bab vi peran aktor dalam mereproduksi habitus ... · yang santai, pintar, mudah bergaul sehingga...

23
56 BAB VI PERAN AKTOR DALAM MEREPRODUKSI HABITUS PENYEDERHANAAN ADAT KEMATIAN 6.1 Trajectory Aktor Trajectory secara sederhana dimaknai sebagai sejarah kehidupan aktor dengan segala perlengkapan habitus dan modal yang dimiliki dalam memasuki pertarungan di dalam field (ranah), baik ranah ekonomi, sosial, budaya, maupun politik. Pada pembahasan sebelumnya sudah banyak menggambarkan habitus dan modal yaitu habitus aktor adalah pengetahuan tentang sejarah, makna adat kematian dan kemampuan aktor dalam mereproduksi habitus adat kematian. Kemudian modal akktor adalah forum maupun latar belakang kehidupan aktor. Dalam konteks ini, analisis difokuskan pada trajectory aktor yang berperan dalam proses penyederhanaan adat kematian di Desa Ramuk diantaranya : Dr. Lapoe Mokoe, tokoh ini lahir di Payeti pada tahun 1938 dan bertempat tinggal di Kelurahan Kawangu, Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur. Tokoh ini bukan tokoh asing lagi karena sudah dikenal oleh masyarakat karena dia pernah menjadi bupati Sumba Timur. Sat ini dia merupakan ketua Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu dan juga merupakan salah satu tokoh yang berpengaruh. Walaupun dia sudah tua tetapi dia masih sangat eksis di kalangan masyarakat Sumba Timur yaitu dia sosok pekerja keras dan sosok yang memiliki rasa kepedulian terhadap kehidupan masyarakat. Sosok yang santai, pintar, mudah bergaul sehingga wajar saja dia terkenal dan disegani oleh masyarakat Sumba Timur. Berdasarkan pengakuannya bahwa dia berpartisipasi dalam tahapan penyederhanaan adat ini karena prihatin terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Menurut bapak Marius bahwa pak Lapoe ditunjukkan sebagai ketua karena merupakan tokoh senior dan juga merupakan strategi forum dalam mengupayakan penyederhanaan adat sehingga apa yang dia sampaikan dapat di dengar oleh masyarakat. selain itu pengakuannya juga menceritakan bahwa dia cukup merasakan pengaruh adat kematian di

Upload: others

Post on 13-Feb-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

56

BAB VI

PERAN AKTOR DALAM MEREPRODUKSI HABITUS

PENYEDERHANAAN ADAT KEMATIAN

6.1 Trajectory Aktor

Trajectory secara sederhana dimaknai sebagai sejarah kehidupan aktor

dengan segala perlengkapan habitus dan modal yang dimiliki dalam memasuki

pertarungan di dalam field (ranah), baik ranah ekonomi, sosial, budaya, maupun

politik. Pada pembahasan sebelumnya sudah banyak menggambarkan habitus dan

modal yaitu habitus aktor adalah pengetahuan tentang sejarah, makna adat

kematian dan kemampuan aktor dalam mereproduksi habitus adat kematian.

Kemudian modal akktor adalah forum maupun latar belakang kehidupan aktor.

Dalam konteks ini, analisis difokuskan pada trajectory aktor yang berperan dalam

proses penyederhanaan adat kematian di Desa Ramuk diantaranya :

Dr. Lapoe Mokoe, tokoh ini lahir di Payeti pada tahun 1938 dan

bertempat tinggal di Kelurahan Kawangu, Kecamatan Pandawai, Kabupaten

Sumba Timur. Tokoh ini bukan tokoh asing lagi karena sudah dikenal oleh

masyarakat karena dia pernah menjadi bupati Sumba Timur. Sat ini dia

merupakan ketua Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu dan juga merupakan

salah satu tokoh yang berpengaruh. Walaupun dia sudah tua tetapi dia masih

sangat eksis di kalangan masyarakat Sumba Timur yaitu dia sosok pekerja keras

dan sosok yang memiliki rasa kepedulian terhadap kehidupan masyarakat. Sosok

yang santai, pintar, mudah bergaul sehingga wajar saja dia terkenal dan disegani

oleh masyarakat Sumba Timur. Berdasarkan pengakuannya bahwa dia

berpartisipasi dalam tahapan penyederhanaan adat ini karena prihatin terhadap

kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Menurut bapak Marius bahwa pak Lapoe

ditunjukkan sebagai ketua karena merupakan tokoh senior dan juga merupakan

strategi forum dalam mengupayakan penyederhanaan adat sehingga apa yang dia

sampaikan dapat di dengar oleh masyarakat. selain itu pengakuannya juga

menceritakan bahwa dia cukup merasakan pengaruh adat kematian di

57

lingkungannya karena ia merupakan salah satu orang yang ekonominya mampu

sehingga sering kali masyarakat datang meminjam uang, hewan bahkan barang-

barang berharga lainnya dengan alasan sesudah penguburan baru dikembalikan.

Pemahaman inilah yang kemudian mendorong ia untuk berpartisipasi karena

termotivasi dari pengalamannya.

Dalam usianya yang cukup tua ini dia turut aktif dalam mencari dana di

pemerintah daerah bahkan ke luar daerah. Ia aktif dalam mencari bantuan-bantuan

baik dari bupati maupun DPR untuk digunakan dalam melakukan sosialisasi dan

deklarasi penyederhanaan adat kematian di desa yang ada di sumba timur. Dia

bercerita bahwa pada saat deklarasi di desa bupati atau DPR pasti di undang untuk

hadir dan mereka memberi bantuan dalam bentuk dana, menurutnya Bupati dan

DPRD sebenarnya mendukung penyederhanaan adat tetapi yang menjadi masalah

adalah posisi mereka, karena jika mengeluarkan PERDA nanti image mereka di

masyarakat menurun atau dianggap pemaksaan oleh masyarakat, karena menjaga

itu pemerintah memulai proses dari bawah dari masyarakat jika semua masyarakat

setuju baru dikeluarkan PERDA..

Marius Kuramoki, S.Sos lahir di Sumba Timur pada tanggal 06 Mei

Tahun 1955, di usianya yang sudah cukup tua ini ia juga sama halnya dengan

bapak Lapoe meskipun merupakan pensiunan tapi dia masih eksis dikalangan

masyarakat. Sosok yang ramah dan santai ini merupakan wakil ketua forum

Peduli Adat Pangadangu Mahamu yang tinggal di keluruhan Hambala, Kecamatan

Kota Waingapu. Bapak Marius ini merupakan pensiunan camat dan untuk saat ini

dia bekerja di pemerintahan daerah dan dia merupakan salah satu Dewan Pembina

Partai NASDEM di Sumba Timur. Selain itu juga merupakan salah satu tokoh

adat yang cukup berpengaruh saat ini. Sosok yang sangat proaktif ini adalah tokoh

yang tidak takut pada siapapun, dia adalah sosok apa adanya yang serba siap

menanggung resiko, karena dia merupakan aktor pertama yang sudah menerapkan

penyederhanaan adat kematian di Sumba Timur yaitu pada tanggal 30 November

tahun 2011 walaupun belum ada aturan yang mengatur tetapi dia berinisiatif

sendiri melakukan deklarasi penyederhanaan adat kematian. Hal ini pada awalnya

menimbulkan pro kontra di masyarakat. Menurutnya, walaupun banyak tokoh

58

yang tidak setuju tetapi dia tetap melakukan penyederhanaan adat kematian,

katanya dengan sendirinya masyarakat menyesuaikan dan mengikutinya tetapi

dari pengalamannya ini juga dapat mempengaruhi masyarakat.

