bab iv peranan pagoejoeban moelat sarira …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/c0511003_bab5.pdf ·...

21
75 BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA DALAM MENUMBUHKAN NASIONALISME MASYARAKAT DI PRAJA MANGKUNEGARAN TAHUN 1935-1942 Sejak awal abad 20, lahirnya gerakan-gerakan nasionalis di Indonesia tidaklah semata-mata disebabkan oleh faktor dari luar saja, seperti kemenangan Jepang atas nama Rusia, revolusi Cina, gerakan Turki Muda, gerakan di India dan Filipina, tetapi pengaruh dari dalam pun tidak kurang pengaruhnya, seperti percaya akan ramalan datangnya ratu adil 1 . Masyarakat Jawa sangat meyakini kebenaran ramalan Joyoboyo yang menyatakan dengan pasti bahwa suatu ketika akan terjadi pengusiran bangsa kulit putih oleh bangsa kulit kuning, kemudian tanah Jawa akan merdeka kembali. Pada akhirnya, lambat laun timbul dan akan kesadaran dan kepercayaan serta kemampuan akan dirinya sendiri. Organisasi-organisasi yang dibentuk oleh masyarakat pribumi di Indonesia sejak awal abad 20, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat lokal, memiliki aspek multidimensional. Aspek multidimensional ini berarti bidang-bidang kegiatan dan peranan mereka meliputi beberapa bidang kehidupan, yaitu bidang budaya, sosial, ekonomi, dan politik. 1 Ratu adil adalah juru selamat atau Mahdi, namun banyak sebutan untuk ratu adil di tiap-tiap daerah. Sebagai contoh masyarakat Jogjakarta menyebutnya dengan Heru Tjokro. Kedatangan Heru Tjokro dipercaya akan menjadi penyelamat Jawa menurut Jayabaya dalam buku ramalannya. Lihat, Nederland Indie Oud, Sumbangsih Buku Kenangan Budi Utomo 1908-20 Mei-1918, terjemahan Soendoro Widiodipoero dan Hilmiyah Darmawan P., (Surakarta: Koleksi Reksopustoko Mangkunegaran, 2001), hlm.64.

Upload: phamtram

Post on 02-Feb-2018

241 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511003_bab5.pdf · Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggapnya masuk dalam kelompok

75

BAB IV

PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA DALAM

MENUMBUHKAN NASIONALISME MASYARAKAT DI PRAJA

MANGKUNEGARAN TAHUN 1935-1942

Sejak awal abad 20, lahirnya gerakan-gerakan nasionalis di Indonesia tidaklah

semata-mata disebabkan oleh faktor dari luar saja, seperti kemenangan Jepang atas

nama Rusia, revolusi Cina, gerakan Turki Muda, gerakan di India dan Filipina, tetapi

pengaruh dari dalam pun tidak kurang pengaruhnya, seperti percaya akan ramalan

datangnya ratu adil1. Masyarakat Jawa sangat meyakini kebenaran ramalan Joyoboyo

yang menyatakan dengan pasti bahwa suatu ketika akan terjadi pengusiran bangsa

kulit putih oleh bangsa kulit kuning, kemudian tanah Jawa akan merdeka kembali.

Pada akhirnya, lambat laun timbul dan akan kesadaran dan kepercayaan serta

kemampuan akan dirinya sendiri.

Organisasi-organisasi yang dibentuk oleh masyarakat pribumi di Indonesia

sejak awal abad 20, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat lokal, memiliki

aspek multidimensional. Aspek multidimensional ini berarti bidang-bidang kegiatan

dan peranan mereka meliputi beberapa bidang kehidupan, yaitu bidang budaya, sosial,

ekonomi, dan politik.

1 Ratu adil adalah juru selamat atau Mahdi, namun banyak sebutan untuk ratu

adil di tiap-tiap daerah. Sebagai contoh masyarakat Jogjakarta menyebutnya dengan

Heru Tjokro. Kedatangan Heru Tjokro dipercaya akan menjadi penyelamat Jawa

menurut Jayabaya dalam buku ramalannya. Lihat, Nederland Indie Oud, Sumbangsih

Buku Kenangan Budi Utomo 1908-20 Mei-1918, terjemahan Soendoro Widiodipoero

dan Hilmiyah Darmawan P., (Surakarta: Koleksi Reksopustoko Mangkunegaran,

2001), hlm.64.

Page 2: BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511003_bab5.pdf · Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggapnya masuk dalam kelompok

76

A. Peranan Pagoejoeban Moelat Sarira Dalam Upaya Mengembangkan

Kebudayaan Jawa

Pemerintah kolonial Belanda mengintervensi kerajaan-kerajaan di

Vorstenlanden hingga membuat kedudukan raja-raja semakin melemah pada awal

abad 20. Hal ini jelas mendapat reaksi dari kaum elit tradisional. Reaksi mereka

terutama ditujukan pada isu tentang akan dihapuskannya Vorstenlanden, Zelfbestuur,

serta kebijakan reorganisasi tanah dan pengadilan.2 Realitas itu telah menyadarkan

mereka betapa globalisasi mempunyai dampak yang lebih luas terhadap budaya Jawa.

Gerakan ini dalam perkembangannya sangat didukung oleh kalangan pihak istana di

Surakarta, terutama K. G. P. A. A. Mangkunegara VII.

Sejak menjadi penguasa istana, K. G. P. A. A. Mangkunegara VII sudah

mempunyai hubungan erat dengan organisasi Budi Utomo. Budi Utomo lahir dan

menjadi tonggak awal dalam perjuangan bangsa Indonesia pada tanggal 20 Mei 1908.

