bab vi sensor dan ekhibisi · 2017-12-04 · 229 bab. vi. sensor d. an ekhibisi. sesudah film...

32
229 Bab VI Sensor dan Ekhibisi Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga Sensor Film untuk diperiksa dan diberi ijin untuk ditayangkan. Ijin tersebut berupa surat tanda lolos sensor dari LSF. Jika pembuat film sudah memperoleh ijin tersebut, barulah film itu ia bawa ke ekshibitor (pengusaha bioskop) untuk negosiasi penayangan filmnya di layar lebar. Lembaga Sensor Film telah ada sejak era kolonialisme, jaman penjajahan Belanda. Peraturan sensor atas film mulai diterapkan di bioskop tahun 1900 karena berbagai konten yang dianggap tidak layak disaksikan masyarakat pribumi, karena Belanda khawatir bagsa jajahan akan memberontak. Sejak mulai beroperasinya Nederlandsche Bioscope Maatschappij (Perusahaan Bioskop Belanda) di sebuah rumah di Kebon Jahe, Tanah Abang di sebelah pabrik kereta/bengkel mobil (Maatschappij Fuchss) 5 Desember 1900, enam tahun kemudian dibuatlah peraturan sensor film. Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Ordonansi pada tahun 1916 yang mengatur tentang film dan cara penyelenggaraan usaha bioskop atau ‖gambar idoep‖. Lembaga tersebut bernama Commissie voor de Kuering van Films atau Komisi Pemeriksa Film (KPF). Sebagaimana disebutkan dalam Film Ordonantie No. 276, sistem penyensoran dilakukan pada pra-produksi, melalui deskripsi film. Jika dianggap perlu, film dipertunjukkan kepada KPF. Sejalan dengan perkembangan, bioskop makin menancapkan jejaknya dan membawa pengaruh dalam kehidupan masyarakat Hindia Belanda. Peraturan yang dibuat dan diterapkan secara longgar oleh pemerintah kolonial, mengakibatkan banyak orang yang menganggap bioskop telah membawa pengaruh buruk bagi rakyat pribumi,

Upload: others

Post on 26-May-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

229

Bab VI

Sensor dan Ekhibisi

Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera

mendaftarkan film tersebut ke Lembaga Sensor Film untuk diperiksa

dan diberi ijin untuk ditayangkan. Ijin tersebut berupa surat tanda lolos

sensor dari LSF. Jika pembuat film sudah memperoleh ijin tersebut,

barulah film itu ia bawa ke ekshibitor (pengusaha bioskop) untuk

negosiasi penayangan filmnya di layar lebar.

Lembaga Sensor Film telah ada sejak era kolonialisme, jaman

penjajahan Belanda. Peraturan sensor atas film mulai diterapkan di

bioskop tahun 1900 karena berbagai konten yang dianggap tidak layak

disaksikan masyarakat pribumi, karena Belanda khawatir bagsa jajahan

akan memberontak. Sejak mulai beroperasinya Nederlandsche Bioscope Maatschappij (Perusahaan Bioskop Belanda) di sebuah rumah

di Kebon Jahe, Tanah Abang di sebelah pabrik kereta/bengkel mobil

(Maatschappij Fuchss) 5 Desember 1900, enam tahun kemudian

dibuatlah peraturan sensor film.

Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Ordonansi pada

tahun 1916 yang mengatur tentang film dan cara penyelenggaraan

usaha bioskop atau ‖gambar idoep‖. Lembaga tersebut bernama

Commissie voor de Kuering van Films atau Komisi Pemeriksa Film

(KPF). Sebagaimana disebutkan dalam Film Ordonantie No. 276, sistem

penyensoran dilakukan pada pra-produksi, melalui deskripsi film. Jika

dianggap perlu, film dipertunjukkan kepada KPF.

Sejalan dengan perkembangan, bioskop makin menancapkan

jejaknya dan membawa pengaruh dalam kehidupan masyarakat Hindia

Belanda. Peraturan yang dibuat dan diterapkan secara longgar oleh

pemerintah kolonial, mengakibatkan banyak orang yang menganggap

bioskop telah membawa pengaruh buruk bagi rakyat pribumi,

Page 2: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

230

termasuk mengubah pandangan inlanders terhadap tuan-tuan kulit

putih yang berkuasa (http://www.lsf.go.id/publik/content/, diunduh

tanggal 1 November 2016).

Sejarah Sensor Film di Indonesia

Melalui laman lembaga sensor film, penulis mendapatkan

informasi tentang perkembangan sensor atas film di Indonesia. Adalah

Sir Hesketch Bell yang memberikan kesaksian, lewat buku

Administration in the Far East (1926) dalam perjalanan di Asia, bahwa

tak satu pun manusia yang ditemuinya tak sependapat bahwa dampak

film sangat menyedihkan bagi kewibawaan orang Eropa di Timur Jauh.

Sebelum bioskop menyajikan bagian yang tidak baik dari masyarakat

kulit putih, banyak bangsa kulit berwarna tidak mengetahui kejatuhan

moral di kalangan terrtentu dalam masyarakat Barat. Penulis membagi

sejarah perkembangan sensor di Indonesia ke dalam tiga masa, yaitu (i)

masa penjajahan Belanda, (ii) masa penjajahan Jepang, dan (iii) masa

kemerdekaan, (iv) era pasca reformasi.

Masa Penjajahan Belanda

Menyadari pengaruh buruk film dan bioskop, terutama yang

dalam kacamata pemerintah kolonial yang dianggap menyerang

kewibawaan mereka secara psikologis. Film Ordonansi 276 tahun 1916

pun berkali-kali mengalami pembaharuan sebagaimana yang tertera

dalam Lembaran Negara No.377 (1919), No.688 (1919), dan No.742

(1922). Dalam Film Ordonantie No.377 (1919), disebutkan bahwa KPF

memiliki kewenangan:

1. mengizinkan film

2. mengizinkan pertunjukan film ke khalayak untuk sementara

3. menolak film seutuhnya atau sebagian.

Sebenarnya, Film Ordonantie Nomor 377 masih sama dengan Lembar

Negara No. 276, yaitu pada pra-produksi melalui deskripsi film, atau

Page 3: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Sensor dan Ekhibisi

231

jika dianggap perlu, film dipertunjukkan kepada KPF. Hanya saja,

terdapat tambahan berupa larangan antara lain adalah:

1. mengganggu ketertiban umum;

2. melanggar kesusilaan, tata krama; atau,

3. mengandung pengaruh yang merusak, seperti 'bahasa' atau

'perilaku' kasar; atau,

4. mempunyai pengaruh buruk terhadap penonton.

Masih pada tahun yang sama, dibuat aturan tambahan dalam Film Ordonantie No. 742, yaitu anak-anak yang belum mencapai usia 15

tahun dilarang menonton film, kecuali:

1. KPF menyatakan bahwa film tersebut dianggap tidak merusak

anak;

2. ada pengumuman yang jelas pada semua tempat termasuk di

pintu masuk dan tertera pada karcis masuk bahwa film tersebut

layak bagi anak-anak (semua umur).

