bab1-5
DESCRIPTION
skripsiTRANSCRIPT
ABSTRAK
Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif yang dapat diproduksi dari minyak nabati melalui proses transesterifikasi. Salah satu sumber minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku biodiesel adalah tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). Pada umumnya biodiesel dari minyak tumbuhan memiliki viskositas dan titik nyala yang lebih tinggi dibandingkan petrodiesel disebabkan oleh adanya metil ester asam lemak dengan rantai yang panjang dan sebagian memiliki ikatan rangkap. Untuk mengatasi hal tersebut maka dilakukan ozonolisis untuk memendekkan molekul asam lemak dan mengurangi jumlah ikatan rangkap. Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan biodiesel yang memiliki sifat fisika dan kimia yang setara dengan petrodiesel. Minyak nyamplung melalui tahap degumming, ozonolisis serta esterifikasi, dan transesterifikasi dengan menggunakan gelombang ultrasonik 35 kHz. Pada proses esterifikasi digunakan variasi rasio mol metanol terhadap minyak 3:1; 6:1; 9:1; dan 12:1, katalis asam sulfat 1% (b/b) terhadap minyak dan variasi waktu 15, 30, dan 60 menit, sedangkan pada proses transesterifikasi rasio mol minyak terhadap metanol 1:12, katalis kalium hidroksida 1% (b/b) terhadap minyak dan variasi waktu 30, 60, dan 90 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bilangan asam, bilangan iod, densitas, viskositas, dan titik nyala biodiesel yang diperoleh dengan variasi waktu 30, 60, dan 90 menit telah memenuhi standar biodiesel Indonesia. Karakteristik biodiesel yang paling mendekati karakteristik petrodiesel dicapai pada waktu reaksi 90 menit yaitu bilangan asam 0,3162 mg KOH/ g minyak, densitas 0,8804 g/ml, viskositas 5,04 cSt ,dan titik nyala 113oC.
1
ABSTRACT
Biodiesel is an alternative fuel which can be manufactured from vegetable oils using transesterification process. One of the vegetable oil source which can be used as raw material for biodiesel is nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). Commonly biodiesel from plant oils have a high viscosity and a flash point if compared by petrodiesel due to the presence of methyl esters from fatty acids with long chains and some double bonds. Because of that the ozonolisis process is performed to shorten the fatty acid molecule and reduce the amount of the double bonds. The purpose of the research is to produce biodiesel which has similar chemical and physical properties with petrodiesel. Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) oil will be processed through the stages of degumming, ozonolisis and esterification, and transesterification using ultrasonic waves 35 kHz. In the esterification process was using variations of methanol to oil mole ratio of 3:1; 6:1; 9:1, and 12:1, with the presence of sulfuric acid 1% (w / w) of oil as the catalyst and the time variation 15, 30, and 60 minutes, while in the transesterification process is using the comparison oil to methanol mole ratio of 1:12, with the presence potassium hydroxide 1% (w / w) of oil as the catalyst and the time variation within 30, 60, and 90 minutes. The results of this research showed that the number acid, iodine number, density, viscosity, and the flash point of biodiesel which obtained by time variation of 30, 60, and 90 minutes was meet the requirement of biodiesel from National Standard of Indonesia. Tha Characteristics of biodiesel which is similar to the characteristic of petrodisesl was obtained at a reaction time of 90 minutes with 0.3162 mg KOH / g oil for the acid number, 0.8804 g / ml for the density, 5.04 cSt for the viscosity, and 113ºC for the flash point.
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur selalu terpanjatkan kepada Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat
menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Pembuatan
Biodiesel dari Minyak Nyamplung Menggunakan Katalis Homogen dengan
Ozonolisis dan Gelombang Ultrasonik”.
Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan untuk
memperoleh gelar sarjana kimia di Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran.
Skripsi ini tidak dapat tersusun dengan baik tanpa bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu penyusun meyampaikan terimakasih kepada:
Prof. Dr. Wawang Suratno
dan
Drs. Haryadi, M.Sc. Ph.D
selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan
pikirannya dalam membimbing penyusun untuk menyelesaikan penelitian dan
penyusunan skripsi ini. Tidak lupa penyusun juga menyampaikan terima kasih kepada
:
1. Prof. Dr. Wawan Hermawan, selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran.
3
2. Dr. Euis Julaeha, M. Si, selaku ketua Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran.
3. Yati B. Yuliyati, M.S., selaku Kepala Laboratorium Kimia Fisik Jurusan Kimia
FMIPA Unpad yang telah memberikan fasilitas ruangan dan tempat penelitian di
Laboratorium Kimia Fisik.
4. Dra. Nenden Indrayati A., M. S., selaku dosen wali
5. Ayah, ibu,dan adik serta seluruh keluarga atas perhatian, doa, dukungan, bantuan
serta kasih sayangnya.
6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas bantuannya
hingga tersusunnya skripsi ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
memperbaikinya. Besar harapan penyusun agar skripsi ini dapat bermanfaat.
Jatinangor, September 2011
Penyusun
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peningkatan pertumbuhan penduduk mendorong terjadinya peningkatan
kebutuhan bahan bakar termasuk bahan bakar mesin diesel. Penggunaan mesin diesel
tidak lepas dari kehidupan sehari-hari baik dalam sektor industri, transportasi maupun
pertanian.
Bahan bakar mesin diesel umumnya dihasilkan dari penyulingan minyak
bumi. Namun minyak bumi adalah sumber daya alam yang terbatas dan tidak
terbarukan. Adanya kekhawatiran akan terus berkurangnya pasokan minyak bumi,
ketidakstabilan dan peningkatan biaya, serta timbulnya masalah lingkungan telah
memotivasi para peneliti untuk lebih luas mencari sumber energi alternatif yang
terbarukan (Nakpong & Wootthikanokkhan, 2010).
Bahan bakar alternatif yang dicari adalah bahan bakar yang dapat diterima
secara teknis, kompetitif secara ekonomi, dapat diterima oleh lingkungan, dan mudah
didapatkan. Meningkatnya rasa keprihatinan terhadap lingkungan, berkurangnya
cadangan minyak bumi, dan adanya azas ekonomi pertanian dapat dijadikan sebagai
penggerak untuk mempromosikan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif mesin
diesel ( Rachimoellah et al., 2009). Biodiesel merupakan bahan bakar mesin diesel
alternatif yang diproduksi dari sumber minyak nabati dan hewani yang dapat
diperbaharui (Mittelbach & Remschmidt, 2004).
5
Diantara sumber-sumber alternatif lainnya, minyak nabati telah mendapatkan
perhatian untuk digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Pemanfaatan minyak nabati
sebagai bahan baku biodiesel memiliki beberapa kelebihan diantaranya sumber
minyak nabati mudah diperoleh, proses pembuatan biodiesel dari minyak nabati
mudah dan cepat, serta tingkat konversi minyak nabati menjadi biodiesel tinggi
(Hambali dkk, 2007).
Minyak nabati sebagai sumber utama biodiesel dapat diperoleh dari berbagai
macam jenis tanaman. Hampir semua minyak nabati dapat diolah menjadi biodiesel
baik minyak pangan maupun non-pangan. Hal ini dikarenakan minyak nabati
memiliki struktur komponen antara lain campuran trigliserida dan asam lemak, asam
lemak bebas, gum, karoten, dan air (Palham,2010). Salah satu tanaman penghasil
minyak nabati adalah nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) tanaman hutan, yang
memiliki potensi sebagai bahan baku biodiesel. Kelebihan nyamplung sebagai bahan
baku biodiesel adalah rendemen minyak nyamplung lebih tinggi dibandingkan
dengan jenis tanaman lain (bisa mencapai 74%), dan dalam pemanfaatannya tidak
berkompetisi dalam kepentingan pangan (Bustomi dkk.,2008).
Sejauh ini produk biodiesel di Indonesia belum dapat digunakan 100% untuk
mesin diesel, hanya sebagai pencampur petrodiesel. Hal ini disebabkan biodiesel
umumnya memiliki rantai asam lemak yang panjang (C > 18), sehingga memiliki
viskositas serta titik nyala yang tinggi. Secara kimia gugus asam lemak rantai
panjang dalam ester yang memiliki ikatan rangkap dapat diperpendek melalui reaksi
6
oksidasi dengan oksidator kuat seperti KMnO4 atau K2Cr2O7 dan ozon. (Suratno
dkk., 2007).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Suratno dkk, ozon
merupakan oksidator yang paling baik digunakan untuk memutuskan rantai
karbon asam lemak bebas pada trigliserida menjadi rantai karbon yang lebih
pendek, disamping ozon yang memiliki sifat sebagai oksidator kuat.
