badan intelijen dan keamanan polri
DESCRIPTION
Mengenal Badan Intelejen dan Keamanan PolriTRANSCRIPT
Badan Intelijen dan Keamanan POLRI
Badan intelijen di tubuh Kepolisian didirikan, paska terbentuknya Djawatan
Kepolisian Negara (DKN) pada 19 Agustus 1945, yang ditetapkan oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) serta penetapan RS.Soekanto
Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian Nasional (KKN), yang berada di
bawah kendali Departemen Dalam Negeri.
Lahirnya Maklumat X tanggal 3 November 1945 yang membebaskan masyarakat
untuk membentuk organisasi dan partai politik, menjadi titik awal keberadaan
Badan Intelejen Kepolisian berdiri. Ini disebabkan karena lonjakan aspirasi dan
kepentingan masyarakat diasumsikan akan membangun situasi yang tidak
kondusif bagi penegakan keamanan dalam negeri sebagai akibat begitu banyaknya
partai-partai politik baru maupun organisasi-organisasi masyarakat yang berdiri.
Sehingga pada awal tahun 1946, dibentuklah kekuatan intelijen yang mampu
mencegah dan mengatasi gangguan keamanan yang disebabkan oleh aktivitas
masyarakat tersebut. Fungsi dan peranan lembaga intelejen Kepolisian ini diberi
nama Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM), pimpinan R.Moch.Oemargatab.
Tugas pokok dari PAM ini memang lebih spesifik pada pengawasan aktivitas
masyarakat dibandingkan Badan Istimewa (BI) pimpinan Zulkifli Lubis yang
lebih mengarah kepada dinamika politik dan pengembangan kontra intelijen
terhadap Belanda dan Sekutunya.
Seiring dengan perjalanan waktu, DKN kemudian dikeluarkan dari lingkungan
Departemen Dalam Negeri, dengan diterbitkannya Penetapan Pemerintah No.
11/S.D tahun 1946 pada tanggal 1 Juli 1946. Sehingga struktur organisasi DKN
langsung di bawah Perdana Menteri. Perubahan ini juga berimplikasi pada
keberadaan PAM, sebagai satuan intelijen di Kepolisian, yang mengalami
pemekaran tugas pokok dari yang sangat umum menjadi lebih khusus.
Pada PAM sebelum terbitnya Penetapan Pemerintah No. 11/S.D tahun 1946, tugas
pokoknya sebagai berikut: ”Mengawasi semua aliran dan memusatkan segala
minatnya kepada hajat-hajat dan tujuan-tujuan dari seseorang atau golongan
penduduk yang ada atau timbul di daerah Republik Indonesia atau yang datang
dari luar, yang dianggap dapat membahayakan kesentausaan Negara Indonesia
dan sebaliknya membantu hajat dan cita-cita seseorang atau golongan penduduk
yang bermaksud menyentausakan negara dan keamanan Republik Indonesia serta
tugas riset dan analisis lainnya.”
Sedangkan tugas pokok PAM setelah terbitnya penetapan pemerintah, justru
makin memperluas cakupan tugas pokok, dengan terbitnya Surat Kepala
Kepolisian Negara (KKN) No: Pol. 68/Staf/PAM tanggal 22 September 1949,
yang isinya sebagai berikut:
1. Mengawasi aliran-aliran politik, pergerakan-pergerakan buruh, wanita,
pemuda, dan lain-lainnya.
2. Mengawasi aliran agama, ketahayulan, kepercayaan-kepercayaan lain dan
lain sebagainya.
3. Mengawasi pendapat umum dalam pers, radio dan masyarakat (pergaulan
umum dari segala lapisan masyarakat/rakyat).
4. Mengawasi kebudayaan, pertunjukan-pertunjukan bioskop dan
kesusasteraan.
5. Mengawasi pergerakan sosial, yakni soal-soal kemasyarakatan yang
timbul karenakurang sempurnanya susunan masyarakat, cara mengerjakan
anak-anak dan perempuan, perdagangan anak, pelacuran, pemberantasan
pemadatan, perdagangan minuman keras, pemilihan orang-orang terlantar
lainnya. Semuanya dilihat dari politik polisionil tekhnis.
6. Mengawasi keadaan ekonomi, soal-soal yang timbul karena kurang
sempurnanya susunan ekonomi.
