bab iv analisis terhadap fit and proper test …digilib.uinsby.ac.id/7990/7/bab iv.pdf · atheisme...
TRANSCRIPT
56
BAB IV
ANALISIS TERHADAP FIT AND PROPER TEST DALAM
TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA ISLAM
A. Analisis Terhadap Mekanisme Fit and Proper Test Dalam Pengangkatan
Pejabat Publik Menurut Keputusan DPR RI No. 08/DPR RI/I/2005 Tentang
Tata Tertib DPR RI
Hasil penilaian bukanlah merupakan nilai yang permanen dan berlaku
seumur hidup. Proses penilaian fit and proper itu harus terus dilakukan secara
berkesinambungan kepada para stake holders karena manusia tidak hidup
dalam dimensi permanensi. Mekanisme fit and proper tes yang tidak dapat
dibakukan dalam satu undang-undang, mekanisme Fit and Proper Test akan
diselaraskan dengan lembaga atau departemen yang berkaitan atau
setidaknya menyediakan tim ahli untuk mengetahui kapasitas calon pejabat
atau jabatan yang akan didudukinya nanti. Sehubungan dengan itu, DPR RI
yang mendapat tanggungjawab atas Fit and Proper Test membentuk sebuah
panitia seleksi (pansel) melalui komisi-komisi yang ada di DPR RI yang
kemudian bekerjasama dengan lembaga atau departemen yang berkaitan.
Pansus yang terbentuk itu memiliki tugas untuk menentukan mekanisme dan
tes yang akan diujikan dalam Fit and Proper Test.1
Berkenaan dengan mekanisme Fit and Proper Test dalam proses
seleksi untuk mengangkat pejabat publik, dalam keputusan DPR RI Nomor
08/DPR RI/2005.2006 tidak menjelaskan secara detail tentang mekanisme Fit
1 http://www.sinarharapan.co.id/berita/08/11/14/pol08.html
57
and Proper Test, hanya berupa standart umum tahapan dalam mekanisme Fit
and Proper Test sebagaimana dalam pasal 154 yang berbunyi:
1. Apabila suatu peraturan perundang-undangan menentukan agar DPR RI melakukan/menganjurkan atau memberikan persetujuan atas calon untuk mengisi suatu jabatan. Rapat paripurna menugaskan kepada badan musyrawarah untuk menjadwalkan dan menugaskan pembahasannya kepada komisi terkait.
2. Tata cara pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh komisi yang bersangkutan, meliputi: a. Penelitian administrasi b. Penyampaian visi dan misi c. Uji kelayakan (Fit and Proper Test), dan d. Penentuan urutan calon.
Wewenang DPR RI untuk melakukan seleksi terhadap calon pejabat
politik masih terbatas perundang-undangan yang berkaitan, hal ini
dikarenakan tidak semua perundang-undangan yang mengatur tentang
lembaga negara dalam proses penggangkatan pejabat harus melalui seleksi
anggota dewan sebagaimana disebutkan dalam pasal 154 ayat (1) di atas.
Berkaitan dengan tahapan dalam mekanisme Fit and Proper Test pejabat
publik dari lembaga negara yang ada tidak serta merta sama, tahapan
mekanisme Fit and Proper Test akan menyesuaikan dengan aturan
perundang-undangan yang terkait yang mana panitia seleksi yang terbentuk
atas unsur komisi-komisi DPR RI akan merumuskan kembali tahapan-
tahapan yang dianggap paling memenuhi standart suatu lembaga negara.
Perlu digaris bawahi bahwa mekanisme Fit and Proper Test sesuai
dengan pasal 154 (2) keputusan DPR RI Nomor 08/DPR RI/I/2005.2006
merupakan bagian tahapan seleksi yang dipegang langsung oleh DPR RI yang
pelaksanaan penilaiannya seperti halnya sistem juri, pada pasal 154 ayat (2)
58
huruf a dan b secara umum tidak seberapa mempengaruhi nilai kapasitas
calon pejabat publik yang terpenting sebagaimana aturan perundang-
undangan sudah terpenuhi, maka peserta Fit and Proper Test calon pejabat
publik akan langsung dapat mengikuti tahapan selanjutnya yaitu uji
kelayakan dan kepatuhan sebagaiamana yang dimaksud dengan Fit and
Proper Test dan apabila peserta calon pejabat publik setelah melalui tahap
pada pasal 154 ayat (2) huruf c maka harus memunculkan nilai apakah calon
tersebut “lulus”, “tidak lulus” atau “lulus bersyarat”.2 Dan setelah itu panitia
seleksi atas keputusan DPR RI memberikan rangking kepada peserta calon
pejabat publik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang terkait
kemudian di laporkan dalam sidang paripurna untuk diangkat sebagai pejabat
lembaga negara oleh presiden selaku kepala negara.
