bab iii temuan hasil penelitian 1. gambaran umum jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa...

51
29 BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat Jemaat GKI Lachai Roi Wamena merupakan salah satu jemaat dalam wilayah pelayanan Klasis GKI Balim Yalimo, yang terletak sekitar kurang lebih 2,5 km sebelah Barat kota Wamena tepat di tengah lembah Balim. Kota Wamena berada di lembah Agung di atas puncak pegunungan Jayawijaya. Iklimnya berkisar antara 14,4 dan 25,6 derajat celcius dengan suhu dingin dan nyaman untuk menjalani kehidupan. Curah hujan rata-rata 2.082 milimeter selama lima tahun, dengan rata-rata 237 hari hujan tiap tahun. 1 Jemaat GKI Lachai Roi Wamena terbentuk sejak tahun 1964 sebagai upaya pelayanan dari jemaat induk GKI Betlehem Wamena kepada beberapa keluarga orang asli Balim maupun Yali karena mereka beribadah dalam bahasa daerah. Semenjak kira-kira tahun 1975 perkembangan pembangunan dan pemukiman mulai bergerak dari sekitar kota Wamena ke wilayah HomHom dengan dibangunnya Sekolah Dasar, Puskesmas, Pos Kepolisian dan Asrama, Perumahan Pegawai, maupun Pasar Sentral Jibama dan lain-lain. Terjadi juga pembangunan pemukiman penduduk secara spontan maupun oleh para pedagang. Datanglah ke situ bukan saja orang asli Balim dan Yali, tetapi juga para guru, pegawai negeri, aparat kepolisian, perawat serta petugas kesehatan dan seterusnya dari berbagai daerah di Papua dan di Indonesia. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, bertambah juga jumlah warga jemaat GKI. Jarak yang ditempuh untuk beribadah ke jemaat induk GKI Betlehem Wamena di pusat kota Wamena dirasakan cukup jauh. Berdasarkan kenyataan ini maka sejak tahun 1980 dimulailah peribadahan dengan dua kategori pelayanan ibadah, yaitu pelayanan ibadah dalam 1 Koentjaraningrat, Bab XIV. Konfederasi Perang dan Pemimpin Dalam Masyarakat Dani; Dalam : Koentjaraningrat dkk, Irian Jaya. Membangun Masyaraket Majemuk. (Jakarta : Jambatan, 1993), p.258.

Upload: others

Post on 14-Aug-2020

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

29

BAB III

TEMUAN HASIL PENELITIAN

1. Gambaran Umum Jemaat

Jemaat GKI Lachai Roi Wamena merupakan salah satu jemaat dalam wilayah

pelayanan Klasis GKI Balim Yalimo, yang terletak sekitar kurang lebih 2,5 km sebelah Barat

kota Wamena tepat di tengah lembah Balim. Kota Wamena berada di lembah Agung di atas

puncak pegunungan Jayawijaya. Iklimnya berkisar antara 14,4 dan 25,6 derajat celcius

dengan suhu dingin dan nyaman untuk menjalani kehidupan. Curah hujan rata-rata 2.082

milimeter selama lima tahun, dengan rata-rata 237 hari hujan tiap tahun.1

Jemaat GKI Lachai Roi Wamena terbentuk sejak tahun 1964 sebagai upaya pelayanan

dari jemaat induk GKI Betlehem Wamena kepada beberapa keluarga orang asli Balim

maupun Yali karena mereka beribadah dalam bahasa daerah. Semenjak kira-kira tahun 1975

perkembangan pembangunan dan pemukiman mulai bergerak dari sekitar kota Wamena ke

wilayah HomHom dengan dibangunnya Sekolah Dasar, Puskesmas, Pos Kepolisian dan

Asrama, Perumahan Pegawai, maupun Pasar Sentral Jibama dan lain-lain. Terjadi juga

pembangunan pemukiman penduduk secara spontan maupun oleh para pedagang. Datanglah

ke situ bukan saja orang asli Balim dan Yali, tetapi juga para guru, pegawai negeri, aparat

kepolisian, perawat serta petugas kesehatan dan seterusnya dari berbagai daerah di Papua dan

di Indonesia. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, bertambah juga jumlah warga jemaat

GKI. Jarak yang ditempuh untuk beribadah ke jemaat induk GKI Betlehem Wamena di pusat

kota Wamena dirasakan cukup jauh. Berdasarkan kenyataan ini maka sejak tahun 1980

dimulailah peribadahan dengan dua kategori pelayanan ibadah, yaitu pelayanan ibadah dalam

1 Koentjaraningrat, Bab XIV. Konfederasi Perang dan Pemimpin Dalam Masyarakat Dani; Dalam :

Koentjaraningrat dkk, Irian Jaya. Membangun Masyaraket Majemuk. (Jakarta : Jambatan, 1993), p.258.

Page 2: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

30

bahasa daerah untuk jemaat orang asli Balim dan Yali yang berlangsung pada jam 07.00-

08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam

09.00-10.00.

Berdasarkan data ststistik sampai dengan akhir tahun 2015, Warga jemaat GKI Lachai

Roi Wamena terdiri dari 348 kepala keluarga (KK) yang berasal dari orang asli Balim dan

Yali, orang Papua dari luar Wamena, yaitu Jayapura, Waropen, Yapen, Biak, Nabire,

Manokwari, Sorong dan seterusnya, orang pendatang dari luar Papua, yaitu Maluku, Toraja,

Jawa, Batak dan lain-lain dengan jumlah anggota jemaat sebanyak 1155 orang. Jika

dikategorikan berdasarkan unsur jemaat maka akan nampak jumlah sebagai berikut : jumlah

kaum Bapak (PKB) 307 orang, jumlah kaum ibu (PW) 272 orang, jumlah pemuda (PAM)

148 orang, dan jumlah anak dan remaja (PAR) sebanyak 428 orang. Dengan demikian jemaat

ini memiliki keanggotaan warga jemaat yang majemuk dan multibudaya.

Jemaat GKI Lachai Roi Wamena sejak tahun 2011 dilayani oleh seorang Pendeta, 34

orang Penatua dan 27 orang Syamas. Istri Pendeta Jemaat adalah juga seorang pendeta GKI

yang diberi tugas pokok oleh Klasis GKI Balim Yalimo sebagai Pelayan Jemaat GKI

Putikelek yang berjarak kira-kira 750 meter dari GKI Lachai Roi dan merupakan jemaat asli

orang Wamena. Pelayanan jemaat berlangsung berdasarkan pola umum pelayanan GKI yaitu

persekutuan, kesaksian dan pelayanan kasih berdasarkan urusan-urusan dalam jemaat, yaitu

urusan pekabaran injil, pembinaan jemaat, diakonia, pendidikan, maupun ekonomi, keungan

dan pembangunan.

Pelayanan konseling yang seharusnya menjadi bagian pokok dari program dan

kegiatan Urusan Pembinaan Jemaat tidak nampak dalam Hasil Sidang Jemaat dalam bentuk

tertulis dan terencana, terutama dalam tiga tahun terakhir, yaitu tahun 2012-2015.2 Menurut

2 Majelis Jemaat GKI Lachai Roi Wamena, Hasil Sidang Jemaat 2015. (Wamena: MJ,2015).

Page 3: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

31

pendeta Jemaat setempat bahwa tidak nampaknya program pelayanan konseling dalam Hasil

Sidang Jemaat, karena tidak diberikan perhatian kepada pekerjaan pastoral oleh Pelayan

Jemaat sendiri. Salah satu penyebab menurut pendeta adalah karena kondisi cuaca daerah

yang dingin pada sore hingga malam hari yang dapat dijadikan sebagai waktu pelayanan

konseling.3 Ditambah dengan warga jemaat yang dimutasikan bekerja sebagai pegawai

pemerintah maupun polisi/tentara di beberapa daerah pemekaran kabupaten baru seperti di

Yahukimo, Tolikara, Yali maupun Mambramo Tengah dan lain-lain.

Kondisi ini diperkuat dengan pendapat beberapa anggota Majelis Jemaat bahwa apa

yang dikatakan oleh pendeta sebagai pemimpin jemaat diiyakan sebagai suatu perintah dari

atasan kepada bawahan, tetapi juga pendeta dalam banyak hal dipahami sebagai inspirator

dari berbagai program dan kegiatan dalam jemaat. Dikatakan demikian karena pendeta-lah

yang belajar dan dipersiapkan oleh gereja untuk memimpin jemaat-jemaat.4 Konsep

pemikiran ini melekat erat dalam kehidupan Majelis Jemaat dan warga jemaat, sehingga apa

yang menjadi kebijakan dan keputusan pendeta dilakukan sebagaimana disampaikan oleh

pendeta. Kondisi ini disebabkan oleh konsep pendeta sentris yang menempatkan pendeta

sebagai yang mengetahui segala hal dalam kehidupan kerohanian.

Pelaksanaan pelayanan konseling atau lebih tepatnya pelayanan kunjungan kepada

warga jemaat dari pihak pendeta, penatua dan syamas sebagai Majelis Jemaat biasanya

dilakukan pada saat menjelang natal, yaitu pada minggu pertama hingga minggu ketiga bulan

desembar. Dari hasil observasi penulis maupun wawancara dengan pelayan jemaat, maupun

kepada beberapa penatua dan syamas, ditemukan informasi bahwa hal itu pun sebenarnya

hampir merupakan suatu kebiasaan atau tradisi turun-temurun dalam pekerjaan pelayanan

jemaat. Akibatnya banyak diantara warga jemaat tidak terlayani karena ada yang sudah pergi

3 Wawancara dengan Pdt. Bram Tanamal tanggal 22 Desember 2015. 4 Wawancara dengan penatua pada tangga 20 desember 2015.

Page 4: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

32

berlibur atau sementara keluar daerah, bahkan tidak cukup waktu untuk melayani kebutuhan

jumlah warga jemaat dengan kemajemukan persoalan kehidupan yang perlu dikomunikasikan

dengan pendeta. Penghambat lain yang terlihat adalah bahwa pada awal bulan desember

sudah menjadi tradisi telah dilaksanakannya perayaan-perayaan natal oleh unsur-unsur

jemaat, kelembagaan adat atau komunitas budaya, instansi pemerintah maupun swasta dan

sebagainya. Hal ini akan menyita waktu pendeta untuk memilih antara melayani ibadah dan

perayaan natal atau memberi perhatian kepada pelayanan konseling dalam jemaat.

Pendeta senior yang adalah suami-istri, mereka telah melayani dalam GKI selama dua

puluh tiga tahun dan menjadikan pekerjaan konseling sebagai prioritas program dan kegiatan

pelayanannya. Dalam suatu percakapan, mereka mengatakan bahwa : “Kegiatan pelayanan

konseling merupakan panggilan dan amanat hakiki yang melekat dalam diri seorang Pendeta

GKI Di Tanah Papua ke manapun ia diutus dan ditempatkan. Sebab dalam Liturgi

Pentahbisan Pendeta GKI maupun Surat Keputusan (SK) peneguhan dan pengangkatan

sebagai Pendeta GKI dalam bagian menetapkan dari SK tersebut pada salah satu diktumnya

menyatakan tentang adanya tiga amanat dan panggilan seorang Pendeta GKI sebagai Pelayan

Firman, yaitu Memberitakan Firman Tuhan, Melayani Sakramen, dan Melaksanakan Pastoral

(yang didalamnya ada konseling)”.5 Jika demikian maka pendeta GKI perlu memberikan

perhatian kepada pelayanan konseling.

2. Realitas Konflik Budaya Suami-Istri Di Jemaat GKI Lachai Roi Wamena

Pada bagian ini penulis hendak memperlihatkan tentang realitas konflik yang terjadi

dalam kehidupan beberapa keluarga di Jemaat GKI Lachai Roi wamena, baik pada pasangan

suami-istri beda budaya maupun pada pasangan suami-istri yang memiliki budaya suku yang

5 Percakapan dengan pendeta senior Januari 2016.

Page 5: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

33

sama, yaitu konflik suami-istri sebagai sebuah contoh kasus di Jemaat GKI Lachai Roi

Wamena.