Pembuatan biodiesel dengan metode ultrasonik berkembang pesat pada saat
ini karena dapat mempercepat reaksi dan hasil yang lebih banyak dari metode
pengadukan tradisional (konvensional). Energi ultrasonik telah diketahui sebagai alat
yang dapat digunakan untuk memperlancar sistem transfer massa sistem cair-cair
yang heterogen (Jianbing et al., 2006).
Maka dari itu pada penelitian ini dilakukan pembuatan biodiesel dari minyak
nyamplung melalui oksidasi dengan menggunakan ozon dengan bantuan gelombang
ultrasonik untuk menghasilkan biodiesel dengan kualitas yang baik dan dapat
disetarakan dengan petrodiesel.
1.2 Identifikasi Masalah
1. Apakah ozonolisis minyak nyamplung selama 30 menit dapat memotong
molekul berikatan rangkap.
2. Berapakah waktu ultrasonifikasi optimal yang menghasilkan biodiesel dengan
sifat-sifat yang paling mendekati petrodiesel.
7
3. Apakah biodiesel yang dihasilkan dari penelitian telah sesuai standar biodiesel
Indonesia dan setara dengan petrodiesel.
1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah membuat biodiesel dengan minyak nyamplung
hasil ozonolisis dan bantuan gelombang ultrasonik. Adapun yang menjadi tujuan dari
penelitian ini yaitu menghasilkan biodiesel yang memiliki sifat fisika dan kimia yang
mendekati petrodiesel.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk mempelajari proses ozonolisis agar
dapat memotong molekul panjang berikatan rangkap yang terdapat dalam minyak
nyamplung serta untuk mempelajari proses pembuatan biodiesel dari hasil
oksidasi tersebut dan penggunaan gelombang ultrasonik. Hasil penelitian
diharapkan dapat diperoleh biodiesel dengan sifat-sifat yang mendekati petrodiesel
sehingga dapat digunakan dalam bentuk murni sebagai bahan bakar alternatif.
1.5 Metodologi Penelitian
Penelitian yang dilakukan antara lain:
1. Penelusuran literatur yang melandasi penelitian yang berkaitan dengan
pembuatan biodiesel.
2. Perencanaan program penelitian.
8
3. Persiapan alat dan bahan yang diperlukan.
4. Pelaksanaan penelitian.
Penelitian yang dilakukan meliputi beberapa tahap, diantaranya:
a. Preparasi bahan, yang meliputi: proses degumming minyak nyamplung
b. Karakterisasi minyak nyamplung hasil degumming
c. Proses oksidasi dengan menggunakan ozon sebagai oksidator
d. Proses esterifikasi dan transesterifikasi dengan bantuan gelombang
ultrasonik
e. Karakterisasi biodiesel yang dihasilkan
5. Pengolahan data yang diperoleh.
6. Pengambilan kesimpulan dan saran.
1.6 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di:
1. Laboratorium Kimia Fisik, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung Sumedang Km
21 Jatinangor.
2. Laboratorium Kimia Organik, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung Sumedang Km
21 Jatinangor.
9
3. Laboratorium Biokimia, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung Sumedang Km
21 Jatinangor.
4. Laboratorium Penelitian Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, Jalan Singaperbangsa 2, Bandung.
Penelitian dilakukan sejak bulan Maret 2011 sampai dengan bulan September 2011.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biodiesel
Biodiesel sebagai bahan bakar alternatif untuk mesin diesel menjadi semakin
penting karena cadangan minyak bumi yang semakin menipis dan berpotensi untuk
mengurangi dampak lingkungan dari emisi gas buang yang berasal dari mesin
berbahan bakar petrodiesel. Sebagai calon bahan bakar di masa yang akan datang
biodiesel harus mampu bersaing secara ekonomi dengan petrodiesel (Berchmans &
Hirata, 2008).
Biodiesel dipertimbangkan sebagai pengganti bahan bakar konvensional
karena terdiri dari metil ester asam lemak yang dapat diperoleh dari trigliserida dalam
minyak tumbuhan melalui reaksi transesterifikasi dengan metanol (Meher et
al.,2004).
Apabila dibandingkan dengan bahan bakar fosil, bahan bakar biodiesel
memiliki beberapa kelebihan diantaranya bersifat biodegradable, non-toxic,
mempunyai angka emisi CO2 dan gas sulfur yang rendah dan sangat ramah terhadap
lingkungan (Marchetti dan Errazu, 2008). Namun, berdasarkan hasil penelitian
Mittelbach dan Remschmidt tahun 2004 menunjukkan bahwa biodiesel masih
memiliki beberapa kekurangan, diantaranya nilai viskositas dan titik nyala yang
cukup tinggi. Metil ester dari minyak nabati masih mempunyai gugus rantai karbon
11
yang panjang, antara lain palmitat (C16, 0 ikatan rangkap), stearat (C18, 0 ikatan
rangkap), oleat (C18, 1 ikatan rangkap) dan linoleat (C18, 2 ikatan rangkap). Hal ini
yang mengakibatkan vikositas dan titik nyala biodiesel menjadi tinggi, maka pada
saat ini biodiesel belum dapat menggantikan petrodisel sepenuhnya.
Biodiesel dibuat melalui suatu proses kimia yang disebut transesterifikasi
dimana gliserin dipisahkan dari minyak nabati. Proses ini menghasilkan dua produk
yaitu metil ester (biodiesel) serta monoalkil ester dan gliserin yang merupakan
produk samping. Pada pembuatan biodiesel ini dibutuhkan katalis untuk proses
esterifikasi, katalis diperlukan karena alkohol larut dalam minyak. Hampir semua
biodiesel diproduksi dengan metode transesterifikasi dengan katalisator basa
(Rahayu,2006).
2.2 Minyak Nabati
Biodiesel dapat dibuat dari minyak nabati maupun lemak hewan. Semua
bahan baku ini mengandung trigliserida, asam lemak bebas, dan zat pencemar yang
dihasilkan dari pengolahan pendahuluan dari bahan baku tersebut. Namun yang
paling umum digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel adalah minyak
nabati (Destianna dkk.,). Minyak nabati mempunyai kandungan asam lemak bebas
lebih rendah daripada lemak hewani. Minyak nabati biasanya selain mengandung
asam lemak bebas juga mengandung fosfolipids tetapi fosfolipid dapat dihilangkan
pada proses degumming.
12
2.3 Komposisi Minyak Nabati
2.3.1 Trigliserida
Trigliserida dalam minyak bisa berupa trigliserida sederhana maupun
campuran. Trigliserida sederhana merupakan triester yang terbuat dari gliserol dan
tiga molekul asam lemak yang sama (dimana R1 = R2 = R3). Trigliserida sederhana
jarang ditemui secara alami, kebanyakan trigliserida alami adalah trigliserida
campuran, yaitu triester dari gliserol dengan komponen asam lemak yang
berbeda (Wilbraham, 1992).
2.3.2 Asam Lemak Bebas
Asam lemak bebas adalah asam lemak yang terpisahkan dari trigliserida,
digliserida, dan monogliserida. Hal ini dapat disebabkan oleh pemanasan dan
terdapatnya air sehingga terjadi proses hidrolisis. Oksidasi juga dapat meningkatkan
kadar asam lemak bebas dalam minyak nabati (Destianna dkk., 2007).
Asam lemak adalah asam organik berantai panjang yang mempunyai atom
karbon dari 4 sampai 24. Asam lemak memiliki gugus karboksilat tunggal dan ekor
hidrokarbon nonpolar panjang yang menyababkan kebanyakan lipida bersifat tidak
larut di dalam air dan tampak berminyak atau berlemak. Asam lemak tidak dapat
berbentuk tunggal di dalam sel atau jaringan, tetapi terdapat dalam bentuk yang
terikat secara kovalen pada berbagai kelas lipida yang berbeda. Asam lemak dapat
dibebaskan dari ikatan ini oleh hidrolisis kimia atau enzimatik (Lehninger, 1999).
Asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh.
Asam lemak jenuh hanya memiliki ikatan tunggal di antara atom-atom karbon
13
penyusunnya, sementara asam lemak tak jenuh memiliki paling sedikit satu ikatan
rangkap diantara atom-atom karbon penyusunnya. Kedua jenis ikatan dalam asam
lemak inilah yang menyebabkan perbedaan sifat fisik antara asam lemak satu dengan
lainnya (Zulfikar, 2010).
