bab v survival strategy pada masyrakat di...
TRANSCRIPT
61
BAB V
SURVIVAL STRATEGY PADA MASYRAKAT
DI PEMUKIMAN SUNGAI WANAGON
KAMPUNG WAA
Limbah Tailings Sebagai Strategi Bertahan Hidup (Survival
Strategy) Pada Masyarakat di Pemukiman Sungai Wanagon
Kampung Waa
Pada bab ini memfokuskan pembahasan tentang dampak
limbah tailings yang dimanfaatkan oleh masyarakat di pemukiman
sungai Wanagoi sebagai suatu strategy masyarakat dalam bertahan
hidup, untuk memperoleh sumber penghidupan ekonominya. Kondisi
strategi bertahan hidup ini dapat digambarkan melalui pola; ekonomi,
sosiologi, ekologi, kesehatan dan demografi yang dapat mempengaruhi
kehidupan masyarakat dalam bertahan hidup (live survive).
Survival Startegy Pada Masyarakat di Kampung Waa
Survival stategy menurut Snel dan Staring, Resmi Setia (2005:
6) mengemukakan bahwa strategi bertahan hidup adalah sebagai
rangkaian tindakan yang dipilih secara standar oleh individu dan
rumah tangga yang miskin secara sosial ekonomi untuk bertahan
hidup 109 . Sedangkan Usman, mendefinisikan strategi adalah hal
menciptakan suatu posisi yang unik dan bernilai, yang melibatkan
berbagai aktivitas perusahaan. Dari teori diatas ini mengambarkan
masyarakat di pemukiman sungai Wanagon, memiliki cara tersendiri
dalam bertahan hidup. Aktivitas masyarakat tersebut tidak terlepas
109 . Sugihardjo., dkk, 2012. Strategi Bertahan dan Strategi Adaptasi Petani Samin Terhadap Dunia Luar (Petani Samin Di Kaki Pegunungan Kendeng Di Sukolilo Kabupaten Pati). Staf Pengajar Program Sudi Agribisnis, Fakultas Pertanian UNS. SEPA: Vol. 8 No. 2. ISSN : 1829-9946.
62
dengan adanya PT Freeport, kemudian dapat mengundang masyarakat
lokal dari daerah sikitar area penambang perusahaan, untuk masuk
menguasai wilayah pemukiman sungai Wanagon kampung Waa. Usaha
yang dipilih oleh masyarakat di kampung Waa sebagai srategi
bertahan, melalui stategi ekonomi dan strategi sosial dengan
mengandalkan sumberdaya ekologi melalui emas yang didulang oleh
masyarakat. Namun karena limbah tersebut mengandung bahan
berbahaya beracun (B3), maka menjadi permasalahan tersendiri pada
kehidupan sosial masyarakat di kampung Waa. Dengan demikian,
maka kondisi tersebut, dilihat sebagai suatu kondisi yang bertentangan,
melalui limbah tailings yang berbahaya bagi kehidupan masyarakat di
kampung Waa, kemudian masyarakat tetap dapat bertahan hidup
menghadapi limbah tailings tersebut sebagai upaya dalam mensiasai
kehidupan sosial dan ekonomi pada masyarakat. Kondisi ini
digambarkan seperti pada bagan di bawah ini:
Lingkungan (Limbah Tailings) Masyarakat (Melawan untuk bertahan
hidup)
Kondisi ini dilihat sebagai implikasi lingkungan yang
berlimbah tailings, terhadap kehidupan sosial masyarakat di kampung
Waa. Implikasi terhadap kehidupan social lebih mengarah terhadap
permasalahan kesehatan yang kurang mendapatkan perhatian oleh
pihak perusahaan dan pemerintah selama puluhan tahun operasi
perusahaan berjalan, yakni semenjak tahun 1967-1996 dan 1996-2021
yang akan diperpanjang kontrak kerja ketiga sampai pada tahun 2041.
Selama kontrak kerja berjalan Freeport membuang limbah tailings
sebesar 250-300 ton/hari tanpa ada suatu pengolahan ke sistem sungai
Wanagon. Kondisi ini tentu menimbulkan tingkat kerusakan ekologi
yang parah, kemudian, dampaknya terhadap masyarakat secara luas
berbahaya melalui sumber pangan dan air yang dikonsumis oleh
masyarakat yang telah mengandung logam berat beracun.
63
Di kondisi ekologi yang telah rusak parah ini kemudian
masyarakat tetap bertahan hidup dengan mendulang emas dari bahan
berbahaya beracun yang dapat diproses oleh masyarakat dari limbah
tailings. Hal ini tentu memprihatikan, karena masyarakat berada pada
kondisi lingkungan yang tidak sehat dan tidak mendukung bagi
aktivitas mereka. Terkait dengan hal ini menurut Foster, Anderson
(1978) dalam pendangan antropologi kesehatan menjelaskan
permasalahan kesehatan yang berorientasi ke ekologi, menaruh
perhatian pada hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan
alamnya, tingkahlaku penyakitnya dan cara-cara tingkah laku
penyakitnya mempengaruhi kehidupan masyarakat melalui proses
umpan balik (Foster, Anderson, 1978).
