bab v ideologi dalam gugur merah

57
BAB V REPRENTASI IDEOLOGI DALAM GUGUR MERAH Puisi-puisi yang terhimpun dalam antologi Gugur Merah semuanya pernah dimuat di Harian Rakjat selama periode 1954-1965. Antologi ini memuat 452 puisi dari 111 penyair. Persebaran puisi-puisi tersebut berdasarkan tahun pemuatan di Harian Rakjat dapat dilihat pada tabel 6 dalam lampiran. Di antara penyair-penyair tersebut, Agam Wispi adalah yang paling banyak karyanya dimuat (41 judul), di bawahnya, disusul oleh S. Anantaguna (23 judul), F.L. Risakotta (21 judul), Kusni Sulang (20 judul), S.W. Kuncahjo (19 judul), H.R. Bandaharo dan A.S. Rahman Hadi (masing-masing 15 judul), Putu Oka (14 judul), Sutikno W.S. (12 judul), Dharmawati (10 judul), dan D.N. Aidit (9 judul). Selebihnya, antologi ini memuat karya antara 1-8 judul dari seorang penyair. Penyunting antologi ini tidak menggunakan pertimbangan khusus dalam memilih karya selain karena didasari oleh keinginan untuk menjangkau 53

Upload: dr-i-wayan-artika-spd-mhum

Post on 07-Aug-2015

70 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Tulisan ini merupakan salah satu bab dari disertasi saya yang sedang proses bimbingan dan perbaikan. Bab ini mengulas tentang kandungan ideologi Marxis di dalam antologi puisi Lekra yang berjudul "Gugur Merah".

TRANSCRIPT

Page 1: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

BAB VREPRENTASI IDEOLOGI DALAM GUGUR MERAH

Puisi-puisi yang terhimpun dalam antologi Gugur Merah semuanya

pernah dimuat di Harian Rakjat selama periode 1954-1965. Antologi ini memuat

452 puisi dari 111 penyair. Persebaran puisi-puisi tersebut berdasarkan tahun

pemuatan di Harian Rakjat dapat dilihat pada tabel 6 dalam lampiran. Di antara

penyair-penyair tersebut, Agam Wispi adalah yang paling banyak karyanya

dimuat (41 judul), di bawahnya, disusul oleh S. Anantaguna (23 judul), F.L.

Risakotta (21 judul), Kusni Sulang (20 judul), S.W. Kuncahjo (19 judul), H.R.

Bandaharo dan A.S. Rahman Hadi (masing-masing 15 judul), Putu Oka (14

judul), Sutikno W.S. (12 judul), Dharmawati (10 judul), dan D.N. Aidit (9 judul).

Selebihnya, antologi ini memuat karya antara 1-8 judul dari seorang penyair.

Penyunting antologi ini tidak menggunakan pertimbangan khusus dalam memilih

karya selain karena didasari oleh keinginan untuk menjangkau sejauh mungkin

puisi-puisi Lekra yang pernah dimuat di Harian Rakjat. Dengan demikian,

penyunting berharap, melalui antologi ini, tradisi puisi Indonesia yang berbasis

realisme sosialis yang telah putus beberapa dekade karena persoalan politik, dapat

disambung kembali.

Dari ”Catatan Penyusun” yang berfungsi sebagai kata pengantar antologi

ini, diketahui bahwa bagi kubu Lekra, puisi adalah karya sastra yang sangat

istimewa karena semaraknya tradisi menulis puisi di kalangan pucuk pimpinan

Lekra dan PKI. Di samping itu, menurut Lekra, puisi adalah bentuk karya sastra

53

Page 2: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

yang sudah diakrabi rakyat sebagaimana hal ini masih hidup di dalam tradisi

kesusastraan lama di Nusantara.

Karena puisi-puisi tersebut digunakan untuk kepentingan perjuangan kelas

maka harus menjadi pencerminan konkret dan menyeluruh permasalahan-

permasalahan kehidupan rakyat. Di samping itu, puisi adalah alat untuk

merespons berbagai permasalahan sehingga hubungan antara puisi dengan realitas

sosial kemasyarakatan sangat erat. Sejalan dengan fungsi tersebut, sebelum

penyair menulis puisi, mereka menjalani gerakan turun ke bawah (Turba) untuk

menyerap perasaan, pemikiran, dan aspirasi-aspirasi rakyat.

Dalam bab ini dikemuakan hasil pengkajian puisi dengan menggunakan

Teori New Historicism, dengan metode membaca pararel. Puisi-puisi Gugur

Merah dibaca secara pararel dengan buku Tentang Marxisme (Aidit, 1964). Bab

ini memuat ulasan secara umum guna memberi gambaran yang menyeluruh

mengenai pararelitas puisi dengan teks nonsastra, yang berwujud representasi

ideologi di dalam puisi. Di samping itu, disajikan juga analisis secara khusus

terhadap puisi-puisi yang dipilih untuk memperdalam pemahaman dan dalam

rangka mempertahankan keutuhan puisi. Pararelitas puisi-puisi tersebut tampak

melalui representasi empat pokok/inti ideologi Marxis menurut pandangan Aidit

(1964). Keempat pokok tersebut dijadikan kerangka berpikir dalam pengkajian

puisi-puisi tersebut.

54

Page 3: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

4.1 Pencipta Sejarah adalah Massa Rakyat Pekerja

a. Perlawanan Kaum Tani dan Buruh

Puisi-puisi yang terhimpun dalam Gugur Merah menggambarkan

penderitaan, kemiskinan, ketertindasan, kemelaratan kehidupan massa rakyat

pekerja. Hal itu misalnya dikemukakan oleh A. Qadar dalam puisi ”Panen” (hal.

34-35) dan ”Riak Batanghari” (hal. 36-37). Kedua puisi ini menggambarkan

kelaparan yang dialami oleh kaum tani yang disebabkan oleh kaum pengisap di

desa mereka. Di tengah-tengah penderitaan tersebut, rakyat tidak henti-hentinya

melawan keadaan agar terbebas dari derita, kemiskinan, kemelaratan,

ketertindasan. Hal itu misalnya dikemukakan dalam puisi ”Lautan” (karya Rosa

S.B., hal. 619) bahwa rakyat senantiasa melakukan perlawanan dan tidak pernah

dikalahkan. Di samping itu, puisi ini memperingatkan dengan keras bahwa

kemarahan rakyat menjadi pemicu bangkitnya perlawanan mereka.1 Perlawanan

kaum tani terhadap pengisap (penyebab bencana kelaparan) misalnya, dilakukan

dengan cara revolusi.2

Sementara itu, perlawanan kaum buruh diserukan oleh S. Anantaguna

misalnya dalam puisi ”Surat dari Buruh” (hal. 658-659). Perlawanan ini ditujukan

kepada musuh rakyat sesuai dengan keterangan tambahan pada judul puisi

tersebut, ”Kepada Musuh Rakyat”. Sejalan dengan puisi ”Surat dari Buruh”, S.W.

Kuncahjo dalam puisi ”Maju Laju ke Kemenangan Baru!!” (hal. 704-705) juga

mengemukakan perlawanan kaum buruh untuk meraih kebebasan dan dalam

rangka menenuaikan tugas sejarah. Puisi ini menggelorakan semangat perjuangan

1 [...]tapi lautan tak pernah terkalahkan/Rakyat adalah lautan/tak kenal henti berlawan/makin sengit makin bangkit2 [...]petani punya jalan sendiri/jalan revolusi:/padinya tani!/tanahnya tani!

55

Page 4: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

kaum buruh yang ditulis dalam kaitan dengan pelaksanaan kongres nasional II

SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Dalam puisi Agam Wispi

yang berjudul ”Surabaya” (hal. 123-124) dikemuakan bahwa perlawanan kaum

buruh dilakukan melalui pemogokan. Alasan perlawanan kaum buruh bahwa

mereka lapar dikemukakan misalnya dalam puisi S.W. Kuncahjo yang berjudul

”Suatu Malam” (hal. 731-732). Walaupun kaum buruh sedang lapar namun

mereka tetap melakukan perlawanan seperti kelaparan yang dirasakan oleh

Djuhainah, seorang buruh dari Banyuwangi. Derita berkepanjangan Djuhainah

yang ”lebih panjang dari jalanraya Anyer-Banyuwangi”, ternyata tidak

menyurutkan niatnya untuk bertahan dan melakukan perlawanan, sebagaimana hal

itu ditulis oleh H.R. Bandaharo dalam puisinya ”Djuhainah Masih Bernyanyi”

(hal. 382).

Perlawanan kaum buruh yang dikemukakan dalam puisi ”Jangan Kauhina”

karya S.W. Kuncahjo (hal. 727) memberi satu fakta bahwa kaum buruh tidak

hanya berjuang menuntut kenaikan upah tetapi juga berjuang melawan

imperialisme dengan kesiapan-siagaan. Perlawanan kaum buruh terhadap

imperialisme dan dalam kerangka Revolusi Indonesia dikemukakan oleh S.W.

