bab iv hasil penelitian dan pembahasaneprints.uny.ac.id/18954/6/bab 4 (09417144044).pdf · (lewat...

46
56 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Profil Trans Jogja Salah satu usaha yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan transportasi di Yogyakarta adalah pengoperasian Trans Jogja sebagai moda transportasi terpadu. Trans Jogja melayani penumpang pada beberapa koridor jalan-jalan utama di Yogyakarta. Namun dalam perjalanannya masih ditemukan keluhan-keluhan dari pengguna Trans Jogja yang menunjukkan masih terdapat beberapa masalah dalam pengoperasiannya. Trans Jogja merupakan pelayanan transportasi publik yang bersubsidi dengan menerapkan “Buy The Service”. Sistem ini didasarkan pada kontrak kerjasama yang dilakukan konsorsium (PT. Jogja Tugu Trans) dengan UPTD Trans Jogja dan tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat memiliki harapan besar dalam pengembangan pelayanan untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Operasional Trans Jogja dimulai pukul 06.00 sampai dengan pukul 22.00 setiap harinya, dalam usahanya melayani penumpang manajemen Trans Jogja menempatkan masing-masing dua orang petugas di sebuah shelter dan dua orang petugas di dalam bus sebagai supir dan juga petugas yang memandu naik dan turunnya penumpang, waktu tunggu bus dengan trayek yang sama adalah selama maksimal 15 menit, misalnya bus 1A melintas di shelter X maka untuk menunggu kedatangan bus 1A kembali dibutuhkan waktu 15 menit, sedangkan biaya yang harus dikeluarkan oleh penumpang untuk menggunakan fasilitas Trans Jogja

Upload: lythuan

Post on 06-Feb-2018

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

56

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Profil Trans Jogja

Salah satu usaha yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan

transportasi di Yogyakarta adalah pengoperasian Trans Jogja sebagai moda

transportasi terpadu. Trans Jogja melayani penumpang pada beberapa koridor

jalan-jalan utama di Yogyakarta. Namun dalam perjalanannya masih ditemukan

keluhan-keluhan dari pengguna Trans Jogja yang menunjukkan masih terdapat

beberapa masalah dalam pengoperasiannya. Trans Jogja merupakan pelayanan

transportasi publik yang bersubsidi dengan menerapkan “Buy The Service”.

Sistem ini didasarkan pada kontrak kerjasama yang dilakukan konsorsium (PT.

Jogja Tugu Trans) dengan UPTD Trans Jogja dan tidak bisa dipungkiri bahwa

masyarakat memiliki harapan besar dalam pengembangan pelayanan untuk

meningkatkan kualitas pelayanan.

Operasional Trans Jogja dimulai pukul 06.00 sampai dengan pukul 22.00

setiap harinya, dalam usahanya melayani penumpang manajemen Trans Jogja

menempatkan masing-masing dua orang petugas di sebuah shelter dan dua orang

petugas di dalam bus sebagai supir dan juga petugas yang memandu naik dan

turunnya penumpang, waktu tunggu bus dengan trayek yang sama adalah selama

maksimal 15 menit, misalnya bus 1A melintas di shelter X maka untuk menunggu

kedatangan bus 1A kembali dibutuhkan waktu 15 menit, sedangkan biaya yang

harus dikeluarkan oleh penumpang untuk menggunakan fasilitas Trans Jogja

57

adalah sebesar Rp. 3.000,- untuk satu kali perjalanan dari shelter asal hingga

shelter tujuan. Manajemen Trans Jogja juga memberikan fasilitas kartu elektronik

langganan, setiap orang bebas untuk memiliki kartu tersebut dengan persyaratan

yang tidak terlalu rumit cukup dengan mengisi formulir permohonan, dan

membayar sejumlah uang untuk mengisi saldo kartu yang terdiri dari jumlah Rp.

15.000, 25.000, 50.000 dan 100.000 bagi penumpang yang memiliki fasilitas kartu

tersebut biaya yang dikenakan sekali perjalanan hanya Rp. 2.700,- ditambah

dengan fasilitas free charge apabila penumpang turun selama satu jam dan

kemudian sebelum satu jam kembali menggunakan Trans Jogja.

Secara umum, Trans Jogja beroperasi melalui rute-rute jalan utama di

Yogyakarta, dan rute-rute yang dilalui di dalam Kota Yogyakarta. Untuk lebih

mempermudah penumpang dalam menghafalkan jalur, setiap 2 jalur akan

melewati rute yang sama, dengan arah yang berlawanan. Misalnya, jalur 1A akan

melewati jalur yang kurang lebih sama dengan jalur 1B, hanya dalam perbedaan

arah. Trans Jogja diimplementasikan untuk pertama kalinya pada tahun 2008

untuk mengatasi permasalahan transportasi di Yogyakarta. Permasalahannya

antara lain sebagai berikut:

a. Tingginya tingkat pertumbuhan lalu lintas sedangkan tingkat pertumbuhan

jalan rendah.

b. Model transportasi yang terdahulu, kebanyakan dimiliki oleh perusahaan

pribadi, layanan dinilai kurang memuaskan.

c. Pertumbuhan tinggi pada jenis sepeda motor, 6000-8000/bulan.

d. Pertumbuhan generasi baru pusat lalu lintas.

58

e. Tingginya tingkat polusi udara.

f. Tingginya tingkat biaya operasi kendaraan.

Sistem pelayanan Trans Jogja dibuat untuk meningkatkan sistem

transportasi umum di Yogyakarta. Oleh sebab itu aksesibilitas, keterjangkauan,

kenyamanan, dan ketersediaan diintegrasikan dalam suatu sistem yang memuat

sebagai berikut:

a. Cakupan layanan

Trans Jogja melayani daerah Yogyakarta mencakup wilayah utara, selatan,

timur, barat pada kota Yogyakarta pada jalan arteri.

b. Shelter

Shelter Trans Jogja dirancang sesuai dengan yang ditunjukkan gambar 4.1.

Gambar tersebut menunjukkan bahwa shelter dibuat tinggi agar sejajar dengan

ketinggian bus.

Gambar 2. Shelter Bus Trans Jogja

c. Kendaraan

Untuk memenuhi kualitas pelayanan kepada penumpang, bus Trans Jogja

dirancang berbeda dari transportasi umum reguler lainnya. Spesifikasi bus

Trans Jogja dapat dilihat dari Tabel 3.

59

Tabel 3. Spesifikasi Bus Trans Jogja

No Kategori Spesifikasi

1 Tipe Bus Sedang, kendaraan baru (<1 tahun)

2 Kapasitas bus ≥ 22 kursi + 1 supir + 22 berdiri

3 Model Bus Kota

4 Dimensi

a. Panjang

b. Lebar

c. Tinggi

P= 7400-8000mm

L= 1800-2400mm

T= 2700-3100mm Sumber : Dinas Perhubungan (2008)

Gambar 3. Bus Trans Jogja

d. Trayek

Secara umum, Trans Jogja beroperasi melalui rute-rute jalan utama di

Yogyakarta, dalam kota Yogyakarta (perluasan trayek ke daerah Bantul dan

Sleman).

Sumber: Dishubkominfo Provinsi DIY, 2013

Gambar 4. Rute Perjalanan Bus Trans Jogja

60

Untuk lebih mempermudah penumpang dalam menghafalkan jalur, setiap

2 jalur akan melewati rute yang sama, dengan arah yang berlawanan. Jalur yang

dilewati tidak selalu sama sebab kondisi jalan yang berbeda. Misalnya karena ada

beberapa ruas jalan yang hanya satu arah. Kondisi lain yang perlu diketahui

bahwa tidak semua halte berada selalu berseberangan, walaupun rata-rata berada

tidak jauh satu sama lain.Sampai dengan saat ini, ada 6 (enam) jalur Trans Jogja

yang beroperasi yaitu:

1) Jalur 1A

Candi Prambanan - Bandara Adisutjipto-Jembatan Layang Janti -Ambarukmo

Plaza - UIN Sunan Kalijaga-Saphir Square - Bioskop XXI - Rumah Sakit (RS)

Bethesda - Toko Buku (TB) Gramedia - Hotel Santika - Kantor Kedaulatan

Rakyat - Stasiun Tugu - Jalan Malioboro - Pasar Beringharjo - Benteng

Vredeburg - Monumen 1 Maret - Kantor Pos Besar - Keraton Yogyakarta -

Alun-Alun Utara - Taman Parkir Bank Indonesia - Taman Pintar –

Gondomanan - Pasar Sentul - Jalan Taman Siswa - Taman Makam Pahlawan

Kusumanegara - Balaikota Yogyakarta - Kebun Binatang Gembira Loka -

Jogja Expo Center (JEC) - Jembatan Janti - kembali ke arah kalasan, Bandar

Udara Adi Sucipto sampai Terminal Prambanan.

2) Jalur 1B

Terminal Prambanan – Kalasan – Bandara Adisucipto –Maguwoharjo – Janti

(lewat bawah) - Blok O – JEC – Babadan – Gedongkuning -Gembira Loka –

SGM - Pasar Sentul – Gondomanan - Kantor Pos Besar - RS PKU

Muhammadiyah - Pasar Kembang – Badran -Bundaran Samsat Kota

61

Yogyakarta – Pingit – Tugu - TB Gramedia -Bundaran UGM – Kolombo –

Demangan - UIN Sunan Kalijaga – Janti – Maguwoharjo - Bandara Adisucipto

– Kalasan - Terminal Prambanan.

3) Jalur 2A

Terminal Jombor – Monjali – Tugu - Stasiun Tugu – Malioboro - Kantor Pos

Besar – Gondomanan - Jokteng Wetan – Tungkak –Gambiran – Basen –

Rejowinangun – Babadan – Gedongkuning -Gembira Loka – SGM – Cendana

- Mandala Krida – Gayam -Jembatan Layang Lempuyangan – Kridosono -

Duta Wacana – Galeria - TB Gramedia - Bunderan UGM – Kolombo -

Gejayan-Terminal Condong Catur – Kentungan – Monjali - Terminal Jombor.

4) Jalur 2B

Terminal Jombor – Monjali – Kentungan - Terminal Condong Catur – Gejayan

– Kolombo - Bundaran UGM - TB Gramedia – Kridosono - Duta Wacana -

Jembatan Layang Lempuyangan – Gayam - Mandala Krida – Cendana – SGM

- Gembira Loka – Babadan – Gedongkuning – Rejowinangun – Basen –

Tungkak - Jokteng Wetan – Gondomanan - Kantor pos besar-RS PKU

Muhammadiyah – Ngabean – Wirobrajan – BPK – Badran - Bundaran Samsat

Kota Yogyakarta – Pingit – Tugu – Monjali - Terminal Jombor.