Survival Strategy dalam Konteks Pertukaran Ekonomi
Strategi bertahan hidup dalam konteks ekonomi pada
masyarakat di pemukiman sungai Wanagon kampung Waa, dilihat dari
cara masyarakat mendulang emas dengan memproses limbah tailings
untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi. Masyarakat di
pemukiman sungai Wanagon, memiliki cara tersendiri secara
tradisional dalam memproses limbah tailing. Hal ini dilihat dari cara
masyarakat mendulang emas seperti pada gambar di bawah ini;
Sumber 110; Sumber111;
Gambar 5.1 Cara Mendulang Emas Dengan Teknologi Tradisional
110. Forum Utama] Akhir Riwayat Wanagon - Majalah FORUMkeadilan ... forumkeadilan.com400 × 266Search by image 111. noenk-cahaya:09/27/11noenkcahyana.blogspot.com470x264Search by image
64
Gambar ini memperlihatkan cara masyarakat mendulang,
mengunakan beberapa peralatan tradisional yang dibuat sendiri oleh
mereka. Cara mendulang masyarakat juga memiliki resiko tinggi,
ketika limbah tersebut berhubungan dengan tubuh dan memiliki
implikasi buruk terhadap permasalahan kesehatan masyarakat. Selain
usaha bertahan di lingkungan yang berlimbah tailings, masyarakat juga
memanfaatkan sumberdaya alam sekitarnya seperti kayu untuk
membuat teknologi tradisional yang digunakan untuk mendulang
emas, air untuk memproses tailings dengan beberapa peralatan
moderent lain yang dibelinya, seperti selimut, kuali dan sikop. Sikop
digunakan untuk mengali pasir tailings dan memindahkan ke tempat
pemisahan pasir agar emas terpisah pasir tailings melalui teknologi
tradisional seperti pada gambar 1. Selimut sebagai pemisa emas dari
pasir yang sudah dialas diatas permukaan teknologi tradisional pada
gambar 1. Setelah pasir tailings pada area yang dibuat oleh masyarakat
habis didulang, maka selimut yang sudah dibantalkan pada kayu akan
dipisahkan ke kuali untuk memisahkan sisa pasir yang tertahan dengan
emas untuk memperoleh kemurnian emas. Kemudian emas tersebut
dapat dijual oleh masyarakat sebagai komoditas produksi masyarakat
yang memiliki nilai jual di pasar. Menurut Koentjaraningrat, cara
produksi masyarakat, teknologi tradisional sistem ekonomi dan sistem
mata pencaharian merupakan unsur pembentuk kebudayaan pada
masyarakat untuk dapat bertahan hidup (Koendjaraningrat; Y.Z.Abidin
& B.A.Saeani, 2014).
Hal ini dikatakan Menurut Marx, setiap komoditas sebetulnya
memiliki nilai-nilai guna komoditas, yaitu ketika barang-barang yang
diproduksi digunakan sendiri atau digunakan orang lain untuk
bertahan hidup. Namun di era kapitalisme, setiap komoditas yang
sengaja dihasilkan untuk dijual ke pasar, produk-produk tersebut tidak
hanya memiliki nilai guna melainkan juga memiliki nilai tukar. Emas
yang diproduksi masyarakat dapat dijual untuk memperoleh uang,
kemudian uang tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi masyarakat. Pertukaran ekonomi ini terjadi dengan adanya
barang atau komoditas yang memiliki nilai jual. Komoditas merupakan
hasil karja manusia yang diproduksi dalam bentuk barang dan jasa
65
untuk dipertukarkan melalui mekanisme pasar yang terjadi secara
langsung (Damsar & Indrayani, 2009112). Masyarakat di kampung Waa
juga dapat memproduksi emas sebagai komoditas yang memiliki nilai
jual, kemudian emas tersebut dapat jual oleh masyarakat melalui
pembeli emas yang tinggal di kampung Waa.
Survival Strategy dalam Konteks Pertukaran Sosial
Strategi bertahan hidup dalam konteks sosiologi pada
masyarakat dipemukiman sungai Wanagon, digambarkan dengan
adanya interaksi sosial pada masyarakat. Interaksi sosial pada
masyarakat di pemukiman sungai Wanagon terjadi dengan adanya
hubungan keluarga, kerabat, kelompok dan suku. Interaksi antar
masyarakat memiliki hubungan kekeluargaan dan solidaritas yang
kuat. Hubungan solidaritas tersebut biasanya terlihat melalui adanya
hubungan saling menyapa dan bersalam apabila bertemu atau
menjumpai dijalan maupun dari jauh. Interaksi masyarakat juga
berlangsung dengan adanya pertukaran sosial, melalui saling
membantu dan menolong yang dilakukan dalam berbagai hal. Hal ini,
biasanya dilakukan melalui hubungan keluarga, yaitu ketika keluarga
mereka dalam masalah maka mereka akan saling menyumbang dan
menolong untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang
membelitnya. Penyelesaian berbagai masalah ini juga biasanya
dilakukan melalui, hubungan saling membantu dan menolong untuk
menyelesaikan beban ekonomi pada keluarga mereka, kemudian untuk
membayar maskawin dari keluarga mereka. Sedangkan dalam rana
suku dan kelompok, biasanya dilihat melalui kekompakan mereka
dalam penyelesaian berbagai masalah seperti penyelesaian perang suku,
upacara adat, pesta untuk menyambut hari besar seperti hari raya natal.