Kuncahjo dalam puisi ”Yang Tak Tergoyahkan” (hal. 722-724). Puisi ini ditulis

sebagai persembahan kepada para pejuang yang mengambil alih perusahan-

perusahan Inggris, sebagaimana keterangan pada judul ”untuk para

pejuang/ambillah perusahan-perusahan Inggeris”. Dalam puisi ”Persatuan” karya

Klara Akustia (hal. 410-411) diserukan kepada kaum buruh agar bersatu dan

bahu-membahu dalam melakukan perjuangan.

56

Page 5: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

Puisi ”Pensiunan Buruh Tambang” karya Sobron Aidit (hal. 797) tidak

menyerukan perlawanan kaum buruh sebagaimana puisi-puisi bertema buruh

tetapi menceritakan masa tua kaum buruh, ketika tubuh mereka bungkuk karena

kerja keras dan usia namun mereka telah mewariskan hasil kerja kepada dunia.

Melalui puisi tersebut, Sobron Aidit hendak mengatakan bahwa hanya PKI yang

paling peduli nasib kaum buruh dan memperjuangkan perbaikan hidup mereka.

Di samping mengemukakan perlawanan kaum buruh, puisi-puisi yang

merepresentasikan kehidupan massa rakyat pekerja juga mengemukakan

perlawanan-perlawanan kaum tani, misalnya yang dikemukakan oleh A. Qadar

dalam ”Riak Batanghari” (hal. 36-38). Puisi ini dengan sangat lugas

mengemukakan bahwa penderitaan hidup memicu semangat perlawanan kaum

tani terhadap tujuh setan desa, Malaysia, dan setan dunia atau Amerika). Dalam

puisi itu juga dikemukakan perjuangan kaum tani yang berani mati untuk

menegakkan UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) dan UUPBH (Undang-

undang Pokok Bagi Hasil).3 Sejalan dengan itu, tujuan perjuangan kaum tani

ditegaskan oleh Kuslan Budiman pada bait terakhir puisinya yang berjudul

”Pengadilan” (hal. 442), ”tegakkan tanah untuk tani!” Puisi ini secara tegas

menuntut agar ada tanah untuk kaum tani. Sementara itu ada wadah bagi

perjuangan kaum tani yaitu melalui organisasi BTI (Barisan Tani Indonesia),4

seperti dikemukakan dalam puisi ”Penyair dari Desa” (karya A.T. Khoswara, hal.

204-205).

3 [...]”yang kerja tak punya apa-apa/[...]rela mati untuk merdeka/untuk uupa/untuk uupbh/ganyang tujuh setan desa/ganyang malaysia/ganyang setan dunia-/Amerika”4 Dalam puisi ”Padi yang Lenyap” (karya Slamet Atmoredjo, hal. 784): [...]tetap dalam BTI mereka bersatu dan berjuang[...]

57

Page 6: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

Perlawanan rakyat dalam skala internasional yaitu melawan imperialisme

dan kolonialisme juga muncul dalam beberapa puisi, misalnya dalam puisi ”Lagu”

(hal. 772) karya Sjariffuddin Tandjung. Perlawana tersebut mengandung semangat

Konferensi Asia-Afrika atau Semangat Bandung dalam rangka mencapai

kemerdekaan dan kebebasan dan mengakhiri segala menindasan kaum penjajah di

negara-negara Asia-Afrika. Menurut dua baris terakhir puisi tersebut, rakyat di

Asia-Afrika harus berjuang untuk mendapatkan hak hidupnya.5

Puisi-puisi tersebut menggambarkan penderitaan rakyat yang diakibatkan

oleh penindasan yang dilakukan oleh musuh-musuh rakyat. Untuk membebaskan

diri dari penindasan, rakyat melakukan perlawanan, baik melalui jalan revolusi

maupun dengan pemogokan (bentuk perlawanan kaum buruh yang sangat khas).

Alasan mendasar perlawanan rakyat adalah karena lapar, mendrita, tertindas, dan

tereksploitasi. Sejalan dengan itu, makna perlawanan bagi rakyat antara lain

membebaskan diri dari penderitaan dan memikul tugas sejarah. Puisi-puisi

tersebut menunjukkan peranan massa rakyat pekerja yang sangat menonjol tanpa

dibayang-bayangi oleh tokoh individu. Dengan cara itu, puisi-puisi tersebut

merepresentasikan kekuatan massa rakyat dan karena kekuatan itulah mereka

menentukan jalannya sejarah.

Untuk menunjukkan analisis secara utuh terhadap perlawanan kaum tani,

berikut ini dibicarakan puisi ”Panen” karya A. Kadar. Melalui perulangan baris-

baris yang menggambarkan padi menguning yang terbentang di areal persawahan

yang luas, penyair tengah menegaskan suatu ironi kehidupan kaum tani.

Seharusnya kaum tani berbahagia karena mereka akan memanen padi yang bernas

5 Kehidupan kita adalah juang-/kehidupan itu hak milik rakyat

58

Page 7: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

sebagai hasil kerja keras. Namun demikian, yang bekerja keras tidak memiliki

beras dan tangis kaum tani belum juga berhenti. Ironi tersebut seperti kutipan

berikut.

dibentangkan luas padi menguning bernashati ini kian keraspadi merundukpetani menundukpadi bernasyang kerja tak punya beraspanen hari initangis belum juga berhenti

Ironi kehidupan tersebut memicu perlawanan kaum tani. Hal inilah yang

menjadi titik berat puisi tersebut. Ironi kehidupan kaum tani hanyalah realitas bagi

penyair untuk menyerukan perlawanan. Realitas tersebut bukan merupakan tujuan

atau pesan yang ingin disampaikan tetapi untuk menunjukkan bahwa ada realitas

lain di balik realitas tersebut, yaitu realitas yang seharusnya atau realitas yang

dibangun dalam pandangan penyair.

Puisi ini terdiri atas lima bait dan menggunakan gaya repetisi untuk

membangun gradasi nada perlawanan kaum tani, dari rendah bergerak naik dan

berhenti pada titik puncak. Bait pertama menggambarkan latar belakang

kehidupan kaum tani di tengah-tengah sawah yang membentang luas, padi bernas

menguning menjelang panen. Walaupun demikian, kaum tani yang bekerja keras

tidak memiliki beras. Pada bait kedua, nada perlawanan mulai bergetar melalui

pernyataan yang terkesan dingin bahwa hati kaum tani kian keras dan hari-hari

mereka kelam, seperti berikut.

[...]hati ini kian keraspetani bercelana hitamharinya kelamdipeluk padi segenggam.

59

Page 8: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

Getaran perlawanan tersebut semakin menguat pada bait ketiga, yang

mengemukakan bahwa kaum tani (Sombok, Senduk, dan Tolo) akan melakukan

perlawanan demi tanah dan padi mereka:

[...]sombok, senduk, tolubeladiri melawan matiditanah sendiridipadi sendiri

Getaran perlawanan kaum tani terasa semakin kuat dan penuh energi pada bait

keempat melalui transformasi makna perlawanan yang semakin jelas, yaitu

revolusi. Revolusi bagi kaum tani adalah jalan untuk mempertahankan padi dan

tanah mereka. Perlawanan tersebut mencapai klimaks pada bait kelima karena di

dalam bait ini penyair menegaskan bahwa musuh revolusi kaum tani adalah kaum

pengisap di desa.

Melalui puisi tersebut penyair memposisikan diri sebagai kaum tani yang

tertindas untuk menyuarakan teriakan perlawanan kepada kaum pengisap di desa.

Kaum tani dihadirkan di dalam puisi itu bersama latar belakang kehidupan mereka

(padi menguning bernas, bercelana hitam), ironi hidup mereka (yang kerja tak

punya beras), dan yang terpenting adalah teriakan perlawanan mereka (beladiri

melawan mati, hati kian keras, revolusi, menghentak keras, brtindak tegas, berani-

berapi) yang disulih oleh penyair sendiri. Penghadiran kaum tani di dalam puisi

tersebut adalah representasi pokok ideologi Marxis, yaitu massa rakyat pekerja

sebagai pembuat sejarah. Dalam puisi-puisi Lekra pokok ini berwujud puisi-puisi

bersubjek rakyat, puisi-puisi yang menghadirkan berbagai aspek kehidupan rakyat

yang tertindas, yang sedang melakukan perlawanan, yang giat bekerja untuk

hidup, yang tengah membangun harapan terhadap hari depan yang lebih baik

60

Page 9: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

(sosialisme). Hal itulah yang menjadi ciri khas puisi bercorak kerakyatan yang

diciptakan oleh penyair-penyair Lekra.

b. Pujian kepada Massa Rakyat Pekerja

Sejumlah puisi dalam antologi Gugur Merah mengandung penjelasan

mengenai konsep rakyat sesuai dengan pandangan penyairnya. Hal itu muncul

dalam sejumlah puisi, misalnya puisi ”Lagu” (karya Sjariffuddin Tandjung, hal.

772) yang mengemukakan bahwa rakyat dan sejarah adalah satu padu. Sedangkan

dalam ”Ya Mustaza” (karya Tjarakarakjat, hal. 864) dikemukakan bahwa rakyat

adalah maha tahu karena ”telinga dan matanya disebulatan bumi”. Benni Cung

dalam puisinya, ”Selamat Tinggal Selamat Berjumpa” (hal. 240) dengan tegas

mengungkapkan bahwa ”kebenaran ialah Rakyat”, ”keadilan ialah Rakyat”, dan

”kekuatan ialah Rakyat”. Sedangkan pada puisi ”Bila Engkau Bertanya” (karya

S.W. Kuncahjo, hal. 733-734) dan ”Surabaya” (karya Agam Wispi, hal. 122-131),

rakyat pekerja (buruh dan tani) dijelaskan sebagai sokoguru Revolusi (tiang

penyangga utama).