5) Jalur 3A

Terminal Giwangan – Tegalgendu - HS Silver - Pegadaian Kotagede –Basen –

Rejowinangun – Babadan- Gedongkuning – JEC - Blok O -Janti (lewat atas) –

Maguwoharjo - Ringroad Utara - Terminal Condong Catur – Kentungan - MM

UGM - Mirota Kampus – Terban – Gondolayu – Tugu – Pingit - Bundaran

62

Samsat Kota Yogyakarta –Badran - Pasar Kembang - Stasiun Tugu –

Malioboro - Kantor Pos Besar - RS PKU Muhammadiyah – Ngabean - Jokteng

Kulon - Plengkung Gading - Jokteng Wetan – Tungkak – Wirosaban –

Tegalgendu - Terminal Giwangan.

6) Jalur 3B

Terminal giwangan – Tegalgendu – Wirosaban – Tungkak - Jokteng Wetan -

Plengkung Gading - Jokteng Kulon – Ngabean - RS PKU Muhammadiyah -

Pasar Kembang – Badran - Bundaran Samsat Kota Yogyakarta – Pingit – Tugu

– Gondolayu - Mirota Kampus - MM UGM – Kentungan - Terminal Condong

Catur - Ringroad Utara – Maguwoharjo - Bandara Adisucipto – Maguwoharjo -

Janti (lewat bawah) - Blok O – JEC – Babadan - Gedongkuning-

Rejowinangun –Basen - Pegadaian Kotagede - HS Silver – Tegalgendu -

Terminal Giwangan. Untuk jalur 4A dan 4 B yang beroperasi mulai Oktober

2010 lalu, telah ditutup pada Oktober 2011.

e. Tiket Perjalanan Trans Jogja

1) Tiket Single Trip

Sumber: Dishubkominfo DIY, 2013

Gambar 5.Tiket Single Trip

63

a) Tiket sebesar Rp. 3.000,00 untuk setiap perjalanan.

b) Penumpang membeli tiket single trip di semua lokasi halte.

c) Penumpang menerima tiket single trip dan tiket siap digunakan.

2) Tiket Reguler Umum

Sumber: Dishubkominfo DIY, 2013

Gambar 6. Tiket Reguler Umum

a) Tiket sebesar Rp.2.700,00 untuk setiap perjalanan.

b) Penumpang membeli tiket reguler di halte bertanda POS/Card Center (Dinas

Perhubungan Prov.DIY).

c) Penumpang menerima tiket reguler sesuai nominal yang dibeli dan siap

digunakan.

d) Pilihan nominal pulsa/isi ulang Rp. 15.000,-, Rp.25.000.-, Rp.50.000,-, dan

Rp. 100.000,-.

64

3) Tiket Reguler Pelajar

Sumber: Dishubkominfo DIY, 2013

Gambar 7. Tiket Reguler Pelajar

a) Tiket sebesar Rp. 2.000,00 untuk setiap perjalanan.

b) Pelajar mendaftar secara kolektif di sekolah.

c) Pihak sekolah menghubungi Dinas perhubungan propinsi DIY dan petugas

akan datang ke sekolah.

d) Petugas menyerahkan tiket di sekolah dan tiket siap digunakan.

e) Kartu tiket perdana bernilai Rp. 15.000,- .

f) Pilihan nominal pulsa/isi ulang Rp. 15.000,-, Rp.25.000.-, Rp.50.000,-, dan

Rp. 100.000,-.

Smartcard ini dapat dikategorikan indikator evaluasi William Dunn

tentang dualitas nilai, dikarenakan cara ini mempunyai tujuan dan kualitas ganda.

Smartcard hadir untuk memberikan paket harga sesuai dengan jenjang dan

kondisi ekonomi penggunanya. Ini juga dimaksudkan untuk menarik masyarakat

agar tertarik menggunakan Trans Jogja.

Berdasarkan hasil evaluasi kinerja layanan Trans Jogja tahun 2011

sebagaimana disajikan dalam Tabel 4. yaitu hasil pengukuran load factor.

65

Tabel 4. Hasil Pengukuran Load Factor Tahun 2011

Ruas Pengamatan

Menuju

Arah

Trayek (%)

1A 1B 2A 2B 3A 3B

Jl. Imogiri Utara 19,06 15,00

Jl.Imogiri Selatan 8,00 20,83

Jl. Kusumanegara Barat 32,66 23,93

Jl. Kusumanegara Timur 23,64 61,11

Jl. Sultan Agung Barat 20,00

Jl. Sultan Agung Timur 18,06

Jl. Wahid Hasyim Utara 14,06 15,63

Jl.Wahid Hasyim Selatan 14,06 13,75

Jl. HOS.

Cokroaminoto Utara 14,72

Jl. Kaliurang Utara 21,56

Jl.Kaliurang Selatan 24,64

Jl.Adisucipto Barat 57,95

Jl.Adisucipto Timur 15,71

Rata-rata 33,20 22,80 23,90 12,20 16,40 18,30 Sumber : Dishubkimfo, 2013.

Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa trayek

dengan load factor sangat rendah. Oleh sebab itu efektivitas dari pengoperasian

bus pada beberapa trayek juga menjadi belum optimal. Terlihat bahwa load factor

terbesar hanya 61,11% yang dialami Trayek 2B pada Jl. Kusumanegara menuju

arah Timur, sedangkan load factor terendah berada pada Trayek 3A pada Jl.

Imogiri menuju arah Selatan sebesar 8,00%. Rata-rata dari setiap trayek yaitu

pada trayek 1A sebesar 33,20% dan untuk trayek 1B sebesar 22,80%. Pada trayek

2A load factor sebesar 23,90%, sedangkan untuk trayek 2B hanya sebesar 12,20.

Pada trayek 3A rata-rata load factor sebesar 16,40% dan untuk trayek 3B sebesar

18,30%.

66

Load factor ini juga dapat dikategorikan indikator evaluasi pelaksanaan

kebijakan William Dunn tentang orientasi masa kini dan masa lampau. Dapat

dikatakan load factor ini menjadi acuan bagaimana jumlah, kepadatan shelter, dan

pengguna Trans Jogja dari waktu ke waktu. Apabila rendah prosentasenya, berarti

peminat Trans Jogja masih sedikit, begitupula sebaliknya.

Berkaitan dengan kebijakan, landasan kebijakan Trans Jogja sendiri adalah

Perda No 1 Tahun 2008 serta Undang-undang nomer 22 tahun 2009 tentang

angkutan jalan. Undang undang adalah aturan negara, dikarenakan setiap daerah

mempunyai otonomi daerah, muncullah Perda yang memungkinkan daerah

mengatur dan mengoptimalkan suatu kebijakan itu sendiri. Trans Jogja disini

adalah bentuk otonomi daerah yang mana di dalam undang-undang sudah

tercantum bahwa angkutan umum adalah salah satu transportasi potensial

penggerak perekonomian, sehingga Trans Jogja ini merupakan bentuk

transformasi angkutan dalam kota yang ramah, aman, dan nyaman sesuai dengan

motto Trans Jogja yang juga tercantum dalam Perda.

Pada sisi lain, apabila dilihat dari aspek kelembagaan pengelolaan Trans

Jogja dijalankan oleh Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika DIY. Unit

Pelaksana Teknis Daerah atau UPTD Trans Jogja ialah contracting agency dan

PT. Jogja Tugu Trans ialah operator pengelola bus Trans Jogja.

67

Sumber: Dishubkominfo DIY, 2013

Gambar 8. Kelembagaan Trans Jogja Eksisting

Selanjutnya, relasi kelembagaan dalam penyelenggaraan Trans Jogja

ditunjukkan pada gambar berikut :

DPRD Prov.DIY

Kontrak

7 tahun

DEWAN PENGAWAS

Sumber: Dishubkominfo DIY, 2013.

Gambar 9 Skema Kelembagaan Trans Jogja

Dinas Perhubungan Daerah Istimewa Yogyakarta

Unit Pelaksana Teknis Daerah Trans Jogja

PT. JOGJA TUGU TRANS TTRANS (PT. JTT)

DPRD Prov.DIY

Gubernur DIY Organda DIY

PemProv DIY PT. JOGJA

TUGU TRANS

(Operator)

PT. JOGJA TUGU

TRANS

(Operator)

UPTDTrans Jogja OPERATOR

Dishub DIY

68

Berdasarkan Gambar 9 menunjukkan bahwa adanya struktur tersebut,

masing-masing pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Trans Jogja memiliki

tugas dan tanggung jawab yang juga diatur dalam MOU kerjasama, sebagai

berikut:

1) Dewan Pengawas

Dewan pengawas memiliki tugas untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian

kerja sama, menetapkan standar kualitas pelayanan, serta mengendalikan

pendapatan dari kegiatan operasionalisasi bus Trans Jogja yang bersumber

dari hasil penjualan tiket. Tugas dewan pengawas tersebut dapat dilihat

ditujukan untuk membuat pelaksanaan tanggung jawab pihak PT. Jogja Tugu

Trans maupun UPTD Trans Jogja tetap pada koridornya masing-masing

sehingga kualitas pelayanan bus Trans Jogja tetap terjaga.

2) Operasional PT. Jogja Tugu Trans

Pengoperasian armada sesuai jumlah, jadwal dan SPM, yaitu tugas dan

tanggung jawab PT. Jogja Tugu Trans untuk memanfaatkan secara optimal

seluruh armada bus Trans Jogja yang telah ditentukan jumlah, jadwal, dan

SPMnya. Jumlah armada bus Trans Jogja saat ini adalah 54 unit yang

dioperasikan mulai pukul 06.00 WIB sampai 22.00 WIB dengan jarak antar

bus maksimal 15 menit. Adapun kewajiban yang harus dilakukan yaitu:

a) Memelihara sarana (kebersihan, kelayakan, kenyamanan sesuai SPM), yaitu

tugas dan tanggung jawab PT JTT untuk memelihara sarana penunjang

pelayanan Trans Jogja sehingga tetap bersih, layak, dan nyaman sesuai SPM

pelayanan yang telah ditentukan.

69

b) Menjamin keamanan dan kenyamanan penumpang, yaitu tugas dan tanggung

jawab PT. Jogja Tugu Trans untuk menyelenggarakan pelayanan bus yang

tidak hanya menjamin kenyamana penumpang, tetapi juga keamanan.

Keamanan yang dimaksud berkaitan dengan keamanan bus dari tindak

kejahatan maupun keamanan dari keselamatan jiwa penumpang;

c) Menggaji sopir bus, yaitu tugas dan tanggung jawab PT. Jogja Tugu Trans

untuk membayarkan hak dari sopir armada bus Trans Jogja sebagai bagian

dari karyawan PT JTT.

