bab1-5

80
ABSTRAK Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif yang dapat diproduksi dari minyak nabati melalui proses transesterifikasi. Salah satu sumber minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku biodiesel adalah tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). Pada umumnya biodiesel dari minyak tumbuhan memiliki viskositas dan titik nyala yang lebih tinggi dibandingkan petrodiesel disebabkan oleh adanya metil ester asam lemak dengan rantai yang panjang dan sebagian memiliki ikatan rangkap. Untuk mengatasi hal tersebut maka dilakukan ozonolisis untuk memendekkan molekul asam lemak dan mengurangi jumlah ikatan rangkap. Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan biodiesel yang memiliki sifat fisika dan kimia yang setara dengan petrodiesel. Minyak nyamplung melalui tahap degumming, ozonolisis serta esterifikasi, dan transesterifikasi dengan menggunakan gelombang ultrasonik 35 kHz. Pada proses esterifikasi digunakan variasi rasio mol metanol terhadap minyak 3:1; 6:1; 9:1; dan 12:1, katalis asam sulfat 1% (b/b) terhadap minyak dan variasi waktu 15, 30, dan 60 menit, sedangkan pada proses transesterifikasi rasio mol minyak terhadap metanol 1:12, katalis kalium hidroksida 1% (b/b) terhadap minyak dan variasi waktu 30, 60, dan 90 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bilangan asam, bilangan iod, densitas, viskositas, dan titik nyala biodiesel yang diperoleh dengan variasi waktu 30, 60, dan 90 menit telah memenuhi standar biodiesel Indonesia. Karakteristik biodiesel yang paling mendekati karakteristik petrodiesel dicapai pada waktu reaksi 90 menit yaitu bilangan asam 0,3162 mg KOH/ g minyak, densitas 0,8804 g/ml, viskositas 5,04 cSt ,dan titik nyala 113 o C. 1

Upload: andika-wicaksono

Post on 17-Jan-2016

17 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

skripsi

TRANSCRIPT

Page 1: bab1-5

ABSTRAK

Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif yang dapat diproduksi dari minyak nabati melalui proses transesterifikasi. Salah satu sumber minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku biodiesel adalah tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). Pada umumnya biodiesel dari minyak tumbuhan memiliki viskositas dan titik nyala yang lebih tinggi dibandingkan petrodiesel disebabkan oleh adanya metil ester asam lemak dengan rantai yang panjang dan sebagian memiliki ikatan rangkap. Untuk mengatasi hal tersebut maka dilakukan ozonolisis untuk memendekkan molekul asam lemak dan mengurangi jumlah ikatan rangkap. Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan biodiesel yang memiliki sifat fisika dan kimia yang setara dengan petrodiesel. Minyak nyamplung melalui tahap degumming, ozonolisis serta esterifikasi, dan transesterifikasi dengan menggunakan gelombang ultrasonik 35 kHz. Pada proses esterifikasi digunakan variasi rasio mol metanol terhadap minyak 3:1; 6:1; 9:1; dan 12:1, katalis asam sulfat 1% (b/b) terhadap minyak dan variasi waktu 15, 30, dan 60 menit, sedangkan pada proses transesterifikasi rasio mol minyak terhadap metanol 1:12, katalis kalium hidroksida 1% (b/b) terhadap minyak dan variasi waktu 30, 60, dan 90 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bilangan asam, bilangan iod, densitas, viskositas, dan titik nyala biodiesel yang diperoleh dengan variasi waktu 30, 60, dan 90 menit telah memenuhi standar biodiesel Indonesia. Karakteristik biodiesel yang paling mendekati karakteristik petrodiesel dicapai pada waktu reaksi 90 menit yaitu bilangan asam 0,3162 mg KOH/ g minyak, densitas 0,8804 g/ml, viskositas 5,04 cSt ,dan titik nyala 113oC.

1

Page 2: bab1-5

ABSTRACT

Biodiesel is an alternative fuel which can be manufactured from vegetable oils using transesterification process. One of the vegetable oil source which can be used as raw material for biodiesel is nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). Commonly biodiesel from plant oils have a high viscosity and a flash point if compared by petrodiesel due to the presence of methyl esters from fatty acids with long chains and some double bonds. Because of that the ozonolisis process is performed to shorten the fatty acid molecule and reduce the amount of the double bonds. The purpose of the research is to produce biodiesel which has similar chemical and physical properties with petrodiesel. Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) oil will be processed through the stages of degumming, ozonolisis and esterification, and transesterification using ultrasonic waves 35 kHz. In the esterification process was using variations of methanol to oil mole ratio of 3:1; 6:1; 9:1, and 12:1, with the presence of sulfuric acid 1% (w / w) of oil as the catalyst and the time variation 15, 30, and 60 minutes, while in the transesterification process is using the comparison oil to methanol mole ratio of 1:12, with the presence potassium hydroxide 1% (w / w) of oil as the catalyst and the time variation within 30, 60, and 90 minutes. The results of this research showed that the number acid, iodine number, density, viscosity, and the flash point of biodiesel which obtained by time variation of 30, 60, and 90 minutes was meet the requirement of biodiesel from National Standard of Indonesia. Tha Characteristics of biodiesel which is similar to the characteristic of petrodisesl was obtained at a reaction time of 90 minutes with 0.3162 mg KOH / g oil for the acid number, 0.8804 g / ml for the density, 5.04 cSt for the viscosity, and 113ºC for the flash point.

2

Page 3: bab1-5

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur selalu terpanjatkan kepada Allah SWT, yang telah

memberikan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat

menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Pembuatan

Biodiesel dari Minyak Nyamplung Menggunakan Katalis Homogen dengan

Ozonolisis dan Gelombang Ultrasonik”.

Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan untuk

memperoleh gelar sarjana kimia di Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran.

Skripsi ini tidak dapat tersusun dengan baik tanpa bantuan dan bimbingan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu penyusun meyampaikan terimakasih kepada:

Prof. Dr. Wawang Suratno

dan

Drs. Haryadi, M.Sc. Ph.D

selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan

pikirannya dalam membimbing penyusun untuk menyelesaikan penelitian dan

penyusunan skripsi ini. Tidak lupa penyusun juga menyampaikan terima kasih kepada

:

1. Prof. Dr. Wawan Hermawan, selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran.

3

Page 4: bab1-5

2. Dr. Euis Julaeha, M. Si, selaku ketua Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran.

3. Yati B. Yuliyati, M.S., selaku Kepala Laboratorium Kimia Fisik Jurusan Kimia

FMIPA Unpad yang telah memberikan fasilitas ruangan dan tempat penelitian di

Laboratorium Kimia Fisik.

4. Dra. Nenden Indrayati A., M. S., selaku dosen wali

5. Ayah, ibu,dan adik serta seluruh keluarga atas perhatian, doa, dukungan, bantuan

serta kasih sayangnya.

6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas bantuannya

hingga tersusunnya skripsi ini.

Penyusun menyadari bahwa dalam skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Untuk itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk

memperbaikinya. Besar harapan penyusun agar skripsi ini dapat bermanfaat.

Jatinangor, September 2011

Penyusun

4

Page 5: bab1-5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan pertumbuhan penduduk mendorong terjadinya peningkatan

kebutuhan bahan bakar termasuk bahan bakar mesin diesel. Penggunaan mesin diesel

tidak lepas dari kehidupan sehari-hari baik dalam sektor industri, transportasi maupun

pertanian.

Bahan bakar mesin diesel umumnya dihasilkan dari penyulingan minyak

bumi. Namun minyak bumi adalah sumber daya alam yang terbatas dan tidak

terbarukan. Adanya kekhawatiran akan terus berkurangnya pasokan minyak bumi,

ketidakstabilan dan peningkatan biaya, serta timbulnya masalah lingkungan telah

memotivasi para peneliti untuk lebih luas mencari sumber energi alternatif yang

terbarukan (Nakpong & Wootthikanokkhan, 2010).

Bahan bakar alternatif yang dicari adalah bahan bakar yang dapat diterima

secara teknis, kompetitif secara ekonomi, dapat diterima oleh lingkungan, dan mudah

didapatkan. Meningkatnya rasa keprihatinan terhadap lingkungan, berkurangnya

cadangan minyak bumi, dan adanya azas ekonomi pertanian dapat dijadikan sebagai

penggerak untuk mempromosikan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif mesin

diesel ( Rachimoellah et al., 2009). Biodiesel merupakan bahan bakar mesin diesel

alternatif yang diproduksi dari sumber minyak nabati dan hewani yang dapat

diperbaharui (Mittelbach & Remschmidt, 2004).

5

Page 6: bab1-5

Diantara sumber-sumber alternatif lainnya, minyak nabati telah mendapatkan

perhatian untuk digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Pemanfaatan minyak nabati

sebagai bahan baku biodiesel memiliki beberapa kelebihan diantaranya sumber

minyak nabati mudah diperoleh, proses pembuatan biodiesel dari minyak nabati

mudah dan cepat, serta tingkat konversi minyak nabati menjadi biodiesel tinggi

(Hambali dkk, 2007).

