babo2 tinjauanopustakaoeprints.umm.ac.id/58337/3/bab 2.pdfdengan endapan amyloid-β peptide pada...
TRANSCRIPT
5
BABo2
TINJAUANoPUSTAKAo
2.1. Stroke
2.1.1. Definisi Stroke
Stroke merupakan gejala-gejala defisit fungsi saraf yang hanya diakibatkan
oleh penyakit pembuluh darah otak, bukan yang lain. Stroke merupakan kematian
mendadak beberapa sel otak yang dikarenakan oleh kekurangan asupan oksigen
akibat aliran darah ke otak yang terhambat atau rupturnya pembuluh darah arteri
ke otak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa stroke adalah istilah klinis untuk
defisit neurologik dengan onset akut akibat perdarahan atau lesi vaskular
obstruktif (Kumar, Abbas, dan Aster, 2013). Tidak hanya kecacatan ataupun
kematian, hal tersebut dapat menyebabkan demensia dan depresi pada pasien
stroke. Angka kejadian stroke dan kejadian yang berhubungan dengan stroke
mencapai 70% hingga 87% yang mengakibatkan kematian dan kecacatan pada
negara berpendapatan menengah dan kebawah (World Health Organization,
2016).
2.1.2. Klasifikasi Stroke
a. Berdasarkan Waktu
TIA (Transient Ischemic Attack). TIA dikenal sebagai mini stroke, tetapi
gejala klinis yang berlangsung hanya beberapa saat, kurang dari 24 jam. Hal
tersebut disebabkan oleh trombus yang menyumbat pembuluh darah, tetapi dapat
kembali normal dengan sendirinya. Selain trombus, TIA juga disebabkan oleh
6
kerusakan pada pembuluh darah kecil di dalam otak (Stroke Association, 2017).
Penelitian menunjukkan bahwa durasi TIA dapat bervariasi dalam rentang yang
sangat luas, yaitu kurang dari 1 menit hingga lebih dari 720 menit. Penelitian
Oxfordshire Community Stroke menunjukkan bahwa durasi TIA tersering sekitar
6-60 menit yang terjadi pada 45% kasus. Sedangkan penelitian yang dilakukan
Hankey dan Warlow menunjukkan bahwa durasi TIA terbanyak adalah 6-30 menit
yang terjadi pada 30% kasus (Setiati, et al., 2014).
RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit) merupakan gejala stroke
yang menetap dalam lebih dari 24 jam, tetapi tidak lebih dari 72 jam (Tai, et al.,
2019). Sedangkan stroke in evolution (progressive stroke) adalah gejala stroke
yang terjadi secara progresif, yakni gejala yang berhubungan dengan stroke
memburuk dari waktu ke waktu. Sehingga memerlukan identifikasi lebih awal
dalam manajemen stroke akut (Chen, et al., 2015). Completed Stroke, berupa
gangguan neurologi yang timbul bersifat menetap atau permanen. Angka kejadian
completed stroke 60% disebabkan infark aterotrombotik pada otak, 25.1% oleh
emboli serebri, 5.4% karena perdarahan subarakhnoid, 8.3% oleh perdarahan
intraserebri, dan 1.2% undefined diseases (Brainin dan Hess, 2014).
b. Berdasarkan Etiologi
1. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik disebabkan oleh hipertensi atau kerusakan pembuluh
darah lainnya sehingga membuat rupturnya pembuluh darah arteriole di dalam
otak. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perdarahan yang membuat penekan
terhadap sel-sel otak sekitarnya dan merusaknya (An, Kim, dan Yoon, 2017).
7
2. Stroke Iskemik
Stroke iskemik merupakan terganggunya sel neuron dan glia karena
kekurangan darah akibat sumbatan arteri yang menuju otak atau perfusi otak yang
inadekuat. Sumbatan dapat disebabkan oleh berbagai keadaan, yaitu berupa
trombosis atau berupa emboli (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
Kedua hal tersebut baik mengakibatkan hal yang sama pada otak seperti
berkurangnya oksigen dan substrat metabolit, sehingga dapat menyebabkan infark
atau jejas iskemik pada bagian yang divaskularisasi oleh pembuluh yang terkena.
