bab iv makna mena muria bagi orang aboru -...

34
60 BAB IV Makna Mena Muria bagi Orang Aboru Bagian awal tesis ini telah mempertegas bahasa sebagai salah satu cara berelasi antar individu, antar kelompok, atau antar individu dengan kelompok dan sebaliknya. Bahasa yang digunakan mempunyai nuansa makna yang berbeda-beda berdasarkan pada konteks, gaya bahasa, fungsi dan beberapa aspek lainnya. Dalam kelompok masyarakat, bahasa yang dipakai selalu mengalami perubahan akibat berbagai faktor. Perubahan tersebut akan mempengaruhi makna bahasa yang berlaku dalam masyarakat. Dalam hal ini, makna Mena Muria bagi masyarakat Aboru di Pulau Haruku dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemaknaannya yang menjadi fokus penelitian. Melalui analisis ini, penulis mengeksplorasi serta menjelaskan secara sistematis penelitian ini dengan menggunakan teori bahasa dan semiotika. Penulis menganalisa berdasarkan fokus penelitian, data lapangan, dan teori-teori yang telah dipaparkan sebelumnya. Mengawali bagian ini, penulis mendeskripsikan Mena Muria sebagai bagian dari orang Aboru dan fungsinya secara semiotika dalam masyarakat Aboru. 1. Mena Muria sebagai “Bahasa” Orang Aboru Fungsi bahasa dalam kehidupan masyarakat sangat beragam. Bahasa dilihat sebagai salah satu cara berkomunikasi, pemberi identitas dalam suatu kelompok dan bahkan sebagai cara untuk menjaga ikatan sosial. 1 Bahasa sangat erat kaitannya dengan proses-proses sosialisasi yang terjadi dalam masyarakat, diantaranya melibatkan negosisasi, komunikasi dan transaksi. Bahasa yang digunakan seringkali beragam sesuai dengan ciri kelompok dalam masyarakat dan pembagian rumpun bahasa. 1 Chris Jenks, Culture Studi Kebudayaan (Yogyakarta, Erlangga, 1989)23.

Upload: vannga

Post on 22-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

60

BAB IV

Makna Mena Muria bagi Orang Aboru

Bagian awal tesis ini telah mempertegas bahasa sebagai salah satu cara berelasi antar

individu, antar kelompok, atau antar individu dengan kelompok dan sebaliknya. Bahasa yang

digunakan mempunyai nuansa makna yang berbeda-beda berdasarkan pada konteks, gaya

bahasa, fungsi dan beberapa aspek lainnya. Dalam kelompok masyarakat, bahasa yang

dipakai selalu mengalami perubahan akibat berbagai faktor. Perubahan tersebut akan

mempengaruhi makna bahasa yang berlaku dalam masyarakat. Dalam hal ini, makna Mena

Muria bagi masyarakat Aboru di Pulau Haruku dan faktor-faktor yang mempengaruhi

pemaknaannya yang menjadi fokus penelitian.

Melalui analisis ini, penulis mengeksplorasi serta menjelaskan secara sistematis

penelitian ini dengan menggunakan teori bahasa dan semiotika. Penulis menganalisa

berdasarkan fokus penelitian, data lapangan, dan teori-teori yang telah dipaparkan

sebelumnya. Mengawali bagian ini, penulis mendeskripsikan Mena Muria sebagai bagian

dari orang Aboru dan fungsinya secara semiotika dalam masyarakat Aboru.

1. Mena Muria sebagai “Bahasa” Orang Aboru

Fungsi bahasa dalam kehidupan masyarakat sangat beragam. Bahasa dilihat sebagai

salah satu cara berkomunikasi, pemberi identitas dalam suatu kelompok dan bahkan sebagai

cara untuk menjaga ikatan sosial.1 Bahasa sangat erat kaitannya dengan proses-proses

sosialisasi yang terjadi dalam masyarakat, diantaranya melibatkan negosisasi, komunikasi

dan transaksi. Bahasa yang digunakan seringkali beragam sesuai dengan ciri kelompok dalam

masyarakat dan pembagian rumpun bahasa.

1 Chris Jenks, Culture Studi Kebudayaan (Yogyakarta, Erlangga, 1989)23.

61

Maluku misalnya termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia2 yang sama halnya

dengan daerah-daerah lain di Nusantara. Sedangkan Maluku Tengah masuk dalam rumpun

proto-austronesia.3 Maluku Tengah termasuk dalam sub-bahasa proto-Maluku yang terbagi

menjadi bagian timur dan bagian barat.4 Bagian barat melliputi pulau Buru dan Ambalau,

sedangkan bagian timur meliputi Pulau Seram, Ambon, Haruku, Saparua dan Nusalaut.

Berdasarkan pembagian inilah dapat dilihat bahwa bahasa di Pulau Haruku memiliki

kemiripan dengan yang ada di Pulau Seram (Nusa Ina) yang diyakini sebagai asal mula orang

Maluku. Kemiripan bahasa tentu ada, melihat pemetaan sub-bahasa di wilayah Maluku dan

Maluku Tengah.

Mena Muria, adalah sebuah idiom atau ujaran yang berlaku dalam masyarakat Maluku

maupun Maluku Tengah. Idiom ini berfungsi secara semantik dalam kehidupan masyarakat

Maluku. Semantik adalah kajian ilmu bahasa yang merupakan bagian dari semiotika yang

mempelajari tentang arti makna dan simbol.5 Semiotika yang adalah bagian dari semantik

merupakan sistem lambang dalam bahasa. Sehingga berbicara tentang bahasa, semiotika dan

semantik ketiganya tidak bisa dilepaskan apalagi berkenaan dengan aspek makna bahasa.

Perlu ditegaskan bahwa, Mena Muria adalah bagian dari bahasa orang Aboru. Kenapa

demikian? Orang-orang Maluku meyakini bahwa pusat dari kehidupan orang Maluku adalah

di Pulau Seram yang disebut juga sebagai Pulau Ibu/Nusa Ina. Asal muasal kehidupan orang

Maluku bahkan sampai pada bahasa tertua yang dipakai oleh orang Maluku atau yang

biasanya disebut dengan basa tana diyakini berasal dari Pulau Ibu. Mengenai bahasa paling

2 Rumpun bahasa yang sangat luas penyebarannya di dunia. Mulai dari Taiwan dan Hawai di ujung

utara sampai Selandia Baru (Aotearoa) di ujung selatan dan dari Madagaskar di ujung barat sampai Pulau Paskah (Rapanui) di ujung timur.

3 Rumpun bahasa yang lebih tua atau yang ada sebelum rumpun Austronesia. Biasanya bagi

kepulauan di bagian selatan 4 R. Z Leirissa dan Djuariah Latuconsina, Sejarah Kebudayaan Maluku (Jakarta : Ilham Bangun Karya,

1999) 76. 5 Abdul Chaer, Kajian Bahasa : Struktur Internal, Pemakaian dan Pemelajaran (Jakarta : Rineka Cipta,

2007) 67.

62

tua yang diyakini berasal dari Pulau Seram. Mena Muria yang diklaim berasal dari Pulau

Seram, juga diklaim sebagai milik orang Aboru. Dengan cerita-cerita yang secara turun

temurun diwariskan oleh generasi ke generasi lainnya, hal ini masih bertahan. Jelas saja

bahwa ada kemiripan bahasa bagi orang di Pulau Seram dan orang di Aboru yang berada di

Pulau Haruku. Berdasarkan pemetaan sub-bahasa proto-Maluku penyebaran bahasa Maluku

yang meliputi bagian timur terdiri dari Pulau Haruku, Pulau Seram, Pulau Saparua dan Pulau

Nusalaut maka rumpun bahasa bagian timur yang meliputi pulau-pulau ini cenderung sama.

Keberadaan Mena Muria perlu mendapatkan penegasan bahwa ia juga adalah bagian dari

kepunyaan orang Aboru.

Mena Muria dalam pendekatan bahasa, merupakan sebuah entitas antara hubungan

penutur dengan petutur. Didalam sebuah kata yang digunakan dalam relasi-relasi sosial

manusia memiliki makna dan ide-ide yang terkodekan sedemikian rupa. Makna dan ide-ide

akan mengalami proses perubahan informasi tergantung pada intepretasi petutur.6 Ada

berbagai macam aspek yang turut mempengaruhi perubahan makna dalam pendekatan

bahasa. Beberapa diantaranya adalah : aspek semiotika sosial, aspek mental, dan aspek

linguistik. Aspek semiotika sosial disebut juga sebagai semiotika behavioral yang melihat

bahasa sebagai realitas sosial sekaligus realitas semiotik.7 Dalam semiotika sosial, sebuah

kata memiliki dua dimensi, yakni dimensi realitas sosial yang meliputi pengalaman fisik,

logis dan fenomena filosofi dari penuturnya. Artinya bahwa segala realitas yang dialami oleh

penutur akan berpengaruh pada kata yang diucapkannya. Mena Muria dalam dimensi realitas

sosial tidak terlepas dari pengalaman fisik, logis dan fenomena filosofi. Mena Muria dalam

pengalaman fisiknya telah diberlakukan sebagai alat dalam masyarakat yang mampu

menyatukan atau bahkan memecahkan. Hal ini berkaitan dengan keberadaan Mena Muria

6 Eva M. Fernandez and Hellen Smith Cairns, Fundamental Pshycholinguistics (UK : Wiley-Blackwell,

2011) 134-135. 7 Dadan Rusmana, Filsafat Semiotika (Pustaka Setia : Bandung, 2014) 225.

63

yang sangat problematis. Apakah sebagai produk budaya ataukah sebagai bagian dari alat

politik? Nilai-nilai filosofis dalam Mena Muria erat hubungannya dengan nilai-nilai

persatuan dalam masyarakat Maluku yang mencirikan kehidupan masyarakat yang solider.

Nilai-nilai filosofis ini yang akan mengantarkan Mena Muria masuk dalam Dimensi

semiotik.

