bab iv ijihad dan relevasinya dalam pembaruan...
TRANSCRIPT
115
BAB IV
IJIHAD DAN RELEVASINYA DALAM PEMBARUAN PEMIKIRAN
HUKUM ISLAM
A. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Menurut Syāh Walî Allāh
Kedatangan Islam merupakan sebuah revolusi sejarah kehidupan
manusia yang selama berabad-abad turut berperan secara signifikan. Peran
yang disignifikan ini tercermin pada pengaruh Islam yang cukup besar pada
perubahan berbagai segi kehidupan manusia, bukan hanya dalam teologi,
namun juga dalam sosial53
dan ekonomi.54
Kedudukan Al-Qur‟an dan Sunnah dalam konteks way of life bagi
Muslim, merupakan sumber utama pengetahuan, sumber pokok yurisprudensi
hukum (maṣādir al-ahkām) dalam Islam. Seluruh aktifitas kehidupan umat
Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut.
Secara praktis, ungkapan-ungkapan pesan yang terkadung al-Qur‟an
digeneralisasikan kepada prinsip-prinsip moral dalam berbagai aktifitas
53
Telah menjadi pemahaman umum bahwa fenomena sosial sangatlah kompleks dan tidak
ada satu analisispun, betapapun lengkapnya, yang dapat menjelaskan seluruh faktor yang terlibat
di dalamnya. Dalam konteks ini, Islam telah menjadi arus utama perubahan sejak Nabi
Muhammad diutus dengan membawa Risalah Islam, dengan perkembangan yang mengalami
pasang surut, dalam kurun waktu terakhir (dimulai awal 1970-an) telah terjadi fenomena sosial
yaitu kebangkitan Islam (renaissance of Islam) yang bertujuan untuk membawa Islam menjadi
pemimpin peradaban (Engineer, 2000: 136-7). 54
Kebangkitan Islam yang tengah berlangsung dalam kurun waktu dekade terakhir,
terutama di negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim telah menciptakan kebutuhan akan
sebuah gambaran integraf dan jelas yang ditawarkan oleh Islam untuk mewujudkan kebahagiaan di
dunia. Umat Islam meyakini bahwa Islam telah memiliki konsep untuk mewujudkan kebahagiaan
dunia melalui jalur ekonomi. Peristiwa runtuhnya sosialisme dan perekonomian yang terjadi di
bekas Negara-negara Uni Soviet dan Eropa Timur menimbulkan pertanyaan “apakah hal ini
merupakan kemenangan telak bagi sistem perekonomian Barat yang Kapitalistik dan Liberal”.
Namun demikian, pada akhirnya doktrin ekonomi Barat pun tidak mampu bertahan lama yang
dibuktikan dengan banyaknya krisis ekonomi yang terjadi di Negara-negara yang menerapkan
sistem ekonomi tersebut. Maka, lagi-lagi Islam diharapkan menjadi sintesis dari seluruh doktrin
ekonomi yang nyatanya tidak mampu mewujudkan keadilan dan kebahagiaan umat manusia.
Asumsi ini di dasarkan pada sebuah analisis sederhana terhadap sejarah Nabi saw dan para
Sahabatnya yang dianggap telah menerapkan doktrin ekonomi ala Islam (Chapra, 2006: xv).
116
dengan cara mengaitkan ungkapan-ungkapan spesifik al-Qur‟an beserta latar
belakang dinamika sosiokultural dan politik dengan mempertimbangkan
ratio-legis („illat hukum) yang dinyatakan dalam ungkapan-ungkapan al-
Qur‟an. Atas dasar ini, maka Islam adalah agama dan cara hidup berdasarkan
syariat Allah yang terkandung dalam kitab Al-Quran dan Sunnah Rasulullah
SAW. Setiap orang yang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib
membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan syariat yang
termaktub dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Pengejawantahan syari‟at Islam atas dua sumber utama dan pertama
syari‟at Islam, maka perlu dipahami bahwa hakekat al-Qur‟an sebagai
”firman Allah” (kalam Tuhan) bersandarkan pada aspek keyakinan dan
karenanya menjadi dasar keimanan seseorang dan sumber acuan dalam
melakukan berbagai aktifitas. Legislasi al-Qur‟an pada dasarnya merupakan
pernyataan-pernyataan al-Qur‟an yang bermuatan hukum, namun sekaligus
juga merupakan kitab-kitab prinsip dan seruan-seruan moral dalam berbagai
aktifitas dan bukan dimaksudkan sekadar legislasi semata. Sebagai kebijakan-
kebijakan moral al-Qur‟an mengangkat kedudukan “masyarakat kelas dua”:
wanita, anak-anak yatim, fakir-miskin, dan budak menuju terwujudnya
kondisi keadilan sosial dan persamaan esensial derajat manusia.
Dalam legislasi al-Qur‟an terkandung prinsip umum dan legal
spesifik. Prinsip umum merupakan makna dan argumentasi di balik
ketentuan legal-spesifik, terkadang dinyatakan secara eksplisit mengiringi
ungkapan-ungkapan legal spesifik. Legislasi zakat dalam hal ini bertujuan
117
untuk menciptakan keadilan sosial bidang ekonomi. Prinsip-prinsip umum
ini secara praksis dijabarkan ke dalam aturan legal spesifik. Formula legal
spesifik dimaksudkan sebagai solusi alternatif yang sarat dengan muatan
nilai-nilai ilahiyyah transendental terhadap berbagai permasalahan aktual
yang makin kompleks. Dengan demikian, ordonansi ilahiyyah tersebut
mengandung aturan hukum spesifik dan sumber nilai serta muatan mora yang
prinsipil.
Legislasi al-Qur‟an (maupun hadits) yang mengandung prinsip umum
dan legal spesifik inilah yang sesungguhnya menjadi diskursus mengenai
hukum Islam yaitu bagaimana membawa pesan-pesan yang terkandung dalam
teks-teks syari‟at tersebut (sebagai sumber hukum Islam) ke dalam konteks
perkembangan jaman. Jawaban yang tepat untuk permasalahan di atas tidak
lain kecuali dilakukan Ijtihad. Sikap Syāh Walî Allāh sangat tegas mengenai
Ijtihad ini. Maka tidak heran, jika buku karya Jalaluddîn as-Suyūṭî (849H-
911H) yang berjudul “ar-roddu „alā man akhlada ilā al-arḍî wa jahila anna
al Ijtihāda fî kulli „aṣrin farḍun” menjadi salah satu pegangan baginya untuk
menggalakkan Ijtihad55
dan sangat menentang taqlid. Taqlid telah
menyebabkan perdebatan dan perselisihan untuk membenarkan pendapat
golongan. Kondisi inilah yang dikhawatirkan oleh Syāh Walî Allāh
(2005:262) sebagaimana pernyataannya:
55
Dalam bab pertama buku tersebut berisi tentang pendapat-pendapat para ulama bahwa
Ijtihad harus ada dalam setiap masa (as-Suyūṭî, tt: 2).
118
“Bahaya dari perdebatan, perselisihan dan kerumitan ini mendekati
bahaya yang dirasakan pada krisis pertama (umat Islam)56
ketika
orang-orang berselisih mengenai kekuasaan. Sebagaimana krisis di
masa lalu telah menghasilkan pemimpin yang zalim dan
memunculkan berbagai peristiwa yang kejam dan tolol, maka
perselisihan yang terjadi kemudian pun mengakibatkan kebodohan,
penyusupan, keraguan, dan praduga yang sulit dilepaskan dari umat.