Kelahiran Budi Utomo merupakan suatu kelanjutan dari cita-cita Dr. Wahidin

Sudirohusodo. Kondisi politik pada abad ke 20 akibat adanya undang-undang

kolonial yang melarang adanya perkumpulan-perkumpulan politik menjadikan Budi

Utomo lahir sebagai organisasi yang memperluas di bidang sosial, ekonomi dan

kebudayaan.

Jaringan sosial kultural Budi Utomo hanya memuaskan penduduk Jawa

Tengah dan Jawa Timur saja atau yang berkultur Jawa serta sub-kultur priyayi,

2

Susanto, “Gaya Hidup, Identitas, dan Eksistensi Masyarakat dan

Kebudayaan Surakarta, 1871-1940”, dalam Ringkasan Disertasi, (Yogyakarta:

Universitas Gadjah Mada, 2015), hlm. 15.

Page 3: BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511003_bab5.pdf · Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggapnya masuk dalam kelompok

77

sehingga golongan-golongan tanpa sub-kultur (Jawa) tersebut dengan sendirinya

berada di luar jangkauannya.3

Budi Utomo pada pokoknya adalah pendukung

kebudayaan Jawa. Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang

dianggapnya masuk dalam kelompok yang berbahasa Jawa, Sunda dan Madura, yang

keseluruhannya telah melebur ke dalam suatu bentuk kebudayaan Jawa) menuju

kepada suatu perkembangan yang harmonis. Organisasi ini berusaha untuk memberi

kekuatan kepada mereka dalam menghadapi kehidupan modern dengan meremajakan

kebudayaan Jawa.4 Pada saat inilah, Mangkunegaran bersentuhan dengan Gerakan

Nasionalis Jawa. K. G. P. A. A. Mangkunegara VII adalah seorang yang dipandang

baik untuk masa depan Jawa dan peranannya yang penting dalam Budi Utomo, maka

kemudian beliau ditetapkan menjadi ketua. Langkah yang nyata dalam

memperjuangkan Gerakan Nasionalisme Jawa diwujudkan ketika beliau

memprakarsai adanya Konggres Kebudayaan Jawa yang berlangsung selama tujuh

kali dari 1918 sampai 1937.5

Propaganda untuk berjuang mengembangkan kebudayaan Jawa mendapat

simpatik dari pemerintah kolonial Belanda. Hal ini terbukti dengan adanya apresiasi

terhadap kebudayaan Jawa yang dipentaskan di negeri Belanda. Kesenian Jawa

diterima dengan tangan terbuka oleh pihak Belanda.6 Sepak terjang Mangkunegara

VII dalam mengembangkan kebudayaan Jawa juga mendapat dukungan penuh dari

3

Sartono Kartodirjo, Sejarah Pergerakan Nasional, (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 1992), hlm. 59. 4 Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia. (Jakarta : Pustaka Jaya,

1984), hlm. 84. 5Susanto, loc.cit.

6 Nederland Indie Oud, o. cit., hlm. 56-57.

Page 4: BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511003_bab5.pdf · Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggapnya masuk dalam kelompok

78

para kawula di dalam internal praja Mangkunegaran. Mangkunegara VII

mengembangkan kebudayaan di dalam praja Mangkunegaran dengan memberi

kebebasan mendirikan sekolah-sekolah di wilayahnya. Beliau menyadari bahwa

perkembangan kebudayaan akan berjalan dengan baik jika didukung dengan adanya

tenaga terdidik.7

Oleh karena itu, ia selalu mengajarkan kesenian pada kawula

Mangkunegaran. Mangkunegara VII selalu berusaha memperkenalkan dan

menyebarluaskan kesenian Jawa kepada seluruh kawula Mangkunegaran, misalnya

seni tari, seni gamelan, seni drama, seni suara dan lain-lain. Upaya tersebut

dilaksanakan dengan cara mengajarkan kesenian Jawa di berbagai organisasi atau

perkumpulan kawula Mangkunegaran, di sekolah-sekolah milik praja

Mangkunegaran yang tersebar luas di kabupaten-kabupaten dan kawedanan-

kawedanan.8

Mangkunegara VII adalah tokoh penting dalam perkembangan seni tari.

Kategorisasi seni pertunjukan yang ditampilkan sebelum abad ke 20 menempatkan

seni dalam 2 pemahaman, yaitu seni untuk kepentingan istana dan seni pertunjukan

untuk masyarakat umum. Bagi Mangkunegara VII, tari merupakan bagian yang

paling penting dalam mempertahankan budaya Jawa.9 Oleh karena itu, sejak kecil

putri-putri Mangkunegara VII diajarkan tari-tarian Jawa di pendopo istana maupun di

7

Anonim, “KGPAA Mangkoenagoro VII Menyusul Memperoleh

Penghargaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan”, Dalam Kedaulatan Rakyat,

12 Oktober 1988, hlm. 8. 8

Panitya Penyusun Kerabat Mangkunegaran, Mangkunegaran Selayang

Pandang, (Surakarta: Reksapustaka Mangkunegaran, 1944), hlm. 6-7. 9 Insiwi Febriary Setiasih, “Pemikiran K. G. P. A. A. Mangkunegara VII

Tentang Pendidikan Wanita dan Kebudayaan (1916-1944)”, dalam Tesis,

(Yogyakarta: UGM, 2009), hlm. 171-172.

Page 5: BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511003_bab5.pdf · Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggapnya masuk dalam kelompok

79

kantor Kepatihan dan oleh sebab itulah mulai bermunculan tempat-tempat belajar

tarian Jawa di praja Mangkunegaran.

