bab1

3
PENDAHULUAN Latar Belakang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan salah satu jenis tumbuhan dari keluarga Zingiberaceae yang secara empirik banyak digunakan sebagai obat, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran. Secara tradisional temulawak telah banyak digunakan masyarakat antara lain sebagai obat untuk mengatasi batu empedu, batu ginjal, demam, kolesterol tinggi, nyeri haid, nyeri sendi, pelancar ASI, sembelit, dan eksim. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan banyaknya penelitian ilmiah, temulawak diketahui pula memiliki khasiat sebagai antioksidan (Masuda et al. 1992), antilipidemia (Yasni et al. 1994), antibakteri (Hwang et al. 2000, Darusman et al. 2006), dan antijamur (Rukayadi & Hwang 2007). Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) juga termasuk sebagai salah satu tanaman obat unggulan Departemen Pertanian (Deptan) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2004 (Deptan 2004). Temulawak sangat prospektif untuk dikembangkan menjadi berbagai produk obat bahan alam seperti minuman kesehatan, pangan fungsional (nutraseutikal), kosmeseutikal (kometik dan produk kesehatan pribadi), jamu, herbal terstandar dan fitofarmaka. Kebutuhan industri terhadap temulawak, yaitu sekitar 3,140 ton/tahun berat segar untuk temulawak yang menempati urutan pertama terbesar dibandingkan dengan bahan baku obat lainnya untuk keperluan Industri Obat Tradisional di Jawa Tengah dan sekitar 70% jamu yang beredar di pasaran mengandung temulawak (Kemala et al. 2003). Bagian dari tanaman temulawak yang dimanfaatkan adalah rimpangnya. Banyaknya ragam manfaat temulawak baik untuk obat tradisional maupun fitofarmaka adalah karena rimpangnya mengandung komponen aktif utama yang berkhasiat, yaitu kurkuminoid dan minyak atsiri. Kurkuminoid memberikan warna kuning pada rimpang temulawak, yang terdiri atas kurkumin dan desmetoksikurkumin. Kandungan kimia minyak atsirinya antara lain feladren, kamfer, turmerol, tolilmetilkarbinol, ar-kurkumen, zingiberen, kuzerenon, germakron, β-tumeron, dan xantorizol (Rahardjo & Rostiana 2005). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa komponen aktif utama dalam minyak atsiri

Upload: rheza-tuszakka

Post on 22-Dec-2015

6 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

yu

TRANSCRIPT

Page 1: bab1

1  

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan salah satu jenis tumbuhan

dari keluarga Zingiberaceae yang secara empirik banyak digunakan sebagai obat,

baik dalam bentuk tunggal maupun campuran. Secara tradisional temulawak telah

banyak digunakan masyarakat antara lain sebagai obat untuk mengatasi batu

empedu, batu ginjal, demam, kolesterol tinggi, nyeri haid, nyeri sendi, pelancar

ASI, sembelit, dan eksim. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan

banyaknya penelitian ilmiah, temulawak diketahui pula memiliki khasiat sebagai

antioksidan (Masuda et al. 1992), antilipidemia (Yasni et al. 1994), antibakteri

(Hwang et al. 2000, Darusman et al. 2006), dan antijamur (Rukayadi & Hwang

2007). Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) juga termasuk sebagai salah satu

tanaman obat unggulan Departemen Pertanian (Deptan) dan Badan Pengawas

Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2004 (Deptan 2004).

Temulawak sangat prospektif untuk dikembangkan menjadi berbagai

produk obat bahan alam seperti minuman kesehatan, pangan fungsional

(nutraseutikal), kosmeseutikal (kometik dan produk kesehatan pribadi), jamu,

herbal terstandar dan fitofarmaka. Kebutuhan industri terhadap temulawak, yaitu

sekitar 3,140 ton/tahun berat segar untuk temulawak yang menempati urutan

pertama terbesar dibandingkan dengan bahan baku obat lainnya untuk keperluan

Industri Obat Tradisional di Jawa Tengah dan sekitar 70% jamu yang beredar di

pasaran mengandung temulawak (Kemala et al. 2003).

Bagian dari tanaman temulawak yang dimanfaatkan adalah rimpangnya.

Banyaknya ragam manfaat temulawak baik untuk obat tradisional maupun

fitofarmaka adalah karena rimpangnya mengandung komponen aktif utama yang

berkhasiat, yaitu kurkuminoid dan minyak atsiri. Kurkuminoid memberikan warna

kuning pada rimpang temulawak, yang terdiri atas kurkumin dan

desmetoksikurkumin. Kandungan kimia minyak atsirinya antara lain feladren,

kamfer, turmerol, tolilmetilkarbinol, ar-kurkumen, zingiberen, kuzerenon,

germakron, β-tumeron, dan xantorizol (Rahardjo & Rostiana 2005). Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa komponen aktif utama dalam minyak atsiri

Page 2: bab1

2  

temulawak yang juga merupakan senyawa khas dari rimpang temulawak adalah

xantorizol.

