bab lima petani dan ketahanan pangan di subak wongaya...

33
85 Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB) Desa Mangesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan Pengantar Di tengah pilihan serba sulit antara mempertahankan lahan pertanian atau mengalihfungsikan lahan untuk keperluan perumahan maupun pariwisata, petani di Subak Wongaya Betan (SWB) ternyata masih setia menekuni kehidupan sebagai petani. Hal ini terbukti dengan masih cukup luasnya lahan baik sawah maupun lahan perke- bunan di wilayah tersebut. Demikian juga sebagian besar masyarakat menggantungkan kehidupannya dari bertani baik di sawah maupun di perkebunan. Dari data Monografi Desa Mengesta (2003) ternyata dari 106 Kepala Keluarga (KK) di Desa tersebut, 96 kepala keluarga terma- suk ke dalam anggota Subak Wongaya Betan. Hal ini berarti paling tidak ada 96 KK yang masih memiliki dan mengerjakan sawahnya, sedangkan sisanya walaupun tidak memiliki sawah, tetapi mereka paling tidak masih memiliki kebun untuk digarap. Walaupun secara luas garapan petani di Subak Wongaya Betan rata-rata hanya maksimal 0,5 hektar, akan tetapi mereka masih tetap mengusahakan lahan sawahnya dengan serius. Hal ini dapat dilihat dengan masih memben- tangnya areal persawahan di wilayah ini. Menurut data terakhir (2010) areal sawah beririgasi setengah teknis di subak ini seluas 76 hektar. Di

Upload: phamtuyen

Post on 06-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

85

Bab Lima

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB) Desa Mangesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan

Pengantar

Di tengah pilihan serba sulit antara mempertahankan lahan pertanian atau mengalihfungsikan lahan untuk keperluan perumahan maupun pariwisata, petani di Subak Wongaya Betan (SWB) ternyata masih setia menekuni kehidupan sebagai petani. Hal ini terbukti dengan masih cukup luasnya lahan baik sawah maupun lahan perke-bunan di wilayah tersebut. Demikian juga sebagian besar masyarakat menggantungkan kehidupannya dari bertani baik di sawah maupun di perkebunan. Dari data Monografi Desa Mengesta (2003) ternyata dari 106 Kepala Keluarga (KK) di Desa tersebut, 96 kepala keluarga terma-suk ke dalam anggota Subak Wongaya Betan. Hal ini berarti paling tidak ada 96 KK yang masih memiliki dan mengerjakan sawahnya, sedangkan sisanya walaupun tidak memiliki sawah, tetapi mereka paling tidak masih memiliki kebun untuk digarap. Walaupun secara luas garapan petani di Subak Wongaya Betan rata-rata hanya maksimal 0,5 hektar, akan tetapi mereka masih tetap mengusahakan lahan sawahnya dengan serius. Hal ini dapat dilihat dengan masih memben-tangnya areal persawahan di wilayah ini. Menurut data terakhir (2010) areal sawah beririgasi setengah teknis di subak ini seluas 76 hektar. Di

Page 2: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

86

samping itu keseriusan Subak Wongaya Betan dalam mempertahankan dan berinovasi pada lahan garapannya adalah dengan keberhasilan subak ini meraih sertifikat beras organik dari Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman (LeSoS) No. LSPO-005-IDN-010 pada tanggal 3 Nopember 2009.

Dengan diraihnya sertifikat beras organik tersebut maka ada penghargaan dan tanggung jawab yang harus dijalankan oleh Subak Wongaya Betan untuk tetap mempertahankan areal sawah serta ling-kungan sekitarnya dan tetap menjaga produksi dengan baik dan berkelanjutan. Apakah fenomena ini merupakan sesuatu yang bernilai positif bagi wacana ketahanan pangan dan hayati baik di lingkup nasional maupun internasional. Walaupun lingkup Subak Wongaya Betan mungkin masih bersifat daerah dan relatif sempit, akan tetapi apa yang telah menjadi pencapaian subak ini akan mampu memberikan pengaruh yang positif bagi wilayah-wilayah lainnya sehingga prioritas pencapaian program ketahanan pangan1 dan hayati2 akan mampu di-akselerasi secara lebih luas baik secara nasional maupun internasional.

Melalui Bab ini akan diulas tentang pemahaman petani tentang ketahanan pangan dan ketahanan hayati yang menjadi salah satu program prioritas pemerintah Indonesia, serta kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh petani di Subak Wongaya Betan dalam rangka mewu-judkan ketahanan pangan dan ketahanan hayati di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya.

Sisi Negatif Revolusi Hijau

Pada saat paket teknologi modern (Revolusi Hijau) diperkenalkan pertama kali pada tahun 1960-an di Indonesia, petani anggota Subak Wongaya Betan pun harus mengikuti program-program tersebut.

1 Ketahanan pangan: menurut konsep FAO (2004) adalah bagaimana pangan (beras) tersedia dan mampu dibeli oleh masyarakat, dan masyarakat memiliki akses untuk memanfaatkan ketersediaan pangan tersebut. 2 Ketahanan hayati (biodiversity, atau Biosecurity (CRC term) adalah bagaimana sumberdaya hayati (alam) mampu dipertahankan kelestariannya dan berlanjut dapat dimanfaatkan bagi generasi berikutnya.

Page 3: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

87

Paket ini diawali dengan adanya program Bimas (Bimbingan Massal), yang memiliki beberapa tahapan teknologi yaitu program Panca Usaha Tani yang kemudian berkembang menjadi Sapta Usaha Tani, dan pada akhirnya menjadi Insus (Intensifikasi Khusus) dan Supra Insus. Semua program ini menekankan pada upaya mendapatkan hasil yang semaksi-mal mungkin dengan mengefektifkan teknologi. Dalam rangka me-maksimalkan hasil maka mulailah pertanian diarahkan untuk menggu-nakan varietas unggul (yang pada saat itu masih diimpor dari luar negeri), kemudian pemupukan dengan pupuk anorganik (program inilah yang mendorong petani untuk menggunakan pupuk kimia, berikutnya adalah pemberantasan hama dan penyakit (menggunakan insektisida dan pestisida kimia).

Pemerintah dalam mensukseskan revolusi hijau selain memberi-kan wewenang kepada Dinas Pertanian di masing-masing Kabupaten, seluruh aparat dari tingkat Banjar, Desa, Kecamatan sampai ke pengurus subak juga dilibatkan. Menurut hasil wawancara di lapangan dengan Pekaseh subak, pada awal pelaksanaan revolusi hijau seringkali pihak pemerintah bertindak provokatif dan arogan. Bahkan menurut Pekaseh tidak jarang pemerintah melibatkan ABRI (Angkatan Bersen-jata Republik Indonesia) untuk mendorong pelaksanaan program revolusi hijau di lapangan.

Di lingkup Subak Wongaya Betan ternyata ada beberapa anggota subak yang kurang sependapat dengan revolusi hijau karena sebagian dari mereka sudah memahami bahwa program ini berdampak tidak baik untuk jangka panjang. Akan tetapi karena pendekatan dilakukan melalui subak (awig-awig subak merupakan aturan tertinggi dan tidak boleh dilanggar), maka anggota subak dengan terpaksa mengikuti dan melaksanakan paket revolusi hijau tersebut. Karena kalau ada yang diketahui melanggar awig-awig tersebut, maka subak akan mengena-kan sanksi kepada petani yang melanggar. Jadi penerapan paket revolusi hijau di Subak Wongaya Betan termasuk sangat sukses, karena anggota subak tidak akan berani bertentangan dengan awig-awig subak.

Page 4: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

88

Berkat teknologi yang memaksimalkan hasil ini maka pada tahun 1984, secara nasional Indonesia mampu berswasembada beras (Sisworo, 2007). Prestasi ini membawa Indonesia berhasil mencukupi sendiri kebutuhan beras dan malahan berhasil mengekspor beras ke luar negeri. Pada saat itu memang petani dibuat percaya bahwa pemupukan kimia sebagai senjata ampuh untuk dapat berproduksi dengan cepat dan maksimal. Khusus bagi petani anggota Subak Wongaya Betan, yang sebelumnya memiliki kebiasaan menanam padi lokal (padi del) yang berumur 6 bulan, dengan paket revolusi hijau ini mereka melakukan kombinasi penggunaan benih yang bersifat genjah (umur panen 3 bulan). Dengan teknologi ini petani merasakan produktivitas lahan meningkat hampir dua kali dibandingkan dengan penggunaan varietas lokal (umur panen 6 bulan). Secara nasional, dari data yang dikemuka-kan Sutanto (2000: 15), maka Indonesia berhasil meningkatkan produksi berasnya sampai 50-60 persen.

