bab iv analisis terhadap fit and proper test …digilib.uinsby.ac.id/7990/7/bab iv.pdf · atheisme...

23
56 BAB IV ANALISIS TERHADAP FIT AND PROPER TEST DALAM TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA ISLAM A. Analisis Terhadap Mekanisme Fit and Proper Test Dalam Pengangkatan Pejabat Publik Menurut Keputusan DPR RI No. 08/DPR RI/I/2005 Tentang Tata Tertib DPR RI Hasil penilaian bukanlah merupakan nilai yang permanen dan berlaku seumur hidup. Proses penilaian fit and proper itu harus terus dilakukan secara berkesinambungan kepada para stake holders karena manusia tidak hidup dalam dimensi permanensi. Mekanisme fit and proper tes yang tidak dapat dibakukan dalam satu undang-undang, mekanisme Fit and Proper Test akan diselaraskan dengan lembaga atau departemen yang berkaitan atau setidaknya menyediakan tim ahli untuk mengetahui kapasitas calon pejabat atau jabatan yang akan didudukinya nanti. Sehubungan dengan itu, DPR RI yang mendapat tanggungjawab atas Fit and Proper Test membentuk sebuah panitia seleksi (pansel) melalui komisi-komisi yang ada di DPR RI yang kemudian bekerjasama dengan lembaga atau departemen yang berkaitan. Pansus yang terbentuk itu memiliki tugas untuk menentukan mekanisme dan tes yang akan diujikan dalam Fit and Proper Test. 1 Berkenaan dengan mekanisme Fit and Proper Test dalam proses seleksi untuk mengangkat pejabat publik, dalam keputusan DPR RI Nomor 08/DPR RI/2005.2006 tidak menjelaskan secara detail tentang mekanisme Fit 1 http://www.sinarharapan.co.id/berita/08/11/14/pol08.html

Upload: phamhanh

Post on 01-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

56

BAB IV

ANALISIS TERHADAP FIT AND PROPER TEST DALAM

TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA ISLAM

A. Analisis Terhadap Mekanisme Fit and Proper Test Dalam Pengangkatan

Pejabat Publik Menurut Keputusan DPR RI No. 08/DPR RI/I/2005 Tentang

Tata Tertib DPR RI

Hasil penilaian bukanlah merupakan nilai yang permanen dan berlaku

seumur hidup. Proses penilaian fit and proper itu harus terus dilakukan secara

berkesinambungan kepada para stake holders karena manusia tidak hidup

dalam dimensi permanensi. Mekanisme fit and proper tes yang tidak dapat

dibakukan dalam satu undang-undang, mekanisme Fit and Proper Test akan

diselaraskan dengan lembaga atau departemen yang berkaitan atau

setidaknya menyediakan tim ahli untuk mengetahui kapasitas calon pejabat

atau jabatan yang akan didudukinya nanti. Sehubungan dengan itu, DPR RI

yang mendapat tanggungjawab atas Fit and Proper Test membentuk sebuah

panitia seleksi (pansel) melalui komisi-komisi yang ada di DPR RI yang

kemudian bekerjasama dengan lembaga atau departemen yang berkaitan.

Pansus yang terbentuk itu memiliki tugas untuk menentukan mekanisme dan

tes yang akan diujikan dalam Fit and Proper Test.1

Berkenaan dengan mekanisme Fit and Proper Test dalam proses

seleksi untuk mengangkat pejabat publik, dalam keputusan DPR RI Nomor

08/DPR RI/2005.2006 tidak menjelaskan secara detail tentang mekanisme Fit

1 http://www.sinarharapan.co.id/berita/08/11/14/pol08.html

57

and Proper Test, hanya berupa standart umum tahapan dalam mekanisme Fit

and Proper Test sebagaimana dalam pasal 154 yang berbunyi:

1. Apabila suatu peraturan perundang-undangan menentukan agar DPR RI melakukan/menganjurkan atau memberikan persetujuan atas calon untuk mengisi suatu jabatan. Rapat paripurna menugaskan kepada badan musyrawarah untuk menjadwalkan dan menugaskan pembahasannya kepada komisi terkait.

2. Tata cara pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh komisi yang bersangkutan, meliputi: a. Penelitian administrasi b. Penyampaian visi dan misi c. Uji kelayakan (Fit and Proper Test), dan d. Penentuan urutan calon.

Wewenang DPR RI untuk melakukan seleksi terhadap calon pejabat

politik masih terbatas perundang-undangan yang berkaitan, hal ini

dikarenakan tidak semua perundang-undangan yang mengatur tentang

lembaga negara dalam proses penggangkatan pejabat harus melalui seleksi

anggota dewan sebagaimana disebutkan dalam pasal 154 ayat (1) di atas.

