bab iv makna mena muria bagi orang aboru -...
TRANSCRIPT
60
BAB IV
Makna Mena Muria bagi Orang Aboru
Bagian awal tesis ini telah mempertegas bahasa sebagai salah satu cara berelasi antar
individu, antar kelompok, atau antar individu dengan kelompok dan sebaliknya. Bahasa yang
digunakan mempunyai nuansa makna yang berbeda-beda berdasarkan pada konteks, gaya
bahasa, fungsi dan beberapa aspek lainnya. Dalam kelompok masyarakat, bahasa yang
dipakai selalu mengalami perubahan akibat berbagai faktor. Perubahan tersebut akan
mempengaruhi makna bahasa yang berlaku dalam masyarakat. Dalam hal ini, makna Mena
Muria bagi masyarakat Aboru di Pulau Haruku dan faktor-faktor yang mempengaruhi
pemaknaannya yang menjadi fokus penelitian.
Melalui analisis ini, penulis mengeksplorasi serta menjelaskan secara sistematis
penelitian ini dengan menggunakan teori bahasa dan semiotika. Penulis menganalisa
berdasarkan fokus penelitian, data lapangan, dan teori-teori yang telah dipaparkan
sebelumnya. Mengawali bagian ini, penulis mendeskripsikan Mena Muria sebagai bagian
dari orang Aboru dan fungsinya secara semiotika dalam masyarakat Aboru.
1. Mena Muria sebagai “Bahasa” Orang Aboru
Fungsi bahasa dalam kehidupan masyarakat sangat beragam. Bahasa dilihat sebagai
salah satu cara berkomunikasi, pemberi identitas dalam suatu kelompok dan bahkan sebagai
cara untuk menjaga ikatan sosial.1 Bahasa sangat erat kaitannya dengan proses-proses
sosialisasi yang terjadi dalam masyarakat, diantaranya melibatkan negosisasi, komunikasi
dan transaksi. Bahasa yang digunakan seringkali beragam sesuai dengan ciri kelompok dalam
masyarakat dan pembagian rumpun bahasa.
1 Chris Jenks, Culture Studi Kebudayaan (Yogyakarta, Erlangga, 1989)23.
61
Maluku misalnya termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia2 yang sama halnya
dengan daerah-daerah lain di Nusantara. Sedangkan Maluku Tengah masuk dalam rumpun
proto-austronesia.3 Maluku Tengah termasuk dalam sub-bahasa proto-Maluku yang terbagi
menjadi bagian timur dan bagian barat.4 Bagian barat melliputi pulau Buru dan Ambalau,
sedangkan bagian timur meliputi Pulau Seram, Ambon, Haruku, Saparua dan Nusalaut.
Berdasarkan pembagian inilah dapat dilihat bahwa bahasa di Pulau Haruku memiliki
kemiripan dengan yang ada di Pulau Seram (Nusa Ina) yang diyakini sebagai asal mula orang
Maluku. Kemiripan bahasa tentu ada, melihat pemetaan sub-bahasa di wilayah Maluku dan
Maluku Tengah.
Mena Muria, adalah sebuah idiom atau ujaran yang berlaku dalam masyarakat Maluku
maupun Maluku Tengah. Idiom ini berfungsi secara semantik dalam kehidupan masyarakat
Maluku. Semantik adalah kajian ilmu bahasa yang merupakan bagian dari semiotika yang
mempelajari tentang arti makna dan simbol.5 Semiotika yang adalah bagian dari semantik
merupakan sistem lambang dalam bahasa. Sehingga berbicara tentang bahasa, semiotika dan
semantik ketiganya tidak bisa dilepaskan apalagi berkenaan dengan aspek makna bahasa.
Perlu ditegaskan bahwa, Mena Muria adalah bagian dari bahasa orang Aboru. Kenapa
demikian? Orang-orang Maluku meyakini bahwa pusat dari kehidupan orang Maluku adalah
di Pulau Seram yang disebut juga sebagai Pulau Ibu/Nusa Ina. Asal muasal kehidupan orang
Maluku bahkan sampai pada bahasa tertua yang dipakai oleh orang Maluku atau yang
biasanya disebut dengan basa tana diyakini berasal dari Pulau Ibu. Mengenai bahasa paling
2 Rumpun bahasa yang sangat luas penyebarannya di dunia. Mulai dari Taiwan dan Hawai di ujung
utara sampai Selandia Baru (Aotearoa) di ujung selatan dan dari Madagaskar di ujung barat sampai Pulau Paskah (Rapanui) di ujung timur.
3 Rumpun bahasa yang lebih tua atau yang ada sebelum rumpun Austronesia. Biasanya bagi
kepulauan di bagian selatan 4 R. Z Leirissa dan Djuariah Latuconsina, Sejarah Kebudayaan Maluku (Jakarta : Ilham Bangun Karya,
1999) 76. 5 Abdul Chaer, Kajian Bahasa : Struktur Internal, Pemakaian dan Pemelajaran (Jakarta : Rineka Cipta,
2007) 67.
62
tua yang diyakini berasal dari Pulau Seram. Mena Muria yang diklaim berasal dari Pulau
Seram, juga diklaim sebagai milik orang Aboru. Dengan cerita-cerita yang secara turun
temurun diwariskan oleh generasi ke generasi lainnya, hal ini masih bertahan. Jelas saja
bahwa ada kemiripan bahasa bagi orang di Pulau Seram dan orang di Aboru yang berada di
Pulau Haruku. Berdasarkan pemetaan sub-bahasa proto-Maluku penyebaran bahasa Maluku
yang meliputi bagian timur terdiri dari Pulau Haruku, Pulau Seram, Pulau Saparua dan Pulau
Nusalaut maka rumpun bahasa bagian timur yang meliputi pulau-pulau ini cenderung sama.
Keberadaan Mena Muria perlu mendapatkan penegasan bahwa ia juga adalah bagian dari
kepunyaan orang Aboru.
Mena Muria dalam pendekatan bahasa, merupakan sebuah entitas antara hubungan
penutur dengan petutur. Didalam sebuah kata yang digunakan dalam relasi-relasi sosial
manusia memiliki makna dan ide-ide yang terkodekan sedemikian rupa. Makna dan ide-ide
akan mengalami proses perubahan informasi tergantung pada intepretasi petutur.6 Ada
berbagai macam aspek yang turut mempengaruhi perubahan makna dalam pendekatan
bahasa. Beberapa diantaranya adalah : aspek semiotika sosial, aspek mental, dan aspek
linguistik. Aspek semiotika sosial disebut juga sebagai semiotika behavioral yang melihat
bahasa sebagai realitas sosial sekaligus realitas semiotik.7 Dalam semiotika sosial, sebuah
kata memiliki dua dimensi, yakni dimensi realitas sosial yang meliputi pengalaman fisik,
logis dan fenomena filosofi dari penuturnya. Artinya bahwa segala realitas yang dialami oleh
penutur akan berpengaruh pada kata yang diucapkannya. Mena Muria dalam dimensi realitas
sosial tidak terlepas dari pengalaman fisik, logis dan fenomena filosofi. Mena Muria dalam
pengalaman fisiknya telah diberlakukan sebagai alat dalam masyarakat yang mampu
menyatukan atau bahkan memecahkan. Hal ini berkaitan dengan keberadaan Mena Muria
6 Eva M. Fernandez and Hellen Smith Cairns, Fundamental Pshycholinguistics (UK : Wiley-Blackwell,
2011) 134-135. 7 Dadan Rusmana, Filsafat Semiotika (Pustaka Setia : Bandung, 2014) 225.
63
yang sangat problematis. Apakah sebagai produk budaya ataukah sebagai bagian dari alat
politik? Nilai-nilai filosofis dalam Mena Muria erat hubungannya dengan nilai-nilai
persatuan dalam masyarakat Maluku yang mencirikan kehidupan masyarakat yang solider.
Nilai-nilai filosofis ini yang akan mengantarkan Mena Muria masuk dalam Dimensi
semiotik.
Dimensi semiotik merupakan dimensi kebudayaan yang mencakup sumber makna
sekaligus sumber semiotik itu sendiri. Dapat diartikan bahwa sebuah kata yang diucapkan
oleh penutur tidak terlepas dari pengaruh nilai-nilai kultural. Nilai-nilai kultural dalam Mena
Muria tidak bisa dilepaskan dari keberadaan nilai magis yang mempengaruhi keadaan
emosional individu atau kelompok yang mengucapkan kata Mena Muria yang diyakini
memiliki kekuatan yang diluar kemampuan manusia. Nilai-nilai kultural juga meliputi nilai
budaya orang Aboru yang mengutamakan hidup kebersamaan yakni gotong royong atau
dalam bahasa setempat disebut sebagai pakaloi. Mena Muria, memiliki kekuatan yang
mampu memobilisasi masyarakat dalam rangka melakukan pakaloi. Dalam pakaloi memiliki
makna “satu rasa laeng rasa”, “satu susah laeng tolong.”
Aspek mental atau proses mental8 oleh sebagian ahli dibagi ke dalam beberapa aspek
mendasar bahasa bagi seorang penutur yang dapat digunakan untuk menjelaskan proses
mental kebahasaan yang terjadi, meliputi: kemampuan yang tidak terbatas dalam
menghasilkan sebuah kalimat bermakna, kemampuan yang tidak terbatas dalam
menghasilkan dan menambah kata dalam kalimat, kemampuan untuk menghasilkan kata-kata
baru dalam kalimat, kemampuan untuk menghasilkan dan memahami struktur kalimat yang
diucapkan, kemampuan untuk menggunakan sinonim dalam sebuah kalimat, dan kemampuan
untuk memahami susunan kalimat bermakna ganda. Dalam aspek ini, makna Mena Muria
8 Danny D. Steinberg, etc., Psycholinguistics : Languange, Mind, and World (England : Pearson
Education Limited,2001) 345.