Jejas serupa terjadi menyeluruh ketika terjadi hilangnya perfusi total, hipoksemia
berat (contoh syok hipovolemik), atau hipoglikemia berat. Perdarahan yang
menyertai rupturnya pembuluh darah akan mengakibatkan kerusakan jaringan
langsung seperti halnya jejas iskemik sekunder (Kumar, Abbas, dan Aster, 2013).
Trombosis yang menyebabkan stroke iskemik merupakan trombosis
serebri berupa obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses oklusi satu atau lebih
pembuluh darah lokal yang menyumbat lumen pembuluh darah karena trombus
yang makin lama makin menebal, sehingga aliran darah menjadi tidak lancar.
Penurunan aliran darah ini menyebabkan iskemia. Sehingga pada stroke iskemik
yang disebabkan adanya trombosis akan didapatkan gambaran defisit neurologis
yang memberat dalam 24 jam pertama atau lebih (Wijaya, 2013).
Sedangkan pada stroke iskemik yang disebabkan emboli yakni emboli
ke otak dapat berasal dari emboli kardiogenik, arteriogenik, dan paradoks. Secara
keseluruhan atau sebagian, emboli tersebut mengandung trombus, yang
merupakan dasar patologis dari istilah stroke tromboemboli (Hart, et al., 2014).
8
2.1.3. Patofisiologi Stroke
a. Stroke Hemoragik
Perubahan vaskular karena hipertensi. Merupakan penyebab Intracerebral
Hemorrhage (ICH) tersering oleh karena pecahnya pembuluh darah yang
mengalami degenerasi akibat hipertensi kronis. Arteri pada pasien hipertensi
mengalami degenerasi pada tunika media, otot polos menonjol, nekrosis fibroid
pada sub-endotelium dengan mikro-aneurisma, dan dilatasi fokal (Charidimou,
Gang, dan Werring, 2012).
Kemudian, terdapat Cerebral amyloid angiopathy (CAA) yang ditandai
dengan endapan amyloid-β peptide pada kapiler, arteriol, dan arteri berukuran
kecil dan menengah di korteks serebral, leptomeninges, dan otak kecil. CAA
dalam pembuluh kecil otak menyebabkan ICH sporadis pada orang tua, terjadi
terutama pada subjek lansia dan jarang dapat bermanifestasi pada pasien yang
relatif muda (Phillips, 2014).
Selain itu, terdapat patofisiologi molekuler pada ICH yang diawali dengan
adanya massa hematoma sehingga otak terkompresi, mengakibatkan gangguan
fisik atau struktural pada parenkim. Hematoma meluas, menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial, mempengaruhi aliran darah, hingga merusak
neuron di daerah perihematomal yang mengandung edema dan terjadi inflamasi
disekitarnya. Mekanisme sekunder dari kerusakan otak terkait dengan kaskade
pembekuan, khususnya trombin, yang menyebabkan sel-sel inflamasi masuk ke
otak, proliferasi sel-sel mesenkhim, pembentukan edema otak dan jaringan parut.
Trombin berikatan dengan reseptor yang diaktifkan oleh protease 1 dan
9
mengaktifkan mikroglia sistem saraf pusat dan komplemen kaskade. Hal tersebut
menyebabkan aktivasi apoptosis dan nekrosis (An, Kim, dan Yoon, 2017).
b. Stroke Iskemik
Meliputi dua proses utama yakni: 1) Vaskular, hematologi, atau jantung
(atherothromboembolism) yang menyebabkan pengurangan dan perubahan aliran
darah. 2) Perubahan kimia seluler yang disebabkan oleh keadaan vaskular tersebut
dan merupakan proses terjadinya nekrosis sel saraf dan glia (Bahrudin, 2017).
Pada sebagian besar pasien, emboli bersifat trombotik dan dapat terbentuk
di arteri, bilik jantung, katup jantung, atau vena. Trombus aterogenik paling sering
terbentuk pada plak aterosklerotik yang ruptur dan mengalami embolisasi ke arteri
serebral (Ntaios dan Hart, 2017).