Menurut Pendeta Jemaat bahwa melayani dalam jemaat yang majemuk dari berbagai

suku, memiliki tantangan yang berat karena persoalan dan keperluannya sangat kompleks.

Untuk menjembatani pelayanan dalam jemaat tersebut, maka dalam merencanakan setiap

kegiatan sampai pada tahapan pelaksanaannya, selalu dilaksanakan pertemuan dalam bentuk

rapat dengan melibatkan setiap orang yang mewakili setiap kelompok dan memberlakukan

pelayanan secara merata dalam kehidupan berjemaat, bergeraja dan bermasyarakat. Ada

banyak tantangan yang berkaitan dengan kemajemukan jemaat tersebut, ada banyak cerita

yang harus didengar dari berbagai pihak, kemudian harus ditampung seluruhnya tanpa

membedakan seorang dengan yang lain.6 Artinya bahwa pelayanan yang dilakukan seorang

pendeta dalam konteks jemaat yang majemuk dan multibudaya sedapat-dapatnya harus

mempertimbangkan nilai-nilai persekutuan dan keadilan dalam memberi perhatian maupun

pelayanan yang sama kepada semua anggota jemaat tanpa perbedaan. Jika hal ini tidak

diperhatikan dalam pelayanan oleh pendeta maka akan muncul berbagai sikap dan perilaku

sebagai tanggapan terhadap spiritualitas diri pendeta dan pelaksanaan tugas kependetaan

dalam jemaat.

Berikut adalah hasil penemuan terhadap realitas konflik budaya suami-istri di Jemaat

GKI Lachai Roi Wamena.

2.1. Konflik Budaya Suami Istri Budaya NTT dan Raja Ampat

Suami7 : Bapak A berumur 53 tahun berasal dari daerah Kupang NTT. Ia merupakan anak

ketujuh dari sepuluh bersaudara yang lahir dan besar di Kupang. Ia datang ke

Jayapura sejak berumur lima belas tahun untuk melanjutkan pendidikan dan

6 Wawancara dengan Pdt. Bram Tanamal dan Pdt. Enni (istri pendeta) tanggal 20 Desember 2015. 7 Wawancara tanggal 18 Desember 2015; Konseling tanggal 21 Desember 2015

Page 6: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

34

mencari pekerjaan. Bapak A tinggal di Jayapura bersama keluarga ibunya, lalu

menyelesaikan pendidikan sampai mendapat pekerjaan sebagai guru. Kemudian ia

bertugas dan tinggal di kota Wamena hingga sekarang. Pekerjaannya adalah

sebagai seorang guru yang mengajar pada sebuah sekolah di kota Wamena.

Kedatangannya untuk bekerja sebagai guru di kota Wamena mempertemukannya

dengan istrinya dan membentuk sebuah rumah tangga. Dalam perjalanan

pernikahan mereka takjarang mereka bertemu dengan masalah-masalah dalam

rumahtangga mereka.

Menurut Bapak A, masalahnya hanya merupakan selisih paham antara dirinya

dengan istri dan hal itu dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak terlalu rumit.

Dalam proses penyelesaian masalah suami-istri ini, Bapak A tidak pernah

melibatkan keluarga, baik orang tua dan saudaranya maupun orang tua dan saudara

istrinya.

Cara Bapak A menyelesaikan permasalahan dengan istrinya adalah dengan

berbicara dari hati ke hati dan tidak ingin melibatkan orang lain, seperti orang

tuanya atau orang tua istrinya atau saudaranya maupun saudara istrinya, bahkan

anak-anaknya sekalipun. Kata Bapak A : “jika ada permasalahan yang dianggap

berat, maka sebagai suami yang sering saya lakukan terhadap maitua (istri), adalah

peluk kakinya, mengungkapkan apa yang terjadi, menceritakan kronologis

kejadiannya, lalu akhirinya saya mohon kepada istri untuk memaafkan saya”.

Dengan demikian persoalan dianggap selesai dan kehidupan berjalan normal

kembali seperti biasanya. Jika ada persoalan lain, maka akan dilakukan hal yang

sama untuk berbagai masalah keluarganya.

Bapak A berpenampilan rileks tetapi agak tertutup, menjaga

kewibawaannya sebagai seorang guru senior dan tua-tua dalam jemaat, menghargai

Page 7: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

35

pendeta sebagai pelayan Tuhan, dimata pelayan jemaat Bapak A bersifat playboy,

suka menyembunyikan perbuatan menyimpang dengan kewibawaan dan jabatan.

Istri8 : Ibu A berumur 43 tahun berasal dari daerah Raja Ampat Papua. Ia merupakan anak

keempat dari sebelas bersaudara yang lahir dan besar di kota Wamena. Pekerjaan

sehari-hari sebagai ibu rumah tangga. Menurut Ibu A, ia dan suaminya tidak ada

masalah sehari-hari di rumah sebagai suami istri, tetapi suaminya selalu hidup

dalam perselingkuhan terus-menerus selama mereka membentuk keluarga dua

puluh lima tahun ini. Hasil perselingkuhan itu telah melahirkan seorang anak dan

kini dipelihara oleh mereka. Ketika ia mendapat informasi atau menemukan bahwa

suaminya berselingkuh, pada tahun-tahun awal selalu terjadi konflik bahkan hingga

kontak fisik dan kekerasan. Tetapi kemudian hal itu terus berulang selama

bertahun-tahun, ia akhirnya pasrah, menerima kenyataan ini dan memilih untuk

berdiam diri. Sampainya ia dalam situasi menerima dan memilih untuk berdiam diri

berpijak pada Nats Alkitab yang selalu digunakan untuk menghadapi kenyataan

hidup suaminya dan merupakan suatu penghiburan dalam hidup yang pasrah itu

adalah “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah

mengeringkan tulang” (Amsal 17:22). Hal ini dilakukannya hanya untuk

mempertahankan keutuhan keluarga yang sudah dipersatukan oleh Tuhan dalam

pernikahan kudus. Menurut Ibu A bahwa dari gereja dan pelayan jemaat tidak ada

upaya ataupun pelayanan untuk menolong dan menyelesaikan persoalan kami.

Harapannya kalau boleh ada pelayanan pastoral dan konseling dari Pendeta dan

Majelis Jemaat dengan pendekatan-pendekatan untuk belajar dari watak jemaat.

8Wawancara tanggal 18 Desember 2015; Konseling tanggal 21 Desember 2015

Page 8: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

36

Pelayanan gereja dalam konteks ini belumlah menyentuh akar masalah keluarga

kami sebagai warga jemaat.

Ibu A berpenampilan ramah, rileks, selalu memberikan senyuman dan sesekali

tertawa dengan tegar, ia menghargai suami sebagai kepala keluarga dan menjaga

nama baik suaminya sebagai sosok yang dipandang baik oleh jemaat dan

masyarakat. Ibu A rajin beribadah dan melayani sebagai seorang anggota Majelis

Jemaat yang bertanggung-jawab. Di mata pelayan jemaat Ibu A adalah sosok yang

luar biasa karena mampu menerima keberadaan suaminya dan melayani Tuhan

dengan suka-cita.

2.2. Konflik Budaya Suami-Istri Budaya Toraja

Suami 9 : Bapak B berasal dari suku Toraja, berumur 35 tahun anak ketiga dari sepuluh

bersaudara. Berprofesi sebagai buruh (tukang) harian kalau ada panggilan kerja

atau proyek. Bapak B berperawakan kaku, malu-malu dan agak tertutup. Menurut

bapak B masalah yang sering terjadi hanyalah masalah sepele, tetapi diomongkan

dalam kapasitas nada suara yang keras. Jadi masalahnya di penggunaan volume

suara yang terlalu keras, atau cara penyampaian kepada istri dengan nada suara

yang tinggi. Ia juga mengatakan bahwa masalah tidak sering terjadi tetapi

begitulah masalah rumah tangga.

Ketika terjadi masalah yang sering dilakukan oleh bapak B adalah

mendiamkan saja atau mengantung masalah suami-istri. Menurut bapak B

masalah yang sering terjadi antara suami-istri adalah masalah penyampaian yang

tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh istri, karena bapak B lebih sering

menyelesaikan masalah dengan volume suara keras dan nada yang tinggi serta

9 Wawancara tanggal 19 Desember 2015; Konselingl tanggal 21 Desember 2015

Page 9: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

37

membiarkan dan menggantung masalah begitu saja. Katanya lagi, jika timbul

masalah ia memilih untuk meninggalkan masalah dan pergi menjauhi istrinya.

Dalam konteks ini bapak B tidak menyelesaikan masalah tetapi menggantungkan

masalah dan menghindarinya. Sikap bapak B demikian terjadi karena cara ia

memahami karakter istrinya sebagai perempuan dimana menurutnya, namanya

juga perempuan, semakin dikasih hati semakin sensitif, jadi dibiarkan saja nanti

juga akan sadar dengan sendirinya.

Jika pada suatu waktu tertentu timbul masalah dengan istri maka masalah

tersebut ternyata tidak menganggu aktifitasnya sebagai buruh dan spiritualitasnya.

Permasalahan yang dialami tersebut tidak menjadi beban bagi bapak B sehingga

didiamkan saja hingga saudara bapak B yang menjabat sebagai majelis jemaat

GKI Lachai Roi meminta pendeta untuk datang mengunjungi bapak B dan

istrinya atas permintaan istri bapak B. Kedatangan pendeta sebenarnya tidak

diharapkan oleh bapak B karena baginya masalah dengan istrinya tidak perlu

dibesar-besarkan tetapi karena pertengkaran sering didengar oleh saudaranya,

sehingga ia menginformasikannya kepada pendeta untuk melakukan kunjungan

kepada bapak B dan istrinya.

Bapak B mengatakan bahwa penyelesaian yang diberikan oleh pendeta adalah

agar bapak B bersama istri segera menikah karena dalam hubungan antara bapak

B dan istrinya belum diikat dalam suatu pernikahan kudus.

Page 10: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

38

Istri 10

: Ibu B berasal dari suku toraja, berusia 32 tahun, anak ketiga dari enam

bersaudara, dan sebagai ibu rumah tangga. Menurut ibu B konflik sering terjadi

karena beberapa masalah, yaitu masalah ekonomi keluarga, relasi dengan ibu

mertua, cemburu dengan perempuan lain, kejujuran suami, dan cara atau gaya

penyelesaian konflik.

Menurut ibu B dalam masalah ekonomi sang suami tidak adil untuk

pembagian biaya hidup. Biaya hidup yang seharusnya cukup untuk kebutuhan

keluarga kecil mereka menjadi tidak cukup karena harus berbagi dengan ibu

mertua yang menuntut lebih dari hasil kerja bapak B sebagai anaknya.

Masalah uang ini paling sering menimbulkan pertengkaran mereka, bahkan

relasi antara ibu B dengan mertuanya menjadi tidak rukun.

Masalah uang yang diberlakukan tidak adil oleh bapak B ini menimbulkan

asumsi-asumsi yang tidak menentu oleh ibu B. Ia menyatakan bahwa

suaminya tidak jujur dan tidak adil karena ibu mertua yang selalu menuntut

lebih dari hasil pekerjaan anaknya. Masalah ini memicu sakit hati ibu B

terhadap ibu mertuanya. Ia menyatakan bahwa ibu mertua pintar kritik orang

tetapi anak-anaknya sendiri tidak dididik dengan benar dan gemar menggosip.

