bab vii agroforestry - sertifikasi guru rayon unssertifikasi.fkip.uns.ac.id/file_public/2017/modul...
TRANSCRIPT
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017
MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN
TEKNIK REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN
BAB VII
AGROFORESTRY
DR RINA MARINA MASRI, MP
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2017
1
BAB VII
AGROFORESTRY
Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah
seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan
bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan
dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversikan menjadi lahan usaha lain. Tekanan
pada konservasi lingkungan fisik tersebut sesuai dengan sejarah awal mula munculnya konsep
agroforestry, yang dirintis oleh tim dari Canadian InternationaI Development Centre.
Tim ini bertugas untuk mengindentifikasi prioritas-prioritas pembangunan di bidang
kehutanan di negara-negara berkembang pada tahun 1970-an dan melaporkan bahwa hutan-
hutan di negara tersebut belum cukup dimanfaatkan. Penelitian yang dilakukan di bidang
kehutanan pun sebagian besar hanya ditujukan kepada dua aspek produksi kayu, yaitu
eksploitasi secara selektif di hutan alam dan tanaman hutan secara terbatas. Selanjutnya tim
merekomendasikan perlunya pencegahan perusakan lingkungan secara sungguh-sungguh,
dengan cara pengelolaan lahan yang dapat mengkonservasi lingkungan fisik secara efektif,
tetapi sekaligus dapat memenuhi tuntutan keperluan pangan, papan dan sandang bagi
manusia. (https://irwanto.info/files/agroforestri_irwanto.pdf).
Gambar. Alih Fungsi Hutan Menjadi Lahan Pertanian (Sumber : https://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwi_mdHl--7SAhWKLY8KHXVYDwYQjRwIBw&url=http%3A%2F%2Fwww.antaranews.com%2Fberita%2F499795%2Falih-fungsi lahan-pertanian-picu-timbulnya bencana &psig= AFQjCN GEEmkzXJ7 _A9913Zm 5wXUCgw 0Lfw&ust= 1490 43885
2540685)
2
Pengertian Agroforestry
King dan Chandler (1978) mengemukakan bahwa agroforestry adalah suatu “sistem
pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara
keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohon-
pohonan) dengan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada
suatu unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan
kebudayaan penduduk setempat.
Agroforestry dikenal dengan istilah wanatani atau agroforestri yang arti sederhananya
adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Agroforestri adalah salah satu sistem
pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul
akibat adanya alih fungsi lahan dan sekaligus untuk mengatasi masalah ketersediaan pangan.
Agroforestri diharapkan bermanfaat selain untuk mencegah perluasan tanah terdegradasi,
melestarikan sumberdaya hutan, meningkatkan mutu pertanian serta menyempurnakan
intensifikasi dan diversifikasi silvikultur. Sistem ini telah dipraktekan oleh petani di berbagai
tempat di Indonesia selama berabad-abad. Menurut De Foresta dan Michon (1997),
agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan
sistem agroforestri kompleks. (https://irwanto.info/files/agroforestri irwanto.pdf).
Gambar. Sistem Penggunaan Lahan (Sumber : http://2.bp.blogspot.com/-iZNcGykR0Vc/UslC br2qNI/AAAAAAAAEJc /GpLMpmgLsJg /s1600 /1.jpg)
3
Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian dimana pepohonan
ditanam secara tumpang-sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa
ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak
lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk
lorong/pagar. Jenis-jenis pohon yang ditanam juga sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi
tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, melinjo, petai, jati dan
mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis
tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu padi (gogo), jagung, kedelai,
kacang-kacangan, ubi kayu, sayur-sayuran dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya.
(https://irwanto.info /files/agroforestri_irwanto.pdf).
Gambar. Sistem Agroforestry Sederhana (Sumber : http://3.bp.blogspot.com/-jphCMo_EczU/ UltaHr1_rdI /AAAAAAAADiE /AQrcmNYzmP8/ s400/
agroforestry +di+indonesia.jpg)
Sistem agroforestri kompleks merupakan perkembangan agroforestri sederhana, meski
kebanyakan pola wanatani sederhana yang telah mantap tidak selalu bertumbuh terus menjadi
sistem yang lebih rumit. Selain ditentukan oleh kepadatan penduduk dan sebagai
konsekuensinya keterbatasan lahan, tidak berkembangnya wanatani sederhana menjadi
kompleks kemungkinan besar juga ditentukan oleh iklim dan kondisi tanah setempat. Budaya
wanatani kompleks sejauh ini berkembang di daerah-daerah yang semula merupakan hutan
hujan tropika yang memiliki struktur mirip.