Pada umumnya asam lemak mempunyai jumlah atom karbon genap. Beberapa
asam lemak yang umum terdapat sebagai ester dalam tumbuhan atau hewan tertera
pada tabel berikut (Poedjiadi, 1994).
Tabel 2.1 Asam Lemak (Poedjiadi, 1994).
Nama Rumus Titik Lebur (oC)Asam lemak jenuh
Asam butirat C3H7COOH -7,9Asam kaproat C5H11COOH -1,5 sampai -2,0Asam palmitat C15H31COOH 64
Asam stearat C17H35COOH 69,4Asam lemak tidak jenuh
Asam oleat C17H33COOH 14Asam linoleat C17H31COOH -11Asam linolenat C17H29COOH Cair pada suhu sangat
rendah
2.3.3 Fosfolipid
Fosfolipid merupakan golongan senyawa lipid yang memiliki kerangka
gliserol dan 2 gugus asil. Pada posisi ketiga dari kerangka gliserol ditempati oleh
gugus fosfat yang terikat pada amino alkohol (Nurtrivani, 2010).
14
Gambar 2.1Struktur Fosfolipid
Molekul fosfolipid digolongkan sebagai lipid amfipatik yang terdiri dari dua bagian,
yaitu kepala dan ekor. Bagian kepala memiliki muatan positif dan negatif serta bagian
ekor tanpa muatan. Bagian kepala bersifat hidrofilik atau larut dalam air, sedangkan
bagian ekor bersifat hidrofobik atau tidak larut dalam air (Nurtrivani, 2010).
2.4 Tanaman Nyamplung
Nyamplung (Callophyllum inophyllum) termasuk dalam marga Callophylum
yang mempunyai sebaran cukup luas di dunia yaitu Madagaskar, Afrika Timur, Asia
Selatan dan Tenggara, Kepulauan Pasifik, Hindia Barat, dan Amerika Selatan. Di
Indonesia nyamplung tersebar mulai dari bagian Barat sampai Bagian Timur
Indonesia. Selain itu, pohon tersebut juga ditemui di wilayah Malaysia, Filipina,
Thailand, dan Papua Nugini (Bustomi dkk.,2008).
Nyamplung biasanya tumbuh di sekitar aliran sungai ataupun di pinggiran
pantai dan mampu hidup dengan baik sampai dengan ketinggian 500m dari
15
permukaan laut. Ciri-ciri pohon nyamplung adalah batang berkayu, bulat, dan
berwarna coklat, bentuk daun tunggal, bersilang berhadapan, bulat memanjang atau
bulat telur, ujung tumpul, pangkal membulat, tepi rata, pertulangan menyirip, panjang
10-21 cm, lebar 6-11cm, tangkai 1,5-2,5 cm, mempunyai bunga yang merupakan
bunga majemuk, berbentuk tandan, mempunyai buah berbentuk bulat, tebal, keras,
warna coklat, pada intinya terdapat minyak, mempunyai perakaran tunggang serta
tinggi pohon dapat mencapai 20 m (Hadi, 2009).
Nyamplung termasuk divisi spermatophyta, secara lengkap klasifikasi
tanaman nyamplung adalah sebagai berikut (Ya-Ching Shen, 2003).:
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Guttiferales
Suku : Guttiferae
Marga : Calophyllum
Jenis : Calopyllum inophyllum L
Nyamplung (Callophyllum inophyllum) merupakan salah satu jenis tanaman
hutan yang mempunyai banyak kegunaan baik dari kayunya maupun buahnya. Akhir-
akhir ini berdasarkan beberapa penelitian, buah nyamplung mempunyai potensi yang
cukup besar sebagai bahan baku biodisel (Mahfudz, 2008).
16
2.4.1 Minyak Nyamplung
Biji nyamplung mengandung minyak dengan jumlah cukup besar (minyak:
40-72%; air: 25-35%; dan abu:1,1-1,3%). Minyak kasar mengandung asam resin
(9,7-15%). Inilah yang menyebabkan warna minyak menjadi hijau, dan bahkan
yang tumbuh di daratan India berwarna coklat, rasanya pahit (Andyna, 2009)
Minyak nyamplung mempunyai kandungan asam lemak tidak jenuh yang
cukup tinggi seperti asam oleat serta komponen-komponen tak tersabunkan
diantaranya alkohol lemak, sterol, xanton, turunan kuomarin, kalofilat,
isokalofilat, isoptalat, kapelierat, asam pseudobrasilat dan penyusun triterpenoat
sebanyak 0,5-2% yang dapat dimanfaatkan sebagai obat (Murniasih, 2009).
Menurut Debaut et al., (2005) asam lemak penyusun minyak nyamplung dapat
dilihat pada Tabel 2. 2
Tabel 2.2 Komposisi Asam Lemak Minyak Nyamplung
Asam Lemak KomposisiAsam Palmitoleat (C16:1) 0,5 – 1 %Asam Palmitat (C16) 15 – 17 %Asam Oleat (C18:1) 30 – 50 %Asam Linoleat (C18:0) 25 – 40 %Asam Stearat (C18:0) 8 – 16 %
2.5 Proses Pembuatan Biodiesel
2.5.1 Esterifikasi
Esterifikasi pada dasarnya adalah reaksi yang bersifat reversibel dari asam
lemak dengan alkil alkohol membentuk ester dan air. Reaksi esterifikasi yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
17
Gambar 2. 2 Reaksi esterifikasi (Vieville et al, 1993)
Reaksi esterifikasi adalah reaksi endotermis dan termasuk kategori reaksi
asam basa. Proses ini berlangsung dengan katalis asam antara lain H2SO4, H3PO4,
dan asam sulfonat. Untuk mengarahkan reaksi ke arah produk alkil ester, salah satu
reaktan, biasanya alkohol diberikan dalam jumlah yang berlebihan dan air diambil
selama reaksi. Umumnya pengambilan air dilakukan secara kimia, fisika dan
pervorasi (Vieville et al, 1993).
2.5.2 Transesterifikasi
Reaksi transesterifikasi yang disebut juga reaksi alkoholisis dari trigliserida
yang memproduksi alkil ester asam lemak (biodiesel). Apabila metanol digunakan
sebagai alkohol pada proses ini, maka dinamakan metanolisis. Hal penting dari proses
ini adalah metanol yang tidak bereaksi dapat diperoleh kembali dan gliserol dapat
digunakan sebagai produk samping yang bernilai. Gliserol yang diperoleh kembali
juga dapat digunakan dalam industri sabun, farmasi dan kosmetik. Reaksi ini terdiri
dari reaksi reversibel yang berurutan dimana trigliserida diubah menjadi digliserida,
monogliserida, dan akhirnya diubah menjadi gliserol (Nakpong &
Wootthikanokkhan, 2010).
18
Pada prinsipnya, transesterifikasi merupakan reaksi reversibel,
walaupun dalam produksi alkil ester seperti biodiesel, reaksi balik tidak dapat terjadi
atau dapat diabaikan. Hal ini disebabkan gliserol yang terbentuk tidak dapat
bercampur dengan produk karena menghasilkan dua fase (Knothe et al., 2004).
Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi metil ester adalah :
Gambar 2. 3 Reaksi transesterifikasi (Fessenden & Fessenden, 1995)
Untuk mendapatkan alkil ester (biodiesel) maka pereaksi yaitu alkohol
(metanol) diberikan dalam jumlah berlebih. Selain itu komposisi pereaksi dan kondisi
reaksi dalam keadaan optimum.
2.6 Metanol
Metanol yang sering digunakan pada proses esterifikasi dan transesterifikasi
adalah alkohol rantai pendek yaitu metanol. Metanol juga dikenal sebagai metil
alkohol, wood alcohol atau spiritus, adalah senyawa kimia dengan rumus
kimia CH3OH. Metanol merupakan bentuk alkohol paling sederhana. Pada keadaan
atmosfer, metanol berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna,
19
mudah terbakar, dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan
daripada etanol). Metanol digunakan sebagai bahan pendingin anti beku, pelarut,
bahan bakar dan sebagai bahan additif bagi etanol industri.
Metanol diproduksi secara alami oleh metabolisme anaerobik oleh bakteri.
