bab iv hasil dan pembahasan 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097015_4_4179.pdf30...

21
29 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Ikan Lele Sangkuriang 4.1.1 Pertambahan Bobot Lele Sangkuriang Selama penelitian, bobot dan panjang benih lele sangkuriang mengalami peningkatan untuk setiap kepadatan. Pada saat penebaran bobot rata-rata tiap ekor benih pada seluruh perlakuan adalah 3,07 gram, setelah di pelihara selama 30 hari bertambah menjadi 7,02 gram/ekor, dengan pertambahan berat 3,95 gram/ekor, sehingga pertambahan bobot rata-rata harian benih lele sangkuriang sebesar 0,13 gram/ekor. sehingga laju pertumbuhan spesifiknya sebesar 2,77 % per hari. Terjadi pertumbuhan karena terdapat perubahan ukuran ikan dalam berat, panjang, maupun volume seiring dengan bertambahnya waktu (Mudjiman 1998). Effendie 1997, menjelaskan pertumbuhan ikan terjadi apabila terdapat kelebihan input energi dan protein (asam amino) yang berasal dari makanan. Bahan yang berasal dari pakan akan digunakan oleh tubuh ikan untuk metabolisme dasar, pergerakan, produksi organ seksual, perawatan bagian-bagian tubuh atau mengganti sel-sel yang sudah rusak. Mudjiman 1998, menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan dapat digolongkan menjadi dua yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berhubungan dengan ikan itu sendiri seperti umur, dan sifat genetik ikan yang meliputi keturunan, kemampuan untuk memanfaatkan makanan dan ketahanan terhadap penyakit. Faktor eksternal merupakan faktor yang berkaitan dengan lingkungan tempat hidup ikan yang meliputi sifat fisika dan kimia air, ruang gerak dan ketersediaan makanan dari segi kualitas dan kuantitas (Huet 1971).

Upload: builien

Post on 02-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

29

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pertumbuhan Ikan Lele Sangkuriang

4.1.1 Pertambahan Bobot Lele Sangkuriang

Selama penelitian, bobot dan panjang benih lele sangkuriang mengalami

peningkatan untuk setiap kepadatan. Pada saat penebaran bobot rata-rata tiap ekor

benih pada seluruh perlakuan adalah 3,07 gram, setelah di pelihara selama 30 hari

bertambah menjadi 7,02 gram/ekor, dengan pertambahan berat 3,95 gram/ekor,

sehingga pertambahan bobot rata-rata harian benih lele sangkuriang sebesar

0,13 gram/ekor. sehingga laju pertumbuhan spesifiknya sebesar 2,77 % per hari.

Terjadi pertumbuhan karena terdapat perubahan ukuran ikan dalam berat, panjang,

maupun volume seiring dengan bertambahnya waktu (Mudjiman 1998). Effendie

1997, menjelaskan pertumbuhan ikan terjadi apabila terdapat kelebihan input

energi dan protein (asam amino) yang berasal dari makanan. Bahan yang berasal

dari pakan akan digunakan oleh tubuh ikan untuk metabolisme dasar, pergerakan,

produksi organ seksual, perawatan bagian-bagian tubuh atau mengganti sel-sel

yang sudah rusak.

Mudjiman 1998, menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan ikan dapat digolongkan menjadi dua yaitu faktor internal dan

eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berhubungan dengan ikan itu

sendiri seperti umur, dan sifat genetik ikan yang meliputi keturunan, kemampuan

untuk memanfaatkan makanan dan ketahanan terhadap penyakit. Faktor eksternal

merupakan faktor yang berkaitan dengan lingkungan tempat hidup ikan yang

meliputi sifat fisika dan kimia air, ruang gerak dan ketersediaan makanan dari segi

kualitas dan kuantitas (Huet 1971).

30

Pertumbuhan benih lele sangkuriang pada setiap perlakuan di awal

penelitian belum menunjukkan perbedaan yang mencolok, hal ini terjadi karena

benih lele sangkuriang masih dalam proses adaptasi dengan lingkungan, walaupun

pakan telah tersedia dalam jumlah yang cukup baik untuk mendukung

pertumbuhan benih lele sangkuriang. Pertumbuhan benih lele sangkuriang terjadi

karena pakan yang dikonsumsi mengandung protein sebesar 35 % dan asam

amino essensial yang mencukupi bagi ikan. Lovell 1988 mengemukakan bahwa

terjadinya penambahan bobot tubuh ikan menunjukkan bahwa kandungan energi

dalam pakan yang dikonsumsi ikan melebihi kebutuhan energi untuk

pemeliharaan tubuh dan aktivitas lainnya.

Kualitas pakan yang digunakan sangat mempengaruhi pertumbuhan benih

lele Sangkuriang, hal ini berhubungan dengan kebutuhan nutrisi ikan lele yang

meliputi protein, karbohidrat, lemak, serat, vitamin dan mineral. Protein

merupakan komponen pertama untuk pertumbuhan ikan yaitu sebagai sumber

energi dan untuk perbaikan jaringan tubuh yang rusak. Mudjiman 1984

menyatakan bahwa protein sangat diperlukan oleh tubuh ikan baik untuk

menghasilkan tenaga maupun untuk pertumbuhan. Pada umumnya ikan lele

membutuhkan pakan dengan kandungan protein antara 28% - 35%. Pakan yang

diberikan selama pemeliharaan berupa pellet terapung dengan komposisi protein

35%. Oleh karena itu apabila dilihat dari tingkat kebutuhan nutrisi benih lele

sangkuriang selama pemeliharaan sudah memenuhi syarat.