Pada tahun 1922, sebagaimana yang disebutkan dalam Lembar

Negara No. 688, ada tambahan peraturan dalam paragraf 6 Film Ordonantie No. 377 (1919), yaitu: ‖Untuk membiayai administrasi dan

pengawasan, pemohon membayar uang yang jumlahnya akan

ditetapkan oleh Gubernur Jenderal kepada komisi sensor sebagai

imbalan untuk penyensoran setiap film yang diajukan.‖

Pada tahun 1925, melalui Film Ordonnantie 1925, Staadblad

No.477, yang diberlakukan 1 Januari 1926, dilakukan pembaharuan

seputar masalah KPF dengan meningkatkan sifatnya yang regional

menjadi sentral bagi seluruh Hindia Belanda. Komisi ini beranggotakan

15 orang, termasuk 4 wanita Eropa, 1 wanita pribumi, 4 orang

berkebangsaan bukan Eropa. Pada Film Ordonnantie No. 477, tahun

1925, disebutkan:

1. anak yang belum mencapai usia 17 tahun dilarang menonton

film kecuali kalau bukti pengizinan menyatakan bahwa

pertunjukan film tersebut tidak merusak anak;

Page 4: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

232

2. KPF menolak film yang dianggap melawan ketertiban umum,

kesusilaan, atau dengan alasan lain merusak atau menentang

tatakrama untuk orang berusia lebih dari 17 tahun;

3. KPF memberi kesempatan kepada pemilik film yang filmnya

ditolak (sebagian atau seluruhnya) untuk mengajukan

keberatan atau keinginannya sebelum keputusan terakhir

diambil;

4. Bagian film yang ditolak akan dimusnahkan;

5. Kepala Pemerintahan setempat dapat melarang pertunjukan

hanya karena alasan ketertiban umum setempat;

6. Gubernur Jenderal dapat mengizinkan pertunjukan film yang

ditolak oleh komisi kepada orang atau lembaga tertentu untuk

tujuan riset ilmu pengetahuan atau untuk tujuan khusus yang

lain;

Film Ordonnantie 1925 tersebut diperbaharui lagi oleh Film Ordonnantie 1926 (vide Staadblad No. 7), yang empat tahun kemudian

diperbaharui lagi oleh Film Ordonnantie 1930 (vide Staadblad No.

447).

Masa Penjajahan Jepang

Pada tahun 1942, Pemerintahan Hindia Belanda bertekuk lutut

di hadapan tentara pendudukan Jepang. Film Commissie dibubarkan.

Penggantinya adalah Dinas Propaganda Tentara Pendudukan Jepang

yang disebut Sendenbu Eiga Haikyusha (Peredaran Film) pada bulan

Desember 1942. Beberapa peraturan baru dibuat, isinya adalah:

Film-film Hollywood dilarang kecuali berisi konten:

1. kejahatan barat

2. persahabatan dengan Asia

Film-film yang dibolehkan harus mempertunjukkan:

1. kehebatan militer Jepang

2. budaya dan moral khas bangsa Jepang

3. keinginan Pemerintah Jepang

Page 5: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Sensor dan Ekhibisi

233

Film-film yang diproduksi harus:

1. menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Jepang

2. menggambarkan hubungan yang baik antara Jepang dan Asia

3. menggambarkan semangat nasionalisme

4. memperlihatkan kehebatan tentara Jepang

5. memperlihatkan kekayaan alam demi kesiapan menghadapi

perang Pasifik.

Masa Kemerdekaan

Pada masa perjuangan fisik untuk mempertahankan Republik

Indonesia antara tahun 1945-1946, tidak ada lembaga yang menangani

penyensoran film. Baru pada tahun 1948 diberlakukan kembali Film Ordonnantie 1940, yang lebih disempurnakan dan dimuat dalam

Staadblad No. 155, yang menyatakan bahwa urusan pengawasan film

dilakukan oleh ―Panitia Pengawas Film‖ (PPF) di bawah Directeur van Binnenlandsche Bestuur. Dalam kawasan yang masih dikuasai oleh

Pemerintahan RI, khususnya di Yogyakarta, Dewan Pertahanan

Nasional menerbitkan surat keputusan dan membentuk ―Badan

Pemeriksaan Film‖ yang diangkat dan diberhentikan serta bertanggung

jawab kepada Menteri Penerangan RI.

Pada tahun 1951, pemerintah menetapkan film memiliki aspek

pendidikan dan budaya, sehingga PPF dipindah menjadi berada di

bawah Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan

K). Ketentuan tersebut sebagaimana yang dipaparkan dalam Undang-

Undang No. 23/ 1951, Tentang Penyerahan Urusan Penilikan Pilem

dari Kementerian Dalam Negeri Kepada Kementerian Pendidikan,

Pengajaran dan Kebudayaan, yang mulai diberlakukan pada tanggal 20

November 1951.

Dari Undang-undang No. 23 Tahun 1951, terlahir Keputusan

Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan RI, No. 40439/ Kab.

Tahun 1952. Keputusan Menteri ini memberi instruksi kepada Panitia

Pengawas Film (PPF), selain melaksanakan pasal 9 Film Ordonantie

No. 507 Tahun 1940, juga melarang film-film, adegan-adegan,

Page 6: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

234

percakapan-percakapan, dan tulisan-tulisan atau inti moral dalam film-

film yang bersifat:

1. menganjurkan perang;

2. melanggar codex perwira (azas kesatrian)

3. memperlihatkan usaha untuk merobohkan pemerintah sendiri;

4. memperlihatkan bahwa sesuatu tujuan atau maksud, baik

maupun buruk, dapat dicapai dengan memakai kekerasan yang

menggunakan senjata berlebih-lebihan, berulang-ulang.

Pemerintah RI menganggap bahwa bangsa Indonesia tidak

boleh terkontaminasi oleh propaganda pihak asing melalui film yang

dipertunjukkan untuk umum. Hal itu dikarenakan bangsa Indonesia

sedang berjuang untuk tetap ‗merdeka atau mati‘. Pemerintah

menganggap bisa saja berbagai pesan disisipkan ke dalam film, yang

akan mempengaruhi opini masyarakat, sehingga secara tidak sadar

mereka mulai berpihak kepada pihak Belanda/ penjajah.

Pada tanggal 5 Agustus 1964 telah diterbitkan Penetapan

Presiden Nomor 1/ 1964. Dalam Penetapan Presiden tersebut di

antaranya ada penegasan bahwa film yang dibuat di Indonesia, wajib

memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Menjadi pendukung dan pembela dasar-dasar ideologi

Pancasila dan Idologi negara Pancasila dan manifesto politik

beserta pedoman pelaksanaannya;

2. Dalam menggambarkan hal-hal yang mengandung

pemberitaan kebijaksanaan, pemerintah memelihara agar

supaya pemberitaan dan ulasan itu bersifat konstruktif dan

tetap berpedoman pada manifesto politik beserta pedoman

pelaksanaannya;

3. Memperlihatkan syarat-syarat ketertiban umum dan peraturan

yang berlaku.

4. Film yang diimpor harus memenuhi syarat-syarat:

a. Tidak bertentangan dengan ideologi Pancasila, kepribadian

bangsa Indonesia dan manifesto politik beserta pedoman

pelaksanaannya;

Page 7: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Sensor dan Ekhibisi

235

b. Tidak menjadi alat propaganda ideologi lain

c. Sesuai dengan syarat-syarat ketertiban umum di Indonesia.

Melalui Instruksi Presiden No. 012/ 1964, urusan film dialihkan

dari Kementerian PP dan K kepada Kementerian Penerangan. Sejauh

menyangkut PPF, pada tanggal 21 Mei 1965 ditindaklanjuti dengan

Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 46/SK/M/1965 yang

mengatur penyelenggaraan penyensoran film di Indonesia melalui

suatu lembaga yang bernama ―Badan Sensor Film‖ (BSF). Adapun

fungsi dan tugas BSF tetap menitikberatkan pada upaya

menghindarkan masyarakat dari pengaruh buruk film, dan

memperjelas eksistensi dan fungsi film untuk turut memantapkan

program membangun nasionalisme (nation and character building).

Pembaharuan di Masa Orde Baru Memasuki awal dasawarsa

1990-an, keinginan sebagian besar masyarakat agar dibenarkan adanya

beberapa stasiun televisi swasta untuk mendampingi TVRI semakin

tidak terbendung lagi. Untuk mengantipasi segala kemungkinan,

mulailah digiatkan persiapan dan penyelenggaraan jajak pendapat

tentang perlunya Undang-undang tentang Perfilman.

