bab iii tradisi penguburan masyarakat trunyan bali...8 james danandjaja, kebudayaan petani desa...

32
27 BAB III Tradisi Penguburan Masyarakat Trunyan Bali 3.1. Letak Geografi 1 Desa Trunyan yang terletak di Kaki Bukit Abang sebelah timur, di Tepi Danau Batur yang sering disebut kawasan Bintang Danu, adalah salah satu desa dari 48 desa yang ada di kecamatan Kintamani, dengan latar belakang pegunungan yang terjal dan curam. Desa Trunyan merupakan daerah berbukit dan berlembah, secara geografis terletak di: 1. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karangasem 2. Sebelah Barat berbatasan dengan Danau Batur 3. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Songan 4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Abang Batudinding Desa Trunyan terletak disebelah timur Kota Kecamatan dengan jarak orbital ke ibukota kecamatan 20 Km, ke ibu kota kabupaten 35 Km, serta ke kota provinsi 70 Km. Trunyan yang merupakan daerah berbukit dengan kondisi masih cukup kritis, dengan tipe iklim 6 bulan musim hujan, dan 6 bulan musim kering dengan curah hujan 1, 860 mm/ tahun (Sumber BPS Kintamani). Luas wilayah Desa Trunyan 1963 Ha, dan secara administratif desa ini terbagi dalam Lima Banjar Dinas, yaitu: Banjar Dinas Trunyan, Banjar Dinas Madia, Banjar Dinas Bunut, Banjar Dinas Puseh, dan Banjar Dinas Mukus. 1 Data Desa Trunyan, diambil dari Gambaran Umum Desa dan Potensi Desa

Upload: others

Post on 03-Feb-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 27

    BAB III

    Tradisi Penguburan Masyarakat Trunyan Bali

    3.1. Letak Geografi1

    Desa Trunyan yang terletak di Kaki Bukit Abang sebelah timur, di Tepi Danau

    Batur yang sering disebut kawasan Bintang Danu, adalah salah satu desa dari 48 desa

    yang ada di kecamatan Kintamani, dengan latar belakang pegunungan yang terjal dan

    curam. Desa Trunyan merupakan daerah berbukit dan berlembah, secara geografis

    terletak di:

    1. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karangasem

    2. Sebelah Barat berbatasan dengan Danau Batur

    3. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Songan

    4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Abang Batudinding

    Desa Trunyan terletak disebelah timur Kota Kecamatan dengan jarak orbital ke

    ibukota kecamatan 20 Km, ke ibu kota kabupaten 35 Km, serta ke kota provinsi 70 Km.

    Trunyan yang merupakan daerah berbukit dengan kondisi masih cukup kritis, dengan tipe

    iklim 6 bulan musim hujan, dan 6 bulan musim kering dengan curah hujan 1, 860 mm/

    tahun (Sumber BPS Kintamani). Luas wilayah Desa Trunyan 1963 Ha, dan secara

    administratif desa ini terbagi dalam Lima Banjar Dinas, yaitu: Banjar Dinas Trunyan,

    Banjar Dinas Madia, Banjar Dinas Bunut, Banjar Dinas Puseh, dan Banjar Dinas Mukus.

    1 Data Desa Trunyan, diambil dari Gambaran Umum Desa dan Potensi Desa

  • 28

    Konon riwayatnya pada tahun Saka 833 (911 Masehi), Raja Singhamandawa

    mengizinkan penduduk Turunan (Trunyan) membangun kuil. Kuil berupa bangunan

    bertingkat tujuh ini merupakan tempat pemujaan Bhatara Da Tonta. Desa Trunyan

    merupakan desa Tua di Bali, yang masih memegang teguh warisan dan tradisi leluhur.

    Untuk menjangkau lokasi, ada dua akses yaitu yang pertama adalah lewat askes dengan

    menggunakan sarana angkutan penyeberangan perahu tempel dan dayung, dan dari darat.

    Dari dermaga Kedisan, perjalanan bisa ditempuh kira-kira 15 menit, sedangkan dari

    dermaga di Desa Trunyan perjalanan memakan waktu separuhnya atau sekitar 7 menit. 2

    3.2. Sistim Sosial Masyarakat Trunyan

    3.2.1 Keadaan Ekonomi. 3

    Desa Trunyan masih sangat bercorak agraris yang menitik beratkan pada sektor

    pertanian. Hal ini didukung oleh penggunaan lahan pertanian yang masih mempunyai

    porsi terbesar sebanyak 100% dari total penggunaan lahan desa. Juga 80% mata

    pencaharian penduduk menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Hasil komoditi

    sebagai andalan adalah hasil pertanian. Beberapa sektor ekonomi yang tergolong

    Economic Base dan menonjol di samping pertanian adalah peternakan dan perikanan.

    Pada sektor perdagangan sebagai penggerak ekonomi masyarakat fasilitas pasar

    yang ada yaitu pasar satu buah. Pada sektor jasa, yang menonjol adalah tumbuhnya

    lembaga/istitusi Keuangan Mikro berupa Koperasi LPD sebagai pendukung ekonomi

    2 Hasil wawancara dengan Kepala Desa Trunyan

    3 Data Desa tentang kondisi Desa trunyan

  • 29

    desa. Hal ini diharapkan akan membawa dampak positif dalam perkembangan ekonomi

    desa secara keseluruhan.

    3.2.2. Keadaan Sosial Budaya dan Keagamaan.4

    Jumlah penduduk Desa Trunyan berdasarkan hasil sensus pada tahun 2013

    sebanyak 2.886 jiwa, terdiri dari 1.497 jiwa penduduk laki-laki dan 1.389 jiwa penduduk

    perempuan, yang terdiri dari 759 KK. Struktur penduduk menurut pendidikan

    menunjukkan kualitas sumber daya manusia yang dipunyai Desa Trunyan, yaitu Tidak

    Bersekolah 1.221 jiwa, SD sebanyak 1395 jiwa, SLTP sebanyak 137 jiwa, SLTA

    sebanyak 113 jiwa, Perguruan tinggi sebanyak 20 jiwa sedangkan yang berusia 16 tahun

    (usia di atas pendidikan dasar) yang belum pernah bersekolah 44,21 % sedangkan yang

    mengikuti pendidikan 48,1% dan sisanya 9,2% tidak bersekolah lagi baik pada tingkat

    lanjut dan perguruan tinggi.

    Potensi yang dimiliki Desa Trunyan pada umumnya dipergunakan dan

    dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh masyarakat terkait dengan pelayanan dalam

    mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Potensi khusus yang dimiliki oleh Desa Trunyan

    adalah sebagai objek pariwisata, Desa Trunyan memiliki objek wisata yang sangat unik

    dan menarik yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain seperti kuburan yang unik,

    Pura/tempat ibadah serta wisata alam yang belum dikembangkan dan dikelola dengan

    baik.

    Desa Trunyan tidak mempunyai sistim kasta seperti pada masyarakat Bali pada

    umumnya atau Bali Besar, karena desa ini merupakan Desa Tua Bali atau sering disebut

    4 Data Desa berdasarkan Hasil Sensus Tahun 2010

  • 30

    dengan Bali Tua. Kesejahteraan bersama menjadi tujuan masyarakat Trunyan, untuk ini

    kebersamaan, keramahan, serta menjaga dan memelihara segala warisan dari nenek

    moyang menjadi kewajiban dan bagian dari kehidupan masyarakat Desa Trunyan.

    Struktur penduduk menurut agama menunjukkan sebagian besar penduduk Desa

    Trunyan beragama Hindu (100%), sehingga kebudayaan Desa Trunyan tidak terlepas dan

    diwarnai oleh Agama Hindu dengan konsep “Tri Hita Karana”(hubungan yang selaras,

    seimbang, dan serasi antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia dan

    manusia dengan lingkungan). Sebagaimana simbol-simbol dan upacara-upacara yang

    dilakukan penganut agama Hindu masyarakat Bali pada umumnya di Trunyan juga ada

    Pura, ada dewa-dewa yang dipercaya oleh masyarakat, serta ada upacara Ngaben bagi

    orang meninggal.