Hasil penelitian menunjukkan pertambahan bobot per ekor benih lele

sangkuriang berbeda pada setiap perlakuan selama 30 hari penelitian. Rata-rata

pertambahan bobot benih lele sangkuriang terendah diperoleh pada padat tebar

150 ekor/m2 dengan sistem akuaponik (perlakuan E) sebesar 2,01 gram, dan rata-

rata pertambahan yang tertinggi terdapat pada padat tebar 50 ekor/m2 dengan

sistem akuaponik (perlakuan A) sebesar 3,09 gram (Gambar 5).

31

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

8.00

9.00

0 1 2 3 4 5 6

Bo

bo

t (g

ram

)

Pengamatan (Minggu ke-)

50 DK

50 TK

100 DK

100 TK

150 DK

150 TK

Gambar 5. Grafik Rata-rata Pertambahan Bobot Lele Sangkuriang

Selama Penelitian

Pada grafik dapat dilihat bahwa benih lele sangkuriang memiliki bobot

yang sama pada awal penelitian. Selama 30 hari penelitian benih lele sangkuriang

pada seluruh perlakuan mengalami pertambahan bobot, dan terdapat hubungan

antara jumlah kepadatan benih dengan pertambahan bobotnya. Pada padat tebar

yang rendah pertambahan bobot lebih tinggi, bila dibandingkan dengan padat

tebar tinggi. Rendahnya pertumbuhan lele sangkuriang pada padat penebaran yang

tinggi disebabkan adanya aktifitas benih lele sangkuriang dalam memperebutkan

ruang dan pakan.

Benih lele sangkuriang pada padat penebaran yang lebih rendah biasanya

mampu memanfaatkan pakan secara lebih efisien dibandingkan dengan benih lele

sangkuriang pada padat penebaran yang lebih tinggi, selain itu rendahnya

pertambahan bobot disebabkan oleh kualitas air. Purnama 2003, penurunan

kualitas air yang terjadi akibat peningkatan padat penebaran berpengaruh terhadap

proses metabolisme di dalam tubuh ikan lele untuk mencerna makanan. Kualitas

air pada media pemeliharaan yang lebih baik proses metabolisme didalam tubuh

ikan lele akan semakin baik sehingga dapat meningakatkan nilai efisiensi pakan.

Selain itu, energi yang diperoleh dari makanan dengan padat tebar yang tinggi

lebih banyak digunakan untuk bergerak dalam persaingan makanan dan ruang

tempat hidup sehingga efisiensi pakan yang didapatkan rendah.

32

Pertumbuhan ikan sangat dipengaruhi oleh kualitas air dan pakan yang

diberikan. Faktor kualitas air yang harus diperhatikan adalah oksigen terlarut,

suhu, pH, amoniak, dan lain-lain. Penurunan kualitas air dapat mengakibatkan

kematian, pertumbuhan terhambat, timbulnya hama penyakit, dan rasio konversi

pakan (Gustav 1998 ). Oksigen merupakan parameter yang sangat essensial bagi

fungsi metabolisme termasuk pencernaan dan asimilasi makanan serta

pertumbuhan. Kebutuhan oksigen ikan sesuai dengan spesies, umur, tingkat

kematangan, dan ukurannya. Pada kegiatan budidaya, optimasi kandungan

oksigen terlarut pada media budidaya perlu dilakukan karena secara langsung

dapat meningkatkan produksi dan efisiensi pakan. Adapun nilai optimum

kandungan oksigen terlarut dalam budidaya lele sangkuriang adalah lebih besar

dari 4 mg/l (SNI 2000).

Selain oksigen, suhu pada media pemeliharaan sangat berpengaruh

terhadap pertumbuhan benih lele sangkuriang. Suhu yang optimum akan

berpengaruh terhadap kinerja enzim-enzim pencernaan dan metabolisme yang

efektif. Konsumsi pakan yang tinggi disertai dengan proses pencernaan dan

metabolisme yang efektif akan menghasilkan energi yang optimal untuk

pertumbuhan dan reproduksi. Lesmana 2002 menyatakan bahwa pada suhu rendah

kemampuan ikan untuk mengambil oksigen menjadi rendah hal ini disebabkan

oleh menurunnya detak jantung. Pengaruh lain adalah terganggunya proses

osmoregulasi. Penurunan suhu yang mendadak akan mengakibatkan terjadinya

degradasi sel darah merah sehingga proses metabolisme terganggu, akibatnya

aktivitas lele Sangkuriang menjadi rendah dan nafsu makan berkurang, sehingga

akan mengakibatkan pertumbuhan menjadi lambat. Sebaliknya, jika suhu

meningkat tinggi akan menyebabkan ikan bergerak aktif, tidak berhenti makan,

karena proses metabolisme berlangsung cepat, hal ini berakibat kotoran menjadi

lebih banyak. Kotoran yang banyak akan menyebabkan kualitas air disekitarnya

menjadi buruk. Pada kondisi kualitas air rendah kebutuhan oksigen meningkat,

tetapi ketersediaan oksigen air rendah sehingga ikan akan kekurangan oksigen

dalam darah. Akibatnya ikan menjadi stress, tidak ada keseimbangan, dan fungsi

sistem sarafnya menurun.