64
sangat bergantung pada kepiawaian penutur memainkan perannya. Aspek mental sangat
berpengaruh pada emosi penutur untuk dapat mempengaruhi orang lain dengan memainkan
emosi yang sesuai dengan intepretasi dan kehendaknya.
Aspek linguistik, dalam aspek ini bahasa sangat dipengaruhi oleh konteks yang juga
memainkan sistem sosial. Konsep linguistik sangat berpengaruh secara struktural sebuah kata
karena berdasarkan pada sudut pandang dan pendekatan psikologi, kognitif dan antropologi.9
Didalam aspek linguistik ini terbagai atas dua bagian, yakni : relativitas linguistik yang
menyatakan bahwa tiap-tiap budaya akan menafsirkan dunia dengan cara yang berbeda-beda
yang terkodekan dalam bahasa. Determinisme linguistik yang menyatakan bahwa bukan
hanya persepsi terhadap dunia yang mempengaruhi bahasa melainkan bahasa yang digunakan
juga dapat mempengaruhi cara berpikir yang mendalam. Mena Muria dalam aspek linguistik
juga terbagi atas dua bagian. Mena Muria yang ditafsirkan oleh budaya dengan cara masing-
masing budaya dan Mena Muria yang mampu mempengaruhi persepsi dan cara berpikir
manusia. Mena Muria hidup dalam budaya orang Maluku. Orang Maluku memiliki budaya
berbeda-beda meskipun hampir memiliki kesamaan. Telah dijelaskan bahwa, Mena Muria
selain berada dalam masyarakat Aboru, Mena Muria juga ada dalam masyarakat Pulau
Seram. Cara menggunakan, mengartikan, dan menafsirkan Mena Muria juga berbeda-beda.
Orang-orang Seram menggunakan Mena Muria untuk memetakan teritori tempat tinggal
mereka sesuai dengan asal-usul marga. Misalnya marga dengan unsur Mena mendiami garis
depan teritori. Misalnya : Wattimena, Hatumena dll. Sedangkan yang berunsur Muri (Muria)
mendiami teritori bagian belakang. Misalnya : Wattimuri, Hatumuri dan lain sebagainya.
Mena Muria bagi orang Aboru juga ditafsirkan berbeda, penafsirannya merujuk pada cara
mobilisasi warga dari pegunungan ke pesisir dengan cara meneriakan Mena dan akan dibalas
dengan Muria. Ada nuansa tafsiran yang berbeda sesuai dengan kebudayaan. Mena Muria
9 Pip Jones, etc. Introducing Social Theory, terj. Pengantar Teori-Teori Sosial, Achamd Fedyani
Saiffudin (Jakarta : Yayasan Obor, 2016) 169.
65
dalam determinisme linguistik berarti kata yang mampu mempengaruhi cara berpikir, dalam
hal ini kata dalam suatu bahasa dilihat sebagai kerangka pemikiran manusia. Keberadaan
Mena Muria telah mempengaruhi dan mentransformasikan ide-ide, cara berpikir, informasi
dalam individu ataupun kelompok. Pengaruh Mena Muria sangat signifikan dalam kehidupan
orang-orang Maluku umumnya dan orang Aboru khususnya setelah penggunaanya terbagi
dalam dua fase. Fase pra-pergolakan RMS dan fase pergolakan RMS di Maluku. Hal ini tentu
berpengaruh mengingat Mena Muria sebagai identitas orang Maluku (didalamnya juga orang
Aboru) juga secara bersamaan sebagai identitas politik bagi para simpatisan dan anggota
gerakan sosial politik RMS.
2. Makna Mena Muria Bagi Masyarakat Aboru di Pulau Haruku
Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan pada BAB III, dapat diketahui bahwa
Secara Etimologi Mena berarti “Di depan” Muria berarti “Di belakang”. Ketika dipadankan
akan membentuk kata Mena Muria “Depan Belakang Siap”. Kata Mena Muria ini yang
secara kesatuan dipakai dalam kegiatan khusus orang-orang Aboru pada zaman dulu. Kata
Mena Muria tidak bisa berdiri sendiri, meskipun pada kondisi tertentu kata ini dapat
disebutkan terpisah tetapi pada waktu yang beriringan selalu diikuti dengan balasan teriakan.
Misalnya, seseorang yang meneriakkan Mena!! Akan dibalas dengan kata Muria.
Penggunaan Mena Muria secara berbalas-balasan memberikan makna tersendiri bagi orang-
orang yang mengatakannya. Mena Muria menjadi tidak berarti atau bermakna ketika tidak
diucapakan secara berbalas-balasan, diucapkan dengan intonasi rendah, atau dipekikan
terpisah tanpa balasan.
Mena Muria dipahami dengan berbagai pandangan yang berbeda dalam masyarakat.
Misalnya orang Aboru yang mendiami Pulau Haruku mempunyai pemahaman yang berbeda
66
dengan orang di Pulau Seram mengenai Mena Muria.10
Bagi masyarakat Aboru Mena Muria
bukan hanya memiliki makna harafiah depan belakang siap, sama seperti pemahaman
masyarakat di Maluku pada umumnya melainkan mempunyai arti “Yang di atas (biasanya
yang dituakan, yang dihormati atau yang memiliki status sosial lebih tinggi) memberikan
contoh, yang di belakang (yang umurnya lebih muda atau mempunyai status sosial yang lebih
rendah) mengikuti.” Dalam hal ini arti harafiah yang dimaksudkan berkaitan dengan
penggunaan Mena Muria sebagai kata seruan yang digunakan dalam masyarakat tradisional
untuk memobilisasi masyarakat. Penggunaan kata Mena Muria tidak terlepas pula dari kata
Lawamena Haulala yang memiliki arti harafiah “apa yang datang dari depan jangan undur.”11
Kata Mena Muria yang seringkali dipadankan dengan kata Lawamena Haulala juga
mempunyai dimensi yang beragam. Salah satunya adalah dimensi sosial, yakni
mempengaruhi setiap orang yang mendengar dan yang mengucapkannya dalam suatu
keadaan emosional tertentu.
Pemahaman orang Aboru di Pulau Haruku terbagi atas 2 bagian yakni pemaknaan
sebelum adanya pengaruh politis dari gerakan sosial politik di Maluku tahun 1950 dan
sesudah munculnya gerakan tersebut. Fase sebelum terjadinya pergerakan sosial politik
tersebut orang-orang di Aboru mengetahui dengan benar bahwa Mena Muria sebagai produk
budaya lokal yang mencirikan identitas sebagai orang Maluku. Hal ini berkaitan dengan
sejarah orang Aboru yang memahami Mena Muria sebagai sebuah alat untuk mempersatukan
masyarakat. Pada zaman dulu, masyarakat Maluku umumnya dan masyarakat Aboru
khususnya menggunakan Mena Muria sebagai sebuah idiom yang berfungsi secara konkrit
dalam berbagai kehidupan masyarakat. Mena Muria dipakai sebagai idiom untuk
10
Hasil Wawancara dengan Bpk. E.S di Aboru, 3 Mei 2017 11
Hasil Wawancara dengan Bpk B.M di Aboru, 4 Mei 2017
67
menggerakan massa yang akan melakukan migrasi dari gunung ke pesisir, dipakai pada saat
berperang, melaut dan tari-tarian.12
Dalam sejarahnya Mena Muria adalah idiom dipakai untuk memobilisasi masyarakat
yang melakukan migrasi dari gunung ke pesisir. Migrasi dilakukan dari gunung Hu‟Ur Walu
ke daerah pesisir untuk mendapatkan lahan tempat tinggal dan sumber daya alam yang baru
untuk memenuhi kebutuhan pangan. Dalam kelompok yang besar tersebut, pemimpin akan
menggunakan cara untuk mengakomodir pergerakan masyarakatnya agar tetap pada jalur
yang telah disepakati. Cara yang dilakukan adalah dengan meneriakan kata Mena Muria.
Yang menjadi menarik adalah kata Mena Muria ini tidak terlalu ekspresif saat diucapkan
dengan suara yang pelan, akan sangat berfungsi secara emotif jika diterikan dengan lantang.
Sudah terjadi ratusan tahun yang lalu ketika masyarakat gunung melakukan migrasi ke
pesisir. Gaya komunikasi yang digunakan lebih merujuk pada structuring style yang
memanfaatkan pesan-pesan verbal untuk memantapkan perintah dan memberi perhatian pada
keinginan untuk mempengaruhi orang lain. Hal ini dilihat sebagai etnografi komunikasi13
yang melibatkan struktur sosial, nilai dan perilaku dalam masyarakat.
Dalam mengkomunikasikan Mena Muria saat melakukan migrasi, pemimpin kelompok
yang memegang jabatan sturuktural tertinggi dalam masyarakat tersebut akan memekikan
“Mena!!!” secara lantang dan tegas untuk memastikan bahwa jalan di depan yang akan dilalui
oleh kelompok sudah aman dari bahaya. Pekikan tersebut akan kembali dibalas oleh penjaga
di belakang kelompok dengan “Muria!!!” yang artinya belakang juga sudah aman tidak ada
musuh yang mengikuti atau hewan buas dan bahaya lainnya yang mungkin terjadi selama
masa migrasi. Mena Muria yang dipekikan pada saat migrasi kelompok mempunyai makna
12
Ibid. 13
Leonard Bloomfield, Languange (London : George Allen and Unwin LTD,1933)29.
68
yang hampir sama dengan Mena Muria yang dipekikan pada saat melakukan peperangan.14
Perang antar kelompok sering terjadi pada zaman dulu dengan berbagai macam motif. Perang
biasanya dipicu karena perebutan tempat tinggal, perebutan lahan dan lain sebagainya. Dalam
berperang antar kelompok akan melibatkan banyak orang. Untuk memobilisasi massa yang
ikut perang maka teriakan Mena Muria dilantangkan. Dalam hal ini berarti orang dalam
kelompok siap untuk berperang. Jika kemenangan berhasil diraih maka pekikan Mena Muria
akan lebih gaung diperdengarkan sebagai keyakinan bahwa kami maju berperang dan
kemenangan mengikuti kami.
