
Alur dapat menjadi bagian estetika murni dalam “karya sastra”, karena cara
penyajian alur dapat memikat pembaca untuk terus dapat menuntaskan cerita yang
sedang dibacanya. Pengarang tidak hanya dituntut untuk selalu membuat alur maju,
mundur, atau campuran. Lebih jelasnya seorang pengarang sebenarnya dapat
memberikan sajian alur yang dapat menyentak dan menyadarkan pembaca untuk
sublim pada cerita yang tengah dibuatnya. Konflik yang juga menjadi salah satu
bagian dari alur, juga menjadi penentu estetika sebuah karya sastra. Semakin dramatis
atau romantis sebuah konflik dalam alur cerita dapat menjadi “bumbu penyedap”
sebuah cerita. Namun seorang pengarang seharusnya dapat menyajikan konflik
dengan seimbang bersama cara penyelesaiannya. Cerita yang hanya menyajikan
konflik berlarut-larut tanpa diimbangi dengan penyelesaian sesaat hanya dapat
menjadi kemenotonan sebuah konflik, bahwasanya setelah konflik berakhir cerita itu
akan selesai. Bisakah seorang pengarang penyajian cerita dengan berbagai konflik
juga dengan berbagai penyelesaian dalam sebuah cerita. Semuanya bergantung pada
pengarang karena pengaranglah yang akan membaca pembaca menemui hakikat
estetika dalam sebuah cerita. Alur sangat erat kaitannya dengan penokohan, karena
penokohlah yang akan membaca alur itu menjadi alur.
Penokohan yang dimunculkan oleh pengarang mewadahi karakter dan watak
masing-masing. Pembaca dapat menafsirkan penokohan itu sebagai sebuah imajinasi
seorang pengarang atau sebagai sebuah kajian simbol. Penokohan yang dibuat
berdasarkan imajinasi seorang pengarang terkesan hanya melengkapi alur cerita atau
seakan-akan menjadi objek dari alur. Berbeda dengan penokohan yang dibuat sebagai
sebuah simbol dari segala sesuatu yang dimaksud pengarang, maka tokohlah yang
sangat berperan dan menentukan watak dan karakter yang seperti apakah yang paling
pas untuk penokohan, dan alur seperti apa yang paling menarik untuk mengambarkan
penokoahan tersebut. Untuk mendukung karakter dan watak penokohan yang estetis
dalam sebuah cerita setting cerita juga mempunyai andil penting. Tokoh yang
mempunyai perwatakan baik dengan sejumlah karakteristik harus mempunyai setting
di mana dan seperti apa, maka setting menjadi ukuran tingkat estetika karya sastra.
Setting dalam sebuah karya sastra dapat dilihat dari dua hal. Pertama setting
fisik dan setting psikologis. Setting fisik merupakan tempat kehidupan seorang tokoh
dapat berupa pedesaan, pegunungan, perkotaan, dll. yang di dalamnya terdapat
21
beranika ragam ciri khas sesuai dengan tempat tersebut. Kalau setting itu
dipengunungan maka segala hal yang terdapat di pengunungan tersebut mulai dari
bentuk yang paling kecil (rumput s.d kuntor pengungan) menjadi karaktaristik setting
fisik cerita, sedangkan kondisi psikologi pada saat seorang tokoh mengenal setting
fisik atau pada saat sang tokoh sedang menghadapi konflik dan sebagainya menjadi
setting psikologis.
Kedua setting tersebut memberikan kontribusi riil ada cerita kadangkalanya film
yang diambil dari sebuah novel menjadi sangat tidak menarik lantaran setting fisik
yang digunakan oleh sutradara tidak sama dengan setting fisik yagn ada dicitrakan
dalam novel. Dalam hal ini kadangkalanya deskripsi naratif dalam novel lebih indah
dari deskripnya dalam dunia nyata. Kenapa demikian, ternyata ini menjadi kekuatan
sebuah sajian karya sastra. Novel mempunyai kekuatan pada bentuk dan cara
penyajian deskripsi, sedangkan film mempunyai kekuatan pada bentuk citra visual
dan audiovisual. Kedua cara penyajian setting tersebut hanya mempunyai satu tujuan
yakni untuk membentuk sebuah estetika cerita.
Daftar Rujukan
A.A.M Djelantik (1990). Estetika: Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia
Agus Sachari (2002). Estetika: Makna, simbol dan ayat. Bandung: Institut Teknologi Bandung
Anwar, Wadjiz. 1985. Filsafat Estetika. Yogyakarta: Nur Cahya.
Iv. Syafwandi (1993). Estetika & Simbolisme Beberapa Masjid Tradisional di Banten Jawa Barat: Cilegon. Jakarta: Departmen Pendidikan & Kebudayaan.
Kartika, Darsono Sony. 2004. Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains.
Morris Weirz (Ed). 1970. On The Creation of Art, Problem in Aestheties; Monroe C. Beardsley, The Maemelan Company.
Mudji Sutrisno & Christ Verhaak (1993). Estetika: Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius.
22