33

Hasil analisis statistik menunjukkan pertumbuhan benih lele sangkuriang

sangat dipengaruhi oleh padat tebar. Pada kepadatan 50 dan 100 ekor/m2

menghasilkan pertumbuhan ikan yang paling tinggi yaitu 3,09 gram dan 2,64

gram. Sedangkan pada padat tebar 150 ekor/m2 pertumbuhannya rendah sebesar

2,01 gram.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa padat penebaran

berpengaruh terhadap pertumbuhan benih lele sangkuriang, sedangkan pemberian

kangkung tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan benih lele sangkuriang,

terlihat pada tabel analisis sidik ragam (Lampiran 4).

Tabel 6. Rata-rata pertumbuhan Benih Lele Sangkuriang

Padat Tebar (ekor/m2) Bobot (gram)

50 3.09a

100 2.64a

150 2.01b

Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak

berbeda nyata pada taraf 5 %.

Hasil uji jarak berganda Duncan (Tabel 5) padat penebaran benih

150 ekor/m2 menghasilkan pertumbuhan benih lele sangkuriang terendah yaitu

2,01 gram dibanding padat penebaran 100 ekor/m2 dan 50 ekor/m

2. Padat

penebaran 50 ekor/m2 dan 100 ekor/m

2 menghasilkan rata-rata pertumbuhan benih

lele sangkuriang yang tidak berbeda nyata. Di dalam sistem budidaya intensif,

efisiensi tempat budidaya adalah pertimbangan yang sangat penting, oleh sebab

itu, padat penebaran yang lebih tinggi adalah lebih baik dibanding padat

penebaran yang lebih rendah. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa

padat penebaran 100 ekor/m2 adalah padat penebaran yang maksimal.

Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Shafrudin dkk 2006, yang

menggunakan benih lele dumbo (Clarias sp.) berumur 12 hari dengan bobot rata-

rata antara 0,046±0,006 gram dan panjang antara 1,7±0.9 cm dipelihara selama

28 hari dengan kepadatan 400 ekor/m2, 800 ekor/m

2, 1200 ekor/m

2. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa benih ikan mengalami peningkatan ukuran berat

(1,35 gram) dan panjang (5,1cm). Nilai rata-rata pertumbuhan dan produksi harian

34

0123456789

10

0 1 2 3 4 5 6

Pan

jan

g ik

an (

cm)

Pengamatan (Minggu Ke-)

Padat tebar 50 DK

Padat tebar 50 TK

Padat tebar 100 DK

Padat tebar 100 TK

Padat tebar 150 DK

Padat tebar 150 TK

masing-masing berkisar 10,47 – 11,48% dan 2,49 – 3,54 gr/hari. Hal ini

menunjukkan bahwa pertumbuhan lele Sangkuriang yang dipelihara dalam sistem

akuaponik lebih cepat.

4.1.2 Pertambahan Panjang Lele Sangkuriang

Pengukuran terhadap panjang benih lele sangkuriang selama penelitian

menunjukkan pertambahan panjang yang berbeda tiap perlakuan. Pada padat

penebaran 50 ekor dan 100 ekor/m2 menghasilkan pertambahan panjang yang

lebih besar dibandingkan dengan pada penebaran 150 ekor/m2. Pertambahan

panjang rata-rata ikan lele ditampilkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Grafik pertambahan panjang lele sangkuriang selama penelitian

Berdasarkan gambar 6 karakteristik pertambahan panjang benih lele

sangkuriang berbeda di setiap perlakuan. Pada padat penebaran yang rendah

menghasilkan pertambahan panjang benih lele sangkuriang yang tinggi,

sedangkan padat penebaran tinggi menghasilkan pertambahan panjang yang

rendah. Selain itu terdapat pengaruh media pemeliharaan dengan menggunakan

kangkung air (akuaponik) terhadap pertambahan panjang benih lele sangkuriang,

hal ini terlihat pada padat penebaran 50 ekor/m2 dengan sistem akuaponik

memiliki pertambahan panjang benih lele sangkuriang yang lebih besar

dibandingkan dengan pertambahan panjang benih lele Sangkuriang yang

dipelihara pada media tanpa sistem akuaponik.

35

Berdasarkan hasil sidik ragam pertambahan panjang benih lele

sangkuriang terendah terdapat pada padat penebaran 150 ekor/m2 yaitu sebesar

1,73 cm dibandingkan pada padat tebar 50 dan 100 ekor/m2 . Padat penebaran

50 dan 100 ekor/m2 menghasilkan nilai pertambahan panjang yang tidak berbeda

nyata, oleh karena itu dalam konsep intensifikasi budidaya maka padat tebar

100 ekor/m2 yang diambil karena lebih menguntungkan.

