bab1
DESCRIPTION
yuTRANSCRIPT
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan salah satu jenis tumbuhan
dari keluarga Zingiberaceae yang secara empirik banyak digunakan sebagai obat,
baik dalam bentuk tunggal maupun campuran. Secara tradisional temulawak telah
banyak digunakan masyarakat antara lain sebagai obat untuk mengatasi batu
empedu, batu ginjal, demam, kolesterol tinggi, nyeri haid, nyeri sendi, pelancar
ASI, sembelit, dan eksim. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
banyaknya penelitian ilmiah, temulawak diketahui pula memiliki khasiat sebagai
antioksidan (Masuda et al. 1992), antilipidemia (Yasni et al. 1994), antibakteri
(Hwang et al. 2000, Darusman et al. 2006), dan antijamur (Rukayadi & Hwang
2007). Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) juga termasuk sebagai salah satu
tanaman obat unggulan Departemen Pertanian (Deptan) dan Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2004 (Deptan 2004).
Temulawak sangat prospektif untuk dikembangkan menjadi berbagai
produk obat bahan alam seperti minuman kesehatan, pangan fungsional
(nutraseutikal), kosmeseutikal (kometik dan produk kesehatan pribadi), jamu,
herbal terstandar dan fitofarmaka. Kebutuhan industri terhadap temulawak, yaitu
sekitar 3,140 ton/tahun berat segar untuk temulawak yang menempati urutan
pertama terbesar dibandingkan dengan bahan baku obat lainnya untuk keperluan
Industri Obat Tradisional di Jawa Tengah dan sekitar 70% jamu yang beredar di
pasaran mengandung temulawak (Kemala et al. 2003).
Bagian dari tanaman temulawak yang dimanfaatkan adalah rimpangnya.
Banyaknya ragam manfaat temulawak baik untuk obat tradisional maupun
fitofarmaka adalah karena rimpangnya mengandung komponen aktif utama yang
berkhasiat, yaitu kurkuminoid dan minyak atsiri. Kurkuminoid memberikan warna
kuning pada rimpang temulawak, yang terdiri atas kurkumin dan
desmetoksikurkumin. Kandungan kimia minyak atsirinya antara lain feladren,
kamfer, turmerol, tolilmetilkarbinol, ar-kurkumen, zingiberen, kuzerenon,
germakron, β-tumeron, dan xantorizol (Rahardjo & Rostiana 2005). Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa komponen aktif utama dalam minyak atsiri
2
temulawak yang juga merupakan senyawa khas dari rimpang temulawak adalah
xantorizol.
Kandungan dan komposisi senyawa aktif pada temulawak yang merupakan
hasil metabolisme sekunder dari tanaman sangat bergantung pada interaksi antara
sifat genetik yang ada pada tanaman dan kondisi agrobiofisik yang menjadi
lingkungan tempat tanaman tersebut tumbuh. Menurut Sidik et al. (1995),
produktivitas dan mutu rimpang temulawak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
tempat tumbuh yang meliputi iklim, media tanam (jenis tanah), dan ketinggian. Oleh
karena itu perlu diketahui nomor harapan tanaman temulawak yang unggul dan
lingkungan tumbuh yang sesuai, sehingga diperoleh produksi dan mutu rimpang
yang tinggi.
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) memiliki 22 nomor
aksesi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan hasil
karakterisasi dan evaluasi plasma nutfah telah diperoleh enam nomor harapan
temulawak hasil seleksi dari dua puluh nomor aksesi plasma nutfah temulawak
dengan perbedaan produksi rimpang dan mutu kandungan zat berkhasiat lebih
tinggi. Produksi rimpang keenam aksesi tersebut lebih tinggi (2,39–3,37 kg/m2)
dibandingkan dengan produksi rata-rata nasional (1,07 kg/m2) (Direktorat Aneka
Tanaman 2000). Kandungan minyak atsiri enam nomor harapan tersebut juga
lebih tinggi (6,2–9,8%) dibandingkan dengan persyaratan yang telah ditentukan
oleh Materia Medika Indonesia (5,0%). Kadar kurkuminnya berkisar 1,2–3,6%
dan rata-rata yang terdapat di pasaran adalah lebih kurang 1,93% (Setiyono &
Ajijah 2002).
Pada bagian pertama penelitian ini dilakukan pemilihan sampel dari dua
nomor harapan (A dan F) dan dua lokasi tanam (Cileungsi dan Boyolali) yang
sesuai untuk budidaya temulawak yang memiliki kandungan bioaktif tinggi
(xantorizol). Nomor harapan A dan F dipilih berdasarkan keunggulan produksi
rimpang dan mutu kandungan zat berkhasiat terhadap enam nomor harapan
temulawak yang telah dilakukan pada uji multilokasi oleh tim peneliti Balittro
(Setiono et al. 2006). Selanjutnya temulawak terpilih yang mengandung xantorizol
tertinggi digunakan lebih lanjut untuk keperluan penelitian bagian kedua, yaitu
isolasi xantorizol.
3
Xantorizol merupakan antibakteri potensial yang memiliki spektrum luas
terhadap aktivitas antibakteri, stabil terhadap panas, dan aman terhadap kulit
manusia. Xantorizol dapat menghambat berbagai macam bakteri, misalnya
Streptococcus mutans, Bifidobacterium bifidum, Penicilium chrysogenum, dan
beberapa bakteri lainnya (Hwang 2004). Oleh karena itu xantorizol dapat
dimanfaatkan pada berbagai produk, misalnya pada pasta gigi, sabun, pembersih
mulut, permen karet, kosmetik, dan industri farmasi. Hwang et al. (2000) telah
berhasil mengisolasi xantorizol dari fraksi etil asetat ekstrak metanol temulawak
sebanyak 0.2 g dari 100 g rimpang temulawak kering (rendemen 0.2%). Aguilar et
al. (1993) juga telah mengisolasi xantorizol dari ekstrak kloroform akar tanaman
Iostephane heterophylla (asal Meksiko) sebanyak 12.02 g dari 2.8 kg sampel yang
digunakan (rendemen 0.42%). Pada bagian kedua penelitian ini dilakukan isolasi
xantorizol dari temulawak terpilih menggunakan metode separasi dengan teknik
kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif dan asetilasi ekstrak kasar. Asetilasi ekstrak
kasar sebelum pemurnian dengan KLT preparatif diharapkan dapat menghasilkan
rendemen lebih tinggi. Selain itu dilakukan pula isolasi xantorizol menggunakan
metode Hwang et al. (2000) sebagai metode pembanding untuk memperoleh
informasi mengenai karakteristik xantorizol.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah (a) memilih nomor harapan temulawak A atau F
dari Balittro yang terbaik berdasarkan kandungan xantorizol yang tinggi, (b)
menentukan kondisi lingkungan agrobiofisik yang menghasilkan tingkat bahan aktif
tinggi, dan (c) mendapatkan metode separasi (ekstraksi – asetilasi – separasi dengan
KLT preparatif – deasetilasi) yang dapat memisahkan xantorizol dengan kadar lebih
tinggi daripada metode yang sudah ada (metode Hwang 2000: ekstraksi – separasi
kolom kromatografi tahap 1 – asetilasi – separasi kolom kromatografi tahap 2 -
deasetilasi).