Minyak nabati sebagai sumber utama biodiesel dapat diperoleh dari berbagai

macam jenis tanaman. Hampir semua minyak nabati dapat diolah menjadi biodiesel

baik minyak pangan maupun non-pangan. Hal ini dikarenakan minyak nabati

memiliki struktur komponen antara lain campuran trigliserida dan asam lemak, asam

lemak bebas, gum, karoten, dan air (Palham,2010). Salah satu tanaman penghasil

minyak nabati adalah nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) tanaman hutan, yang

memiliki potensi sebagai bahan baku biodiesel. Kelebihan nyamplung sebagai bahan

baku biodiesel adalah rendemen minyak nyamplung lebih tinggi dibandingkan

dengan jenis tanaman lain (bisa mencapai 74%), dan dalam pemanfaatannya tidak

berkompetisi dalam kepentingan pangan (Bustomi dkk.,2008).

Sejauh ini produk biodiesel di Indonesia belum dapat digunakan 100% untuk

mesin diesel, hanya sebagai pencampur petrodiesel. Hal ini disebabkan biodiesel

umumnya memiliki rantai asam lemak yang panjang (C > 18), sehingga memiliki

viskositas serta titik nyala yang tinggi. Secara kimia gugus asam lemak rantai

panjang dalam ester yang memiliki ikatan rangkap dapat diperpendek melalui reaksi

6

Page 7: bab1-5

oksidasi dengan oksidator kuat seperti KMnO4 atau K2Cr2O7 dan ozon. (Suratno

dkk., 2007).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Suratno dkk, ozon

merupakan oksidator yang paling baik digunakan untuk memutuskan rantai

karbon asam lemak bebas pada trigliserida menjadi rantai karbon yang lebih

pendek, disamping ozon yang memiliki sifat sebagai oksidator kuat.

Pembuatan biodiesel dengan metode ultrasonik berkembang pesat pada saat

ini karena dapat mempercepat reaksi dan hasil yang lebih banyak dari metode

pengadukan tradisional (konvensional). Energi ultrasonik telah diketahui sebagai alat

yang dapat digunakan untuk memperlancar sistem transfer massa sistem cair-cair

yang heterogen (Jianbing et al., 2006).

Maka dari itu pada penelitian ini dilakukan pembuatan biodiesel dari minyak

nyamplung melalui oksidasi dengan menggunakan ozon dengan bantuan gelombang

ultrasonik untuk menghasilkan biodiesel dengan kualitas yang baik dan dapat

disetarakan dengan petrodiesel.

1.2 Identifikasi Masalah

1. Apakah ozonolisis minyak nyamplung selama 30 menit dapat memotong

molekul berikatan rangkap.

2. Berapakah waktu ultrasonifikasi optimal yang menghasilkan biodiesel dengan

sifat-sifat yang paling mendekati petrodiesel.

7

Page 8: bab1-5

3. Apakah biodiesel yang dihasilkan dari penelitian telah sesuai standar biodiesel

Indonesia dan setara dengan petrodiesel.

1.3 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah membuat biodiesel dengan minyak nyamplung

hasil ozonolisis dan bantuan gelombang ultrasonik. Adapun yang menjadi tujuan dari

penelitian ini yaitu menghasilkan biodiesel yang memiliki sifat fisika dan kimia yang

mendekati petrodiesel.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk mempelajari proses ozonolisis agar

dapat memotong molekul panjang berikatan rangkap yang terdapat dalam minyak

nyamplung serta untuk mempelajari proses pembuatan biodiesel dari hasil

oksidasi tersebut dan penggunaan gelombang ultrasonik. Hasil penelitian

diharapkan dapat diperoleh biodiesel dengan sifat-sifat yang mendekati petrodiesel

sehingga dapat digunakan dalam bentuk murni sebagai bahan bakar alternatif.

1.5 Metodologi Penelitian

Penelitian yang dilakukan antara lain:

1. Penelusuran literatur yang melandasi penelitian yang berkaitan dengan

pembuatan biodiesel.

2. Perencanaan program penelitian.

8

Page 9: bab1-5

3. Persiapan alat dan bahan yang diperlukan.

4. Pelaksanaan penelitian.

Penelitian yang dilakukan meliputi beberapa tahap, diantaranya:

a. Preparasi bahan, yang meliputi: proses degumming minyak nyamplung

b. Karakterisasi minyak nyamplung hasil degumming

c. Proses oksidasi dengan menggunakan ozon sebagai oksidator

d. Proses esterifikasi dan transesterifikasi dengan bantuan gelombang

ultrasonik

e. Karakterisasi biodiesel yang dihasilkan

5. Pengolahan data yang diperoleh.

6. Pengambilan kesimpulan dan saran.

1.6 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di:

1. Laboratorium Kimia Fisik, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung Sumedang Km

21 Jatinangor.

2. Laboratorium Kimia Organik, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung Sumedang Km

21 Jatinangor.

9

Page 10: bab1-5

3. Laboratorium Biokimia, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung Sumedang Km

21 Jatinangor.

4. Laboratorium Penelitian Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, Jalan Singaperbangsa 2, Bandung.

Penelitian dilakukan sejak bulan Maret 2011 sampai dengan bulan September 2011.

10

Page 11: bab1-5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biodiesel

Biodiesel sebagai bahan bakar alternatif untuk mesin diesel menjadi semakin

penting karena cadangan minyak bumi yang semakin menipis dan berpotensi untuk

mengurangi dampak lingkungan dari emisi gas buang yang berasal dari mesin

berbahan bakar petrodiesel. Sebagai calon bahan bakar di masa yang akan datang

biodiesel harus mampu bersaing secara ekonomi dengan petrodiesel (Berchmans &

Hirata, 2008).

Biodiesel dipertimbangkan sebagai pengganti bahan bakar konvensional

karena terdiri dari metil ester asam lemak yang dapat diperoleh dari trigliserida dalam

minyak tumbuhan melalui reaksi transesterifikasi dengan metanol (Meher et

al.,2004).

Apabila dibandingkan dengan bahan bakar fosil, bahan bakar biodiesel

memiliki beberapa kelebihan diantaranya bersifat biodegradable, non-toxic,

mempunyai angka emisi CO2 dan gas sulfur yang rendah dan sangat ramah terhadap

lingkungan (Marchetti dan Errazu, 2008). Namun, berdasarkan hasil penelitian

Mittelbach dan Remschmidt tahun 2004 menunjukkan bahwa biodiesel masih

memiliki beberapa kekurangan, diantaranya nilai viskositas dan titik nyala yang

cukup tinggi. Metil ester dari minyak nabati masih mempunyai gugus rantai karbon

11

Page 12: bab1-5

yang panjang, antara lain palmitat (C16, 0 ikatan rangkap), stearat (C18, 0 ikatan

rangkap), oleat (C18, 1 ikatan rangkap) dan linoleat (C18, 2 ikatan rangkap). Hal ini

yang mengakibatkan vikositas dan titik nyala biodiesel menjadi tinggi, maka pada

saat ini biodiesel belum dapat menggantikan petrodisel sepenuhnya.

Biodiesel dibuat melalui suatu proses kimia yang disebut transesterifikasi

dimana gliserin dipisahkan dari minyak nabati. Proses ini menghasilkan dua produk

yaitu metil ester (biodiesel) serta monoalkil ester dan gliserin yang merupakan

produk samping. Pada pembuatan biodiesel ini dibutuhkan katalis untuk proses

esterifikasi, katalis diperlukan karena alkohol larut dalam minyak. Hampir semua

biodiesel diproduksi dengan metode transesterifikasi dengan katalisator basa

(Rahayu,2006).

2.2 Minyak Nabati

Biodiesel dapat dibuat dari minyak nabati maupun lemak hewan. Semua

bahan baku ini mengandung trigliserida, asam lemak bebas, dan zat pencemar yang

dihasilkan dari pengolahan pendahuluan dari bahan baku tersebut. Namun yang

paling umum digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel adalah minyak

nabati (Destianna dkk.,). Minyak nabati mempunyai kandungan asam lemak bebas

lebih rendah daripada lemak hewani. Minyak nabati biasanya selain mengandung

asam lemak bebas juga mengandung fosfolipids tetapi fosfolipid dapat dihilangkan

pada proses degumming.

12

Page 13: bab1-5

2.3 Komposisi Minyak Nabati

2.3.1 Trigliserida

Trigliserida dalam minyak bisa berupa trigliserida sederhana maupun

campuran. Trigliserida sederhana merupakan triester yang terbuat dari gliserol dan

tiga molekul asam lemak yang sama (dimana R1 = R2 = R3). Trigliserida sederhana

jarang ditemui secara alami, kebanyakan trigliserida alami adalah trigliserida

campuran, yaitu triester dari gliserol dengan komponen asam lemak yang

berbeda (Wilbraham, 1992).