Karena adanya pemahaman terhadap rakyat sedemikian mulia (menyatu

dengan sejarah, mahatahu, simbol kebenaran, keadilan, dan kekuatan, sokoguru

Revolusi Indonesia) maka pesan puisi-puisi tersebut antara lain kita harus

mencintai rakyat, misalnya seperti rasa cinta seorang penyair yang mendalam

kepada petani (dalam puisi ”Penyair dari Desa”, karya A.T. Khoswara, hal. 204-

205). Di samping dicintai, harkat kaum tani juga harus dibela dan ditegakkan

karena mereka bekerja keras untuk menghasilkan pangan. Melalui puisi tersebut,

A.T. Khoswara menyampaikan makna yang lebih luas bahwa cinta penyair

61

Page 10: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

kepada kaum tani, tanah, dan padi adalah jalan untuk mencintai tanah air

Indonesia dan pengabdian kepada revolusinya. Kecintaan, pembelaan, dan

kesetiaan terhadap kaum buruh dan tani juga harus kita wujudkan dalam

kehidupan, seperti yang dilakukan oleh seorang wanita pejuang Komunis, yang

bernama Usani (dalam puisi ”Ziarah ke Makam Usani” karya D.N. Aidit, hal.

297-298) atau Aminahdjamil (dalam puisi ”Aminahdjamil” karya Koe Iramanto,

hal. 426).

Pada bagian ini dibicarakan sebuah puisi, ”Penyair dari Desa” karya A.T.

Khoswara. Puisi ini menghadirkan rakyat (dalam hal ini kaum tani) bukan sebagai

subjek yang diberi suara perlawanan oleh penyair tetapi sebagai objek yang

menerima simpati, pembelaan, pujian kemuliaan. Puisi-puisi seperti ini

merupakan corak lain puisi kerakyatan kubu Lekra. Puisi seperti ini terasa kurang

revolusioner karena subjek di dalam puisi tidak bersuara, melawan, menyerang.

Puisi ”Penyair dari Desa” menggunakan bentuk pantun atau syair, yang tampak

melalui konsistensi jumlah baris per bait. Pengaruh tradisi pantun terasa pada bait

pertama, keempat, dan ketujuh (bait terakhir), melalui persajakan akhir yang

diterapkan oleh penyairnya. Bait-bait lainnya menggunakan gaya syair yang

tampak melalui persajakannya.

Di samping itu, hal menarik lain puisi ini adalah unsur narasinya sangat

kuat, yang menjadikan karya ini bersahaja dalam menyampaikan pesan. Puisi ini

adalah narasi seorang penyair dari desa tentang dirinya, kecintaannya kepada

tanah dan padi, sebagai kerja atau perjuangan sehari-hari, seperti dikutip di bawah

ini.

62

Page 11: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

akulah penyair dari desayang cinta tanah dan padikupuja teramat mesradalam juang sehari-hari

Puisi ini adalah pernyataan sikap seorang penyair dalam membela harkat kaum

tani. Sikap tersebut dilandasi oleh pandangan bahwa mencintai dan membela

harkat kaum tani adalah setara dengan mencintai tanah air:

dalam mencintai tanah airpadi tanah dan taniyang jadi perjuangan getirkubela kucinta sampai mati

Karena itulah, penyair mengikrarkan cinta abadi kepada kaum tani yang

merupakan transformasi dari makna pengabdian kepada revolusi. Melalui pilihan

kata yang khas agraris (desa, padi, tanah, bajak, petani) yang digunakan dalam

frekuensi yang tinggi dan merata di seluruh bait terciptalah harmoni. Namun

demikian, kehadiran revolusi sebagai kata terakhir pada bait ketujuh (ada

rentangan jarak makna yang jauh), terasa mengganggu harmoni itu. Namun

demikian, berhadapan dengan kehadiran kata revolusi dominasi diksi agraris

seolah memperoleh kekuatan dan makna baru, yaitu perjuangan kaum tani.

Dengan teori New Historicism keadaan ini dapat dipahami secara lebih mudah,

misalnya dengan menemukan pararelitasnya dengan konsep Presiden Soekarno

mengenai Revolusi Indonesia bahwa ”revolusi Indonesia tanpa landreform adalah

sama saja dengan omong besar tanpa ini” (Soekarno, 1964: 578). Pararelitas

lainnya bisa ditemuakan pada Aidit (1964b: 70) bahwa kaum tani merupakan

mayoritas penduduk Indonesia dan oleh karenanya pada hakikatnya Revolusi

Indonesia adalah revolusi agraria. Hal inilah yang diperjuangkan oleh PKI dalam

63

Page 12: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

rangka mencapai kekuasaan di Indonesia. Puisi ternyata turut serta mengambil

bagian di dalam perjuangan tersebut.

4.2 Perjuangan Kelas

Perjuangan kelas telah menjadi tema sentral puisi-puisi dalam Gugur

Merah. Yang menjadi fokus pada bagian ini adalah pertentangan antara kelas

massa rakyat pekerja dan kelas penindas. Kelas penindas terdiri golongan borjuis

(tuan tanah dan petani kaya), lintah darat, tukang ijon, kapitalis birokrat,

tengkulak jahat, bandit desa dan penguasa jahat (Kasdi, 2001: 102). Sejalan

dengan itu, pembicaraan pada bagian ini bertumpu pada konflik-konflik kelas.

Melalui puisi-puisi dalam antologi ini diketahui bahwa yang dimaksud

kelas penindas atau pengisap adalah (1) tujuh setan desa (lintah darat, tuan tanah,

kabir atau kapitalis birokrat, pejabat jahat, tukang ijon, bandit desa, dan tengkulak

jahat), (2) kapitalis, imperialis, penjajah. Melalui kajian terhadap puisi-puisi yang

bertema perjuangan kelas, kita memperoleh konsep kelas yang berkembang pada

masa Revolusi, yang terkait erat strategi PKI dalam membangun basis massa. Ada

dua konsep kelas yang tampak dalam puisi-puisi tersebut, yaitu (1) konsep kelas

dalam lingkup negara Indonesia dan (2) konsep kelas dalam lingkup perjuangan

bangsa Indonesia melawan negara-negara penindas (negara imperialis dan

kolonialis) (Aidit, 1964: 50). Kedua konsep kelas tersebut dibahas sebagai

berikut.

a. Perjuangan Kelas dalam Lingkup Negara Indonesia

64

Page 13: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

Perjuangan kelas dalam antologi Gugur Merah dikemukakan melalui

serangkain konflik yang dimotori oleh kaum tani melawan tuan tanah. Hal itu

misalnya tampak pada puisi ”Api Juang Menjulang di Desa” karya Toga

Tambunan (hal. 872-873) yang menggambarkan terjadinya konflik antara kaum

tani dengan tuan tanah. Sasaran jangka pendek perjuangan kelas kaum tani

melawan tuan tanah adalah untuk merebut tanah yang hilang/dirampas dan

menyongsong masa depan atau hari kemenangan (masyarakat sosialis). Karena

tuan tanah mengisap kaum tani maka tujuan perjuangan kelas adalah

membebaskan diri dari praktik pengisapan tersebut, seperti dikemukakan dalam

puisi ”Jembrana” karya Hidajat Sastramuljana I.W. (hal. 365) atau dalam puisi

”Telaga” (karya Amarzan Ismail Hamid, hal. 161). Puisi tersebut mengemukakan

optimisme bahwa rakyat pekerja telah berhasil mengusir penindas dari tahtanya.

Perjuangan kelas juga dilakukan oleh kaum nelayan melawan tengkulak

ikan seperti dikemukakan dalam puisi ”Menerjang Maut” karya Achmad Jacub

(hal. 47-48). Puisi ini terdiri atas dua bagian, yaitu bagian yang menyampaikan

pujian kepada nelayan6 dan pemaparan arti laut bagi kehidupan nelayan;7 serta

bagian yang mengemukakan perlawanan kepada tengkulak ikan, inti puisi ini.

Perlawanan serupa juga dilakukan oleh tukang sampan di Sungai Kepajang (di

Asahan) terhadap tuan sampan (pemilik sampan) karena telah menaikkan sewa

(dalam puisi ”Sungai Kepajang” karya Ahmady Hamid, hal. 52).8

6 […]Dialah jantan anak lautan/lahir dipantai, besar dibadai/menari dibuih gelombang putih/tegak diburitan menepis taufan/dalam derita merambah laut/dalam gelita menerjang maut[...]7 […]Laut baginya hati sendiri/warisan turunan berganti-ganti8 […]Karena si Tuan Sampan naikkan sewa ganda-berlipat[…]

65

Page 14: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

Bagi massa rakyat pekerja, penguasa atau pemerintah yang menindas

rakyat adalah musuh kelas dan harus dilawan, misalnya melalui protes kepada

penguasa, sebagaimana misalnya dikemukakan dalam puisi ”Melalui Pintu

Terbuka” karya Agam Wispi (hal. 69-71). Alasan protes rakyat dalam puisi

tersebut karena penguasa melupakan jasa-jasa rakyat yang telah ”membelokkan

sungai-sungai”, ”membuat pulau-pulau rangkaian permai”, sebagai bentuk

ungkapan bahwa rakyat telah bekerja keras. Pada puisi yang lain, ”Corat-coret

Dinding” (hal. 76), Agam Wispi mengemukakan protes kepada penguasa karena

harga beras naik sementara harga manusia jatuh terbanting.