Setelah mereka, muncul generasi yang sepenuhnya bergantung pada
taqlid¸tanpa membedakan antara yang benar dan yang salah, tidak
mempertimbangkan argument yang digunakan dalam pengambilan
hukum (istinbāṭ).
Syāh Walî Allāh menekankan pentingnya ijtihad, tanpa ijtihad adalah
mustahil dapat menemukan pengetahuan baru dalam memahami Al-Qur`an,
Sunnah dan berhasil dalam Syariah. Ijtihad merupakan upaya untuk
melakukan Pembaruan pemikiran hukum Islam. Karena itu, Shah Waliullah
memperkenalkan sebuah cara baru yang dinamis dalam memahami al-Qur`an.
Hal itu guna membuat investigasi interpretif atas ayat-ayat Al-Qur`an dengan
cara yang independen dari segala bentuk penafsiran dan yang secara natural
menekankan penggunaan rasio pada kebesaran Allah yang termanifestasi
dalam ayat-ayat Al-Qur`an yang sedang dikaji.57
Ilmu-ilmu Al-Qur`an, yaitu,
ilmu perintah (hukum-hukum), ilmu perbedaan (science of disputation)
dengan kalangan polytheist, ilmu pertolongan Tuhan, ilmu tentang kejadian-
kejadian khusus yang ditentukan Allah, dan ilmu Akhirat, yang hendaknya
dikaji secara keseluruhan untuk memahami totalitas Al-Qur`an dalam usaha
56
Kondisi perpecahan umat Islam sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Syāh Walî Allāh
adalah peristiwa tahkim (arbitrase) yang menyebabkan umat Islam terpecah dalam beberapa
golongan. 57
Hujjatullah al-Bāligah yang merupakan magnum opus Syāh Walî Allāh mengupas
rasionaitas suatu ketetapan (hukum) syari‟at. Syāh Walî Allāh (2005: 575) menyatakan bahwa
setiap hukum yang terdapat dalam nash pasti disertai adanya „illah (alas an rasional). Maka, untuk
mengetahui alasan suatu hukum, rukun dan syarat maka yang paling jelas adalah dengan melihat
petunjuk nash
Berkaitan dengan tafsir al-Qur‟an, di antara karya Syāh Walî Allāh tentang ilmu tafsir yaitu
al-Fauz al-Kabîr fî Uṣūl at-Tafsîr Syāh Walî Allāh.
119
memahami signifikansi Al-Qur`an dalam kehidupan. Dengan demikian,
sebagaimana Imam Ghazali, Syāh Walî Allāh adalah seorang sufi yang
percaya atas kapasitas individual untuk self-annihilation (penghapusan diri)
dalam rangka menuju pencapaian tertinggi dalam kehidupan seperti
diperintahkan oleh syariah. Syāh Walî Allāh juga percaya bahwa karena
pengetahuan manusia pasti tidak akan sempurna, adalah tidak mungkin untuk
mencapai keseimbangan sempurna dalam suatu sistem. Oleh karena itu, dia
mendukung pencarian menuju kesempurnaan (excellence) dengan kesadaran
untuk selalu memperbaiki dan mengembangkan pengetahuan.
Sebagai seorang intelektual dan sufi , iapun concern di bidang hukum
Islam. Shāh Waliyullāh (2005:225-7) menyebutkan bahwa apa yang datang
dari syāri‟ (pembuat hukum) – termasuk hadis Nabi -- mengandung dua jenis
ilmu, yakni maṣālih (kemaslahatan) dan syarā‟i (hukum agama). Dua hal ini
mempunyai kedudukan dan derajat yang berbeda-beda. Pertama, ilmu
tentang kemaslahatan dan kerusakan (al-Maṣālih wa al-Mafāsid), yakni
sesuatu yang dijelaskan dengan upaya pembersihan jiwa dengan melakukan
berbagai aktifitas kebaikan dan menghindarkan akhlak yang tercela. Karena
itu, urusan-urusan yang berkenaan dengan tentang pengaturan rumah tangga,
pemenuhan kebutuhan hidup, urusan pengaturan kota tidak pernah ditetapkan
dengan ukuran dan standart tertentu. Misalnya Nabi memuji keberanian dan
kepandaian seseorang. Beliau tidak menjelaskan definisi kepandaian dan
keberanian seseorang sehingga bisa disebut pandai. Kedua, ilmu tentang
syariat, hukuman-hukuman (hudud), dan kewajiban-kewajiban (farāiḍ), yakni
120
segala sesuatu yang telah dijelaskan oleh syari‟at dengan cara menunjukkan
kuantitas, sehingga semua hal tersebut bersesuaian dengan sumber –pengada,
serta menetapkan tanda-tanda yang mengacu pada kemaslahatan segala
sesuatu dan mendasarkan hukum pada kemaslahatan itu, kemudian
menetapkannya kepada umat. Aktifitas berupa kebaikan-kebaikan yang
mengandung maslahat tersebut ditentukan rukun-rukun, syarat-syarat dan tata
cara pelaksanaannya yang tepat.
Pembaruan pemikiran hukum Islam melalui ijtihad diupayakan guna
memperoleh kemaslahatan bagi umat sebagaimana tujuan syari‟at. Logika
kemaslahatan dalam konteks ini didasarkan pada tiga prinsip dasar
kewajiban-kewajiban syari‟at:
1. Syari‟at hanya membebankan yang mudah untuk dilakukan. Maka,
mempermudah suatu ketetapan dapat dilakukan dengan beberapa cara:
a. Tidak membuat sesuatu yang menyulitkan masyarakat menjadi rukun
atau syarat suatu ibadah.
b. Beberapa bagian dari perbuatan ibadah harus dijadikan kebiasaan yang
akan membuat umat bangga, sehingga ketika mereka mengerjakannya,
mereka akan mengerjakannya dengan sukarela.
c. Menjadikan beberapa bentuk ibadah sebagai kebiasaan yang mereka
sukai sesuai dengan watak mereka.
d. Membebaskan umat dari segala sesuatu yang memberatkan mereka dan
yang biasanya tidak disukai.
121
e. Membiasakan dan memelihara berbagai perbuatan yang dituntut oleh
sebagian besar manusia serta menghindarkan segala sesuatu yang
menyebabkan keresahan jiwa.
f. Menyebarkan ilmu, memberikan nasehat, serta dakwah amar ma‟rūf
nahî munkar harus menjadi kebiasaan umat agar diri mereka dipenuhi
nilai-nilai kebajikan.
g. Sesuatu yang sulit hanya akan disyari‟atkan kepada umat secara
bertahap. (Syāh Walî Allāh, 2005:197-8)
2. Keyakinan bahwa meninggalkan atau mengabaikan suatu perbuatan sama
dengan mengabaikan Allah, sedangkan mereka sebenarnya merasa puas
dengan perbuatan tersebut karena hal itu telah disampaikan oleh Nabi dan
disepakati oleh salaf as-shōlih, maka lebih bijaksana agar perbuatan
tersebut ditetapkan untuk diri sendiri. Contoh perbuatan ini adalah
mengenai sholat tahajjud, Nabi pernah bersabda mengenai bangun malam
untuk mengerjakan tahajud pada malam-malam Ramadhan “Aku taku
bahwa (amalan ) ini akan menjadi kewajiban atas dirimu”.
3. Sesuatu tidak boleh ditetapkan sebagai kewajiban agama kecuali jika telah
benar-benar ditegaskan dan ditentukan oleh otoritas agama, serta ketetapan
tersebut tidak samar bagi umat (Syāh Walî Allāh, 2005:173-4).
