konflik golongan tua dan golongan muda

50
BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Rencana pemberian kemerdekaan oleh Jepang kepada Bangsa Indonesia tidak berjalan mulus akibat menyerahnya Jepang terhadap sekutu melalui bom yang dijatuhkan oleh angkatan perang Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki Hiroshima pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945. Dalam Jeda peristiwa pemboman itu, Pemerintah Bala Tentara Jepang membentuk badan baru yang lebih menonjolkan peran orang Indonesia, yaitu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Inkai pada tanggal 7 Agustus 1945. Dengan dibentuknya badan ini, harapan para pemimpin Indonesia yang kolaboratif dengan Jepang berharap kemerdekaan Indonesia akan terwujud tanpa pertumpahan darah. Pada tanggal 9 Agustus 1945, tiga tokoh Indonesia (Sukarno, Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat) pergi ke Dalat Vietnam untuk menemui Jenderal Terauchi. Pada tanggal 12 Agustus 1945 Jenderal Terauchi memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Situasi dunia yang telah berubah tampaknya tidak dipahami oleh para pemimpin Indonesia dan pimpinan tentara Jepang tersebut. Berita tentang kekalahan Jepang ketika itu tidak dipahami oleh para pemimpin Indonesia yang kolaboratif dengan Jepang 1

Upload: ardeti-jeni

Post on 06-Feb-2016

318 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Kronologi konflik antara golongan tua dan golongan muda Indonesia pra kemerdekaan.

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Rencana pemberian kemerdekaan oleh Jepang kepada Bangsa Indonesia tidak

berjalan mulus akibat menyerahnya Jepang terhadap sekutu melalui bom yang dijatuhkan

oleh angkatan perang Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki Hiroshima pada

tanggal 6 dan 9 Agustus 1945. Dalam Jeda peristiwa pemboman itu, Pemerintah Bala

Tentara Jepang membentuk badan baru yang lebih menonjolkan peran orang Indonesia,

yaitu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Inkai pada

tanggal 7 Agustus 1945. Dengan dibentuknya badan ini, harapan para pemimpin

Indonesia yang kolaboratif dengan Jepang berharap kemerdekaan Indonesia akan

terwujud tanpa pertumpahan darah. Pada tanggal 9 Agustus 1945, tiga tokoh Indonesia

(Sukarno, Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat) pergi ke Dalat Vietnam untuk menemui

Jenderal Terauchi. Pada tanggal 12 Agustus 1945 Jenderal Terauchi memutuskan untuk

memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Situasi dunia yang telah berubah tampaknya

tidak dipahami oleh para pemimpin Indonesia dan pimpinan tentara Jepang tersebut.

Berita tentang kekalahan Jepang ketika itu tidak dipahami oleh para pemimpin Indonesia

yang kolaboratif dengan Jepang

Problem besar menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah perbedaan

sikap antara golongan tua dan golongan muda. Golongan tua, seperti Sukarno dan Hatta

dipandag terlambat mengantisipasi situasi kekalahan Jepang. Semenetara golongan muda

lebih cepat dan yakin untuk meraih kemerdekaan dengan caranya sendiri. Dilaog orang

tua dan dan pemuda di sekita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sangat mewarnai

dinamika Revolusi kemerdekaan Indonesia, terutama di Jawa. Jika dilihat dari perspektif

orang tua, maka kemerdekaan adalah “kecelakaan sejarah”. Sementara itu jika dilihat dari

perspektif orang muda itu sebagai kelanjutan perjuangan. Perbedaan perspektif dari

masing-masing golongan ini merupakan hal yang sangat menarik. Oleh karena itu, dalam

kesempatan ini penulis tertarik untuk melakukan penulisan makalah dengan judul

“Konflik Golongan Tua dan Golongan Muda”.

1

II. Rumusan Masalah

1. Siapa kah Golongan Tua dan siapa kah Golongan Muda?

2. Bagaimana akar permasalahan dan kronologi konflik antara Golongan Tua dan

Golongan Muda?

III. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui golongan tua dan galongan muda

2. Mengetahui akar permasalahan dan kronologi konflik golongan tua dan golongan

muda.

2

BAB II

PEMBAHASAN

I. Golongan Tua dan Golongan Muda

A. Golongan Tua

Ketika penguasa pendudukan Jepang menghadapi saaat-saat terakhir untuk

memasuki waktu kekalahannya, maka ia masih mencoba mencari alternative agar

dapat memperoleh setidaknya dari golongan pemimpin-pemimpin negeri

penduduknya, yang ketika itu sudah bernama: Indonesia. Dukungan untuk dirinya

untuk maksud itu, maka pemerintah pendudukan Jepang membentuk Badan

Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI dan

menetapkan 62 orang pemimpin-pemimpin utama bangsa Indonesia sebagai anggota-

anggotanya; di dalam BPUPKI termasuk Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, dr.

Radjiman Wediodiningrat, Muhammad Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Haji Agus

Salim, Maramis, Kiai Haji Kahar Muzakkir, Kiai Haji Wachid, dan lain-lain. (St.

Sularto & D. Rini Yunarti, 2010: xiv)

Kepada para pemimpin rakyat jajahan, penjajah Jepang mengatakan,

pembentukan BPUPKI merupakan realisasi janji Jepang memberikan kemerdekaan

kepada rakyat Indonesia. Mereka berpendapat, kemerdekaan harus disiapkan secara

seksama. Oleh karena itu, BPUPKI diharapkan bisa menjadi sarana memperoleh

gambaran tentang bentuk negara, sistem pemerintahan, dan dasar hukum negara yang

merdeka. Dibawah pimpinan dr. Radjiman Wediodiningrat, mereka mendiskusikan

secara mendalam dan berhasil merumuskan bersama bentuk, dasar, dan segala sesuatu

yang berkaitan dengan sebuah negara yang merdeka. Mereka lah yang kemudian

disebut sebagai para Bapak Bangsa Indonesia. (St. Sularto & D. Rini Yunarti, 2010:

1-2)

Sebuah lembaga lain yang juga didirikan oleh Jepang untuk persiapan

kemerdekaan adalah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI, yang

berdiri pada 7 Agustus 1945. Panitia ini terdiri atas 21 anggota, yang berasal dari

seluruh daerah Indonesia. Tugasnya bertindak sebagai badan yang mempersiapkan

3

penyerahan kekuasaan pemerintahan dari tentara Jepang kepada badan tersebut.

Panitia ini bertugas menyelesaikan dan mengesahkan Rancangan UUD dan Falsafah

Negara yang sudah disiapkan BPUPKI. Panitia ini juga bertugas membahas dan

menetapkan tata cara pelaksanaan pernyataan atau pengumuman kemerdekaan

Indonesia nanti. Dengan berdirinya PPKI, secara otomatis lembaga BPUPKI bubar.

(St. Sularto & D. Rini Yunarti, 2010: 14-16)

Para anggota yang tergabung dalam lembaga bentukan Jepang, baik BPUPKI

maupun PPKI, ini lah yang kemudian disebut dengan golongan tua. Berikut ini adalah

anggota yang tergabung dalam golongan tua

1) Ir. Sukarno

2) Drs. Moh. Hatta

3) Mr. Moh. Yamin

4) Dr. Buntaran

5) Dr. Syamsi

6) Mr. Iwa Kusumasumantri

7) Anang Abdul Hamidan.

8) Andi Pangeran Pettarani.

9) Bandoro Pangeran Hario Purubojo.

10) Bendoro Kanjeng Pangeran Ario Suryohamijoyo.

11) Dr. G.S.S.J. Ratulangie

12) Dr. Kanjeng Raden Tumenggung Rajiman Wedyodiningrat.

13) Dr. M. Amir

14) Haji Abdul Wahid Hasyim

15) Haji Teuku Mohammad Hasan

16) Ki Bagus Hadikusumo

17) Ki Hajar Dewantara

18) Mas Sutarjo Kartohadikusumo

19) Mr. Abdul Abbas

20) Mr. I Gusti Ketut Puja

21) Mr. Raden Ahmad Subarjo

22) Mr. Raden Kasman Singodimejo

4

23) Mr. Yohanes

24) Muhammad Ibnu Sayuti Melik

25) Prof. Dr. Mr. Raden Supomo

26) Raden Abdul Kadir.

27) Raden Adipati Wiranatakusuma.

28) Raden Oto Iskandardinata.

29) Raden Panji Suroso.

B. Golongan Muda

Kemerdekaan Indonesia seharusnya mengikuti alur linear sebagaimana arus

sejarah masa pendudukan Jepang. Persiapan telah dilakukan dengan matang dengan

peran yang sangat besar di kalangan politisi golongan tua yang selama itu

berkolaborasi dengan Jepang. Inisiatif kemerdekaan merupakan hasil dialog politik

yang terus menerus antara tokoh-tokoh kolaboran dengan Jepang ini. Sayangnya

perubahan politik Internasional begitu cepat akibat kekalahan Jepang terhadap sekutu.

Pada situasi krusial seperti ini ada kelompok anak muda yang menempuh pemkiran

lain tentang cara Indonesia harus merdeka. Anak-anak muda ini umurnya jauh

puluhan tahun di bawah tokoh-tokoh Sukarno-Hatta, sehingga pengalaman

pergerakan lebih terbatas ketimbang golongan tua yang pernah merasakan perjuangan

semasa penjajahan Belanda. Mereka hanya lebih dominan dididik secara fisik dan

mental oleh Jepang melalui penganbdiannya di PETA, Heiho, Keibodan, dan

semacamnya. Akibatnya sikap mereka dalam menagnggapi kekalahan Jepang

menjadi berbeda. Sebagai anak muda yang dididik dengan kekerasan fisik pada masa

Jepang mereka memiliki temperamen lebih radikal dan tidak sabaran untuk

menyatakan kemerdekaan. (Prof.Dr. Wasino, M,Hum, 2014: 3)

Para pemuda pemberani dan revolusioner tersebut adalah anggota Gerakan

Angkatan Baru yang diketuai oleh BM. Diah.  Gerakan Angkatan Baru adalah letusan

keinginan mewakili golongan pemuda yang tidak puas dengan kerja para tokoh

nasionalis. Menurut mereka tokoh nasionalis yang mewakili golongan tua bersikap

ragu-ragu dan lamban dalam mewujudkan kemerdekaan. Bagi mereka hal itu

disebabkan oleh keterikatan para golongan tua pada masa silam dan umumnya

5

mereka adalah golongan priyayi yang feodal. Angkatan baru mempunyai pandangan

yang radikal, bagi mereka merdeka atau mati. Golongan ini menolak keras kerjasama

dengan penjajah baik Belanda atau Jepang yang nantinya hanya akan menjadikan

Indonesia sebagai Negara Boneka milik para penjajah. Keinginan Gerakan Angkatan

Baru sudah jelas yaitu “Indonesia merdeka sekarang juga, atas kekuatan tenaga

nasional bangsa Indonesia”.