Hasil proses tersebut adalah uap metanol (dalam jumlah kecil) di udara. Setelah
beberapa hari, uap metanol tersebut akan teroksidasi oleh oksigen dengan bantuan
sinar matahari menjadi karbon dioksida dan air. Reaksi kimia metanol yang terbakar
di udara dan membentuk karbon dioksida dan air adalah sebagai berikut:
2 CH3OH + 3 O2 → 2 CO2 + 4 H2O
Api dari metanol biasanya tidak berwarna. Oleh karena itu, kita harus berhati-
hati bila berada dekat metanol yang terbakar untuk mencegah cedera akibat api
yang tak terlihat. Metanol kadang juga disebut sebagai wood alcohol karena ia
dahulu merupakan produk samping dari distilasi kayu. Saat ini metanol
dihasilkan melului proses multi tahap. Secara singkat, gas alam dan uap air dibakar
dalam tungku untuk membentuk gas hidrogen dan karbon monoksida, kemudian, gas
hidrogen dan karbon monoksida ini bereaksi dalam tekanan tinggi dengan bantuan
katalis untuk menghasilkan metanol. Tahap pembentukannya adalah endotermik
dan tahap sintesisnya adalah eksotermik (Hikmah & Zuliyana,2010).
20
Tabel 2.3 Sifat-sifat fisika dan kimia metanol (Hikmah & Zuliyana,2010)
Sifat Fisik dan Kimia Metanol
Massa molar (g/mol) 32,04
Wujud cairan Tidak berwarna
Densitas (g/ml) 0,792
Titik leleh /oC -97
Titik didih / oC 64,7
Kelarutan dalam air Sangat larut
Keasaman (pKa) 15,5
2.7 Katalis
Katalis adalah zat yang dapat mempengaruhi laju reaksi tetapi zat tersebut
tidak mengalami perubahan kimia pada akhir reaksi. Katalis tidak berpengaruh pada
energi bebas, dan juga tidak berpengaruh terhadap tetapan kesetimbangan. Umumnya
kenaikan konsentrasi katalis juga menaikkan laju reaksi, jadi katalis ini ikut dalam
reaksi tetapi pada akhir reaksi diperoleh kembali (Sukardjo, 2002).
Berdasarkan fasa reaktan dan katalis, proses katalisis dapat digolongkan
menjadi katalisis homogen dan katalisis heterogen. Katalisis homogen ialah katalis
yang mempunyai fasa sama dengan fasa campuran reaksinya, sedangkan katalisis
heterogen adalah katalis yang berbeda fasa dengan campuran reaksinya. Katalisis
homogen lebih efektif dibandingkan dengan katalisis heterogen,tetapi pada katalisis
homogen katalis sukar dipisahkan dari produk dan sisa reaktannya(Setyawan, 2003).
21
Dua jenis katalis homogen yang penting adalah katalis asam dan katalis basa.
Banyak reaksi organik bersangkutan dengan salah satu jenis katalisis atau dengan
keduanya termasuk reaksi esterifikasi dan transesterifikasi (Laidler, 1987).
2.7.1 Katalis Asam
Katalis asam memberikan keuntungan dalam esterifikasi asam lemak
bebas yang terkandung dalam minyak dan lemak, dan sesuai untuk
transesterifikasi bahan lemak yang memiliki keasaman tinggi. Selain itu, katalisis
ini memungkinkan produksi ester rantai panjang atau bercabang, yang sangat sulit
diproses dalam katalisis basa. Transesterifikasi katalis asam biasanya lebih lambat
dibanding katalis basa dan memerlukan suhu dan tekanan yang lebih tinggi
seperti halnya jumlah alkohol yang besar pula. Kekurangan katalis asam adalah
suhu reaksinya yang lebih tinggi mendorong pembentukan produk-produk
sekunder yang tidak diinginkan, seperti dialkil eter atau eter gliserol (Mittelbach &
Remschmidt, 2004).
2.7.2 Katalis Basa
Hampir semua biodiesel diproduksi dengan metode transesterifikasi
dengan katalisator basa karena merupakan proses yang ekonomis dan hanya
memerlukan suhu dan tekanan rendah. Hasil konversi yang bisa dicapai dari
proses ini adalah bisa mencapai 98%. Reaksi berkatalis basa relatif lebih cepat 5
menit sampai 1 jam, bergantung pada suhu, konsentrasi, proses pencampuran,
serta perbandingan alkohol dan trigliserida (Rahayu, 2006).
22
Kekurangan utama penggunaan katalis basa adalah katalis basa memiliki
sensitivitas yang kurang baik terhadap asam lemak bebas yang terkandung dalam
bahan baku. Ini berarti transesterifikasi yang dikatalisis oleh basa secara optimal
dapat berjalan dengan kualitas tinggi hanya untuk minyak nabati dengan
keasaman yang rendah (Mittelbach and Remschmidt, 2004). Katalis basa juga
bersifat sedikit korosif terhadap peralatan industri sehingga material reaktor yang
digunakan harus terbuat dari baja-karbon. Katalis jenis ini juga menyerap air dari
udara selama penyimpanan (Gerpen et al., 2004).
2.8 Reaksi Ozonolisis
Proses ozonolisis mampu mengoksidasi senyawa organik kompleks menjadi
sederhana dan dapat meningkatkan sifat biodegradable sehingga sifat racun senyawa
organik tersebut berkurang (Langlai.,et al, 1999). Proses ozonasi zat organik
merupakan reaksi oksidasi senyawa organik oleh ozon secara langsung dan secara
tidak langsung terutama oleh radikal bebas hidroksida (OHo), radikal hidroperoksida
(HO2o), ion radikal superoksida (O2
o) dan ion radikal ozonida (O3o) yang terbentuk
pada saat dekomposisi ozon (Chu and Ching., 2003).
Ozon adalah oksigen aktif dan merupakan oksidator kuat. Ozonolisis
(pemaksapisahan oleh ozon) telah digunakan untuk menetapkan struktur senyawa tak
jenuh karena reaksi ini menyebabkan degradasi molekul besar menjadi yang lebih
kecil. Suatu molekul ozon terdiri dari tiga atom oksigen yang terikat dalam suatu
rantai, kedua ikatan O-O sama panjang dengan sudut ikatan 116o. Ozonolisis terdiri
23
dari dua reaksi yang terpisah, yang pertama oksidasi alkena oleh ozon menjadi suatu
ozonida, dan kedua oksidasi atau reduksi ozonida menjadi produk akhir. Ozon
menyerang ikatan pi untuk menghasilkan suatu zat antara tak stabil yang disebut
1,2,3-trioksolana. Zat antara ini kemudian mengalami sederetan transformasi dimana
ikatan sigma karbon-karbon terpatahkan. Produknya adalah suatu ozonida yang
diteruskan ke tahap kedua.
Gambar 2.1 Reaksi ozonolisis (Fessenden & Fessenden, 1995).
2.9 Gelombang Ultrasonik
Frekuensi ultrasonik pada rentang 20-100 kHz digunakan di dalam ilmu
kimia. Ultrasonik dapat digunakan untuk mempercepat dan mengoptimalkan proses
transesterifikasi tanpa pemanasan, sehingga dapat dihasilkan produk biodiesel yang
lebih berkualitas karena proses berlangsung lebih sempurna dan dihasilkan biodiesel
yang lebih banyak. Untuk proses pembuatan biodiesel penggunaan ultrasonik selain
24
untuk proses transesterifikasi juga dapat digunakan untuk proses pemisahannya
(Untoro, 2008).
2.10 Syarat Mutu Biodiesel
Beberapa negara telah menetapkan standar biodiesel. Penetapan standar
biodiesel antara satu negara dengan negara lainnya berbeda, sesuai iklim dan kondisi
masing-masing negara. Pada Table 2.3 disajikan standar mutu biodiesel di Indonesia.
Tabel 2.3 Standar Biodiesel Indonesia (SNI 04-7182-2006)
Parameter Satuan Batas Nilai Metode UjiMasa jenis pada 40°C kg/m3 850-890 ASTM D 1298Viskositas kinematik, 40oC
mm2/s 1,9-6,0 ASTM D 445
Bilangan setana - Min. 51 ASTM D 613Titik nyala oC Min. 100 ASTM D 93Titik kabut oC Maks. 18 ASTM D 2500Air dan sedimen % volume Maks. 0,05 ASTM D 2709Fosfor ppm-berat Maks. 10 FBI-A05-03Bilangan asam mg KOH/g Maks. 0,8 FBI-A01-03Gliserol bebas %-berat Maks. 0,02 FBI-A02-03Kadar ester alkil %-berat Min. 96,5 FBI-A03-03Bilangan iod g I2/100 g Maks. 115 FBI-A04-03
25
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1 Bahan dan Alat
3.1.1 Bahan Penelitian
Bahan baku utama yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak
nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) yang berasal dari ”Koperasi Jarak Lestari”,
Cilacap Jawa Tengah. Sedangkan bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini
meliputi air suling, amilum, asam klorida, asam oksalat, asam fosfat 85%, asam sulfat
pekat, etanol 95%, fenolftalein, indikator universal, kalium hidroksida teknis, kalium
iodida, kloroform, metanol teknis, natrium hidroksida, natrium tiosulfat, dan pereaksi
Hanus.