Selanjutnya ibu B juga sering cemburu kepada perempuan lain, karena ia

sering mendapati sms dari perempuan lain dalam hpnya bapak B sehingga ia

protes terhadap suaminya tetapi tidak didengarkan oleh suaminya. Hal ini pun

menimbulkan konflik antara suami-istri. Ketika ada masalah-masalah seperti

yang telah disebutkan di atas, bapak B dan ibu B tidak menyelesaikan masalah

tersebut tetapi meninggalkan masalah-masalahnya menggantung. Bapak B

10 Wawancara tanggal 19 Desember 2015; Konseling tanggal 21 Desember 2015

Page 11: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

39

sering emosi dan mengeluarkan nada suara yang keras sehingga memicu emosi

yang sama dari ibu B. Kata ibu B, jika ada masalah antara suaminya dengan

ibunya, bapak B sering melampiaskan emosi kepada istri dan anaknya. Pada

akhirnya ibu B menyimpulkan bahwa semua sumber permasalahan dalam

keluarga dikarenakan oleh ibu mertua, oleh sebab itu ia menyalahkan mertua

karena menuntut bapak B memenuhi kebutuhannya. Jika harapan mertua akan

marah kepada anaknya, lalu dilampiaskan juga oleh anaknya atau bapak B

kepada istri dan anak. Hal ini terjadi terus-menerus.

Jadi menurut ibu B masalah selalu datang karena mertua, ia pun menaruh

dendam, sakit hati, kecewa dan marah sehingga mempengaruhi aktifitas dan

spiritualitasnya.

Ibu B dalam kekecewaannya terhadap suami maupun mertua dan dengan

segala situasi yang ia alami, menanyakan kepada penulis katanya : “saya mau

tanya ke pendeta, apakah berdosa kalau saya mempunyai perasaan seperti ini

terhadap ibu mertua ?” Artinya bahwa ia merasakan adanya suatu kesulitan

besar dalam kehidupan keluarganya dan tidak ada yang mau menolongnya

keluar dari masalah bersama suami dan hal ini sangat mengganggu segala

aktifitasnya. Ditambah lagi dengan tidak adanya penanganan dari gereja

sehingga saudara dari bapak B yang menjabat sebagai majelis jemaat

mendatangi ibu B.

Penanganan itu pun tidak membuahkan hasil yang maksimal karena ibu B

masih ragu-ragu dengan keputusan pendeta yang menyarankan supaya segera

melakukan pernikahan. Ia masih ragu-ragu dan bertanya-tanya dalam hati

apakah yang akan dilakukannya itu benar ? Ibu B masih terlalu sakit.

Page 12: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

40

2.3. Konflik Budaya Suami-Istri Budaya Wamena

Suami 11

: Bapak C berumur 53 tahun, anak ketiga dari tujuh bersaudara, ia bekerja

sebagai pegawai negeri. Bapak C berperawakan malu-malu dan tertutup

dalam mengungkapkan permasalahan-permasalahannya bersama istri. Bapak

C tidak merasa bahwa dalam hubungannya bersama istri ada masalah-

masalah tertentu, tetapi bapak C mengakui bahwa ia belum memberikan yang

terbaik dan masih menjadi suami yang mementingkan dirinya sendiri. Bapak

C bekerja terlalu fokus hingga mengabaikan istri, bahkan dalam hal memberi

uang belanja. Bapak C mengakui bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun

belakangan ini, ia tidak memberikan uang sepeser pun untuk istrinya. Ia

memilih untuk menghabiskan uang tersebut sendiri. Ia juga mengatakan

bahwa ia memiliki permasalahan batin yang tidak dapat disampaikan.

Permasalahan batin ini berkaitan dengan relasi dengan istri sehingga ia

memutuskan untuk menghabiskan gajinya sendiri tanpa berbagi.

Kehidupan sehari-hari bapak C menunjukan bahwa ia mengabaikan

permasalahannya dan menganggap keadaan itu seperti biasa saja layaknya

suami-istri, tetapi ia tetap mempunyai permasalahan tersendiri terhadap

istrinya yang terlalu fokus pada pelayanan. Dengan demikian bapak C

mempermasalahkan pelayanan istrinya di Jemaat GKI Lachai Roi Wamena.

Istri 12

: Ibu C berusia 51 tahun anak pertama dari dua orang bersaudara,

pekerjaannya selain sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai seorang petani.

11 Wawancara tanggal 20 Desember 2015; Konseling tanggal 21 Desember 2015 12 Ibid

Page 13: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

41

Ibu C dalam hubungannya bersama bapak C selama kurun waktu sepuluh

tahun belakangan ini mengalami pergumulan. Pergumulan itu adalah tentang

kondisi ekonomi keluarga, relasi suami istri dan pelayanan dalam jemaat.

Menurut ibu C, walaupun bapak C bekerja sebagai pegawai negeri

namun tidak membiayai ibu C selama sepuluh tahun terakhir ini. Tindakan

ini dilakukan bapak C dengan alasan karena ibu C mementingkan

pelayanannya di gereja dari pada mengurus bapak C. Suami merasa tidak

diperhatikan karena ibu C sibuk pelayanan.

Ada kecemburuan dari bapak C terhadap ibu C karena

keterlibatannya dalam pelayanan jemaat. Hal ini menurut ibu C merupakan

ujian dari Tuhan. Sebenarnya bapak C tidak memberikan uang kepadanya

dan ia biasanya hidup dalam kemabukan, perselingkuhan dan berfoya-foya.

Kondisi bapak C seperti tersebut membuat pada akhirnya ibu C hidup tidak

tergantung lagi pada gaji suaminya tetapi ia pun bekerja sendiri menjadi

seorang petani dan menjual hasil tanaman itu untuk membiayai hidupnya

sendiri.

Berpenghasilan sendiri sebagai petani, ibu C tumbuh menjadi sosok

perempuan yang menguatkan perempuan lain yang mengalami hal-hal yang

sama atau bahkan lebih buruk dari dirinya. Ia menyatakan bahwa walaupun

hidupnya bersama suami mengalami pergumulan berat dalam hal ekonomi,

tetapi ia bersyukur dari pergumulannya bersama suami itu ia bertumbuh

menjadi perempuan yang mandiri.

Tentang kecemburuan suami terhadap pelayanan ibu C menurut

bapak C, karena istrinya lebih sering pelayanan dibandingkan

memperhatikan suami. Ibu C sering memberikan penjelasan jika pulang

Page 14: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

42

terlambat atau tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan suami, tetapi

bapak C tetap menggantungkan saja permasalahan mereka dan enggan

membicarakan masalah-masalah tersebut.

Jadi masalah antara ibu C dan bapak C adalah tentang ekonomi dan

pelayanan. Walaupun demikian permasalahan antara ibu C dan bapak C

tidak mengganggu aktivitasnya ibu C sebagai petani dan pelayan.

2.4. Hasil Temuan terhadap Konflik Budaya Suami Istri Budaya NTT dan Raja

Ampat

Berdasarkan kenyataan dalam kehidupan keluarga di atas sebagai satu contoh realitas

konflik sumi istri beda budaya, maka berikut ini akan dilakukan pengkajian terhadapnya

untuk menemukan penyebab konflik dan budaya yang menyertai konflik tersebut.

Suami (Bapak A) : Bapak A telah mengalami tiga fase dalam kehidupannya. Fase pertama

dialami dalam kehidupan bersama orang tuanya di Kupang dan hal itu

telah berlangsung selama empat belas tahun. Kemungkinan masa

kecilnya dilalui dengan ketakutan karena selalu dimarahi maupun

dipukuli baik oleh kedua orang tuanya maupun kakak-kakanya. Hal itu

nampak dalam kebiasaan bertelut di kaki istrinya dan mohon maaf atas

kesalahannya. Kebiasaan bertelut ini telah dibawah sejak kecil hingga

dewasa sebagai akibat dari konteks pertumbuhan hidupnya. Shiraev dan

Levy menyebut keadaan ini sebagai bagian dari perkembangan manusia

dan sosialisasinya yang berhubungan dengan perubahan pada fisik,

psikologis dan perilaku sosial yang dialami individu selama rentang

kehidupannya - dari lahir sampai mati. Artinya orang mengalami

perubahan hidup, baik positif maupun negatif, berpindah tempat atau

Page 15: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

43

tetap tinggal di suatu tempat.13

Fase kedua dialaminya ketika ia datang

ke Jayapura dan berdomisili di sini sejak berumur lima belas tahun

sampai umur dua puluh satu tahun, selama kurang lebih enam tahun. Ia

bertumbuh pada masa remaja hingga pemuda di luar lingkungan

keluarganya, yaitu bapa, ibu dan saudara-saudara sekandungnya. Ia

tinggal bersama saudara ibunya sambil melanjutkan pendidikan.

Pengalaman ini lebih sulit dan keras jika dibandingkan dengan

kehidupan di Kupang. Ia harus bekerja keras, mengambil hati tantenya,

mencuri waktu untuk belajar, bahkan mungkin ia tidak mempunyai

waktu bermain seperti layaknya banyak remaja dan pemuda. Tetapi ia

berusaha mandiri untuk menyelesaikan pendidikan dan kalau boleh

mendapat pekerjaan yang layak supaya ia bebas dari segala kenyataan

hidup ini. Tujuan hidupnya hanya satu, yaitu menyelesaikan pendidikan

lalu bekerja. Akhirnya fase kedua ini pun ia lalui dengan baik. Tetapi

masalah yang ia temukan dan hal itu berat baginya adalah, ia kehilangan

kasih-sayang. Ia kehilangan kasih sayang dari kedua orang tuanya, dari

saudara-saudara sekandungnya, mungkin juga kasih sayang di masa

remaja dan pemuda dari seorang kekasih tidak ia dapatkan. Apakah kasih

sayang ini akan dia gapai ketika memasuki masa berumah tangga ?

Ataukah ia akan menggunakan masa bekerja untuk merajut kasih sayang

itu di tempat kerja atau di lingkungannya yang baru nanti ? Fase ketiga

merupakan fase ganda, yaitu fase ketiga awal, dimana ia mendapat

pekerjaan sebagai seorang guru, mendapat penghasilan tetap sebagai

13 Eric B. Shiraev, David A. Levy, Psikologi Lintas Kultural. Pemikiran Kristis dan Terapan Moderen. (Jakarta :

Kencana, 2012), p.280.

Page 16: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

44

seorang pegawai negeri dan mendapat awal kasih sayang dari para siswa

siswi di sekolah, ia mendapat penghargaan dan saling menghormati dari

teman sekerja; sedangkan fase ketiga berikutnya adalah ia mulai

memikirkan teman hidup yang akan menjadi istrinya, yaitu seorang

perempuan yang daripadanya ia mendapatkan kasih sayang yang hilang

selama ini. Masalahnya adalah ia telah bertumbuh menjadi seorang yang

plin-plan dalam mengambil keputusan karena ketakutan membuat

kesalahan. Dalam hal berpacaran di masa dewasa, ia dikenal sebagai

seorang playboy. Kemungkinan besar konteks kota Wamena pada masa

tahun 1990 ke atas bahkan sebelumnya merupakan suatu daerah yang

sulit keluar jika telah berada di dalamnya. Populasi kaum lelakinya

sedikit sedangkan kaum perempuannya lebih banyak. Ini juga menjadi

salah satu faktor pemicu keretakan banyak rumah tangga di kota

Wamena.14

Dalam keadaan ini ia menemukan seorang perempuan Raja

Ampat yang kemudian menjadi istri. Setelah memasuki kehidupan

berumah tangga, awalnya dijalani dengan baik, tetapi setelah kelahiran

anak ketiga, keadaan menjadi berubah. Bapak A merasa tidak

diperhatikan oleh istrinya, karena harus mengurus dan mengasuh anak

anak. Kasih sayang yang ia harapkan dari sang istri yang telah ada,

rupanya mulai menjauh dari padanya. Terjadi konflik batin dalam diri

Bapak A karena istrinya pun kurang menyadari akan hal ini atau bahkan

tidak peka budaya suaminya. Pada fese ketiga inilah keadaan semakin

rumit. Persoalan keluarga semakin tidak menentu. Bapak A kini

menghargai pekerjaannya yang telah diperoleh melalui susah payah dan

14 Percakapan dengan Pendeta yang pernah melayani pada tahun 1990-an di Wamena.

Page 17: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

45

kerja keras itu. Ia kurang menghargai keluarganya karena apa yang ia

harapkan dalam keluarga melalui istrinya itu ternyata belum ia temui,

yaitu kasih sayang. Itulah sebabnya Bapak A mencari kasih sayang di

luar rumah dengan cara berselingkuh dan suka mengganti pasangan

selingkuhnya. Sumber konflik berasal dari kebutuhannya akan kasih

sayang yang tidak terpenuhi. Pruit dan Rubin menyebut kebutuhan

seseorang sebagai sumber konflik dengan istilah kepentingan (interes)

adalah perasaan orang mengenai apa yang sesungguhnya ia inginkan.