Perlawanan kaum tani dan buruh tidak selalu dalam rangka memperolah

tanah garapan atau untuk menuntut kenaikan upah kerja tetapi juga dalam

pengertian yang lebih luas, yaitu melawan negara-negara imperialis (Inggris,

Amerika, Belanda, Spanyol, Perancis). Hal ini dikemukakan dalam puisi

”Menjaga Tanah Air” karya Kusni Sulang (hal. 475-476). Sementara itu, lawan

massa rakyat pekerja juga adalah antek-antek kapitalis atau kaum komprador yang

dikemukakan dalam puisi ”Jakarta” karya Lelono Karyani (hal. 485-486).

Menurut puisi tersebut, ”penghianat-penghianat dan bandit-bandit politik/ala PSI,

Masyumi, Murba/manikebu BPS dan antek-anteknya/kapitalis birokrat dan

komprador-komprador” harus dilawan karena merekalah yang menghamburkan

uang negara, hidup mewah sementara rakyat menderita, dan menjual kehormatan

negara. Jika dibiarkan, mereka akan membawa negara Indonesia ke dalam hari

depan yang gelap. Yang bisa menyelamatkan Indonesia adalah partai yang

menjunjung tinggi massa rakyat pekerja (PKI).

66

Page 15: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

Puisi-puisi yang mengemukakan perjuangan kelas yang berwujud

perlawanan atau konflik kelas tampaknya tidak terlepas dari sumber ajaran atau

ideologi berpengaruh kuat. Salah satu sumber kekuatan tersebut adalah tokoh-

tokoh ideologi Marxis, Lenin, yang menyerukan agar kaum terhina bangkit. Di

samping menjadi sumber kekuatan bagi massa rakyat pekerja, Lenin juga adalah

harapan seperti dikemukakan dalam puisi ”Oktober” karya Agam Wispi (hal. 74).

Kekuatan dan harapan sangat penting dalam melakukan perlawanan karena akan

memberi daya perlawanan yang sangat besar sehingga seseorang mampu bertahan

di dalam ”panas kamar neraka”, menghadapi ”baja jeruji baja”, bertahan dalam

”malam kelam”.9

b. Perjuangan Kelas dalam Lingkup Internasional

Konsep kelas dalam perjuangan kelas bersifat dinamis karena konsep tidak

selalu mengacu kepada kelas massa rakyat dalam negara tetapi konsep kelas juga

diterapkan dalam hubungan antarnegara sehingga ada negara sebagai kelas

penindas dan sebagai kelas yang tertindas (Aidit, 1964: 50). Negara-negara

imperialis, kolonialis (Amerika, Spanyol, Inggris, Belanda) adalah penindas yang

harus dilawan. Dalam ruang lingkup ini, konsep perjuangan kelas terintegrasi

dengan konsep nasionalisme, persatuan dan kesatuan bangsa. Di samping itu,

meskipun tidak menonjol, terkandung pula konsep internasionalisme yang selalu

menjadi acuan gerakan Komunis internasional (lihat McVey, 2010).

Yang menjadi fokus puisi-puisi tersebut adalah akibat buruk praktik-

praktik imperialisme dan kolonialisme, seperti tampak dalam puisi Agam Wispi

9 Puisi “Tak Padam” karya Thaib Adamy (hal. 849)

67

Page 16: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

yang berjudul ”Jika Kau sudah Besar, Jutta” (hal. 81-82) yang mengemukan

bahwa kegiatan imperialisme dan kolonialisme terbukti telah membawa

penderitaan.10 Hal inilah yang menjadi alasan melawan dan menghancurkan

imperialisme, seperti dikemukakan dalam puisi ”Hancurkan Imperialis AS!”

karya Lelono Karyani (hal. 488). Di samping perlawanan terhadap imperialisme

dan kolonialisme, puisi ini juga menyampaikan jalan keluar dari penderitaan,

yaitu menawarkan sistem negara sosialis karena ”ditanah air sosialis/hari selalu

manis/hari selalu baru”. Perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme juga

dikemukakan dalam puisi ”Tidak akan Pernah” karya Agam Wispi (hal. 99-105),

yang berisi seruan melawan kegiatan imperialisme dan kolonialisme, khususnya

Amerika dan Spanyol di Kuba. Adanya gerakan Komunis Internasional dapat

digunakan untuk memahami puisi ”Tidak akan Pernah” yang mengusung konsep

(1) setia kawan kepada Kuba karena negeri ini telah mengembangkan sistem

sosialis11 dan (2) perlawanan serta kebangkitan rakyat sedunia terhadap

imperialisme.12 Bagi rakyat yang terjajah di Asia-Afrika, Amerika adalah musuh

utama, sebagaimana dikemukakan dalam puisi ”Yankee Go Home!” (karya Benni

10 Dalam puisi “Jangan Orang Berpangku Tangan” karya Kusni Sulang (hal. 479): [...]perang baru berkobar/dinyalakan Amerika dan kakitangan 11 […]Kuba!/dan pohon-pohon, ditiang-tiang/dinding-dinding Jakarta digoreskan/”Viva Kuba”#diatas segala ingatan dan kenangan/adalah setiakawan bagimu/Kuba!/ditempa derita bersama tekad tertanam dalam-dalam:/siapa melukai Kuba, menyakiti juga/Indonesia[...] Pada puisi “Impresi Thanh-Hoa” (karya Agam Wispi, hal. 133-134) atau pada puisi “Tangan Seorang Buruh Batu Arang” (karya Agam Wispi, hal. 135-136) dikemukakan masing-masing simpati kepada Vietnam dan China (Tiongkok). Simpati kepada Vietnam yang sedang berperang melawan Amerika dikemukakan dalam puisi “Perjuangan” karya Benni Cung (hal. 238) dan dalam puisi ”Vietnam” karya Dharmawati (hal. 274). Pujian kepada rakyat Rusia atau Soviet dalam melaksanakan revolusinya dikemukakan dalam puisi ”Leningrad” karya Boejoeng Saleh (hal. 244).12 […]sudah datang zaman kebangkitan Rakyat-Rakyat sedunia/melemparkan beban perbudakan dari pundaknya/memutus rantai yang membelenggu tangan dan kakinya/bukankah ribuan tahun menghisap besar bagai benalu/membusukkan pohon kehidupan didesa atas tanah yang dirampas?/bukankah berabad-abad bagai kanker modal memeras/dan menghisap besar dikota memucatkan dan mematikan kehidupan?[…]

68

Page 17: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

Cung, hal. 240)13 dan puisi ”Tunggu hari Akhirmu Yankee” karya Benni Cung,

(hal. 837-838). Dalam puisi ini Amerika dikatakan ”sungguh busuk air

comberan”, ”perampok”, ”bobrok”, dan ”kebusukan yang paling busuk”. Puisi itu

juga mengungkapan bahwa Amerika adalah ”setan dunia” atau penjahat perang

yang telah menebarkan racun dan mengebom rakyat Vietnam dan Konggo yang

mencintai tanah air mereka sendiri. Kesadaran Asia-Afrika tampaknya telah

berubah menjadi semangat perlawanan dan menjadi ”tanda zaman” untuk

menandai bahwa ”penjajahan telah silam”. Asia-Afrika adalah ”fajar” yang

memberi ”dunia baru”, ”dunia setiakawan dan kecintaan yang satu” bagi umat

manusia di muka bumi. Demikianlah semangat kebangkitan Asia-Afrika yang

diungkapkan dalam puisi ”Setiakawan Kami” karya F.L. Risakota (hal. 342).

Puisi ini menggelorakan optimisme bangsa-bangsa Asia Afrika, sebagai satu kelas

tertindas dalam melawan bangsa-bangsa kelas imperialis dan kolonialis. Melalui

puisi ”Bumi Membara” karya Budhi Santosa Djajadisastra (hal. 257)

dikemukakan bahwa di seluruh muka bumi imprealisme telah dihadapi dengan

perlawanan, tidak terkecuali di Indonesia14 atau di Vietnam. Perjuangan rakyat

Vietnam melawan imperialisme dikemukakan dalam puisi ”Hidup dan Mati”

karya H.R. Bandhaharo (hal. 392-393). Perlawanan bangsa Vietnam terhadap

Amerika telah melahirkan pahlawan-pahlawan rakyat yang gagah berani, seperti

Van Troi,15 seorang nasionalis-Komunis-Budhis yang menjalani siksaan di tiang

gantungan imperialis tanpa rasa takut. Van Troi tidak menyerah karena

13 […]Hancurkan musuh utama:/Amerika!#Merdeka/atau mati/hancurkan Amerika!14 Dalam puisi ”Barisan” karya Dharmawati (hal. 278): [...]ganyang imperialisme, ganyang revisionisme!15 Nama lengkapnya adalah Nguyen Van Troi, seperti disebut pula dalam puisi ”In Memoria Tran Van Dang” karya Sartono (hal. 746-747)

69

Page 18: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

”keganasan imperialis tak mampu menutupi kejernihan pikiran dan hatinya”.