Dimensi semiotik merupakan dimensi kebudayaan yang mencakup sumber makna

sekaligus sumber semiotik itu sendiri. Dapat diartikan bahwa sebuah kata yang diucapkan

oleh penutur tidak terlepas dari pengaruh nilai-nilai kultural. Nilai-nilai kultural dalam Mena

Muria tidak bisa dilepaskan dari keberadaan nilai magis yang mempengaruhi keadaan

emosional individu atau kelompok yang mengucapkan kata Mena Muria yang diyakini

memiliki kekuatan yang diluar kemampuan manusia. Nilai-nilai kultural juga meliputi nilai

budaya orang Aboru yang mengutamakan hidup kebersamaan yakni gotong royong atau

dalam bahasa setempat disebut sebagai pakaloi. Mena Muria, memiliki kekuatan yang

mampu memobilisasi masyarakat dalam rangka melakukan pakaloi. Dalam pakaloi memiliki

makna “satu rasa laeng rasa”, “satu susah laeng tolong.”

Aspek mental atau proses mental8 oleh sebagian ahli dibagi ke dalam beberapa aspek

mendasar bahasa bagi seorang penutur yang dapat digunakan untuk menjelaskan proses

mental kebahasaan yang terjadi, meliputi: kemampuan yang tidak terbatas dalam

menghasilkan sebuah kalimat bermakna, kemampuan yang tidak terbatas dalam

menghasilkan dan menambah kata dalam kalimat, kemampuan untuk menghasilkan kata-kata

baru dalam kalimat, kemampuan untuk menghasilkan dan memahami struktur kalimat yang

diucapkan, kemampuan untuk menggunakan sinonim dalam sebuah kalimat, dan kemampuan

untuk memahami susunan kalimat bermakna ganda. Dalam aspek ini, makna Mena Muria

8 Danny D. Steinberg, etc., Psycholinguistics : Languange, Mind, and World (England : Pearson

Education Limited,2001) 345.

64

sangat bergantung pada kepiawaian penutur memainkan perannya. Aspek mental sangat

berpengaruh pada emosi penutur untuk dapat mempengaruhi orang lain dengan memainkan

emosi yang sesuai dengan intepretasi dan kehendaknya.

Aspek linguistik, dalam aspek ini bahasa sangat dipengaruhi oleh konteks yang juga

memainkan sistem sosial. Konsep linguistik sangat berpengaruh secara struktural sebuah kata

karena berdasarkan pada sudut pandang dan pendekatan psikologi, kognitif dan antropologi.9

Didalam aspek linguistik ini terbagai atas dua bagian, yakni : relativitas linguistik yang

menyatakan bahwa tiap-tiap budaya akan menafsirkan dunia dengan cara yang berbeda-beda

yang terkodekan dalam bahasa. Determinisme linguistik yang menyatakan bahwa bukan

hanya persepsi terhadap dunia yang mempengaruhi bahasa melainkan bahasa yang digunakan

juga dapat mempengaruhi cara berpikir yang mendalam. Mena Muria dalam aspek linguistik

juga terbagi atas dua bagian. Mena Muria yang ditafsirkan oleh budaya dengan cara masing-

masing budaya dan Mena Muria yang mampu mempengaruhi persepsi dan cara berpikir

manusia. Mena Muria hidup dalam budaya orang Maluku. Orang Maluku memiliki budaya

berbeda-beda meskipun hampir memiliki kesamaan. Telah dijelaskan bahwa, Mena Muria

selain berada dalam masyarakat Aboru, Mena Muria juga ada dalam masyarakat Pulau

Seram. Cara menggunakan, mengartikan, dan menafsirkan Mena Muria juga berbeda-beda.

Orang-orang Seram menggunakan Mena Muria untuk memetakan teritori tempat tinggal

mereka sesuai dengan asal-usul marga. Misalnya marga dengan unsur Mena mendiami garis

depan teritori. Misalnya : Wattimena, Hatumena dll. Sedangkan yang berunsur Muri (Muria)

mendiami teritori bagian belakang. Misalnya : Wattimuri, Hatumuri dan lain sebagainya.

Mena Muria bagi orang Aboru juga ditafsirkan berbeda, penafsirannya merujuk pada cara

mobilisasi warga dari pegunungan ke pesisir dengan cara meneriakan Mena dan akan dibalas

dengan Muria. Ada nuansa tafsiran yang berbeda sesuai dengan kebudayaan. Mena Muria

9 Pip Jones, etc. Introducing Social Theory, terj. Pengantar Teori-Teori Sosial, Achamd Fedyani

Saiffudin (Jakarta : Yayasan Obor, 2016) 169.

65

dalam determinisme linguistik berarti kata yang mampu mempengaruhi cara berpikir, dalam

hal ini kata dalam suatu bahasa dilihat sebagai kerangka pemikiran manusia. Keberadaan

Mena Muria telah mempengaruhi dan mentransformasikan ide-ide, cara berpikir, informasi

dalam individu ataupun kelompok. Pengaruh Mena Muria sangat signifikan dalam kehidupan

orang-orang Maluku umumnya dan orang Aboru khususnya setelah penggunaanya terbagi

dalam dua fase. Fase pra-pergolakan RMS dan fase pergolakan RMS di Maluku. Hal ini tentu

berpengaruh mengingat Mena Muria sebagai identitas orang Maluku (didalamnya juga orang

Aboru) juga secara bersamaan sebagai identitas politik bagi para simpatisan dan anggota

gerakan sosial politik RMS.

2. Makna Mena Muria Bagi Masyarakat Aboru di Pulau Haruku

Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan pada BAB III, dapat diketahui bahwa

Secara Etimologi Mena berarti “Di depan” Muria berarti “Di belakang”. Ketika dipadankan

akan membentuk kata Mena Muria “Depan Belakang Siap”. Kata Mena Muria ini yang

secara kesatuan dipakai dalam kegiatan khusus orang-orang Aboru pada zaman dulu. Kata

Mena Muria tidak bisa berdiri sendiri, meskipun pada kondisi tertentu kata ini dapat

disebutkan terpisah tetapi pada waktu yang beriringan selalu diikuti dengan balasan teriakan.

Misalnya, seseorang yang meneriakkan Mena!! Akan dibalas dengan kata Muria.

Penggunaan Mena Muria secara berbalas-balasan memberikan makna tersendiri bagi orang-

orang yang mengatakannya. Mena Muria menjadi tidak berarti atau bermakna ketika tidak

diucapakan secara berbalas-balasan, diucapkan dengan intonasi rendah, atau dipekikan

terpisah tanpa balasan.

Mena Muria dipahami dengan berbagai pandangan yang berbeda dalam masyarakat.

Misalnya orang Aboru yang mendiami Pulau Haruku mempunyai pemahaman yang berbeda

66

dengan orang di Pulau Seram mengenai Mena Muria.10

Bagi masyarakat Aboru Mena Muria

bukan hanya memiliki makna harafiah depan belakang siap, sama seperti pemahaman

masyarakat di Maluku pada umumnya melainkan mempunyai arti “Yang di atas (biasanya

yang dituakan, yang dihormati atau yang memiliki status sosial lebih tinggi) memberikan

contoh, yang di belakang (yang umurnya lebih muda atau mempunyai status sosial yang lebih

rendah) mengikuti.” Dalam hal ini arti harafiah yang dimaksudkan berkaitan dengan

penggunaan Mena Muria sebagai kata seruan yang digunakan dalam masyarakat tradisional

untuk memobilisasi masyarakat. Penggunaan kata Mena Muria tidak terlepas pula dari kata

Lawamena Haulala yang memiliki arti harafiah “apa yang datang dari depan jangan undur.”11

Kata Mena Muria yang seringkali dipadankan dengan kata Lawamena Haulala juga

mempunyai dimensi yang beragam. Salah satunya adalah dimensi sosial, yakni

mempengaruhi setiap orang yang mendengar dan yang mengucapkannya dalam suatu

keadaan emosional tertentu.

Pemahaman orang Aboru di Pulau Haruku terbagi atas 2 bagian yakni pemaknaan

sebelum adanya pengaruh politis dari gerakan sosial politik di Maluku tahun 1950 dan

sesudah munculnya gerakan tersebut. Fase sebelum terjadinya pergerakan sosial politik

tersebut orang-orang di Aboru mengetahui dengan benar bahwa Mena Muria sebagai produk

budaya lokal yang mencirikan identitas sebagai orang Maluku. Hal ini berkaitan dengan

sejarah orang Aboru yang memahami Mena Muria sebagai sebuah alat untuk mempersatukan

masyarakat. Pada zaman dulu, masyarakat Maluku umumnya dan masyarakat Aboru

khususnya menggunakan Mena Muria sebagai sebuah idiom yang berfungsi secara konkrit

dalam berbagai kehidupan masyarakat. Mena Muria dipakai sebagai idiom untuk

10

Hasil Wawancara dengan Bpk. E.S di Aboru, 3 Mei 2017 11

Hasil Wawancara dengan Bpk B.M di Aboru, 4 Mei 2017

67

menggerakan massa yang akan melakukan migrasi dari gunung ke pesisir, dipakai pada saat

berperang, melaut dan tari-tarian.12

Dalam sejarahnya Mena Muria adalah idiom dipakai untuk memobilisasi masyarakat

yang melakukan migrasi dari gunung ke pesisir. Migrasi dilakukan dari gunung Hu‟Ur Walu

ke daerah pesisir untuk mendapatkan lahan tempat tinggal dan sumber daya alam yang baru

untuk memenuhi kebutuhan pangan. Dalam kelompok yang besar tersebut, pemimpin akan

menggunakan cara untuk mengakomodir pergerakan masyarakatnya agar tetap pada jalur

yang telah disepakati. Cara yang dilakukan adalah dengan meneriakan kata Mena Muria.

Yang menjadi menarik adalah kata Mena Muria ini tidak terlalu ekspresif saat diucapkan

dengan suara yang pelan, akan sangat berfungsi secara emotif jika diterikan dengan lantang.

Sudah terjadi ratusan tahun yang lalu ketika masyarakat gunung melakukan migrasi ke

pesisir. Gaya komunikasi yang digunakan lebih merujuk pada structuring style yang

memanfaatkan pesan-pesan verbal untuk memantapkan perintah dan memberi perhatian pada

keinginan untuk mempengaruhi orang lain. Hal ini dilihat sebagai etnografi komunikasi13

yang melibatkan struktur sosial, nilai dan perilaku dalam masyarakat.