Gerakan Angkatan Baru terdiri dari beberapa orang akan menjadi pengurus,

termasuk membuat Anggaran Dasar dan Pedoman Kerja yaitu BM. Diah sebagai

ketua dan para anggotanya yaitu Chaerul Saleh, Supeno, Harsono Tjokroaminoto,

Sudiro, Wikana, Sukarni, dan Asmara Hadi, Syarief Tajeb, dan Gultom. Sukarni dan

Chaerul Saleh adalah dua pemuda yang berkerja di Sendenbu (Departemen

Propaganda), dengan jabatan Sukarni adalah Yong-to-yo-eikan (Pegawai Tinggi IV).

Karena itulah pada awalnya Sukarni tidak dipercayai oleh teman-temannya, namun

karena sering mengadakan pertemuan dan dapat diketahui jalan pikirannya yang

nasionalis maka lama-kelamaan mereka dapat percaya.

Sebelumnya Sukarni adalah ketua dari oraganisasi pemuda bernama Asrama

Angkatan Baru Indonesia yang dikenal juga dengan sebutan Kelompok Menteng 31

karena markasnya berada di Jalan Menteng Raya No. 31, sementara Chaerul Saleh

adalah wakil dari Sukarni di organisasi yang sama. Ada juga pemuda yang bekerja di

bawah Kaigun (Angkatan Laut) Jepang yaitu Sudiro dan Wikana. Sementara BM.

Diah yang bertindak sebagai ketua adalah seorang wartawan, maka bukan hal yang

sulit baginya untuk mengetahui informasi terbaru mengenai keadaan Jepang di

perang.

Gerakan yang mengucapkan ikrar pemuda pada tanggal 3 Juni 1945 ini

menggunakan pancasila yang disampaikan Soekarno pada sidang BPUPKI sebagai

landasan ideologis perjuangannya. Ikrar tersebut berbunyi:

“Kami pemuda Indonesia menghendaki Indonesia merdeka sekarang juga, atas

kesanggupan dan kekuatan sendiri. Barang siapa merintangi perjuangan kami

adalah pengahalang dan penghianat.”

Angkatan Baru kemudian mengadakan pertemuan menyambut rencana

kemerdekaan Indonesia pada bulan Juni 1945. Pada waktu itu dikumandangkan

6

negara merdeka konsep Angkatan Baru yaitu konsep negara merdeka yang dinamis

serta modern. Keberanian mengungkapakan konsep negara merdeka tersebut

kemudian diteruskan pemuda-pemuda sekolah menengah dan sekolah tinggi dengan

mengadakan rapat di kebun binatang Cikini. Rapat tersebut menghasilkan sebuah

keputusan penting bahwa gerakan baru sepakat “Membangun Negara Kesatuan

Republik Indonesia berdasarkan kedaulatan rakyat”.

Hasil kesepakatan para pemuda dalam Gerakan Angkatan Baru tersebut kemudian

disampaikan kepada Soekarno dan Hatta sebagai bentuk meminta perhatian kedua

tokoh nasionalis itu bahwa pemuda telah mempunyai tujuan dalam perjuangannya.

Konsep perjuangan Gerakan Angkatan Baru juga dimuat dalam surat kabar Asia Raya

tertanggal 15 dan 16 Juni 1945 yang mengatakan bahwa :

“Angkatan baru Indonesia terutama sekali mendasarkan perjuangannya pada

kekuatan sendiri dengan menaruh kepercayaan sebesar-besarnya akan kekuatan

tenaga sendiri dan tenaga yang menjadi tenaga profesional.” 

Semangat untuk menuntut bahwa negara Indonesia yang akan terbentuk nantinya

adalah republik ternyata juga di dukung oleh para pemuda dan pelajar dari luar

Gerakan Angkatan Baru. Diantaranya adalah sekolah kedokteran tinggi yang berpusat

di Prapatan 10 dan Tjikini 71, dengan nama organisasi Persatuan Mahasiswa. Mereka

mengadakan rapat besar di taman Raden Saleh yang dihadiri oleh segenap pelajar

yang ada di Jakarta. Rapat tersebut diakhiri dengan demonstrasi dengan membawa

poster yang berisi tuntutan meminta Negara Indonesia berbentuk republik.

(http://www.proklamasi1945.com/index.php?

option=com_content&view=article&id=59:detik-detik-proklamasi-saat-saat-

menegangkan-menjelang-kemerdekaan-republik&catid=44:buku-sejarah&Itemid=62,

diakses pada 02/03/2015 20:06)

Gerakan Angkatan Baru ternyata terdengar oleh pembesar Jepang sebagai pelopor

gerakan pemuda. Gunseikanbo kemudian mengundang mereka untuk bertukar pikiran

pada tanggal 30 Juni 1945. Saat itu hari sabtu, BM. Diah sebagai ketua dan Chaerul

Saleh sebagai salah satu anggota datang memenuhi undangan Gunseikanbo. Mereka

ditemui oleh Saito, Miyoshi, dan pembesar Jepang yang lain. Jepang rupanya kuatir

dengan keberadaan Gerakan Angkatan Baru akan mempengaruhi para pemuda lain

7

untuk melawan Jepang. Namun ketua Gerakan Angkatan Baru BM. Diah berhasil

meyakinkan para pembesar Jepang bahwa mereka semata-mata bergerak untuk

menyambut kemerdekaan Indonesia.

Golongan pemuda yang terwakil oleh Gerakan Angkatan Baru cenderung bersifat

revolusioner. Tindakan mereka yang revolusioner terlihat saat jalannya sidang

BPUPKI dalam menentukan bentuk negara Indonesia. Golongan pemuda

menginginkan bentuk republik, sementara dari pihak Jepang mendaulat agar bentuk

negara tidak dibahas namun menuggu keputusan dari Tenno Haika. Golongan

pemuda tidak setuju dengan rancana pihak Jepang, Akhirnya mereka keluar dari

sidang dan sidang diberhentikan untuk sesaat. Pada akhirnya keputusan tetap

menggunakan republik sebagai bentuk negara atas kesepakatan bersama anggota

sidang.

Soekarno dan Hatta sebagai golongan tua mendukung perjuangan dari golongan

pemuda, walaupun dalam beberapa hal mereka berbeda. Keputusan akhir sidang

untuk menggunakan republik sebagai bentuk negara sangat melegakan hati golongan

pemuda. Sebagai bentuk penghargaan atas bantuan dan dukungan dalam perjuangan

pemuda, mereka kemudian berkunjung kerumah Soekarno sesaat sidang diakhiri.

Soekarno menerima kedatangan mereka dengan senang hati dan bangga, bahkan

menyambut dengan kata-kata “ayo, mari pemuda revolusioner”.

II. Konflik Golongan Muda dan Golongan Tua

Pada tanggal 9 Agustus 1945, tiga tokoh pemimpi bangsa Indonesia yang juga

menjadi unsur pemimpin PPKI dan BPUPKI diminta datang ke Vietnam, ke markas besar

Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Asia Tenggara, Marsekal Terauci. Ketiga tokoh ini

adalah Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta dan dr. Radjiman Wediodiningrat.

Selanjutnya pada tanggal 12 Agustus, ketiga tokoh itu diterima oleh Jenderal Besar atau

Marsekal Terauchi. Terauchi menyampaikan pernyataan bahwa pemerintah Dai Nippon

sudah memutuskan untuk segera memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.

Tanggal 14 Agustus 1945, ketiga pemimpin bangsa Indonesia itu tiba di Jakarta. Banyak

perubahan yang terjadi di Jakarta, misalnya aktivitas mahasiswa dan kelompok pemuda

antisipasi sejumlah anggota Peta yang bersiaga-jaga terhadap kemungkinan menyusul

8

kekalahan Jepan satu persatu di berbagai wilayah pendudukan. (St. Sularto & D. Rini

Yunarti, 2010: 45-48)

Sekutu menuntut, Jepang menyerah tanpa syarat. Tututan Sekutu diterima. Jepang

menyerah kepada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945. Berita kekalahan Jepang itu tidak

diketahui oleh ketiga tokoh dan pemimpin bangsa Indonesia lainnya. Tetapi, sejumlah

mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Jl. Prapatan 10 yang memonitori

keadaan lewat pemancar gelap, tahu bahwa Jepang kalah. Mereka selalu mengadakan

kontak dengan tokoh-tokoh pemuda revolusioner seperti Wikana, Sukarni, dan Chaerul

Saleh yang bermarkas di Jl. Cikini 10. Mereka menginginkan kemerdekaan segera

diproklamasikan lepas sama sekali dari pengaru Jepang. Mereka mempersiapkan pasukan

untuk mengusir Jepang dan mengambil alih segala posisi yang diduduki Jepang. Di

bawah tokoh-tokoh muda yang militant, radikal, dan berani itu, mereka merupakan anak-

anak muda yang sering bertentangan rencana dengan tokoh-tokoh tua seperti Sukarno dan

Hatta. (St. Sularto & D. Rini Yunarti, 2010: 49-50)

Diruang tamu rumah Sukarno, di Jalan Pegangsaan Timur, para pemuda berbicara

dengan Sukarno mengenai kondisi Jepang yang kemungkinan akan segera kalah melawan

sekutu. Pemuda mengajak Sukarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa

menunggu perintah dari Jepang. Karena kemerdekaan yang merupakan pemberian dari

Jepang akan direbut lagi oleh sekutu apabila Jepang menyerah kepada sekutu, sehingga

proklamasi harus dilakukan sendiri oleh rakyat Indonesia. Chaerul Saleh mewakili

teman-temannya mengatakan : “ Bung, kami mendengarkan siaran-siaran dari Australia.

Kami pun mendengarkan siaran Amerika Serikat. Di samping radio yang disegel, yang

hanya bisa menerima siaran pemerintah, kami mempunyai pesawat radio gelap yang

disembunyikan di dalam lemari. Jakarta boleh saja menyiarkan setiap hari kemenangan

demi kemenangan dari Angkatan Laut Jepang, akan tetapi kami lebih mengetahui

bagaimana keadaan yang sesungguhnya ”.

Gerakan yang dilakukan oleh para pemuda cukup membahayakan karena mereka

mendengarkan siaran radio yang jelas-jelas dilarang oleh pemerintah Jepang. Apabila

ketahuan hukuman berat akan diterima, namun hal tersebut tidak membuat mereka takut.