Kesuksesan program maksimalisasi produksi yang pada awalnya membawa peningkatan hasil yang sangat signifikan, ternyata pada akhirnya membawa dampak yang sangat merugikan bagi elemen-elemen yang terkait di Subak Wongaya Betan, misalnya seperti terjadi perubahan pola tanam, substitusi penggunaan sapi ke penggunaan traktor, cara pemanenan menggunakan ani-ani diganti dengan sabit. Di samping itu beberapa praktik tradisional yang sudah mengakar di masyarakat seperti penggunaan varietas lokal, pemupukan dengan bahan alami (lelemekan)3 dan hubungan sosial yang saling mengerat-kan akhirnya mengalami perubahan dan malahan terdegradasi. Berda-sarkan wawancara dengan Bu Wayan (istri Klian subak) dan beberapa data pada monografi yang ada di Subak Wongaya Betan ternyata dengan pertanian modern beberapa aspek yang terkait dengan pertani-an seperti sumberdaya alam pertanian, kelembagaan pertanian, praktik tradisional, ritual pertanian, dan peran perempuan dalam pertanian mengalami distorsi dan melemah.

3 Lelemekan: adalah pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan, biasanya berasal dari hewan sapi

Page 5: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

89

Degradasi Sumber Daya Alam

Dampak negatif pada elemen sumber daya alam dicerminkan dengan adanya penurunan kualitas lahan pertanian, hal ini dibuktikan dengan hasil analisis tanah yang dilakukan oleh BPTP (Balai pengkajian Teknologi Pertanian) Bali (Wiguna, 2006). Dari hasil analisis tersebut secara umum kesuburan tanah telah menurun drastis yang dirasakan oleh petani SWB dalam bentuk penurunan hasil yang signifikan. Di samping itu dengan adanya penanaman padi yang terus menerus (tiga kali) dalam setahun, serangan hama dan penyakit teru-tama tikus dirasakan juga sebagai hal yang mempengaruhi penurunan hasil. Hal ini tercermin dari kutipan wawancara berikut (Pak Eka, Januari 2010):

Karena pada revolusi hijau petani dianjurkan untuk menggu-nakan pupuk anorganik dan pestisida yang terus menerus sehingga terjadi kerusakan tanah pertanian dan menyebarnya penyakit seperti hama wereng coklat, wereng hijau dan juga hama tikus. Seperti petani yang berada diluar kelompok kami itu hampir tiga kali gagal panen karena hama tikus.

Selain berdampak pada semakin tingginya serangan hama dan

penyakit baik berupa wereng maupun serangan tikus, teknologi revolusi hijau juga berpengaruh pada penurunan kualitas air irigasi. Hal ini dibuktikan dengan hasil analisis kualitas air pada sumber air Subak Wongaya Betan yang difasilitasi oleh BPTP Bali. Menurut Pak Alit Artha Wiguna (staf BPTP) yang secara kontinu melakukan pen-dampingan di Subak Wongaya Betan, bahwa dari hasil analisis ternyata air irigasi di wilayah Subak Wongaya Betan memiliki kandungan BOD (Biochemical Oxygen Demand) yang cukup tinggi. Nilai BOD menun-jukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan makhluk hidup untuk memecah bahan-bahan yang terlarut (bahan buangan) dalam air. Jadi semakin tinggi nilai BOD semakin tinggi oksigen yang dibutuhkan untuk memecah bahan-bahan terlarut yang kemudian menyebabkan kandungan oksigen air rendah. Hal ini berarti bahwa air tersebut tidak layak untuk dikonsumsi sebagai air minum, walaupun pemanfaatan untuk air irigasi masih baik.

Page 6: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

90

Pengaruh secara tidak langsung juga terjadi pada menghilangnya flora dan fauna sawah yang menguntungkan petani seperti belut, cacing, kodok, capung, dan ganggang. Hal ini tercetus dari hasil wa-wancara dan observasi di lapangan bahwa beberapa tahun belakangan ini sangat jarang ada pemandangan yang sekian puluh tahun yang silam akan sangat mudah dijumpai yaitu beramai-ramainya penduduk baik tua, muda dan anak-anak memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Hal ini membuktikan bahwa dengan adanya pencemaran yang disebabkan penggunaan bahan-bahan kimia di pertanian maupun industri, maka secara keseluruhan kualitas air menurun dan tidak layak lagi untuk dimanfaatkan sebagai kebutuhan air untuk rumah tangga.

Memang salah satu ciri bahwa kualitas air suatu wilayah masih bagus adalah adanya flora dan fauna sawah, yang memang memiliki fungsi yang menguntungkan bagi petani, dan flora-fauna ini pernah menghilang di kawasan ini (Kartini, wa-wancara bulan Maret, 2010).

Melemahnya Sistem Internal Subak

Sistem internal subak yang dimaksud adalah bagaimana organi-sasi subak mengatur awig-awig (peraturan) untuk mengikat anggota-nya, bagaimana organisasai subak mengatur hubungan antara anggota subak dengan lembaga tradisional lainnya seperti lembaga Adat, dan lembaga Agama di lingkungannya. Dari data empiris di lapangan ternyata adanya revolusi hijau berdampak pada tergerusnya beberapa praktik-praktik tradisional dalam pertanian yang secara turun-temurun telah dilakukan oleh petani misalnya seperti menggunakan padi lokal (beras merah), traktorisasi (petani beralih dari membajak memakai sapi ke penggunaan traktor), padahal penggunaan sapi akan jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan traktor. Seperti petikan wawan-cara berikut (Alit Artha Wiguna, 2009):

Oya perlu juga diketahui bahwa sapi-sapi ini juga digunakan sebagai pembajak sawah, memang kalau dari sisi teknologi penggunaan sapi seolah akan memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan traktor. Padahal tidak. ...malahan dengan traktor lapisan olah tanah tidak sempurna

Page 7: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

mengalami pembalikan sehingga dari waktu ke waktu lapisan yang subur dari tanah akan tergerus.

Penggunaan sapi sebagai tenaga pembajak dari segi ekonomi

lebih menguntungkan karena pada saat tidak mengerjakan sawah maka sapi-sapi tersebut masih memiliki fungsi yang menguntungkan, misal-nya dimanfaatkan kotoran dan urinenya untuk pupuk organik dan juga bisa dijual. Demikian juga dari segi efisiensi waktu, hal ini karena sebagian besar posisi areal sawah di subak ini pada topografi miring. Jadi ukuran petakan sawah biasanya lebih sempit karena menggunakan sistem terasering. Petani anggota Subak Wongaya Betan telah mem-buktikan bahwa penggunaan sapi lebih menguntungkan di bandingkan dengan traktor, sehingga pada saat ini setiap kepala keluarga petani pasti memelihara minimal 2-3 ekor sapi yang dikandangkan di dekat areal sawah masing-masing. Berdasarkan hasil penuturan salah seorang informan, kadangkala sapi-sapi ini akan dimanfaatkan atau dijual pada saat petani mengalami kesulitan modal untuk usaha taninya ataupun untuk keperluan lainnya seperti pelaksanaan ritual ataupun keperluan pendidikan anak-anak mereka. Sedangkan penggunaan traktor menu-rut mereka akan memiliki nilai ekonomis yang menurun pada saat tidak ada jadwal pengerjaan sawah.

Gambar 12 Petani membajak sawah menggunakan tenaga sapi

Sumber: Martiningsih, 2010

91

Page 8: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

92

Menurut pandangan hampir sebagian besar anggota SWB ternya-ta teknologi Panca Usahatani, Sapta Usahatani, Insus dan Supra Insus akhirnya hanya merupakan teknologi yang mengeksploitasi lahan pertanian tanpa memikirkan keberlanjutan dari lahan tersebut. Akibat dari teknologi-teknologi di atas pengolahan lahan dilakukan secara intensif dengan menggunakan bahan-bahan kimiawi sehingga keru-sakan fisik dari lahan tersebut tidak dapat dihindari. Penentuan jadwal tanam akhirnya berubah akibat adanya pasokan bibit genjah (tiga bulan panen), yang menyebabkan penanaman tidak serentak. Padahal aturan tanam dalam subak sudah ditentukan sesuai dengan aturan kertamasa4 dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi baik sanksi material, sanksi sosial, dan sanksi spiritual (berupa ritual). Implikasi dari ketidakseragaman jadwal penanaman akan berimbas pula pada aturan pelaksanaan ritual pertanian, karena dalam organisasi subak pelaksanaan ritual pertanian akan selalu terkait dengan siklus hidup dari tanaman yang ditanam. Misalnya saja ritual mendak toya yang biasanya mengawali runtutan ritual dalam subak, tidak akan mampu dilaksanakan serentak apabila jadwal penanaman tidak sama. Demi-kian juga akan berlanjut pada pelaksanaan ritual-ritual yang lainnya (Nengah, Januari 2010).