Berkaitan dengan tahapan dalam mekanisme Fit and Proper Test pejabat

publik dari lembaga negara yang ada tidak serta merta sama, tahapan

mekanisme Fit and Proper Test akan menyesuaikan dengan aturan

perundang-undangan yang terkait yang mana panitia seleksi yang terbentuk

atas unsur komisi-komisi DPR RI akan merumuskan kembali tahapan-

tahapan yang dianggap paling memenuhi standart suatu lembaga negara.

Perlu digaris bawahi bahwa mekanisme Fit and Proper Test sesuai

dengan pasal 154 (2) keputusan DPR RI Nomor 08/DPR RI/I/2005.2006

merupakan bagian tahapan seleksi yang dipegang langsung oleh DPR RI yang

pelaksanaan penilaiannya seperti halnya sistem juri, pada pasal 154 ayat (2)

58

huruf a dan b secara umum tidak seberapa mempengaruhi nilai kapasitas

calon pejabat publik yang terpenting sebagaimana aturan perundang-

undangan sudah terpenuhi, maka peserta Fit and Proper Test calon pejabat

publik akan langsung dapat mengikuti tahapan selanjutnya yaitu uji

kelayakan dan kepatuhan sebagaiamana yang dimaksud dengan Fit and

Proper Test dan apabila peserta calon pejabat publik setelah melalui tahap

pada pasal 154 ayat (2) huruf c maka harus memunculkan nilai apakah calon

tersebut “lulus”, “tidak lulus” atau “lulus bersyarat”.2 Dan setelah itu panitia

seleksi atas keputusan DPR RI memberikan rangking kepada peserta calon

pejabat publik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang terkait

kemudian di laporkan dalam sidang paripurna untuk diangkat sebagai pejabat

lembaga negara oleh presiden selaku kepala negara.

B. Analisis Terhadap Kriteria Dasar Sebagai Pertimbangan DPR RI Dalam

Melakukan Fit and Proper Test

Hasil akhir Fit and Proper Test untuk menduduki jabatan publik

bagaimanapun juga berada pada keputusan DPR RI (panitia seleksi) dengan

berbagai pertimbangan dan beberapa ujian yang diberikan kepada para

peserta, kriteria ideal untuk lulus Fit and Proper Test akan disesuaikan

dengan kebutuhan lembaga negara, seperti dalam pemilihan ketua KPK yang

syarat idealnya tertuang dalam pasal 29 ayat 1-9 undang-undang No. 30

tahun 2002 tentang KPK yang tentu berbeda dengan syarat ideal dalam

pemilihan gubernur BI yang tertuang dalam pasal 40 huruf (a), (b), (c) No. 03

2 Lihat lampiran Laporan Singkat BAMUS

59

Tahun 2004 Bank Indonesia, yang pastinya berbeda dengan syarat ideal pada

pemilihan jabatan publik lainnya menurut Undang-undang masing-masing

lembaga. Dalam konteks Fit and Proper Test secara umum, peserta yang

mengikuti Fit and Proper Test harus lulus persyaratan umum, yaitu:

1. Warga Negara Indonesia

Seorang warga negara Indonesia adalah orang yang diakui oleh

UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Orang yang memiliki

Kartu Tanda Penduduk, atau mencatatkan diri di kantor pemerintahan.

Kewarganegaraan Republik Indonesia di atur dalam UU No. 12 Tahun

2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.3

2. Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa

Dalam rangka melaksanakan garis-garis besar haluan negara

tersebut telah ditetapkan suatu pola dan arah kebijaksanaan untuk

meningkatkan kesadaran menghayati dan mengamalkan tatanan

kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Pola penghayatan, pengamalan Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa dimaksudkan untuk mewujudkan sikap hidup yang

mampu mendorong usaha-usaha pembangunan serta mengatasi berbagai

masalah sosial kultural (KKN) yang timbul sebagai akibat dan

menghambat proses kemajuan pembangunan.4 Bangsa Indonesia

3 A. Heuken SJ, Ensiklopedi Politik Pancasila, Jilid, 10, h. 22 4 Latar belakang GBHN, http://www.dephut.go.id/files/GBHN.pdf

60

menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang

Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.5

3. Setia Kepada NKRI6

Secara konstitusional NKRI ditegakkan sebagai sistem

kenegaraan dalam identitas asas kenegaraan. Disamping itu tidak terlepas

akan wacana dasar terhadap rakyat, bangsa dan wilayah negara kesatuan

Republik Indonesia.7 Amanat menegakkan NKRI dalam integritas sebagai

sistem kenegaraan Pancasila, bermakna bahwa bangsa Indonesia

berkewajiban membela NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila. Jadi,

bangsa Indonesia senantiasa waspada dan siap bela negara atas tantangan

dan ancaman bangsa dan negara yang mengancam integritas ideologi

pancasila, baik neoimprealisme amerika maupun ideologi komunisme,

atheisme dari manapun datangnya termasuk kebangkitan PKI atau

gerakan separatis lainnya.8

4. Berkepribadian Baik

Pejabat publik merupakan panutan dan figur yang menjadi sorotan

baik media pers maupun institusi pemerintahan itu sendiri, pengaruh akan

tindak tanduk sebuah perilaku seorang pejabat publik sangat berdampak

kepada kinerja dipemerintahan, instansi terkait secara tidak langsung

5 Butir-butir pancasila.www.wikipedia.com 6 Pasal 13 huruf (e) UU No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan 7 Wawasan Nusantara.www.wikipwdia.com 8 Muhammad Noor Syam, SH, Makalah Sistem Filsafat Pancasila (Tegak Sebagai