Tabel 7. Rata-rata pertambahan panjang benih lele sangkuriang

selama penelitian

Padat Tebar (ekor/m2)

Rata-rata

Pertambahan Panjang (cm)

50 2,72 a

100 2,51 a

150 1,73 b

Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak

berbeda nyata pada taraf 5 %

4.3 Pertumbuhan Tanaman Kangkung Air

Pertumbuhan tanaman kangkung air yang dibudidayakan pada media

pemeliharaan benih lele sangkuriang dengan media keranjang plastik meliputi

panjang tanaman, bobot tanaman, dan jumlah daun. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa pertumbuhan tanaman kangkung selama penelitian semakin meningkat, hal

ini terbukti dengan adanya pertambahan bobot yang disebabkan terjadinya

pertambahan panjang batang, serta pertambahan banyaknya daun dan akar.

Pertumbuhan tanaman kangkung ini berkorelasi dengan jumlah padat tebar lele,

pertambahan bobot kangkung tertinggi pada kepadatan lele sangkuriang

100 ekor/m2, tetapi pertumbuhan kangkung mengalami penurunan pada kepadatan

150 ekor/m2. Bertambahnya bobot kangkung pada padat penebaran lele

100 ekor/m2 diduga akibat ketersediaan nutrien dalam air yang berasal dari pakan

ikan yang tidak dimanfaatkan dan sisa proses metabolisme benih lele sangkuriang

optimum untuk pertumbuhan kangkung.

36

Hasil analisis regresi untuk melihat hubungan antara padat penebaran

benih lele (X) dengan bobot kangkung (Y) menunjukkan hubungan yang bersifat

kuadratik yang mengikuti persamaan Y=36,72+0,385x-002x2 (Gambar 7).

Gambar 7. Hubungan antara padat penebaran dengan

Bobot Kangkung

Berdasarkan analisis regresi, penambahan bobot kangkung dipengaruhi

oleh padat penebaran lele sangkuriang sebesar 80,32%. Berdasarkan persamaan

regresi tersebut dapat dihitung padat tebar optimum yang menghasilkan bobot

kangkung tertinggi (Lampiran 10). Nilai padat tebar optimum adalah 96 ekor /m2

serta bobot maksimum kangkung 58,25 gram.

Padat penebaran optimum benih lele sangkuriang adalah 96 ekor/m2,

dengan bobot kangkung air maksimum adalah 58,25 gram, tingginya

pertumbuhan kangkung pada padat tebar 96 ekor/m2 diduga karena tersedianya

nutrien utama yaitu kandungan nitrat dan posfat dalam air. Nitrat (NO3)

merupakan bentuk utama nitrogen di perairan dan merupakan nutrien utama bagi

pertumbuhan tanaman. Nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil

(Bahari, 2006). Hasil penelitian, kadar nitrat didalam media pemeliharaan

berfluktuasi, kadar nitrat terendah sebesar 18 mg/L terdapat pada media

pemeliharaan lele dengan kangkung (sistem akuaponik) sedangkan kadar nitrat

pada media tanpa pemberian kangkung air kandungannya tinggi yaitu sebesar

40 mg/L (Kontrol) Gambar 8.

y = -0.002x2 + 0.3852x + 36.72 R² = 0.8032

47

48

49

50

51

52

53

54

55

56

57

58

0 50 100 150 200

Bo

bo

t K

angk

un

g (g

ram

)

Padat Penebaran (ekor/m2)

37

Gambar 8. Grafik Konsentrasi Nitrat Selama Penelitian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar nitrat berfluktuasi sesuai

dengan perlakuan, pada sistem akuaponik kadar nitrat mengalami penurunan pada

beberapa kali pengukuran, hal ini disebabkan adanya proses pemanfaatan nitrat

oleh tanaman kangkung air pada media budidaya. Sedangkan pada media tanpa

tanaman kangkung air (kontrol), terjadi kenaikan kadar nitrat, hal ini disebabkan

karena nitrat pada media budidaya yang kurang termanfaatkan oleh fitoplankton

dan alga.

Posfat merupakan senyawa posfor yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan

merupakan unsur essensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga sehingga dapat

mempengaruhi tingkat produktivitas perairan (Bahari, 2006). Posfor merupakan

salah satu senyawa nutrien yang penting karena akan diabsorbsi oleh fitoplankton

dan masuk ke dalam rantai makanan (Hutagalung dan Rozak 1997). Rata-rata

kadar posfat pada semua perlakuan berkisar antara 2,0 – 4,0 mg/L (Gambar 9).

Posfor dalam bentuk posfat merupakan mikronutrien yang diperlukan dan sangat

esensial bagi organisme akuatik. Kekurangan fosfat dapat menghambat

pertumbuhan fitoplankton (Zulfitria 2003 dalam Bahri 2006).