Dalam peperangan biasanya teriakan Mena Muria akan diterikan oleh orang yang
memiliki struktur sosial yang lebih tinggi biasaya panglima perang. Mena Muria dalam
peperangan juga dipahami sebagai aba-aba yang dipekikan untuk memulai peperangan. Mena
Muria dalam konsep migrasi dan perang mengandung semiotika behavioral yang melihat
sebuah kata sebagai realitas sosial sekaligus realitas semiotik. Sebuah kata sebagai suatu
realitas dari pengalaman fisis, logis, psikis dan filosofis15
, Mena Muria dalam konsep perang
dan migrasi juga memiliki realitas yang demikian. tentu melibatkan pengalaman yang riil dan
mempunyai makna filosofis. Pengalaman-pengalaman tersebut ada dalam konteks situasi dan
konteks kultural tertentu sehingga pemaknaan nilai-nilai kultural direalisasikan melalui
proses sosial dengan setting tertentu. Mena Muria bukan hanya ditemukan dalam proses
sosial yang ekstrim seperti migrasi kelompok dan peperangan, namun juga ditemukan
didalam proses sosial yang melibatkan interaksi dalam seni melalui tarian. Nuansa makna
Mena Muria dalam tarian lebih memiliki unsur magis.
Mena Muria sebagai sebuah kata yang memiliki unsur magis dapat membuat orang
yang mengucapkan kata tersebut dapat mengalami keadaan penuh emosional bahkan juga
14
Hasil Wawancara dengan Bpk. E.S di Aboru, 3 Mei 2017 15
Dadan Rusmana, Filsafat Semiotika, (Bandung : Pustaka Setia, 2014) 225.
69
dapat mempengaruhi orang lain. Fungsi magis ini ditemukkan dalam upacara adat atau
upacara keagamaan dalam suatu budaya.16
Mena Muria secara magis juga memberikan
kekuatan bagi para penari Cakalele ketika melakukan tarian. Cakalele sebagai representasi
dari keberanian dan kelihaian dalam berperang yang dituangkan lewat gerak tubuh. Mena
Muria sebagai seruan dalam tari-tarian ini mampu membangkitkan semangat dan rasa
percaya diri para penari. Ada sebuah hasrat dan rasa solidaritas yang tidak bisa digambarkan
dengan kata-kata namun bisa dirasakan memiliki kekuatan yang sangat besar. Sehingga tak
jarang penari dapat melakukan kebal tubuh dengan menggosokkan parang ke badan mereka
seperti orang yang mengalami trans-disosiasof (Kesurupan).
Kekuatan magis dalam kata Mena Muria sebagai bagian dari tarian disebabkan oleh
penggunaannya yang dianggap sakral dan diyakini dapat menembus ruang fisik sehingga
Mena Muria diasosiasikan sebagai kata yang mistik dan ghaib. Konsepsi tentang magis
bahasa adalah dengan mengaitkan bahasa dengan kuasa kreatif yang dapat mempengaruhi,
mengubah dan melenturkan emosi dan tak jarang juga mengubah realitas dan tindakan
manusia.17
Sehingga tidak jarang menemukan tarian cakalele yang menggunakan pekikan
Mena Muria dapat membangkitkan bentuk emosi yang meluap. Mena Muria memiliki nuansa
nilai yang mencirikan lokalitas masyarakat Maluku. Dalam sistem komunikasi masyarakat
sangat dipengaruhi oleh fenomena-fenomena yang juga turut mempengaruhi sistem nilai dan
makna18
.
Sedikitnya ada 3 nilai yang dapat dilihat dalam pemaknaan Mena Muria sebelum tahun
1950, yakni nilai sosial, nilai budaya dan nilai religius. Nilai Sosial dalam hal ini
berhubungan dengan struktur dan relasi sosial dalam masyarakat. Bagi masyarakat Aboru,
16
M. A. K. Halliday, Languange, Context, and Text : Aspect of Languange in a Social-Semiotic Perspective (Australia : Deakin University, 1985) 20
17 Noriah Mohamed dan Darwis Harahap,Ed. Mutiara Budi : Mengenang Profesor Abdullah Hasan
(Selangor : PTS Akademia,2013) 401. 18
Umberto Eco, Teori Semiotika, Terj., Inyak Ridwan Muzir (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2009)17.
70
kekuatan dan solidaritas merupakan aspek yang sangat penting. Solidaritas biasanya
dipengaruhi oleh ciri berkomunikasi yang menunjukkan kekuasaan dan keakraban dalam
hubungan horisontal masyarakat.19
Penggunaan kata dalam masyarakat merupakan ekspresi
dari hubungan-hubungan sosial dalam suatu komunitas. Dalam hal ini, orang Aboru
menggunakan kata Mena Muria untuk mengekspresikan hubungan-hubungan sosial mereka
antara masyarakat dan pemimpin atau masyarakat dengan sesamanya. Ekspresi-ekspresi
tersebut akan muncul secara berbeda-beda sesuai dengan penggunaannya berdasarkan
pemetaan struktur sosial. Mena Muria akan sangat ekpresif dan bermakna sangat dalam jika
dikatakan oleh para pemimpin dalam kelompok masyarakat. Ada nilai-nilai yang
memungkinkan kata tersebut memiliki nuansa yang berbeda-beda ketika diucapkan.
Nilai budaya dalam Mena Muria adalah bentuk kesepakatan bersama yang tertanam
dalam budaya masyarakat dan mengakar dalam simbol (dalam hal ini bahasa). Mena Muria
sebagai identitas masyarakat Maluku yang didalamnya juga mengandung kaidah-kaidah
berdasarkan kearifan lokal masyarakat Maluku. Nilai budaya Mena Muria ini terlihat dalam
konsep Mena Muria sebagai pemersatu masyarakat Maluku. Masyarakat Maluku yang hidup
dalam kearifan lokal “orang basudara” atau “potong di kuku rasa di antong”
mengintepretasikan keberadaan orang Maluku pada umumnya dan orang Aboru pada
khususnya sebagai sebuah komunitas yang memiliki solidaritas yang erat. Mena Muria
mampu untuk melampaui segala perbedaan dalam struktur dan lapisan masyarakat, dan
mengikat mereka dalam satu solidaritas. Didalam Mena Muria ada equalitarian komunikasi20
yang memungkinkan semua masyarakat pada suatu waktu ada dalam posisi yang sama.
19
Brown, R and Gilman, A. The Pronouns of Power and Solidarity. dalam Giglioli Pier Paolo (ed.) Language and Social Context (England: Penguin Books, 1972) 67.
20 Equalitarian Komunikasi yaitu salah satu gaya komunikasi yang berjalan dua arah dan dilandasi oleh
aspek kesejajaran, sama, tidak mengintimidasi. Lihat : Brent D. Ruben and Lea Steward, Communication and Human Behavior (Iowa : Kendall Hunt Publishing Company, 2016) 76.
71
Nilai Religius Mena Muria adalah representasi dari kesakralan. Mena Muria diyakini
sebagai pranata yang diberikan oleh yang transenden kepada orang-orang di masa lampau.
Nilai religius biasanya bersumber dari hidayah atau pengalaman dari yang transenden. Orang-
orang Aboru meyakini bahwa, Mena Muria didapatkan dari pengalaman religius pemimpin
mereka dengan yang Ilahi. Sehingga Mena Muria memiliki kekuatan dan daya tarik yang
sangat besar. Nilai religius telah terinkulturasi lewat pengalaman masyarakat dalam Mena
Muria. Selain itu pengaruh agama arus utama yakni kekristenan juga turut mempengaruhi
pemaknaan Mena Muria dalam kerangka nilai religius. Mena Muria dipahami bukan hanya
sebagai pengalaman mereka dengan yang ilahi tetapi Mena Muria adalah yang ilahi itu
sendiri. Orang Aboru memahami Mena Muria sebagai Alfa dan Omega atau yang awal dan
yang akhir.21
Sehingga Mena Muria dianggap sebagai kata yang sakral yang bahkan tidak
bisa diucapkan secara sembarang karena mewakili kehadiran yang transenden itu. Ketiga
nilai yang terkandung dalam konsep Mena Muria yang klasik bersifat sebagai pengikat
solidaritas dan identitas kelompok.
Fase kedua adalah sesudah terjadinya pergerakan sosial politik di Maluku, Mena Muria
bukan hanya sebagai sebuah identitas lokal masyarakat Maluku yang sarat akan nilai-nilai
budaya tetapi juga menggambarkan makna yang lebih kontemporer dengan mengandung
makna politis. Makna politis dalam Mena Muria berangkat dari peristiwa terbentuknya suatu
gerakan sosial politik di Maluku tahun 1950 yakni Republik Maluku Selatan.22
Pada saat
merumuskan lambang dan semboyan (yang belakangan dipakai sebagai salam persatuan)
tercetuslah untuk menggunakan simbol burung pombo putih (Merpati) dan semboyan Mena
Muria yang merujuk pada solidaritas.23
Solidaritas yang dimaksud pada fase ini adalah
solidaritas melakukan perlawanan dan mewujudkan perubahan sosial politik di Maluku.
21
Hasil Wawancara dengan Bpk B.M di Aboru, 4 Mei 2017 22
Hasil Wawancara dengan Bpk. S.W di Ambon, 9 Mei 2017. 23
Yusuf Abdullah Puar, Peristiwa Republik Maluku Selatan (Jakarta : Bulan Bintang, 1956) 125.
72
Makna politis dalam Mena Muria akhirnya menggeser pemaknaan Mena Muria yang
berbasis budaya kepada makna yang lebih kontemporer.