Dalam mengkomunikasikan Mena Muria saat melakukan migrasi, pemimpin kelompok

yang memegang jabatan sturuktural tertinggi dalam masyarakat tersebut akan memekikan

“Mena!!!” secara lantang dan tegas untuk memastikan bahwa jalan di depan yang akan dilalui

oleh kelompok sudah aman dari bahaya. Pekikan tersebut akan kembali dibalas oleh penjaga

di belakang kelompok dengan “Muria!!!” yang artinya belakang juga sudah aman tidak ada

musuh yang mengikuti atau hewan buas dan bahaya lainnya yang mungkin terjadi selama

masa migrasi. Mena Muria yang dipekikan pada saat migrasi kelompok mempunyai makna

12

Ibid. 13

Leonard Bloomfield, Languange (London : George Allen and Unwin LTD,1933)29.

68

yang hampir sama dengan Mena Muria yang dipekikan pada saat melakukan peperangan.14

Perang antar kelompok sering terjadi pada zaman dulu dengan berbagai macam motif. Perang

biasanya dipicu karena perebutan tempat tinggal, perebutan lahan dan lain sebagainya. Dalam

berperang antar kelompok akan melibatkan banyak orang. Untuk memobilisasi massa yang

ikut perang maka teriakan Mena Muria dilantangkan. Dalam hal ini berarti orang dalam

kelompok siap untuk berperang. Jika kemenangan berhasil diraih maka pekikan Mena Muria

akan lebih gaung diperdengarkan sebagai keyakinan bahwa kami maju berperang dan

kemenangan mengikuti kami.

Dalam peperangan biasanya teriakan Mena Muria akan diterikan oleh orang yang

memiliki struktur sosial yang lebih tinggi biasaya panglima perang. Mena Muria dalam

peperangan juga dipahami sebagai aba-aba yang dipekikan untuk memulai peperangan. Mena

Muria dalam konsep migrasi dan perang mengandung semiotika behavioral yang melihat

sebuah kata sebagai realitas sosial sekaligus realitas semiotik. Sebuah kata sebagai suatu

realitas dari pengalaman fisis, logis, psikis dan filosofis15

, Mena Muria dalam konsep perang

dan migrasi juga memiliki realitas yang demikian. tentu melibatkan pengalaman yang riil dan

mempunyai makna filosofis. Pengalaman-pengalaman tersebut ada dalam konteks situasi dan

konteks kultural tertentu sehingga pemaknaan nilai-nilai kultural direalisasikan melalui

proses sosial dengan setting tertentu. Mena Muria bukan hanya ditemukan dalam proses

sosial yang ekstrim seperti migrasi kelompok dan peperangan, namun juga ditemukan

didalam proses sosial yang melibatkan interaksi dalam seni melalui tarian. Nuansa makna

Mena Muria dalam tarian lebih memiliki unsur magis.

Mena Muria sebagai sebuah kata yang memiliki unsur magis dapat membuat orang

yang mengucapkan kata tersebut dapat mengalami keadaan penuh emosional bahkan juga

14

Hasil Wawancara dengan Bpk. E.S di Aboru, 3 Mei 2017 15

Dadan Rusmana, Filsafat Semiotika, (Bandung : Pustaka Setia, 2014) 225.

69

dapat mempengaruhi orang lain. Fungsi magis ini ditemukkan dalam upacara adat atau

upacara keagamaan dalam suatu budaya.16

Mena Muria secara magis juga memberikan

kekuatan bagi para penari Cakalele ketika melakukan tarian. Cakalele sebagai representasi

dari keberanian dan kelihaian dalam berperang yang dituangkan lewat gerak tubuh. Mena

Muria sebagai seruan dalam tari-tarian ini mampu membangkitkan semangat dan rasa

percaya diri para penari. Ada sebuah hasrat dan rasa solidaritas yang tidak bisa digambarkan

dengan kata-kata namun bisa dirasakan memiliki kekuatan yang sangat besar. Sehingga tak

jarang penari dapat melakukan kebal tubuh dengan menggosokkan parang ke badan mereka

seperti orang yang mengalami trans-disosiasof (Kesurupan).

Kekuatan magis dalam kata Mena Muria sebagai bagian dari tarian disebabkan oleh

penggunaannya yang dianggap sakral dan diyakini dapat menembus ruang fisik sehingga

Mena Muria diasosiasikan sebagai kata yang mistik dan ghaib. Konsepsi tentang magis

bahasa adalah dengan mengaitkan bahasa dengan kuasa kreatif yang dapat mempengaruhi,

mengubah dan melenturkan emosi dan tak jarang juga mengubah realitas dan tindakan

manusia.17

Sehingga tidak jarang menemukan tarian cakalele yang menggunakan pekikan

Mena Muria dapat membangkitkan bentuk emosi yang meluap. Mena Muria memiliki nuansa

nilai yang mencirikan lokalitas masyarakat Maluku. Dalam sistem komunikasi masyarakat

sangat dipengaruhi oleh fenomena-fenomena yang juga turut mempengaruhi sistem nilai dan

makna18

.

Sedikitnya ada 3 nilai yang dapat dilihat dalam pemaknaan Mena Muria sebelum tahun

1950, yakni nilai sosial, nilai budaya dan nilai religius. Nilai Sosial dalam hal ini

berhubungan dengan struktur dan relasi sosial dalam masyarakat. Bagi masyarakat Aboru,

16

M. A. K. Halliday, Languange, Context, and Text : Aspect of Languange in a Social-Semiotic Perspective (Australia : Deakin University, 1985) 20

17 Noriah Mohamed dan Darwis Harahap,Ed. Mutiara Budi : Mengenang Profesor Abdullah Hasan

(Selangor : PTS Akademia,2013) 401. 18

Umberto Eco, Teori Semiotika, Terj., Inyak Ridwan Muzir (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2009)17.

70

kekuatan dan solidaritas merupakan aspek yang sangat penting. Solidaritas biasanya

dipengaruhi oleh ciri berkomunikasi yang menunjukkan kekuasaan dan keakraban dalam

hubungan horisontal masyarakat.19

Penggunaan kata dalam masyarakat merupakan ekspresi

dari hubungan-hubungan sosial dalam suatu komunitas. Dalam hal ini, orang Aboru

menggunakan kata Mena Muria untuk mengekspresikan hubungan-hubungan sosial mereka

antara masyarakat dan pemimpin atau masyarakat dengan sesamanya. Ekspresi-ekspresi

tersebut akan muncul secara berbeda-beda sesuai dengan penggunaannya berdasarkan

pemetaan struktur sosial. Mena Muria akan sangat ekpresif dan bermakna sangat dalam jika

dikatakan oleh para pemimpin dalam kelompok masyarakat. Ada nilai-nilai yang

memungkinkan kata tersebut memiliki nuansa yang berbeda-beda ketika diucapkan.

Nilai budaya dalam Mena Muria adalah bentuk kesepakatan bersama yang tertanam

dalam budaya masyarakat dan mengakar dalam simbol (dalam hal ini bahasa). Mena Muria

sebagai identitas masyarakat Maluku yang didalamnya juga mengandung kaidah-kaidah

berdasarkan kearifan lokal masyarakat Maluku. Nilai budaya Mena Muria ini terlihat dalam

konsep Mena Muria sebagai pemersatu masyarakat Maluku. Masyarakat Maluku yang hidup

dalam kearifan lokal “orang basudara” atau “potong di kuku rasa di antong”

mengintepretasikan keberadaan orang Maluku pada umumnya dan orang Aboru pada

khususnya sebagai sebuah komunitas yang memiliki solidaritas yang erat. Mena Muria

mampu untuk melampaui segala perbedaan dalam struktur dan lapisan masyarakat, dan

mengikat mereka dalam satu solidaritas. Didalam Mena Muria ada equalitarian komunikasi20

yang memungkinkan semua masyarakat pada suatu waktu ada dalam posisi yang sama.

19

Brown, R and Gilman, A. The Pronouns of Power and Solidarity. dalam Giglioli Pier Paolo (ed.) Language and Social Context (England: Penguin Books, 1972) 67.

20 Equalitarian Komunikasi yaitu salah satu gaya komunikasi yang berjalan dua arah dan dilandasi oleh

aspek kesejajaran, sama, tidak mengintimidasi. Lihat : Brent D. Ruben and Lea Steward, Communication and Human Behavior (Iowa : Kendall Hunt Publishing Company, 2016) 76.

71

Nilai Religius Mena Muria adalah representasi dari kesakralan. Mena Muria diyakini

sebagai pranata yang diberikan oleh yang transenden kepada orang-orang di masa lampau.

Nilai religius biasanya bersumber dari hidayah atau pengalaman dari yang transenden. Orang-

orang Aboru meyakini bahwa, Mena Muria didapatkan dari pengalaman religius pemimpin

mereka dengan yang Ilahi. Sehingga Mena Muria memiliki kekuatan dan daya tarik yang

sangat besar. Nilai religius telah terinkulturasi lewat pengalaman masyarakat dalam Mena

Muria. Selain itu pengaruh agama arus utama yakni kekristenan juga turut mempengaruhi

pemaknaan Mena Muria dalam kerangka nilai religius. Mena Muria dipahami bukan hanya

sebagai pengalaman mereka dengan yang ilahi tetapi Mena Muria adalah yang ilahi itu

sendiri. Orang Aboru memahami Mena Muria sebagai Alfa dan Omega atau yang awal dan

yang akhir.21

Sehingga Mena Muria dianggap sebagai kata yang sakral yang bahkan tidak

bisa diucapkan secara sembarang karena mewakili kehadiran yang transenden itu. Ketiga

nilai yang terkandung dalam konsep Mena Muria yang klasik bersifat sebagai pengikat

solidaritas dan identitas kelompok.

Fase kedua adalah sesudah terjadinya pergerakan sosial politik di Maluku, Mena Muria

bukan hanya sebagai sebuah identitas lokal masyarakat Maluku yang sarat akan nilai-nilai

budaya tetapi juga menggambarkan makna yang lebih kontemporer dengan mengandung

makna politis. Makna politis dalam Mena Muria berangkat dari peristiwa terbentuknya suatu

gerakan sosial politik di Maluku tahun 1950 yakni Republik Maluku Selatan.22

Pada saat

merumuskan lambang dan semboyan (yang belakangan dipakai sebagai salam persatuan)

tercetuslah untuk menggunakan simbol burung pombo putih (Merpati) dan semboyan Mena

Muria yang merujuk pada solidaritas.23

Solidaritas yang dimaksud pada fase ini adalah

solidaritas melakukan perlawanan dan mewujudkan perubahan sosial politik di Maluku.