    3.3. Sistim Kepercayaan Masyarakat Trunyan

    Religi orang Trunyan adalah suatu Variant, atau salah satu versi berbeda dari

    agama Hindu Bali, yang dapat disebut sebagai agama Hindu Bali Trunyan dan

    selanjutnya merupakan sebagian dari agama Hindu Dharma, yang telah diakui sebagai

    salah satu agama resmi di Indonesia. Agama Variant (versi berbeda) dari agama Hindu

    Bali, karena agama tersebut pada dasarnya masih lebih banyak berlandaskan kepada

    kepercayaan Trunyan asli. Kepercayaan Trunyan asli itu adalah kepercayaan yang

    berdasarkan kepada pemujaan Roh Leluhur (ancestor worship); yakin tentang adanya

    Roh lainnya di alam sekeliling tempat tinggalnya, sehingga perlu untuk dipuja

    (animisme); percaya bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan di sekelilingnya selain

    berjiwa dapat juga berperasaan seperti manusia (animatisme); dan percaya tentang

  • 31

    adanya kekuatan sakti pada segala hal atau benda yang luar biasa (dinamisme). Agama

    Hindu Trunyan berbeda dengan agama Hindu Bali karena, umatnya tidak merayakan

    upacara-upacara Hindu Bali yang terpenting seperti Galungan, Kuningan, Nyepi,

    Ciwaratri, Sarasawati, dan Pagarwesi, secara yang dilakukan oleh orang Bali Hindu,

    melainkan umat Hindu Trunyan merayakan upacara penting khas Trunyan sendiri atau

    tidak merayakannya sama sekali. Tapi ada upacara-upacara penting dalam masyarakat

    Trunyan yang wajib untuk dijalankan adalah upacara kelahiran, upacara perkawinan, dan

    upacara kematian.5

    Sistim kepercayaan orang Trunyan adalah kepercayaan mengenai: (1) Dunia

    Gaib, (2) Dewa-Dewa, (3) Mahluk-mahluk halus, (4) Roh Pribadi dan Roh Leluhur, (5)

    Kekuatan sakti, (6) Kepercayaan mengenai penyakit dan kematian, (7) Kepercayaan

    mengenai hidup dan dunia setelah mati, dan (8) Kepercayaaan kesusastraan suci.6

    1. Kepercayaan akan Dunia Gaib,

    Orang Trunyan sadar bahwa dunianya terdiri dari dua aspek, yaitu dunia nyata dan

    dunia yang tidak tampak. Dunia ini berada diluar panca inderanya dan di luar batas

    akalnya, dunia ini adalah dunia gaib. Dalam aspek dunia inilah terdapat berbagai

    mahluk halus dan kekuatan sakti, yang tidak dapat dikuasai manusia secara biasa.

    2. Kepercayaan akan Dewa-Dewa.

    Jumlah dewa orang Trunyan banyak dan ada susunannya, sehingga merupakan suatu

    pantheon tersendiri. Kebanyakan dari mereka itu mempunyai tempat bersemayam

    tersendiri didalam kuil utama Trunyan, Bali desa Pancering Jagat Bali. Para dewa ini

    5 Goris, R. Sifat Religius Masyarakat Trunyan, (Denpasar: Universitas Udayana Press,2012).20-25

    6Ibid., 318-325.

  • 32

    sama dengan dewa dipulau Bali lainnya. Para dewa baru akan hadir jika ada upacara

    sedang dilakukan.

    3. Kepercayaan akan Mahluk-mahluk halus.

    Selain para dewa, orang Trunyan juga meyakini bahwa di dunia gaib mereka berdiam

    mahluk-mahluk halus seperti Jin, buta kala, anak di peteng, dan binatang-binatang

    gaib. Jin adalah roh seorang wanita atau seorang pria, roh ini dibedakan dengan hantu

    karena asal-usulnya tidak diketahui. Dan bagi masyarakat mereka tidak berasal dari

    oraang Trunyan. Buta kala adalah Roh halus yang bukan berasal dari manusia

    kedudukannya lebih rendah dari dewa, jadi mereka berbeda dengan para dewa karena

    para dewa Trunyan tergolong pada mahluk gaib dari dunia atas, sedangkan buta kala

    tergolong pada makhluk dari dunia bawah. Dan jika dewa orang Trunyan berasal dari

    para leluhur maka buta kala bukan. Buta kala dikategorikan berbeda dengan para

    dewa karena buta kalah yang mempunyai sifat bermusuhan dengan manusia dan

    selalu mengganggu kehidupan manusia. Anak dipeteng adalah bagian dari Jin yang

    ada pada anak kecil atau roh anak kecil yang sering menampakkan dirinya pada batu

    atau setra Ngudah atau kuburan kedua yaitu kuburan bayi tempat pemakaman anak

    kecil. Binatang-binatang gaib, yang disebut Druwe yang dianggap sebagai piaraan

    para dewa, bintang-binatang ini seperti naga bersisik dan naga brejengger emas.

    4. Kepercayan akan Roh Pribadi dan Roh Leluhur.

    Orang Trunyan membedakan antara badan kasar dan dunia halus, jika badan kasar

    dapat lenyap setelah orang yang memilikinya meninggal, maka badan halusnya atau

    rohya tidak. Roh manusia bagi masyarakat Trunyan adalah abadi dan roh tersebut

  • 33

    akan terus kembali menitis ketubuh kasar orang se- dadianya.7 Penitisan terus

    menerus suatu roh didalam suatu dadia dari generasi yang satu ke genarasi yang lain

    menyebabkan orang Trunyan tidak berani menyakiti anak dan keturunannya, karena

    takut anak dan keturunannya itu adalah titisan dari Roh leluhurnya.

    5. Kepercayaan akan Kekuatan sakti.

    Orang Trunyan seeprti halnya daerah-daerah lain percaya akan adanya kekuatan-

    kekutan gaib dalam gejala-gejala, hal-hal, dan peristiwa-peristiwa yang luar biasa,

    gejala-gejala, hal-hal, dan peristiwa-peristiwa yang luar biasa itu merupakan situasi

    alam, tokoh-tokoh manusia, bagian-bagian tubuh manusia, binatang, tumbuh-

    tumbuhan, benda-benda, dan suara-suara yang luar biasa. Kekuatan-kekuatan yang

    dipercayai memiliki kekuatan sakti yang memiliki tenaga seperti angin yang bertiup

    dari arah barat laut, yang dapat mematikan tanaman. Tokoh-tokoh manusia yang

    dianggap mempunyai tenaga sakti adalah para Balian di Trunyan karena mereka

    memiliki tenaga untuk menguasai tenaga alam seperti hujan, tenaga sakti untuk

    mencelakai orang lain, menyembuhkan orang dari penyakitnya, dan membacakan

    mantera-mantera.

    6. Kepercayaan Mengenai Penyakit dan Kematian.

    Kematian di Trunyan dapat terjadi karena beberapa sebab yaitu penyakit, kecelakaan,

    dibunuh atau bunuh diri. Dari semua penyebab tersebut yang paling banyak

    mengambil korban ialah penyakit, penyakit yan banyak berjangkit di Trunyan adalah

    penyakit yang disebabkan oleh kekurangan gizi dan kuman-kuman, hal ini

    disebabkan karena sanitasi di desa Trunyan buruk.

    7 Dadia adalah kepercayaan mengenai penitisan Roh seseorang kembali kepada dadianya sendiri dan bukan kedalam

    dadia orang lain, apalagi ke kasta yang lain. Ini bukan merupakan keunikan dari desa Trunyan karena ini merupakan

    kepercayaan orang Bali pada umumnya.

  • 34

    7. Kepercayaan Mengenai Hidup dan Hidup setelah mati.

    Menurut kepercayaan orang Trunyan apabila seorang anak manusia dilahirkan, ia

    bukan saja mendapatkan satu Roh pribadi melainkan mendapatkan empat roh

    tambahan sebagai kawan hidupnya, keempat roh ini sebenarnya adalah Roh keempat

    saudara-saudaranya. Keempat roh itu adalah zat-zat yang turut keluar dari rahim

    ibunya sewaktu ia dilahirkan, ke empat Roh-roh itu ialah air tuban, darah, ari-ari dan

    tali pusar. Ke empat roh ini berbeda dengan badan kasar bayi, karena saat menghirup

    udara segar badan kasar bayi terus hidup sementara ke tempat rohnya segera

    meninggal saat bayi dilahirkan.