Pada tanggal 30 Maret 1992 ditetapkanlah Undang-Undang No.

8 Tahun 1992 tentang Perfilman. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun

1992 tersebut, dinyatakan bahwa ―sensor film adalah penelitian dan

penilaian terhadap film dan reklame film untuk menentukan dapat

atau tidaknya sebuah film dipertunjukkan dan/atau ditayangkan

kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian

gambar atau suara tertentu‖. Di dalam UU tersebut, film diarahkan

untuk:

1. melestarikan dan mengembangkan nilai budaya bangsa;

2. membangun watak dan kepribadian bangsa serta dapat

meningkatkan harkat dan martabat manusia;

3. membina persatuan dan kesatuan bangsa;

4. meningkatkan kecerdasan bangsa;

5. mengembangkan potensi kreatif di bidang perfilman;

Page 8: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

236

6. menjaga keserasian dan keseimbangan di antara berbagai

kegiatan dan jenis usaha perfilman;

7. menjamin terpeliharanya ketertiban umum;

8. tidak merusak moral dan kesusilaan;

9. menjadi sarana hiburan yang sehat dengan demikian konten

film harus sesuai dengan norma-norma kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan tetap

berpedoman pada asas usaha bersama dan kekeluargaan, asas

adil dan merata, asas perikehidupan dalam keseimbangan, dan

asas kepercayaan pada diri sendiri.

UU Perfilman Tahun 1992 melahirkan Peraturan Pemerintah

No. 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film (LSF). PP No. 7 Tahun

1994 berisi tentang kewenangan LSF sebagai berikut:

1. meluluskan sepenuhnya suatu film dan reklame film untuk

diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan

kepada umum;

2. memotong atau menghapus bagian gambar,adegan, suara dan

teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang tidak

layak untuk dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada

umum;

3. menolak suatu film dan reklame film yang tidak layak untuk

untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau

ditayangkan kepada umum;

4. menetapkan penggolongan usia penonton;

5. menyimpan dan/ atau memusnahkan potongan film hasil

penyensoran dan film serta rekaman video impor yang sudah

habis masa hak edar;

Era Pasca Reformasi

Kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi mengubah

dinamika masyarakat dan persepsi mereka tentang sensor film. Pada

tahun 2009 pemerintah memperbarui Undang-undang Perfilman

Page 9: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Sensor dan Ekhibisi

237

dengan melahirkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2009. Pasal 1 UU

Perfilman 2009, menyebutkan bahwa:

―Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. Perfilman adalah berbagai hal yang berhubungan dengan film. Budaya bangsa adalah seluruh sistem nilai, gagasan, norma, tindakan, dan hasil karya bangsa Indonesia di seluruh wilayah nusantara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kegiatan perfilman adalah penyelenggaraan perfilman yang langsung berhubungan dengan film dan bersifat nonkomersial. Usaha perfilman adalah penyelenggaraan perfilman yang langsung berhubungan dengan film dan bersifat komersial. Masyarakat adalah warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang perfilman. Iklan film adalah bentuk publikasi dan promosi film. Insan perfilman adalah setiap orang yang memiliki potensi dan kompetensi dalam perfilman dan berperan dalam pembuatan film. Sensor film adalah penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukkan kepada khalayak umum.‖

Film-film yang dilarang berdasarkan UU No. 33 Tahun 2009

pasal 6, adalah jenis film yang:

1. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan

perjudian serta penyalahagunaan narkotika, psikotropika,

dan zat adiktif lainnya;

2. menonjolkan pornografi

3. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok,

antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan

4. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai

keagamaan;

5. merendahkan harkat dan martabat manusia.

Page 10: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

238

Pada UU Nomor 33 Tahun 2009 ini, penonton digolongkan ke

dalam rentang usia sebagai berikut: (i) Semua Umur (SU), (ii) 13 tahun

atau lebih, (iii) 17 tahun atau lebih, dan (iv) 21 tahun atau lebih.

Adapun aturan yang berkenaan dengan sensor film tertera pada Bab VI

Pasal 57 yang menyebutkan bahwa:

1. Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan atau

dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor.

2. Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud pada ayat

satu (1) diterbitkan setelah dilakukan penyensoran yang

meliputi:

a. penelitian dan penilaian tema, gambar, adegan, suara,

dan teks terjemahan suatu film yang akan diedarkan dan/

atau dipertunjukkan kepada khalayak umum;

b. penentuan kelayakan film dan iklan film untuk diedarkan

dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum; dan

c. penentuan penggolongan usia penonton film.

3. Penyensoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan

dengan prinsip memberikan perlindungan kepada

masyarakat dari pengaruh negatif film dan iklan film.

Pada Pasal 58, juga disebutkan bahwa:

1. Untuk melakukan penyensoran sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 57 Ayat (2) dan Ayat (3) dibentuk lembaga

sensor film yang bersifat tetap dan independen.

2. Lembaga Sensor Film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia.

3. Lembaga Sensor Film bertanggung jawab kepada presiden

melalui menteri.

4. Lembaga Sensor Film dapat membentuk perwakilan di ibu

kota provinsi.

Pasal 59 menegaskan bahwa:

Page 11: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Sensor dan Ekhibisi

239

"Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 Ayat (1) diterbitkan oleh lembaga sensor film"

Prinsip penyensoran juga dapat dilihat pada Pasal 60 yang

berbunyi:

1. Lembaga Sensor Film sebagaimana dimaksud dalam Pasal

58 ayat (1) melaksanakan penyensoran berdasarkan

pedoman dan kriteria sensor film yang mengacu kepada

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal

7.

2. Lembaga Sensor Film melaksanakan penyensoran

berdasarkan prinsip dialog dengan pemilik film yang

disensor.

3. Lembaga Sensor Film mengembalikan film yang

mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan teks

terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria

sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemilik

film yang disensor untuk diperbaiki.

4. Lembaga Sensor Film mengembalikan iklan film yang tidak

sesuai dengan isi film sebagaimana dimaksud dalam

ketentuan Pasal 21 ayat (2) kepada pemilik iklan film untuk

diperbaiki.

5. Lembaga Sensor Film dapat mengusulkan sanksi

administratif kepada pemerintah terhadap pelaku kegiatan

perfilman atau pelaku usaha perfilman yang melalaikan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan 7.

Selanjutnya, Pasal 61 disebutkan bahwa:

1. Lembaga Sensor Film memasyarakatkan penggolongan usia

penonton film dan kriteria sensor film.

2. Lembaga Sensor Film membantu masyarakat agar dapat

memilih dan menikmati pertunjukan film yang bermutu

serta memahami pengaruh film dan iklan film.

3. Lembaga Sensor Film mensosialisasikan secara intensif

pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film agar

dapat menghasilkan film yang bermutu.

Page 12: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

240

UU Perfilman Tahun 2009 memberi arahan dan amanat bahwa

LSF senantiasa mengedepankan prinsip dialog dalam menjalankan

penyensoran. Bahkan LSF sangat membuka ruang konsultasi pra-sensor

bagi kreator yang hendak mendiskusikan filmnya. Dialog pra-sensor

sudah berjalan secara efektif, yang pada akhirnya ketika film disensor

sudah bersih dari konten yang tidak diperkenankan oleh Undang-

undang. Dialog pra-sensor, tidak dikenakan biaya apapun.

Saat ini Lembaga Sensor Film dipimpin olej Dr. Ahmad Yani

Basuki, M. Si., dan Wakil Ketua Drs. Dody Budiatman, disertai

beberapa staf. Kepengurusan LSF ini masa kerjanya dimulai sejak tahun

2015-2019. Kantor Sekretariat LSF berlokasi di Gedung Film lantai 6,

Jl. M.T. Haryono Kav.47-48 Jakarta. Sayangnya, ketika penulis mampir

ke sana pada bulan Agustus-Oktober 2015, tidak ada yang bisa dan

bersedia diwawancarai.

