bab v tou - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/5/t2_762011001_bab...

14
119 BAB V TOU Tou adalah nilai kultural yang sarat dengan penghargan terhadap kesetaraan semua yang ada di alam raya; manusia perempuan dan laki-laki, hewan dan alam. Tou adalah semua yang berdiam dalam spasial ranah yang sama. 1 Dalam perjalanan menjadi Minahasa, beberapa kali nilai Tou yang demikian dilukai oleh konflik-konflik antar taranak karena klaim tanah dan kekuasaan di antara mereka. Kesetaraan penghargaan terhadap sesama taranak yang hidup dalam spasial ranah yang sama direduksi menjadi penaklukan dan penguasaan. Karenanya, Tou adalah juga kristalisasi dari upaya menata kembali kehidupan bersama antar kelompok taranak (dalam walak dan pakasaan) dan juga sebagai dasar relasi dengan orang yang datang dan atau menetap di tanah Minahasa. Untuk lebih jelas bagaimana Tou dalam hidup taranak awal Minahasa, maka dalam bagian ini akan dibahas mengenai Tou dalam Tiwa Lumimuut-Toar (perjanjian keturunan Lumimuut-Toar), Tou dalam konsensus para pemimpin taranak di batu Pinabetengan, dan Tou dalam ucapan-ucapan tua. 1. Tou dalam Tiwa Lumimuut-Toar (perjanjian keturunan Toar-Lumimuut) Di bagian awal—khususnya dalam versi mitologi zending-- telah diceritakan mengenai tiga kelompok keturunan Lumimuut-Toar. Kelompok pertama, se makarua siyow (2x9) adalah kelompok imam yang bertugas sebagai pengatur dan pelaksana ibadah; merekalah yang kemudian disebut sebagai 1 Paul Richard Renwarin, Matuari wo Tona’as Dinamika Budaya Tombulu di Minahasa. Jilid I Mawanua (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2007), 20.

Upload: lamdang

Post on 07-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB V TOU - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/5/T2_762011001_BAB V.pdf · Sekilas ketiga golongan tersebut memiliki hirarki, sehingga kesannya golongan

119

BAB V

TOU

Tou adalah nilai kultural yang sarat dengan penghargan

terhadap kesetaraan semua yang ada di alam raya; manusia

perempuan dan laki-laki, hewan dan alam. Tou adalah semua

yang berdiam dalam spasial ranah yang sama.1 Dalam perjalanan

menjadi Minahasa, beberapa kali nilai Tou yang demikian

dilukai oleh konflik-konflik antar taranak karena klaim tanah

dan kekuasaan di antara mereka. Kesetaraan penghargaan

terhadap sesama taranak yang hidup dalam spasial ranah yang

sama direduksi menjadi penaklukan dan penguasaan.

Karenanya, Tou adalah juga kristalisasi dari upaya menata

kembali kehidupan bersama antar kelompok taranak (dalam

walak dan pakasaan) dan juga sebagai dasar relasi dengan orang

yang datang dan atau menetap di tanah Minahasa.

Untuk lebih jelas bagaimana Tou dalam hidup taranak

awal Minahasa, maka dalam bagian ini akan dibahas mengenai

Tou dalam Tiwa Lumimuut-Toar (perjanjian keturunan

Lumimuut-Toar), Tou dalam konsensus para pemimpin taranak

di batu Pinabetengan, dan Tou dalam ucapan-ucapan tua.

1. Tou dalam Tiwa Lumimuut-Toar (perjanjian keturunan

Toar-Lumimuut)

Di bagian awal—khususnya dalam versi mitologi

zending-- telah diceritakan mengenai tiga kelompok keturunan

Lumimuut-Toar. Kelompok pertama, se makarua siyow (2x9)

adalah kelompok imam yang bertugas sebagai pengatur dan

pelaksana ibadah; merekalah yang kemudian disebut sebagai

1 Paul Richard Renwarin, Matuari wo Tona’as Dinamika Budaya Tombulu di

Minahasa. Jilid I Mawanua (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2007), 20.

Page 2: BAB V TOU - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/5/T2_762011001_BAB V.pdf · Sekilas ketiga golongan tersebut memiliki hirarki, sehingga kesannya golongan

120 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

Tonaas dan Walian. Kelompok kedua, se makatelu Pitu (3x7)

adalah kelompok pemerintah atau penjaga kampung, yang

kemudian disebut Patu’an atau Pa’ endon tua. Penjaga desa

disebut Waraney atau prajurit. Kelompok ketiga, se Pa’siyowan

telu (9x3) adalah kalangan rakyat jelata (petani dan pemburu).2

Versi mitologi lainnya memang hanya menceritakan tentang se

makarua siyow (2x9), tetapi realitas minahasa awal yang

dituturkan secara lisan dan menjadi model komunitas Minahasa

selanjutnya tidak hanya terdiri dari kalangan imam, tetapi juga

ada kalangan Waraney (kesatria) dan juga kalangan petani dan

pemburu.