2.3.2 Asam Lemak Bebas

Asam lemak bebas adalah asam lemak yang terpisahkan dari trigliserida,

digliserida, dan monogliserida. Hal ini dapat disebabkan oleh pemanasan dan

terdapatnya air sehingga terjadi proses hidrolisis. Oksidasi juga dapat meningkatkan

kadar asam lemak bebas dalam minyak nabati (Destianna dkk., 2007).

Asam lemak adalah asam organik berantai panjang yang mempunyai atom

karbon dari 4 sampai 24. Asam lemak memiliki gugus karboksilat tunggal dan ekor

hidrokarbon nonpolar panjang yang menyababkan kebanyakan lipida bersifat tidak

larut di dalam air dan tampak berminyak atau berlemak. Asam lemak tidak dapat

berbentuk tunggal di dalam sel atau jaringan, tetapi terdapat dalam bentuk yang

terikat secara kovalen pada berbagai kelas lipida yang berbeda. Asam lemak dapat

dibebaskan dari ikatan ini oleh hidrolisis kimia atau enzimatik (Lehninger, 1999).

Asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh.

Asam lemak jenuh hanya memiliki ikatan tunggal di antara atom-atom karbon

13

Page 14: bab1-5

penyusunnya, sementara asam lemak tak jenuh memiliki paling sedikit satu ikatan

rangkap diantara atom-atom karbon penyusunnya. Kedua jenis ikatan dalam asam

lemak inilah yang menyebabkan perbedaan sifat fisik antara asam lemak satu dengan

lainnya (Zulfikar, 2010).

Pada umumnya asam lemak mempunyai jumlah atom karbon genap. Beberapa

asam lemak yang umum terdapat sebagai ester dalam tumbuhan atau hewan tertera

pada tabel berikut (Poedjiadi, 1994).

Tabel 2.1 Asam Lemak (Poedjiadi, 1994).

Nama Rumus Titik Lebur (oC)Asam lemak jenuh

Asam butirat C3H7COOH -7,9Asam kaproat C5H11COOH -1,5 sampai -2,0Asam palmitat C15H31COOH 64

Asam stearat C17H35COOH 69,4Asam lemak tidak jenuh

Asam oleat C17H33COOH 14Asam linoleat C17H31COOH -11Asam linolenat C17H29COOH Cair pada suhu sangat

rendah

2.3.3 Fosfolipid

Fosfolipid merupakan golongan senyawa lipid yang memiliki kerangka

gliserol dan 2 gugus asil. Pada posisi ketiga dari kerangka gliserol ditempati oleh

gugus fosfat yang terikat pada amino alkohol (Nurtrivani, 2010).

14

Page 15: bab1-5

Gambar 2.1Struktur Fosfolipid

Molekul fosfolipid digolongkan sebagai lipid amfipatik yang terdiri dari dua bagian,

yaitu kepala dan ekor. Bagian kepala memiliki muatan positif dan negatif serta bagian

ekor tanpa muatan. Bagian kepala bersifat hidrofilik atau larut dalam air, sedangkan

bagian ekor bersifat hidrofobik atau tidak larut dalam air (Nurtrivani, 2010).

2.4 Tanaman Nyamplung

Nyamplung (Callophyllum inophyllum)  termasuk dalam marga  Callophylum 

yang mempunyai sebaran cukup luas di dunia yaitu Madagaskar, Afrika Timur, Asia

Selatan dan Tenggara, Kepulauan Pasifik, Hindia Barat, dan Amerika Selatan. Di

Indonesia nyamplung  tersebar mulai dari bagian Barat sampai Bagian Timur

Indonesia. Selain itu, pohon tersebut juga ditemui di wilayah Malaysia, Filipina,

Thailand, dan Papua Nugini (Bustomi dkk.,2008).

Nyamplung biasanya tumbuh di sekitar aliran sungai ataupun di pinggiran

pantai dan mampu hidup dengan baik sampai dengan ketinggian 500m dari

15

Page 16: bab1-5

permukaan laut. Ciri-ciri pohon nyamplung adalah batang berkayu, bulat, dan

berwarna coklat, bentuk daun tunggal, bersilang berhadapan, bulat memanjang atau

bulat telur, ujung tumpul, pangkal membulat, tepi rata, pertulangan menyirip, panjang

10-21 cm, lebar 6-11cm, tangkai 1,5-2,5 cm, mempunyai bunga yang merupakan

bunga majemuk, berbentuk tandan, mempunyai buah berbentuk bulat, tebal, keras,

warna coklat, pada intinya terdapat minyak, mempunyai perakaran tunggang serta

tinggi pohon dapat mencapai 20 m (Hadi, 2009).

Nyamplung termasuk divisi spermatophyta, secara lengkap klasifikasi

tanaman nyamplung adalah sebagai berikut (Ya-Ching Shen, 2003).:

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Bangsa : Guttiferales

Suku : Guttiferae

Marga : Calophyllum

Jenis : Calopyllum inophyllum L

Nyamplung (Callophyllum inophyllum) merupakan salah satu jenis tanaman

hutan yang mempunyai banyak kegunaan baik dari kayunya maupun buahnya. Akhir-

akhir ini berdasarkan beberapa penelitian, buah nyamplung mempunyai  potensi yang

cukup besar sebagai bahan baku biodisel (Mahfudz, 2008).

16

Page 17: bab1-5

2.4.1 Minyak Nyamplung

Biji nyamplung mengandung minyak dengan jumlah cukup besar (minyak:

40-72%; air: 25-35%; dan abu:1,1-1,3%). Minyak kasar mengandung asam resin

(9,7-15%). Inilah yang menyebabkan warna minyak menjadi hijau, dan bahkan

yang tumbuh di daratan India berwarna coklat, rasanya pahit (Andyna, 2009)

Minyak nyamplung mempunyai kandungan asam lemak tidak jenuh yang

cukup tinggi seperti asam oleat serta komponen-komponen tak tersabunkan

diantaranya alkohol lemak, sterol, xanton, turunan kuomarin, kalofilat,

isokalofilat, isoptalat, kapelierat, asam pseudobrasilat dan penyusun triterpenoat

sebanyak 0,5-2% yang dapat dimanfaatkan sebagai obat (Murniasih, 2009).

Menurut Debaut et al., (2005) asam lemak penyusun minyak nyamplung dapat

dilihat pada Tabel 2. 2

Tabel 2.2 Komposisi Asam Lemak Minyak Nyamplung

Asam Lemak KomposisiAsam Palmitoleat (C16:1) 0,5 – 1 %Asam Palmitat (C16) 15 – 17 %Asam Oleat (C18:1) 30 – 50 %Asam Linoleat (C18:0) 25 – 40 %Asam Stearat (C18:0) 8 – 16 %

2.5 Proses Pembuatan Biodiesel

2.5.1 Esterifikasi

Esterifikasi pada dasarnya adalah reaksi yang bersifat reversibel dari asam

lemak dengan alkil alkohol membentuk ester dan air. Reaksi esterifikasi yang

dimaksud adalah sebagai berikut:

17

Page 18: bab1-5

Gambar 2. 2 Reaksi esterifikasi (Vieville et al, 1993)

Reaksi esterifikasi adalah reaksi endotermis dan termasuk kategori reaksi

asam basa. Proses ini berlangsung dengan katalis asam antara lain H2SO4, H3PO4,

dan asam sulfonat. Untuk mengarahkan reaksi ke arah produk alkil ester, salah satu

reaktan, biasanya alkohol diberikan dalam jumlah yang berlebihan dan air diambil

selama reaksi. Umumnya pengambilan air dilakukan secara kimia, fisika dan

pervorasi (Vieville et al, 1993).

2.5.2 Transesterifikasi

Reaksi transesterifikasi yang disebut juga reaksi alkoholisis dari trigliserida

yang memproduksi alkil ester asam lemak (biodiesel). Apabila metanol digunakan

sebagai alkohol pada proses ini, maka dinamakan metanolisis. Hal penting dari proses

ini adalah metanol yang tidak bereaksi dapat diperoleh kembali dan gliserol dapat

digunakan sebagai produk samping yang bernilai. Gliserol yang diperoleh kembali

juga dapat digunakan dalam industri sabun, farmasi dan kosmetik. Reaksi ini terdiri

dari reaksi reversibel yang berurutan dimana trigliserida diubah menjadi digliserida,

monogliserida, dan akhirnya diubah menjadi gliserol (Nakpong &

Wootthikanokkhan, 2010).

18

Page 19: bab1-5

Pada prinsipnya, transesterifikasi merupakan reaksi reversibel,

walaupun dalam produksi alkil ester seperti biodiesel, reaksi balik tidak dapat terjadi

atau dapat diabaikan. Hal ini disebabkan gliserol yang terbentuk tidak dapat

bercampur dengan produk karena menghasilkan dua fase (Knothe et al., 2004).

Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi metil ester adalah :

Gambar 2. 3 Reaksi transesterifikasi (Fessenden & Fessenden, 1995)

Untuk mendapatkan alkil ester (biodiesel) maka pereaksi yaitu alkohol

(metanol) diberikan dalam jumlah berlebih. Selain itu komposisi pereaksi dan kondisi

reaksi dalam keadaan optimum.

2.6 Metanol

Metanol yang sering digunakan pada proses esterifikasi dan transesterifikasi

adalah alkohol rantai pendek yaitu metanol. Metanol juga dikenal sebagai metil

alkohol, wood alcohol atau spiritus, adalah senyawa kimia dengan rumus

kimia CH3OH. Metanol merupakan bentuk alkohol paling sederhana. Pada keadaan

atmosfer, metanol berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna,

19

Page 20: bab1-5

mudah terbakar, dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan

daripada etanol). Metanol digunakan sebagai bahan pendingin anti beku, pelarut,

bahan bakar dan sebagai bahan additif bagi etanol industri.

Metanol diproduksi secara alami oleh metabolisme anaerobik oleh bakteri.

Hasil proses tersebut adalah uap metanol (dalam jumlah kecil) di udara. Setelah

beberapa hari, uap metanol tersebut akan teroksidasi oleh oksigen dengan bantuan

sinar matahari menjadi karbon dioksida dan air. Reaksi kimia metanol yang terbakar

di udara dan membentuk karbon dioksida dan air adalah sebagai berikut:

2 CH3OH + 3 O2 → 2 CO2 + 4 H2O

Api dari metanol biasanya tidak berwarna. Oleh karena itu, kita harus berhati-

hati bila berada dekat metanol yang terbakar untuk mencegah cedera akibat api

yang tak terlihat. Metanol kadang juga disebut sebagai wood alcohol karena ia

dahulu merupakan produk samping dari distilasi kayu. Saat ini metanol

dihasilkan melului proses multi tahap. Secara singkat, gas alam dan uap air dibakar

dalam tungku untuk membentuk gas hidrogen dan karbon monoksida, kemudian, gas

hidrogen dan karbon monoksida ini bereaksi dalam tekanan tinggi dengan bantuan

katalis untuk menghasilkan metanol. Tahap pembentukannya adalah endotermik

dan tahap sintesisnya adalah eksotermik (Hikmah & Zuliyana,2010).

20

Page 21: bab1-5

Tabel 2.3 Sifat-sifat fisika dan kimia metanol (Hikmah & Zuliyana,2010)

Sifat Fisik dan Kimia Metanol

Massa molar (g/mol) 32,04

Wujud cairan Tidak berwarna

Densitas (g/ml) 0,792

Titik leleh /oC -97

Titik didih / oC 64,7

Kelarutan dalam air Sangat larut

Keasaman (pKa) 15,5

2.7 Katalis

Katalis adalah zat yang dapat mempengaruhi laju reaksi tetapi zat tersebut

tidak mengalami perubahan kimia pada akhir reaksi. Katalis tidak berpengaruh pada

energi bebas, dan juga tidak berpengaruh terhadap tetapan kesetimbangan. Umumnya

kenaikan konsentrasi katalis juga menaikkan laju reaksi, jadi katalis ini ikut dalam

reaksi tetapi pada akhir reaksi diperoleh kembali (Sukardjo, 2002).

Berdasarkan fasa reaktan dan katalis, proses katalisis dapat digolongkan

menjadi katalisis homogen dan katalisis heterogen. Katalisis homogen ialah katalis

yang mempunyai fasa sama dengan fasa campuran reaksinya, sedangkan katalisis

heterogen adalah katalis yang berbeda fasa dengan campuran reaksinya. Katalisis

homogen lebih efektif dibandingkan dengan katalisis heterogen,tetapi pada katalisis

homogen katalis sukar dipisahkan dari produk dan sisa reaktannya(Setyawan, 2003).

21

Page 22: bab1-5

Dua jenis katalis homogen yang penting adalah katalis asam dan katalis basa.

Banyak reaksi organik bersangkutan dengan salah satu jenis katalisis atau dengan

keduanya termasuk reaksi esterifikasi dan transesterifikasi (Laidler, 1987).

2.7.1 Katalis Asam

Katalis asam memberikan keuntungan dalam esterifikasi asam lemak

bebas yang terkandung dalam minyak dan lemak, dan sesuai untuk

transesterifikasi bahan lemak yang memiliki keasaman tinggi. Selain itu, katalisis

ini memungkinkan produksi ester rantai panjang atau bercabang, yang sangat sulit

diproses dalam katalisis basa. Transesterifikasi katalis asam biasanya lebih lambat

dibanding katalis basa dan memerlukan suhu dan tekanan yang lebih tinggi

seperti halnya jumlah alkohol yang besar pula. Kekurangan katalis asam adalah

suhu reaksinya yang lebih tinggi mendorong pembentukan produk-produk

sekunder yang tidak diinginkan, seperti dialkil eter atau eter gliserol (Mittelbach &

Remschmidt, 2004).

2.7.2 Katalis Basa

Hampir semua biodiesel diproduksi dengan metode transesterifikasi

dengan katalisator basa karena merupakan proses yang ekonomis dan hanya

memerlukan suhu dan tekanan rendah. Hasil konversi yang bisa dicapai dari

proses ini adalah bisa mencapai 98%. Reaksi berkatalis basa relatif lebih cepat 5

menit sampai 1 jam, bergantung pada suhu, konsentrasi, proses pencampuran,

serta perbandingan alkohol dan trigliserida (Rahayu, 2006).

22

Page 23: bab1-5

Kekurangan utama penggunaan katalis basa adalah katalis basa memiliki

sensitivitas yang kurang baik terhadap asam lemak bebas yang terkandung dalam

bahan baku. Ini berarti transesterifikasi yang dikatalisis oleh basa secara optimal

dapat berjalan dengan kualitas tinggi hanya untuk minyak nabati dengan

keasaman yang rendah (Mittelbach and Remschmidt, 2004). Katalis basa juga

bersifat sedikit korosif terhadap peralatan industri sehingga material reaktor yang

digunakan harus terbuat dari baja-karbon. Katalis jenis ini juga menyerap air dari

udara selama penyimpanan (Gerpen et al., 2004).

2.8 Reaksi Ozonolisis

Proses ozonolisis mampu mengoksidasi senyawa organik kompleks menjadi

sederhana dan dapat meningkatkan sifat biodegradable sehingga sifat racun senyawa

organik tersebut berkurang (Langlai.,et al, 1999). Proses ozonasi zat organik

merupakan reaksi oksidasi senyawa organik oleh ozon secara langsung dan secara

tidak langsung terutama oleh radikal bebas hidroksida (OHo), radikal hidroperoksida

(HO2o), ion radikal superoksida (O2

o) dan ion radikal ozonida (O3o) yang terbentuk

pada saat dekomposisi ozon (Chu and Ching., 2003).

Ozon adalah oksigen aktif dan merupakan oksidator kuat. Ozonolisis

(pemaksapisahan oleh ozon) telah digunakan untuk menetapkan struktur senyawa tak

jenuh karena reaksi ini menyebabkan degradasi molekul besar menjadi yang lebih

kecil. Suatu molekul ozon terdiri dari tiga atom oksigen yang terikat dalam suatu

rantai, kedua ikatan O-O sama panjang dengan sudut ikatan 116o. Ozonolisis terdiri

23

Page 24: bab1-5

dari dua reaksi yang terpisah, yang pertama oksidasi alkena oleh ozon menjadi suatu

ozonida, dan kedua oksidasi atau reduksi ozonida menjadi produk akhir. Ozon

menyerang ikatan pi untuk menghasilkan suatu zat antara tak stabil yang disebut

1,2,3-trioksolana. Zat antara ini kemudian mengalami sederetan transformasi dimana

ikatan sigma karbon-karbon terpatahkan. Produknya adalah suatu ozonida yang

diteruskan ke tahap kedua.

Gambar 2.1 Reaksi ozonolisis (Fessenden & Fessenden, 1995).

2.9 Gelombang Ultrasonik

Frekuensi ultrasonik pada rentang 20-100 kHz digunakan di dalam ilmu

kimia. Ultrasonik dapat digunakan untuk mempercepat dan mengoptimalkan proses

transesterifikasi tanpa pemanasan, sehingga dapat dihasilkan produk biodiesel yang

lebih berkualitas karena proses berlangsung lebih sempurna dan dihasilkan biodiesel

yang lebih banyak. Untuk proses pembuatan biodiesel penggunaan ultrasonik selain

24

Page 25: bab1-5

untuk proses transesterifikasi juga dapat digunakan untuk proses pemisahannya

(Untoro, 2008).