Atas dasar ketiga prinsip di atas, maka seharusnya pemahaman teks-
teks syari‟at bukan monopoli sepihak. Tidak perlu terjadi perbedaan
pendapat, taqlid dan perselisihan yang berujung pada kehancuran umat Islam.
Pengambilan hukum atas nash yang dilakukan oleh ahli hukum, seharusnya
122
menghasilkan suatu ketetapan yang mengandung kemaslahatan bagi
kehidupan umat. Bukan sebaliknya, menimbulkan taqlid bagi para
pengikutnya meskipun hal ini bukan kehendak para ahli hukum melainkan
pemahaman agama yang sempit para pengikutnya.
Pembaruan pemikiran hukum Islam yang dikehendaki oleh Syāh Walî
Allāh bukanlah pembaruan yang radikal. Hal ini tercermin pada sikapnya
yang sangat menghargai perbedaan pendapat. Ia mengetahui secara jelas
penyebab terjadinya perbedaan pendapat, sehingga ia mampu mengambil
sikap yang tepat. Kemampuannya mengetahui penyebab perbedaan ini
sebagaimana diakuinya dalam pendahuluan buku al-inṣāf fî bayani asbāb al-
ikhtilāf, ia menyatakan:
“Pada suatu ketika, Allah meletakkan timbangan di dalam hatiku
sehingga aku bisa mengetahui sebab-sebab setiap perselisihan yang
terjadi di sekitar persoalan agama yang di bawa oleh Nabi Muhammad
dan aku bisa mengetahui mana yang benar menurut Allah dan Rasul-
Nya. Allah membuatku sanggup menerangkannya dengan keterangan
yang tidak ada lagi keserupaan dan kesulitan.
Saya pernah ditanya tentang sebab terjadinya perselisihan para sahabat
dan generasi sesudahnya, utamanya tentang hukum fiqih. Maka,
dengan senang hati aku memerangkan beberapa hal yang aku ketahui
pada waktu itu sesuai dengan kesempatan dan wawasan para penanya”
(Syāh Walî Allāh, 1986: 14).
Syāh Walî Allāh merupakan salah satu tokoh pembaharu, namun
demikian ia tidak radikal sebagaimana sikap Muhammad Ibn „Abd Wahāb.58
Pada saat yang sama, di Arab Saudi sedang terjadi perubahan fundamental.
Muhammad Bin Abd Wahāb (Gerakan Wahabi) melakukan proses
58
Pada saat yang sama di Arab Saudi juga terjadi gerakan Pembaruan yang di motori oleh
Muhammad Ibn „Abd al Wahāb (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M).
123
Pembaruan di Saudi Arabia. Gerakan Wahabi ini memperoleh dukungan
politik dari keluarga Ibn Su‟ūd yang berupaya membangun kerajaan di Saudi
Arabia. Menurut sejarawan, bahwa keberhasilan gerakan Pembaruan di Saudi
Arabia sangat ditentukan oleh kolaborasi antara dua kepentingan tersebut,
kepentingan agama dan politik. Gerakan Wahabi adalah gerakan puritanisasi
yaitu pemurnian kembali ajaran Islam dari unsur-unsur bid‟ah artinya lebih
mengarah pada aspek ubudiyah dan konsep keyakinan. Ibnu Taimiyah yang
sangat terkenal karena program menghidupkan kembali ajaran salaf (muhyî
atsār as-salaf) dengan hanya mengakui apa yang telah dikembangkan oleh
Rasul dan para shahabat, telah memberi semangat dan inspirasi bagi gerakan
Wahabi untuk mengembangkan sisi kehudipan yang hanya didasarkan pada
kedua otoritas tersebut.Walaupun kehadirannya sangat dibutuhkan untuk
mengembalikan semangat tauhid, akan tetapi dalam rentang sejarah
perkembangannya, terdapat berbagai perlawanan baik yang dilakukan secara
individual dan kolegial maupun yang dilakukan oleh beberapa kerajaan yang
khawatir terancam eksistensinya.59
59
Inti dari gerakan Wahabi adalah sebagai berikut :1) Melakukan usaha pemurnian ajaran
Islam dengan kembali kepada sumber aslinya yaitu AlQur‟an dan Al Hadits, 2) Membersihkan
tauhid dari noda syirik, 3) Membersihkan ibadah dari segala bentuk bid‟ah 4) Memberantas segala
bentuk formalisme atau simbolitas tanpa amal perbuatan dalam agama dengan menekankan hidup
sederhana.
Karakteristik yang menonjol dari gerakan Wahabi antara lain:1) Sebagai gerakan teologis
artinya sasaran Pembaruan adalah pemurnian cara pengamalan umat Islam dan sekaligus ajaran
Islam, dengan hanya bersandar pada konsep kepercayaan dan peribadatan yang berasal dari Al
Qur‟an dan Al Hadits, 2) Sebagai gerakan Literalis dan Tekstualis artinya gerakan yang hanya
mengakui otoritas teks Al Qur‟an dan Al Hadits dengan menekankan pentingnya formalitas dalam
pengamalan agama dan bukan hanya diamalkan dalam bentuk batiniyah sebagaimana yang
dilakukan oleh para sufis dan pengamal mistisisme. Dengan demikian gerakan ini adalah gerakan
kontra dari sufisme dan mistisisme, 3) Sebagai gerakan anti Intelektual dan Filsafat artinya
gerakan yang mengedepankan rasionalisme dalam beragama, terutama dalam menafsirkan Al
Qur‟an dan Al Hadits. Gerakan ini hanya mematuhi kebenaran Al Qur‟an dan Al Hadits dan bukan
kebenaran rasional atau Filsafat, hal tersebut untuk menjaga kemurnian Islam, 4) Sebagai gerakan
124
Kondisi sosial yang dihadapi Syāh Walî Allāh turut membentuk
sikapnya yang relatif moderat dalam gerakan Pembaruan. Pada saat yang
sama Syāh Walî Allāh dihadapkan pada situasi politik yang tidak menentu,
sehingga yang menjadi fokus utama adalah penguatan internal sumber daya
manusia umat Islam dalam menghadapi kekacauan sosial tersebut.
Pembaruan pemikiran Syāh Walî Allāh dapat dipetakan sebagai
berikut:
1. Bidang Syari‟ah (Hukum Islam)
Menurut Syāh Walî Allāh, pintu ijtihad tetap terus terbuka, karena
dibutuhkan untuk melakukan interpretasi terhadap al-Qur‟an, lebih dari itu
karena dunia terus mengalami perkembangan dan perubahan, maka
diperlukan kemampuan intelektual (ijtihad) untuk menggali hukum-hukum
tersebut. Terhadap hadits, satu-satunya cara untuk menerima riwayat
adalah dengan menelitinya dari kitab-kitab hadis secara langsung, sebab
tidak ada riwayat yang dipercaya kecuali riwayat tersebut telah dituliskan
dalam kitab-kitab hadis yang ada. 60
Di samping itu, menentang prilaku
anti kejumudan dan kemandegan berfikir dengan mengatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka,
dalam rangka melahirkan tradisi dan kebebasan berfikir dikalangan umat Islam (Ihsan dalam
http://ml.scribd.com/doc/ di akses tanggal 19-06-2012) 60
Syāh Walî Allāh (2005: 229-233) membagi tingkatan kitab-kitab hadis menjadi empat;
pertama, al-Muwatthā‟ Mālik (w. 179 H.), shahīh Bukhārī (w. 256 H.), dan shahīh Muslim (w.