B. Analisis Terhadap Kriteria Dasar Sebagai Pertimbangan DPR RI Dalam
Melakukan Fit and Proper Test
Hasil akhir Fit and Proper Test untuk menduduki jabatan publik
bagaimanapun juga berada pada keputusan DPR RI (panitia seleksi) dengan
berbagai pertimbangan dan beberapa ujian yang diberikan kepada para
peserta, kriteria ideal untuk lulus Fit and Proper Test akan disesuaikan
dengan kebutuhan lembaga negara, seperti dalam pemilihan ketua KPK yang
syarat idealnya tertuang dalam pasal 29 ayat 1-9 undang-undang No. 30
tahun 2002 tentang KPK yang tentu berbeda dengan syarat ideal dalam
pemilihan gubernur BI yang tertuang dalam pasal 40 huruf (a), (b), (c) No. 03
2 Lihat lampiran Laporan Singkat BAMUS
59
Tahun 2004 Bank Indonesia, yang pastinya berbeda dengan syarat ideal pada
pemilihan jabatan publik lainnya menurut Undang-undang masing-masing
lembaga. Dalam konteks Fit and Proper Test secara umum, peserta yang
mengikuti Fit and Proper Test harus lulus persyaratan umum, yaitu:
1. Warga Negara Indonesia
Seorang warga negara Indonesia adalah orang yang diakui oleh
UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Orang yang memiliki
Kartu Tanda Penduduk, atau mencatatkan diri di kantor pemerintahan.
Kewarganegaraan Republik Indonesia di atur dalam UU No. 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.3
2. Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa
Dalam rangka melaksanakan garis-garis besar haluan negara
tersebut telah ditetapkan suatu pola dan arah kebijaksanaan untuk
meningkatkan kesadaran menghayati dan mengamalkan tatanan
kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pola penghayatan, pengamalan Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dimaksudkan untuk mewujudkan sikap hidup yang
mampu mendorong usaha-usaha pembangunan serta mengatasi berbagai
masalah sosial kultural (KKN) yang timbul sebagai akibat dan
menghambat proses kemajuan pembangunan.4 Bangsa Indonesia
3 A. Heuken SJ, Ensiklopedi Politik Pancasila, Jilid, 10, h. 22 4 Latar belakang GBHN, http://www.dephut.go.id/files/GBHN.pdf
60
menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.5
3. Setia Kepada NKRI6
Secara konstitusional NKRI ditegakkan sebagai sistem
kenegaraan dalam identitas asas kenegaraan. Disamping itu tidak terlepas
akan wacana dasar terhadap rakyat, bangsa dan wilayah negara kesatuan
Republik Indonesia.7 Amanat menegakkan NKRI dalam integritas sebagai
sistem kenegaraan Pancasila, bermakna bahwa bangsa Indonesia
berkewajiban membela NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila. Jadi,
bangsa Indonesia senantiasa waspada dan siap bela negara atas tantangan
dan ancaman bangsa dan negara yang mengancam integritas ideologi
pancasila, baik neoimprealisme amerika maupun ideologi komunisme,
atheisme dari manapun datangnya termasuk kebangkitan PKI atau
gerakan separatis lainnya.8
4. Berkepribadian Baik
Pejabat publik merupakan panutan dan figur yang menjadi sorotan
baik media pers maupun institusi pemerintahan itu sendiri, pengaruh akan
tindak tanduk sebuah perilaku seorang pejabat publik sangat berdampak
kepada kinerja dipemerintahan, instansi terkait secara tidak langsung
5 Butir-butir pancasila.www.wikipedia.com 6 Pasal 13 huruf (e) UU No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan 7 Wawasan Nusantara.www.wikipwdia.com 8 Muhammad Noor Syam, SH, Makalah Sistem Filsafat Pancasila (Tegak Sebagai
Sistem Kenegaraan Pancasila-Uud Proklamasi 45) 2009, h. 11-14
61
akan mendapat image buruk dan kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah setidaknya akan menurun.
5. Memiliki Integritas Tinggi
Good governance tidak akan mencapai tanpa integritas publik
yang kuat. Dalam pengertian sederhana, ’integritas’ berarti ’keteguhan
prinsip dan sikap untuk melaksanakan kinerja semaksimal mungkin.