2.10 Syarat Mutu Biodiesel

Beberapa negara telah menetapkan standar biodiesel. Penetapan standar

biodiesel antara satu negara dengan negara lainnya berbeda, sesuai iklim dan kondisi

masing-masing negara. Pada Table 2.3 disajikan standar mutu biodiesel di Indonesia.

Tabel 2.3 Standar Biodiesel Indonesia (SNI 04-7182-2006)

Parameter Satuan Batas Nilai Metode UjiMasa jenis pada 40°C kg/m3 850-890 ASTM D 1298Viskositas kinematik, 40oC

mm2/s 1,9-6,0 ASTM D 445

Bilangan setana - Min. 51 ASTM D 613Titik nyala oC Min. 100 ASTM D 93Titik kabut oC Maks. 18 ASTM D 2500Air dan sedimen % volume Maks. 0,05 ASTM D 2709Fosfor ppm-berat Maks. 10 FBI-A05-03Bilangan asam mg KOH/g Maks. 0,8 FBI-A01-03Gliserol bebas %-berat Maks. 0,02 FBI-A02-03Kadar ester alkil %-berat Min. 96,5 FBI-A03-03Bilangan iod g I2/100 g Maks. 115 FBI-A04-03

25

Page 26: bab1-5

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 Bahan dan Alat

3.1.1 Bahan Penelitian

Bahan baku utama yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak

nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) yang berasal dari ”Koperasi Jarak Lestari”,

Cilacap Jawa Tengah. Sedangkan bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini

meliputi air suling, amilum, asam klorida, asam oksalat, asam fosfat 85%, asam sulfat

pekat, etanol 95%, fenolftalein, indikator universal, kalium hidroksida teknis, kalium

iodida, kloroform, metanol teknis, natrium hidroksida, natrium tiosulfat, dan pereaksi

Hanus.

3.1.2 Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini meliputi buret, bunsen, corong

buchner, corong pisah, corong saring, kromatografi gas-spektrofotometri massa, gelas

kimia, gelas ukur, homogenizer, hot plate, kaca arloji, kondensor refluks, labu dasar

bulat, labu Erlenmeyer, labu ukur, magnetic stirrer, neraca analitik, neraca kasar,

Pensky-Marteen cup tertutup, pengaduk, piknometer, pipet volumetri, pipet tetes,

sentrifugator, spatula, statif, termometer, ultrasonic cleaner LC-30, viskometer

Ostwald.

26

Page 27: bab1-5

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Analisis Minyak Nyamplung

Analisis yang dilakukan terhadap minyak nyamplung meliputi bilangan asam,

densitas, viskositas, titik nyala, bilangan iod. Metode analisis selengkapnya dapat

dilihat pada Lampiran 1.

3.2.2 Degumming Minyak Nyamplung

Minyak nyamplung terlebih dahulu ditimbang dan dicatat beratnya. Minyak

nyamplung dipanaskan pada suhu 70°C dan disertai dengan pengadukan

menggunakan magnetic stirrer selama 15 menit. Kemudian ditambahkan asam fosfat

85% sebanyak 0,5% (b/b) terhadap minyak dan air suling sebanyak 2% (b/b) terhadap

minyak disertai pengadukan selama 15 menit. Campuran disentrifugasi pada

kecepatan 4000 rpm selama 15 menit. Setelah itu dilakukan penyaringan dengan

menggunakan kertas saring whatmaan no.41 dan corong buchner untuk memisahkan

gum dan minyak.

Minyak nyamplung yang telah melalui proses degumming kemudian

dianalisis meliputi bilangan asam, densitas, viskositas, titik nyala, bilangan iod,

bilangan penyabunan dan kromatografi gas-spektrofotometri massa. Berikut adalah

rangkaian alat degumming.

27

Page 28: bab1-5

Gambar 3.1 Rangkaian Alat Degumming

3.2.3 Oksidasi Minyak Nyamplung

Oksidasi minyak nyamplung dilakukan dengan mengalirkan ozon ke dalam

minyak nyamplung yang telah melalui proses degumming selama 30 menit. Setelah

itu dilakukan analisis bilangan asam, bilangan penyabunan, dan kromatografi gas-

spektrofotometri massa.

3.2.4 Esterifikasi

Esterifikasi minyak nyamplung dilakukan dengan menggunakan metanol dan

katalis asam sulfat pekat. Pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan variasi

rasio mol minyak terhadap mol metanol (1:3; 1:6; 1:9; 1:12) dan rasio katalis asam

sulfat pekat terhadap minyak 1% (b/b). Metanol terlebih dahulu direaksikan dengan

katalis asam sulfat pekat. Campuran metanol dan katalis ditambahkan ke dalam

minyak nyamplung hasil oksidasi, kemudian direaksikan dalam sonikator dengan

28

Keterangan Gambar :

1. Statif

2. Termometer

3. Labu erlenmeyer berisi minyak nyamplung,

asam fosfat dan air

4. Hot plate dan magnetic stirrer

1

2

3

4

Page 29: bab1-5

frekuensi 35 kHz dan dibantu dengan homogenizer. Variasi waktu reaksi yang

digunakan adalah 15, 30, dan 60 menit.

Setelah hasil esterifikasi didinginkan, campuran dipindahkan ke dalam corong

pisah dan dicuci dengan air suling yang telah dipanaskan hingga suhu 70oC.

Pencucian dilakukan hingga air hasil pencucian memiliki pH netral. Fase organik

dipindahkan ke dalam gelas kimia kemudian ditambahkan dengan natrium sulfat serta

didiamkan selama 20 menit. Setelah itu, fase organik disaring dengan kertas saring.

Bilangan asam minyak hasil esterifikasi kemudian dianalisis.

3.2.5 Transesterifikasi

Pada tahap ini, fase organik yang dihasilkan dari reaksi esterifikasi dilakukan

proses selanjutnya yang merupakan tahap akhir untuk menghasilkan biodiesel. Reaksi

transesterifikasi melibatkan penggunaan metanol dan katalis basa. Katalis basa yang

digunakan pada penelitian ini adalah kalium hidroksida dengan rasio katalis terhadap

minyak yaitu 1% (b/b), sedangkan rasio mol minyak terhadap metanol yang

digunakan yaitu 1:12. Metanol terlebih dahulu direaksikan dengan katalis kalium

hidroksida. Campuran metanol dan katalis ditambahkan ke dalam fase organik hasil

esterifikasi, kemudian direaksikan dalam sonikator frekuensi 35 kHz dengan bantuan

homogenizer dan digunakan variasi waktu 30, 60, 90 dan 60 menit.

Setelah itu campuran dipindahkan ke dalam corong pisah dan terbentuk 2 fase

yaitu fase atas yang merupakan metil ester (biodiesel) dan fase bawah yang

merupakan gliserol. Kedua fase tersebut kemudian dipisahkan. Fase atas dicuci

dengan air suling yang telah dipanaskan hingga suhu 70oC. Pencucian dilakukan

29

Page 30: bab1-5

hingga air hasil pencucian memiliki pH netral. Berikut rangkaian alat transesterifikasi

maupun esterifikasi.

Gambar 3.2 Rangkaian Alat Esterifikasi dan Transesterifikasi

3.2.6 Analisis Biodiesel

Analisis yang dilakukan terhadap minyak nyamplung meliputi bilangan asam,

densitas, viskositas, titik nyala, bilangan iod, bilangan penyabunan, dan gas

kromatografi gas-spektrofotometri massa. Metode analisis selengkapnya dapat dilihat

pada Lampiran 1.

30

1

3

2

4

Keterangan Gambar :

1. Homogenizer

2. Gelas kimia berisi minyak, katalis, dan

metanol

3. Sonikator

Page 31: bab1-5

Fase air Fase organik

EsterifikasiBerat katalis asam sulfat terhadap minyak 1% (b/b), variasi rasio mol minyak terhadap metanol (1:3; 1:6; 1:9; 1:12), frekuensi sonikator 35 kHz, variasi waktu reaksi 15,30, dan 60 menit)

Air Biodiesel murni

GliserolBiodiesel Kotor

Pencucian dengan air 70oC

Analisis

TransesterifikasiBerat katalis kalium hidroksida terhadap minyak 1% (b/b), rasio mol minyak terhadap metanol 1:12, frekuensi sonikator 35 kHz, variasi waktu reaksi ( 30, 60, 90, dan 120 menit)

Degumming

Analisis

Minyak Nyamplung Kotor

Oksidasi dengan Ozon

3.2.7 Bagan Alir penelitian

31Gambar 3.3 Bagan Alir Penelitian

Page 32: bab1-5

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Degumming

Minyak nyamplung tidak hanya mengandung asam lemak bebas dan

trigliserida yang dapat dikonversi menjadi biodiesel tetapi minyak nyamplung juga

mengandung zat-zat yang terdiri dari gum (yang terbawa pada proses pengepresan

minyak), fosfolipid, protein, karbohidrat, residu, air dan pengotor yang tidak

diinginkan. Fosfolipid atau fosfatida adalah suatu gliserida yang mengandung fosfor

dalam bentuk ester asam fosfat sehingga fosfolipid merupakan suatu fosfogliserida.