7. Mengawasi bangsa asing, terutama yang berhubungan dengan peristiwa-
peristiwa politik di luar negeri yang dapat mempengaruhi masyarakat/bangsa
asing di Indonesia.
8. Mengawasi gerak gerik mata-mata musuh, dan pergerakan/tindakan ilegal
yang menentang/membahayakan pemerintah.
9. Dan bila disimpulkan dari uraian tersebut, maka tugas bagian PAM
adalah: menjalankan kontra intelijen dan kontra spionase demi keamanan
nasional serta melaksanakan riset dan analisis untuk kepentingan pimpinan
c.q. Perdana Menteri dalam menentukan kebijakan politik polisional.
Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda, dan bubarnya Republik Indonesia
Serikat, lembaga intelijen sudah mulai mampu melakukan akselerasi pada tugas
pokok yang diembannya. Hal ini terkait dengan berbagai manuver dari elit politik
yang memandang lembaga intelijen sebagai lembaga strategis bagi kekuasaan
politiknya. Pada lembaga intelijen Kepolisian ada perubahan yang signifikan,
dengan diubahnya nama Bagian PAM menjadi Bagian Dinas Pengawasan
Keselamatan Negara (DPKN). Perubahan ini berdasarkan Surat Keputusan
Pemerintah No.Pol:4/2/28/UM, tertanggal 13 Maret 1951, agar DPKN juga
melakukan penjagaan terhadap keselamatan pribadi Presiden dan Wakil Presiden,
serta pejabat tinggi negara. Di samping itu juga melakukan penjagaan terhadap
tamu negara dan perwakilan asing.
Seiring dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, DPKN sebagai intelijen
Kepolisian juga melakukan metamorphosis, dengan berubah nama menjadi Korps
Polisi Dinas Security (Korpolsec). Pergantian nama ini lebih banyak terkondisikan
karena tantangan dan ancaman yang lebih konpleks, disertai ledakan jumlah
penduduk yang membuat rasio polisi dan penduduk makin tidak ideal. Korpolsec
dilandasi dengan terbitnya Order Menteri/ Kepala Kepolisian Negara
No:37/4/1960, tertanggal 24 Juni 1960, dengan rincian pokok kerja sebagai
berikut:
1. Mengatur pelaksanaan Security Intelijen.
2. Mengatur pelaksanaan pengumpulan, penyusunan, penilaian dan
pengolahan bahan-bahan informasi mengenai persoalan-persoalan dalam
masyarakat untuk menentukan kebijaksanaan dalam rangka kepentingan
keamanan nasional.
3. Menyelesaikan masalah-masalah tentang persoalan-persoalan dalam
masyarakat termasuk dalam point b di atas. Yang tidak dapat diselesaikan oleh
pihak Kepolisian Komisariat atau yang meliputi lebih dari satu daerah
KepolisianKomisariat.
4. Memberi pimpinan dalam penjagaan keselamatan orang-orang penting dan
perwakilan kenegaraan dalam kerja sama dengan instansi-instansi yang
bersangkutan, yang tidak dapat diselesaikan oleh Kepolisian Komisariat atau
yang meliputi lebih dari satu daerah Kepolisian Komisariat.
Seiring dengan proses perbaikan yang terjadi di internal intelijen Kepolisian,
pucuk pimpinan beralih dari R. Oemargatab ke M. Soekardjo. Pergantian ini juga
bernuansa sangat politis. Pergantian tersebut sejalan dengan pergantian Kepala
Kepolisian Nasional, dari RS. Soekanto Tjokrodiatmodjo ke Soekarno
Djojoegoro, yang merupakan pilihan Soekarno. Soekanto diganti karena menolak
gagasan Presiden Soekarno untuk mengintegrasikan Kepolisian Nasional dengan
Angkatan Perang. Langkah ini juga mengganggu tingkat konsolidasi di lembaga
intelijen Kepolisian. Soekarno Djojoegoro cenderung sangat politis dalam melihat
hal yang ada di Kepolisian. Tak heran karena sosok Ketua Polisi Nasional kedua
tersebut dekat dengan Presiden Soekarno. Langkah yang dilakukannya adalah
memasukkan Soetarto menjabat ketua Intelejenan Kepolisian menggantikan M.
Soekardjo, yang baru seumur jagung menggantikan Oemargatab.