4
Sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan
banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh
secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem
menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman
perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah besar. Ciri
utama dari sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya
yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh
karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai Agroforestri (Icraf dalam Hairiah et al. 2003).
(https://irwanto.info/files/agroforestri_irwanto.pdf).
Gambar. Sistem Agroforestry Kompleks (Sumber : http://4.bp.blogspot.com/-OimyzOnq8c0/UWonUS4YXKI/AAAAAAAACcY/1AxRlNhlUE/s1600/41.JPG)
Hampir selalu, agroforestri kompleks berawal dari ladang yang diperkaya. Sistem
perladangan biasanya dimulai dengan membuka hutan primer atau hutan sekunder, menebangi
dan membakar kayu-kayunya, dan menanaminya dengan tanaman pangan atau sayur mayur
selama satu atau dua daur. Setelah itu ladang diperkaya dengan tanaman keras seperti kopi
atau kakao, atau rotan, yang hasilnya dapat dipanen antara tahun ke-5 sampai ke-15; atau
dibiarkan meliar sebagai lahan bera dan kemudian menjadi hutan belukar kembali. Kelak, hutan
belukar akan dibuka kembali sebagai ladang apabila dirasa kesuburan tanahnya telah dapat
dipulihkan. Dalam kasus wanatani kompleks, ladang yang telah diperkaya tidak kemudian
dibiarkan meliar menjadi belukar, melainkan diperkaya lebih lanjut dengan jenis-jenis pohon
yang menghasilkan. Seperti misalnya pohon-pohon penghasil buah (durian, duku, cempedak,
5
petai, dll.), getah (damar matakucing, karet, kemenyan, rambung), kayu-kayuan atau kayu
bakar, dan lain-lain. Setelah berselang belasan tahun, ladang ini telah berubah menjadi hutan
buatan yang menghasilkan aneka jenis produk, yang mampu bertahan hingga berpuluh-puluh
tahun ke depan.
Gambar. Tumpukan buah keluwek (Pangium edule), hasil wanatani kompleks di Lolong, Karanganyar, Pekalongan
Menurut Kartasubrata (1991), dipandang dari segi ekologi dan ekonomi, “sistem
agroforestry” lebih kompleks daripada sistem monokultur. Produksi dari suatu sistem
agroforestry selalu beraneka ragam, yang satu dengan lainnya saling bergantung. Complex
agroforestry systems atau wanatani sejati merupakan perpaduan rumit pelbagai unsur
wanatani di atas, yang pada gilirannya juga memberikan aneka hasil atau manfaat pada rentang
waktu dan interaksi yang tidak terbatas. Pada akhirnya, wanatani ini memiliki struktur dan
dinamika ekosistem yang mirip dengan hutan alam, dengan keanekaragaman jenis flora dan
fauna yang relatif tinggi.
Konsep Pembangunan Agroforestri Berkelanjutan
Agroforestry merupakan suatu istilah kolektif untuk beberapa praktek penggunan lahan
dimana tumbuhan perennial berkayu ditanam secara sengaja pada sebidang lahan bersama-
sama dengan tanaman semusim dan/atau ternak, baik dalam bentuk tatanan spasial dalam
waktu yang bersamaan ataupun secara sekuensial. Berbagai macam kombinasi pohon,
tanaman semusim, pasture, dan ter-nak dapat tergolong dalam agroforestry. Dalam
6
kebanyakan sistem agroforestry ini, pohon mempunyai peranan protektif, rejuvenatif, dan
produktif, tetapi kepentingan relatif dari peranan-peranan ini akan sangat beragam di antara
sistem-sistem yang berbeda.