Mena Muria yang lebih kontemporer ini selalu dikaitkan dengan orang Aboru. Hal ini
tidak terlepas dari keikutsertaan kebanyakan masyarakat Aboru dalam gerakan sosial politik
di Maluku. Pemaknaan ini telah ada sejak perjuangan penumpasan RMS di Maluku dan
diwariskan sebagaimana pemaknaan yang berkaitan dengan RMS secara turun temurun
Terlihat jelas ketika RMS menggunakan kata Mena Muria sebagai semboyan. Bagi orang
Aboru, mengucapkan Mena Muria seperti membangkitkan rasa kebersamaan, semangat
perjuangan dan bahkan tak jarang ada yang sampai meneteskan air mata ketika mengucapkan
kata Mena Muria. Penyebabnya adalah emosi atau gejolak psikis dari masing-masing orang
saat mengucapkan sebuah kata. Dapat dipahami bahwa sebuah kata memiliki fungsi emotif24
yang digunakan mengungkapkan perasaan/emosi seperti gembira, sedih, bangga, dan lain
sebagainya.
Fungsi Emotif ini bertumpu pada penutur yang juga memungkinkan untuk berfungsi
secara personal maupun kolektif. Konsep Mena Muria secara politis bisa saja dipengaruhi
oleh gejolak sosial yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga ketika mengucapkan Mena
Muria ada sebuah khasanah yang membuat orang yang mengucapkan atau mendengarkannya
mengalami gejolak emosi yang kadang kala bisa saja tidak stabil. Pengaruh terhadap makna
dapat dilihat melalui lensa kajian makna kontesktual terhadap masalah adanya suatu ujaran
atau kata yang dimaknai berbeda-beda. Hal ini disebut sebagai makna Ilokusi yakni makna
harfiah atau makna secara stuktur tanpa diembeli pemahaman subjektif dari sudut penutur
atau pendengar. Makna ilokusi adalah makna yang dipahami pendengar dari tuturan yang
24
Abd. Syukur Ibrahim, Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi (Surabaya : Usaha Nasional,1994) 15-16
73
diujarkan penutur.25
Terlihat dalam hal ini penutur sangat memegang peran penting dalam
mengendalikan tuturan terhadap suatu ujaran. Kelemahan ilokusi adalah dapat melahirkan
ambiguitas. Pemaknaan Mena Muria juga seringkali mengalami ambiguitas. Disatu sisi
apakah sebagai warisan budaya ataukah sebagai salam politik gerakan sosial politik.
Pemaknaan orang Aboru tentang Mena Muria tidak terlepas dari pengaruh tradisi tutur
dalam masyarakat tradisional. Masyarakat tutur ialah sekumpulan orang atau individu yang
menggunakan sistem kebahasaan yang sama, serta memiliki penilaian yang sama terhadap
norma-norma pemakaian bahasa itu.26
Pada intinya masyarakat tutur terbentuk karena adanya
saling pengertian (mutual intelligibility), terutama karena adanya kebersamaan dalam kode-
kode linguistik secara terinci dalam aspek-aspeknya, yaitu sistem bunyi, sintaksis dan
semantik. Dalam pengertian itu ternyata ada dimensi sosial-psikologi yan subjektif.27
Tradisi
tutur memiliki kelemahan, cerita yang disampaikan oleh penutur seringkali disalah artikan
dan tidak tepat sasaran. Tidak menutup kemungkinan bagi penutur berikutnya untuk
menyampaikan cerita seperti yang ia pahami dengan menambahkan opininya sendiri, tidak
ada proses falsifikasi untuk membenarkan cerita tersebut.
Kelemahan tradisi tutur inilah yang membuat celah pergeseran makna semakin besar.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pengetahuan akan bahasa-bahasa daerah telah mengalami
kemandekan. Penutur bahasa asli Maluku hampir tidak ada, selain orang-orang tua yang
sudah berusia lanjut. Berkurangnya penutur bahasa daerah pun turut mempengaruhi
pemaknaan Mena Muria. Kelemahan tradisi tutur inilah yang memungkinkan terjadi
pergeseran makna Mena Muria dalam pemahaman masyarakat.
25
Abdul Chaer, Kajian Bahasa : Struktur Internal, Pemakaian dan Pemelajaran (Jakarta : Rineka Cipta, 2007) 76-77
26 Abd. Syukur Ibrahim, Pandian Penelitian Etnografi...., 21
27 Leonard Bloomfield, Languange..., 30
74
Warga Aboru adalah contoh dari komunitas yang bersifat organik, yang bercirikan
hidup kebersamaan. Masyarakat Aboru dalam komunitasnya di Pulau Haruku hidup secara
berdampingan dan sangat bergantung secara kolektif. Masyarakat Aboru sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur, budaya dan adat istiadat. Mereka masih sangat tradisional dalam
memahami mitos dan cerita-cerita yang berkembang dalam masyarakat serta masih dipegang
sebagai sebuah keyakinan dalam masyarakat hingga saat ini.28
Keyakinan tentang yang sakral
pun masih dipahami secara tradisional oleh masyarakat Aboru. Mena Muria diyakini bukan
sebagai sebuah kata biasa, tetapi kata yang memiliki unsur magis atau yang sakral.
Di Maluku umumnya, ada begitu banyak cerita mengenai asal asul suatu bangsa (suku),
bahasa, bahkan tempat tinggal (kampung atau Negeri). Bagi masyarakat di Maluku Tengah
dan Pulau Ambon, cerita yang tertua berasal dari pulau Seram. Yang diyakini sebagai Nusa
Ina atau Pulau Ibu29
. Dinamakan Nusa Ina berangkat dari filosofi Ibu yang memberi
kehidupan. Hal ini tidak terlepas dari makna seorang ibu (Perempuan) yang mampu untuk
memberikan keturunan. Sehingga asal muasal bangsa Maluku adalah di Pulau Seram atau
Nusa Ina. Kata Mena Muria diyakini berasal dari Pulau Seram yang merupakan peradaban
tertua di Maluku Tengah. Telah lama masyarakat Maluku Tengah dan Pulau Ambon hidup
dalam suatu kepercayaan “Nusa Ina katong samua dari sana.” Berbeda dengan orang Aboru
yang berkediaman di Pulau Haruku yang meyakini bahwa mereka adalah orang-orang yang
pertama karena mereka berasal dari Nusa Ama atau Pulau Bapa (Haruku)30
. Tanpa Nusa Ama,
Nusa Ina tidak bisa memberi keturunan. Akhirnya terjadi berbagai perbedaan pemahaman
tentang cerita-cerita sejarah.
Orang Aboru khususnya yang bermukim di Pulau Haruku memaknai Mena Muria
sebagai panggilan hidup untuk berjuang. Pemahaman ini sangat berpengaruh saat wacana
28
Hasil Wawancara dengan Bpk. F.N, di Rumahtiga, 8 Mei 2017 29
Hasil Wawancara dengan Bpk. N.M di Desa Nuruwe Maluku Tengah, 30 April 2017 30
Hasil Wawancara dengan Bpk. B.M, di Aboru, 4 Mei 2017.
75
mengenai Mena Muria adalah salam khas para simpatisan gerakan sosial politik di Maluku.
Semiotika sosial menjadi pisau bedah untuk melihat bagaimana Mena Muria yang magis itu
bertransformasi menjadi retorika. Kerangka berpikir Semiotika sosial adalah dengan
membedah interaksi antara teks dan konteks31
.
Ada tiga konsep dasar dalam semiotika sosial : medan wacana, pelibat wacana, dan
mode wacana. Dalam masing-masing konsep ini membantu menjabarkan bagaimana Mena
Muria yang politis itu mengambil peran dalam masyarakat. Medan wacana merupakan
tindakan sosial yang sedang terjadi dan aktivitas tersebut melibatkan pelaku didalamnya.
Dalam kasus Mena Muria ini, ditemukan fakta-fakta yang telah dipaparkan pada bab
sebelumnya bahwa dalam rangka mempengaruhi masyarakat lewat semboyan dan salam
perjuangan gerakan sosial politik menggunakan Mena Muria. Tindakan-tindakan yang
dilakukan pun bersifat riil. Sehingga membentuk stigma negatif yang tidak bisa dilepaskan
dari memori masyarakat.
Pelibat Wacana, yakni dalam usahanya gerakan sosial politik ini selalu melibatkan
pembicara dan sasaran dalam pembicara serta kedudukan dan hubungan diantara mereka.
pelibat wacana tahu benar untuk melakukan retorika menggunakan kata Mena Muria untuk
menuai simpati masa dengan menggunakan kekuasaan yang dimiliki. Mode wacana merujuk
pada pilihan bahasa yang akan digunakan. Apakah akan menggunakan kata-kata yang bersifat
eksplanasi, deskripsi, persuasif, metaforis, hiperbolis dan lain sebagainya serta apa
pengaruhnya bagi suatu masyarakat. Dalam hal ini pelibat wacana cenderung akan
menggunakan kata-kata yang sangat persuasif untuk mencapai tujuannya. Tiga konsep
tersebut dirasa juga belum sempurna untuk menjawab bagaimana pengaruh politis Mena
Muria dalam masyarakat. Dapat dianalisa juga bahwa penggunaan kata-kata dalam
masyarakat bukan hanya terletak pada medan wacana, pelibat wacana dan mode wacana.
31
Agus Soedibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana (Yogyakarta : Lkis, 2001) 129.
76
Tetapi bagaimana suatu ujaran atau kata-kata dapat terekonstruksi dalam masyarakat
sedemikian rupa. Hal ini menjadi kegelisahan bagaimana kata-kata dapat menjadi kuasa bagi
orang yang menggunakannya.
Makna Mena Muria yang sangat problematis berakar pada pemahaman masyarakat
dalam aspek kognitif. Aspek kognitif didalamnya berbicara mengenai memori yang
tersimpan dalam otak manusia. Memori tersebut terenskripsi melalui proses informasi dan
pengalaman indrawi manusia.32
Bahasa tersimpan dalam memori tersebut pada bagian Long
term memory atau memori jangka panjang. Sehingga akan mengurucut pada penemuan
bahwa pemaknaan tentang Mena Muria yang lahir dari pengalaman masyarakat pada masa
pergolakan sosial politik di Maluku akan membentuk ingatan Mena Muria yang politis, dan
hal tersebut akan selalu teringat dalam memori jangka panjang. Mena Muria yang memiliki
berbagai intepretasi membuat masyarakat secara bebas menafsirkan apa makna Mena Muria?