Sabotase dan pencurian senjata juga tak jarang dilakukan sebagai persiapan gerakan

revolusioner yang mereka rencanakan. Soekarno dan beberapa tokoh nasionalis

9

menyadari akan gerakan bawah tanah yang dilakuakan pemuda, namun mereka bertindak

sangat hati-hati. Menurutnya, perlu direncanakan dan dipikirkan lebih matang untuk

menyerang Jepang yang senjatanya lebih lengkap dan prajuritnya lebih siap. Bila revolusi

yang didengungkan tanpa persiapan matang, hanya akan menyebabkan pertumbuhan

darah rakyat yang tidak berdosa. Maka Sukarno berkata, “Kalau engkau, pemuda, hendak

mengadakan pertumpahan darah yang sia-sia, cobalah tanya saya.”

Panasnya darah para pemuda dan semangatnya yang luar biasa untuk

mewujudkan kemerdekaan yang tertuang dalam Gerakan Angakatan Baru ternyata

menimbulkan kecurigaan Jepang. Akibatnya sebagian tokoh pemuda ditangkap oleh salah

satu bagian dalam kepolisian Jepang yang bernama Tokubetsu Keiketsu (Polisi

Istimewa). Mereka dituduh telah melakukan tindakan melawan pemerintah militer

Jepang. Salah satu pemuda yang ditangkap adalah ketua dari Gerakan Angakatan Baru

yaitu BM. Diah, dia ditangkap oleh polisi Jepang pada tanggal 7 Agustus 1945. Setelah

menginap di sel polisi selama 8 hari kemudian dibebaskan pada tanggal 15 Agustus 1945.

keluarnya BM. Diah dari sel atas permintaan dari keluarga Herawati istrinya. BM. Diah

menyatakan dalam bukunya seperti yang dikutip di bawah ini :

“ Nishijima senang sekali bertemu dengan saya. Kabarnya ia dan Ichiki, seorang Jepang

yang berstatus sama, tetapi dari balatentara Jepang membantu mengeluarkan saya atas

permintaan keluarga istri saya, Mr. Soebardjo dan Mr. Sujono.”

A. Desakan Sjahrir

Mohammad Hatta yang tinggal di jalan Orange Boulevard 57 bertemu dengan

Sjahrir sesaat setelah kepulangannya dari Dalat Saigon. Sjahrir dikenal sebagai tokoh

nasionalis yang tidak mau bekerja sama dengan Jepang sehingga lebih banyak melakukan

perjuangannya dibawah tanah. Kelompok Sjahrir terdiri dari teman-temannya di PNI baru

seperti Sudarsono, Sukra Dan Sukanda. Kelompok Sjahrir yang paling penting adalah

mendengarkan dan mengikuti dengan cermat setiap berita luar negeri yang disiarkan

melalui radio yang tidak disegel pemerintah jepang.

Tindakan Sjahrir yang berjuang dibawah tanah sebenarnya kurang disukai oleh

Soekarno. Mereka bertiga, Soekarno, Hatta, dan Sjahrir merupakan tiga tokoh terkemuka

dalam perjuangan Indonesia. Namun perbedaan ideology menyebabkan perjuangan

10

mereka berbeda jalan. Soekarno dan Hatta bersifat kooperatif, sementara Sjahrir non

kooperatif. Bahkan Soekarno menduga bahwa tindakan revolusioner para pemuda

merupakan ide dari Sjahrir. Soekarno mengatakan:

“Selama hidupnya Sjahrir tidak pernah bertindak terus terang seperti yang kulakukan.

Dia tidak pernah maju kegaris depan pertempuran. Segala perjuangannya dilakukan

dibelakangku. Dialah orang yang harus bertanggung jawab atas hasutan untuk

menentangku dan atas segala peristiwa yang terjadi kemudian malam itu”.

Kedatangan Sjahrir dirumah Hatta untuk menanyakan masalah kemerdekaan

Indonesia sekaligus menyampaikan berita yang didengarnya dari radio siaran luar negeri

bahwa Jepang telah meminta damai kepada sekutu. Kelompok Sjahrirlah yang pertama

kali mengetahui berita luar negeri yang mengabarkan tentang kekalahan Jepang. Apa

yang dilkakukan kelompok Sjahrir ini sebenarnya mempunyai resiko yang sangat tinggi,

sebab tentara Jepang melarang keras siapapun yang mendengarkan berita dari radio. Jika

tindakan itu diketahui tentara Jepang maka dapat dikenakan hukuman mati. Sjahrir

mengatakan kepada Hatta bahwa pengumuman kemerdekaan jangan dilakukan oleh PPKI

karena itu akan menyebabkan munculnya anggapan dipihak sekutu bahwa Indonesia

merdeka karena buatan Jepang. Seharusnya pernyataan kemerdekaan disampaikan oleh

Sjahrir didengar baik-baik oleh Hatta, hanya saja Hatta ragu-ragu apakah Soekarno akan

bersedia. Soekarno adalah ketua PPKI tentu dia tidak dapat mengambil keputusan

seorang diri, karena jika itu dilakukan berarti Soekarno sudah merampas wewenang

PPKI. Diskusi antara Hatta dan Sjahrir terus berlangsung namun mereka tak dapat

menemukan jawabannya, maka harus ditanyakan secara langsung kepada Soekarno.

Hatta kemudian menelpon kerumah Soekarno untuk menanyakan apakah mereka bisa

berkunjung kerumah Soekarno saat itu juga. Soekarno ternyata mengizinkan kemudian

keduanya meluncur kejalan pengangsaan timur dimana Soekarno dan keluarganya

berkediaman.

Sesampainya dirumah Soekarno keduanya langsung menyampaikan maksud

kedatangannya. Mohammad Hatta mempersilahkan Sjahrir untuk mengemukakan berita

yang dibawanya serta pendapat agar kemerdekaan Indonesia dilakukan secepatnya dan

diumumkan oleh Soekarno sendiri melalui radio. Soekarno ternyata tidak setuju dengan

usul Sjahrir.

11

” Memang di Saigon kami menduga, setelah Letnan Kolonel Nomura melaporkan bahwa

tentara Rusia telah menyerbu Mancuko, bahwa Jepang pasti akan bertekuk lutut. Tetapi

bahwa begitu lekas terjadinya aku belum percaya, sekalipun saudara Sjahrir

mendengarkan berita dari siaran radio luar negeri yang kebanyakan dikuasai oleh

sekutu. Oleh karena itu aku ingin mengecek dahulu dari Gunseikanbu. Besok kami

berdua, Bung Hatta dan aku akan pergi kesana.”

Aku tidak berhak bertindak sendiri, hak itu adalah tugas Panitia Persiapan

Kemerdekaan yang aku menjadi ketuanya. Alangkah janggalnya di mata orang, setelah

kesempatan terbuka untuk mengucapkan kemerdekaan Indonesia aku bertindak sendiri

melewati Panitia Persiapan Kemerdekaan yang kuketuai.

Keesokan harinya tanggal 15 Agustus 1945 disertai dengan Hatta, Soekarno pergi

ke Gunseikanbu (Kepala Pemerintahan Penduduk Jepang). Kantor yang dulunya

merupakan bekas gedung Bataafsche Petrolrum Maatschappij (BPM) ternyata kosong,

hanya ada opsir tentara yang bertugas. Menurut keterangan opsir tersebut semua pejabat

Gunseikanbu dipanggil ke Gunseirebu (Markas Besar Angkatan Perang). Melihat bahwa

kantor Gunseikanbu kosong dan tujuan tidak tersampaikan mereka kemudian menuju ke

kantor Ahmad Subardjo, siapa tahu Soebardjo telah mengetahui kabar tentang kekalahan

Jepang.

Setelah bertemu Soebardjo, ternyata dia pun belum mengetahui apapun mengenai

berita Jepang dalam perang. Dia kemudian mengusulkan untuk mencari informasi ke

Laksamana Muda Maeda, kepada Kaigun Bukanfu (Kantor Penghubung Angkatan Laut).

”Saya segera meminta sekertaris saya Sudiro untuk menghubungi kantor Maeda dan

menyampaikan keinginan kami bertiga untuk bertukar pikiran dengan laksamana Muda

tersebut. Ia dapat menerima kami pada sekitar jam 14.30 lewat tengah hari. Kantornya

bertempat di sebelah utara dari lapangan yang waktu itu bernama ”Koningsplein” dan

sekarang medan merdeka, dalam gedung ”Volkscreditwezen”, sekarang dipakai sebagai

Markas Besar Angkatan Darat (MBAD).”

Perwira Angkatan Laut yang berbicara dalam banyak bahasa itu merupakan tokoh

Jepang yang bersimpati terhadap kemerdekaan Indonesia, sehingga menjadi hal yang

biasa bahwa keluhan dan pertanyaan mengganjal dari tokoh nasionalis Indonesia

ditanyakan kepadanya. Pengalamnya sebagai perwira Angkatan Laut yang banyak

12

menjelajah dunia melebihi para perwira Angakatan Darat menyebabkan pemikirannya

bersifat lebih terbuka. Selain itu juga dipengaruhi oleh latar belakang kemiliteraannya,

karena Angkatan Darat lebih doktiner dan loyal, sementara Angkatan Laut lebih liberal.

Dikenal sebagai Silent general, Maeda memang pendukung kemerdekaan Indonesia. Dia

pernah mengatakan ”Jangan meninggalkan Indonesia karena Indonesia kaya akan

sumber daya alam dan manusia”.

Ketiganya kemudian bergegas menuju ke Kantor Penghubung Angkatan Laut

yang terletak di sebelah utara Lapangan Ikada. Setelah bertemu Laksamana Muda Maeda,

Soekarno kemudian mengatakan bahwa dia sudah meminta bertemu dengan pembesar-

pembesar Jepang namun tak ada satu pun yang bersedia menerima. Soerkarno juga

menanyakan kabar yang didengar dari siaran radio luar negeri bahwa Jepang telah

meminta damai kepada sekutu, sehingga hal tersebut akan membuat perubahan penting

pada kondisi di Indonesia.

Pertanyaan Soekarno tak langsung dijawab oleh Laksaman Muda Maeda, dia

diam sejenak berpikir. Setelah beberapa saat berdiam diri dia mengatakan bahwa berita

tersebut memang disiarkan oleh sekutu, tetapi pihak Jepang di Indonesia belum

memperoleh berita dari Tokyo. Instruksi dari Tokyo-lah yang dipercaya oleh pembesar

Jepang di Indonesia.

” Walaupun cukup pasti bahwa suatu perubahan penting telah terhjadi, hingga sekarang

belum diterima kawat resmi tentang hal ini, dan karenanya belum mungkin untuk

menjawab anda secara resmi.”