Penulis hanya mendapatkan informasi tentang rekapitulasi

jumlah film yang lolos sensor dalam periode empat tahun terakhir

melalui laman LSF (http://lsf.go.id). Statistik menunjukkan bahwa

jumlah film di televisi yang masuk sensor dan lolos terus meningkat

selama empat tahun terakhir. Sementara, jumlah film di bioskop yang

lolos sensor relatif stabil pada periode tersebut. Data tersebut

ditunjukkan pada Gambar 6.1 dan Tabel 6.1.

Sumber: LSF, 2016

Gambar 6.1. Statistik Sensor di Indonesia Tahun 2013-2016

Page 13: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Sensor dan Ekhibisi

241

Tab

el 6

.1. R

ekap

itu

lasi

Dat

a L

ulu

s Se

nso

r T

ahu

n 2

016

Sum

ber

: LSF

, 201

6

Page 14: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

242

Perdebatan Sensor Film di Indonesia

Sensor senantiasa menjadi perdebatan dari masa ke masa.

Beberapa wawancara pendahuluan di tahun 2007 telah penulis

lakukan dengan Ibu Titie Said10 (almarhum) yang menjabat Ketua

Badan Sensor Film di tahun tersebut, serta Bapak Slamet Rahardjo dan

Riri Riza yang mewakili pembuat film.

Penulis ingin tahu mekanisme sensor film di Indonesia Pasca

Reformasi, dan bagaimana tanggapan para pembuat film atas

mekanisme sensor itu. Penulis membaca di surat kabar dan majalah

Cinemags bahwa sensor film sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi di

era Pasca Reformasi ini. Riri Riza termasuk salah satu movie-maker yang menolak adanya sensor atas film Indonesia. Berikut ini adalah

kutipan wawancara-wawancara tersebut, yang sengaja disajikan dalam

kondisi ―mentah‖ untuk memberi gambaran proses coding (Manurung,

E.M., 2008).

Elvy : jadi maksud Ibu, film Indonesia bukan public domain tapi domain-nya negara, ya, bu?

Titie : Ngga juga, 45 itu –kita ini ada 45 orang—16 dari masyarakat, dari berbagai instansi dan departemen, 10 dari organisasi, ada organisasi keagamaan, ada organisasi perempuan, ada organisasi para pakar.

Elvy : jadi, biarpun di-regulate tapi toh menampung aspirasi dari masyarakat, begitu maksud ibu?

Titie : Iya, iya, jadi semua itu menampung aspirasi. Oh, regulasi itu perlu!Amerika tidak punya Undang-undang koq, tapi karena mereka itu sudah maju dan satu persepsi, maka bisa. Persepsinya satu, kalo anak ngga boleh, orang tua juga ngga ngasih. Dia beli di toko-toko porno misalnya, ya ngga boleh, ditangkap, ada sanksinya. Biarpun yang jual anak-anak, kalo ketahuan bisa ditangkap, ada peraturannya ada sanksinya. Makanya kita perlu lembaga ini... Sebab

10

Wawancara dengan Titie Said di Gedung Film Jakarta, 3 Mei 2007. Ibu Titie Said

adalah seorang penulis senior dan menjabat sebagai Ketua Badan Sensor Film (BSF) di

Indonesia periode ... Beliau meninggal bulan Oktober 2011.

Page 15: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Sensor dan Ekhibisi

243

kalo anda melihat, wah kalau saya biarkan, audzubilah… ada adegan-adegan yang wow… Jadi kalo masuk bioskop, klasifikasi itu harus ada!

Elvy : jadi tugas-tugas menyensor itu apa aja, sih, bu?

Titie : pertama mereka (para pembuat film) harus daftar dulu ke Direktorat Film, kemudian disaring dulu di sana, baru ke sini, di sinilah kita melakukan sensornya, 1 kelompok itu 5 orang, siapa dengan siapa itu tidak ada yang tahu kecuali saya, saya anu ngga hafal, itu sudah satu bulan sebelumnya dikelompokkan. Mereka tonton satu demi satu, kemudian di sensornya saya turut melihat, ceritanya apa, genrenya apa, drama, komedi, atau apa? Horor?

Elvy : Ok bu, jadi alasan penyensoran masih tetap ada sampai saat ini, lebih karena keadaan masyarakat kita yang belum siap?

Titie : Iya, dan masyarakatnya juga berbagai-bagai. Seniman muda teriak: kebebasan, tetapi yang agamis juga menolak: hargai keyakinan saya… Nah, ini juga yang susah memicu perubahan-perubahan..

Elvy : kalo LSF ini pernah di-review atau ada yang me-review ngga, sih, bu? Saya baca di cinemags, di Singapur tuh ada review board-nya per berapa tahun direview, kita punya ngga badan seperti itu, yang mereview entah aturan mainnya atau orang-orangnya di LSF?

Titie : yah, kalo mau direview, peraturan-peraturan kan selalu ada… tapi kita kan payungnya Undang-undang. Setelah tahun 1992, baru nanti akan direvisi selama belasan tahun ini kan waktu cepet sekali, pasti sudah banyak berubah. Seperti yang kukatakan, dulu hanya ada satu TV dengan belasan bioskop, sekarang ada 14 bioskop di Jakarta dan 98 televisi lokal, TV komunitas aku ndak tahu karena ngga didaftar, jadi banyak sekali dan ini terbalik keadaannya dengan jaman dulu. Sekarang bioskop malah hanya sedikit.

Page 16: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

244

Elvy : Kita punya UU No. 8 Tahun 1992, dan PP No 7 Tahun 1994 tentang LSF. Maksud ibu direvisi, apanya?

Titie : Sesudah PP masih ada Peraturan Menteri juga, kalo mau direvisi yah semuanya. Kita kan payungnya UU, jadi mulai dari Undang-undangnya dulu. Sekarang inipun, sebenarnya sudah mulai ada perubahan-perubahan, misalnya dulu tugas LSF hanya di Jakarta. Sekarang, sejak ada TV lokal, maka di daerah pun harus ada yang namanya sensor, iya kan? Mau ubah nama LSF jadi LKF atau apapun, mau mengklasifikasi umur dan sebagainya, intinya kan tetap sama, harus ada yang melarang, sudah jadi Lembaga Klasifikasi pun kita masih bisa menolak koq, kalo ternyata film itu tidak cocok klasifikasi umur penontonnya. Gitu…

Elvy : Jadi LSF sekarang sedang mencari bentukan yang ‗pas‘ ya bu, supaya semua pihak diuntungkan?

Titie : Iya, tapi ya ngga bisa, tetap aja harus ada yang menyensor. Coba aja lihat tontonan sekarang, ada ―Buser‖, ada kriminal dan segala macam. Itu apa? Itu kan merefleksikan keadaan masyarakat di suatu tempat, pada suatu saat? Jadi gimana, anak-anak yang menonton itu terus dapat apa? Demokrasi kayak gimana, anak-anak menentukan tontonannya sendiri? Ngga bisa, orang tuanya juga ngga bisa diandalkan, lha wong anak-anak sekarang ditinggal sendirian koq di rumah. Trus di sinetron, kenapa banyak ibu-ibu yang kalo ngomong matanya harus mendelik? Di sinetron kan mata ibu-ibu pada mendelik semua… (interupsi telepon..) jadi film itu bisa mempengaruhi budaya, karena bisa mengubah pola pandang, pola pikir kita. Gitu, jadi film dalam arti semua ya –dvd, vcd, segala macam tontonan—bisa mengubah mindset kita.