Perasaan itu cenderung bersifat sentral dalam pikiran dan tindakan orang,

yang membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan nilai (intensi)-nya.15

Rupanya Bapak A cenderung memiliki sikap mempertahankan

kebutuhannya sebagai bagian budaya hidupnya sementara di pihak lain

istrinya tidak peka budaya terhadap kebutuhan suaminya. Artinya bahwa

Bapak A ingin supaya kebutuhannya dipenuhi, sementara di pihak lain

istrinya menghalangi akan kebutuhan Bapak A sebagai bentuk kepuasan

hidup jika kebutuhannya terpenuhi. Akibatnya semakin besar perbedaan

kebutuhan di masing-masing pihak lalu lahirlah konflik. Memang benar

bahwa Bapak A telah melakukan kesalahan dan dosa dari segi iman dan

ketaatan kepada Tuhan, tetapi dalam trangka penanganan konflik ini

maka harus dilakukan kajian terkait dengan konteks sosial dan budaya

suami istri.

Istri (Ibu A) : Ibu A tidak memiliki masalah di masa lalu seperti suaminya. Sebagai anak

keempat dari sebelas bersaudara yang lahir dan besar di kota Wamena, ia

sepertinya berada di rumah sendiri, dekat dengan orang tua sehingga ia

15 Dean G. Pruitt, Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, p.21

Page 18: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

46

mengganggap ada sandaran ketika ia mengalami masalah keluarganya.

Sebagai anak keempat, ia berfungsi sebagai kakak dari tujuh orang adiknya.

Di sini ada konsep dan praktek ‘ketuaan’ artinya ia merasa bahwa ia adalah

kakak harus didengar, diikuti dan menjadi panutan, karakter ini telah

bertumbuh dalam hidup keluarganya.16

Itu berarti bahwa ia tidak mempunyai

persoalan khusus di masa lalu, tetapi ia memiliki persoalan khusus di masa

kini, yaitu persoalan ketidakharmonisan dalam hidup sebagai suami istri.

Dari percakapan dengan Ibu A, penulis mendapat kesan bahwa sebelum

menikah dengan suaminya, ia telah mengenal watak dan karakter hidup

suaminya. Mungkin juga sudah dinasehati oleh orang tua dan keluarganya

supaya ia mempertimbangkan sebelum mengambil keputusan untuk menikah

dengannya tetapi tidak dipedulikannya. Hal ini nampak dalam konsep hidup

dan penangan masalah rumah tangganya, yaitu ia pasrah pada kenyataan

hidup yang dijalani bersama suaminya. Karena itu ia berharap atau

bergantung pada pelayanan gereja. Bagi dia hanya gereja yang dapat

menolongnya keluar dari permasalahannya. Itulah juga yang menjadi salah

satu alasan ia melayani dengan penuh sukacita dalam gereja. Tetapi apa yang

ia harapkan dari pelayanan gereja terhadapnya ternyata tidak terjadi. Ia

kembali pada prinsip hidupnya yaitu pasrah pada kehendak Tuhan. Pruit dan

Rubbin menyimpulkan bahwa konflik biasanya terjadi ketika norma sosial

dalam keadaan lemah atau sedang mengalami perubahan.17

Ketika pelayanan

konseling dari pihak pendeta jemaat menjadi lemah maka konflik semakin

tidak teratasi, apalagi diperkuat dengan aturan, norma dan kebiasaan

perselingkuhan dalam masyarakat yang cenderung dibiarkan berlangsung

16 Eric B. Shiraev, David A. Levy, Psikologi Lintas Kultural., p.280. 17 Dean G. Pruitt, Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, p.32

Page 19: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

47

sebagai suatu kebiasaan sekelompok orang untuk mencari kepuasan hidup,

maka konflik dalam keluarga keluarga akan terus meningkat. Akibatnya

banyak di antara suami istri akan datang pada sikap pasrah dan bergantung

pada pihak lain terutama kepada pelayanan gereja.

Ibu A ketika memasuki fase pasrah pada kenyataan karena konflik

dengan suaminya maupun selingkuhannya tidak dapat diselesaikan, maka ia

merubah sikapnya dari sikap contending, yaitu suka bertengkar dengan diri

sendiri atau batinnya dan suaminya menjadi sikap yielding, yaitu suka

mengalah atau pasrah dengan cara menurunkan kemauannya untuk

bertengkar dan bersedia menerima kurang dari yang sebetulnya ia inginkan.18

Hal ini disampaikan oleh Paul D. Meier (dkk) tentang pembentukan sikap

dan bagaimana sikap itu bisa dipengaruhi dan dirubah.19

Mereka

mengemukakan bahwa sikap terdiri dari pikiran, perasaan dan kecenderungan

untuk bertindak berdasarkan pikiran dan perasaan. Kredibilitas seseorang

yang berusaha mengubah sikap merupakan faktor yang penting dalam

menentukan kesuksesan.20

Dalam konteks pemahaman ini dimengerti bahwa

Ibu A telah merubah konflik pemahaman dalam dirinya karena ia telah

berusaha mempertahankan dua pemikirannya yang saling bertolak belakang,

yaitu bertengkar atau pasrah. Pada akhirnya Ibu A memilih untuk pasrah

yang dinyatakan dalam tindakan dengan harapan ia dapat menerima yang

diinginkannya, yaitu keharmonisan hidup sebagai suami istri berdasarkan

firman Tuhan. Inilah yang sekarang sedang dinantikan. Kapan hal itu terjadi ?

Siapakah yang dapat menolong mereka ? Inilah konflik batin dalam diri Ibu

18

Dean G. Pruitt, Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, p.4-5 19 Paul D. Meier (eds), Pengantar Psikologi dan Konseling Kristen 1. (Yogyakarta : Andi Offset, 2004), p.181. 20Ibid, p.181.

Page 20: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

48

A yang terus dibawa, digumuli dan didoakan setiap waktu. Semakin panjang

waktu pergumulannya, semakin ia akan tertekan dalam dirinaya, sehingga

dalam keadaan sakit sekalipun ia berbuat dan berpenampilan seolah-olah ia

tidak sakit. Kepada penulis Ibu A mengatakan, ia sedang mengidap penyakit

kanker payudara dan sementara diobati melalui terapi herbal. Informasi ini

menyatakan tentang beratnya beban hidup Ibu A tidak seperti yang ia katakan

pada penulis. Shiraev dan Levy menulis tentang bias bahasa evaluatif

sebagaimana penulis alami bersama Ibu A, di mana bahasa memiliki banyak

fungsi yang salah satunya dan itu yang terpenting adalah membantu kita

untuk mendeskripsikan berbagai macam fenomena, seperti kejadian, situasi,

dan orang : “Apakah itu ?” Tujuan lainnya adalah mengevaluasi fenomena

yang sama : “Apakah itu baik atau buruk ?” Biasanya, kita menganggap

deskripsi adalah objektif, dan evaluasi adalah subjektif.... Jadi istilah yang

kita pakai tidak hanya untuk mendeskripsikan tetapi juga merumuskan apa

yang kita inginkan dan apa yang tidak kita inginkan.21

Penulis memahami

bahwa ketika ibu A mengatakan : “saya sedang mengidap penyakit kanker

payudara”, Ibu A hendak menyampaikan dua hal kepada penulis, yaitu

ungkapan pasrah pada kenyataan hidup suaminya disebabkan karena

penyakitnya yang rawan kematian. Fase bertengkar telah dirubahnya ke fase

pasrah terutama berada pada titik balik penemuan penyakit dalam dirinya di

satu pihak, dan pilihan untuk melayani Tuhan dengan suka-cita di pihak lain.

Ungkapan pasrah yang dipakai oleh ibu A hendak memformulasikan apa

yang ia inginkan yaitu sembuh dari kesakitannya dan terlepas dari

pergumulan ketidakharmonisan hubungan suami istri dalam keluarganya.

21 Eric B. Shiraev, David A. Levy, Psikologi Lintas Kultural., p.75.

Page 21: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

49

2.5. Hasil Temuan terhadap Konflik Budaya Suami-Istri Budaya Toraja

Berdasarkan kenyataan dalam kehidupan keluarga di atas sebagai satu contoh realitas

konflik sumi istri asal Toraja, maka berikut ini akan dilakukan pengkajian terhadapnya untuk

menemukan penyebab konflik dan budaya yang menyertai konflik tersebut.

Suami (Bapak B) : Tujuan utama migrasi spontan hampir semua masyarakat non Papua ke

Papua adalah untuk mencari pekerjaan dan mengembangan usaha

ekonomi mereka. Karena itu segala usaha dan pekerjaan akan ditekuni

untuk mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya. Pekerjaan dan usaha

untuk penghidupan ini begitu penting dan berharga sehingga segala cara

dan pendukungnya akan dikorbankan demi mempertahankan apa yang

telah dicapai.22

Hal ini menurut pengamatan penulis terjadi pada satu

keluarga asal Toraja di Wamena. Dengan keahlian sebagai buruh

bangunan, bapak B telah datang ke Wamena dan bekerja semaksimal

mungkin untuk mendukung kehidupan istri dan anaknya di Wamena

tetapi juga ibunya di kampung halaman. Tanggung-jawabnya terhadap

ibunya masih melekat bersamaan dengan tanggung-jawabnya terhadap

istri dan anaknya. Bapak B memahami pekerjaan sebagai yang utama

sehingga istrinya dilihat sebagai pendukung pekerjaannya. Jika ternyata

istrinya dianggap tidak mendukung apa yang dinginkannya, maka akan

terjadi konflik.

Di sini bapak B bersifat egois, ingat diri dan menganggap

remeh istrinya. Istrinya dianggap merupakan bagian kedua dari

kehidupannya dan pekerjaannya. Pengaruh ibu sangat dominan terhadap

anaknya. Artinya ibu mendapat posisi yang penting dalam komunikasi

22 Wawancara dengan Pendeta senior GKI di Jayapura Februari 2016.

Page 22: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

50

keluarganya, sedangkan istrinya tidak mengalami hal itu secara baik.

Untuk mendukung karakter egois dan ingat diri bapak B

tersebut, dalam konflik dengan istrinya, ia selalu menggunakan volume

suara yang keras dengan intonasi yang tinggi. Hal ini dilakukan untuk

membiaskan realitas yang sesungguhnya, sebab volume suara yang

keras dan intonasi yang tinggi merupakan bahasa nonverbal yang

digunakan dalam komunikasinya dengan ibu B sebagai istrinya.

Sarwono menyebut bahasa nonverbal sebagai simbol komunikasi

relatif.23

Artinya dengan simbol tersebut seseorang hendak

membenarkan apa yang tidak dikehendaki oleh pihak lain. Di sini

terjadi bias bahasa dan bias asimilasi, yaitu bapak B menggunakan

skema kebenaran dirinya dengan bahasa nonverbalnya untuk

mengalihkan apa yang kelihatan dan terjadi bersama istrinya ke dalam

kosep skema diri sendiri.24

Di satu pihak bapak A secara sadar melakukan bias budaya

terhadap istrinya, tetapi di pihak lain ibu B tidak peka budaya

suaminya. Di sini konflik budayapun terjadi sehingga masing-masing

pihak akan menjalankan pilihannya demi mempertahankan kehidupan

rumah-tangga di mata masyarakat.