Apabila dikelola dengan tepat, sistem agroforestry secara biofisik, ekonomis dan budaya
cocok untuk berbagai kondisi iklim, topografi, geologi, hidrologi, dan situasi tanah. Di daerah
yang sumberdaya lahannya relatif langka, tumbuhan pohon dan perennial berkayu lainnya
dapat dibudidayakan di lahan pertanian atau lahan gembalaan . Misalnya, tanaman pohon
dapat dimasukkan ke dalam sistem pertanaman semusim pada lembah dataran rendah yang
subur yang sangat cocok bagi pertanian intensif. Sistem penanaman pagar lapangan untuk
menjadi pagar hidup guna menangkal angin dan menghasilkan kayubakar atau hijauan pakan
(misalnya di India). Pohon telah ditanam dalam jalur-jalur lorong "(alley)" melintang lereng di
antara padi gogo dan jagung pada lahan-lahan curam untuk menyediakan mulsa, kompos,
kayubakar, dan timber kecil-kecil dan untuk mereduksi kehilangan tanah dengan jalan
perkembangan terras secara bertahap dari hasil penangkapan sedimen pada barisan
pepohonan.
Sistem seperti ini menjadi sistem yang sustainable di Cebu, Filipina. Teladan-teladan
lain tentang kultivasi simultan pohon dan tanaman semusim adalah berbagai tipe sistem
pekarangan multistory dimana berbagai perennial dan kadangkala sedikit tanaman semusim
bersama dengan pohon. Di daerah-daerah dimana densitas populasi penduduk masih relatif
rendah dan lahan relatif banyak, maka sistem agroforestry temporer dengan suatu rotasi
pohon dan tanaman semusim dapat dilakukan. Ada dua pendekatan utama yang sering
digunakan bagi pengembangan agroforestry. Pendekatan pertama terdiri atas introduksi
pohon ke dalam sistem tanaman semusim atau sistem grazing. Tujuannya seringkali adalah
untuk menstabilkan penggunaan lahan secara umum dan untuk mengendalikan erosi terutama
untuk memelihara produksi pertanian pada lahan yang secara biofisik tidak sesuai. Pendekatan
yang ke dua terdiri atas kegiatan konversi lahan berhutan menjadi sistem agroforestry sebagai
upaya untuk meningkatkan produksi komoditi komersial atau produk-produk subsisten.
Pengadopsian sistem agroforestry sebagai suatu tipe penggunaan lahan biasanya akan
diputuskan oleh individu pemilik lahan atau pengguna lahan, berdasarkan atas kelayakan sosial
7
dan strategi minimisasi resiko atau perkiraan manfaat ekonomis. Dengan demikian sistem
agroforestry harus dirancang secara khusus berdasarkan kondisi daerah setempat, dengan
memperhatikan praktek penggunaan lahan yang berlaku secara lokal, kebutuhan masyarakat
akan pa- ngan, kayu bakar, timber, dan produk lainnya; serta preferensi masyarakat setempat.
Disamping faktor-faktor ekonomi, sosial, dan politik ini, ternyata kendala biofisik yang
berhubungan dengan kapabilitas lahan dan dampak fisik seperti perubahan rejim air, erosi,
sedimentasi, dan polusi agrokimia sangat penting bagi perencana land-use. Secara ideal, faktor
terakhir ini harus dipertimbangkan secara seksama dalam setiap sistem agroforestry.
Introduksi atau retensi pohon dalam sistem pertanian semusim tidak boleh dipandang sebagai
suatu "safety net" yang general untuk melawan degradasi sumberdaya lahan. Individu pohon
atau kelompok pohon tidak dapat diharapkan memberikan pengaruh yang sama terhadap lahan
seperti ekosistem hutan yang masih utuh, terutama pengendalian erosi (Wiersum, 1984).
Kunci bagi kebaikan kualitas air dan konservasi tanah tidak terletak pada pohon itu sendiri,
melainkan pada praktek pengelolan yang dilakukan dengan baik.
