badan meteorologi klimatologi dan geofisika...
TRANSCRIPT
VOLUME 6 NOMOR 2 SEPTEMBER 2020 - MARET 2021
BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKASTASIUN METEOROLOGI KELAS I I GUSTI NGURAH RAI
i
TIM REDAKSI BULETIN METEO NGURAH RAI
Pelindung
Kepala Stasiun Meteorologi Kelas I Ngurah Rai Denpasar
Fransin Adriana Patiinama, S. Pi. Penasehat
Aniceta Ardyahayu Anggrari, SE Agus Yarcana, S.Si Pemimpin Redaksi
Apritarum Fadianika, SST Wakil Pemimpin Redaksi Gede Sudika Pratama, SP
Sekretaris Redaksi Rahma Fauzia Yushar, S.Tr.
Tim Redaksi Sangsang Firmansyah, SP
Dewa Gede Agung Mahendra,ST Tanti Prasetya Prima Dewi, S.Si
Ni Made Dwi Jayanti, S. Kom Kadek Sumaja, S.Si, M.Dis.Mgt
Kadek Winasih, A.Md Bonggo Pribadi, S.Tr.
Ni Luh Putu Sri Ariastuti, SP Pande Putu Hadi Wiguna, S.Tr
Made Nanda Putri A.M, S.Tr I Kadek Mas Satriyabawa, S. Tr
Luh Novita Ari Wardani, S.Tr Aulia Siti Syahdian, S.Tr
Dewa Ayu Kade Wida P, S.Tr Tim Percetakan/Distributor
I Wayan Subakti, A.Md Putri Kusumastuti, A.Md Devi Dwita Meiliza, SE
I Made Oka Puspa
Alamat Redaksi Stasiun Meteorologi Kelas I
I Gusti Ngurah Rai Gedung GOI Lt. II Bandara
Ngurah Rai Denpasar Bali 80361 Telp. 03619359754 Fax. 03619351124
Email : [email protected]
Website www.ngurahrai.bali.bmkg.go.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang
Maha Kuasa atas diterbitkannya Buletin Meteo Ngurah
Rai edisi September 2020 – Maret 2021 ini. Pembuatan
buletin ini dilakukan sebagai ikhtiar untuk mendorong
terciptanya peningkatan pelayanan MKKuG di masa
yang akan datang. Di samping itu, munculnya
kesadaran di dalam melakukan kaidah penelitian,
diharapkan akan menunjang bagi peningkatan
pengetahuan serta kinerja di dalam pelaksanaan tugas
sehari-hari.
Penerbitan buletin ini diharapkan dapat memberi
nilai tambah kepada masyarakat terutama kepada
pengguna layanan MKKuG khususnya layanan cuaca
penerbangan.
Sebagaimana biasa, saran dan kritik membangun
tentu saja masih kami perlukan guna menjadikan
kualitas buletin ini ke depan menjadi semakin baik.
Badung, 23 September 2020
ii
DAFTAR ISI
IDENTIFIKASI PENGARUH EL NINO SOUTHERN
OSCILLATION (ENSO), INDIAN OCEAN DIPOLE (IOD), AND
MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) TERHADAP
INTENSITAS CURAH HUJAN BULANAN DI INDONESIA
BERBASIS MACHINE LEARNING
Richard Mahendra P., Solih Alfiandy, dan Bagas Ega A. H.
1-8
VERIFIKASI PRAKIRAAN CURAH HUJAN PROBABILISTIK
DARI DATA ECMWF DI NUSA TENGGARA BARAT
Afriyas Ulfah dan Suci Agustiarini
9-20
PENGARUH KONDISI HARI RAYA NYEPI TERHADAP RASIO
SUHU UDARA RUANGAN RATA-RATA TERHADAP LAMA
PENYINARAN MATAHARI SERTA KELEMBABAN PADA
STASIUN PENGAMATAN SINOPTIK DI BALI
I Putu Dedy Pratama, Putu Eka T., dan Pande Putu Hadi W.
21-28
KAJIAN VERIFIKASI PRAKIRAAN CURAH HUJAN BULANAN
DI PROVINSI SULAWESI UTARA PERIODE 2016-2018
Fitri Supatmi dan Listy Aziza Kurnianingrum
29-36
ANALISIS PERUBAHAN SUHU DAN HUJAN EKSTRIM DI
STASIUN METEOROLOGI I GUSTI NGURAH RAI PERIODE
1981-2010
Ni Made Adi Purwaningsih dan Dewa Ayu Kade Wida
37-42
BULETIN METEO NGURAH RAI | 1
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
IDENTIFIKASI PENGARUH EL NINO SOUTHERN
OSCILLATION (ENSO), INDIAN OCEAN DIPOLE (IOD), AND
MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) TERHADAP
INTENSITAS CURAH HUJAN BULANAN DI INDONESIA
BERBASIS MACHINE LEARNING
Richard Mahendra Putra1*), Solih Alfiandy2, dan Bagas Ega Amirul Haq3 1,2,3Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
*) E-mail : [email protected]
ABSTRAK Benua maritim Indonesia memiliki karakteristik cuaca dan kondisi iklim yang unik. Di kawasan ini terdapat beberapa faktor global, regional dan lokal yang menyebabkan kondisi cuaca dan iklim. Untuk skala global faktor iklim yang mempengaruhi benua maritim Indonesia adalah El Nino Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole (IOD) dan Madden Julian Oscillation (MJO). Kombinasi dari ketiga faktor global tersebut akan mempengaruhi kondisi cuaca dan Iklim di Indonesia. Dalam penelitian ini dibuat model Machine Learning menggunakan data yang dilatih selama tahun 2000 sampai 2016 untuk mengetahui intensitas curah hujan bulanan berdasarkan kombinasi ENSO, IOD, dan MJO. Beberapa model terdiri dari semua faktor untuk prediktor, model lain hanya terdiri dari beberapa faktor kombinasi saja, seperti kombinasi MJO dan IOD, kombinasi SOI dan MJO, serta kombinasi IOD dan SOI. Berdasarkan hasil tersebut, nilai korelasi model terbaik di setiap pulau berada pada rentang 0,56 - 0,86 dengan hasil terbaik ada di Pulau Sumatera. Faktor global yang mempengaruhi intensitas hujan bulanan tergantung pada lokasi penelitian. Nilai Mean Absolut Error (MAE) berkisar antara 20.03 – 97.20 mm/bulan. Nilai MAE menunjukkan model terbaik adalah saat prediktor menggunakan semua faktor untuk menghitung intensitas curah hujan di Sumatera dan Pulau Jawa. Sedangkan untuk Pulau Kalimantan, model terbaik ditampilkan ketika prediktor hanya terdiri dari SOI dan MJO. Untuk Sulawesi, hasil model menunjukkan bahwa IOD dan MJO merupakan prediktor terbaik untuk intensitas curah hujan berbasis Machine Learning. Kata kunci:hujan, ENSO, IOD, MJO, Machine Learning
ABSTRACT
The Indonesian maritime continent has unique weather characteristics and climatic conditions. In this region there are several global, regional and local factors that cause weather and climatic conditions. For the global scale, the climate factors that affect the maritime continent of Indonesia are the El Nino Southern Oscillation (ENSO), the Indian Ocean Dipole (IOD) and the Madden Julian Oscillation (MJO). The combination of these global factors will influence weather and climate conditions in Indonesia. In this study, Machine Learning model was created using data trained from 2000 to 2016 to determine the intensity of monthly rainfall based on a combination of ENSO, IOD, and MJO. Some models consist of all factors for predictors, other models only consist of a few combination factors, such as the combination of MJO and IOD, the combination of SOI and MJO, and the combination of IOD and SOI. Based on these results, the best model correlation values in each island are in the range 0.56 - 0.86 with the best results in Sumatera Island. Global factors affecting monthly rainfall intensity depend on the research location. Mean Absolute Error (MAE) values between from 20.03 - 97.20 mm / month. MAE value shows that the best model is when the predictor uses all factors to calculate the intensity of rainfall in Sumatra and Java. Whereas for Kalimantan
BULETIN METEO NGURAH RAI | 2
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
Island, the best model is shown when the predictors only consist of SOI and MJO. For Sulawesi, the model results show that IOD and MJO are the best predictors for machine learning-based rainfall intensity. Keywords: rainfall, ENSO, IOD, MJO 1. PENDAHULUAN
Membahas tentang cuaca dan iklim tidak terlepas dari hubungan antara daratan, lautan dan atmosfer pada suatu wilayah (Hermawan, Satyawardhana, Witono, & Berliana, 2017). Indonesia yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik) menyebabkan kondisi curah hujan Indonesia dipengaruhi oleh beberapa fenomena alam baik lokal, regional maupun global (Madani et al., 2012). Beberapa fenomena alam yang dapat memengaruhi kondisi curah hujan di Indonesia antara lain Madden – Julian Oscillation (MJO), El Nino Southern Oscillation (ENSO) dan Dipole Mode Index (IOD).
Dampak dari ENSO dan IOD memiliki pengaruh yang beragam terhadap curah hujan di Indonesia. Ketika musim kemarau, 50% curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh ENSO dan 25% dipengaruhi oleh Indian Ocean Dipole (IOD) (Hedon, 2003) Salmayenti, Hidayat, & Pramudia, 2017). Selain kedua faktor tersebut, faktor global lain yang mempengaruhi curah hujan di Indonesia adalah MJO. MJO merupakan fenomena penjalaran gelombang osilasi yang bergerak ke arah timur bumi dengan lama perulangan kejadiannya 30 – 90 hari. Osilasi ini sangat kuat dampaknya dirasakan pada daerah – daerah lintang rendah atau daerah dekat dengan garis ekuator, kejadian MJO pertama kali terjadi di samudera hindia dan bergerak kearah timur. (Yana, Ihwan, Jumarang, & Apriansyah, 2014).
Fenomena MJO dapat digunakan untuk memprediksi iklim, terutama di Kawasan tropis saat periode MJO aktif (Windayati, Mada, & Surinati, 2019). Selain hubungannya terhadap curah hujan
di Indonesia, MJO juga dapat memengaruhi siklus ENSO walaupun tidak berada pada konteks penyebab pembentukan El – Nino maupun La – Nina (Gottschalck & Higgins, 2008).
Penelitian atau kajian mengenai fenomena IOD lebih banyak difokuskan pada wilayah bagian barat Indonesia, khususnya pulau Sumatera. Indian Dipole Mode (IOD) merupakan anomali iklim yang terjadi akibat adanya interaksi lautan dengan atmosfer yang terjadi di samudera Hindia. IOD diidentifikasi kedalam dua fase positif dan negatif. Ciri – ciri Indian Dipole Mode adalah meningkatnya suhu permukaan laut di WTIO dan menurunnya suhu permukaan laut di SETIO. Jika suhu permukaan laut di WTIO lebih dingin dari netralnya sedangkan di SETIO lebih hangat dari netralnya, maka kondisi ini akan dinyatakan sebagai IOD negatif (Rahayu, Sasmito, & Bashit, 2018)
Machine Learning merupakan salah satu dari pengaplikasian kecerdasan buatan. Dengan menggunakan machine learning, kita dapat membuat model (matematis) yang melakuan refleksi pola data yang diberikan (Putra, 2020). Penerapan machine learning dalam dunia meteorologi telah dilakukan untuk beberapa sektor, seperti prakiraan cuaca jangka pendek (G B Wanugroho; Martarizaland; R M Putra, 2020), prediksi PM25 dan PM10 di Kemayoran (A M M B Putra; Martarizal; R M Putra, 2020), deteksi badai guntur (PETER UKKONEN; AGOSTINO MANZATO ; ANTTI MÄKELÄ, 2017), dan prediksi siklon tropis (Nath & Kundu, 2016).
Konsep dalam pembuatan model berbasis machine learning adalah dengan memanfaatkan parameter input yang dilakukan pelatihan untuk dapat menghasilkan parameter output. Pada struktur model machine
BULETIN METEO NGURAH RAI | 3
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
learning terdapat 3 lapisan yang terdiri lapisan input, lapisan tersembunyi, dan lapisan output. Hasil perhitungan dari lapisan input ini akan diterima sebagai input baru oleh lapisan tersembunyi, dan kemudian akan dihitung lagi untuk menjadi output dari lapisan output.
Gambar 1. Ilustrasi Jaringan Model
(Putra, 2020) Pada penelitian ini, dilakukan
sebuah pemodelan hujan bulanan yang berbasis machine learning dengan memanfaatkan faktor cuaca skala global yaitu ENSO, IOD, dan MJO. Pada penelitian sebelumnya (Salmayenti et al., 2017) telah melakukan hal yang serupa, namun input yang digunakan hanya sebatas ENSO dan IOD saja. Pada penelitian ini ditambahkan variabel lainnya yaitu kondisi dari MJO.
2. DATA DAN METODE Dalam penelitian ini, data yang
digunakan sebagai data target model adalah intensitas hujan bulanan di 4 lokasi yang diasumsikan mewakili 1 pulau besar di Indonesia. Lokasi penelitian secara detail terdapat pada gambar 2. Untuk wilayah Sumatera, lokasi penelitian dilakukan di Stasiun Meteorologi Kualanamu. Wilayah Jawa dilakukan di Stasiun Meteorologi Soekarno Hatta, wilayah Kalimantan dilakukan di Stasiun Meteorologi Ketapang dan wilayah Sulawesi dilakukan di Stasiun Meteorologi Palu.
Gambar 2. Lokasi Penelitian
Model machine learning yang dibuat dalam penelitian ini menggunakan input berupa kondisi global di bulan yang sama dengan kejadian intensitas hujan bulanan. Variabel input terdiri dari indeks SOI, IOD, dan MJO. Selain itu, dilakukan juga pengujian variasi input untuk mengetahui dampak fenomena global yang terjadi terhadap intensitas hujan di seluruh lokasi penelitian. Beberapa model terdiri dari semua faktor untuk prediktor, model lain hanya terdiri dari beberapa faktor kombinasi saja, seperti kombinasi MJO dan IOD, kombinasi SOI dan MJO, serta kombinasi IOD dan SOI. Sehingga model yang terbentuk tidak hanya 1 model saja, melainkan terdapat 4 model.
Setelah ditentukan variabel input, dilakukan desain arsitektur dari model yang dibuat. Pada penelitian ini, variabel input terdiri dari 3 input (SOI, IOD, dan MJO) dan kombinasi 2 input (SOI+IOD, SOI+MJO, MJO+IOD). Kemudian model ini terdiri dari 2 layer tersembunyi dengan jumlah neuron masing – masing 25 neuron di lapisan tersembunyi 1, dan 5 neuron di lapisan tersembunyi 2. Selanjutnya lapisan output terdiri dari 1 output saja yaitu intensitas curah hujan bulanan berdasarkan data input model.
Untuk mengetahui performa model, hasil output hujan bulanan dari model dibandingkan dengan data observasi hujan bulanan. Analisa tingkat kesalahan model dilakukan dengan menggunakan indeks Mean Absolute Error (MAE). Semakin besar nilai MAE, maka tingkat kesalahan dari output tersebut semakin besar sehingga menunjukkan bahwa model kurang optimal dalam membuat prakiraan hujan tersebut. Secara matematis, nilai dari MAE dapat dihitung sebagai berikut (Azka et al., 2018):
𝑀𝐴𝐸 =∑ |𝑅𝑀𝑖−𝑅𝑂𝑖|𝑛
𝑖=1
𝑛 ...............(1)
BULETIN METEO NGURAH RAI | 4
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
Keterangan : MAE = Mean Absolute Error RM = Intensitas hujan Model RO = Intensitas hujan Observasi
Selain itu, dilihat bagaimana
hubungan dari output model yang telah dibuat dengan hasil obsevasi. Tingkat hubungan tersebut dapat dihitung berdasarkan nilai korelasinya (Azka et al., 2018)
𝐶 =∑ (𝑅𝑂𝑖−𝑅𝑂̅̅ ̅̅𝑛
𝑖=1 )(𝑅𝑀𝑖−𝑅𝑀̅̅ ̅̅ ̅)
√∑ (𝑅𝑂𝑖−𝑅𝑂̅̅ ̅̅𝑛𝑖=1 )2√∑ (𝑅𝑀𝑖−𝑅𝑀̅̅ ̅̅ ̅𝑛
𝑖=1 )2 .... (2)
Keterangan : RM = Intensitas hujan Model
𝑅𝑀̅̅̅̅̅ = Rata-rata Intensitas hujan Model RO = Intensitas hujan Observasi
𝑅𝑂̅̅ ̅̅ = Rata-rata Intensitas hujan Observasi
Gambar 3. Perbandingan hujan di Sumatera Semakin besar nilai dari C
(korelasi) tersebut, maka tingkat hubungan dari kedua data antara input dan output semakin kuat.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pulau Sumatera
Pada gambar 3, ditunjukkan hasil time series perbandingan intensitas hujan bulanan yang diperoleh dari model dengan data observasi di Stasiun Meteorologi Kualanamu. Berdasarkan hasil tersebut, terlihat bahwa model dengan keseluruhan faktor (SOI, IOD, dan MJO) memiliki performa yang lebih baik meskipun cenderung overestimate.