Melalui simpati dan pujian kepada Van Troi, puisi ”Hidup Mati” mengecam atau

menyatakan perlawanan terhadap imperialis Amerika di Vietnam.16 Pada tiga

baris terakhir dikemukakan kata-kata kasar yang ditujukan kepada Amerika:,

”setan dunia/musuh manusia/enyahlah dari muka bumi!”. Pahlawan rakyat

Vietnam lainnya adalah Tran Van Dang yang dikemukakan dalam puisi ”In

Memoriam Tran Van Dang” karya Sartono (hal. 746).17

Perlawanan terhadap Amerika juga muncul dalam puisi H.R. Bandaharo

yang lain, ”Menempuh Jalan Rakyat” (hal. 394). Puisi ini adalah pujian kepada

Presiden Soekarno atas sikapnya, ”Saya sekarang menyatakan Indonesia keluar

dari PBB!”. Tindakan ini telah meruntuhkan ”mitos kesucian PBB”. Tindakan ini

pula sebagai wujud sikap Indonesia yang antiimperialisme. Puisi ini mengecam

sepak terjang Amerika di berbagai negara (Konggo, Tanzania, Ghana, Amerika

Latin, Kuba, Panama, Puerto Rico).18 S.W. Kuncahjo dalam puisi berjudul ”Dari

Daerah Dimana Darah Pernah Tumpah” (hal. 716-717) mengemukan akibat buruk

penjajahan Amerika, yaitu ”setiap jengkal tanah bersimbah darah” dan ”disetiap

dada goresan luka bekas jajahan Amerika”. M.A. Simandjuntak dalam puisi

berjudul ”Percikan Api Kemerdekaan” (hal. 502-505) mengemukakan bahwa

16 [...]enyahlah orang-orang A-S!/yang mengumandang jauh keluar batas-batas Vietnam[…]17 […]senyum kepercayaan yang menyungging dibibir, mesra/berani dan hargadiri putra tanahair/senyum Vietnam, keberanian Vietnam/membawa dendam menghantam musuh/Amerika dan boneka bumiputera18 [...]Apa kerja mereka di Afrika,/di Konggo, di Tanzania, di Ghana dan dimana-mana?/Untuk apa mereka di Amerika Latin,/di Kuba, Panama, di Puerto Rico dan disemua pelosok?/Bahkan apa faedah mereka di Eropa dan di bagian lain dunia ini?/Katanya berdagang, tapi dagangannya adalah maut,/Katanya bersahabat, tapi persahabatannya campur tangan,/penipuan dan subversi,/Katanya untuk perdamaian, tapi yang dibawanya adu domba dan/perpecahan,/Katanya untuk kemerdekaan, tapi nyatanya penaklukan baru,/neokolonialisme,/Katanya membantu, tapi bantuannya menjerat leher dan/membelenggu/Katanya membawa kebudayaan, tapi kebudayaannya memabukkan,/pelacuran dan saling tembak,

70

Page 19: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

perlawanan terhadap negara-negara imperialis dan kolonialis itu, didasari oleh

”Bandung Spirit!” Dalam puisi tersebut dengan tegas dinyatakan sikap anti-

Amerika karena negara ini adalah ”setan dunia imperilais Amerika Serikat”.19 Di

samping puisi-puisi tersebut, perlawanan bangsa Indonesia terhadap kelas

imperialis dapat dilacak pada pusi-puisi dalam Gugur Merah yang bertema

perebutan Irian Barat, seperti pada puisi ”Hermanus o Hermanus” karya Sutikno

W.S. (hal. 827).

Perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme ternyata tidak hanya

dilakukan dalam lapangan politik dan ekonomi tetapi juga terjadi dalam bidang

kebudayaan, seperti adanya boikot terhadap film-film Amerika. Boikot ini

dilandasi oleh perasaan setiakawan pengarang-pengarang Asia-Afrika yang

bertujuan mengembangkan film ”tanah airku” dan film ”Nefo” (New Emerging

Forces, negara-negara baru yang sedang bangkit untuk menentang kekuatan

negara-negara yang telah mapan sebagai imperialis dan sekutu-sekutunya). Aksi

boikot film-film Amerika ini dikemukakan dalam puisi ”Aksi Boikot” karya Sitor

Situmorang (hal. 758).

Untuk melengkapi uraian di atas, pada bagian ini dikemukakan kajian

terhadap puisi ”Percikan Api Kemerdekaan” karya M.A. Simandjuntak. Puisi ini

terdiri atas empat bagian dan setiap bagian mengungkapkan satu pokok persoalan.

Hubungan antarbagian tersebut dikaburkan oleh berbagai isu perjuangan melawan

imperialisme dan pandangan-pandangan penyairnya terhadap realitas yang sedang

terjadi dan faktor-faktor emosi (kegelisahan dan kebencian terhadap Amerika).

19 Perlawanan terhadap imperialis (Amerika, Inggris, dan Malaysia) dikemukakan dalam puisi “Jangan Kauhina” (karya S.W. Kuncahjo, hal. 726)

71

Page 20: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

Karena itu, secara keseluruhan puisi ini menyerupai orasi demonstran yang tidak

berarturan dan lebih mengutamakan teriakan ketimbang isi. Namun demikian, di

balik ketidakteraturan tersebut, sebenarnya puisi ini dibangun di atas kerangka

yang kronologis, yaitu imperialisme menyebabkan penderitaan dan kemerdekaan

bangsa-bangsa di Asia Afrika dirampas, bangsa Asia-Afrika harus bersatu sebagai

bangsa yang senasib, dan revolusi adalah jalan terakhir perlawanan kepada

imperialisme. Dari segi struktur, diksi, gaya bahasa, dan tradisi atau konvensi

sastra yang dianut, puisi ini kurang menarik dibicarakan. Namun demikian, yang

paling penting dari puisi ini adalah suara perlawanannya yang lantang dan sikap

antiimperialisme yang sangat kuat. Suara perlawanan di dalam puisi ini diperkaya

dengan berbagai peristiwa penjajahan yang terjadi di berbagai belahan dunia yang

ditulis ulang dalam puisi ini.

Puisi ini adalah suara penyairnya dan bukan suara melalui subjek, dalam

melakukan kecaman atau protes terhadap praktik-praktik imperialisme Amerika di

Asia Afrika. Penyair berseru di atas semangat Bandung (Bandung Spirit) menolak

imperialisme Amerika:

seperti itulah tangan-tangan perkasa membanting zamannyasuatu gelombang lautberita pagi di pantai kemerdekaandan kitapun membaca suatu makna:

Yankee Go Home!No, imperialisme

Kebencian penyairnya kepada Amerika dinyatakan secara lugas. Sikap tersebut

bercampur dengan pernyataan penyair mengenai perlawanan kaum tani di desa-

desa dan perjuangan kaum buruh menyongsong masa depan. Walaupun

percampuran dua pesoalan yang disajikan dalam satu bagian dan mengganggu

72

Page 21: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

kohesi atau kepaduan bagian tersebut, namun melalui ungkapan ”kemerdekaan

tanpa penindasan” terungkap satu maksud bahwa rakyat di Asia Afrika yang

tertindas oleh imperialisme dan kolonialisme serta kaum tani, buruh yang juga

tertindas, bersama-sama tengah berjuang untuk mencapai kemerdekaan melalui

revolusi.

Bagian dua puisi ini dipenuhi oleh berbagai fakta perlawanan rakyat

terhadap imperialisme (di Kalimantan Utara, Kamboja, Vietnam, Laos, Filifina,

Indocina, Korea, dan perlawanan orang Negro di Amerika). Dalam bait ini

penyair menegaskan bahwa yang mereka tuntut adalah kemerdekaan. Maksud

bagian dua puisi ini adalah menyebarkan rasa senasib sebagai bangsa yang

terjajah. Tindak lanjut bagian ini dikemukakan dalam bagian tiga, yaitu seruan

menyatukan diri untuk melakukan perlawanan terhadap imperialisme. Wujud

perlawanan ini adalah revolusi (dikemukakan dalam bagian empat):

sebab revolusi merombak waktusuatu revolusiuntuk sebuah dunia baru.