Pagoejoeban Moelat Sarira ikut berperan serta dalam mengembangkan budaya

Jawa. Paguyuban ini mengelola tempat belajar tarian Jawa yang diberi nama

Pakempalan Beksa Mangkunegaran (PBMN). PBMN diketuai oleh M. Ng.

Tjitrahoebaja sejak tahun 1935. 10

PBMN diperuntukkan khusus untuk anggota biasa

Paguyuban Mulat Sarira yang berasal dari golongan putra dalem, sentana, abdi

dalem (pegawai birokrasi Mangkunegaran baik yang masih aktif maupun yang sudah

pensiun). Pelatihan tari dilaksanakan setiap malam Senin bertempat di

Notohatmadjan Mangkunegaran. Tari yang diajarkan adalah tari Jawa yang

mengadopsi cerita dari Pandhawa. Pada tanggal 7 dan 8 Maret tahun 1941, PBMN

menampilkan sebuah pertunjukan tari Tunggarana yang menceritakan tentang perang

antara Prabu Bomanarakaswara dengan Raden Gathutkaca dalam acara pesta

memperingati 25 tahun masa pemerintahan Mangkunegara VII di Sana Harsana

daerah Pasar Pon.11

Perkembangan tempat belajar tari-tarian Jawa meluas di praja

Mangkunegaran. Para Legiun Mangkunegaran juga mendirikan sebuah tempat belajar

tari yang diberi nama Pakempalan Beksa Officiieren Legiun Mangkunegaran yang

biasa disebut Pare Anom tahun 1939.12

10

Kekancingan (Surat Keputusan) Nomor 1 Paguyuban Mulat Sarira tanggal

21 Februari 1935 dan 8 Maret 1935, Koleksi arsip Reksoputoko Mangkunegaran, No.

MN 500. 11

Majalah Soerya edisi bulan Maret 1941, Koleksi arsip Rekopustoko

Mangkunegaran, No. MN. 149. 12

Majalah Soerya edisi bulan Februari 1941, Koleksi arsip Rekopustoko

Mangkunegaran, No. MN. 149.

Page 6: BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511003_bab5.pdf · Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggapnya masuk dalam kelompok

80

Kegiatan Pagoejoeban Moelat Sarira dalam mengembangkan budaya Jawa

selain mengelola tempat belajar tarian Jawa adalah mengoptimalkan peran pers.

Pagoejoeban Moelat Sarira membuat majalah Soerya yang dengan muatan seputar

budaya Jawa. Pers dirasa sangat ampuh dalam menyebarkan propaganda budaya Jawa

karena mudah untuk didistribusikan kepada para pembaca. Majalah Soerya terbit

setiap bulan yang diperuntukan gratis bagi para anggota Pagoejoeban Moelat Sarira

serta dijual kepada masyarakat umum.

Majalah Soerya lebih banyak mengangkat seputar kegiatan praja

Mangkunegaran, khususnya kegiatan budaya. Majalah ini mendukung penuh kegiatan

Mangkunegara VII yang selalu menitikberatkan kebudayaan Jawa di atas segalanya.

Mangkunegara VII juga mendidik putri-putrinya untuk mencintai budaya Jawa.

Majalah Soerya tidak pernah luput dalam memberitakan segala kegiatan putri

Mangkunegara VII di bidang kebudayaan, seperti gambar berikut ini.

Gambar 2.

Gusti Raden Ajeng Siti Koesoemowardhani menari tari Serimpi di depan Ratu

Wilhelmina di Paleis Noordeinde Belanda tahun 1937

Sumber: Majalah Soerya Edisi Bulan Juni 1940

Page 7: BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511003_bab5.pdf · Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggapnya masuk dalam kelompok

81

Majalah Soerya juga mengikuti dan meliput proses perkembangan

kebudayaan Jawa. Perkembangan modern tersebut akibat masuknya budaya asing

yang turut mengubah konstelasi budaya dan gaya hidup masyarakat Surakarta. Istana

yang merupakan simbol dari kesakralan istana, lambat laun mengenal seni budaya

Barat antara lain dengan maraknya pesta-pesta yang sering diadakan terutama pada

masa pemerintahan Mangkunagara VII. Kesenian semacam ketoprak yang lahir

sebagai seni pinggiran, antitesis dari kesenian istana mulai diorganisir untuk

dipertunjukkan. Hal ini didahului dengan munculnya pertunjukan yang dinamakan

Toneel dan pembangunan sejumlah gedung Societeit sebagai lokasi pertunjukan.13

Gambar 3.

Pertunjukan ketoprak oleh Mas Ayu Manis di Sana Harsana Pasar Pon

Sumber: Majalah Soerya edisi bulan Desember 1940

Pagoejoeban Moelat Sarira juga ikut serta dalam mengembangkan bahasa

Jawa melalui media pers. Hal tersebut sebagai bentuk dukungan kepada

13

Insiwi Febriary Setiasih, op. cit., hlm. 172

Page 8: BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511003_bab5.pdf · Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggapnya masuk dalam kelompok

82

Mangkunegara VII yang juga menumbuhkan rasa cinta budaya melalui bahasa Jawa.

Usaha yang dilakukan Mangkunegara VII dalam mengembangkan bahasa Jawa

adalah terlibat aktif dalam Konggres Bahasa Jawa pada tanggal 18 hingga 20 Juli

1936 di Museum Sono Budoyo Yogyakarta. Konggres tersebut dihadiri para pejabat

maupun peminat bahasa Jawa baik dari kalangan pribumi maupun bangsa Belanda.