Dengan adanya varietas baru yang memiliki umur 3 bulan panen, maka semua jadwal untuk melakukan ritual pertanian dalam subak menjadi kacau. Dan hal ini sangat diyakini meru-pakan penyebab dari semakin meluasnya hama dan penyakit di kebun. Tidak hanya itu, dengan adanya bibit genjah keragaman bibit

lokal (umur panen 6 bulan) yang dimiliki petani juga telah beralih tangan. Sebelum Revolusi Hijau, Indonesia memiliki hampir 10.000 macam jenis bibit padi lokal (padi del). Semuanya tersimpan dalam IRRI (International Rice Research Institute) di Filipina dan menjadi milik AS. Kini hanya tinggal sekitar 25 jenis bibit padi lokal yang masih tersisa di Indonesia. Kearifan petani pun dimatikan dengan penyera-gaman. Kemandirian digantikan dengan ketergantungan. Keseimbang-

4 Kertamasa: penjadwalan tanam yang serempak diantara anggota subak dan sudah tersurat dalam awig-awig subak.

Page 9: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

93

an lingkungan dan sosial terganggu akibat penggunaan bahan-bahan kimia non organik tinggi seperti pupuk buatan, insektisida, pestisida, fungisida dan herbisida. Yang paling parah adalah hancurnya kelem-bagaan pertanian (terutama kelembagaan tradisional) yang dulunya mampu mengikat masyarakat terutama petani dengan norma dan etika yang berdasarkan pada nilai-nilai tradisional yang menjunjung tinggi kebersamaan, penghargaan terhadap alam, dan menjaga hubungan dengan Sang Pencipta (hubungan subak dengan agama). Filosofi ini sangat kental dianut dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Hindu Bali dan petani (khususnya) yang disebut dengan Tri Hita Karana (THK). Tri Hita Karana ini merupakan filosofi yang menjunjung tinggi tiga arah hubungan atau relasi yaitu menjaga hubungan dengan Sang Pencipta, membina hubungan baik dengan sesama, dan menghargai serta memelihara hubungan yang harmonis dengan alam dan ling-kungan termasuk pertanian. Konsep-konsep THK ini sampai saat ini masih diyakini masyarakat Hindu Bali yang salah satunya diimplemen-tasikan dengan pelaksanaan upacara (ritual) pada setiap kegiatan pertanian.

Berdasarkan wawancara dan observasi lapangan, petani Subak Wongaya Betan merasa bahwa apabila praktik-praktik pertanian yang menggunakan asupan kimiawi ini dilaksanakan dalam jangka waktu yang panjang maka akan menyebabkan kerusakan yang tidak akan dapat kembali seperti kondisi awal. Hal ini dikhawatirkan oleh Pak Nengah sebagai petani pelopor di Subak Wongaya Betan untuk kembali melakukan praktik pertanian organik. Karena sebagai petani pelopor Pak Nengah selalu ingin tahu dan mencari tahu tentang teknologi baru yang mampu mencegah kerusakan dari dampak negatif pertanian kimiawi. Dampak dari sisi sosial dan budaya sudah dirasakan juga yaitu semakin melemahnya keeratan hubungan sosial di antara anggota subak dan juga di antara subak yang satu dengan lainnya. Hal ini disebabkan karena begitu intensifnya bantuan dan subsidi pemerin-tah baik itu berupa pupuk, pestisida, insektisida kimiawi, benih serta semakin luasnya akses untuk memperoleh kredit pertanian, bantuan pembangunan irigasi teknis secara meluas sampai dengan mengerahkan para penyuluh pertanian untuk menyebarkan teknologi. Dengan

Page 10: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

94

adanya program-program ini maka sistem kelembagaan dalam subak seolah dihapuskan fungsinya, oleh karena semuanya telah diambil alih oleh pemerintah. Apalagi dengan adanya penetapan harga dasar gabah oleh pemerintah, seolah semakin membuat petani terpasung dalam setiap gerakan dan aktivitasnya. Karena dari hasil wawancara dengan penetapan harga gabah oleh pemerintah, petani selalu memperoleh harga yang lebih rendah dibandingkan dengan jika gabah dijual kepada pembeli yang independen.

Dari kondisi ini pada akhirnya memang program ini hanya meru-pakan sebatas wacana yang dijanjikan akan mampu mensejahterakan petani. Karena ternyata sampai saat ini dengan pergantian pemerin-tahan dan kebijakan hampir 40 tahun, nasib petani masih mengalami himpitan kesulitan secara terus menerus, dan bahkan semakin menge-naskan. Hal ini dapat dilihat dari data yang dikemukakan oleh Prof. Bustanul Arifin dalam kolom Kompas Senin, 18 April 2011 bahwa dengan teknologi penggunaan pupuk kimia saat ini petani selain mendapat tekanan pada penentuan harga dasar gabah, tetapi juga pada tatanan kebijakan subsidi pupuk. Menurut data Bustanul Arifin harga eceran terendah (HET) yang ditetapkan pemerintah sering merugikan petani, padahal dari data Badan Pusat Statistik (2009) di Indonesia sebanyak 68,0 persen petani padi menggunakan pupuk kimia dan 23,5 persen menggunakan pemupukan berimbang (organik dan anorganik). Jadi secara total jumlah petani padi yang tergantung pada pupuk anorganik hampir 91 persen. Hal ini bukan saja disebabkan oleh ken-dala dari dalam, tetapi juga karena tekanan negara dan situasi ekonomi secara keseluruhan yang tidak berpihak pada petani negeri ini.

Tekanan negara yang dimaksudkan adalah bagaimana negara hanya mewacanakan pertanian sebagai basis kehidupan masyarakat, tanpa mendukung dengan kebijakan dan regulasi yang memihak kehi-dupan petani itu sendiri, misalnya saja seperti penetapan harga gabah yang seharusnya mampu memberikan posisi tawar yang menguntung-kan bagi petani ternyata tidak berlaku sesuai dengan yang diharapkan. Terlalu banyak yang bermain di dalam kebijakan harga dasar gabah tersebut. Contoh lain adalah dalam kebijakan subsidi pupuk, ternyata

Page 11: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

95

banyak juga dipermainkan oleh distributor yang dalam hal ini sebagai pihak yang diberikan otoritas oleh pemerintah untuk penyebaran pupuk kepada petani. Nasib petani di negara ini hampir sama dengan judul sebuah film komedi ”maju kena mundur kena”.

Selain tantangan-tantangan di atas, ternyata ada kendala dari dalam yang juga sangat berpengaruh yaitu ketidak percayaan diri petani terhadap situasi yang menimpa kehidupan mereka sebagai petani dan juga ketidakpastian petani terhadap masa depannya sebagai seorang petani. Situasi ini akan berdampak melemahkan indentitas petani tersebut. Kehilangan identitas merupakan hal yang mendasar bagi seseorang karena manusia tanpa identitas sama dengan manusia tanpa penghargaan baik terhadap dirinya maupun penghargaan dari orang lain (Sen, 1999).

Berkurangnya Peran Perempuan

Kebijakan revolusi hijau menyebabkan petani hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan oleh penguasa melalui penyuluh pertanian lapangan (PPL) dan penyuluh pertanian spesial (PPS) selama berpuluh-puluh tahun. Petani hanya menjadi pelaksana program di tanahnya sendiri. Kepemimpinan lokal yang biasa tumbuh diantara petani dimusnahkan, begitu pula proses belajar mengajar di antara mereka. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa di antara subak atau di dalam subak sering terbentuk kelompok-kelompok sosial yang disebut sekaha. Dalam beberapa sekeha seperti sekeha manyi, sekeha nebuk, sekeha mejukut (kelompok dalam menyiang padi dan sekeha nandur (kelompok dalam menanam) lebih sering beranggotakan perempuan. Demikian juga halnya dengan beberapa perempuan di Subak Wongaya Betan yang juga menjadi anggota dari sekeha-sekeha tersebut. Salah satunya adalah mertua dari Ibu Wayan Ratmini ber-umur 65 tahun yang dulunya pernah menjadi sekeha manyi dan sekeha nebuk.

Dari ceritanya bahwa waktu petani di daerah ini masih hanya menanam padi lokal (dalam ingatan ibu disebut padi mansur dan lokal merah), maka sekeha manyi dan sekeha nebuk sangat sibuk. Hal ini

Page 12: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

96

disebabkan karena hampir setiap hari mereka harus melayani orderan dari pemilik sawah yang sudah saatnya panen. Jarak yang ditempuh pun sangat bervariasi, karena jasa mereka dapat dimanfaatkan sampai ke daerah-daerah di luar Desa Mengesta dan kawasannya. Bahkan menurut ingatannya mereka pernah melakukan pemanenan sampai ke Kota Tabanan. Kalau daerah panen berlokasi jauh dari kampung halaman mereka, maka mereka biasanya menginap di tempat tersebut, bisa sampai seminggu.