    8. Kepercayaan akan Kesusastraan Suci.

    Orang Trunyan mempunyai kesusastraan suci atau mite, suatu sejarah desa yang

    menceritakan tentang dewa yang turun dari langit yang membentuk desa Trunyan,

    dan selain itu juga berisikan tentang legenda yang menceritakan sumber aroma harum

    di desa Trunyan, seperti Pohon Tarumenyan. Fungsi mite ini untuk menerangkan

    asal-usul penduduk Trunyan serta para dewa-dewanya. Mite ini dianggap suci dan

    setiap tahun, ketika tidak ada halangan akan didramakan kembali disaksikan oleh

    seluruh penduduk dengan tujuan untuk mendatangkan kesuburan, kenyamanan, serta

    keselarasan hidup masyarakat Trunyan.

    3.3.1. Sistim Upacara Keagamaan8

    Seperti daerah-daerah yang lain upacara-upacara keagamaan memiliki bagian-

    bagian, begitu juga upacara keagamaan di Trunyan juga terdiri dari empat bagian: (1)

    tempat-tempat upacara, (2) saat-saat upacara, (3) benda-benda dan alat-alat upacara dan

    8 James Danandjaja, Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali. Ibid , 357-376.

  • 35

    (4) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. Karena upacara keagamaan

    adalah suatu yang dianggap keramat yang merupakan bagian dari itu secara otomatis juga

    dianggap keramat dan untuk itu disakralkan.

    1. Tempat-tempat upacara, berdasarkan tingkat kesuciannya tempat-tempat upacara

    keagamaan di Trunyan dapat dibagi menjadi dua yaitu: (1) Kuil Utama Trunyan, (2)

    Kuil-kuil tambahan serta tempat-tempat suci lainya, seperti kuburan sema wayah sebagai

    kuburan utama desa Trunyan.

    2. Saat-saat Upacara di Trunyan atau waktu merupakan dan dianggap suci, atau saat-saat

    yang dianggap penuh dengan kuasa-kuasa gaib yang berasal dari dewa yang berasal dari

    bagian atas. Yang tidak bersifat ulang tetap, karena itu berulang tetap dan upacara-

    upacara yang saatnya kadangkala. Saat upacara yang berulang tetap adalah sejajar dengan

    irama gerak alam semesta seperti pada waktu bulan sedang bulat penuh (purnama), dan

    saat bulan sedang gelap atau mati (tilem). Pada saat itu menurut kepercayaan orang

    Trunyan para dewa, roh leluhur, atau kerabat yang turun atau masuk ke dalam desa.

    Upacara-upacara yang bersifat kadangkala, dilakukan pada saat desa sedang mengalami

    sesuatu keadaan yang dapat merusak keseimbangan alam semesta dan irama hidup

    manusia, binatang peliharaan, serta tanaman berguna. Guna upacara ini adalah untuk

    mengembalikan keseimbangan tersebut.

    3. Benda-benda dan alat-alat upacara, benda-benda suci di Trunyan berdasarkan fungsinya

    dan dapat dibagi menjadi dua yaitu: benda-benda upacara, dan alat-alat upacara.

    Perbedaan tersebut diadakan karena pertama merupakan obyek-obyek pemujaan,

    sedangkan yang kedua merupakan alat-alat yang dipergunakan untuk memuja para dewa

    atau mahluk-mahluk lainnya. Benda-benda upacara menjadi objek pemujaan karena

  • 36

    dianggap sebagai lambang yang mewakili para dewa atau mahluk-mahluk halus lainnya.

    Sedangkan yang kedua tidak. Sekalipun demikian yang kedua tetap dianggap suci karena

    dipergunakan sebagai alat-alat pemujaan kepada yang suci.

    4. Orang-orang Yang Memimpin Upacara, di desa Trunyan orang –orang yang memimpin

    upacara dapat dibagi menjadi enam golongan yaitu: (1) peduluan, (2) pemangku, (3)

    balian, (4) kepala Roban, (5) klian teruna dan klian debunga, (6) syaman.

    Peduluan adalah suatu badan yang terdiri dari pemuka-pemuka adat, pemangku

    adalah jabatan agama dalam upacara keagamaan. Balian, para balian di desa Trunyan

    dapat digolongkan menjadi dua yaitu: balian penengen (kanan) dan balian pengiwa

    (kiri); balian penengen adalah balian yang menguasai ilmu gaib yang bersifat putih,

    artinya ilmu gaib yang berguna untuk menolong orang yang sedang mengalami

    kesukaran karena penyakit atau menjadi sakit karena diganggu oleh ilmu hitam,

    sedangkan balian penggiwa adalah balian yang menguasai ilmu gaib yang bersifat hitam

    artinya ilmu gaib yang dipergunakan dengan maksud untuk mencelakai orang lain, baik

    musuh ataupun lawan orang yang meminta pertolongannya. Balian penengen biasanya

    tidak meminta bayaran atau tidak memungut jasa upah dari orang yang meminta

    pertolongan, sedangkan balian penggiwa meminta bayar. Kepala roban, ialah para kepala

    roban atau kepala rumah tangga yang memimpin upacara seputaran kehidupan rumah

    tangganya sendiri. Klien teruna dan klien debunga, adalah para pemimpin pemuda dan

    pemudi dalam upacara keagamaan yang khusus dilakukan oleh perkumpulan pemuda

    setiap bulan purnama. Syaman, adalah seorang wanita yang mampu mempergunakan

  • 37

    dirinya sendiri sebagai tempat untuk mengundang roh atau dewa masuk ke dalam

    tubuhnya.

    3.3.2. Upacara Kelahiran9

    Kepercayaan orang Trunyan terhadap orang yang sedang mengandung

    mempunyai aturan-aturan tersendiri, Larangan atau aturan ini terutama berlaku pada

    perempuan yang sedang mengandung. la misalnya selalu harus membawa jimat penolak

    bahaya yang diberikan balian usada (dukun), ia dilarang mengadakan kontak dengan

    orang cacat tubuh, karena jika dilanggar sifat buruk itu akan diperoleh anaknya yang akan

    dilahirkan. Untuk memperlancar proses kelahiran anaknya, satu upacara khusus yang

    disebut toya penyeseg, pada waktu kandungannya berusia empat bulan. Pada upacara itu

    ia diberi air suci yang disebut toya penyeseg untuk diminum oleh sang dukun. Kelahiran

    di Trunyan, seperti halnya di Bali pada umumnya, adalah masalah kaum laki-laki. Hal ini

    disebabkan karena bidan tradisional disana adalah laki-laki, bukan perempuan. Kelahiran

    anak di Trunyan, sebenarnya adalah masalah keluarga pada umumnya (masyarakat),

    karena anak-anak kecil pun dari keluarga-keluarga yang lain itu diperbolehkan untuk

    turut menyaksikan proses alamiah itu. Pintu depan rumah perempuan yang sedang

    melahirkan anak dibuka lebar-lebar selama kelahiran anak, maka anak-anak kecil

    tetangga dapat kita lihat berkerumun di muka pintu untuk mengamati proses kelahiran

    tersebut. Hal ini merupakan bagian dari tradisi kelahiran masyarakat Trunyan karena

    sangat erat berhubungan dengan status anak itu nanti ketika ia meninggal nanti apakah ia

    masuk dalam kategori orang yang sempurna atau tidak, untuk itu kelahiran seorang anak

    9 Hasil wawancara dengan Kepala Adat

    http://mengandung.la/

  • 38

    dalam masyarakat Trunyan perlu disaksikan oleh orang banyak karena itu juga menjadi

    masalah dan urusan masyarakat yang ada.

    Apabila terjadi komplikasi selama kelahiran, maka sang bidan akan meminta

    bantuan dukun pengobatan (balian usada), yang memang sudah berada di dalam ruang

    itu, untuk mengucapkan mantera-mantera yang dapat melancarkan kelahiran, sambil

    memercikan air suci. Pada malam kelahiran anak bayi, satu upacara selamat datang yang

    disebut pemapag rare diadakan. Pada upacara ini roh si bayi diberi sesajian oleh orang

    tuanya melalui bidan yang melaksanakan upacara itu. Selain upacara pemapag rare

    tersebut masih ada serentetan upacara yang berhubungan dengan kelahiran seorang anak

    di Trunyan.