Dalam penyelesaian perang suku, masyarakat akan mendulang emas
sebagai sumber pembiayaan dalam menyelesaikan perang suku dan
kelompok dan untuk penyelesaiaan maskawin. Demikian pula dalam
kegiatan upacara adat dan pesta adat pada masyarakat dipemukiman
sungai Wanagon tetap dapat mengandalkan sumberdaya ekologi
112. Damsar & Indrayani. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi Edisi Ke Dua. Hal;104-107.Kencana Prenamedia Group. Jakarta.
66
dengan mendulang emas untuk mendukung berbagai kehidupan sosial
masyarakat di kampung Waa113.
Dalam penyelesaian pembayaran korban, biasanya masyarakat
akan dibebani sesuai dengan keluarga, suku dan kelompok yang
terlibat dalam perang suku. Masing-masing suku yang terlibat dalam
perang, akan membayar jumlah korban dari kedua pihak masing-
masing dan biasanya dalam satu korban jiwa dapat dibayar sebesar Rp.
500 juta- 1 milir yang tergantung pada permintaan pihak korban.
Sehingga untuk menyelesaikan pembayaran kepala dalam perang ini,
maka masyarakat akan mendulang selama beberapa bulan. Setelah
mereka memperoleh hasil yang setara dari beban yang ada, maka
mereka akan menyelesaikan secara adat dengan membayar jumlah
korban yang dimintanya. Masyarakat dipemukiman sungai Wanagon
juga memiliki hubungan keluarga yang berada diluar seperti daerah
Timika, Ilaga, Beoga dan beberap daerah lainnya. Ketika keluarga
mereka dari luar mengharapkan bantuan untuk menyelesaikan perang
suku dan kelompok, maka mereka akan datang sesuai dengan
hubungan keluarga mereka di kampung Waa untuk meminta bantuan.
Demikian juga untuk membayar maskawin, menyelesaikan berbagai
masalah lainnya114.
Sedangkan untuk hubungan saling membantu dan menolong
ini juga biasanya dilakukan antar sesama masyarakat di kampung Waa,
melalui pembayaran maskawin, pembayaran penyelesaian perang suku
baik daerah Timika dan Tembagapura. Selain itu juga toleransi
kebersamaan masyarakat di kampung Waa sanggat kuat, melalui saling
memberi dan menolong ketika bertemu. Kemudian membantu kerabat
atau keluarga mereka yang datang dari luar baik sebagai masyarakat,
pelajar dan mahasiswa dengan membantu keluhan mereka dan
memulangkannnya. Hal ini sudah menjadi budaya yang terpola pada
masyarakat, sehingga dalam kehidupan keluarga, mereka sangat
terbuka menerima siapa saja yang berkunjung meminta bantuan.
Kemudian hubungan kebersamaan juga biasanya terlihat melalui
113 . Wawancara dan Oberservasai Pada Tangal 3 Maret Tahun 2015 114 . Wawancara Dengan Bapak Elewi Waker Pada Tanggal 4 Maret Tahun 2015
67
kehidupan makan dan minum bersama yang dilakukan dalam berbagai
kehidupan mereka baik dirumah, diluar dan saat dalam acara bakar
batu. Hubungan antar masyarakat di pemukiman sungai Wanagon ini
berlangsung secara timbal balik, dimana diantara mereka ada orang
yang memberikan bentuan dalam kesusahan dan dalam penyelesaian
berbagai hal, maka suatu saat akan dibalasanya tanpa harus diharapkan
pengembaliannya115.
Pola relasi kebersamaa dan toleransi ini dikategorikan sebagai
pertukaran tidak langsung yang dilakukan oleh masyarakat untuk
bertahan hidup (survival strategy)116. Pola semacam ini juga biasanya
terjadi dalam bentuk jaringan sosial melalui para aktor atau kelompok
dalam membangun suatu relasi pada masyarakat. Pola ini dipandang
oleh B.F.Skinner, bahwa pertukaran sosial terjadi melalui adanya
perilaku aktor terhadap lingkungan dan selanjutnya dilihat dampak
dari tanggapan lingkungan terhadap perilaku seorang aktor dalam
tindakan selanjutnya. Maka tanggapan lingkungan terhadap tindakan
seseorang menentukan apakah tindakan yang sama akan diulangi atau
dihentikan pada waktu kemudian.