Gambar 4. Nilai Korelasi Sumatera
Kemudian hasil perbandingan tingkat korelasi dari seluruh faktor, menunjukkan bahwa korelasi terbesar untuk studi kasus di wilayah Sumatera adalah 0.81 saat menggunakan seluruh variabel
global sebagai data input model (Gambar 4). Selanjutnya data Mean Absolute Error (MAE) menunjukkan hasil yang serupa. Tingkat kesalahan terendah terjadi saat model menggunakan seluruh output. Nilai MAE terendah dengan keseluruhan output tersebut adalah 25.3 mm/bulan (Gambar 5).
Gambar 5. Nilai MAE Sumatera
Pulau Jawa
Stasiun Meteorologi yang mewakili Pulau Jawa adalah Stasiun Meteorologi Soekarno-Hatta. Berdasarkan gambar 6, kondisi hujan yang ditunjukkan oleh model memiliki performa terbaik sama seperti pada pulau Sumatera, yaitu ketika menggunakan seluruh variabel input. Estimasi hujan yang dihasilkan oleh model pada studi kasus ini memiliki kecenderungan overestimate, terutama pada awal tahun 2009 dan pertengahan tahun 2016.
BULETIN METEO NGURAH RAI | 5
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
Gambar 6. Perbandingan hujan di Jawa
Berdasarkan gambar 7, tingkat korelasi yang dihasilkan pada studi kasus pulau Jawa, terdapat 2 nilai korelasi yang saling berdekatan, yaitu saat model menggunakan seluruh parameter input dan ketika hanya menggunakan parameter input SOI dan IOD saja. Saat melihat tingkat kesalahan dari model melalui Mean Absolute Error (MAE), dapat disimpulkan bahwa pada studi kasus pulau Jawa, model yang terbaik adalah model menggunakan keseluruhan variabel sebagai input model. Tingkat korelasi pada model tersebut adalah 0.71 dengan nilai MAE 37.8 mm/bulan (Gambar 8).
Gambar 7. Nilai Korelasi Jawa
Gambar 8. Nilai MAE Jawa
Pulau Kalimantan Pada pulau Kalimantan, karakteristik hujan yang dihasilkan memiliki perbedaan yang signifikan. Pada pengujian model di studi kasus ini, intensitas hujan yang dihasilkan oleh model memiliki kecenderungan underestimate dibandingkan hasil observasi (Gambar 9). Selain itu, tingkat korelasi yang dihasilkan dari seluruh model pada studi kasus pulau Kalimantan tidak sebaik studi kasus di pulau Sumatera dan Jawa.
Gambar 9. Perbandingan hujan di Kalimantan Tingkat korelasi nilai korelasi untuk seluruh model saat diuji di pulau
kalimantan antara 0.49 – 0.56 (Gambar 10).
BULETIN METEO NGURAH RAI | 6
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
Sedangkan tingkat kesalahan model yang dilihat dari nilai Mean Absolut Error (MAE) pada studi kasus pulau Kalimantan memiliki tingkat kesalahan yang tinggi, yaitu berkisar antara 97.2 – 110.2 mm/bulan (Gambar 11). Model terbaik yang dapat digunakan untuk wilayah Kalimantan adalah model dengan input indeks SOI dan MJO. Sedangkan saat memasukan indeks IOD sebagai salah satu parameter input model, hasil simulasi hujan yang diperoleh tidak bisa mendekati nilai observasi.
Gambar 10. Nilai Korelasi
Kalimantan
Gambar 11. Nilai MAE Kalimantan
Pulau Sulawesi Untuk studi kasus terakhir dalam penelitian ini, model yang dibuat dari data historis sebelumnya di Stasiun
Metorologi Palu diuji dengan data hujan observasi untuk melihat performa model. Berdasarkan hasil perhitungan model, karakteristik output dari studi kasus ini mirip dengan studi kasus di pulau Kalimantan, yaitu intensitas hujan yang dihasilkan model cenderung underestimate (Gambar 14).
Gambar 12. Nilai Korelasi Sulawesi Korelasi tertinggi dihasilkan saat model menggunakan variasi input IOD dan MJO dengan nilai korelasi 0.73 (Gambar 12). Selain itu, tingkat kesalahan yang dihasilkan model juga cukup rendah yaitu berkisar antara 20.0 – 26.9 mm/bulan, dengan error terendah saat menggunakan variasi input IOD dan MJO (Gambar 13).
Gambar 13. Nilai MAE Sulawesi
Gambar 14. Perbandingan hujan di Sulawesi
BULETIN METEO NGURAH RAI | 7
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil uji coba model
berbasis machine learning pada beberapa studi kasus, menunjukkan bahwa faktor skala global yang berpengaruh di wilayah Indonesia memiliki perbedaan di setiap lokasi. Kombinasi input model terbaik untuk wilayah Pulau Sumatera dan Pulau Jawa yaitu pada kombinasi indeks SOI – DMI – MJO karena memiliki korelasi dengan kategori yang sangat kuat terhadap curah hujan dengan nilai error yang kecil. Kombinasi terbaik untuk wilayah Pulau Kalimantan terdapat pada model kombinasi antara SOI – MJO karena memiliki hubungan dengan kategori cukup kuat terhadap curah hujan dengan nilai error yang cukup kecil dibandingkan model kombinasi lainnya. Selanjutnya, kombinasi terbaik untuk wilayah Pulau Sulawesi terdapat pada model IOD – MJO karena memiliki hubungan dengan kategori kuat terhadap curah hujan dengan nilai error yang kecil. Analisis hasil menunjukkan bahwa kombinasi dari beberapa indeks fenomena global dapat dijadikan sebagai prediktor dalam pembuatan model prediksi curah hujan karena memiliki hubungan yang cukup kuat hingga kuat
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih terhadap semua pihak yang terlibat dalam penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat baik dalam dunia operasional maupun dunia riset.
6. DAFTAR PUSTAKA A M M B Putra; Martarizal; R M
Putra. (2020). Prediction of PM2 . 5 and PM10 parameters using artificial neural network : a case study in Kemayoran , Jakarta Prediction of PM2 . 5 and PM10 parameters using artificial neural network : a case study in Kemayoran , Jakarta, 11–16. https://doi.org/10.1088/1742-
6596/1528/1/012036 Azka, M. A., Sugianto, P. A.,
Silitonga, A. K., Redha, I., Betung, K. P., Aren, K. P., & Selatan, T. (2018). UJI AKURASI PRODUK ESTIMASI CURAH HUJAN SATELIT GPM IMERG DI SURABAYA , INDONESIA, 19(2), 83–88.
G B Wanugroho; Martarizaland; R M Putra. (2020). Implementation of artificial neural networks for very short range weather prediction Implementation of artificial neural networks for very short range weather prediction. https://doi.org/10.1088/1742-6596/1528/1/012039
Gottschalck, J., & Higgins, W. (2008). Madden Julian Oscillation Impacts, 4.
Hedon, H. H. (2003). Indonesian Rainfall Variability : Impacts of ENSO and Local Air – Sea Interaction, 1775–1790.
Hermawan, E., Satyawardhana, H., Witono, A., & Berliana, S. (2017). STATUS TERKINI PREDIKSI CURAH HUJAN MK 2016 DAN MH 2016 / 2017 ( STUDI KASUS : D . I . YOGYAKARTA ), (Imc), 9–24.
Madani, N., Hermawan, E., Faqih, A., Model, P., Oscillation, P. M., & Naziah, M. J. O. (2012). PENGEMBANGAN MODEL PREDIKSI MADDEN-JULIAN OSCILLATION ( MJO ) BERBASIS HASIL ANALISIS DATA WIND PROFILER RADAR ( WPR ), 41–51.
Nath, S., & Kundu, S. D. K. P. K. (2016). Seasonal prediction of tropical cyclone activity over the north Indian Ocean using three artificial neural networks. Meteorology and Atmospheric Physics. https://doi.org/10.1007/s00703-016-0446-0
PETER UKKONEN;AGOSTINO MANZATO ; ANTTI MÄKELÄ. (2017). Evaluation of Thunderstorm Predictors for
BULETIN METEO NGURAH RAI | 8
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
Finland Using Reanalyses and Neural Networks, 2335–2352. https://doi.org/10.1175/JAMC-D-16-0361.1
Putra, J. W. G. (2020). Pengenalan Konsep Pembelajaran Mesin dan Deep Learning, (August).
Rahayu, N. D., Sasmito, B., & Bashit, N. (2018). ANALISIS PENGARUH FENOMENA INDIAN OCEAN DIPOLE (IOD) TERHADAP CURAH HUJAN DI PULAU JAWA. Jurnal Geodesi Undip, 7.
Salmayenti, R., Hidayat, R., & Pramudia, A. (2017). Prediksi Curah Hujan Bulanan
Menggunakan Teknik Jaringan Syaraf Tiruan, 31(1), 11–21. https://doi.org/10.29244/j.agromet.32.1.11-21
Windayati, R., Mada, U. G., & Surinati, D. (2019). FENOMENA MADDEN-JULIAN OSCILLATION ( MJO ), (November).
Yana, S., Ihwan, A., Jumarang, M. I., & Apriansyah. (2014). Analisis Pengaruh Madden Julian Oscillation , Anual Oscillation , ENSO dan Dipole Mode Terhadap Curah Hujan di Kabupaten Kapuas Hulu Analisi s, II(2), 31–34.
BULETIN METEO NGURAH RAI | 9
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
VERIFIKASI PRAKIRAAN CURAH HUJAN PROBABILISTIK DARI DATA ECMWF DI NUSA TENGGARA BARAT
Afriyas Ulfah1*), Suci Agustiarini2, 1,2 BMKG Stasiun Klimatologi Kelas I Lombok Barat
*) E-mail: [email protected]
ABSTRAK Prakiraan curah hujan (PCH) probabilistik merupakan prakiraan peluang terjadinya curah hujan pada kategori tertentu di suatu wilayah. Dalam melakukan prakiraan, verifikasi merupakan salah satu langkah yang perlu dilakukan untuk mengkaji kualitas produk model prakiraan yang akan atau sedang digunakan. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan model PCH global dalam memprediksi curah hujan di wilayah Nusa Tenggara Barat. Data PCH yang digunakan merupakan data keluaran dari European Centre for Medium-Range Weather Forecast (ECMWF) yang terdiri dari 51 member dengan resolusi 0.05˚x 0.05˚, sehingga di peroleh 51 nilai pada masing-masing grid. Metode verifikasi yang digunakan dalam kajian ini adalah dengan menghitung nilai Brier Score dari data curah hujan dasarian pos hujan kerjasama BMKG sebagai verifikatornya mulai tahun 2015 hingga 2019. Hasil verifikasi ditampilkan dalam bentuk spasial Brier Score (BS) yang menunjukkan nilai error, Brier Skill Score (BSS) yang menunjukkan performa model, dan grafik Reliability Diagram pada 4 kategori curah hujan yaitu K1 (0 – 50 mm), K2 (50-150 mm), K3 (150 – 300 mm), dan K4 (>300 mm). Secara umum hasil perhitungan nilai BS pada semua kategori menunjukkan bahwa model ini cukup baik digunakan dalam memprediksi peluang curah hujan dasarian di NTB pada setiap kategori, dengan BS berkisar 0.05 – 0.40. Namun kehandalan model ini kurang baik ketika memprediksi hujan pada kategori K4. Nilai BS terbesar terjadi pada kategori K1 dengan nilai mencapai > 0.4 yang terjadi di sebagian wilayah Lombok Timur. Hal serupa juga ditunjukkan pada nilai BSS dalam memperlihatkan performa model pada kategori K1 dan K2 yang menunjukkan adanya performa yang baik di seluruh NTB kecuali sebagian wilayah Lombok Timur. Sementara itu pada kategori K3 dan K4 nilai BSS menunjukkan performa yang buruk yang terjadi hampir merata di seluruh wilayah NTB. Hal ini menunjukkan hasil prediksi dari model ECMWF ini dapat digunakan dalam pengambilan keputusan ketika memprediksi hujan pada kategori K1 dan K2 di Provinsi NTB. Kata kunci: probabilistik, verifikasi, Brier Score
ABSTRACT The Probabilistic Rainfall (PR) forecast is a probability prediction of rainfall which occurred in a certain category in a region. In predicting, verification is one of the steps that needs to be taken to know the quality of prediction model product to be applied. This study aims to determine the ability of the global PR model to predict rainfall in West Nusa Tenggara (NTB). PR data that is used is an output data from the European Centre for Medium-Range Weather Forecast (ECMWF) which consists of 51 members which the resolution is 0.05˚x 0.05˚, thus obtaining 51 values on each grid. The Brier Score is calculated as a verification method using rainfall data from rainfall post of BMKG as a verifier between 2015 and 2019. The verification results are displayed on spatial map of Brier Score (BS) which shows the error value, Brier Skill Score (BSS) which shows the performance of the model, and the graph of the Reliability Diagram on 4 categories of rainfall, K1 (0 - 50 mm), K2 (50-150 mm), K3 (150 - 300 mm), and K4 (> 300 mm). In general, the results of the calculation of BS values in all categories indicate that this model is quite well to be used in predicting probability for decade rainfall in NTB for each category, with the range of BS from 0.1 - 0.40. The highest BS occurs in the category K1
BULETIN METEO NGURAH RAI | 10
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
with the values reached > 0.4 which are evenly distributed in some region in Lombok Timur. The same thing was also shown in the BSS value in showing the performance of the models, in K1 and K2 categories show a good performance throughout NTB, except for some region in Lombok Timur. On the other hand, In K3 dan K4 category, BSS values show bad performance that evenly distributed throughout the NTB region. This shows, the prediction from ECMWF model is useful for decision-making when the forecast lead to K1 and K2 categories. Key words : probabilistic, verification, Brier Score 1. PENDAHULUAN
Layanan informasi prakiraan cuaca dan iklim merupakan salah satu tupoksi (tugas pokok dan fungsi) (PERKA BMKG, 2016), dimana BMKG sebagai satu-satunya badan yang berhak dan berwenang memberikan informasi prakiraan cuaca dan iklim kepada masyarakat, wajib memberikan informasi dengan cepat, tepat, akurat, luas dan mudah dipahami (UURI, 2009). Pada masa sekarang, prakiraan cuaca dan iklim merupakan suatu kebutuhan masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Prakiraan cuaca yang informatif dan akurat banyak digunakan untuk membuat keputusan di berbagai sektor, seperti pada sektor pembangkit listrik, rute kapal (transportasi), pemodelan polusi, resiko ekonomi akibat cuaca, memprediksi suatu penyakit, dan pemodelan hasil tanam (Palmer, 2002). Informasi BMKG yang umumnya banyak dibutuhkan masyarakat adalah informasi prakiraan curah hujan baik dari skala harian, skala dasarian (per sepuluh hari), bulanan, tiga bulanan, musimam, tahunan bahkan skala jangka panjang atau biasa di sebut dengan proyeksi iklim.
Masyarakat Indonesia yang sebagian besar memiliki mata pencaharian dalam sektor pertanian (BPS, 2017) (khususnya pada lahan tadah hujan) sangat bergantung dengan informasi prakiraan curah hujan. Keakuratan informasi seperti yang tertuang dalam slogan BMKG sangatlah penting, karena merupakan kunci diterimanya informasi BMKG di masyarakat. Oleh karena itu berbagai inovasi dilakukan
BMKG demi mendapatkan prakiraan curah hujan yang diharapkan masyarakat, mulai dari pengadaan alat penakar curah hujan yang lebih canggih (otomatis), pengumpulan data yang lebih baik dan terorganisir, dan juga pengolahan data dengan berbagai metode dan sistem prakiraan. Kedua hal tersebut (metode dan sistem prakiraan) akan menjelaskan tentang kemampuan dan nilai dari informasi tersebut, dimana prakiraan mempunyai kemampuan yang baik apabila kondisi pengamatan memiliki kesamaan baik dalam bentuk yang objektif maupun subjektif dengan hasil prakiraan, serta prakiraan mempunyai nilai jika dapat membantu pengguna untuk membuat keputusan yang lebih baik dari pada tanpa informasi prakiraan (Hagedorn, 2007). Terdapat dua metode prakiraan yang biasa di gunakan yaitu prakiraan deterministik dan prakiraan probabilistik.
Dalam penggunaan metode prakiraan deterministik (dalam hal ini BMKG) menghasilkan informasi prakiraan curah hujan untuk tiga bulan kedepan dalam bentuk satu nilai untuk satu lokasi tertentu misal Normal, Atas Normal, Bawah Normal, (dsb) (Muharsyah, 2016), atau dapat juga dalam bentuk kategori curah hujan yang umum dikeluarkan oleh BMKG.
Prakiraan probabilistik adalah salah satu model prakiraan yang output atau hasil keluarannya berupa nilai persentase kemungkinan sebuah kejadian terjadi atau tidak terjadi. Prakiraan probabilistik memiliki keunggulan dimana dalam kerangka pengambilan keputusan yang optimal, prakiraan probabilistik
BULETIN METEO NGURAH RAI | 11
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar daripada prakiraan kategorikal (deterministik), sebuah keputusan mungkin tidak hanya bergantung dari prakirawan atau penyedia informasi, tetapi juga dari penguna dan kebutuhan pengguna informasi (Theis, 2005). Prakiraan probabilistik dapat digambarkan dengan menampilan angka dari nilai peluang, dan tidak harus selalu menggunakan kalimat dalam menjelaskannya. Tampilannya yang informatif (umumnya dalam bentuk gambar atau grafik) memberikan kemudahan untuk pengguna memahami isi dari prakiraan tersebut. Walaupun demikian, prakiraan yang ditampilkan dalam bentuk probabilistik haruslah menggambarkan informasi yang jelas, sehingga terjadi kesamaan persepsi atau pengertian yang sama antara prakirawan dan pengguna informasi. Salah satu hal penting yang perlu di tampilkan dalam informasi probabilistik adalah waktu yang terperinci (periode waktu prakiraan) dan lokasi yang terperinci atau wilayah dimana prakiraan tersebut diterapkan (WMO, 2000).