Sekilas ketiga golongan tersebut memiliki hirarki,

sehingga kesannya golongan pertama lebih tinggi dari golongan

kedua demikian seterusnya. Tetapi sebenarnya, sejak awal

ketiga golongan itu hanya menegaskan mengenai fungsi dalam

kumpulan taranak di tanah Minahasa. Intinya, sejak awal

kepemimpinan di tanah Minahasa berbentuk kolektif, karena

setiap golongan akan menjadi pemimpin bagi yang lain pada

saat menjalankan fungsi masing-masing. Misalnya, pada saat

hendak melakukan ritual kepada Opo Empung/ Tuhan Maha

Kuasa, maka yang menjadi pemimpin adalah Wali’an dan Tonaas

(para imam); ketika menghadapi situasi darurat atau konflik

antar taranak dan dengan orang asing, maka Patu’an dan

Waraney (para kesatria) yang akan menjadi pemimpin;

begitupun dengan pengelolahan pertanian dan penyediaan

bahan makanan untuk taranak, maka golongan se Pa’siyowan

telu (para petani dan pemburu) yang menjadi pemimpin di

depan.3 Dengan kata lain, sebutan Tona’as, Wali’an, Patua’an,

2 Wawancara terpisah dengan Tonaas Rinto, Manado, 2014 Tonaas Dede Katopo,

2015, di Manado., Welem Kumaunang, 2015, di Manado. dan FGD dengan

kelompok Budaya Mawale Movement, Manado, 2015.

3 Wawancara dengan Fredy Wowor, Tonaas Rinto, kelompok Mawale. Di

beberapa kampung di tanah Minahasa kini, model kepemimpinan tradisonal tersebut

masih dipertahankan. Karenanya meskipun ada pemimpin formal yang ditempatkan

pemerintah/dipilih oleh masyarakat di satu desa, pemimpin tersebut hanya mengatur

jalannya pemerintahan. Sementara itu, bidang-bidang kemasyarakatan biasanya

Page 3: BAB V TOU - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/5/T2_762011001_BAB V.pdf · Sekilas ketiga golongan tersebut memiliki hirarki, sehingga kesannya golongan

Tou 121

Waraney dan se Pa’siyowan telu tidak menunjuk pada gelar atau

jabatan, tetapi pada fungsi dalam masyarakat.

Untuk mengatur agar semua golongan dan keturunan

Lumimuut-Toar hidup dengan menjalankan fungsi masing-

masing, mereka melakukan ikatan perjanjian yang dikenal

sebagai Tiwa (janji) Lumimuut-Toar atau janji keturunan

Lumimuut dan Toar. Janji tersebut disyairkan sebagai berikut:

Esa cita waya, tou peleng masu’at. Cawana si parukuan cawana si

pakuruan, pute waya tou maesa cita (semua sama. Tidak boleh

menyembah atau disembah sesama. Semua manusia itu sama).4

Singkatnya, semua kelompok sampai pada keturunannya harus

hidup sesuai fungsi dan menghargai golongan lain sebagaimana

yang disepakati dalam Tiwa Lumimuut-Toar.

Penekanan pada kesetaraan dan saling menghargai

dalam ikrar keturunan Lumimuut-Toar adalah juga gambaran

tentang bagaimana pemaknaan Tou dalam kehidupan Minahasa

awal. Tou tidak hanya menunjuk pada turunan Lumimuut-Toar

semata, tetapi terhadap manusia lainnya. Bahkan, karena

manusia Minahasa—lazimnya masyarakat purba—sangat

terkait erat dengan tanah sebagai tempat hidup, maka Tou juga

menyangkut tanah dan semua yang hidup dari tanah yang

menjadi wilayah bersama tersebut. Karena itu, Tiwa Lumimuut-

Toar tidak hanya mengatur bagaimana manusia Minahasa dalam

relasinya dengan sesama, tetapi juga dengan ciptaan lainnya.