Istri (Ibu B) : Pemicu konflik rumah tangga yang utama adalah kehadiran ibu bapak B,

sebagai mertua dalam kehidupan keluarganya. Ibu mertua selalu mengatur

pekerjaan anaknya, mengatur keuangan anaknya bahkan mungkin mengatur

tentang bagaimana suami mengatur istrinya. Akibatnya komunikasi lebih

23 Sarlito Sarwono, Psikologi Lintas Budaya, p.59 24 Eric B. Shiraev, David A. Levi, Psikologi Lintas Kultural, p.75-79.

Page 23: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

51

banyak dibangun oleh bapak B dengan ibunya ketimbang dengan istrinya.

Komunikasi antara suami istri yang kurang dibangun ini telah menimbulkan

kecurigaan dari pihak istri terhadap suami. Faktor kejujuran dalam

pembagian keuangan dari pihak bapak B kepada Ibu B telah menjadi salah

satu pemicu konflik dan pertengkaran rumah tangga. Keadaan inilah yang

dimaksud oleh Pruit dan Rubbin ketika menyimpulkan bahwa konflik

biasanya terjadi ketika norma sosial dalam keadaan lemah atau sedang

mengalami perubahan.25

Kondisi dimana seorang suami wajib secara jujur

menginformasikan tentang hasil kerjanya dan memberikannya kepada istri

baik dalam bentuk uang atau barang adalah hal yang diakui sebagai norma

umum kehidupan suatu keluarga. Ketika norma umum ini lemah dan

mengalami perubahan dalam konteks keluarga bapak B dan ibu B, maka hal

itu menimbulkan ketidak percayaan dan rasa curiga dari pihak istri terhadap

suami atau sebaliknya. Itulah akar munculnya konflik.

Masalah keluarga yang dialami ibu B adalah soal ekonomi keluarga, relasi dengan ibu

mertua, kecemburuan dan seksualitas serta cara penyelesaian konflik oleh

suami. Hal ini nampak ketika ibu B bertanya kepada penulis katanya :

“saya mau tanya ke pendeta, apakah berdosa kalau saya mempunyai

perasaan seperti ini terhadap ibu mertua ?” Artinya bahwa ia merasakan

adanya suatu kesulitan besar dalam kehidupan keluarganya baik masalah

ekonomi keluarga, relasi suami istri, perselingkuhan sampai pada nilai

kejujuran suaminya berpangkal pada sikap dan perilaku ibu mertuanya.

Apakah salah, sebagai menantu dan istri ia bersilang pendapat dengan

mertuanya ? Ungkapan “apakah berdosa” yang dipakai oleh ibu B hendak

25 Dean G. Pruitt, Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, p.32

Page 24: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

52

memformulasikan apa yang ia inginkan yaitu : pertama, ia hendak mendapat

kepastian dari tindakannya apakah sesuai dengan kehendak Tuhan ataulah

salah ? Terutama terkait dengan hukum Tuhan, hormatilah ayahmu dan

ibumu.... Dan kedua ungkapan ini hendak mendeskripsikan tentang hal

pemberkatan pernikahan terhadap kehidupan mereka yang ditunda dan

menggantung.

2.6. Hasil Temuan terhadap Konflik Budaya Suami-Istri Budaya Wamena

Berdasarkan kenyataan dalam kehidupan keluarga di atas sebagai satu contoh realitas

konflik sumi istri asal Wamena maka berikut ini akan dilakukan pengkajian terhadapnya

untuk menemukan penyebab konflik dan budaya yang menyertai konflik tersebut.

Suami (Bapak C) : Ada empat hal utama penyebab konflik keluarga, yaitu masalah ekonomi

dan keuangan keluarga, masalah seksualitas, masalah anak dan masalah

relasi dengan orang tua. Jika dalam satu keluarga terjadi salah satu dari

keempat penyebab ini maka akan muncul konflik dalam keluarga. Bapak

C tidak mempunyai relasi yang harmonis dengan istrinya selama sepuluh

tahun terakhir, tetapi mereka tetap merupakan satu keluarga yang tinggal

bersama. Pertanyaannya adalah : Bagaimana hubungan intim suami istri

dapat terjadi ? Apakah mereka pisah ranjang ? Bagaimana relasi dan

komunikasi dengan orang tua suami atau istri ? Bagaimana mungkin

mereka mempunyai masalah ekonomi dan keuangan yang serius sebab

mereka belum memiliki anak ? Dari ungkapan bapak C ketika ia berkata

kepada penulis : “saya memiliki permasalahan batin yang tidak dapat saya

sampaikan.” Kata-kata ini mengemukakan tentang ideologi orang Balim

tentang nilai-nilai luhur dalam kehidupan. Dalam kaitan ini Simon Itlay

Page 25: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

53

(dkk) mengungkapkan bahwa : setiap kali orang Balim terbentur pada

halangan dan rintangan dalam usaha mewujudkan hidup baiknya, ia

bertanya kepada dirinya dan kepada orang lain serta alam sekitar dan

kepada para leluhur.

Pertanyaannya adalah :

- Henore kii ? artinya : mana yang baik ?

- Hanogenhe kii ? artinya : mana yang lebih baik ?

- Hanorogo logousakhe kiitogo ? artinya : bagaimana bisa hidup

baik ?

- Nelaluknen weak agaike ? artinya : mengapa menjadi buruk ?

Bapak C sedang mengalami konflik kepribadian sebagai akibat dari

ideologi budaya terutama dalam pertanyaan : Hanorogo logousakhe kiitogo ?

artinya : bagaimana bisa hidup baik ? Nelaluknen weak agaike ? artinya :

mengapa menjadi buruk ? Pertanyaan konflik ideologi budaya

interpersonalnya adalah mengapa ia belum memiliki anak ? Jika ia belum

memiliki anak, bagaimana ia dapat hidup lebih baik ? Ia menghargai istrinya

sebagai manusia yang berbudaya, tetapi ia belum dapat menerima bahwa

istrinya belum dapat memberikan anak dalam keluarga mereka.

Kenyataan tentang perilaku hidupnya selama sepuluh tahun terakhir di

mana ia hidup dalam kemabukan, perselingkuhan dan foya-foya adalah

pelampiasan kelemahan dirinya yang belum dapat menempatkan diri dalam

konteks masyarakat adat Balim yang harus memberikan keturunan kepada

suku bangsanya. Kelahiran seorang anak dalam konteks manusia Balim adalah

hal yang terpenting karena anak, apalagi anak laki-laki merupakan pusaka

untuk mempertahankan kelanjutan kehidupan manusia Balim.

Page 26: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

54

Istri (Ibu C) : Ibu C menyadari akan keberadaannya sebagai seorang perempuan Balim yang

belum dapat memberikan keturunan bagi suku bangsanya. Ia sadar bahwa ia

memiliki kekurangan dalam hal yang prinsip dari kelanjutan hidup suatu

generasi. Karena itu ia mencoba untuk tenang supaya dapat terlibat dalam

pelayanan sebagai bagian dari pergumulannya untuk memperoleh anak dari

pada Tuhan pemilik kehidupan ini.

Ada dua hal yang dilakukan ibu C ketika memasuki masa krisis

keluarganya, terutama pada kurun waktu satu dekade terakhir ini, yaitu ia

kembali menekuni pekerjaan sebagai petani sambil berdagang dan melayani

Tuhan sebagai anggota Majelis jemaat. Orang Balim hidup dari bercocok

tanam dan beternak babi. Dalam tradisi bercocok tanam, ladang atau kebun

dibuka dengan menebang pohon, membersihkan dan membakar dikerjakan

oleh kaum lelaki. Selanjutnya kaum perempuan menanam kebun dengan

tanaman, sedangkan kaum lelaki melanjutkan pekerjaan membuat pagar

sekeliling kebun dengan kayu maupun batu-batu. Waktu pemeliharaan

tanaman hingga panen dilakukan oleh kaum wanita.26

Ada pembagian kerja

dan tanggung-jawab yang harmonis antara laki-laki dan perempuan. Dalam

konteks budaya Balim, kaum wanita adalah pekerja untuk menanam,

memelihara, hingga panen. Setelah tersentuh dunia pasar, maka mereka juga

yang menjadi pedagang hasil kebun. Ini bukan hal baru, pekerjaan tersebut

adalah bagian dari kehidupan kaum perempuan Balim. Ketika suaminya tidak

memberikan gaji kepada istrinya, ia kembali menjalankan hakekat

26 Koentjaraningkat, Konfederasi Perang dan Pemimpin dalam Masyarakat Dani. Dalam : Koentjaraningrat

(dkk), Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk, p. 160-162.

Page 27: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

55

kehidupannya dan hal itu tidak menimbulkan konflik. Masalah uang tidak

menjadi penyebab untuk melakukan konflik dari pihak istri terhadap suaminya.

Menjadi anggota Majelis Jemaat tidak terjadi berdasarkan kemauan

seseorang, tetapi hal itu terjadi berdasarkan hasil pemilihan jemaat. Dalam

pergumulan dan permasalahan keluarga, ibu C terpilih untuk menjabat Majelis

Jemaat. Tetapi kemudian hal ini telah menjadi pemicu konflik suami istri ini.

Pertanyaannya adalah apakah hal ini terkait dengan sikap kecemburuan bapak

C sebagai suami terhadap istrinya di satu pihak, atau suatu protes kepempinan

seorang perempuan dalam keluarganya ?

3. Penanganan Konseling Lintas Budaya Suami-Istri di Jemaat GKI Lachai Roi

Wamena.

Ada beberapa salah pengertian tentang pelayanan konseling dari sudut anggapan

dasar pemikiran, prinsip atau ide utama yang dipakai untuk mengarahkan praktik konseling

pastoral. Pertama, konseling pastoral merupakan suatu proses percakapan timbal balik antara

konselor dan konseli; Kedua, konseling pastoral dipahami sebagai suatu proses wawancara

dari konselor terhadap konseli; Ketiga, konseling pastoral dilihat dalam kaitan dengan hal

mengajar dan menasihati dari pihak konselor kepada konseli; Keempat, konseling pastoral

sebagai suatu bentuk konsultasi, yaitu adanya hubungan antara konselor sebagai ahli dan

klien sebagai yang membutuhkan keahlian konselor dalam memecahkan masalahnya; Kelima,

konseling pastoral sebagai proses terapi dan pengobatan ketidaknormalan emosional-mental

spiritual dari pihak konselor terhadap konseli; Keenam, konseling pastoral sama dengan

berkhotbah, berceramah atau penginjilan.27

Sejauh yang penulis amati dan wawancara dengan beberapa pendeta GKI Di Tanah

27 Toto S. Wiryasaputra & Rini Handayani, Pengantar Konseling Pastoral, p.53-59.

Page 28: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

56

Papua, ternyata kesalahpahaman inipun masih ada dan nampak dalam praktek pelayanan

gereja khususnya dalam diri para pendeta. Dalam Peraturan Penggembalaan GKI Di Tanah

Papua, disebutkan tentang bentuk-bentuk penggembalaan yang dilakukan oleh GKI Di Tanah

Papua, salah satunya adalah melalui ibadah-ibadah jemaat dan khotbah.28

Hal ini hampir

mirip dengan kesalahpahaman yang disinyalir di atas. Implikasinya bagi GKI adalah segala

perkara yang terkait dengan konseling dapat saja dilakukan melalui khotbah maupun ceramah

dalam pembinaan-pembinaan. Akibatnya para pendeta akan mengabaikan hakekat konseling

yang sesungguhnya dan lebih memprioritaskan khotbah dan ibadah jemaat.