261 H.). Kedua, kitab-kitab hadis yang berada di bawah tiga kitab tersebut, yang diketahui
pengarangnya dapat dipercaya, adil, hafalannya kuat, dan mumpuni dalam bidang ilmu hadis,
seperti Sunan Abī Dāwud (w. 275 H.), Jāmi‟ al-Turmudzī (w. 279 H.), Sunan al-Nasāī (w. 303
H.), Sunan Ibnu Mājah (w. 273 H.), dan Musnad Ahmad bin Hanbal (w. 241 H.). Ketiga, kitab-
kitab musnad, jāmī‟, dan muṣannaf yang didalamnya terdapat hadis sahih, hasan, dhaif, ma‟rūf,
gharīb, shād, munkar, khata‟, ṣawab, ṡabit, dan maqlūb. Kitab yang termasuk kategori ini
misalnya Musnad Abī Ya‟lā (w. 1034 H.), Muṣannaf Abd al-Razāq (w. 827 H.), Muṣannaf Abū
Bakar bin Abī Syaibah (w. 235 H.), Musnad al-Ṭayālīsī (w. 818 H.), kitab al-Baihaqī (w. 458 H.),
al-Ṭahawī (w. 321 H.), dan al-Ṭabrānī (w. 360 H.). Keempat, Kitab-kitab yang disusun untuk
menghimpun hadis-hadis yang tidak termuat dalam kitab tingkatan pertama dan kedua, dan hadis-
hadis yang terdapat dalam kitab-kitab jāmī‟ dan Musnad yang kurang populer atau hadis-hadis
125
ulama tradisional yang mempertahankan status quo terhadap ajaran dan
tidak mau melakukan perubahan.
Formulasi pembaruan pemikiran di bidang syari‟ah ini, Syāh Walî
Allāh menggunakan akhirat sebagai inti penjelasan atas hubungan antara
eksistensi duniawi dan Akhirat. Artinya, bahwa ijtihad yang dilakukan,
tetap harus memperhatikan tujuan akhir kehidupan yaitu realitas akhirat.
Syāh Walî Allāh mengkombinasikan esensi Syariah, pengertiannya,
perkembangan dan interpretasinya pada isu-isu dan berbagai problema
kehidupan. Syariah bagi Syāh Walî Allāh dilihat sebagai sebuah desakan
alami kemanusiaan yang harus terjadi dalam sejarah sebagai berasal dari
kehendak Allah karena Allah hendak melindungi makhluknya, manusia
dan yang lain, baik dalam kehidupan ini dan dari hukuman neraka yang
tidak terbatas. Melalui Syariah, Allah juga akan membalas tindakan
individual di dunia dengan pahala yang tidak terbatas di akhirat dan
dengan demikian proses perkembangan masyarakat Islam adalah memberi
penjelasan dari Realitas Akhirat.61
2. Bidang Mistisisme Islam (Sufi)
Pandangan Syāh Walî Allāh mengenai mistisisme Islam (Tasawuf)
telah memberi warna dan corak yang baru dalam dunia tasawuf. Pada
yang berupa tradisi sahabat, tabi‟in, atau dongeng israiliyat dan lain sebagainya. Misalnya al-
Dhu‟afā‟ Ibnu Hibbān (w. 354 H.), al-Kāmil Ibnu „Ādī (w. 976 H.) dan lain-lain. 61
Balasan yang ditetapkan untuk setiap ketentuan syari‟at berasal dari empat aspek yaitu; 1)
tuntutan alamiah, 2) berasal dari konsekuensi jasmaniah yang disebabkan oleh kecondongan nafsu
dalam melakukan perbuatan baik atau buruk (Dewan Malaikat Tertinggi), 3) tuntutan syariat ilahi
yang telah ditetapkan bagi umat manusia, 4) tujuan Allah mengutus Nabi SAW kepada umat
manusia sebagai rahmat bagi manusia dan agar mereka dekat kepada kebaikan (Syāh Walî Allāh,
2005: 103-7)
126
masanya, tradisi sufisme berkembang begitu luas dengan berbagai macam
aliran dan ajaran, dari yang ekstrim hingga yang moderat. Syāh Walî Allāh
(2002:2) mengatakan bahwa setiap mistikus telah menafsirkan hakikat
sesuai dengan kapasistasnya dan bahwa tepatnya perbedaan mendasar
dalam kapasitas inilah yang menyebabkan perbedaan-perbedaan dalam
penafsiran mereka.
Setelah era para sahabat Nabi dan pengikut mereka, muncullah
orang-orang yang meleburkan diri dalam mistisisme dan menunjukkan
ketekunan ektsrem berupa kepatuhan yang sangat hati-hati terhadap
sesuatu yang berkaitan dengan aib diri. Mereka berpendapat bahwa satu-
satunya penghalang manusia adalah keakuan, kebiasaan dan adatnya
sendiri. Oleh karena itu, upaya yang bersungguh-sungguh untuk meredam
gejolak nafsu dan keakuan egresif. Upaya ini diwujudkan dalam aktifitas
sehari-hari yang menjauhkan diri dari pemenuhan kebutuhan seksual,
makanan lezat, pakaian indah, menjalani kehidupan yang keras dan sulit,
dan mengabaikan kenyamanan-kenyamanan. Meskipun demikian, mereka
tetap memenuhi kebutuhan hidup secara minimal. Mereka memasrahkan
diri ke dalam introspeksi dengan semangat yang sama dan menyukai
pengembaraan. Menyibukkan pikiran dengan hal-hal yang melupakan
pada kemegahan, martabat, ketenaran dan hasrat kekuasaan atau kekayaan.
Kesemuanya itu bermuara pada penyucian diri dari hal-hal yang bersifat
duniawi. Dalam terminologi sufi, penyucian keakuan, kalbu dan akal
dikenal dengan “sulûk” (jalan), sedangkan penyucian ruh dan rahasia
127
dikenal dengan “haqȋqat” (pengetahuan yang dalam) (Syāh Walî Allāh,
2002:71-3). Perbedaan dalam menafsirkan “sulûk” dan “haqȋqat” inilah
yang menyebabkan perbedaan aliran sufi.
Syāh Walî Allāh mengambil jalan tengah dalam menafsirkan
berbagai entitas yang ada dalam ajaran sufi. Ia menjelaskan beberapa
entitas yang selama ini bersinggungan dengan sufisme, seperti hati (kalbu)
yang merupakan entitas pembawa sifat-sifat mental seperti marah dan rasa
malu. Akal merupakan energi perspektif (pemahaman) yang
membayangkan dan membenarkan sehingga kalbu dan keakuan mungkin
mengikuti kepemimpinannya dan sebuah fungsi koordinasi mungkin
muncul dalam kondisi kemampuan perspektif ini yang kepadanya kalbu
dan keakuan memberikan dukungannya. Ruh didefinisikan sebagai kalbu
setelah ia melepaskan dorongan-dorongan dasariah, ketika aktifitas dengan
ruh malaikan dan jiwa rasional menjadi dominan (2002: 76-8).
Syāh Walî Allāh juga mengungkapkan perbedaan antara jalannya
para sufi dengan jalannya para rasul. ia berpandangan bahwasanya ada dua
jalan untuk mencapai suatu kebahagiaan, pertama adalah jalan philosof
berketuhanan serta jalannya para sufi yang mendamba Tuhan yang ia sebut
dengan ṭariqat al-walayah, sedang yang kedua adalah jalannya para rasul
yang disebut dengan ṭarikat an-nubuwat, dalam jalan yang kedua manusia
terpaut erat dengan tuntutan syariat, ihsan mereka adalah shalat, puasa,
zakat. Tafakur dalam tarekat yang kedua ini nyaris terpinggirkan, bagi
Syāh Walî Allāh, rasul tidak mempunyai pendapat atau keterangan yang
128
baik dalam hal ini. lain halnya dengan tarekat an-nubuwah dan walayat
yang banyak berisi tentang ajaran serta konsep-konsep. Baginya ṭarikat
an-nubuwat hanya merupakan simbolisasi saja dari ṭariqat al-walayah
untuk mencapai Tuhan.