21

Hasil Wawancara dengan Bpk B.M di Aboru, 4 Mei 2017 22

Hasil Wawancara dengan Bpk. S.W di Ambon, 9 Mei 2017. 23

Yusuf Abdullah Puar, Peristiwa Republik Maluku Selatan (Jakarta : Bulan Bintang, 1956) 125.

72

Makna politis dalam Mena Muria akhirnya menggeser pemaknaan Mena Muria yang

berbasis budaya kepada makna yang lebih kontemporer.

Mena Muria yang lebih kontemporer ini selalu dikaitkan dengan orang Aboru. Hal ini

tidak terlepas dari keikutsertaan kebanyakan masyarakat Aboru dalam gerakan sosial politik

di Maluku. Pemaknaan ini telah ada sejak perjuangan penumpasan RMS di Maluku dan

diwariskan sebagaimana pemaknaan yang berkaitan dengan RMS secara turun temurun

Terlihat jelas ketika RMS menggunakan kata Mena Muria sebagai semboyan. Bagi orang

Aboru, mengucapkan Mena Muria seperti membangkitkan rasa kebersamaan, semangat

perjuangan dan bahkan tak jarang ada yang sampai meneteskan air mata ketika mengucapkan

kata Mena Muria. Penyebabnya adalah emosi atau gejolak psikis dari masing-masing orang

saat mengucapkan sebuah kata. Dapat dipahami bahwa sebuah kata memiliki fungsi emotif24

yang digunakan mengungkapkan perasaan/emosi seperti gembira, sedih, bangga, dan lain

sebagainya.

Fungsi Emotif ini bertumpu pada penutur yang juga memungkinkan untuk berfungsi

secara personal maupun kolektif. Konsep Mena Muria secara politis bisa saja dipengaruhi

oleh gejolak sosial yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga ketika mengucapkan Mena

Muria ada sebuah khasanah yang membuat orang yang mengucapkan atau mendengarkannya

mengalami gejolak emosi yang kadang kala bisa saja tidak stabil. Pengaruh terhadap makna

dapat dilihat melalui lensa kajian makna kontesktual terhadap masalah adanya suatu ujaran

atau kata yang dimaknai berbeda-beda. Hal ini disebut sebagai makna Ilokusi yakni makna

harfiah atau makna secara stuktur tanpa diembeli pemahaman subjektif dari sudut penutur

atau pendengar. Makna ilokusi adalah makna yang dipahami pendengar dari tuturan yang

24

Abd. Syukur Ibrahim, Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi (Surabaya : Usaha Nasional,1994) 15-16

73

diujarkan penutur.25

Terlihat dalam hal ini penutur sangat memegang peran penting dalam

mengendalikan tuturan terhadap suatu ujaran. Kelemahan ilokusi adalah dapat melahirkan

ambiguitas. Pemaknaan Mena Muria juga seringkali mengalami ambiguitas. Disatu sisi

apakah sebagai warisan budaya ataukah sebagai salam politik gerakan sosial politik.

Pemaknaan orang Aboru tentang Mena Muria tidak terlepas dari pengaruh tradisi tutur

dalam masyarakat tradisional. Masyarakat tutur ialah sekumpulan orang atau individu yang

menggunakan sistem kebahasaan yang sama, serta memiliki penilaian yang sama terhadap

norma-norma pemakaian bahasa itu.26

Pada intinya masyarakat tutur terbentuk karena adanya

saling pengertian (mutual intelligibility), terutama karena adanya kebersamaan dalam kode-

kode linguistik secara terinci dalam aspek-aspeknya, yaitu sistem bunyi, sintaksis dan

semantik. Dalam pengertian itu ternyata ada dimensi sosial-psikologi yan subjektif.27

Tradisi

tutur memiliki kelemahan, cerita yang disampaikan oleh penutur seringkali disalah artikan

dan tidak tepat sasaran. Tidak menutup kemungkinan bagi penutur berikutnya untuk

menyampaikan cerita seperti yang ia pahami dengan menambahkan opininya sendiri, tidak

ada proses falsifikasi untuk membenarkan cerita tersebut.

Kelemahan tradisi tutur inilah yang membuat celah pergeseran makna semakin besar.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pengetahuan akan bahasa-bahasa daerah telah mengalami

kemandekan. Penutur bahasa asli Maluku hampir tidak ada, selain orang-orang tua yang

sudah berusia lanjut. Berkurangnya penutur bahasa daerah pun turut mempengaruhi

pemaknaan Mena Muria. Kelemahan tradisi tutur inilah yang memungkinkan terjadi

pergeseran makna Mena Muria dalam pemahaman masyarakat.

25

Abdul Chaer, Kajian Bahasa : Struktur Internal, Pemakaian dan Pemelajaran (Jakarta : Rineka Cipta, 2007) 76-77

26 Abd. Syukur Ibrahim, Pandian Penelitian Etnografi...., 21

27 Leonard Bloomfield, Languange..., 30

74

Warga Aboru adalah contoh dari komunitas yang bersifat organik, yang bercirikan

hidup kebersamaan. Masyarakat Aboru dalam komunitasnya di Pulau Haruku hidup secara

berdampingan dan sangat bergantung secara kolektif. Masyarakat Aboru sangat menjunjung

tinggi nilai-nilai luhur, budaya dan adat istiadat. Mereka masih sangat tradisional dalam

memahami mitos dan cerita-cerita yang berkembang dalam masyarakat serta masih dipegang

sebagai sebuah keyakinan dalam masyarakat hingga saat ini.28

Keyakinan tentang yang sakral

pun masih dipahami secara tradisional oleh masyarakat Aboru. Mena Muria diyakini bukan

sebagai sebuah kata biasa, tetapi kata yang memiliki unsur magis atau yang sakral.

Di Maluku umumnya, ada begitu banyak cerita mengenai asal asul suatu bangsa (suku),

bahasa, bahkan tempat tinggal (kampung atau Negeri). Bagi masyarakat di Maluku Tengah

dan Pulau Ambon, cerita yang tertua berasal dari pulau Seram. Yang diyakini sebagai Nusa

Ina atau Pulau Ibu29

. Dinamakan Nusa Ina berangkat dari filosofi Ibu yang memberi

kehidupan. Hal ini tidak terlepas dari makna seorang ibu (Perempuan) yang mampu untuk

memberikan keturunan. Sehingga asal muasal bangsa Maluku adalah di Pulau Seram atau

Nusa Ina. Kata Mena Muria diyakini berasal dari Pulau Seram yang merupakan peradaban

tertua di Maluku Tengah. Telah lama masyarakat Maluku Tengah dan Pulau Ambon hidup

dalam suatu kepercayaan “Nusa Ina katong samua dari sana.” Berbeda dengan orang Aboru

yang berkediaman di Pulau Haruku yang meyakini bahwa mereka adalah orang-orang yang

pertama karena mereka berasal dari Nusa Ama atau Pulau Bapa (Haruku)30

. Tanpa Nusa Ama,

Nusa Ina tidak bisa memberi keturunan. Akhirnya terjadi berbagai perbedaan pemahaman

tentang cerita-cerita sejarah.

Orang Aboru khususnya yang bermukim di Pulau Haruku memaknai Mena Muria

sebagai panggilan hidup untuk berjuang. Pemahaman ini sangat berpengaruh saat wacana

28

Hasil Wawancara dengan Bpk. F.N, di Rumahtiga, 8 Mei 2017 29

Hasil Wawancara dengan Bpk. N.M di Desa Nuruwe Maluku Tengah, 30 April 2017 30

Hasil Wawancara dengan Bpk. B.M, di Aboru, 4 Mei 2017.

75

mengenai Mena Muria adalah salam khas para simpatisan gerakan sosial politik di Maluku.

Semiotika sosial menjadi pisau bedah untuk melihat bagaimana Mena Muria yang magis itu

bertransformasi menjadi retorika. Kerangka berpikir Semiotika sosial adalah dengan

membedah interaksi antara teks dan konteks31

.

Ada tiga konsep dasar dalam semiotika sosial : medan wacana, pelibat wacana, dan

mode wacana. Dalam masing-masing konsep ini membantu menjabarkan bagaimana Mena

Muria yang politis itu mengambil peran dalam masyarakat. Medan wacana merupakan

tindakan sosial yang sedang terjadi dan aktivitas tersebut melibatkan pelaku didalamnya.

Dalam kasus Mena Muria ini, ditemukan fakta-fakta yang telah dipaparkan pada bab

sebelumnya bahwa dalam rangka mempengaruhi masyarakat lewat semboyan dan salam

perjuangan gerakan sosial politik menggunakan Mena Muria. Tindakan-tindakan yang

dilakukan pun bersifat riil. Sehingga membentuk stigma negatif yang tidak bisa dilepaskan

dari memori masyarakat.

Pelibat Wacana, yakni dalam usahanya gerakan sosial politik ini selalu melibatkan

pembicara dan sasaran dalam pembicara serta kedudukan dan hubungan diantara mereka.

pelibat wacana tahu benar untuk melakukan retorika menggunakan kata Mena Muria untuk

menuai simpati masa dengan menggunakan kekuasaan yang dimiliki. Mode wacana merujuk

pada pilihan bahasa yang akan digunakan. Apakah akan menggunakan kata-kata yang bersifat

eksplanasi, deskripsi, persuasif, metaforis, hiperbolis dan lain sebagainya serta apa

pengaruhnya bagi suatu masyarakat. Dalam hal ini pelibat wacana cenderung akan

menggunakan kata-kata yang sangat persuasif untuk mencapai tujuannya. Tiga konsep

tersebut dirasa juga belum sempurna untuk menjawab bagaimana pengaruh politis Mena

Muria dalam masyarakat. Dapat dianalisa juga bahwa penggunaan kata-kata dalam

masyarakat bukan hanya terletak pada medan wacana, pelibat wacana dan mode wacana.

31

Agus Soedibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana (Yogyakarta : Lkis, 2001) 129.