Kemudahan pemahaman informasi yang ditampilkan dari prakiraan probabilistik tersebut membuat BMKG mulai menyajikan informasi prakiraan curah hujan dalam nilai probabilitas. Salah satunya adalah prakiraan curah hujan probabilitistik skala dasarian (per sepuluh hari) yang mulai dibuat sejak tahun 2015 hingga sekarang dengan memanfaatkan data dari European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF). Data prakiraan dari ECMWF yang digunakan berupa data Ensemble Prediction System (EPS), yang merupakan sistem prediksi cuaca numerik yang memungkinkan pengguna data untuk memperkirakan ketidakpastian dalam prakiraan cuaca serta hasil yang paling mungkin terjadi (WMO, 2012). ECMWF EPS menjalani upgrade pada Desember 1996, dengan
meningkatkan jumlah data ensemble dari 33 menjadi 51 member, oleh karena itu hasil prakiraan dari ECMWF EPS menghasilkan banyak kemungkinan nilai prakiraan (Buizza, 1998) yaitu sesuai dengan jumlah member dari data ensemble tersebut. Jumlah nilai prakiraan dari ECMWF EPS yang banyak, tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan atau error pada hasil prakiraan. Oleh sebab itu, setiap model yang digunakan untuk operasional BMKG dalam menghasilkan informasi prakiraan perlu melalui proses verifikasi demi melihat kualitas (kecocokan) suatu model di wilayah yang diprakirakan.
Selain itu, World Meteorological Organization (WMO, 2000) pada bukunya yang berjudul Guidelines on Performance Assessment of Public Weather Service memberikan empat alasan utama dalam melakukan verifikasi prakiraan yaitu (1) Prakirawan harus tahu kualitas dari produk/informasi yang dikeluarkan; (2) prakirawan membutuhkan informasi untuk mendukung pembuatan keputusan; (3) prakirawan membutuhkan feedback dari pengguna informasi untuk proses perbaikan; (4) prakirawan membutuhkan informasi yang tepat untuk laporan kepada pengguna atau stakeholder lain. Verifikasi pada prediksi cuaca numerik biasanya terdiri dari hasil perbandingan antara hasil model prakiraan dengan analisis, atau dari model interpolasi dengan titik observasi (Wilson, 1999). Umumnya verifikasi untuk melihat kualitas prakiraan dapat dilihat dari akurasi dan juga kemampuan model membaca nilai pengamatan yang akan datang. Tetapi menurut Murphy (1993) kualitas prakiraan dapat dijelaskan dengan berbagai nilai paling tidak ada sembilan hal dalam menilai kualitas dari sebuah prakiraan yaitu bias, association (hubungan), accuracy (ketepatan), skill (kemampuan), reliability (kepercayaan), resolution (kepastian), sharpness (ketajaman),
BULETIN METEO NGURAH RAI | 12
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
discrimination (perbedaan), dan uncertainty (berubah-ubah/variabilitas).
Selain alasan melakukan verifikasi prakiraan yang terdapat dalam dokumen teknis WMO tersebut, belum adanya kajian ilmiah terkait verifikasi prakiraan probabilistik curah hujan di Indonesia khususnya di wilayah NTB menjadi gagasan utama penulis melakukan kajian ini. Tujuan akhir dari kajian ini adalah untuk mengetahui seberapa baik akurasi perakiraan probabilistik pada skala dasarian di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan untuk mengevaluasi kualitas nilai prakiraan keluaran ECMWF EPS berdasarkan ketepatan, keunggulan dan keandalan.
Pada kajian ini penulis membagi menjadi empat bagian yaitu bagian pertama merupakan pendahuluan yang berisi tentang alasan dari penggunaan prakiraan probabilistik keluaran ECMWF EPS, bagian kedua berisi tentang data yang digunakan, cara memperoleh data
serta metode verifikasi prakiraan curah hujan probabilistik. Bagian ketiga berisi tentang hasil verifikasi yang disajiakan dalam bentuk grafik maupun spasial. Bagian akhir adalah kesimpulan dari hasil kajian. 2. DATA DAN METODE
Terdapat dua data yang digunakan dalam proses verifikasi yaitu data model dimana dalam hal ini adalah data model keluaran dari ECMWF EPS dan data observasi khususnya di wilayah NTB tahun 2015-2019. Data ECMWF EPS dapat diunduh melalui alamat yang disediakan oleh BMKG Pusat termasuk user dan password. Hasil dari unduhan tersebut berbentuk file dengan format *.mat. Sedangkan untuk data observasi/pengamatan yang digunakan merupakan data hujan dari pos hujan kerjasama di wilayah NTB yang tersebar baik di Pulau Lombok maupun Pulau Sumbawa. Jumlah titik pos hujan yang di gunakan sebanyak 97 titik.
Gambar 1. Flow Chart
Data pengamatan curah hujan
merupakan data sekunder yang didapat dan dicatat pada database Stasiun Klimatologi Kelas I Lombok Barat dari hasil pengamatan petugas pengamat pos hujan yang dikirim per dasarian atau per sepuluh hari melalui pesan singkat atau melalui telepon. Aplikasi yang digunakan untuk mendapatkan data model dan data pengamatan yang siap olah
yaitu Microsoft Excel, MATLAB, aplikasi R dan Arc. GIS. Secara garis besar alur pengolahan data dapat dilihat pada Gambar 1.
Metode verifikasi yang diterapkan dalam kajian ini menggunakan perhitungan nilai Barier Score yang dapat menunjukkan kehandalan (reliability), kepastian (resolution), dan ketidakpastian (uncertainty) yang
BULETIN METEO NGURAH RAI | 13
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
dapat terjadi dari suatu model prediksi. Selain itu, Brier Skill Score juga dihitung untuk melihat kemampuan model global ini dalam memprediksi curah hujan di Nusa Tenggara Barat.
2.1 Brier Score (BS)
Brier Score adalah salah satu metode untuk menghitung verifikasi dalam prakiraan probabilistik. Secara umum rumus dari Brier Score adalah:
BS = 1
𝑁∑ (𝑝𝑖 − 𝑜𝑖)2𝑁
𝑖=1 ....................(1)
Ket : BS = Brier Score P = Nilai Peluang pada suatu kategori prakiraan o = bilang Binary (Terjadi 1; tidak terjadi 0) Contoh : Pada stasiun A untuk dasarian ke-t terdapat peluang curah hujan > 20 mm sebesar 85%. Pada kenyataannya di stasiun A pada dasarian ke-t curah hujan yang terukur adalah 40 mm, maka bilang binarinya di tulis 1 (Brier, 1950). Dimana nilai BS nya adalah:
BS = (85% - 1)2 = (0.85 – 1)2 = 0.0225
Nilai BS akan berada diantara nilai 0 – 1. Nilai BS yang mendekati 0 dianggap bahwa kualitas prakiraan semakin baik.
Brier Score juga dapat ditulis ulang dengan memasukkan tiga komponen yaitu kehandalan (reliability), kepastian (resolution), dan ketidakpastian (uncertainty) dimasing-masing formula dalam membangun formula Brier Score.
BS = REL – RES + UNC
Dimana dapat dijabarkan dengan formula sebagai berikut (Murphy, 1973):
BS = 1
𝑁∑ 𝑛𝑘
𝐾𝑘=1 (𝑓𝑘 − ō𝑘)2 −
1
𝑁∑ 𝑛𝑘
𝐾𝑘=1 (ō𝑘 − ō)2 + ō (1 – ō ).....(2)
Ket : BS = Brier Score N = Total nilai dari jumlah data K = Kategori / BIN, contoh : Bin 1 (90% – 100%) Bin 2 (80 % - 90%), dst.
Ō = ∑ 𝒐𝒕𝑵𝒕=𝟏 / N
= rata-rata klimatologi ō𝑡 = bilang binary dari kejadian
sebenarnya (Terjadi 1; tidak terjadi 0) 𝑛𝑘 = jumlah prakiraan probabilitas pada BIN/kategori yang sama ō𝑘 = frekuensi observasi
𝑓𝑘 = prakiraan probabilistik Contoh : Di pos hujan A, untuk curah hujan 0 – 50 mm memiliki rata-rata bilang binary dari kejadian hujan (ō) sebenarnya adalah 0.7361 dan didapat nilai dari formula Uncertainty sebesar 0.1959. Nilai prakiraan probabilistik dibagi menjadi 10 bin/kategori dimulai dari bin 1 (90% - 100%); bin 2 (80% - 90%), dst hingga bin 10 (1% - 10%). Dimana telah dihitung jumlah prakiraan, rata-rata prakiraan probabilistik dan frekuensi pada masing-masing bin/kategori. Didapatlah nilai Resolution sebesar 0.0532 dan Reliability sebesar 0.0508. Makan nilai BS- nya adalah 0.1935. 2.2. Brier Skill Score (BSS)
Selain dari nilai Brier Score (BS) yang dapat dijabarkan menjadi tiga komponen verifikasi, kita juga dapat menghitung nilai Brier Skill Score (BSS) dari nilai BS yang telah di dapatkan serta dengan memasukkan nilai klimatologis dari BS. Rumus BSS dapat dituliskan sebagai berikut (Wilks, 1995) :
BSS = 1 −𝐵𝑆
𝐵𝑆𝑟𝑒𝑓...........................(3)
BSS = Brier Skill Score
BULETIN METEO NGURAH RAI | 14
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
BS = Brier Score BSref = Brier Score Referensi (atau BS klimatologi)
Selain berdasarkan nilai BS dan BSref, nilai BSS juga dapat diperoleh dengan memasukkan nilai dari tiga komponen para formula BS yaitu kehandalan (reliability), kepastian (resolution), dan ketidakpastian (uncertainty) dengan rumus sebagai berikut (Wilks, 1995) :
BSS = Resolution−"𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑦"
" 𝑈𝑛𝑐𝑒𝑟𝑡𝑎𝑖𝑛𝑡𝑦"...........(4)
Pada kajian ini rumus BSS yang dipakai adalah menggunakan rumus (4) dikarenakan data probabilistik yang terbatas (hanya 6 tahun) sehingga belum adanya BSref / BS klimatologis dari data probabilistik tersebut. 2.3. Reliability Diagram
Diagram reliability adalah diagram yang menampilkan dan mengukur kehandalan prakiraan probabilistik dan disandingkan dengan perhitungan nilai BSS. Reliability diagram didapat dari frekuensi observasi yang terjadi dari fungsi prakiraan probabilistik (Persson, 2007).
Gambar 2 Contoh Diagram Realiability (Simon, 2004)
Diagram reliability memiliki
beberapa atribut atau komponen. Pada gambar 2 garis hitam tebal menggambarkan nilai dari frekuensi observasi dari masing BIN/kategori prakiraan probabilistik (sumbu x). Nilai paling ujung dari sumbu x adalah 1.0 atau prakiraan pada probabilitas 100%. Garis diagonal yang memotong kotak merupakan
garis yang menandakan kehandalan prakiraan yang sempurna. Garis horizontal menandakan tidak adanya kepastian dari prakiraan yang didapat dari nilai klimatologisnya pada nilai sumbu x. Garis vertikal disebut garis tanpa ketajaman dari prakiraan yang didapat dari nilai klimatologisnya pula tetapi pada sumbu y.
Weisheirmer (2014) dalam tulisannya menyebutkan bahwa terdapat 5 tingkatan yang dapat menggambarkan diagram reliability. Untuk memenentukan tingkat reliability dhitung nilai slope menggunakan perhitungan regresi linier. Slope posItif menunjukkan model yang baik, nilai 1 adalah nilai sempurna, mendekati 0 mengindikasikan model tidak memiliki reliability, sedangkan negatif menunjukkan model yang sangat buruk.
Seperti yang terlihat pada gambar 3 terdapat lima jenis tampilan diagram reliability yang dimana masing-masing memiliki kategori yang berbeda. Pada gambar 3a, diagram reliability masuk dalam kategori 5 (sempurna). Slope dari nilai frekuensi observasi (hijau tebal) bernilai 1 hampir berhimpit dengan garis reliability yang sempurna/garis diagonal (hitam tebal). Prakiraan probabilistik pada kategori ini akan sangat dapat diandalkan dan dijadikan sebagai pengambilan keputusan. Tingkatan ke-4 diperlihatkan pada Gambar 3b dimana memiliki slope minimal 0.5. Verifikasi model pada kategori ini masih dikatakan bagus dan bisa menjadi pertimbangan dalam membuat keputusan. Begitu juga pada tingkatan ke-3 seperti Gambar 3, model ini masih dapat digunakan dalam membuat keputusan, namun ketidakpastian yang terjadi masih cukup besar terliahat dengan nilai slope <0.5 namun signifikan positif. Jika nilai slope berkisar 0 namun sedikit positif model ini berada pada tingkatan ke-2 seperti pada Gambar 3d. Pada kategori ini model in tidak dapat digunakan dalam mebuat
BULETIN METEO NGURAH RAI | 15
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
keputusan. Sementara itu Ketika nilai slope negatif (tingkatan ke-1) seperti pada Gambar 3e, model ini benar-
benar sangat buruk sehingga model ini sangat tidak boleh digunakan dalam membuat keputusan.
Gambar 3 Kategori Diagram Reliability (Wisheimer, 2014)
.4. Receiver Operating Characteristic (ROC)
Dalam menganalisa suatu model prakiraan penggunaan grafik ROC perlu juga dilakukan selain sebelumnya menggunakan diagram reliability. Penggunaan grafik ROC cukuplah sederhana hanya dengan mengeplot nilai dari False Alarm Rate dan Hit Rate (Kadarsah, 2010). Perhitungan nilai dari False Alarm Rate dan Hit Rate biasanya dilakukan dengan table kontingensi sederhana. Tabel 1 Kontigensi Sederhana (Kouchak & Mehran, 2013)
Dari tabel 1 diatas kita akan mendapatkan komponen dari 4 (empat) nilai yaitu :
• Hits = a, ketika pred YA & obs YA
• False Alarm =b, ketika pred YA & obs TIDAK
• Misses = c, ketika pred TIDAK & obs YA
• Correct Negative = d, ketika pred TIDAK & obs TIDAK
Sehingga untuk mencari nilai False Alarm Rate (FAR) dan Hits Rate (HR) adalah: FAR = b/(a+b) atau False Alarm/(Hits +False Alarm) HR = a/(a+c) atau Hits/Hits+Misses
Gambar 4 Titik Klasifikasi Kurva Roc
(Fawcett, 2005)
Pada plotting grafik kurva ROC seperti gambar 4. Menampilkan beberapa titik yang memiliki penjelasan yang berbeda. Sumbu X merupakan sumbu dari FAR sedangkan sumbu Y merupakan sumbu HR sedangkan garis diagonal putus-putus merupakan garis “No Skill”. Titik D (0,1) menandakan performa yang sempurna dimana
Ya Tidak
Ya a b a+b
Tidak c d c+d
a+c b+d a+b+c+d
KriteriaObservasi
Jumlah
Prediksi
Jumlah
BULETIN METEO NGURAH RAI | 16
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
nilai HR mencapai 1 sedang tidak ada kondisi FAR. Titik E berada di bawah garis No Skill yang diartikan bahwa performa E lebih buruk dibandingkan titik-titik lainnya. Titik A memiliki performa yang lebih baik jika dibandingkan dengan titik B karena kondisi FAR B lebih besar dibandingkan titik A meskipun HR nya sedikit lebih kecil. Sedangkan titik C terlihat mendekati garis No Skill Dengan nilai HR dan FAR yang serupa. Dapat dikatakan performa titik C sangatlah acak dan tidak lebih baik dari performa titik E (Fawcett, 2005).
Sehingga dapat dikatakan ketika kurva ROC berada di atas garis No Skill performa dari model untuk melakukan prediksi cukup baik dan semakin menjauhi garis tengah diagonal No Skill maka kemampuan modelnya semakin bagus. Sebaliknya jika kurva ROC berada di bawah garis No Skill kemampuan model kurang bagus. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Prediksi peluang curah hujan oleh model ECMWF menunjukkan nilai akurasi yang berbeda-beda disetiap wilayah pada masing-masing kategori. Secara umum nilai Brier Score berkisar 0 – 0.5, dimana kategori hujan >300 mm/dasarian memiliki nilai akurasi yang paling baik yang hampir tersebar merata di seluruh wilayah NTB dibandingkan pada kategori yang lain. Hal ini dikarenakan sampel kejadian hujan pada kategori ini masih sangat sedikit yaitu dengan persentase 1.4% dari seluruh jumlah sampel.