3) Operasional Unit Pelaksana Teknis Daerah Trans Jogja

a) Menyediakan dan memelihara prasarana (shelter, bus lane, mesin tiket dll),

yaitu tugas dan tanggung jawab UPTD Trans Jogja untuk menyediakan

prasarana yang diperlukan PT. Jogja Tugu Trans dalam operasionalisasi

pelayanan Trans Jogja.

b) Melakukan promosi, yaitu tugas dan tanggung jawab UPTD Trans Jogja

untuk mempromosikan pelayanan Trans Jogja pada masyarakat, termasuk

upaya untuk bekerja sama dengan pihak lain dalam melakukan promosi

tersebut.

c) Melakukan pengawasan pelaksanaan SPM, yaitu tugas dan tanggung jawab

UPTD Trans Jogja untuk mengawasi pelaksanaan tanggung jawab PT. Jogja

Tugu Trans dalam memenuhi SPM ketika menyelenggarakan pelayanan

Trans Jogja.

70

d) Melakukan pembayaran Biaya Operasional Kendaraan, yaitu tugas dan

tanggung jawab UPTD Trans Jogja untuk membayar BOK yang diklaim oleh

PT JTT sebagai bentuk insentif sesuai ketentuan yang disepakati.

e) Memungut tiket, yaitu tugas dan tanggung jawab UPTD Trans Jogja untuk

menentukan mekanisme tiket, baik harga maupun jenisnya, serta mengelola

seluruh hasil penjualan tiket.

f) Melakukan evaluasi dan pengembangan sistem, yaitu tugas dan tanggung

jawab UPTD Trans Jogja untuk mengevaluasi sistem penyelenggaraan

pelayanan Trans Jogja yang telah dilakukan untuk kemudian merumuskan

perbaikannya.

B. Deskripsi Data Hasil Penelitian

1. Konsep kerjasama penyelenggaraan UPTD Trans Jogja dengan PT.

Jogja Tugu Trans

Kerja sama antara UPTD Trans Jogja Dishubkominfo Pemerintah DIY

dengan PT Jogja Tugu Trans dalam pengelolaan layanan Trans Jogja secara resmi

dimulai sejak tahun 2008 dengan penandatanganan perjanjian kerja sama nomor:

4/PERJ/GUB/II/2008 dan nomor: 31/JTT/G/II-2008 tentang Pengelolaan Sistem

Pelayanan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum Wilayah Perkotaan

dengan Sistem buy the service di DIY. Perjanjian kerja sama tersebut selalu

diperbaharui setiap tahunnya. Berikut merupakan penuturan pihak PT. Jogja Tugu

Trans mengenai hal tersebut:

“Kontraknya yang kita sepakati selama 7 tahun dari 2008 sampai

2015.Perjanjian kerja sama selama 7 tahun ini menggunakan anggaran dari

APBD. APBD kan ditetapkan pertahun makanya diimplementasikan dalam

kontrak per satu tahun. Jadi tiap tahun kita ada kontrak, karena berkaitan

dengan anggaran tiap satu tahunnya walaupun di perjanjian kerjasama

71

tersebut sudah dianggarkan selama 7 tahun berapa besarnya.” (Wawancara

dengan Bapak Septa pada tanggal 20 Juni 2014).

Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa kerja sama antara UPTD

Trans Jogja dengan PT. Jogja Tugu Trans disepakati akan berlangsung untuk

jangka waktu 7 tahun, yaitu mulai tahun 2008 sampai dengan tahun 2015. Terkait

dengan penggunaan dana APBD dalam pelaksanaan kerja sama tersebut, maka

dalam hal ini setiap tahun dilakukan penandatanganan kontrak baru di antara

kedua belah pihak meskipun sejak awal anggaran dari APBD telah disepakati

besaran jumlahnya untuk 7 tahun.

Penyelenggaraan bus Trans Jogja dijalankan oleh UPTD Trans Jogja

sedangkan operator yang melayani adalah PT. Jogja Tugu Trans. Pengelolaan bus

Trans Jogja didasarkan pada perjanjian kerja sama tersebut. Apabila dilihat dari

nama perjanjiannya, dapat dilihat bahwa dalam perjanjian kerja sama tersebut

memuat istilah buy the service. Pengertian sistem buy the service dalam perjanjian

kerjasama ini adalah sistem pembelian pelayanan yang dilakukan oleh Pemerintah

DIY kepada operator angkutan perkotaan. Hal demikian menunjukkan bahwa

pelaksanaan kerja sama tersebut diharapkan dapat membuat sistem pengelolaan

bus kota yang sebelumnya berbasis pada sistem setoran menjadi lebih baik dengan

penerapan sistem buy the service.

Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Bus Trans Jogja secara garis besar

mengatur mengenai beberapa hal bahwa para pihak sepakat mengadakan kerja

sama pengelolaan sistem pelayanan angkutan orang di jalan dengan kendaraan

umum wilayah perkotaan dengan sistem buy the service di Daerah Istimewa

72

Yogyakarta. Sementara tujuan dari perjanjian kerjasama pengelolaan bus Trans

Jogja adalah:

a. Memperbaiki sistem transportasi angkutan orang di jalan dengan kendaraan

umum wilayah perkotaan di DIY.

b. Mengurangi kemacetan lalu lintas di wilayah DIY.

c. Meningkatkan keamanan, kenyamanan dan ketepatan waktu dalam pelayanan

angkutan orang di jalan dengan kendaraan umum wilayah perkotaan dengan

sistem buy the service.

d. Memberikan fasilitas kepada masyarakat dalam rangka menyediakan

transportasi yang murah dan terjangkau.

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan perjanjian

dimaksudkan untuk pengelolaan Trans Jogja. Salah satu hal penting yang dapat

dilihat adalah adanya “sepakat mengadakan kerja sama”. Hal demikian

menunjukkan bahwa tidak hanya upaya kerja sama yang telah disepakati untuk

dilaksanakan, tetapi seluruh aturan main dalam kerja sama tersebut juga

merupakan bentuk kesepakatan kedua belah pihak sehingga seharusnya

dilaksanakan dengan baik. Termasuk pula poin-poin dalam perjanjian kerja sama.

Pada sisi lain, beberapa tujuan yang dirumuskan dalam perjanjian kerja sama

tersebut akan menjadi penanda atas keberhasilan dari pelaksanaan kerja sama.

Apabila tujuan tersebut seluruhnya tercapai maka dapat dikatakan kerja sama

berjalan optimal. Sebaliknya, apabila terdapat tujuan yang belum tercapai maka

dapat dikatakan terdapat suatu hal dalam pelaksanaan perjanjian yang belum

berjalan baik.

73

Kerja sama pemerintah DIY dengan PT Jogja Tugu Trans merupakan

tujuan-tujuan penyelenggaraan Trans Jogja. Dalam hal ini justru tidak termuat

tujuan dari pengelolaan hubungan antara pemerintah dan swasta dalam

menyelenggarakan pelayanan transportasi publik secara lebih baik, seperti

misalnya untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan angkutan

umum perkotaan. Selain itu, apabila dilihat dari poin-poin tujuan tersebut maka

dapat dilihat penyelenggaraan layanan Trans Jogja didesain untuk dua tujuan

besar, yaitu mengurangi kemacetan dan memperbaiki layanan transportasi bus

umum. Pengawasan internal dilakukan oleh pihak Pemerintah DIY dengan

melihat kesesuaian antara SPM yang ditentukan dengan kinerja PT. Jogja Tugu

Trans dalam mengelola operasionalisasi Trans Jogja. Sementara pengawasan

eksternal dilakukan oleh pihak auditor independen dan publik terhadap hasil audit

kinerja PT. Jogja Tugu Trans.

Tujuan dari kerja sama antara PT Jogja Tugu Trans dengan UPTD Trans

Jogja dalam hal ini tidak dapat dilepaskan dari latar belakang yang mendasari

pelaksanaan kerja sama tersebut. Menurut pihak UPTD Trans Jogja tujuan kerja

sama untuk operasionalisasi Trans Jogja dapat dilihat pada kutipan wawancara

berikut:

“Tujuan Trans Jogja itu kan jangka pendeknya adalah penyediaan angkutan

yang nyaman, aman, tepat waktu, terjadwal. Sedangkan jangka panjangnya

itu dia harus bisa menjadi sebuah transportasi andalan di kawasan perkotaan

Yogyakarta.” (Wawancara dengan Etik Esti Mayati, 20 Mei 2014).

Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa tujuan kerja sama antara

PT Jogja Tugu Trans dengan UPTD Trans Jogja dalam hal ini terbagi menjadi

tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Secara jangka pendek, tujuan kerja

74

sama tersebut adalah untuk menyediakan angkutan yang nyaman, aman, tepat

waktu, dan terjadwal. Sementara tujuan jangka panjangnya adalah untuk

menyediakan suatu transportasi andalan di kawasan perkotaan Yogyakarta. Dapat

dilihat bahwa dalam hal ini pihak UPTD Trans Jogja lebih menilai kerja sama

dengan PT Jogja Tugu Trans sebagai salah satu upaya dalam memenuhi

kebutuhan masyarakat akan transportasi umum yang nyaman, aman, tepat waktu,

dan terjadwal.

Berbeda dengan penuturan pihak UPTD Trans Jogja tersebut, dalam hal ini

pihak PT Jogja Tugu Trans lebih menilai bahwa tujuan dari kerja sama antara PT.

Jogja Tugu Trans dengan UPTD Trans Jogja lebih cenderung berkaitan dengan

berbagai hal negatif dari pengelolaan bus kota yang ada sebelumnya. Hal

demikian dituturkan oleh pihak PT Jogja Tugu Trans sebagai berikut:

“… Trans Jogja itu berfungsi merevolusi angkutan kota yang tadinya

dahulunya berbasis setoran dengan sifat pelayanannya yang seperti itu, yang

banyak negatifnya lah, yang banyak dikeluhkan, yang bikin ugal-ugalan,

yang bikin polusi udara. Diganti dengan sistem Trans Jogja yang

berorientasi pada pelayanan dan yang lebih ramah lingkungan.” (wawancara

dengan Bapak Sebta, 20 Juli 2014).

Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa dalam hal ini pihak PT.

Jogja Tugu Trans lebih melihat tujuan kerja samanya dengan UPTD Trans Jogja

guna memperbaiki kinerja angkutan kota yang ada sebelumnya. Hal demikian

menunjukkan bahwa PT. Jogja Tugu Trans menilai tujuan utama dari pelaksanaan

kerja sama adalah untuk mencapai pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat.