Setelah mendengar jawaban dari Laksamana Maeda, ketiganya kemudian

memohon diri untuk pulang. Hatta mengusulkan agar rapat PPKI diajukan

pelaksanaannya menjadi tanggal 16 Agustus 1945 keesokan harinya yang sebelumnya

dijadwalkan akan diadakan tanggal 18 Agustus 1945. Usul ini disetujui oleh Soekarno

dan rencananya rapat akan diadakan di gedung bekas Raad van Indie atau Dewan

Pemerintah Hindia Belanda jam 10 pagi. Ahmad Subardjo bertugas untuk mengundang

anggota-anggota PPKI yang kesemuanya berkumpul dan menginap di hotel Des Indes.

Setelah kesepakatan dan pembagian tugas antara Soekarno, Hatta, dan Ahmad Subrdjo

selesai masing-masing pulang ke rumahnya.

13

Ahmad Subardjo yang tidak puas dengan keterangan dari Laksamana Muda

Maeda setelah makan malam ditemani dengan sekertarisnya Sudiro mencari informasi ke

tempat di mana oarang-orang Jepang bertempat tinggal yaitu di Jalan Kebon Sirih 80.

tempat tersebut digunakan sebagai pertemuan bagi penghubung-penghubung angkatan

laut Jepang di Indonesia. Ternyata di tempat tersebut sudah ada beberapa orang Indonesia

antara lain Buntaran dan Iwa Kusuma Sumantri. Keduanya ternyata juga mencari

informasi yang sama seperti yang di cari Ahmad Subardjo dan Sekretarisnya Sudiro.

Ahmad Subardjo menceritakan saat-saat itu seperti dalam kutipan berikut :

” Sedikit orang Jepang yang kebetulan berada di situpun tidak bisa memberikan

keterangan lebih dari apa yang telah kami ketahui. Tetapi tindak-tanduk dan sikap

menahan diri mereka memberi kesan kepada kami bahawa berita tentang penyerahan

tersebut telah sampai pada mereka. Mereka dalam keadaan lesu tak bersemangat dan

terus menerus minum-minuman keras. Saya meninggalkan tempat tersebut tanpa

tambahan bahan apapun, dan dengan ditemani oleh Buntaran dan Iwa Kusuma

Sumantri.”

Ahmad Subardjo beserta Buntaran dan Iwa Kusuma Sumantri berkehendak untuk

menuju rumah Soekarno. Saat melewati rumah Hatta ketiganya mampir untuk mengajak

Hatta sekalian ke rumah Soekarno. Saat itu Hatta sedang sibuk mempersiapkan naskah

untuk rapat keesokan harinya.

B. Bertemu di Bakteorologi Pegangsaan

Para golongan pemuda mempunyai pendapat sendiri tentang kemerdekaan

Indonesia yang sedang dipersiapkan oleh PPKI. Setelah mereka mendengar dari radio-

radio luar negeri mengenai kekalahan Jepang terhadap sekutu maka kemerdekaan harus

segera diproklamasikan. Berawal dari Aidit yang mengumpulkan teman-teman

seperjuangannya pada tanggal 15 Agustus 1945 sore di kantor Baperki (Badan

Perwakilan Pelajar Indonesia) di Cikini 71. Saat itulah Aidit menghubungi Wikana yang

juga tokoh dari golongan pemuda untuk menghubungi teman-teman perjuangan dalam

rangka persiapan pertemuan rahasia yang akan diadakan di ruang belakang Kebon Jarak

Institut Bakteorologi Pengangsaan.

14

Pada waktu yang sama, rumah Hatta didatangi oleh dua orang pemuda masing-

masing Soebadio Sastrosatomo dan Soebianto. Kedatangan keduanya untuk mengabarkan

berita yang mereka dengar lewat radio bahwa Jepang sudah menyerah kepada sekutu.

Mereka mendesak Hatta untuk membantu agar kemerdekaan jangan dilaksanakan oleh

PPKI yang dikenal sebagai buatan Jepang, namun harus dilakukan sendiri oleh Soekarno

sebagai pemimpin rakyat melalui corong radio. Usul para pemuda ini sama persis seperti

usul Syahrir yang sudah disampaikan lebih dulu kepada Hatta. Pemerintah Jepang

melalui Jenderal Terauchi sudah mengakui kemerdekaan Indonesia dan pelaksnaannya

akan dilakukan oleh PPKI yang akan mengadakan rapat besok pagi jam 10 di gedung

kantor Dewan Sanyo, sehingga Hatta menolak usul mereka.

Keterangan Hatta ini tidak membuat para pemuda lega namun justru semakin

emosi. Hatta pun berusaha meyakinkan para pemuda bahwa Soekarno tidak akan bersedia

untuk melaksanakan kemerdekaan sendiri, karena tidak mau merampas wewenang PPKI

sebagai panitia resmi. Perbedaan pendapat antara para pemuda dengan Hatta ternyata tak

membawa titik temu, keduanya sama-sama mempertahankan pendapatnya. Gagal

meminta dukungan dan bantuan dari Hatta, para pemuda kemudian meninggalkan rumah

Hatta dengan lebih dulu mengatakan ”Di saat revolusi rupanya kami tidak dapat

membawa Bung serta, Bung tidak revolusioner.” Mendengar kata-kata para pemuda,

Hatta hanya tersenyum dan mengatakan bahwa tindakan mereka bukan revolusi namun

lebih kepada ”putsch” seperti yang dilakukan oleh Hilter dan akhirnya gagal. Hatta tidak

ingin mereka mengadakan revolusi tanpa persiapan yang matang dan tidak melihat

situasi. Namun bagaimanapun juga mereka tetaplah pemuda yang berjiwa panas,

keterangan yang disampaikan Hatta dianggap sebagai tanda bahwa Hatta bukan seorang

revolusioner.

Gagal mendapat dukungan dari Hatta, kemudian para golongan pemuda

mengadakan pertemuan yang sebelumnya memang sudah direncanakan. Pertemuan

tersebut dilaksanakan pada pukul 19.00 malam diruang belakang Kebon Jarak Institut

Bakteorologi Pagangsaan. Pemuda-pemuda yang ada di dalam pertemuan tersebut adalah

Chaerul Saleh, Darwis, Kusnandar, Subianto, Margono, Aidit, Djohar Nur, Pardjono,

Abubakar, Sudewo, Subadio, Suroto Kunto, dan disusul dengan kedatangan Wikana dan

Armansjah. Bertindak sebagai pemimpin adalah Chaerul Saleh, pertemuan rahasia

15

tersebut membicarakan tentang gagasan bahwa Indonesia harus segera

memproklamasikan kemerdekaannya dengan sesegera mungkin. Para pemuda

memutuskan hanya ada dua pilihan yang bisa dilakukan yaitu merdeka atau mati.

Kegagalan mendapat dukungan dari Hatta, maka hasil keputusan tersebut akan

disampaikan kepada Soekarno. Dipilihlah wakil dari para pemuda tersebut untuk

menyampaikan hasil keputusan kepada Soekarno yaitu Wikana sebagai ketua rombongan.

Djohar Nur diperintahkan untuk menyusun persiapan pelajar-pelajar yang ada di

asramanya, dengan kesepakatan bahwa mereka nanti akan bertemu kembali di Tjikini 71

setelah Darwis dan Wikana menemui Soekarno.

C. ”Bung, Harus Segera Bersiap!”

Tanggal 15 Agustus 1945 petang, Soekarno berada di rumahnya Jalan

Pengangsaan Timur Jakarta. Saat itu, Soekarno sedang menemui Sayuti Melik, di mana

pertemuan itu adalah pertemuan pertama antara keduanya setelah hampir tiga tahun

Sayuti Melik berada di penjara Ambarawa. Tuduhan Jepang atas keterlibatan dirinya

sebagai anggota PKI bawah tanah yang menyebarkan pamflet berisi hasutan anti Jepang

menjadi penyebab terseretnya Sayuti Melik ke penjara. Semua yang diduga anggota PKI

bawah tanah ditangkap dan dipenjarakan, termasuk di dalamnya Sayuti Melik, walaupun

sebenarnya dia bukan anggota PKI bawah tanah, namun tampaknya pengakuan jujur

tersebut bukannya dipercaya justru membuatnya makin disiksa dan dipenjarakan.

Saat di penjara Ambarawa inilah Sayuti Melik mengarang, walaupun sebenarnya

karangannya menggunakan nama orang lain yaitu R.M. Hadikusumo.

” Saya diberitahu tentang adanya sayembara itu oleh seorang mantri penjara barnama

R.M. Hadikusumo. Dia menyuruh saya membuat karangan tersebut atas nama dia.

Konsep saya tulis, kemudian yang mengetik adalah Sugiyono, adik Sayuti Melok.”

Lomba mengarang diadakan oleh Jawa Hookookai atau Perhimpunan Kebaktian

Rakyat. Badan yang dibentuk tanggal 1 Maret 1944 sebagai pengganti Poetera ini

memberikan tema untuk lomba mengarangnya yaitu ”Kemerdekaan dan Kebudayaan”.

Juri sayembara pada waktu itu adalah Mohammad Yamin yang sudah sangat kenal

dengan Sayuti Melik dan mengetahui bahwa Sayuti Melik sedang di penjara Ambarawa.

Yamin hapal dengan gaya tulisan Sayuti Melik, sehingga dia yakin walaupun karangan

16

itu atas nama R.M. Hadikusumo tapi sebenarnya yang menulis adalah Sayuti Melik.

Yamin kemudian melaporkan mengenai karangan tersebut kepada Soerkarno yang

merupakan kepala kantor Jawa Hookookai, dan oleh Bung Karno diperintahkan agar

karangan tersebut diberi juara satu. Pada saat itulah Soekarno mendengar kembali nama

Sayuti Melik, perjumpaan mereka baru terjadi kembali tanggal 15 Agustus petang di

rumah Soekarno di Pegangsaan Timur Jakarta.

Bertempat di ruang kerja Soekarno inilah, keduanya terlihat perbincangan

mengenai banyak hal terutama situasi menjelang penyerahan kemerdekaan Indonesia

oleh Jepang. Sayuti Melik lebih banyak bertindak sebagai pendengar, dan sesekali

mengungkapkan pendapatnya. Setelah berbincang agak lama dengan Sayuti Melik,

Soekarno mendapat tamu lain yang ternyata adalah para pemuda. Inilah awal dari

peristiwa Rengasdengklok mejelang proklamasi.