Begitu juga dengan model ECMWF yang memprediksi peluang kejadian hujan pada kategori ini hanya berada pada peluang 10-30%. Persentase kejadian hujan pada setiap kategori dengan besar peluang yang dihasilkan model lebih dari 50% dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 5 Persentase Kejadian
Hujan Observasi Dengan Prediksi Peluang >50%
Distribusi nilai Brier Score yang
dihitung terlihat pada Gambar 3. Pada kategori 1 nilai Brier Score berkisar 0.1 – 0.5, dimana di sebagian wilayah Lombok Tengah, Lombok Timur bagian barat, Sumbawa Barat bagian selatan, Sumbawa bagian Timur, dan Bima bagian utara memiliki nilai Brier Score yang lebih kecil. Hal ini menunjukkan pada wilayah-wilayah tersebut model ECMWF memiliki akurasi yang baik dalam memperkirakan curah hujan pada kategori ini. Sebaliknya di sebagian kecil wilayah Lombok Timur bagian timur dan Sumbawa bagian utara nilai Brier Score cenderung lebih besar.
Kondisi tersebut hamper serupa dengan hasil Brier Score pada kategori 2, namun range nilai hanya berkisar 0.1 – 0.4. Secara umum hamper diseluruh wilayah NTB nilai Brier Score berkisar 0.20 – 0.25, hanya di sebagian Pulau Lombok bagian barat yang menunjukkan nilai BS yang lebih besar. Sementara itu pada kategori 3 dan 4 memperlihatkan nilai akurasi yang lebih baik dibandingkan 2 kategori sebelumnya. Hampir disetiap wilayah menunjukkan nilai BS < 0.15.
Selain itu, verifikasi juga dilakukan dengan melihat reliability diagram pada setiap kategorinya guna mengetahui kehandalan model ECMWF ini dalam memprediksi hujan di Provinsi NTB.
BULETIN METEO NGURAH RAI | 17
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
Gambar 6 Peta Sebaran Nilai Brier Score Pada Setiap Kategori
Reliability diagram pada setiap kategori dapat dilihat pada gambar 7. Secara umum, model ini baik dalam memprediksi kejadian hujan pada rentang 0 – 50 mm/dasarian (K1), dan cukup baik pada rentang 51 – 150 mm/dasarian (K2) dan 151 – 300 mm/dasarian (K3). Sehingga model ini dapat digunakan dalam pengambilan keputusan terlebih pada kejadian hujan K1, K2, dan K3.
Pada kategori 1, model ECMWF cenderung menunjukkan kehandalan yang baik, hal ini terlihat dari jumlah kejadian observasi pada kategori ini signifikan terjadi ketika diprediksi dengan peluang >50%. Selain itu juga pada kategori ini slope yang dihasilkan sebesar 0.53 yang mengindikasikan bahwa model ini baik dalam mereduksi ketidakpastian sehingga semakin besar nilai probabilitas diprediksi kejadian hujan pada kategori ini maka akan semakin tepat kemungkinan terjadinya. Secara keseluruhan performa model dalam memprediksi kejadian hujan pada kategori 1 terlihat lebih baik dibandingkan dengan klimatologisnya ketika besar probabilitas >60%, sementara itu pada probabilitas <60% model ini cenderung memiliki performa yang sedikit lebih buruk dibandingkan dengan klimatologisnya.
Begitu juga pada kategori 2, model ECMWF cenderung menunjukkan kehandalan yang cukup baik, hal ini terlihat dari jumlah kejadian observasi pada kategori ini
signifikan terjadi ketika diprediksi dengan peluang > 20%. Selain itu juga pada kategori ini slope yang dihasilkan sebesar 0.41 yang mengindikasikan bahwa model ini cukup baik dalam mereduksi ketidakpastian sehingga semakin besar nilai probabilitas diprediksi kejadian hujan pada kategori ini maka akan semakin tepat kemungkinan terjadinya. Secara keseluruhan performa model dalam memprediksi kejadian hujan pada kategori 1 terlihat lebih baik dibandingkan dengan klimatologisnya ketika besar probabilitas 20% - 70%, sementara itu pada probabilitas < 20% dan > 70% model ini cenderung memiliki performa yang sedikit lebih buruk dibandingkan dengan klimatologisnya.
Hal yang juga terlihat pada kategori 3, model ECMWF juga menunjukkan kehandalan yang cukup baik, hal ini terlihat dari jumlah kejadian observasi pada kategori ini signifikan terjadi ketika diprediksi dengan peluang > 10%. Selain itu juga pada kategori ini slope yang dihasilkan sebesar 0.40 yang mengindikasikan bahwa model ini cukup baik dalam mereduksi ketidakpastian sehingga semakin besar nilai probabilitas diprediksi kejadian hujan pada kategori ini maka akan semakin tepat kemungkinan terjadinya.
BULETIN METEO NGURAH RAI | 18
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
Gambar 7. Reliability Diagram
Kategori 1 – 4 Namun perlu diperhatikan pada
saat model ini memprediksi dengan probabilitas berkisar 40% - 60% kejadian hujan pada kategori 3 cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan probabilitas 30%. Secara keseluruhan performa model dalam memperdiksi kejadian hujan pada kategori 1 terlihat lebih baik dibandingkan dengan klimatologisnya ketika besar probabilitas 10 – 40% dan > 80%, sementara itu pada probabilitas <10% dan 50% - 70% model ini cenderung memiliki performa yang sedikit lebih buruk dibandingkan dengan klimatologisnya.
Kondisi yang berbeda terlihat pada kategori 4, model ECMWF cendrung menunjukkan kehandalan yang buruk, hal ini terlihat dari jumlah kejadian observasi pada kategori ini signifikan terjadi namun tidak dapat diprediksi oleh model ini ataui probabilitas 0%. Selain itu juga pada kategori ini slope yang dihasilkan hamper mendekati 0 yaiti 0.0005 yang mengindikasikan bahwa model itidak dapat mereduksi ketidakpastian yang terjadi. Secara keseluruhan model ini tidak memiliki performa yang baik dalam
memprediksi hujan pada kategori ini. Sedikitnya sampel yang digunakan dapat menjadi penyebab kurang akuratnya model ini dalam memprediksi hujan pada Kategori 4.
Gambar 8. Peta Sebaran Nilai Brier Skill Score (BSS) Di Provinsi NTB
Secara spasial performa model pada setiap wiliyah di masing-masing katagari dapat dilihat pada gambar 8. Performa setiap wilayah dihitung dengan perhitungan nilai Brier Skill Score. Model ECMWF menunjukkan performa yang lebih baik dibandingkan dengan klimatologisnya umumnya terjadi Ketika memprediksi hujan pada kategori 1. Performa yang baik ini hamper merata di seluruh wilayah NTB dengan nilai BSS berkisar 0.1 – 0.5, meskipun di sebagian wilayah Lombok Timur bagian timur berkisar -0.9 atau lebih buruk dibandingkan dengan klimatologinya.
Pada kategori 2, performa yang baik terlihat disebagian wilayah Lombok Tengah bagian selatan, Sumbawa bagian utara, dan kota Bima. Sementara itu, di sebagian wilayah Lombok Timur bagian timur, Lombok Utara, Sumbawa bagian timur, dan Bima bagian timur menunjukkan performa yang buruk dengan nilai BSS mencapai -0.5.
(a) (b)
Gambar 9. Kurva Roc
BULETIN METEO NGURAH RAI | 19
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
Di sisi lain, performa yang buruk tanpak terjadi hampir merata pada saat memprediksi hujan pada kategori 3 dan 4. Pada kategori 3 performa yang baik hanya terlihat di sebagian Lombok Barat, Lombok Barat dan Lombok Utara dengan Nilai BSS mencapai 0.4. Pada kategori 4 model ini cendrung tidak memiliki performa (No Skill), bahkan di sebagian besar wilayah NTB memperlihatkan performa yang buruk.
Pada grafik kurva ROC yang diplotting dari 2015 hingga 2019 dan dibagi dua berdasarkan Pulau (a) Pulau Lombok dan (b) Pulau Sumbawa seperti yang terlihat pada gambar 9 dari semua kategori dan dari semua tahun kurva ROC menunjukkan performa yang cukup baik dari model. Perbedaan kurva ROC pulau Lombok dan Sumbawa tidak terlalu terlihat signifikan bahkan terlihat sama walaupun pembentuk dari kurva ROC sedikit berbeda yaitu 54 pos hujan di Pulau Lombok dan 42 pos hujan di Pulau Sumbawa.
Berdasarkan nilai kurva ROC nya kategori 4 (K4) merupakan kategori yang paling baik, hal ini serupa dengan nilai BS yang menandakan bahwa memang kejadian pada K4 jarang terjadi.
4. KESIMPULAN
Model ECMWF yang digunakan untuk memprediksi curah hujan probabilistik khususnya di wilayah NTB secara umum cukup baik hanya saja tidak semua kategori dapat memberikan performa yang maksimal. Hal ini terlihat dari nilai BS yang kecil pada K1 dan K2 . Selain itu, pada kedua kategori tersebut model ini memiliki kehandalan dan resolusi yang lebih baik dibanding dua kategori lainnya. Nilai probabilitas yang tinggi dapat secara tepat menangkap terjadinya hujan pada K1 dan K2, sehingga model ini dapat dijadikan dalam pengambilan keputusan jangka pendek.
5. UCAPAN TERIMAKASIH Kami mengucapkan terima kasih
kepada BMKG sebagai penyedia data serta seluruh rekan-rekan Stasiun Klimatologi Lombok Barat yang mendukung kami sehingga kami dapat menyelesaikan penilitian ini. 5. DAFTAR PUSTAKA Peraturan Kepala Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (PERKA BMKG). (2016). Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Meteorologi dan Geofisika No.3. Jakarta : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Undang-Undang Republik Indonesia. (2009). Tentang Meteorologi Klimatologi dan Geofisika No.31 Bab VI Pasal 24 (1). Jakarta : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika BMKG.
Palmer.T .N,. (2002). The economic value of ensemble forecast as a tool for risk assessment : From day to decades. Quarterly Journal Of The Meteorological, Vol.128 , 747-773.
Badan Pusat Statistik. (2017). Keadaan Angkatan Kerja Di Indonesia Agustus 2017. Jakarta : Badan Pusat Statistik (BPS).
Hagedorn.R,.(2007). Ensemble Verificatin I. Training Course 2007 ECMWF.
Muharsyah, Robi. (2016). Kajian Verifikasi Peoduk Prakiraan Curah Hujan Bulanan (2003-2012). Jurnal Meteorologi dan Geofisika, Vol 18 No.1, 33 – 44.
Theis. S.E; Hense.A; Damrath.U,. (2005) . Probabilistc precipitation forecasts from a deterministic model : a pragmatic approach. Meteorological Applications, Vol 12, 257 – 268.
World Meteorological Organization. (2000). WMO/TD No.1023 : Guidelines on Performance Assessment of Public Weather Service. Geneva : World
BULETIN METEO NGURAH RAI | 20
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
Meteorological Organization (WMO).
World Meteorological Organization. (2012). WMO No.1091 : Guidelines on Ensemble Prediction System and Forecasting. Geneva : World Meteorological Organization (WMO).
Buizza.r; Hollingsworth.A,.(1998). Probability precipitation prediction using the ECMWF Ensemble Prediction System. Technical Memorandum No.248. ECMWF.
Wilson. L.J; Burrows. R.W; Lanzinger A,.(1999). A Strategy for Verification of Weather Element Forecast from an Ensemble Prediction System. Monthly Weather Review, Vol 127, 956 – 970.
Murphy. A.H,. (1993). Whats is a Good Forecast? An Essay on the Nature of Goodness in Weather Forecasting. American Meteorological Society, Vol 8, 281 – 293.
Brier, G. W. (1950). Verification of Forecasts Expressed in Terms of Probability. Monthly Weather Review, Vol 78 Number 1, 1–3
Murphy, A.H .(1973). A New Vector Partition of The Probability Score.
Journal of Applied Meteorology, Vol 12, 595–600.
Wilks, D. S. (1995). Statistical Methods in the Atmospheric Sciences. Academic Press, 467.
Persson, A; Grazzini Federico. (2007). User Guide to ECMWF Forecast Product.Meteorological Bulletin M3.2, 75.
Simon J. Mason. (2004). On Using “Climatology” as a Reference Strategy in the Brier and Rangked Probability Skill Score. American Meteorological Society, Vol 132, 1892-1895.
Wisheimer A; Palmer T.N. (2014). On The Reliability of Seasonal Climate Forecasts.Journal of Royal Society Interface, Vol 11, 1-10.
Kadarsah. (2010). Aplikasi ROC untuk Uji Kehandalan Model HyBMG. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, Vol 11 No.2, 33-43.
Kouchack A.A; Mehran A. (2013). Extended contigency table : Performance metrics for satellite observations and climate model simulations. Water Resources Research, Vol 49, 7144-7149.
Fawcett T. (2005). An introduction to ROC analysis.Elsevier, 861-874.
BULETIN METEO NGURAH RAI | 21
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
PENGARUH KONDISI HARI RAYA NYEPI TERHADAP RASIO SUHU UDARA RUANGAN RATA-RATA TERHADAP LAMA PENYINARAN MATAHARI SERTA KELEMBABAN
PADA STASIUN PENGAMATAN SINOPTIK DI BALI
I Putu Dedy Pratama1*), Putu Eka Tulistiawan2, dan Pande Putu Hadi Wiguna3
1Stasiun Geofisika Kelas II Sanglah Denpasar, BMKG 2,3Stasiun Meteorologi Kelas I I Gusti Ngurah Rai, BMKG
*) E-mail : [email protected]
ABSTRAK Nyepi merupakan kegiatan langka di dunia yang hanya ada di Pulau Bali, dimana seluruh aktivitas luar ruangan manusia terhenti dalam sehari. Penelitian ini memanfaatkan Nyepi untuk membandingkan dampaknya terhadap perubahan suhu udara dan kelembaban di Bali. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh Nyepi terhadap rasio suhu rata-rata harian terhadap lama penyinaran matahari serta kelembaban udara rata-rata harian di empat stasiun sinoptik di Bali. Data yang digunakan adalah data harian suhu udara rata-rata, lama penyinaran matahari, dan kelembaban udara rata-rata dari tahun 1999-2020 saat Nyepi. Sebagai pembanding digunakan data 2 hari sebelum dan sesudah Nyepi. Berdasarkan data 22 tahun pada empat titik lokasi tersebut diperoleh informasi bahwa suhu udara pada rentang 5 hari fluktuatif dan menunjukan kecenderungan penurunan suhu rata-rata harian pada saat Nyepi untuk seluruh stasiun. Sedangkan untuk kelembaban udara rata-rata harian, pengaruh Nyepi hanya terlihat pada Stasiun Meteorologi Ngurah Rai yaitu terjadi peningkatan kelembaban udara. Berdasarkan hasil analisis rasio rata-rata suhu terhadap penyinaran matahari pada saat Nyepi dengan 2 hari sebelum dan sesudah Nyepi menunjukan bahwa rasio terendah terjadi di Stasiun Geofisika Denpasar dan Stasiun Klimatologi Negara. Kata kunci: Nyepi, suhu udara, kelembaban, penyinaran matahari
ABSTRACT
Nyepi is a rare activity in the world that only exists in Bali, where all of human outdoor activities stop for a day. This study uses Nyepi to measure its impact on changes in air temperature and humidity in Bali. The purpose of this study is to see the effect of Nyepi on the ratio of daily average temperature to duration of solar radiation as well as daily average air humidity at four synoptic stations in Bali. The data that we used are daily average air temperature, duration of solar radiation, and average air humidity from 1999-2020 on Nyepi. As a comparison, we used data from 2 days before and after Nyepi. Based on 22 years of data at the four location points, we obtained that the air temperature in the 5-day range fluctuates and shows a trend of decreasing daily average temperature during Nyepi for all stations. As for the daily average humidity, the effect of Nyepi is only visible at the Ngurah Rai Meteorological Station, namely the increase in humidity. Based on the results of the analysis of the ratio of the average temperature to the sun's radiation at Nyepi with 2 days before and after Nyepi, it shows that the lowest ratio occurs at Denpasar Geophysical Station and State Climatology Station. Keywords: Nyepi, air temperature, humidity, solar radiation 1. PENDAHULUAN
Hari Raya Nyepi merupakan suatu tradisi unik satu-satunya di dunia dimana aktivitas manusia di
luar ruangan ditiadakan dalam 24 jam mulai pukul 05.00 sampai pukul 05.00 besok pagi harinya (Swena, 2017). Selama Nyepi berlangsung
BULETIN METEO NGURAH RAI | 22
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
tidak boleh menyalakan api ataupun lampu, tidak boleh bekerja ataupun keluar dari pekarangan rumah, dan tidak boleh berpesta atau melakukan hiburan. Untuk Pulau Bali beserta pulau kecil lainnya dalam Provinsi Bali. Momen ini sangat baik untuk dilakukan beberapa penelitian terkait berkurangnya aktivitas manusia terutama di sebuah kota yang padat penduduk. Penelitian saintifik Nyepi masih berkisar pada kualitas udara saat Nyepi seperti pengukuran urban heat island (Badriah, 2014), konsentrasi karbon monoksida (Aprilina, & Aldrian, 2016), dan parameter debu total akibat aktivitas manusia (Nuraini, dkk., 2019). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut memanfaatkan momen hari raya Nyepi dengan tetap mematuhi aturan dari Catur Brata Penyepian.