3.1.2 Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini meliputi buret, bunsen, corong
buchner, corong pisah, corong saring, kromatografi gas-spektrofotometri massa, gelas
kimia, gelas ukur, homogenizer, hot plate, kaca arloji, kondensor refluks, labu dasar
bulat, labu Erlenmeyer, labu ukur, magnetic stirrer, neraca analitik, neraca kasar,
Pensky-Marteen cup tertutup, pengaduk, piknometer, pipet volumetri, pipet tetes,
sentrifugator, spatula, statif, termometer, ultrasonic cleaner LC-30, viskometer
Ostwald.
26
3.2 Metode Penelitian
3.2.1 Analisis Minyak Nyamplung
Analisis yang dilakukan terhadap minyak nyamplung meliputi bilangan asam,
densitas, viskositas, titik nyala, bilangan iod. Metode analisis selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 1.
3.2.2 Degumming Minyak Nyamplung
Minyak nyamplung terlebih dahulu ditimbang dan dicatat beratnya. Minyak
nyamplung dipanaskan pada suhu 70°C dan disertai dengan pengadukan
menggunakan magnetic stirrer selama 15 menit. Kemudian ditambahkan asam fosfat
85% sebanyak 0,5% (b/b) terhadap minyak dan air suling sebanyak 2% (b/b) terhadap
minyak disertai pengadukan selama 15 menit. Campuran disentrifugasi pada
kecepatan 4000 rpm selama 15 menit. Setelah itu dilakukan penyaringan dengan
menggunakan kertas saring whatmaan no.41 dan corong buchner untuk memisahkan
gum dan minyak.
Minyak nyamplung yang telah melalui proses degumming kemudian
dianalisis meliputi bilangan asam, densitas, viskositas, titik nyala, bilangan iod,
bilangan penyabunan dan kromatografi gas-spektrofotometri massa. Berikut adalah
rangkaian alat degumming.
27
Gambar 3.1 Rangkaian Alat Degumming
3.2.3 Oksidasi Minyak Nyamplung
Oksidasi minyak nyamplung dilakukan dengan mengalirkan ozon ke dalam
minyak nyamplung yang telah melalui proses degumming selama 30 menit. Setelah
itu dilakukan analisis bilangan asam, bilangan penyabunan, dan kromatografi gas-
spektrofotometri massa.
3.2.4 Esterifikasi
Esterifikasi minyak nyamplung dilakukan dengan menggunakan metanol dan
katalis asam sulfat pekat. Pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan variasi
rasio mol minyak terhadap mol metanol (1:3; 1:6; 1:9; 1:12) dan rasio katalis asam
sulfat pekat terhadap minyak 1% (b/b). Metanol terlebih dahulu direaksikan dengan
katalis asam sulfat pekat. Campuran metanol dan katalis ditambahkan ke dalam
minyak nyamplung hasil oksidasi, kemudian direaksikan dalam sonikator dengan
28
Keterangan Gambar :
1. Statif
2. Termometer
3. Labu erlenmeyer berisi minyak nyamplung,
asam fosfat dan air
4. Hot plate dan magnetic stirrer
1
2
3
4
frekuensi 35 kHz dan dibantu dengan homogenizer. Variasi waktu reaksi yang
digunakan adalah 15, 30, dan 60 menit.
Setelah hasil esterifikasi didinginkan, campuran dipindahkan ke dalam corong
pisah dan dicuci dengan air suling yang telah dipanaskan hingga suhu 70oC.
Pencucian dilakukan hingga air hasil pencucian memiliki pH netral. Fase organik
dipindahkan ke dalam gelas kimia kemudian ditambahkan dengan natrium sulfat serta
didiamkan selama 20 menit. Setelah itu, fase organik disaring dengan kertas saring.
Bilangan asam minyak hasil esterifikasi kemudian dianalisis.
3.2.5 Transesterifikasi
Pada tahap ini, fase organik yang dihasilkan dari reaksi esterifikasi dilakukan
proses selanjutnya yang merupakan tahap akhir untuk menghasilkan biodiesel. Reaksi
transesterifikasi melibatkan penggunaan metanol dan katalis basa. Katalis basa yang
digunakan pada penelitian ini adalah kalium hidroksida dengan rasio katalis terhadap
minyak yaitu 1% (b/b), sedangkan rasio mol minyak terhadap metanol yang
digunakan yaitu 1:12. Metanol terlebih dahulu direaksikan dengan katalis kalium
hidroksida. Campuran metanol dan katalis ditambahkan ke dalam fase organik hasil
esterifikasi, kemudian direaksikan dalam sonikator frekuensi 35 kHz dengan bantuan
homogenizer dan digunakan variasi waktu 30, 60, 90 dan 60 menit.
Setelah itu campuran dipindahkan ke dalam corong pisah dan terbentuk 2 fase
yaitu fase atas yang merupakan metil ester (biodiesel) dan fase bawah yang
merupakan gliserol. Kedua fase tersebut kemudian dipisahkan. Fase atas dicuci
dengan air suling yang telah dipanaskan hingga suhu 70oC. Pencucian dilakukan
29
hingga air hasil pencucian memiliki pH netral. Berikut rangkaian alat transesterifikasi
maupun esterifikasi.
Gambar 3.2 Rangkaian Alat Esterifikasi dan Transesterifikasi
3.2.6 Analisis Biodiesel
Analisis yang dilakukan terhadap minyak nyamplung meliputi bilangan asam,
densitas, viskositas, titik nyala, bilangan iod, bilangan penyabunan, dan gas
kromatografi gas-spektrofotometri massa. Metode analisis selengkapnya dapat dilihat
pada Lampiran 1.
30
1
3
2
4
Keterangan Gambar :
1. Homogenizer
2. Gelas kimia berisi minyak, katalis, dan
metanol
3. Sonikator
Fase air Fase organik
EsterifikasiBerat katalis asam sulfat terhadap minyak 1% (b/b), variasi rasio mol minyak terhadap metanol (1:3; 1:6; 1:9; 1:12), frekuensi sonikator 35 kHz, variasi waktu reaksi 15,30, dan 60 menit)
Air Biodiesel murni
GliserolBiodiesel Kotor
Pencucian dengan air 70oC
Analisis
TransesterifikasiBerat katalis kalium hidroksida terhadap minyak 1% (b/b), rasio mol minyak terhadap metanol 1:12, frekuensi sonikator 35 kHz, variasi waktu reaksi ( 30, 60, 90, dan 120 menit)
Degumming
Analisis
Minyak Nyamplung Kotor
Oksidasi dengan Ozon
3.2.7 Bagan Alir penelitian
31Gambar 3.3 Bagan Alir Penelitian
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Degumming
Minyak nyamplung tidak hanya mengandung asam lemak bebas dan
trigliserida yang dapat dikonversi menjadi biodiesel tetapi minyak nyamplung juga
mengandung zat-zat yang terdiri dari gum (yang terbawa pada proses pengepresan
minyak), fosfolipid, protein, karbohidrat, residu, air dan pengotor yang tidak
diinginkan. Fosfolipid atau fosfatida adalah suatu gliserida yang mengandung fosfor
dalam bentuk ester asam fosfat sehingga fosfolipid merupakan suatu fosfogliserida.
Kandungan fosfolipid pada penggunaan bahan bakar dapat menyebabkan
kerusakan pada mesin yang diakibatkan oleh proses pembakaran yang tidak
sempurna. Selain itu fosfolipid bersifat ampifatik yaitu memiliki gugus hidrofilik
pada kepala yang bersifat polar dan ekor hidrofobik yang bersifat non polar sehingga
fosfolipid dapat berikatan dengan minyak dan air. Oleh karena itu adanya fosfolipid
dapat mengganggu proses pemisahan biodiesel dengan air terutama pada saat
pencucian karena fosfolipid dapat bertindak sebagai emulsifier.