Pembahasan dalam konggres tersebut berkaitan dengan pengajaran bahasa dan tulisan

Jawa dalam sekolah-sekolah pribumi. Pada tanggal 29 Oktober 1936, Konferensi ke-2

Komisi Huruf Jawa diselenggarakan di Surakarta dengan dukungan dari Paku

Buwono X dan Mangkunegara VII sebagai lanjutan Konggres Bahasa Jawa.

Keterlibatan Mangkunegara VII dalam beberapa konggres bahasa Jawa juga

merupakan pengaruh dari Ki Hajar Dewantara dan R. M. Notosoeroto.14

R. M. Noto Soeroto adalah seorang yang berwawasan luas, namun juga

seorang yang mempunyai perhatian besar dalam budaya Jawa. Ia menuangkan

pemikirannya melalui majalah Soerya. R. M. Noto Soeroto merupakan orang

berpengaruh dalam Pagoejoeban Moelat Sarira karena ia menjabat 2 jabatan penting

dalam paguyuban ini, yaitu sebagai ketua redaksi majalah Soerya dan ketua pengelola

perpustakaan Sonopoestoko. Dalam bidang pers, majalah Soerya yang dipimpin oleh

R. M. Noto Soeroto sangat mengagungkan bahasa Jawa di atas segalanya. Tulisan-

tulisan dalam majalah ini menggunakan bahasa Jawa baik yang ditulis dengan aksara

Jawa maupun latin. Usaha majalah Soerya untuk menggerakkan dan menarik minat

masyarakat umum supaya lebih mencintai bahasa Jawa adalah dengan mengadakan

14

Ibid., hlm. 170-171.

Page 9: BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511003_bab5.pdf · Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggapnya masuk dalam kelompok

83

sayembara berhadiah. Majalah Soerya mengajak masyarakat untuk lebih teliti

membaca dan mencari kesalahan dalam penulisan bahasa Jawa pada tulisan majalah

ini. Majalah Soerya akan memberikan hadiah berupa uang bagi masyarakat yang

mengirimkan jawaban benar serta dipilih oleh redaksi majalah Soerya.

Melalui kegiatan-kegiatan yang telah dijelaskan di atas, Pagoejoeban Moelat

Sarira ikut berperan serta dalam memperkenalkan, menyebarluaskan, dan

melestarikan kesenian Jawa di kalangan kawula Mangkunegaran dan juga di luar

praja Mangkunegaran. Pagoejoeban Moelat Sarira berkeyakinan bahwa dengan jalan

menjunjung dan memelihara kebudayaan tentu rasa nasionalisme terhadap tanah air

dan bangsa akan tergugah. Pagoejoeban Moelat Sarira adalah organisasi Jawa yang

berbicara tentang tanah air, yaitu tanah tumpah darah Jawa. Nasionalisme Jawa

berarti kebudayaan yang termanifestasi dalam berbagai ungkapan seperti propaganda

untuk seni Jawa, aksi untuk mempertaruhkan dan mengembangkan bahasa Jawa, serta

perjuangan melawan sistem pengajaran yang bersifat ke-Belanda-an.15

B. Perjuangan Pagoejoeban Moelat Sarira Dalam Bidang Pendidikan

Pada tahun 1930-an, depresi ekonomi melanda seluruh dunia berimbas juga

hingga praja Mangkunegaran. Depresi ekonomi tersebut menyebabkan merosotnya

kondisi perekonomian praja Mangkunegaran hingga tahun 1934. Mangkunegara VII

dan pemerintah praja Mangkunegaran terpaksa menghemat pengeluaran.

Penghematan tersebut menyebabkan penghentian sekolah-sekolah di desa-desa di

15

Nederland Indie Oud, op. cit., hlm.

Page 10: BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511003_bab5.pdf · Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggapnya masuk dalam kelompok

84

wilayah praja Mangkunegaran karena tidak adanya dana untuk itu semua. Hal

tersebut menyebabkan perkembangan pendidikan di wilayah pedesaan

Mangkunegaran menjadi terbengkalai. Oleh karena itu untuk mencerdaskan

masyarakat, Mangkunegara VII melalui Pakempalan Kawula Mangkunegaran

(PKMN) membentuk organisasi kepanduan yang bernama Krida Muda pada tanggal

11 November 1934.

Pada tahun 1936, PKMN bubar sehingga perlu organisasi untuk membantu

kegiatan Krida Muda. Hubungan Krida Muda dengan Pagoejoeban Moelat Sarira

sangatlah dekat. Terbukti bahwa ketua umum Pagoejoeban Moelat Sarira, yaitu K. R.

M. T. Sarwoko Mangoenkoesoemo juga menjabat sebagai Panitya Agung dalam

kepengurusan Krida Muda. Lebih jauh lagi, bersama-sama JPO, Krida Muda, dan

Pagoejoeban Moelat Sarira melakukan propaganda yang selaras untuk menarik

simpati sekaligus mencegah agar masyarakat praja Mangkunegaran tidak masuk ke

dalam Pakempalan Kawula Surakarta (PKS), organisasi yang dibentuk Kasunanan

Surakarta.