Kandungan fosfolipid pada penggunaan bahan bakar dapat menyebabkan

kerusakan pada mesin yang diakibatkan oleh proses pembakaran yang tidak

sempurna. Selain itu fosfolipid bersifat ampifatik yaitu memiliki gugus hidrofilik

pada kepala yang bersifat polar dan ekor hidrofobik yang bersifat non polar sehingga

fosfolipid dapat berikatan dengan minyak dan air. Oleh karena itu adanya fosfolipid

dapat mengganggu proses pemisahan biodiesel dengan air terutama pada saat

pencucian karena fosfolipid dapat bertindak sebagai emulsifier.

Selain fosfolipid keberadaan zat-zat lain dan pengotor yang ada di dalam

minyak akan mengganggu proses pembuatan biodiesel baik itu dalam reaksi

esterifikasi dan transesterifikasi maupun dalam proses analisis. Untuk memperoleh

minyak nyamplung murni maka zat-zat yang tidak diinginkan tersebut harus

dihilangkan dengan proses degumming yaitu dengan menambahkan asam fosfat pada

32

Page 33: bab1-5

suhu 75oC. Penggunaan asam fosfat dan pemanasan dimaksudkan untuk

menghidrolisis fosfolipid tersebut sehingga menghasilkan komponen unit

penyusunnya.

Gambar 4.1 Reaksi Fosfolipid dan Asam Fosfat

Pada saat proses degumming terjadi penggumpalan zat-zat terlarut atau

koloidal yang terdapat dalam minyak sehingga dapat dipisahkan dari minyak.

Pemisahan ini dilakukan dengan melakukan sentrifugasi sehingga terjadi pemisahan

berdasarkan berat jenis yang terlihat dari terbentuknya endapan setelah dilakukan

sentrifugasi. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa terjadi perubahan warna dari

warna hijau kehitaman menjadi kuning kemerahan setelah melalui tahap degumming.

Hal ini disebabkan pigmen warna dominan pada minyak yaitu klorofil mengalami

kerusakan saat proses, digantikan dengan pigmen karotenoid yang berwarna kuning

kemerahan.

4.2 Analisis Awal Minyak Nyamplung

Pada penelitian ini minyak nyamplung hasil degumming dianalisis terlebih

dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sifat awal minyak nyamplung yang

33

CH2OCOR’

CHOCOR’’

CH2O PO2 O(CH2)2N+(CH3)3

+ O=P

OH

OH

OH

CH2OH

CHOH

CH2OH PO2

+ O=P

OCOR’

O

OCOR’’

Fosfolipid Asam fosfat Gliserol Residu gum

Page 34: bab1-5

akan digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Kandungan minyak nyamplung

dianalisis menggunakan kromatografi gas-spektroskopi massa. Gambar 4.2

merupakan kromatogram dari hasil analisis minyak nyamplung.

Gambar 4.2 Kromatogram minyak nyamplung hasil degumming

Kromatogram menunjukkan adanya lima puncak. Puncak-puncak tersebut

merupakan komponen-komponen yang terkandung di dalam minyak nyamplung.

Waktu retensi yang dihasilkan setiap puncak dibandingkan dengan waktu retensi

34

Page 35: bab1-5

asam lemak standar sehingga dihasilkan dugaan komponen minyak nyamplung

seperti yang disajikan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Kandungan minyak nyamplung berdasarkan hasil kromatografi

gas-spektroskopi massa.

No. PuncakWaktu retensi /

menitLuas area / %

Dugaan Senyawa

1 26,07 23,35 C 13:0

2 29,57 20,28 C 18:2

3 29,69 40,18 C 18:1

4 30,08 16,19 C 16:0

Dari Tabel 4.1 diketahui bahwa kandungan asam lemak bebas terbanyak dari

minyak nyamplung yang digunakan pada penelitian ini adalah asam oleat ( C 18:0).

Selain itu analisis sifat fisika dan kimia minyak nyamplung yang dilakukan juga

meliputi bilangan asam, bilangan penyabunan, bilangan iod, densitas, dan viskositas.

Hasil analisis terhadap karakteristik minyak nyamplung dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil Analisis Minyak Nyamplung

Parameter Satuan Hasil

Bilangan Asam mg KOH/g minyak 23,22

Bilangan Iod mg iod/g minyak 76,05

Bilangan penyabunan mg KOH/g minyak 112,85

Densitas pada suhu 40oC g/ml 0,9249

Viskositas kinematik 40oC cSt 25,99

35

Page 36: bab1-5

Dari hasil analisis minyak nyamplung yang digunakan pada penelitian ini

memiliki bilangan asam yang cukup tinggi yaitu 23,22 mg KOH/g minyak (11.67%).

Bilangan asam menunjukkan jumlah asam lemak bebas serta dihitung berdasarkan

berat molekul dari asam lemak atau campuran asam lemak. Bilangan asam

dinyatakan sebagai jumlah milligram kalium hidroksida yang digunakan untuk

menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam 1gram lemak minyak atau lemak.

Tingginya nilai bilangan asam dapat dikarenakan penanganan dan kondisi

penyimpanan minyak yang kurat tepat. Selain itu menurut Berchmans and Hirata,

2008 penyimpanan minyak pada udara terbuka dan terkena sinar matahari dalam

waktu yang lama akan menyebabkan konsentrasi asam lemak bebas meningkat secara

signifikan.

Bilangan penyabunan minyak nyamplung adalah 112,85 mg KOH/g minyak.

Bilangan penyabunan ialah jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menyabunkan

sejumlah contoh minyak.

Gambar 4.3 Reaksi penyabunan

Besarnya bilangan penyabunan tergantung dari berat molekul. Minyak yang

memiliki berat molekul rendah akan memiliki bilangan penyabunan yang lebih tinggi

dibandingkan daripada minyak yang mempunyai berat molekul tinggi.

36

H2C

HC

H2C

O C

O =

R

O C

O =

R

O C

O =

R

+ 3 KOH O C

O =

R K3 +

CH2OH

CHOH

CH2OH

Minyak GliserolSabun

Page 37: bab1-5

Bilangan iod dinyatakan sebagai jumlah gram iod yang diserap oleh 100 gram

minyak atau lemak (Ketaren,2005). Asam lemak yang tidak jenuh dalam minyak dan

lemak mampu menyerap sejumlah iod dan membentuk senyawa yan jenuh. Besarnya

jumlah iod yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau ikatan tidak

jenuh.

Dari hasil analisis minyak nyamplung diketahui bahwa viskositas kinematik

minyak nyamplung yang digunakan pada penelitian ini adalah 25,99 cSt. Nilai ini

masih cukup tinggi apabila minyak nyamplung digunakan langsung sebagai bahan

bakar. Maka dari itu minyak nyamplung harus diproses terlebih dahulu menjadi alkil

ester (biodiesel) karena minyak nabati yang mempunyai viskositas tinggi tidak

diinginkan dalam bahan bakar. Viskositas bahan bakar yang tinggi mengakibatkan

daya atomisasi rendah dan akumulasi bahan bakar dalam minyak pelumas (Foglia et

al., 1996) sehingga akan menghasilkan pembakaran yang kurang sempurna yang

dapat mengakibatkan terbentuknya deposit dalam ruang bakar.

Densitas merupakan massa per unit volume suatu bahan pada suhu tertentu.

Densitas minyak nyamplung pada penelitian ini sebesar 0,9249 g/mL. Densitas

minyak sangat berpengaruh terhadap viskositas kinematik yang diperoleh. Maka dari

itu untuk menurunkan densitas dan viskositas minyak nyamplung agar dapat

digunakan sebagai bahan bakar yang setara dengan petrodiesel, pada penelitian ini

dilakukan oksidasi terhadap minyak nyamplung sebelum melalui proses esterifikasi

dan transesterifikasi.

37

Page 38: bab1-5

4.3 Ozonolisis Minyak Nyamplung

Pada penelitian ini dilakukan oksidasi untuk meningkatkan kualitas biodiesel

yang dihasilkan sehingga dapat disetarakan dengan petrodiesel. Ozon digunakan

sebagai oksidator karena ozon merupakan salah satu zat pengoksidasi yang sangat

kuat.