76

Tetapi bagaimana suatu ujaran atau kata-kata dapat terekonstruksi dalam masyarakat

sedemikian rupa. Hal ini menjadi kegelisahan bagaimana kata-kata dapat menjadi kuasa bagi

orang yang menggunakannya.

Makna Mena Muria yang sangat problematis berakar pada pemahaman masyarakat

dalam aspek kognitif. Aspek kognitif didalamnya berbicara mengenai memori yang

tersimpan dalam otak manusia. Memori tersebut terenskripsi melalui proses informasi dan

pengalaman indrawi manusia.32

Bahasa tersimpan dalam memori tersebut pada bagian Long

term memory atau memori jangka panjang. Sehingga akan mengurucut pada penemuan

bahwa pemaknaan tentang Mena Muria yang lahir dari pengalaman masyarakat pada masa

pergolakan sosial politik di Maluku akan membentuk ingatan Mena Muria yang politis, dan

hal tersebut akan selalu teringat dalam memori jangka panjang. Mena Muria yang memiliki

berbagai intepretasi membuat masyarakat secara bebas menafsirkan apa makna Mena Muria?

Mena Muria yang politis ini kebanyakan ditafsirkan sebagai panggilan dan seruan untuk

berjuang. Berjuang dalam arti dapat mempertahankan kehidupan mereka (survive).

Manusia dalam kelompok masyarakat harus melakukan berbagai cara untuk self-

defense. Sekalipun melakukan kekerasan untuk memperjuangkan hak hidup. Mena Muria

dilihat sebagai suatu cara untuk bertahan hidup saat perjuangan RMS yang dipahami oleh

orang Aboru sebagai jalan keluar untuk menuju Maluku yang terbebas dari cengkraman

Indonesia. Pemahaman orang Aboru pada fase kedua ini telah mengurangi esensi dan nilai

budaya dalam kata Mena Muria yang dipengaruhi oleh situasi politik sehingga

mengakibatkan aktor-aktor politik melakukan retorika terhadap orang Maluku pada

umumnya dan orang Aboru pada khususnya. Pemahaman Mena Muria masa kini sangat

dipengaruhi oleh proses-proses sosial yang terjadi dalam masyarakat. Sejak terjadinya

pergolakan sosial politik di Maluku oleh RMS banyak doktrin-doktrin yang sengaja diberikan

32

Untung Yuwono¸ Pesona Bahasa (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,2005) 18.

77

kepada masyarakat. Salah satunya dengan mengubah Mena Muria menjadi alat untuk

mempengaruhi masyakat.

Mena Muria ditanamkan bersamaan dengan keyakinan untuk bermilitan

memperjuangkan Maluku yang berhak menentukan sendiri kebebasan bernegaranya, maka

isu-isu tentang kepemimpinan RMS yang kelak akan dipegang oleh orang Aboru sengaja

dimunculkan di publik agar orang Aboru semakin gencar melakukan perlawanan. Para elit

politik RMS saat itu pandai membaca situasi dan kondisi orang Aboru yang terkenal sangat

militan terhadap apa yang diyakini oleh mereka. Doktrin-doktrin kekuasaan dan kemapanan

bernegara menjadi alat yang ampuh mengumpulkan simpatik orang Aboru. Disinilah letak

permainan politik bahasa untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Seperti diketahui bahwa

sebelumnya, Mena Muria dimaknai secara harafiah sebagai kata yang mengajak orang lain

untuk bekerja sama dan saling membantu (non-peyoratif) tidak memiliki unsur negatif.

Bahasa sangat berguna sebagai alat politik dalam ruang publik dan bahkan dalam relasi-relasi

sosial individual33

.

Pemaknaan masyarakat Maluku pada umumnya dan masyarakat Aboru khususnya

berubah ketika Mena Muria sudah disisipi oleh muatan politis. Mena Muria sekarang ini

dimaknai secara luas oleh masyarakat, arti harafiah “Yang di depan Siap, di Belakang siap”

atau “Di depan maju yang di belakang ikut” sudah dikonotasikan negatif sebagai bentuk

perlawanan terhadap NKRI oleh RMS. Ada berbagai macam fungsi bahasa dalam kehidupan

masyarakat. Salah satunya fungsi Fatik yang berguna menjadikan bahasa sebagai pesan untuk

mengakaui dan mengukuhkan hubungan sosial.34

Fungsi fatik bahasa dalam Mena Muria

adalah untuk mendapatkan empati dan membangun solidaritas dalam masyarakat. Fungsi

33

Linda Thomas dan Shan Wereing, Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan (Yogyakarta : Paradigma,2009) 339.

34 Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna. (Yogyakarta : Jalasutra,2010) 122

78

Fatik ini sangat berpengaruh dalam masyarakat tradisional yang bergantung pada relasi-relasi

sosial yang akan membentuk solidaritas sosial secara tidak langsung.

Sebagai masyarakat tutur tradisional kesamaan bahasa dan pemahaman dapat

mengokohkan komunitas. Sehingga kebanyakan masyarakat dalam komunitas seperti ini

tidak mempersoalkan tujuan dan makna dari bahasa tersebut namun tetap

mempertahankannya. Hal inilah yang membuat stigma negatif Mena Muria dapat bertahan

dan kemudian diwariskan oleh satu generasi ke generasi lainnya yang mengakibatkan

pemaknaan akan Mena Muria mengalami pergeseran. Seseorang yang mengatakan Mena

Muria dalam komunitas masyarakat Maluku pada umumnya dan Masyarakat Aboru pada

khususnya akan dipandang sebagai pengikut RMS atau melabeli diri “saya pengikut RMS”.

Tentu hal ini mengurangi esensi dan makna budaya didalam kata Mena Muria itu sendiri.

pemaknaan tersebut tidak terlepas dari pengaruh situasi dan fungsi bahasa.

Situasi sangat berperan penting terhadap fungsi bahasa dalam suatu komunitas. Sebuah

kata yang digunakan dalam situasi tertentu dapat melahirkan makna baru sesuai dengan

kebutuhan terhadap situasi itu sendiri, Fenomena-fenomena seperti ini kemudian dapat

mempengaruhi sistem perilaku dan nilai individu atau masyarakat.35

Lebih berbahaya apabila

bahasa yang telah mempengaruhi sistem perilaku dan nilai dibawa dalam ruang publik. Mena

Muria telah berfungsi secara emotif, terlepas dari makna harafiahnya yang sangat melibatkan

emosi dan terekonstruksi untuk menyampaikan pesan politis. Mena Muria sebagai semboyan

RMS adalah sebuah contoh bagaimana bahasa sangat berpengaruh dalam ruang publik. Di

ruang publik semua orang bebas mengekspresikan, mengintepretasikan, berinteraksi,

mereformasi secara bebas. Mena Muria ada dalam ruang publik dan secara bebas dimaknai

oleh masyarakat.

35

Marcel Danesi....., 108.

79

Kekuatan Mena Muria yang memiliki makna peyoratif tidak terlepas dari hubungan

bahasa sebagai media kekuasaan dalam relasi sosial untuk mempengaruhi masyarakat. Mena

Muria dipakai oleh kalangan elit masyarakat Maluku dalam RMS yang mampu

mengendalikan masyarakat dengan pengaruh politik sehingga hasilnya adalah Mena Muria

yang peyoratif (negatif). Meskipun bahasa merupakan salah satu produk budaya yang telah

lama dalam peradaban manusia, tidak menutup kemungkinan bahasa dapat ditransformasikan

sesuai dengan kebutuhan situasi ataupun basis kultural yang telah berubah.

Pemaknaan masyarakat Aboru terhadap Mena Muria sekarang ini bukan lagi

pemaknaan terhadap budaya melainkan cenderung mengikuti pemaknaan Mena Muria secara

politis. Mena Muria telah dipengaruhi oleh konteks yang berperan dalam sistem sosial

masyarakat Maluku. Temuan dilapangan membuktikan bahwa pemaknaan Mena Muria

dipengaruhi kuat oleh keadaan politik di Maluku pada tahun 1950. Setelah tahun 1950 Mena

Muria sudah tidak bisa bebas diucapkan bahkan dalam upacara adat sekalipun. Ini

menunjukkan bahwa pengaruh kekuasaan dan politik sangat kuat. Meskipun kesadaran akan

makna Mena Muria telah dipahami oleh orang-orang Aboru yang telah memiliki pendidikan

yang memadai, atau bahkan yang menyadari benar arti harafiah Mena Muria dan melepaskan

pengaruh politik namun tetap saja untuk mengatakan Mena Muria di ruang publik masih

terlalu rentan. Ketakutan masyarakat ini bukan tanpa alasan, alat keamanan negara seperti

polisi dan tentara tidak segan untuk menangkap orang-orang yang dengan sadar mengatakan

Mena Muria dan dicurigai sebagai simpatisan RMS. Hal-hal semacam ini telah membangun

makna negatif Mena Muria dalam masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian, Mena Muria sebenarnya seperti idiom biasa yang

kebanyakan digunakan dalam masyarakat berdasarkan pada arti harafiahnya “Yang di depan

maju yang di belakang ikut” hal ini sama seperti idiom Ing Ngarso Sung Tulodo (yang di

atas memberi teladan),, Ing Madya Mangun Karsa (yang di tengah membangun atau

80

menguatkan) dan Tut Wuri Handayani (yang di belakang memberi semangat atau dorongan)

dalam masyarakat Jawa. Namun karena pengaruhnya yang begitu kuat secara politis Mena

Muria dianggap sebagai kata yang tabu untuk dikatakan. Sehingga terlihat jelas kontestasi

politik dan budaya terjadi dalam Mena Muria.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemaknaan Mena Muria Bagi Orang Aboru.

Pemaknaan Mena Muria bagi orang Aboru tidak terlepas dari berbagai faktor. Secara

langsung ataupun tidak langsung dalam kehidupan masyarakat, faktor pendidikan, faktor

budaya, faktor sosial, faktor politik bahkan faktor ekonomi memiliki peran yang sangat

penting.