Bapak Merius ini juga menceritakan pengalamannya selama menjadi

camat di Kecamatan Hahar, Kabupaten Sumba Timur. Dia mengatakan bahwa

adat itu sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat, bahwa masyarakat ini

berlomba-lomba untuk lakukan pesta adat, pada hal sudah miskin tetap saja pesta

adat dengan cara hutang. Dari pengalamannya ia melihat sebenarnya banyak

potensi yang dimiliki masyarakat untuk bisa hidup layak antara lain dengan

berinvestasi dengan cara memilihara ternak untuk dijual dan juga pemanfaatan

potensi yang ada untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Selain itu juga dia

menceritakan pengalaman pribadinya mengenai persoalan adat kematian yang

terjadi di keluarganya itu memberatkan, ia prihatin dan peduli terhadap kehidupan

masyarakat. Ia juga menceritakan awal munculnya penyederhanaan adat kematian

yaitu berawal dari ia deklarasi pada tanggal 30 November 2011 setelah itu WVI

yang merupakan lembaga pemerihati pendidikan anak di Sumba Timur mulai

bekerja sama dengan dia untuk mulai lakukan sosialisasi di desa-desa yang

merupakan wilayah binaan WVI. Setelah itu dia berinsiatif untuk mencari tokoh-

tokoh yang berpengaruh di Sumba Timur untuk ikut bergabung sehingga pada

tahun 2013 terbentuklah forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu sebagai salah

satu lembaga yang prihatin terhadap kehidupan masyarakat.

Paulus Kabubu Tarap, S.Kom bertempat tinggal di palindi, lahir di

Waingapu pada tanggal 20 November 1952. Dia merupakan salah satu tokoh adat

yang cukup berpengaruh di Sumba Timur dan juga merupakan wakil ketua forum

Peduli Adat Pangadangu Mahamu. Saat ini dia sebagai seorang pemerihati

korupsi di kabupaten Sumba Timur dan juga berkerja di bidang koperasi sebagai

ketua di wilayah Kecamatan Pandawai, Sumba Timur. Bapak paulus juga

bercerita bahwa dulunya setelah pensiun dari kepala bagian daerah pernah

menjadi seorang pelayan Tuhan di kanatang selama kurang lebih 10 Tahun.

Bapak Paulus tidak banyak menceritakan latar belakang dan pengalaman

pribadinya, tapi menceritakan pengalaman dalam melakukan adat kematian dan

59

pengaruhnya terhadap masyarakat. Ia menceritakan tentang adat kematian yaitu

membandingan adat kematian yang dahulu dengan sekarang, menurutnya bahwa

pelaksanaan adat ini kurang relevan dan kurang sesuai lagi dengan kehidupan

masyarakat karena terjadi pergeseran nilai dan makna budaya.

Umbu Reku, S.Sos sosok ini bukan penduduk asli Sumba Timur

melainkan berasal dari Sumba Tengah lahir pada tahun 1967, saat ini bekerja

sebagai staff di Lembaga Wahana Visi Indonesia (WVI) bagian sosial budaya di

Sumba Timur. Sosok yang ramah dan sopan ini merupakan salah satu pejuang

masyarakat, yakni turut aktif memfasilitasi anak-anak yang kurang mampu untuk

menempuh pendidikan yang lebih tinggi, dia sebagai salah satu aktor pemerihati

anak yang ada di Sumba Timur. Walaupun dia bukan merupakan orang asli

Sumba Timur tetap ia cukup dikenal oleh masyarakat terutama di desa-desa yang

merupakan wilayah binaan WVI. Sosok ini cukup memiliki pengalaman dan

jaringan di masyarakat sehingga membuat ia turut aktif dalam penyederhanaan

adat kematian. Kepercayaan yang sudah tertanam di masyarakat juga menjadi

modal bagi bapak Umbu Reku sehingga apa yang disampaikan bisa di dengar oleh

masyarakat. Selain itu juga ia merupakan salah satu aktor yang menggagas

pertama penyederhanaan adat kematian di Sumba Timur. Dia berinsatif

menghubungi tokoh-tokoh penting yang ada di Sumba Timur untuk melakukan

diskusi dan seminar tentang budaya adat kematian. Kemudian ia juga berinsiatif

membentuk satu forum dan memfasilitasi forum untuk melakukan sosialisasi

penyederhanaan adat kematian.

Stepanus M Awang, lahir di Ramuk pada 29 September 1961, merupakan

sosok yang disegani, tegas, jujur dan serba terbuka terhadap siapa saja dan mau

bicara apa adanya. Saat ini merupakan sekretaris desa Ramuk dan turut aktif

dalam membantu forum dalam melakukan sosialisasi penyederhan adat kematian

di masyarakat. Sosok ini sangat antusias tentang penyederhanaan adat sebagai

wujud dari keinginan maupun keprihatinannya ini adalah turut mengajak

masyarakat agar melaksanakan penyederhanaan adat. Modal yang dimilikinya

yaitu sebagai aparat desa dapat mempengaruhi dan meyakinkan masyarakat untuk

mau melakukan penyederhanaan adat. Sosok ini tidak banyak menceritakan latar

60

belakang pengalamannya tetapi aktor ini lebih menceritakan pengalamannya

dalam melakukan adat kematian yaitu masalah persoalan adat kematian yang

memberatkan dan juga menceritakan persoalan adat kematian di desa Ramuk.

Dulunya sebelum menjadi sekretaris desa ia juga bekerja di Landang Tuhan

sebagai Majelis di GKS Ramuk selama kurang lebih 10 tahun. Sekarang sebagai

sekretaris desa sudah hampir 8 tahun. Memang sosok ini tidak banyak

menceritakan pengalaman tapi posisinya di desa sangat di segani dan di hargai

oleh masyarakat sehingga apa yang di sampaikan di dengar oleh masyarakat.

Yusak Ndjuru Hapa, sosok berkumis dan berbadan kecil ini merupakan

salah satu tokoh adat atau Wunang (juru bicara) yang ada di Desa Ramuk. Sosok

ini merupakan sosok yang tidak asing lagi di desa Ramuk, mengapa tidak dalam

setiap urusan adat sosok inilah yang selalu memandu jalannya upacara adat baik

itu adat kematian maupun perkawinan sama saja. Dia merupakan salah satu tokoh

adat senior dan paling tua di Desa Ramuk, bisa dikatakan jika dia tidak ada

upacara adat tidak jalan. Sosok ini juga dikenal sosok yang keras dan tegas dalam

urusan adat. Sosok ini juga sangat aktif dalam membantu forum dalam melakukan

sosialisasi penyederhanaan adat kematian di desa Ramuk. Meskipun dia adalah

salah satu tokoh adat tapi mau terlibat langsung dalam proses penyederhanaan

adat kematian. Sosok ini tidak banyak menceritakan latar belakangnya tapi

posisinya sebagai tokoh adat (wunang) sehingga sangat di segani dan dihargai

oleh masyarakat. Pengalaman dan pengetahuannya tentang adat kematian mampu

mendorong ia untuk turut berpartisipasi dalam proses penyederhanaan adat

kematian. Pengalaman dalam memimpin dan memandu jalannya adat kematian

mendorong ia untuk merespon lewat tindakan yaitu ia mampu menilai dan

mengevaluasi persoalan adat kematian.