Pola pertukaran tidak langsung ini sama dengan masyarakat di
kabupaten Bengkalan dengan rendahnya akses terhadap modal
terutama modal finansial merupakan penyebab kemiskinan, dan
menyebabkan nelayan tidak mampu mengakses modal fisik berupa
teknologi penangkapan yang lebih moderen. Kondisi ini semakin
diperparah dengan adanya konflik perebutan sumber daya dengan
nelayan dari daerah lain. Strategi yang dilakukan untuk bertahan
hidup adalah stetegi nafkah yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan
miskin melalui strategi ekonomi dan sosial, melalui pola nafkah ganda,
pemanfaatan tenaga kerja rumah tangga dan migrasi, strategi sosial
115. Wancara Dengan Bapak Dinas Alom sebagai Pendulang Emas pada Tangal 5 Maret 2015 116 . Suyanto, B., 2002. Sosiologi Ekonomi (Kapitalisme dan Konsumsi di Era-Masyarakat Post-Modernisme. Hal 18.Kencana Prenada Media Group. Sanderson, S.K. 2003. Makro Sosiologi. Hal; 118. Jakarta; Raja-Grafindo Persada.
68
dengan memanfaatkan ikatan kekerabatan yang ada117. Terkait dengan
masyarakat di pemukiman sungai Wanagon pola pemanfaatan
hubungan keluarga sebagai strategi sosial untuk bertahan hidup,
demikian juga dengan pola imigrasi sama dengan masyarakat di
kampung Waa masuk di sungai Wanagon menjadi pendulang emas
sebagai sumber mata pencaharian (livelihood).
Konflik perebutan sumberdaya alam pada masyarakat
dikabupaten Bengkalan dengan masyarakat luar, hampir sama dengan
masyarakat di kampung Waa konflik perebutan lahan terjadi ketika
masyarakat dari luar masuk menguasai wilayah area sepanjang sungai
Wanagon kampung Waa, yang menyebabkan terjadinya pergeseran
ruang gerak masyarakat dari luar masuk menguasai wilayah sepanjang
sungai Wanagon, dengan mengeserkan masyarakat lokal sekitarnya
dari suku Amungme ke muara sungai bagian bawah. Pergeseran
tersebut terjadi ketika masyarakat mengetahui adanya emas, setelah
pertama mereka melihat dengan adanya emas, masyarakat dari luar
yang tinggal di Tembagapura dan Timika masuk menguasai wilayah
sepanjang sungai Wanagon kampung Waa. Dari penguasaahan tempat
dulang dari masyarakat luar ini, juga menimbulkan kecemburuan sosial
tersendiri bagi masyarakat asli suku Amungme masyarakat suku Dani,
Damal yang mayoritas menetap di kampung Waa distrik Tembagapura.
Dengan adanya kecemburuan sosial ini, beberapa kali terjadi perang
suku antar suku Amungme dan suku Dani di distrik Tembagapura
kampung Waa118.
Salah satunya, yaitu perang suku pada tahun 2007-2008, perang
ini dipicu karena kematian salah seorang pemuda dari suku Dani yang
meninggal dunia setelah mengalami penyiksaan pada tubuh. Korban
mengalami penyiksaan pada saat membuat orasi setelah minum
minuman keras oleh aparat kepolisihan dan sekuriti dari PT Freeport
yang berjaga di Tembagapura kota. Sekuriti yang terlibat dalam pelaku
penyiksaan ini berasal dari suku Amungme. Korban kemudian
117 . Widodo, S., 2011. Trategi Nafkah Berkelanjutan Bagi Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir. Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo, Bangkalan 69162, Indonesia. Maraka, Sosial Humaniora, Vol. 15, No. 1 118 . Wawancara Pada Tangal 15 Februari 2015.
69
diamankan oleh beberapa sekuriti PT Freeport yang terlibat dalam
penyiksaan ke rumah sakit Tembagapura, namun setelah keesokan
harinya korban meninggal dunia. Hal ini menyebabkan reaksi
kemarahan pada suku Dani yang menyebabkan konflik horizontal
antar suku Dani dan Amungme (W, Hans, 2009). Konflik ini juga
berasal dari reaksi ketidak sukaan antara kedua suku yang terpendam
semenjak masyarakat dari suku Dani, Damal, Moni dan Nduga yang
masuk dan tinggal di Tembagapura. Mayoritas masyarakat dari suku
luar berasal dari suku Dani dan Damal. Setelah masyarakat menguasai
tempat dulang di kampung Waa, maka ada reaksi ketidak sukaan dari
suku Amungme sebagai suku asli di Tembagapura. Selain itu juga
sering terjadi konflik beberapa kali di kabupaten Timika. Konflik-
konflik ini biasanya dapat diselesaikan oleh masyarakat dengan
membayar melalui uang ratusan juta sampai miliaran rupiah. Dalam
penyelesaiannya, masyarakat biasanya mengharapkan dari hasil dulang
di kali kabur (sungai Wanagon) dalam penyelesaiaan perang suku.