Dari hasil pekerjaan mereka, maka perempuan-perempuan ini memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peningkatan pendapat-an dari keluarga mereka. Walaupun pada jaman itu uang dicari sangat sulit, akan tetapi dengan adanya kegiatan sekeha ini maka keadaan ekonomi keluarga petani masih dapat diatasi. Pada masa sebelum padi unggul di tanam, sekeha-sekeha pun memiliki peran sebagai penyeleksi benih padi yang akan digunakan sebagai bibit pada musim tanam beri-kutnya. Sejak teknologi revolusi hijau dipraktikkan maka semua peran sekeha-sekeha ini tidak eksis lagi, karena dengan adanya penanaman padi unggul panen dapat dilakukan dengan mesin perontok yang me-merlukan sedikit tenaga. Demikian juga halnya dengan benih yang digunakan sudah disediakan oleh pemerintah melalui kios-kios benih unggul, sehingga fungsi perempuan sebagai penyeleksi benih di usaha-tani keluarga juga tidak ada lagi.

Praktik-praktik tradisional yang sebelumnya memerlukan keter-libatan perempuan, selama teknologi modern diaplikasikan melemah. Pada waktu penanaman bibit lokal, padi yang telah dipanen akan di-tumbuk terlebih dahulu dengan alat penumbuk (luu) dan ini biasanya dilakukan oleh perempuan. Demikian juga pada saat penjualan hasil panen, maka yang menjual padi ke pasar adalah perempuan. Akan tetapi karena semua sarana produksi disediakan oleh pemerintah maka harga padi dan tempat penjualannya pun ditentukan oleh pemerintah. Dalam hal ini pemerintah sudah menetapkan Koperasi Unit Desa (KUD)5 untuk penyaluran pemasaran hasil panen. Peran perempuan

5 Walaupun saat ini melalui program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) peran perempuan didorong untuk lebih maju dan mandiri. Akan sangat

Page 13: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

97

dengan sendirinya telah digantikan dalam berbagai aspek sampai pada proses-proses pasca panen selanjutnya.

Di samping melemahnya fungsi perempuan melalui tidak eksis-nya keberadaan sekeha-sekeha, ternyata teknologi revolusi hijau ber-dampak juga pada tidak seragamnya pelaksanaan ritual pertanian yang dilakukan oleh petani. Penggunaan benih unggul menyebabkan peru-bahan pola tanam yang berdampak pada dilanggarnya ketentuan kertamasa (penanaman serempak). Dengan penanaman yang tidak serempak, maka beberapa jadwal ritual terutama yang dilaksanakan secara kolektif oleh subak pun akan terpengaruh. Misalnya ritual ”ngusaba” yang biasanya dilakukan seluruh anggota subak beberapa hari sebelum panen tidak dapat dilaksanakan karena panen yang dilakukan oleh anggota subak tidak serempak. Jadi perempuan yang biasanya berperan sentral dalam persiapan dan pelaksanaan ritual ini tidak bisa berperan aktif. Hal ini juga melemahkan keeratan hubungan antar anggota subak. Karena dengan waktu panen yang tidak sama, maka tiap-tiap anggota subak cenderung melakukan ritual secara indi-vidu. Padahal dalam setiap pelaksanaan ritual kolektif sebenarnya terjadi interaksi yang intensif antar anggota subak melalui pelaksanaan pertemuan (sangkep), persiapan sesajen dan pada pelaksanaan ritual.

Kembali ke Warisan Leluhur (Kearifan Lokal)

Upaya mengusir hama wereng justru mendatangkan kematian bagi Wayan Pongot, seorang petani di Desa Wanasari Tabanan. Siang itu warga dikejutkan oleh kondisi yang menurun drastis dari Wayan Pongot yang baru saja pulang dari sawah habis melakukan penyem-protan hama wereng yang menyerang sebagian besar tanaman padi petani. Petani yang dikenal rajin tersebut mendadak merasakan dada-nya sesak disertai dengan mata yang berkunang dan kemudian pingsan. Pihak keluarga berusaha menolong Wayan Pongot dengan membawa ke rumah sakit tapi sayang dalam perjalanan menuju rumah sakit Pongot meninggal.

berbeda dengan KUD, yang cenderung mengambil alih fungsi perempuan sebagai penjual hasil panen.

Page 14: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

98

Kami tidak tahu apa yang menyebabkan kematian Pongot yang sangat mendadak. Tapi yang jelas pagi itu dia menyemprot tanaman padinya dengan pestisida tanpa memakai masker. Mungkin saja dia keracunan, karena pada saat mengaduk obat dia tidak menggunakan sarung tangan, sedangkan angin pagi itu bertiup sangat kencang. Demikianlah kenangan para petani kawan Wayan Pongot mengenang kematian temannya yang sangat tragis. ”Kata dokter memang kematian Pongot karena keracunan pestisida”, Nang Mis menambahkan.

Peristiwa mengenaskan tersebut terjadi sekitar tahun 1985 di

desa tetangga yaitu Desa Wanasari. Cerita di atas sebenarnya adalah sebuah contoh tragedi yang disebabkan penggunaan bahan kimia dalam pengusahaan pertanian, tanpa diikuti dengan standar penggunaan yang benar. Hal ini merupakan hal umum yang dialami petani sejak di-canangkannya program teknologi (revolusi hijau) oleh pemerintah.

Pongot, Nang Mis dan petani lainnya mulai menggunakan pesti-sida untuk memberantas hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi mereka sejak tahun 1970-an (tahun ini dimulainya gerakan revo-lusi hijau di Indonesia). Para petani mendapatkan bantuan pestisida tersebut dari pemerintah dan disosialisasikan kepada petani melalui para Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Selain mendapatkan bantu-an pestisida petani juga harus menggunakan bibit dan pupuk yang di-berikan pemerintah. Pada masa itu berbagai fasilitas untuk menggenjot produksi padi disediakan oleh pemerintah. Para PPL bertugas melaku-kan pemantauan dan diberi target untuk menghasilkan produksi yang setinggi-tingginya. Target ini di samping ditentukan pemerintah tetapi sering juga ditarget perusahaan pertanian mitra pemerintah yang telah menyediakan segala fasilitas sarana produksi bagi petani. Malahan berdasarkan ingatan Pak Nyoman waktu itu tidak jarang tentara yang bertindak jika petani tidak melaksanakan instruksi yang diberikan pemerintah. Memang pada masa itu pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam pembangunan sangat kental dengan kebijakan top down nya, yang sangat memasung kreativitas petani. Petani seolah tidak memiliki kebebasan menentukan apa yang mereka kehendaki dan apa yang tidak mereka inginkan.

Page 15: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

99

ang disarankan:

Pembangunan pertanian pada masa revolusi hijau menggiring petani untuk terjerumuskan ke dalam situasi yang memasung kreativi-tas. Petani dihadapkan pada dilema antara tuntutan untuk berproduksi maksimum dan bayang-bayang kerusakan lahan pertanian akibat peng-gunaan sarana produksi yang mengeksploitasi lingkungan pertanian. Petani benar-benar berada pada sebuah situasi yang dilematis. Situasi seperti ini terjadi pada seluruh petani di Indonesia, yang mengalami pemaksaan khas gaya pemerintahan orde baru. Walaupun pola pemak-saan yang terjadi di Bali memang sedikit berbeda dengan di daerah-daerah lain di Indonesia, karena di Bali organisasi tradisional yang ber-gerak di bidang pertanian masih memiliki kekuatan mengatur anggota-nya untuk melaksanakan suatu kebijakan. Di Bali biasanya tekanan diberikan kepada pengurus subak. Melalui kelian6 subak setempat maka segala instruksi pemerintah (yang kemudian diketahui lebih banyak dipengaruhi kebijakan perusahaan pertanian) petani dipaksa menggen-jot produksi lahan mereka dengan segala masukan yang berbau kimia dan instan. Pada masa itu tidak ada seorang petani pun yang berani melanggar, karena ikatan dalam struktur organisasi subak sangat kental dengan kebersamaan. Walaupun sebenarnya beberapa anggota sudah melihat akibat yang akan terjadi apabila pola bertani dilakukan seperti y

Pada saat itu kita hanya menurut dan melaksanakan apa yang sudah menjadi kesepakatan subak. Karena kalau kami sebagai anggota subak tidak melaksanakannya tentu saja kami akan berhadapan dengan sangsi dari awig-awig subak. Hal terse-but merupakan hal yang sangat tabu kami lakukan.

Demikian penuturan Pak Nengah salah seorang pengurus Subak

Wongaya Betan. Lebih lanjut dia bercerita bahwa dengan asupan kimia dan teknologi yang disarankan dalam program Revolusi Hijau pada awalnya hasil yang diperoleh meningkat dibandingkan dengan cara bertani sebelum teknologi Revolusi Hijau diperkenalkan. Akan tetapi lama kelamaan sekitar tahun 1990-an petani mulai merasakan ketidak seimbangan produksi dan juga serangan hama dan penyakit yang sema-

6 Kelian subak adalah pembantu Pekaseh subak (seperti dilihat pada bagan organisasi subak Gambar 4)

Page 16: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

100

kin merajalela. Semakin banyak jenis hama dan penyakit yang menye-rang pertanaman petani. Kondisi fisik lahan pertanian pun semakin buruk yang dicirikan dengan tanah mengeras, air yang diperlukan lebih banyak dan lahan sering tergenang, tanah seperti tidak memiliki pori. Hal yang paling menyedihkan adalah selain produksi terus menurun, juga terjadi banyak kejadian keracunan petani.