Gambar. Konsep Pembangunan Agroforestri Berkelanjutan (Sumber :
https://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiq9JKJ_e7SAhVFto8KHdZCDzgQjRwIBw&url=https%3A%2F%2Fkelembagaandas.wordpress.com%2Fpengertian-kelembaga
an %2Ftony-djogo-dkk%2 F&bvm= bv.150475504, d.c2I&psig= AFQjCNHZ0UysGOQou hEdBT 7wrHTS ir0jP g&ust =1490439069955299
8
1. Seleksi dan pengembangan lokasi
Mengingat keanekaan sifat dari berbagai sistem agroforestry, maka hanya dimungkinkan
untuk melakukan generalisasi secara umum tentang kesesuaian lahannya. Kalau sistem
agroforestry dikembangkan dengan jalan introduksi ternak, tanaman semusim, atau tanaman
pohon ke dalam daerah yang berhutan, maka arahan untuk "Pembukaan Hutan dan Tebang
Pilih" harus dipertimbangkan untuk mengidentifikasikan daerah yang harus dikonversi dan
yang tidak boleh dikonversi. Arahan untuk konversi lahan hutan menjadi lahan grazing, menjadi
tanaman pohon, dan menjadi pertanian semusim harus diperhatikan secara seksama untuk
mengetahui relevansinya bagi setiap sistem agroforestry yang spesifik. Akan tetapi secara
umum perkembangan agroforestry akan dimulai bukan dengan mengkonversi lahan hutan,
tetapi dengan introduksi pohon ke dalam sistem pertanian semusim, atau dengan introduksi
pohon naungan dalam sistem pertanian pohon (misalnya kopi dan kakao).
Gambar . Sistem Agroforestry (Sumber https://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwitwrvFu7SAhWKP48KHYzfB94QjRwIBw&url=http%3A%2F%2Fwww.fao.org%2Fdocrep%2FARTICLE%2FWFC%2FXII%2F0447B5.HTM&bvm=bv.150475504,d.c2I&psig=AFQjCNHph_4wPfv5b4ikxrOLjP6NMOiYQQ&ust=1490438556838431
Secara umum, sistem agroforestry tidak boleh dipraktekkan pada lahan yang
kemiringannya lebih dari 60%. Pada lahan yang kemiringannya 60-85%, agroforestry umumnya
dapat dipraktekkan dan hanya sustainable dalam hubungannya dengan rekayasa engineering
9
konservasi tanah, dan hal ini bisa tidak layak teknis bagi infrastruktur lokal dan juga tidak layak
ekonomis. Proporsi tanaman semusim dalam sistem yang memerlukan pengolahan tanah
secara teratur akan sangat mempengaruhi erosi tanah. Kalau tanah-tanah bera berada di
bawah atau di antara pohon-pohonan, maka terras diperlukan pada lahan dengan kemiringan
kurang dari 60%. Pepohonan dapat membantu perkembangan terras-terras ini kalau ditanam
dan dikelola secara tepat sepanjang garis kontur.
Agar supaya produksi pohon dalam sistem agroforestry berhasil secara ekonomis
maka diperlukan kedalaman tanah dan kualitas tanah yang memadai. Kelompok kerja
internasional mempertimbangkan bahwa kedalaman tanah yang diperlukan paling tidak 75-100
cm. Walaupun sistem agroforestry dapat diimplementasikan pada loaksi yang telah mengalami
degradasi sehingga solum tanahnya dangkal, manfaat terutama akan berasal dari pelestarian
konservasi tanah dan perbaikan produksi tanaman semusim dan bukannya produktivitas yang
tinggi dari tanaman pohon, terutama manfaat dalam jangka pendek.
Gambar. Manfaat Agroforestry
(Sumber : http://wanahijaulestari.files.wordpress.com/2012/10/figure4.gif)
10
2. Pemilihan dan penataan pohon dan tanaman semusim
Salah satu faktor yang sangat penting dalam disain sistem agroforestry adalah pemilihan
spesies pohon dan tanaman semusim. Wiersum (1981) mengemukakan lima faktor utama yang
harus diperhatikan dalam disain sistem agroforestry, dan Mercer (1985) mengemukakan 23
kriteria yang harus diperhatikan dalam pemilihan spesies pohon. Preferensi tanaman pangan
lokal dan kondisi agroklimat umumnya akan menentukan jenis tanaman pangan yang ditanam,
sedang kan pemilihan jenis tanaman pohon lebih banyak ditentukan oleh permintaan pasar.