Konflik sosial ini merupakan faktor pengaruh bagi masyarakat seperti
dijelaskan oleh (S, Ritohardoyo, 2006) untuk dapat bertahan hidup di
lingkungan yang memprihatinkan.
Dari pernyataan diatas ini diketahui bahwa apa yang dilakukan
masyarakat merupakan suatu bagian dari strategi bertahan hidup,
karena dalam pola hubungan mereka memiliki unsur ketergantungan
antar sesamanya yang mengikat hubungan kebersamaan dan solidaritas
mereka. Hubungan relasi saling memperhatiakan ini digambarkan
sebagai pola pertukaran tidak langsung, karena tidak harus
mengharapkan pengembalikannya atau jika diperlukanpun akan terjadi
di beberapa waktu kemudian. Pola pertukaran seperti ini digambarkan
dalam teori sosial oleh Durheim menyatakan sebagai fakta-fakta sosial
yang bersifat eksternal, tetapi mempengaruhi perilaku individu. Fakta
sosial tersebut merupakan cara-cara bertindak, peripikir, dan
berperasaan yang berada diluar individu, dan mempunyai kekuatan
memaksa yang mengendalikannya. Fakta sosial tersebut tidak hanya
70
bersifat material, tetapi juga non-material, seperti kultur, agama atau
intitusi sosial (Damsar & Indrayani, 2009)119.
Survival Strategy dalam Konteks Kesehatan
Survival strategi dalam konteks kesehatan dilihat dari pola
kehidupan masyarakat yang tidak mempedulikan dampak limbah
tailings yang membahayakan bagi kesehatan mereka. Hal ini dilihat
dari cara perilaku masyarakat dalam mendulang emas dan dampak
permasalahan lingkungan sekitarnya yang membahayakan bagi
kesehatan masyarakat. Terkait dengan hal ini sebagian besar imporman
di pemukiman sungai Wanagon, mengatakam bahwa limbah tailings
tersebut membahayakan bagi kesehatan tetapi, mereka tetap bertahan
untuk mendulang karena, sudah menjadi sumber penghidupan
ekonomi bagi masyarakat. Hal yang memprihatinkan, yaitu pola
kehidupan tidak higenis dalam aktivitas mendulang yang biasa
dilakukan melalui cara makan dan minum sambil mendulang yang
beresiko tinggi terhadap kehidupan masyarakat di kampung Waa.
Kemudian masyarakat tidak mempedulikan dampak limbah tersebut
dan mereka sudah terbiasa di lingkungan tersebut yang dilakukan
dengan berbagai aktivitas mereka yang penuh dengan resiko yang
tinggi120. Masyarakat dapat mengatasi kesehatan mereka ketika apabila
ada yang sakit, namun jika tingkat keracunan logam berat tersebut jika
melampaui tinggi, maka limbah tersebut beresiko terhadap
kelumpuhan dan kematian hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara
dengan Bapak Elewi Waker, bahwa;
“Masyarakat masuk menempati kampung Waa semenjak tahun 1997, semenjak masyarakat mendulang disini jumlah korban yang meninggal akibat keracunan limbah tailings diperkirakan sebesar 1000 jiwa. Sedangkan dampak gejala keracunan logam berat terhadap kesehatan biasanya menyebabkan kerusakan hati, kulit jadi hitam,
119. Damsar & Indrayani, 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi Edisi Ke Dua. Hal;104-107.Kencana Prenamedia Group. Jakarta 120 . Wawancara Pada Tanga 25 Februari Tahun 2015
71
pembengkakan perut, tangan, kaki dan menyebabkan kelumpuhan”121.
Hal ini menunjukkan, bahwa secara pengetahuan masyarakat
mengetahaui dampak berbahaya dari limbah tailings tersebut, tetapi
belum ada kesadaran dari masyarakat untuk terhindar dari dampak
tersebut. Masyarakat kemudian menyadari dan mencari upaya melalui
pengobatan ketika mereka mengalami gejala keracunan, namun gejala
kecarunan tersebut sulit tersembuhkan, karena masyarakat berada di
lingkungan yang tidak memenuhi standar kelayakan bagi kesehatan
masyarakat. Oleh karena itu, untuk terhindari dari gejala keracunan
logam berat tersebut, maka diperlukan upaya pencegahan dibanding
pengobatan. Namun hal ini tentu sebagai persoalan yang rumit, karena
peran perusahaan dan pemerintah dalam hal ini sangat lemah dalam
memberikan kebijakan melalui lapangan kerja baru bagi masyarakat di
kampung Waa dengan memindahkan masyarakat disepanjang sungai
tersebut ke tempat lain yang layak.