Konseling merupakan perjumpaan eksistensial atau perjumpaan antar individu,

perjumpaan dan percakapan dari hati ke hati, suatu perjumpaan yang terencana dan sistimatis

sehingga konselor dan konseli menantikan adanya hasil akhir yang konkret dan realistis.

Konseling merupakan proses perjumpaan pertolongan antara dua orang manusia sebagai

subyek, yaitu antara konselor dan konseli dengan tujuan untuk menolong konseli agar dapat

menghayati keberadaan dan pengalamannya secara utuh, sehingga ia dapat menggunakan

segala potensi dirinya, orang lain dan konteksnya untuk berubah, bertumbuh dan berfungsi

sebagai anggota masyarakat dan geraja secara utuh.29

Dengan demikian maka proses

perjumpaan dalam pelayanan konseling bukanlah perjumpaan biasa, bukanlah percakapan

sambil-lalu, bukan juga sebuah tradisi pertemuan antara konselor dan konseli atau antara

pendeta dengan jemaat. Perjumpaan yang dimaksudkan dalam konseling adalah perjumpaan

dan percakapan dalam rangka menolong konseli untuk mengalami pengalaman hidupnya

secara utuh, benar dan bertanggung-jawab.

Berdasarkan pemahaman tersebut diatas maka penulis hendak meneliti tentang

pelaksanaan konseling pada umumnya dan secara khusus tentang pelaksanaan konseling

28 BP Am Sinode GKI Di Tanah Papua, Peraturan Penggembalaan. (Jayapura: CV Anagrafika, 2007). 29 Toto S. Wiryasaputra & Rini Handayani, Pengantar Konseling Pastoral, p.60.

Page 29: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

57

lintas budaya yang dilaksanakan oleh pendeta dalam suatu jemaat. Apa yang dipahaminya

tentang konseling pada umumnya maupun konseling lintas budaya pada khususnya ?

Bagaimana praktek pelayanan konseling lintas budaya dalam jemaat ? Penulis juga dalam

kaitan itu mencoba melaksanakan praktek konseling lintas budaya sebagai contoh dan

prototype pelaksanaannya dalam pelayanan jemaat-jemaat GKI.

3.1. Pelayanan Konseling Lintas Budaya oleh Pendeta Jemaat

Pertanyaan kritis dalam penelitian ini adalah apa pemahaman pendeta jemaat tentang

konseling maupun konseling lintas budaya ? Pemahamannya akan membentuk paradikma

berpikir dan bertindaknya dalam pelayanan konseling maupun konseling lintas budaya.

Menurut Pendeta Jemaat, konseling pastoral adalah proses penggembalaan yang dilakukan

oleh konselor kepada konseli. Penggembalaan yang dimaksudkannya berakar dalam kitab

Mazmur 23:1-6 maupun dalam Yohanes 10:1-21.30

Penggembalaan dengan demikian adalah

proses membimbing, menuntun dan menyediakan yang dilakukan oleh pendeta sebagai

konselor kepada konseli terutama terkait dengan keperluan rohani warga jemaat. Di sini

konselor dipahami dan ditampilkan sebagai seorang konsultan atau seorang ahli sebagai

subyek konseling sedangkan konseli ditempatkan dan berposisi sebagai yang membutuhkan

pertolongan sebagai obyek konseling.

Menurut pendeta jemaat bahwa melalui pelayanan konseling, ia mendapatkan

informasi dan data tentang berbagai masalah yang dihadapi jemaat lalu mengunjungi mereka

dan memberi penguatan supaya mereka tabah menjalani kehidupan ini dalam iman, harap dan

kasih. Karena itu konseling atau menurut pendeta jemaat pelayanan konseling adalah

30 Percakapan ulang via HP dan sms dengan Pendeta Jemaat GKI Lachai Roi Wamena tanggal 28 Juli 2016.

Page 30: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

58

pelayanan pertolongan kepada mereka yang bermasalah.31

Permasalahan jemaat sangat

kompleks dan beragam karena itu diperlukan pendekatan-pendekatan khusus untuk

memahami setiap permasalahan dengan penuh tanggung-jawab dan adil. Apalagi dalam

jemaat multibudaya atau majemuk seperti Lachai Roi Wamena. Jangan sampai ada warga

jemaat yang merasa tidak diperhatikan, tidak dihargai atau bahkan tidak dilayani secara baik

oleh pendeta maupun majelis jemaat.32

Istilah maupun praktek pelayanan konseling lintas budaya rupanya merupakan hal

yang baru bagi pendeta jemaat dan istrinya. Menurut mereka bahwa jangankan konseling

lintas budaya, dalam hal pelayanan konseling saja sudah tidak dapat dilaksanakan secara baik

dan terencana. Mereka berucap : “kami jarang melaksanakan kunjungan konseling kepada

warga jemaat. Kalaupun kami datangi warga jemaat, itu bukan karena mereka memerlukan

kami, tetapi lebih banyak kali karena kamilah yang memerlukan mereka, bukan karena ada

permasalahan yang harus kami selesaikan bersama mereka.”33

Hal praktek yang demikian

oleh pendeta jemaat disebabkan karena pengertiannya sendiri tentang konseling kurang

berdasar maupun berakar pada profesionalisme kependetaan maupun ilmu konseling itu

seendiri.

Pada sisi lain, penulis menemukan bahwa dalam Hasil Sidang Jemaat GKI Lachai Roi

Wamena pada tahun 2014 maupun Hasil Sidang Jemaat pada tahun 2015, tidak ditemukan

adanya program dan kegiatan konseling yang terjadwal secara teratur dan sistimatis sepanjang

tahun 2014 ataupun tahun 2015.34

Itu berarti bahwa selama tidak ada permasalahan yang

muncul dalam kehidupan berjemaat, maka pelayanan konseling dianggap tidak dibutuhkan

31 Percakapan ulang via HP dan sms dengan Pendeta Jemaat GKI Lachai Roi Wamena tanggal 28 Juli 2016. 32 Informasi dari seorang Penatua di Jemaat GKI Lachai Roi Wamena pada Desember 2015. 33 Informasi dari Pendeta Jemaat GKI Putikelek, juga adalah istri Pendeta Jemaat Lachai Roi Wamena, pada

bulan Desember 2015. 34 Panitia Sidang Jemaat 2015, Hasil Sidang Jemaat GKI Lachai Roi Wamena Tahun 2015. (HomHom: Majelis

Jemaat, 2015).

Page 31: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

59

atau tidak penting untuk dilaksanakan; Sebaliknya ketika ada permasalahan yang timbul

dalam keluarga ataupun jemaat, maka pelayanan konseling pun diperlukan untuk

menyelesaikan berbagai bentuk permasalahan jemaat. Di sini pelayanan konseling hampir

sebagai klinik penyembuhan penyakit. Orang datang ke klinik karena sakit dan membutuhkan

penyebuhan. Seolah-olah pelayanan konseling hanya terkait dengan profesi seorang petugas

kesehatan layaknya.

Berdasarkan realitas pelaksanaan pelayanan konseling yang demikian, maka penulis

memberanikan diri untuk meminta izin kepada pendeta jemaat maupun majelis jemaat supaya

diberikan kesempatan melaksanakan pelayanan konseling maupun konseling lintas budaya

terhadap salah satu dari keempat keluarga yang telah saya wawancarai untuk memperoleh

data awal bagi pelaksanaan praktek konseling lintas budaya.

Pelaksanaan konseling yang penulis lakukan dimulai dengan membuat rencana

konseling bersama keluarga (suami istri), yaitu mengatur waktu yang baik bersama mereka,

merencanakan tempat dan suasana pertemuan yang paling tidak konduksif untuk dilakukan

percakapan. Saya juga mengatur paling tidak dua kali pertemuan, yaitu pertemuan pertama

saya dengan ibu secara terpisah kemudian saya dengan bapak pada hari yang sama; kemudian

pada hari lainnya saya bertemu bersama keduanya untuk menyatukan pikiran, persepsi,

perasaan dan kemauan masing-masing pihak. Setelah semua rencana ini disepakati bersama,

maka dimulailah pelayanan konseling bagi suami istri.

3.2. Tindakan Konseling Lintas Budaya

Adiputra mengemukakan bahwa selama sepuluh tahun terakhir perkembangan pada

minat dalam konteks perawatan kesehatan mental telah mendorong studi lintas budaya

(csross-cultural) yang utama dari evaluasi yang berhubungan dengan psikiatri dan diaknosis.

Page 32: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

60

Sebagai suatu penafsiran yang lebih hati-hati dari suatu budaya yang bersifat khusus dari

treatment psikiatri.35

Pemahaman ini mendorong Prof. Johnaton Murphy mendefinisikan

Konseling Lintas Budaya (multikultural) sebagai suatu hal yang berhubungan dengan proses

terapi dan praktek penyembuhan mental. Hal itu merupakan suatu peran dari proses

menemukan tujuan konseling melalui pengalaman hidup, budaya, dan identitas individu klien

oleh konselor.36

Ada empat standar konseptual dalam pelaksanaan konseling lintas budaya

atau konseling multicultural, yaitu : perlu adanya perhatian dari kebudayaan universal (etic)

yang dimiliki konselor dengan budaya relatif (emik) yang dimiliki oleh klien; perlu

memperhatikan emosi yang terkait dengan budaya suatu ras atau bangsa. Budaya manusia

biasanya muncul dari budaya relatih yang dipengaruhi oleh budaya universal; perlu

memperhatikan mana yang budaya multikultural dan yang bukan budaya multikultural;

konseling perlu dilaksanakan sebagai suatu profesi dengan memperhatikan konteks

sosiopolitik.37

Berdasarkan pengertian dan dimensi konseptual tentang konseling lintas

budaya ini, maka penulis akan mengetengahkan jalannya konseling terhadap satu keluarga

beda budaya sebagaimana disebutkan di atas.

Fase 1.

3.2.1. Konseling terpisah antara Konselor (Ko) dengan Ibu A (Ki) bertempat di

konsistori jemaat, waktu malam hari

1. Ko1 : Selamat malam ibu, saya G, apa kabar, saya harap ibu baik-baik saja

(Ki tersenyum seolah hendak menyapa G). Dua hari lalu kita ketemu

di rumah ibu, saya senang ibu bisa menerima saya untuk kita bicara

bersama lagi malam ini.

2. Ki : (dengan tersenyum ia menyapa), selamat malam juga nona, saya

35

A.A.N. Adiputra, Konseling Lintas Budaya, p.175. 36 Johnaton Murphy, Chapter 1. The Superordinate Nature of Multicultural Counseling/Therapy, p.16 37 Ibid.

Page 33: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

61

senang bisa ketemu nona malam ini sesuai janji kita.

3. Ko : Apakah bapak ada ?

4. Ki : oh, ia, bapak ada di luar, biasa ... , ia lagi cerita dengan bapak pendeta

dan teman majelis jemaat. Apakah saya perlu panggil bapak supaya

kita bicara bersama ?

5. Ko : Ah tidak usah, kita kan sudah janji, hari ini saya mau bicara dengan

ibu sendiri baru dengan bapak lagi. Nanti besok baru kita tiga bicara

bersama-sama, apakah di konsistori ataukah di rumah atau di pastori

jemaat.

6. Ki : ya terserah nona saja. Saya ikut yang sudah diatur. (ibu kelihatannya

serius untuk segera memasuki pokok percakapan).

7. Ko : ibu, sa mo tanya ! saya dengar dari bapa pendeta, ibu adalah

seorang yang tegar, ibu kuat skali eh ! ibu luar biasa (ibu tertawa ....

ha ha ha ...)

8. Ki : io kah nona ? bapa pendeta bilang begitukah ? jang angkat baru

kasih jatuh eh ! (ibu tertawa lagi .....). Nona saya memang punya

masalah keluarga.