Sistem Kenegaraan Pancasila-Uud Proklamasi 45) 2009, h. 11-14

61

akan mendapat image buruk dan kepercayaan masyarakat terhadap

pemerintah setidaknya akan menurun.

5. Memiliki Integritas Tinggi

Good governance tidak akan mencapai tanpa integritas publik

yang kuat. Dalam pengertian sederhana, ’integritas’ berarti ’keteguhan

prinsip dan sikap untuk melaksanakan kinerja semaksimal mungkin.

Integritas merupakan antitesis korupsi, penggunaan kekuasaan untuk

tujuan tidak sah. Karena itu, perlu identifikasi tentang kekuatan dan

kelemahan dalam berbagai lembaga tersebut. Sehingga, pada akhirnya,

dapat dibangun kapasitas integritas memadai dalam diri setiap pejabat

publik dalam menghadapi korupsi.9

6. Berpengalaman Dan Berpendidikan Minimal SI10

Landasan syarat pengalaman dan pendidikan minimal SI

merupakan salah satu syarat menjadi pejabat publik, seorang pejabat

publik harus memiliki pengalaman dalam bidang kerjanya pada jabatan

yang diduduki, namun oleh karena pejabat publik merupakan pimpinan

yang membutuhkan skill dan pengetahuan serta legitimasi keilmuan,

maka pengalaman untuk membuktikan kesanggupan dalam menjalankan

kerja. Legitimasi keilmuan juga sangat penting mengingat standar

keilmuan eksekutif setingkat S1. hal itu dikarenakan pejabat publik

diangkat berdasarkan diri dan bulan serta memiliki pengaruh

dimasyarakat.

9 Azyumari Azro, Makalah Integritas Pejabat Publik. www.uinjk.com 10 Pasal 16 ayat 1 huruf (b) UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

62

7. Sehat Jasmani dan Rohani

Untuk menjalankan roda pemerintahan seorang pejabat publik

haruslah dalam keadaan sehat jasmani sehingga dapat memaksimalkan

konerjanya di lembaga pemerintahan, sehat rohani juga menentukan sikap

seorang pejabat publik dalam mengambil kebijakan. Ketentuan sehat

jasmani rohani hampir menyeluruh sebagai syarat menduduki jabatan

strategis.

8. Tidak Pernah di Jatuhi Hukuman Pidana11

Lazimnya orang yang pernah dijatuhi hukuman akan mendapat

citra yang buruk, dalam hal tertib administrasi sebelum mendaftar sebagai

peserta Fit and Proper Test membutuhkan surat keterangan cakap

kepribadian (SKCK) yang menjelaskan bahwa yang bersangkutan tidak

pernah dijatuhi hukuman pidana atau tersangkut organisasi terlarang. Dan

sudah barang tentu calon pejabat publik tidak akan mendapatkan

keterangan baik dari kepolisian apabila pernah dijatuhi hukuman.

9. Tidak dinyatakan Pailit12

Dalam hukum Indonesia orang yang dinyatakan pailit oleh

ketentuan perundang-undangan tidak boleh dan atau dianggap tidak cakap

melakukan tindakan hukum, orang yang dinyatakan pailit merupakan

orang yang berada pada pengampun sehingga segala perbuatan akan

diawasi oleh hukum, maka seorang calon pejabat publik tidak boleh

11 Ibid huruf (g) 12 Pasal 16 ayat 1 huruf (a) UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

63

seorang yang dinyatakan pailit karena akan menghambat kinerja dan yang

jelas dianggap tidak cakap hukum.13

10. Melaporkan Harta Kekayaan14

Berkaitan dengan pelaporan harta kekayaan calon pejabat publik

kepada Komisi pemberatasan Korupsi hal ini dimaksudkan untuk

memonitoring pertambahan kekayaan pejabat publim semasa menduduki

jabatan strategis, kewajiban ini juga berlaku pada calon ketua KPK yang

nota benenya calon orang yang memimpin KPK, dikarena dalam pasal 13

huruf (a) pasal 68 ayat 1 UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi jo Undang-undang No. 28 Tahun 1999 Tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Syarat yang penulis sebutkan di atas merupakan syarat umum,

dalam mekanisme Fit and Proper Test oleh DPR RI yang dilaksanakan

panitia seleksi bahwa penilaian calon pejabat publik meliputi seleksi

administrasi termasuk syarat-syarat pendaftaran, seleksi makalah dalam

ujian ini para calon pejabat publik diharuskan membuat karya tulis ilmiah

sehubungan dengan tema yang diberikan oleh panitia seleksi yang

kemudian akan dipresentasikan di depan disidang Fit and Proper Test

antara lain profile assesment yaitu sebuah deskripsi tentang riwayat hidup

yang berkenaan dengan prestasi, essay refleksi yang berisi tentang dan

pengalaman calon pejabat publim dalam garis kerja, wawancara panitia

13 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan 14 Pasal 26 huruf (b) UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial

64

seleksi.15 Dari segi yang spesifik itulah penilaian akan kelayakan dan

kepatuhan calon pejabat dinilai.

C. Analisis Fiqh Siyasah Terhadap Mekanisme Fit and Proper Test Dalam

Pengangkatan Pejabat Publik Oleh DPR RI

1. Sistem Hukum Tata Negara Islam dalam hal kepemimpinan

Islam sangat memberikan perhatian yang lebih pada masalah

kepemimpinan, karena hidup ini harus ada yang memimpin dan tidak ada

kekosongan kepemimpinan dalam pandangan Islam.16 Dalam hal

pemerintahan Islam yang sangat erat kaitannya antara khalifah dan

imamah yang merupakan sistem kepemimpinan negara dalam masyarakat

muslim yang dipandang relevan dengan ajaran Islam. Khilafah pada

hakekatnya adalah suatu bentuk kekuasaan yang menjalankan

pemerintahan setelah Nabi Muhammad SAW. Doktrin tentang khilafah

yang disebutkan dalam al-qur’an ialah bahwa segala sesuatu di atas bumi

ini, berupa daya dan kemampuan yang diperoleh seorang manusia,

hanyalah karunia Allah SWT, dan Allah telah menjadikan manusia dalam

kedudukan demikian sehingga ia dapat menggunakan pemberian dan

karunia yang dilimpahkan kepadanya di dunia ini sesuai dengan

keridhaan-Nya.17

15 Lampiran Laporan Singkat Rapat Komisi III DPR RI dengan Panitia Seleksi Calon

Pimpinan KPK dan PT. Dunamis Intra Mitra. 16 Istilah kepemimpinan yang digunakan penulis sebagaimana pemahaman umum bahwa

kepemimpinan merupakan kesanggupan akan mengemban tanggungjawab, kepemimpinan yang dimaksudkan tidak hanya sebatas pemimpin negara namun juga memimpin dalam lingkup tanggungjawab atas masyarakat (umat)

17 Sayuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, h. 77

65

Betapa pentingnya kepemimpinan dalam Islam bisa dilihat dalam

sejarah saat-saat meninggalnya Nabi Muhammad SAW, ketika saat itu

sempat tertunda pemakaman Rasulullah, dimana para sahabat berkumpul

di rumah bagi Saits untuk memilih kepemimpinan para kaum muslimin.

Para sahabat mendahulukan pemilihan kepemimpinan ini karena

menyadari betapa pentingnya keberadaan seorang pemimpin dan

kepemimpinan itu tidak boleh kosong. Kita ketahui bersama bahwa

waktu itu terpilih Abu Bakar sebagai pemimpin kaum Muslimin dan kita

ketahui bersama apa saja alasan para sahabat memilih Abu Bakar menjadi

pemimpin.18

Pembicaraan teoritis tentang kekuasaan yang dibahas dalam fiqh

siyasah merupakan bagian dari peran ulama dalam pembentukan hukum

tata negara Islam. Di lain pihak praktek-praktek penyelenggaraan

kekuasaan nyata yang dijalankan oleh umara (wali al-amr) mulai dari

model kekhalifahan, selanjutnya dalam model kerajaan dan terakhir dalam

model negara dengan bentuk-bentuk pemerintahan modern ada kalanya

terpadu atau menyatu dengan upaya para ulama dalam pembentukan

hukum tata negara Islam (penggalian dan pengembangan serta

penerapannya).19

a. Pemerintahan Islam pada masa Rasulullah SAW

Awalnya kepemimpinan Islam secara langsung dipimpin oleh

Rasulullah dengan bimbingan wahyu Allah, bagaimana beliau

18 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, h. 5 19 Imam Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 3

66

merubah suatu peradaban jahiliyyah menuju kehidupan Islamiyyah.20

Dan bahkan terhadap aturan-aturan yang diturunkan pada zaman

Nabi-Nabi sebelumnya. Firman Allah SWT:

كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله

خيرا لهم منهم المؤمنون وأكثرهم الفاسقونولو آمن أهل الكتاب لكان

Artinya: ”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Ali-Imran: 110)21

Dalam sejarah pertumbuhan masyarakat kaum muslimin,

kekuasaan seperti tersebut telah dijalankan oleh Rasulullah setelah

berhasil membentuk tatanan pemerintahan meliputi kewenangan

memerintah, mengadili, melindungi wilayah dan penduduknya,

menegakkan keadilan dan mengembangkan kesejahteraan, melalui

suatu perjanjian yang dibuat bersama dan disepakati bersama oleh

pihak-pihak yang bersangkutan dengan tata masyarakat baru.