3. Bidang Siyasah (Politik)
Syāh Walî Allāh percaya pada revolusi terhadap penguasa yang
zalim dan korup demi mencapai perdamaian dan keadilan yang berpuncak
pada kekuasaan syariah dalam tatanan Islam internasional yang akan
datang. Oleh karena itu, ia selalu menganjurkan jihad pada kaum muslim
untuk membentuk tatanan tersebut, tetapi juga mengeritik keras pada para
penguasa muslim yang korup, sekte-sekte dan kelompok-kelompok dalam
masyarakat. Semangat mengobarkan jihad ini dilatarbekangi oleh kondisi
sosial politik yang carut matur pada zamannya.
Dalam konteks bentuk negara, ia lebih cenderung mendukung
berdirinya sistem kekhilafahan. Syāh Walî Allāh membuat perbedaan
antara khalifah dalam pengertian khusus dan khalifah dalam pengertian
umum. Khalifah khusus hanya dipegang oleh Nabi Muhammad dan dua
khalifah pertama yang (menurutnya) ditunjuk oleh Muhammad.
Sedangkan semua khalifah selain itu, semata-mata merupakan muslim
yang baik, dipilih oleh rakyat dan mereka harus bermusyawarah dengan
orang lain. Program mereka adalah menegakkan agama dengan cara
menghidupkan disiplin agama, melaksanakan jihad, bertanggung jawab
atas pelaksanaan keadilan dan lain-lain. Khalifah yang semacam itu harus
129
dipatuhi, kecuali jika mereka bertentangan dengan atau menolak Islam
maka umat wajib menggunakan kekuatan untuk melawan mereka (Black,
2006: 453-56). Teori kekhalifahan ini berusaha memadukan pendekatan
sufistik dan ahli fikih dengan cara memilah kekhalifaha spiritual (batin)
yang mengurusi perintah-perintah agama dan kekhalifahan politis (ḍāhir)
yang bertugas untuk meningkatkan pelaksanaan ajaran agama.
4. Bidang Sosial Ekonomi
Seiring perkembangan zaman, kebutuhan manusia semakin banyak
dan setiap orang berusaha mencari keunggulan. Kebutuhan-kebutuhan itu
juga meliputi berbagai hal yang sifatnya estetis dan emosional, sehingga
setiap orang tidak akan mampu memenuhinya sendirian. Sebagai sebuah
ilustrasi, ada sebagian orang yang mendapatkan makanan secara
berlebihan akan tetapi mereka tidak mendapatkan air, sementara di lain
pihak ada yang mendapatkan air secara berlebihan namun tidak
mempunyai makanan. Jadi, masing-masing menginginkan apa yang
dimiliki orang lain, sehingga terjadilah transaksi tukar-menukar. Dalam
aplikasi syari‟ah, pemenuhan kebutuhan ekonomi merupakan kebutuhan
dasar. Dalam perkembangan selanjutnya, dinamika kehidupan masyarakat
yang semakin komplek, berkembang pula mata pencaharian agar masing-
masing individu dapat memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya. Di
samping itu, adanya tuntutan kemudahan dalam melakukan transaksi,
maka terciptalah suatu alat pertukaran.
130
Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang semakin berkembang
dapat diaplikasikan di bawah model aplikasi syariah yang didasarkan pada
asumsi dan karakteristik model kebutuhan-kebutuhan dasar yang dinamis.
Dinamika pemenuhan kebutuhan dasar ini melahirkan pasar, institusi,
teknologi, produksi, harga, utilisasi sumber daya dan distribusi, semuanya
membawa implikasi dan ditentukan di bawah perspektif perkembangan
sosial ekonomi. Implikasi perkembangan sosio-ekonomi menuntut adanya
hubungan yang kondusif antara pasar (pelaku ekonomi) dan negara
(pemerintahan), maka dalam hal ini negara (pemerintahan) harus mampu
mendukung pemberdayaan setiap sumberdaya yang ada dan tidak
membebani para pelaku ekonomi dengan pungutan-pungutan yang
memberatkan. Syāh Walî Allāh (2005: 187) menyatakan:
“Hal lain yang merusak dan menyebabkan kemunduran kota adalah
penarikan pajak yang terlalu memberatkan petani, pedagang dan
kalangan profesional, sehingga membuat orang yang patuh menjadi
jatuh dan hancur dan orang yang cukup kuat akan menolak pajak
itu dan membangkan kepada penguasa”
Pernyataan Syāh Walî Allāh di atas menunjukkan bahwa pembangunan
suatu negara tidak bisa lepas dari peras setiap warga negaranya. Oleh
karena itu, negara harus melindungi setiap individu untuk melakukan
aktifitas ekonomi. Negara juga berhak memungut pajak atas setiap usaha
mereka namun dengan jumlah yang rasional.
Meskipun setiap orang memiliki tuntutan ekonomi, namun setiap
usahanya janganlah sampai memalingkan mereka dari kepedulian sosial,
sehingga mereka mampu membantu siapapun yang membutuhkan. Setiap
131
orang juga harus memperhatikan kondisi lingkungan masing-masing.
(Syāh Walî Allāh, 2005:187). Hal ini berarti bahwa kehidupan sosial dan
kesejahteraan masyarakat suatu masyarakat menjadi tanggung jawab
bersama. Peran negara adalah menjamin dan melindungi setiap warganya
untuk melakukan aktifitas sosial dan aktifitas ekonomi mereka.
Setelah memahami konsep Pembaruan Syāh Walî Allāh, maka dapat
dikatakan bahwa dia memiliki corak seoarang ulama moderat-konservatif. Ia
berusaha mengikuti pola dan alur berpikir sebagian besar kaum muslim
bahwa pembaruan dalam hukum Islam adalah suatu keniscayaan dan
menyadari bahwa ada sebagian ajaran Islam yang kurang cocok dengan
konteks dunia modern. Namun demikian, ia lebih memilih memahami ulang
dengan melakukan sedikit modifikasi yang hati-hati dan lamban terhadap
ajaran Islam.
B. Ijtihad dan Relevansinya Dalam Pembaruan Pemikiran Hukum Islam
Hukum Islam sebagai suatu pranata sosial memiliki dua fungsi,
pertama sebagai kontrol sosial dan kedua sebagai nilai baru dalam proses
perubahan sosial. Jika yang pertama Hukum Islam ditempatkan sebagai blue
print atau cetak biru Tuhan yang selain sebagai control social juga sekaligus
sebagai social engineering (rekayasa sosial) terhadap keberadaan suatu
komunitas masyarakat. Sementara yang kedua Hukum Islam merupakan
produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi
terhadap tuntutan perubahan sosial budaya dan politik. Oleh karena itu dalam
konteks ini, Hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persoalan umat tanpa
132
kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Karena itu apabila para pemikir tidak
memiliki kesanggupan atau keberanian untuk mereformasi dan
mengantisipasi setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat dan mencari
penyelesaian hukumnya, maka Hukum Islam akan kehilangan aktualisasinya
(Rofiq, 2001: 98-99).