Kota Denpasar merupakan wilayah yang paling berubah secara signifikan dari aktivitas manusia selama Nyepi. Denpasar merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk 7.412 jiwa/km2 yang hampir 10 kali lipat kepadatan penduduk Provinsi Bali (BPS Provinsi Bali, 2020). Untuk itu perlu dilakukan penelitian perubahan aktivitas manusia saat Nyepi di Kota Denpasar. Sebagai perbandingan dilakukan juga penelitian diwilayah pesisir, pinggir perkotaan dan juga pedesaan.
Peningkatan aktivitas manusia menyebabkan terjadinya peningkatan suhu udara. Salah satu istilah untuk menjelaskan pengaruh suhu udara akibat aktivitas manusia adalah pulau bahang perkotaan yang pertama kali dikemukakan oleh Luke Howard pada tahun 1818 (Mills, 2008). Pulau bahang perkotaan merupakan fenomena iklim mikro di daerah perkotaan dimana suhu udara perkotaan lebih tinggi daripada di pedesaan. Suhu kota umumnya lebih tinggi antara 10-30 C dibandingkan daerah pedesaan (Hanif & Nofrizal, 2017).
Pembangunan perkotaan dan bertambahnya aktivitas manusia
menimbulkan dampak yang kuat terhadap iklim mikro. Fenomena ini menyebabkan pengumpulan hawa panas, perubahan formasi ozon, dan pada kasus yang parah dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada penduduk kota (Chun & Guldman, 2014). Keadaan unsur-unsur iklim akan mempengaruhi tingkah laku dan metabolisme yang berlangsung pada tubuh makhluk hidup, sebaliknya, keberadaan makhluk hidup tersebut akan pula mempengaruhi keadaan iklim mikro di sekitarnya. Antara makhluk hidup dan udara di sekitarnya akan terjadi saling pengaruh atau interaksi satu sama lain (Lakitan, 2002).
Hari Raya Nyepi merupakan waktu yang tepat untuk mengukur perubahan suhu udara akibat berhentinya aktivitas manusia termasuk kendaraan, pabrik, dan pembakaran dilarang saat Nyepi yang berpengaruh terhadap suhu udara. Berkurangnya aktivitas manusia diharapkan mampu menurunkan suhu udara saat Nyepi.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui pengaruh Nyepi terhadap pulau bahang perkotaan yang diwakili oleh data suhu ruangan rata-rata harian di Stasiun Meteorologi Ngurah Rai mewakili wilayah pesisir, Stasiun Geofisika Denpasar mewakili perkotaan, Stasiun Klimatolgi Jembrana mewakili wilayah pinggir perkotaan, dan Pos Pengamatan Kahang-kahang mewakili pedesaan. Keempat lokasi ini melakukan pengamatan sinoptik, termasuk pengukuran suhu udara setiap harinya termasuk saat Nyepi. 2. DATA DAN METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data suhu rata-rata harian dan lama penyinaran matahari saat Nyepi selama 22 tahun yaitu dari tahun 1999-2020 (Tabel 1). Data suhu, penyinaran matahari, dan kelembaban udara berasal dari pengukuran taman alat di Stasiun Meteorologi Ngurah Rai (koordinat
BULETIN METEO NGURAH RAI | 23
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
115,18 BT dan 8,72 LS, elevasi 4 m dpl), Stasiun Geofisika Denpasar (koordinat 115,21 BT dan 8,68 LS, elevasi 15 m dpl), Stasiun Klimatologi Jembrana (koordinat 114,62 BT dan
8,34 LS, elevasi 23 m dpl) dan Pos Pengamatan Kahang-kahang (koordinat 115,61 BT dan 8,43 LS, elevasi 105 m dpl.
Tabel 1. Daftar Hari Raya Nyepi dan waktu penelitian dari tahun 1995 sampai 2020
Tahun Hari Nyepi
(Hari H)
Waktu Penelitian
(H-2, hari H, dan
H+2)
1999 17 Maret 15-19 Maret
2000 6 Maret 4-8 Maret
2001 23 Februari 21-25 Februari
2002 14 Maret 12-16 Maret
2003 3 Maret 1-5 Maret
2004 21 Maret 19-23 Maret
2005 11 Maret 9-13 Maret
2006 30 Maret 28 Maret – 1 April
2007 19 Maret 17-21 Maret
2008 7 Maret 5-9 Maret
2009 26 Maret 24-28 Maret
2010 16 Maret 14-18 Maret
2011 5 Maret 3-7 Maret
2012 23 Maret 21-25 Maret
2013 12 Maret 10-14 Maret
2014 31 Maret 29 Maret-2 April
2015 21 Maret 19-23 Maret
2016 9 Maret 7-11 Maret
2017 28 Maret 26-30 Maret
2018 17 Maret 15-19 Maret
2019 7 Maret 5-9 Maret
2020 25 Maret 23-27 Maret
Sebagai pembanding penulis
menggunakan data harian selama 5 hari yaitu pada saat Nyepi serta 2 hari sebelum dan sesudah Nyepi. Data
BULETIN METEO NGURAH RAI | 24
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
suhu rata-rata harian diukur menggunakan termometer bola kering dan lama penyinaran matahari diukur menggunakan Campbell Stokes. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif yang meliputi gambar dan grafik yang selanjutnya digunakan mengetahui dampak pulau bahang perkotaan saat Hari Raya Nyepi pada keempat stasiun sinoptik tersebut. Secara citra satelit (Gambar 1) terlihat jelas perbedaan signifikan antara kondisi taman alat pada empat titik lokasi pengukuran.
Untuk mengetahui kecenderungan peningkatan atau penurunan suhu terhadap waktu dilakukan perhitungan gradien (a) suhu (y) terhadap waktu (x) (Swarinoto & Widiastuti, 2003). Perhitungan gradien rumus garis linier (Persamaan 1).
𝑦 = 𝑎𝑥 + 𝑏.........................(1)
Untuk menentukan nilai gradien (a) perlu dilakukan perhitungan sesuai dengan jumlah data (n) yaitu 22 data suhu rata-rata untuk masing-masing titik pengamatan Perhitungan gradien (a) menggunakan rumus statitistik pada Persamaan 2.
𝑎 =𝑛 ∑ 𝑥𝑦−∑ 𝑥 ∑ 𝑦
𝑛 ∑ 𝑥2−(∑ 𝑥)2 ..................(2)
Kemudian untuk rasio rata-rata
suhu rata-rata harian terhadap rata-rata lama penyinaran matahari menggunakan Persamaan 3.
𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜 =𝑠𝑢ℎ𝑢 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 ℎ𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅
𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑖𝑛𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑡𝑎ℎ𝑎𝑟𝑖̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ….(3)
Gambar 1. Citra Google Earth taman alat (persegi hitam) diambil dari ketinggian
400 m dari elevasi taman alat (Google Earth, 2020). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai suhu rata-rata harian dan lama penyinaran matahari sepanjang tahun 1999-2020 untuk H-2, H-1, saat Nyepi, H+1, dan H+2 pada keempat stasiun pengamatan sinoptik terlihat fluktuatif (Gambar 2). Hal ini karena suhu udara sangat dipengaruhi oleh lama penyinaran matahari, pengamatan berlangsung sepanjang pukul 08:00-18:00 WITA. Jadi pengamatan cuaca berasal dari rentang waktu tersebut, dimana
matahari masih sangat mempengaruhi suhu udara.
Rata-rata suhu harian tertinggi terjadi di Stasiun Geofisika Denpasar dan terendah di Pos Pengamatan Kahang-kahang. Denpasar Sebagai daerah urban bersuhu tertinggi dan Kahang-kahang merupakan daerah berpendinginan tertinggi diantara stasiun pengamatan sinoptik di wilayah Bali (Badriah, 2014). Secara rata-rata penurunan suhu terjadi pada H+1 setelah Nyepi.
BULETIN METEO NGURAH RAI | 25
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
Gambar 2. Perbandingan suhu udara rata-rata 22 tahun (1999-
2020) untuk H-2, H-1, saat Nyepi, H+1, dan H+2 pada empat stasiun
pengamatan sinoptik di Bali
Tren suhu saat Nyepi untuk empat stasiun pengamatan sinoptik di Bali menunjukan terjadi penurunan suhu rata-rata harian saat Nyepi dari tahun 1999 sampai 2020 dengan tren bervariasi(Gambar 2). Penurunan tren suhu yang paling signifikan terjadi di Stasiun Klimatologi Jembrana dengan nilai -0,0491. Sedangkan untuk tren cenderung landai terjadi di Stasiun Geofisika Denpasar dengan nilai -0,0089.
Gambar 3. Grafik tren suhu udara
rata-rata untuk setiap stasiun pengamatan sinoptik di Bali pada
saat Nyepi tahun 1999-2020 Menurut rumus Braak (1928),
setiap kenaikan ketinggian 100 meter terjadi penurunan suhu sebesar 0,60 C. Berdasarkan ketinggian dengan selisih ketinggian 90 meter suhu di Kahang-kahang lebih rendah 0,50 C dibandingkan tiga stasiun sinoptik lainnya. Namun, pada kenyataannya perbedaan suhu antara Kahang-kahang dan Denpasar mencapai ±20 C. Kondisi ini disebabkan oleh efek pulau bahang perkotaan yang meningkatkan suhu di wilayah kota Denpasar.
Dari kedua rentang suhu rata-rata maksimum dan minimum tersebut, penyinaran matahari sangat
mempengaruhi fluktuasi suhu rata-rata harian di titik pengamatan. Oleh karena itu, perlu dilakukan perbandingan antara suhu rata-rata harian dengan lama penyinaran matahari. Data curah hujan tidak digunakan karena fluktuasinya terlalu tinggi sehingga menyulitkan perhitungan. Nilai rata-rata suhu rata-rata harian dan lama penyinaran matahari sepanjang tahun 1999-2020 untuk H-2, H-1, saat Nyepi, H+1, dan H+2 di semua stasiun pengamatan sinoptik di Bali terlihat fluktuatif (Gambar 4).
Gambar 4. Perbandingan rata-rata lama penyinaran matahari 22 tahun (1999-2020) untuk H-2, H-1, saat Nyepi, H+1, dan H+2 pada empat
stasiun pengamatan sinoptik di Bali
Hal ini karena suhu udara sangat dipengaruhi oleh lama penyinaran matahari. karena pengamatan berlangsung sepanjang pukul 08:00-18:00 WITA. Jadi pengamatan cuaca berasal dari rentang waktu tersebut dimana matahari masih sangat mempengaruhi suhu udara. Rata-rata suhu harian tertinggi pada saat Nyepi terjadi di Stasiun Geofisika Denpasar dan Stasiun Klimatologi Jembrana.
Berdasarkan Gambar 5, nilai rasio antara suhu rata-rata harian terhadap lama penyinaran matahari di kedua titik pengamatan menunjukan hasil yang berbeda. Dibandingkan dengan data H-2 hingga H+2 setelah Nyepi, hasil perbandingan saat Nyepi di Stasiun Geofisika Denpasar dan Stasiun Klimatologi Jembrana memiliki nilai rasio terendah sedangkan di Stasiun Meteorologi Ngurah Rai dan Pos Pengamatan Kahang-kahang tidak berada pada nilai rasio terendahnya
BULETIN METEO NGURAH RAI | 26
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
dibandingkan dengan data H-2 hingga H+2 setelah Nyepi.
Kenaikan rasio menunjukan peningkatan suhu lebih dari peningkatan lama penyinaran matahari. Dengan kata lain, nilai rasio rendah menunjukan bahwa terjadi penurunan suhu dan sebaliknya rasio tinggi menunjukan peningkatan suhu. Terjadi penurunan suhu udara di wilayah perkotaan yang ditunjukan dengan nilai rasio terendah saat Nyepi.
Gambar 5. Grafik rasio suhu rata-
rata harian terhadap lama penyinaran matahari 22 tahun
(1999-2020) untuk H-2, H-1, saat Nyepi, H+1, dan H+2 pada empat
stasiun pengamatan sinoptik di Bali
Hal ini disebabkan oleh penurunan aktivitas manusia di wilayah perkotaan. Untuk wilayah pedesaan rasio cenderung stabil dan nilai terendah terjadi pada H+2 setelah Nyepi. Penurunan aktivitas manusia tidak mempengaruhi suhu di pedesaan. Hal ini karena minimnya aktivitas kendaraan pada hari normal (selain Nyepi).
Nilai rata-rata kelembaban udara harian sepanjang tahun 1999-2020 untuk H-2, H-1, saat Nyepi, H+1, dan H+2 di semua stasiun pengamatan sinoptik di Bali terlihat fluktuatif. Tidak terlihat pengaruh Nyepi terhadap kelembaban kecuali pada Stasiun Meteorologi Ngurah Rai dimana kelembaban udara tertinggi terjadi saat Nyepi dibandingkan 2 hari sebelum dan setelah Nyepi.
Berdasarkan grafik perbandingan suhu udara rata-rata, perbandingan rata-rata lama penyinaran matahari, dan perbandingan rata-rata kelembaban udara tidak dapat dijelaskan secara
terpisah untuk mendapatkan penyebab terjadinya. Tetapi dapat dijelaskan pengaruh kondisi Nyepi terhadap rasio suhu udara di Bali melalui Grafik rasio suhu rata-rata harian terhadap lama penyinaran matahari.
Gambar 6. Perbandingan rata-rata kelembaban udara harian 22 tahun (1999-2020) untuk H-2, H-1, saat Nyepi, H+1, dan H+2 pada empat
stasiun pengamatan sinoptik di Bali
Stasiun Meteorologi Ngurah Rai berlokasi di bandara sehingga, pada H-2, H-1 memiliki nilai hampir sama karena penerbangan masih beroperasi normal. Tetapi turun secara signifikan pada Nyepi, H+1 dan H+2 hal ini disebabkan tidak adanya aktivitas penerbangan pada saat Nyepi. Berkurangnya aktivitas penerbangan setelah Nyepi yang mengakibatkan diliburkanya karyawan yang berkaitan dengan pariwisata maupun penerbangan, serta tidak beroperasinya pelaku pariwisata seperti taxsi pedagang kecil dan sebagainya.
Stasiun Geofisika Denpasar yang berlokasi di Kota sehingga H-2 kegiatan perkotaan masih beroperasi normal, sedangkan pada H-1 sudah beroperasi setengah hari mengingat diadakanya pawai ogoh-ogoh yang dimulai dari jam 17.00 WITA dan pada hari Nyepi tidak adanya aktivitas sehingga garfiknya menurun. Kegiatan perkotaan mulai berangsur Normal setelah H+1, dan kegiatan perkotaan sudah normal pada H+2 sehingga grafiknya meningkat.
Stasiun Klimatologi Jembrana yang berlokasi di pinggir perkotaan, dan dekat dengan pelabuhan
BULETIN METEO NGURAH RAI | 27
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
penyebrangan Gilimanuk. Grafiknya meningkat pada H-1, karena aktivitas masyarakat yang ingin merayakan Nyepi dibali bagi yang hindu, dan masyarakat yang pulang pulau jawa untuk berlibur. Pada hari Nyepi grafiknya terendah karena tidak ada aktivitas. Berangsur naik lagi pada H+1 dan naik lagi pada H+2 menuju normal.
Pos Pengamatan Kahang-kahang berlokasi di pedesaan memiliki bentuk grafik menurun dari H-2, H-1 Nyepi, H+1 dan H+2 hal ini disebabkan karena masyarakat yang dinggal dikota Denpasar maupun singaraja atau di kabupaten lainya kembali ke desa.
Kota Denpasar merupakan kota dengan tingkat pencemaran paling tinggi di Provinsi Bali (Nurdjanah, 2015). Penyebab utamanya adalah emisi kendaraan bermotor yang berkontribusi pada aerosol di Kota Denpasar dengan konsentrasi karbon monoksida (CO) tertinggi dibandingkan daerah lainnya di Bali (Pemerintah Provinsi Bali, 2015). Hal ini sesuai dengan penelitian Aprilina, dkk. (2016) dimana pada saat Nyepi konsentrasi CO dan suhu udara memiliki hubungan linier positif di Denpasar. Penurunan emisi CO yang signifikan menurunkan suhu udara di Denpasar saat Nyepi. Penurunan suhu udara perkotaan berdampak ke wilayah pedesaan yang menyebabkan terjadi peningkatan suhu udara saat Nyepi. Hal ini karena penurunan signifikan polutan di perkotaan.
Penurunan suhu udara perkotaan merupakan kebalikan dari pulau bahang perkotaan yang dikenal dengan istilah pulau dingin perkotaan. Penurunan atau hilangnya panas antorpogenik pada kota dengan kepadatan tinggi menyebabkan adanya efek pulau dingin perkotaan yang signifikan di siang hari (Yang, dkk., 2016).
Fenomena pulau bahang perkotaan terus mengalami peningkatan dilihat dari tren kenaikan suhu. Berbagai hal yang dapat
dilakukan antara lain: pengaturan bangunan yang baik, sistem transportasi yang baik, hemat listrik, desain bangunan yang baik, peningkatan albedo kota, memperbanyak badan air, dan menerapkan green teknologi (Maru, 2017).