Integritas merupakan antitesis korupsi, penggunaan kekuasaan untuk
tujuan tidak sah. Karena itu, perlu identifikasi tentang kekuatan dan
kelemahan dalam berbagai lembaga tersebut. Sehingga, pada akhirnya,
dapat dibangun kapasitas integritas memadai dalam diri setiap pejabat
publik dalam menghadapi korupsi.9
6. Berpengalaman Dan Berpendidikan Minimal SI10
Landasan syarat pengalaman dan pendidikan minimal SI
merupakan salah satu syarat menjadi pejabat publik, seorang pejabat
publik harus memiliki pengalaman dalam bidang kerjanya pada jabatan
yang diduduki, namun oleh karena pejabat publik merupakan pimpinan
yang membutuhkan skill dan pengetahuan serta legitimasi keilmuan,
maka pengalaman untuk membuktikan kesanggupan dalam menjalankan
kerja. Legitimasi keilmuan juga sangat penting mengingat standar
keilmuan eksekutif setingkat S1. hal itu dikarenakan pejabat publik
diangkat berdasarkan diri dan bulan serta memiliki pengaruh
dimasyarakat.
9 Azyumari Azro, Makalah Integritas Pejabat Publik. www.uinjk.com 10 Pasal 16 ayat 1 huruf (b) UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
62
7. Sehat Jasmani dan Rohani
Untuk menjalankan roda pemerintahan seorang pejabat publik
haruslah dalam keadaan sehat jasmani sehingga dapat memaksimalkan
konerjanya di lembaga pemerintahan, sehat rohani juga menentukan sikap
seorang pejabat publik dalam mengambil kebijakan. Ketentuan sehat
jasmani rohani hampir menyeluruh sebagai syarat menduduki jabatan
strategis.
8. Tidak Pernah di Jatuhi Hukuman Pidana11
Lazimnya orang yang pernah dijatuhi hukuman akan mendapat
citra yang buruk, dalam hal tertib administrasi sebelum mendaftar sebagai
peserta Fit and Proper Test membutuhkan surat keterangan cakap
kepribadian (SKCK) yang menjelaskan bahwa yang bersangkutan tidak
pernah dijatuhi hukuman pidana atau tersangkut organisasi terlarang. Dan
sudah barang tentu calon pejabat publik tidak akan mendapatkan
keterangan baik dari kepolisian apabila pernah dijatuhi hukuman.
9. Tidak dinyatakan Pailit12
Dalam hukum Indonesia orang yang dinyatakan pailit oleh
ketentuan perundang-undangan tidak boleh dan atau dianggap tidak cakap
melakukan tindakan hukum, orang yang dinyatakan pailit merupakan
orang yang berada pada pengampun sehingga segala perbuatan akan
diawasi oleh hukum, maka seorang calon pejabat publik tidak boleh
11 Ibid huruf (g) 12 Pasal 16 ayat 1 huruf (a) UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
63
seorang yang dinyatakan pailit karena akan menghambat kinerja dan yang
jelas dianggap tidak cakap hukum.13
10. Melaporkan Harta Kekayaan14
Berkaitan dengan pelaporan harta kekayaan calon pejabat publik
kepada Komisi pemberatasan Korupsi hal ini dimaksudkan untuk
memonitoring pertambahan kekayaan pejabat publim semasa menduduki
jabatan strategis, kewajiban ini juga berlaku pada calon ketua KPK yang
nota benenya calon orang yang memimpin KPK, dikarena dalam pasal 13
huruf (a) pasal 68 ayat 1 UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi jo Undang-undang No. 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Syarat yang penulis sebutkan di atas merupakan syarat umum,
dalam mekanisme Fit and Proper Test oleh DPR RI yang dilaksanakan
panitia seleksi bahwa penilaian calon pejabat publik meliputi seleksi
administrasi termasuk syarat-syarat pendaftaran, seleksi makalah dalam
ujian ini para calon pejabat publik diharuskan membuat karya tulis ilmiah
sehubungan dengan tema yang diberikan oleh panitia seleksi yang
kemudian akan dipresentasikan di depan disidang Fit and Proper Test
antara lain profile assesment yaitu sebuah deskripsi tentang riwayat hidup
yang berkenaan dengan prestasi, essay refleksi yang berisi tentang dan
pengalaman calon pejabat publim dalam garis kerja, wawancara panitia
13 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan 14 Pasal 26 huruf (b) UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
64
seleksi.15 Dari segi yang spesifik itulah penilaian akan kelayakan dan
kepatuhan calon pejabat dinilai.