Namun demikian, permasalahan yang muncul sebagai akibat dari konflik internal
terus mengemuka. Pergantian Soekarno Djojoegoro dari Panglima Angkatan
Kepolisian (Pangak) dan Soetarto dari jabatan Kepala Intelijen Kepolisian tidak
menyelesaikan masalah. Hal ini terkait keputusan kontroversial dari pemerintah
yang menunjuk Soetjipto Danukusumo menjadi pengganti Soekarno Djojoegoro.
Sebagaimana diketahui bahwa kepangkatan Soetjipto baru AKBP (setingkat
Letnan Kolonel), namun kemudian dinaikkan dengan cepat menjadi Inspektur
Jenderal. Naiknya Soetjipto menjadi Pangak menambah riak-riak baru bagi
konflik di internal Polri. Selain karena alasan kenaikan pangkat kilat, juga
disebabkan karena proses naiknya Soetjipto menjadi Pangak sangat sarat
bernuansa politik.
Akan tetapi secara kasat mata, proses tersebut juga memiliki implikasi bagi
pembenahan internal Kepolisian, meski tidak lama menjabat, Soetjipto telah
membersihkan unsur politik dari Korpolsec, dengan memindahkan Soetarto ke
BPI, dan menjadi orang kedua setelah Soebandrio. Kepindahan Soetarto ke BPI
memberikan angin segar bagi perbaikan kinerja Korpolsec, yang kemudian
berganti lagi menjadi Korps Intelejen dan Security, dan kemudian berubah lagi
menjadi Direktorat Intelijen dan Security hingga berakhirnya kekuasaan Orde
Lama.
Pasca Soetarto memimpin lembaga tersebut, sesungguhnya lembaga intelijen
Kepolisian mulai dipimpin oleh perwira didikan PAM, sebut saja Soemartono,
Poerwata, dan Soetomo. Tiga orang ini berturut-turut saling menggantikan hingga
kejatuhan Presiden Soekarno dan Orde Lama-nya dari tapuk pemerintahan. Satu
produk perundang-undangan terakhir di masa Presiden Soekarno, untuk
menegaskan tugas pokok Direktorat Intelijen dan Security Departemen Angkatan
Kepolisian adalah terbitnya Surat Keputusan No.Pol:11/SK/MK/1964, tanggal 14
Feberuari 1964, yang berisi sebagai berikut:
1. Tugas Umum: Menciptakan ketertiban dan ketentraman lahir dan bathin
untuk menuju masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur, tata tentrem
kerta raharja, serta mengamankan/menyelamatkan dan aktif merealisasikan
Amanat Penderitaan Rakyat, sesuai dengan kerangka Tujuan Revolusi
Nasional.
2. Tugas Khusus: Menjalankan tugas yang bersifat preventif dan represif
dengan cara positif dan aktif di bidang intelijen dan security (pengamanan).
Harus diakui bahwa konflik internal di Kepolisian sangat mempengaruhi
eksistensi dan kinerja dari lembaga intelijen tersebut. Bahkan dapat dikatakan
konflik yang terjadi di internal Kepolisian mampu membangun kesadaran bagi
para perwira Kepolisian untuk lebih mengedepankan tugas dan tanggung jawab
terhadap negara dari pada perebutan jabatan dan posisi yang memberi cela bagi
banyak pihak untuk melakukan penyusupan di tubuh Polri.
Di sinilah sesungguhnya peran intelijen harus diperkuat untuk menolak segala
bentuk campur tangan dan penyusupan, dengan kontra intelijen. Permasalahannya,
dalam kasus ini intelijen Kepolisian menjadi bagian dari konflik, sebab ada satu
wacana yang berkembang ketika itu untuk mengendalikan Kepolisian, salah
satunya dengan menumpulkan peran intelijennya. Dan langkah tersebut terbilang
sukses. Indikator yang paling mudah adalah pasca Dekrit Presiden 1959 hingga
pergantian kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto, bisa dikatakan
peran intelijen Kepolisian terbilang minim.
Ketika Soekarno dan Orde Lama turun tahta, dan digantikan oleh Soeharto, dan
instrumen Orde Baru-nya, maka dimulai satu fase “kegelapan” bagi dunia intelijen
di Indonesia, khususnya intelijen Kepolisian. Seperti dapat diduga, Soeharto
melakukan konsolidasi politik ke semua lini kekuasaan agar patuh dan loyal
kepadanya.