    Tutug Telu: Upacara ini dilakukan pada malam hari, ketika si bayi berusia tiga

    hari. Upacara ini dilaksanakan oleh bidan laki-laki. Tutug telu menjadi penting, karena

    berupa upacara untuk pemberian nama bagi si bayi. Dalam upacara pemberian nama ini,

    dipercaya bahwa roh si anaklah yang akan memilih namanya. Sang bidan akan membakar

    tiga batang lidi terbuat dari bambu, yang telah dililitkan dengan kapas yang telah

    dicelupkan di dalam minyak kelapa. Setiap lidi mewakili suatu nama yang diberikan oleh

    orang tua si bayi, dan lidi yang terakhir padam berarti merupakan pilihan roh si bayi.

    Upacara selanjutnya adalah Tutug Wol. Upacara ini diadakan pada waktu si bayi

    berusia delapan hari; dan upacara ini khusus dilakukan bagi dewa penjaga anak bayi yang

    disebut Empu Rare.

    Tutug Duadasa: Upacara ini dilaksanakan pada waktu si bayi berusia duabelas

    hari. Pada kesempatan itu kuping/telinga dari bayi laki-laki maupun perempuan ditindik.

  • 39

    Sejak hari itu si bayi baru diperbolehkan untuk pertama kali keluar rumahnya untuk

    melihat matahari, karena dianggap sudah cukup kuat untuk menghadapi pengaruh roh

    jahat.

    Tutug Bulan Pitung Dina (atau Lepas Berata): Upacara ini di adakan pada waktu

    si bayi berusia 42 hari. Fungsi upacara ini adalah untuk membebaskan orang tua si bayi

    dari segala pemali, yang dikenakan sejak si anak berusia tiga hari.

    Tutug Telu Bulanan: Upacara ini dilakukan pada waktu si bayi berusia tiga bulan.

    Upacara ini dilakukan pada malam hari. Usia tiga bulan adalah sangat penting, karena

    sejak usia itu roh si anak dianggap akan mendiami tubuh kasarnya secara permanen. Pada

    hari itu si bayi untuk pertama kalinya diperbolehkan memakai pakaian baru dan perhiasan

    tubuh. Untuk kesempatan ini seekor anak babi panggang disajikan kepada roh pribadi si

    bayi.

    Tutug Enem Bulanan (Otonan atau upacara hari jadi): Upacara ini dilakukan pada

    waktu si bayi mencapai usia enam bulan. Otonan inilah hari jadi atau hari ulang tahun

    orang Bali, karena hari jadi orang Bali bukan dirayakan dua belas bulan sekali, melainkan

    enam bulan sekali. Guna upacara ini terutama adalah ditujukan kepada "empat saudara" si

    bayi, agar mau berkumpul kembali di dekat si bayi, dan selain itu juga untuk

    mendamaikan roh pribadi si bayi agar bersedia untuk tetap menempati tubuh kasarnya

    yang sekarang lebih lama lagi.

    Tutug Dua Dasi Bulanan: Upacara ini dilakukan pada waktu si bayi berusia 12

    bulan. Pada upacara ini rambut si bayi digunting untuk pertama kali. Jadi upacara ini

    mempunyai dua fungsi, pertama sebagai hari jadi dan kedua untuk upacara pemotongan

  • 40

    rambut untuk pertama kali. Upacara menjadi lebih penting apabila rambut si anak

    menjadi gembel, yang menunjukan bahwa rohnya sangat "kotor".

    Upacara ini upacara terakhir yang ada hubungan dengan kelahiran seorang bayi,

    dan sejak itu seorang individu akan diupacarai tiap enam bulan sekali, dengan upacara

    hari jadi yang di Bali disebut otonan terakhir diadakan bagi seorang adalah enam bulan

    sesudah ia wafat.

    Rangkaian upacara-upacara kelahiran wajib untuk dilakukan oleh masyarakat

    Trunyan karena upacara-upacara tersebut merupakan suatu acuan untuk dapat

    menentukan baik-buruknya kehidupan anak itu nantinya bahkan setelah ia meninggal.

    3.3.3. Upacara Perkawinan10

    Perkawinan di Trunyan dapat dimulai melalui tiga cara, yakni dengan cara

    meminang (memadik); dengan cara bersama-sama melarikan diri (ngerorot); atau dengan

    cara menculik seorang gadis yang tidak rela dikawini (melegandang). Dari ketiga macam

    itu yang paling umum dan yang paling disukai adalah bentuk ngerorot, karena

    perkawinan semacam itu adalah berdasarkan saling cinta-mencintai adanya.

    Persetubuhan sebelum diadakan upacara perkawinan adat diperkenankan oleh

    adat di Trunyan, karena tujuan perkawinan di sana adalah untuk memperoleh keturunan;

    sehingga biaya upacara perkawinan yang mahal tersebut, baru akan dikeluarkan setelah

    seorang laki-laki yakin benar bahwa gadis yang dikawini itu akan memberi keturunan

    baginya. Inilah sebab utama mengapa kebanyakan mempelai perempuan di Trunyan

    sudah mempunyai perut besar karena mengandung sewaktu mereka berada di muka

    10

    Hasil wawancara dengan Kepala Adat/Pemangku Adat

  • 41

    balian yang memimpin upacara perkawinan adat. Apabila pergaulan antara kedua orang

    yang saling menyukai dan mencintai itu berjalan baik, maka mereka akan bersama-sama

    melarikan diri, untuk bersembunyi di salah satu anggota dadia pihak laki-laki, dan dari

    sana mengirim seorang utusan untuk melaporkan kepada orang tua si gadis, bahwa

    mereka telah berkeputusan untuk menikah. Utusan tadi harus membawa serta satu wadah

    perak yang berisikan daun sirih lengkap dengan segala ramu-ramuannya seperti pinang,

    kapur, gambir dan tembakau, yang disebut buah basi. Apabila persembahan ini dimakan

    oleh orang tua si perempuan, maka itu berarti bahwa ia setuju dengan perkawinan ini, dan

    jika ia tidak setuju maka ia akan menolak memakannya. Namun apabila buah basi ini

    tetap dipersembahkan sampai tiga kali, walaupun terus saja ditolak, perkawinan menurut

    adat dianggap sah juga. Upacara persembahan buah basi akan dilakukan menjelang satu

    hari secara berturut-turut. Dan biasanya orang tua si perempuan baru menerimanya pada

    persembahan yang terakhir.

    Mepekandal, adalah upacara yang dilakukan di pekarangan kuil bagian luar

    (jaban), dengan maksud untuk mengesahkan keanggotaan kedua mempelai sebagai

    anggota desa adat (krama desa). Upacara perkawinan adalah sangat mahal, karena paling

    sedikit dua ekor babi dewasa harus disembelih pada kesempatan itu. Semua anggota

    dewan desa adat harus diundang untuk menyaksikan upacara tersebut, sambil disajikan

    makanan upacara yang terdiri dari nasi kukus yang dicampur dengan sayur yang terbuat

    dari kelapa parut yang dicampur dengan darah babi mentah, potongan daging babi dan

    bumbu-bumbu. Sebenarnya menurut adat di sana, orang Trunyan tidak diharuskan untuk

    mengadakan upacara yang mahal. Setiap upacara pesta keagamaan selalu ada pilihan di

    antara yang bersifat sederhana (nista), yang bersifat tengah-tengah (madia) dan yang

  • 42

    bersifat agung (ageng). Namun orang Trunyan lebih suka melakukan yang terakhir,

    karena dapat menaikan gengsi dadianya masing-masing.

    Usia untuk kawin bagi orang laki-laki Trunyan adalah di sekitar 25 tahun, dan

    bagi perempuan 20 tahun, tetapi kini ada kecenderungan untuk dilakukan dalam usia

    yang lebih muda dikalangan generasi yang lebih muda. Sampai pada hari ini,

    persetubuhan sebelum diadakan upacara perkawinan adat tidak dilarang oleh adat,

    sehingga banyak dipraktikkan oleh para remaja di sana.

