bab iv hasil penelitian dan pembahasan 1.1. …...berkaitan dengan pendapatan yang rendah, rendahnya...
TRANSCRIPT
-
51
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.1. Gambaran Umum Subyek penelitian
Penelitian ini tentang pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat
kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten/kota Di Jawa Tengah
tahun 2007 – 2010. Data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari Badan
Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah Jl. Pemuda (Simpang Lima), Semarang dari
tahun 2007 – 2010. Data pertumbuhan ekonomi di Jawa tengah meningkat pada
tahun 2007, namun pada tahun 2008 dan 2009 pertumbuhan ekonomi di Jawa
Tengah mengalami penurunan. Tingkat inflasi di Jawa Tengah mengalami
kenaikan dan penurunan disetiap tahunnya, sehingga dalam grafik terlihat jelas
fluktuatifnya. Tingkat kemiskinan di Jawa Tengah dari tahun 2007 sampai 2010
selalu mengalami penurunan. Penurunan tingkat kemiskinan di Jawa tengah pada
tahun 2007 sampai 2010 diikuti dengan kenaikan tingkat kesempatan kerja pada
tahun tersebut. Penelitian ini menggunakan jenis data panel (pooled data) yang
terdiri antara data cross section dan data time series yaitu terdiri dari 35
kabupaten/kota di Jawa Tengah selama 4 tahun. Analisis yang digunakan adalah
analisis regresi linear berganda karena variabel independen dalam penelitian ini
lebih dari satu.
-
52
1.2. Analisis Data
1.2.1. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah yang menyangkut banyak aspek karena
berkaitan dengan pendapatan yang rendah, rendahnya angka melek huruf, derajat
kesehatan yang rendah, kondisi lingkungan yang tidak menyehatkan dan kumuh
serta ketidaksamaan derajat antar jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Selain
itu kemiskinan juga merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain tingkat pendapatan,
pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, kesehatan, pendidikan, akses
terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan lokasi lingkungan.
Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi
juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar (kebutuhan dasar) dan perbedaan
perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan
secara bermartabat di masyarakat. Selain itu masalah pendistribusian yang tidak
merata sehingga hanya sebagian orang saja yang dapat menikamati manfaatnya.
Oleh karena itu, pemerintah sangat berupaya keras untuk mengatasi permasalahan
kemiskinan tersebut sehingga pembangunan dilakukan secara terus menerus
termasuk dalam menentukan batas ukur untuk mengenali siapa si miskin tersebut.
Berikut disajikan data tentang kemiskinan yang terjadi menurut kabupaten/kota di
Jawa Tengah tahun 2007-2010
-
53
Tabel 4.1.
Persentase Kemiskinan di 35 Kabupaten/Kota
di Jawa Tengah Tahun 2007 – 2010 (dalam satuan persen)
.
No. Kabupaten / Kota 2007 2008 2009 2010
1 Kabupaten Cilacap 22.59 21.40 19.88 18.11
2 Kabupaten Banyumas 22.46 22.93 21.52 20.20
3 Kabupaten Purbalingga 30.24 27.12 24.97 24.58
4 Kabupaten Banjarnegara 27.18 23.34 21.36 19.17