4.3 Kerja: Produksi Materi

Puisi-puisi yang dibicarakan pada bagian ini menunjukkan (1) makna

bekerja yang menghasilkan materi (benda/jasa) untuk memenuhi kebutuhan pokok

(makan dan pakaian); serta (2) kerja produksi materi yang dipandang sebagai

struktur basis (ekonomi) masyarakat. Sejalan dengan itu, puisi-puisi Gugur Merah

menonjolkan peran massa rakyat sebagai kelas pekerja dan mereka pada

umumnya adalah kaum tani dan buruh. Walaupun pokok ini memaknai kerja

adalah usaha untuk menghasilkan barang sehingga kebutuhan primer manusia

73

Page 22: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

dapat dipenuhi namun penghadiran kelas pekerja (kaum tani dan buruh)

tampaknya tidak sejalan dengan tujuan ekonomi mengingat puisi-puisi tersebut

mengandung maksud lain, yaitu (1) untuk menegaskan bahwa buruh, tani, nelayan

sebagai kelas pekerja namun demikian mereka kurang dihormati, (2) untuk

mendidik dan membangun kesadaran agar berpihak dan membela buruh dan kaum

tani, (3) untuk menyerukan pujian kepada buruh dan kaum tani, dan (4) untuk

menggelorakan semangat kerja/perlawanan kaum tani.

a. Kerja Buruh

Kehidupan buruh sebagai kelas pekerja telah menjadi salah satu tema

umum puisi-puisi dalam antologi ini, seperti halnya dalam puisi berjudul ”Buruh”

karya oleh Andang C.Y. (hal. 176) yang mengemukakan bahwa buruh adalah

”satu kisah tentang cinta dan kerja”. Puisi ini hendak mengatakan bahwa kelas

buruh identik dengan kelas pekerja yang amat mencintai pekerjaannya. Dalam

puisi ”Tangan Seorang Buruh Batu Arang” karya Agam Wispi (hal. 83-84)

digambarkan secara tersirat beratnya kerja kaum buruh, seperti ungkapannya,

”adalah batu arang/yang membakar dan dibakar”.

Pada puisinya yang berjudul ”Surabaya” (hal. 122-131) Agam Wispi

memandang Surabaya sebagai kota dengan semangat kerja atau ”surabaya bau

keringat/bau kerja”. Kisah hidup yang sangat berat seorang pekerja diungkapkan

dalam puisi ”Pulang Kerja” karya S. Anantaguna (hal. 673) namun demikian ia

”tak pernah kalah”. Melalui puisi ”Dia....Buruh” karya Putu Oka (hal. 565) kita

memperoleh gambaran yang cukup lengkap mengenai konsep kerja produksi

materi yang dilakoni oleh kaum buruh. Menurut puisi ini, buruh bekerja keras

74

Page 23: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

menempa baja yang membara. Hal ini menunjukkan bahwa buruh senantiasa

bekerja keras. Walaupun buruh hidup menderita tetapi mereka tetap berjuang

”karena punya cita/karena keyakinan/karena haridepan yang bahagia”.

Kerja keras buruh kayu jati dikemukakan dalam puisi ”Harga Kayu Jati”

karya Rumambi (hal. 644). Walaupun buruh kayu jati kerja keras namun hanya

memperoleh upah yang hanya cukup untuk mempertahankan hidup anak dan

istrinya. Persoalan yang sama juga diungkapkan dalam puisi ”Anak Buruh” karya

S. Rukiah Kertapati (hal. 648). Walaupun hidup dengan kerja keras tetapi buruh

tetap miskin, ironisme yang sering dikemukakan dalam puisi bertema kehidupan

buruh dan rakyat jelatan.

Dibandingkan dengan persoalan-persoalan hidup buruh yang berkisar di

antara ”kerja keras” namun ”menderita/hidup miskin”, ”tidak menyerah” karena

”ada harapan hari depan”, maka konsep kerja buruh dalam puisi ”Praha” karya

Agam Wispi (hal. 87-88) menunjukkan perbedaan dengan persoalan-persoalan

tersebut. Puisi ini mengemukakan bahwa karena kerja maka makanan (roti)

tersedia dan bukan karena doa agama, ”bukan karena menara gereja/tapi karena

kerja maka rumah/tiada putus roti”. Puisi ini menyindir idealisme agama melalui

konsep kerja karena hanya dengan kerja manusia hidup dan bukan karena

kemegahan menara gereja.

Untuk memberi gambaran secara lebih mendalam, dibicarakan puisi

”Anak Buruh” karya S. Rukiah Kertapati. Puisi ini dapat dikatakan mewakili

corak umum puisi-puisi kerakyatan Lekra yang mengandung struktur: (1)

kesadaran atau simpati terhadap derita, (2) berjuang, dan (3) harapan akan

75

Page 24: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

kemenangan. Puisi tersebut menggunakan anak buruh sebagai subjek yang

menyuarakan suara penyair. Bait-bait puisi ini adalah kata-kata narasi sederhana

seorang anak mengenai pekerjaan ayah dan ibunya, penderitaan orang tuanya, dan

pujian kepada orang taunya (buruh):

ayahku menjadi buruhsetiap hari mengeluhkerja beratmeras keringatmencari upaho, tahankan lelah!

ibuku jual sayuranpayah berjalan seharianmembawa bayam, labu, kangkung,kacang, lombok, terong dan jagungbantu ayah cari uango, lupa diri banting tulang!

apabila malam datangayah terlentangdua-dua merenung untungdua-dua merasa payaho, mulialah ibu dan ayah!

kini ayah menderitaibu pedih sengsara[…]

Kutipan di atas memberi gambaran yang sangat jelas tentang derita

kehidupan sebuah keluarga buruh (kerja keras tidak memberi kehidupan yang

sejahtera). Bagi penyair, derita itulah realitas kehidupan buruh. Narasi yang

bersahaja dari seorang anak tersebut, berubah menjadi perlawanan yang terasa

dingin, yang dimulai pada baris ketiga bait keempat ketika ia bersumpah kepada

kedua orang tuanya, bahwa ia akan menjanjikan suatu hari esok:

tapi o, ibu dan ayahtunggulah di hari esok!siaplah di hari esok!

Kesederhanaan dan kelugasan narasi anak-anak terasa hilang pada bait terakhir

puisi karena kalimat-kalimat perlawanan pada enam baris tersebut telah

meluluhkan sosok anak buruh dan narasinya. Terasa ada perbedaan yang sangat

76

Page 25: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

jelas antara bait-bait sebelumnya dengan bait kelima (terakhir) dari puisi ini.

Dengan demikian, bait ini menjadikan puisi tersebut memperoleh nuansa

revolusioner yang khas dalam tradisi Lekra:

kembangkan dada serta dunia bakarlah api menyala-nyalaaku bangkit merampasmukemenangan di tanganmu!esok menang!esok menang!

b. Kerja Kaum Tani

Dalam puisi ”Dago” karya Agam Wispi (hal. 89) dikemukakan bahwa

kaum tani adalah pekerja abadi yang bekerja sepanjang hidupnya untuk

menghasilkan pangan. Kaum tani mulai bekerja ketika subuh karena benih telah

siap ditanam, seperti diungkapkan dalam puisi ”Sentuhan Subuh” karya Azis

Akbar (hal. 210-211) karena itu kaum tani identik dengan pekerja keras, misalnya

yang ditunjukkan oleh seorang petani dari Kawung yang bercucuran keringat

ketika bekerja (dalam puisi ”Pengadilan” karya Kuslan Budiman, hal. 441). Di

Kawung keringat kaum tani bercucuran membasahi tanah sawah. Walaupun tanah

garapan bukan miliknya, namun kaum tani tetap bekerja keras, seperti yang

dikemukakan dalam puisi ”Petani Pulang dari Bui” karya S. Anantaguna (hal.

670), dengan ungkapan ”mencangkuli tanah kerja yang punya”. Kerja keras

kaum tani tampak pada cucuran keringatnya akibat ”dipanggang matahari”, yang

tidak pernah berhenti ”mengayunkan cangkul”. Walaupun keringat bercucuran

namun mereka tidak letih karena perasaan yang menggelora di dadanya (”raksasa

menggempur gunung”), yang dikemukakan misalnya dalam puisi ”Bagi Selembar

Tanah” karya Rumambi (hal. 639).

77

Page 26: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

Puisi-puisi tersebut tampaknya untuk membangun kesadaran bahwa kaum

tani adalah kelas pekerja keras yang tidak kenal menyerah. Puisi-puisi tersebut

tidak membicarakan kerja petani secara ekonomi tetapi adalah alat bagi penyair

untuk membangun alasan yang kuat mengapa kaum tani harus dibela.

Untuk melengkapi uraian di atas, pada bagian ini disajikan analisis

terhadap puisi ”Sentuhan Subuh” karya Aziz Akbar. Puisi ini menghadirkan

suasana subuh di desa petani. Pada mulanya subjeknya adalah penyair sendiri

tetapi kemudian lenyap, digantikan oleh subjek petani. Dengan demikian, puisi ini

menghadirkan subjek ganda, yaitu penyair dan petani. Penyair hadir di dalam

puisi ini sebagai ”aku”. Harmoni puisi ini terganggu oleh bait kedua yang

mengisahkan kerja keras nelayan dan baris kedua pada bait ketiga yang

membicarakan kerja pande besi:

pasir pantai berjejak-jejak tapak nelayandisirami empasan lidah ombaknelayan telah melaut sebelum fajarberdendang tunggal dikesamaran warna subuhperahuku melayani hidupmeniti-niti puncak gelombang

kudengar dentangan besi menimpa bersorak

Selain bait dan baris tersebut, seluruh puisi ini mengenai kehidupan di sebuah

desa petani. Walaupun demikian, puisi ini tetap mengemukakan semangat kerja

seperti dalam kutipan berikut ini.

”mari ke ladang, dikbenih kita masih remaja menanti hari”

kasih, mana aritaku akan merumput.....