Beberapa movie-maker berbeda pendapat dengan Titie Said

(alm.) mengenai eksistensi badan sensor atau lembaga sensor film di

Indonesia. Kutipan atas wawancara-wawancara terdahulu telah penulis

lakukan untuk kepentingan triangulasi data. Berikut ini adalah

Page 17: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Sensor dan Ekhibisi

245

kutipan-kutipan wawancara dengan Bapak Slamet Rahardjo, Riri Riza,

dan Ariani Darmawan di tahun 2007 (Manurung, E.M., 2008).

Elvy : Jadi menurut bapak, film itu domain-nya siapa, domain negara?

Slamet : Negara itu ngga ada urusannya dengan film. Kalau kita percaya antara State, Nation, People, itu beda dong! Bahwa sebuah negara dalam batas wilayah nasional, dan kerja samanya dengan negara lain yang disebut global, maka sangatlah naïf jika kita menganggap bahwa Nation itu tidak ada. Itu kan berarti kita ditipu mati-matian, seolah-olah borderless-lah, nationless-lah, yah kalo begitu caranya mana pernah ada Kancil menang ama Harimau? Itu mah hutan belantara yang diberikan, itu yang namanya persaingan bebas yang tanpa ukuran. Nah, saya menolak globalisasi dari awal, saya tidak menginginkan persaingan bebas, yang saya inginkan adalah persaingan yang fair. Jadi bukan free market atau free competition, tapi fair market, fair competition. Harus tetap ada yang mengatur...

Elvy : Jadi, maunya peran pemerintah sekarang, lebih ke arah apa?

Riri : Pemerintah lebih bagus memikirkan persoalan-persoalan yang lebih urgent, misalnya pendidikan. Memfasilitasi film-film Indonesia yang dianggap perlu, sementara, pada saat yang sama, pemerintah juga harus menyediakan penghubung supaya kebijakan-kebijakan yang telah ada, misalnya antar industri-industri, perpajakan, hak cipta, dan industri-industri lain yang sudah ada dan berkaitan dengan film. Film itu keterkaitannya dengan industri lain, banyak sekali. Pemerintah harus bisa memastikan bahwa industri film, berada pada keadaan yang diuntungkan, misalnya kebijakan film impor, kan sudah ada UU-nya? Kalau mau, pemerintah bisa datang ke sana, bilang, bisa ngga ya ini kan sudah aturan tentang impor, tentang penanaman modal, harus dilakukan pembenahan. Bikin dong sistem pinjaman lunak untuk kebudayaan. Datang juga ke Dirjen Pajak, dan

Page 18: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

246

Gubernur atau Kepala Daerah Provinsi masing-masing, bicara soal pajak, untuk melakukan apa yang namanya.. misalnya seperti ‗tax holiday‘ atau pengurangan pajak. Misalnya bicara seperti ini, bagaimana kalau pajak tontonan dikurangi dari 20% menjadi 10%, pasti akan memicu produktifitas orang-orang film. daripada menyumbang pajak 20 % tapi cuma 2 kali, mendingan kan menyumbang pajak 10% tapi 10 kali?

Elvy : yang menentukan pembagian 40 : 40 (yang 20% untuk pajak) antara pengusaha bioskop dengan produser, itu siapa?

Riri : Yah, itu adalah aturan baku. Udah dari sononya kaya gitu, sama seperti di Amerika, di mana-mana. Karena tidak ada peraturan mengenai itu, maka bioskop bikin aturan sendiri, di sini bioskop kan cuma satu? Dan organisasi film itu mandul, ada yang namanya persatuan perusahaan film Indonesia, itu juga mandul, ngga bisa turun ke jalan bersama-sama dan ngomong ke twenty-one : gue maunya gini! Dan juga karena pemerintahnya mandul.

Elvy : Padahal kondisi perfilman kita saat ini sudah mulai profitable ya, mas. Masa, ngga punya bargaining power ?

Riri : karena bargaining power kami lemah sekali, mestinya sih bisa dan ada yang punya peran lebih dari itu.

Catatan untuk proses coding transkrip wawancara: warna kuning untuk kode peran pemerintah dalam sensor film (yang sudah ada dan yang diharapkan), warna hijau untuk kode butuh penggalian informasi lebih lanjut (meragukan).

Jika Ibu Titie Said (alm.) sangat mementingkan peran lembaga

sensor dalam menyeleksi semua film yang akan tayang baik di bioskop

maupun televisi untuk menjaga moral masyarakat dan harkat/budaya

bangsa; maka Bapak Slamet Rahardjo dan Riri Riza berbeda pendapat.

Mereka lebih menginginkan peran negara sebagai regulator yang

berpihak pada para pembuat film sebagai pelaku, bukan lagi semata-

mata menjalankan sensor moral atau sensor politik.

Page 19: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Sensor dan Ekhibisi

247

Setelah film lolos sensor dan mendapat surat keterangan dari

LSF, film tersebut dapat segera dibawa ke ekshibitor yaitu pengusaha

bioskop untuk dinegosiasikan penayangannya pada layar lebar. Seperti

yang dikemukakan Riri Riza --yang kemudian ditegaskan kembali oleh

Ifa Isfansyah-- pembagian keuntungan masih tetap sama antara

pembuat film dengan pengusaha bioskop sampai saat ini, yaitu 40 : 40

: 20 (catatan 20% untuk pajak tontonan).

Ekshibitor di Indonesia

Layar lebar di Indonesia yang lebih dikenal dengan istilah

―bioskop‖ mengalami beberapa perkembangan. Dulu, bioskop tidak

semewah sekarang, bangunannya lebih sederhana dan dimiliki oleh

pengusaha kelas menengah di Indonesia. Namun seiring perkembangan

jaman, bioskop-bioskop tersebut akhirnya bangkrut. Bioskop kini

muncul dengan berbagai perbaikan, bangunannya lebih megah dan

mewah.

Gambar 6.2. Gedung ―Sylva‖ sisa-sisa peninggalan bioskop yang pernah

berjaya (dokumentasi MI/Khoirul Hamdani)

Sejak era Orde Baru, muncul bioskop dengan nama ―Studio 21‖

di Jakarta. Gedung bioskop ―Kartika Chandra‖ diubah ruangannya

menjadi beberapa layar, yang disebut dengan cinepleks. ―Studio 21‖

pertama di ―Kartika Chandra‖ ini dibangun oleh Sudwikatmono (alm.)

dengan Raam Punjabi. Nama ―21‖ diambil dari nomor kavling di Jalan

M.H. Thamrin lokasi bioskop tersebut. Saat ini, gedung ‗Studio 21‖

tersebut telah berubah menjadi gedung pencakar langit ―BII Tower‖.

Page 20: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

248

Tahun 1999, Sudwikatmono melepas kepemilikan atas ―Grup 21‖ itu

pada rekannya yaitu Benny Suherman dan Harris Lesmana

(http://news.detik.com/kolom/1542254/, diunduh tanggal 2 November

2016.

Sampai awal tahun 2016, bioskop di Indonesia sudah berjumlah

1.000 layar, dan dipastikan akan bertambah terus hingga 2.000 layar di

tahun 2018. Pemain baru bermunculan, bukan hanya ―Grup XXI‖ saja,

kini hadir ―Bliz Megapleks‖ dan ―Cinemaxx‖ dengan teknologi baru

dan pilihan film-film non-Hollywood seperti film-film Asia (disebut

bioskop independen). Bisnis di bidang layar lebar akan berkembang

dan bergairah. Bertambahnya layar lebar menjadi dorongan positif bagi

bisnis dan industri film di Indonesia (Metro News, 4 Juni 2015).

Tiga Bioskop Terbesar

Sampai saat ini layar bioskop terbanyak dimiliki oleh ―Cinema

XXI‖ yaitu sebanyak 853 layar di 152 lokasi di Indonesia, dan masih

akan menambah terus jumlah layarnya di tahun berikutnya. ―Grup

XXI‖ menurut Ibu Catherine Keng, menyambut baik kehadiran pemain

baru dan berharap pemain-pemain baru ini membuka bioskop di

daerah-daerah yang belum tersentuh bioskop selama ini (Keng, C.,

2015).