5 Kabupaten Kebumen 30.25 27.87 25.37 22.70
6 Kabupaten Purworejo 20.49 18.22 17.02 16.61
7 Kabupaten Wonosobo 32.29 27.72 25.91 23.15
8 Kabupaten Magelang 17.37 16.49 15.19 14.14
9 Kabupaten Boyolali 18.06 17.08 15.96 13.72
10 Kabupaten Klaten 22.27 21.72 19.68 17.47
11 Kabupaten Sukoharjo 14.02 12.13 11.51 10.94
12 Kabupaten Wonogiri 24.44 20.71 19.08 15.67
13 Kabupaten Karanganyar 17.39 15.68 14.73 13.98
14 Kabupaten Sragen 21.24 20.83 19.70 17.49
15 Kabupaten Grobogan 25.14 19.84 18.68 17.86
16 Kabupaten Blora 21.46 18.79 17.70 16.27
17 Kabupaten Rembang 30.71 27.21 25.86 23.40
18 Kabupaten Pati 19.79 17.9 15.92 14.48
19 Kabupaten Kudus 10.73 12.58 10.80 9.01
20 Kabupaten Jepara 10.44 11.05 9.60 10.18
21 Kabupaten Demak 23.5 21.24 19.70 18.76
22 Kabupaten Semarang 12.34 11.37 10.66 10.50
23 Kabupaten Temanggung 16.55 16.39 15.05 13.46
24 Kabupaten Kendal 20.7 17.87 16.02 14.47
25 Kabupaten Batang 20.79 18.08 16.61 14.67
26 Kabupaten Pekalongan 20.31 19.52 17.93 16.29
27 Kabupaten Pemalang 22.79 23.92 22.17 19.96
28 Kabupaten Tegal 18.5 15.78 13.93 13.11
29 Kabupaten Brebes 27.93 25.98 24.39 23.01
30 Kota Magelang 10.01 11.16 10.11 10.51
31 Kota Surakarta 13.64 16.13 14.99 13.96
32 Kota Salatiga 9.01 8.47 7.82 8.28
33 Kota Semarang 5.26 6 4.84 5.12
34 Kota Pekalongan 6.62 10.29 8.56 9.36
35 Kota Tegal 9.36 11.28 9.88 10.62
Sumber: Data dan Informasi Kemiskinan Jateng 2008
-
54
4.2.2 Pertumbuhan Ekonomi
Tabel 4.2. Laju Pertumbuahan Ekonomi berdasarkan Harga konstan 2000 di 35
Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2007-2010 (dalam satuan persen)
No. Kabupaten / Kota 2007 2008 2009 2010
1 Kabupaten Cilacap 2,64 4,92 5,25 5,65
2 Kabupaten Banyumas 5,30 5,38 5,49 5,77
3 Kabupaten Purbalingga 6,19 5,30 5,89 5,67
4 Kabupaten Banjarnegara 5,01 4,98 5,11 4,89
5 Kabupaten Kebumen 4,52 5,80 3,94 4,15
6 Kabupaten Purworejo 6,08 5,62 4,96 5,01
7 Kabupaten Wonosobo 3,58 3,69 4,02 4,29
8 Kabupaten Magelang 5,21 4,99 4,72 4,51
9 Kabupaten Boyolali 4,08 4,04 5,16 3,60
10 Kabupaten Klaten 3,31 3,93 4,24 1,73
11 Kabupaten Sukoharjo 5,11 4,84 4,76 4,65
12 Kabupaten Wonogiri 5,07 4,27 4,73 3,14
13 Kabupaten Karanganyar 5,74 5,30 5,54 5,42
14 Kabupaten Sragen 5,73 5,69 6,01 6,06
15 Kabupaten Grobogan 4,37 5,33 5,03 5,05
16 Kabupaten Blora 3,95 5,62 5,08 5,19
17 Kabupaten Rembang 3,81 4,67 4,46 4,45
18 Kabupaten Pati 5,19 4,49 4,69 5,11
19 Kabupaten Kudus 3,23 3,92 3,95 4,16
20 Kabupaten Jepara 4,74 4,49 5,02 4,52
21 Kabupaten Demak 4,15 4,11 4,08 4,12
22 Kabupaten Semarang 4,72 4,26 4,37 4,90
23 Kabupaten Temanggung 4,03 3,54 4,09 4,31
24 Kabupaten Kendal 4,28 4,23 5,58 5,95
25 Kabupaten Batang 3,49 3,67 3,72 4,97
26 Kabupaten Pekalongan 4,59 4,78 4,30 4,27
27 Kabupaten Pemalang 4,47 4,99 4,78 4,94
28 Kabupaten Tegal 5,51 5,32 5,29 4,83
29 Kabupaten Brebes 4,79 4,81 4,99 4,94
30 Kota Magelang 5,17 5,05 5,11 6,12
31 Kota Surakarta 5,82 5,69 5,90 5,94
32 Kota Salatiga 5,39 4,98 4,48 5,01
33 Kota Semarang 5,98 5,59 5,34 5,87
34 Kota Pekalongan 3,80 3,73 4,78 5,51
35 Kota Tegal 5,21 5,15 5,02 4,61 Sumber: PDRB Jawa Tengah 2007-2010
-
55
4.2.3 Inflasi
Tabel 4.3.