Berbagai reaksi kompleks yang menyebabkan terjadinya stroke iskemik
meliputi memulai kaskade kompleks peristiwa metabolik, dan beberapa di
antaranya melibatkan ROS dan RNS yang memediasi sebagian besar kerusakan
yang terjadi di daerah infark. Walaupun begitu, masih terdapat daerah penumbra
yang bisa dilakukan reperfusi iskemik karena terdapat pembuluh darah kolateral,
sehinga daerah penumbra masih dapat diselamatkan (Rodrigo, et al., 2013).
10
(Rodrigo, et al., 2013).
Gambar 2.1 Diagram Skematik Faktor Kontribusi Utama yang Terlibat dalam
Patofisiologi Stroke Iskemik.
Proses iskemik menyebabkan gangguan Blood Brain Barrier (BBB), peradangan
dan stres oksidatif. Gangguan BBB menyebabkan edema dan infiltrasi leukosit,
yang meningkatkan peradangan. Protein, lipid dan DNA diserang oleh Reactive
Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS). Selanjutnya,
kekurangan oksigen dan glukosa menyebabkan deplesi ATP, menghasilkan
pelepasan glutamat dan disfungsi mitokondria. Stres oksidatif mengaktifkan jalur
apoptosis, nekrosis dan autofag, yang menentukan ukuran infark akhir. BBB,
sawar darah otak; ICP, tekanan intrakranial; eNOS, nitrat oksida sintase endotel,
nNOS, neuron nitrat oksida sintase; NADPH oksidase, mengurangi nikotin adenin
dinukleotida fosfat oksidase.
2.1.4. Patogenesis Stroke
a. Stroke Hemoragik
Pada stroke ini diakibatkan dari reperfusi jaringan iskemik, baik melalui
kolateral atau setelah penghancuran emboli, dan sering menyebabkan perdarahan
petekie multipel, kadang-kadang berkonfluensi atau meluas. Stroke hemoragik
11
dapat berupa perdarahan intraserebral, perdarahan intraventrikular (subdural,
epidural), dan perdarahan subaraknoid (Misbach, 2013).
(National Heart, Lung, and Blood Institutes, 2013)
Gambar 2.2. Patogenesis Stroke Hemoragik
Terjadinya perdarahan ada otak disebabkan oleh aneurisma pada arteri
serebral yang terbuka (pecah). Hal tersebut menimbulkan edema pada otak,
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial sehingga mengakibatkan
kematian pada jaringan otak.
Perdarahan subdural atau epidural biasanya dikaitkan dengan trauma (Sun,
Tan, dan Yu, 2013). Perdarahan subaraknoid paling sering disebabkan oleh
pecahnya aneurisma terutama aneurisma sakular (berry aneurysm), tetapi dapat
juga terjadi pada malformasi vaskular lainnya. Pecahnya pembuluh darah atau
ruptur dapat terjadi kapanpun, tetapi pada sekitar sepertiga kasus berhubungan
dengan peningkatan tekanan intrakranial akut, serta terdapat penambahan risiko
jejas iskemik akibat vasospasme pembuluh darah lainnya. Perdarahan ke dalam
ruang subaraknoid juga dapat berasal dari malformasi vaskular, trauma, pecahnya
12
pembuluh darah intraserebral ke dalam sistem ventrikel, gangguan hematologik,
dan tumor (Kumar, Abbas, dan Aster, 2013).
b. Stroke Iskemik
Umumnya yang lebih sering terjadi adalah infark akibat emboli daripada
infark akibat trombosis. Akan tetapi, keduanya baik trombosis maupun emboli
(tromboemboli) memegang peranan penting dalam patogenesis stroke iskemik.
Sumber emboli yang sering terjadi adalah pada trombus mural dikarenakan adanya
faktor predisposisi berupa disfungsi miokardium, penyakit katup, dan fibrilasi
atrium. Area cakupan arteri serebri media, perpanjangan langsung dari arteri
karotis interna, paling sering terkena infark emboli. Emboli mempunyai
kecenderungan untuk tersangkut pada percabangan pembuluh darah atau pada area
stenosis sehingga dapat menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah (Kumar,
Abbas, dan Aster, 2013).