Mena Muria yang politis ini kebanyakan ditafsirkan sebagai panggilan dan seruan untuk
berjuang. Berjuang dalam arti dapat mempertahankan kehidupan mereka (survive).
Manusia dalam kelompok masyarakat harus melakukan berbagai cara untuk self-
defense. Sekalipun melakukan kekerasan untuk memperjuangkan hak hidup. Mena Muria
dilihat sebagai suatu cara untuk bertahan hidup saat perjuangan RMS yang dipahami oleh
orang Aboru sebagai jalan keluar untuk menuju Maluku yang terbebas dari cengkraman
Indonesia. Pemahaman orang Aboru pada fase kedua ini telah mengurangi esensi dan nilai
budaya dalam kata Mena Muria yang dipengaruhi oleh situasi politik sehingga
mengakibatkan aktor-aktor politik melakukan retorika terhadap orang Maluku pada
umumnya dan orang Aboru pada khususnya. Pemahaman Mena Muria masa kini sangat
dipengaruhi oleh proses-proses sosial yang terjadi dalam masyarakat. Sejak terjadinya
pergolakan sosial politik di Maluku oleh RMS banyak doktrin-doktrin yang sengaja diberikan
32
Untung Yuwono¸ Pesona Bahasa (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,2005) 18.
77
kepada masyarakat. Salah satunya dengan mengubah Mena Muria menjadi alat untuk
mempengaruhi masyakat.
Mena Muria ditanamkan bersamaan dengan keyakinan untuk bermilitan
memperjuangkan Maluku yang berhak menentukan sendiri kebebasan bernegaranya, maka
isu-isu tentang kepemimpinan RMS yang kelak akan dipegang oleh orang Aboru sengaja
dimunculkan di publik agar orang Aboru semakin gencar melakukan perlawanan. Para elit
politik RMS saat itu pandai membaca situasi dan kondisi orang Aboru yang terkenal sangat
militan terhadap apa yang diyakini oleh mereka. Doktrin-doktrin kekuasaan dan kemapanan
bernegara menjadi alat yang ampuh mengumpulkan simpatik orang Aboru. Disinilah letak
permainan politik bahasa untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Seperti diketahui bahwa
sebelumnya, Mena Muria dimaknai secara harafiah sebagai kata yang mengajak orang lain
untuk bekerja sama dan saling membantu (non-peyoratif) tidak memiliki unsur negatif.
Bahasa sangat berguna sebagai alat politik dalam ruang publik dan bahkan dalam relasi-relasi
sosial individual33
.
Pemaknaan masyarakat Maluku pada umumnya dan masyarakat Aboru khususnya
berubah ketika Mena Muria sudah disisipi oleh muatan politis. Mena Muria sekarang ini
dimaknai secara luas oleh masyarakat, arti harafiah “Yang di depan Siap, di Belakang siap”
atau “Di depan maju yang di belakang ikut” sudah dikonotasikan negatif sebagai bentuk
perlawanan terhadap NKRI oleh RMS. Ada berbagai macam fungsi bahasa dalam kehidupan
masyarakat. Salah satunya fungsi Fatik yang berguna menjadikan bahasa sebagai pesan untuk
mengakaui dan mengukuhkan hubungan sosial.34
Fungsi fatik bahasa dalam Mena Muria
adalah untuk mendapatkan empati dan membangun solidaritas dalam masyarakat. Fungsi
33
Linda Thomas dan Shan Wereing, Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan (Yogyakarta : Paradigma,2009) 339.
34 Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna. (Yogyakarta : Jalasutra,2010) 122
78
Fatik ini sangat berpengaruh dalam masyarakat tradisional yang bergantung pada relasi-relasi
sosial yang akan membentuk solidaritas sosial secara tidak langsung.
Sebagai masyarakat tutur tradisional kesamaan bahasa dan pemahaman dapat
mengokohkan komunitas. Sehingga kebanyakan masyarakat dalam komunitas seperti ini
tidak mempersoalkan tujuan dan makna dari bahasa tersebut namun tetap
mempertahankannya. Hal inilah yang membuat stigma negatif Mena Muria dapat bertahan
dan kemudian diwariskan oleh satu generasi ke generasi lainnya yang mengakibatkan
pemaknaan akan Mena Muria mengalami pergeseran. Seseorang yang mengatakan Mena
Muria dalam komunitas masyarakat Maluku pada umumnya dan Masyarakat Aboru pada
khususnya akan dipandang sebagai pengikut RMS atau melabeli diri “saya pengikut RMS”.
Tentu hal ini mengurangi esensi dan makna budaya didalam kata Mena Muria itu sendiri.
pemaknaan tersebut tidak terlepas dari pengaruh situasi dan fungsi bahasa.
Situasi sangat berperan penting terhadap fungsi bahasa dalam suatu komunitas. Sebuah
kata yang digunakan dalam situasi tertentu dapat melahirkan makna baru sesuai dengan
kebutuhan terhadap situasi itu sendiri, Fenomena-fenomena seperti ini kemudian dapat
mempengaruhi sistem perilaku dan nilai individu atau masyarakat.35
Lebih berbahaya apabila
bahasa yang telah mempengaruhi sistem perilaku dan nilai dibawa dalam ruang publik. Mena
Muria telah berfungsi secara emotif, terlepas dari makna harafiahnya yang sangat melibatkan
emosi dan terekonstruksi untuk menyampaikan pesan politis. Mena Muria sebagai semboyan
RMS adalah sebuah contoh bagaimana bahasa sangat berpengaruh dalam ruang publik. Di
ruang publik semua orang bebas mengekspresikan, mengintepretasikan, berinteraksi,
mereformasi secara bebas. Mena Muria ada dalam ruang publik dan secara bebas dimaknai
oleh masyarakat.
35
Marcel Danesi....., 108.
79
Kekuatan Mena Muria yang memiliki makna peyoratif tidak terlepas dari hubungan
bahasa sebagai media kekuasaan dalam relasi sosial untuk mempengaruhi masyarakat. Mena
Muria dipakai oleh kalangan elit masyarakat Maluku dalam RMS yang mampu
mengendalikan masyarakat dengan pengaruh politik sehingga hasilnya adalah Mena Muria
yang peyoratif (negatif). Meskipun bahasa merupakan salah satu produk budaya yang telah
lama dalam peradaban manusia, tidak menutup kemungkinan bahasa dapat ditransformasikan
sesuai dengan kebutuhan situasi ataupun basis kultural yang telah berubah.
Pemaknaan masyarakat Aboru terhadap Mena Muria sekarang ini bukan lagi
pemaknaan terhadap budaya melainkan cenderung mengikuti pemaknaan Mena Muria secara
politis. Mena Muria telah dipengaruhi oleh konteks yang berperan dalam sistem sosial
masyarakat Maluku. Temuan dilapangan membuktikan bahwa pemaknaan Mena Muria
dipengaruhi kuat oleh keadaan politik di Maluku pada tahun 1950. Setelah tahun 1950 Mena
Muria sudah tidak bisa bebas diucapkan bahkan dalam upacara adat sekalipun. Ini
menunjukkan bahwa pengaruh kekuasaan dan politik sangat kuat. Meskipun kesadaran akan
makna Mena Muria telah dipahami oleh orang-orang Aboru yang telah memiliki pendidikan
yang memadai, atau bahkan yang menyadari benar arti harafiah Mena Muria dan melepaskan
pengaruh politik namun tetap saja untuk mengatakan Mena Muria di ruang publik masih
terlalu rentan. Ketakutan masyarakat ini bukan tanpa alasan, alat keamanan negara seperti
polisi dan tentara tidak segan untuk menangkap orang-orang yang dengan sadar mengatakan
Mena Muria dan dicurigai sebagai simpatisan RMS. Hal-hal semacam ini telah membangun
makna negatif Mena Muria dalam masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian, Mena Muria sebenarnya seperti idiom biasa yang
kebanyakan digunakan dalam masyarakat berdasarkan pada arti harafiahnya “Yang di depan
maju yang di belakang ikut” hal ini sama seperti idiom Ing Ngarso Sung Tulodo (yang di
atas memberi teladan),, Ing Madya Mangun Karsa (yang di tengah membangun atau
80
menguatkan) dan Tut Wuri Handayani (yang di belakang memberi semangat atau dorongan)
dalam masyarakat Jawa. Namun karena pengaruhnya yang begitu kuat secara politis Mena
Muria dianggap sebagai kata yang tabu untuk dikatakan. Sehingga terlihat jelas kontestasi
politik dan budaya terjadi dalam Mena Muria.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemaknaan Mena Muria Bagi Orang Aboru.
Pemaknaan Mena Muria bagi orang Aboru tidak terlepas dari berbagai faktor. Secara
langsung ataupun tidak langsung dalam kehidupan masyarakat, faktor pendidikan, faktor
budaya, faktor sosial, faktor politik bahkan faktor ekonomi memiliki peran yang sangat
penting.
1. Faktor Pendidikan
Pengembangan sumber daya manusia merupakan bagian integral bagi proses
pembangunan suatu bangsa. Tentunya pengembangan sumber daya manusia tidak terlepas
dari peran intelektualitas yang memberi kontribusi pada ketrampilan mengolah dan
memanfaatkan potensi untuk kesejahtraan dan kemakmuran suatu bangsa. untuk membangun
sebuah sumber daya yang mumpuni dan siap bersaing demi kemajuan pembangunan maka
diperlukan pengetahuan akademis. Pendidikan salah satu adalah Dasar dan sumber intelektual
manusia maka lembaga pendidikan dinilai sebagai spektrum utama yang memegang posisi
strategis dan bertanggung jawab terhadap menciptakan manusia yang berkualitas. Harus
sejalan dengan pengelolaan yang efisien, efektif dan profesional. Pendidikan merupakan
salah satu faktor yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tanpa disadari pendidikan
juga dapat mempengaruhi manusia dalam kelompoknya dalam bertindak.