Salah satu pemikiran Syāh Walî Allāh menyatakan bahwa pintu
ijtihad tetap terus terbuka, karena dibutuhkan untuk melakukan interpretasi
terhadap al-Qur‟an, lebih dari itu karena dunia terus mengalami
perkembangan dan perubahan, maka diperlukan kemampuan intelektual
(ijtihad) untuk menggali hukum-hukum tersebut. Semangat pembaruan ini
sejalan dengan tujuan utama syari‟at yaitu mewujudkan kemaslahatan umat
manusia, selama upaya pembaruan dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan yang disepakati oleh ulama. Maksudnya bahwa ijtihad
sebagai upaya untuk menginterpretasi teks syar‟i62
harus memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dan disepakati oleh ulama.
Mengikuti salah satu dari empat madzhab (Mālik, Ḥanafî, Ahmad Ibn
Ḥanbal, al-Syafi‟i) yang keberadaanya tersebar luas di berbagai negara
diperbolehkan. Namun demikian, jangan sampai berhenti dan puas pada
penggunaan buku-buku yang berisi pengetahuan hukum Islam masing-masing
madzhab tersebut. Akan tetapi, semangat untuk selalu melakukan penelitian
dan koreksi terhadap hasil rumusan hukum madzhab-madzhab tersebut harus
62
Interpretasi yang hanya berlaku terhadap ayat Tuhan yang tidak qoth‟i penunjukannya
terhadap hukum dan diturunkan dalam bentuk tidak terurai. Tentang sunnah interpretasi akan
berlaku terhadap sunnah yang autensitasnya diragukan . Begitu pula terhadap sunnah yang sudah
diakui autensitasnya tetapi penunjukannya terhadap hukum belum tegas.
133
terus dilakukan. Puas dengan buku-buku dan rumusan fiqih empat madzab
tersebut tanpa ada kerja keras untuk melakukan aktifitas ijtihad merupakan
salah satu bentuk taqlîd. Syāh Walî Allāh (2005: 263) mengutip pendapat Ibn
Hazm mengenai larangan taqlîd secara total terhadap ke empat madzhab
tersebut.
”karena itu harus diketahui bahwa barang siapa mengikuti pendapat-
pendapat Abū Ḥanîfah, Mālik, al- Syafi‟î, atau Ahmad Ibn Ḥanbal secara total dan tidak mengesampingkan pendapat pengikut mereka,
atau pendapat seseorang yang mendukungnya dan tidak bersandar
kepada al-Qur‟an dan sunah kecuali untuk mendukung pendapat orang
tertentu, maka bisa dipastikan bahwa ia telah menentang kesepakatan
seluruh umat Islam dari awal sampai akhir.
Di samping itu, semua fuqoha itu pun melarang taqlîd selain kepada
para pendahulu yang saleh. Karenanya, barang siapa yang ber taqlîd
kepada para fuqoha ini, berarti ia melanggar larangan para fuqoha itu
sendiri”
Kutipan di atas merupakan landasan diperlukannya ijtihad bagi para ahli fiqih
agar tidak jumūd dan hanya berpegang pada hasil kodifikasi istinbāṭ hukum
para pengikut imam madzhab saja.
Ijtihad hanya dapat dilakukan pada lapangan atau medan tertentu.
Oleh karena itu, tidak setiap hasil ijtihad dapat dijadikan sumbangan dalam
Pembaruan hukum Islam dan mendapatkan legitimasi dari para pakar hukum
Islam kecuali apabila memperhatikan dua hal pokok tersebut di atas yaitu,
Pertama, pelaku pembaruan hukum Islam adalah orang yang memenuhi
kualitas sebagai mujtahid. Kedua, pembaruan itu dilakukan di tempat-tempat
ijtihad yang dibenarkan oleh syara‟ (Abdul Manan, 2000:162).
Pemaparan diatas menunjukkan bahwa ijtihad memiliki peranan yang
sangat besar dalam pembaruan pemikiran hukum Islam. Pembaruan hukum
134
Islam tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa ada mujtahid yang memenuhi
syarat untuk melaksanakannya. Padahal, ijtihad hanya dapat dilakukan oleh
seorang mujtahid (dengan berbagai tingkatannya). Kebenaran hukum hasil
ijtihad sangat ditentukan dalam proses ijtihad itu sendiri. Jika proses ijtihad
dalam Pembaruan hukum Islam dapat dilaksanakan secara benar, maka
hukum-hukum yang dihasilkan dari proses ijtihad akan benar pula, begitu
pula sebaliknya.
1. Pembaruan pemikiran hukum Islam di Indonesia (upaya mencari
relevansi dengan pemikiran Syāh Walî Allāh)
Pembagian periodisasi sejarah Islam di Indonesia terdapat beberapa
varian. Ada yang membaginya menjadi 7 periode, adapula yang
membaginya menjadi 8 periode.63
Periodisasi ini cukup penting karena
berhubungan dengan pola pembaruan pemikiran hukum Islam di
Indonesia.
Mengenai sejarah berlakunya hukum Islam di Indonesia, dapat
dilihat dari dua periode yaitu periode penerimaan hukum Islam
sepenuhnya dan periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat. Pada
periode pertama yaitu penerimaan hukum Islam sepenuhnya atau yang
disebut dengan teori reception in complexu, hukum Islam diberlakukan
sepenuhnya bagi orang Islam. Sejak adanya kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia, pemerintah kolonial memberlakukan hukum Islam bagi umat
63
Hamka membagi periode sejarah perkembangan Islam di Indonesia menjadi 7 sedangkan
Taufiq Abdillah membaginya menjadi 8 periode yaitu penyebaran Islam hingga berdirinya
kerajaan Islam, kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, Islam melawan ekspansi barat, pergerakan
kebangsaan dan politik kemerdekaan, perang asia timur raya, revolusi dan perang kemerdekaan,
perdebatan ideology dan kemelut politik, masa demokrasi liberal hingga demokrasi terpimpin, kea
rah ketetapan baru masa orde baru (Anshori dkk, 2008: 87.)
135
Islam, khususnya perkawinan dan hukum waris yang kemudian disebut
dengan hukum kekeluargaan. Adapun penerimaan hukum Islam oleh adat,
hukum Islam baru berlaku jika dikehendari atau diterima oleh adat (al-
Munawwar, 2004: 11-2). Sejalan dengan perkembangan sosial di
Indonesia, maka hukum Islam pun berkembang. Hal ini tidak terlepas dari
munculnya tokoh-tokoh agama yang memiliki pengaruh dan peran besar
dalam bidang agama serta politik pemerintahan Indonesia. Berkaitan
dengan perkembangan pemikiran hukum Islam ini, beberapa peneliti
seperti Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahap membagi
periodisasi pemikiran hukum Islam menjadi dua periode, yaitu sebelum
dan pasca kemerdekaan. Pemikir di bidang hukum Islam sebelum
kemerdekaan seperti KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy‟ari.