Perusahaan ―XXI‖ atau Cineplex 21 Group –sebenarnya tidak

berbeda, keduanya dalam satu kepemilikan yang sama—berdiri sejak

tahun 1986. Grup ini sejak semula sudah bekerja sama dengan

perusahaan ―IMAX‖ di Amerika Serikat yaitu spesialis layar super

besar. Saat ini, ―Grup XXI‖ sudah memiliki enam bioskop ―IMAX‖. Satu

kekurangan bioskop ini adalah jarang, hampir tidak pernah,

menayangkan film indie atau film Asia.

Dua pemain baru dalam usaha ekshibitor, adalah ―Blitz

Megaplex‖ dan ―Cinemaxx‖, memberikan alternatif ruang menonton

baru bagi para penonton. ―Blitz‖ yang dimiliki oleh industri hiburan CJ

Korea, berencana membangun sejumlah bioskop di delapan lokasi di

Page 21: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Sensor dan Ekhibisi

249

Indonesia. Kota-kota baru yang dituju adalah Surabaya, Bandung,

Tangerang, Karawang, Cirebon, Jakarta dan Yogyakarta. ―Blitz‖

menargetkan 150 layar di 20 lokasi selama dua tahun ke depan.

Jaringan bioskop baru ―Cinemaxx‖ yang dimiliki oleh ―Lippo

Group‖ juga menyediakan dana sebesar enam triliun rupiah dalam

rangka membangun 1.000 layar bioskop di 85 kota di Indonesia untuk

lima tahun ke depan. Sampai saat ini ―Cinemaxx‖ memiliki limapuluh

satu layar di sepuluh lokasi. Bulan Juni tahun 2015, layar ditambah

enam di ―Lippo Plaza‖ Yogyakarta. Menurut Brian Riady (2015)

perusahaannya bertekad untuk menjadi jaringan bioskop terbesar yang

disukai anak muda di Indonesia.

Ketiga bioskop terbesar di Indonesia ini memiliki ciri khas

masing-masing. Sebagai pemain lama, ‖Grup XXI‖ memiliki jenis

ruangan sedang yang kurang lebih memuat 150 orang. ―XXI‖ memiliki

studio ―IMAX‖ dengan dolby atmos audio. Pendatang baru yaitu ―Blitz

Megapleks‖ memiliki ruangan yang lebih luas serta layar yang

ukurannya jumbo, khusus di studio ―Sphere X Blitz‖ memiliki layar

super jumbo (seukuran lapangan basket) dengan audio 360 derajat.

Masih dalam grup yang sama, ―CGV Blitz‖ juga memiliki studio 4DX yang lebih modern. ―Cinemaxx‖ memiliki studio dengan audio dolby atmos seperti halnya ―Cinema XXI‖. Selain itu, ada fasilitas online

sehingga penonton bisa membeli tiket tanpa mengantre sekalipun tidak

menjadi anggota (non-member). Beberapa contoh ruangan di bioskop-

bioskop tersebut ditunjukkan pada Gambar 6.3 sampai 6.5.

sumber: kabarbuton.com

Gambar 6.3. Ruang Bioskop Cinemaxx

Page 22: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

250

Dua bioskop memiliki ruang (studio) premium dengan harga

tiket yang lebih mahal. Gambar 6.3 dan 6.4 adalah contohnya.

Sumber: http://forum.detik.com

Gambar 6.4 Velvet Studio di Blitz Megapleks

Sumber: http://forum.detik.com

Gambar 6.5 Studio Premiere di Cinema XXI

Harga tiket di bioskop bervariasi, bergantung hari ketika

menonton dan jenis studio. Studio standar ―Cinema XXI‖, ―Cinemaxx‖,

dan ―CGV Blitz‖ harganya antara Rp 25.000 sampai Rp 40.000 untuk

hari biasa, dan Rp 40.000 sampai Rp 70.000 untuk akhir minggu. Jenis

studio atau kelas premium harga tiket lebih mahal. Harga tiket kelas

premier berkisar antara Rp 50.000 sampai Rp 100.000. Studio ―Velvet

Class‖ milik ―CGV Blitz‖ memiliki harga tiket paling mahal, yaitu Rp

220.000.

Selain tiga bioskop terbesar, Indonesia juga memiliki beberapa

bioskop kecil yaitu ―New Star Cineplex‖ di Jawa Timur; ―Bali Cineplex‖

Page 23: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Sensor dan Ekhibisi

251

di Provinsi Bali; bioskop ―88‖ di Pekanbaru Riau; ―Golden Theatre‖ di

Kediri, ―Sarinah Cineplex‖ di Malang; ―E-Plaza Cinema‖ di Semarang;

―Rajawali Cinema‖ di Purwokerto; ―Gajah Mada Cinema‖ di Tegal;

―Borobudur Cineplex‖ di Pekalongan; ―Hollywood Cinema‖ di

Kendari; dan Bioskop ―Raya‖ di Padang (http://telusur.metrotvnews.

com/news-telusur/ObzOgjek-ruwetnya-membangun-bioskop).

Masalah Ekshibisi di Indonesia

―Grup XXI‖ yang menjadi ekshibitor terbesar di Indonesia

menjadi masalah terbatasnya pasar di dalam negeri untuk movie maker. Hal ini ditunjukkan pada jumlah yang tertera pada tabel di bawah yaitu

sebanyak 83% bioskop di Indonesia dimiliki oleh ―Grup 21‖, ―XXI‖, dan

―Premiere‖. ―Blitz Megaplex‖ memiliki sisanya sebesar 4,8 persen,

sedangkan gabungan bioskop independen yang tersebar di seluruh

Indonesia hanya sekitar 12% persen saja dari total keseluruhan bioskop

di Indonesia. Dari segi layarnya, ―Grup 21‖ dan ―XXI‖ memiliki layar

sebanyak 81,8 % dari total 902 layar di seluruh Indonesia. Sisanya

sebesar 9,5% dimiliki oleh ―Blitz‖ dan 8,6% dimiliki bioskop-bioskop

independen. Bioskop-bioskop independen hanya memiliki sedikit layar

yaitu satu atau dua layar saja dalam satu bioskop, sehingga jumlah layar

keseluruhan masih kalah dibandingkan jumlah layar ―Blitz Megaplex‖,

bahkan ―XXI‖.

Tabel 6.2. Proporsi Jumlah Bioskop, Layar, dan Kursi

Grup 21 : Blitz : Independen

Undang-Undang Perfilman menetapkan bahwa kuota minimal

penayangan film Indonesia adalah sebesar 60% dari total jam

penayangan, untuk periode enam bulanan di seluruh bioskop di

Page 24: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

252

Indonesia. Pada kenyataannya hampir semua bioskop melanggar

Undang-Undang ini. Data tahun 2013 di bawah ini menunjukkan

bioskop ―21‖ dan ―XXI‖ hanya memenuhi 80% saja dari target 60%,

sedangkan bioskop ―Blitz‖ hampir mencapai target yaitu sebesar 98%,

dan bisokop independen adalah satu-satunya pasar eksebisi yang makin

meningkatkan pemutaran film Indonesia.