Hasil penelitian dari Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Depar-temen Kesehatan (Kusnindar 1989 dalam Muhajir 2009) menemukan keracunan pada petani di Indonesia terjadi setidaknya pada 14 juta orang. Dari hasil penelitiannya juga hampir 37 persen petani di Indonesia melakukan penyemprotan dengan pestisida dan biasanya sebanyak 35 persen akan keracunan karena SOP (Standar Operasi Prosedur) banyak dilanggar atau tidak dimasyarakatkan. Hasil pene-litian yang agak mengejutkan juga diperoleh pada petani bawang di Brebes yang diteliti Sulistono (2007) dalam Muhajir (2009) bahwa dari 612 responden yang diwawancara ternyata petani perempuan lebih tinggi 79 persen mengalami keguguran dibandingkan dengan yang bekerja dilokasi pertanian yang lain. Sekitar akhir tahun 2009, koran lokal Balipost memuat berita tentang tingginya persentase air susu ibu yang tercemar pestisida di wilayah Bali. Pernyataan ini dikemukakan Kartini (2010) seorang ahli di bidang petanian organik. Walaupun dari penelitian Kartini ini belum jelas disebutkan tentang profesi dari perempuan yang dijadikan sampel dan bagaimana proses keracunan tersebut terjadi.

Menurut penuturan Pak Nengah sebelum revolusi hijau tersebut diberlakukan tanah di daerah kawasan Jatiluwih sangat subur. Berba-gai jenis hewan yang hidup di sawah masih dapat ditemukan dan malahan sering dijadikan lauk keluarga Pak Nengah, misalnya saja seperti belut, belauk7, dan capung. Penggunaan padi jenis unggul pun ternyata membawa dampak pada hilangnya permainan anak-anak dengan menggunakan batang padi setelah selesai panen. Pada saat sawah ditanami padi lokal, maka pemanenan dilakukan dengan ani-ani oleh ibu-ibu petani, dan sisa tangkai padi masih panjang. Tangkai padi

7 Belauk adalah ulat dari capung

Page 17: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

101

inilah yang sering digunakan sebagai alat permainan anak-anak petani. Akan tetapi dengan adanya padi jenis unggul sawah seolah tidak ber-istirahat untuk berproduksi, sawah ditanami terus menerus sepanjang tahun. Sebagai petani sebenarnya dapat merasakan kelelahan lahan dalam berproduksi.

Menurut Triguna (2006:627) padi dan sawah memiliki spirit kehidupan. Dari tahun ke tahun petani menggantungkan hidup pada hasil sawah yaitu padi, sehingga sawah dan padi sudah dianggap sebagai ibu pertiwi dan Dewi Kemakmuran bagi masyarakat tani. Pengandaian ini juga yang merupakan salah satu faktor penguat dalam pelaksanaan ritual dalam setiap kegiatan pertanian. Kegiatan ritual ini dilakukan turun temurun dengan maksud memohon berkah dan anugrah kepada Dewi Kemakmuran agar tanaman yang ditanam dapat berproduksi dengan baik.

Menuju Pertanian Organik

Situasi yang seolah-olah memarjinalkan petani baik yang dise-babkan keadaan maupun kebijakan pemerintah termasuk tekanan-tekanan terselubung akhirnya menumbuhkan kesadaran petani di Subak Wongaya Betan melakukan pembebasan diri dari segala situasi yang tidak menguntungkan. Seperti telah dikemukakan bahwa tekanan yang terus menerus terhadap seseorang ataupun kelompok orang akan menumbuhkan gerakan atau pemberontakan ke arah pembaharuan yang memiliki tujuan lebih baik. Menuju pertanian organik yang terjadi di Subak Wongaya Betan adalah merupakan gerakan kelompok kecil individu. Bapak Nengah Suarsana, SH adalah salah satu pelopor yang mulai memikirkan dampak pertanian modern yang selama ini dipraktekan di SWB. Di bantu tiga orang temannya yang juga menjadi anggota subak yaitu I Nyoman Suarya, I Nyoman Setiana dan I Nengah Sugama, mulai musim tanam tahun 2004 mereka melakukan inovasi untuk memanfaatkan limbah ternak, limbah perkebunan dan juga limbah rumah tangga menjadi pupuk organik. Teknologi yang diguna-kan mereka peroleh dari berita media cetak, Televisi, berita dari

Page 18: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

102

teman8 dan juga melakukan kunjungan ke Solo belajar teknologi pengolahan limbah menjadi pupuk organik. Hasil pengolahan limbah berupa pupuk organik kemudian diaplikasikan di lahan sawah mereka masing-masing. Setelah praktik pengolahan limbah menjadi pupuk organik berhasil dilakukan oleh Pak Nengah Suarsana dan ke 3 (tiga) temannya, akhirnya pada tanggal 9 Agustus 2004 Pak Nengah Suarsana membentuk Kelompok Tani dan Ternak ”Utama Sari”. Kelompok ini beranggotakan 48 petani anggota Subak Wongaya Betan dengan Pak Nengah Suarsana sebagai ketua kelompok. Pada awalnya pembentukan KTT ini dilandasi dengan kebersamaan kepentingan untuk menanggu-langi permasalahan, menggali inovasi baru untuk kemajuan bersama dan juga dilandasi dengan kesatuan keinginan untuk mengajegkan wilayah pertanian di sekitarnya tanpa melupakan spirit agama dan budaya Hindu Bali.

He..he saya sebagai petani memang tidak pernah puas dan selalu ingin maju. Pada awalnya ketika kami memiliki rencana untuk menerapkan pertanian organik tahun 2004, Kepala Dinas Pertanian Provinsi Bali menertawakan kami karena dianggap mengada-ada. Akan tetapi kami sebanyak 30 orang kemudian membentuk kelompok Petani Organik. Setiap anggota petani memiliki paling tidak 5 ekor sapi yang kemudian kotorannya dan urinenya akan dimanfaatkan untuk memupuk lahan pertanian mereka. Kami melaksanakan 2 x penanaman setahun, dengan 2 bulan bera. Padi yang kami tanam adalah padi lokal. Secara umum kami mampu mencukupi kebutuhan lahan sawah kami yang rata-rata kepemilikannya 50 are sawah, 50 are kebun. Dosis yang digunakan 5 ton per ha – 10 ton per ha pupuk organik. Hasil yang dihasilkan 6-7 ton GKG per ha. Kalau pakai pupuk anorganik sampai 9 ton per ha” (Ekayasa, Nengah, Januari 2010).

Jenis usaha KTT Utama Sari ini adalah komoditas sapi potong dan

pembibitan termasuk pembuatan pakan dan pengolahan kotoran sapi menjadi pupuk organik yang akan digunakan untuk menuju pertanian yang berbasis organik. Akan tetapi pada praktiknya, hanya 4 (empat) petani pelopor yang menggunakan asupan organik di lahan

8 I Nyoman Suarya adalah bekas anggota TNI yang bertugas di Jawa Barat. Beliau memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang teknologi pengolahan limbah menjadi pupuk organik.

Page 19: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

103

pertaniannya. Hal ini karena petani yang lainnya belum memahami sisi ekonomis dari pertanian organik. Menurut Pak Nengah Suarsana, hasil yang diperoleh memang lebih rendah dari pada penggunaan pupuk anorganik, akan tetapi karena harga per kilogram beras organik 2 (dua) kali lebih tinggi dibandingkan dengan beras anorganik, maka secara keseluruhan keuntungan yang diperoleh akan lebih tinggi. Demikian juga pendapat dari ibu Rama (ketua UKM Kuntum Mekar) bahwa dengan pemakaian pupuk organik, seluruh input pertanian berasal dari lahan sendiri yaitu dari benih, pupuk,maupun pestisida alami (yang di-olah dari urine sapi). Di samping itu harga beras organik per kilo-gramnya Rp. 25.000,- sedangkan beras anorganik hanya Rp. 12.000,-. Setelah hampir 2 tahun melakukan praktik pertanian organik (tahun 2004 smapai dengan tahun 2006) ternyata tidak ada anggota subak lain yang tertarik dengan praktik ini.