Laju Inflasi di 35 Kabupaten/Kota
Di Jawa Tengah tahun 2007 – 2010 (dalam satuan persen)
No. Kabupaten / Kota 2007 2008 2009 2010
1 Kabupaten Cilacap 6,18 9,97 4,63 5,65
2 Kabupaten Banyumas 5,30 12,06 2,83 6,04
3 Kabupaten Purbalingga 6,36 9,51 3,35 7,82
4 Kabupaten Banjarnegara 6,49 11,09 4,37 7,13
5 Kabupaten Kebumen 6,42 14,21 5,01 8,36
6 Kabupaten Purworejo 7,75 11,28 3,98 7,56
7 Kabupaten Wonosobo 9,78 9,06 3,01 6,06
8 Kabupaten Magelang 5,90 9,53 3,83 8,25
9 Kabupaten Boyolali 4,61 6,51 2,05 7,34
10 Kabupaten Klaten 13,26 10,33 0,30 7,90
11 Kabupaten Sukoharjo 4,43 11,39 2,59 6,67
12 Kabupaten Wonogiri 8,45 11,54 2,89 6,66
13 Kabupaten Karanganyar 4,09 10,83 2,98 7,26
14 Kabupaten Sragen 4,16 10,82 2,82 6,77
15 Kabupaten Grobogan 4,37 13,59 4,26 7,45
16 Kabupaten Blora 5,67 12,79 2,91 7,17
17 Kabupaten Rembang 6,64 10,04 3,09 6,61
18 Kabupaten Pati 6,33 13,01 3,05 6,36
19 Kabupaten Kudus 6,79 11,99 3,00 7,65
20 Kabupaten Jepara 6,33 12,76 2,83 6,24
21 Kabupaten Demak 5,98 12,64 3,10 6,87
22 Kabupaten Semarang 5,60 11,03 3,18 7,07
23 Kabupaten Temanggung 6,89 12,36 4,16 7,35
24 Kabupaten Kendal 6,78 12,74 1,23 5,89
25 Kabupaten Batang 5,64 10,44 -0,04 6,62
26 Kabupaten Pekalongan 5,35 10,61 3,39 6,54
27 Kabupaten Pemalang 6,48 8,71 4,10 7,38
28 Kabupaten Tegal 6,16 9,57 4,50 6,44
29 Kabupaten Brebes 7,18 11,81 4,25 6,04
30 Kota Magelang 6,49 9,53 3,48 6,80
31 Kota Surakarta 3,28 6,96 2,63 6,65
32 Kota Salatiga 7,22 10,20 3,28 6,65
33 Kota Semarang 6,75 10,34 3,19 7,11
34 Kota Pekalongan 4,16 10,03 3,39 6,77
35 Kota Tegal 6,05 8,52 5,83 6,73 Sumber: Jawa Tengah Dalam Angka 2008-2011
-
56
4.2.4 Kesempatan Kerja
Tabel 4.4.
Jumlah Kesempatan Kerja di 35 Kabupaten/Kota
di Jawa Tengah tahun 2007 – 2010
No. Kabupaten / Kota 2007 2008 2009 2010
1 Kabupaten Cilacap 810174 743290 778660 762347
2 Kabupaten Banyumas 722264 715841 740042 792012
3 Kabupaten Purbalingga 423566 410516 421467 435598
4 Kabupaten Banjarnegara 478644 457930 453660 467074
5 Kabupaten Kebumen 629175 576829 606340 584684
6 Kabupaten Purworejo 391250 355702 359011 353027
7 Kabupaten Wonosobo 409515 387335 395068 397392
8 Kabupaten Magelang 678500 624413 631689 648484
9 Kabupaten Boyolali 572381 536845 542533 527581
10 Kabupaten Klaten 636135 612644 617172 574549
11 Kabupaten Sukoharjo 471155 447875 451417 432526
12 Kabupaten Wonogiri 568927 557492 580035 519702
13 Kabupaten Karanganyar 465240 451144 455446 457756
14 Kabupaten Sragen 504199 476316 494956 483526
15 Kabupaten Grobogan 773425 705696 767310 721475
16 Kabupaten Blora 489864 458223 491863 466977
17 Kabupaten Rembang 313301 298475 320318 320291
18 Kabupaten Pati 663864 630524 639265 620602
19 Kabupaten Kudus 444378 442341 439215 420513
20 Kabupaten Jepara 571282 528555 558008 562402
21 Kabupaten Demak 570007 536053 524939 522266
22 Kabupaten Semarang 519840 511770 510942 536204
23 Kabupaten Temanggung 424531 386504 389255 410860
24 Kabupaten Kendal 559532 515053 518428 473515
25 Kabupaten Batang 379462 359965 347665 377700