Tabel 6.3. Realisasi Jumlah Jam Pertunjukkan Film Indonesia Dibandingkan

Kuota Minimal

Sumber:http://filmindonesia.or.id

Sumber: filmindonesia.or.id

Gambar 6.6. Grafik Jumlah Jam Penayangan Film Indonesia

di Bawah Kuota Minimal

Sekalipun Undang-Undang Perfilman telah direvisi di tahun

2009, dan diatur bahwa jumlah jam tayang film Indonesia di bioskop

harus memenuhi syarat kuota minimal 60%, pada kenyataannya

undang-undang baru tersebut belum dilaksanakan sepenuhnya. Film maker Indonesia terkendala dengan aturan yang ditetapkan oleh

Page 25: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Sensor dan Ekhibisi

253

pengusaha bioskop, yaitu jika dalam waktu satu sampai tiga hari --atau

paling lama seminggu-- film tersebut tidak mendatangkan penonton

dalam jumlah yang cukup, maka film Indonesia harus segera turun dari

layar lebar. Pada akhirnya, movie-maker mencoba mencari jalan keluar

dengan membuat ―ruang‖ pemutaran sendiri. Sebagai contoh, ruang

yang dimaksud disebut ―art-house‖ seperti yang sudah ada di salah satu

studio ―XXI‖ di Bandung dan Jakarta.

Selera Penonton Menurut Ekshibitor

Pada bagian ini, penulis memiliki maksud yang sama yaitu

melakukan pemeriksaan silang antara data dari wawancara dengan

penonton, dengan informasi atau persepsi para ekhibitor, pengusaha

bioskop. Sebuah workshop di Jakarta baru-baru ini membahas tentang

industri film dan pemasarannya. Workshop berjudul ―The Art of Film Marketing‖ ini diadakan oleh MPA bekerja sama dengan APROFI. Workshop ini dihadiri oleh beberapa narasumber yang berasal dari

industri film internasional –yaitu Walt Disney Pictures Asia dan

perusahaan konsultan sosial media ―We Are Social‖— dan narasumber

nasional (BEK), movie-maker dan komunitas pecinta film.

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 6.7. Beberapa Narasumber di Workshop

―The Art of Film Marketing‖ Oleh MPAA, Jakarta

Page 26: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

254

Diskusi berjalan cukup menarik dan beberapa komentar dari

para film maker terkait film-film tidak laris yang mereka buat muncul.

Salah satunya berasal dari Bapak Ardi yang membuat film berjudul

―Trio Macan‖. Semula ia memperkirakan film tersebut akan laris,

seperti film ―Chery Belle‖ yang ia buat sebelumnya, namun Bapak Ardi

keliru. Berikut adalah kutipan diskusi dengan beliau:

―Penonton digiring seleranya oleh Hollywood. Setelah film ―Chery Belle‖ yang cukup laris, saya membuat film berikutnya yaitu ―Trio Macan‖, ternyata film tersebut gagal.... tidak laku di pasaran‖ (Ardi, 18 November 2015).

Menurut Ardi, yang sebelumnya berprofesi sebagai pembuat

sinetron, membuat film layar lebar tidak sama dengan membuat

sinetron. Selera penonton lebih sulit diprediksi. Ardi mengira, setelah

filmnya yaitu ―Chery Belle‖ akan mudah memasarkan film berikutnya

―Trio Macan‖, namun ternyata tidak demikian. Selera penonton terha-

dap film Ardi berikutnya tidak sehebat apresiasi terhadap film ―Chery

Belle‖. Rupanya para penonton yang kerap memenuhi studio di

bioskop adalah penonton dari kalangan remaja.

Berikut ini adalah penjelasan dari Catherine Keng tentang

apresiasi penonton di Indonesia terhadap film nasional yang dianggap

terbatas (segmented) ini, sebagai berikut:

―Fim Indonesia itu sangat segmented, tidak seperti film asing, sangat universal. Dengan demikian film Indonesia pangsa pasarnya tertentu, tidak bisa dipasarkan di semua layar. Contoh: film ―Bombe‖ sangat laku di ―Makasar XXI‖ bisa tahan 2,5 bulan tapi tidak di tempat lain‖ (Keng, C., 18 November 2015).

Ibu Catherine sebagai perwakilan ―Grup XXI‖ lebih melihat

peran pembuat film dalam membentuk selera penonton, seperti contoh

film ―Bombe‖ yang dikatakan hanya laku di Makasar. Lebih lanjut

Catherine menuturkan secara pribadi bahwa film nasional masih kalah

diapresiasi ketimbang film asing yang sangat banyak jumlah

penontonnya (di atas sepuluh juta orang). Sedangkan film Indonesia

yang paling laku sekalipun, hanya mencapai penonton terbanyak

sebesar lebih dari empat sampai lima juta orang. Hal tersebut

Page 27: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Sensor dan Ekhibisi

255

membuktikan bahwa penonton kita memang lebih apresiatif terhadap

film asing daripada film lokal. Tetapi hal tersebut menurut Catherine

tidak menutup kemungkinan bertambahnya apresiasi dari penonton

lokal di masa depan, dengan cara memproduksi film seperti film

―Bombe‖ yaitu film yang mengangkat budaya lokal, yang akan laku di

daerahnya masing-masing.

Lebih lanjut dikemukakan Ibu Catherine sebagai Corporate Secretary XXI, programming adalah jantung dari bioskop. Seleksi awal

diputar atau tidaknya sebuah film adalah berdasarkan kriteria sebagai

berikut: (i) apakah film tersebut merupakan mass-market product? atau

(ii) art-house product? atau (iii) untuk wilayah tertentu saja? Menurut-

nya, tidak setiap film harus diputar di banyak layar. Selain kriteria-

kriteria tersebut, pihak ekshibitor juga akan melihat trailer dan teaser serta portofolio pembuat film. Ekshibitor hanya akan memberi waktu

untuk melihat animo penonton selama 1-3 hari, karena antrean film

sangat panjang. Bioskop, menurut Ibu Catherine, punya andil untuk

mengembalikan penonton dalam negeri menonton film Indonesia.

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 6.8. Bersama Catherine Keng Gambar 6.9. Bersama Dian Soenardi

Informasi Jumlah Penonton

Peneliti menemui kesulitan mencari data penonton atau

jumlah penonton film Indonesia Pasca Reformasi (tahun 1999-2015).

Page 28: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

256

Website film Indonesia tidak mengeluarkan data tentang itu, dan

ketika peneliti menanyakan pada beberapa movie-maker, seperti Lala

Timothy dan Ifa Ifansyah, mereka pun tidak tahu berapa persisnya

jumlah penonton yang menikmati film yang mereka buat dan tayang di

layar lebar.

Dari waktu ke waktu, catatan dan informasi tentang penonton

tidak terdokumentasi dengan baik. Data yang didapatkan melalui

catatan perfilman Indonesia di website filmindonesia,or.id hanya

menyebutkan judul-judul film yang paling laku saja, bukannya film-

film yang gagal atau dilarang diputar di dalam negeri. Contohnya, film

―Loetoeng Kasaroeng‖ yang rilis pertama kali di tahun 1926 disebut-

sebut sebagai film yang sangat laris di Bandung, tapi itupun tak pernah

ada catatannya. Film ―Terang Boelan‖ yang rilis tahun 1937 di Jakarta

juga disebut J.B. Kristanto—dalam bukunya: ―Katalog Film Indonesia‖-

- sebagai film box-office pertama di tanah Hindia, yang laku dijual ke

RKO Singapura senilai SGD 200.000 (Irwansyah, A., 2015).

Sumber: dokumentasi Indonesia Cinematheque

Gambar 6.10. Film ―Terang Boelan‖ (dokumentasi Indonesia Cinematheque)

Saat Indonesia sudah merdeka penuh, film―Krisis‖ (1953) karya

Usmar Ismail disebut menjadi yang terlaris di Indonesia sesudah film

―Terang Boelan‖. Selain itu, catatan dari ―PT Perfin‖ menunjukkan film

―Ratapan Anak Tiri‖ (1973) yang menjadi film terlaris di Jakarta

dengan jumlah penonton 467.831; itupun hanya berasal dari penonton

di Jakarta saja. Film berikutnya yang juga laris menurut ―PT Perfin‖

adalah film ―Pengkhianatan G-30-S PKI‖(1984) dengan data yang tidak

Page 29: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Sensor dan Ekhibisi

257

cukup meyakinkan, yaitu sekitar 699.000 orang. Ini terbawa sampai

sekarang. Jumlah perolehan penonton yang dipublikasikan pengusaha

bioskop (seperti Grup XXI) biasanya terbatas hanya untuk film-film

yang pendapatannya menguntungkan saja. Tabel 6.4. memperlihatkan

data film-film yang penulis dapatkan yang terbatas pada film yang

menguntungkan saja, yaitu film yang meiliki jumlah penonton paling

banyak.