Lebih lanjut pihak PT Jogja Tugu Trans menyatakan hal sebagai berikut:

“… yang dulu angkutan kota itu mungkin dari masing-masing koperasi

berjalan sesuai dengan yang sudah ada, kita menyebutnya angkutan reguler

yang berbasis setoran, nah sekarang kita dikontrak pemerintah yang bukan

75

berbasis setoran artinya kita tidak memikirkan berapa jumlah penumpang

yang diangkut, kita hanya disuruh melayani dari jam setengah enam pagi

sampai jam setengah sepuluh malam terus begitu saja. Nanti atas pelayanan

itu kita dibayar oleh pemerintah berdasarkan kilometer tempuhnya bukan

jumlah penumpangnya.” (wawancara dengan Bapak Sebta, 20 Juli 2014).

Kutipan wawancara tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa pihak PT.

Jogja Tugu Trans memandang tujuan utama kerja samanya dengan pihak UPTD

Trans Jogja adalah untuk meningkatkan pelayanan angkutan kota yang ada

sebelumnya. Peningkatan pelayanan tersebut dilakukan dengan upaya mengubah

sistem angkutan berbasis setoran dengan sistem pelayanan angkutan berdasarkan

kilometer tempuh. Hal tersebut kembali ditegaskan oleh pihak PT. Jogja Tugu

Trans sebagaimana dapat dilihat dalam kutipan wawancara berikut:

“Ya kunci utamanya itu pelayanan. Sistem Trans Jogja itu kan buy the

service artinya pemerintah membeli pelayanan, hal itu untuk memberikan

kepastian kepada masyarakat, kita yang melayani, pemerintah membeli

pelayanan kepada kita, yang kita layani adalah masyarakat, kita dikontrak

oleh pemerintah untuk melayani itu. Dan tujuan utamanya adalah untuk

pelayanan angkutan itu, ya untuk melayani masyarakat. Meningkatkan

pelayanan kualitas yang dulu seperti itu sekarang dicoba seperti ini.”

(wawancara dengan Bapak Sebta, 20 Juli 2014).

Penuturan pihak PT. Jogja Tugu Trans dalam kutipan wawancara tersebut

semakin memperjelas bahwa dari segi pandangan secara luas sudah ada perbedaan

tujuan, sehingga dimungkinkan akan menjadi kendala yang berarti untuk

kemajuan Trans Jogja apabila tidak segera diluruskan. Terlebih ini adalah masa

akhir PT. Tugu Trans yang nantinya akan berakhir pada tahun 2015.

76

2. Pelaksanaan Kebijakan Trans Jogja

Proses pelaksanaan dalam suatu kebijakan merupakan salah satu aspek

yang menentukan keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Proses pelaksanaan

merupakan salah satu tahap yang penting dimana untuk mengukur keberhasilan

suatu kebijakan yang nantinya apabila menemui kendala ataupun masalah dapat di

evaluasi untuk keberlanjutan yang lebih baik. Penyelenggaraan juga harus

mempersiapkan tujuan dan secara matang dengan tahapan-tahapan apa saja yang

perlu ditempuh dalam mencapai tujuan tersebut.

Sistem buy the service diimplementasikan menuntut adanya pembelian

layanan angkutan umum Trans Jogja oleh pemerintah dari operator. Operator

merupakan badan usaha yang berdasarkan sistem lelang dipilih sebagai

penyelenggara layanan angkutan umum Trans Jogja pada rute yang telah

disediakan. PT. Jogja Tugu Trans adalah satu satunya operator yang

menyelenggarakan layanan angkutan umum Trans Jogja saat ini. Pemerintah DIY,

dalam hal ini Dinas Perhubungan yang dinaungi oleh UPTD Trans Jogja menjalin

kerjasama dengan PT. Jogja Tugu Trans dengan perjanjian Gross Kontrak yang

dituangkan dalam dokumen Perjanjian Kerjasama Sama (PKS). PKS tersebut

mengalami pembaharuan setiap tahunnya. Penyelenggaraan layanan angkutan

umum yang belum optimal mengakibatkan menurunnya minat para calon

pengguna layanan angkutan umum. Hal tersebut menyebabkan okupansi

penumpang belum dapat menghasilkan pendapatan dari tiket yang dapat menutup

biaya operasional Trans Jogja.

“Pelaksanaan Trans Jogja memang sudah hampir 7 Tahun ini, dari segi

implementasi memang sudah cukup, kami beserta operator selalu

77

mengoptimalkan dan berupaya seiring waktu berjalan agar Trans Jogja

menjadi angkutan primadona di daerah sendiri.” (Wawancara dengan Etik

Esti Mayati, 20 Mei 2014).

Tujuan utama dari penyelenggaraan layanan Trans Jogja adalah

mendorong pengguna kendaraan bermotor pribadi, baik mobil dan sepeda motor,

untuk berpindah menggunakan Trans Jogja. Dengan demikian, efektivitas

penyediaan layanan bus angkutan umum massal Trans Jogja tidak hanya

bergantung pada kualitas layanan semata, tetapi juga integrasi berbagai program

yang diarahkan untuk mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan

kendaraan bermotor pribadi.

Dalam kurun waktu hampir 7 tahun ini, pemerintah provinsi

mempercayakan Dinas Perhubungan yang difokuskan oleh UPTD Trans Jogja

untuk menunjuk operator, dan satu-satunya operator Trans Jogja yang terpilih

adalah PT. Jogja Tugu Trans.

“Kita menunjuk PT. Jogja Tugu Trans sebagai operator Trans Jogja yang

telah di kontrak selama 7 Tahun dengan periode 2008-2015, itupun bisa

diperpanjang atau tidak, tergantung keputusan pemerintah daerah nantinya

dan hasil kinerja PT. Jogja Tugu Trans sendiri yang menunjukkan”

(Wawancara dengan Etik Esti Mayati, 20 Mei 2014).

Dalam perjalanannya Trans Jogja mengalami pasang surut

perkembangannya. Peristiwa seperti ini lumrah terjadi, hanya saja yang perlu

dikaji adalah ketika dalam posisi dan kondisi baik dan stabil dapat bertahan atau

ditingkatkan lebih baik lagi. Terlebih Trans Jogja ini, yang sudah merupakan

transportasi andalan, sudah seyogyanya selalu memantau setiap pelaksanaan yang

terjadi, sehingga kekurangan dan masukan dapat tertampung dan dievaluasi yang

memunculkan solusi yang tepat guna.

78

UPTD Trans Jogja yang berkolaborasi dengan PT. Jogja Tugu Trans

memberikan hasil yang cukup baik dalam segi pelaksanaannya, hanya saja

terdapat beberapa hal yang menjadi catatan misalnya catatan load factor, kondisi

armada dan shelter, ketepatan waktu tersebut dapat menjadi salah satu hal yang

menjadi kendala dalam penyelenggaraan Trans Jogja karena pada dasarnya

fasilitas publik yang menjadi sorotan paling tajam adalah infrastruktur fisiknya,

dan aspek internal pasti akan dipandang setelahnya. Baik buruknya pelaksanaan

hingga akhirnya proses evaluasi kebijakan Trans Jogja juga ditentukan dari

bagaimana kolaborasi dan kerjasama antara UPTD Trans Jogja dan PT. Tugu

Trans selaku operator.

3. Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Trans Jogja

Berdasarkan fakta-fakta di lapangan yang terjadi, diperlukan evaluasi

pelaksanaan menyeluruh terhadap sistem penyelenggaraan layanan angkutan

umum Trans Jogja. Kebutuhan untuk mengevaluasi kinerja Trans Jogja dimulai

dari konsep dasarnya menjadi penting mengingat konsep dasar tersebut

merupakan dasar bagi penerapan sistem secara keseluruhan. Evaluasi kinerja dan

prasyarat implementasi Trans Jogja dengan sistem buy the servise menjadi

langkah awal sebelum melakukan perbaikan untuk meningkatkan kinerja Trans

Jogja kedepan.

Dalam agendanya, seluruh aktor yang terlibat mengadakan rapat tahunan,

yang biasanya membahas kinerja selama setahun berjalannya pelaksanaan Trans

79

Jogja. Agenda ini rutin, dan difungsikan mengetahui tolok ukur dan problematika

di setiap tahunnya.

“Rapat evaluasi pertama dilakukan di tahun 2010, untuk setelahnya kita

biasanya melakukan evaluasi setiap setahun sekali dengan waktu antara

bulan Oktober atau September.” (Wawancara dengan Etik Esti Mayati, 20

Mei 2014).

“Dalam setiap rapat evaluasi biasanya diikuti oleh UPTD Trans Jogja

sendiri dan dihadiri PT. Jogja Tugu Trans serta pemerintah daerah, sebelum

rapat digelar biasanya kita sudah mempunyai pandangan hasil survey

tentang Trans Jogja yang biasanya dilakukan oleh Pustral UGM yang mana

akan dijadikan tolak ukur, yang mana menjadi pihak independent”

(Wawancara dengan Etik Esti Mayati, 20 Mei 2014).

“Rapat evaluasi biasanya membahas tentang penegasan dan pembaharuan

kerjasama, laporan operasional per periode, laporan anggaran, dan gagasan

kebijakan serta problematika yang terjadi selama satu periode ” (Wawancara

dengan Etik Esti Mayati, 20 Mei 2014).

Rapat evaluasi ini rutin diselenggarakan, dengan harapan segala

problematika dan masalah yang terjadi selama setahun dapat menemukan solusi

terbaik, dan untuk tahun kedepannya menjadi lebih efektif dan pembaharuan ke

arah yang lebih baik untuk Trans Jogja. Akan tetapi, manfaat dari rapat evaluasi

ini terkadang kurang dirasakan karena kebijakan bersifat top-down, usulan atau

gagasan yang bersifat bottom-up memiliki respon yang cenderung lambat dan sulit

untuk mendapatkan jalan keluar yang solutif.

“Tidak sedikit kami melayangkan usulan, tentang nasib SDM, usulan

anggaran dan masih banyak lagi, akan tetapi respon dari pemerintah pusat

kurang apresiatif dalam menanggapinya, terkadang malah muncul kebijakan

baru yang mana kebijakan lama belum menemukan solusi yang tepat”

(wawancara dengan Bapak Sebta, 20 Juli 2014).

Sementara itu, di sisi lain pihak UPTD Trans Jogja menilai bahwa

permasalahan mengenai penurunan pendapatan yang dialami PT. Jogja Tugu

80

Trans lebih karena kinerja perusahaan tersebut yang memang belum optimal.

Berikut merupakan penuturan pihak UPTD Dishubkominfo DIY mengenai hal

tersebut:

“Rencana kedepannya Trans Jogja nanti ada empat operator atau multi

operator. Hal ini disebabkan karena selama ini dinilai masih terdapat

kendala yang dialami oleh PT Jogja Tugu Trans yang dirasa kurang optimal

dalam memberikan pelayanan sehingga harus dibentuk pesaing yang di

dalamnya terdapat PT Jogja Tugu Trans.” (wawancara dengan Ibu Etik Esti

Mayati, 20 Mei 2014).

Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa menurut pihak UPTD

Trans Jogja, penurunan pendapatan yang dialami PT. Jogja Tugu Trans terjadi

karena kinerja perusahaan yang memang belum optimal. Sementara itu,

perusahaan tersebut adalah satu-satunya perusahaan yang menangani kegiatan

operasional bus Trans Jogja. Oleh sebab itu, guna meningkatkan daya kompetitif

dari PT. Jogja Tugu Trans maka solusi yang diterapkan adalah penambahan

perusahaan yang akan menjadi operator bus Trans Jogja. Hal demikian diharapkan

dapat meningkatkan daya saing setiap perusahaan sebagai operator bus Trans

Jogja sehingga kinerja perusahaan lebih optimal dan kualitas pelayanan dapat

ditingkatkan.

Berikut merupakan penuturan dari pihak UPTD Trans Jogja mengenai hal

tersebut:

“Standar Operasional Prosedur sejauh ini sebenarnya sudah dipenuhi. Tapi

ada juga yang belum, terutama tentang waktu tempuh itu sering lewat ya.

Poin SOP yang lain saya rasa sudah dipenuhi. Hanya yang belum

sepenuhnya maksimal itu untuk standar kendaraan. Tapi Ada beberapa

armada yang sebenarnya memang perlu perawatan lebih. Tapi itukan dari

awal sudah disepakati menjadi bagian tanggung jawab PT. Jogja Tugu

Trans” (wawancara dengan Ibu Etik Esti Mayati, 20 Mei 2014).

81

“Terus terang untuk SOP yang paling sulit dipenuhi saat ini itu tentang

standar waktu tempuh. Tetapi sebenarnya ini memerlukan campur tangan

pemerintah untuk solusinya sebab akar masalahnya itu kan jalanan yang

semakin padat. Berbeda dengan Jakarta yang punya jalan sendiri, kita tidak

punya jalan sendiri. Jadi otomatis kalau semakin jalanan padat ya

mempengaruhi waktu tempuh bus. Akhirnya kilometer tempuh bus

berkurang, BOK berkurang, penerimaan PT Jogja Tugu Trans berkurang.”

(wawancara dengan Bapak Sebta, 20 Juli 2014).

Berdasarkan kutipan wawancara tersebut dapat diketahui bahwa

penyelenggaraan layanan Trans Jogja terkait waktu tempuh tiap bus belum

sepenuhnya dapat diimplementasikan dengan baik oleh PT. Jogja Tugu Trans.

Bahkan dalam kutipan wawancara tersebut juga dapat diketahui bahwa semakin

lama semakin sulit untuk mengimplementasikan standar waktu tempuh Trans

Jogja sebab bus Trans Jogja tidak memiliki jalur khusus. Oleh sebab itu ketika

volume kendaraan di jalanan meningkat semakin hari akan semakin membuat PT.

Jogja Tugu Trans kesulitan mencapai standar waktu tempuh. Dampaknya tidak

hanya dirasakan oleh penumpang, tetapi juga oleh PT. Jogja Tugu Trans sendiri.

Hasil rapat evaluasi pelaksanaan terbaru yang didapat bahwasanya, akan

ada penambahan armada dan pelebaran jalur koridor serta shelter. Ini

memungkinkan bahwa cakupan Trans Jogja tidak hanya mencakup kawasan kota

lagi, akan tetapi merambah daerah Bantul dan Sleman, berikut mengenai hal

tersebut:

“...Rencana kedepan, akan ada shelter nomaden, maksudnya shelter yang

menyerupai truck terbuka yang didesain seperti shelter pada umumnya.

Shelter dan koridor pun direncanakan akan diperluas tidak hanya dikota

akan tetapi merambah di daerah Bantul dan Sleman, dan pastinya harus

dibarengi dengan penambahan armada. Ini dimaksudkan karena tidak bisa

dipungkiri transportasi massal di Jogja sangat minim dan hanya Trans Jogja

ini. Dan kebijakan itu akan kami namakan New Trans Jogja ” (wawancara

dengan Ibu Etik Esti Mayati, 20 Mei 2014).

82

Berdasarkan tolok ukur teori evaluasi kebijakan William Dunn, evaluasi

dibagi menjadi 4 karakteristik antara lain fokus nilai, interdependensi fakta

nilai,orientasi masa kini dan lampau, dan dualitas nilai. Dalam pengertian fokus

nilai, dapat diartikan bahwa tujuan dan target dari kebijakan Trans Jogja. Evaluasi

terutama merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial

kebijakan atau program, dan bukan sekedar usaha mengumpulkan informasi

mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi.

“Dalam hal ini, kami dibarengi dengan operator sudah berusaha secara

optimal untuk Trans Jogja ini, tapi ya tidak bisa dipungkiri kendaraan pribadi

lebih cepat berkembang dan lebih diperhatikan oleh pemerintah dibandingkan

Trans Jogja yang difungsikan untuk transportasi massal. Secara tidak langsung

citra transportasi massal menjadi berkurang karena kemudahan dan akses

kendaraan pribadi yang lebih banyak dan mudah” (Wawancara dengan Etik Esti

Mayati, 20 Mei 2014).

“Kondisi jalan yang semakin ramai dan padat pula, ketercapaian waktu

tempuh menjadi hal yang sulit kita raih, sehingga kadang banyak complain

tentang waktu tunggu, tapi ya bagaimana lagi, Trans Jogja tidak punya jalur

sendiri, dan tidak dimungkinkan mempunyai jalur sendiri, karena jalan-jalan di

Jogja yang terbatas. (Wawancara dengan Etik Esti Mayati, 20 Mei 2014).

Interdependensi fakta nilai dimaksudkan untuk mengetahui tingkat

ketercapaian kebijakan serta hasil hasil dari kebijakan Trans Jogja. Oleh karena

itu pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi.

“ Trans Jogja ini memberikan pembaharuan bagi Yogyakarta dalam

transportasi umum, dari sistem pun berubah yang dulunya sistem setoran di Trans

Jogja sekarang ini menjadi buy the servise, sistem pemberhentian yang jelas

ditandai dengan adanya shelter. Bus pun kita buat senyaman mungkin, ditunjang

dengan AC dan tulisan tempat pemberhentian.” (Wawancara dengan Etik Esti

Mayati, 20 Mei 2014).

“Akan tetapi kami juga tidak bisa mengelak bahwa SDM kami masih

kurang, terlebih masalah utama adalah anggaran yang tidak menyesuaikan dengan

keadaan terbaru. Sehingga peraturan yang ada terkadang tidak seiring dengan

biaya yang dikeluarkan.” (wawancara dengan Bapak Sebta, 20 Juli 2014).

83

Seperti yang tercantum di teori Dunn, orientasi waktu pun diperhatikan. Ini

dimaksudkan agar ada tolok ukur dan perbandingan. Evaluasi bersifat retrospektif

dan setelah aksi-aksi dilakukan. Rekomendasi yang juga mencakup premis-premis

nilai, bersifak prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan.

“Orientasi waktu dari dulu sampai sekarang masih kami pakai buat acuan.

Karena secara tidak langsung itu menjadi tolok ukur nantinya bahwa kebijakan

Trans Jogja ini akan dibenahi dalam segi yang memang perlu dibenahi, terlebih

masalah meningkatkan minat untuk menggunakan Trans Jogja. Orientasi juga bisa

menjawab apakah kebijakan Trans Jogja berhasil ataupun tidak dalam segi

implementasinya” (Wawancara dengan Etik Esti Mayati, 20 Mei 2014).

“Orientasi yang dirasakan dari waktu ke waktu adalah peminat Trans Jogja

yang masih minim. Padahal tidak bisa dipungkiri, meskipun Trans Jogja di

subsidi, penjualan tiket tetap menjadi masukan dana bagi Trans Jogja.

Dalam sebuah kebijakan, sering ditemui tujuan ganda dan cara ganda dari

hasil yang diharapkan. Sehingga dengan fungsi dan manfaat ganda diharapkan

pelaksanaan kebijakan dapat lebih menyeluruh dan multi guna.

“Dalam hal ini, Trans Jogja mempunyai program smartcard, ini sebenarnya

adalah cara kami dalam menggaet para pelajar maupun mahasiswa agar lebih

enjoy dan mau menggunakan Trans Jogja. Dengan harga yang beda dan relatif

murah sesuai kemampuan siswa dan mahasiswa. Sistem deposit juga

diberlakukan, sehingga mereka tidak perlu membayar ketika naik Trans Jogja,

hanya menunjukkan kartu, ketika saldo habis tinggal deposit lagi. Begitu pula

seterusnya.” (Wawancara dengan Etik Esti Mayati, 20 Mei 2014).

Memang sudah seharusnya sebuah kebijakan berkembang dan di evaluasi

pelaksaan serta memberikan cara tersendiri dalam setiap waktu dan perubahannya,

sehingga selalu bermunculan gagasan dan ide pembaharuan dari sebelumnya yang

dapat menjadi inovasi dan perbaikan suatu kebijakan serta dapat menjadi jawaban

jitu dalam setiap problematikanya. Penambahan armada, perluasan koridor dan

shelter memang dituntut seiring laju perkembangan DIY yang semakin pesat dan

untuk pengoptimalan Trans Jogja.

84

4. Ketercapaian Pemecahan Masalah

Setelah hampir 7 tahun beroperasi, Trans Jogja tidak luput dari

problematika yang terjadi. Problematika ini mencakup berbagai aspek yang dibagi

menjadi dua aspek mendasar yaitu yang pertama adalah aspek internal, yang

kedua adalah aspek ekternal. Problema ini pun harus menemukan solusi dan jalan

keluar agar nantinya sebuah porblematika tidak menjadi sebuah masalah dan

perbaikan mutlak dilakukan agar Trans Jogja dapat terus berkembang.

Problematika pertama adalah aspek internal. Aspek internal sendiri adalah

aspek problematika yang terjadi di instansi itu sendiri, yaitu antara UPTD Trans

Jogja dan PT Jogja Tugu Trans, problematika internal yang dirasakan adalah

tentang landasan hukum dan sanksi yang kurang tegas dalam penegakannya.

Minimnya perawatan dari PT Tugu Trans dan monitoring dari UPTD sendiri

merupakan masalah yang harus ditanggapi dan dibenahi. Dalam peraturan, PT.