26 Kabupaten Pekalongan 451487 425144 430475 418843
27 Kabupaten Pemalang 653731 606901 647167 581757
28 Kabupaten Tegal 737636 627460 650691 632931
29 Kabupaten Brebes 899804 824748 839546 884757
30 Kota Magelang 63525 62193 65970 61945
31 Kota Surakarta 287450 277675 275546 258573
32 Kota Salatiga 86608 87089 88342 81670
33 Kota Semarang 748302 744439 787565 796186
34 Kota Pekalongan 138963 141671 145890 145149
35 Kota Tegal 126160 121315 121753 125452 Sumber: Jawa Tengah dalam Angka 2006 - 2011
-
57
1.3. Hasil Uji Asumsi Klasik
Pengujian asumsi klasik merupakan syarat utama dalam persamaan regresi.
Maka dari itu harus dilakukan 4 pengujian yaitu: (1) data berdistribusi normal (Uji
Normalitas) (2) tidak terdapat autokorelasi (Uji Autokorelasi) (3) tidak terdapat
multikolinearitas antar variabel independen (Uji multikolinearitas) (4) tidak
terdapat heteroskedastisitas (Uji Heteroskedastisitas). Dalam analisis regresi perlu
di perhatikan adanya penyimpangan – penyimpangan atas asumsi klasik, jika tidak
di penuhi maka variabel – variabel yang menjelaskan akan menjadi tidak efisien.
Tabel 4.5.
Hasil Regresi Utama Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, inflasi dan
tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan
di Jawa Tengah Tahun 2007 – 2010.
Coefficient t-Statistic Prob.
C
PE
IF
KK
14.51697
-0.757224
0.208095
1.04E-05
4.152595
-1.211653
1.320119
4.245308
0.0001
0.2277
0.1890
0.0000
R-Squared
F-statistic
Prob(F- Statistic)
Durbin Watson
0.139340
7.339441
0.000135
0. 539896
Sumber: lampiran A
1.3.1. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui data variabel penelitian
berdistribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas dalam penelitian ini
menggunakan teknik analisis Jarque-Bera dan untuk perhitungannya
menggunakan program Eviews 5. Hasil Uji J-B test dapat dilihat pada Gambar 4.1
Berikut.
-
58
Gambar 4.1
Hasil Uji Jarque-Bera Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, inflasi dan
tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan
di Jawa Tengah Tahun 2007 – 2010.
Tabel 4.6 Hasil Uji Normalitas
Variabel Sig. Kesimpulan
Pertumbuhan Ekonomi, inflasi
dan tingkat kesempatan kerja
terhadap tingkat kemiskinan
0.319711 Normal
Sumber: lampiran B
Hasil uji Normalitas dengan Uji Jarque-Bera menunjukan bahwa residual
model penelitian mempunyai nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 (sig>0,05).
Sehingga dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa semua variabel penelitian
berdistribusi normal. Pada model persamaan pengaruh pertumbuhan ekonomi,
inflasi dan tingkat kesempatan kerja terhadap kemiskinan di Jawa Tengah tahun
2007 - 2010 dengan n = 140 dan k = 3, maka diperoleh degree of freedom (df) =
137 (n-k), dan menggunakan α = 5 persen diperoleh nilai χ2 tabel sebesar 165.316.
Dibandingkan dengan nilai Jarque Bera pada Gambar 4.1 sebesar 2,280, dapat
-
59
ditarik kesimpulan bahwa probabilitas gangguan μ1 regresi tersebut terdistribusi
secara normal karena nilai Jarque Bera lebih kecil dibanding nilai χ2 tabel.