Tabel 6.4. Film-film Indonesia Terlaris Tahun 2009-2015

No Judul Film Tahun Jumlah Penonton

1 Laskar Pelangi 2008 4.631.841

2 Habibie dan Ainun 2012 4.488.889

3 Ayat-ayat Cinta 2008 3.581.947

4 Ketika Cinta Bertasbih 2009 3.100.906

5 5 CM 2012 2.392.210

6 The Raid 2012 1.844.817

7 Sang Pemimpi 2011 1.742.242

8 Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk

2013 1.724.110

9 Comic 8 2014 1.624.067

10 The Raid 2: Berandal 2014 1.434.272

20 Get Married 2 2009 1.199.161

21 Surga Yang Tak Dirindukan 2015 1.424.652

22 Garuda di Dadaku 2009 1.371.131

23 Casino Kings Part 1 2015 1.208.989

24 Sang Pencerah 2010 1.206.000

25 99 Cahaya di Langit Eropa 2013 1.189.709

26 Soekarno 2013 960.071

27 Cinta Brontosaurus 2013 892.915

28 Perempuan Berkalung Sorban 2009 793.277

29 Negeri 5 Menara 2012 772.397

30 Surat Kecil Untuk Tuhan 2011 748.842

31 Arwah Goyang Karawang 2011 727.540

32 Setan Budeg 2009 700.000

33 Coboy JuniorThe Movie 2013 683.604

34 Hafalan Shalat Delisa 2011 668.731

35 Di Balik 98 2015 648.947

36 Marmut Merah Jambu 2014 640.682

37 Dalam Mihrab Cinta 2010 632.105

38 Pocong Juga Pocong 2011 622.689

39 Merah Putih 2009 611.572

40 Perahu Kertas 2012 596.231

41 Cahaya Di Langit Eropa Part 2 2014 587.042

42 Assalamualaikum Beijing 2014 560.465

Page 30: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

258

No Judul Film Tahun Jumlah Penonton

43 TandaTanya 2011 552.612

44 Purple Love 2011 520.786

45 Taman Lawang 2013 526.761

46 Di Bawah Lindungan Ka’bah 2011 520.267

47 True Love Never Dies 2010 518.527

48 Pocong Rumah Angker 2010 503.450

49 Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh

2014 501.258

50 Soegija 2012 459.465

(diunduh dari: http://showbiz.liputan6.com/read/2294952, 31 Agustus 2016)

Interpretasi Atas Temuan

Beberapa interpretasi diperoleh dari temuan-temuan di Bab

enam ini.Interpretasi pertama dari bagian tentang sensor adalah, masih

ditemukannya aturan-aturan ketat di dalam Undang-Undang

Perfilman Nomor 33 Tahun 2009 tentang berbagai larangan atas film-

film yang bernuansa pornografi, narkotika, dan lain-lain. Namun pada

kenyataannya, aturan ini tidak dilaksanakan secara merata. Film-film

asing dibiarkan masuk dengan adegan-adegan yang dipenuhi nuansa-

nuansa yang dilarang tersebut. Pembuat film masa kini seperti Riri

Riza dan Ifa Isfansyah menolak sensor macam itu. Mereka

menginginkan sensor lebih diterapkan untuk kebijakan film impor,

yaitu pembatasan film impor oleh pemerintah. Penulis

menginterpretasikan bahwa sensor yang dibuat pemerintah melalui

LSF membatasi kreativitas pembuat film di dalam negeri. Di sisi lain,

film impor bebas masuk dengan segala macam cerita di dalamnya tanpa

sensor yang seketat film produksi dalam negeri. Ini adalah paradoks

pertama yang penulis temukan dalam pelaksanaan sensor di Indonesia.

Interpretasi kedua tentang ekshibitor (pengusaha layar lebar) di

Indonesia adalah mengenai dominasi kekuasaan pengusaha bioskop

menetapkan pembagian keuntungan dan masa tayang di layar

lebarnya. Penulis menginterpretasikan temuan ini bahwa ternyata

pengusaha bioskop bisa memperoleh keuntungan yang sama dari

penjualan tiket atas sebuah film seperti pembuat film tersebut, padahal

pengusaha bioskop sama sekali tidak pusing memikirkan ide-ide kreatif

Page 31: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Sensor dan Ekhibisi

259

dan mengeluarkan banyak biaya atau pengorbanan dalam proses

pembuatannya. Ini adalah paradoks kedua yaitu paradoks pembagian

keuntungan dan masa tayang akibat dominasi kekuasan di tangan

ekshibitor.

Interpretasi ketiga diperoleh ketika dilakukan pemeriksaan

silang antara komentar penonton dengan pendapat ekshibitor dan

pembuat film tentang selera penonton. Umumnya, pembuat film

berpendapat mayoritas penonton Indonesia masih dijajah seleranya

oleh film-film Hollywood, dan biasanya penonton itu mengharapkan

jenis-jenis film yang ringan atau cheesy. Namun ternyata, ada juga

penonton yang mengapresiasi film-film ―berat‖ seperti film ―Siti‖ –

kalau film tersebut memang dinyatakan berat oleh pembuatnya. Tidak

semua penonton dapat dikategorikan sebagai penonton yang senang

film-film ringan yang membuat mereka harus berpikir keras. Beberapa

pernyataan Lala seperti film-film block-buster ala Hollywood memang

ada benarnya, di samping pemilihan aktor dan aktris terkenal untuk

mendukung film yang bersangkutan. Namun, sekalipun Lala (pembuat

film) sudah membuat film ―Tabula Rasa‖ yang menurutnya merupakan

film berjenis ringan --film tersebut menceritakan realitas masyarakat

kecil yang gampang ditemui dalam situasi sehari-hari—ternyata tetap

saja tidak atau belum tentu dapat diapresiasi dengan baik oleh

penonton. Itu adalah paradoks ketiga.

Interpretasi yang keempat penulis peroleh dari pernyataan Ibu

Catherine bahwa film Indonesia masih sangat segmented sehingga

kurang laku, sementara film asing lebih universal. Penulis kemudian

berusaha mencari informasi tentang jumlah penonton. Ternyata

informasi yang didapatkan menunjukkan bahwa film-film laris di

antaranya merupakan film bertemakan Islamic yang diceritakan secara

lebih modern, film-film sejarah, perjuangan, nasionalisme,dan biografi

seseorang yang dihormati dan dikagumi, serta film laga yang dikemas

dengan lebih modern dan seru. Film-film tersebut adalah ―Habibie dan

Ainun‖, ―Soekarno‖, ―Ketika Cinta Bertasbih‖, ―Tenggelamnya Kapal

Van Der Wijk‖, ―The Raid‖, dan ―Garuda di Dadaku‖ ternyata cukup

laris. Data-data tersebut membuktikan bahwa film Indonesia yang

Page 32: Bab VI Sensor dan Ekhibisi · 2017-12-04 · 229 Bab. VI. Sensor d. an Ekhibisi. Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

260

awalnya disebut ―segmented‖ ternyata bisa menarik dan mendapatkan

apresiasi yang tinggi dari penonton karena dibuat dengan proses

sinematografi yang lebih baik dan modern. Itu adalah paradoks yang

keempat.