Dalam semua kasus ternyata kompatibilitas antara tanaman pohon dan jenis tanaman lainnya
juga sangat penting.
Tatanan spasial komponen-komponen dari sistem agroforestry merupakan salah satu
faktor penting yang mempengaruhi produktivitas, sustainabilitas, efektivitas konservasi tanah,
dan daya menejerial. Arahan khusus akan meliputi hal-hal berikut ini:
(1) Gunakan sistem jalur atau barisan secara bergantian sepanjang kontur untuk maksimisasi
stabilisasi tanah;
(2) Gunakan jenis yang memfiksasi nitrogen, untuk memperbaiki kesuburan tanah dan
menyediakan pupuk hijau;
(3) Gunakan jenis pohon yang tumbuhnya cepat untuk mendapatkan manfaat dari konservasi
tanah dan produksi;
(4) Kalau produksi kayu tidak diutamakan dari tanaman pohon, maka disarankan jarak 20 cm di
dalam barisan dan 1 meter di antara barisan rangkap pohon, dan 4 meter atau lebih di
antara pagar untuk tanaman semusim. Kalau barisan pohon digunakan sebagai "jangkar"
bagi seresah sisa pangkasan cabang dan ranting, maka pola seperti ini akan menghasilkan
perkembangan terras- terras dalam periode tiga tahun karena penjebakan material yang
tererosi dari lahan di sebelah atasnya. Jarak yang berbeda diperlukan untuk daerah
semiarid dan arid, dan laju perkembangan terras akan lebih lambat di daerah iklim kering;
(5) Untuk produksi kayu bakar dari barisan-pagar, diperlu kan jarak tanam pohon yang lebih
lebar baik dalam barisan maupun di antara barisan. Pengujian lokal mungkin diperlukan
untuk menentukan jarak tanam optimal, terutama di daerah kering. Jarak tanam
11
sepanjang barisan sebesar 50 cm hingga 2 meter mungkin akan sesuai, tergantung pada
apakah kayubakar merupakan produk yang diutamakan;
(6) Jarak tanam yang lebih lebar, hingga 4m x 4m atau 5m x 5m, dapat digunakan kalau jenis-
jenis timber atau legume ditanam secara langsung untuk pangan merupakan spesies
pohon yang utama. Bahkan di daerah kering jarak tanam perlu lebih lebar lagi.
Pengelolaan Usaha Agroforestri
Arahan penting bagi sustainabilitas dan minimisasi dampak biofisik yang bersifat negatif
meliputi:
(1) Tanaman penutup tanah yang berupa tanaman hidup atau mulsa harus dipertahankan
sepanjang tahun di area tanaman semusim di antara pohon pohon atau barisan pohon
untuk melindungi permukaan tanah daripukulan air hujan, pemadatan, limpasan
permukaan, dan erosi. Tanaman pohon sendiri tidak akan menyediakan perlindungan ini
secara otomatis; pada kenyataannya bahkan mereka dapat meningkatkan efek erosi percik
pada tanah yang kosong di bawah tajuk pohon;
(2) Bahan organik topsoil harus dipertahankan dengan memasukkan pupuk hijau dan mulsa
untuk menjaga ketersediaan unsur hara dan air serta memperbaiki laju infiltrasi tanah
(3) Pemanenan bahan organik dan hara pada saat panen harus dibatasi pada produk-produk
yang dapat dijual saja. Residu tanaman dan pemangkasan harus digunakan sebagai mulsa
atau pupuk hijau;
(4) Perakaran yang rapat dalam topsoil harus dipacu untuk mencegah kehilangan unsur hara
melalui drainase dan untuk memelihara da memperbaiki struktur tanah. Misalkan,
hindarilah pengrusakan akar pohon pada saat kultivasi tanaman semusim dan minimalkan
pemadatan topsoil akibat lalulintas manusia dan ternak. Penggunaan pupuk hijau, pupuk
kandang dan mulsa akan memperbaiki kandungan hara dan air pada topsoil, dan memacu
perkembangan akar;
(5) Pembakaran harus dihindarkan atau diminimumkan untuk mereduksi kehilangan hara;
(6) Praktek pengendalian hama secara terpadu harus dilakukan, dan penggunaan pestisida
harus diminimumkan untuk menghindari kepunahan musuh-musuh alami yang
12
bermanfaat. Penggunaan bahan agrokimia dan pengelolaan bahan-bahan limbah secara
hati-hati;
(7) Kalau ternak gembalaan dimasukkan dalam sistem agroforestry, maka ketersediaan hijauan
pakan di musim kemarau harus menjadi pertimbangan utama dalam memilih jenis ternak
dan stocking-rate, kecuali kalau tersedia sumber pakan alternatif. Overgrazing dan
pemadatan tanah yang berlebihan harus dihindarkan;
(8) Gangguan ternak terhadap tanaman pohon yang baru tumbuh harus dihindarkan ,
terutama tanaman timber;
(9) Pola lalulintas ternak harus dimanipulasi dengan menggunakan barier vegetatif atau
penghalang lainnya supaya jalan ternak yang padat tidak langsung menuruni lereng cukup
panjang atau langsung ke saluran air.