1.3.2. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas merupakan suatu keadaan dimana terdapat hubungan linier
atau terdapat korelasi anatar variabel Independen. Dalam penelitian ini, untuk
mengkaji ada tidanya multikolinearitas dapat dilihat darai perbandingan antara
nilai R2 Regresi Parsial (auxiliary regression) dengan nilai R
2 regresi utama. Jika
nilai dari R2 Regresi Parsial (auxiliary regression) lebih besar dari pada R
2 regresi
utama, maka dapat disimpulkan bahwa dalam persamaan tersebut terjadi
multikolinearitas. Berikut tabel 4.7 yang menunjukan perbandingan antara R2
Regresi Parsial (auxiliary regression) dengan nilai R2 regresi utama.
Tabel 4.7
R2
Auxiliary Regression Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, inflasi dan
tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan
di Jawa Tengah Tahun 2007 – 2010.
No. Persamaan R2* R
2 Kesimpulan
1.
2.
3.
PE IF KK
IF PE KK
KK PE IF
0.006863
0.008197
0.001373
0.139340
0.139340
0.139340
Non
Multikolinearitas
Non
Multikolinearitas
Non
Multikolinearitas
Sumber: lampiran C
Dari tabel 4.7 diatas menunjukan bahwa semua variabel independen
mempunyai nilai R2 Regresi Parsial (auxiliary regression) lebih kecil dari R
2
regresi utama, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas.
-
60
1.3.3. Uji Heteroskedastisitas
Pengujian heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model
regresi terjadi ketidaksamaan varience dari residual satu pengamatan ke
pengamatan yang lain. Model regresi yang baik adalah tidak terjadi
heteroskedastisitas dan untuk mengetahui adanya heteroskedastisitas dengan
menggunakan uji White. Jika variabel independen tidak signifikan secara statistik
tidak mempengaruhi variabel dependen, maka ada indikasi tidak terjadi
heteroskedastisitas. Berikut ini adalah hasil uji heteroskedastisitas terhadap model
regresi pada penelitian ini.
Tabel 4.8
Hasil Uji White Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, inflasi dan
tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan
di Jawa Tengah Tahun 2007 – 2010.
Obs*R-Squared Sig. Kesimpulan
4.011029 0.675184 Non Heteroskedastisitas
Sumber: Lampiran D
Tabel di atas menunjukkan bahwa uji white menghasilkan kesimpulan tidak
ada masalah heteroskedastisitas, hal ini dibuktikan dengan nilai signifikansinya
sebesar 0.675184 lebih besar dari 0,05.
1.3.4. Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi atau hubungan yang terjadi antara anggota-
anggota dari serangkaian pengamatan yang tersusun dalam rangkaian waktu (data
time series) maupun tersusun dalam rangkaian ruang atau disebut data cross
sectional. Salah satu uji formal yang paling populer untuk mendeteksi
autokorelasi adalah uji Durbin-Watson. Uji ini sesungguhnya dilandasi oleh
-
61
model error yang mempunyai korelasi sebagaimana telah ditunjukkan di bawah
ini:
Gambar 4.2
Hasil Uji Durbin-Watson
Ada Tidak ada tidak ada ada
Autokorelasi Keputusan keputusan Autokorelasi
positif dan tidak ada negatif dan
menolah H0 Autokorelasi dan menolak H0
tidak menolah Ho
dl=1,68 du=1,76 4-du=2,24 4-dl=2,32 4
Hasil dari Durbin-Watson menunjukkan bahwa nilai d-hitung atau DW
sebesar 0,53. Hasil dari Durbin-Watson statistik adalah du=1,76 dan dl=1,68.
Sehingga d-hitung atau DW terletak pada 0 < d < dl atau 0 < 0,53 < 2,24.
kesimpulan yang dapat ditarik adalah ada autokolerasi positif didalam model dan
menolak H0.