Sedangkan pemikir hukum Islam pasca kemerdekaan seperti Hasby
Asshidiqie, Hazairin, Munawir Sadjali, Masdar F. Mas‟udi, KH. Ali Yafie
dan KH. Sahal Mahfudz.64
Sejak awal kedatangannya, Islam telah memberi pengaruh yang
sangat signifikan bagi kehidupan rakyat Indonesia. Melalui ajaran hukum,
Islam terus berkembang ke berbagai penjuru Nusantara. Indikasi ini
merupakan bukti bahwa Islam dan perangkat hukumnya telah menjadi
faktor dominan dan pedoman kehidupan penduduk Indonesia, khususnya
kaum muslim. Beberapa kerajaan yang dikemudian berafiliasi maupun
64
Masing-masing pemikir tersebut memiliki gagasan progresif. Hasby Asshidiqie,
memiliki gagasan fiqh Indonesia, Hazairin melontarkan gagasan madzhab hukum nasional,
Munawir Sadjali memiliki gagasan revitaliasai Hukum Islam, Masdar F. Mas‟udi terkenal dengan
gagasan Agama Keadilan-nya, KH. Ali Yafie dan KH. Sahal Mahfudz terkenal dengan gagasan
fiqih sosial (ibid, 88).
136
berubah menjadi kerajaan Islam seperti kerajaan Samudra Pasai, kerajaan
Demak, dan kerajaan Mataran dan lain-lainnya, merupakan bukti bahwa
hukum Islam telah membumi di Nusantara.65
Wacana hukum Islam Indonesia (fiqih) hingga abad ke 17 dan 18
masih bercorak Syafi‟iyah. Hal ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu: 1)
proses Islamisasi di Indonesia sejak abad 12 dan 13 merupakan saat-saat di
mana perkembangan hukum Islam berada dalam masa krisis dengan
penutupan pintu ijtihad sebagai titik rendahnya, walaupun pada fase
berikutnya banyak tokoh yang menggunggat hal tersebut. Para ahli tidak
lagi berani berfikir bebas dan kreatif, tapi lebih disibukkan oleh berbagai
aktifitas pemikiran untuk mendukung madzhabnya masing-masing. 2)
secara kebetulan para “aktivis” yang melancarkan proses Islamisasi di
Indonesia, sebagaimana disinyalir oleh para sejarahwan adalah mereka
yang bermadzhab Syafi‟î walaupun pada perkembangan berikutnya tidak
semua umat Islam Indonesia menyandarkan perilaku keagamaannya pada
kerangka pemikiran fiqih Imam Syafi‟î, terutama pada awal abad 20 ketika
gerakan pembaruan menemukan momentumnya (Rumadi, 1999: 72-3).
Perubahan dinamika sosial dan politik yang terjadi pada abad ke 20
sangat progresif. Penduduk mayoritas di Indonesia (muslim) menghendaki
penerapan hukum Islam menjadi hukum positif (hukum nasional).
Pembangunan hukum nasional tidak bisa lepas dari pemikiran hukum
Islam. Namun demikian, untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi
65
Penjelasan mengenai nama-nama kerajaan-kerajaan tersebut dapat dibaca dalam
Muhammad Syamsu AS. dalam bukunya “Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan
Sekitarnya¸Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1999.
137
bangsa yang terdiri dari suku bangsa, kebudayaan dan agama yang
berbeda-beda, ditambah dengan peninggalan hukum bangsa penjajah,
bukanlah hal yang mudah. Hal ini disebabkan, karena hukum yang
ditetapkan berlaku bagi semua warga negara dengan tidak memandang
latar belakangnya. Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia, di
dalamnya mengandung hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Karenanya, dalam
pembangunan hukum nasional, hukum Islam merupakan unsur yang harus
diperhatikan.
Berdasarkan kondisi yang demikian, memunculkan suatu
pertanyaan yaitu hukum Islam bagaimanakah yang relevan dengan konteks
ke Indonesiaan?
Dalam konteks inilah, pembaruan pemikiran hukum Islam melalui
jalan ijtihad dilakukan. Beberapa pemikir hukum Islam pasca
kemerdekaan menawarkan gagasan-gagasan yang cukup progresif agar
hukum Islam relevan dengan konteks ke Indonesiaan. Pertama, Hasby as-
Shiddiqy yang memperkenalkan “Fiqih Indonesia”. Ia mendefinisikan
“Fiqh Indonesia” sebagai fiqih yang diaplikasikan sejalan dengan karakter
bangsa Indonesia. Menurutnya, bahwa untuk menuju fiqih Islam yang
berwawasan keindonesian, ada tiga bentuk ijtihad yang perlu dilakukan,
yaitu: 1) ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum produk ulama
madzhab masa lalu; 2) ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum
yang semata-mata didasarkan pada adat kebiasaan dan suasana masyarakat
138
di mana hukum itu berkembang; 3) ijtihad dengan mencari hukum-hukum
terhadap masalah kontemporer yang timbul sebagai akibat dari kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, Hazairin yang memperkenalkan
“madzhab Nasional (Indonesia)”. Tujuan madzhab ini dibangun semata-
mata sebagai upaya pembaruan madzhab Syafi‟î agar sesuai dengan
kondisi lokal masyarakat Indonesia (Ahmad, 2002: 99).66
Ketiga, “Fiqih Sosial” merupakan sebuah gagasan ijtihad yang
diperkenalkan oleh KH. Sahal Mahfudz. Gagasan “Fiqih Sosial” KH.
Sahal Mahfudz dilatarbelakangi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat
Kajen, Pati yang miskin, tidak memiliki pekarangan untuk bercocok
tanam, semua penuh rumah dan tidak ada akses ke birokrasi. Dalam
kondisi semacam ini, entrepreneurship (kewirausahaan) adalah solusi
cerdas dan efektif untuk mengangkat tingkat perekonomian warga Kajen
supaya lebih maju dan sejahtera. Ada banyak faktor untuk mewujudkan
hal ini, tidak hanya dana, namun juga harus ada team work yang solid dan
profesional, berpengalaman memotivasi, memetakan, merancang program
dan menajamen yang tepat. Selain itu perlu pencerahan pemikiran dan
wawasan, keterbukaan sikap dan kematangan bertindak. Dalam upaya
untuk mewujudkan hal itu, KH. Sahal Mahfudz di hadapkan pada kendala
teoligis yang sudah inhern dan terinternalisasi dalam kesadaran bawah
66
Hasil pemikirannya dapat dilihat dalam UU No. 7/ 1989 tentang Peradilan Agam dan
Kompilasi Hukum Islam. Ada tiga pokok pemikirannya yang terakomodasi dalam UU No. 7/ 1989
tentang Peradilan Agama, yaitu: 1) membuat wewenang pengadilan agama seragam di seluruh
Indonesia; 2) menyejajarkan seluruh pengadilan agama dalam satu sistem kesatuan yang semuanya
mempunyai wewenang sama atas perkara perkawinan, kewarisan dan wakaf; 3) menghapus
perlunya pengukukan pengadilan negeri atas keputusan yang dihasilkan pengadilan agama
(Ahmad, 2002: 100).
139
sadar masyarakat muslim pedesaan. Dalam menghadapi realitas faktual ini,
tidak ada pilihan lain bagi KH. Sahal kecuali melakukan pembaruan
teologis yang mempunyai landasan kuat pada tradisi (Asmani, 2007: 44-7).
Beberapa produk pemikiran dalam kerangk “Fiqih Sosial” KH.