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

0 1 2 3 4 5

Nit

rat

(mg/

L)

Pengamatan (Minggu Ke-)

Padat tebar 50 DK

Padat tebar 50 TK

Padat tebar 100 DK

Padat tebar 100 TK

Padat tebar 150 DK

Padat tebar 150 TK

= Nilai Rata-rata

38

Gambar 9. Grafik Konsentrasi Posfat Selama Penelitian

Berdasarkan gambar 9 bahwa pada saat pengukuran pertama, konsentrasi

posfat pada setiap perlakuan adalah sama sebesar 2,0 mg/L. Akan tetapi pada

pengukuran selanjutnya konsentrasi posfat pada wadah pemeliharaan ikan

berfluktuasi sesuai dengan perlakuan. Pada perlakuan dengan sistem akuaponik,

terjadi penurunan konsentrasi posfat, diduga karena dapat dimanfaatkan oleh

tanaman kangkung air sebagai pemasok nutrisi. Sedangkan pada media

pemeliharaan tanpa kangkung air, konsentrasi posfat mengalami peningkatan hal

ini karena konsentrasi posfat dalam air kurang termanfaatkan.

Terjadinya penurunan konsentrasi nitrat dan posfat sebagai bahan nutrien

yang terkandung didalam media pemeliharaan diserap melalui akar tanaman

kangkung. Fravel 1988, menyatakan bahwa di dalam perakaran tanaman

kangkung terdapat bakteri yang hidup yaitu Pseudomonas spp kelompok

fluerescens. Bakteri ini merupakan jasad renik yang berperan pelarutan posfat,

mengikat nitrogen, dan menghasilkan zat pengatur tumbuh bagi tanaman. Selain

itu bakteri Pseudomonas flourescens dapat berfungsi untuk menekan populasi

patogen yang diasosiasikan dengan kemampuan untuk melindungi akar dari

infeksi patogen dengan cara mengkolonisasi permukaan akar (Supriadi 2006).

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

3.5

4.0

4.5

0 1 2 3 4 5

Po

sfat

(m

g/L)

Pengamatan (Minggu Ke-)

Padat tebar 50 DK

Padat tebar 50 TK

Padat 100 DK

Padat tebar 100 TK

Padat tebar 150 DK

Padat tebar 150 TK

= Nilai Rata-rata

39

4.3.1 Produktivitas Tanamana Kangkung Air (Ipomea aquatica)

Panjang kangkung air yang ditanam pada sistem akuaponik berukuran

rata-rata 10 cm, dengan rata-rata jumlah daun antara 60-80 pada tiap media

pemeliharaan. Hasil pengukuran panjang batang dan jumlah daun tanaman

kangkung air selama penelitian tertera pada Gambar 10.

Gambar 10. Grafik Rata-rata Pertambahan Panjang dan Jumlah Daun

Kangkung Air

Pada Gambar 10 terlihat bahwa pertambahan panjang batang kangkung

dan pertambahan daun berkorelasi dengan padat penebaran lele, semakin besar

padat penebaran lele semakin tinggi pertumbuhan kangkung airnya. Tingginya

nutrien dalam media pemeliharaan menyebabkan kangkung air tumbuh baik. Pada

media budidaya dengan padat penebaran 100 ekor/m2 pertambahan jumlah daun

lebih banyak, hal ini diduga disebabkan kandungan nutrien pada media

pemeliharaan optimal. Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa pertambahan

panjang batang dan jumlah daun pada masing-masing perlakuan dengan padat

tebar benih lele sangkuriang yang berbeda pada setiap minggunya. Hal ini diduga

karena pada masing-masing perlakuan kadar nutrien sudah memenuhi kebutuhan

kangkung air untuk melakukan pertambahan daun.

0

5

10

15

20

25

30

35

0 2 4 6

Jum

lah

Dau

n

P

anja

ng

bat

ang

(cm

)

Pengamatan (Minggu ke- )

jumlah daun padattebar 50 ekor

jumlah daun padattebar 100 ekor

jumlah daun padapadat tebar 150

Panjang batang padapadat tebar 50 ekor

Panjang batang padapadat tebar 100 ekor

Panjang batang padapadat tebar 150 ekor

40

Berdasarkan hasil pengukuran pada minggu ke-2 panjang batang

kangkung air antara 19,89 - 22,12 cm (Lampiran 9), hal ini mengindikasikan

bahwa panen kangkung air sudah bisa dilakukan pada hari ke 12 dalam sistem

akuaponik, hal ini mengacu pada sistem budidadaya kangkung air yang

menyatakan bahwa ukuran kangkung yang bisa dipanen dengan panjang kira-kira

20-25 cm. Pertumbuhan kangkung air pada sistem akuaponik sangat baik, terbukti

selama 2 minggu ukuran kangkung air ini sudah bisa dipanen sehingga bisa

melakukan 2 kali penanaman selama 4 minggu penelitian.

Gambar 11. Pertumbuhan Daun Kangkung pada Sistem Akuaponik

Hasil pengukuran bobot tanaman kangkung air menunjukkan bahwa

pertambahan bobot mengalami peningkatan seiring dengan waktu pemeliharaan

(Gambar 12).