1.4. Pengujian Statistik Analisis Regresi
1.4.1. Uji Signifikansi parameter Individual (Uji t)
Uji signifikansi parameter individual (Uji t) merupakan pengujian untuk
menunjukkan pengaruh secara individu variabel independen yang ada di dalam
model terhadap variabel terikat. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa
jauh pengaruh satu variabel bebas menjelaskan variasi variabel terikat. Apabila
nilai t hitung lebih besar dari t tabel dan nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05
-
62
(sig
-
63
Dari regresi pengaruh pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat
kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah tahun 2007 - 2010
yang menggunakan taraf keyakinan 95 persen (α = 5 persen), dengan degree of
freedom for numerator (dfn) = 3 (k-1 = 4-1) dan degree of freedom for
denominator (dfd) = 137 (n-k = 140-3), maka diperoleh F-tabel sebesar 2,67
dengan F-statistik sebesar 7,33 dan nilai probabilitas F-statistik 0,00000. Maka
dapat disimpulkan bahwa variabel independen secara bersama-sama berpengaruh
terhadap variabel dependen (Fhitung > F-tabel).
1.4.3. Uji Koefisien Determinasi (Uji R2)
Koefisien determinasi (R2) merupakan alat untuk mengukur besarnya
persentase pengaruh variabel independen terhadap variabel Dependen. Besarnya
koefisien determinasi berkisar antara angka 0 sampai dengan 1, semakin
mendekati nol besarnya koefisien determinasi, maka semakin kecil pengaruh
semua variabel independen terhadap variabel dependen. Sebaliknya semakin besar
koefisien determinasi mendekati angka 1, maka semakin besar pula pengaruh
semua variabel independen terhadap variabel dependen.
Dari Hasil uji R2 pada penelitian pengaruh pertumbuhan ekonomi, inflasi
dan tingkat kesempatan kerja di jawa Tengah tahun 2007-2010 diperoleh nilai R2
sebesar 0,1393. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Jawa Tengah
dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja
sebesar 13,93%; sedangkan sisanya sebesar 86,07% dipengaruhi oleh faktor lain
yang tidak termasuk dalam penelitian ini.
-
64
1.5. Pembahasan
1.5.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap
variabel tingkat kemiskinan. Hal ini dibuktikan dari uji t diperoleh hasil uji t untuk
variabel pertumbuhan ekonomi diperoleh nilai t hitung sebesar – 1.211653 dengan
nilai signifikansi sebesar 0,2277 dan koefisien regresi sebesar – 0,757224. Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa dalam penelitian ini pertumbuhan ekonomi
tidak berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Hasil tersebut tidak sesuai dengan
teori yang menjadi landasan teori dalam penelitian ini. Menurut Kuznet dalam
Tulus Tambunan (2001), pertumbuhan dan perekonomian mempunyai korelasi
yang sangat kuat, karena pada tahap awal proses kemiskinan cenderung
meningkat dan pada saat mendekati tahap akhir pembangunan jumlah orang –
orang miskina berangsur – angsur berkurang. Selain itu, yang menyebabkan
ketidaksignifikansinya pertumbuhan ekonomi dalam mempengaruhi kemiskinan
dikarenakan pertumbuhan ekonomi tersebut belum efektif dalam mengurangi
tingkat kemiskinan. Arinya, pertumbuhan ekonomi yang terjadi belum menyentuh
disetiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin.
1.5.2. Inflasi dan Tingkat Kemiskinan
Variabel Inflasi berpengaruh positif terhadap variabel tingkat kemiskinan
tetapi tidak signifikan. Hal tersebut dibuktikan dari nilai t hitung sebesar 1,320119
dengan nilai signifikansi sebesar 0,1890 dan koefisien regresi memiliki arah
positif sebesar 0,208095. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa dalam
penelitian ini inflasi tidak berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan.
-
65
Hal tersebut dapat terjadi karena adanya keadaan daya beli antara
golongan yang ada di masyarakat tidak sama (heretogen), hal tersebut akan
mengakibatkan realokasi barang-barang yang tersedia dari golongan masyarakat
yang memilik daya beli yang relatif rendah kepada golongan masyarakat yang
memiliki daya beli yang lebih besar. Kejadian ini akan terus terjadi di masyarakat.