Pemilihan Spesies dan Disain Sistem
Beberapa hal pokok yang harus diperhatikan dalam menentukan pilihan spesies pohon
adalah (Wiersum, 1981):
(1) Daya adaptasi terhadap kondisi lingkungan setempat;
(2) Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Faktor yang dipertimbangkan
adalah:
a. Tanaman yang dihasilkan (pagan, cash,kayu, hijauan)
b. Waktu tenggang antara saat tanam dan panen
c. Umur dan keteraturan produksi manfaat
d. Periode produksi dalam hubungannya dengan kesesuaian terhadap distribusi tenaga
kerja
e. Popularitas lokal dengan spesies
f. Ketersediaan pasar produk.
(3) Kesesuaian spesies dalam campuran tanaman
(4) Fungsi perlindungan lingkungan hidup (misalnya pe- ngendali erosi tanah, siklus hara)
(5) Karakteristik menejemen (penanaman, panen, pengolahan dan penyimpanan produk).
13
Menurut Mercer (1985), kriteria penting memilih jenis pohon untuk agroforestry meliputi:
(1) Pertumbuhan cepat, yang memungkinkan panen lebih awal dan hasil per hektar lebih
banyak,
(2) Kemampuan memfiksasi nitrogen dari udara,
(3) Bersifat multiguna,
(4) Produk pohon ada pasarnya,
(5) Ketersediaan bahan bibit yang memadai,
(6) Mempunyai sifat self-pruning,
(7) Rasio antara diameter tajuk dengan diameter bole rendah (yaitu lebar tajuk harus relatif
kecil dibandingkan dengan diameter),
(8) Toleran terhadap naungan dari sisi,
(9) Filotaksisnya harus memungkinkan penetrasi cahaya matahari ke permukaan tanah,
(10) Fenologinya harus menguntungkan bagi periode pertanaman semusim (terutama dalam
hubungannya dengan semi dan gugur daun),
(11) Gugurnya seresah cukup banyak dan mudah terdekomposisi,
(12) Sistem perakarannya dan karakteristik akar yang mengeksploitir lapisan tanah yang
berbeda dengan tanaman pertanian yang mendampinginya,
(13) Kompatibilitas di antara spesies annual dan perennial (misalnya interaksi alelopati dan
interaksi positif).