” Sesudah kurang lebih dua jam Bung Karno mengajak saya berbincang-bincang, waktu

sudah agak malam, datanglah pemuda ingin bertemu dengan bung karno. Bung Karno

dari ruang kerja dan saya mengikuti di belakangnya, tetapi saya tidak mengikuti sampai

diruang depan tempat beberapa pemuda itu duduk melainkan saya berhenti di balik pintu

angin. Yang saya kenal betul di antara pemuda-pemuda itu adalah Wikana, ia bekerja di

kaigun bersama dengan MR. Subardjo dan Darwis, sedangkan yang lainnya saya kurang

begitu mengenalnya.”

Kelompok pemuda yang diwakili oleh Wikana sebagai pembicara mengutarakan

maksud kedatangannya yaitu meminta agar Soekarno segera memproklamasikan

kemerdekaan pada malam hari itu juga karena mereka telah mengetahui informasi bahwa

Jepang telah menyerah kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 siang. Pemuda yang

mendesak Soekarno, dengan ketegasan Wikana mendesak.

” Bung, kami diutus oleh pemuda dan rakyat untuk meminta kepada Bung Karno supaya

menentukan sikap sekarang. Bung tahu, Jepang sudah kalah dan sudah minta damai!

Juga sudah menyerah tanpa syarat pada sekutu.”

Soekarno diam sebentar mendengarkan kata-kata Wikana, kemudian dengan

kewibawannya yang besar dia menolak permintaan para pemuda karena mempunyai

pertimbangan sendiri yaitu tidak mau mengorbankan rakyat apabila revolusi yang

dilakukan gagal. Soekarno berusaha menenangkan para pemuda yang mulai gelisah dan

17

tidak sabar untuk mengadakan revolusi untuk memproklamsikan kemerdekaan Indonesia.

Para pemuda merasa sudah siap sedia jika harus revolusi, mereka hanya terlalu terburu-

buru dan gegabah. Dia kemudian berkata :

” Saya belum mendengar berita itu, saya baru saja kembali dari Saigon bahkan belum

sempat lapor kepada panitia persiapan kemerdekaan; saya punya kawan, jadi untuk hal

itu saya tidak berani mengambil keputusan sendiri dan harus rundingkan dulu dengan

kawan-kawan yang lain.”

Di tengah-tengah perbincangan antara para pemuda dan Soekarno datanglah

beberapa orang yang lain yaitu Hatta, Mr. Subardjo, Dr. Buntaran, Mr. Iwa

Kusumasumantri, dan Dr. Samsi, Djojopranoto, dan mbah Diro. (Sidik Kertapati, Op.,

Cit., hlm. 76.) Soekarno yang tadinya sedang berdebat dengan para pemuda yang diwakili

oleh Wikana sebagai juru bicara menjadi senang atas kedatangan teman-temannya.

Sementara Subrdjo sendiri justru sangat terkejut melihat Wikana yang merupakan

bawahannya berada di rumah Soekarno. Subardjo menceritakan ketegangan di rumah

Soekarno sebagai berikut :

” Setiba kami di rumah kediaman Soekarno pada kurang lebih jam 11.00 malam, kami

menemukannya sedang duduk dalam ruang duduknya yang memanjang itu, dikelilingi

oleh para pemuda. Ia sedang berdebat sengit dengan mereka. Diantara pemuda-pemuda

tersebut terdapat Wikana. Saya agak terkejut melihat kehadirannya disitu. Saya lebih-

lebih terperanjat menyaksiskan ia sebagai juru bicara dari para pemuda tersebut!

Bukankah Wikana adalah bawahan saya!”

Keterkejutan Subardjo atas keberadaan Wikana dirumah Soekarno menjadi hal

yang wajar karena Wikana adalah bawahannya yang kemudian bekerja pada Kaigu

(Kantor Penghubung Angkatan Laut) tanpa sepengetahuannya. Wikana terlibat dalam

gerakan kiri pada saat di bawah pemerintahan Belanda. Maka ia termasuk golongan

orang-orang yang dicari oleh pemerintah Belanda. Untuk melindungi dirinya kemudian

dia menggunakan nama samaran Sunata. Kelicinan dan kepandaian Wikana bersiasat

akhirnya membuat dia berhasil masuk ke Kaigun. Keikutsertaannya ke Kaigun sebagai

maksud untuk mendapatkan perlindungan bila sewaktu-waktu dia dicari oleh belanda.

Soekarno yang tadinya emosi, dengan kedatangan teman-temanya menjadi sedikit

lega hati, emosinya dapat sedikit dipadamkan. Soekarno kemudian menanyakan pendapat

18

para golongan tua di antaranya Soebardjo dan Hatta. Soebardjo mendukung pendapat

Soekarno, bahwa tindakan revolusioner harus dipertimbangkan matang-matang.

” Setiap perjuangan harus diperhitungkan untung ruginya, pada ketika debu telah

menetap. Kami percaya pada kekuatan pemuda serta kerelaan berkorban, juga kami dulu

berani mengorbankan diri mencapai tujuan. Tetapi persoalan sekarang. Apakah kita

memiliki cukup senjata? Sudah mampukah kita?”

Sejalan dengan Soekarno dan Soebardjo, Hatta yang pendapatnya sudah pernah

disampaikan kepada Sjahrir sebelumnya mengatakan dan mempertegas bahwa selama

berita penegasan resmi tentang penyerahan Jepang belum diperoleh, dan sebelum mereka

mengetahui pendapat Gunseikan (kepala Pemerintahan Militer Jepang) dan Somubutyo

(kepala Urusan Umum), ia dan Soekarno tidak diperbolehkan memproklamasikan

kemerdekaan. Dia pun menambahkan bahwa ia dan Soekarno tidak mempan dengan

gertakan pemuda. Bahkan Hatta mengatakan dengan nada agak keras :

” Kalau saudara berkeyakinan demikian, proklamasi sendirilah kemerdekaan itu! Jangan

orang lain di paksa-paksa; kami telah mempunyai rencana kerja sendiri.”

Pihak PPKI yang diwakili Soekarno dan Hatta sepakat bahwa kemerdekaan tak

bisa dilaksanakan dengan tergesa-gesa namun harus dipertimbangkan masak-masak

menyangkut berbagai hal penting lainnya. Golongan pemuda yang terdiri dari Wikana,

Chaerul Saleh, BM. Diah, Sukarni, dan anggota Gerakan Angkatan Baru yang lain rata-

rata berusia 27-28 tahun memiliki jiwa yang revolusioner dan berdarah panas. Sementara

golongan tua yang rata-rata berusia 45-50 tahun lebih stabil dan berdarah dingin sehingga

segala sesuatunya dipikirkan matang-matang. Mereka tidak mau gegabah mengadakan

revolusi, karena jika revolusi gagal maka yang menjadi korban adalah rakyat Indonesia

seluruhnya.

”Penggal Kepalaku!” Kata Soekarno

Pembicaraan antara golongan tua dan golongan muda belum menemukan titik

temu karena keduanya sama-sama bertahan pada pendapatnya masing-masing. Untuk

meredam suasana Hatta mengajak Soekarno dan dr. Boentaran masuk ke dalam ruangan

yang berbeda dari ruangan dimana para pemuda berkumpul. Di dalam ruangan yang lebih

lengang, ketiga orang tersebut berembuk dan menghasilkan keputusan bahwa mereka

tidak mau memproklamasikan kemerdekaan malam itu, jika para pemuda memaksa

19

dipersilahkan untuk mencari pemimpin yang lain. Setelah keempatnya sepakat kemudian

kembali ke ruang di mana pemuda telah menunggu untuk mendapatkan jawabannya.

Hasil kesepakatan keempatnya kemudian disampaikan dengan gamblang kepada para

pemuda. Soekarno memang tidak tertarik dengan usul para pemuda karena baginya itu

sangat membahayakan keselamatan rakyat Indonesia seluruhnya.

Penolakan yang disampaikan Soekarno dan Hatta jelas mengecewakan para

pemuda. Keinginan untuk segera memproklamasikan kemerdekaan sudah membayang di

depan mata karena para pemuda ini yakin kalahnya Jepang kepada sekutu adalah saat

yang paling tidak tepat untuk memproklamasikan kemerdekaan. Terdengarlah salah satu

pemuda mengatakan ” Kami tidak sedia diserahkan sebagai inventaris oleh Jepang pada

penjajah Belanda melalui sekutu, tidak, kami akan berontak!” Kemudian disusul dengan

sorakan para pemuda dengan suara meninggi ”Ya, berontak, Bung!”

Para pemuda semakin mendesak bahwa proklamasi harus segera dilaksanakan dan

kemerdekaan seterusnya pemuda yang bertanggung jawab. Namun mereka sadar bahwa

tidak mungkin menyatakan proklamasi sendiri, harus diwakili oleh seorang tokoh

nasional yang dipercaya dan dicintai rakyat. Keadaan makin memanas dan jiwa para

pemuda sudah berapi-api, maka Wikana sebagai wakil dan juru bicara pemuda menjadi

semakin emosi dan mengatakan :

” Jika bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan

berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran besok

hari.”

Mendengar perkataan Wikana yang bernada mengancam, naiklah emosi dan

kemarahan Soekarno, dengan nada tak kalah keras Soekarno berdiri dan berkata :

” Ini kuduku boleh potong, hayo! Boleh penggal kepalaku, engkau bisa membunuhku,

tapi jangan kira aku bisa dipaksa untuk mengadakan pertumpahan darah yang sia-sia,

hanya karena hendak menjalankan sesuatu menurut kemauanmu.”

Wikana kaget dan terperanjat mendengar perkataan Bung Karno, dengan agak

mundur sedikit ke belakang dia mengatakan bahwa maksudnya bukan membunuh Bung

Karno melainkan ingin memperingatkan jika kemerdekaan tak segera diproklamasikan,

maka besok rakyat akan bertindak dan membunuh orang-orang yang dicurigai sebagai

kelompok pro-Belanda. Kemudian dengan nada bicara lebih pelan, Wikana berkata :

20

“ Maksud kami bukan membunuh Bung, melainkan kami mau memperingatkan, apabila

kemerdekaan Indonesia tidak dinyatakan malam ini juga, besok rakyat akan bertindak

dan membunuh orang-orang yang dicurigai, yang dianggap pro Belanda, seperti orang-

orang Ambon, dan lain-lain.”

Usaha untuk membujuk Soekarno agar segera memproklamasikan kemerdekaan

ternyata tidak membawa hasil, maka rombongan para pemuda ini kemudian pamit

pulang. Rombongan Wikana ternyata dijemput oleh Djohar Nur, yang diutus teman-

teman pemuda yang telah menunggu terlalu lama di gedung Bakteriologi.