Yonathan P Ratudima, sosok yang lahir di Ramuk ini merupakan salah

satu tokoh masyarakat dan juga merupakan tokoh adat. Pak Yonathan ini salah

satu sosok yang disegani oleh masyarakat Desa Ramuk. Dulunya ia merupakan

Sekretaris Desa dan sekarang menjadi tokoh masyarakat/adat yang cukup

berpengaruh di Desa Ramuk. Pengalamannya dalam melaksanakan adat kematian

mendorong ia untuk ikut terlibat dalam proses penyederhanaan adat kematian ini.

61

Berdasarkan wawancara ia mengatakan bahwa adat kematian cukup memberi

dampak yang sering merugikan dan memberatkan ekonomi masyarakat.

Menurutnya padahal masyarakat ini memiliki modal untuk berinventasi dengan

memilihara ternak untuk dijual menurutnya sekarang ini ternak cenderung

berkurang karena lebih banyak digunakan untuk adat. Bapak Yonathan ini

memang tidak banyak menceritakan latar belakang pengalamannya tapi dilihat

dari posisinya di desa Ramuk dia dapat dikatakan salah satu tokoh berpengaruh.

Dalam urusan adat misalnya dia orang pertama yang berbicara di balai-balai adat

dan didengar oleh masyarakat. Pengalaman mendorong bapak Yonathan untuk

merespon secara sadar akan penyederhanaan adat kematian. Menurutnya bahwa ia

juga merupakan salah satu korban yang merasakan beban pengeluaran saat adat

kematian, berdasarkan ceritanya dulu ketika ibu dan bapaknya meninggal juga

berani berhutang untuk menguburkan orang tuanya. Yang menarik pada bapak

Yonathan ini adalah dulunya merupakan salah satu aktor yang menolak

penyederhanaan adat tetapi setelah itu ia berpikir ulang berbalik menerima

penyederhanaan adat. Pengalaman pak Yonathan dalam melakukan adat inilah

yang menggoda dan mendorong ia untuk mau menyederhanakan adat kematian.

Berdasarkan trajectory di atas menunjukkan bahwa aktor-aktor saling

berjejaring satu sama lain. Bapak Lapoe, Marius, Paulus dan Umbu Reku adalah

aktor dalam Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu yang membentuk simpulan

penyederhanaan adat kematian. Terkusus bapak Marius dan Paulus adalah aktor

yang membentuk jaringan dan mewakili Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu

untuk melakukan sosialisasi dan deklarasi penyederhanaan adat kematian di desa

Ramuk. Bapak Umbu Reku adalah aktivis LSM yang memiliki jaringan dengan

desa Ramuk. Dia turut berpartisipasi mendampingi dan mendorong forum untuk

melakukan sosialisasi penyederhanaan adat kematian Sedangkan bapak Stepanus,

Yusak dan Yonathan adalah aktor-aktor di desa yaitu sebagai tokoh pemerintah

desa, tokoh adat dan tokoh masyarakat. Ketiga aktor ini memiliki koneksi jaringan

dengan aktor-aktor dalam forum Peduli Adat juga memiliki peran untuk

berkomunikasi dengan masyarakat yaitu sebagai perantara antara aktor Forum

Peduli Adat dengan masyarakat desa Ramuk. Kemudian ketiga aktor ini juga

62

memiliki peran dalam mengajak, membujuk dan mendorong masyarakat untuk

sederhanakan adat kematian yaitu dengan menggunakan habitus dan modal yang

dimiliki untuk mempengaruhi masyarakat.

Peran aktor yang hendak dijelaskan dalam hasil penelitian ini adalah

terkait dengan konsep tindakan/praktik yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu.

Konsep praktik menurut Bourdieu merupakan integrasi antara habitus yang

berdialektik dengan modal dalam ranah (arena perjuangan), yang dirumuskan

dengan: (Habitus x Modal) + Ranah= Praktik. Dalam kaitan antara konsep

tersebut dengan penelitian ini, maka akan dijelaskan masing-masing unsur dari

konsep tersebut berdasarkan kenyataan yang diperoleh dari lapangan, yang

kemudian akan menjelaskan peran aktor dalam upaya penyederhanaan adat

kematian di Desa Ramuk.

6.2 Peran Aktor Dalam Melihat Dampak Dan Pergeseran Adat

Kematian

Bersumber pada pembahasan sebelumnya bahwa penyederhanaan adat

kematian merupakan hasil reproduksi habitus dimana aktor-aktor ini dipengaruhi

oleh pengetahuan dan pengalaman sehingga mampu berpikir, menilai,

mempersepsi, mengevaluasi pengalaman praksis upacara adat kematian.

Pengalaman dan pengetahuan inilah yang mendorong dan membimbing aktor

untuk merubah dunia sosial yaitu dengan menciptakan forum untuk

penyederhanaan adat kematian. Dalam konsep Pierre Bourdieu forum adalah

instrumen sistem yang menstruktur dan struktur yang mensistemkan. Pembahasan

dampak adat kematian merupakan faktor yang melatarbelakangi munculnya

penyederhanaan adat kematian. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan di

temukan hal mendasar yang mendorong aktor mereproduksi habitus yaitu bahwa

aktor-aktor mampu menilai, mempersepsi, mengevaluasi dunia sosialnya dengan

melihat dampak yang di sebabkan oleh adat kematian. Dalam artian bahwa aktor-

aktor memliki pengetahuan untuk merubah habitus (adat kematian) yang

kemudian membentuk forum.

63

Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara yang dilakukan ditemukan

bahwa adat kematian di Sumba Timur selain memiliki nilai filosofis budaya

namun tanpa disadari memiliki dampak negatif bagi masyarakat. Sebagai berikut :

6.2.1 Segi ekonomi

Berdasarkan hasil analisis dilakukan pada bab sebelumnya (Bab V) bahwa

upacara adat kematian yang dilakukan di Sumba Timur memiliki pengaruh

terhadap masyarakat yaitu biaya tinggi dikeluarkan pada saat upacara adat

kematian menyebabkan beban ekonomi. Selain itu gengsi sosial pada masyarakat

menyebabkan hutang yang dapat menpengaruhi ekonomi masyarakat. Tuntutan

adat kematian juga menyebabkan orang Sumba Timur berlomba-lomba untuk

melakukan upacara adat kematian, hal ini sebabkan karena adat kematian sudah

tereduksi pada kepentingan individual karena terjadi pergeseran. Oleh karena

modal budaya adat kematian berubah makna menjadi modal ekonomi dan

simbolik. Hal perkuat oleh pernyataan bapak Paulus, sebagai berikut:

“Kalau dari sisi ekonomi mayat itu disimpan lama karena belum

ada biaya penguburan, kalau masa dulu sebelumnya 3 hari 7 hari saja

tapi setelah habis penjajahan Belanda masa 30-an pengaruh ekonomi

sangat besar sekali kalau dia tidak punya apa-apa di simpan dulu ini

mayat kapan dia sudah punya biaya baru direncanakan penguburan

jadi ada pengaruhnya bagi masyarakat yang kurang mampu adanya

gengsi sosial mempengaruhi masyarakat yang kurang mampu untuk

melaksanakan upacara adat kematian. Contoh kalau babi satu ekor

saja yang ada di dalam rumah pasti di bawa sudah kabamata (harga

diri). Inikan hubangan sosial tadi yang saya katakan jadi itu

pengaruhnya besar meskipun kalau dia harus berusaha sedimikan

rupa untuk bisa beli babi dan yang terjadi adalah utang permanen jadi

kalau tidur kepikiran terus sudah karena pinjaman-pinjaman tadi dia

harus ganti. Jadi dari sisi batin tidak ada sejahtera tertekan terus,

terganggukan ini dari sesi ekonomi juga berpengaruh sekali jadi bagi

yang mempunyai ekonomi menengah ke atas dia tidak terlalu

berpengaruh kalaupun dari sisi materinya tapi keluarga menengah ke

bawah sangat berpengaruh sekali apalagi anak yang sedang

bersekolah karena persoalan kabamata (harga diri) dia malas tau

sudah pada hal anak ada berteriak minta uang sekolah. Inilah

kelemahan kita orang Sumba sehingga dengan itu kita perlu

melakukan gagasan perbaikan supaya demikian perlahan-lahan tidak

seperti itu lagi. Kalau dari sisi ekonomi memang disini perlu

perdebatan karena kita sudah terjebak dari posisi sosial, prestice

sosial kepada hal-hal yang sebenarnya tidak boleh dilakukan dan

64

tidak boleh terjadi dan itu berdampak pada persoalan ekonomi karena

itu sekarang kita lakukan penyederhanaan adat sehingga dengan

demikian ekonomi kita terbangun ada penghematan biaya disana dan

ada penghematan waktu dan tenaga22

Kebiasaan dalam menyimpan mayat yang relatif lama (berhari-hari,

bahkan bertahun-tahun) dan mengeluarkan biasa yang begitu besar (mewah)

sudah menjadi kebiasaan masyarakat Sumba Timur. Kebiasaan yang dilakukan

orang Sumba ini tidak lagi melihat persoalan ekonomi, tetapi karena sistem

kekeluargaan itu terkadang mensyaratkan ekonomi untuk mempertahankan harga

diri (inventasi simbolik). Walupun sebenarnya itu merupakan konstruksi makna

karena terjadi pergeseran. Menarik bahwa prinsip dasar kehidupan orang Sumba

sebenarnya adalah kebersamaan yang dijunjung dengan nilai-nilai budaya dan

gotong royong tetapi kini berubah menjadi prinsip individual (prestice). Hal ini

juga perkuat kembali oleh bapak Marius, Yusak, Yonathan dan Stepanus yang

memiliki pernyataan yang sama:

“Kita lihat masyarakat ini semakin miskin, bisa dikatakan sebab

apa yang dimiliki itu seolah-olah untuk kebaikannya yang meninggal

sudah jadi itu dari sisi ekonomi sama saja tidak menguntungkan. Pada

hal kita sekarang ini Kristen di Sumba hampir sudah 80 persen.

Sebenarnya kita orang Sumba lebih ke gengsi sosial tidak mau kalah

dengan orang lain sehingga kita ini berlomba-lomba melakukan

upacara adat hanya karena kita ingin mempertontonkan

kedudukan/pengakuan di depan orang lain. Itulah kelamahan kita

orang Sumba walaupun sudah miskin tetapi kita tetap berusaha

melakukan pesta adat kematian yang bersifat mewah yang

menghabiskan biaya yang banyak meskipun kita ini hutang kiri

kanan. Karena hutang yang banyak tadi dalam kematian orang tidak

lagi memikirkan ekonomi dan pendidikan tetapi karena tuntutan

hutang menjadi beban bagi dia”23

Senada dengan pernyataan tersebut diatas ditambahkan juga oleh bapak

Umbu Reku bahwa adat kematian ini memiliki dampak. Hal inilah yang menjadi

habitus aktor karena mampu mereproduksi pengalaman yaitu dampak adat

kematian:

22

Wawancara Bapak Paulus Pada Tanggal 21 Januari 2016 23

Wawancara Bapak Marius Pada Tanggal 22 Januari 2016

65

“Ya ini sangat memiliki dampak walaupun kita tidak sadar bahwa

ada banyak pendapat juga bahwa budaya itu tidak memiskinkan

masyarakat ada juga yang mengatakan kadang-kadang budaya

memiskinkan. Saya lebih melihat masa depan anak-anak ya, saya 15

tahun sudah bekerja di lembaga sebagai pemirihati anak jadi saya

tahu kondisi masyarakat. Kadang-kadang masalah budaya juga

menghambat kepentingan masyarakat itu. Contoh kasus yang paling

kecil upaya kita memberikan bantuan di masyarakat ada program

ternak. Peternakan sapi/babi untuk kita berikan pada kelompok-

kelompok tapi karena lebih tingginya ini kekuatan budaya kadang

masyarakat program pemerintah/lembaga lain hanya di gunakan

untuk kepentingan sesaat saja. Misalnya di berikan 60 ekor perdesa

mereka lebih lebih menggunakan dalam hal budaya jadi nanti bilang

hewannya mati hewannya hilang pada hal ini program untuk kebaikan

mereka. Budaya penting bagi kita karena merupakan daya tarik

pariwisata, tetapi bagaimana kita meramulnya kembali, bagaimana

kita memperbaiki kedepan sehingga tidak terlalu memboroskan jadi

kita berpikir untuk masa depan anak kita yang masih banyak

membutuhkan perhatian terutama anak-anak kita sehingga secara

tidak langsungkan kita bisa berinventasi. Misalnya kita pelihara babi

kita jual babinya kan bisa tabung untuk mereka atau pelihara kuda

atau kerbau”24

Berdasarkan pernyataan tokoh diatas maka disimpulkan bahwa adat

kematian memiliki pengaruh negatif pada segi ekonomi dan pendidikan. Seperti

pada pembahasan sebelumnya bahwa adat kematian terjadi pergeseran hal ini

karena adat kematian sudah direduksi oleh sebagian orang sebagai modal ekonomi

dan simbolik. Persoalan ini berdampak pada masyarakat menengah kebawah,

walaupun secara ekonomi tidak mampu tetap melakukan upacara adat kematian

yang mengeluarkan biaya yang besar. Melalui inventasi simbolik bahwa meraka

juga akan berusaha memperoleh pengakuan/kedudukan (prestice) sehingga

berhutang. Namun di satu sisi mereka tidak lagi melihat persoalan ekonomi.

6.2.2 Kabamata: akumulasi modal budaya dan simbolik yang

berujung pada kemiskinan.

Pergeseran makna dan nilai adat kematian karena reproduksi makna yaitu

ketika modal budaya direduksi dalam kepentingan modal ekonomi dan simbolik.

Sekarang ini adat kematian sering dijadikan sebagai alat oleh oknum-oknum

24

Wawancara Bapak Umbu Reku pada tanggal 27 januari 2016

66

tertentu untuk kepentingan prestice sosial. Selain itu adat kematian menjadi bisnis

ekonomi untuk mencari keuntungan (modal ekonomi). Dalam kaitannya dengan

Bourdieu tentang arena dan modal, bahwa didalam arena aktor-aktor berlomba-

lomba melakukan upacara adat kematian dengan modal yang dimiliki. Modal

yang digunakan aktor untuk mencapai modal ekonomi adalah modal budaya (adat

kematian) dan modal social (jaringan melalui hubungan kekerabatan). Modal

sosial yang dimiliki oleh setiap aktor adalah dengan memanfaatkan modal budaya

yaitu adat kematian, adanya pihak anakawini dan pihak yera dalam adat kematian

dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Artinya dalam arena adat

kematian setiap modal berkoloborasi satu sama lain.

Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa gengsi sosial

muncul karena adanya sistem dominasi. Berangkat dari pemahaman ini bahwa

dalam urusan adat kematian baik miskin maupun kaya orang berlomba-lomba

untuk melakukan adat kematian. Sebagai contoh orang yang mampu pasti

semakin tinggi kedudukannya di masyarakat karena besar biaya yang

dikeluarkkan saat upacara adat kematian dan semakin terpandang dilihat orang

lain. Sedangkan orang yang kurang mampu akan berusaha sedemikian rupa untuk

melakukan upacara kematian walaupun secara ekonomi tidak mampu tetapi

berusaha dengan cara hutang. Untuk itu persoalan masyarakat ini seolah-olah

mereka bimbang karena disatu sisi mereka berusaha keluar dari dominasi dengan

menggunakan strategi inventasi simbolik (pengakuan/prestice). Namun disisi lain

juga persoalan ekonomi karena besarnya biaya yang dikeluarkan saat adat

kematian. Hal inilah menjadi sebuah dilema bagi masyarakat karena disatu sisi

ingin keluar dari dominasi tetapi disisi lain berdampak pada beban ekonomi. Hal

ini terjadi karena “kabamata” atau harga diri yang ingin di pertahankan. Seperti

yang diungkapkan oleh Bapak Paulus, Marius, Yusak dan Stepanus yang

memiliki pemahaman yang sama, sebagai berikut:

“Kalau dari sisi ekonomi kita sudah terjebak dari posisi sosial,

prestice sosial kepada hal-hal yang sebenarnya tidak boleh dilakukan

atau terjadi karena ini berdampak pada persoalan ekonomi. Dari

aspek politik juga karena disebabkan prestice social, orang Sumba ini

lebih kepada gengsi sosial orang bilang kabamata sudah padahal tidak

punya apa-apa juga. Tapi karena gengsi sosial mau tidak mau wah

67

orang bilang apa sama saya ini misalnya kalau bapa saya meninggal

nenek saya meninggal. Pola pikir ini lah yang harus dirubah. Karena

berdampak pada ekonomi juga karena gengsi tadi. Misalnya kaitan

dengan budaya adat kematian itu tadi mempertontonkan pamor

sosialnya mempertontonkan gengsi sosialnya sehingga orang bisa

menilai bahwa dia adalah keyparson orang mampu dalam lingkup

itu.”25

Reduksi makna adat kematian menjadi salah satu faktor gengsi sosial yaitu

pola pikir masyarakat tentang adanya dominasi dan juga sifat tidak mau kalah

dengan kedudukan orang lain sehingga menyebabkan persaingan ekonomi. Aktor-

aktor akan memperebutkan modal dalam arena seperti modal ekonomi, modal

simbolik, modal sosial. Modal simbolik di pertaruhkan oleh aktor dengan tujuan

pengakumulasian modal ekonomi, sosial dan juga simbolik. Orang yang

ekonominya mampu akan memanfaatkan orang yang ekonominya lemah melalui

upacara adat. Misalnya semakin mewah upacara adat kematian yang dilakukan

maka semakin tinggi kedudukan/penghargaan dia di lingkuangan masyarakat,

tetapi membawa dampak pada masyarakat yang ekonomi menengah kebawah

karena mereka juga ingin memperoleh pengakuan dan kedudukan maka mereka

berusaha melakukan upacara adat kematian yang sifatnya mewah dengan cara

hutang. Berdasarkan persoalan tersebut inilah yang menjadi sebuah dilema di satu

sisi masyarakat ingin keluar dari dominasi kelas namun disatu sisi juga mereka

ingin menginventasikan modal simbolik (pengakuan). Teori praktek Bourdieu

hadir untuk membedah kaum dominasi ekonomi maupun dominasi simbolik dan

hendak memahami struktur sosial masyarakat, sekaligus perubahan dan

perkembangan yang terjadi.

6.2.3 Dualisme agama

Pada umumnya sekarang ini sebagian besar masyarakat Sumba Timur

sudah beragama Kristen, tetapi menarik bahwa dalam urusan kematian masih

mendua dalam melakukan upacara adat kematian yaitu melakukan upacara adat

kematian secara budaya Marapu dan Kristen. Orang Sumba walaupun sudah

Kristen tetapi dalam menguburkan orang mati masih menggunakan tata cara

25

Wawancara Bapak Paulus Pada Tanggal 21 Januari 2016

68

budaya marapu. Hal inilah yang bertentangan dalam agama Kristen. Berdasarkan

hasil penelitian ditemukan bahwa pelaksanaan upacara adat kematian terjadi

dualisme. Misalnya dalam hal penyimpanan mayat itu bahwa masih ada seorang

pendeta yang menyimpan mayat yang relatif lama dua tahun, sepuluh tahun

bahkan berpuluh tahun dan selain itu juga masih menggunakan ritual Marapu.

seperti yang disampaikan oleh bapak Paulus dan Marius:

“Kalau dari segi agama kita orang Sumba GKS ini sudah terjebak

karena nama gereja. Gereja Kristen Sumba pendeta-pendeta begini

masih gereja secara teologia saya dulu 25 tahun masih bekerja

sebagai pelayan di kanatang kurang lebih 5 tahun itu maramba sudah

Kristen, liturgi pemakaman secara kristen jalan tetapi setelah selesai

di kembalikan kepada budaya dan itu tidak boleh karena itu

bertentangan kalau kristen, ya kristen jangan lagi masuk ke budaya

marapu. Selain itu ada juga pendeta, padahal sudah pendeta tetapi

masih melakukan ritual marapu inikan bertentangan”26

Menurut Bourdieu dalam Ritzer (2010) menguraikan habitus sebagai akal

sehat (common sense) yang merefleksikan pembagian objektif dalam struktur

kelas seperti kelompok usia, jenis kelamin dan kelas sosial. Sejalan dengan

dualisme agama bahwa masyarakat sekarang ini terjadi pertarungan di dalam

arena adat kematian dalam artian bahwa habitus bisa jadi merupakan fenomena

kolektif, dia memungkinkan orang memahami dunia sosial melalui pengetahuan

dan pengalaman, namun keberadaan berbagai habitus berarti bahwa dunia sosial

dan strukturnya tidak menancapkan dirinya secara seragam pada setiap aktor.

Menarik bahwa habitus sebagai common sense (akal sehat) menjadi arena

pertarungan aktor yaitu field agama Kristen dan field budaya Marapu. Logikanya

bahwa dalam pandangan agama Kristen bahwa menyimpan mayat yang lama

dengan menggunakan ritual marapu ini menjadi hal yang tidak masuk akal karena

bertentangan. Namun dalam kepercayaan marapu bahwa upacara upacara adat

kematian dilaksanakan apabila sudah memiliki biaya penguburan. Sehingga

kebiasaan menyimpan mayat itu sudah menjadi kebiasaan. Melalui pemahaman

inilah aktor melakukan praktek karena berpikir secara rasional yang oleh

26

Wawancara Bapak paulus 21 januari 2016

69

Bourdieu mengatakan bahwa aktor bertindak karena berpikir secara akal sehat

(common sense).

6.3 Peran Aktor Dalam Membentuk Forum

Bagian ini menjelaskan bahwa forum merupakan hasil reproduksi habitus

dan juga modal. Bourdieu mengartikan bahwa forum merupakan Struktur-Struktur

yang dibentuk dan struktur-struktur yang membentuk. Secara sederhana dapat

dilihat bahwa forum terbentuk karena aktor-aktor memiliki habitus tentang adat

kematian sehingga kemudian aktor-aktor ini mereproduksi habitus menjadi

tindakan dengan membentuk forum.

6.3.1 Sekilas Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu

Dalam konsep Bourdieu forum merupakan instrumen sistem yang

menstruktur dan struktur yang mensistemkan. Artinya bahwa sebagai wujud

sistem habitus praktek adat kematian dipandang oleh beberapa pihak dalam

melihat dampak adat kematian yang berujung pada kemiskinan masyarakat,

sehingga forum peduli adat di bentuk sebagai salah satu alternatif solusi untuk

mengatasi persoalan adat kematian.