Dalam hubungannya dengan produk akhir maka karakteristik berikut ini diperlukan
untuk persyaratan tambahan, yaitu;
(1) Pohon untuk produksi timber harus tinggi, cepat tumbuhnya, spesies sekunder dengan
batang lurus, kuat, kayu berbutir halus, dan karakteristik mesinnya bagus;
(2) pohon untuk kayubakar harus mempunyai berat jenis tinggi, regenerasinya mudah dengan
anakan atau bibit kecambah, cepat mengering, mudah dipanen dan diangkut;
(3) Spesies pagar harus mudah ditanam dan tumbuh , tahan terhadap korosi oleh paku dan
kawat;
(4) Pohon untuk buah dan sayur harus beradaptasi secara ekologis, dan harus digunakan
kombinasi pohon yang mampu menyediakan berbagai kebutuhan gizi;
14
(5) Pohon untuk produksi hijauan dan pupuk hijau harus mampu tumbuh cepat, memfiksasi
nitrogen, dan mempunyai kemampuan belukar yang hebat
Evaluasi Ekonomi Agroforestri
Evaluasi ekonomi wanatani perlu dimulai dari pemahaman atas model atau bentuk
wanatani yang menjadi target analisis. Pemahaman tersebut manyangkut proses dan tahapan
pengembangannya, karakteristik lingkungannya, output yang dihasilkan termasuk jasa
lingkungan, teknologi yang digunakan, kebutuhan modal, biaya sosial yang ditimbulkan jika
memang ada, dan juga manfaat ekologis yang seringkali tidak dengan sengaja untuk dihasilkan
oleh operatornya. Sebagai contoh, budidaya repong damar di Krui, Lampung. Pemahaman
sepintas tentang repong damar adalah bentuk wanatani yang menghasilkan damar, buah-
buahan, kayu, dan berbagai produk non kayu lainnya. Padahal dalam prosesnya, pada 15 tahun
pertama lahan yang sama berupa kebun kopi dan lada. Menyangkut apa yang dihasilkan oleh
wanatani (output), dengan bertolak dari pandangan nilai ekonomi total, penilaian ekonomi
wanatani tidak hanya terbatas pada hasil produksi yang memiliki nilai pasar (buah, getah, serat,
umbi-umbian, kayu, dan produk non kayu lainnya), akan tetapi juga terhadap jasa lingkungan
yang secara empiris tidak atau belum memiliki nilai finansial. Contoh jasa lingkungan yang perlu
diperhitungkan dalam penilaian ekonomi wanatani adalah: nilai keaneka-ragaman hayati yang
mampu dikonservasi atau bahkan dikembangkan, kemampuan untuk meningkatkan dan
menjaga kesuburan tanah, dampak hidrologis dari satu model wanatani dan lain sebagainya.
Demikian juga dengan biaya. Biaya yang dikeluarkan untuk membangun wanatani tidak hanya
terbatas dalam artian jumlah uang yang dikeluarkan para operator, akan tetapi juga
pengorbanan dari pihak lain dengan adanya wanatani tersebut.
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana penilaian ekonomi terhadap semua
itu dilakukan. Untuk output dan input yang memiliki nilai pasar, harga pasar dapat digunakan
untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan ataupun yang digunakan. Harga pasar yang mana
yang akan digunakan merupakan persoalan yang akan di bicarakan di bagian lain. Untuk menilai
jasa lingkungan terdapat beberapa metoda penilaian yang masuk dalam cakupan ekonomi
lingkungan. Turner et al., (1994) mengelompokan metoda penilaian lingkungan ke dalam dua
15
ketegori besar, yaitu penilaian dengan pendekatan permintaan pasar (demand curve approach),
dan penilaian dengan pendekatan non-market demand. Pendekatan non-market demand pada
hakekatnya merupakan penialain atas biaya yang harus dikeluarkan sebagai akibat dari satu
aktivitas atau dikeluarkannya satu kebijakan pemerintah.
Pendekatan atau metoda yang termasuk dalam kategori ini adalah: pendekatan effect on
production (EoP) atau metoda opportunity cost (OC) yang merupakan penilaian atas biaya yang
harus dikeluarkan atau kerugian yang harus ditanggung oleh satu proses produksi akibat satu
kegiatan atau kebijakan tertentu; pendekatan dose response (DR) yaitu penilaian terhadap
dampak yang terjadi akibat diterbitkannya ketentuan baku mutu lingkungan tertentu;
pendekatan prevantive expenditure, menilai kesediaan seseorang untuk menjaga kenyamanan
lingkungannya; dan lain sebagainya.
Salah satu cara untuk menilai keberadaan wanatani adalah mengevaluasi produktivitas
wanatani, baik secara finansial maupun secara ekonomi. Produktivitas di sini diartikan sebagai
kemampuan untuk berproduksi yang secara finansial dan ekonomi diukur dari seberapa besar
wanatani mampu memberikan keuntungan berupa pendapatan bersih atau sering disebut
dengan profitabilitas. Pertanyaan pertama yang harus dikemukakan adalah siapa yang
berkepentingan terhadap wanatani dan apa kepentingannya. Jawaban terhadap pertanyaan
tersebut akan menentukan ukuran effisiensi yang mana yang akan digunakan.