Secara umum, pemerintahan Islam pada masa Rasulullah SAW

tidak terdapat pembagian tugas yang dalam konteks ini penulis

sebut dengan pemberian kewenangan kepada pejabat publik atas

20 Islamiyah dimaksudkan sebuah undang-undang secara umum, Undang-undang

mencakup semua aspek kehidupan dan sebagai panduan untuk mewujudkan manusia yang berakhlak mulia, peka terhadap lingkungan, beriman dan sebagainya. Ia juga berarti undang-undang yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dari Allah SWT untuk disampaikan kepada seluruh manusia.

21 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.80

67

sesuatu hal yang secara spesifik dikelolanya, pada masa Rasulullah

lebih cenderung di bantu sahabat-sahabat dalam menjalankan roda

pemerintahan dan memerintah para sahabat dalam ruang dan

waktu yang sangat terbatas tanpa adanya inisiatif job discribtion

personal dari seorang pejabat publik. Dari sinilah dapat dipahami

bahwa kebijakan tentang menjalankan roda pemerintahan

sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sejalan dengan itu

lahirnya naskah perjanjian Madinah (Al-’ahd al-Madani) ini, dunia

abad ke-7 masehi diperkenankan pada satu model kekuasaan yang

sebelumnya dunia hanya mengenal dua jenis atau model

kekuasaan yang mengatur masyarakat, yaitu kekuasaan kepala

suku (dalam masyarakat yang mengenal domisili tetap dan lahan

pemukiman). Ketika itu dunia sama sekali belum mengenal dan

menyaksikan model kekuasaan dalam bentuk negara dan

pemerintahan modern, kecuali sedikit teori klasik negara utopia

ciptaan para filsuf yunani yang tidak pernah lahir dalam

kenyataan.22

b. Masa Khulafa’ur Rasyidin

Sepanjang masa kekhalifahan pertama, posisi pejabat publik

secara penuh di pegang oleh para ulama, sehingga tidak timbul

sesuatu dalam hal pengembangan dan penerapan hukum tata negara

masih belum berkembang. Namun dalam perkembangan sejarah pasca

22 Soetomo, SH, Ilmu Hukum, h. 102

68

kekhalifahan pertama, kebijaksanaan umum umara’ dalam kekuasaan

kekhalifahan bani Umayyah mengalami perubahan orientasi dimana

keseimbangan antar fungsi ”harasatu al-din” (pemeliharaan

kepentingan agama) dan fungsi ”siasiatu al-dunya” (kebijakan

penataan urusan pemerintahan),23 cenderung lebih memberatkan sisi

yang kedua itu. Di tambah lagi kalau kebetulah personalia umaranya

bukan ulama. Dalam hal ini perkembangan keadaan yang demikian

itu, kita melihat keengganan banyak tokoh ulama (termasuk para

imam mujtahidin) menolak ajarakan atau permintaan para umara,

supaya mereka masuk menempati kedudukan-kedudukan dalam

jaringan kekuasaan. Di antaranya ada yang melakukan penentangan

legal terbuka seperti imam Ahmad bin Hanbal terhadap khalifah al-

Maimun. Sepanjang zaman itu hukum positif yang diberlakukan oleh

umara senantiasa diawali dan dari waktu ke waktu mendapat koreksi

dari para ulama, pengemban amanat pemeliharaan dan penerapan

hukum tata negara Islam.24

Maka pembentukan hukum tata negara Islam banyak

berkembang di luar lembaga kekuasaan atau pemerintahan. Hukum

tata negara Islam terbentuk dengan mantap di dalam lembaga

keilmuan dan di tangan para ulama dan kesadaran hukum di kalangan

rakyat banyak (kaum muslimin) tumbuh berkembang dan terbentuk

melalui jalur pendidikan dalam ilmu fiqh. Hal ini banyak positifnya

23 Malik Toha, Sejarah Kebudayaan Islam, h. 42 24 www.multiply.com.politikIslam12/02/2005

69

dalam memberikan daya tahan bagi hukum tata negara Islam itu.