Sepulangnya para tamu dan rombongan pemuda tersebut, Soekarno memikirkan

kata-kata Wikana. Para pemuda tersebut tentu tidak main-main dengan desakan mereka

terhadap Soekarno dan sudah diperhitungkan dan dipertimbangkan sebelumnya, bahkan

Soekarno sempat berkata ” Wikana itu orangnya serius, biasanya tidak main-main;

keteranganya perlu kita perhatikan”. Setelah para pemuda pemuda pulang disusul

dengan tamu Soekarno lain juga pulang ke rumah masing-masing. Saat itu malam sudah

sangat larut yang terdengar hanya suara-suara angin malam. Saat itu bulan puasa dan

hanya beberapa jam setelahnya akan terjadi peristiwa Rengasdengklok yang amat

terkenal.

Golongan pemuda yang sebelumnya mengadakan pertemuan di Bakteorologi,

setelah dari rumah Soekarno mereka bertemu di Tjikini 71 sesuai dengan kesepakatan.

Dipimpin oleh Chaerul Saleh, pertemuan tersebut diawali dengan laporan dari Wikana

tentang hasil dari kunjungan ke rumah Soekarno. Seluruh anggota pemuda yang ada di

tempat tersebut kemudian mendengarkan dengan seksama keterangan dari Wikana. Di

antara mereka ada yang mengajukan usul supaya proklamasi dilakukan sendiri oleh

rakyat, usul yang lain mengatakan bahwa agar diadakan lagi pertemuan dengan Soekarno

dan Hatta di tengah-tengah rakyat sehingga biarlah rakyat sendiri yang mendesak mereka.

Di tengah kebimbangan jalan keluar untuk tindakan pemuda selanjutnya, Sukarni

mengajukan sebuah usul yang sebenarnya sudah pernah terpikir olehnya jauh hari saat

Gerakan Angkatan Baru didirikan. Menurutnya Soekarno dan Hatta harus dibawa keluar

kota Jakarta, tempat di mana kedua tokoh tersebut jauh dari pengaruh Jepang. Usul

Sukarni ini kemudian disetujui oleh semua yang hadir, dan bergeraklah para pemuda.

21

Kunjungan Bung Karno, Bung Hatta, dan KRT Wedyodiningrat ke Saigon atas

undangan penglima militer Jepang di kawasan ini setelah bocornya pernyataan bahwa

Jepang telah menyerah kepada sekutu. Berbagai kelompok pemuda yang sudah

mengetahui menyerahnya Jepang, segera secara terpisah mengirim utusan kepada Bung

Karno dan Bung Hatta agar segera memproklamirkan kemerdekaan. Pemuda mendesak

agar kemerdekaan segera diproklamirkan. Sehingga kemerdekaan itu bukan ” Hadiah ”

Jepang, dan terjadi sebelum tentara sekutu mendarat di Indonesia. Memang Jepang telah

mengatakan akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Pemuda juga

khawatir kalau sekutu mendarat sebelum proklamasi, maka tentara Belanda yang sudah

mempunyai organisasi pemerintahan sipil sementara (NICA) akan membonceng dan

mengklaim kekuasaan kembali di Indonesia.

Bung Karno dan Bung Hatta menolak tuntutan pemuda. Akibatnya kedua

pemimpin itu diculik pemuda dan dibawa ke Rengasdengklok. Pelaku sejarah Peristiwa

Rengasdengklok, Latief Hendraningrat, Bekas Cudanco PETA dan pengibar bendera

proklamsi itu menuturkan pengalaman menjelang dan pada hari proklamasi.

”Sebenarnya mereka bukan diculik tetapi dijauhkan dari Jakarta, agar jangan

dipengaruhi pimpinan militer dan pemerintahan Jepang. Soalnya tentara Jepang secara

de facto tetap berkuasa di Indonesia atas perintah sekutu untuk memelihara ketertiban.

Dan tentara Jepang masih lengkap persenjataanya. Lenyapnya Bung Karno dan Bung

Hatta mengejutkan Mr. Ahmad Subardjo Joyodisuryo, seorang bekas tokoh Perhimpuan

Indonesia, yang ketika itu bekerja pada kantor penghubung Angkatan Laut Jepang

(Kaigun) di Jakarta yang di kepalai Laksamana Muda Maeda.

Menurut rencana pada 16 Agustus 1945 akan bersidang Panitia Persiapan Kemerdekaan

di Pejambon. Panitia ini memang dibentuk oleh Pemerintahan Jepang dan diketahui

Soekarno dan wakilnya Hatta. Subardjo juga khawatir kedua tokoh diculik Angkatan

Darat Jepang (Rikugun) atau jatuh ke tangan mereka dan dibunuh. Karena itu Subardjo

melaporkan kepada Maeda dan meminta bantuan Kaigun kalau memang Bung Karno

dan Bung Hatta ada di tangan Rikugun. Kaigun sejak awal sudah simpati terhadap

bangsa Indonesia dan perjuangannya. Dan terutama Maeda pribadi banyak membantu

usaha bangsa Indonesia dalam dua hari mendatang. Sikap Kaigun itu amat berbeda

dibanding sikap Rikugun yang keras.

22

Mr. Subardjo mendapat jaminan bantuan dari Maeda yang juga terkejut atas kejadian

itu. Maeda menyatakan ia sendiri hari itu akan memberitahukan tentang penyerahan

Jepang kepada sekutu. Dan mengungkapkan Jepang sebenarnya akan memberikan

kemerdekaan kepada Indonesia pada 24 Agustus 1945. Pada masa itu kerjasama

berbagai kelompok pemuda dengan PETA telah memiliki hubungan yang baik. Meski

secara rahasia Daidan PETA di Jakarta pernah memberikan latihan militer kepada

berbagai kelompok pemuda.”

Sementara pengakuan mantan anggota PETA yang terlibat dalam peristiwa

Rengasdengklok, Jusuf Kunto, Soekarno dan Hatta diamankan ke luar kota karena para

pemuda dan PETA takut akan keselamatan kedua pemimpin bangsa itu. Kepada Achmad

Subardjo Jusuf Kunto, disertai Pandu Kartawiguna dan Wikana mengatakan alasan

mereka membawa Soekarno dan Hatta adalah ” Karena rasa kekhawatiran bahwa

mereka akan dibunuh oleh pihak Angkatan Darat Jepang atau paling sedikitnya

dipergunakan sebagai sandera kalau kerusuhan timbul, karena tentara PETA bermaksud

akan melancarkan suatu demonstrasi besar. Adalah karena alasan-alasan keselamatan

mengapa Soekarno dan Hatta dibawa keluar kota.”

Pengamanan Bung Karno dan Bung Hatta pun dikoordinasikan dengan PETA.

Daidan PETA Jakarta ketika itu dipimpin oleh Daidanco Mr. Kasman Singodimedjo

namun dia pada 13 Agsutus untuk beberapa hari dipanggil tugas ke Bandung

wewenangnya diberikan kepada Cudanco Komandan Kompi Latief Hendraningrat.

Rengasdengklok dipilih sebagai tempat pengamanan bagi Bung Karno, Bung Hatta,

Fatmawati dan Guntur yang masih bayi karena dianggap aman dan dekat pantai. Kalau

perlu pemimpin dapat dilarikan dengan perahu ke tempat lain.

Rengasdengklok adalah sebuah kecamatan yang letaknya sekitar 20 km arah utara

Karawang, Jabar yang letaknya di sisi Sungai Citarum. Daerah inilah yang sebenarnya

merupakan ”lumbung beras” Karawang. Pada zaman pendudukan Jepang,

Rengasdengklok dijadikan tangsi PETA di bawahi Purwakarta. Selain letaknya dekat

pantai, Rengasdengklok letaknya juga berdekatan dengan Jakarta dan memiliki hubungan

langsung dengan Daidan PETA di Jagamonyet Rengasdengklok, akhirnya dijadikan

tempat tujuan membawa rombongan Bung Karno dan Bung Hatta. Subuh ini,

sekelompok pemuda dan PETA antara lain Sukarni, Singih dan Jusuf Kunto dan anggota

23

PETA lainnya membawa rombongan Bung Karno ke Rengasdengklok dengan sebuah

kendaraan yang kemudikan Iding, seorang anggota PETA.

Apa yang terjadi di tangsi PETA itu, sejak lama pernah menjadi bahan

pembahasan menarik. Bung Hatta dalam buah tangannya di Mimbar Indonesia, 17

Agustus 1951 mengungkapkan situasi selama berada di tangsi tersebut. ” Di

Rengasdengklok tidak ada perundingan satu pun. Disana kami menganggur satu hari

lamanya, seolah-olah mempersaksikan dari jauh gagalnya suatu cita-cita yang tidak

berdasarkan realitet. Tetapi, kalau ada satu tempat di Indonesia di mana betul-betul ada

perampasan kekuasaan, tempat itu ialah Rengasdengklok.”

Memang pada siang itu, di depan Kantor Wedana Rengasdengklok, Asisten

Wedana Rengasdengklok Sujono Hadipranoto dan beberapa tokoh masyarakat setempat

seperti Masrin Hasani memimpin pengibaran Sang Saka Merah Putih. Peristiwa itu

sekaligus pencerminan tekad dan semangat bangsa Indonesia yang inspirasinya didorong

tekad para pemuda dalam cara merebut kemerdekaan. Pantas jika pejuang wanita, Sk

Trimurti menyatakan bahwa Rengasdengklok sebagai salah satu ”mata rantai” yang tak

terpisahkan dengan Menteng Raya 31 dan Pegangsaan Timur 56. menteng Raya 31

merupakan gedung tempat berkumpulnya para pemuda pejuang di Jakarta dan

Pegangsaan Timur 56 tempat diproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Episode Rengasdengklok diawali pada kamis 16 Agustus 1945 dini hari, yakni

kira-kira pukul 03.30 pagi, para pemuda berseragam masuk diam-diam ke rumah

Soekarno. Soekarno yang malam itu tak bisa tidur duduk sendirian di ruang makan

menikmati makan sahur puasa Ramadhan. Salah seorang pemuda bernama Sukarni

lengkap dengan pistol di pingang dan sebilah pisau panjang di tangan kanannya tiba-tiba

membelebab, ”Berpakaianlah Bung! Sudah tiba saatnya,” Soekarno marah dengan mata

menyala-nyala mengertak kepada para pemuda itu, ”Ya, sudah tiba saatnya untuk

dibunuh! Jika aku yang memimpin pemberontakanmu ini dan gagal, aku kehilangan

kepala, engkau juga begitu yang lainnya. Anak buah mati ada gantinya, tapi pemimpin?

Kalau aku mati coba siapa pikirmu yang akan memimpin rakyat bila datang waktunya

yang tepat?”