1. Faktor Pendidikan

Pengembangan sumber daya manusia merupakan bagian integral bagi proses

pembangunan suatu bangsa. Tentunya pengembangan sumber daya manusia tidak terlepas

dari peran intelektualitas yang memberi kontribusi pada ketrampilan mengolah dan

memanfaatkan potensi untuk kesejahtraan dan kemakmuran suatu bangsa. untuk membangun

sebuah sumber daya yang mumpuni dan siap bersaing demi kemajuan pembangunan maka

diperlukan pengetahuan akademis. Pendidikan salah satu adalah Dasar dan sumber intelektual

manusia maka lembaga pendidikan dinilai sebagai spektrum utama yang memegang posisi

strategis dan bertanggung jawab terhadap menciptakan manusia yang berkualitas. Harus

sejalan dengan pengelolaan yang efisien, efektif dan profesional. Pendidikan merupakan

salah satu faktor yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tanpa disadari pendidikan

juga dapat mempengaruhi manusia dalam kelompoknya dalam bertindak.

Kadar intelektual seseorang akan diukur dari proses akademik yang dilakukan secara

formal di lembaga pendidikan. Upaya untuk meningkatkan kapasitas intelektual tentu

81

memerlukan sebuah institusi atau lembaga pendidikan yang kita kenal dengan istilah institusi

perguruan tinggi. Semakin baik pengetahuan maka yang diharapkan semakin kritis pula

seseorang dalam menghadapi berbagai isu dalam masyarakat. Salah satu isu dalam

masyarakat yang dimaksudkan adalah tentang pemaknaan Mena Muria dalam masyarakat

Maluku pada umumnya dan masyarakat Aboru pada khususnya. Kata Mena Muria masih

menjadi hal yang menimbulkan polemik di berbagai elemen masyarakat. Faktor pendidikan

juga memberikan sumbangsih besar terhadap pemaknaan masyarakat tentang Mena Muria.36

Di Aboru dengan rata-rata tingkat pendidikan hanya sebatas sekolah menengah pertama dan

sekolah menengah atas.37

Dari data yang telah dikumpulkan menunjukkan bahwa jumlah lembaga pendidikan

formal yang ada di Aboru berjumlah 8 sekolah dari tingkat PAUD sampai SMA. Terdiri dari

satu PAUD yayasan Kristen dan SD, SMP, SMA milik pemerintah. Presentase jenjang

pendidikan yang paling tinggi adalah sebatas sekolah menengah pertama. Masyarakat

didaerah terpencil seperti Aboru misalnya, akan menempuh pendidikan yang memadai di

daerah perkotaan. Apabila biaya yang tersedia mencukupi untuk melanjutkan pendidikan ke

jenjang perguruan tinggi maka hal itu akan dilakukan. Minimal anak-anak di Aboru akan

disekolahkan di Ambon yang merupakan basis pendidikan di Maluku. Masyarakat Aboru di

Pulau Haruku kurang mempunyai semangat edukasi yang baik. Anak-anak yang telah

menyelesaikan pendidikan menengah atas jarang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang

lebih tinggi. Dengan pemahaman bahwa mereka lebih baik bekerja menghasilkan uang

dengan melaut atau bertani. Tentu dengan pendidikan yang tidak memadai maka pemahaman

masyarakat Aboru terhadap Mena Muria secara politis mudah sekali didoktrinasi dalam

pemikiran mereka tanpa dikritisi.

36

Hasil Wawancara dengan Ibu T.L, di Aboru, 2 Mei 2017 37

Hasil Data Base Jemaat Aboru 2015 pada Renstra Jemaat GPM Aboru.

82

Kurangnya pemahaman dan pengetahuan yang bisa didapatkan di lembaga pendidikan

yang lebih tinggi (Perguruan Tinggi) akhirnya berdampak pada kehidupan mereka. bukan

saja makna Mena Muria yang tidak dipahami secara kritis oleh masyarakat Aboru di Pulau

Haruku, tetapi juga keterlibatan anak-anak muda Aboru dalam gerakan sosial politik di

Maluku. Seharusnya pada usia muda antara 19-25 tahun seseorang dapat dikatakan sangat

produktif dalam menempuh pendidikan.

Cerita-cerita tentang perjuangan gerakan sosial politik di Maluku yakni RMS selama ini

beredar dalam masyarakat. RMS diyakini sebagai sebuah negara yang sudah ada sebelum

Indonesia terbentuk. Artinya RMS berhak untuk mengembalikan statusnya sebagai negara

yang merdeka yang sementara ini sedang dijajah oleh Indonesia. Dengan mencuri hasil alam

dari Maluku, pemerintah Indonesia dinilai hanya membangun Jakarta (Jawa) yang merupakan

pusat pemerintahan.38

Sehingga daerah Maluku tidak dapat menikmati hasil alam sendiri.

Seharusnya hasil alam tersebut dapat digunakan untuk membangun infrastruktur yang

memadai didaerah pelosok di Maluku. Simpatisan RMS sudah membangun kerangka berpikir

demikian terhadap Indonesia. Imajinasi yang demikian dibangun dalam konsep berpikir yang

sangat tradisional. Masyarakat Aboru yang memiliki rata-rata pendidikan menengah mudah

menafsirkan segala hal sesuai dengan keinginan mereka. Dalam hal berpolitik misalnya,

mereka kurang berafiliasi dengan hal-hal yang berbau ke-Indonesia-an. Tetapi duduk dan

membicarakan tentang nasib perjuangan RMS dan kapan akan terjadi perubahan sosial politik

menjadi bahan pembicaraan sehari-hari. Masyarakat yang demikian tidak memiliki

kemapanan dalam pendidikan. Pendidikan sebagai subsistem dalam sistem masyarakat

membantu masyarakat mengarahkan sekaligus memudahkan proses pewarisan budaya dalam

hal ini bahasa dari satu generasi ke generasi lainnya. Ada mekanisme keterkaitan yang tidak

bisa dilepaskan antara proses pewarisan tersebut dengan bahasa sebagai produk budaya.

38

Henry Reinhard Apituley, Tesis, Hak Menentukan Nasib Sendiri Menurut Hukum Internasional. (Ambon : PPs Unpatti, 2014) 43

83

Pendidikan yang terbatas tidak memberikan penalaran yang baik akan pentingnya

mempertahankan bahasa sebagai budaya tanpa intervensi politik.

2. Faktor Sosial-Budaya

Selain faktor pendidikan, faktor yang juga turut mempengaruhi masyarakat adalah

sosial-budaya. Bahasa yang merupakan produk budaya merupakan bagian integral yang tidak

terpisahkan dari kehidupan sosial masyarakat. Bahasa memberikan identitas kepada

masyarakat dalam suatu komunitas. Dengan bahasa pula masyarakat dan suatu komunitas

menginginkan pengakuan akan identitas mereka tersebut. Secara sosial masyarakat Aboru

masih dikategorikan sebagai masyarakat organik. Dengan pola interaksi yang masih sangat

tradisional. Struktur sosial dalam masyarakat Aboru memiliki kesamaan dengan masyarakat

adat di daerah Maluku lainnya. Pemerintahan tertinggi dipegang oleh Raja yang secara turun

temurun (dinasti) diberikan kepada anak kandung atau yang masih memiliki hubungan darah

dengan pemegang kekuasaan. Sebenarnya stratifikasi sosial di Aboru tidak menjadi masalah

karena di Aboru gap antara pemegang pemerintahan seperti raja tidak menutup diri dan

sangat berelasi dengan masyarakat.

Namun tetap Raja selalu mendapat penghormatan yang tinggi bahkan masyarakat

masih tunduk pada semua kebijakan Raja. Jika terjadi permasalahan dalam masyarakat maka

segala permasalahan di Aboru akan diselesaikan di rumah adat dalam sidang adat.39

Masyarakat Aboru memiliki tingkat empati dan solidaritas yang sangat tinggi. Solidaritas

dapat merujuk pada „ikatan moral‟ dimana hubungan-hubungan antar individu adalah

sedemikian sulit dibedakan dari hubungan-hubungan terhadap kesuluruhan.40

Model sejenis

ini disebut Durkheim sebagai “Segmentary societes based upon class”. Yang menekankan

pada solidaritas kolektif untuk mencegah berkembangnya kehidupan yang mementingkan diri

39

Hasil Wawancara dengan Bpk. E.S di Aboru, 3 Mei 2017 40

Emile Durkheim, The Division of Labor Society (NY : Free Press, 1964) 368.

84

sendiri.41

Konsep tentang perilaku kolektif dalam masyarakat Aboru sangat nampak dalam

kehidupan mereka. Sesuatu yang mereka yakini memiliki nilai dalam masyarakat dapat

menggerakan mereka secara kolektif. Mena Muria telah diyakini memiliki nilai dalam

masyarakat sebagai pengikat solidaritas mereka yang terpanggil sebagai anak Maluku untuk

melakukan perlawanan terhadap Indonesia.

Perilaku kolektif ini ditularkan secara psikologis untuk membangun simpatik

masyarakat Aboru tentang perjuangan bersama menuju Maluku yang bebas dan Merdeka.

Falsafah hidup “Maluku Satu Darah” menjadi pengikat dalam masyarakat Maluku pada

umumnya dan masyarakat Aboru pada umumnya. Selain itu pengakuan terhadap identitas

mereka dalam masyarakat sangat penting. Penetrasi kolonial pada awal abad 15 masih

meninggalkan bekas dalam kehidupan masyarakat. Sampai pada masa kolonialisasi Belanda,

orang Maluku pada umumnya sangat diistimewakan.42

Sebagai daerah penghasil rempah-

rempah yang merupakan komoditi utama saat itu membuat Maluku dianggap sebagai anak

emas. Pada saat pemulangan bangsa Belanda setelah kemerdekaan Indonesia tidak sedikit

orang Maluku yang dibawa ke Belanda.

Orang-orang Maluku pada umumnya dan Aboru pada khususnya memiliki sebuah

ikatan yang kuat dengan orang Belanda. Merupakan kebanggan tersendiri apabila ada orang

Maluku yang dibawa kesana untuk sekedar jalan-jalan atau menetap. Budaya orang Maluku

banyak mengadaptasi peninggalan bangsa kolonial sehingga tidak heran apabila ada

masyarakat Maluku yang sangat bangga dengan hal tersebut. Para pemimpin RMS

kebanyakan berdomisili di Belanda dan sebagian di Amerika. Dengan janji akan memberikan

jaminan kepada masyarakat Maluku jika merdeka nanti membuat masyarakat Maluku

41

Lambang Trijono, Pembangunan Sebagai Perdamaian : Rekonstruksi Indonesia Pasca Konflik (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007)24

42 Abdul Irsan, Hubungan Indonesia-Belanda : Antara Benci dan Rindu (Jakarta : Yayasan Pancur

Siwah, 2003) 183.