Minyak nyamplung dianalisis kembali untuk mengetahui karakteristik minyak

setelah melalui tahap ozonolisis. Dari hasil analisis diketahui bahwa karakteristik

minyak nyamplung mengalami perubahan dari karakteristik minyak nyamplung awal

yang ditunjukkan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Karakteristik Minyak Nyamplung Hasil Ozonolisis

Parameter Satuan Hasil

Bilangan Asam mg KOH/g minyak 25,56

Bilangan Iod mg iod/g minyak 75,56

Bilangan penyabunan mg KOH/g minyak 149,35

Densitas pada suhu 40oC g/ml 0,8956

Viskositas kinematik 40oC mm2/s 25,42

Bilangan asam yang diperoleh dari minyak nyamplung hasil oksidasi sebesar

25,56 mg KOH/g minyak (12.84%). Nilai bilangan asam yang diperoleh lebih besar

apabila dibandingkan dengan minyak nyamplung hasil degumming yaitu 23,22 mg

KOH/g minyak (11.67%). Adanya peningkatan bilangan asam ini menunjukkan

bahwa telah terjadi pemutusan ikatan rangkap yang menghasilkan asam lemak bebas

yang memiliki rantai karbon lebih pendek. Pemutusan ikatan rangkap juga

38

Page 39: bab1-5

ditunjukkan pula dengan menurunnya bilangan iod serta meningkatnya bilangan

penyabunan. Bilangan penyabunan meningkat dikarenakan bertambahnya molekul

yang tersabunkan oleh kalium hidroksida.

Perubahan karakteristik minyak nyamplung hasil ozonolisis menunjukkan

bahwa proses oksidasi yang dilakukan terhadap minyak nyamplung hasil degumming

dapat dikatakan berhasil. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya perubahan pada

kromatogram hasil analisis menggunakan kromatografi gas-spektroskopi massa.

Gambar 4.3Kromatogram minyak nyamplung hasil ozonolisis

39

Page 40: bab1-5

Tabel 4.4 Kandungan minyak nyamplung berdasarkan hasil kromatografi

gas-spektroskopi massa.

No. PuncakWaktu retensi /

menitLuas area / % Dugaan Senyawa

1 26,09 15,75 C 13:0

2 29,78 55,95 C 18:1

3 30,14 17,72 C 16:0

4 34,13 10,58 C 17:0

Dari Tabel 4.4 diketahui bahwa telah terjadi perubahan komponen asam

lemak pada minyak nyamplung yaitu adanya asam lemak C 17:0. Asam lemak ini

dapat diperoleh dari hasil pemutusan ikatan rangkap pada C 18:2 yang puncaknya

tidak ditemukan kembali pada kromatogram minyak nyamplung hasil ozonolisis

berdasarkan hasil kromatografi gas-spektroskopi massa.

Minyak nyamplung pada penelitian ini tidak dapat digunakan secara langsung

sebagai bahan-baku dalam reaksi transesterifikasi karena tingginya bilangan asam

yang diperoleh baik sebelum dilakukan oksidasi maupun setelah dilakukan oksidasi

menunjukkan bahwa terdapat asam lemak bebas dalam jumlah yang banyak didalam

minyak nyamplung yang digunakan dalam penelitian ini harus melalui tahap

esterifikasi terlebih dahulu.

40

Page 41: bab1-5

4.4 Esterifikasi

Esterifikasi dilakukan untuk menurunkan kandungan asam lemak bebas pada

minyak nyamplung yang tinggi karena menurut Canacki et al (1999) dan Ramadhas

et al., (2005) minyak berkandungan asam lemak tinggi (FFA>2%) tidak sesuai

digunakan untuk bahan baku pada reaksi transesterifikasi. Minyak yang digunakan

sebagai bahan baku biodiesel harus memiliki kadar asam lemak bebas yang rendah

(Heyne, 1987). Hal ini didasarkan oleh apabila minyak yang memiliki kadar asam

lemak bebas tinggi digunakan sebagai bahan baku pada reaksi transesterifikasi yang

berkatalis basa maka asam lemak akan bereaksi dengan katalis membentuk sabun

melalui reaksi penyabunan, sehingga efektifitas katalis akan menurun karena

sebagian katalis bereaksi dengan asam lemak dan dengan kondisi tersebut akan

menurunkan persentase perolehan ester dan mempersulit proses pemisahan.

Pada penelitian ini digunakan variasi rasio mol metanol terhadap minyak

nyamplung karena rasio mol metanol terhadap minyak merupakan salah satu variabel

penting yang mempengaruhi penurunan konsentrasi asam lemak bebas pada minyak

nyamplung. Variasi rasio mol metanol yang digunakan yairu 1:3; 1:6; 1:9; dan 1:12.

Selain itu berkurangnya kandungan asam lemak bebas pada minyak

nyamplung tergantung pula pada waktu reaksi. Walaupun parameter lain berperan

penting pada berkurangnya kandungan asam lemak bebas, waktu reaksi esterifikasi

juga memliki pengaruh yang besar pada kandungan akhir asam lemak bebas sehingga

pada penelitian ini digunakan variasi waktu esterifikasi yaitu 15 menit, 30 menit, dan

41

Page 42: bab1-5

60 menit. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kondisi optimal dari reaksi esterifikasi

yang dapat menghasilkan bilangan asam yang rendah.

Pada penelitian ini tidak dilakukan pemanasan pada suhu tertentu. Hal ini

dikarenakan gelombang ultrasonik yang digunakan akan menghasilkan panas pada

reaksi sehingga apabila pada saat reaksi deberikan tambahan panas dapat

menyebabkan metanol yang digunakan menguap karena metanol memiliki titik didih

yang cukup rendah yaitu 67oC.

Selain itu hal yang tak kalah penting untuk diperhatikan pada reaksi

esterifikasi adalah pada saat pemisahan fase air dan fase organik. Apabila masih

terdapat air dalam jumlah besar dikhawatirkan akan terjadi reaksi balik, sehingga

asam lemak bebas tidak terkonversi dengan sempurna.

Adapun pengaruh waktu reaksi dan rasio mol metanol terhadap bilangan asam

hasil esterifikasi pada penelitian ini diperlihatkan pada Gambar 4.4.

0 10 20 30 40 50 60 700

2

4

6

8

10

12

Rasio mol 1:3Rasio mol 1:6Rasio mol 1:9Rasio mol 1:12

Waktu esterifikasi (menit)

Bila

ngan

asa

m (m

g KO

H/g

min

yak)

Gambar 4.4 Pengaruh waktu esterifikasi dan rasio mol metanol : minyak

terhadap bilangan asam

42

Page 43: bab1-5

Dari Gambar 4.4 hasil penelitian yang diperoleh menunjukan konsentrasi

asam lemak bebas menurun dengan bertambahnya mol metanol yang direaksikan

dengan minyak pada saat esterifikasi. Begitu pula terhadap waktu esterifikasi yang

menunjukkan bilangan asam semakin menurun dengan bertambahnya waktu

esterifikasi. Namun dari hasil penelitian terdapat penyimpangan pada rasio mol

metanol 3:1 terhadap minyak terjadi kenaikan bilangan asam dengan bertambahnya

waktu reaksi yaitu pada waktu 30 menit. Hal ini terjadi pula pada rasio mol metanol

6:1 terhadap minyak dengan waktu 30 menit dan pada rasio mol metanol 9:1 dengan

waktu 60 menit. Penyimpangan ini dapat disebabkan oleh kurang sempurnanya reaksi

yang terjadi dan adanya pengaruh air yang dihasilkan selama esterifikasi yang dapat

menggeser kesetimbangan ke arah reaktan sehingga metil ester yang dihasilkan

berkurang dan bilangan asam meningkat kembali.

Dari penelitian ini diperoleh kondisi optimal reaksi esterifikasi untuk

menurunkan kandungan asam lemak bebas pada minyak nyamplung yaitu dengan

rasio mol minyak terhadap metanol 1:12 dalam waktu 60 menit dengan bilangan

asam 4,76 mg KOH/g minyak (2.39%). Bilangan asam yang diperoleh masih cukup

tinggi apabila dibandingkan dengan standar yang dikemukan oleh Canacki et al

(1999) dan Ramadhas et al., (2005) yaitu <2%. Namun apabila dibandingkan dengan

kandungan asam lemak bebas setelah oksidasi yaitu 25,56 mg KOH/g minyak

(12.84%). Penurunan bilangan asam yang sangat signifikan. Sehingga dengan

menggunakan kondisi optimal yang diperoleh, minyak nyamplung hasil esterifikasi

dapat dilanjutkan ke tahap transesterifikasi.

43

Page 44: bab1-5

4.5 Transesterifikasi

Minyak nyamplung yang telah memiliki kandungan asam lemak bebas yang

rendah setelah melalui proses esterifikasi kemudian dilanjutkan dengan proses

berikutnya yaitu transesterifikasi. Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi yang

mengubah suatu bentuk ester yaitu trigliserida ke dalam bentuk ester lain yaitu alkil

ester. Alkil ester yang terbentuk pada penelitian ini berupa metil ester karena alkohol

yang digunakan dalam reaksi adalah metanol. Pemilihan metanol pada penelitian ini

dikarenakan metanol bersifat lebih reaktif dibandingkan dengan alkohol jenis lain.