Kadar intelektual seseorang akan diukur dari proses akademik yang dilakukan secara
formal di lembaga pendidikan. Upaya untuk meningkatkan kapasitas intelektual tentu
81
memerlukan sebuah institusi atau lembaga pendidikan yang kita kenal dengan istilah institusi
perguruan tinggi. Semakin baik pengetahuan maka yang diharapkan semakin kritis pula
seseorang dalam menghadapi berbagai isu dalam masyarakat. Salah satu isu dalam
masyarakat yang dimaksudkan adalah tentang pemaknaan Mena Muria dalam masyarakat
Maluku pada umumnya dan masyarakat Aboru pada khususnya. Kata Mena Muria masih
menjadi hal yang menimbulkan polemik di berbagai elemen masyarakat. Faktor pendidikan
juga memberikan sumbangsih besar terhadap pemaknaan masyarakat tentang Mena Muria.36
Di Aboru dengan rata-rata tingkat pendidikan hanya sebatas sekolah menengah pertama dan
sekolah menengah atas.37
Dari data yang telah dikumpulkan menunjukkan bahwa jumlah lembaga pendidikan
formal yang ada di Aboru berjumlah 8 sekolah dari tingkat PAUD sampai SMA. Terdiri dari
satu PAUD yayasan Kristen dan SD, SMP, SMA milik pemerintah. Presentase jenjang
pendidikan yang paling tinggi adalah sebatas sekolah menengah pertama. Masyarakat
didaerah terpencil seperti Aboru misalnya, akan menempuh pendidikan yang memadai di
daerah perkotaan. Apabila biaya yang tersedia mencukupi untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang perguruan tinggi maka hal itu akan dilakukan. Minimal anak-anak di Aboru akan
disekolahkan di Ambon yang merupakan basis pendidikan di Maluku. Masyarakat Aboru di
Pulau Haruku kurang mempunyai semangat edukasi yang baik. Anak-anak yang telah
menyelesaikan pendidikan menengah atas jarang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi. Dengan pemahaman bahwa mereka lebih baik bekerja menghasilkan uang
dengan melaut atau bertani. Tentu dengan pendidikan yang tidak memadai maka pemahaman
masyarakat Aboru terhadap Mena Muria secara politis mudah sekali didoktrinasi dalam
pemikiran mereka tanpa dikritisi.
36
Hasil Wawancara dengan Ibu T.L, di Aboru, 2 Mei 2017 37
Hasil Data Base Jemaat Aboru 2015 pada Renstra Jemaat GPM Aboru.
82
Kurangnya pemahaman dan pengetahuan yang bisa didapatkan di lembaga pendidikan
yang lebih tinggi (Perguruan Tinggi) akhirnya berdampak pada kehidupan mereka. bukan
saja makna Mena Muria yang tidak dipahami secara kritis oleh masyarakat Aboru di Pulau
Haruku, tetapi juga keterlibatan anak-anak muda Aboru dalam gerakan sosial politik di
Maluku. Seharusnya pada usia muda antara 19-25 tahun seseorang dapat dikatakan sangat
produktif dalam menempuh pendidikan.
Cerita-cerita tentang perjuangan gerakan sosial politik di Maluku yakni RMS selama ini
beredar dalam masyarakat. RMS diyakini sebagai sebuah negara yang sudah ada sebelum
Indonesia terbentuk. Artinya RMS berhak untuk mengembalikan statusnya sebagai negara
yang merdeka yang sementara ini sedang dijajah oleh Indonesia. Dengan mencuri hasil alam
dari Maluku, pemerintah Indonesia dinilai hanya membangun Jakarta (Jawa) yang merupakan
pusat pemerintahan.38
Sehingga daerah Maluku tidak dapat menikmati hasil alam sendiri.
Seharusnya hasil alam tersebut dapat digunakan untuk membangun infrastruktur yang
memadai didaerah pelosok di Maluku. Simpatisan RMS sudah membangun kerangka berpikir
demikian terhadap Indonesia. Imajinasi yang demikian dibangun dalam konsep berpikir yang
sangat tradisional. Masyarakat Aboru yang memiliki rata-rata pendidikan menengah mudah
menafsirkan segala hal sesuai dengan keinginan mereka. Dalam hal berpolitik misalnya,
mereka kurang berafiliasi dengan hal-hal yang berbau ke-Indonesia-an. Tetapi duduk dan
membicarakan tentang nasib perjuangan RMS dan kapan akan terjadi perubahan sosial politik
menjadi bahan pembicaraan sehari-hari. Masyarakat yang demikian tidak memiliki
kemapanan dalam pendidikan. Pendidikan sebagai subsistem dalam sistem masyarakat
membantu masyarakat mengarahkan sekaligus memudahkan proses pewarisan budaya dalam
hal ini bahasa dari satu generasi ke generasi lainnya. Ada mekanisme keterkaitan yang tidak
bisa dilepaskan antara proses pewarisan tersebut dengan bahasa sebagai produk budaya.
38
Henry Reinhard Apituley, Tesis, Hak Menentukan Nasib Sendiri Menurut Hukum Internasional. (Ambon : PPs Unpatti, 2014) 43
83
Pendidikan yang terbatas tidak memberikan penalaran yang baik akan pentingnya
mempertahankan bahasa sebagai budaya tanpa intervensi politik.
2. Faktor Sosial-Budaya
Selain faktor pendidikan, faktor yang juga turut mempengaruhi masyarakat adalah
sosial-budaya. Bahasa yang merupakan produk budaya merupakan bagian integral yang tidak
terpisahkan dari kehidupan sosial masyarakat. Bahasa memberikan identitas kepada
masyarakat dalam suatu komunitas. Dengan bahasa pula masyarakat dan suatu komunitas
menginginkan pengakuan akan identitas mereka tersebut. Secara sosial masyarakat Aboru
masih dikategorikan sebagai masyarakat organik. Dengan pola interaksi yang masih sangat
tradisional. Struktur sosial dalam masyarakat Aboru memiliki kesamaan dengan masyarakat
adat di daerah Maluku lainnya. Pemerintahan tertinggi dipegang oleh Raja yang secara turun
temurun (dinasti) diberikan kepada anak kandung atau yang masih memiliki hubungan darah
dengan pemegang kekuasaan. Sebenarnya stratifikasi sosial di Aboru tidak menjadi masalah
karena di Aboru gap antara pemegang pemerintahan seperti raja tidak menutup diri dan
sangat berelasi dengan masyarakat.
Namun tetap Raja selalu mendapat penghormatan yang tinggi bahkan masyarakat
masih tunduk pada semua kebijakan Raja. Jika terjadi permasalahan dalam masyarakat maka
segala permasalahan di Aboru akan diselesaikan di rumah adat dalam sidang adat.39
Masyarakat Aboru memiliki tingkat empati dan solidaritas yang sangat tinggi. Solidaritas
dapat merujuk pada „ikatan moral‟ dimana hubungan-hubungan antar individu adalah
sedemikian sulit dibedakan dari hubungan-hubungan terhadap kesuluruhan.40
Model sejenis
ini disebut Durkheim sebagai “Segmentary societes based upon class”. Yang menekankan
pada solidaritas kolektif untuk mencegah berkembangnya kehidupan yang mementingkan diri
39
Hasil Wawancara dengan Bpk. E.S di Aboru, 3 Mei 2017 40
Emile Durkheim, The Division of Labor Society (NY : Free Press, 1964) 368.
84
sendiri.41
Konsep tentang perilaku kolektif dalam masyarakat Aboru sangat nampak dalam
kehidupan mereka. Sesuatu yang mereka yakini memiliki nilai dalam masyarakat dapat
menggerakan mereka secara kolektif. Mena Muria telah diyakini memiliki nilai dalam
masyarakat sebagai pengikat solidaritas mereka yang terpanggil sebagai anak Maluku untuk
melakukan perlawanan terhadap Indonesia.
Perilaku kolektif ini ditularkan secara psikologis untuk membangun simpatik
masyarakat Aboru tentang perjuangan bersama menuju Maluku yang bebas dan Merdeka.
Falsafah hidup “Maluku Satu Darah” menjadi pengikat dalam masyarakat Maluku pada
umumnya dan masyarakat Aboru pada umumnya. Selain itu pengakuan terhadap identitas
mereka dalam masyarakat sangat penting. Penetrasi kolonial pada awal abad 15 masih
meninggalkan bekas dalam kehidupan masyarakat. Sampai pada masa kolonialisasi Belanda,
orang Maluku pada umumnya sangat diistimewakan.42
Sebagai daerah penghasil rempah-
rempah yang merupakan komoditi utama saat itu membuat Maluku dianggap sebagai anak
emas. Pada saat pemulangan bangsa Belanda setelah kemerdekaan Indonesia tidak sedikit
orang Maluku yang dibawa ke Belanda.
Orang-orang Maluku pada umumnya dan Aboru pada khususnya memiliki sebuah
ikatan yang kuat dengan orang Belanda. Merupakan kebanggan tersendiri apabila ada orang
Maluku yang dibawa kesana untuk sekedar jalan-jalan atau menetap. Budaya orang Maluku
banyak mengadaptasi peninggalan bangsa kolonial sehingga tidak heran apabila ada
masyarakat Maluku yang sangat bangga dengan hal tersebut. Para pemimpin RMS
kebanyakan berdomisili di Belanda dan sebagian di Amerika. Dengan janji akan memberikan
jaminan kepada masyarakat Maluku jika merdeka nanti membuat masyarakat Maluku
41
Lambang Trijono, Pembangunan Sebagai Perdamaian : Rekonstruksi Indonesia Pasca Konflik (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007)24
42 Abdul Irsan, Hubungan Indonesia-Belanda : Antara Benci dan Rindu (Jakarta : Yayasan Pancur
Siwah, 2003) 183.