    3.4. Sistim Kepercayaan tentang Kematian

    3.4.1. Upacara Kematian11

    Setiap daerah mempunyai upacara kematian yang beraneka ragam, demikian juga

    dengan Pulau Bali yang mayoritas adalah beragama Hindu menghormati orang yang

    sudah meninggal dengan mengadakan upacara kematian yang disebut Ngaben. Ngaben

    ini upacara pembakaran mayat yang dilakukan di Bali, khususnya oleh yang beragama

    Hindu, dimana Hindu adalah agama mayoritas di pulau Bali, Upacara ini biasanya

    dilakukan dengan ramai dan meriah, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu

    keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal karena itu dapat

    menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya. Hari pelaksanaan Ngaben

    ditentukan dengan mencari hari baik yang biasanya ditentukan oleh pemangku. Beberapa

    hari sebelum upacara Ngaben dilaksanakan keluarga dibantu oleh masyarakat akan

    membuat “Bade dan Lembu” yang sangat megah terbuat dari kayu, kertas warna-warni

    dan bahan lainnya. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat mayat yang akan

    11

    Hasil wawancara dengan Kepala Adat/Pemangku Adat

  • 43

    dilaksanakan Ngaben. Ketika hari upacara ini dilaksanakan, keluarga dan sanak saudara

    serta masyarakat akan berkumpul mempersiapkan upacara. Mayat akan dibersihkan atau

    yang biasa disebut “Nyiramin” oleh masyarakat dan keluarga, “Nyiramin” ini dipimpin

    oleh pemangku atau petua adat. Setelah itu mayat akan dipakaikan pakaian adat Bali

    seperti layaknya orang yang masih hidup. Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh

    keluarga akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa semoga arwah

    yang diupacarai memperoleh tempat yang baik. Setelah semuanya siap, maka mayat akan

    ditempatkan di “Bade” untuk diusung beramai-ramai ke kuburan tempat upacara Ngaben,

    diiringi dengan “gamelan”, “kidung suci”, dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat,

    di depan “Bade” terdapat kain putih yang panjang yang bermakna sebagai pembuka jalan

    sang arwah menuju tempat asalnya. Di setiap pertigaan atau perempatan jalan maka

    “Bade” akan diputar sebanyak 3 kali. Sesampainya di kuburan, upacara Ngaben

    dilaksanakan dengan meletakkan mayat di “Lembu” yang telah disiapkan diawali dengan

    upacara-upacara lainnya dan doa mantera dari pemangku, kemudian “Lembu” dibakar

    sampai menjadi abu. Abu ini kemudian dibuang ke laut atau sungai yang dianggap suci.

    Setelah upacara ini, keluarga dapat tenang mendoakan leluhur dari tempat suci

    dan pura masing-masing. Inilah yang menyebabkan ikatan keluarga di Bali sangat kuat,

    karena mereka selalu ingat dan menghormati lelulur dan juga orang tuanya. Terdapat

    kepercayaan bahwa roh leluhur yang mengalami reinkarnasi akan kembali dalam

    lingkaran keluarga lagi, jadi biasanya seorang cucu merupakan reinkarnasi dari orang

    tuanya.

  • 44

    3.4.2. Upacara Kematian di Desa Trunyan12

    Upacara kematian di Desa Trunyan berbeda dengan upacara kematian Bali pada

    umumnya, mengapa berbeda? Karena di Trunyan tidak mengenal adanya Ngaben bakar,

    masyarakat Desa Trunyan tetap mengadakan Ngaben tetapi jenazah orang yang

    meninggal tidak dibakar, melainkan boneka-boneka yang terbuat dari kertas yang

    menyerupai jasat orang yang meninggal dicemplungkan ke dalam Danau Batur, Itulah

    Ngaben bagi orang Trunyan.

    Upacara kematian di Trunyan paling sedikit dapat dibagi menjadi dua bagian

    besar, yaitu upacara Ngutang Mayit dan Ngaben. Kedua upacara tersebut tidak diadakan

    bagi semua orang yang telah meninggal, karena untuk dapat diberi kedua upacara

    tersebut, bergantung sekali pada kedudukan orang yang meninggal dalam masyarakat,

    dan cara ia meninggal. Bagi orang yang telah berumah tangga secara sah dan meninggal

    secara wajar, akan diupacarakan lengkap kedua-duanya; tetapi bagi orang yang belum

    berumah tangga (bujangan atau gadis) dan meninggal secara wajar, hanya akan

    diupacarakan dengan upacara Ngutang Mayit saja, tanpa Ngaben. Hal ini disebabkan

    karena orang tersebut, dianggap masih suci, hingga tidak perlu disucikan lagi dengan

    upacara Ngaben. Sebaliknya bagi orang yang mati tidak secara wajar, seperti akibat

    bunuh diri, dibunuh orang, dihinggapi penyakit yang dapat merusak rupa wajah atau

    tubuhnya seperti cacar dan lepra, selain harus diupacarakan lengkap kedua-duanya, masih

    harus ditambah lagi dengan upacara penyucian tambahan. Hal ini disebabkan karena roh

    mereka dianggap sangat "kotor".

    12

    Hasil wawancara dengan Pemangku Adat

  • 45

    Upacara Ngutang Mayit: Upacara ini sebenarnya adalah upacara pemakaman

    yang akan diadakan mula-mula di rumah, dan kemudian dilanjutkan di tempat

    pemakaman sema wayah (bagi orang yang telah menikah dan mati wajar), atau di sema

    nguda (bagi mereka yang masih bujangan dan mati wajar). Di kedua tempat pemakaman

    ini jenazah seorang akan dimakamkan secara mepasah, yakni dengan cara meletakkan

    saja jenazah di dalam lubang sedalam 20 scm tanpa dikubur. Atau upacara ini dilakukan

    di sema bantas untuk mengebumikan orang yang mati tidak wajar, dengan cara di kubur.

    Upacara ngutang mayit akan diadakan segera setelah seorang meninggal dunia. Semua

    pakaiannya termasuk gigi emasnya dilucuti. Jenazah itu kemudian ditutupi dengan

    sehelai kain batik baru, sampai menunggu kedatangan kerabat-kerabat laki-laki yang

    akan memandikannya. Di Trunyan kerabat-kerabat yang wajib mengurus mayat harus

    orang laki-laki, walaupun yang mati adalah berjenis kelamin perempuan. Setelah itu ia

    disembahyangi, lalu dilanjutkan dengan upacara membersihkan giginya dengan beras

    yang telah digongseng. Setelah bersih mulutnya kemudian dimasukan sebutir batu mirah,

    dengan maksud agar tubuhnya tidak lekas menjadi busuk. Pada setiap jari tangan dan

    kaki lalu diberi jeriji, yang terbuat dari gulungan daun sirih yang telah dimasukkan ke

    dalam lubang uang kepeng. Sesudah itu pada masing-masing tangan digenggamkan uang

    perak. Pada ketika itu kedua tangan almarhum sudah di letakkan di atas alat kelaminnya

    sehingga dapat tertutup dari pandangan orang.

    Menutupi alat kelamin perempuan dari pandangan orang laki-laki adalah suatu

    keharusan, karena akan membawa kesialan bagi orang laki yang melihatnya. Setelah

    tubuh jenazah bersih, rambutnya kemudian diberi santan kelapa agar mengkilat, dan

    seluruh tubuhnya diperciki dengan air suci. Sebelum jenazah ini ditutupi lagi dengan kain

  • 46

    batik barunya, pada ulu hatinya diletakan ramuan pemanas tubuh yang disebut ampok,

    yang terdiri dari kunyahan laos, kencur dan daun sirih. Setelah itu jenazah lalu dibungkus

    lagi dengan tikar dan diikat dengan beberapa utas tambang bambu. Sebelum membawa

    jenazah ke tempat pemakaman, anggota dari dewan desa adat akan membacakan syair

    yang dinyanyikan.

    Menurut adat, orang Trunyan tidak lama-lama menahan jenazah kerabatnya di

    rumah mereka, paling lambat hanya disemayamkan di rumahnya selama satu hari satu

    malam saja. Karena letak daerah pemakaman Sema Wayah di pantai Danau Batur di luar

    desa induk Trunyan, maka untuk ke sana jenazah harus diangkat dengan biduk lesung.

    Orang yang diperbolehkan mengantar jenazah hanya kaum laki-laki saja, sedangkan

    kaum perempuan dilarang. Hal ini disebabkan karena di sana ada kepercayaan, bahwa

    hanya seorang dukun yang dapat menjadi leyak, atau orang yang sedang belajar ilmu gaib

    hitam saja yang berani ke daerah pemakaman, dan itu adalah seorang laki-laki.