4. KESIMPULAN
Berdasarkan data 22 tahun pengukuran suhu udara rata-rata harian di taman alat Stasiun Meteorologi Ngurah Rai, Stasiun Geofisika Denpasar, Stasiun Klimatologi Jembrana, dan Pos Pengamatan Kahang-kahang diperoleh informasi bahwa terjadi tren penurunan suhu udara saat Nyepi dari tahun 1999-2020. Berdasarkan hasil analisis rasio rata-rata suhu terhadap penyinaran matahari pada saat Nyepi dengan 2 hari sebelum dan setelah Nyepi menunjukan bahwa rasio terendah saat Nyepi terjadi di Stasiun Geofisika Denpasar dan Stasiun Klimatologi Negara. Untuk Stasiun Meteorologi Ngurah Rai dan Pos Pengamatan Kahang-kahang tidak menunjukan adanya pengaruh Nyepi dibandingkan hari sebelum dan setelah Nyepi. Sedangkan untuk kelembaban udara rata-rata harian, pengaruh Nyepi hanya terlihat pada Stasiun Meteorologi Ngurah Rai yaitu terjadi peningkatan kelembaban udara.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada tim operasional Stasiun Geofisika Denpasar, Stasiun Meteorologi Ngurah Rai, Stasiun Klimatologi Jembrana, dan Pos Pengamatan Kahang-kahang atas data yang digunakan dalam tulisan ini.
6. DAFTAR PUSTAKA Aprilina, K., Badriah, I. U., Aldrian, E.,
(2016). Hubungan Antara Konsentrasi Karbon Monoksida (Co) dan Suhu Udara Terhadap Intervensi Anthropogenik (Studi
BULETIN METEO NGURAH RAI | 28
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
Kasus Nyepi Tahun 2015 di Provinsi Bali), Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol. 17 No. 1, http://dx.doi.org/10.31172/jmg.v17i1.397
Badriah, I. U., (2014). Indikasi Berhentinya Urban Heat Island (Suhu) di Bali Saat Nyepi. Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol. 15 No. 3, http://dx.doi.org/10.31172/jmg.v15i3.218
BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Bali. Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten Kota di Bali 2010-2019. https://bali.bps.go.id/statictable/2018/06/28/115/kepadatan-penduduk-menurut-kabupaten-kota-di-bali-2010-2019.html, diakses 1 Agustus 2020.
Braak C., (1928). The Climate of The Netherlands Indies. Proc. Royal Mogn. Meteor.Observ. Batavia, nr. 14. pp. 192.
Chun, B., & Guldman, J. M., (2014). Spatial statistical analysis and simulation of the urban heat island in high-density central cities,” Landscape and Urban Planning, pp. 76-88.
Google Earth. https://earth.google.com/web/. Di akses 29 Agustus 2020.
Hanif, M., & Nofrizal, A. Y., (2017). Hubungan Perkembangan Lahan Terbangun Perkotaan Dengan Fenomena Ikli Mikro Urban Heat Island. Jurnal Spasial, Vol. 3, No. 4, hal. 23-29.
Lakitan, B. 2002. Dasar-dasar Klimatologi cetakan ke-2. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Maru, R., (2017). Perkembangan Fenomena Urban Heat Island.
Simposium Nasional MIPA Universitas Negeri Makassar, hal. 23-29.
Mills, G. (2008). Luke Howard and The Climate of London. Weather. 63. 153 - 157. 10.1002/wea.195.
Nuraini, T. A., Satyaningsih, R., Permana, D. S., Anggraeni, R., Aldrian, E., (2019). Comparison of Total Suspended Particulate (TSP) Measurement in Urban and Suburban Areas of Bali during Nyepi Day 2015. Forum Geografi, 33(2), DOI: 10.23917/forgeo.v33i2.8670.
Nurdjanah, N., (2015). Emisi CO2 Akibat Kendaraan Bermotor di Kota Denpasar. Jurnal Penelitian Transportasi Darat, Vol. 17, No. 1, hal. 1-14.
Pemerintah Provinsi Bali. (2015). Buku Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Bali Tahun 2015. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.
Swarinoto, Y. & Widiastuti, M. (2003). Uji Statistika Terhadap Persamaan Eksperimental Untuk Menghitung Nilai Suhu Udara Permukaan Rata-rata Harian, Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 3. No. 3.
Swena, I . W., (2017). Fungsi dan Makna Ritual Nyepi di Bali, Universitas Udayana Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Antropologi Denpasar.
Yang, A. X., Li, Y., Luo, Z., & Chan, P.W. (2016). The urban cool island phenomenon in a high-rise high-density city and its mechanisms. International Journal of Climatology. 37. 10.1002/joc.4747.
BULETIN METEO NGURAH RAI | 29
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
KAJIAN VERIFIKASI PRAKIRAAN CURAH HUJAN BULANAN DI PROVINSI SULAWESI UTARA
PERIODE 2016-2018
Fitri Supatmi1 dan Listy Aziza Kurnianingrum2 1Stasiun Klimatologi Minahasa Utara
2Stasiun Meteorologi Fransiskus Xaverius Seda *)Email : [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Prediksi curah hujan sangat dibutuhkan sebagai informasi penting dalam pembuatan perencanaan di berbagai kegiatan manusia khususnya di Sulawesi Utara. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk memverifikasi prakiraan hujan bulanan di Sulawesi Utara yang bertujuan mengukur kualitas dari produk prakiraan curah hujan. Kajian ini menggunakan data prakiraan curah hujan bulanan periode 2016 – 2018 di 45 pos hujan utama Sulawesi Utara. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah verifikasi secara temporal menggunakan verifikasi prakiraan berkategori dalam hal ini 9 kategori dan 4 kategori, serta LAKIP pada setiap lead time. Selain itu, dilakukan pula verifikasi secara spasial per titik menggunakan ArcGIS. Verifikasi untuk ketepatan yang digunakan dalam kajian ini adalah Proportion of Correct (PC). Hasilnya pada verifikasi temporal, LAKIP menunjukkan tingkat ketepatan prakiraan curah hujan paling tinggi pada semua lead yaitu berkisar antara 50 – 100 %. Begitu juga dengan verifikasi spasial LAKIP memiliki nilai PC atau tingkat ketepatan pada kategori tinggi yaitu 50 – 75 %. Hasil verifikasi temporal juga menunjukkan bahwa pada bulan MAM merupakan fase tertinggi dan terendah dari prakiraan curah hujan karena merupakan periode peralihan dari musim hujan ke musim kemarau. Pada wilayah bagian utara dan selatan Provinsi Sulawesi Utara, memiliki tingkat ketepatan prakiraan curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah bagian selatan dan barat. Kata kunci: Verifikasi, Ketepatan, Prakiraan Curah Hujan, Proportion of Correct
ABSTRACT Rainfall prediction is needed as important information in planning for various
human activities, especially in North Sulawesi. Therefore, it is necessary to conduct a study to verify monthly rainfall forecasts in North Sulawesi, which aims to measure the quality of rainfall forecast products. This study uses monthly rainfall forecast data for the period 2016 - 2018 in 45 main rain posts in North Sulawesi. The method used in this research is temporal verification using categorical forecast verification in this case 9 categories and 4 categories, as well as LAKIP for each lead time. Apart from that, point-to-point spatial verification is also carried out using ArcGIS. The verification for accuracy used in this study is the Proportion of Correct (PC). As a result, on temporal verification, LAKIP showed the highest level of accuracy of rainfall forecasts for all leads, which ranged from 50 - 100%. Likewise, LAKIP spatial verification has a PC value or level of accuracy in the high category, namely 50 - 75%. The results of the temporal verification also show that the MAM month is the highest and lowest phase of the rainfall forecast because it is a transition period from the rainy season to the dry season. In the northern and southern regions of North Sulawesi Province, the accuracy of rainfall forecasts is higher than that of the southern and western regions. Keywords: Verification, Accuracy, Rainfall Forecast, Proportion of Correct 1. PENDAHULUAN
Hujan merupakan salah satu unsur meteorologi penting di wilayah tropis seperti maritime continent
Indonesia dan diamati oleh para pengamat di stasiun pengamatan cuaca setiap harinya. Hal ini dilakukan mengingat data dan
BULETIN METEO NGURAH RAI | 30
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
informasi curah hujan banyak diperlukan dalam berbagai macam kegiatan manusia antara lain seperti pertanian, perkebunan, perikanan, transportasi (darat, laut, udara), dan lain-lain (Prawirowardoyo, 1996 dalam Yuda, 2015). Besarnya pengaruh curah hujan di berbagai sektor kehidupan menyebabkan prediksi curah hujan sangat dibutuhkan untuk membuat perencanaan kedepan untuk sektor-sektor strategis. Namun keberadaan curah hujan secara spasial dan temporal masih sulit diprediksi. Selain sifatnya yang dinamis, proses fisis yang terlibat juga sangat kompleks (Estiningtyas dan Wigena, 2011).
Prakiraan curah hujan merupakan salah satu bagian yang sulit dan masih terus dikaji (Gustari, 2012). BMKG merupakan salah satu lembaga yang berwenang menghasilkan layanan informasi klimatologi. Layanan tersebut diantaranya berupa penyebaran produk informasi prakiraan hujan bulanan. Menurut SOP (Standart Operating Procedure) pembuatan Prakiraan Hujan Bulanan, prakiraan hujan bulanan dibuat setiap awal bulan untuk tiga bulan kedepan. Terdapat dua bentuk prakiraan yang dihasilkan setiap bulannya yaitu prakiraan curah hujan bulanan (selanjutnya disebut PCH) dan prakiraan sifat hujan bulanan (PSH) (Muharsyah, 2017).
Prakiraan sebenarnya sama dengan percobaan, dengan kata lain seorang forecaster membuat satu hipotesis bahwa suatu kondisi tertentu akan terjadi. Suatu percobaan dikatakan selesai jika telah diperoleh hasil dari percobaan tersebut dan memiliki hasil yang baik. Baik atau tidaknya suatu hasil prakiraan dapat diukur melalui suatu tahap yang disebut verifikasi (BMKG, 2012). Menurut dokumen WMO/TD No. 1023 verifikasi berguna untuk meyakinkan apakah prakiraan yang dibuat, seperti halnya PCH, mempunyai ketepatan, keunggulan
dan keandalan. Berdasarkan beberapa hal terseut, maka penting untuk melakukan kajian verifikasi prakiraan curah hujan bulanan di Provinsi Sulawesi Utara sebagai langkah untuk mengukur kualitas dari produk prakiraan curah hujan yang dikeluarkan oleh satu satu stasiun BMKG di wilayah ini yaitu Stasiun Klimatologi Klas II Minahasa Utara. 2. DATA DAN METODE
Data yang digunakan pada kajian ini adalah data prakiraan curah hujan bulanan periode 2016 – 2018 di Provinsi Sulawesi Utara. Jumlah stasiun BMKG dan pos hujan yang ada di wilayah ini sebanyak 157 pos hujan, namun yang sering digunakan untuk keperluan prakiraan curah hujan adalah 85 pos hujan, sedangkan yang digunakan dalam kajian ini adalah 45 pos hujan. Pos hujan yang digunakan pada kajian ini telah mewakili pos hujan utama yang ada di setiap wilayah di Provinsi Sulawesi Utara dan termasuk dalam pos hujan yang selalu digunakan dalam pembuatan prakiraan curah hujan.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah verifikasi secara temporal menggunakan verifikasi prakiraan berkategori dalam hal ini 9 kategori dan 4 kategori, serta LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Institusi Pemerintah) pada setiap lead time. Lead time digunakan untuk membandingkan hasil verifikasi dari setiap kategori yang digunakan, dimana terdiri dari lead 1, lead 2 dan lead 3. Umumnya PCH dibuat untuk tiga bulan ke depan, misalnya buku buletin edisi Januari 2016 menampilkan prakiraan Februari 2016, Maret 2016 dan April 2016, pada contoh ini maka Februari 2016 disebut (Lead Time 1), Maret 2016 (Lead Time 2) dan April 2016 (Lead Time 3). Selain itu, dilakukan pula verifikasi secara spasial per titik menggunakan ArcGIS. Pada verifikasi prakiraan berkategori, misal 𝑥𝑖 dan xi adalah pasangan kategori PCH dan Observasi Curah Hujan
BULETIN METEO NGURAH RAI | 31
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
(OCH) yang saling bersesuaian untuk i = 1, 2, …, K dengan K adalah banyak kategori, maka frekuensi relatif (pij) dari PCH ij kategori–i dan OCH kategori-j adalah jumlah pasangan PCH kategori –i dan OCH kategori -j (n)ij dibagi total dari PCH atau OCH (n), ditulis sebagai: 𝑝 = 𝑥 ,𝑗 =𝑝𝑖𝑗= 𝑛𝑖𝑗𝑛 ; i, j = 1, …, K (1)
Selanjutnya, setelah diperoleh frekuensi relatif tiap-tiap pasangan kategori ij maka dapat dihitung jumlah frekuensi relative pada tiap-tiap kategori PCH dan OCH. Hal ini dapat dinyatakan sebagai :
𝑃𝑖 = 𝑃𝑖𝑘𝐾𝑘=1 untuk i = 1,...,K dan
𝑃𝑗 = 𝑃𝑗𝑘𝐾𝑘=1 untuk i = 1,...,K (2)
Tabel kontingensi untuk frekuensi relatif tersebut ditunjukan oleh tabel 1 berikut:
Tabel 1. Tabel Kontingensi Dari Frekuensi Relatif Untuk Kategori Sebanyak K
OCH
1 2 …i.. K Jmk
PC
H
1 P11 P12 P1j P1K P̂i
2 P21 P22 P12j P2K P̂2
i Pi1 Pi2 Pij PiK P̂i
K PK1 PK2 PKj PKK P̂K
Jml P1 P2 Pi PK 1
(Sumber: Muharsyah, 2017)
Pers. (1) dan (2) yang digunakan untuk menghitung nilai-nilai yang ada pada tabel 3. Berdasarkan nilai tersebut dapat dihitung ukuran-ukuran verifikasi (Jolliffe, dkk 2003 dalam Muharsyah, 2017). Ukuran verifikasi untuk ketepatan yang digunakan dalam kajian ini adalah Proportion of Correct (PC). Berdasarkan Jolliffe, 2003 maka kriteri nilai PC adalah sangat rendah (0 ≤ PC ≤ 0,25), rendah (0,35 ≤ PC ≤ 5), tinggi (5 ≤ PC ≤ 7,25) dan sangat tinggi ((7,5 ≤ PC ≤ 1) (Muharsyah, 2017).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Verifikasi yang dihasilkan dari 45 stasiun pos hujan dan stasiun BMKG yang digunakan, berupa verifikasi temporal dan spasial. Pada verifikasi temporal dihasilkan 9 grafik verifikasi berdasarkan 9 Kategori, 4 Kategori dan LAKIP pada setiap lead 1, lead 2, dan lead 3. Secara temporal artinya nilai PC dihitung berdasarkan bulan pembuatan PCH sedangkan secara spasial artinya nilai PCH dihitung untuk setiap pos hujan sehingga diperoleh nilai PC. 3.1 Verifikasi Secara Temporal Variasi secara temporal pada masing-masing lead periode Januari 2016 – Desember 2018 yang ditunjukkan pada Gambar 1. (a) untuk lead 1, (b) untuk lead 2 dan (c) untuk lead 3 bervariasi setiap bulannya. Grafik verifikasi pada lead tersebut menunjukkan tingkat ketepatan atau PC pada Kuantitatif (9 Kategori), Kualitatif (4 Kategori) dan LAKIP.
(a)
(b)
(c)
Gambar 1. Hasil Verifikasi (a) Lead 1, (b) Lead 2, (c) Lead 3 Periode Jan 2016 – Des 2018 di Sulawesi Utara
Berdasarkan Gambar 1. (a), (b)
dan (c) maka dapat dikatakan bahwa
BULETIN METEO NGURAH RAI | 32
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
pada setiap lead selama periode 2016-2018 umumnya hasil verifikasi LAKIP memiliki nilai PC paling tinggi, kemudian 4 Kategori tertinggi kedua dan terendah adalah pada 9 Kategori. Pada lead 1 ketepatan tertinggi berada pada April 2016 baik untuk 9 Kategori, 4 Kategori dan LAKIP, dengan nilai PC yaitu masing-masing 0,82, 0,91 dan 0,96 yang berarti 82%, 91% dan 96% OCH pada saat periode tersebut dapat diprediksi dengan tepat. Ketepatan terendah lead 1 berada pada Maret 2016, dimana nilai PC pada 9 Kategori 0.04, 4 Kategori 0,16 dan LAKIP 0,11, yang berarti hanya 4%, 16% dan 12% OCH yang dapat diprediksi dengan tepat.
Pada lead 2 ketepatan tertinggi dan terendah selama periode 3 tahun menunjukkan pola yang sama dengan lead 1, dimana ketepatan tertinggi berada pada April 2016 dengan presentase untuk 9 Kategori sebesar 58%, 4 Kategori 87% dan LAKIP 96%. Dapat dikatakan bahwa pada periode ini OCH dapat diprediksi dengan tepat karena nilai PC memiliki kategori tinggi. Ketepatan terendah pada lead 2 juga berada pada Maret 2016 dengan presentase pada 9 Kategori 4%, 4 Kategori 16% dan LAKIP hanya 11%.