Berdasarkan hasil wawancara disimpulkan bahwa latar belakang

munculnya penyederhanaan adat kematian yaitu berangkat dari refleksi dan

pengalaman aktor dalam melihat dampak pelaksanaan adat kematian di Sumba

Timur. Aktor-aktor tersebut memiliki kepedulian dan keprihatinan terhadap

kehidupan sosial masyarakat sehingga berinsiatif membentuk satu forum sebagai

badan pemberdayaan masyarakat. Berangkat dari realitas kemiskinan dan

pengalaman aktor dalam melaksanakan upacara adat kematian juga mendorong

mereka untuk berinsiatif membentuk forum. Hal ini juga terjadi karena aktor-aktor

memiliki habitus dan modal.

Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu merupakan sutu organisasi yang

bergerak di bidang budaya yaitu penyederhanaan adat di Sumba Timur.

Perkumpulan dalam forum ini terdiri dari tokoh adat, tokoh agama, tokoh

masyarakat maupun tokoh pemerintah. Forum ini bertujuan untuk

memberdayakan masyarakat secara aktif dalam mewujudkan ide dan gagasan

penyederhanaan adat kematian dalam upaya mensejahterakan masyarakat baik di

70

bidang pendidikan, ekonomi maupun sosial budaya. Peran dan fungsi forum

adalah memfasilitasi masyarakat baik secara perorangan/keluarga maupun kabihu

melalui kegiatan sosialisasi dan deklarasi penyederhanaan adat. Sedangkan

fungsinya adalah membantu, mendampingi, memberdayakan serta menggerakkan

masyarakat untuk melaksanakan tahapan proses penyederhanaan adat kematian

tanpa menghilangkan makna dan nilai budaya.

Berdasarkan latar belakang terbentuknya, forum ini terbentuk pada tanggal

12 agustus tahun 2013 di Waingapu. Pada saat itu masih bersifat organisasi tanpa

bentuk yaitu bersifat sementara dan belum berbadan hukum namun karena

perjuangan tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan lembaga

Wahana Visi Indonesia (WVI) sehingga pada tanggal 11 November tahun 2014

forum ini resmi menjadi satu organisasi forum adat Sumba Timur atau LSM yang

berfokus pada bidang sosial budaya yaitu penyederhanaan adat kematian. Dari

hasil penelitian menunjukkan bahwa forum ini terbentuk berangkat dari rasa

kepedulian dan pengakuan-pengakuan dari beberapa aktor yang prihatin terhadap

Sumba Timur. Forum ini juga bertolak dari persoalan kemiskinan terkait dengan

realitas pelaksanaan adat kematian untuk itu tokoh-tokoh berinsiatif membentuk

forum sebagai salah satu solusi. Hal ini diperkuat oleh pernyataan bapak Marius

menyampaikan tentang latar belakang terbentuknya forum:

“Cerita awalnya ini saya deklarasi pada tanggal 30 November

2011 itu deklarasi pertama itu di kampung saya. Setelah itu WVI

mulai pakai saya sudah untuk laksankan sosialisasi-sosialisasi

penyederhanaan adat di desa wilayah binaannya. Saya sendiri dulu

pak Paulus belum, pak Lapue belum terus pak Elias juga belum jadi

saya mulai cari-cari teman kalau pemikiran saya sendiri ya tidak

mungkin jadi cobalah dekati tokoh-tokoh yang bisa membantu untuk

menjelaskan ini maksud penyederhanaan adat. Seperti pak Paulus,

Umbu Rada, Umbu Tunggu karena dia wunang jadi saya sudah yang

ajak mereka. Saya yang pertama keliling dari hahar dan pak Lapue.

Setelah itu kita mulai banyak sudah akhirnya kalau sudah turun itu

kita mulai pakai Tim sudah begitu. Jadi awalnya yang mempunyai

inisiatif itu adalah saya dan dengan bergabungnya pak Lapue kan

pikiran saya lebih terbuka apalagi dia ini mantan Bupati jadi apa yang

dia omong pasti orang dengar begitu. Mulai bergabung sudah om

Paulus saya ajak dia karna selalu kawan dan sejalan pikiran, dia juga

salah satu yang merasakan akibatnya ini budaya adat, karena kalau

pak Paulus tidak ada misalnya mauliru, lambanapu ini kalau dia tidak

71

ada dalam adat kematian itu adat kematian itu tidak jalan seperti itu to

dan itu sering dan salah satu tokoh yang berpengaruh sekali. Jadi mau

tidak mau dia harus berkorban sudah jadi dia harus bantu sudah to

dan dia juga rasa itu jadi dia mulai bergabung sudah”27

Terbentuknya Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu melalui inisiatif-

inisiatif aktor yang prihatin terhadap pelaksanaan adat kematian sehingga mereka

membentuk forum. Aktor-aktor dalam forum ini dapat membentuk forum karena

masing-masing memiliki modal (modal budaya, sosial, simbolik). Modal budaya

yang dimiliki oleh aktor-aktor ini adalah pengetahuan tentang adat kematian.

Modal sosial yang dimiliki adalah bahwa rata-rata aktor sudah memiliki jaringan

dan hubungan baik karena sudah saling mengenal satu sama lain. Modal simbolik

yang dimiliki aktor ini juga memudahkan mereka membentuk satu forum yaitu

sebagai mantan bupati, mantan camat, tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh

agama. Unsur kepercayaan antar aktor juga di pengaruhi oleh modal simbolik

yang dimiliki setiap aktor. Lembaga WVI juga memiliki peran yang cukup

penting dalam membentuk Forum yaitu berinsiatif membuat seminar budaya yang

diikuti oleh beberapa pihak yang peduli terhadap budaya. WVI ini mampu

mengumpulkan aktor-aktor yang memiliki pengaruh di Sumba Timur. Unsur

yang dibangun ini juga menjadi pendorong dalam membentuk forum. Hal ini di

perkuat oleh pernyataan bapak Paulus dan Umbu Reku yang menceritakan latar

belakang terbentuknya forum :

“Kita beberapa orang waktu itu seminar WVI, seminar budaya

tahun 2007 jadi kami diundang waktu itu banyaklah kami yang

diundang tokoh-tokoh sumba timur baik dari gender, tokoh agama,

tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan lain sebagainya.