Pemerintah (melalui Dinas-dinas terkait) seolah tidak menyadari ada gerakan masyarakat yang berusaha melakukan penyelamatan lingkungan dan peningkatan kualitas kehidupan petani. Dengan latar belakang ekonomi yang cukup mapan dan tentu saja tekad yang kuat untuk tetap bertahan pada pertanian organik maka akhirnya Pak Suarsana dan kelompok kecilnya mengundang PPL (Penyuluh Pertani-an Lapangan) untuk melakukan kajian tentang praktik organik yang mereka terapkan. Hal ini dilakukan Pak Suarsana dengan harapan akan memberikan penjelasan secara ilmiah tentang keuntungan dan peluang praktik pertanian organik kepada masyarakat yang lebih luas terutama anggota subak lainnya. Akhirnya pada awal tahun 2006 PPL dari BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Provinsi Bali mulai melakukan kajian tentang kualitas lahan di areal SWB dan juga penyuluhan melalui Sekolah Lapangan Pertanian kepada masyarakat dan anggota Subak Wongaya Betan.

Perhatian lainnya adalah adanya beberapa sumbangan dana dari Lembaga yang Mengakar di Masyarakat (LM3), dan dana tambahan dari Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia (BPSM) Pertanian Pusat. Modal usaha yang pada awalnya berasal dari iuran anggota kelompok, pada akhirnya mengalami perkembangan sampai tahun

Page 20: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

104

2010 adalah 200 ekor sapi, sekitar Rp. 150.000.000,- uang kas dan juga aset berupa gedung kelompok, dan lahan. Dengan perkembangan yang cukup pesat dari organisasi ini dan dengan adanya intervensi peme-rintah melalui Dinas Peternakan Kabupaten Tabanan berupa pembi-naan di bidang perbaikan mutu sapi dan juga bantuan vaksinasi setiap 6 bulan. Di samping itu penyebaran ternak dengan bantuan bergulir dan penanganan limbah tetap dibimbing oleh BPTP Bali.

Sejak dilakukan pembinaan baik oleh Dinas Peternakan dan BPTP (Badan Pengkajian Teknologi Pertanian) Bali, maka eksistensi KTT Utama Sari semakin baik. Pembinaan yang dilakukan melalui Sekolah Lapang dan pelatihan ternyata sangat efektif mentransfer ilmu dan tukar menukar pengalaman antar penyuluh dan petani. Mengamati perkembangan ini akhirnya dengan prakarsa petani kooperatif yang diketuai oleh Pak Nengah Suarsana dibentuklah lembaga pelatihan P4S Somya Pertiwi (P4S) yaitu Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya. Nama ini memiliki arti yang sangat dalam yang berkaitan dengan kelestarian bumi dan sumber-sumber daya yang berkaitan dengan pertanian dan lingkungan. Seperti petikan wawancara berikut dengan Pak Nengah:

”somya artinya mensucikan.......

Pertiwi artinya Tanah, sehingga somya pertiwi artinya adalah mensucikan tanah. Karena pada revolusi hijau petani dianjurkan untuk menggunakan pupuk anorganik dan pestisida yang terus menerus sehingga terjadi kerusakan tanah pertanian dan menyebarnya penyakit seperti hama wereng coklat, wereng hijau dan juga hama tikus” (Wawancara, Januari 2010).

Lembaga ini memiliki fungsi yang agak berbeda dengan lembaga

terdahulu karena penekanan pada P4S ini adalah mengembangkan sektor pertanian melalui berbagai pendidikan dan pelatihan baik bagi petani anggota Subak Wongaya Betan maupun bagi petani dari kelom-pok lain maupun dari daerah lain. Dalam perkembangannya ternyata lembaga ini sering dimanfaatkan pemerintah untuk melaksanakan pelatihan dan transfer teknologi yang difasilitasi Pemda Tabanan.

Page 21: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

awalnya kami sangat prihatin dengan kerusakan yang dialami oleh lahan-lahan pertanian disekitar sini, sehingga kami secara swadaya membentuk P4S ini agar dapat digunakan sebagai wadah terutama bagi generasi muda untuk memperkenalkan pertanian dengan lebih menarik...kasarnya bahwa menjadi petani juga bisa kaya....dan bisa ibu lihat sampai saat ini lemba-ga ini sudah sering mendapat kunjungan baik dari kelompok-kelompok yang berada di Bali bahkan sering juga dikunjungi oleh kelompok dari NTB, NTT, Bogor, Jawa dan Sulawesi.

Bahkan saya pun sering jalan-jalan hampir ke seluruh Indonesia ...untuk berbagi pengalaman... (Wawancara, April 2010) Fungsi lainnya yang sangat mendukung keinginan Subak

Wongaya Betan kembali ke pertanian organik adalah sebagai pusat pengolahan pupuk organik yang berasal dari limbah sapi, babi, ayam serta melakukan pemasaran terhadap produk-produk tersebut. Salah satu produk pupuk organik yang dihasilkan P4S Somya Pertiwi dipasarkan dengan nama Fine Compost Green Valey. Pupuk ini masih dipasarkan sampai saat ini, dan merupakan salah satu produk unggulan dari kelompok P4S ini.

Gambar 13 Produk Kompos Green Valley dari P4S

(Dokumentasi: Martiningsih, 2010)

105

Page 22: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

106

Keberhasilan Pertanian Organik

Sejak tahun 2004 kelompok petani organik Wongaya Betan mulai mengusahakan lahan pertaniannya dengan masukan-organik dan beberapa dampak positif sudah mulai terlihat seperti:

Peningkatan Pendapatan Petani

Menurut informasi Ketua P4S Somya Pertiwi, sejak petani di wilayah ini beralih ke pertanian organik terdapat implikasi yang signifikan terhadap pendapatan petani seperti petikan wawancara berikut:

Walaupun dengan pertanian organik peningkatan hasil baru akan dirasakan 3-4 x musim tanam akan tetapi kalau dikalkulasi secara keseluruhan maka pertanian organik lebih menguntung-kan dibandingkan dengan melakukan pertanian anorganik. Oleh karena perbandingan harga bisa 2 x lipat kalau kita me-lakukan pertanian organik....misalnya harga padi anorganik di tingkat petani Rp. 6.000,- sedangkan harga beras organik bisa sampai Rp. 12.000,-

Dari beberapa informasi yang penulis peroleh pada saat wawancara lapangan bahwa pada saat petani mengusahakan padi secara anorganik, maka hasil rata-rata per musim tanam padi unggul adalah 6-7 ton per hektar. Dengan rata-rata harga padi Rp. 6000,- per kilogram, maka pendapatan petani per hektar sebesar Rp. 42 juta rupiah. Nilai ini juga harus dikurangi dengan biaya pembelian obat-obatan kimia dan pupuk kimia. Pada saat petani mengusahakan secara organik, hasil padi per musim tanam berkisar antara 8-10 ton. Dengan harga padi organik Rp. 12.000,- per kilogram, maka pendapatan petani per tahun sebesar 120 juta rupiah, biaya ini diterima bersih oleh petani karena pupuk dan obat-obatan pembasmi hama dan penyakit sudah mereka hasilkan secara mandiri.

Page 23: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

107

Walaupun belum banyak petani yang mau meniru pertanian organik yang digagas P4S, akan tetapi lembaga ini tetap terbuka untuk membantu konsultasi masalah cara-cara bertani secara organik. Di samping itu karena tidak semua anggota subak menjadi anggota lem-baga ini, maka keharusan anggota subak melaksanakan pertanian orga-nik belum masuk ke dalam awig-awig subak. Sehingga sanksi terhadap anggota pun belum dapat diterapkan. Akan tetapi dengan telah disetu-juinya sertifikasi organik pada 3 Nopember 2009 terhadap beras organik Subak Wongaya Betan oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) Organik Indonesia maka, akhirnya pelaksanaan pertanian organik masuk ke dalam awig-awig Subak Wongaya Betan. Dengan diraihnya sertifikat organik maka produk beras organik Subak Wongaya Betan mulai dapat dijual langsung oleh Subak Wongaya Betan ke pasaran, sehingga keuntungan akan langsung diperoleh oleh anggota Subak Wongaya Betan karena tanpa perantara.

Sertifikat organik yang kami raih adalah prestasi bersama baik anggota subak, pembina (BPTP Bali), Dinas Pertanian Kabu-paten Tabanan dan seluruh pihak yang terkait. Akhirnya jerih payah kami selama hampir 5 tahun menunjukkan hasil. Mudah-mudahan keberhasilan ini menjadi contoh yang akan ditiru oleh petani-petani yang lain sehingga menjadi petani adalah sebuah kebanggaan.. (Wawancara, April 2010)

Beras organik produksi Subak Wongaya Betan juga dipasarkan

melalui perusahaan yang melakukan kerjasama dengan Subak Wongaya Betan. Misalnya CV. Agri Dewata yang berlokasi di Kota Denpasar, secara kontinu memasarkan produk beras organik Subak Wongaya Betan. Bahkan informasi dari direktur CV. Agri Dewata Pak Made Budiana, banyak sekali peminat beras organik Subak Wongaya masih belum mencukupi tingginya permintaan pasar.