Puisi ini juga menyajikan suatu renungan mengenai cinta, kewajiban,

kebahagiaan, dan kedamaian:

kuraih tubuhmu dari mimpi malam

78

Page 27: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

dan debaran jantungku bertanya”adakah gembira yang lebih dari cinta pada hidupcinta pada kewajiban tahu kau, kebahagiaan hidup ini akan hancurjika damai hancur pula

Berhadapan dengan keadaan ini, maka titik berat tetap diberikan kepada pesan

umum puisi ini, yaitu semangat bekerja nelayan, kaum tani, dan tukang besi.

Walaupun demikian, masih ada peluang menggunakan cara pandang lain bahwa

bait tersebut adalah sisipan, inti pemikiran atau pandangan penyair yang

disampaikan melalui subjek (kata-kata petani kepada istrinya), yang bisa pula

menjadi fokus puisi ini. Pada bait itulah penyair menyampaikan pemikirannya

mengenai cinta kepada kewajiban, kebahagiaan dan perdamaian.

c. Kerja Nelayan

Di samping mengemukakan buruh dan kaum tani sebagai kelas yang

bekerja keras, ada pula puisi yang menggambarkan kehidupan dan cara kerja

nelayan, misalnya dalam puisi berjudul ”Nelayan Dilaut Mengarang” karya Azis

Akbar (hal. 208-209). Sebagaimana halnya buruh dan kaum tani yang bekerja

keras, kaum nelayan juga bekerja keras dan mempertaruhkan hidupnya di lautan,

”dalam gulungan gelombang dan dera topan”. Walaupun kerja mereka bukanlah

”menyusur laut tenang” atau tanpa hambatan namun ”selama darah masih merah

dan panas menggelora” nelayan tetap bekerja. Puisi ini mengemukakan kerja

keras nelayan di laut lepas karena mereka mencintai kerja itu sendiri seperti

”merajut kasih dalam gelombang”.

Puisi ”Nelayan Dilaut Mengarang” adalah puisi pujian kepada hidup dan

kerja nelayan. Dari segi kehadiran subjek, puisi ini dapat dibagi menjadi dua,

79

Page 28: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

yaitu (1) penyair hadir sebagai subjek dan (2) nelayan sebagai subjek, yang

dihadirkan melalui teknik kutipan langsung. Dua bait pertama adalah gambaran

kerja atau perjuangan serta pujian penyair kepada nelayan. Nelayan berjuang di

laut lepas menghadapi gelombang, topan, dan karang. Karena itu kerja nelayan

sangat berat. Dengan keyakinan, warna darahnya masih merah, dan panas dalam

tubuh masih menggelora, nelayan tetap bertahan. Gambaran kerja berat nelayan

digambarkan melalui kutipan di bawah ini.

membeku kasih nelayan di laut lepasdalam gulungan gelombang dan dera topanpantai-pantai mengabur pandangan di seluruh tepi kabut tebaldan tujuan dipapasi gunung karanglayar kembang... pecah-pecah... serpih demi serpi mencelup laut

nelayan tiada menyusur laut tenangtapi ia yakin pastiwalau badan direnggut laut buasdan luka-luka menganga ditumpas karangselama darah masih merah dan panas menggelora di keseluruhansia-sia maut menjemput.

Gambaran harapan nelayan yang dikemukkan pada bait ketiga puisi ini

menunjukkan bahwa karya ini ada dalam tradisi besar sastra Lekra, yaitu tradisi

sastra yang melakukan transformasi realitas ke dalam teks yang berstruktur:

penderitaan (hidup tertindas), perjuangan atau kerja keras, dan harapan. Harapan

dalam puisi ini adalah seperti berikut.

pada kasihnya ia berpesan aku tiada kan bersenandung di pulau tenangsebelum darahku membeku biruakan kuciptakan istana karang di laut membentangistana nelayan waktu berjuang.

Dua bait terakhir puisi ini mengulangi apa yang telah disampaikan di dalam bait

pertama dan kedua, dengan cara pengungkapan yang berbeda. Puisi sejenis ini

menunjukkan satu corak puisi Lekra, yaitu menyampaikan pujian kepada rakyat

80

Page 29: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

yang telah bekerja keras. Di samping itu, puisi ini juga menunjukkan corak puisi

Lekra lainnya, yaitu terikat dengan struktur derita hidup, perjuangan, dan harapan.

Dengan demikian, satu corak sastra Lekra yang tidak tampak di dalam karya ini

adalah revolusioner.

d. Kerja dalam Kerangka Revolusi

Puisi-puisi yang dibahas berikut ini mengemukakan berbagai pandangan

penyair terhadap makna kerja dalam kerangka revolusi. Sejalan dengan itu, kerja

keras massa rakyat, tidak selamanya hanya sebatas dalam rangka

mempertahankan hidup dan menyediakan pangan kepada masyarakat, seperti

yang terungkapk dalam puisi ”Darah Merah Diwajah Duka” karya Roemandung

Drastia E.M. (hal. 598-599), kita memahami makna kerja yang lebih tinggi

tingkatannya, yaitu kerja dalam rangka mencapai tujuan sosial. Hal itu tampak

melalui ungkapan ”pantang mnyerah” dan ”siapa datang ia tantang”, ”rela mati

tengah gelanggang” karena prinsipnya adalah ”sekali juang tetap juang”. Dalam

hal ini, makna kerja sama dengan perjuangan yang membutuhkan tekad bulat

untuk menghadapi segala tantangan dan siap mengorbankan jiwa raga.

Sejalan dengan konsep ”kerja adalah perjuangan hidup dan mati” tersebut,

menyiratkan ajakan becermin kepada kerja keras rakyat dalam rangka revolusi di

Cina, sebagaimana para pekerja di kota Hopei ”membongkar gunung”,

”membongkar tanah tandus” atau pekerja-pekerja berbaju koper biru di Peking

dan Shanghai, yang bekerja sepanjang hari sehingga asap pabrik mengepul dari

beribu cerobong (dalam puisi ”Lagu-lagu Tiongkok Baru” karya Sitor

Situmorang, hal. 763-764). Puisi ini mengaskan bahwa kerja rakyat adalah dalam

81

Page 30: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

rangka sebuah revolusi karena ”Revolusi sedang membakar padang” dan

”sosialisme abad ke-20 telah disini” (di China atau Tiongkok). Kerja keras rakyat

dalam rangka revolusi dan mewujudkan masyarakat sosialis, membutuhkan satu

syarat yang utama yaitu rasa setiakawan (dalam, puisi ”Makan Roti Komune”

karya Sitor Situmorang, hal. 765-766).

Konsep kerja yang sejalan dengan konsep tersebut tampak pula dalam

konsep ”kerja sebagai perjuangan” yang dilakukan oleh kaum wanita Komunis

Indonesia (dalam puisi ”Lagu Juang Wanita Sejati” karya Ratnasih, hal. 586-

587). Puisi ini menyerukan ”semangat banteng merah” dalam ”bekerja, belajar

pada massa” untuk mencapai hari esok. Sementara itu, makna kerja yang

dikemukakan dalam puisi ”Merah darah Agung” karya Toga Tambunan (hal. 875)

adalah cinta tanah air dan cinta kepada manusia, ”demi tanah air/dan

manusia/segala cinta/kutumpahkan pada kerja”. Bagi D.N. Aidit, kerja berarti

membela rakyat, sebagaimana diungkapkan dalam puisi ”Aku Ingin Sehat dan

Cerdas” karya R.S. (hal. 625).

Salah satu puisi yang menyinggung tentang kerja, yaitu ”Merah Darah

Agung” karya Toga Tambunan, dianalisis secara utuh dalam bagian ini untuk

melengkapi uraian di atas. Jika judul puisi tersebut dikaitkan dengan isinya, maka

tidak tampak adanya hubungan yang jelas. Isi puisi sama sekali tidak

menunjukkan apa yang dimaksud dengan ”Merah Darah Agung”. Pada bait-bait

awal puisi ini berbicara tentang cinta. Cinta diibaratkan dengan sekuntum bunga

dan tangkainya. Menurut penyair, bunga hanyalah pemberi warna kepada cinta.

Yang terpenting adalah tangkai bunga itu (tangkai cinta) yang berakar di hati:

82

Page 31: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

bunga hanyalah pemberi warnatapi tangkai tempat hidupnyajika tangkao berakar dihatitentu cinta tak pernah mati

Puisi ini adalah suatu penjelasan tentang cinta yang bersumber dari pemahaman

penyairnya dan diarahkan kepada objeknya, yaitu perjuangan atau kerja keras

meruntuhkan tembok-tembok tua dan mendirikan bangunan baru di atasnya:

oleh cintaantarkan nyala hati ini pada pertaruhan kita runtuhkan tembok-tembok tuadan dirikan bangunan baru di atasnya

Bait pada kutipan tersebut memiliki pararelitas dengan pandangan Presiden

Soekarno mengenai revolusi, bahwa revolusi adalah menjebol dan membangun,

membangun dan menjebol (Soekarno, 1964: 397). Dengan demikian, objek cinta

puisi tersebut adalah revolusi. Dengan cinta kepada revolusi maka revolusi akan

berjalan terus sampai kepada tujuannya. Di samping cinta kepada revolusi, pada

bait terakhir dikemukakan bahwa wujud cinta penyair kepada tanah air dan

manusia adalah kerja, seperti pada kutipan di bawah ini.

demi tanah airdan manusiasegala cintakutumpahkan pada kerja

Puisi jenis ini dapat dipandang sebagai corak lain puisi tradisi Lekra karena puisi

ini memaparkan suatu konsep konsep untuk memberi penjelasan kepada

masyarakat, dalam hal ini tentang cinta, hubungannya dengan revolusi, tanah air,

manusia, dan kerja. Walaupun demikian, puisi ini tetap berada di tengah arus

utama tradisinya sendiri karena bersinggungan dengan revolusi.