Mendengar suara yang gaduh dan ribut-ribut di ruang makan itu, Fatma yang

berada di kamar tidur mencoba mengintip. Ia mengenali beberapa pemuda yang sedang

24

berdebat dengan suaminya itu, salah satunya pemuda Sukarni. Mendengar keributan itu

Guntur bangun dari tidurnya. Fatma kemudian mengangkat Guntur dipangkuannya. Ia

hanya diam duduk ditempat tidur, tak berani keluar. Lama setelah perdebatan yang tak

seimbang itu, Soekarno kemudian masuk ke kamar dan berkata kepada Fatma yang lebih

dulu terbangun karena suara gaduh itu, ”Fat, pemuda akan membawa Mas ke luar kota.

Fat ikut apa tinggal?” ia pun kemudian menjawab, ”Fat sama Guntur ikut. Ke mana Mas

pergi di situ aku berada juga.” mendengar jawaban itu, Soekarno kemudian menyuruh

Fatma untuk segera berkemas. Fatma kemudian tak bertanya apa-apa, ia hanya terlihat

sibuk mengisi tas dan memakaikan Baby Caps kepada Guntur. Dengan selendang

panjang, Guntur kemudian digendongnya. Mereka bertiga meninggalkan kamar tidur

menuju ke ruang depan.

Di halaman rumah sudah menunggu sedan Fiat hitam kecil. Di dalam ternyata

sudah menunggu Muhammad Hatta. Sebelum ke rumah Bung Karno, Sukarni dan Jusuf

Kunto menuju ke rumah Bung Hatta. Mereka berdualah yang menjemput paksa Bung

Hatta. Sebenarnya Dr. Muwardi sebelumnya sudah diturunkan di depan rumah Bung

Karno, namun karena dikira Bung Karno masih tidur ia tidak membangunkan. Muwardi

pun memilih menunggu Sukarni dan Jusuf Kunto untuk sama-sama menjemput paksa

Bung Karno.

Sukarni seorang pemuda yang keras itu, sebelum ”mengancam” Bung Karno pada

Kamis dini hari itu, sebelumnya ia juga sudah bertindak ”keras” saat penjemputan di

rumah Bung Hatta. Dengan menggunakan mobil pinjaman dari D. Asmoro, kisah

penjemputan Bung Hatta oleh Sukarni, Chaerul Saleh, dan Jusuf Kunto ditulis oleh Adam

Malik berikut :

” Ketika tiba di rumah Bung Hatta, Sukarni menyuruh penjaga untuk membangunkan

Bung Hatta. Setelah Bung Hatta bangun, karena kaget, bertanya kepada Sukarni, ”Apa

maksudnya?”

Sukarni menjawab, ” Bung lekas-lekas bersiap, karena keadaan sudah memuncak

genting, rakyat sudah tidak sabar menunggu lagi. Belanda dan Jepang sudah bersiap-

siap pula untuk menghadapi segala kemungkinan. Pemuda dan rakyat tidak berani

menanggung akibat-akibat apa yang akan kejadian jika saudara masih tinggal di dalam

kota.” Bung Hatta yang mendengarkan keadaan memuncak dan kejadian-kejadian yang

25

mungkin membahayakan jiwa itu, barulah ia bersiap-siap, walaupun dengan hati dan

perasaan yang agak mendongkol....”

Soekarno dan Fatma yang telah dibawa keluar para pemuda kemudian masuk ke

dalam mobil yang didalamnya sudah ada Bung Hatta. Mereka kemudian duduk di

belakang berempat. Sedangkan Sukarni duduk di depan di samping pengemudi, Winoyo

Danuasmoro. Mereka dibawa sekelompok pemuda dan anggota tentara PETA di bawah

pimpinan ukarni dan Shodanco Singgih. Ada yang mengatakan bahwa karena ikut

sertanya unsur PETA maka Soekarno dan Hatta berhasil dibujuk dan bersedia dibawa

keluar kota.

Sekitar pukul 05.00 pagi, rombongan berhenti di suatu tempat untuk cuci muka.

Saat di perhentian itu Fatma menyusukan bayinya, di situ ia baru tersadar jika susu

kaleng persediaan tertinggal di Jakarta. Karena itulah mereka pindah mobil dan mobil

Fiat yang mereka tumpangi kembali untuk mengambil susu bubuk yang tertinggal di

Pegangsaan. Jam 06.00 pagi, rombongan sudah berada di Rengasdengklok. Mereka

mampir di rumah camat Rengasdengklok, S. Hadipranoto, untuk mengatakan agar

kedatangan mereka dirahasiakan. Kemudian rombongan pindah ke sebuah pondok

dengan melewati sawah. Setelah istirahat sejenak, mereka lalu pindah ke sebuah surau.

Perjalanan belum usai, mereka kemnudian pindah asrama PETA dengan menyebrangi

sungai. Hari itu juga di asrama PETA Rengasdengklok diselenggarakan upacara

penurunan bendera Hinomaru, diganti dengan bendera Merah Putih.

Di Asrama PETA itu mereka diterima oleh Shodanco Umar Bahsan. Di situlah

pada mulanya Soekarno dan Hatta akan ”ditahan”. Namun, karena kondisi asrama PETA

ini terlalu sempit dan kurang baik, maka dicarilah tempat lain. Penduduk setempat

menyarankan agar di bawa ke rumah Kie Siong di tepi Sungai Citarium itu, tidak berapa

jauh dari Asrama PETA. Rumah itu hampir tak terlihat dari jalan, tersembunyi di bawah

pohon-pohon rindang dan tanaman lainnya. Rombongan dibawa ke sana dengan berjalan

kaki. Saat itu Soekarno hanya berpakaian piyama dan berpeci, didampingi Hatta yang

juga berpiyama diiringi Fatmawati yang menggendong Guntur, memasuki halaman

rumah, dikawal oleh para pemuda PETA. Fatma mengenang suasana rumah yang akan

mereka singgahi itu, “Kotoran Babi piaraannya memenuhi halamannya.” Perjalanan

mereka berakhir di sebuah rumah seorang turunan Tionghoa itu.

26

Tidak lama kemudian, seisi rumah disuruh keluar Ki Him (anak ketiga Djiauw

Kie Siong), karena dia harus memberi makan ternak piaran keluarga Djiauw. Bahkan

untuk memasak, dilakukan sendiri oleh para pemuda anggota PETA. Namun, keluarga

Djiauw menyediakan beras dan merelakan ayam-ayam dan itik-itik di kandang di

halaman mereka untuk dipotong dan dimasak. Siangnya, Fatma diberi nasi dan sop dari

Markas PETA. Bumbu mericanya ternyata sangat pedas, hingga membuat Guntur

terengah-engah dan menangis setelah minum ASI ibunya. Setelah itu mereka istirahat,

Soekarno tidur di kamar dalam sementara Fatma dan Guntur di balai-balai dapur.

Sore harinya ketika Fatma memandikan Guntur, di ruang dalam tampak sedang

berlangsung perundingan yang serius antara Soekarno, Hatta, Sukarni dan beberapa orang

yang lain. Tampaknya Sukarni dan para pemuda dalam perundingan itu tetap mendesak

Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Bahkan

Sukarni kembali mengancam bahwa apabila kemerdekaan Indonesia tidak segera

diproklamirkan maka para pemuda akan melakukan pemberontakan. Adam Malik yang

dalam bukunya menceritakan detail peristiwa di Rengasdengklok itu, kemudian

mengesahkan tentang perundingan yang dipimpin Sukarni itu:

” Sukarni memulai pembicaraan. Ia menerangkan : maksud membawa saudara-saudara

berdua selekas-lekasnya menyatakan Proklamasi Kemerdekaan atas nama seluruh

rakyat, karena keadaan (saat) sudah mendesak dan suasana sudah sangat memuncak.

Jika tidak dilaksanakan proklamasi selekas-lekasnya, maka pemberontakan yang hebat,

pemberontakan melawan tiap-tiap penghalang kemerdekaan (ketika itu Jepang dan kaki

tangannya) tentu akan berlaku. Maka oleh karena itu atas segenap rakyat, buruh, tani,

dan tentara supaya saudara-saudara turut melakukan proklamasi itu. Jika tidak, maka

segala akibatnya, terutama yang mengenai keselamatan diri saudara berdua, tidak akan

dapat ditanggung lagi oleh rakyat.”

Mengenai reaksi Soekarno sendiri atas desakan dari Sukarni itu luput dari

perhatian Soekarno di dalam otobiografinya. Tetapi menurut Adam Malik dalam

bukunya, Soekarno dan Hatta menolak tuntutan pemuda yang diwakili Sukarni tersebut.

Penuh keraguan dan tidak memberikan jawaban yang pasti. ”Berulang-ulang Soekarno

dan Hatta hanya menanyakan, ’Apakah benar-benar Jepang sudah menyerah?’.” Karena

sikap Soekarno dan Hatta tersebut kemudian Sukarni mengutus Jusuf Kunto untuk

27

merundingkan keadaan di Rengasdengklok dengan kelompok pemuda yang ada di

Jakarta. Sementara Soekarno mendesak kepada Sukarni agar mereka segera kembali ke

Jakarta. Hatta kemudian sering menyebutnya peristiwa di Rengasdengklok ini sebagai

”tamasya”, ia berkali-kali menyesalkan usaha pemuda pada dini hari itu yang justru

mengulur persiapan proklamasi.

Muhammad Roem, pelaku sejarah dan mantan Menteri Negara dalam Kabinet

Hatta mengungkapan meskipun Rengasdengklok tidak memiliki keputusan yang

dihasilkan, namun menurutnya peristiwa itu memiliki arti dalam menentukan perjalanan

sejarah proklamasi selanjutnya, mohammad Roem berkomentar mengenai arti dari

peristiwa itu demikian:

” Kita berterima kasih kepada sejarah, bahwa Seokarno-Hatta tidak tunduk kepada

tuntutan pemuda, meskipun etikadnya kedua pihak sama, yaitu kemerdekaan tanah air.

Bung Karno-Hatta tidak hilang kewibawaannya terhadap pemuda. Dalam perjalanan

pulang ke Jakarta moril Soekarno-Hatta naik kembali...... Tapi apakah penculikan itu

tidak mempunyai arti sama sekali? Menurut penulis banyak sekali artinya, meskipun

tidak seperti dimaksusdkan oleh pemuda. Bagi pemimpin-pemimpin seperti Soekarno dan

Hatta, penculikan itu di samping merupakan pengalaman yang pahit bagi pribadi,

menggambarkan satu keadaan yang sungguh-sungguh panas. Dalam percakapan dengan

Soomubucho Jenderal Mayor Nishimura keadaan itu bagi Soekarno-Hatta menjadi

alasan yang kuat, kalau tidak yang terkuat untuk bertindak. Dapat dibayangkan bahwa

tanpa penculikan sikap Soekarno-Hatta tidak akan setegas itu. Malah terang-terangan

Soekarno (dalam laporan Nakatani) mengatakan bahwa pernyataan kemerdekaan harus

selesai waktu tengah hari tanggal 17, sesuai dengan tuntutan pemuda, ”yang dengan

syarat itu membolehkan kami kembali ke Jakarta dari tempat tahanan.”