    Selama dalam perjalanan ke makam, jenazah diletakan di atas usungan mayat

    terbuat dari bambu yang disebut Klakat. Setelah sampai di tempat penguburan jenazah

    tidak segera dimasukkan ke dalam daerah pemakaman, melainkan harus menunggu

    dahulu di luar batas daerah itu, karena masih harus diadakan dahulu upacara pembelian

    tanah pemakaman.

    Hal ini disebabkan karena di daerah pemakaman hanya ada tujuh petak tanah saja,

    yang dapat dipergunakan untuk meletakkan mayat, sehingga jika ada mayat baru, salah

    satu dari tulang belulang jenazah yang lama berada di sana harus disingkirkan. Setelah

    petak tanah itu dibayar dengan beberapa buah uang kepeng, maka klakat yang berisikan

  • 47

    jenazah itu dimasukkan ke dalam daerah pemakaman. Di sana jenazah dilepaskan dari

    bungkusannya sehingga berada dalam keadaan polos lagi, untuk diulangi lagi upacara

    pemandian seperti yang telah ia peroleh sewaktu masih berada di rumah tadi. Dan batu

    mirah dikeluarkan dari rongga mulutnya, dengan maksud agar sejak itu, tubuhnya dapat

    dengan cepat membusuk dan kembali lagi menjadi tanah, sehingga rohnya dapat

    dipisahkan dari ikatan tubuh kasarnya hal ini sangat dipercayai.

    Sesudah upacara pemandian kedua kali itu selesai dilakukan, maka tubuh yang

    masih dalam keadaan polos itu diletakkan di atas petak tanah, yang telah diperuntukkan

    baginya, dalam posisi terlentang, dengan kepalanya tertuju ke arah kaja (timur ke arah

    bukit) dan kedua kakinya ke arah kelod (barat ke arah danau), dan kedua tangannya

    menutupi alat kelaminnya. Dalam keadaan ini tubuh itu diselimuti dengan kain batik

    barunya dari leher ke ujung kakinya, sehingga yang terlihat tinggal kepalanya saja, yang

    diberi sorban handuk. Untuk melengkapi pakaiannya, pada bagian pinggangnya diberi

    sabuk terbuat dari handuk yang telah dilipat menjadi sempit panjang. Setelah itu pada

    perut dan dada jenazah diletakan beberapa potong kue ketan, dan di bawah kedua

    bahunya diselipkan beberapa lembar uang kertas rupiah ratusan. Sebelum jenazah ini

    ditutupi dengan penutup terbuat dari anyaman bambu berbentuk segi tiga, yang disebut

    tanjak, para hadirin diberi kesempatan untuk mengucapkan kata-kata perpisahan,

    sebelum meninggalkan tempat itu untuk kembali ke rumah masing-masing.

    Ngaben: Kebudayaan di desa Trunya merupakan suatu hal yang langka, unik dan

    aneh karena perlakuan terhadap mayat di desa ini berbeda dengan daerah-daerah yang

    lain, kebudayaan Bali yang pada umumnya mengenal “Ngaben” yaitu perlakuan

  • 48

    terhadap jenazah dengan diupacarakan dan dibakar berbeda dengan di Desa Trunyan ini,

    mayat hanya diletakan diatas tanah, ini merupakan suatu kebudayaan yang terus dijaga

    dan dilestarikan oleh warga Desa Trunyan. Pengertian dan pemahaman akan adanya

    kehidupan sesudah kematian juga dimiliki oleh warga Desa Trunyan. Untuk itu budaya

    Bali pada umumnya mengadakan upacara kematian dengan suatu pesta yang sangat

    mewah dan besar serta menghabiskan banyak biaya.

    Ngaben di Desa Trunyan hanya mengarak jenazah menggunakan perahu.

    Setibanya di kuburan jenazah diletakkan begitu saja di dalam tanah sedalam 20 cm.

    Upacara Ngaben di Trunyan biasanya diadakan secara massal, Prosesi Ngaben massal ini

    dilakukan untuk mengupacarai jenazah warga setempat yang belum dingabenkan. Meski

    demikian, sarana bade yang dipergunakan hanya satu, dengan tujuan untuk menghemat

    biaya. Prosesi awalnya telah mulai dilakukan dari desa setempat, dengan menggelar

    upacara penyucian seluruh sarana pengabenan, dengan diiringi gamelan angklung,

    dilanjutkan dengan arak-arakan. Bade yang akan dibawa ke kuburan diangkut dengan

    menggunakan perahu rakit untuk penyeberangan, sama halnya dengan prosesi Ngaben di

    darat, saat di tengah perjalanan bade yang diusung dengan menggunakan perahu ini juga

    melakukan ritual, melingkar sebanyak tiga kali. Saat sampai dikuburan, jenazah yang

    disimboliskan dengan benda-benda suci yang dibungkus dengan kain layaknya jenazah

    manusia, diturunkan untuk diletakkan di areal kuburan, sementara, bade yang digunakan

    ditenggelamkan ke danau. Sebab di desa ini, prosesi pengabanen sama sekali tidak

    diperkenankan dilakukan dengan cara membakar.

  • 49

    Upacara ini merupakan upacara kematian tahap kedua, di mana roh si mati

    dibebaskan untuk selama-lamanya dari eksistensinya dahulu. Dalam upacara ini sisa-sisa

    tubuhnya tidak dibakar melainkan dibiarkan berada di tempat pemakaman. Pada akhir

    upacara, di mana diadakan pawai meriah, sebuah pagoda terbuat dari bambu dan kertas

    warna-warni tempat membawa boneka-boneka kayu garu, yang mewakili jenazah si mati,

    ditenggelamkan ke dalam air Danau Batur, di muka Sema Wayah.

    3.4.3. Pembedaan perlakuan terhadap orang meninggal di Desa Trunyan.13

    Dalam kehidupan masyarakat Trunyan tiga faktor utama untuk dapat menjalani

    hidup dengan baik yaitu melewati kelahiran dengan proses tradisi masyarakat Trunyan,

    proses perkawinan dengan baik, dan meninggal dalam keadaan tubuh fisik yang utuh,

    kehidupan moral yang baik, dan jiwa baik juga. Ketiga faktor ini menjadi indikator

    pengukur untuk dapat menentukan apakah kehidupan orang tersebut sempurna sehingga

    ketika ia meninggal nanti dapat dikuburkan di kuburan yang dianggap suci oleh

    masyarakat Trunyan atau tidak. Masyarakat Trunyan mengatur upacara khusus untuk

    yang meninggal dalam keadaan yang sempurna baik fisik, moral, jiwa dan bagi yang

    meninggal dalam keadaan bercacat-cela.

    Ada pembedaan upacara bagi yang meninggal dan dalam kondisi fisik bercacat,

    moral tidak baik selama hidupnya, dengan orang yang meninggal dalam keadaan kondisi

    fisik yang baik dan moral yang baik juga. Upacara penyucian dosa akan diadakan bagi

    orang yang meninggal dalam keadaan yang tidak baik seperti kecelakaan, bunuh diri, atau

    terlibat dalam suatu perkelahian yang mengakibatkan kematian dan kondisi fisik tidak

    13

    Hasil wawancara dengan Kepala Adat

  • 50

    baik seperti bertato dan mempunyai bekas luka, serta moral hidupnya tidak baik. Upacara

    ini tidak diadakan bagi mereka yang meninggal dalam keadaan tubuh fisik yang baik,

    moral dan jiwa yang baik pula. Untuk menentukan moral dan jiwa orang tersebut baik

    atau tidak diadakan lagi upacara yang dipimpin oleh kepala adat, sebagai pemangku adat,

    dalam hal ini pemangku menjadi pusat utama dari upacara tersebut karena posisi

    pemangku digunakan sebagai “penerima” perantara antara masyarakat dan dewa-dewa

    yang dipercaya oleh masyarakat Trunyan, melalui upacara „Nerima‟ ini, kepercayaan

    masyarakat Trunyan para dewa-dewa akan memberitahukan lewat perantara yaitu

    pemangku apakah moral dan jiwa orang meninggal tersebut baik atau buruk sehingga hal

    ini yang menjadi patokan bagi keluarga dan masyarakat untuk dapat dikuburkan di

    kuburan utama atau sema wayah atau tidak. Pemilihan seorang pemangku diadakan lewat

    suatu upacara yang sakral dimana semua warga berkumpul di Pura, dan sebagai tanda

    seorang dipilih untuk menjadi pemangku adat maka orang tersebut akan menampilkan

    suatu cahaya dimana dipercaya oleh masyarakat bahwa para dewa dan leluhur hadir

    dalam diri orang tersebut. Orang Trunyan sangat menjaga kesucian kuburan sema wayah

    tersebut sehingga sampai saat ini tidak ada masyarakat yang berani melanggar aturan-

    aturan dalam proses penguburan khusus untuk yang dikuburkan di sema wayah atau

    kuburan utama. Perlakuan khusus ini diperuntukkan untuk semua masyarakat Trunyan

    tanpa membedakan kasta karena dalam kehidupan masyarakat Trunyan tidak ada sistim

    kasta, sehingga sekalipun para petua adat/ pemangku yang meninggal tetapi dalam

    keadaan kondisi fisik yang bercacat tidak diperkenankan untuk dikuburkan di kuburan

    utama atau sema wayah.