masih ditangani oleh tua-tua kampung atau mereka yang dituakan. Misalnya, bila

ada lahan pertanian baru yang akan dibuka melalui kegiatan mapalus (semacam

kegiatan gotong royong), maka yang akan memimpin adalah orang yang dinilai

memiliki kapasitas untuk memimpin pekerjaan membuka lahan tersebut. Kalau ada

peristiwa duka, maka pembuatan bangsal dan keperluan lain yang dibutuhkan dalam

rangka persemayaman jenazah dipimpin oleh orang yang ditunjuk khusus

mengkoordinir kerja bersama tersebut. Singkatnya, orang-orang yang ditujuk

sebagai “pemimpin” informal tersebut, tidak sembarangan tetapi berdasar penilain

terhadap kualitas diri yang dimiliki; meskipun tidak jarang juga, dibeberapa tempat

di tanah Minahasa kini pemimpin desa juga sekaligus menjadi tua-tua masyarakat,

sehingga dia juga yang dipercaya menangani langsung semua kegiatan di desa.

4 Tradisi lisan di beberapa tempat di tanah Minahasa yang direkam oleh Taroreh,

2014; Wowor, 2015; kelompok Mawale Movement, 2015.

Page 4: BAB V TOU - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/5/T2_762011001_BAB V.pdf · Sekilas ketiga golongan tersebut memiliki hirarki, sehingga kesannya golongan

122 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

Pemahaman demikian diperkuat oleh ajaran para leluhur

mengenai tou peteng masuat waya (semua ciptaan sama

derajatnya). Tou kemudian tidak hanya dipahami sebatas

kesejajaran seluruh ciptaan, tetapi juga dalam relasi dengan Opo

Empung/Pencipta Alam Semesta.5

Pemaknaan Tou yang juga mengatur relasi antar

manusia Minahasa, Opo Empung dan ciptaan lain, tergambar

dalam tradisi lisan dan praktek yang diajarkan secara turun

temurun. Fredy Wowor-- salah satu pelaku budaya dan juga

penterjemah bahasa Minahasa dalam ucapan-ucapan dan syair-

syair yang disampaikan Tonaas pada pelaksanaan ritual—

menjelaskan bahwa orang-orang Minahasa awal

memperlakukan alam dan binatang sebagaimana layaknya

mereka memperlakukan diri mereka sendiri. Setiap kali mereka

hendak memanfaatkan tumbuhan atau hewan untuk kebutuhan

makanan mereka, selalu didahului dengan ritual yang berisi

ucapan-ucapan memohon izin untuk memanfaatkan.6 Sejajar

dengan Wowor, saya juga masih mengingat kebiasaan oma

(mama dari ayah saya) sebelum memetik tanaman (bahan untuk

membuat sayur) di halaman rumah. Beliau berbicara dengan

tumbuhan yang akan dipetiknya (berbicara dengan nada

berbisik—karenanya saya hanya melihat dia berkomat-kamit di

depan tumbuhan). Ketika kebiasaan tersebut saya percakapkan

dengan beberapa teman yang usianya 10-15 tahun lebih tua dari

saya, merekapun mengemukakan pengalaman yang sama yang

mereka temukan di kampung mereka di Minahasa. Di masa kecil

ketika melihat oma berkomat-kamit di depan tumbuhan, saya

belum mengerti atau bahkan heran dengan tindakan oma yang

demikian. Bersamaan dengan pertambahan usia dan berulang-

ulang melihat tindakan oma dan mendengar penjelasan

mengenai tindakannya yang demikian, saya kemudian mengerti

5 Taroreh, 2014.

6 Wawancara dengan Fredy Wowor, 2015, di Manado.

Page 5: BAB V TOU - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/5/T2_762011001_BAB V.pdf · Sekilas ketiga golongan tersebut memiliki hirarki, sehingga kesannya golongan

Tou 123

bahwa tumbuhan adalah juga mahluk hidup dan karenanya

harus dihargai.

Dalam perjalanan sebagai komunitas Minahasa awal,

kesetiaan terhadap konsensus atau Tiwa Lumimuut-Toar, bukan

hal mudah untuk dipertahankan. Beberapa kali Tiwa Lumimuut-

Toar dilukai oleh tindakan pelanggaran sebagian kelompok7 dan

pendatang. Karenanya, Tiwa yang kemudian diperkuat oleh

ucapan-ucapan tua-tua, dalam kehidupan sehari-hari para

taranak ditegaskan dalam tiga kata yang lazim diucapkan

sebagai peringatan terhadap keharusan memegang Tiwa, yakni

wantik, pantik dan santi. Wantik artinya janji sudah digaris atau

sudah ditetapkan untuk dilakukan; pantik artinya janji sudah

ditandai, sehingga sebebas apapun para taranak membangun

dan mengembangkan kehidupan mereka—termasuk berelasi

dengan siapapun—harus memperhatikan tanda yang tidak

boleh dilewati. Lalu kemudian Santi. Santi berarti pedang,

karena santi terkait dengan sangsi akibat pelanggaran terhadap

janji. Artinya, ketika perjanjian/kesepakatan dilanggar, wantik

dan pantik tidak diindahkan, maka yang akan berbicara adalah

pedang. Secara harafiah kata santi menyiratkan hukuman yang

berbasis kekerasan sebagaimana lazimnya di masyarakat-

masyarakat purba yang konsisten menjalankan aturan kultural.