Di kondisi lingkungan yang memprihatinkan terhadap
kesehatan masyarakat ini, dari pola hidup dan kebiasaan masyarakat
mendulang juga dilakukan dalam kondisi resiko berbahaya terhadap
permasalahan kesehatan dari pola perilaku kurang memperhatikan dari
faktor-faktor kebiasaan masyarakat yang memperbesar kemungkinan
resiko akumulasi logam berat dalam tubuh. Pola ini dijelaskan menurut
Winardi, (2004), bahwa perilaku pada dasarnya berorientasi pada
tujuan. Dengan perkataan lain, perilaku kita pada umumnya dimotivasi
oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan spesifik
tersebut tidak selalu diketahui secara sadar oleh individu yang
bersangkutan. Demikian juga dengan tujuan pada masyarakat di
kampung Waa masyarakat mendulang emas untuk menunjang
kehidupan sosial ekonomi, sedangkan tujuan spesifik, yaitu
berhubungan dengan bahaya resiko dari limbah tailings terhadap
kesehatan masyarakat yang kurang memperhatikannya.
121. Wawancara Pada Tanggal 5 Februari Tahun 2015
72
Menurut kajian dari Djeky, R., (2002), perilaku dan
pengetahuan kesehatan masyarakat berhubungan dengan masalah
nilai-nilai budaya dan lingkungan masyarakat. Faktor-faktor sosial
psikologi dan faktor budaya sering memainkan peran dalam
mencetuskan penyakit. Sebagai masyarakat yang masih memegang
nilai-nilai budaya, tentunya pola kebiasaan semacam ini bagi mereka
adalah suatu tindakan positif, yang sifatnya mengikat. Walaupun
diakui banyak hal yang tidak dapat diterima oleh akal orang lain.
Dengan demikian masyarakat berpikir dan melakukan tindakan sesuai
pemahaman dan pengalaman yang mereka rasakan (Boedihartono,
1997). Hal ini juga diketahui dari cara pandang masyarakat di
pemukiman sungai Wanagon terhadap limbah tailings, sebagai
sumberdaya ekonomi untuk menunjang berbagai kehidupan mereka.
Namun dari pandangan masyarakat luar, melihat masyarakat semesti
tidak layak untuk hidup di lingkungan beracun yang membahayakan
dan mematikan bagi kehidupan.
Survival Strategy dalam Konteks Lingkungan Ekologi
Survival strategi dalam konteks ekologi, yaitu lingkungan dapat
menyediakan sumber daya ekologi yang diperlukan oleh manusia
untuk dapat bertahan hidup. Emas merupakan salah satu sumberdaya
ekologi yang tergolong tidak dapat diperbaharuhi (nonrewnable),
sehingga keberadaannya dianggap sebagai cadangan atau stok. Apabila
sumberdaya tersebut habis, maka akan berpengaruh terhadap sumber
matapencaharian (livelihood) pada masyarakat di kampung Waa
sebagai pendulang emas. Jika cadangan emas dan tembaga yang
ditambang oleh Freeport berakhir dan habis, maka implikasi negatif
yaitu akan terhenti sumber matapencaharian masyarakat di kampung
Waa. Bahkan implikasi negatif secara luas, terhadap pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah dan negara akan terhenti dengan menciptakan
kesenjangan sosial dan kemiskinan dengan terhentinya lapangan kerja
buruh karyawan PT Freeport Indonesia.
Masyarakat di kampung Waa, mendulang emas dengan
memproses limbah tailings yang berbahaya sebagai sumber mata
pencaharian bagi mereka. Meskipun tempat dulang masyarakat, sudah
73
menunjukan larangan bahaya dari resiko keracunan logam berat.
Namun, karena limbah tersebut sudah menjadi lahan hidup bagi
masyarakat, maka mereka tetap dapat bertahan hidup dengan
memanfaatkan limbah tailings tersebut. Masyarakat juga dapat
menyikapi dampak positif dari limbah tailings tersebut, sebagai sumber
ekonomi yang diperolehnya dengan usaha masyarakat untuk tetap
bertahan hidup. Ketergantungan hidup masyarakat terhadap emas ini
juga akan berlangsung terus selama operasi penambangan emas
berjalan. Kecuali apabila limbah tailings tersebut tidak dapat dibuang
melalui sistem sungai Wanagon atau operasi penambangan emas
berakhir, maka masyarakat kemungkinan akan berpindah ke
matapencaharian lain. Emas sebagai salah satu sumberdaya ekologi
yang tergolong tidak dapat diperbaharuhi, oleh karena itu diperlukan
pemanfaatkan secara efektif dan efisiensi agar sumberdaya tersebut
dapat dipergunakan secara berkelanjutan (sustainable), untuk
menjamin keberlangsungan kehidupan kepada generasi masa kini dan
generasi dimasa yang akan datang.