D. Dijemput Subardjo

Menghilangnya Soekarno dan Hatta membuat cemas dan orang-orang yang

berada di dekatnya, khusunya para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan yang

sebelumnya telah terjadwal akan menyelenggarakan rapat pada tanggal 16 Agustus 1945

itu. Bahkan pada siang harinya di Jakarta tersiar kabar bahwa Proklamasi Kemerdekaan

Indonesia akan diumumkan di luar kota. Achmad Subardjo adalah salah seorang sahabat

28

Soekarno dan tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan yang cemas dengan kabar

menghilangnya Soekarno dan Hatta pada kamis dini hari itu. Mendengar berita bahwa

proklamasi akan dilangsungkan di luar kota, seorang Jepang yang simpati atas perjuangan

bangsa Indonesia-Laksamana Maeda-memberi Pertimbangan lebih baik proklamasi itu

dilakukan di Jakarta saja. Untuk mewujudkan usulnya itu ia memberikan pinjam rumah-

nya dengan keamanan yang terjamin untuk kepentingan persiapan proklamasi.

Laksamana Maeda terseret turut campur tangan dalam peristiwa Rengasdengklok

dan mengetahui menghilangnya Bung Karno dan Bung Hatta setelah mendapat aduan dan

laporan dari Achmad Subardjo. Awalnya hilangnya Bung Karno dan Bung Hatta karena

diculik oleh Angkatan Darat Jepang, maka dalam pikirannya jika hal itu benar jalan satu-

satunya untuk membebaskan mereka adalah dengan minta tolong kepada Kaigun,

Angkatan Laut Jepang. Kedua korps ini dalam Angkatan Bersenjata Jepang memang

dikenal sering berkompetensi dan memiliki pandangan yang berbeda terhadap perjuangan

kemerdekaan bangsa Indonesia.

Achmad Subardjo yang juga berkerja di kantor Angkatan Laut Jepang kemudian

menyuruh sekretarisnya Sudiro untuk menghubungi Markas Besar Angkatan Laut. Saat

itu yang menerima telepon Sudiro adalah Nishijima, penerjemah bahasa Maeda.

Mengetahui yang menerima Nishijima, Subardjo lalu meminta telepon dari Sudiro dan ia

bicara sendiri kepada Nishijima, “ Saya harus memberitahukan kepada Tuan, bahwa

Tuan Soekarno dan Tuan Hatta telah hilang. Mereka mungkin ditahan oleh pihak

Angkatan Darat. Apakah kiranya Tuan dapat menggerakkan penguasa-penguasa

Angkatan Laut untuk campur tangan dalam perkara ini?”

Setelah menelepon Nishijima, Achmad Soebardjo lalu menemui Maeda di

rumahnya untuk menyampaikan maksud yang sama. Laksamana Maeda memiliki firasat

yang tidak baik, karena tidak biasanya Subardjo datang sendiri ke Nassau Boulevard,

rumah Maeda, tanpa disertai Soekarno maupun Hatta.

“Kami tiba di tempat tersebut dengan mobil dalam waktu lima menit. Kami diterima oleh

sekretarisnya yang mengantar kami ke ruang belakang rumah dimana kami menemukan

Laksamana Muda Maeda duduk kesepian sendiri dalam suasana yang agak murung.

Walaupun agak kaget melihat saya rupanya ia senang. Sebelum saya mengucapkan

sepatah kata kepadanya, Maeda mengatakan langsung kepada saya, “Mengapa Tuan

29

datang sendiri saja dan tidak dengan Tuan-tuan Soekarno dan Hatta? Saya telah berjanji

kepada Tuan-tuan sekalian kemarin untuk menyampaikan kepada Tuan-tuan berita

tentang penyerahan kami.”

“ Kami justru datang untuk memberitahukan kepada Tuan tentang hilangnya mereka dari

kota. Saya benar-benar tidak mengetahui kemana mereka itu telah pergi dan saya sedang

mulai menyelidiki tentang soal ini, “Saya jawab.”

Mendengar kabar yang disampaikan Subardjo tentang hilangnya Soekarno dan

Hatta membuat Maeda terkejut dan terdiam sebentar. Ia kemudian berjanji kepada

Subardjo akan mengerahkan kekuatan untuk membantu mencari Soekarno dan Hatta.

Mendengar itu kemudian Subardjo pun mohon diri dan berusaha untuk memenuhi

kelompok-kelompok pemuda mencari informasi keberadaan Soekrno dan Hatta. Setelah

bertemu dengan Wikana akhirnya Subardjo tahu bahwa pemudalah yang telah membawa

pergi Soekarno dan Hatta. Tetapi saat itu Wikana menolak memberitahukan lokasi

keberadaan Soekarno dan Hatta dibawa pergi. Kepada Subardjo, Wikana hanya

berkata.”Hal itu merupakan keputusan kami dalam pertemuan semalam, untuk

keselamatan meraka kami bawa ke suatu tempat di luar Jakarta.” Nishijima pun

berusaha membujuk Wikana dengan tawaran akan dukungan Angkatan Laut dalam

perkara proklamasi kemerdekaan, namun Wikana tetap menolak untuk membuka rahasia.

Jusuf Kunto yang diutus dari Rengasdengklok untuk berunding dengan kelompok

pemuda di Jakarta, menurut Adam Malik hanya menemui kelompok Kaigun dan

Subardjo tanpa menemui kelompok pemuda. Sebelum bertemu dengan Subardjo, Jusuf

Kunto berunding terlebih dahulu di pekarangan belakang dengan kelompok pemuda yang

berkumpul di kantor tempat Subardjo, Wikana dan Sudiro bekerja. Mereka

membicarakan tentang kemungkinan kembalinya Soekarno dan Hatta ke Jakarta untuk

mempercepat proklamasi. Dari Nishijima, mereka juga mengatakan bahwa Angkatan

Laut telah setuju akan memberikan jaminan keselamatan bagi Soekarno dan Hatta.

Setelah Jusuf Kunto dan para pemuda telah cukup dalam berunding serta karena

adanya pertimbangan tersebut pada akhirnya Pandu Kartawiguna, Wikana, dan Jusuf

Kunto menemui Achmad Subardjo. Setelah berdialog seputar keberadaan Soekarno dan

maksud pemuda melakukan tindakan tersebut, maka Pandu kemudian berkata kepada

Achmad Suabrdjo. “Pak Bardjo tidak bisa pergi sendiri karena terlalu berbahaya dan saya

30

yakin bahwa mereka akan melarang Pak Bardjo untuk menemui Soekarno dan Hatta

tanpa ditemani seorang mereka kenal dari pihak mereka. Jusuf Kunto akan menemani

Pak Bardjo.”

Begitulah kemudian setelah berhasil meyakinkan para pemuda Jakarta untuk

membantu meyakinkan Soekarno dan Hatta menyelenggarakan Proklamasi Kemerdekaan

Indonesia sesegera mungkin, maka Achmad Subardjo diizinkan untuk menjemput dan

membawa kembali Soekarno-Hatta ke Jakarta. Kemudian pada hari kamis 16 Agustus

1945 kira-kira pukul 16.00, Achmad Subardjo, Sudiro, dan Jusuf Kunto pergi menjemput

Soekarno di Rengasdengklok.

31

BAB III

KESIMPULAN

Konflik antara Golongan Tua dan Golongan Muda dalam konteks persiapan kemerdekaan

Indonesia ini merupakan sebuah drama proklamasi yang sangat epic dan mencapai titik klimaks

pada peristiwa pengamanan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat.

Golongan Tua dengan karakteristiknya seorang pemikir yang sangat hati-hati menghendaki

bahwa untuk mencapai proklamasi dibutuhkan perhitungan yang cermat dan seksama agar tidak

terjadi pertempuran darah. Namun cara pandang ini berlainan dengan Golongan Muda dengan

karakteritik mereka yang berapi-api, militan dan revolusioner. Mereka menginginkan proklamasi

kemerdekaan dilaksanakan secapat mungkin sebelum Indonesia dikuasai lagi oleh Sekutu, dan

para pemuda menghendaki kemerdekaan atas usaha Indonesia sendiri bukan karena pemberian

Jepang.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah

“kecelakaan sejarah”. Kemerdekaan adalah suatu cita-cita yang telah dianyam dalam gerak

sejarah perjuangan Bangsa Indonesia melalui proses dialektis sejak awal abad XX ketika

bayangan tentang suatu “Bangsa Indonesia” telah muncul dalam alam pikiran para tokoh

pergerakan nasional, seperti Sukarno, Hatta, Muhammad yamin, dan sebagainya. Perubahan

politik akibat pendudukan Jepang telah mengubah strategi perjuangan untuk memperoleh

kemerdekaan. Organisasi-organisasi pergerakan nasional yang mereka bangun pada masa awal

abad XX hingga dasa warsa keempat abad XX harus dibenam dalam zaman “penjajahan baru”

di bawah pendudukan militer Jepang. Para tokoh pejuang kemerdekaan dari generasi tua

sebagian harus berkolaborasi dengan Jepang untuk merancang cita-cita kemerdekannya. Hal itu

didikung oleh generasi baru yang lahir kemudian yang ditempa secara fisik melalui bala

ketentaraan Jepang, seperti PETA, Heiho, Sinendan, Funjinkai, dan sebaginya memiliki kultur

dan strategi perjuangan yang berbeda dengan “generasi tua”

32

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

De Jonge, Walentina Waluyanti. 2015. Sukarno – Hatta Bukan Proklamator Paksaan.

Yogyakarta : Galang Pustaka

St. Sularto & D. Rini Yuniarti. 2010. Konflik di Balik Proklamasi. Jakarta: Kompas

Jurnal:

Prof.Dr. Wasino, M,Hum. 2014. Peran Aktif dari Golongan Pro-Republika Era Awal

Kemerdekaan di Jawa (Jawa Tengah, Timur dan Barat). Semarang: Universitas Negeri

Semarang

Internet:

http://www.proklamasi1945.com/index.php?

option=com_content&view=article&id=59:detik-detik-proklamasi-saat-saat-

menegangkan-menjelang-kemerdekaan-republik&catid=44:buku-sejarah&Itemid=62

33