C. Analisis Fiqh Siyasah Terhadap Mekanisme Fit and Proper Test Dalam
Pengangkatan Pejabat Publik Oleh DPR RI
1. Sistem Hukum Tata Negara Islam dalam hal kepemimpinan
Islam sangat memberikan perhatian yang lebih pada masalah
kepemimpinan, karena hidup ini harus ada yang memimpin dan tidak ada
kekosongan kepemimpinan dalam pandangan Islam.16 Dalam hal
pemerintahan Islam yang sangat erat kaitannya antara khalifah dan
imamah yang merupakan sistem kepemimpinan negara dalam masyarakat
muslim yang dipandang relevan dengan ajaran Islam. Khilafah pada
hakekatnya adalah suatu bentuk kekuasaan yang menjalankan
pemerintahan setelah Nabi Muhammad SAW. Doktrin tentang khilafah
yang disebutkan dalam al-qur’an ialah bahwa segala sesuatu di atas bumi
ini, berupa daya dan kemampuan yang diperoleh seorang manusia,
hanyalah karunia Allah SWT, dan Allah telah menjadikan manusia dalam
kedudukan demikian sehingga ia dapat menggunakan pemberian dan
karunia yang dilimpahkan kepadanya di dunia ini sesuai dengan
keridhaan-Nya.17
15 Lampiran Laporan Singkat Rapat Komisi III DPR RI dengan Panitia Seleksi Calon
Pimpinan KPK dan PT. Dunamis Intra Mitra. 16 Istilah kepemimpinan yang digunakan penulis sebagaimana pemahaman umum bahwa
kepemimpinan merupakan kesanggupan akan mengemban tanggungjawab, kepemimpinan yang dimaksudkan tidak hanya sebatas pemimpin negara namun juga memimpin dalam lingkup tanggungjawab atas masyarakat (umat)
17 Sayuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, h. 77
65
Betapa pentingnya kepemimpinan dalam Islam bisa dilihat dalam
sejarah saat-saat meninggalnya Nabi Muhammad SAW, ketika saat itu
sempat tertunda pemakaman Rasulullah, dimana para sahabat berkumpul
di rumah bagi Saits untuk memilih kepemimpinan para kaum muslimin.
Para sahabat mendahulukan pemilihan kepemimpinan ini karena
menyadari betapa pentingnya keberadaan seorang pemimpin dan
kepemimpinan itu tidak boleh kosong. Kita ketahui bersama bahwa
waktu itu terpilih Abu Bakar sebagai pemimpin kaum Muslimin dan kita
ketahui bersama apa saja alasan para sahabat memilih Abu Bakar menjadi
pemimpin.18
Pembicaraan teoritis tentang kekuasaan yang dibahas dalam fiqh
siyasah merupakan bagian dari peran ulama dalam pembentukan hukum
tata negara Islam. Di lain pihak praktek-praktek penyelenggaraan
kekuasaan nyata yang dijalankan oleh umara (wali al-amr) mulai dari
model kekhalifahan, selanjutnya dalam model kerajaan dan terakhir dalam
model negara dengan bentuk-bentuk pemerintahan modern ada kalanya
terpadu atau menyatu dengan upaya para ulama dalam pembentukan
hukum tata negara Islam (penggalian dan pengembangan serta
penerapannya).19
a. Pemerintahan Islam pada masa Rasulullah SAW
Awalnya kepemimpinan Islam secara langsung dipimpin oleh
Rasulullah dengan bimbingan wahyu Allah, bagaimana beliau
18 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, h. 5 19 Imam Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 3
66
merubah suatu peradaban jahiliyyah menuju kehidupan Islamiyyah.20
Dan bahkan terhadap aturan-aturan yang diturunkan pada zaman
Nabi-Nabi sebelumnya. Firman Allah SWT:
كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله
خيرا لهم منهم المؤمنون وأكثرهم الفاسقونولو آمن أهل الكتاب لكان
Artinya: ”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Ali-Imran: 110)21
Dalam sejarah pertumbuhan masyarakat kaum muslimin,
kekuasaan seperti tersebut telah dijalankan oleh Rasulullah setelah
berhasil membentuk tatanan pemerintahan meliputi kewenangan
memerintah, mengadili, melindungi wilayah dan penduduknya,
menegakkan keadilan dan mengembangkan kesejahteraan, melalui
suatu perjanjian yang dibuat bersama dan disepakati bersama oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dengan tata masyarakat baru.
Secara umum, pemerintahan Islam pada masa Rasulullah SAW
tidak terdapat pembagian tugas yang dalam konteks ini penulis
sebut dengan pemberian kewenangan kepada pejabat publik atas
20 Islamiyah dimaksudkan sebuah undang-undang secara umum, Undang-undang
mencakup semua aspek kehidupan dan sebagai panduan untuk mewujudkan manusia yang berakhlak mulia, peka terhadap lingkungan, beriman dan sebagainya. Ia juga berarti undang-undang yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dari Allah SWT untuk disampaikan kepada seluruh manusia.