Selain itu penggunaan metanol juga lebih ekonomis dibandingkan dengan alkohol

lain. Akan tetapi metanol memiliki sifat racun sehingga pada saat reaksi harus

berhati-hati.

Pada proses transesterifikasi bisa menggunakan katalis asam atau basa, namun

katalis yang paling banyak digunakan untuk memproduksi biodiesel adalah katalis

basa. Transesterifikasi dengan katalis basa berlangsung lebih cepat, kurang bersifat

korosif, hanya memerlukan suhu dan tekanan rendah dibandingkan reaksi dengan

penggunaan katalis asam, sehingga katalis basa lebih banyak digunakan dalam

pembuatan biodiesel. Namun, penggunaan katalis basa memiliki kelemahan antara

lain kesukaran diperoleh kembali gliserol (Shah et al., 2004).

Sama halnya dengan proses esterifikasi, pada proses transesterifikasi juga perlu

dilakukan penentuan kondisi optimum dari reaksi untuk memperoleh hasil yang

maksimal. Pada penelitian ini dilakukan proses transeterifikasi dengan variasi waktu

yaitu 30 menit, 60 menit, dan 90 menit. Adanya variasi waktu reaksi dimaksudkan

44

Page 45: bab1-5

untuk memperoleh waktu optimal reaksi transesterifikasi yang dapat menghasilkan

biodiesel dengan persentase rendemen yang terbesar dan memiliki sifat yang

menyerupai petrodiesel. Adapun rendemen biodiesel yang diperoleh pada penelitian

ini disajikan pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Rendemen biodiesel

Waktu transesterifikasi % rendemen

30 menit 80,78 %

60 menit 78,29 %

90 menit 83,51 %

4.6 Analisis Biodiesel

Biodiesel yang dihasilkan melalui tahap transesterifikasi dilakukan analisis sifat

fisika dan kimia terhadap biodiesel meliputi bilangan asam, densitas, viskositas,

bilangan iod, titik nyala.

Adapun hasil analisis yang diperoleh dari penelitian ditunjukkan pada Tabel 4.6

Tabel 4.6 Karakteristik Biodiesel

Parameter SatuanWaktu reaksi

SNIStandar

Petrodiesel*30 menit 60 menit 90 menitBilangan asam

mg KOH/g minyak

0,4382 0,4086 0,3162 Maks. 0,8 -

Bilangan Iodmg iod/g minyak

67,85 71,97 45,073Maks. 115

-

Densitas g/ml 0,8824 0,8898 0,8804 0,85-0,89 0,875Viskositas mm2/s 4,99 5,87 5,04 1,9-6,0 4,6Titik Nyala oC 128 114 113 Min. 100 98

*sumber (Mittelbach & Remschmidt, 2004).

45

Page 46: bab1-5

Dari Tabel 4.6 menunjukkan bahwa dari ketiga variasi waktu transesterifikasi,

bilangan asam dari biodiesel telah memenuhi standar biodiesel Indonesia. Bilangan

asam merupakan parameter yang sangat penting dilakukan dalam analisis biodiesel.

Karena apabila biodiesel memiliki bilangan asam yang tinggi maka kandungan asam

lemak bebas dalam biodiesel tinggi, hal ini dapat menyebabkan terjadinya korosi

pada mesin.

Bilangan iod mengalami penurunan dibandingkan dengan bilangan iod pada

minyak nyamplung dikarenakan telah terjadinya penurunan jumlah ikatan rangkap.

Pada penelitian ini biodiesel yang dihasilkan memiliki bilangan iod 45,07 mg iod/g

minyak sehingga memenuhi standar biodiesel Indonesia (maksimal 115 mg iod/g

minyak).

Besarnya densitas menunjukkan komposisi yang terdapat dalam biodiesel.

Densitas biodiesel yang dihasilkan menurun bila dibandingkan dengan densitas

minyak nyamplung. Namun pada waktu reaksi 60 menit densitas yang dihasilkan

lebih tinggi hal ini dikarenakan masih terdapat minyak nyamplung yang belum

terkonversi menjadi biodiesel.

Viskositas yang dihasilkan telah mengalami penurunan jika dibanidngkan

dengan viskositas minyak nyamplung. Viskositas berpengaruh pada kerja bahan

bakar dalam mesin. Viskositas yang terlalu rendah akan menimbulkan kebocoran

pada pipa injeksi, menyulitkan penyebaran bahan bakar sehingga minyak tidak akan

segera terbakar menghasilkan asap yang kotor karena kelambatan aliran, dan akan

46

Page 47: bab1-5

sulit mengalami atomisasi. Sedangkan viskositas yang terlalu tinggi akan

menyebabkan tekanan yang cukup besar agar biodiesel dapat dibakar.

Titik nyala merupakan salah satu parameter yang penting pada biodiesel. Titik

nyala berhubungan dengan keamanan dalam penyimpanan biodiesel. Semakin tinggi

titik nyala maka biodiesel semakin aman karena biodiesel tersebut tidak mudah

terbakar. Namun apabila titik nyala terlalu tinggi kurang baik dalam dalam mesin.

Dengan titik nyala yang terlalu tinggi maka proses yang terjadi di dalam mesin akan

lebih lama. Selain itu biodiesel diharapkan dapat menggantikan petrodiesel sebagai

bahan bakar dari mesin-mesin diesel yang saat ini banyak digunakan sehingga sifat

fisika dan kimia biodiesel harus mendekati sifat fisika dan kimia petrodiesel. Pada

penelitian ini biodiesel yang memiliki titik nyala mendekati titik nyala petrodiesel

(98oC) adalah biodiesel dengan waktu transesterifikasi 90 menit yaitu 113oC.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa kondisi optimum untuk menghasilkan

biodiesel dengan sifat fisika dan kimia yang mendekati sifat fisika dan kimia

petrodiesel adalah pada waktu transesterifikasi 90 menit. Hal ini dikarenakan

densitas, viskositas serta titik nyala yang dimiliki lebih mendekati petrodiesel

dibandingkan dengan biodiesel pada waktu reaksi 30 dan 60 menit. Biodiesel dengan

kondisi optimum kemudian dianalisis kandungannya menggunakan KG-SM dengan

kromatogram yang disajikan pada Gambar 4.5.

47

Page 48: bab1-5

Gambar 4.5 Kromatogram biodiesel

Kromatogram menunjukkan adanya empat puncak. Puncak-puncak tersebut

merupakan komponen-komponen yang terkandung di dalam minyak nyamplung.

Adapun dugaan senyawa yang terkandung di dalam biodiesel adalah sebagai berikut.

48

Page 49: bab1-5

Tabel 4.6 Kandungan biodiesel berdasarkan hasil kromatografi gas-spektroskopi massa.

No. PuncakWaktu retensi /

menitLuas area / % Dugaan Senyawa

1 26,16 22,04 C 13:0

2 29,88 52,30 C 18:1

3 30,22 23,56 C 16:0

4 34,13 2,10 C 17:0

Dari Tabel 4.6 diduga senyawa terbanyak yang terdapat di dalam biodiesel

adalah C 18:1 yaitu metil oleat. Hal ini sesuai dengan kandungan pada minyak

nyamplung awal.

Secara umum berdasarkan lima parameter yang dianalisis meliputi bilangan

asam, densitas, viskositas, bilangan iod, titik nyala maka biodiesel yang dihasilkan

pada penelitian ini memenuhi SNI 04-7182-2006. Hal ini menunjukkan bahwa

dengan penggunaan gelombang ultrasonik 35kHz pada reaksi dapat menghasilkan

biodiesel yang memenuhi standar hanya dengan waktu 30 menit. Akan tetapi untuk

mendapatkan biodiesel yang memiliki sifat fisika dan kimia yang menyerupai

petrodiesel maka proses reaksi transesterifikasi selama 90 menit adalah yang paling

mendekati.

49

Page 50: bab1-5

BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil kromatografi gas-spektroskopi massa, hasil ozonolisis minyak

nyamplung selama 30 menit dapat memotong ikatan rangkap tetapi belum

optimal.

2. Waktu reaksi ultrasonifikasi optimum yang menghasilkan biodiesel dengan sifat

fisika dan kimia yang paling mendekati petrodiesel adalah 90 menit.

3. Biodiesel yang dihasilkan pada variasi waktu 30, 60, dan 90 menit dengan

menggunakan gelombang ultrasonik berdasarkan lima parameter yang dianalisis

telah memenuhi standar biodiesel Indonesia.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan ozonolisis menggunakan gelombang ultrasonik agar proses

oksidasi dapat berlangsung dengan optimal.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan berupa penentuan rasio mol metanol terhadap

minyak yang optimum sehingga dapat menghasilkan biodiesel dengan perolehan

yang tinggi.

2. Perlu dilakukan penelitian menggunakan frekuensi gelombang ultrasonik yang

lebih tinggi agar biodiesel yang dihasilkan lebih maksimal.

50

Page 51: bab1-5

DAFTAR PUSTAKA

51