Diantaranya yang terpenting bahwa dengan keadaan seperti itu, ada

pengawasan yuridis yang bebas terhadap perilaku kekuasaan yang ada

di tangan umara. Itu hal yang positif yang pertama, dan yang kedua

ialah nasib hukum tata negara Islam itu tidak tergantung pada nasib

lembaga-lembaga kekuasaan yang dari waktu ke waktu timbul

tenggelam, dan pada waktu-waktu tertentu menjadi hancur

berantakan. Pada masa khulafa al-rasyidin (pemimpin yang mulia),

pemerintahan berdasarkan musyawarah. Para khalifah dalam

memutuskan sesuatu akan selalu melihat kitabullah. Bila tidak ada,

maka akan melihat pada sunnah Nabi, jika tidak ditemukan maka akan

mengumpulkan tokoh-tokoh yang baik untuk musyawarah dalam

lembag yang disebut majelis syura’. Arti penting dari masa khulafa’

al-rasyidin adalah sebagai awal pembentukan dan pengembangan

ideologi Islam beserta lembaga-lembaganya.25

Sistem pemerintahan Islam yang sedikit mengalami perbaikan

pada masa khulafa’ al-rasyidin sudah muncul beberapa lembaga yang

secara berkala akan melaksanakan tugas sebagaimana subnya tanpa

turun tangan seorang khalifah semisal sudah adanya baitul maal,

majlis qadhi, panglima perang, dan masih banyak lagi. Tugas khilafah

berkenaan dengan lembaga-lembaga yang telah dihadirkan hanya

sebatas pemantauan dan pengambilan keputusan secara bersama.

25 Ibnu Taymiyah, Siyasah as-Syar’iyyah, h. 26

70

2. Urgensi Kepemimpinan Dalam Hukum Tata Negara Islam

Mengangkat pemimpin dalam Islam hukumnya wajib.26 Hal ini

telah dinyatakan dalam nas>-nas> syar’i. Rasulullah SAW bersabda: ”Jika

ada tiga orang berpergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang

di antara mereka menjadi pemimpinnya” (HR Abu Daud dan Abu

Hurairah). Ijma’ sahabat juga menunjukkan kewajiban mengangkat

seorang pemimpin. Hal tersebut dapat dicermati dari riwayat yang

menceritakan bahwa para sahabat tidak bersegera memakamkan jenazah

Rasulullah SAW hingga mereka berhasil mengangkat Abu Bakar sebagai

pengganti Rasulullah SAW dalam urusan pemerintah. Padahal

memakamkan jenazah adalah fardhu kifayah yang pelaksanaannya tidak

boleh ditunda. Akan tetapi sahabat tidak melakukannya, ini berarti ada

perkara lain yang wajib dilaksanakan dan didahulukan yaitu mengangkat

seorang pemimpin bagi kaum muslimin sepeninggal Rasulullah SAW, dan

ijma sahabat tersebut merupakan dalil syar’i yang wajib diambil oleh

kaum muslimin.

Pemimpin yang dikehendaki oleh Islam adalah pemimpin

menerapkan hukum tata negara Islam di tengah-tengah masyarakat. Maka

dalam konteks ini jelas bukan hanya persoalan personal atau individu saja

yang diperhatikan tapi juga sistem yang diterapkan. Mengangkat seorang

pemimpin berarti menyerahkan urusan rakyat untuk diatur oleh pemimpin

26 Pernah ada sebuah syair arab yang menyinggung tentang kepemimpinan, syair tersebut

mengatakan bahwa setahun bersama seorang pemimpin yang dholim lebih baik dari pada semalam tanpa seorang pemimpin.

71

yang diangkat dan diberi mandat oleh rakyat. Dan adanya ketaatan

merupakan konsekuensi dari mengangkat seorang pemimpin. Allah SWT

berfirman yang artinya:

”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisa’: 59)27

Ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan yang dibenarkan oleh

syariat dan bukannya ketaatan untuk melakukan kemaksiatan.

Sebagaimana hadits riwayat Imam Ahmad Rasulullah SAW bersabda:

”Tidak ada ketaatan kepada mahluk dalam melakukan maksiat kepada al-

khaliq (Allah)”. Jadi ketaatan bulanlah bagi mereka yang tidak

menjalankan hukum-hukum Allah, karena kita dilarang mentaati orang

yang bermaksiat kepada Allah. Namun, perintah untuk mentaati ulul amri

saat ini tidak bisa diwujudkan karena obyek yang wajib ditaati (ulil amri)

tidak ada. Maka perintah untuk mentaatinya sekaligus menjadi perintah

untuk mewujudkannya.28 Sehingga ketaatan terhadap ulul amri bisa

terwujud. Karena itu, mentaati ulil amri itu merupakan Dalalah Iltizam

(indikasi yang membawa konsekuensi) wajibnya mengangkat dan

mewujudkan ulil amri.29

27 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.114 28 Sayuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikirannya, h. 43 29 Http://alenprosa.wordpress.com/2009/06/04/kewajiban-mengangkat-pemimpin-dan-

peran-partai-politik

72

Sebagaimana diungkapkan Ibnu Taimiyah dalam as-Siyasa asy-

Syar’iyyah bahwa, ”Wilayah (organisasi politik) bagi persoalan

(kehidupan sosial) manusia merupakan keperluan agama yang terpenting.