Selain fosfolipid keberadaan zat-zat lain dan pengotor yang ada di dalam
minyak akan mengganggu proses pembuatan biodiesel baik itu dalam reaksi
esterifikasi dan transesterifikasi maupun dalam proses analisis. Untuk memperoleh
minyak nyamplung murni maka zat-zat yang tidak diinginkan tersebut harus
dihilangkan dengan proses degumming yaitu dengan menambahkan asam fosfat pada
32
suhu 75oC. Penggunaan asam fosfat dan pemanasan dimaksudkan untuk
menghidrolisis fosfolipid tersebut sehingga menghasilkan komponen unit
penyusunnya.
Gambar 4.1 Reaksi Fosfolipid dan Asam Fosfat
Pada saat proses degumming terjadi penggumpalan zat-zat terlarut atau
koloidal yang terdapat dalam minyak sehingga dapat dipisahkan dari minyak.
Pemisahan ini dilakukan dengan melakukan sentrifugasi sehingga terjadi pemisahan
berdasarkan berat jenis yang terlihat dari terbentuknya endapan setelah dilakukan
sentrifugasi. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa terjadi perubahan warna dari
warna hijau kehitaman menjadi kuning kemerahan setelah melalui tahap degumming.
Hal ini disebabkan pigmen warna dominan pada minyak yaitu klorofil mengalami
kerusakan saat proses, digantikan dengan pigmen karotenoid yang berwarna kuning
kemerahan.
4.2 Analisis Awal Minyak Nyamplung
Pada penelitian ini minyak nyamplung hasil degumming dianalisis terlebih
dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sifat awal minyak nyamplung yang
33
CH2OCOR’
CHOCOR’’
CH2O PO2 O(CH2)2N+(CH3)3
+ O=P
OH
OH
OH
CH2OH
CHOH
CH2OH PO2
+ O=P
OCOR’
O
OCOR’’
Fosfolipid Asam fosfat Gliserol Residu gum
akan digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Kandungan minyak nyamplung
dianalisis menggunakan kromatografi gas-spektroskopi massa. Gambar 4.2
merupakan kromatogram dari hasil analisis minyak nyamplung.
Gambar 4.2 Kromatogram minyak nyamplung hasil degumming
Kromatogram menunjukkan adanya lima puncak. Puncak-puncak tersebut
merupakan komponen-komponen yang terkandung di dalam minyak nyamplung.
Waktu retensi yang dihasilkan setiap puncak dibandingkan dengan waktu retensi
34
asam lemak standar sehingga dihasilkan dugaan komponen minyak nyamplung
seperti yang disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Kandungan minyak nyamplung berdasarkan hasil kromatografi
gas-spektroskopi massa.
No. PuncakWaktu retensi /
menitLuas area / %
Dugaan Senyawa
1 26,07 23,35 C 13:0
2 29,57 20,28 C 18:2
3 29,69 40,18 C 18:1
4 30,08 16,19 C 16:0
Dari Tabel 4.1 diketahui bahwa kandungan asam lemak bebas terbanyak dari
minyak nyamplung yang digunakan pada penelitian ini adalah asam oleat ( C 18:0).
Selain itu analisis sifat fisika dan kimia minyak nyamplung yang dilakukan juga
meliputi bilangan asam, bilangan penyabunan, bilangan iod, densitas, dan viskositas.
Hasil analisis terhadap karakteristik minyak nyamplung dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Hasil Analisis Minyak Nyamplung
Parameter Satuan Hasil
Bilangan Asam mg KOH/g minyak 23,22
Bilangan Iod mg iod/g minyak 76,05
Bilangan penyabunan mg KOH/g minyak 112,85
Densitas pada suhu 40oC g/ml 0,9249
Viskositas kinematik 40oC cSt 25,99
35
Dari hasil analisis minyak nyamplung yang digunakan pada penelitian ini
memiliki bilangan asam yang cukup tinggi yaitu 23,22 mg KOH/g minyak (11.67%).
Bilangan asam menunjukkan jumlah asam lemak bebas serta dihitung berdasarkan
berat molekul dari asam lemak atau campuran asam lemak. Bilangan asam
dinyatakan sebagai jumlah milligram kalium hidroksida yang digunakan untuk
menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam 1gram lemak minyak atau lemak.
Tingginya nilai bilangan asam dapat dikarenakan penanganan dan kondisi
penyimpanan minyak yang kurat tepat. Selain itu menurut Berchmans and Hirata,
2008 penyimpanan minyak pada udara terbuka dan terkena sinar matahari dalam
waktu yang lama akan menyebabkan konsentrasi asam lemak bebas meningkat secara
signifikan.
Bilangan penyabunan minyak nyamplung adalah 112,85 mg KOH/g minyak.
Bilangan penyabunan ialah jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menyabunkan
sejumlah contoh minyak.
Gambar 4.3 Reaksi penyabunan
Besarnya bilangan penyabunan tergantung dari berat molekul. Minyak yang
memiliki berat molekul rendah akan memiliki bilangan penyabunan yang lebih tinggi
dibandingkan daripada minyak yang mempunyai berat molekul tinggi.
36
H2C
HC
H2C
O C
O =
R
O C
O =
R
O C
O =
R
+ 3 KOH O C
O =
R K3 +
CH2OH
CHOH
CH2OH
Minyak GliserolSabun
Bilangan iod dinyatakan sebagai jumlah gram iod yang diserap oleh 100 gram
minyak atau lemak (Ketaren,2005). Asam lemak yang tidak jenuh dalam minyak dan
lemak mampu menyerap sejumlah iod dan membentuk senyawa yan jenuh. Besarnya
jumlah iod yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau ikatan tidak
jenuh.
Dari hasil analisis minyak nyamplung diketahui bahwa viskositas kinematik
minyak nyamplung yang digunakan pada penelitian ini adalah 25,99 cSt. Nilai ini
masih cukup tinggi apabila minyak nyamplung digunakan langsung sebagai bahan
bakar. Maka dari itu minyak nyamplung harus diproses terlebih dahulu menjadi alkil
ester (biodiesel) karena minyak nabati yang mempunyai viskositas tinggi tidak
diinginkan dalam bahan bakar. Viskositas bahan bakar yang tinggi mengakibatkan
daya atomisasi rendah dan akumulasi bahan bakar dalam minyak pelumas (Foglia et
al., 1996) sehingga akan menghasilkan pembakaran yang kurang sempurna yang
dapat mengakibatkan terbentuknya deposit dalam ruang bakar.
Densitas merupakan massa per unit volume suatu bahan pada suhu tertentu.
Densitas minyak nyamplung pada penelitian ini sebesar 0,9249 g/mL. Densitas
minyak sangat berpengaruh terhadap viskositas kinematik yang diperoleh. Maka dari
itu untuk menurunkan densitas dan viskositas minyak nyamplung agar dapat
digunakan sebagai bahan bakar yang setara dengan petrodiesel, pada penelitian ini
dilakukan oksidasi terhadap minyak nyamplung sebelum melalui proses esterifikasi
dan transesterifikasi.
37
4.3 Ozonolisis Minyak Nyamplung
Pada penelitian ini dilakukan oksidasi untuk meningkatkan kualitas biodiesel
yang dihasilkan sehingga dapat disetarakan dengan petrodiesel. Ozon digunakan
sebagai oksidator karena ozon merupakan salah satu zat pengoksidasi yang sangat
kuat.
Minyak nyamplung dianalisis kembali untuk mengetahui karakteristik minyak
setelah melalui tahap ozonolisis. Dari hasil analisis diketahui bahwa karakteristik
minyak nyamplung mengalami perubahan dari karakteristik minyak nyamplung awal
yang ditunjukkan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Karakteristik Minyak Nyamplung Hasil Ozonolisis
Parameter Satuan Hasil
Bilangan Asam mg KOH/g minyak 25,56
Bilangan Iod mg iod/g minyak 75,56
Bilangan penyabunan mg KOH/g minyak 149,35
Densitas pada suhu 40oC g/ml 0,8956
Viskositas kinematik 40oC mm2/s 25,42
Bilangan asam yang diperoleh dari minyak nyamplung hasil oksidasi sebesar
25,56 mg KOH/g minyak (12.84%). Nilai bilangan asam yang diperoleh lebih besar
apabila dibandingkan dengan minyak nyamplung hasil degumming yaitu 23,22 mg
KOH/g minyak (11.67%). Adanya peningkatan bilangan asam ini menunjukkan
bahwa telah terjadi pemutusan ikatan rangkap yang menghasilkan asam lemak bebas
yang memiliki rantai karbon lebih pendek. Pemutusan ikatan rangkap juga
38
ditunjukkan pula dengan menurunnya bilangan iod serta meningkatnya bilangan
penyabunan. Bilangan penyabunan meningkat dikarenakan bertambahnya molekul
yang tersabunkan oleh kalium hidroksida.