85

umumnya dan masyarakat Aboru khususnya gencar melakukan perlawanan. Masyarakat

Aboru sangat terbuka melabeli diri mereka sebagai pengikut RMS. Partisipasi masyarakat

dalam proses sosial sangat terlihat. Prinsip-prinsip sosial ini dibangun dengan landasan yang

kuat dari kebudayaan orang Aboru yang memegang teguh nilai kebersamaan.

Nilai-nilai budaya dalam masyarakat dapat dilihat sebagai salah satu basis normatif

yang mampu mengikat kehidupan bersama. Masyarakat Aboru yang tradisional ini hidup

dalam tatanan masyarakat tutur. Ciri masyarakat tutur adalah proses interaksi aktif dalam

komunitas. Yang menjadi kelemahan Aboru sebagai masyarakat tutur adalah penutur bahasa

daerah hampir tidak ada. Bahasa daerah tidak dilestarikan di Aboru, terlihat dari

penggunaannya hanya sebatas upacara adat. Dalam proses interaksi sehari-hari masyarakat

Aboru menggunakan bahasa melayu Ambon. Hampir hilangnya bahasa daerah yang

diakibatkan oleh berkurangnya penutur juga mempengaruhi pemaknaan Mena Muria. Hal

yang akan terbayang jika pertanyaan tentang Mena Muria diberikan kepada orang Aboru

maka tentu akan terkait dengan RMS.

Bungkusan politik yang melekat dalam Mena Muria sepertinya telah mengikis identitas

ke-Maluku-an masyarakat Maluku pada umumnya dan Masyarakat Aboru pada khususnya.

Sehingga dalam usaha untuk mengarahkan kembali makna kultural Mena Muria perlu

mendudukannya dengan epistemik yang jelas. Kebudayaan Maluku yang telah terkikis akibat

pengaruh politik serta pengaruh kolonialisasi yang selama berabad-abad menyatu dengan

keaslian orang Maluku. Orang Maluku pada umumnya dan orang Aboru pada khususnya

telah banyak mengadaptasi berbagai peninggalan kolonial. Katakan saja tarian, bahasa-

bahasa tidak baku, pola hidup bahkan pengakuan terhadap identitas juga terjadi demikian.

Identitas yang dibangun dengan konsep yang tidak kuat seperti ini berakibat pada

penghilangan makna sebenarnya sebagai orang Maluku. Dalam masyarakat Aboru, nilai-nilai

budaya juga mampu memberikan fungsi dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat. Pakaloi

86

sebagai salah satu bentuk solidaritas bersama masyarakat Aboru.43

Pakaloi adalah kerjasama

membangun rumah atau bergotong royong ketika ada salah satu orang Aboru membutuhkan

bantuan. Pakaloi biasa dilakukan pada hari minggu subuh. Dengan masuknya kekristenan di

Aboru, Pakaloi dilakukan di hari lain berdasarkan kesepakatan dari tiga batu tungku

(Pemerintah adat, Gereja, dan pendidikan).

Faktor sosial budaya inilah yang turut mempengaruhi pemaknaan masyarakat Aboru

terhadap Mena Muria. Dan hal ini bertahan dalam masyarakat akibat prinsip solidaritas. Apa

yang telah diwariskan oleh generasi sebelumnya akan dipegang teguh oleh masyarakat Aboru

dan telah diyakini sebagai sebuah kebenaran. Masyarakat Aboru masih hidup dalam tradisi

dan keyakinan mereka. Nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia tercipta melalui proses

sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan

pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Masyarakat Aboru dikenal

dengan sikap militan, keberanian, dan mampu menjaga rahasia. Hal tersebut menjadikan

orang Aboru sebagai kandidat yang baik dalam melakukan perjuangan bersama gerakan

sosial politik di Maluku. Mena Muria yang telah melekat dengan RMS dipandang sebagai

seruan perlawanan oleh masyarakat Aboru untuk membentuk negara yang bebas menentukan

nasib sendiri.

3. Faktor Politik

Perkembangan sosial politik di Indonesia dewasa ini menjadi perbincangan hangat.

Berbagai macam fenomena sosial terjadi akibat dinamika perpolitikan di Indonesia.

Sayangnya fenomena sosial yang terjadi justru mematikan semangat nasionalisme dan

membangkitkan ego politik untuk kepentingan segelintir orang. Selain beberapa faktor yang

telah disebutkan di atas, yang sangat berpengaruh adalah faktor politik. Kontestasi semantik

43

Hasil Wawancara dengan Bpk B.M di Aboru, 4 Mei 2017

87

budaya dan politik dalam konsep Mena Muria telah lama dilihat sebagai bagian dari kohesi

sosial yang memerlukan waktu panjang untuk merekonstruksi stigma negatif yang telah lama

ada dan tertanam dalamnya. Bahasa sangat erat kaitannya dengan proses sosialisasi dalam

sebuah komunitas.44

Pengaruh politik terhadap bahasa sangat besar dalam fenomena Mena

Muria. Politik sendiri adalah masalah kekuasaan, yaitu kekasaan untuk membuat keputusan,

mengendalikan sumber daya, mengendalikan perilaku orang lain dan sering kali juga

mengendalikan nilai-nilai yang dianut oleh orang lain.

Inti utama masalah politik saat itu adalah bagaimana menarik simpatik masyarakat

Maluku untuk dapat bergabung bersama RMS. Dalam hal ini bahasa sering dipakai sebagai

pengendali pikiran. Bahasa sebagai retorika untuk mempengaruhi orang lain.45

terlihat pada

kasus pemaknaan kata Mena Muria. Konsep Mena Muria sejak lama telah disalahtafsirkan.

Cerita-cerita yang berkembang dalam Masyarakat Maluku adalah Mena Muria yang identik

dengan RMS. Hal ini tentu saja dilatar belakangi oleh penggunaan kata Mena Muria oleh

RMS sebagai semboyan dalam lambang RMS. Sejak kemunculan RMS menggunakan Mena

Muria sebagai semboyan mereka, maka orang Maluku sudah tidak menyadari lagi bahwa ini

adalah produk budaya. Produk budaya seperti bahasa telah disisipi muatan politik yang

menjadi isu hangat kala itu. Hal itu bahkan bertahan sampai saat ini. Masyarakat telah

membangun imajinasi tentang Maluku yang akan mengalami perubahan sosial-politik.

Semboyan Mena Muria dipakai sebagai penarik simpatik massa. Sama seperti ketika

kita mengatakan Bhineka Tunggal Ika yang mengidentikkan ciri sebagai bangsa Indonesia.

Ada sebuah luapan emosi yang luar biasa ketika semboyan tersebut dikatakan. Masyarakat

Aboru telah melabeli diri mereka sebagai simpatisan RMS yang tidak bisa dilepaskan dari

semboyan Mena Muria. Mengungkapkan Mena Muria yang ada dalam pemikiran mereka

44

Marsel Danesi...., 98 45

Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa ( Jakarta : Gramedia, 2007)16.

88

adalah politik dan separatisme. Hal ini disebabkan oleh kajian makna kontekstual yaitu

makna penggunaan sebuah kata dalam konteks kalimat tertentu. makna keseluruhan kalimat

dalam konteks situasi tertentu.46

Masalah dalam kajian makna kontekstual adalah adanya

suatu ujaran yang dimaknai berbeda-beda oleh sejumlah orang menurut pemahaman dan

tafsirannya masing-masing.

Hal ini dalam kajian semantik lazim disebut sebagai ketaksaan (ambiguitas).

Penyebabnya adalah karena kekurangan konteks baik konteks kalimat maupun konteks

situasi.47

Dalam Semiotika Sosial telah menyatakan bahwa semiotika bersumber dari

kebudayaan yang merupakan sistem jaringan makna dan sistem semiotik. Kebudayaan

memiliki nilai norma dan nilai-nilai kultural dan dapat diperoleh melalui warisan dan kontak

sosio-kultural. Dan dalam proses sosialisasi manusia selalu menggunakan bahasa yang

disesuaikan dengan sosial dan situasional. Inilah yang terjadi dalam pemaknaan Mena Muria.

14 Juli 1950 terjadi penumpasan RMS secara besar-besaran, momentum ini digunakan oleh

pemimpin RMS untuk mencari simpati massa. Isu yang dilemparkan di publik adalah orang

Maluku harus membela RMS agar terbebas dari intervensi Indonesia dan mengambil kembali

kemerdekaan yang telah “dirampas” oleh pemerintah Indonesia. Mena Muria bukan lagi kata

yang merujuk pada semantik budaya melainkan merujuk pada hal politis.

RMS merupakan sebuah organisasi terlarang di Indonesia karena merupakan kelompok

sempalan atau yang mengidentifikasikan diri sebagai kelompok separatis dengan usaha

memisahkan diri dari NKRI. Isu-isu tentang pemisahan dengan negara Indonesia sangat

didukung oleh para pengurus RMS yang sebagian besar berdomisili di Belanda dan Amerika.

Tentu kehadiran RMS ini membuat cemas pemerintahan NKRI, alih-alih menjaga kesatuan

dan persatuan maka pemerintah mulai menjalankan misi penumpasan RMS diseluruh

46

Abdul Chaer...., 78 47

Ibid, 85

89

Maluku. Ketakutan tersebut juga memicu pelarangan terhadap atribut RMS. Baik itu bendera,

lambang maupun semboyan Mena Muria. Dalam dua tahun terakhir pemerintah melunak dan

melihat cara lain untuk mengundang simpati dan rasa cinta tanah air dari masyarakat Aboru.

Pemerintah tidak lagi menggunakan cara kekerasan karena dirasa tidak berhasil. Semakin

masyarakat ditekan mereka semakin kuat bahkan melakukan cara-cara represif untuk

mempertahankan keyakinan mereka. Kini setiap tanggal 25 April yang adalah hari peringatan

RMS, Pangdam XVI Pattimura, Kapolda Maluku dan jajarannya mendatangi Masyarakat

Aboru di Pulau Haruku untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menghibur.48

Jika

sebelumnya masyarakat selalu diawasi menjelang 25 April karena ketakutan adanya

pengibaran bendera RMS dan atribut lainnya, kini pemerintah mulai melihat cara yang lain.