Gagasan Soekarno untuk menempatkan Polri agar masuk dalam Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia diterapkan Soeharto guna mengikat Polri agar
terbebas dari anasir-anasir PKI dan faksi anti pemerintah. Sehingga pada era orde
baru, Polri dileburkan menjadi satu angkatan bersama tiga matra TNI lainnya,
yaitu: TNI-AL (Angkatan Laut), TNI-AD (Angkatan Darat) dan TNI-AU
(Angkatan Udara). Yang berimbas kepada meleburnya Intelijen Kepolisian
menjadi bagian dari KIN.
Intelijen Kepolisian, yang di masa pemerintahan Soekarno memainkan peran yang
cukup signifikan, dan diberi berbagai peluang dan mengembangkan diri, pada
masa Soeharto justru hanya menjadi sub ordinasi dari pemenuhan informasi dan
data dari lembaga-lembaga bentukan Soeharto tersebut. Hampir tidak ada satu
agregasi kinerja intelijen Polri yang benar-benar mandiri dan mencitrakan satu
profesionalisme sebagaimana yang menjadi tugas dan fungsinya. Hampir semua
tugas dan fungsi intelijen Polri diambil alih dan dikerjakan oleh lembaga-lembaga
tersebut.
Secara sistematis bahkan marjinalisasi peran dan fungsi Intelejen Polri makin
menjadi-jadi. Dan turunan dari berbagai kasus yang melibatkan intelijen Polri pun
sangat kentara. Misalnya pada kasus Pembunuhan Marsinah yang melibatkan
pejabat setingkat Kodim dan Koramil, yang mencoba menyeret-nyeret intelijen
Polri, atau bahkan kasus pembunuhan Wartawan Bernas, Udin yang melibatkan
intelijen Polri, bahkan sebagai tersangka.
Hal ini menandakan bahwa intelijen Polri dalam berbagai kasus telah dilemahkan.
Bahkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan Polri dalam penanganan
kasus kriminal, seperti pada kasus Penembak Misterius (Petrus). Penegasan yang
perlu dikemukakan adalah bahwa selama Soeharto dan Orde Baru berkuasa, peran
dan fungsi Polri menjadi sub ordinat dari kerja-kerja keintelijenan secara luas.
Bahkan idiom yang mengemuka di internal Polri ketika itu, Polri sebagai “tukang
cuci piring” dari berbagai kasus dan permasalahan yang melibatkan Polri selama
kurun waktu 32 tahun Soeharto berkuasa.
Pada era reformasi, Polri dipisahkan dari tubuh ABRI. Untuk itu segala upaya
dilakukan untuk melaksanakan kemandirian dan reformasi di tubuh Polri, dengan
mengadakan perubahan-perubahan melalui tiga aspek yaitu:
1. Aspek Struktural: Mencakup perubahan kelembagaan Kepolisian dalam
Ketata negaraan, organisasi, susunan dan kedudukan.
2. Aspek Instrumental: Mencakup filosofi (Visi, Misi dan tujuan), Doktrin,
kewenangan,kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek.
3. Aspek kultural: Adalah muara dari perubahan aspek struktural dan
instrumental, karena semua harus terwujud dalam bentuk kualitas pelayanan
Polri kepada masyarakat, perubahan meliputi perubahan manajerial, sistem
rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem
anggaran, sistem operasional.
Visi Polri saat ini adalah: Polri yang mampu menjadi pelindung Pengayom dan
Pelayan Masyarakat yang selalu dekat dan bersama-sama masyarakat, serta
sebagai penegak hukum yang profesional dan proposional yang selalu menjunjung
tinggi supermasi hukum dan hak azasi manusia, Pemelihara keamanan dan
ketertiban serta mewujudkan keamanan dalam negeri dalam suatu kehidupan
nasional yang demokratis dan masyarakat yang sejahtera.
Sedangkan misi yang akan dicapai Polri adalah: Berdasarkan uraian Visi
sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya uraian tentang jabaran Misi Polri
kedepan adalah sebagai berikut :
1. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat (meliputi aspek security, surety, safety dan peace) sehingga
masyarakat bebas dari gangguan fisik maupun psykis.