Realisasi dari santi, yakni tradisi hukuman pemenggalan kepala

para pelanggar janji.8 Pelaksanaan hukuman di masyarakat

Minahasa awal yang demikian, sejajar dengan penjelasan

Durkheim tentang pelaksanaan hukuman di masyarakat

7 Beberapa penulis tentang Minahasa melihat bahwa ikrar antar turunan

Lumimuut-Toar bukan sekedar untuk mengatur fungsi masing-masing kelompok,

tetapi juga untuk meminimalisir imbas dari semangat kompetitif yang kuat di

Minahasa saat itu. Penekanan terhadap keter/kekuatan fisik sebagai salah satu syarat

kualitas diri yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin menjadi sebab kompetisi

antar pribadi dan antar kelompok yang marak di Minahasa awal.

8 Ketika Misionaris Kristen masuk tanah Minahasa, tradisi penghukuman dengan

cara memenggal kepala para pelaku pelanggaran menjadi sasaran utama untuk

dihilangkan dari Minahasa. Karenanya, sejak Minahasa misionaris Kristen masuk

Minahasa dan orang-orang Minahasa menerima baptisan untuk menjadi Kristen,

tradisi hukuman pemenggalan kepala berangsur-angsur hilang dari tanah Minahasa.

Page 6: BAB V TOU - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/5/T2_762011001_BAB V.pdf · Sekilas ketiga golongan tersebut memiliki hirarki, sehingga kesannya golongan

124 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

mekanik. Kekurangan hukuman yang demikian menurut

Durkheim, yakni karena hukum lebih ditentukan oleh reaksi

emosional. Reaksi emosional demikian karena pelanggaran

terhadap hukum di masyarakat mekanik, tidak hanya menyakiti

kolektivitas tetapi juga menentang otoritas transedental yang

memelihara kolektivitas tersebut.

Ada dua contoh peristiwa yang penting untuk

diperhatikan dalam kaitan dengan pelanggaran Tiwa Lumimuut-

Toar. Pertama, peristiwa mahawetik yang kemudian

menyebabkan perang antara keturunan Lumimuut-Toar yang

berakhir pada pertemuan dan kesepakatan di Batu

Pinabetengan (akan di bahas pada bagian berikutnya). Peristiwa

kedua, yakni perang dengan Spanyol, Portugis dan Belanda

akibat pelanggaran terhadap Tiwa Lumimuut-Toar, karena

dalam pelaksanaannya ikatan perjanjian tersebut bukan hanya

mengatur relasi antar tiga golongan keturunan Lumimuut-Toar,

tetapi juga dengan pendatang (sebagaimana yang telah

dipaparkan dalam Bab IV. 4).9

2. Tou dalam konsensus para pemimpin taranak di batu

Pinabetengan

Menurut tradisi lisan yang dituturkan turun temurun di

tanah Minahasa, batu Pinabetengan awalnya disebut sebagai

batu tumotowa (batu pemujaan pada Opo Empung). Lalu dalam

perkembangan selanjutnya, tempat disekitar batu tersebut

menjadi tempat pertemuan dan musyawarah taranak Minahasa

awal setiap kali mereka berhadapan dengan persoalan-

persoalan yang perlu dipercakapkan bersama. Pertemuan

penting—dan diduga kuat sebagai pertemuan pertama seluruh

pemimpin taranak turunan Lumimuut-Toar-- di batu

Pinabetengan, yakni pertemuan para pemimpin kumpulan

taranak setelah peristiwa Mahawetik. Peristiwa Mahawetik

9 Taroreh, 2014; Wowor, 2015 dan Kelompok budaya Mawale, 2015.

Page 7: BAB V TOU - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/5/T2_762011001_BAB V.pdf · Sekilas ketiga golongan tersebut memiliki hirarki, sehingga kesannya golongan