Gambar 12. Grafik Rata-rata Bobot Kangkung Air Selama Penelitian

0

10

20

30

40

50

60

0 1 2 3 4 5 6

Bo

bo

t K

angk

un

g (g

)

Pengamatan (Minggu ke- )

Padat tebar 50 ekor

Padat Tebar 100 Ekor

Padat Tebar 150 ekor

41

Rata-rata bobot kangkung tertinggi dicapai pada padat penebaran lele

100 ekor/m2 diikuti dengan padat penebaran 50 ekor/m

2 dan 150 ekor/m

2.

Tingginya bobot kangkung yang ditanam pada padat penebaran lele 100 ekor/m2

diduga faktor nutrien yang dibutuhkan kangkung optimal, sedangkan pada

kepadatan 150 ekor/m2 kadar nutrien dalam media tanam sudah jenuh.

4.3.2 Interaksi Pada Sistem Akuaponik

Dalam sistem akuaponik terdapat interaksi antara budidaya ikan, tanaman

kangkung, serta bakteri. Pada penelitian ini jumlah pakan yang diberikan pada

benih lele diduga ada yang tidak termanfaatkan, selain itu sisa hasil metabolisme

benih lele berupa feses dan urin yang masuk ke dalam media budidaya dapat

menyebabkan menurunnya kualitas air berupa peningkatan kadar amonia dan

nitrit yang dapat membahayakan benih lele yang dibudidayakan. Dengan sistem

akuaponik, kualitas air media budidaya dapat dipertahankan akibat adanya

interaksi antara benih lele dan kangkung air dalam pemanfaatan nutrien dimana

bakteri sebagai pengkonversi.

Protein yang berasal dari pakan akan dikonversi menjadi senyawa yang

sederhana dengan adanya bakteri pengkonversi seperti Nitrosomonas yang

mampu mengkonversi ammonia menjadi nitrit, dan Nitrobakter yang mampu

mengkonversi nitrit menjadi nitrat ; nitrat ini akan digunakan oleh tanaman

kangkung air sebagai nutrien sehingga dalam sistem akuaponik akan terjadi

keseimbangan unsur nitrogen (Gambar 13).

42

Gambar 13. Siklus Nitrogen Pada Sistem Akuaponik

4.4 Kualitas Air

Kualitas air didefinisikan sebagai faktor kelayakan suatu perairan untuk

menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya

ditentukan dalam kisaran tertentu (Safitri, 2007). Menurut Gustav 1998 kualitas

air memegang peranan penting terutama dalam kegiatan budidaya. Penurunan

mutu air dapat mengakibatkan kematian, pertumbuhan terhambat, timbulnya hama

penyakit, dan pengurangan rasio konversi pakan. Kualitas perairan yang harus

diperhatikan dalam budidaya ikan terutama oksigen terlarut, pH, amoniak, dan

suhu.

4.4.1 Oksigen Terlarut dalam air (Dissolved Oxygen)

Kadar oksigen yang terlarut dalam air selama penelitian berfluktuasi,antara

5,2 mg/L – 6,7 mg/L (Gambar 15). Kondisi ini masih dalam batas normal untuk

pertumbuhan benih lele sangkuriang. Boyd 1982, menyatakan bahwa kadar

oksigen terlarut yang optimal untuk pertumbuhan ikan harus lebih dari 5 mg/L.

Ikan Memanfaatkan Pakan dan

mengeluarkan Amonia berupa feses dan pakan yang tidak

dimakan ikan.

Bakteri Nitrosomonas mengkonversi Amonia

Menjadi Nitrit

bakteri Nitrobacter Mengkonversi Nitrit

menjadi Nitrat

Akar Kangung menyerap amonia dan

Nitrat

Kualitas Air Baik tanpa limbah

43

Gambar 14. Grafik Rata-rata Oksigen Terlarut Selama Penelitian

Kadar oksigen yang terlarut dalam air pada media pemeliharaan yang

dikombinasikan dengan tanaman kangkung air, relatif lebih tinggi dari pada media

pemeliharaan tanpa menggunakan tanaman kangkung air, hal ini disebabkan oleh

adanya aktifitas fotosintesis pada siang hari dari tanaman kangkung air dan

fitoplankton yang menghasilkan O2. Kadar O2 tertinggi terjadi pada siang hari

yaitu pada pukul 11.00 antara 6,7 – 7,7 mg/L. Pada sore hari pukul 17.00

menjelang tengah malam terjadi penurunan DO pada bak pemeliharaan ikan

menjadi 5,0 mg/L, hal ini diduga karena pada bak pemeliharaan terjadi

pemanfaatan oksigen oleh lele, kangkung air, dan fitoplankton. Pada saat malam

hari pengamatan O2 pukul 23.00 menunjukkan konsentrasi DO yang rendah

sebesar 3,9 mg/L, akan tetapi benih lele sangkuriang masih bisa bertahan karena

mempunyai alat bantu pernapasan tambahan (arborescent) berbentuk seperti

pohon yang terdapat dibagian atas lengkung insang ke-2 dan ke-3. Fungsi

arborescent adalah untuk pernapasan udara, oleh sebab itu benih lele dapat

mengambil udara di atas permukaan air. Arborescent merupakan membran yang

berlipat-lipat, dilengkapi dengan pembuluh kapiler.