Stroke non hemoragik yang disebabkan oleh trombus yang merupakan
pembentukan dari bekuan platelet ataupun fibrin di dalam darah yang
menyebabkan penyumbatan pada pembuluh vena atau arteri sehingga terjadi
iskemia dan nekrosis jaringan lokal. Trombosis merupakan komplikasi dari
pecahnya plak aterosklerosis yang diawali dengan adanya kerusakan endotel
pembuluh darah, sehingga terjadi interaksi antara trombosit dan dinding pembuluh
darah (Wijaya, 2013).
2.1.5. Frekuensi Stroke
Stroke dapat terjadi pada seseorang dalam satu kali (serangan pertama)
maupun lebih dari satu kali (serangan berulang), dan stroke serangan pertama
13
dapat memprediksi subtipe stroke berulang dengan mayoritas stoke berulang
adalah subtipe yang sama (Jones, Sen S, Lakshminarayan K, Rosamond WD,
2013). Sebuah penelitian menyatakan sebagian besar subjek (90,45% n = 284)
memiliki interval waktu berbeda setiap subtipe stroke serangan kedua atau lebih,
yakni stroke iskemik lebih cepat 54 hingga 80 bulan mengalami stroke serangan
kedua atau lebih dibandingkan stroke hemoragik selama 114 hingga 198 bulan
setelah seranagn pertama (Zhu, et al., 2016).
Serangan ulang yang terjadi pada area vaskuler yang sama dengan serangan
sebelumnya, akan memperburuk prognosis. Frekuensi serangan ulang pada area
vaskuler yang berbeda karena oklusi mendadak pada pembuluh darah yang
sebelumnya normal pada serangan pertama menyebabkan manifestasi klinis stroke
semakin memburuk. Stroke yang berulang seringkali lebih berat dibanding stroke
yang terjadi sebelumnya karena bagian otak yang terganggu akibat serangan
terdahulu belum pulih sempurna. Serangan berikutnya menyebabkan gangguan
yang sudah dialami menjadi semakin bertambah parah (Rahayu, Utomo, dan
Utami, 2014).
Berdasarkan penelitian “Baseline Cognitive Function, Recurrent Stroke,
and Risk of Dementia in Patients with Stroke” bahwa frekuensi berulangnya stroke
akan mempengaruhi skor MMSE untuk status kognitif menjadi lebih buruk
dibanding pasien stroke serangan pertama kali (Rist, et al., 2013).
2.1.6. Faktor Resiko Stroke Berulang
Telah disebutkan bahwa terjadinya stroke berulang dikarenakan adanya
faktor risiko pada pasien stroke serangan pertama, yakni faktor resiko yang tidak
14
dapat dimodifikasi dan faktor resiko yang dapat dimodifikasi. Dengan mengetahui
faktor resiko tersebut, dapat dilakukan pencegahan untuk terjadinya stroke
berulang ataupun memprediksi tanda-tanda awal stroke berulang (Ying, et al.,
2018).
a. Tidak Dapat Dimodifikasi
Pertama, adalah usia. Banyak studi yang telah menyebutkan bahwa usia
seseorang dapat meningkatkan risiko terjadinya serangan stroke berulang. Selain
itu, terdapat sebuah studi lainnya bahwa usia pasien yang lebih tua meningkatkan
resiko mortalitas post stroke berulang pada kategori apapun (Sun, et al., 2013).
Kedua, riwayat penyakit cerebrovascular, seperti pasien dengan riwayat
stroke (stroke iskemik, stroke hemoragik intraserebral, stroke hemoragik
subarahnoid, iskemik sirkulasi, TIA, stenosis karotis atau stenosis arteri
intrakranial. Seluruh riwayat penyakit cerebrovascular sebelumnya dan kejadian
stroke berulang secara signifikan berhubungan, baik pada pasien tua maupun
muda (Fu, et al., 2015).