Ketepatan tertinggi pada lead 3 berada pada Mei 2016 yaitu sebesar 78% untuk 9 Kategori dan 93% untuk LAKIP, sedangkan untuk 4 Kategori berada pada bulan April 2017 yaitu nilai PC 0,82 atau 82% OCH pada periode tersebut diprediksi dengan tepat. Ketepatan terendah pada lead 3 memiliki pola yang sama dengan lead 1 dan lead 2 yaitu berada pada bulan Maret 2016 dengan presentase hanya 4% untuk 9 Kategori, 16% untuk 4 Kategori dan 11% untuk LAKIP. Dapat dikatakan bahwa selama periode 2016 – 2018, ketepatan verifikasi baik yang tertinggi maupun yang terendah umumnya berada pada periode MAM atau Maret April Mei. Periode MAM merupakan periode peralihan dari musim hujan menuju musim kemarau
sehingga banyak faktor yang mempengaruhi hasil prakiraan, seperti kondisi dinamika atmosfer yang sering berubah-ubah dengan cepat. Selain itu, pada lead 1 nilai ketepatan atau PC untuk semua kategori merupakan presentase yang paling tinggi dibandingkan lead 2 dan lead 3.
3.2 Verifikasi Secara Spasial Ketepatan PCH dalam
memprediksi OCH yang terjadi pada 45 pos hujan di Provinsi Sulawesi Utara secara spasial bervariasi di setiap wilayah dari kriteria rendah hingga tinggi. Berdasarkan kategori nilai PC, maka tingkat ketepatan pada peta terbagi menjadi 4 kategori juga yaitu rendah (0 - 25%), sedang (25 - 50%), tinggi (50 - 75%) dan sangat tinggi (75 - 100%). Secara umum, criteria tertinggi dari semua pos hujan berada pada LAKIP baik untuk lead 1, lead 2 dan lead 3 yaitu masing-masing 78%, 81% dan 81%. Kriteria terendah berada pada 9 Kategori untuk semua lead, dimana lead 1 11%, lead 2 8% dan lead 3 11%.
3.1.1 Lead 1
Berdasarkan Gambar 2. yang merupakan peta verifikasi ketepatan curah hujan bulanan pada lead 1 dapat diketahui bahwa tingkat ketepatan berdasarkan 9 Kategori berkisar antara berkisar antara 0 – 50 %, 4 Kategori berkisar antara 25 – 75% sedangkan pada LAKIP berkisar antara 25 – 100%. Dapat dikatakan bahwa LAKIP memiliki tingkat ketepatan sangat tinggi. Gambar 2. juga menunjukkan distribusi wilayah untuk lead 1 pada semua kategori yang bervariasi.
Pada Gambar 2. (a) verifikasi ketepatan curah hujan lead 1 pada 9 Kategori menunjukkan bahwa wilayah Provinsi Sulawesi Utara yang didominasi tingkat ketepatan sedang 25 – 50 % berada di sebagian besar Manado, Minahasa Utara, Bitung, Minahasa, Minahasa Selatan, Minahasa Tenggara dan Bolaang
BULETIN METEO NGURAH RAI | 33
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
Mongondow. Pada wilayah lainnya cukup banyak tingkat ketepatan rendah yang hanya 0 – 25 % seperti di bagian selatan Bolaang Mongondow Selatan, bagian barat Kotamobagu, Pada 4 Kategori, tingkat ketepatan tinggi 50 - 70% terdapat di sebagian besar Provinsi Sulawesi Utara, sedangkan tingkat ketepatan sedang berada pada bagian selatan Bolaang Mongondow Selatan, bagian utara Bolaang Mongondow Utara dan bagian timu serta selatan Minahasa Selatan. Pada LAKIP, wilayah Kotamobagu satu-satunya wilayah yang memiliki tingkat ketepatan sedang, sedangkan hampir di seluruh wilayah Provinsi Sulawesi Utara tingkat ketepatannya tinggi yaitu 50 – 75%. Selain itu, wilayah dengan ketepatan sangat tinggi berada di sebagian besar Manado, bagian utara Bolaang Mongondow Utara, bagian selatan Kotamobagu. Wilayah bagian selatan dan barat merupakan wilayah dengan tingkat keakuratan yang umumnya lebih rendah dibandingkan lainnya karena wilayah tersebut memiliki topografi yang cukup komplek seperti adanya gunung yang curam dan lain-lain. Selain itu, data pos hujan diwilayah tersebut khususnya di seluruh Kabupaten Bolaang Mongondow dan Kotamobagu masih sering terdapat kekosongan data karena alat rusak dan sulit dijangkau apabila akan dilakukan perbaikan.
(a)
(b)
(c)
Gambar 2. Peta Verifikasi Ketepatan Curah Hujan Bulanan Berdasarkan (a) 9 Kategori, (b) 4 Kategori dan (c) LAKIP Pada Lead 1 Periode
2016 – 2018 di Provinsi Sulawesi Utara
3.2.2 Lead 2
Peta verifikasi ketepatan curah hujan bulanan lead 2 pada Gambar 3. menunjukkan tingkat ketepatan berdasarkan 9 Kategori berkisar antara berkisar antara 0 – 50 %, 4 Kategori berkisar antara 25 – 100% sedangkan pada LAKIP berkisar antara 0 – 100%. Dapat dikatakan bahwa LAKIP memiliki variasi dan nilai tingkat ketepatan sangat tinggi. Gambar 3. juga menunjukkan distribusi wilayah untuk lead 2 pada semua kategori yang memiliki sebaran data yang bervariasi.
Lead 2 berdasarkan 9 Kategori pada Gambar 3 menujukkan bahwa sebagian besar wilayahnya termasuk dalam kategori sedang 25 – 50%, sedangkan wilayah lainnya dengan kategori rendah berada pada bagian selatan Minahasa Utara, sebagian besar Bolaang Mongondow, sebagian besar Bolaang Mongondow
BULETIN METEO NGURAH RAI | 34
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
Timur, bagian selatan Bolaang Mongondow Selatan dan bagian utara Bolaang Mongondow Utara. Pada 4 Kategori, sebagian besar wilayahnya memiliki tingkat ketepatan tinggi 50 -75%, sedangkan wilayah lainnya tingkat ketepatannya bervariasi.
(a)
(b)
(c)
Gambar 3. Peta Verifikasi Ketepatan Curah Hujan Bulanan Berdasarkan (a) 9 Kategori, (b) 4 Kategori dan (c) LAKIP Pada Lead 2 Periode
2016 – 2018 di Provinsi Sulawesi Utara
Sebagian besar dari Bolaang
Mongondow ketepatannya sedang, sedangkan bagian utara Bolaang Mongondow Utara, bagian selatan
Minahasa Utara dan bagian selatan Tomohon ketepatannya dapat mencapai 75 -100%. Lead 2 pada LAKIP menunjukkan variasi paling besar yaitu 0 – 100%, namun untuk tingkat ketepatan sedang tidak terdapat pada kategori ini. Sebagian besar wilayah pada LAKIP merupakan tingkat ketepata tinggi yaitu 50 – 75%. Wilayah dengan ketapatan rendah berada di bagian utara Bolaang Mongondow Utara, baigan utara Kotamobagu dan bagian selatan Minahasa Utara. Ketepatan sangat tinggi 75 – 100 % hanya teradpat di utara wilayah ini yaitu bagian timur Manado dan bagian selatan Minahasa Utara. 3.3.3 Lead 3 Gambar 4. menunjukkan peta verifikasi ketepatan curah hujan bulanan pada lead 3 yang bervariasi. Berdasarkan 9 Kategori, tingkat ketepatan berkisar antara berkisar antara 0 – 50 %, 4 Kategori berkisar antara 25 – 100% sedangkan pada LAKIP berkisar antara 0 – 100%. Hal tersebut menunjukkan bahwa LAKIP memiliki variasi dan nilai tingkat ketepatan sangat tinggi. Berdasarkan 9 Kategori pada lead 3 Gambar 4, maka sebagian besar wilayahnya memiliki ketepatan sedang 25 – 50 %, sedangkan wilayah lainnya rendah seperti di sebagian besar Manado, sebagian besar Bitung, bagian selatan Minahasa, bagian selatan Minahasa Utara, bagian utara Bolaang Mongondow dan bagian selatan Bolaang Mongondow Selatan. Pada 4 Kategori, wilayahnya didominasi tingkat ketepatan yang tinggi yaitu 50 – 75 %. Ketepatan sedang 25 – 50 % berada di bagian timur dan barat Manado, bagian timur dan barat daya Minahasa Selatan, bagian utara Bolaang Mongondow Utara dan bagian selatan Bolaang Mongondow Selatan. Bagian utara Bolaang Mongondow Utara, bagian timur Minahasa dan bagian selatan Minahasa Utara memiliki ketepatan
BULETIN METEO NGURAH RAI | 35
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
sangat tinggi. Pada LAKIP, sebagian besar wilayahnya termasuk tingkat ketepatan tinggi yaitu 50 – 75 %, sedangkan bagian utara dan timur Kotamobagu, bagian tenggara Bolaang Mongondow Utara dan bagian timur dan barat Manado memiliki ketepatan rendah. Selain itu, bagian utara Minahasa Tenggara dan bagian selatan Minahasa Utara ketapatannya sangat tinggi.
(a)
(b)
(c)
Gambar 4. Verifikasi Ketepatan Curah Hujan Bulanan Berdasarkan (a) 9 Kategori, (b) 4 Kategori dan (c) LAKIP Pada Lead 3 Periode
2016 – 2018 di Provinsi Sulawesi Utara
4. KESIMPULAN Berdasarkan verifikasi temporal
yang dilakukan pada lead 1, 2, dan 3 menggunakan 9 Kategori, 4 Kategori dan LAKIP, maka dapat dikatakan bahwa selama periode 2016 – 2018 di Provinsi Sulawesi Utara LAKIP menunjukkan tingkat ketepatan prakiraan curah hujan paling tinggi pada semua lead yaitu berkisar antara 50 – 100 %, kemudian tertinggi kedua pada 4 Kategori dan terendah pada 9 Kategori. Hasil verifikasi temporal juga menunjukkan bahwa pada bulan MAM merupakan fase tertinggi dan terendah dari prakiraan curah hujan karena merupakan periode peralihan dari musim hujan ke musim kemarau. Pada verifikasi spasial juga menunjukkan bahwa di sebagian besar wilayah di Provinsi Sulawesi Utara baik pada lead 1, 2 dan 3, LAKIP memiliki nilai PC atau tingkat ketepatan pada kategori tinggi yaitu 50 – 75 %. Pada wilayah bagian utara dan selatan Provinsi Sulawesi Utara, memiliki tingkat ketepatan prakiraan curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah bagian selatan dan barat, khususnya seluruh Kabupaten Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Selatan, Bolaang Mongondow Timur, Bolaang Mongondow Utara dan Kotamobagu. Hal tersebut terjadi karena data hujan sering terlambat masuk, sehingga sering terjadi kekosongan data.
5. UCAPAN TERIMAKASIH Dalam proses pembuatan kajian ini tak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan Terima kasih kepada :
1. Keluarga besar Stasiun Klimatologi Minahasa Utara
2. Keluarga besar Stasiun Meteorologi Fransiskus Xaverius Seda
3. Ayah, Ibu, Kakak, dan Adik kedua penulis.
BULETIN METEO NGURAH RAI | 36
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
6. DAFTAR PUSTAKA BMKG, 2012, Verifikasi Prakiraan Iklim Indonesia, Jakarta : Kedeputian Bidang Klimatologi Estiningtyas, W. dan Wigena, A.H. 2011.Teknik Statistical Downscaling dengan regresi komponen utama dan regresi kuadrat terkecil parsial untuk prediksi curah hujan pada kondisi El Nino, La Nina, dan Normal. Jurnal Meteorologi dan Geofisika. 12 (1) : 65-72. Gustari, Indra dkk. 2012. Akurasi Prediksi Curah Hujan Harian Operasional Di Jabodetabek : Perbandingan Dengan Model Wrf On The Accuracy Of Operational Daily Rainfall Forecasts Over Jabodetabek : A Comparison With Raw Wrf. Jurnal Meteorologi dan Geofisika . 13 (2) : 119-130. Jolliffe, I. T. and Stephenson, David B. Forecast Verification : A Practitioner's Guide in
Atmospheric Science. John Wiley & Sons Ltd, The Atrium, Southern Gate, Chichester, West Sussex PO19 8SQ, England, 2003. Muharsyah, Robi. 2017. Kajian Verifikasi Produk Prakiraan Curah Hujan Bulanan (2003- 2012) Verification Of Monthly Rainfall Forecast (2003- 2012). Jurnal Meteorologi dan Geofisika . 18 (1) : 33-44. Yuda, I Wayan Andi. 2015. Prediksi Curah Hujan Bulanan Menggunakan Principal Component Regression Dan Sst Eof Indonesia Di Stasiun Klimatologi Negara - Bali. Jurnal Meteorologi Dan Geofisika. 2 (2) : 16-31. World Meteorological Organization.
Guidelines On Performance Assessment of Public Weather Services WMO/TD No. 1023. Geneva, Switzerland. WMO, 2000
BULETIN METEO NGURAH RAI | 37
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
ANALISIS PERUBAHAN SUHU DAN HUJAN EKSTRIM DI STASIUN METEOROLOGI I GUSTI NGURAH RAI
PERIODE 1981 - 2010
Ni Made Adi Purwaningsih1, Dewa Ayu Kade Wida2*), 1Stasiun Klimatologi Lombok Barat
2Stasiun Meteorologi I Gusti Ngurah Rai *) Email: [email protected]
ABSTRAK
Perubahan iklim dapat mendorong terjadinya perubahan intensitas, frekuensi, durasi, serta waktu terjadinya kejadian cuaca dan iklim ekstrim. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menganalisis kondisi cuaca dan iklim ekstrim. Expert Team for Climate Change Detection Monitoring and Indices (ETCCDMI) merekomendasikan RClimDex sebagai salah satu software untuk menganalisis perubahan kejadian ekstrim dengan perhitungan indeks iklim ekstrim. Dalam analisis perubahan suhu dan curah hujan di Stasiun Meteorologi I Gusti Ngurah Rai menggunakan 6 indeks iklim ekstrim diantaranya TNx, TXx, TNx, TNn, CWD, dan CCD. Tujuan dilakukannya kajian ini adalah untuk mengetahui perubahan suhu udara dan hujan ekstrim di Stasiun I Gusti Ngurah Rai selama periode 1981 - 2010, yang nantinya dapat bermanfaat untuk melakukan antisipasi terhadap dampak buruk yang mungkin dapat diakibatkan oleh perubahan iklim di wilayah sekitar Stasiun Meteorologi I Gusti Ngurah Rai, terutama wilayah vital yaitu Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Berdasarkan enam (6) indeks iklim yang dianalisis dalam penelitian ini, maka diperoleh perubahan suhu minimum tertinggi bulanan (TNx) yang signifikan di Stasiun Meteorologi I Gusti Ngurah Rai yang terus meningkat setiap tahunnya sebesar 0.025oC selama periode 30 tahun (1981 – 2010) di Stasiun Meteorologi I Gusti Ngurah Rai. Sementara, lima (5) indeks lainnya TXx, TXn, TNn, CWD dan CDD tidak terjadi perubahan yang berarti selama periode waktu tersebut. Kata kunci: RClimDex, indeks, ekstrim
ABSTRACT
Climate change has been encouraged the changes in the intensity, frequency, duration, and timing of extreme weather and climate events. Several studies have been conducted to analyze extreme weather and climatic conditions. The Expert Team for Climate Change Detection Monitoring and Indices (ETCCDMI) recommends RClimDex as a software to analyze changes in extreme events by calculating the extreme climate index. Analysis of changes in temperature and precipitation at I Gusti Ngurah Rai Meteorological Station using 6 extreme climate indices including TNx, TXx, TNx, TNn, CWD, and CCD. The purpose of this analysis is to determine changes in temperature and extreme precipitation at Meteorological Station I Gusti Ngurah Rai during the period 1981 – 2010, which can be useful to anticipate the bad impacts that may be caused by climate change around I Gusti Ngurah Rai Meteorological Station, such as I Gusti Ngurah Rai International Airport. Based on the six (6) climate indices analyzed in this study, a significant change in monthly minimum temperature (TNx) is obtained at I Gusti Ngurah Rai Meteorological Station which continues to increase every year by 0.025oC for a period of 30 years (1981 - 2010) at I Gusti Ngurah Rai Meteorological Station. Meanwhile, the other five (5) indices TXx, TXn, TNn, CWD and CDD did not change significantly during that period. Keywords: RClimDex, indices, extreme 1. PENDAHULUAN
BULETIN METEO NGURAH RAI | 38
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
Perubahan iklim merupakan isu yang paling hangat dibicarakan oleh para ahli selama beberapa dekade terakhir. Perubahan iklim adalah sebuah perubahan pada kondisi iklim yang ditunjukkan dengan perubahan rata-rata atau variabilitas parameter-parameter iklim yang berlangsung pada periode jangka panjang (Maslakah, 2015). IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change) memperlihatkan terjadi trend kenaikan suhu rata-rata global pada periode tahun 1850 – 2012. Total trend kenaikan suhu rata-rata global selama periode 1850 – 1900 dan 2003 – 2012 adalah 0,78oC (0,72 – 0,85 oC) (IPCC, 2013). Perubahan iklim yang terjadi dapat mendorong terjadinya perubahan intensitas, frekuensi, durasi, serta waktu terjadinya kejadian cuaca dan iklim ekstrim.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menganalisis kondisi cuaca dan iklim ekstrim. Expert Team for Climate Change Detection Monitoring and Indices (ETCCDMI) merekomendasikan RClimDex sebagai salah satu software untuk menganalisis perubahan kejadian ekstrim dengan perhitungan indeks iklim ekstrim.