  • 51

    Masyarakat Trunyan yang meninggal dalam keadaan kondisi fisik tanpa cela,

    kehidupan moral serta jiwanya baik, sudah menikah menjadi orang tua, melewati proses

    kelahiran dan perkawinan dengan baik, maka ketika ia meninggal ia pantas dan layak

    untuk dikuburkan di kuburan utama atau sema wayah sebagai kuburan yang suci bagi

    masyarakat Trunyan. Sementara untuk orang yang meninggal dalam keadaan kondisi

    fisik baik tanpa cela, belum menikah, atau pun yang masih bayi mereka dikuburkan di

    kuburan yang kedua yaitu yang disebut dengan kuburan bayi. Untuk kuburan yang ketiga

    diperuntukkan bagi mereka yang meninggal dalam keadaan kondisi fisik yang bercacat

    (mempunyai bekas luka atau bertato), meninggal dengan cara yang tidak baik, moral

    hidup tidak baik, ada gangguan jiwa, tidak melewati proses kelahiran dan perkawinan

    dengan baik sesuai tradisi yang ada. Tempat penguburan yang ketiga berbeda dengan

    yang pertama dan kedua, kalau yang pertama dan kedua mayat atau jenazah orang yang

    meninggal tidak ditanam tetapi hanya diletakkan di atas tanah saja atau masyarakat

    menyebutnya dengan Mepasah, dikuburan ketiga ini jenazah atau mayat orang yang

    meninggal ditanam di dalam tanah, dikuburkan seperti cara penguburan yang biasa kita

    lihat digali dalam lobang dan ditimbun dengan tanah.

    Selain orang yang harus suci berada di kuburan yang dianggap suci oleh

    masyarakat, segala peralatan-peralatan yang digunakan untuk suatu upacara kematian

    haruslah suci, yaitu dengan cara mencuci dengan air suci semua benda-benda yang akan

    digunakan dalam upacara kematian, air tersebut yang diambil dari sumber air yang dekat

    dengan kuburan suci atau sema wayah dengan cara menggunakan gayung yang telah

    disediakan. Hal ini dilakukan oleh masyarakat karena benda-benda tersebut akan

  • 52

    dipergunakan untuk memuja sesuatu yang dianggap mempunyai kuasa yang besar atau

    yang Ilahi.

    Dalam melaksanakan upacara kematian bagi masyarakat Trunyan tidak

    sembarangan, mereka memiliki aturan khusus terlebih dalam hal pemilihan waktu atau

    hari yang dikenal dengan hari baik, penentuan hari baik ini ditentukan oleh pemangku

    sebagai penerima melalui suatu meditasi yang dilakukan di Pura desa tersebut,

    masyarakat meyakini bahwa melalui meditasi yang dilakukan oleh pemangku para dewa

    membisikkan atau memberitahukan kapan hari baik untuk diadakan upacara kematian.

    Pemilihan hari baik ini dilakukan dengan alasan suatu kepercayaan masyarakat, bahwa

    untuk menghadap kepada yang Ilahi (dewa-dewi, Tuhan) yang mereka percaya harus

    pada waktu yang tepat, dan pada waktu yang tepat di hari baik itu semua masyarakat

    berkumpul untuk memuja lewat suatu upacara kepada yang Ilahi tersebut.

    3.4.3.1. Tiga Tempat Penguburan Masyarakat Trunyan14

    Di desa Trunyan ada tiga jenis penguburan. Kuburan utama, dianggap paling suci

    dan paling baik. Jenazah yang dikuburkan pada kuburan suci ini hanyalah jenazah yang

    jasadnya utuh, tidak cacat, dan jenazah yang proses meninggalnya dianggap wajar (bukan

    bunuh diri atau kecelakaan). Kuburan ini disebut dengan Sema Wayah.

    Kuburan yang kedua disebut kuburan muda yang khusus diperuntukkan bagi bayi

    dan orang dewasa yang belum menikah, juga disebut bayi, dan untuk itu dikuburkan di

    kuburan ke dua ini, perlakuan terhadap orang meninggal dan yang dikuburkan di kuburan

    kedua ini, mayatnya di gali dalam tanah tapi tidak ditimbun dengan tanah hanya di tutupi

    14

    Hasil wawancara dengan Pengaku Adat Desa Trunyan

  • 53

    dengan ranting-ranting pohon yang membentuk seperti sebuah rumah, namun tetap

    dengan syarat jenazah tersebut harus utuh dan tidak cacat.

    Kuburan yang ketiga disebut Sentra Bantas. Kuburan ini khusus untuk jenazah

    yang cacat dan yang meninggal secara tidak wajar..

    Dari ketiga jenis kuburan tersebut yang paling unik dan menarik adalah kuburan

    utama atau kuburan suci (Sema Wayah). Kuburan ini berlokasi sekitar 400 meter di

    bagian utara desa dengan dibatasi oleh tonjolan kaki tebing bukit. Untuk membawa

    jenazah ke kuburan harus menggunakan sampan kecil khusus jenazah yang disebut

    Pedau. Meski disebut dikubur, namun cara penguburannya unik, yaitu dikenal dengan

    istilah Mepasah. Jenazah yang telah diupacarai menurut tradisi setempat diletakkan

    begitu saja di atas lubang sedalam 20 cm. Sebagian badannya dari bagian dada ke atas,

    dibiarkan terbuka, tidak terkubur tanah. Jenazah tersebut hanya dibatasi dengan ancak

    saji yang terbuat dari sejenis bambu membentuk semacam kerucut, digunakan untuk

    memagari jenazah. Jumlah bambu yang berbentuk segi tiga digunakan untuk mengelilingi

    mayat adalah sama berjumlah 45 belahan bambu tetapi dibedakan antara kepala adat dan

    masyarakat biasa, kalau kepala adat bambu dalam posisi gepeng, sementara kalau

    masyarakat bambu dalam posisi berdiri. Di Sema Wayah ini terdapat 7 liang lahat terbagi

    menjadi 2 kelompok. Dua liang untuk penghulu desa yang jenazahnya tanpa cacat

    terletak di bagian hulu dan masih ada lima liang berjejer setelah kedua liang tadi yaitu

    untuk masyarakat biasa. Kuburan utama ini yang di sakralkan dan disucikan oleh

    masyarakat Trunyan.

  • 54

    Orang Trunyan percaya bahwa daerah pemakaman Sema Wayah itu suci adanya,

    untuk itu tempat tersebut di sakralkan oleh masyarakat setempat, sehingga jenazah yang

    diletakan di sana tidak akan mengeluar bau busuk. Dengan mempergunakan cara pe-

    makaman mepasah ini, pembusukan jenazah dapat terjadi lebih cepat jika dibandingkan

    dengan cara penguburan, karena dagingnya akan dimakan oleh ulat-ulat, sehingga dalam

    dua tiga minggu, yang tertinggal hanya tulang belulangnya saja. Tetapi dalam proses

    pembusukan tersebut masyarakat maupun pengunjung yang datang ke kuburan tersebut

    tidak akan mencium bau. Dan apabila ada orang yang dapat mencium bau busuk itu

    berarti bahwa ia sedang dalam keadaan sebel (tidak suci). Keadaan tidak suci itu antara

    lain dapat disebabkan oleh 'datang bulan' bagi perempuan.