2. Memberikan bimbingan kepada masyarakat melalui upaya preemtif dan
preventif yang dapat meningkatkan kesadaran dan kekuatan serta kepatuhan
hukum masyarakat (Law abiding Citizenship).
3. Menegakkan hukum secara profesional dan proporsional dengan
menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak azasi manusia menuju kepada
adanya kepastian hukum dan rasa keadilan.
4. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tetap
memperhatikan norma - norma dan nilai - nilai yang berlaku dalam bingkai
integritas wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Mengelola sumber daya manusia Polri secara profesional dalam mencapai
tujuan Polri yaitu terwujudnya keamanan dalam negeri sehingga dapat
mendorong meningkatnya gairah kerja guna mencapai kesejahteraan
masyarakat
6. Meningkatkan upaya konsolidasi kedalam (internal Polri) sebagai upaya
menyamakan Visi dan Misi Polri kedepan.
7. Memelihara soliditas institusi Polri dari berbagai pengaruh external yang
sangat merugikan organisasi.
8. Melanjutkan operasi pemulihan keamanan di beberapa wilayah konflik
guna menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
9. Meningkatkan kesadaran hukum dan kesadaran berbangsa dari masyarakat
yang berbhineka tunggal ika.
Dalam rangka mewujudkan Visi dan Misi Polri tersebut, maka ditetapkan sasaran
yang hendak dicapai oleh Polri, yaitu:
A. Bidang Kamtibmas
Tercapainya situasi Kamtibmas yang kondosif bagi penyelenggaraan
pembangunan nasional.
Terciptanya suatu proses penegakan hukum yang konsisten dan
berkeadilan, bebas KKN dan menjunjung tinggi hak azasi manusia.
Terwujudnya aparat penegak hukum yang memiliki integritas dan
kemampuan profesional yang tinggi serta mampu bertindak tegas adil dan
berwibawa.
Kesadaran hukum dan kepatuhan hukum masyarakat yang meningkat yang
terwujud dalam bentuk partisipasi aktif dan dinamis masyarakat terhadap upaya
Binkamtibmas yang semakin tinggi.
Kinerja Polri yang lebih profesional dan proporsional dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai demokrasi sehingga disegani dan mendapat dukungan kuat dari
masyarakat untuk mewujudkan lingkungan kehidupan yang lebih aman dan tertib.
B. Bidang Keamanan Dalam Negeri
Tercapainya kerukunan antar umat beragama dalam kerangka interaksi
sosial yang intensif serta tumbuhnya kesadaran berbangsa guna menjamin
keutuhan bangsa yang ber Bhineka Tunggal Ika.
Tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Berkenaan dengan uraian tugas, visi dan misi serta sasaran yang hendak dicapai
tersebut, maka Polri akan terus melakukan perubahan dan penataan baik di bidang
pembinaan mau pun operasional serta pembangunan kekuatan sejalan dengan
upaya Reformasi. Maka dari itu, Polri kemudian mengubah nama Badan
Intelijennya dengan menyandang nama Badan Intelijen Keamanan Polri (Ba-
Intelkam) Polri.
Titik tekannya pada intelijen keamanan, yang tertuang pada Keputusan Presiden
(Perpres) No. 70 tahun 2002 tentang Organisasi Tata Kerja Kepolisian Negara RI
Pasal 21, yang berbunyi:
1. Badan Intelijen Keamanan Polri, disingkat Baintelkam adalah unsur
pelaksana utama pusat bidang intelijen keamanan di bawah Polri.
2. Baintelkam bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi intelijen
dalam bidang keamanan bagi kepentingan tugas operasional dan manajemen
Polri maupun guna mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam
rangka mewujudkan Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri).
Seorang anggota Polri yang memiliki kualifikasi sebagai seorang anggota Ba-
Intelkam Polri, harus dapat melakukan pendeteksian, analisis, dan melakukan
kontra intelijen. Dalam beberapa kasus keterlibatan anggota Ba-Intelkam Polri
dalam kerja-kerja intelijen kepolisian juga secara aktif mampu meningkatkan
kinerja dari Mabes Polri ataupun Polda setempat yang dalam kesehariannya
dilaksanakan oleh Dit-Intelkam (Direktorat Intelijen Keamanan) Polda,
sebagaimana yang dilakukan Polda-Polda yang wilayahnya melakukan Pilkada
dan rawan konflik lainnya.