Kandungan dan komposisi senyawa aktif pada temulawak yang merupakan

hasil metabolisme sekunder dari tanaman sangat bergantung pada interaksi antara

sifat genetik yang ada pada tanaman dan kondisi agrobiofisik yang menjadi

lingkungan tempat tanaman tersebut tumbuh. Menurut Sidik et al. (1995),

produktivitas dan mutu rimpang temulawak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan

tempat tumbuh yang meliputi iklim, media tanam (jenis tanah), dan ketinggian. Oleh

karena itu perlu diketahui nomor harapan tanaman temulawak yang unggul dan

lingkungan tumbuh yang sesuai, sehingga diperoleh produksi dan mutu rimpang

yang tinggi.

Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) memiliki 22 nomor

aksesi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan hasil

karakterisasi dan evaluasi plasma nutfah telah diperoleh enam nomor harapan

temulawak hasil seleksi dari dua puluh nomor aksesi plasma nutfah temulawak

dengan perbedaan produksi rimpang dan mutu kandungan zat berkhasiat lebih

tinggi. Produksi rimpang keenam aksesi tersebut lebih tinggi (2,39–3,37 kg/m2)

dibandingkan dengan produksi rata-rata nasional (1,07 kg/m2) (Direktorat Aneka

Tanaman 2000). Kandungan minyak atsiri enam nomor harapan tersebut juga

lebih tinggi (6,2–9,8%) dibandingkan dengan persyaratan yang telah ditentukan

oleh Materia Medika Indonesia (5,0%). Kadar kurkuminnya berkisar 1,2–3,6%

dan rata-rata yang terdapat di pasaran adalah lebih kurang 1,93% (Setiyono &

Ajijah 2002).

Pada bagian pertama penelitian ini dilakukan pemilihan sampel dari dua

nomor harapan (A dan F) dan dua lokasi tanam (Cileungsi dan Boyolali) yang

sesuai untuk budidaya temulawak yang memiliki kandungan bioaktif tinggi

(xantorizol). Nomor harapan A dan F dipilih berdasarkan keunggulan produksi

rimpang dan mutu kandungan zat berkhasiat terhadap enam nomor harapan

temulawak yang telah dilakukan pada uji multilokasi oleh tim peneliti Balittro

(Setiono et al. 2006). Selanjutnya temulawak terpilih yang mengandung xantorizol

tertinggi digunakan lebih lanjut untuk keperluan penelitian bagian kedua, yaitu

isolasi xantorizol.

Page 3: bab1

3  

Xantorizol merupakan antibakteri potensial yang memiliki spektrum luas

terhadap aktivitas antibakteri, stabil terhadap panas, dan aman terhadap kulit

manusia. Xantorizol dapat menghambat berbagai macam bakteri, misalnya

Streptococcus mutans, Bifidobacterium bifidum, Penicilium chrysogenum, dan

beberapa bakteri lainnya (Hwang 2004). Oleh karena itu xantorizol dapat

dimanfaatkan pada berbagai produk, misalnya pada pasta gigi, sabun, pembersih

mulut, permen karet, kosmetik, dan industri farmasi. Hwang et al. (2000) telah

berhasil mengisolasi xantorizol dari fraksi etil asetat ekstrak metanol temulawak

sebanyak 0.2 g dari 100 g rimpang temulawak kering (rendemen 0.2%). Aguilar et

al. (1993) juga telah mengisolasi xantorizol dari ekstrak kloroform akar tanaman

Iostephane heterophylla (asal Meksiko) sebanyak 12.02 g dari 2.8 kg sampel yang

digunakan (rendemen 0.42%). Pada bagian kedua penelitian ini dilakukan isolasi

xantorizol dari temulawak terpilih menggunakan metode separasi dengan teknik

kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif dan asetilasi ekstrak kasar. Asetilasi ekstrak

kasar sebelum pemurnian dengan KLT preparatif diharapkan dapat menghasilkan

rendemen lebih tinggi. Selain itu dilakukan pula isolasi xantorizol menggunakan

metode Hwang et al. (2000) sebagai metode pembanding untuk memperoleh

informasi mengenai karakteristik xantorizol.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah (a) memilih nomor harapan temulawak A atau F

dari Balittro yang terbaik berdasarkan kandungan xantorizol yang tinggi, (b)

menentukan kondisi lingkungan agrobiofisik yang menghasilkan tingkat bahan aktif

tinggi, dan (c) mendapatkan metode separasi (ekstraksi – asetilasi – separasi dengan

KLT preparatif – deasetilasi) yang dapat memisahkan xantorizol dengan kadar lebih

tinggi daripada metode yang sudah ada (metode Hwang 2000: ekstraksi – separasi

kolom kromatografi tahap 1 – asetilasi – separasi kolom kromatografi tahap 2 -

deasetilasi).