21 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.80
67
sesuatu hal yang secara spesifik dikelolanya, pada masa Rasulullah
lebih cenderung di bantu sahabat-sahabat dalam menjalankan roda
pemerintahan dan memerintah para sahabat dalam ruang dan
waktu yang sangat terbatas tanpa adanya inisiatif job discribtion
personal dari seorang pejabat publik. Dari sinilah dapat dipahami
bahwa kebijakan tentang menjalankan roda pemerintahan
sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sejalan dengan itu
lahirnya naskah perjanjian Madinah (Al-’ahd al-Madani) ini, dunia
abad ke-7 masehi diperkenankan pada satu model kekuasaan yang
sebelumnya dunia hanya mengenal dua jenis atau model
kekuasaan yang mengatur masyarakat, yaitu kekuasaan kepala
suku (dalam masyarakat yang mengenal domisili tetap dan lahan
pemukiman). Ketika itu dunia sama sekali belum mengenal dan
menyaksikan model kekuasaan dalam bentuk negara dan
pemerintahan modern, kecuali sedikit teori klasik negara utopia
ciptaan para filsuf yunani yang tidak pernah lahir dalam
kenyataan.22
b. Masa Khulafa’ur Rasyidin
Sepanjang masa kekhalifahan pertama, posisi pejabat publik
secara penuh di pegang oleh para ulama, sehingga tidak timbul
sesuatu dalam hal pengembangan dan penerapan hukum tata negara
masih belum berkembang. Namun dalam perkembangan sejarah pasca
22 Soetomo, SH, Ilmu Hukum, h. 102
68
kekhalifahan pertama, kebijaksanaan umum umara’ dalam kekuasaan
kekhalifahan bani Umayyah mengalami perubahan orientasi dimana
keseimbangan antar fungsi ”harasatu al-din” (pemeliharaan
kepentingan agama) dan fungsi ”siasiatu al-dunya” (kebijakan
penataan urusan pemerintahan),23 cenderung lebih memberatkan sisi
yang kedua itu. Di tambah lagi kalau kebetulah personalia umaranya
bukan ulama. Dalam hal ini perkembangan keadaan yang demikian
itu, kita melihat keengganan banyak tokoh ulama (termasuk para
imam mujtahidin) menolak ajarakan atau permintaan para umara,
supaya mereka masuk menempati kedudukan-kedudukan dalam
jaringan kekuasaan. Di antaranya ada yang melakukan penentangan
legal terbuka seperti imam Ahmad bin Hanbal terhadap khalifah al-
Maimun. Sepanjang zaman itu hukum positif yang diberlakukan oleh
umara senantiasa diawali dan dari waktu ke waktu mendapat koreksi
dari para ulama, pengemban amanat pemeliharaan dan penerapan
hukum tata negara Islam.24
Maka pembentukan hukum tata negara Islam banyak
berkembang di luar lembaga kekuasaan atau pemerintahan. Hukum
tata negara Islam terbentuk dengan mantap di dalam lembaga
keilmuan dan di tangan para ulama dan kesadaran hukum di kalangan
rakyat banyak (kaum muslimin) tumbuh berkembang dan terbentuk
melalui jalur pendidikan dalam ilmu fiqh. Hal ini banyak positifnya
23 Malik Toha, Sejarah Kebudayaan Islam, h. 42 24 www.multiply.com.politikIslam12/02/2005
69
dalam memberikan daya tahan bagi hukum tata negara Islam itu.
Diantaranya yang terpenting bahwa dengan keadaan seperti itu, ada
pengawasan yuridis yang bebas terhadap perilaku kekuasaan yang ada
di tangan umara. Itu hal yang positif yang pertama, dan yang kedua
ialah nasib hukum tata negara Islam itu tidak tergantung pada nasib
lembaga-lembaga kekuasaan yang dari waktu ke waktu timbul
tenggelam, dan pada waktu-waktu tertentu menjadi hancur
berantakan. Pada masa khulafa al-rasyidin (pemimpin yang mulia),
pemerintahan berdasarkan musyawarah. Para khalifah dalam
memutuskan sesuatu akan selalu melihat kitabullah. Bila tidak ada,
maka akan melihat pada sunnah Nabi, jika tidak ditemukan maka akan
mengumpulkan tokoh-tokoh yang baik untuk musyawarah dalam
lembag yang disebut majelis syura’. Arti penting dari masa khulafa’
al-rasyidin adalah sebagai awal pembentukan dan pengembangan
ideologi Islam beserta lembaga-lembaganya.25
Sistem pemerintahan Islam yang sedikit mengalami perbaikan
pada masa khulafa’ al-rasyidin sudah muncul beberapa lembaga yang
secara berkala akan melaksanakan tugas sebagaimana subnya tanpa
turun tangan seorang khalifah semisal sudah adanya baitul maal,
majlis qadhi, panglima perang, dan masih banyak lagi. Tugas khilafah
berkenaan dengan lembaga-lembaga yang telah dihadirkan hanya
sebatas pemantauan dan pengambilan keputusan secara bersama.