Perjuangan JPO, Krida Muda, dan Pagoejoeban Moelat Sarira yang

merupakan organisasi-organisasi milik Mangkunegaran ini bekerja sama di bidang

pendidikan. JPO dan Krida Muda merupakan organisasi golongan kaum muda

Mangkunegaran bergerak dalam hal kepanduan, pada prinsipnya kepanduan

merupakan suatu metode pendidikan non-formal yang bertujuan mendidik jasmani

dan rohani generasi muda dalam lingkungannya sendiri, di samping pendidikan yang

telah diberikan keluarga dan sekolah. Hal tersebut sama dengan arti pendidikan

Page 11: BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511003_bab5.pdf · Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggapnya masuk dalam kelompok

85

sendiri, yaitu suatu kegiatan yang bertujuan membimbing, mengarahkan dan

membentuk jasmani serta rohani seseorang maupun sekelompok orang ke arah yang

dikehendaki oleh pendidik atau pengajar dengan cara memberikan ilmu pengetahuan,

ketrampilan, pemahaman atau pengertian nilai-nilai dan kecakapan tertentu yang

dipandang perlu dan bermanfaat.16

Kegiatan kepanduan yang dilakukan JPO dan Krida Muda tersebut tidak

terkecuali diperuntukkan juga bagi kaum putri. Kepanduan putri JPO lebih banyak

melakukan kegiatan keputrian, misalnya menjahit, membatik, memasak, menyulam,

cara mengasuh dan mendidik anak dengan baik dan lain-lain. Kepanduan putri JPO

memang mendidik anggotanya untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik, berguna

bagi keluarga dan masyarakat.17

Krida Muda juga mengadakan kegiatan kepanduan putri yang tidak jauh

berbeda dengan kegiatan kepanduan putri JPO. Kepanduan putri Krida Muda juga

mendidik anggotanya untuk menjadi ibu rumah tangga. Di samping itu, kepanduan

puteri Krida Muda lebih banyak diberi kegiatan kesenian.

Pagoejoeban Moelat Sarira berbeda dengan JPO dan Krida Muda yang

bergerak dalam hal kepanduan, namun segala bentuk kegiatan JPO dan Krida Muda

selalu mendapat dukungan dari Pagoejoeban Moelat Sarira. Kegiatan-kegiatan

kepanduan JPO dan Krida Muda diliput dalam majalah Soerya supaya seluruh

masyarakat mengetahuinya. Media pers ini juga sangat bermanfaat sebagai media

16

Abdurrahman Surjohardjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa Dalam

Sejarah Indonesia Modern, (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), hlm. 33. 17

Agastija, “Padvinders Wereldjamboree-1937”, Dalam Kepandoean, No. 7,

Juli 1936, hlm. 3.

Page 12: BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511003_bab5.pdf · Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggapnya masuk dalam kelompok

86

promosi agar masyarakat merasa tergerak dan bergabung dengan JPO atau Krida

Muda.

Latar belakang anggota Pagoejoeban Moelat Sarira yang dari golongan sudah

tidak muda lagi dan juga merupakan berasal dari golongan pembesar membuat

paguyuban ini bergerak secara intelektual. Perjuangan di bidang pendidikan oleh

Pagoejoeban Moelat Sarira ada hubungannya dengan depresi ekonomi dunia sudah

semakin membaik menjelang awal tahun 1935. Munculnya sekolah-sekolah di

pedesaan melahirkan golongan-golongan terpelajar dari pedesaan. Kondisi inilah

yang dimanfaatkan oleh Pagoejoeban Moelat Sarira dalam memenuhi kebutuhan para

kaum terpelajar tersebut. Tugas Pagoejoeban Moelat Sarira dalam mengelola

Sonopoestoko sebagai perpusakaan umum memiliki peranan penting tersendiri bagi

kaum terpelajar.

Perpustakaan Sonopoestoko menawarkan fasilitas komplit dan koleksi buku-

buku serta surat kabar yang cukup lengkap. Fasilitas yang memadai membuat

masyarakat gemar untuk belajar atau sekedar membaca di Sonopoestoko. Secara tidak

langsung, perpustakaan ini menghidupkan suasana intelektual di Surakarta setidaknya

sampai akhir riwayat Pagoejoeban Moelat Sarira sebelum dibubarkan oleh

pemerintah pendudukan militer Jepang. Rata-rata jumlah pegunjung setiap tahunnya

bertambah dari berbagai suku, golongan dan bangsa. Tercatat pada tahun 1941, rata-

rata pengunjung setiap harinya berkisar 67 orang seperti yang dijelaskan dalam tabel

berikut ini:

Page 13: BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511003_bab5.pdf · Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggapnya masuk dalam kelompok

87

Tabel 3.

Laporan jumlah pengunjung taman baca Sonopoestoko tahun 194118

No. Bulan

Jumlah Pengunjung Total

Jumlah

Pengunjung

Bangsa

Indonesia

Bangsa

Tionghoa

Bangsa

Belanda

1. Januari 1.658 45 - 1.730

2. Februari 1.713 20 - 1.755

3. Maret 2.010 37 37 2.084

4. April 1.941 44 26 2.011

5. Mei 3.070 60 22 3.158

6. Juni 1.887 71 8 2.966

7. Juli 2.067 50 27 2.144

8. Agustus 1.673 67 35 2.075

9. September 1.442 28 16 1.486

10. Oktober 1.650 - - 1.650

11. Nopember 1.541 55 31 1.627

12. Desember 1.798 46 19 1.863

24.522

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa angka jumlah pengunjung

perpustakaan Sonopoestoko dari bangsa Indonesia sangat signifikan dibandingkan

bangsa Tionghoa dan Belanda. Bangsa Indonesia mulai melek huruf, memiliki rasa

ingin maju dari ketertinggalan bangsa lain dan sadar akan pentingnya pendidikan.