0.0

1.0

2.0

3.0

4.0

5.0

6.0

7.0

8.0

9.0

0 1 2 3 4 5

DO

mg/

L

Pengamatan (Minggu Ke-)

Padat tebar 50 DK

Padat tebar 50 TK

Padat 100 DK

Padat tebar 100 TK

Padat tebar 150 DK

Padat tebar 150 TK

= Nilai Rata-rata

44

Gambar 15. Grafik Perubahan Oksigen Terlarut Selama 24 jam

4.4.2 Suhu

Pengukuran terhadap suhu air dilakukan pada pukul 11, hasilnya

berfluktuasi antara 23,6oC-27,2

oC (Gambar 16). Terjadinya fluktuasi suhu selama

penelitian akibat pengaruh cuaca yang tidak menentu karena penelitian ini

dilakukan di outdor.

Gambar 16. Grafik Perubahan Suhu Selama Penelitian

0.0

1.0

2.0

3.0

4.0

5.0

6.0

7.0

8.0

9.0

17.00 23.00 5.00 11.00 17.00

DO

(m

g/L

)

Waktu (Jam)

Padat tebar 50 DK

Padat tebar 50 TK

Padat tebar 100 DK

Padat tebar 100 TK

Padat tebar 150 DK

Padat tebar 150 TK

21.0

22.0

23.0

24.0

25.0

26.0

27.0

28.0

0 1 2 3 4 5

Suh

u o

C

Pengamatan (Minggu Ke-)

Padat tebar 50 DK

Padat tebar 50 TK

Padat 100 DK

Padat tebar 100 TK

Padat tebar 150 DK

Padat tebar 150 TK

= Nilai Rata-rata

= Nilai Rata-rata

45

Suhu pada minggu ke-4 menunjukkan nilai terendah hal ini dipengaruhi

oleh curah hujan yang tinggi. Akan tetapi pada siang hari suhu pada bak

pemeliharaan ikan meningkat kembali, dikarenakan bak pemeliharaan ditutupi

plastik bening sebagai atap sehingga terjadi peningkatan suhu.

Sunarma 2004 menyatakan bahwa kisaran suhu yang ideal untuk

pertumbuhan benih lele sangkuriang 22 - 34oC. Lucas 2002 menyatakan bahwa

suhu media yang optimum akan berpengaruh terhadap kinerja enzim-enzim

pencernaan dan metabolime yang efektif. Konsumsi pakan yang tinggi disertai

dengan proses pencernaan dan metabolisme yang efektif akan menghasilkan

energi yang optimal untuk pertumbuhan dan reproduksi. Proses metabolisme ikan

umumnya meningkat jika suhu naik hingga dibawah batas yang mematikan.

Berdasarkan hukum van’t Hoff, kenaikan suhu sebesar 10oC akan menyebabkan

kecepatan reaksi metabolisme meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan pada kondisi

normal. Kebutuhan protein pada ikan untuk mendapatkan pertumbuhan optimum

sangat dipengaruhi oleh suhu. Contoh pada suhu 20oC pada ikan Channel Catfish

(Ictalurus punctatus) memperlihatkan pertumbuhan optimum dengan kadar

protein 35%, sedangkan pada suhu 25oC membutuhkan protein 40%.

4.4.3 Amonia (NH3)

Amonia merupakan produk akhir utama penguraian protein pada ikan.

Ikan akan mencerna protein dalam pakan dan mengekskresikan ammonia melalui

insang dan urine. Amonia pada lingkungan budidaya juga berasal dari proses

dekomposisi bahan organik seperti sisa pakan, alga mati, dan tumbuhan akuatik

(Duborrow et al.,1997).

Hasil pengukuran kadar amonia total dalam air selama penelitian berkisar

antara 0,17 – 0,75 mg/L (Gambar 17). Kadar rata-rata amonia tertinggi terjadi

pada bak pemeliharaan tanpa menggunakan kangkung air yaitu pada perlakuan

padat tebar 150 ekor/m2 sebesar 0,75 mg/L.

46

Gambar 17. Grafik Perubahan Amonia Selama Penelitian

Pada gambar 17 terlihat adanya perbedaan kandungan ammonia antara

budidaya sistem akuaponik dengan akuakultur konvensional. Pada sistem

akuaponik terjadi penurunan kadar amonia. Kadar amonia total pada sistem

akuaponik selama penelitian masih aman untuk benih lele sangkuriang, hal ini

sesuai dengan kriteria Molleda 2007, bahwa ikan air tawar masih toleran terhadap

total ammonia sampai 1,0 mg/L.

4.4.4 pH

Nilai pH (Power of Hydrogen) adalah nilai ion hidrogen (H+) di dalam air.

Air dengan kandungan ion H+ banyak akan bersifat asam, dan sebaliknya akan

bersifat basa (Alkali). Kondisi pH optimal untuk ikan berkisar antara 6,5-8,5.

Nilai pH di atas 9,2 atau kurang dari 4,8 dapat menyebabkan kematian ikan. Nilai

pH yang tinggi terjadi di perairan dengan kandungan alga tinggi, dimana proses

fotosintesis membutuhkan banyak CO2. pH akan meningkat hingga 9,0-10,0 atau

lebih tinggi jika bikarbonat di serap dari air (Svobodova, et al 1993).