Page 24: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

( a)

(b)

Gambar 14 (a) dan (b) Produk Beras Organik Bersertifikat SNI

(Dokumentasi: Martiningsih, 2010)

Perbaikan Lingkungan dan Ekosistem Sawah

108

Pelaksanaan pertanian organik di Subak Wongaya Betan, ter-nyata juga berimplikasi pada lingkungan dan ekosistem sawah. Karena dengan dilakukannya pertanian organik berarti radius penggunaan masukan organik harus tetap terjaga. Berdasarkan paparan Pak Nengah saat ini sudah 25 hektar sawah di sekitar Wongaya Betan yang berbasis organik. Sehingga dari wawancara dengan Pak Ekayasa tercermin flora fauna yang dulunya pernah hilang seperti capung, belauk, kupu-kupu, belut, dan juga ular sudah mulai kembali nampak di sekitar persawah-an.

Page 25: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

109

Dengan pertanian organik maka makhluk hidup seperti belut, belauk, capung, kupu-kupu, ular, cacing dan ganggang saat ini semakin banyak dan juga struktur tanah akan semakin baik. Dan anehnya...hama dan penyakit seperti wereng, tikus semakin sedikit..dan malah tidak ada.. (Wawancara, April 2010)

Pada waktu mahasiswa doktoral Program Studi Pembangunan

UKSW melakukan kunjungan ke lokasi Subak Wongaya Betan pada Januari 2010, terlihat di areal persawahan banyak tumbuh ganggang. Hal ini merupakan suatu pertanda bahwa lahan tersebut memiliki kandungan unsur hara yang baik. Di samping itu karena pemanfaatan limbah kotoran sapi maupun limbah-limbah organik lainnya seperti sekam, jerami sudah diolah baik sebagai pakan ternak organik dan pupuk organik maka pencemaran lingkungan akibat bau dan jerami maupun sekam padi sudah tidak ada lagi. Semua sudah terproses secara berkesinambungan tanpa ada yang terbuang.

Peningkatan Peran Perempuan

Menurut hasil penelitian Yuliana (2010) transformasi pertanian organik memiliki makna spiritual. Hal ini berarti dengan kembalinya pelaksanaan pertanian organik yang juga dikenal dengan pertanian para leluhur, semua sistem subak yang sempat melemah akibat revolusi hijau kembali diperkuat. Penanaman padi mulai kembali ke padi lokal (padi del) baik padi merah maupun hitam. Pelaksanaan ritual yang menjadi titik dasar kegiatan subak juga kembali berjalan normal. Malahan menurut Yuliana (2010) dengan keberhasilan pertanian organik meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani hal ini juga sudah dijelaskan pada bahasan sebelumnya dengan praktik organik maka di samping semua masukan usaha tani berasal dari lahan sendiri, harga produk organikpun 2 kali lipat dari produk anorganik. Dampak lainnya tentu saja pada kuantitas dan kualitas pelaksanaan ritual, dimana dengan kembali melakukan praktik tradisional maka kuantitas dan kualitas ritual semakin meningkat. Hal ini tercermin dari hasil wawancara dengan Ibu Intan (35):

Page 26: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

110

Ibu-ibu maupun bapak-bapak nya sekarang lebih sering sem-bahyang ke Pura Subak. Karena kami semua terus-menerus bersyukur sudah diberikan hasil yang meningkat. Walaupun sarana yang digunakan sama tetapi interval kami untuk bersujud syukur lebih sering (Wawancara, 8 Maret 2010)

Dengan semakin intensifnya pelaksanaan ritual peran perempuan

dalam persiapan sesajen tentu juga semakin meningkat. Demikian juga dengan keputusan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian akan diatur kelompok yang pada lembaga P4S Somya Pertiwi dilakukan oleh perempuan taninya lihat skema manajemen P4 Somya Pertiwi. Dari skema tersebut sangat jelas bahwa peran perempuan berada di segala lini, baik di lini pertanian di lapangan (karena dengan pertanian organik pemberantasan hama dan penyakit dilakukan secara mekanis maka peran perempuan dalam pemberantasan hama dan penyakit juga semakin tinggi), peternakan, pengolahan limbah, penjemuran gabah, penggilingan gabah, pembuatan teh beras merah organik, sampai ke pemasaran.

Semua keputusan dalam pemasaran hasil biasanya ditentukan oleh anggota P4S Somya Pertiwi baik laki maupun perempuan. Ibu-ibu disini memiliki peran dalam penjemuran gabah, penge-masan beras organik, pembuatan teh beras dan kopi organik yang penjualannya dilakukan melalui koperasi yang kami dirikan (Pak Nengah, Januari 2010)

Page 27: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

Usaha Pengolahan

Subak

Pengolahan Padi menjadi beras

organik Padi Organik

Peternakan Ayam dan Sapi Dijual Langsung

Jerami

Dijual Ke Pengepul

Beras Organik

Di konsumsi sendiri

Kelompok Wanita Tani Kumtum Sari

Teh Beras Merah Organik dan Kopi Beras Organik

Gambar 15 Skema Organisasi P4S (Somya Pertiwi)

111

Memang suatu kali kami datang sekitar bulan April 2010, pada saat itu koperasi memang sedang tutup, ternyata kunci koperasi dibawa pengurus koperasi ibu Rama. Sehingga membeli produk organik pada saat itu kami harus menghubungi ibu Rama terlebih dahulu untuk bisa bertransaksi. Pengalaman lainnya yaitu pada waktu di penggilingan beras, ternyata masih belum ada beras yang di kemasan plastik maka Pak Nengah memanggil dua orang ibu anggota P4S Somya Pertiwi melayani kami yang membeli beras organik. Dari pengamatan ini memang perempuan ternyata memiliki peran yang signifikan dalam keanggotaan Subak Wongaya Betan.

Page 28: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

112

Perempuan dalam Subak

Dalam ulasan peran perempuan dan ketahanan pangan sudah sangat jelas disinggung bahwa perempuan sebagai pengelola pangan. Apalagi kalau disimak peraturan tentang pangan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996. Undang-undang ini merekomendasi-kan ketahanan pangan dapat diwujudkan bersama oleh masyarakat dan pemerintah, dan dikembangkan mulai dari tingkat rumah tangga (Ndolu, 2010). Bila ketahanan pangan rumah tangga sudah tercapai, otomatis berdampak bagi ketahanan pangan masyarakat, daerah bahkan nasional. Ketahanan pangan tidak hanya mencakup ketersedia-an pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan mengakses (termasuk membeli) pangan dan juga tidak terjadi ketergantungan pangan. Jika pembangunan ketahanan pangan berfokus pada rumah tangga, hak perempuan terhadap pangan tidak dapat diabaikan dan harus menjadi prioritas.

Seperti yang juga dikemukakan Astiti (2002) dan Oedjoe (2007) bahwa ada tiga peran perempuan di masyarakat yaitu peran domestik, peran publik dan peran di pertanian. Dalam melaksanakan peran domestik, perempuan diidentikkan dengan urusan-urusan rumah tangga seperti mengasuh anak, mencuci pakaian keluarga, membersih-kan rumah, memasak dan menyiapkan pangan untuk keluarga. Astiti (2002) dan Oedjoe (2007) agak berbeda dalam menggambarkan peran publik. Menurut Oedjoe (2007) peran publik diidentikkan dengan peran yang berhubungan dengan dunia di luar keluarga seperti urusan-urusan yang berkaitan dengan karier, sedangkan Astiti menambahkan peran publik mengacu pada peran-peran sosial dan peran politik. Untuk peran di pertanian Oedjoe (2007) mambahas secara khusus, karena dalam penelitiannya di NTT sangat banyak realitas bahwa perempuan masih dominan bekerja di sektor peranian. Astiti karena fokus penelitiannya pada perempuan di Bali maka kajiannya lebih banyak ke peran perempuan dihubungkan dengan ranah sosial berupa kehidupan perempuan dalam masyarakat adat, agama dan budaya Bali. Identitas perempuan Bali sangat dipengaruhi oleh identitas budaya Bali yang dikenal sangat kompleks.

Page 29: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

113

Kegiatan yang saya lakukan adalah sebagai ibu rumah tangga, yaitu mengatur semua kebutuhan dan urusan rumah tangga. Selain itu juga saya melakukan kegiatan Adat juga kalau kebe-tulan ada yang punya kerja adat maka saya harus ”ngoopin” atau metulung ke rumah tetangga (membantu tetangga yang sedang punya kerja Adat). Kemudian biasanya saya mebanten Saiban di rumah sehabis masak. Kalau kebetulan ada rahinan (hari baik Agama Hindu) maka saya biasanya habis memasak langsung menghaturkan upakara (biasanya kecil seperti canang sari) keseluruh rumah sampai ke sawah (Ibu Rusmini, Maret 2010)

Dari wawancara tercermin selain sebagai ibu rumah tangga yang

notabene akan mengatur semua kebutuhan rumah tangga ternyata perempuan di Subak Wongaya Betan juga mengatur waktu mereka untuk kegiatan lainnya seperti adat, membantu (ngoopin) tetangga dan kemudian dilanjutkan dengan kegiatan ritual sehari-hari.