Ketika waktu kami seminar ada dari jakarta dari WVI pusat dia di

bagian devisi budaya, diskusi-diskusi pokoknya perdebatan cukup

alot kita bentuklah tim salah satu timnya adalah saya, pak lapoe, pak

marius korumuki, pendeta elias, pendeta andreas hani kami coba

merumuskan itu dari diskusi-diskusi tadi seminar kita seminar-

seminar-seminar-kita merumuskan lagi kita seminarkan lagi kita

tuangkan sudah dalam satu konsep kita seminarkan ini konsep, kita

seminarkan ini gagasan keluar daerah. Waktu pertemuan kita

seminarkan di kedutaan australia dan responya luar biasa waktu itu

setelah respon bagus begitu waktu itu kita buat sudah satu instrument

27

Wawancara Bapak Marius Pada Tanggal 22 Januari 2016

72

baru lah keluar akte notaris dan kita buat anggaran rumah

tangganya”28

Peran WVI dalam mengumpulkan tokoh-tokoh yang berpengaruh di

Sumba Timur mampu membentuk forum adat hal ini diperkuat kembali oleh

pernyataan Bapak Lapoe Mokoe sebagai ketua Forum Peduli Adat Pangadangu

Mahamu:

“Pemicu pertama itu memang datang dari WVI. Jadi WVI ini

program mereka di Sumba Timur adalah pendidikan anak. Sehingga

mereka melihat dalam hal pendidikan anak ini pengaruh yang paling

besar itu adalah adat. Itu mereka lihat di desa jadi itu pak Amsal

almarhum ini lalu dia menghubungi kami satu persatu ngomong lalu

kemudian muncullah wacana ini. Keinginan kami secara bersama-

sama mencoba untuk mengajak masyarakat untuk berpikir ulang lagi

tentang pelaksanan adat itu. Jadi mulai musyawarah-musyawarah dan

itu di sponsori oleh WVI dan kami memang merasa dan langsung

menerima ide itu karena kami juga secara pribadi masing-masing

sudah melihat keadaan yang pincang di masyarakat ini. Jadi pertama

karena masing-masing dari anggota forum ini sudah merasakan

masalah ini, WVI sudah melihat itu bukan hanya di Sumba Timur tapi

diseluruh NTT. Jadi mereka, berinisiatif untuk menghubungi

beberapa tokoh adat lalu memberikan ide lalu bagaimana kalau buat

suatu gerakan begitu. Penyerderhanaan adat itu artinya, kita tidak

merubah adat, adat tetap harus bisa berjalan karena itu mempererat

hubungan kekeluargaan tetapi tidak boleh adat itu menyebabkan

orang tambah miskin”29

Pengalaman masing-masing aktor dalam melaksanakan adat maupun

dalam milihat dampak adat kematian di Sumba Timur mendorong mereka untuk

berinsiatif membentuk forum sebagai salah satu tindakan. Sejalan dengan

pandangan Bourdieu tentang habitus, habitus mendasari terjadinya kehendak

merespons, merasa, berpikir, bertindak, dan bersosialisasi dengan individu lain,

lingkungan di luar diri maupun pelbagi perlengkapan yang menyertai diri.

Menurut bourdieu habitus menjadi sumber penggerak tindakan, pemikiran, dan

representasi. Habitus menyediakan prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai dasar

oleh aktor dalam membuat pilihan dan memilih strategi yang akan digunakan

dalam kehidupan sosial, aktor bertindak menurut cara yang masuk akal

28

Wawancara Bapak Paulus Pada Tanggal 21 Januari 2016 29

Wawancara Bapak Lapoe Pada Tanggal 5 Pebruari 2016

73

(reasonable). Mereka mempunyai perasaan dalam bertindak, ada logikanya untuk

apa aktor bertindak, inilah yang disebut dengan logika tindakan Bourdieu

(Bourdieu, 1990: 92). Senada dengan penelitian ini bahwa forum juga merupakan

produk sejarah, produk dari struktur sosial (adat kematian) yang terbatinkan yaitu

melalui pengalaman itu memberi ruang bagi reproduksi habitus baru. Reproduksi

habitus tersebut adalah membentuk forum untuk penyederhanaan adat kematian.

Pernyataan Bapak Marius, Bapak Paulus dan Bapak Lapoe diatas terlihat bahwa

mereka memiliki habitus. Pengetahuan tentang sejarah adat kematian dan

pengalaman dalam melihat dampak adat kematian juga menjadi titik tolak mereka

untuk melakukan tindakan praktek.

Peran Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu adalah memfasilitasi

masyarakat baik secara perorangan atau keluarga maupun kabihu melalui kegiatan

sosialisasi dan deklarasi penyederhanaan adat untuk berpartisipasi aktif dalam

tahapan penyederhanaan adat kematian. Visi forum ini yaitu terciptanya

masyarakat (kabihu) yang melaksanakan adat kematian secara sederhana tanpa

menghilangkan makna budaya. Sedangkan misinya antara lain; 1) melaksanakan

penyuluhan secara holistic tentang tujuan, maksud dan pentingnya

penyederhanaan adat 2) membuat kesepakatan antara seluruh komponen

masyarakat. 3) melaksanakan deklarasi penyederhanaan adat kematian.

6.3.2 Struktur Organisasi Foum Peduli Adat Pangadangu Mahamu

Struktur organisasi forum peduli adat pangadangu mahamu terdiri dari

ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara dan anggota seperi berikut ini:

Tabel 6.1.

Struktur Organisasi Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu NO NAMA PENGURUS JABATAN

1 Dr.Lapoe Mokoe Ketua

2 Marius Kuramoki, S.sos Wakil Ketua I

3 Paulus Kabubu Tarap, S.kom Wakil Ketua II

4 Umbu Rada, B.A Bendahara

5 Umbu Tunggu Nggilimara Sekretaris

6 Martha Ndjalapati Wakil Sekretaris

7 Pdt. Yulius Djara, SM.TH Anggota

8 Umbu Hina Ranjawali Aanggota

9. Pdt. Johanis Ngongo Umbu Lado,

M.TH

Anggota

74

Tabel diatas menunjukan struktur organisasi Forum Peduli Adat

Pangadangu Mahamu di Sumba Timur. Peran dan fungsi forum ini adalah

melakukan sosialisasi dan deklarasi penyederhanaan adat kematian di desa-desa

yang ada di Sumba Timur. Tokoh-tokoh dalam forum ini memiliki peran dan

fungsi yang berbeda-beda dalam forum tetapi dalam melaksanakan sosialisasi dan

deklarasi tokoh tersebut diatas memiliki peran yang sama yaitu melakukan

sosialisasi dan deklarasi penyederhanaan adat kematian di desa

6.4 Peran Aktor Dalam Mereproduksi Habitus: Menciptakan

Penyederhanaan Adat Kematian

Bersumber pada pembahasan sebelumnya (bab V) bahwa habitus yang

dimiliki aktor (forum) tentang adat kematian dan juga modal budaya pengetahuan

tentang sejarah dan makna adat kematian. Maka aktor-aktor (forum) mampu

mereproduksi adat kematian menjadi sederhana. Selain itu juga berangkat dari

dampak pelaksanaan adat kematian bahwa terjadi pergeseran nilai dan makna hal

inlah yang menjadi modal aktor untuk merubah sistem dan struktur adat kematian.

Berikut ini merupakan unsur-unsur tahapan adat kematian yang di reproduksi oleh

Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu30

, bahwa unsur tersebut dibentuk

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dalam melihat semua aspek dalam

pelaksanaan adat kematian di masyarakat. Unsur tersebut tidak terlepas dari peran

aktor dalam merancang sebuah konsep penyederhanaan adat kematian hal ini

disebabkan karena aktor memiliki habitus dan modal. Tindakan yang dilakukan

oleh aktor-aktor ini pada dasarnya bertolak dari nilai-nilai sejarah leluhur orang

Sumba. Menarik bahwa di satu sisi penyederhanaan adat bertujuan untuk

mengatasi persoalan ekonomi yang berdampak pada kemiskinan, namun disatu

sisi bahwa aktor bertujuan mengembalikan nilai-nilai budaya leluhur pertama

yang hampir hilang.

30

Unsur-unsur (bentuk, susunan dan tata cara pelaksanaan upacara adat kematian yang sudah

disederhanakan) ini diperoleh dari Berkas-berkas Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu dan

juga diperoleh saat penulis mengikuti rapat pertemuan Forum di Sumba Timur.