9. Ko : oh iokah, sio ! ya mama cerita sudah, jang mama simpan-simpan

sendiri, nanti jadi penyakit, kalau mama sakit lagi baru, siapa urus

adik-adik.

10. Ki : io mama su sakit sudah ni, abis mama simpan-simpan sendiri, mo kasi

tahu siapa.

11. Ko : kalau begitu mama cerita sudah, biar sa dengar, mungkin sa bisa

tolong mama dengan bapa punya masalah.

12. Ki : Jadi mama ni su tra tau mo cerita ke mana, mama su tra kuat, jadi

Page 34: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

62

waktu itu mama pigi ke (mendatangi) pa pendeta, jadi begini mama

ni, aduh nona (tchi...), mama ni su selama doplima (dua puluh lima)

tahun mama hidup dengan bapa ini, tapi bapa trabisa (tidak bisa)

rubah dia pu kelakuan.

13. Ko : kelakuan bagaimana mama ?

14. Ki : bapa ni,..... e bapa ni.... bapa suka selingkuh dari mama. Terakhir ni

sampai bapa su pu anak, lalu bapa bilang sama mama, mama biasa

piara anak itu kah, akhirnya mama bersedia ambil anak selingkuh itu

dan piara dia. Tapi bapa tidak mengerti mama pu perasaan. Mama

sampai su bosan bicara dengan bapa, sampai terakhir ni, mama

hanya bisa ingat dan berpegang pada mama pu ayat. “Hati yang

gembira adalah obat ..... ”.

15. Ko : sio mama ni memang, mama luar biasa sekali. Baru masalah begini,

kalau mama sudah terima ade dia sebagai bagian dari keluarga,

berarti mama dong su bae bae saja, atau bagaimana komunikasi

antara bapa dengan mama ? baikkah ?

16. Ki : komunikasi tu biasa saja, tapi kadang-kadang kami tidak bicara

walaupun berada bersama. Masing-masing takut memulai sutu

pembicaraan. Yang penting sekarang itu mama pelayanan saja.

Mama sudah berserah.

17. Ko : kalau begitu waktu mama mulai tahu bapa selingku, apa tanggapan

mama ?

18. Ki : ya saya tahu dari teman gurunya bapak, ia adalah saudara sepupu

saya juga. Ia yang memberitahukan saya kalau bapa ada punya

selingkuhan. Waktu itu saya kaget sekali. Saya kira bapa sudah

Page 35: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

63

melupakan masa lalunya, gaya hidupnya dan kelakuannya di masa

muda itu. Mama bilang dalam hati, saya ini kurang apa jadi dia

masih cari perempuan lain ? Perempuan itu dia punya kelebihan

apakah ? Kita setiap saat bertengkar, sampai akhirnya mama pikir,

untuk apa bertengkar kalau tidak ada hasilnya. Pikiran itu mulai

muncul waktu bapa minta sama mama untuk ambil anak hasil

selingkunya bapa menjadi anak kami.

19. Ko : Lalu mama terima tawaran bapa untuk ambil ade itu ?

20. Ki : ia nona, mama harus terima, sebab tawaran bapa itu disertai dengan

ancaman dan konflik lagi. Lebih baik mama pertahankan keutuhan

keluarga daripada terjadi perceraian.

21. Ko : Jadi apakah yang menjadi penyebab konflik mama dengan bapa,

apakah kelakuan dari bapa yang suka selingkuh, atau apakah

perempuan yang selingkuh dengan bapa sebagai saingannya mama,

ataukah anak hasil selingkuh ? ataukah ada masalah lain ?

22. Ki : oh nona, itu semua menjadi sumber pertengkaran bapa dengan mama.

Kalau dia selingkuh dengan perempuan lain, ya pasti mama ribut

dan marah, karena bapa itu saya punya milik yang berharga. Jika

perempuan itu sudah tahu ini suami orang mengapa ia mau

menerima bapa dalam hidupnya lagi ? Anak inikan bukan mama

punya anak, kalau mama lihat dia, mama ingat akan ibunya yang

selingkuh dengan bapa, mama jadi marah dalam hati. Itulah

penyebab mama dengan bapa selalu ribut dan bertengkar.

23. Ko : Bagaimana caranya mama dan bapa menyelesaikan keributan atau

konflik dalam rumah tangga ini ? Apakah bapa dan mama ketika

Page 36: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

64

bertengkar merasa malu terhadap anak-anak ? Ataukah karena

marah jadi tidak pikir pengaruh terhadap perkembangan anak-anak ?

Bapak kan seorang guru, ia pasti tahu akan akibat dari konflik orang

tua terhadap perkembangan psikologis anak-anak.

24. Ki : itu sudah nona. Kalau mama biasanya mama mengalah sudah. Kalau

ribut juga sama saja. Bapa punya model sudah begitu, mau apa lagi.

Bapa biasanya mohon ampun, mohon mama maafkan dia. Dia

sampai peluk mama punya kaki sambil minta maaf. Itu sudah bapa

punya kebiasaan.

25. Ko : Kalau sudah begitu, terus ? mama buat apa lagi ?

26. Ki : Ya .... begitu sudah.

27. Ko : Apakah konflik tersebut mempengaruhi komunikasi atau aktifitas

bapa dan mama ?

28. Ki : Biasanya bapa dan mama ribut di kamar saja. Sesudah itu kami saling

diam, lalu menganggap masalah selesai dengan meminta maaf.

Kehidupan normal lagi, tetapi komunikasi akan putus selama satu

hari, setelah itu normal lagi.

29. Ko : apakah bapa pendeta tahu apa yang mama dan bapa alami ?

30. Ki : ya bapa pendeta sudah tahu, karena mama su kasih tahu, tetapi ya itu,

bapa dan mama pendeta pun hanya nasehati mama untuk mengerti

keadaan bapa. Mama diminta oleh bapa pendeta untuk tabah

menjalani hidup, jaga nama baik bapa dan kalau boleh mengampuni

dan menerima dia sebagai suami dan kepala keluarga.

31. Ko : apakah usaha percakapan ini efektif untuk menangani masalah mama

dengan bapa ?

Page 37: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

65

32. Ki : mama rasa tidak. Akh biar sudah nona.

33. Ko : ok baik mama. Terima kasih untuk informasinya. Saya mau bicara

dengan bapa lagi. (mama berjabatan tangan dengan saya lalu permisi

keluar dari konsistori gereja). Mama tolong bilang bapa ke mari.

34. Ki : (menganggukan kepalanya sebagai tanda ..... ia mengatakan “ya”) .

3.2.2. Konseling terpisah antara Konselor (Ko) dengan Bapak A (Ki) bertempat

di konsistori jemaat, waktu malam hari.

1. Ko : Selamat malam bapa, saya G, apa kabar ? bapa sudah tunggu lama eh.

(Ki menyodorkan tangannya lalu berjabatan tangan dengan Ko).

2. Ki : (ia kemudian duduk di kursi dan mengatur posisi duduk agak ke kiri

dari posisi istrinya berhadapan dengan Ko). Selamat malam, mama

sudah cerita banyak ka ?

3. Ko : io bapa. Begitu sudah, mama sudah cerita apa yang menjadi

penyebab ... (tiba-tiba Ki potong pembicaraan Ko......)

4. Ki : mama memang paling mengerti bapa. Ia adalah istri yang baik, suka

memafkan dan sebagai majelis jemaat ia rajin melayani. Bapa juga

bangga dengan sikap dan cara hidupnya.

5. Ko : io eh bapa. Pa pendeta dan ibu juga bilang mama itu luar biasa.

Mama saja .... (Ki kembali menyela pembisaraan ........)

6. Ki : ia itu betul, mama luar biasa, tetapi kadang juga mama tidak dengar

bapa. Memang ketika kita ribut, bapak akan peluk kaki mama lalu

mohon maaf, di situ mama akan diam lalu mengangguk sebagai tanda

ia memafkan bapa. Tetapi setelah itu ia tidak bicara dengan bapa, kita

putus komunikasi, nanti kalau ada tamu ya kita baik kembali.

Page 38: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

66

7. Ko : Apakah yang menyebabkan bapa dan mama ribut atau konflik ?

8. Ki : (serius memandang ke langit-langit konsistori, lalu memegang

dagunya seolah ia sedang berpikir sesuatu untuk mengatakannya .......)

9. Ko : bagaimana bapa ?

10. Ki : sebenarnya bagi bapa itu tidak ada masalah yang terlalu serius, atau

masalah yang rumit. Hanya mama selalu menanggapi sesuatu dengan

emosi dan panas. Ia kita kan laki-laki...... (Ki tersenyum .........)

11. Ko : apakah karena salah paham ? apakah karena bapa dan mama punya

latar belakang keluarga dan suku yang berbeda ? apakah konflik

karena masalah selingkuh ?

12. Ki : baik nona pendeta. Mungkin pendeta sudah dengar dari mama

ataupun dari bapa dan ibu pendeta jemaat. Bahwa bapa sudah punya

anak dari hasil selingkuh dengan perempuan lain. Itu hanya khilaf saja

dan sudah kita selesaikan. Tetapi mama sampai hari ini macamnya

masih simpan marah. Bapa rasa kita sudah selesaikan, sudah saling

memaafkan.

13. Ko : Tapi bapa apakah pendeta terlibat dalam penyelesaian masalah bapa

dengan mama ini ? apalagi sampai mama menerima ade itu sebagaia

bagian dari anak-anak bapa dan mama ?

14. Ki : oh pendeta tidak terlibat. Itu kita dua bicara sendiri dengan keluarga

perempuan dorang. Kita atur diam-diam saja.

15. Ko : sebagai seorang guru, apakah perasaan bapa dengan cara

penyelesaian seperti itu ?

16. Ki : ya justru itu. Karena saya ini guru, jadi mama bilang sudah jangan

kita ribut-ribut nanti orang tahu kita pu noda hitam ini. Biar kita

Page 39: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

67

bicara baik-baik saja dengan pihak mereka (maksudnya selingkuhan).

17. Ko : ada harus pa pendeta mau bilang mama ini luar biasa.

18. Ki : ya memang benar mama luar biasa. Tetapi da hal yang bapa harus kasi

tahu untuk nona pendeta, bahwa jika mama sudah serius urus anak-

anak, ia bisa lupa bahwa bapa juga perlu perhatiannya. Mama itu kan

besar dengan keluarganya atau bapa dan mamanya serta keluarganya.

Tapi saya ini kan sejak selesai SMP di kampung, saya berdiri sendiri

sampai sekarang. Ini yang memang mama tidak mengerti.

19. Ko : Kalau begitu, apakah bapa pendeta tahu mama dan bapa punya

masalah ini kah ? apa tindakan bapa pendeta untuk menolong bapa

dan mama ?

20. Ki : ya begitu sudah. Pendeta sekarang kurang melihat jemaat, apalagi

masalah jemaat. Pendeta terlalu sibuk dengan pelayanan sampai tidak

ada waktu lagi untuk kunjungi jemaat. Kita mau pendeta datang ke

rumah, kita duduk sama-sama, cerita dan tukar pikiran. Tetapi ini kan

tidak (Ki diam .......lalu ia lanjutkan pembicaraannya......). Ya begitu

begitu sudah. Kita harus bisa bertanggung jawab sendiri untuk

keluarga kita, anak kita, istri kita tanpa harus tergantung kepada orang

lain. Bapa ini kan guru, sudah lama tinggal di Wamena, pernah jadi

Majelis Jemaat. Kami termasuk tua-tua jemaat, biasanya menjadi

panutan dan juga donatur bagi pemuda.

21. Ko : Apakah persoalan bapa dengan mama ini mengganggu aktifitas bapa

sebagai seorang guru ? atau mengganggu komunikasi sebagai suami

istri ?