Ini merupakan langkah politis yang cukup bijak oleh pemerintah untuk menghilangkan

memori kelam masyarakat Aboru yang berkaitan dengan RMS sekaligus sebagai upaya

pendamaian. Dan terbukti pada tanggal 25 April 2017 masyarakat Aboru sangat terhibur

bahkan konsentrasi mereka sudah tidak lagi berpusat pada upaya pengibaran bendera, tarian

cakalele dan lain sebagainya, tetapi mereka memusatkan perhatian pada kedatangan para

pejabat di negeri mereka. Mena Muria Dalam kaitannya dengan alat politik, bahasa akan

dimodifikasi sedemikian rupa sehingga makna bahasa dapat mengalami pergeseran sesuai

dengan kepentingan politik tertentu. Hal ini juga terjadi dalam pemakaian Mena Muria, yang

sangat sulit untuk dilepaskan dari stigma negatif RMS. Disini para penutur bahasa, dan

penerima bahasa harus melakukan critical thinking. Berpikir rasional dan kritis membantu

untuk menelaah bahasa-bahasa yang telah dimodifikasi untuk suatu tujuan tertentu. Sehingga

kontestasi penggunaan bahasa tidak menjadi sesuatu yang rumit.

4. Faktor Sejarah

48

Hasil Wawancara dengan Ibu T.L di Aboru, 2 Mei 2017

90

Faktor sejarah dalam kehidupan masyarakat memberikan andil yang cukup besar.

Manusia tidak akan bisa mengetahui kehidupannya dalam masyarakat secara utuh apabila

tidak menggali sejarah kehidupannya. Sejarah adalah bagian integral dalam kehidupan

masyarakat. Di berbagai tempat di Indonesia bahkan di seluruh dunia masih bergulat dengan

sejarah. Makna sebuah kata akan mengalami perubahan akibat faktor sejarah yang

membingkai suatu peristiwa sehingga bisa saja perubahan makna itu terjadi. Mena Muria

secara historis mempunyai cerita tersendiri dan peristiwa di belakang perubahan makna Mena

Muria yang kultural menjadi politis harus dilihat sebagai suatu upaya dan proses

merekonstruksi produk budaya dalam kebutuhan politik. Orang-orang di Maluku Tengah,

Pesisir Seram yang menggunakan bahasa Alune juga mengerti akan makna Mena Muria.49

Menurut mereka Mena Muria merujuk pada arti “maju tanpa mundur” idiom ini diikutkan

serta dengan idiom Lawamena Haulala “apa yang datang dari depan jangan undur”.

Mena juga dapat merujuk kepada “orang yang dituakan” dan Muli atau Muria merujuk

pada yang bungsu. Dalam tradisi orang Alune, yang lebih tua atau kakak akan dipanggil

dengan istilah Sia Mena atau Ile Mena. Sedangkan yang bungsu atau lebih muda akan disebut

dengan Ile Muli. Dalam pembagian antara yang kakak dan adik berdasarkan pada pembagian

sumber mata air besar di Pulau Seram, yaitu tiga aliran sungai besar yang membelah

sepanjang daratan.50

Tala, Eti, Sapalewa diyakini sebagai tempat petuanan sekaligus tempat

perpisahan tiga orang saudara (yang diwakili dengan tiga mata air) Ile Mena adalah yang

tertua mengikuti aliran sungai Tala, Ile Talele mengikuti sumber air sapalewa, Ile Muli

mengikuti sumber air Sapalewa. Daerah mereka dibagi berdasarkan tiga aliran sungai

tersebut. Selain itu adat di Negeri Seram sebagian besar juga menggunakan sebutan Hatu

Mena dan Hatu Muli yang merujuk pada pembagian dan pemetaan komunitas.

49

Hasil Wawancara dengan Bpk. N.M di Desa Nuruwe Maluku Tengah, 30 April 2017. 50

Ibid.

91

Mena adalah mereka yang menjaga daerah bagian depan (pintu masuk suatu tempat

tinggal Klan) dan sebaliknya dibagian belakang dijaga oleh Hatu Muli. Dalam pemetaan

tempat tinggal masyarakat Maluku ketika masih bermukim di pegunungan, Mena merujuk

pada klan yang menjaga barisan depan sebuah perkampungan atau daerah tempat tinggal.

Namun kekhawatiran tetap saja terlihat. Hal ini tentu disebabkan oleh stigma negatif yang

terlanjur melekat dalam kata Mena Muria. Fenomena Mena Muria ditemukan di daerah

Hunitetu.51

Mereka mempunyai sebutan yang hampir sama yaitu Mena Mole. Secara harafiah

mempunyai makna yang sama dengan Mena Muria di Nuruwe. Di daerah Maraina (daerah

Pegunungan di Seram) juga mempunyai sebutan yang sama yakni Mena Mole. Kata ini

merujuk pada keyakinan dan doa bahwa yang pergi dengan selamat maka akan kembali juga

dengan selamat.

Muli, Mole atau Muria merujuk pada klan yang menjaga daerah bagian belakang

sebuah pemukiman. Sebenarnya makna dari idiom-idiom ini adalah sebagai sebuah

keyakinan bahwa dalam komunitas masyarakat Maluku yang tinggal bersama di suatu tempat

ada kesepakatan bersama untuk saling menjaga komunitas mereka. Idiom ini juga sebenarnya

menggambarkan perjuangan-perjuangan bersama orang Maluku yang dalam falsafah hidup

“Potong di kuku rasa di jantong”. Setelah terbentuknya RMS pada tahun 1950 dengan

menggunakan Mena Muria sebagai semboyan dan salam perjumpaan maka sejak itu, makna

Mena Muria menjadi berubah. RMS dalam usaha melakukan disintegrasi dengan NKRI

melakukan berbagai cara untuk mendapat simpati masyarakat Maluku. Penggunaan bahasa

adalah cara yang mempan untuk menggambarkan bagaimana seharusnya orang Maluku

berjuang mempertahankan RMS dan melakukan gerilya untuk mencapai suatu perubahan

sosial politik. Sejarah Mena Muria telah dilekatkan dengan perjuangan RMS kala itu. Makna

51

Hasil Wawancara Sekum GPM periode 2015-2020. Wawancara dilakukan pada hari Kamis, 13 April 2017 di Kantor Sekum Sinode GPM. Pada Pukul 11.00 WIT.

92

Mena Muria mengalami perubahan diakibatkan oleh kebutuhan akan konteks dan situasi saat

itu.

Proses-proses interaksi pada saat itu juga turut mempengaruhi pemaknaan masyarakat

terhadap Mena Muria. Proses tersebut dilihat sebagai salah satu cara untuk mereformasi

bahasa oleh suatu komunitas tetapi sayangnya sangat bersifat dangkal. Tetapi tidak bisa

dipungkiri bahwa proses tersebut juga berpengaruh dalam kehidupan masyarakat bahkan

bertahan sampai saat ini. Fenomena yang terjadi dalam masyarakat dan mengubah struktur

dan makna bahasa inilah yang disebut sebagai sosiolinguistik sebagaimana yang telah

dijelaskan di bab 2. Berbicara mengenai sejarah tentu tidak akan lepas dari proses kognitif

yang bersinggungan dengan memori. Peristiwa sejarah RMS yang menggunakan Mena Muria

sebagai semboyannya melekat pada ingatan setiap orang Maluku. Peristiwa ini tersimpan

didalam memori jangka panjang manusia (long term-memory) yang juga berkaitan dengan

memori semantis (memori tentang bahasa dan makna).

Pengintepretasian terhadap Mena Muria selalu mengarah pada keterkaitan dengan

RMS. Meskipun dalam masyarakat ada yang telah menyadari benar arti Mena Muria dalam

khazanah kultural. Keadaan traumatik yang bersinggungan dengan ingatan masa lampau

tidak bisa dipungkiri menjadi penentu akan keberadaan Mena Muria dalam masyarakat.

Memori dan sejarah masa lampau sudah bisa dilepaskan dari ingatan masyarakat Maluku

dengan kesadaran bahwa peristiwa tersebut adalah sebuah upaya disintegrasi RMS terhadap

NKRI. Namun ketakutan masih ada ketika berbicara mengenai Mena Muria. Cerita-cerita

tentang perjuangan para tentara RMS dalam upaya melawan gerakan penumpasan RMS di

pulau Seram yang berujung pada ditangkapnya para tokoh elit RMS dibingkai secara tragis.

Belum hilang dari ingatan tentang upaya penumpasan RMS, kembali terulang peristiwa

HARGANAS di tahun 2007. Membuat orang Maluku merasa terbelenggu ketika

membicarakan mengenai Mena Muria.

93

Mena Muria adalah representasi dari dominasi simbolik yang terjadi dalam masyarakat.

Bahasa adalah simbol kekuasaan52

yang dipandang sebagai sebuah sistem yang dikendalikan

oleh aturan sintaksis53

. Bahasa sebagai medium dari penguasa untuk mengikat masyarakat.

Bahasa yang digunakan dalam masyarakat oleh penguasa dalam hal ini elit politik RMS

menyembunyikan kepentingan-kepentingan bagi tujuan mereka. Masyarakat adalah alat yang

digunakan untuk mencapai tujuan. Dominasi simbolik semacam ini jika tidak dikritisi maka

akan berdampak pada kehidupan masyarakat. Isu-isu perjuangan RMS diceritakan dengan

spirit kebersamaan. Dengan seruan Mena Muria seperti memberikan dukungan kepada

mereka yang mempunyai kepentingan. Masyarakat Maluku telah lama hidup dalam sejarah

yang tidak transparan, yang berakibat pada penyesatan terhadap cerita-cerita sejarah.

52

Linda Thomas dan Shan Wareing....., 10 53

Aturan Sintaksis adalah aturan dalam bidang linguistik yang mempelajari kata-kata dihubungkan satu sama lain untuk membentuk makna tertentu dan tidak bersifat rancu atau ngawur