Ketiga, subtipe stroke. Beberapa studi telah menunjukkan terdapat
hubungna antara subtipe stroke dengan stroke berulang. Subtipe yang paling
signifikan dapat diprediksi menjadi stroke berulang adalah stroke iskemik, large-
artery atherosclerosis (LAA) (Kang, et al., 2016).
b. Dapat Dimodifikasi
Berbagai penyakit yang menjadi faktor risiko untuk menjadikan stroke
berulang seperti hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung (atrial fibrilasi),
dislipidemi dan hiperlipidemia. Seluruh faktor risiko tersebut dapat dicegah
15
dengan menjalani pola hidup yang baik dan sehat, seperti melakukan aktifitas
fisik, mengurangi konsumsi makanan yang tinggi garam, serta tidak merokok.
Karena dengan menjalani pola hidup yang telah teratur, maka risiko untuk
terjadinya stroke berulang akan lebih rendah dibandingkan ada pasien yang tidak
menjaga pola hidupnya (Ying, et al., 2018).
2.2. Kognitif
2.2.1. Definisi Kognitif
Kemampuan kognitif didefinisikan sebagai kemampuan mental umum yang
melibatkan penalaran, pemecahan masalah, perencanaan, pemikiran abstrak,
pemahaman ide yang kompleks, dan belajar dari pengalaman (Ispas dan Borman,
2015).
Fungsi kognitif merupakan aktivitas mental secara sadar seperti berpikir,
mengingat, belajar dan menggunakan bahasa. perubahan fungsi kognitif tampak
sebagai paling beragam dan termasuk perubahan dalam pembelajaran, perhatian
berkelanjutan dan selektif, kategorisasi, pengkodean, pergeseran konsep,
distraktibilitas, memori, pengenalan pola, membaca, kosakata, hubungan spasial,
kemampuan matematika, dan kecerdasan (Driscoll, 2015).
2.2.2. Penurunan Status Kognitif
Penurunan fungsi kognitif berat menurun pula status kognitif seseorang.
Hal tersebut merupakan salah satu bentuk defisit neurologis yang bisa merupakan
tanda suatu penyakit yang memerlukan penanangan yang segera seperti stroke
(Bahrudin, 2013).
16
Domain dari fungsi kognitif yang dapat diperiksa bila mengalami
penurunan meliputi: 1) Atensi kompleks (sustained attention, divided attention,
processing speed). 2) Fungsi eksekutif (merencanakan, mengambil keputusan,
memori kerja, merespon umpan balik/koreksi eror, overriding habits / inhibisi,
fleksibilitas mental. 3) Pembelajaran dan memori: memori segera (memori baru,
memori recall bebas, recall dengan petunjuk dan rekognisi), memori jangka
sangat panjang (semantik, otobiografi), pembelajaran implisit. 4) Bahasa: bahasa
ekspresif (menyebut dan menemukan kata, kelancaran, tatabahasa, dan sintaks)
dan bahasa reseptif. 5) Perseptual motorik (termasuk kemampuan persepsi visual,
konstruksi onal visual, persepsi motorik, praksis dan gnosis. 6) Kognisi sosial
(rekognisi emosi, theory of mind) (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia,
2015).
2.2.3. Anatomi Fungsi Kognitif
Fungsi kognitif dalam tubuh diatur oleh area asosiasi kortikal pada korteks
serebri yang terdiri dari bagian anterior lobus frontal (prefrontal), bagian bawah
lobus parietal (inferior parietal), lobus temporal, serta lobus oksipital. Keempat
lobus tersebut berfungsi untuk menginterpretasikan pengalaman sensorik dan
mengingat (memori), penalaran, berbicara, penilaian, serta emosi (Paulsen dan
Waschke, 2015).
Pertama, lobus frontal (prefrontal) memiliki area asosiasi yang berfungsi
untuk mengontrol perilaku emosional dan menghasilkan kesadaran akan
kemungkinan konsekuensi dari perilaku. Kedua, area asosisasi lobus parietal
berfungsi dalam memahami pembicaraan dan dalam menggunakan kata-kata
17
untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan. Ketiga, lobus temporal memiliki
area asosiasi yang berfungsi dalam menafsirkan pengalaman sensorik seseorang
dan mengingat visual, musik, serta pola sensorik kompleks lainnya. Keempat, area
asosiasi lobus oksipital berfungsi untuk menggabungkan gambar visual dengan
pengalaman sensorik lainnya (Shier, Butler, dan Lewis, 2018).