Tou 125

berawal dari perjumpaan komunitas Minahasa awal dengan

kerajaan Bolaang-Mongondow. Raja Bolaang Mongondow sering

datang ke pantai-pantai Malesung, bahkan pernah berencana

memperluas wilayah kekuasaannya di daerah ini. Kerajaan

Bolmong menerapkan sistim budak—dengan ciri tidak bisa

dibantah, tidak mengenal perundingan dan sangat berkuasa

terhadap para budak. Melihat penerapan sistim budak demikian,

beberapa Wali’an Makarua Siyow (kalangan imam) tertarik

untuk menerapkan sistim tersebut di Minahasa. Akibatnya,

terjadi penolakkan dan pemberontakan terhadap sistim

perbudakan dipimpin oleh kelompok Pasiowan Telu. Penolakan

tersebut terutama karena sistim budak sangat bertentangan

dengan suasana demokratis yang didasarkan pada Tiwa

Lumimu’ut-To’ar. Tona’as Rinto Taroreh10 mendeskripsikan

peristiwa pemberontakan tersebut sebagai tragedi Minahasa

karena terjadi pengejaran dan pembunuhan terhadap kelompok

Makarua Siyow. Kelompok Makarua Siyow yang dinilai sebagai

pelanggar Tiwa dikejar dan berusaha dimusnakan, termasuk

pemusnahan dokumen-dokumen kultural. Banyak yang

terbunuh, tetapi ada juga yang berhasil melarikan diri ke

wilayah Bolaang-Mongondow atau yang tetap tinggal di tanah

Minahasa tetapi bersembunyi di desa-desa terpencil dan tidak

lagi hidup sebagai wali’an. Di sisi lain, korban dikalangan

masyarakatpun tidak terhindarkan. Taroreh menceritakan

bahwa, situasi Minahasa saat peristiwa tersebut benar-benar

terpecah dan terserak. Karenanya, tragedi Minahasa tersebut

menurut Taroreh disebut sebagai Mahawetik yang

menggambarkan keterpecahan komunitas Minahasa saat itu

laksana air yang jatuh di atas batu dan terpencar.11

Keterpecahan Minahasa saat itu, melahirkan kesadaran

bahwa kehidupan bersama di tanah Minahasa harus di atur

kembali. Opo Kapero dari kelompok Pasiowan Telu

11 Wawancara dengan Taroreh, 2014, di Manado.

Page 8: BAB V TOU - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/5/T2_762011001_BAB V.pdf · Sekilas ketiga golongan tersebut memiliki hirarki, sehingga kesannya golongan

126 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

mengumpulkan seluruh rakyat dan melakukan Mahasa/

musyawarah di batu Pinawetengan dalam rangka Minaesa/

menyatu guna menyelesaikan konflik yang ada.

Musyawarah melahirkan dua keputusan, yakni memecat para

makerua siyow dan mengatur kembali fungsi setiap kelompok

taranak. 12

Tindakan kelompok Pasiowan Telu terhadap para

Wali’an Makarua Siyow ditanggapi berbeda oleh beberapa

penulis tentang Minahasa dan para pelaku budaya. Sebagian

pelaku budaya dan beberapa penulis mencatat bahwa penolakan

dan pemberontakan tersebut adalah reaksi terhadap penerapan

sistim perbudakan yang bertentangan dengan nilai Tou

Minahasa atau nilai kesetaraan; nilai yang menjadi jiwa dari

perjanjian/ikrar yang dilakukan oleh keturunan Lumimuut-Toar

(Tiwa Lumimuut-Toar).13 Pelaku budaya dan penulis tentang

Minahasa lainnya menilai reaksi masyarakat yang dimotori

Pasiowan Telu sebagai tindakan keonaran. Kelompok Pasiowan

Telu dianggap senang membuat keonaran dan sengaja

memprovokasi masyarakat untuk memberontak terhadap

kalangan Makarua Siyow.14 Perbedaan penanggapan demikian

dapat dimengerti, karena masing-masing peneliti dan pelaku

budaya memiliki cara pandang berbeda memahami peristiwa

tersebut (bagian ini akan dikaji mendalam di Bab VI).

Peristiwa kedua, yakni ketika para pemimpin kembali

bertemu dan bermusyawarah untuk menyelesaikan konflik

antar taranak karena klaim tanah. Dalam musyawarah tersebut

para pemimpin memutuskan untuk melakukan pembagian

wilayah tanah mengikuti pengelompokan taranak dalam

pakasa’an dengan memperhatikan persamaan dialek, bahasa

13 Antara lain, Kelompok Budaya Mawale, 2015. Bdk. dengan Taulu, bunga…,

7.

14 lihat Renwarin, Minahasa…, 74.