Seperti halnya kegiatan pertanian, keberadaan wanatani tidak hanya menjadi
kepentingan petani saja. Akan tetapi juga merupakan kepentingan pemerintah (pengambil
keputusan). Para pengmbil keputusan berkentingan terhadap produktivitas penggunaan lahan,
kelestarian lingkungan, tersedianya lapangan pekerjaan di pedesaan, kecukupan pangan bagi
masyarakat. Kepentingan petani dalam membudidayakan wanatani terutama terletak harapan
untuk mendapatkan penerimaan dari hasil wanatani. Kedua kepentingan tersebut akan
menentukan parameter produktivitas yang mana yang akan dipakai.
Ada beberapa cara dan pengukuran profitabilitas yang lazim dipakai. Analisa Manfaat-
Biaya atau Benefit-Cost Analysis menghasilkan dua parameter: Benefit-Cost Ratio (BCR) dan
Internal Rate of Return (IRR). BCR merupakan perbandingan antara nilai manfaat dan nilai biaya
dari satu investasi pada tingkat bunga yang telah ditentukan. Nilai BCR lebih besar dari satu
16
menunjukkan bahwa investasi cukup menguntungkan. Sedangkan IRR membandingkan manfaat
dan biaya yang ditunjukkan dalam persentasi.
Dalam hal ini nilai IRR merupakan tingkat bunga di mana nilai manfaat sama dengan nilai
biaya. IRR merupakan parameter yang menunjukkan sejauh mana satu investasi mampu
memberikan keuntungan. Nilai IRR yang lebih besar dari tingkat bunga umum memberikan
petunjuk bahwa investasi tersebut cukup menguntungkan.
Analisis yang lebih sering digunakan untuk mengukur profitabilitas satu investasi jangka
panjang dalam kegiatan pertanian adalah Net Precent Value, yaitu selisih antara nilai manfaat
dan nilai biaya selama kurun waktu tertentu pada tingkat bunga yang ditentukan. Nilai positif
NPV dari satu system kegiatan investasi (dalam hal ini wanatani) menunjukan bahwa wanatani
tersebut cukupmenguntungkan. Mengingat bahwa para petani wanatani kebanyakan
mengelola sendiri wanataninya, maka profitabilitas yang diukur dengan NPV diturunkan
menjadi penerimaan bersih per hari kerja yang dalam halini disebut dengan return to labor.
Return to labor dihitung dengan cara mengubah tingkat upah dalam perhitungan NPV sehingga
menghasilkan NPV = 0. Perhitungan ini mengubah ‘surplus’ yang ada menjadi upah setelah
memasukkan biaya input dan modal dalam discounted cash flow. Return to labor yang lebih
besar dari tingkat upah umum memberikan indikasi bahwa kegiatan itu memberikan
keuntungan bagi petani.
NPV yang dihitung dengan harga finansial (analisis finansial), yaitu perhitungan dengan
nilai pasar yang mencerminkan penerimaan dan pengeluaran nyata petani, menghasilkan
parameter profitabilitas untuk kepentingan petani. Dalam hal ini akan memberikan estimasi
besarnya keuntungan petani dari sistem wanatani yang dianalisis. Atau dengan perkataan lain
penerimaan nyata petani. Sehingga return to labor yang dihitung dengan nilai finansial,
merupakan indikator profitabiltas bagi petani yang merupakan insentif untuk berproduksi.
Sedangkan perhitungan NPV dengan menggunakan harga-harga ekonomi (analisis ekonomi),
yaitu harga barang dan jasa yang mencerminkan nilai tertinggi, menghasilkan parameter
profitabilitas untuk kepentingan para pengambil keputusan atan masyarakat yang lebih luas.
Mengingat bahwa produktivitas lahan merupakan kepentingan para pengambil keputusan,
17
maka NPV yang dihitung dengan nilai ekonomi, merupakan indicator profitabilitas yang lebih
baik. Karena memasukkan semua komponen lingkungan di dalamnya.