(Shier, Butler, dan Lewis, 2018)
Gambar 2.3. Anatomi Fungsi Kognitif
Terdiri dari lobus frontal (konsentrasi, perencanaan, memecahkan masalah), lobus
parietal (pemahaman berbicara, penggunaan kata-kata), lobus temporal
(interpretasi sensorik berupa penglihatan dan pendengaran), serta lobus oksipital
(pengenalan visual sebuah objek). Keempat lobus tersebut merupakan kombinasi
area korteks motorik, sensorik, dan asosiasi di korteks serebri.
Hal terpenting adalah daerah di mana area asosiasi parietal, temporal, dan
oksipital bergabung dekat ujung posterior sulkus lateral. Daerah ini, disebut area
interpretatif umum (area Wernicke), yang memiliki peran utama dalam
pemrosesan pikiran yang kompleks. Area Wernicke menerima input dari beberapa
area sensorik dan menggabungkan informasi yang ada kemudian dikomunikasikan
18
kepada area otak lainnya dengan tepat. Oleh karena itu, seseorang dapat mengenali
berbagai kata dan menyusunnya untuk mengekspresikan pemikirannya, serta
membaca dan memahami ide-ide tertulis (Paulsen dan Waschke, 2015).
2.2.4. Stroke Berulang terhadap Penurunan Status Kognitif
Frekuensi gangguan kognitif pada pasien post-stroke sebanyak 20-30%,
dan semakin meningkat resikonya untuk mengalami penurunan fungsi kognitif,
bahkan hingga 2 tahun post-stroke. Pasien post-stroke termasuk di dalam
kelompok gangguan kognitif yakni Vascular Cognitive Impairment (VCI),
meliputi gangguan kognitif ringan dan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari
(Vascular Cognitive NoDementia) hingga gangguan yang paling berat berupa
demensia vaskuler. Selain itu, gangguan kognitif dapat mengenai satu atau lebih
bagian kognitif seperti atensi, bahasa, memori, visuospasial, serta fungsi eksekutif
(Cristy, 2011).
Volume infark pada area strategis, seperti area limbik kortikal, area asosiasi
heteromodal termasuk korteks frontal dan substansia alba, menjelaskan setengah
dari variabilitas dalam MMSE dan menyebabkan banyak penurunan kognitif
setelah stroke berulang (Sun, et al., 2014).
Selain itu, terdapat penelitian lain disebutkan bahwa stroke berulang
merupakan faktor risiko yang kuat untuk menyebabkan penurunan fungsi kognitif
hingga dapat menyebabkan demensia. Sehingga sebelum terulangnya stroke,
diharapkan dapat dicegah agar tidak sampai terjadi demensia pada pasien stroke
(Rist, et al., 2013).
19
2.2.5. Faktor Risiko Penurunan Kognitif
Penurunan status kognitif dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Salah
satunya adalah frekuensi berulangnya stroke seperti penelitian yang akan
dilakukan. akan tetapi, terdapat pula berbagai faktor yang dapat menyebabkan
status kognitif menurun selain stroke yang berulang. Faktor-faktor tersebut yakni
terdiagnosis demensia, mengalami cedera kepala, mengalami retardasi mental,
mengalami gangguan psikiatri, serta mengalami masalah psikososial berat.
a. Demensia
Merupakan salah satu penyakit neurodegeneratif yang memiliki karateristik
klinik berupa penurunan progresif memori episodik dan fungsi kortikal lain. Oleh
karena itu, demensia dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif seseorang
(Rist, et al., 2013).
b. Cedera Kepala
Salah satu komplikasi dan akibat dari cedera kepala adalah beberapa pasien
mungkin mengalami gangguan fungsi kognitif. Defisit kognitif yang sering
muncul setelah cedera kepala yakni gangguan memori, konsentrasi dan pemusatan
perhatian, kecepatan memproses informasi serta fungsi eksekutif. Berdasarkan
penelitian yang terdahulu, didapatkan kasus cedera kepala ringan dan cedera
kepala sedang mengalami gangguan fungsi kognitif yang menunjukkan adanya
kemunduran pada bagian atensi, visuospasial/eksekutif, dan delayed recall
(Athika, Junitha, dan Mawuntu, 2016).