    Aturan agar mayat yang diletakkan di kuburan utama harus orang yang tidak

    memiliki cacat-cela tetap terus dijaga oleh masyarakat Trunyan, dan ketika ada yang

    melanggar aturan tersebut maka masyarakat mempercayai keluarga dari almarhum/ah

    akan mendapatkan kesialan atau akan mendapatkan hukum karma pala yang setimpal.

    Aturan lainnya lagi setiap orang yang berkunjung ke kuburan utama atau sema wayah

    tidak diperkenankan mengambil apapun dari dalam kuburan tersebut (kecuali

    gambar/foto), kepercayaan masyarakat Trunyan ketika ada orang yang mengambil benda

    dari dalam kuburan tersebut maka dia akan mendapatkan gangguan dari para arwah dan

    dewa yang ada dikuburan tersebut.

    Suatu kisah nyata diceritakan oleh beberapa masyarakat bahkan kepala desa, dan

    kepala adat. Ada seorang turis asing yang tertarik dengan uniknya tempat tersebut sampai

    membuat turis itu penasaran dan secara diam-diam pada waktu malam menggunakan

    speedboat ke kuburan sema wayah dan mengambil tengkorak, tulang kaki, tulang tangan,

  • 55

    dan tulang belakang dari kuburan tersebut, ketika turis itu sampai di penginapan tulang-

    tulang tersebut bergerak dengan sendirinya, sehingga turis tersebut mengembalikan

    kembali tulang-tulang tersebut dan melapor kepada kepala desa dan kepala adat sehingga

    diupacarai agar turis tersebut tidak diganggui lagi oleh dewa penjaga kuburan tersebut

    yang tidak suka dengan hal yang tidak baik yang dilakukan di kuburan tersebut, dan

    arwah-arwah orang meninggal yang dikuburkan disitu. Dalam upacara tersebut orang

    yang mencuri meminta maaf kepada dewa penghuni kuburan, dan kepada

    keluarga/masyarakat desa Trunyan.

    Aturan-aturan tersebut hadir dan dibuat karena tempat tersebut merupakan tempat

    yang disakralkan oleh masyarakat Trunyan sebagai tempat penghormatan terhadap

    leluhur dan arwah orang yang sudah meninggal.

    Desa Trunyan memang merupakan desa Tua di Bali, yang masih memegang teguh

    warisan dan tradisi leluhur. Sehingga sistim penguburan yang berbeda dengan daerah-

    daerah yang lain tetap terus dipelihara oleh masyarakat Trunyan. Masyarakat Trunyan

    yang menganut agama Hindu yang juga mempercayai adanya hukum karma, sehingga

    masyarakat Trunyan berusaha untuk menjalani kehidupan mereka dengan melakukan

    segala yang baik agar hal yang baik pula boleh mereka terima serta anak cucu mereka di

    kehidupan dan generasi selanjutnya.

    3.4.3.2. Pohon Tarumenyan sebagai Pohon Suci.15

    Nama Desa Trunyan diambil dari nama pohon yang disebut Taru Menyan, yang

    terletak di tengah desa Trunyan induk, pohon Trunyan yang dipercaya oleh masyarakat

    15

    Hasil wawancara dengan Kepala Adat Desa Trunyan dan hasil observasi

  • 56

    Trunyan sebagai pohon yang mampu untuk memberikan aroma yang harum di desa

    tersebut, masyarakat juga percaya kalau terjadi sesuatu yang baik di desa tersebut maka

    aroma harum pohon tersebut bisa sampai di kota Denpasar, sebaliknya ketika ada hal

    buruk terjadi di desa tersebut maka aroma tidak enak akan tercium di desa tersebut.

    Pohon ini juga yang dipercaya oleh masyarakat Trunyan sebagai pohon yang menyerap

    bau dari mayat-mayat yang dikuburan di kuburan utama atau sema wayah, sehingga tidak

    tercium bau bangkai mayat.

    Di kuburan utama, atau sema wayah, juga terdapat pohon yang namanya Taru

    Kruya. Pohon ini sering disamakan bahkan disebut sebagai pohon Tarumenyan. Akan

    tetapi pohon Tarumenyan yang sebenarnya adalah pohon yang tumbuh di desa induk

    Trunyan. Pohon Tarumenyan tersebut telah tumbang ± 5 tahun yang yang lalu. Sekarang

    tempat pohon itu tumbuh telah dibangun Pura desa Trunyan, sehingga tempat pohon

    tersebut tetap menjadi sesuatu yang disakralkan oleh masyakarat. Pura ini menjadi tempat

    masyarakat berkumpul dan berjumpa dalam pengalaman jiwa mereka dengan para dewa-

    dewa sesuai keyakinan masyarakat.

    Sekalipun pohon Tarumenyan telah tumbang tetapi kepercayaan masyarakat

    bahwa pohon tersebut telah menyatu dengan alam, dan dengan dewa yang baik masih

    bertahan. Mereka masih mempercayai bahwa aroma harum dari pohon tersebut masih

    tercium dan terus memberikan aroma yang harum untuk desa tersebut. Oleh karena itu

    tempat penguburan yang mayatnya tetap diletakkan diatas tanah, dan masih tidak

    mengeluarkan bau yang tidak enak. Masyarakat percaya ini disebabkan karena pengaruh

  • 57

    jiwa yang dimiliki Pohon Tarumenyan. Karena bagi masyarakat Trunyan semua yang

    ada di alam mempunyai jiwa, termasuk tumbuhan dan pohon Tarumenyan.

    Ketika orang yang berkunjung ke Desa Trunyan terlebih ke kuburan utama dan

    mempunyai niat buruk/jahat maka akan tercium bau yang tidak enak seperti bau bangkai.

    Sebaliknya ketika orang yang berkunjung memiliki niat baik maka akan tercium bau yang

    sangat harum.

    3.5. Norma atau Aturan-aturan Hidup Masyarakat Trunyan16

    Dalam Tradisi dan kepercayaan hidup masyarakat Trunyan mereka memiliki

    suatu aturan yaitu dalam menjalani kehidupan para kaum pria tidak diijinkan untuk

    menikah dengan wanita yang berasal dari luar desa Trunyan, tradisi ini dilatar belakangi

    karena kepercayaan orang Trunyan dimana mereka merupakan masyarakat yang

    diturunkan dari langit oleh para Dewa yang mereka percaya, dan untuk itu dalam rangka

    menjaga keaslian penduduk maka aturan hidup tersebut hadir dan ditetapkan dalam

    kehidupan masyarakat Trunyan turun-temurun sejak dari nenek moyang mereka. Tetapi

    dalam perkembangan zaman yang ada, sudah ada juga para pemuda yang menikah

    dengan wanita dari desa yang lain, dan sebagai konsekuensinya ketika orang itu

    meninggal mereka tidak bisa dikuburkan ditanah Desa Trunyan.

    Aturan yang lain lagi dalam upacara kematian para perempuan tidak diijinkan

    untuk ikut membawa jenazah dikuburan dan mengikuti upacara dikuburan Trunyan, baik

    dikuburan utama, kuburan bayi maupun kuburan bantas biasa. Aturan lain lagi, ketika

    seorang perempuan sedang dalam keadaan kotor dalam hal ini dalam keadaan datang

    16

    James Danandjaja, Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali, (Jakarta:Pustaka Jaya, 1977),340-355.

  • 58

    bulan, maka tidak diijinkan untuk mengikuti upacara apapun yang diadakan, dan untuk

    itu tidak bisa masuk ke dalam Pura. Selain itu perempuan tersebut tidak bisa melakukan

    Ngebanten (penyembahan yang dilakukan setiap hari) di rumah ataupun di tempat-tempat

    tertentu yang dianggap memberikan pengaruh penting dalam aktifitas keseharian orang

    Trunyan. Ketika seorang perempuan sedang berada dalam keadaan datang bulan hal ini

    dianggap sebagai sesuatu yang kotor dalam Tradisi masyarakat Trunyan yang juga sama

    dengan yang dilakukan oleh masyarakat Bali pada umumnya.