Tanpa topangannya, agama tidak akan tegak kokoh. Karena Allah SWT

mewajibkan manusia berbuat amar ma’ruf nahi munkar dan menolong

pihak yang teraniaya, maka semua yang diwajibkan tentang jihad,

menegakkan keadilan, dan menegakkan hudud, tidak mungkin sempurna

kecuali dengan kekuatan dan kekuasaan”. Prinsip dasar konstitusi yaitu

al-Qur’an dan Al-Hadits, ijma’ dan Qiyas. Dalam pelaksanaannya,

konstitusi Islam adalah penjabaran atau tafsir dari konstitusi tersebut

yang dalam prakteknya setiap negara boleh berbeda, guna menjamin

berbagai kepentingan bangsa. Hal yang paling penting dalam menegakkan

konstitusi Islam terletak pada kepatuhan dari umatnya. Hal itu

sebagaimana diamanatkan oleh Ibnu Taimiyah, “Maka menegakkan

daulah Islamiyah merupakan perkara yang wajib untuk melaksanakan

hukum-hukum syariat”. Konsepsi itu telah menjadi rujukan bagi penulis-

penulis muslim klasik maupun modern, yang pada umumnya berada

dalam wacana pentingnya hubungan antara agama dan negara

(kekuasaan).30

Sebagai konsepsi politik yang mengandung arti pelaksanaan

bernegara dalam pemerintahan, dalam negara Islam memiliki sistem

politik dengan ciri-ciri sebagai berikut:

30 Ibnu Taimiyah, Siyasah Asy-Syar’iyyah, h. 20

73

1) Dalam Islam kekuasaan penuh dipegang oleh umatnya.

2) Masyarakat ikut berperan dan bertanggung jawab

3) Kebebasan adalah hak semua orang

4) Kelompok yang berbeda (minoritas) juga memiliki legalitas.

5) Kezaliman (tirani) mutlak tidak diperbolehkan.

6) Persamaan diantara semua manusia (egaliter).

7) Undang-undang di atas segalanya.31

Ciri-ciri tersebut meski tidak secara tetap disepakati oleh para pemikir

politik Islam, namun setiap pemikir politik Islam hampir tidak terlepas

dari pemahaman tersebut meski jumlah yang disebutkan tidak sama.

Semua pemikir Islam sepakat bahwa prinsip dasar itu meliputi:

1) Keadilan, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kepala negara

2) Musyawarah, yang dalam pelaksanaannya dalam bentuk parlemen

atau majelis syura. Kedua prinsip dasar itu pada umumnya dipakai

oleh para pemikir Islam.

3) Tanggungjawab pemerintah, yakni pemerintah harus

bertanggungjawab terhadap keselamatan negara dan rakyat.32

Dari sejumlah ciri-ciri politik dalam konsepsi Islam tersebut perlu

dibedakan dengan ciri ”Negara Islam”, dalam hal ini negara dalam arti

Dar Al-Islam (negeri yang damai), yaitu sebuah negara yang secara teknis

diatur menurut hukum tata negara Islam.33

31 Lukman Hakim, Dimensi Politik Islam di Indonesia, h. 82 32 Hasby Ash-Shiddieqy, Pemikiran Politik Kontemporer, h. 109-116 33 Lukman Hakim, Dimensi Politik Islam di Indonesia, h. 82

74

3. Mekanisme pengangkatan pejabat publik dalam sistem hukum tata negara

Islam.

a. Peran Ahl al-Halli wa al-Aqdi dalam pengangkatan pejabat publik

Ahl al-Halli wa al-Aqdi menjamin terwujudnya upaya ikhtiyar,

upaya seleksi dan pemilihan untuk menentukan yang terbaik (al-

Afdhal) dari pihak pertama. Dan selanjutnya formulasi ”ikhtiyar” ini

dimaksudkan juga adanya pencerminan kebebasan dan kesukarelaan

(tanpa tekanan dan paksaan) dalam upaya ikhtiyar tersebut, bagi

semua pihak yang bersangkutan. Oleh karenanya akad ini disebut juga

aqdu-u muradat (akad yang dilandasi sikap kesukarelaan).

Dari teori pokok yang diuraikan di atas, diciptakan teori lain

sebagai kelanjutannya. Di antaranya teori ”tauliya” untuk melahirkan

legalitas atas emua ototitas tertentu. Untuk lebih mendalami teori

tersebut dapat kita simak praktek pejabarannya yang digambarkan

dalam fiqh ketika membahas pengangkatan hakim (qadhi) dalam

rangka pelaksanaan kekuasaan kehakiman (al-wilayah al-qadha).34

Bahwa pengangkatan hakim itu termasuk fardhu kifayah (sama

dengan penetapan imam (al-dzham) yaitu khalifah, yakni suatu tugas

mengemban amanat keagamaan yang menyangkut keseluruhan

masyarakat, tidak lagi bagi seorang, dengan kata lain bukan tugas

individual yang bersifat personal, tetapi tugas semacam ini

menjadikan setiap orang dalam lingkungan masyarakat yang

34 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, h. 83

75

bersangkutan, keseluruhannya menanggung dosa (dipandang bersalah

dalam hukum agama), tetapi yang berkaitan dengan keharusan

pemenuhan tugas kolektif tersebut, cukup seorang atau sekelompok

tertentu yang bersangkutan. Dengan terpenuhinya tugas tersebut

maka masyarakat yang bersangkutan berarti sudah menunaikan tugas

kolektif itu.