Page 9: BAB V TOU - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/5/T2_762011001_BAB V.pdf · Sekilas ketiga golongan tersebut memiliki hirarki, sehingga kesannya golongan

Tou 127

dan ritual. 15Saat itu wilayah Minahasa dibagi menjadi empat,

yakni Pakasa’an Tombulu, Tonsea, Tolour dan Tountemboan.

Musyawarah di batu Pinawetengan rupanya juga

mengikutsertakan kesepakatan sebagai pakasa’an di tanah yang

Mahasa/menyatu mengenai bagaimana memelihara keamanan

dan keutuhan pakasa’an masing-masing. Indikasi itu antara lain

terlihat pada peristiwa penyerangan yang dilakukan kerajaan

Bolaang-Mongondow terhadap pakasa’an Tonsea dalam rangka

ekspansi kekuasaannya. Menghadapi serangan tersebut

pakasa’an Tonsea dibantu oleh pakasa’an Tondano dan

Tombulu. Rikson Karundeng salah seorang pengkaji dan pelaku

budaya dari kelompok budaya Mawale Movement, menuturkan

kembali tradisi lisan mengenai penyerangan Bolmong terhadap

Tonsea, sebagai berikut

Jadi sikap orang Minahasa selalu positif terhadap orang luar: “kalau bercerita dengan damai kami terima, tapi kalau kalian cari masalah dengan kami, kami siap mati.” Ketika orang Bolmong menyerang pakasa’an Tonsea, tiba-tiba orang Bolmong sadar bahwa orang Minahasa sudah menyerang secara sistimatis. Orang Tombulu menyerang, orang Tontemboan bertahan di belakang, orang Tolour pulang kampung. Orang Tolour berperang, orang tountemboan di lapis kedua, orang Tombulu pulang kampung, demikian. Orang Tonsea tidak terlibat di perang melawan Bolmong karena walak-walak Tonsea bertanggung-jawab menjaga pesisir-pesisir, dari

15 Cerita demikian penulis dengar sejak masih kecil sebagaimana dituturkan oma

yang menjalani masa kanak-kanak sampai dewasa di Tompaso (salah satu kampung

di tanah Minahasa yang berdekatan dengan lokasi batu Pinabetengan). Cerita yang

sama juga dituturkan oleh beberapa kelompok budaya, al. Mawale Movement,

2015. Rivo Gosal, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Sulut,

Manado, 2015. Kesamaan cerita yang didengar dari generasi ke generasi

mengindikasikan mengenai pewarisan tradisi lisan tentang cerita tersebut yang

masih dilakukan, terutama di kampung-kampung di tanah Minahasa.

Page 10: BAB V TOU - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/5/T2_762011001_BAB V.pdf · Sekilas ketiga golongan tersebut memiliki hirarki, sehingga kesannya golongan

128 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

pesisir Minahasa-willayah utara (wil Tonsea) yg intens dimasuki perompak.16

Dalam perkembangan kemudian, dengan semakin

bertambahnya jumlah taranak, maka luas tanah pembagian

tidak lagi memadai untuk kelompok pakasa’an sehingga konflik

yang disebabkan oleh klaim tanah antar pakasa’an tidak

terhindarkan. Untuk menyelesaikan konflik tersebut, para ukung

bertemu lagi di Batu Pinawetengan dan mengatur kembali

pembagian wilayah. Batu Pinawetengan memang menjadi

tempat pertemuan para pemimpin taranak Minahasa setiap kali

hendak menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Karenanya

batu Pinawetengan oleh para pemimpin taranak dinamakan

sebagai watu pinawetengan in nuwu yang berarti batu tempat

mempercakapkan apa yang diamanatkan.

Dalam konteks kini, batu Pinawetengan tetap berfungsi

sebagai tempat berkumpul kelompok-kelompok pelaku budaya

dipimpin Tona’as masing-masing. Menurut Tona’as Rinto

Taroreh, biasanya mereka berkumpul untuk melakukan ritual-

ritual dalam rangka memohonkan kehidupan yang aman dan

harmonis dengan alam. Selain itu, ritual-ritual lain juga

dilakukan untuk memperoleh pengetahuan dari para leluhur

tentang bagaimana seharusnya memahami dan menjalani hidup

di masa kini. Demikian Taroreh menceritakan:

seperti ritual yang kami lakukan setiap tanggal 3 Januari 2015. Semua Tonaas melakukan ritualnya masing-masing, tetapi intinya semua ritual bertujuan untuk berdamai dengan alam agar bencana alam yang terjadi di awal tahun 2014 tidak terjadi lagi di tahun ini. Ritual-ritual dilakukan untuk mengatur ulang kehidupan kita bersama alam.