Dari realitas di lapangan pun terlihat perempuan berperan di semua aspek kehidupan baik di ranah domestik, publik dan pertanian. Namun peran di pertanian akan terkait dengan peran religius (pelak-sanaan ritual) baik yang berkaitan dengan ritual sehari-hari maupun ritual yang terkait dengan pertanian. Seperti tersirat dalam petikan wawancara dengan Ibu Rusmini dan wawancara dengan Pak Supris berikut ini:

Saya menikah tahun 1997, sejak saat itu saya ikut suami yang kebetulan sebagai anggota Subak Wongaya Betan, sehingga saya terus terang hanya membantu suami dalam pembibitan, mena-nam, dan panen (Wawancara dengan Ibu Rusmini, Maret 2010)

Biasanya yang menyiapkan dan melaksanakan upacara terutama yang tergolong upacara kecil adalah istri saya, baik dari mem-persiapkan sampai melaksanakan, kita biasanya sebagai pihak laki-laki paling hanya membantu pada saat membersihkan pura misalnya menyabit rumput memperbaiki pematang dan saluran air. Setelah itu maka yang melaksanakan adalah istri saya (wawancara dengan Pak Supris, September 2009)

Di Bali sebenarnya pembagian tugas sudah ada baik pada kegiat-an sehari-hari ataupun pada kegiatan pengelolaan subak. Perem-puan melaksanakan kegiatan spiritual seperti upacara-upacara yang berkaitan dengan subak sebagai satu kesatuan group maupun melaksanakan upacara-upacara yang berkaitan dengan kehidupan pribadi masing-masing. Malahan sering tugas perem-puan yang melaksanakan upacara yang berkaitan dengan kegiat-

Page 30: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

114

an subak maka sering pengambilan keputusan akan disesuaikan dengan waktu perempuan anggota subak bisa melaksanakan upacara-upacara tersebut. Karena yang melakukan upacara adalah perempuan (Wiguna, wawancara September 2009).

Dalam konteks masyarakat di Subak Wongaya Betan, ketahanan

pangan dapat diterjemahkan sebagai bagaimana keberhasilan panen di lahan sawah mereka tetap berlanjut, terbebas dari serangan hama dan penyakit serta terjaganya kelestarian lingkungan di sekitar sehingga masyarakat masih bisa melakukan kegiatan sehari-hari dan memper-sembahkan ritual-ritual sebagai simbolisasi rasa syukur kehadapan Sang Pencipta. Jadi ketahanan pangan dikaitkan dengan bagaimana masyarakat Wongaya Betan mampu mempertahankan kelestarian kawasan Jatiluwih yang dikenal sebagai Kawasan penyangga Catur Angga dan Jajar Kemiri. Catur Angga adalah kawasan suci disekitar kawasan Jatiluwih yang dikelilingi oleh 4 Pura yaitu Pura Petali, Pura Puncak Sari,Pura Besi kalung, dan Pura Tamba Waras. Sedangkan Jajar Kemiri adalah kawasan Catur Angga ditambah dengan 2 Pura besar lainnya yaitu Pura Puncak Kedaton dan Pura Besi Kalung. Berdasarkan kesaksian Pemangku (pendeta) Pura Dalem Wongaya Betan bahwa kawasan Catur Angga dan Jajar Kemiri ini merupakan sumber kehi-dupan masyarakat Wongaya Betan khususnya dan masyarakat Bali umumnya. Hal ini tersirat pada petikan wawancara berikut:

Kedua kawasan ini baik Catur Angga dan Jajar Kemiri meru-pakan sumber kehidupan dan kepercayaan masyarakat Bali (Hindu) karena pada kawasan inilah seluruh pengabdian dan pengorbanan sebagai manusia Hindu dipertaruhkan maksudnya dua kawasan ini merupakan kawasan Suci yang sangat dijunjung tinggi oleh seluruh Umat Hindu baik di Bali maupun diluar Bali. Jadi kawasan ini benar-benar sangat disucikan dan harus tetap dijaga kelestariannya (Wawancara, Oktober 2009). Ketahanan pangan terkait dengan kelestarian lingkungan maka

dari hasil wawancara dengan Pak Nyoman Alit terungkap bahwa pelaksanaan ritual diartikan relevan dengan konsep pelestarian dan ketahanan pangan. Karena dari persepsi responden bahwa dengan tetap melakukan pelestarian maka pelaksanaan ritual pun akan tetap dapat dilaksanakan.

Page 31: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

115

Sama juga dengan kebiasaan kami di rumah tangga, Banjar Adat, Desa Adat maupun Subak melakukan ritual yang ditujukan untuk tanaman (tumpek wariga), Hewan (tumpek Uye), Pera-latan (tumpek Landep) maka sebenarnya kami sudah berusaha melestarikan hal-hal yang kami upacarai. Karena misalnya hal-hal tersebut tidak kami jaga..berarti kami harus melakukan upacara untuk siapa? Untuk apa? (Wawancara, Maret 2010).

Memang menurut penuturan Pak Nyoman Alit ada beberapa orang yang berusaha menjual lahan di hulu Subak Wongaya Betan, akan tetapi sampai saat ini belum terealisasi. Hal ini disebabkan karena kuatnya keinginan anggota subak untuk tetap melestarikan lingkung-annya. Di samping itu anggota subak meyakini kegagalan makelar tanah menjual lahan karena adanya bantuan dari Sang Pencipta yang seolah tidak rela kalau lingkungan disekitar area Subak Wongaya Betan tercemar.

Memang ada juga sih masyarakat yang tidak perduli dengan itu....buktinya banyak juga masyarakat (Bali Hindu) yang kerja-nya sebagai makelar tanah....seolah-olah tidak berpikir sama-sekali dengan kelestarian tanah Bali, saya anggap dia itu egois hanya mementingkan dirinya sendiri.

Seperti yang terjadi di wilayah kami ada investor yang ingin membangun villa di hulu subak kita (yang berarti kalau hal tsb terlaksana akan mengancam keberlanjutan sumber air dari subak) hal ini tentu saja mendapat perlawanan dari sebagian masyarakat yang masih menginginkan ajegnya pertanian di desa kami. Memang dengan cara nyata kami tidak bisa melarang penjualan tanah-tanah tersebut karena mereka lebih memiliki kekuasaan dan uang... tapi karena kami sebagai warga desa selalu ngrastiti (berdoa) baik secara pribadi maupun secara ber-sama maka sampai sekarang rencana pembangunan villa terse-but tidak kunjung menjadi kenyataan. Ada saja penghalangnya (hambantannya)... dan kami sangat yakin bahwa itu karena memang doa-doa kami kehadapan Dewa dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tapi sampai kapan hal tersebut akan terjadi.... kami juga tidak tahu. Yang jelas sekarang sudah hampir 6 tahun proyek itu mangkrak... dan malahan saat ini Bendesa Adat (pemimpin adat) sudah mengeluarkan aturan bahwa tidak ada pembangunan villa di daerah kami. Yah..kami akan tetap berdoa dan berusaha agar proyek tersebut batal” (Wawancara, Maret 2010)

Page 32: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Dalam pembagian peran ternyata petani di Subak Wongaya Betan telah memiliki pembagian peran antara anggota laki-laki dan perempuan. Anggota laki-laki bertanggung jawab pada kegiatan-ke-giatan yang memerlukan kekuatan otot (fisik), sedangkan anggota perempuannya memiliki peran dalam mengatur rumah tangga, mela-kukan ritual dan membantu pekerjaan pertanian. Bahkan sering waktu pelaksanaan ritual disesuaikan dengan kesempatan anggota perempuan untuk melaksanakannya. Di samping itu segala keputusan yang ber-kaitan dengan ritual diserahkan kepada anggota subak perempuan.

Kesimpulan

Dari paparan Bab ini dapat disimpulkan bahwa perempuan memiliki peran yang penting dalam subak baik berperan mengelola ketahanan pangan (ikut serta dalam kegiatan di lapang mengurus tanaman) dan juga dalam pelaksanaan ritual (yang merupakan kegiatan sentral setelah mengurus tanaman) dalam subak. Dalam tingkat petani Subak Wongaya Betan (SWB) persepsi katahanan pangan adalah ke-lestarian lahan persawahan dan lingkungan sekitar sehingga sawah tetap dapat berproduksi dan ritual juga tetap dapat dilaksanakan.

\

(a)

116

Page 33: Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/6/D_902009009_BAB V.pdf · 1 dan hayati2 akan mampu di- akselerasi secara lebih

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

117

(b)

Gambar 16 (a) pemeliharaan tanaman oleh perempuan,

(b) Pura Ulunsuwi tempat melakukan ritual secara individu

(Dokumentasi: Martiningsih, 2010)