20
c. Retardasi Mental
Retardasi mental (RM) merupakan gangguan heterogen yang terdiri atas
fungsi intelektual di bawah rata-rata disertai gangguan keterampilan adaptif.
Memiliki empat kategori, yaitu RM taraf ringan memiliki rentang IQ 50–55
sampai sekitar 70, RM taraf sedang tingkat IQ 35–40 sampai 50–55, RM taraf
berat memiliki rentang IQ 20–25 sampai 35–40 (Lisnawati, Shahib, dan
Wijayanegara, 2014).
d. Gangguan Psikiatri
Gangguan jiwa (psikiatri) adalah pola psikologis atau perilaku yang
berhubungan dengan stres ataupun kelainan mental yang tidak dianggap sebagai
bagian dari perkembangan normal manusia. Oleh karena itu, gangguan tersebut
didefinisikan sebagai berbagai kombinasi dari afektif, perilaku, kognitif, dan
persepsi, yang berhubungan dengan fungsi tertentu pada otak atauosyaraf yang
menjalankan fungsi sosial manusia, kerja dan fisik individu (Choresyo, Nulhaqim,
dan Wibowo, 2014).
e. Masalah Psikososial Berat
Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu yang mencakup
aspek psikis dan sosial atau sebaliknya, dan menunjuk pada hubungan yang
dinamis antara faktor psikis dan sosial, yang saling berinteraksi dan memengaruhi
satu sama lain. Istilah psikososial berarti menyinggung relasi sosial yang
mencakup faktor-faktor psikologis (Chaplin, 2011). Masalah-masalah psikososial
yaitu masalah dengan keluarga, lingkungan sosial, pendidikan, pekerjaan,
21
perumahan, ekonomi, akses ke pelayanan kesehatan, serta masalah interaksi
dengan hukum atau kriminal (Maslim, 2013).
2.3. Mini-Mental State Examination (MMSE)
2.3.1. Definisi MMSE
Mini Mental State Examination (MMSE) merupakan sebuh kuisioner untuk
menilai fungsi kognitif global seseorang. Sejak tahun 1975, MMSE sudah
divalidasi dan digunakan sebagai alat pendeteksi kerusakan kognitif (Bahrudin,
2013).
MMSE telah direkomendasikan karena penerimaan dan penggunaannya
yang luas. MMSE memiliki cut off 23/24, dengan sensitivitas 78.7%, spesifisitas
92.2%, Positive Predictive Value (PPV) 94.1% dan Net Present Value (NPV) 75%
(Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2015).
MMSE merupakan pemeriksaan status mental singkat yaitu antara 5-10
menit mencakup penilaian orientasi, registrasi, perhatian dan kalkulasi, mengingat
kembali serta bahasa. Tes ini mudah diaplikasikan dan telah terbukti sebagai
instrumen yang dapat dipercaya serta valid untuk mendeteksi dan mengikuti
perkembangan gangguan kognitif (Liman, et al., 2011).
2.3.2. Fungsi MMSE
Fungsi kognitif sangat penting untuk dievaluasi karena akan memudahkan
dalam menentukan tingkat kemampuan fungsional, baik yang berhubungan
dengan penanganan maupun dengan prognosis (Harsono, 2011).
22
2.3.3. Item Penilaian MMSE
Terdapat lima item penilaian dalam kuisioner MMSE, yaitu orientasi,
registrasi, atensi dan kalkulasi, mengingat kembali (recall), serta bahasa
(Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2015).
2.3.4. Skor Penilaian MMSE
Penilaian hasil pemeriksaan MMSE adalah hasil ukur normal bila jumlah
skor 24-30, ringan bila jumlah skor 17-23, serta berat bila jumlah skor 0-16
(Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2015).
Terdapat penelitian yang mengatakan bahwa semakin tinggi skor dari
MMSE seseorang, maka akan lebih sedikit risiko pasien stroke berulang menjadi
demensia (Rahayu, Utomo, dan Utami, 2014).