Imam dimiyathi menguraikan bahwa pengangkatan hakim

harus merupakan tauliyah dari imam atau pemegang kekuasaan

tertinggi dalam pemerintahan atau pejabat yang ditunjuk olehnya.

Jika tidak terdapat penguasa seperti itu, maka tauliyah dilakukan oleh

Ahl al-Halli Wa al-Aqdi yang dapat menentukan pelaksanaan atau

pembatalan suatu urusan penting dalam masyarakatnya, dalam hal ini

seperti para ulama dan pemuka-pemuka masyarakat yang dapat

berhimpun dan membuat kesepakatan diantara mereka. Atau cukup

sebagian dari mereka walaupun hanya seorang diantara mereka asal

ada persetujuan. Dalam proses perubahan sosial, fiqh mengembangkan

teori yang lebih realistik dengan teori kekuasaan yaitu, pemegang

kekuasaan dan kewenangan memerintah dengan kekuasaan yang nyata

(dzu syaukah). Penguasa seperti itu dapat menggantikan kedudukan

imam dalam fungsinya menegakkan (melindungi dan mengurus).

Kepentingan umum dari masyarakatnya, sebagai satu hal yang tak

terelakkan (li dharurah) untuk tidak terbengkalai kepentingan rakyat

76

banyak (untuk menghindari kevakuman dalam kekuasaan yang

menjurus kepada anarki).35

b. Ketentuan-ketentuan pengangkatan pejabat politik

Dinamika dalam penentuan pejabat publik dalam hukum tata

negara Islam terjadi setelah khalifah Abu Bakar sebagai pengganti

Rasulullah SAW secara aklamasi. Pada masa khalifah umar dan

seterusnya, terjadi berbagai macam model pengangkatan pejabat

publik yang ada dalam sistem pemerintahan Islam, namun pada

prinsipnya dalam pengangkatan seorang pejabat publik tidak terlepas

dari sebuah syarat-syarat seseorang untuk dapat diangkat menjadi

seorang pejabat publik. Secara umum al-Qur’an sudah memberikan

kriteria pemimpin yang harus dipilih, sebagaimana dalam firman

Allah:

ولقد كتبنا في الزبور من بعد الذكر أن األرض يرثها عبادي الصالحون

Artinya: ”dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur[973] sesudah (kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh.” (QS Al-Anbiya’: 105)36

Jadi yang mendapat mandat mengurusi manusia di muka bumi

ini hanyalah orang-orang yang shaleh, bukan orang-orang kafir yang

akan membuat kerusakan di muka bumi. Jika orang kafir memimpin di

35 M. Zulfikar Said, Jaring-jaring Politik Islam, h. 30 36 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 461

77

muka bumi ini, maka terlihatlah dunia ini bukan semakin baik, tapi

malah rusak dan hancur dunia ini. Sebagaimana dalam firman Allah:

مهكاة وون الزتؤيالة وون الصقيمي وا الذيننآم الذينو ولهسرو الله كمليا ومن

راكعون

Artinya: ”Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS Al-Maidah: 55)37

Sebagaimana dalam firman Allah di atas, maka salah satu

kriteria orang shaleh yaitu:

- Mendirikan shalat

- Membayar zakat

- Tunduk pada aturan Allah

Kualifikasi keshalehan dan diambil yang paling shaleh. Hal ini

seperti saat memilih seseorang untuk menjaid imam shalat, yaitu:

- Orang yang lebih fasih bacaannya

- Orang yang lebih paham sunnah-sunnah Nabi

- Orang yang lebih tua dalam umur/lebih cerdas

Bisa juga melihat sifat Nabi sebagai kriteria untuk menjadi

pemimpin, yaitu:

- Shidiq, orang yang benar

- Amanah, orang yang jujur

37 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 156

78

- Tabligh, menyampaikan pesan-pesan illahiyah

- Fathonah, orang yang cerdas, meliputi kecerdasan spiritual,

intelektual dan kecerdasan emosional.38

Jika pada posisi ada dua calon pemimpin yang sama-sama

cerdas, tetapi dalam hal pendekatan pada orang kafir berbeda, maka

dipilih calon pemimpin yang dibenci orang kafir tersebut dan

ditinggalkan memilih calon pemimpin yang dekat dengan orang kafir.

38 Abdul Karim Zaidan, Kepemimpjnan Dalam Islam, h. 21