Pagoejoeban Moelat Sarira yang bekerja sama dengan organisasi-organisasi pemuda

Mangkunegaran berusaha untuk memperjuangkan pendidikan masyarakat Surakarta,

khususnya masyarakat praja Mangkunegaran. Dengan demikian, banyak bermunculan

golongan terpelajar dari bangsa pribumi karena peranan Pagoejoeban Moelat Sarira,

baik melalui dibidang pers maupun pendidikan. Paguyuban ini secara tidak langsung

berperan dalam menumbuhkan rasa nasionalisme masyarakat praja Mangkunegaran

dan masyarakat umum.

18

Jaarverslag (Laporan Tahunan) Sonopoestoko tahun 1941, Koleksi arsip

Reksopustoko Mangkunegaran, No. MN 1389.

Page 14: BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511003_bab5.pdf · Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggapnya masuk dalam kelompok

88

C. Pembubaran Pagoejeoban Moelat Sarira Pada Masa Pendudukan Militer

Jepang

Sebelum Perang Dunia II, di Indonesia telah ada komunitas Jepang yang

bertempat tinggal di kota-kota besar, seperti Batavia (sekarang Jakarta), Surabaya,

Semarang, dan Solo. Mereka ini umumnya mempunyai pekerjaan sebagai pemilik

toko, peagang, dan pengusaha. Di kota-kota tesebut para wanita Jepang banyak

menjadi pelacur.19

Orang Jepang ini memasuki wilayah Indonesia dalam jumlah besar

mulai tahun 1920-an sampai tahun 1930-an.

Pada tahun 1930-an, komunitas Jepang di Indonesia mempunyai perkumpulan

(asosiasi). Perkumpulan ini tidak didasarkan jenis kegiatan ekonomi yang mereka

tangani. Perkumpulan tersebut atas dasar perantauan orang Jepang di Indonesia. Pada

waktu itu, jumlah asosiasi orang Jepang di seluruh Indonesia (Hindia Belanda)

terdapat di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan luar Jawa, yang terbesar di 51

tempat dengan jumlah anggota sebanyak 3904 orang. 20

Pada masa pendudukan militer Jepang di Indonesia, sesuai dengan

kebijaksanaan angkatan laut dan angkatan daratnya, komunitas Jepang ini perlu

diberdayakan. Pemberdayaan komunitas Jepang ini untuk kepentingan sebagai

penerjemah bagi militer dan penggerak bidang usaha perekonomian. Selama tahun

1912-1935 usaha perekonomian orang Jepang di Hindia Belanda selalu meningkat

19

Saya Siraishi dan Takashi Siraishi (Penyunting), Orang Jepang Di Koloni

Asia Tenggara, diterjemahkan P. Soemitro, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998),

hlm. 138-177. 20

Ken Ichi Goto, Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, Edisi

Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), hlm. 243-252.

Page 15: BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511003_bab5.pdf · Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggapnya masuk dalam kelompok

89

dari tahun ke tahun. Peningkatan tersebut dapat dilihat pertambahan tenaga dalam

tiap sektor ekonomi. Misalnya sektor perdagangan dalam kurun waktu 1912-1935,

pertumbuhan tenaga buruh atau kerja rata-rata tiap tahun 2,34%.21

Pecahnya Perang Pasifik tahun 1940 yang menjadi bagian Perang Dunia II,

memutuskan Jepang untuk melancarkan perang pada akhir 1941. Dalam bulan Juli

1940, Kabinet Jepang di bawah Perdana Menteri Konoye, yang dikenal Kabinet

Konoye telah diganti Kabinet Perang dibawah pimpinan Jenderal Tojo Hediki.22

Penyerbuan militer Jepang ke Indonesia dan penaklukannya hanya memakan waktu

dua bulan. Pulau Jawa jatuh ke tangan pasukan militer Jepang pada tanggal 8 Maret

1942.23

Jatuhnya Pulau Jawa ke tangan pasukan militer Jepang berarti pertahanan

Belanda di Indonesia telah runtuh. Pendaratan pasukan militer Jepang di Jawa

dimulai pada 1 Maret 1942, pada malam hari di teluk Banten, yang langsung

dipimpin oleh Saiko Sikikan (Panglima Tertinggi) bernama Letnan Jenderal Imamura

Histoshi.24

Tanggal 8 Maret 1942 adalah suatu peristiwa penting bagi sejarah

pendudukan militer Jepang di Indonesia. Pembagian wilayah bekas pemerintahan

Hindia Belanda secara resmi dimulai tanggal 8 Maret 1942, saat pemerintah Hindia

Belanda menyerah tak bersyarat kepada pemerintah Dai Nippon. Wilayah propinsi-

21

Saya Siraishi dan Takashi Siraishi, op. cit., hlm. 150-151. 22

Nugroho Notosusanto, Tentara Peta Pada Jaman Pendudukan Jepang di

Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 1979), hlm. 13-17. 23

Anthony J. S. Reid, Indonesian National Revolution 1945-1950, Victoria,

Longman Australia, Ltd. 1974, hlm. 10. 24

Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda, (Jakarta: PT. Gramedia, 1987)

hlm. 252.

Page 16: BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511003_bab5.pdf · Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggapnya masuk dalam kelompok

90

propinsi dalam masa pemerintahan Hindia Belanda dihapuskan. Dalam pembagian

wilayah di Jawa tengah terdapat daerah kerajaan Kasultanan Yogyakarta dan

Kasunanan Surakarta. Kedua kerajaan tersebut dinyatakan sebagai daerah istimewa

yang dinamakan kochi. Kochi merupakan kota dalam bahasa Jepang, yang dalam

bahasa Indonesia pada waktu itu disebut kooti.

Pemerintahan Surakarta Kochi membawahi kekuasaan kerajaan Surakarta.