4.4 Masyarakat Sosialis Indonesia

83

Page 32: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

Konsep tersebut ditelusuri melalui pembicaraan puisi-puisi berikut ini.

Dalam bait pertama puisi ”Mars ke Sosialisme” karya Klara Akustia (hal. 414-

415) dikemukakan kondisi masyarakat yang memberlakukan sistem perbudakan,

pengisapan kapitalis, berlakunya hak milik (atas alat produksi) secara

perseorangan. Sebaliknya, pada bait ketiga, Klara Akustia menuliskan keadaan

negeri sosialis dengan ungkapan, ”Dunia milik bersama”. Melalui puisi tersebut

terungkap bahwa masyarakat sosialis di Indonesia belum dicapai dan tampaknya

baru sebatas ”pintu kedunia fajar bersinar”. Kemiskinan, kemelaratan hidup, dan

derita kaum lemah terjadi karena adanya pengisapan manusia oleh manusia.

Hanya ada satu jalan untuk mengatasi keadaan tersebut, yaitu sosialisme,

sebagaimana dikemukakan dalam puisi ”Pernyataan” karya Toga Tambunan (hal.

874).20

Sosialisme sebagai bentuk masyarakat yang bebas pengisapan/penindasan

manusia oleh manusia, berlakunya hak milik kemasyarakatan atas alat-alat

produksi, terciptanya masyarakat yang bebas dari kemiskinan dan kemelaratan;

belum dicapai. Masyarakat sosialis hanya sebatas harapan atau cita-cita, yang

diungkapkan dalam berbagai istilah.21 Hal itu menunjukkan bahwa cita-cita

ideologi Marxis yang paling tinggi belum dicapai tetapi akan selalu ada keyakinan

bahwa suatu ketika akan dicapai karena masyarakat sosialis atau sosialisme

20 […]karena kutahu siapa aku sekarang/serta kemiskinan dan sosialisme yang pasti datang/aku berjanji mau jadi komunis yang manis/yang takkan menyerah kalah dipenindasan imperialis

21 (kemenangan akan dicapai, tujuan, harapan, hari selalu baru, tanah air sosialis, impian, demokrasi- kemerdekaan bagi rakyat pekerja, dunia yang baru, derita ini pasti berakhir, suatu hari–permbebasan, jaman kehidupan yang lebih baik, melangkah dijalan kemenangan, imprealisme tak lagi lama, hari datang, jalan kedepan, Kedambaan mau lepas dari lapar, lagu kemenangan memasuki daerah baru, surga bukan lagi hanya dongengan, kemerdekaan).

84

Page 33: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

Indonesia tidak terelakkan, sebagaimana dikemuakakan dalam puisi ”Salam”

karya Sutikno W.S. (hal. 835)22 serta dalam puisi ”Makan Roti Komune” karya

Sitor Situmorang (hal. 766). Hal ini hanya dapat dicapai melalui jalan perjuangan

PKI melalui revolusi (”bersama Kawan-Aidit dan PKI”), sebagaimana hal itu

dikemukakan dalam puisi ”Hati Djangan Dibatas Malam” karya Sartono (hal.

748-749) dan puisi ”Aku dan Keyakinan” karya Sobron Aidit (hal. 791).

Cita-cita atau harapan terciptanya masyarakat sosialis identik dengan PKI,

sebagaimana hal itu diungkapkan secara tersurat melalui ungkapan ”panji merah

berikibar” dalam puisi ”Salam” karya Sutikno W.S. yang dianailisis di dalam

bagian ini. Puisi ini adalah pujian, cetusan rasa bangga, dan cinta penyairnya

kepada PKI karena partai tersebut menghembuskan hari baru (sosialisme):

berulang kali kutemui kebanggaan iniketika langit membirupanji merah berkibar di naungannya

tak terucapkanpun kata-kata sekali kutemukan cintabergetar ia seumpama lagumenafaskan hari baru

Pujian atau penghargaan penyairnya juga disampaikan kepada massa yang telah

memilih PKI karena mereka telah menjatuhkan pilihan politik yang tepat. Karena

itu, penyair juga mengemukakan pesan kepada massa agar bersama membangun

keyakinan pada pilihan tersebut bahwa kemenangan akan tercapai, sebagaimana

tampak melalui kutipan di bawah ini.

ah, kawan-kawankepada kalian yang telah menepatkan pilihanapakah yang bisa kusalamkanselain salut dan harapanyakinkan pada diri sendiri tentang kemenangan

dan fajar dari segala fajarlahir dari barisanmu yang besar

22 […]kemenangan dan hari depan/bumi sosialis tak terelakkan

85

Page 34: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

kemenangan dan hari depan bumi sosialis tak terelakkan

Puisi ini menegaskan bahwa masyarakat sosialis belum tercapai tetapi jalan untuk

mencapainya sudah ada, yaitu PKI. Keyakinan atau rasa optimis seperti ini adalah

gejala umum dalam puisi-puisi Lekra, yang bersumber dari kesadaran penyair

terhadap fungsi sosialnya di tengah-tengah perjuangan massa rakyat pekerja

dalam membebaskan diri dari hidup menderita atau tertindas. Dengan cara itulah

sastra difungsikan dalam kehidupan nyata dan memperoleh nilai artistik yang

tinggi.

4.6 Representasi Ideologi Marxis dalam Puisi

Berdasarkan kerangka yang digunakan (massa rakyat pekerja sebagai

pencipta sejarah, perjuangan kelas, manusia harus berproduksi atau bekerja, dan

sosialisme) dapat dikemukakan bahwa puisi-puisi antologi Gugur Merah

merepresentasikan ideologi Marxis. Di samping itu, puisi-puisi tersebut juga

menunjukkan pararelitas dengan pandangan Aidit mengenai Mrxisme, yang

dijabarkan dalam teks nonsastra, yaitu buku Tentang Marxisme. Puisi-puisi

tersebut sebagai penjabaran dan sekaligus berfungsi sebagai alat pendidikan

ideologi, pujian kepada partai, dan ruang untuk membangun optimisme dan

harapan. Temuan tersebut berhubungan dengan pandangan bahwa sastra harus

menjadi alat partai, bagian pekerja partai demokratik sosial yang terorganisasi,

metodik, dan bersatu (Barry, 2010: 186). Representasi ideologi Marxis yang

diakomodasi oleh PKI tampak dengan jelas melalui diksi yang digunakan (tabel 1,

86

Page 35: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

2, 3, 4, dan 5 dalam lampiran). Diksi yang digunakan dalam puisi-puisi tersebut

adalah sarana utama bagi para penyair dalam rangka mengemukakan tema,

menyatakan sikap (membela massa rakyat pekerja yang tertindas, revolusioner),

membangun harapan, dan mengembangkan nilai-nilai kesetiakawanan di kalangan

bangsa-bangsa terjajah. Karena itu, puisi-puisi Lekra bercorak khas melalui diksi

yang digunakan secara umum. Dengan demikian, diksi menjadi unsur yang sangat

penting dalam puisi-puisi Lekra ketimbang unsur-unsur lainnya (persajakan,

tipografi, gaya bahasa, nada).

Puisi-puisi tersebut juga mengandung tujuan revolusioner dalam rangka

mencapai tujuan politis, yaitu perjuangan menuju masyarakat sosialis. Hal ini

sejalan dengan pendapat Ratna (2007: 372-373) bahwa sastra ideologis dan

propagandis adalah sastra yang bertendens, yang lebih menitikberatkan kepada

fungsi dan manfaat karya dalam rangka melaksanakan niat subjek (pengarang

sebagai anggota masyarakat). Sastra ideologis dikaitkan dengan teori sastra

Marxis yang mengharuskan karya sastra mengandung maksud yang sejalan

dengan kepentingan partai.

Sejalan dengan itu, sastra Marxis tidak semata-mata mengungkapkan

realitas tetapi juga mengemukakan realitas yang seharusnya terjadi, yang

diinginkan bersama. Walaupun sastra Marxis dihasilkan oleh individu tetapi ia

adalah anggota suatu kelas dan karya sastranya adalah suara kelasnya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, puisi-puisi yang terhimpun dalam

antologi Gugur Merah tidak hanya mengungkapkan persoalan sosial politik

bangsa Indonesia melalui sudut pandang PKI tetapi juga mengungkapkan realitas

87

Page 36: BAB v Ideologi Dalam Gugur Merah

yang seharusnya yaitu masyarakat sosialis. Dengan demikian, puisi-puisi tersebut

adalah suara-suara kelas massa rakyat pekerja yang tertindas, disuarakan oleh

penyair-penyair yang menjadi wakil kelas.

88