Sahal Mahfudz, antara lain;
a. Ahl as-Sunnah wa al-jamā‟ah harus dikembangkan supaya tidak
sempit.
b. Pengembangan wawasan diperlukan karena sangat mempengaruhi
perubahan sikap dan perilaku yang dapat menumbuhkan kemauan,
kepekaan dan ketrampilan melihat masalah.
c. Kesadaran pluralisme. Pelaksanaan keadilan dan kesejahteraan
merupakan keharusan bagi suatu pemerintah yang tidak perlu berlabel
Islam. Sebab, realitas bangsa menunjukkan adanya pluralitas dari
berbagai macam etnis dan agama.
d. Pengentasan kemiskinan.
e. Penanganan zakat harus menjadi senjata ampuh untuk mengentaskan
kemiskinan.
f. Manajemen dakwah harus mampu merubah sikap, perilaku, mental,
kondisi riil ekonomi, pendidikan dan budayanya.67
Kalau penjelasan di atas merupakan contoh menifestasi pembaruan
pemikiran hukum Islam yang dilakukan oleh individu oleh ulama-ulama di
Indonesia, maka terdapat pula pembaruan pemikiran yang dilakukan oleh
67
Tipologi pemikirannya (ijtihad) oleh Mujamil Qomar termasuk ketegori eklektik yaitu
suatu pemikiran yang berusaha memilih semua yang dianggap terbaik tidak peduli dari aliran
manapun, filsafat manapun dan terori apapun (Asmani, 2007: 82-4)
140
organisasi-organisasi keagamaan, seperti Majlis Ulama Indonesia yang
merupakan organisasi keagaaman di bidang fatwa yang didirikan oleh
pemerintah, Majlis Tarjih Muhammadiyah sebuah lembaga fatwa milik
Muhammadiyah, Bahtsul Masa‟il sebagai lembaga fatwa milik Nahdlatul
Ulama, metode ijtihad Persatuan Islam, metode Ijtihad Majlit Tafsir al-
Qur‟an dan sebagainya.
Berbagai upaya pembaruan hukum Islam baik yang dilakukan oleh
individu maupun kelompok, relevan dengan semangat pemikiran
pembaruan Syāh Walî Allāh.
2. Beberapa contoh pembaruan pemikiran hukum Islam di Indonesia
Sebagai upaya untuk mengakomodasi kehendak umat Islam agar
hak-hak agamanya diakui dalam hukum nasional, ada beberapa produk
hukum nasional yang merupakan hasil ijtihad para ulama, seperti
Kompilasi Hukum Islam, Perbankan Syari‟ah, Undang-Undang Zakat.
Dalam bidang ekonomi, model ekonomi Islam, yang pertama
dirumuskan sebagai bentuk penolakan terhadap bunga bank ialah
perbankan Islam sebagai alternatif perbankan tanpa bunga.68
Perbankan
syari‟ah merupakan salah satu doktrin ekonomi Islam sebagai hasil ijtihad
atas sumber-sumber naqlî. Perkembangan bank syari‟ah di Indonesia tidak
terlepas dari situasi politik yang melingkupi kehadirannya dan masalah
yuridis berkenaan dengan persentuhan antara hukum syari‟ah dengan
68
Perbankan tanpa bunga sebagai lembaga intermediasi mulai diakui dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan sebagai diperkuat dengan Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari‟ah.
141
hukum nasional dan hukum barat yang mau tidak mau bank syari‟ah harus
menyesuaikan dengan kondisi ini.
Zakat dalam konteks perekonomian negara memikili peran besar
untuk mengentaskan kemiskinan. Jika dikelola dengan baik, maka zakat
dapat berdaya guna dan berhasil guna dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang sejahtera. Mengenai zakat, perbedaan pendapat terjadi
dalam hal peran negara untuk memungut. Perbedaan pendapat ini dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1) negara wajib memaksa warganya
untuk membayar zakat; 2) kewajiban zakat adalah kewajiban individu
seorang muslim, maka negara tidak wajib memaksa warga negaranya
untuk membayar zakat.69
Dalam konteks ke-indonesia-an, terlihat sebuah
ijtihad para ahli fiqih yaitu dengan adanya Undang-Undang Zakat Nomor
38 Tahun 1999 yang merupakan pengakuan bahwa negara dapat
memungut zakat dari warganya (khususnya umat Islam) untuk membayar
zakat. Melalui lembaga zakat yang didirikan oleh pemerintah maupun
swasta, umat Islam dapat menyalurkan zakat, infaq dan sodaqoh mereka.
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tersebut mengatur tentang
pengelolaan zakat (infaq dan sodaqoh) tersebut.
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 sesungguhnya
dilatarbelakangi oleh kondisi carut marut perekonomian bangsa. Dalam hal
ini zakat (dan pajak) memiliki peran strategis untuk pembangunan dan
pemenuhan kebutuhan masyarakat yang adil dan merata. Namun demikian,
69
Mengenai pengelola zakat ini, penulis pernah melakukan penelitian dengan judul “Zakat
Sebaga Sarana Pemberdayaan Ekonomi Umat Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qardlawî Dalam
Konteks Ke-Indonesia-an”, Skripsi tidak diterbitkan,Yogyakarta: Fakultas Syari‟ah, 2002.
142
umat Islam masih enggan untuk membayarkan zakat mereka. Maka,
dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 diharapkan dapat
menggiatkan umat Islam dalam membayar zakat. Di samping itu, dalam
perkembangan selanjutnya, berdasarkan hasil ijtihad para ahli fiqih,
terdapat bentuk-bentuk baru mengenai sesuatu yang wajib dikeluarkan
zakatnya, seperti zakat profesi.
Selanjutnya yaitu mengenai Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Kompilasi hukum Islam yang terdiri dari tiga buku dan 229 pasal
merupakan manifestasi ijtihad pembaruan hukum Islam dalam konteks ke-
indonesia-an. Dalam penjelasan KHI (Tim penyusun, 41) poin 3 dan 4
disebutkan:
“ 3. Hukum materiil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan
Agama adalah Hukum Islam yang pada garis besarnya meliputi
bidang-bidang hukum Perkawinan, hukum Kewarisan dan
hukum Perwakafan. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan
Agama tanggal 18 Pebruari 1958 Nomor B/I/735 hukum
Materiil dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum
tersebut di atas adalah bersumber pada 13 kitab yang
kesemuanya bermadzhab Syafi‟î.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
tentang Perwakafan Tanah Milik, maka kebutuhan hukum
masyarakat semakin berkembang sehingga kitab-kitab tersebut
dirasakan perlu pula untuk diperluas baik dengan menambahkan
kitab-kitab dari madzhab yang lain, memperluas penafsiran
terhadap ketentuan di dalamnya, membandingkan dengan
Yurisprudensi Peradilan Agama, fatwa para ulama maupun
perbandingan di negara-negara lain.”
Kedua poin di atas menunjukan adanya determinasi bahwa ijtihad
merupakan sebuah keniscayaan seiring dengan berkembangnya kondisi
sosial masyarakat. Terutama pada contoh yang ketiga yaitu kompilasi
143
hukum Islam, metode ijtihadnya sangat relevan dengan gagasan ijtihad
Syāh Walî Allāh. Terlihat dalam penjelasan yang berbunyi:
“maka kebutuhan hukum masyarakat semakin berkembang
sehingga kitab-kitab tersebut dirasakan perlu pula untuk diperluas
baik dengan menambahkan kitab-kitab dari madzhab yang lain,
memperluas penafsiran terhadap ketentuan di dalamnya,
membandingkan dengan Yurisprudensi Peradilan Agama, fatwa
para ulama maupun perbandingan di negara-negara lain.”
Penjelasan di atas jika dikaitkan dengan manhaj ijtihad Syāh Walî Allāh,
maka tampak adanya rekonsiliasi madzhab.
Selain contoh-contoh di atas, masih banyak permasalah faktual
yang diperlukan adanya ijtihad, seperti hukum reality show yang
mempublikasikan kehidupan pribadi seseorang, euthanasia, hukum
melakukan kekerasan atas nama agama, ijtihad penyamaan metode hisab-
rukyat antara organisasi sosial keagamaan dan sebagainya.