Daerah Yogyakarta juga dibentuk Yogyakarta Kochi 25

yang juga membawahi

kerajaan di Yogyakarta. Pimpinan Surakarta Kochi disebut Kochi jumu Kyoku

Chokan (Pembesar Urusan Daerah Kerajaan). Di wilayah Surakarta Kochi,

pemerintah pendudukan militer Jepang tetap mengakui kekuasaan susuhunan yang

dinamakan Susuhunan Ko dan kekuasaan Mangkunegaran dinamakan

Mangkunegoron Ko. Hal tersebut bertujuan untuk memutuskan ikatan dengan pihak

Belanda dan bersumpah setia kepada Jepang.26

Susuhunan Ko pada masa

pendudukan militer Jepang adalah Pakubuwono XI, sedangkan di Mangukegaran

adalah Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Mangkunegoro VII. Susuhunan Ko dan

Mangkunegoron Ko diangkat dan dihentikan oleh Pembesar balatentara Dai Nippon

Di Jakarta.

Pada Tanggal 9 Maret 1942, Letnan Jenderal Ter Poezten dan Gubernur

Jenderal Tjarda van Storkonberg dan Stachouver menyerah tanpa syarat pada

25

P. J. Suwartono, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintah

Yogyakarta 1942-1974, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994), hlm. 98-99. 26

Sutrisno Adiwardoyo, “Pertumbuhan Kadipaten Mangkunegaran Sampai

Masuknya ke Dalam Provinsi Jawa Tengah: Penyelidikan Sejarah Lokal Kadipaten

Mangkunegaran Sekitar Tahun 1945-1950”, dalam Skripsi, (Surakarta: Institut

Keguruan Ilmu Pendidikan, 1974), hlm. 54-55.

Page 17: BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511003_bab5.pdf · Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggapnya masuk dalam kelompok

91

Jenderal Imamura, yaitu Kolonel Nakayama ke Kasunanan dan Mangkunegaran.

Kolonel Nakayama datang ke istana Mangkunegaran antara lain menyebutkan:

1. Bahwa kedudukan yang diterima Sri Paduka dari pemerintah Belanda pada

prinsipnya tidak dikurangi.

2. Mulai saat itu kerajaan Solo dan Yogyakarta tidak termasuk daerah Jawa Tengah,

tetapi langsung berada di bawah pemerintah militer yang kantor besarnya di

Jakarta.

3. Pemerintah militer akan mengirimkan beberapa opsir sebagai penghubung dan

membentuk serta memberi nasehat dalam pekerjaan Sri Paduka.

Pada bulan April 1942, pemerintah pendudukan militer Jepang membubarkan

semua perkumpulan pribumi. Hal tersebut juga berimbas terhadap dibubarkannya

Pagoejoeban Moelat Sarira sebagai perkumpulan kawula. Seluruh wewenang yang

dimiliki oleh Pagoejoeban Moelat Sarira dalam mengelola perpustakaan Sonopustoko

diambil alih oleh pemerintah pendudukan militer Jepang, namun masih tetap diketuai

oleh R. M. Noto Soeroto. Koleksi buku-buku dan surat kabar milik perpustakaan

Sonopoestoko disita serta diperiksa oleh Kempeitai. Anggota Pagoejoeban Moelat

Sarira sudah tidak dapat lagi meminjam buku di Sonopoestoko. 27

Aktifitas

penerbitan majalah Soerya dan surat kabar lainnya juga otomatis dihentikan. Pers

didominasi surat kabar Jepang karena digunakan sebagai alat propaganda untuk

menarik dan memobilisasi massa.

27

Jaarverslag (Laporan Tahunan) Sonopoestoko tahun 1942, Koleksi arsip

Reksopustoko Mangkunegaran, No. MN 1390, hlm. 1.

Page 18: BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511003_bab5.pdf · Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggapnya masuk dalam kelompok

92

Pembubaran perkumpulan pribumi ini diikuti pula dibubarkannya

perkumpulan pemuda Mangkunegaran, seperti Krida Muda dan JPO. Mangkunegara

VII sangat memperhatikan kondisi ini dan masih membutuhkan kegiatan olah raga,

maka pada tanggal 29 September 1942 Mangkunegara meminta izin kepada

pemerintah Dai Nippon untuk mendirikan barisan pemuda. Tanggal 3 Oktober 1942

lahirlah Gerakan Taruna, yaitu perkumpulan pemuda Mangkunegaran yang

dimaksudkan untuk mempertinggi latihan jasmani. Pada April 1943 Pembentukan

Gerakan Taruna di seluruh wilayah Mangkunegaran telah selesai dan segera dimulai

dengan latihan pemimpin-pemimpin tiap-tiap kelurahan, yaitu sekitar 100 orang tiap

3 minggu.28

Kemudian pada tahun selanjutnya, pemerintah pendudukan militer

Jepang memerintahkan kepada Mangkunegara VII dan pemerintah swapraja

Mangkunegaran untuk mendirikan beberapa perkumpulan pemuda lainnya, misalnya

Tai Iku Kai, Barisan Gyo Tai, Seinendan dan lain-lain.

Pada umumnya semua perkumpulan pemuda Mangkunegaran tersebut lebih

merupakan gerakan olah raga dan semi militer serta terdapat di seluruh wilayah

Mangkunegaran. Sedangkan penanganannya diserahkan kepada pemerintah

Mangkunegaran dan untuk itu pemerintah Mangkunegaran mendirikan kantor

Gerakan Pemuda. Seperti halnya perkumpulan-perkumpulan pemuda pada zaman

penjajahan Jepang lainnya, perkumpulan-perkumpulan pemuda Mangkunegaran

tersebut tetap di bawah kontrol dan aturan dari pemerintah pendudukan militer Jepang.