Manusia dengan perilakunya dalam memanfaatkan lingkungan
alam atau (man and culter dan natural) sekitarnya untuk menunjang
kehidupan sebagai suatu komponen interaksi yang berlangsung dalam
sistem ekologi. Hal ini dapat dikaji oleh Dharmawan, A. H., (2007),
bahwa interaksi manusia dengan ekologi, manusia memerlukan energi,
materi dan impormasi untuk memenuhi kebutuhan. Sedangkan dari
sistem sosial manusia dibangun berdasarkan; organisasi sosial atau
sistem pengendali, kelembagaan, teknologi, populasi (demografi),
norma dan nilai yang dibangun pada masyarakat. Pola ini sama dengan
masyarakat di kampung Waa, dimana masyarakat memanfaatkan emas
sebagai sumberdaya ekologi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi,
kemudian keuntungan ekonomi yang diperoleh ini juga berpengaruh
terhadap organisasi sosial, sistem kelembagaan, norma dan nilai yang
sudah terpolah pada masyarakat di kampung Waa yang dilakukan
melalui hubungan solidaritas dan kebersamaan yang kuat pada
masyarakat. Cara manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
melalui lingkungan dikatakan oleh R, Utina (2009) sebagai suatu sistem
ekosistem. Sistem ekosistem ini jika dikombinasikan dengan
74
masyarakat dikampung Waa, digambarkan dalam hubungan segitika
yaitu, lingkungan memenuhi kebutuhan ekonomi melalui emas,
kemudian hasil ekonomi yang diperoleh oleh masyarakat juga dapat
berperan dalam sistem sosial masyarakat yang terperangkat dalam
unsur-unsur kebudayaan yang dimilikinya seperti kultur, nilai,
matapencaharian yang sudah terpola pada masyarakat.
Cara pemanfaatan sumberdaya alam juga dikenal dengan pola
subsistem masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam, konsep
subsistensi ini dikaitkan dengan ekologi kebudayaan, yaitu
berhubungan studi masalah perilaku dan pengetahuan kebudayaan
manusia dalam hubungannya dengan lingkungan atau ekologi
manusia122 . Pola subsistem ini jika dikaitkan dengan masyarakat di
kampung Waa, maka pola hidup masyarakat dalam memanfaatkan
lingkungan sekitarnya untuk bertahan hidup, melalui cara mendulang
dan juga memanfaatkan alam sekitarnya yang mendukung
kehidupannya. Lingkungan berlimbah tailings yang digunakan oleh
masyarakat di kampung Waa untuk mendulang, terlihat seperti pada
gambar dibawah ini;
Sumber; Sungai Wanagon Foto Lapangan Sumber; Foto Lapangan
Gambar 5.2 Sungai Wanagon Yang Digunakan Untuk Mendulang Emas
122. Usman, M., 2008. Ekologi Kebudayaan: Subsistensi Nelayan Suku Bajo Torosiaje Teluk Somini di Provinsi Gorontalo (Studi Kajian Tentang Sumberdaya Alam dan Masyarakat). Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin.
75
Sungai Wangon pada gambar diatas dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk mendulang emas. Sedangkan cara masyarakat
mendulang emas terlihat seperti pada gambar diatas ini. Yang menjadi
budaya mula-mula mata-pencaharian masyarakat lokal diantaranya
seperi; meramu (gatherers), bertani, berburuh (hanter) dengan sistem
nomaden atau sistem berpindah dari satu tempat ke-tempat lain untuk
bertahan hidup (life survive) sudah pernah dijalani sebelumnya
mengalih ke mata pencaharian yang baru. Pola subsistem ini yang
dimiliki oleh masyarakat sekitar pemukiman sungai Wanagon adalah
sistem; berkebun, menanam, beternak, berburuh dengan sistem
berkebun dan berburu yang berpindah dahulu kala dijalaninya. Sistem
mata pencaharian inilah yang membentuk masyarakat dari sana
menjadi kuat, bekerja keras, gigih, fair dan gentlemen123. Bahkan sudah
menjadi bagian dari budaya masyarakat dalam beradaptasi dengan
lingkungan alam sekitarnya. Kemungkinan pola hidup yang dimiliki
oleh masyarakat ini, mempengaruhi masyarakat disana untuk tetap
bertahan hidup, bahkan mudah beradaptasi dengan lingkungan alam
sekitarnya dalam mendukung berbagai kehidupan susbsistem melalui
kehidupan bercocok tanam, memperoleh sumber penghidupan dari
lingkungan alam sekitarnya.
Menurut kajian dari Sayogya dalam Dharmawan, A. H., 2007,
bahwa perkembangan sistem penghidupan dan nafka bagi wilayah
pedesaan tidak bisa lepas dari proses sistem sosial ekonomi yang
senantiasa melanda pedesaan. Proses adaptasi ekonomi dan ekologi
dibentuk oleh petani aras individu, rumah tangga (aras kelompok), aras
kelompok serta komunitas lokal aras sistem sosial sebagai upaya
menyelaraskan eksistensi mereka terhadap arus perubahan sosial,
menghasilkan sejumlah gambaran dinamika sistem penghidupan dan
nafka pedesaan124. Demikian juga dengan masyarakat di kampung Waa,
sebagai besar dari mereka adalah karena berasal dari golongan
123 . Ngadisah, 2003. Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Politik di Papua. Yogyakarta Pusat Saja, 44. 124 . Sayogya, “Bungga Rampai Perekonomian Desa” dalam Dharmawan, A. H (ed), (2007). Sistem Penghidupan Nafkah Pedesaan; Pandangan Sosiologi Nafka (Livelihood Sociology) Mazhab Barat dan Mazhab Bogor. ISSN; 1978 - 4333, Vol. 01, No. 02. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, p167 - 192.