0.0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0 1 2 3 4 5

Am

on

ia (

mg/

L)

Pengamatan (Minggu Ke-)

Padat tebar 50 DK

Padat tebar 50 TK

Padat tebar 100 DK

Padat tebar 150 DK

Padat tebar 150 TK

= Nilai Rata-rata

47

Gambar 18. Grafik Perubahan pH Selama Penelitian

Hasil pengukuran pH air berkisar antara 7,5 – 8, terjadi penurunan pH

pada pengukuran minggu ke-2. Molleda 2007, menyatakan bahwa penurunan pH

terjadi karena degradasi kualitas air yang disebabkan oleh sisa pakan, feses,

respirasi ikan dan tanaman kangkung yang dapat meningkatkan CO2 dalam air.

4.4.5 Faktor lain yang berpengaruh pada pertumbuhan

Selain komposisi pakan dan kualitas air yang baik, penyakit dan parasit

juga sangat mempengaruhi pertumbuhan benih lele sangkuriang. Selama

penelitian terdapat penyakit yang menyerang benih lele sangkuriang yaitu

penyakit bintik putih (Gambar 19). Munculnya penyakit ini diakibatkan oleh

bakteri ichthyophthirius multifiliis dimana bakteri ini akan menyerang ikan lele

yang dipelihara didalam kolam yang airnya menggenang sehingga kualitas air

sangat buruk. Selain itu penyakit ini disebabkan oleh suhu air yang terlalu dingin

dan kepadatan tebar ikan yang tinggi. Ikan lele yang terserang oleh penyakit ini

pada permukaan kulit dan insang banyak dijumpai bintik – bintik berwarna putih

yang apabila dibiarkan terlalu lama, kulit dan insang ini akan rusak dan terjadi

kematian dalam waktu singkat. Penyakit lain yang menyerang benih lele adalah

jamur yang menyerang bagian kulit. Gejala penyakit ini adalah adanya tanda putih

yang menyebar dipermukaan kulit lele.

6.20

6.40

6.60

6.80

7.00

7.20

7.40

7.60

7.80

8.00

8.20

0 1 2 3 4 5

pH

Pengamatan (Minggu Ke-)

Padat tebar 50 DK

Padat tebar 50 TK

Padat tebar 100 DK

Padat tebar 100 TK

Padat tebar 150 DK

Padat tebar 150 TK

= Nilai Rata-rata

48

Gambar 19. Penyakit Bintik Putih Pada Benih Lele

Pengobatan terhadap penyakit ini dapat dilakukan dengan perendaman

dalam larutan garam dapur pada konsentrasi 500-10.000 ppm (tergantung jenis

dan umur ikan) selama 24 jam, dilakukan pengulangan setiap 2 hari. Selain itu

dilakukan perendaman dalam larutan Kalium Permanganate (PK) pada dosis 4

ppm selama 12 jam, dilakukan pengulangan setiap 2 hari.

Selain itu selama penelitian terdapat hama yang menyerang kangkung air

diantaranya adalah kumbang daun dan walang sangit (Gambar 20 A). Rukmana

1994 menyatakan bahwa kumbang daun mempunyai ukuran kecil, mempunyai

sayap berwarna kuning tua, atau merah bintik-bintik hitam, aktif terbang pada

senja dan malam hari, serta bersifat pemangsa segala jenis tanaman (Polifag).

Adapun gejala serangan daun rusak atau bolong-bolong bekas gigitan kumbang

daun (Gambar 20 B). Pada tingkat serangan berat dapat menyebabkan kerusakan

parah karena jaringan daun habis dimakannya sehingga tinggal urat-urat daun

saja.

A B

Gambar 20. (A) Kumbang Daun (B) Walang Sangit

49

Walang Sangit memiliki bentuk badannya langsing, mempunyai kaki, dan

kumis (antenna) panjang dan mengeluarkan bau khusus. Warna walang sangit

umumnya hijau, tetapi kadang-kadang cokelat. Didaerah Jawa Barat, hama ini

disebut “kungkang”. Mengisap cairan sel tanaman, sehingga daun-daun muda

menjadi berbintik-bintik hitam atau kecokelat-cokelatan.

Berdasarkan pengamatan kangkung air yang digunakan dalam penelitian

ini teridentifikasi batang kangkung yang menjadi layu, hal ini diduga disebabkan

oleh bakteri. Giri et al.1989 menyatakan bahwa bakteri yang menyebabkan layu

kangkung adalah bakteri Pseudomonas syringae. Selain itu terdapat pula warna

daun kangkung yang menjadi berwarna kuning, hal ini disebabkan oleh jenis

nematode yaitu Meloidogyne javanica. Untuk mencegah terjadinya hama tersebut

maka perlu dilakukan pemeliharaan kebersihan seperti dari tumbuhan pengganggu

diantaranya alang-alang serta dilakukan pengecekan secara rutin terhadap

pertumbuhan tanaman kangkung tersebut.

Gambar 21. Gangguan Pada Daun Kangkung