25 Ibnu Taymiyah, Siyasah as-Syar’iyyah, h. 26
70
2. Urgensi Kepemimpinan Dalam Hukum Tata Negara Islam
Mengangkat pemimpin dalam Islam hukumnya wajib.26 Hal ini
telah dinyatakan dalam nas>-nas> syar’i. Rasulullah SAW bersabda: ”Jika
ada tiga orang berpergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang
di antara mereka menjadi pemimpinnya” (HR Abu Daud dan Abu
Hurairah). Ijma’ sahabat juga menunjukkan kewajiban mengangkat
seorang pemimpin. Hal tersebut dapat dicermati dari riwayat yang
menceritakan bahwa para sahabat tidak bersegera memakamkan jenazah
Rasulullah SAW hingga mereka berhasil mengangkat Abu Bakar sebagai
pengganti Rasulullah SAW dalam urusan pemerintah. Padahal
memakamkan jenazah adalah fardhu kifayah yang pelaksanaannya tidak
boleh ditunda. Akan tetapi sahabat tidak melakukannya, ini berarti ada
perkara lain yang wajib dilaksanakan dan didahulukan yaitu mengangkat
seorang pemimpin bagi kaum muslimin sepeninggal Rasulullah SAW, dan
ijma sahabat tersebut merupakan dalil syar’i yang wajib diambil oleh
kaum muslimin.
Pemimpin yang dikehendaki oleh Islam adalah pemimpin
menerapkan hukum tata negara Islam di tengah-tengah masyarakat. Maka
dalam konteks ini jelas bukan hanya persoalan personal atau individu saja
yang diperhatikan tapi juga sistem yang diterapkan. Mengangkat seorang
pemimpin berarti menyerahkan urusan rakyat untuk diatur oleh pemimpin
26 Pernah ada sebuah syair arab yang menyinggung tentang kepemimpinan, syair tersebut
mengatakan bahwa setahun bersama seorang pemimpin yang dholim lebih baik dari pada semalam tanpa seorang pemimpin.
71
yang diangkat dan diberi mandat oleh rakyat. Dan adanya ketaatan
merupakan konsekuensi dari mengangkat seorang pemimpin. Allah SWT
berfirman yang artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisa’: 59)27
Ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan yang dibenarkan oleh
syariat dan bukannya ketaatan untuk melakukan kemaksiatan.
Sebagaimana hadits riwayat Imam Ahmad Rasulullah SAW bersabda:
”Tidak ada ketaatan kepada mahluk dalam melakukan maksiat kepada al-
khaliq (Allah)”. Jadi ketaatan bulanlah bagi mereka yang tidak
menjalankan hukum-hukum Allah, karena kita dilarang mentaati orang
yang bermaksiat kepada Allah. Namun, perintah untuk mentaati ulul amri
saat ini tidak bisa diwujudkan karena obyek yang wajib ditaati (ulil amri)
tidak ada. Maka perintah untuk mentaatinya sekaligus menjadi perintah
untuk mewujudkannya.28 Sehingga ketaatan terhadap ulul amri bisa
terwujud. Karena itu, mentaati ulil amri itu merupakan Dalalah Iltizam
(indikasi yang membawa konsekuensi) wajibnya mengangkat dan
mewujudkan ulil amri.29
27 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.114 28 Sayuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikirannya, h. 43 29 Http://alenprosa.wordpress.com/2009/06/04/kewajiban-mengangkat-pemimpin-dan-
peran-partai-politik
72
Sebagaimana diungkapkan Ibnu Taimiyah dalam as-Siyasa asy-
Syar’iyyah bahwa, ”Wilayah (organisasi politik) bagi persoalan
(kehidupan sosial) manusia merupakan keperluan agama yang terpenting.