76
masyarakat kelas bawah, maka dengan adanya tekanan ekonomi juga
merupakan suatu usaha yang dipilih untuk menjadi pendulang emas di
pemukiman sungai Wanagon.
Survival Strategy dalam Konteks Pemukiman (Demografi)
Survival strategy dalam konteks pemukiman, dilihat dari pola
pemukiman warga di kampung Waa disepanjang sungai Wanagon
merupakan pola pemukiman yang baru ditempati. Masyarakat masuk
dan menguasai pemukiman tersebut, untuk menjadi tempat tinggal
yang dapat memberikan keuntungan kepada mereka. Berdasarkan data
jumlah penduduk (demografi), penduduk di desa Banti dan kampung
Waa pada tahun 2014 adalah 6000 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk
keseluruhan di distrik Tembagapura adalah 18.161 jiwa. Dari
keseluruhan jumlah penduduk ini berdasarkan jumlah penduduknya,
maka 12,161 jiwa bekerja sebagai Buruh karyawan Freeport, Pegawai
pemerintaan, Pengusaha, TNI dan Polri. Sedangkan jumlah penduduk
sebagai petani dan pendulang emas adalah 6000 jiwa125. Dari data ini
diketahui bahwa sebagai besar penduduk kelas bawah di distrik
Tembagapura mayoritas sebagai petani yang menghuni disepanjang
pemukiman sungai Wanagon. Berdasarkan jumlah penduduk tersebut
dari hasil wawancara dilapangan juga diketahui bahwa masyarakat
mulai masuk dan menempati pemukiman sungai Wanagon kampung
Waa dari tahun 1997 dan menjadi tempat pemukiman mereka untuk
mendulang emas 126 . Hal ini diketahui sebagai upaya imigrasi
masyarakat masuk menguasai wilayah pemukiman sungai Wanagon
sebagai strategy masyarakat untuk mencari matapencahariannya. Hal
ini dikatakan Ibrahim, Fouad & Ruppert, Helmut (1991) di Zona
Sahel, mingrasi dari desa-desa ke kota memainkan peranan besar
dibanding migrasi dari kota ke desa dengan adanya pertumbuhan
penduduk dan kekeringan untuk bekerja sebagai buruh ke daerah
selatan basah Darfur. Namun pola imigrasi masyarakat di India dari
Zona Sahel ke Dapur dipengaruhi karena jumlah penduduk dan
kekeringan yang membuat kondisi sulit bagi masyarakat untuk
125. Sumber; BPS Kabupaten Mimika, Mimika Dalam Angka 2013/2014. 126. Wawancara Pada Tanggal 6 Maret Tahun 2015
77
memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga mereka dapat berimigrasi ke
Dafur sebagai lahan yang basa yang dapat menguntungkan mata
pencaharian bagi mereka melalui pekerja buru, karyawan pabrik.
Sedangkan pola imigrasi masyarakat lokal pegunungan tengah
Papua masuk ke tembagapura pada umumnya dipengaruhi karena
adanya aktivitas penambangan di PT Freeport Indonesa yang dapat
membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitarnya untuk
bekerja sebagai karyawan atau buru perusahaan. Namun selain sebagai
besar masyarakat masuk menguasai area pendulang emas di kampung
Waa dan Banti, karena adanya sisa tailings yang dibuang dengan emas
yang dapat memberikan keuntungan tersendiri bagi masyarakat. Hal
ini juga memungkinkan masyarakat untuk tetap bertahan walaupun
kondisi lingkugan tidak memenuhi syarat bagi masyarakat. Dalam
konteks pemukiman masyarakat, karena masyarakat memilik budaya
bercocok tanam mudah beradaptasi dengan lingkungan ekologi. Salah
satu adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat dikampung Waa, yaitu
membuat rumah dalam bentuk kem dan honai untuk tempat tinggal.
Salah satu kem atau honai yang dibuat oleh masyarakat tersebut,
terlihat seperti pada gambar di bawah ini.
Sumber; Foto Lapangan
Gambar 5. 3 Salah Satu Kem atau Honai Pemukiman Masyarakat di Kampung
Waa
Rumah adat ini juga merupakan kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat, dari sistem pengetahuan dan pola adaptasi masyarakat
dengan lingkungannya. Lingkungan subsisten yang menyediakan ini,
78
dapat memungkinkan aktivitas masyarakat di kampung yang dilakukan
sebagai strategi bertahan hidup dengan memanfaatkan lingkungan
alamnya untuk membuat rumah dan juga bercocok tanam.