85
umumnya dan masyarakat Aboru khususnya gencar melakukan perlawanan. Masyarakat
Aboru sangat terbuka melabeli diri mereka sebagai pengikut RMS. Partisipasi masyarakat
dalam proses sosial sangat terlihat. Prinsip-prinsip sosial ini dibangun dengan landasan yang
kuat dari kebudayaan orang Aboru yang memegang teguh nilai kebersamaan.
Nilai-nilai budaya dalam masyarakat dapat dilihat sebagai salah satu basis normatif
yang mampu mengikat kehidupan bersama. Masyarakat Aboru yang tradisional ini hidup
dalam tatanan masyarakat tutur. Ciri masyarakat tutur adalah proses interaksi aktif dalam
komunitas. Yang menjadi kelemahan Aboru sebagai masyarakat tutur adalah penutur bahasa
daerah hampir tidak ada. Bahasa daerah tidak dilestarikan di Aboru, terlihat dari
penggunaannya hanya sebatas upacara adat. Dalam proses interaksi sehari-hari masyarakat
Aboru menggunakan bahasa melayu Ambon. Hampir hilangnya bahasa daerah yang
diakibatkan oleh berkurangnya penutur juga mempengaruhi pemaknaan Mena Muria. Hal
yang akan terbayang jika pertanyaan tentang Mena Muria diberikan kepada orang Aboru
maka tentu akan terkait dengan RMS.
Bungkusan politik yang melekat dalam Mena Muria sepertinya telah mengikis identitas
ke-Maluku-an masyarakat Maluku pada umumnya dan Masyarakat Aboru pada khususnya.
Sehingga dalam usaha untuk mengarahkan kembali makna kultural Mena Muria perlu
mendudukannya dengan epistemik yang jelas. Kebudayaan Maluku yang telah terkikis akibat
pengaruh politik serta pengaruh kolonialisasi yang selama berabad-abad menyatu dengan
keaslian orang Maluku. Orang Maluku pada umumnya dan orang Aboru pada khususnya
telah banyak mengadaptasi berbagai peninggalan kolonial. Katakan saja tarian, bahasa-
bahasa tidak baku, pola hidup bahkan pengakuan terhadap identitas juga terjadi demikian.
Identitas yang dibangun dengan konsep yang tidak kuat seperti ini berakibat pada
penghilangan makna sebenarnya sebagai orang Maluku. Dalam masyarakat Aboru, nilai-nilai
budaya juga mampu memberikan fungsi dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat. Pakaloi
86
sebagai salah satu bentuk solidaritas bersama masyarakat Aboru.43
Pakaloi adalah kerjasama
membangun rumah atau bergotong royong ketika ada salah satu orang Aboru membutuhkan
bantuan. Pakaloi biasa dilakukan pada hari minggu subuh. Dengan masuknya kekristenan di
Aboru, Pakaloi dilakukan di hari lain berdasarkan kesepakatan dari tiga batu tungku
(Pemerintah adat, Gereja, dan pendidikan).
Faktor sosial budaya inilah yang turut mempengaruhi pemaknaan masyarakat Aboru
terhadap Mena Muria. Dan hal ini bertahan dalam masyarakat akibat prinsip solidaritas. Apa
yang telah diwariskan oleh generasi sebelumnya akan dipegang teguh oleh masyarakat Aboru
dan telah diyakini sebagai sebuah kebenaran. Masyarakat Aboru masih hidup dalam tradisi
dan keyakinan mereka. Nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia tercipta melalui proses
sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan
pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Masyarakat Aboru dikenal
dengan sikap militan, keberanian, dan mampu menjaga rahasia. Hal tersebut menjadikan
orang Aboru sebagai kandidat yang baik dalam melakukan perjuangan bersama gerakan
sosial politik di Maluku. Mena Muria yang telah melekat dengan RMS dipandang sebagai
seruan perlawanan oleh masyarakat Aboru untuk membentuk negara yang bebas menentukan
nasib sendiri.
3. Faktor Politik
Perkembangan sosial politik di Indonesia dewasa ini menjadi perbincangan hangat.
Berbagai macam fenomena sosial terjadi akibat dinamika perpolitikan di Indonesia.
Sayangnya fenomena sosial yang terjadi justru mematikan semangat nasionalisme dan
membangkitkan ego politik untuk kepentingan segelintir orang. Selain beberapa faktor yang
telah disebutkan di atas, yang sangat berpengaruh adalah faktor politik. Kontestasi semantik
43
Hasil Wawancara dengan Bpk B.M di Aboru, 4 Mei 2017
87
budaya dan politik dalam konsep Mena Muria telah lama dilihat sebagai bagian dari kohesi
sosial yang memerlukan waktu panjang untuk merekonstruksi stigma negatif yang telah lama
ada dan tertanam dalamnya. Bahasa sangat erat kaitannya dengan proses sosialisasi dalam
sebuah komunitas.44
Pengaruh politik terhadap bahasa sangat besar dalam fenomena Mena
Muria. Politik sendiri adalah masalah kekuasaan, yaitu kekasaan untuk membuat keputusan,
mengendalikan sumber daya, mengendalikan perilaku orang lain dan sering kali juga
mengendalikan nilai-nilai yang dianut oleh orang lain.
Inti utama masalah politik saat itu adalah bagaimana menarik simpatik masyarakat
Maluku untuk dapat bergabung bersama RMS. Dalam hal ini bahasa sering dipakai sebagai
pengendali pikiran. Bahasa sebagai retorika untuk mempengaruhi orang lain.45
terlihat pada
kasus pemaknaan kata Mena Muria. Konsep Mena Muria sejak lama telah disalahtafsirkan.
Cerita-cerita yang berkembang dalam Masyarakat Maluku adalah Mena Muria yang identik
dengan RMS. Hal ini tentu saja dilatar belakangi oleh penggunaan kata Mena Muria oleh
RMS sebagai semboyan dalam lambang RMS. Sejak kemunculan RMS menggunakan Mena
Muria sebagai semboyan mereka, maka orang Maluku sudah tidak menyadari lagi bahwa ini
adalah produk budaya. Produk budaya seperti bahasa telah disisipi muatan politik yang
menjadi isu hangat kala itu. Hal itu bahkan bertahan sampai saat ini. Masyarakat telah
membangun imajinasi tentang Maluku yang akan mengalami perubahan sosial-politik.
Semboyan Mena Muria dipakai sebagai penarik simpatik massa. Sama seperti ketika
kita mengatakan Bhineka Tunggal Ika yang mengidentikkan ciri sebagai bangsa Indonesia.
Ada sebuah luapan emosi yang luar biasa ketika semboyan tersebut dikatakan. Masyarakat
Aboru telah melabeli diri mereka sebagai simpatisan RMS yang tidak bisa dilepaskan dari
semboyan Mena Muria. Mengungkapkan Mena Muria yang ada dalam pemikiran mereka
44
Marsel Danesi...., 98 45
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa ( Jakarta : Gramedia, 2007)16.
88
adalah politik dan separatisme. Hal ini disebabkan oleh kajian makna kontekstual yaitu
makna penggunaan sebuah kata dalam konteks kalimat tertentu. makna keseluruhan kalimat
dalam konteks situasi tertentu.46
Masalah dalam kajian makna kontekstual adalah adanya
suatu ujaran yang dimaknai berbeda-beda oleh sejumlah orang menurut pemahaman dan
tafsirannya masing-masing.
Hal ini dalam kajian semantik lazim disebut sebagai ketaksaan (ambiguitas).
Penyebabnya adalah karena kekurangan konteks baik konteks kalimat maupun konteks
situasi.47
Dalam Semiotika Sosial telah menyatakan bahwa semiotika bersumber dari
kebudayaan yang merupakan sistem jaringan makna dan sistem semiotik. Kebudayaan
memiliki nilai norma dan nilai-nilai kultural dan dapat diperoleh melalui warisan dan kontak
sosio-kultural. Dan dalam proses sosialisasi manusia selalu menggunakan bahasa yang
disesuaikan dengan sosial dan situasional. Inilah yang terjadi dalam pemaknaan Mena Muria.
14 Juli 1950 terjadi penumpasan RMS secara besar-besaran, momentum ini digunakan oleh
pemimpin RMS untuk mencari simpati massa. Isu yang dilemparkan di publik adalah orang
Maluku harus membela RMS agar terbebas dari intervensi Indonesia dan mengambil kembali
kemerdekaan yang telah “dirampas” oleh pemerintah Indonesia. Mena Muria bukan lagi kata
yang merujuk pada semantik budaya melainkan merujuk pada hal politis.
RMS merupakan sebuah organisasi terlarang di Indonesia karena merupakan kelompok
sempalan atau yang mengidentifikasikan diri sebagai kelompok separatis dengan usaha
memisahkan diri dari NKRI. Isu-isu tentang pemisahan dengan negara Indonesia sangat
didukung oleh para pengurus RMS yang sebagian besar berdomisili di Belanda dan Amerika.
Tentu kehadiran RMS ini membuat cemas pemerintahan NKRI, alih-alih menjaga kesatuan
dan persatuan maka pemerintah mulai menjalankan misi penumpasan RMS diseluruh
46
Abdul Chaer...., 78 47
Ibid, 85
89
Maluku. Ketakutan tersebut juga memicu pelarangan terhadap atribut RMS. Baik itu bendera,
lambang maupun semboyan Mena Muria. Dalam dua tahun terakhir pemerintah melunak dan
melihat cara lain untuk mengundang simpati dan rasa cinta tanah air dari masyarakat Aboru.
Pemerintah tidak lagi menggunakan cara kekerasan karena dirasa tidak berhasil. Semakin
masyarakat ditekan mereka semakin kuat bahkan melakukan cara-cara represif untuk
mempertahankan keyakinan mereka. Kini setiap tanggal 25 April yang adalah hari peringatan
RMS, Pangdam XVI Pattimura, Kapolda Maluku dan jajarannya mendatangi Masyarakat
Aboru di Pulau Haruku untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menghibur.48
Jika
sebelumnya masyarakat selalu diawasi menjelang 25 April karena ketakutan adanya
pengibaran bendera RMS dan atribut lainnya, kini pemerintah mulai melihat cara yang lain.