28

Amin Singgih, Usaha dan Jasa Mangkunegara VII Terhadap Pendidikan

dan Pengajaran, (Surakarta: Reksapustaka Mangkunegaran, 1944), hlm. 3.

Page 19: BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511003_bab5.pdf · Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggapnya masuk dalam kelompok

93

Pemerintah pendudukan militer Jepang berusaha memobilisasi rakyat pribumi

untuk mencapai tujuannya. Hal tersebut jelas dengan pembentukan seinendan

(barisan pemuda). Gagasan tentang latihan dan pengendalian pemuda telah dipikirkan

oleh penguasa militer, yang sungguh-sungguh menyadari kekuatan potensial dari

pemuda, yang dapat dimobilisasikan demi upaya perang Jepang. Fungsi pokok

seinendan adalah untuk melatih dan memobilisasikan anggota-anggotanya untuk

berbagai kegiatan dengan bermacam-macam kegiatan dengan tujuan pokok melayani

pembentukan Asia Timur Raya.29

Demikianlah pada masa pendudukan militer Jepang,

organisasi-organisasi Indonesia sudah berubah dan beralih fungsi serta tujuan.

Organisasi-organisasi Indonesia yang awalnya bertujuan untuk menumbuhkan

semangat nasionalisme berubah menjadi alat Jepang untuk memobilisasi massa

supaya ikut dalam perang Jepang.

29

Aiko Kurasawa, Mobilisasi Dan Kontrol Sosial : Studi Tentang Perubahan

Sosial Di Pedesaan Jawa 1942-1945, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,

1993), hlm. 341-343.

Page 20: BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511003_bab5.pdf · Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggapnya masuk dalam kelompok

94

BAB V

KESIMPULAN

Masa Pemerintahan Mangkunegara VII merupakan masa banyak bermunculan

organisasi-organisasi yang beranggotakan kawula Mangkunegaran dan masyarakat

umum. Organisasi-organisasi tersebut mempunyai semangat dalam ajaran Tri Dharma

Mangkunegaran, yaitu mulat sarira hangrasa wani, rumangsa melu handarbeni, dan

wajib melu anggondheli. Tri Dharma mempunyai arti penting dalam hubungan antara

kawula dan raja. Semangat Tri Dharma inilah yang juga menjadi pilar tegak

berdirinya praja Mangkunegaran. Siapapun yang ingin mengguncang praja

Mangkunegaran dan mengusik kedudukan raja, maka kawula akan sigap bertindak

untuk membela dan mempertahankannya.

Pada awal abad 20, pemerintah kolonial Belanda ikut campur tangan di

Vorstenlanden membuat kedudukan raja-raja semakin melemah, termasuk

pemerintahan Mangkunegara VII. Masalah lain muncul akibat kanonisasi budaya

yang terjadi di Surakarta dan mendapat reaksi dari kaum elit tradisional. Reaksi

mereka terutama ditujukan pada isu tentang akan dihapuskannya Vorstenlanden,

Zelfbestuur, dan kebijakan reorganisasi tanah dan pengadilan. Realitas itu telah

menyadarkan kalangan ini betapa globalisasi mempunyai dampak yang lebih luas

terhadap budaya Jawa. Gerakan ini dalam perkembangannya sangat didukung oleh

kalangan pihak istana di Surakarta terutama Mangkunegara VII.

Page 21: BAB IV PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511003_bab5.pdf · Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggapnya masuk dalam kelompok

95

Pagoejoeban Moelat Sarira lahir sebagai organisasi perkumpulan para kawula

sebagai reaksi kondisi campur pemerintahan Belanda di praja Mangkunegaran.

Paguyuban ini juga sebagai tandingan organisasi non-Mangkunegaran, yaitu PKS

sebuah organisasi di bawah naungan Kasunanan Surakarta yang sudah menarik massa

sangat besar. Hal tersebut juga menjadi ancaman bagi kedudukan raja Mangkunegara

VII, sehingga Pagoejoeban Moelat Sarira bekerja sama dengan organisasi-organisasi

pemuda Mangkunegaran seperti Krida Muda dan JPO untuk menarik simpati

masyarakat. Pagoejoeban Moelat Sarira membawa pengaruh besar terhadap

kehidupan masyarakat di wilayah Surakarta pada umumnya dan Mangkunegaran pada

khususnya. Pagoejoeban Moelat Sarira mempunyai program-program kegiatan,

seperti mengelola perpustakaan Sonopustoko, penerbitan majalah Soerya, dan

melakukan kegiatan sosial dengan mengurusi kematian anggotaya.

Pagoejoeban Moelat Sarira menggunakan pers sebagai wadah pergerakannya

di bidang kebudayaan. Majalah Soerya terbit sebagai pembawa pesan dan pusat

mengembangkan budaya Jawa. Pagoejoeban Moelat Sarira juga mengembangkan

kebudayaan tari Jawa dengan mengelola PBMN yang diperuntukkan bagi anggotanya.

Peran Pagojoeban Moelat Sarira lainnya adalah pengelolaan perpustakaan

Sonopustoko. Perpustakaan ini menjadi sarana untuk mencerdaskan kesejahteraan

rakyat. Pagoejoeban Moelat Sarira melalui kegiatan-kegiatannya berpengaruh dalam

menumbuhkan nasionalisme masyarakat. Pada akhirnya tahun 1942, Pagoejoeban

Moelat Sarira dibubarkan dengan adanya kebijakan pemerintah pendudukan militer

Jepang yang melarang adanya organisasi-organisasi selain pembentukan Jepang.