Jogja Tugu Trans selaku operator harus menaati dan komitmen terhadap standart

yang diterapkan dan peraturan yang telah disepakati secara bersama-sama, berikut

adalah tabel standart kendaraan:

85

Tabel 5. Standar Kendaraan yang Harus Dipenuhi PT JTT

No Aspek Keterangan

Exterior

1 Bodi Tanpa kerusakan, cat tidak rusak/pudar

2 Kaca Kaca pintu/jendela bersih, tidak rusak

3 Identitas Terpasang dengan tulisan jelas (nomor

kendaraan, papan trayek, tanda informasi

pengaduan)

4 Pintu Pintu utama & darurat baik, panel baik, cat tidak

rusak

5 Papan Trayek Terpasang di depan dan belakang, mudah dilihat,

dilengkapi lampu

6 Lampu Semua lampu berfungsi normal

Intertior

7 Kabin Tanpa kerusakan dan bersih

8 Jok Tanpa kerusakan, bersih, kuat, ada jok untuk

difabel

9 Handle Pegangan untuk penumpang berdiri terpasang

kuat Sumber: Dokumen kerjasama PT JTT-PemProv DIY (2013)

Sementara itu, untuk syarat umum kendaraan yang harus dipenuhi oleh PT

JTT adalah sebagai berikut:

a. Alat pemadam kebakaran api ringan berfungsi dengan baik;

b. Palu pemecah kaca;

c. Ban cadangan;

d. Alat pendingin udara (suhu udara di kabin harus berada pada temperatur

stabil yaitu 200C);

e. Kotak Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K) standar.

Dalam hal ini informasi tentang ketercapaian standar kendaraan dan syarat

umum kendaraan tidak diketemukan data yang mendukung. Dapat diindikasikan

bahwa kedua belah pihak antara UPTD dan PT. Jogja Tugu Trans tidak

86

menganggap penting dalam ketercapaian standar kelengkapan. Pelanggaran yang

dilakukan pun dirasa tumpul sanksi, padahal sudah disepakati kedua belah pihak.

“Kami selaku operator selalu berupaya untuk mengoptimalan kinerja Trans

Jogja, akan tetapi keterbatasan SDM dan anggaran yang diberikan

membatasi kami dalam hal-hal yang sudah diatur sebelumnya, dalam hal

penanganan sarana Trans Jogja itu, yang penting adalah hal yang bersifat

mendesak dan harus diperbaiki” (wawancara dengan Bapak Sebta, 20 Juli

2014).

Aspek pengawasan atau monitoring salah satunya dapat dilihat dari

kesepakatan sanksi yang diberikan pada operator apabila tidak memenuhi SPM

yang telah ditentukan. Apabila terdapat kondisi armada yang tidak memenuhi

kriteria dalam hal ini diartikan sebagai tindakan pelanggaran oleh PT. Jogja Tugu

Trans sehingga operator Trans Jogja tersebut akan dikenai sanksi. Berikut

merupakan beberapa sanksi apabila tidak mematuhi SPM terkait kendaraan:

Tabel 6. Sanksi untuk PT JTT Apabila Melanggar Standar Kendaraan

No Deskripsi Pelanggaran Sanksi

1 Bus dalam keadaan kotor Denda Rp 500.000/bus/hari

2 Peralatan penunjang

keselamatan tidak berfungsi

Denda Rp 1.000.000/bus/hari

3 Suhu udara dalam kabin lebih

dari 280 C

Kilometer tempuh bus bersangkutan

hanya dihitung 50% dari kilometer

tempuh yang dicapai

4 Identitas bus atau indentitas

awak bus tidak ditampilkan

Denda sebesar Rp 100.000 per

pelanggaran

5 Kerusakan pada perlengkapan

interior bus

Denda Rp 100.000/item

kerusakan/hari

6 Kerusakan pada pintu bus Denda sebesar Rp 1.000.000/bus Sumber: Dokumen kerjasama PT JTT-PemProv DIY (2013)

Tabel tersebut menunjukkan beberapa sanksi yang harus diterima oleh PT.

Jogja Tugu Trans apabila terdapat standar kendaraan yang tidak dipenuhi dalam

operasionalisasi bus Trans Jogja. Dapat dilihat bahwa sanksi yang diatur cukup

beragam. Mulai dari kebersihan bus, peralatan penunjang keselamatan dalam bus,

87

kelengkapan identitas bus maupun awak bus, interior bus, bahkan pintu bus juga

diatur sanksinya apabila terdapat kerusakan. Sementara sanksi yang diatur sbagian

besar merupakan sanksi berupa denda, namun adapula sanksi berupa pengurangan

kilometer tempuh yang tercatat.

Hal demikian juga dibenarkan oleh pihak PT. Jogja Tugu Trans yang

mengungkapkan bahwa terdapat hambatan dalam pemenuhan standar kendaraan.

Berikut adalah kutipan wawancara yang menunjukkan hal tersebut:

“Tidak saya pungkiri kalau memang terdapat beberapa armada yang seiring

berjalannya waktu memerlukan perawatan lebih. Tapi kan BOK tidak

kunjung disesuaikan. Jadi ya PT. Jogja Tugu Trans mau merawat dengan

baik dari mana dananya. Selama ini yang jelas kami sudah mengupayakan

semaksimal mungkin untuk perawatan agar armada tetap layak jalan.”

(wawancara dengan Bapak Sebta, 20 Juli 2014).

“Kami selalu memonitoring keadaan dan kondisi bus sebelum bus

beroperasi setiap pagi harinya. Dan kami mempunyai bus cadangan. Ini

dimaksudkan agar jumlah armada tetap sama dan tidak menganggu

perputaran trayek. Pengisian bahan bakar kami lakukan setiap malam hari

setelah bus selesai beroperasi, sehingga di pagi harinya dapat beroperasi

tepat di waktunya juga”(wawancara dengan Bapak Sebta, 20 Juli 2014).

Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa untuk standar kendaraan

dalam SPM pelayanan belum sepenuhnya mampu dipenuhi oleh PT. Jogja Tugu

Trans. Alasan mendasar dalam hal ini adalah jumlah BOK yang tidak lagi

mencukupi untuk perawatan armada bus saat ini. Sebagaimana telah disinggung

sebelumnya, pada satu sisi BOK diberikan dalam jumlah tetap dan hanya diubah

apabila terjadi perubahan harga BBM. Pada sisi lain, armada bus Trans Jogja

seiring berjalannya waktu memerlukan biaya perawatan yang lebih besar. Oleh

sebab itu, semakin hari yang terjadi adalah armada bus Trans Jogja menjadi

semakin tidak terawat dengan baik akibat keterbatasan biaya.

88

Sementara itu, beberapa denda yang harus diterima PT. Jogja Tugu Trans

apabila melanggar SPM tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 7. Sanksi untuk PT JTT Apabila Melanggar Standar Kendaraan

No Deskripsi Pelanggaran Sanksi

1 Pengemudi menaikkan/menurunkan

penumpang selain di shelter tanpa

instruksi ruang kendali utama

Denda Rp 500.000/bus/lokasi

pelanggaran

2 Bus berputar arah dari rute yang

ditentukan tanpa petunjuk ruang

kendali utama

Denda Rp

1.000.000/bus/pelanggaran

3 Melakukan operasi dan layanan di

luar waktu operasi tanpa

persetujuan Dishubkominfo

Denda Rp 2.500.000/bus;

kilometer tempuh tidak

dihitung

4 Tidak memenuhi jumlah bus

operasi sesuai kesepakatan

Denda Rp 1.000.000/bus

5 Tidak parkir di lokasi yang telah

disediakan

Denda Rp

500.000/bus/pelanggaran

6 Keterlambatan dimulainya

pelayanan operasional armada bus

tanpa alasan/ di luar kondisi darurat

Pengurangan kilometer tempuh

sebesar 1 round trip tiap

pelanggaran pada hari tersebut Sumber: Dokumen kerjasama PT JTT-PemProv DIY (2013)

Berdasarkan data pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa terdapat berbagai

jenis denda dan ketentuan pelanggaran. Ketentuan mengenai mekanisme sanksi

dan SPM yang harus dipenuhi tersebut dapat dikatakan merupakan wujud kontrol

atau pengendalian atas kinerja dari PT. Jogja Tugu Trans dalam operasionalisasi

bus Trans Jogja. Selain berkaitan dengan ketentuan sanksi atas pelanggaran SPM

yang telah diuraikan, pengawasan dalam hal ini juga dilakukan dengan bentuk

audit.

“Operator bus Trans Jogja wajib untuk diaudit setiap tahun. Audit kinerja

dilakukan setelah berakhirnya tahun anggaran oleh auditor independen.

Hasil dari audit yang dilakukan tersebut akan menjadi dokumen publik yang

nantinya bisa menjadi pandangan dan tolak ukur persepsi

publik”(Wawancara dengan Etik Esti Mayati, 20 Mei 2014).

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa pengawasan dalam

hal ini dibedakan menjadi pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan

89

internal dilakukan oleh pihak Pemerintah DIY dengan melihat kesesuaian antara

SPM yang ditentukan dengan kinerja PT. Jogja Tugu Trans dalam mengelola

operasionalisasi Trans Jogja. Sementara pengawasan eksternal dilakukan oleh

pihak auditor independen dan publik terhadap hasil audit kinerja PT. Jogja Tugu

Trans.

Permasalahan mengenai manajemen sumber daya manusia dalam PT.

Jogja Tugu Trans tersebut dalam hal ini juga dibenarkan. Berikut merupakan

keterangan dari pihak PT Jogja Tugu Trans mengenai hal tersebut:

“Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam manajemen sumber daya manusia

kami masih mengalami hambatan. Kembali lagi ini terkait dengan masalah

belum disesuaikannya BOK jadi memang ada keterbatasan anggaran. Disaat

awal kontrak karyawan, didalam kontrak jelas tertulis besaran gaji yang

akan didapat perbulannya dan gaji ini sudah diatas UMR, namun karena

kami mengalami keterbatasan dalam anggaran, maka ada gaji karyawan

yang akhirnya dipotong untuk menutupi biaya operasionalisasi armada dan

disisi lain bila dilihat pertahunnya gaji belum mengalami kenaikan dan hal

ini dimanfaatkan oleh segelintir oknum untuk menghasut karyawan yang

sebenarnya bila dilihat nilai besaran gaji karyawan sudah diatas UMR

Karyawan menuntut adanya kenaikan gaji dan sampai sekarang belum bisa

direalisasikan. Tuntutan juga datang dalam hal peningkatan status pegawai

kontrak menjadi pegawai tetap.” (wawancara dengan Bapak Sebta, 20 Juli

2014).

Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa hambatan dalam

manajemen sumber daya manusia di PT. Jogja Tugu Trans berkaitan dengan

keterbatasan anggaran yang ada. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa

PT. Jogja Tugu Trans telah mengajukan penyesuaian BOK namun belum

ditindaklanjuti. Dapat dilihat bahwa dalam hal ini PT. Jogja Tugu Trans menilai

bahwa hal demikian kemudian berdampak pula pada munculnya masalah di

bidang pengelolaan sumber daya manusia karena terbatasnya dana yang ada.Yang

kedua adalah sektor ekternal, tidak sedikit mengalami problematika, antara lain

90

dengan moda Transportasi massal yang lebih dahulu muncul, antara lain

KOPATA dan KOBUTRI. Keberadaan mereka semakin tersisihkan dengan moda

transportasi yang lebih baik dan lebih baru serta nyaman. Meskipun itu sudah

menjadi hukum alam, akan tetapi nasib dan keberadaannya harus jelas dan

diperhatikan.

“ Kami menggabungkan dan bekerjasama dengan koperasi yang lama ke

PT. Tugu Trans, sehingga awak bus dan sopir tidak kehilangan mata

pencahariannya dan dapat menjadi bagian dari Trans Jogja itu sendiri, solusi

ini kita pilih agar tidak ada yang merasa dirugikan” (wawancara dengan

Bapak Sebta, 20 Juli 2014).

Dinas Perhubungan umumnya, dengan UPTD sebagai bidangnya

berkoalisi dengan PT. Jogja Tugu Trans menjadikan komitmen problematika ini

harus mendapatkan jalan keluar terbaik tanpa merugikan satu sama lain. Solusi

menggabungkan dan bekerja sama ini lah yang diambil untuk mengatasi

keresahan dan kebimbangan koperasi dan awak-awaknya yang mana dahulu

bermata pencaharian serupa, hanya jenis transportasinya saja yang berbeda.

Sebelum problematika ini menemui jalan keluar, sempat terjadi unjuk rasa besar-

besaran terjadi di DIY dengan memblokir jalan dan bus-bus mogok berhenti

operasi.

“Banyak ditemui bus Trans Jogja yang mengemudi secara ugal-ugalan ugal-

ugalan di jalan, dan asap bus yang hitam pekat” (wawancara dengan Cipta,

penumpang Trans Jogja, 29 Juli 2014).

“Terkadang, karena jalan di Jogjakarta yang semakin padat dan macet di

jam jam kerja, pada jam-jam itu sering supir bis mengemudi secara arogan,

memang ketepatan waktu itu paling utama, akan tetapi keselamatan

penumpang adalah yang utama” (wawancara dengan Hanako, penumpang

Trans Jogja, 29 Juli 2014).

91

“Pelayanan yang diberikan kadang terkesan setengah hati, terkadang ada

yang sambil bermain hape, kadang juga kurang senyum” wawancara dengan

Efi, penumpang Trans Jogja 30 Juli 2014).

Lain hal dengan sumber daya manusianya, sarana terdahulu pun juga harus

diperhatikan, mengingat bus adalah salah satu aset transportasi itu sendiri. Bus-

bus Kopata dan Kobutri yang sudah berumur dan berdampak kurang baik bagi

lingkungan juga harus diperhatikan nasibnya. Akan tetapi UPTD Trans Jogja

memberikan sebuah solusi.

“Bus-bus seperti Kopata dan Kobutri yang sudah tidak difungsikan dan

tidak dioperasionalkan juga kita hargai, dengan dua bus Kopata dapat

menjadi satu bus Trans Jogja, kurang dan lebihnya akan kami tanggung dan

kita negoisasikan dengan atasan” (wawancara dengan Bapak Sebta, 20 Juli

2014).

Ternyata PT. Jogja Tugu Trans pun memberikan tawaran yang cukup baik

terhadap rekan koperasi, yaitu dengan mengganti bus-bus lama dengan yang baru.

Selain keberadaannya yang sudah tidak layak jalan, asap polusi yang dapat

mengakibatkan dampak yang tidak baik bagi lingkungan, setidaknya bus-bus itu

dapat berharga dan menjadi berguna kembali, meskipun menjadi bentuk yang baru

dan berbeda. Sekarang meskipun masih ada bus-bus KOPATA dan KOBUTRI

yang beroperasi, namun skalanya hanya sedikit sekali yang masih beroperasi.

Kebanyakan sudah beralih fungsi menjadi bus pariwisata dan angkutan khusus

kota.

5. Faktor Pendukung Pelaksanaan Trans Jogja

Selain beberapa hal yang disampaikan diatas, terdapat faktor pendukung

pelaksanaan Trans Jogja. Faktor pendukung diantaranya:

92

a. Adanya tempat menyampaikan aspirasi dan keluhan masyarakat yang

ditampung lewat costumer center, penyampaian dapat melalui telepon atau

datang langsung ke Dishubkimfo UPTD DIY.

b. Dukungan dan desakan opini publik masyarakat serta konsumen Trans Jogja

akan kemajuan dan keberlangsungan moda transportasi massal ini sangat

besar, terlebih Trans Jogja menjadi transportasi massal unggulan DIY.

6. Faktor Penghambat PelaksanaanTrans Jogja

Meskipun penyelenggaraan evaluasi kebijakan Trans Jogja berjalan

dengan baik namun tentunya terdapat faktor penghambat diantaranya:

a. Kurang tanggapnya tindakan instansi baik UPTD Trans Jogja ataupun PT.

Jogja Tugu Trans akan keluhan dan aspirasi dari masyarakat dan konsumen

bagi keberlangsungan Trans Jogja.

b. Mekanisme pengambilan keputusan yang relatif lama, karena

penyelenggaraan Trans Jogja merupakan kegiatan yang sifatnya terpadu

sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan harus

berkoordinasi dengan baik dalam mengambil suatu langkah kebijakan.

c. Dasar hukum dan kebijakan yang penegakannya belum sepenuhnya

diimplementasikan.

d. Load factor yang masih rendah.

e. Problematika internal dan ekternal di kubu Trans Jogja yang harus segera

disikapi dan ditemukan solusinya.

93

C. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan, seiring

berjalannya Trans Jogja yang sudah menginjak tahun ke 6, selalu mengalami

perkembangan dan pasang surutnya di dalamnya. Berbagai perubahan dan

percobaan kebijakan selalu dilakukan untuk menunjang dan mengoptimalkan

Trans Jogja itu sendiri. Derbyshire (dalam Samodra Wibawa, 1994: 49)

memberikan batasan terhadap policy sebagai sekumpulan rencana kegiatan yang

dimaksudkan untuk memberikan efek perbaikan terhadap kondisi-kondisi sosial

dan ekonomi. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa evaluasi belum sepenuhnya

mencapai tujuan yang diharapkan. Hal demikian dapat dilihat dari beberapa hal.

Misalnya adalah load factor Trans Jogja pada tahun 2011 sebagaimana telah

dipaparkan yang menunjukkan angka rata-rata tertinggi hanya 33,2% dan angka

rata-rata terendah adalah 12,2%. Angka load factor tersebut menunjukkan bahwa

bus Trans Jogja rata-rata hanya terisi sepertiga bagian untuk yang paling tinggi.

Sehingga dapat dikatakan minat orang untuk menggunakan jasa Trans Jogja masih

rendah. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa Trans Jogja belum menjadi moda

transportasi publik yang digemari oleh masyarakat luas. Kondisi demikian

menunjukkan bahwa keberadaan Trans Jogja belum sepenuhnya mampu menarik

masyarakat untuk menggunakannya sebagai transportasi publik utama atau

pilihan.

Aspek lain yang menunjukkan bahwa tujuan penyelenggaraan Trans Jogja

dari segi kinerja layanan belum tercapai adalah pada penilaian kepuasan

pelanggan terhadap kinerja layanan Trans Jogja yang dilakukan oleh tim peneliti

94

Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika Provinsi DIY tahun 2012. Pada

penelitian tersebut digunakan 16 indikator kualitas pelayanan Trans Jogja yang di

antaranya berkaitan dengan kenyamanan, ketepatan waktu, keselamatan,

pelayanan awak kendaraan, tarif, kebersihan, dan kemudahan atau jangkauan

pelayanan. Dari 16 indikator yang digunakan pada penelitian tersebut tidak

terdapat satupun indikator yang nilainya memenuhi standar (Dishubkominfo,

2012). Artinya dalam hal ini kinerja layanan Trans Jogja masih belum dinilai baik

oleh pengguna layanan.

Untuk memberikan perbaikan dalam berbagai aspek di Trans Jogja, maka

diperlukan adanya evaluasi, dan evaluasi ini dapat diperoleh dari tinjauan

pelaksanaan per periode dan pandangan saran pihak-pihak yang bersangkutan. Hal

ini diperlukan agar dalam pelaksanaan Trans Jogja disetiap tahunnya

permasalahan yang sering muncul dapat dikurangi bahkan diminimalisir

semaksimal mungkin. Berikut merupakan evaluasi yang dilakukan penulis dengan

menggunakan Model Evalusi William Dunn pada tahun 1998.

1. Fokus nilai

Evaluasi berbeda dengan pemantauan, evaluasi lebih dipusatkan pada

penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan program.

Evaluasi terutama merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan

sosial kebijakan atau program, dan bukan sekedar usaha mengumpulkan informasi

mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi. Karena

ketepatan tujuan dan sasaran kebijakan dapat selalu dipertanyakan, evaluasi

mencakup prosedur untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu sendiri.

95

Menurut Briant & White (dalam Samodra Wibawa, 1994:63) evaluasi kebijakan

pada dasarnya harus bisa menjelaskan sejauh mana kebijakan publik dan

implementasinya mendekati tujuan.

Dalam faktanya, setiap kebijakan yang dikeluarkan dalam Trans Jogja

selalu mempunyai tujuan dan target yang jelas, dengan mengedepankan

kepentingan umum, terlebih dengan evaluasi kebijakan yang berguna untuk

mengevaluasi dan membentuk kebijakan baru yang lebih tepat guna. Namun, yang

cukup disesalkan adalah Bus Trans Jogja ini adalah kebijakan yang mendorong

masyarakat untuk menggunakan angkutan umum, akan tetapi kebijakan ini tidak

dibarengi dengan kebijakan managemen kebutuhan lalu lintas untuk menarik

pengguna kendaraan pribadi beralih kepada bus Trans Jogja. Sebagus apapun

transportasi massal yang dihadirkan, akan selalu kalah pamor dengan

komsumtifitas kendaraan pribadi baik roda dua ataupun roda empat yang tidak ada

batasnya, dan ini dari dahulu sampai sekarang masih belum mendapatkan solusi

kongkrit, tidak hanya di DIY, akan tetapi di seluruh penjuru Indonesia.