Ini merupakan langkah politis yang cukup bijak oleh pemerintah untuk menghilangkan
memori kelam masyarakat Aboru yang berkaitan dengan RMS sekaligus sebagai upaya
pendamaian. Dan terbukti pada tanggal 25 April 2017 masyarakat Aboru sangat terhibur
bahkan konsentrasi mereka sudah tidak lagi berpusat pada upaya pengibaran bendera, tarian
cakalele dan lain sebagainya, tetapi mereka memusatkan perhatian pada kedatangan para
pejabat di negeri mereka. Mena Muria Dalam kaitannya dengan alat politik, bahasa akan
dimodifikasi sedemikian rupa sehingga makna bahasa dapat mengalami pergeseran sesuai
dengan kepentingan politik tertentu. Hal ini juga terjadi dalam pemakaian Mena Muria, yang
sangat sulit untuk dilepaskan dari stigma negatif RMS. Disini para penutur bahasa, dan
penerima bahasa harus melakukan critical thinking. Berpikir rasional dan kritis membantu
untuk menelaah bahasa-bahasa yang telah dimodifikasi untuk suatu tujuan tertentu. Sehingga
kontestasi penggunaan bahasa tidak menjadi sesuatu yang rumit.
4. Faktor Sejarah
48
Hasil Wawancara dengan Ibu T.L di Aboru, 2 Mei 2017
90
Faktor sejarah dalam kehidupan masyarakat memberikan andil yang cukup besar.
Manusia tidak akan bisa mengetahui kehidupannya dalam masyarakat secara utuh apabila
tidak menggali sejarah kehidupannya. Sejarah adalah bagian integral dalam kehidupan
masyarakat. Di berbagai tempat di Indonesia bahkan di seluruh dunia masih bergulat dengan
sejarah. Makna sebuah kata akan mengalami perubahan akibat faktor sejarah yang
membingkai suatu peristiwa sehingga bisa saja perubahan makna itu terjadi. Mena Muria
secara historis mempunyai cerita tersendiri dan peristiwa di belakang perubahan makna Mena
Muria yang kultural menjadi politis harus dilihat sebagai suatu upaya dan proses
merekonstruksi produk budaya dalam kebutuhan politik. Orang-orang di Maluku Tengah,
Pesisir Seram yang menggunakan bahasa Alune juga mengerti akan makna Mena Muria.49
Menurut mereka Mena Muria merujuk pada arti “maju tanpa mundur” idiom ini diikutkan
serta dengan idiom Lawamena Haulala “apa yang datang dari depan jangan undur”.
Mena juga dapat merujuk kepada “orang yang dituakan” dan Muli atau Muria merujuk
pada yang bungsu. Dalam tradisi orang Alune, yang lebih tua atau kakak akan dipanggil
dengan istilah Sia Mena atau Ile Mena. Sedangkan yang bungsu atau lebih muda akan disebut
dengan Ile Muli. Dalam pembagian antara yang kakak dan adik berdasarkan pada pembagian
sumber mata air besar di Pulau Seram, yaitu tiga aliran sungai besar yang membelah
sepanjang daratan.50
Tala, Eti, Sapalewa diyakini sebagai tempat petuanan sekaligus tempat
perpisahan tiga orang saudara (yang diwakili dengan tiga mata air) Ile Mena adalah yang
tertua mengikuti aliran sungai Tala, Ile Talele mengikuti sumber air sapalewa, Ile Muli
mengikuti sumber air Sapalewa. Daerah mereka dibagi berdasarkan tiga aliran sungai
tersebut. Selain itu adat di Negeri Seram sebagian besar juga menggunakan sebutan Hatu
Mena dan Hatu Muli yang merujuk pada pembagian dan pemetaan komunitas.
49
Hasil Wawancara dengan Bpk. N.M di Desa Nuruwe Maluku Tengah, 30 April 2017. 50
Ibid.
91
Mena adalah mereka yang menjaga daerah bagian depan (pintu masuk suatu tempat
tinggal Klan) dan sebaliknya dibagian belakang dijaga oleh Hatu Muli. Dalam pemetaan
tempat tinggal masyarakat Maluku ketika masih bermukim di pegunungan, Mena merujuk
pada klan yang menjaga barisan depan sebuah perkampungan atau daerah tempat tinggal.
Namun kekhawatiran tetap saja terlihat. Hal ini tentu disebabkan oleh stigma negatif yang
terlanjur melekat dalam kata Mena Muria. Fenomena Mena Muria ditemukan di daerah
Hunitetu.51
Mereka mempunyai sebutan yang hampir sama yaitu Mena Mole. Secara harafiah
mempunyai makna yang sama dengan Mena Muria di Nuruwe. Di daerah Maraina (daerah
Pegunungan di Seram) juga mempunyai sebutan yang sama yakni Mena Mole. Kata ini
merujuk pada keyakinan dan doa bahwa yang pergi dengan selamat maka akan kembali juga
dengan selamat.
Muli, Mole atau Muria merujuk pada klan yang menjaga daerah bagian belakang
sebuah pemukiman. Sebenarnya makna dari idiom-idiom ini adalah sebagai sebuah
keyakinan bahwa dalam komunitas masyarakat Maluku yang tinggal bersama di suatu tempat
ada kesepakatan bersama untuk saling menjaga komunitas mereka. Idiom ini juga sebenarnya
menggambarkan perjuangan-perjuangan bersama orang Maluku yang dalam falsafah hidup
“Potong di kuku rasa di jantong”. Setelah terbentuknya RMS pada tahun 1950 dengan
menggunakan Mena Muria sebagai semboyan dan salam perjumpaan maka sejak itu, makna
Mena Muria menjadi berubah. RMS dalam usaha melakukan disintegrasi dengan NKRI
melakukan berbagai cara untuk mendapat simpati masyarakat Maluku. Penggunaan bahasa
adalah cara yang mempan untuk menggambarkan bagaimana seharusnya orang Maluku
berjuang mempertahankan RMS dan melakukan gerilya untuk mencapai suatu perubahan
sosial politik. Sejarah Mena Muria telah dilekatkan dengan perjuangan RMS kala itu. Makna
51
Hasil Wawancara Sekum GPM periode 2015-2020. Wawancara dilakukan pada hari Kamis, 13 April 2017 di Kantor Sekum Sinode GPM. Pada Pukul 11.00 WIT.
92
Mena Muria mengalami perubahan diakibatkan oleh kebutuhan akan konteks dan situasi saat
itu.
Proses-proses interaksi pada saat itu juga turut mempengaruhi pemaknaan masyarakat
terhadap Mena Muria. Proses tersebut dilihat sebagai salah satu cara untuk mereformasi
bahasa oleh suatu komunitas tetapi sayangnya sangat bersifat dangkal. Tetapi tidak bisa
dipungkiri bahwa proses tersebut juga berpengaruh dalam kehidupan masyarakat bahkan
bertahan sampai saat ini. Fenomena yang terjadi dalam masyarakat dan mengubah struktur
dan makna bahasa inilah yang disebut sebagai sosiolinguistik sebagaimana yang telah
dijelaskan di bab 2. Berbicara mengenai sejarah tentu tidak akan lepas dari proses kognitif
yang bersinggungan dengan memori. Peristiwa sejarah RMS yang menggunakan Mena Muria
sebagai semboyannya melekat pada ingatan setiap orang Maluku. Peristiwa ini tersimpan
didalam memori jangka panjang manusia (long term-memory) yang juga berkaitan dengan
memori semantis (memori tentang bahasa dan makna).
Pengintepretasian terhadap Mena Muria selalu mengarah pada keterkaitan dengan
RMS. Meskipun dalam masyarakat ada yang telah menyadari benar arti Mena Muria dalam
khazanah kultural. Keadaan traumatik yang bersinggungan dengan ingatan masa lampau
tidak bisa dipungkiri menjadi penentu akan keberadaan Mena Muria dalam masyarakat.
Memori dan sejarah masa lampau sudah bisa dilepaskan dari ingatan masyarakat Maluku
dengan kesadaran bahwa peristiwa tersebut adalah sebuah upaya disintegrasi RMS terhadap
NKRI. Namun ketakutan masih ada ketika berbicara mengenai Mena Muria. Cerita-cerita
tentang perjuangan para tentara RMS dalam upaya melawan gerakan penumpasan RMS di
pulau Seram yang berujung pada ditangkapnya para tokoh elit RMS dibingkai secara tragis.
Belum hilang dari ingatan tentang upaya penumpasan RMS, kembali terulang peristiwa
HARGANAS di tahun 2007. Membuat orang Maluku merasa terbelenggu ketika
membicarakan mengenai Mena Muria.
93
Mena Muria adalah representasi dari dominasi simbolik yang terjadi dalam masyarakat.
Bahasa adalah simbol kekuasaan52
yang dipandang sebagai sebuah sistem yang dikendalikan
oleh aturan sintaksis53
. Bahasa sebagai medium dari penguasa untuk mengikat masyarakat.
Bahasa yang digunakan dalam masyarakat oleh penguasa dalam hal ini elit politik RMS
menyembunyikan kepentingan-kepentingan bagi tujuan mereka. Masyarakat adalah alat yang
digunakan untuk mencapai tujuan. Dominasi simbolik semacam ini jika tidak dikritisi maka
akan berdampak pada kehidupan masyarakat. Isu-isu perjuangan RMS diceritakan dengan
spirit kebersamaan. Dengan seruan Mena Muria seperti memberikan dukungan kepada
mereka yang mempunyai kepentingan. Masyarakat Maluku telah lama hidup dalam sejarah
yang tidak transparan, yang berakibat pada penyesatan terhadap cerita-cerita sejarah.
52
Linda Thomas dan Shan Wareing....., 10 53
Aturan Sintaksis adalah aturan dalam bidang linguistik yang mempelajari kata-kata dihubungkan satu sama lain untuk membentuk makna tertentu dan tidak bersifat rancu atau ngawur