Tanpa topangannya, agama tidak akan tegak kokoh. Karena Allah SWT
mewajibkan manusia berbuat amar ma’ruf nahi munkar dan menolong
pihak yang teraniaya, maka semua yang diwajibkan tentang jihad,
menegakkan keadilan, dan menegakkan hudud, tidak mungkin sempurna
kecuali dengan kekuatan dan kekuasaan”. Prinsip dasar konstitusi yaitu
al-Qur’an dan Al-Hadits, ijma’ dan Qiyas. Dalam pelaksanaannya,
konstitusi Islam adalah penjabaran atau tafsir dari konstitusi tersebut
yang dalam prakteknya setiap negara boleh berbeda, guna menjamin
berbagai kepentingan bangsa. Hal yang paling penting dalam menegakkan
konstitusi Islam terletak pada kepatuhan dari umatnya. Hal itu
sebagaimana diamanatkan oleh Ibnu Taimiyah, “Maka menegakkan
daulah Islamiyah merupakan perkara yang wajib untuk melaksanakan
hukum-hukum syariat”. Konsepsi itu telah menjadi rujukan bagi penulis-
penulis muslim klasik maupun modern, yang pada umumnya berada
dalam wacana pentingnya hubungan antara agama dan negara
(kekuasaan).30
Sebagai konsepsi politik yang mengandung arti pelaksanaan
bernegara dalam pemerintahan, dalam negara Islam memiliki sistem
politik dengan ciri-ciri sebagai berikut:
30 Ibnu Taimiyah, Siyasah Asy-Syar’iyyah, h. 20
73
1) Dalam Islam kekuasaan penuh dipegang oleh umatnya.
2) Masyarakat ikut berperan dan bertanggung jawab
3) Kebebasan adalah hak semua orang
4) Kelompok yang berbeda (minoritas) juga memiliki legalitas.
5) Kezaliman (tirani) mutlak tidak diperbolehkan.
6) Persamaan diantara semua manusia (egaliter).
7) Undang-undang di atas segalanya.31
Ciri-ciri tersebut meski tidak secara tetap disepakati oleh para pemikir
politik Islam, namun setiap pemikir politik Islam hampir tidak terlepas
dari pemahaman tersebut meski jumlah yang disebutkan tidak sama.
Semua pemikir Islam sepakat bahwa prinsip dasar itu meliputi:
1) Keadilan, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kepala negara
2) Musyawarah, yang dalam pelaksanaannya dalam bentuk parlemen
atau majelis syura. Kedua prinsip dasar itu pada umumnya dipakai
oleh para pemikir Islam.
3) Tanggungjawab pemerintah, yakni pemerintah harus
bertanggungjawab terhadap keselamatan negara dan rakyat.32
Dari sejumlah ciri-ciri politik dalam konsepsi Islam tersebut perlu
dibedakan dengan ciri ”Negara Islam”, dalam hal ini negara dalam arti
Dar Al-Islam (negeri yang damai), yaitu sebuah negara yang secara teknis
diatur menurut hukum tata negara Islam.33
31 Lukman Hakim, Dimensi Politik Islam di Indonesia, h. 82 32 Hasby Ash-Shiddieqy, Pemikiran Politik Kontemporer, h. 109-116 33 Lukman Hakim, Dimensi Politik Islam di Indonesia, h. 82
74
3. Mekanisme pengangkatan pejabat publik dalam sistem hukum tata negara
Islam.
a. Peran Ahl al-Halli wa al-Aqdi dalam pengangkatan pejabat publik
Ahl al-Halli wa al-Aqdi menjamin terwujudnya upaya ikhtiyar,
upaya seleksi dan pemilihan untuk menentukan yang terbaik (al-
Afdhal) dari pihak pertama. Dan selanjutnya formulasi ”ikhtiyar” ini
dimaksudkan juga adanya pencerminan kebebasan dan kesukarelaan
(tanpa tekanan dan paksaan) dalam upaya ikhtiyar tersebut, bagi
semua pihak yang bersangkutan. Oleh karenanya akad ini disebut juga
aqdu-u muradat (akad yang dilandasi sikap kesukarelaan).
Dari teori pokok yang diuraikan di atas, diciptakan teori lain
sebagai kelanjutannya. Di antaranya teori ”tauliya” untuk melahirkan
legalitas atas emua ototitas tertentu. Untuk lebih mendalami teori
tersebut dapat kita simak praktek pejabarannya yang digambarkan
dalam fiqh ketika membahas pengangkatan hakim (qadhi) dalam
rangka pelaksanaan kekuasaan kehakiman (al-wilayah al-qadha).34
Bahwa pengangkatan hakim itu termasuk fardhu kifayah (sama
dengan penetapan imam (al-dzham) yaitu khalifah, yakni suatu tugas
mengemban amanat keagamaan yang menyangkut keseluruhan
masyarakat, tidak lagi bagi seorang, dengan kata lain bukan tugas
individual yang bersifat personal, tetapi tugas semacam ini
menjadikan setiap orang dalam lingkungan masyarakat yang
34 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, h. 83
75
bersangkutan, keseluruhannya menanggung dosa (dipandang bersalah
dalam hukum agama), tetapi yang berkaitan dengan keharusan
pemenuhan tugas kolektif tersebut, cukup seorang atau sekelompok
tertentu yang bersangkutan. Dengan terpenuhinya tugas tersebut
maka masyarakat yang bersangkutan berarti sudah menunaikan tugas
kolektif itu.