Perubahan karakteristik minyak nyamplung hasil ozonolisis menunjukkan
bahwa proses oksidasi yang dilakukan terhadap minyak nyamplung hasil degumming
dapat dikatakan berhasil. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya perubahan pada
kromatogram hasil analisis menggunakan kromatografi gas-spektroskopi massa.
Gambar 4.3Kromatogram minyak nyamplung hasil ozonolisis
39
Tabel 4.4 Kandungan minyak nyamplung berdasarkan hasil kromatografi
gas-spektroskopi massa.
No. PuncakWaktu retensi /
menitLuas area / % Dugaan Senyawa
1 26,09 15,75 C 13:0
2 29,78 55,95 C 18:1
3 30,14 17,72 C 16:0
4 34,13 10,58 C 17:0
Dari Tabel 4.4 diketahui bahwa telah terjadi perubahan komponen asam
lemak pada minyak nyamplung yaitu adanya asam lemak C 17:0. Asam lemak ini
dapat diperoleh dari hasil pemutusan ikatan rangkap pada C 18:2 yang puncaknya
tidak ditemukan kembali pada kromatogram minyak nyamplung hasil ozonolisis
berdasarkan hasil kromatografi gas-spektroskopi massa.
Minyak nyamplung pada penelitian ini tidak dapat digunakan secara langsung
sebagai bahan-baku dalam reaksi transesterifikasi karena tingginya bilangan asam
yang diperoleh baik sebelum dilakukan oksidasi maupun setelah dilakukan oksidasi
menunjukkan bahwa terdapat asam lemak bebas dalam jumlah yang banyak didalam
minyak nyamplung yang digunakan dalam penelitian ini harus melalui tahap
esterifikasi terlebih dahulu.
40
4.4 Esterifikasi
Esterifikasi dilakukan untuk menurunkan kandungan asam lemak bebas pada
minyak nyamplung yang tinggi karena menurut Canacki et al (1999) dan Ramadhas
et al., (2005) minyak berkandungan asam lemak tinggi (FFA>2%) tidak sesuai
digunakan untuk bahan baku pada reaksi transesterifikasi. Minyak yang digunakan
sebagai bahan baku biodiesel harus memiliki kadar asam lemak bebas yang rendah
(Heyne, 1987). Hal ini didasarkan oleh apabila minyak yang memiliki kadar asam
lemak bebas tinggi digunakan sebagai bahan baku pada reaksi transesterifikasi yang
berkatalis basa maka asam lemak akan bereaksi dengan katalis membentuk sabun
melalui reaksi penyabunan, sehingga efektifitas katalis akan menurun karena
sebagian katalis bereaksi dengan asam lemak dan dengan kondisi tersebut akan
menurunkan persentase perolehan ester dan mempersulit proses pemisahan.
Pada penelitian ini digunakan variasi rasio mol metanol terhadap minyak
nyamplung karena rasio mol metanol terhadap minyak merupakan salah satu variabel
penting yang mempengaruhi penurunan konsentrasi asam lemak bebas pada minyak
nyamplung. Variasi rasio mol metanol yang digunakan yairu 1:3; 1:6; 1:9; dan 1:12.
Selain itu berkurangnya kandungan asam lemak bebas pada minyak
nyamplung tergantung pula pada waktu reaksi. Walaupun parameter lain berperan
penting pada berkurangnya kandungan asam lemak bebas, waktu reaksi esterifikasi
juga memliki pengaruh yang besar pada kandungan akhir asam lemak bebas sehingga
pada penelitian ini digunakan variasi waktu esterifikasi yaitu 15 menit, 30 menit, dan
41
60 menit. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kondisi optimal dari reaksi esterifikasi
yang dapat menghasilkan bilangan asam yang rendah.
Pada penelitian ini tidak dilakukan pemanasan pada suhu tertentu. Hal ini
dikarenakan gelombang ultrasonik yang digunakan akan menghasilkan panas pada
reaksi sehingga apabila pada saat reaksi deberikan tambahan panas dapat
menyebabkan metanol yang digunakan menguap karena metanol memiliki titik didih
yang cukup rendah yaitu 67oC.
Selain itu hal yang tak kalah penting untuk diperhatikan pada reaksi
esterifikasi adalah pada saat pemisahan fase air dan fase organik. Apabila masih
terdapat air dalam jumlah besar dikhawatirkan akan terjadi reaksi balik, sehingga
asam lemak bebas tidak terkonversi dengan sempurna.
Adapun pengaruh waktu reaksi dan rasio mol metanol terhadap bilangan asam
hasil esterifikasi pada penelitian ini diperlihatkan pada Gambar 4.4.
0 10 20 30 40 50 60 700
2
4
6
8
10
12
Rasio mol 1:3Rasio mol 1:6Rasio mol 1:9Rasio mol 1:12
Waktu esterifikasi (menit)
Bila
ngan
asa
m (m
g KO
H/g
min
yak)
Gambar 4.4 Pengaruh waktu esterifikasi dan rasio mol metanol : minyak
terhadap bilangan asam
42
Dari Gambar 4.4 hasil penelitian yang diperoleh menunjukan konsentrasi
asam lemak bebas menurun dengan bertambahnya mol metanol yang direaksikan
dengan minyak pada saat esterifikasi. Begitu pula terhadap waktu esterifikasi yang
menunjukkan bilangan asam semakin menurun dengan bertambahnya waktu
esterifikasi. Namun dari hasil penelitian terdapat penyimpangan pada rasio mol
metanol 3:1 terhadap minyak terjadi kenaikan bilangan asam dengan bertambahnya
waktu reaksi yaitu pada waktu 30 menit. Hal ini terjadi pula pada rasio mol metanol
6:1 terhadap minyak dengan waktu 30 menit dan pada rasio mol metanol 9:1 dengan
waktu 60 menit. Penyimpangan ini dapat disebabkan oleh kurang sempurnanya reaksi
yang terjadi dan adanya pengaruh air yang dihasilkan selama esterifikasi yang dapat
menggeser kesetimbangan ke arah reaktan sehingga metil ester yang dihasilkan
berkurang dan bilangan asam meningkat kembali.
Dari penelitian ini diperoleh kondisi optimal reaksi esterifikasi untuk
menurunkan kandungan asam lemak bebas pada minyak nyamplung yaitu dengan
rasio mol minyak terhadap metanol 1:12 dalam waktu 60 menit dengan bilangan
asam 4,76 mg KOH/g minyak (2.39%). Bilangan asam yang diperoleh masih cukup
tinggi apabila dibandingkan dengan standar yang dikemukan oleh Canacki et al
(1999) dan Ramadhas et al., (2005) yaitu <2%. Namun apabila dibandingkan dengan
kandungan asam lemak bebas setelah oksidasi yaitu 25,56 mg KOH/g minyak
(12.84%). Penurunan bilangan asam yang sangat signifikan. Sehingga dengan
menggunakan kondisi optimal yang diperoleh, minyak nyamplung hasil esterifikasi
dapat dilanjutkan ke tahap transesterifikasi.
43
4.5 Transesterifikasi
Minyak nyamplung yang telah memiliki kandungan asam lemak bebas yang
rendah setelah melalui proses esterifikasi kemudian dilanjutkan dengan proses
berikutnya yaitu transesterifikasi. Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi yang
mengubah suatu bentuk ester yaitu trigliserida ke dalam bentuk ester lain yaitu alkil
ester. Alkil ester yang terbentuk pada penelitian ini berupa metil ester karena alkohol
yang digunakan dalam reaksi adalah metanol. Pemilihan metanol pada penelitian ini
dikarenakan metanol bersifat lebih reaktif dibandingkan dengan alkohol jenis lain.
Selain itu penggunaan metanol juga lebih ekonomis dibandingkan dengan alkohol
lain. Akan tetapi metanol memiliki sifat racun sehingga pada saat reaksi harus
berhati-hati.