Taroreh juga menjelaskan, bahwa selain ritual berdamai

dengan alam, di batu Pinawetengan kini dalam waktu-waktu

16 Rikson Karundeng, Kelompok budaya Mawale Movement, Manado, 2015.

Page 11: BAB V TOU - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/5/T2_762011001_BAB V.pdf · Sekilas ketiga golongan tersebut memiliki hirarki, sehingga kesannya golongan

Tou 129

tertentu juga diadakan ritual-ritual yang lain oleh para Tona’as.

Ritual-ritual itu disebut kampetan dan dilaksanakan dengan

tujuan untuk menggali ingatan-ingatan tua mengenai nilai-nilai

kehidupan yang penting dari para leluhur. Dalam ritual

demikian, biasanya Tona’as akan mengalami trans atau

kerasukan arwah leluhur dan menyampaikan ucapan-ucapan

leluhur yang telah merasuki dirinya. Ucapan-ucapan itu

disampaikan dalam bahasa Minahasa dan kemudian

diterjemahkan oleh seorang penterjemah yang membantu

Tona’as dalam ritual tersebut. Selanjutnya, ucapan-ucapan

leluhur disampaikan berulang-ulang oleh Tona’as dalam

kelompok binaannya dan juga kepada masyarakat yang

mengikuti ritual tersebut untuk menjadi arahan dalam berelasi

dengan sesama dan ciptaan lainnya. Bagi para pelaku budaya,

ritual kampetan menjadi ritual primadona, karena dari ritual

tersebut mereka dapat menggali sebanyak mungkin

pengetahuan mengenai Minahasa awal, para leluhur yang

berperan dan nilai-nilai kultural yang memperkuat kehidupan

bersama. Karenanya, setiap kali mereka melakukan ritual, selalu

di dahului dengan pelaksanaan ritual kampetan oleh Tona’as

3. Tou dalam ucapan-ucapan tua

Dalam tradisi lisan di tanah Minahasa pemaknaan Tou

juga disematkan dalam kata-kata nasehat yang disampaikan

secara turun-temurun. Dua diantaranya yang menojol, yakni,

Tou Tumou Mawuali Tou (manusia hidup untuk menjadi

manusia sepenuhnya), Tou Tumou tumou tou (manusia hidup

untuk memanusiakan manusia lainnya). Ucapan-ucapan tua

tersebut terkait dengan tiga kualitas diri manusia Minahasa,

yakni keter (kuat secara fisik, memiliki mental kuat, tegas dan

memiliki kemampuan kepemimpinan), nate’ (hati/kepeaan), dan

nga’as (otak, kejernihan dan ketajaman berpikir).

Page 12: BAB V TOU - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/5/T2_762011001_BAB V.pdf · Sekilas ketiga golongan tersebut memiliki hirarki, sehingga kesannya golongan

130 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

Dalam kajian terhadap ketiga kualitas diri tersebut

terkadang terjadi salah mengerti. Banyak pengkaji dan anggota

kelompok budaya yang menginterpretasi tiga kualitas tersebut

hanya sebagai syarat untuk menjadi pemimpin di tanah

Minahasa. Padahal dalam masyarakat Minahasa yang tidak

mengenal hirarki, semua orang setara dan tidak ada yang lebih

istimewa. Perbedaan antar manusia dalam konteks Minahasa

awal terletak pada pencapaian terhadap tiga kualitas diri

tersebut. Karena itu, kompetisi personal menguat dalam kaitan

dengan pencapaian kualitas diri yang memang dituntut untuk

menjadi manusia Minahasa.

Di Minahasa juga dikenal sebutan khas yakni wewene

(perempuan) dan tuama (laki-laki). Dua sebutan khas tidak

hanya menunjuk perbedaan jenis kelamin, tetapi juga menunjuk

pada pencapaian kualitas diri sebagai manusia laki-laki dan

perempuan. Seorang laki-laki dan perempuan akan disebut

sebagai tuama dan wewene jika telah memiliki kualitas keter,

nga’as dan nate’. Pemahaman demikian tersimpan kuat dalam

diri orang Minahasa yang masih memahami nilai kulturalnya,

sebagaimana yang terekam dalam salah satu pelaksanaan ritual

yang saya ikuti. Pada saat pelaksanaan ritual di Bitung, Tonaas

Dede Katoppo yang menjadi pemimpin ritual meneriakkan

semboyan Minahasa I Yayat U santi (secara hurufiah dapat

diterjemahkan “mari angkat pedang”) yang kemudian disambut

oleh sebagian orang laki-laki yang meneriakkan pekik tuama!