Khoir dkk, 2018, melakukan analisis terhadap perubahan suhu dan curah hujan di Jakarta selama periode tahun 1986 – 2014 menggunakan software RClimDex. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa suhu udara mengalami kenaikan trend sedangkan untuk curah hujan tidak menunjukkan perubahan yang signifikan selama periode tahun 1986 – 2014.
Penelitian yang dilakukan di Stasiun Meteorologi I Gusti Ngurah Rai ini dilakukan dengan menggunakan sofware RClimDex, Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan suhu udara dan hujan ekstrim di Stasiun I Gusti Ngurah Rai, yang nantinya diharapkan menjadi kajian lebih lanjut terkait strategi mitigasi
terhadap perubahan iklim terutama di wilayah Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai.
2. DATA DAN METODE
2.1 DATA
Objek lokasi pada penelitian
ini adalah Stasiun Meteorologi
Ngurah Rai yang terletak pada
koordinat 8.74 oLS dan 115.165 oBT.
Gambar 1. Lokasi Penelitian
Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data
pengamatan harian berupa data suhu
udara maksimum harian periode
1981 – 2010 , data suhu udara
minimum harian periode 1981 –
2010, dan data curah hujan harian
periode 1981 – 2010. Kemudian,
data disusun sesuai dengan format
pada RClimDex. Data yang telah
tersusun akan diolah menggunakan
software pengolah data statistik
untuk mendapatkan hasil berupa
grafik karakteristik parameter suhu
dan curah hujan selama 30 tahun
(1981 – 2010).
Zhang dan Feng (2004)
menyatakan bahwa RClimDex
merupakan sebuah user friendly –
software berbahasa R yang
dikembangkan oleh Climate
Research Branch of Meteorological
Service of Cananda. Software ini
dibuat untuk mengetahui dan
mendeteksi perubahan iklim dengan
fokus utama pada kejadian –
kejadian ekstrim. Terdapat 27 indeks
BULETIN METEO NGURAH RAI | 39
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
iklim dalam Software RClimDex, 11
indeks presipitasi seperti pada Tabel
1 dan 16 indeks suhu seperti pada
Tabel 2. Sebagian besar indeks –
indeks tersebut umumnya dapat
diterapkan di seluruh dunia, namun
ada juga indeks tertentu yang tidak
signifikan ketika terjadi perbedaan
iklim pada wilayah yang
diperhitungkan (Tebaldi dkk., 2006).
Tabel 1. Indeks Presipitasi dalam
RClimDex
Tabel 2. Indeks Suhu dalam
RClimDex
Format input data pada
Software RClimDex berupa format
ASCII text file (Hidayat dkk, 2018).
Susunan data pada file yang akan
diolah secara berturut – turut adalah
dimulai dari kolom tahun, bulan, hari,
presipitasi (mm), suhu maksimum
(oC) dan suhu minimum (oC).
Sebelum diolah pada software,
terlebih dahulu dilakukan quality
control data. Jika ditemukan data
kosong, maka data tersebut diisi
dengan nilai -99.99. Setelah data
terisi semua dan tersusun rapi,
RClimDex akan mengolah inputan
data secara komputasi berdasarkan
27 indeks yang tersedia. Namun,
dalam penelitian ini hanya berfokus
pada beberapa indeks, yaitu TXx,
TNx, TXn, TNn, CDD dan CWD.
2.2 METODE
Metode rata – rata (mean)
diperlukan dalam menentukan data
rata – rata bulanan pada parameter
suhu udara maksimum dan minimum
berdasarkan data harian yang
tersedia periode tahun 1981 – 2010.
Nilai rata – rata didapatkan dari hasil
penjumlahan data yang tersedia
(∑ 𝑋𝑖), yang kemudian dibagi dengan
banyaknya data pada penjumlahan
tersebut (Pribadi, 2012).
𝑋𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 =∑ 𝑋𝑖𝑛
𝑖=1
𝑛
dimana, 𝑋𝑖 adalah nilai suhu udara
harian dan 𝑛 adalah banyaknya data.
Kemudian, digunakan metode
regresi linier sederhana untuk melihat
trend atau perubahan secara
temporal (periode tahun 1981 –
2010) pada prameter suhu
maksimum, suhu minimum harian
serta curah hujan harian Stasiun
Meteorologi I Gusti Ngurah Rai.
Fungsi linier atau garis lurus yang
diperoleh dari persamaan ini
dianggap paling mewakili sejumlah
titik data (Basuki , 2014). Persamaan
regresi linier sederhana yang
dimaksud adalah sebagai berikut
(Yuliara, 2016) :
𝑦 = 𝑎 + 𝑏𝑥
dimana, 𝑦 adalah variabel terikat, 𝑥
adalah variabel bebas, 𝑏 adalah
konstanta regresi (slope) variabel x,
dan 𝑎 adalah konstanta.
Nilai kecenderungan (trend)
dapat diketahui dari slope yang
diperoleh berdasarkan hasil
perhitungan konstanta a dan b.
Besarnya nilai konstanta a dan b
Indeks Deskripsi Definisi Satuan
PRCPTOT wet day precipitation Total presipitasi tahunan Dari hari basah mm
SDH simple daily intensity index Rata-rata presipitasi pada pada hari basah mm/hari
CDD consecutive dry days Nilai maksimum darin deret Hari kering hari
CWD consecutive wet days Nilai maksimum dari deret hari basah hari
R10mm heavy precipitation days Perhitungan jumlah hari secara tahunan saat RR >= 10 hari
R20mm very heavy precipitation days Perhitungan jumlah hari secara tahunan saat RR>= 20 hari
Rnnmmb number of days above nn mmPerhitungan jumlah hari secara tahunan saat PRCP
>=nn mm, nn adalah Threshold yang ditentukan hari
R95p very wet day precipitation jumlah presipitasi tahunan ketika RR> 95 persentil mm
R99p extremly wet day precipitation jumlah presipitasi tahunan ketika RR>=99 persentil mm
RX1day maximum 1-day precipitation Presipitasi maksimum tahunan per 1 hari mm
RX5day maximum 5-day precipitation Presipitasi maksimum tahunan per 5 hari mm
Indeks Deskripsi Definisi Satuan
SU hot days Perhitungan tahunan saat TX>25°C hari
FD frost days Perhitungan tahunan saat TN<0°C hari
ID cold days Perhitungan tahunan saat TX<0°C °C
DTR diurnal temperature range Perbedaan rata-rata bulanan antara TX dan TN hari
TR20 warm nights Perhitungan tahunan saat TN>20°C °C
TXx hottest day Suhu TX tertinggi bulanan °C
TNx hottest night Suhu TN tertinggi bulanan °C
TXn coolest day Suhu TX terendah bulanan °C
TNn coolest night Suhu TX terendah bulanan hari
TN10p cool night frequency Jumlah hari Saat TN<10 persentil hari
TX10p cool day frequency Perbandingan jumlah hari Saat TX< 10 persentil hari
TN90p hot night frequency Perbandingan jumlah hari Saat TN > 90 persentil hari
TX90p hot day frequency Perbandingan jumlah hari Saat TN> 90 persentil hari
WSDI warm spellPerhitungan tahunan dengan Sedikitnya 6 deret hari saat
TX>90th persentilhari
CSDI cold spellperhitungan tahunan dengan hari sedikitnya 6 deret hari
saat TN<10th persentil hari
GSL growing season length
Perhitungan tahunan antara awal span sedikitnya 6 hari
dengan TG>5°C setelah musim dingin dan awal span
setelah musim panas selama 6 hari dengan TG<5°C
hari
BULETIN METEO NGURAH RAI | 40
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
dapat dihitung dengan persamaan
(Yuliara, 2016):
𝑎 = (∑ 𝑦𝑖)(∑ 𝑥𝑖
2) − (∑ 𝑥𝑖)(∑ 𝑥𝑖 𝑦𝑖)
𝑛 ∑ 𝑥𝑖2 − ∑(𝑥𝑖)2
𝑏 = 𝑛(∑ 𝑥𝑖 𝑦𝑖) − (∑ 𝑥𝑖) (∑ 𝑦𝑖)
𝑛 ∑ 𝑥𝑖2 − ∑(𝑥𝑖)2
Dimana, 𝑛 merupakan jumlah
data. Perhitungan ini dilakukan
dengan menggunakan Software
RClimDex yang dapat diperoleh dari
etccdi.pacificclimate.org. Untuk
mengetahui apakah slope itu benar
terjadi atau tidak, maka perlu
dilakukan uji trend dengan
membandingkan p-value dengan
nilai alpha atau tingkat kesalahan
maksimal (dalam perhitungan ini
0,05). Sebagian besar trend
ditemukan signifikan secara statistik
pada tingkat kepercayaan 95%
(Sharma dkk, 2014). Nilai p-value
(nilai signifikan) adalah nilai
kesalahan yang didapat dari hasil
perhitungan statistik. Nilai p-value
menunjukkan seberapa ekstrim data
suhu udara maksimum harian, suhu
udara minimum harian serta data
curah hujan harian Stasiun
Meteorologi I Gusti Ngurah Rai
periode 1981 – 2010. Nilai p-value
mengikuti standar distribusi normal
(Z) dimana hipotesis nol (H0)
dianggap tidak ada trend (ditolak)
ketika nilai yang dihitung lebih besar
dari nilai absolut alpha, sedangkan
hipotesis nol (H0) diterima ketika nilai
yang dihitung lebih kecil dari nilai
absolut alpha (Sharma dkk, 2014).
𝑍 = {
(𝑆 − 1)/𝜎𝑆 𝑖𝑓 𝑆 > 0
0 𝑖𝑓 𝑆 = 0
(𝑆 + 1)/𝜎𝑆 𝑖𝑓 𝑆 < 0
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, penulis
hanya menganalisis beberapa indeks
iklim, yaitu TXx, TXn, TNx, TNn,
CDD, dan CWD. Trend indeks suhu
TXx ditunjukkan oleh Gambar 2(a),
trend TXn ditunjukkan oleh Gambar
2(b), trend TNx ditunjukkan oleh
Gambar 2(c), dan trend TNn
ditunjukkan oleh Gambar 2(d).
Berdasarkan gambar tersebut,
terlihat bahwa perubahan suhu
Maksimum bulanan tertinggi (TXx)
mengalami penurunan setiap
tahunnya.
Gambar 2. Trend indeks suhu : (a). TXx; (b). TXn; (c) TNx; dan (d) TNn Stasiun
Meteorologi I Gusti Ngurah Rai periode 30 tahun (1981 – 2010)
BULETIN METEO NGURAH RAI | 41
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
Tabel 3. Hipotesis TXx, TXn, TNx, TNn Stasiun Meteorologi I Gusti Ngurah Rai
Tabel 4. Hipotesis CDD dan CWD
Sementara, perubahan pada
indeks suhu Maksimum terendah
bulanan (TXn), indeks suhu minimum
tertinggi bulanan (TNx), dan indeks
suhu minimum terendah bulanan
(TNn) mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Pada Tabel 3, sangat jelas
terlihat bahwa slope indeks suhu
minimum tertinggi bulanan periode
1981 – 2010 meningkat secara
signifikan dengan kenaikan sebesar
0.025oC setiap tahunnya. Sedangkan
tiga (3) indeks lainnya tidak
mengalami perubahan yang
signifikan.
Peningkatan perubahan suhu
minimum bulanan selama periode
1981 – 2010 menandakan bahwa
adanya suatu penghalang yang
menghalangi pelepasan radiasi
gelombang panjang yang
dikembalikan kembali ke angkasa.
Penghalang tersebut bisa berupa
akumulasi awan – awan rendah yang
sering terbentuk pada malam hingga
pagi hari. Akumulasi awan – awan
rendah yang tumbuh pada malam
hari ini bisa menjadi Green House
Effect (GRK) yang menyebabkan
meningkatnya suhu pada malam hari
(Hidayat, 2018). Selain hal tersebut,
alih fungsi lahan, banyaknya aktivitas
penggunaan bahan bakar fosil, serta
padatnya kendaraan bermotor
menyebabkan bertambahnya
senyawa karbon yang memicu
terjadinya GRK (Sugiarto, 2018).
Gambar 3. Trend indeks presipitasi (a) CWD; (b) CDD Stasiun Meteorologi I
Gusti Ngurah Rai periode 30 tahun (1981 – 2010)
Sementara, trend perubahan indeks
curah hujan CWD ditunjukkan oleh
Gambar 3(a), trend CDD ditunjukkan
oleh Gambar 3(b). Berdasarkan
gambar tersebut, terlihat bahwa
perubahan frekuensi maksimum
deret hari basah (CWD) mengalami
peningkatan setiap tahunnya.
Sementara, perubahan pada indeks
frekuensi maksimum deret hari kering
(CDD), mengalami penurunan setiap
tahunnya. Pada Tabel 3, sangat jelas
terlihat bahwa slope indeks
presipitasi CDD dan CWD selama
periode tahun 1981 – 2010 tidak
mengalami perubahan signifikan.
Indices Slope STD_of_Slope P_Value Hipotesis
NGURAH RAI TXx -0.005 0.015 0.748 H0 ditolak
TXn 0.021 0.017 0.221 H0 ditolak
TNx 0.025 0.007 0.002 H0 diterima
TNn 0.019 0.021 0.364 H0 ditolak
Indices Slope STD_of_Slope P_Value Hipotesis
NGURAH RAI CWD 0.022 0.073 0.766 H0 ditolak
CDD -0.458 0.503 0.371 H0 ditolak
BULETIN METEO NGURAH RAI | 42
ISSN 2461-0313
Volume 6 No. 2, September 2020 – Maret 2021
4. KESIMPULAN
Berdasarkan enam (6) indeks iklim
yang dianalisis dalam penelitian ini,
maka diperoleh perubahan suhu
minimum tertinggi bulanan (TNx)
yang signifikan di Stasiun
Meteorologi I Gusti Ngurah Rai yang
terus meningkat setiap tahunnya
sebesar 0.025oC selama periode 30
tahun (1981 – 2010) di wilayah
Stasiun Meteorologi Ngurah Rai.
Sementara, lima (5) indeks lainnya
TXx, TXn, TNn, CWD dan CDD tidak
terjadi perubahan yang berarti
selama periode waktu tersebut.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan
terimakasih kepada seluruh pihak
yang membantu dalam penulisan
kajian ini.
6. DAFTAR PUSTAKA
Basuki A., 2014. Modul Metode Least
Square. Politeknik Elektronika
Negeri Surabaya.
Hidayat N. M., Pandiangan A. E.,
Pratiwi A., 2018. Identifikasi
Perubahan Curah Hujan dan
Suhu Udara Menggunakan
RCLIMDEX di Wilayah Serang.
Jurnal Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika Vol. 5 No. 2.
IPCC, 2013. Summary for
Policymakers. (Online).
https://www.ipcc.ch/site/assets
/uploads/2018/03/WG1AR5_S
ummaryVolume_FINAL.pdf.
Khoir, A. N., Mamluatur, R., Safril,
A., dan Fadholi, A. 2018.
Analysis of Change
Temperature and Precipitation
Extreme in Jakarta on Period
1986 - 2014. MATEC Web of
Conferences.229.
Maskalah, F. A. 2015. Tren
Temperatur dan Hujan Ekstrim
di Juanda Surabaya Tahun
1981 – 2012. Jurnal
Meteorologi dan Geofisika. Vol.
16. No. 3. hal. 135-143.
Pribadi, Y. H. 2012. Variabilitas
Curah Hujan dan Pergeseran
Musim Di Wilayah Banten
Sehubungan Dengan Variasi
Suhu Muka Laut Perairan
Indonesia, Samudera Pasifik
dan Samudera Hindia. Tesis
Program Magister Ilmu
Geografi. Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Indonesia, Depok.
Ariantono.
Sharma D., Babel M. S., 2014.
Trends In Extreme Rainfall And
Temperature Indicesin The
Western Thailand. Int. J.
Climatol. 34: 2393 – 2407.
Sugiarto A., Marisa H., 2018.
Pemanasan Global di
Sumatera Selatan dan
Peningkatan Suhu Udara yang
Terjadi; Pemodelan
Pengaruhnya Terhadap
Transpirasi Lansium
Domesticum Corr. Fakultas
MIPA, Universitas Sriwijaya.
Tebaldi C., Hayhoe K., Arblaster J.
M., dan Meehl G. A. 2006.
Going to the extremes. An
intercomparisonof
modelsimulated historical and
future changes in extreme
events. Climatic Change
79:185211.
Yuliara I. M., 2016. Modul Regresi
Linier Sederhana. Fakultas
Fisika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Udayana.
Zhang X., dan Feng Y. 2004.
RClimDex 1.0 User Manual.
Climate Research Branch
Environment Canada:Ontario.
http://etccdi.pacificclimate.org/
BULETIN METEO NGURAH RAI 2020STASIUN METEOROLOGI KELAS I I GUSTI NGURAH RAI
GEDUNG GOI LANTAI II BANDARA I GUSTI NGURAH RAI DENPASAR - BALI
ISSN 2461-0313