Pada proses transesterifikasi bisa menggunakan katalis asam atau basa, namun
katalis yang paling banyak digunakan untuk memproduksi biodiesel adalah katalis
basa. Transesterifikasi dengan katalis basa berlangsung lebih cepat, kurang bersifat
korosif, hanya memerlukan suhu dan tekanan rendah dibandingkan reaksi dengan
penggunaan katalis asam, sehingga katalis basa lebih banyak digunakan dalam
pembuatan biodiesel. Namun, penggunaan katalis basa memiliki kelemahan antara
lain kesukaran diperoleh kembali gliserol (Shah et al., 2004).
Sama halnya dengan proses esterifikasi, pada proses transesterifikasi juga perlu
dilakukan penentuan kondisi optimum dari reaksi untuk memperoleh hasil yang
maksimal. Pada penelitian ini dilakukan proses transeterifikasi dengan variasi waktu
yaitu 30 menit, 60 menit, dan 90 menit. Adanya variasi waktu reaksi dimaksudkan
44
untuk memperoleh waktu optimal reaksi transesterifikasi yang dapat menghasilkan
biodiesel dengan persentase rendemen yang terbesar dan memiliki sifat yang
menyerupai petrodiesel. Adapun rendemen biodiesel yang diperoleh pada penelitian
ini disajikan pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Rendemen biodiesel
Waktu transesterifikasi % rendemen
30 menit 80,78 %
60 menit 78,29 %
90 menit 83,51 %
4.6 Analisis Biodiesel
Biodiesel yang dihasilkan melalui tahap transesterifikasi dilakukan analisis sifat
fisika dan kimia terhadap biodiesel meliputi bilangan asam, densitas, viskositas,
bilangan iod, titik nyala.
Adapun hasil analisis yang diperoleh dari penelitian ditunjukkan pada Tabel 4.6
Tabel 4.6 Karakteristik Biodiesel
Parameter SatuanWaktu reaksi
SNIStandar
Petrodiesel*30 menit 60 menit 90 menitBilangan asam
mg KOH/g minyak
0,4382 0,4086 0,3162 Maks. 0,8 -
Bilangan Iodmg iod/g minyak
67,85 71,97 45,073Maks. 115
-
Densitas g/ml 0,8824 0,8898 0,8804 0,85-0,89 0,875Viskositas mm2/s 4,99 5,87 5,04 1,9-6,0 4,6Titik Nyala oC 128 114 113 Min. 100 98
*sumber (Mittelbach & Remschmidt, 2004).
45
Dari Tabel 4.6 menunjukkan bahwa dari ketiga variasi waktu transesterifikasi,
bilangan asam dari biodiesel telah memenuhi standar biodiesel Indonesia. Bilangan
asam merupakan parameter yang sangat penting dilakukan dalam analisis biodiesel.
Karena apabila biodiesel memiliki bilangan asam yang tinggi maka kandungan asam
lemak bebas dalam biodiesel tinggi, hal ini dapat menyebabkan terjadinya korosi
pada mesin.
Bilangan iod mengalami penurunan dibandingkan dengan bilangan iod pada
minyak nyamplung dikarenakan telah terjadinya penurunan jumlah ikatan rangkap.
Pada penelitian ini biodiesel yang dihasilkan memiliki bilangan iod 45,07 mg iod/g
minyak sehingga memenuhi standar biodiesel Indonesia (maksimal 115 mg iod/g
minyak).
Besarnya densitas menunjukkan komposisi yang terdapat dalam biodiesel.
Densitas biodiesel yang dihasilkan menurun bila dibandingkan dengan densitas
minyak nyamplung. Namun pada waktu reaksi 60 menit densitas yang dihasilkan
lebih tinggi hal ini dikarenakan masih terdapat minyak nyamplung yang belum
terkonversi menjadi biodiesel.
Viskositas yang dihasilkan telah mengalami penurunan jika dibanidngkan
dengan viskositas minyak nyamplung. Viskositas berpengaruh pada kerja bahan
bakar dalam mesin. Viskositas yang terlalu rendah akan menimbulkan kebocoran
pada pipa injeksi, menyulitkan penyebaran bahan bakar sehingga minyak tidak akan
segera terbakar menghasilkan asap yang kotor karena kelambatan aliran, dan akan
46
sulit mengalami atomisasi. Sedangkan viskositas yang terlalu tinggi akan
menyebabkan tekanan yang cukup besar agar biodiesel dapat dibakar.
Titik nyala merupakan salah satu parameter yang penting pada biodiesel. Titik
nyala berhubungan dengan keamanan dalam penyimpanan biodiesel. Semakin tinggi
titik nyala maka biodiesel semakin aman karena biodiesel tersebut tidak mudah
terbakar. Namun apabila titik nyala terlalu tinggi kurang baik dalam dalam mesin.
Dengan titik nyala yang terlalu tinggi maka proses yang terjadi di dalam mesin akan
lebih lama. Selain itu biodiesel diharapkan dapat menggantikan petrodiesel sebagai
bahan bakar dari mesin-mesin diesel yang saat ini banyak digunakan sehingga sifat
fisika dan kimia biodiesel harus mendekati sifat fisika dan kimia petrodiesel. Pada
penelitian ini biodiesel yang memiliki titik nyala mendekati titik nyala petrodiesel
(98oC) adalah biodiesel dengan waktu transesterifikasi 90 menit yaitu 113oC.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa kondisi optimum untuk menghasilkan
biodiesel dengan sifat fisika dan kimia yang mendekati sifat fisika dan kimia
petrodiesel adalah pada waktu transesterifikasi 90 menit. Hal ini dikarenakan
densitas, viskositas serta titik nyala yang dimiliki lebih mendekati petrodiesel
dibandingkan dengan biodiesel pada waktu reaksi 30 dan 60 menit. Biodiesel dengan
kondisi optimum kemudian dianalisis kandungannya menggunakan KG-SM dengan
kromatogram yang disajikan pada Gambar 4.5.
47
Gambar 4.5 Kromatogram biodiesel
Kromatogram menunjukkan adanya empat puncak. Puncak-puncak tersebut
merupakan komponen-komponen yang terkandung di dalam minyak nyamplung.
Adapun dugaan senyawa yang terkandung di dalam biodiesel adalah sebagai berikut.
48
Tabel 4.6 Kandungan biodiesel berdasarkan hasil kromatografi gas-spektroskopi massa.
No. PuncakWaktu retensi /
menitLuas area / % Dugaan Senyawa
1 26,16 22,04 C 13:0
2 29,88 52,30 C 18:1
3 30,22 23,56 C 16:0
4 34,13 2,10 C 17:0
Dari Tabel 4.6 diduga senyawa terbanyak yang terdapat di dalam biodiesel
adalah C 18:1 yaitu metil oleat. Hal ini sesuai dengan kandungan pada minyak
nyamplung awal.
Secara umum berdasarkan lima parameter yang dianalisis meliputi bilangan
asam, densitas, viskositas, bilangan iod, titik nyala maka biodiesel yang dihasilkan
pada penelitian ini memenuhi SNI 04-7182-2006. Hal ini menunjukkan bahwa
dengan penggunaan gelombang ultrasonik 35kHz pada reaksi dapat menghasilkan
biodiesel yang memenuhi standar hanya dengan waktu 30 menit. Akan tetapi untuk
mendapatkan biodiesel yang memiliki sifat fisika dan kimia yang menyerupai
petrodiesel maka proses reaksi transesterifikasi selama 90 menit adalah yang paling
mendekati.
49
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil kromatografi gas-spektroskopi massa, hasil ozonolisis minyak
nyamplung selama 30 menit dapat memotong ikatan rangkap tetapi belum
optimal.
2. Waktu reaksi ultrasonifikasi optimum yang menghasilkan biodiesel dengan sifat
fisika dan kimia yang paling mendekati petrodiesel adalah 90 menit.
3. Biodiesel yang dihasilkan pada variasi waktu 30, 60, dan 90 menit dengan
menggunakan gelombang ultrasonik berdasarkan lima parameter yang dianalisis
telah memenuhi standar biodiesel Indonesia.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan ozonolisis menggunakan gelombang ultrasonik agar proses
oksidasi dapat berlangsung dengan optimal.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan berupa penentuan rasio mol metanol terhadap
minyak yang optimum sehingga dapat menghasilkan biodiesel dengan perolehan
yang tinggi.
2. Perlu dilakukan penelitian menggunakan frekuensi gelombang ultrasonik yang
lebih tinggi agar biodiesel yang dihasilkan lebih maksimal.
50
DAFTAR PUSTAKA
51