Sehingga, laju inflasi akan berhenti hanya apabila salah satu golongan masyarakat
tidak bisa lagi memperoleh dana (tidak lagi memiliki daya beli) untuk membiayai
pembelian barang pada tingkat harga yang berlaku, sehingga permintaan efektif
masyarakat secara keseluruhan tidak lagi melebihi supply barang (inflationary
gap) menghilang. Selain itu, efek inflasi tidak sama pada semua kelompok
masyarakat. Masyarakat miskin terkonsentrasi di wilayah pedesaan, lebih dari 60
persen dari total penduduk miskin tinggal di pedesaan. Tingkat inflasi di pedesaan
secara persisten lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Perubahan harga-harga
memberikan tekanan yang lebih besar bagi perekonomian daerah pedesaan
dibandingkan daerah perkotaan. Dengan demikian tingkat inflasi juga akan
memberikan tekanan yang berbeda terhadap tingkat kemiskinan. Masyarakat
miskin di pedesaan relatif lebih rentan akan guncangan ekonomi, khususnya
inflasi. Pada semua level, peningkatan harga pada komoditi makanan memiliki
dampak yang relatif jauh lebih besar terhadap kemiskinan dibandingkan dengan
inflasi yang terjadi pada komoditi non pangan. Masyarakat miskin pedesaan yang
secara relatif akan merasakan dampak inflasi komoditi makanan lebih besar.
-
66
1.5.3. Tingkat kesempatan kerja dan kemiskinan
Dari penelitian ini menyatakan bahwa tingkat kesempatan kerja
berpengaruh positif namun signifikan. Hal ini dapat terbukti dari nilai t hitung
sebesar 4.245308, dengan nilai signifikansi 0,000 dan koefisien regresi memiliki
arah yang positif yaitu sebesar 1.04E-05. Hal ini menunjukan bahwa tingkat
kesempatan kerja belum efektif dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Arinya,
setiap penambahan tingkat kesempatan kerja, belum tentu diikuti dengan
pengurangan kemiskinan.
Kesempatan kerja yang sempit di bandingkan angkatan kerja, akan
menimbulkan Masalah pengangguran yang menyebabkan tingkat pendapatan
nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai potensi maksimal.
Ketidakseimbangan tersebut terjadi apabila jumlah angkatan kerja lebih besar
daripada kesempatan kerja yang tersedia. Di bidang ketenagakerjaan, kurang
adanya keahlian manajerial dan secara keseluruhan rendahnya pendidikan tenaga
kerja menjadi penyebab meningkatnya kemiskinan. Rendahnya permintaan tenaga
kerja dan tingginya penawaran tenaga kerja mengakibatkan banyaknya
pengangguran, rendahnya produktivitas dan rendahnya pendapatan. Dampak
selanjutnya dari meningkatnya jumlah pengangguran adalah peningkatan angka
kemiskinan.
1.5.4. Pengaruh Pertumbuhan ekonomi, Inflasi, dan Tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah 2007-2010.
Pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja secara
bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah tahun
2007 – 2010. Hal ini dibuktikan dari nilai F hitung sebesar 7,33 dengan nilai
-
67
signifikansi sebesar 0,000. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja sangat menentukan
besar kecilnya tingkat kemiskinan di provinsi Jawa Tengah tahun 2007 - 2010.
Dalam regresi tersebut diperoleh nilai koefisien regresi untuk setiap variabel dapat
dilihat dengan persamaan sebagai berikut:
Y = 14,51– 0,75 (PE) – 0,20(IF) – 1,04(KK)+e..........................................(4.1)
Menurut Jhingan, terdapat 3 (tiga) komponen dalam pertumbuhan
ekonomi: pertama, pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari
meningkatnya secara terus-menerus persediaan barang; kedua, teknologi maju
merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat
pertumbuhan kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada
penduduk; dan ketiga, penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan
adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan idiologi sehingga inovasi yang
dihasilkan oleh ilmu pengetahuan umat manusia dapat dimanfaatkan secara tepat.
Keberhasilan suatu rencana pembangunan sangat tergantung pada kemampuan
menyediakan tenagatenaga yang melaksanakannya. Dasar pemikiran kesempatan
kerja adalah rencana investasi dan target hasil yang direncanakan, atau secara
umum rencana pembangunan. Tiap kegiatan mempunyai daya serap yang berbeda
akan tenaga kerja, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Daya serap tersebut
berbeda secara sektoral dan menurut penggunaan teknologi. Sektor kegiatan yang
dibangun secara padat karya pada dasarnya akan menciptakan kesempatan kerja
yang relatif besar dan tidak terlalu terikat kepada persyaratan keterampilan yang
tinggi.