Imam dimiyathi menguraikan bahwa pengangkatan hakim
harus merupakan tauliyah dari imam atau pemegang kekuasaan
tertinggi dalam pemerintahan atau pejabat yang ditunjuk olehnya.
Jika tidak terdapat penguasa seperti itu, maka tauliyah dilakukan oleh
Ahl al-Halli Wa al-Aqdi yang dapat menentukan pelaksanaan atau
pembatalan suatu urusan penting dalam masyarakatnya, dalam hal ini
seperti para ulama dan pemuka-pemuka masyarakat yang dapat
berhimpun dan membuat kesepakatan diantara mereka. Atau cukup
sebagian dari mereka walaupun hanya seorang diantara mereka asal
ada persetujuan. Dalam proses perubahan sosial, fiqh mengembangkan
teori yang lebih realistik dengan teori kekuasaan yaitu, pemegang
kekuasaan dan kewenangan memerintah dengan kekuasaan yang nyata
(dzu syaukah). Penguasa seperti itu dapat menggantikan kedudukan
imam dalam fungsinya menegakkan (melindungi dan mengurus).
Kepentingan umum dari masyarakatnya, sebagai satu hal yang tak
terelakkan (li dharurah) untuk tidak terbengkalai kepentingan rakyat
76
banyak (untuk menghindari kevakuman dalam kekuasaan yang
menjurus kepada anarki).35
b. Ketentuan-ketentuan pengangkatan pejabat politik
Dinamika dalam penentuan pejabat publik dalam hukum tata
negara Islam terjadi setelah khalifah Abu Bakar sebagai pengganti
Rasulullah SAW secara aklamasi. Pada masa khalifah umar dan
seterusnya, terjadi berbagai macam model pengangkatan pejabat
publik yang ada dalam sistem pemerintahan Islam, namun pada
prinsipnya dalam pengangkatan seorang pejabat publik tidak terlepas
dari sebuah syarat-syarat seseorang untuk dapat diangkat menjadi
seorang pejabat publik. Secara umum al-Qur’an sudah memberikan
kriteria pemimpin yang harus dipilih, sebagaimana dalam firman
Allah:
ولقد كتبنا في الزبور من بعد الذكر أن األرض يرثها عبادي الصالحون
Artinya: ”dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur[973] sesudah (kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh.” (QS Al-Anbiya’: 105)36
Jadi yang mendapat mandat mengurusi manusia di muka bumi
ini hanyalah orang-orang yang shaleh, bukan orang-orang kafir yang
akan membuat kerusakan di muka bumi. Jika orang kafir memimpin di
35 M. Zulfikar Said, Jaring-jaring Politik Islam, h. 30 36 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 461
77
muka bumi ini, maka terlihatlah dunia ini bukan semakin baik, tapi
malah rusak dan hancur dunia ini. Sebagaimana dalam firman Allah:
مهكاة وون الزتؤيالة وون الصقيمي وا الذيننآم الذينو ولهسرو الله كمليا ومن
راكعون
Artinya: ”Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS Al-Maidah: 55)37
Sebagaimana dalam firman Allah di atas, maka salah satu
kriteria orang shaleh yaitu:
- Mendirikan shalat
- Membayar zakat
- Tunduk pada aturan Allah
Kualifikasi keshalehan dan diambil yang paling shaleh. Hal ini
seperti saat memilih seseorang untuk menjaid imam shalat, yaitu:
- Orang yang lebih fasih bacaannya
- Orang yang lebih paham sunnah-sunnah Nabi
- Orang yang lebih tua dalam umur/lebih cerdas
Bisa juga melihat sifat Nabi sebagai kriteria untuk menjadi
pemimpin, yaitu:
- Shidiq, orang yang benar
- Amanah, orang yang jujur
37 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 156
78
- Tabligh, menyampaikan pesan-pesan illahiyah
- Fathonah, orang yang cerdas, meliputi kecerdasan spiritual,
intelektual dan kecerdasan emosional.38
Jika pada posisi ada dua calon pemimpin yang sama-sama
cerdas, tetapi dalam hal pendekatan pada orang kafir berbeda, maka
dipilih calon pemimpin yang dibenci orang kafir tersebut dan
ditinggalkan memilih calon pemimpin yang dekat dengan orang kafir.
38 Abdul Karim Zaidan, Kepemimpjnan Dalam Islam, h. 21