sebagian perempuan yang meneriakkan wewene! yang lain

meneriakkan uhuy! (pekik yang umum diserukan sebagai respon

terhadap teriakan I yayat u santi). Dalam observasi yang saya

lakukan, saya mencatat bahwa mereka yang menanggapi seruan

tona’as dengan pekik tuama dan wewene adalah para pemimpin

kelompok budaya-- para Tona’as, wali’an dan waraney yang

hadir saat itu. Pekikan demikian tidak hanya sekedar memberi

respon berbeda dengan masyarakat umum, tetapi merupakan

penegasan diri bahwa merekalah laki-laki dan perempuan yang

Page 13: BAB V TOU - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/5/T2_762011001_BAB V.pdf · Sekilas ketiga golongan tersebut memiliki hirarki, sehingga kesannya golongan

Tou 131

dalam hidup telah mencapai tiga kualitas diri manusia

sepenuhnya dan karenanya mereka layak menjadi Tona’as,

Waraney dan Wali’an.17 Pernyataan diri sebagai wewene dan

tuama adalah juga penegasan bahwa kualitas diri tersebut

sedang diimplementasikan dalam relasi dengan Yang Kudus,

sesama dan lingkungan. Karena itu, pengakuan diri sebagai

wewene dan tuama bukan sebutan biasa sekedar menyebut

perempuan dan laki-laki, sebaliknya mengandung nilai sosio-

kultural yang sarat dengan penghargaan terhadap kemampuan

seseorang membangun kehidupan yang berkualitas dengan

Yang Kudus, sesama dan lingkungan. Penghargaan terhadap

kehidupan berkualitas yang merefleksikan Tou sebagai identitas

bersama di tanah Minahasa.

Selanjutnya, dari kedua ucapan tua tersebut terurai

ucapan-ucapan lain yang muncul kemudian yakni Maleo-leosan

(saling mengasihi dan menyayangi), masigi-sigian (saling

berbaikan), masawang-sawangan (saling menolong), dan

matombol-tombolan (saling menopang), magenang-genangan

(saling mengingat), malinga-lingaan (saling mendengar). Jelas,

bahwa yang diajarkan melalui ucapan-ucapan tersebut adalah

bagaimana bersikap etis dalam kehidupan bersama. Dalam

wawancara dengan Pdt. H.W.B Sumakul, Ketua Sinode GMIM,

beliau memaknai capan-ucapan tua tersebut sebagai terapi

sosial dalam memberi dukungan atau penguatan pada sesama

manusia dalam rangka mencapai kualitas hidup. Di sisi lain,

menurut beliau, ucapan-ucapan etis tersebutpun menjadi terapi

sosial bagi para Tona’as, Walia’an, Waraney, dan para pemimpin

informal yang memimpin kegiatan khusus di masyarakat

(sebagai pemimpin mapalus pertanian, pemimpin mapalus

bangsal duka, pemimpin mapalus kerja bakti kampung, …) untuk

menjalankan fungsinya secara optimal.18 Saya sependapat

17 Hal yang sama dikemukakan juga oleh Tona’as Rinto Taroreh, Manado, 2014

dan Ferdy Wowor, Manado, 2015.

18

Data observasi penulis. Dalam konteks tanah Minahasa kini, ucapan-ucapan

demikian lebih banyak disampaikan dalam sambutan di acara pernikahan dan duka.

Page 14: BAB V TOU - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/5/T2_762011001_BAB V.pdf · Sekilas ketiga golongan tersebut memiliki hirarki, sehingga kesannya golongan

132 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

dengan Sumakul, karena menurut saya ucapan-ucapan tua

demikian adalah juga cara yang dipakai oleh para tua-tua atau

orang tua Minahasa untuk terus memelihara masyarakat di

tanah Minahasa. Selain itu, yang terpenting untuk konteks kini,

yakni bagai ucapan-ucapan tua dipakai sebagai media edukasi

masyarakat mengenai pentingnya memelihara falsafah tou dan

mengimplementasikannya dalam kehidupan kini. Artinya,

ucapan-ucapan tersebut tidak sekedar nostalgia terhadap nilai-

nilai tua dan pemuas kesadaran sosial bahwa dalam masyarakat

di tanah Minahasa ada nilai Tou yang egaliter. Lebih dari itu, Tou

harus diimplementasikan dalam interaksi kultural dan sosial di

tanah Minahasa kini.