2. Interdependensi fakta nilai

Tuntutan evaluasi tergantung baik fakta maupun nilai. Untuk menyatakan

bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang

tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan

berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat; untuk

menyatakan demikian, harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan

secara aktual merupakan konsukensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk

memecahkan permasalahan tertentu. Oleh karena itu pemantauan merupakan

96

prasyarat bagi evaluasi. Evaluasi pelaksanaan bertujuan untuk memberikan

informasi kepada pembuat kebijakan tentang bagaimana program-program mereka

berlangsung. Serta menunjukkan faktor-faktor apa saja yang dapat dimanipulasi

agar diperoleh pencapaian hasil yang lebih baik, untuk kemudian memberikan

alternatif kebijakan baru atau sekedar cara implementasi lain. (Samodra Wibawa,

1994: 13-14)

Dalam hal ini Trans Jogja hadir sebagai inovasi terbaru dalah hal

pertransportasian massal di DIY, dari terdahulunya seperti Colt Kampus,

KOPATA, KOBUTRI, ASPADA. Masa Colt kampus tahun 1975-1979 dan masa

KOPATA, KOBUTRI, ASPADA pada tahun 1979-1998. Bus-bus tersebut

dahulunya masih menggunakan sistem penarikan setoran. Sistem perjalanan

dibagi menjadi model jalur, tapi dari segi operasionalnya belum dipatuhi secara

maksimal, dalam artian jalur dapat berpindah atau menjadi jalur bus yang ramai

armada apabila banyak konsumen dalam satu jalur itu. Terdapat dua sampai tiga

petugas dalam satu bus, yaitu sopir bus sebagai pengendali bus, serta dua orang

menjadi kondektur yang bertugas menjadi pemberi simbol ke supir bus apabila

ada penumpang yang mau masuk maupun turun, bertugas menjadi penarik biaya

kepada penumpang. Penjual makanan, minuman bahkan pengamen diperbolehkan

masuk dan menjajakan apa yang akan dijualnya.

Dalam hal ini, bus-bus dikelola oleh sebuah wadah koperasi bersama.

Sarana dan prasarana yang digunakan masih berupa terminal dan pemberhentian

sesuai tujuan penumpang. Pemberhentian biasanya tidak pasti, bisa di terminal

besar, pemberhentian bayangan, dan sepanjang jalan sesuai para calon penumpang

97

menunggu datangnya bus. Setelah hadirnya Trans Jogja, transportasi ini cukup

mencuri perhatian yang cukup banyak. Transportasi yang dihadirkan cukup murah

dan nyaman. Dengan inovasi dari bus sebelum-sebelumnya, Trans Jogja dengan

sistem buy the servise mampu memberikan perubahan pertransportasian dalam

kota di DIY. Tempat tunggu yang dihadirkan pun jelas, diberikan titik-titik point

shelter yang difungsikan para calon penumpang untuk menunggu bus datang.

Sarana dan prasarana dalam bus pun ber-AC , tempat duduk dan penyangga untuk

yang berdiri. Penjual dan pengamen tidak diperbolehkan masuk kedalam shelter

maupun bus. Terdapat juga dua petugas dalam bus, yaitu supir bus sebagai

pengemudi dan kondektur sebagai petugas yang memberitahu tujuan yang sedang

dilewati. Jalur bus pun jelas, tidak mungkin ada pergantian karena sudah diatur

berdasarkan jalur koridor yang ada.

Sambutan Trans Jogja sangat baik, dari masyarakat daerah, pelajar,

mahasiswa maupun luar daerah terlebih wisatawan. Terlebih dengan DIY yang

menjadi kota tujuan wisata, aspek yang paling mendukung adalah segi

transportasi. Hadirnya Trans Jogja juga memberikan icon transportasi massal di

DIY. Wajah baru jalanan pun tampak lebih rapi dan teratur.

Permasalahan yang muncul pastilah dari transportasi terdahulu, baik

internal maupun ekternal. Sempat terjadi demo unjuk rasa tentang nasib dan

keberlanjutan setelah tergusur adanya Trans Jogja. Akan tetapi dengan tanggap

Dinas Perhubungan beserta pemerintah daerah memberikan solusi yang cukup

memberikan angin segar bagi nasib transportasi terdahulu, terlebih dengan

SDMnya. Mereka merangkul SDM terdahulu bagi yang mau bergabung dengan

98

Trans Jogja yang nantinya akan menjadi satu melebur dengan operator yang

ditunjuk, yaitu PT. Jogja Tugu Trans. Bus-bus yang terdahulu pun dihargai,

apabila mau menukarkan atau menjual, dua bus Kopata mendapatkan satu bus

Trans Jogja. Akan tetapi bus tetap dipegang oleh operator karena sudah menjadi

tanggung jawabnya, hanya saja royalty dapat diterima sesuai dengan kesepakatan.

Dengan solusi ini dirasa cukup mampu menjawab dari problematika yang terjadi

selama ini.

Permasalahan internal pun dirasa cukup rumit. Penegakan sanksi atas

pelanggaran yang diterapkan kepada operator pun dipandang sebelah mata. Semua

pihak mengelak dan mempunyai alasan masing-masing baik Dinas Perhubungan

maupun PT. Jogja Tugu Trans sendiri. PT. Jogja Tugu Trans berdalih bahwa

anggaran sangat terbatas, sehingga terkadang biaya habis dioperasional dan

pemeliharaan bus, bahkan terkadang pegawai mendapatkan pemotongan gaji.

Kalaupun sanksi ditegakkan, peraturan yang ditetapkan dianggap tidak

kondisional dengan lingkungan, seperti peraturan ketepatan waktu adalah

peraturan yang dianggap sangat sulit diimplementasikan terlebih Trans Jogja tidak

mempunyai jalur khusus. Dengan keadaan itu PT. Jogja Tugu Trans sebagai

operator tidak bisa berbuat banyak. Dinas Perhubungan pun sepertinya cukup tau

dengan keadaan dan peraturan sanksi yang telah dibuat, inovasi pun dirasa lambat

dalam menanggapi kondisi yang dihadapi.

Dalam kebijakan, hal yang paling sering terabaikan adalah pengontrolan

dan pemantauan. Trans Jogja ini yang sudah menginjak umur ke tujuh, dirasa

memiliki control dan pantauan yang kurang. Sangat disayangkan sebenarnya,

99

ketika sebuah kebijakan andalan akan tetapi pengontrolan dan optimalisasinya

tidak berjalan beriringan. Tidak jarang ditemui shelter dan bus yang ditemukan

kerusakan, baik sarana maupun prasarananya. Bus yang mempunyai asap pekat,

pintu yang sudah rusak, ac yang tidak maksimal dari fungsinya. Seharusnya hal

seperti ini menjadi perhatian lebih bagi operator maupun Dinas Perhubungan

khususnya, karena kembali lagi Trans Jogja menonjolkan pelayanan dan

kenyamanannya. Evaluasi pun selalu diadakan setiap tahunnya membahas agenda

tahunan, akan tetapi perubahan yang terjadi ataupun kebijakan yang keluar tidak

semaksimal dan memberi jalan keluar yang cukup efisien.

3. Orientasi masa kini dan masa lampau

Tuntutan evaluatif berbeda dengan tuntutan advokatif, diarahkan pada

hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil di masa depan. Evaluasi bersifat

retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan. Rekomendasi yang juga mencakup

premis-premis nilai, bersifak prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan.

Dari waktu ke waktu Trans Jogja mengalami pasang surut. Tentunya hasil

yang sekarang diraih adalah pelajaran dan hasil dari evaluasi dari kebijakan serta

transportasi sebelumnya. Dalam hal ini Trans Jogja mengalami kemajuan, terlebih

dari jumlah armada dan shelter yang semakin bertambah, terlebih ada wacana

bahwa koridor akan diperluas jangkauannya hingga Sleman dan dan Bantul. Ini

memang harus dilakukan karena tidak bisa dipungkiri jumlah angka

komsumtifitas semakin hari semakin bertambah dan harus diimbangi dengan

sarana dan prasarana yang ada. Cakupan dan jangkauan harus di tempatkan di

100

tempat-tempat strategis agar orang yang ingin mengakses Trans Jogja lebih dekat

dan mudah.

Meskipun load factor, belum memenuhi sasaran, terlebih antara shelter

satu dengan yang lainnya tidak sama, karena tidak bisa dipungkiri titik keramaian

tidak semuanya sama. Load factor bisa menjadi acuan dan gambaran lapangan

bahwa perlu dibuat koridor koridor pendek maupun panjang sehingga masyarakat

semakin tertarik menggunakan Trans Jogja. Perlu ditambah atau tidak suatu

koridor atau armada dalam satu jalur juga bisa dipertimbangkan dari catatan load

factor pada tahun tahun sebelumnya. Inilah perlu dilakukan evaluasi mendalam,

sehingga pengoptimalan dalam sebuah koridor dapat dimaksimalkan.

4. Dualitas nilai

Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda,

karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi sama

dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada (misalnya,

kesehatan) dapat dianggap sebagai intrinsik (diperlukan bagi dirinya) ataupun

ekstrinsik (diperlukan karena hal itu mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan

lain). Nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hierarki yang merefleksikan

kepentingan relatif dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran. Di dalam

mengidentifikasi tujuan-tujuan evaluasi yang berbeda-beda dapat dilihat

bagaimana suatu program dinilai gagal oleh suatu perangkat atau instrumen

kriteria, sementara dipihak lain dianggap berhasil oleh kriteria lainnya

(Suharyanto, dalam Deka Budianto, 2006 :15).

101

Dalam hal ini, suatu evaluasi dapat dikatakan menjadi cara munculnya

suatu kebijakan baru, ataupun menjadi cara inovasi dari kebijakan yang terdahulu

dengan cara mencari kekurangannya dan memberikan solusi yang dirasa menjadi

jalan keluar terbaik dari sebuah problematika yang ada. Trans Jogja sudah

menjadi primadona dan icon transportasi massal di Daerah Istimewa Yogyakarta,

dalam segi transportasi massalnya. Berbagai kelebihan dan kekurangannya

terkandung didalamnya. Dalam setiap kebijakannya pun selalu memiliki fungsi

dan tujuan ganda, sehingga dapat menjadi solusi kongkrit dan menjadi plan

second ketika sebuah kebijakan kurang berhasil diimplementasikan. Contohnya

dalam kebijakan Trans Jogja memberlakukan sistem card, dalam berbagai

pandangan konsep ini dianggap baik karena dilain sisi pelajar (dengan tiket

reguler pelajar), dapat membayar tiket lebih murah yaitu Rp. 2000,- dan dapat

mengisi saldo. Dalam hal ini mempunyai fungsi dan tujuan ganda, cara ini

dimaksudkan untuk menarik para pelajar beralih dari memakai kendaraan pribadi

menjadi menggunakan bus, serta harga lebih murah agar pelajar lebih mudah

untuk menjangkaunya dari segi ekonomisnya.