75

6.4.1 Lama Penyimpanan Mayat

Lama penyimpanan mayat dari waktu yang tidak terbatas menjadi terbatas

yaitu 3 hari sampai 8 hari dengan 3 alasan pokok yang mendasari pertimbangan

ini antara lain: a) Pembatasan ini mampu menghemat biaya yang akan di

keluarkan b) Masyarakat dapat menghemat waktu bekerja atau tidak membuang-

buang waktu kerja c) dari aspek kesehatan menyimpan mayat dalam waktu lama

akan menimbulkan berbagai penyakit yang merugikan masyarakat.

Penentuan waktu maksimal 8 hari memiliki makna filosofis dengan

sejarah kejadian penciptaan orang Sumba dalam awal hidup yang dipercayai

bahwa awal penciptaan leluhur orang Sumba yang terdiri dari 8 putra bangsawan

dan 7 putri ratu yang tinggal di 8 tingkatan langit dan 8 lapis awan yang dalam

bahasa Sumba Walu Ndani Awangu-Pitu Ndawa Tana (Oe. H. Kapita :1976)31

.

Penentuan ini bermaksud agar masyarakat tidak melupakan sejarah penciptaan

leluhur orang sumba. Hal ini juga mempunyai tujuan bahwa dengan menentukan

waktu penguburan bertolak dari nilai-nilai budaya agar terus di pertahankan.

Sehingga penyederhanaan adat kematian ini disisi lain bertujuan mengatasi

persoalan sosial ekonomi tetapi juga memiliki nilai filosofis yaitu mengangkat

kembali nilai-nilai leluhur budaya.

6.4.2 Cara Mengundang

Aspek mengundang merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan

dari ritual adat kematian. Ada satu kebiasaan orang Sumba kalau tidak diundang

maka dia tak akan datang melayat dan sampai pada saat penguburan. Dalam

mengundang ada 2 tahap :

a) Tahap pertama adalah undangan sebagai pemberitahuan tentang kematian

yang diistilahkan “Peka Meti” (pemberitahuan kematian) dan ini

dilaksanakan secepat mungkin. Undangan ini bermaksud untuk diketahui

oleh para keluarga dan handai taulan supaya segera datang melayat dan

sudah pasti membawa Yubuhu (kain atau sarung). Pada tahapan ini belum

ada beban adat.

31

Penjelasan ini dapat dilihat dalam sejarah penciptaan leluhur orang Sumba di buku Oe Hina

Kapita, 1976. Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatny.

76

b) Tahap kedua adalah undangan untuk penguburan. Undangan ini ada 2

macam yakni undangan biasa pada seluruh keluarga dan handai taulan

yang bukan Yera dan Anakawini untuk menghadiri penguburan dan belum

ada beban adat. Undangan khusus kepada Yera dan Anakawini untuk

datang disaat penguburan. Undangan khusus inilah yang mengundang

muatan beban adat. Karena ketika pergi mengundang memakai wunang

dengan membawa alas bicara (lata ngaru) berupa mamuli untuk Yera dan

kain atau sarung untuk Anakawini. Yang diundang akan menjamu wunang

dengan menikam seekor babi dan berjanji akan hadir dalam penguburan

nanti.

Melalui pertimbangan yang bersifat mengefisienkan waktu, dana dan

tenaga maka dapat disimpulkan oleh forum bahwa kedua tahap mengundang yang

biasanya dilaksanakan secara terpisah akan dilakukan sekali jalan untuk

menghemat waktu, biaya dan tenaga. Undangan untuk Yera dan Anakawini ini

tidak harus memakai wunang. Jika memakai wunang perlu juga membahasakan

undangan secara baik kepada pihak yang diundang. Bahasa undangan yang tidak

mengandung beban adat ini disederhanakan dengan bahasa: la puluna i karitu

atau la ngaruna i karitu jika diartikan dalam bahasa indonesia yaitu didalam

firman tuhan atau melalui mulut tuhan sehingga dapat diartikan bahwa

mengundang dengan cara sederhana atau kristen. Dengan bahasa ini yang

diundang akan memahami bahwa dalam penguburan tidak lagi memiliki beban

dan dampak.

6.4.3 Pakameting

Pakametingu merupakan salah satu tahapan ritual adat kematian untuk

menjamu dengan makan dan minum kepada kerabat-kerabat yang punya

hubungan baik karena faktor genealogis (hubungan darah). Pada tahap inilah

sangat nampak adanya pemborosan yang dapat menimbulkan beban ekonomi

karena menguras harta kekayaan yang dimiliki bahkan sampai berani berhutang

bahkan menggadai apa yang dimiliki. Semua yang diboroskan ini sebenarnya

sangat berguna untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat terutama

masa depan pendidikan maupun untuk kebutuhan ekonomi masyarakat. Kebiasan

77

hidup boros apalagi kalau hanya alasan prestise bisa membenarkan adanya ucapan

yang mengatakan dalam bahasa Sumba: “kaba mata” “humba li la mohu” yang

berarti orang Sumba jalan hidupnya menuju lenyap atau menuju ke kehidupan

yang semakin sulit. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka pakametingu untuk

menjamu para kerabat Yera dan Anakawini diganti dengan cara menjamu makan

secara umum. “la puluna i karitu” tidak lagi menjamu mereka seperti biasa

dilakukan yang menimbulkan pemborosan. Sebagai tanda ucapan terima kasih

atas pembawaan para Yera dan Anakawini diatur sebaik-baiknya dengan cara yang

tidak menimbulkan rasa tidak dihargai.

Bagi yang membantu pihak berduka yang biasa disebut dalam bahasa

Sumba :“angga karaha-ndula kejia” supaya bergabung dengan keluarga berduka.

Dalam artian bahwa segala bantuan berupa apa saja diserahkan kepada keluarga

duka untuk meringankan beban dan dipergunakan untuk kebutuhan keluarga duka.

Pada proses ini perlu dicatat atau diingat oleh keluarga duka dan jangan dianggap

sebagai kewajaran yang tidak perlu diingat atau dibalas.

6.4.4 Pembawaan Yera Anakawini dan Cara Membalasnya.

Pembawaaan yera dan ana kawini yang biasanya membahawa barang

berharga atau hewan kepada pihak duka dan juga cara membalas pembawaan,

maka ditawarkan oleh Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu antara lain: a)

Pembawaan yera dan ana kawini dimaknai sebagai sumbangan dan penghargaan

yang meringankan beban keluarga yang berduka dalam artian tidak menuntut

balasan b) Tidak ada kemeti khusus untuk mereka (yera-ana kawini), namun

sebagai orang yang berbudaya harus tahu berterimakasih atas penghargaan oleh

yera maupun ana kawini. Undangan disampaikan dengan cara “la puluna i

karitu” sehingga kehadirannya tidak harus dibalas, kalaupun membawa terserah

menurut perasaan karena apapun yang dia bawa harus diartikan sebagai

sumbangan dan penghargaan kepada yang berduka.

6.4.5 Yubuhu sebagai kain kafan mayat

Pada zaman nenek moyang orang sumba dulu membungkus mayat dengan

kain berlapis-lapis sampai puluhan jumlah kain sarung dengan ada beberapa

alasan antara lain: a) Dulu mayat belum ditaruh dalam peti yang tertutup rapat

78

sehingga mengeluarkan rasa bau yang mengganggu para pelayat b) Sebagai tanda

penghargaan dan penghormatan yang terakhir kepada yang meninggal. Sehingga

berdasarkan pertimbangan tersebut jumlah kain yang dibawa dibatasi menjadi 1-3

lembar kain Sumba atau sarung yang di bawa pada pertama kali melayat dan pada

saat penguburan.