22. Ki : oh nona pendeta, sangat mengganggu. Yang paling mengganggu

Page 40: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

68

bukan masalah komunikasi, tetapi masalah hubungan suami istri. bapa

akan tidur di ruang tamu karena komunikasi putus untuk beberapa

hari. Hal ini juga mengganggu aktifitas sebagai guru. Konsentrasi

untuk mengajar terganggu. Konsentrasi dalam menjalankan tugas

sebagai pegawai juga terganggu. Pulang ke rumah setelah bekerja,

pasti ketemu dengan mama yang sudah tidak berkomunikasi baik

dengan saya. Anak-anak seolah memarahi saya. Di jemaat juga

sepertinya pa pendeta melihat saya dengan sedikit ........saya tahu itu.

Saya mau ke mana ? saya mau bagaimana lagi ? saya sebenarnya

bingung menghadapi hidup seperti ini. Saya juga tidak mau kita ribut.

Tapi ya begitu sudah. (lalu melipat jarinya tangannya seolah ingin

berdoa mengaku dosanya dan mohon pimpinan Tuhan atas hidupnya).

23. Ko : Bapak ! kepada pa pendeta jemaat tidak lakukan konseling pastoral

untuk bapa dengan mama ? saya juga heran !

24. Ki : begini anak pendeta. Kita ini kan jemaat, tapi kita ini manusia.Sebagai

manusia kita mau hidup baik dan menurut kehendak Tuhan. Tetapi

kalau hamba Tuhan juga tidak peduli dan tidak peka dengan apa yang

dialami jemaat. Ya sama saja. Kita sendiri berusaha untuk hidup

keluarga kita. Akhirnya juga kita bertanggung-jawab kepada Tuhan.

25. Ko : Baik bapa, saya pikir bapa juga luar biasa, karena bapa juga bisa

menerima kenyatan pelayanan jemaat ketika bapa dan mama

membutuhkan pelayanan, tetapi hal itu tidak dilakukan. Kalau begitu

apakah yang bapa pikirkan ?

26. Ki : saya biasa-biasa saja. Ini kan hal yang sudah bertumbuh lama dan

menjadi pengalaman hidup tiap hari. Kita perlu pendeta, tetapi kalau

Page 41: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

69

pendeta sendiri tidak tahu bahwa ini merupakan kebutuhan jemaat,

kita mau bagaimana lagi. Pendeta kan atasan kita di jemaat, seperti di

kantor kan kepala kantor atau kepala sekolah juga adalah atasan kita.

Kita patut menghormatinya dan menghargainya sebagai seorang

hamba Tuhan yang hidup bersama kita dalam jemaat.

27. Ko : berarti bapa menganggap bahwa apa yang dilakukan pendeta seperti

itu efektif dalam menyelesaikan masalah keluarga.

28. Ki : ah tidak juga. Tidak ada yang efektif di sini. (bapak kelihatannya

sedikt kesal dengan model pelayanan jemaat selama ini)

29. Ko : Bapa mau ya supaya keluarga bapa, juga keharmonisan hidup bapa

dan mama sebagai suami istri berjalan baik seperti dulu lagi e.

30. Ki : benar anak pendeta. Tidak ada warga jemaat yang tidak mau

keluarganya hidup baik. Saya juga mau supaya saya dengan mama

hidup baik dan saaling mencintai tanpa ada yang mengganggu cinta

kita.

31. Ko : ah betulkah bapa ? bapa juga luar biasa. (HP saya berdering, ada sms

masuk, saya coba melihat sms, dari pdt bram, isinya : ade jangan

terlalu lama melakukan percakapan, awas !). Minta maaf bapa. Kalau

begitu kita cukup dulu nanti kita lanjutkan besok dalam percakapan

bersama saya, bapa dan mama, apakah di sini lagi ? di rumah atau di

pastori ?

32. Ki : biar di rumah saja. Sebelumnya saya mohon nona pendeta berdoa

untuk bapa, supaya bapa bisa berubah, kitong ini sudah tua-tua, jadi

harus ada perubahan dalam kehidupan kita.

33. Ko : baik bapa, mari kita berdoa : Tuhan hambamu bersyukur untuk

Page 42: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

70

pertemuan dan percakapan bersam bapa dan mama malam hari ini.

Hamba bersyukur untuk kesempatan dapat bertemu dengan mereka

sebagai jemaat dan umat-Mu. Kiranya apa yang telah kami bertiga

bicarakan, Tuhan mendengarkannya dan memberkatinya supaya

menjadi berkat bagi keluarga ini. Hambamu memohon berkat dan

penyertaan bagi bapa dalam tugas dan pekerjaan, bagi mama sebagai

istri dan isbu rumah tangga dan juga berkat dan penretaan bagi studi

anak-anak dan masa depan mereka. Ampuni kami Tuhan, dengarkan

doa hamba-Mu. Dalam nama Tuhan Yesus Kristus, kami berdoa

amin.

34. Ki : Trima kasih, Tuhan memberkati. (berjabatan tangan lalu kami keluar

dari konsistori bersama)

Fase 2.

3.2.3. Konseling antara Konselor (Ko) dengan Ibu A (Ki1) dan Bapak A (Ki2)

bertempat di rumah Ki1, waktu sore hingga malam hari

1. Ki1 : (mungkin telah melihat Ko dari jendela kaca rumah, keluar dan

menyambut kedatangan Ko ke rumah mereka, ia tersenyum lebar

seakan berkata terima kasih kepada Tuhan ....... berjabatan tangan

dengan Ko lalu merangkul dan membawa Ko ke dalam rumah).

Selamat sore nona pendeta, datang sendiri kah ? sudah tahu jalan eh.

2. Ko : ia mama saya jalan sendiri. Kan dekat saja mo.

3. Ki1 : bapa, nona pendeta sudah datang ini.

4. Ki2 : sudah berada ditengan ruang tamu, berdiri tegar dan berwibwa

mengucapkan selamat sora, inilah rumah kami, inilah tempat kami

Page 43: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

71

membangun keluarga kami, yang hari ini kita mau

membicarakannya lagi.

5. Ki1: silahkan duduk nona, saya ambil minum dulu.

6. Ko : tidak usah repot mama, mari kita duduk dulu.

7. Ki1 : (mama kembali membawa minum dan kue lalu meletakannya di atas

meja)

8. Ki2 : mari silahkan minum.

9. Ki1 : bapak, lebih baik nona berdoa supaya kita minum dan bicara.

10. Ki2 : ya ...... (suasana tegang tahap pertama mulai terasa)

11. Ko : bapa dan mama, marilah kita berdoa : Ya Tuhan Allah, Bapa dalam

nama Yesus, kami bersyukur masih hidup dan bernafas hingga saat

sore hari ini. Kami mau makan dan milik lalu lanjytkan percakapan

kami, kiranya Tuhan menolong kami dengn kuasa Roh Kudus-Mu,

supaya apa yang kami bicarakan sesuiai kehendak-Mu. Berkati

kakanan dan minuman kami. Dalam nama Tuhan Yesus Kristus, kami

berdoa. Amin.

12. Ki1 : mari silahkan minum tehnya, hanya kue saja ini.

13. Ko : mama yang bikin kue kah

14. Ki2 : mama ini suka buat kue. Kuenya bagus-bagus dan enak.

15. Ko : itu yang bapa pendeta dan mama pendeta bilang, mama ini memang

luar biasa. (kita bertiga tertawa ..........). Bapa dengan mama, kemarin

saya sudah dengar tentang faktor penyebab konflik dalam rumah

tangga menurut mama maupun menurut bapa, bapa dan mama juga

sudah bilang sama saya bahwa konflik macam ini ni sudah lama

sampai macam bapa dan mama merasa hal itu sudah menjadi

Page 44: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

72

kebiasaan hidup. Apalagi yang buat saya tidak habis pikir sejak

kemarin itu, tidak ada kunjungan konseling pastoral terhadap masalah

ini dari pendeta jemaat.

16. Ki2 : Sebenarnya kita ini mau supaya tujuan hidup kita, yaitu mengalami

damai sejahtera, itu bahasa gereja kah, bisa tercapai, tetapi ya begitu

sudah.

17. Ki1 : Saya itu pasrah sudah. Kitong bicara, tidak bicara, melayani, tidak

melayani, ya sama saja.

18. Ki2 : Mama tidak boleh pasrah begitu ketika kita berhadapan dengan

masalah. Kita harus bersyukur bahwa masih ada orang seperti nona

pendeta yang mau mendengar keluhan kami, lalu mau datang untuk

menolong kami. Ini sebuah permulaan baru yang baik bagi eluarga

kami.

19. Ki1 : Saya harap bapa bicara yang benar. Jangan bicara sekarang baik, nanti

besok ulangi lagi kesalahan. Ini bapa punya satu sifat yang saya tidak

suka. Stop sudah.

20. Ki2 : Mama, saya punya maksud ini baik. Kan selama ini kapan pendeta

kita mau datang menolong kita ? Kunjungan pastoral saja kamu tidak

laksanakan ? Bagaimana kamu mau tahu bahwa jemaat ada susakah ?

21. Ki1 : Betul bapa, tetapi kan bapa tidak boleh bicara seperti itu. Sekarang ini

kan, nona ada datang ke rumah kita. Sama saja Tuhan utusan nona ini

untuk menolong kita. Pa pendeta sudah izinkan dia untuk menolong

kita dua. Memang dia masih mudah, tetapi Tuhan sudah siapkan dia

untuk menjadi hamba-Nya. Betul toh nona pendeta ?

22. Ko : Jadi bapa dan mama, yang tadi saya bilang itu, saya sudah dengar

Page 45: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

73

bapa dan mama punya masalah yang menjadi penyebab konflik. Saya

juga sudah dengar bahwa tidak ada pelayanan konseling pastoral dari

pendeta untuk menolong bapa dengan mama. Karena itu saya minta

maaf lebih dahulu untuk bapa dan mama.

23. Ki2: Kami senang karena ada hamba Tuhan yang memperhatikan

kehidupan kami. Saya rasa ada banyak keluarga dalam jemaat yang

menantikan apa yang kita buat sejak kemarin hingga saat ini. Mereka

rindu dipedulikan oleh pendeta. Memang bapa ini hanya satu masalah

saja, selingkuh.

24. Ki1 : Bapa dan mama ini baku sayang (bapa tertawa, mama tersenyum

lebar, lalu sayapun ikut tersenyum......)

25. Ko : memang bapa dan mama ini, tra kosong ............

26. Ki1 : ya nona, itu yang mama bilang to. Bapa dan mama ini saling

mencintai, cinta mati. Ingat to bapa, waktu kita mulai pacaran sampai

mau menikah, siapapun tidak bisa lepaskan cinta kita. Tetapi bapa ini

susah. Mungkin nyong Timor kah Kupang biasa begitu. Mata tra

sadap kalau tidak ganggu atau basengaja cewe-cewe.

27. Ki2 : mama bukan begitu. Kita ini kan laki-laki, punya mata untuk melihat

.....

28. Ki1: trus punya hati untuk memikat dan punya mulut untuk merayu .....

begitu.. ?

29. Ki2 : Bah.....mama coba tenang, dengar dulu baru bicara. Sekarang kita dua

ini mau dengar nona pendeta nasihati kita. Jangan lagi kita saling

mempersalahkan. Silahkan nona pendeta .......

30. Ko: Dari yang saya dengar, sebelumnya saya minta maaf, kalau apa yang

Page 46: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

74

nanti saya bicarakan dengan bapa dan mama menyinggung perasaan.

31. Ki2 : Ah .... tidak, kami memang mau dengar .....

32. Ko : Jadi bapa dan mama, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan

terjadi secara kebetulan, tetapi Tuhan ikut serta dalam kemajuan itu.

Kenapa ? Karena Tuhan mau menggunakan ilmu pengetahuan dan

kemajuan teknologi untuk menolong dan menyelamatkan hidup

manusia. Salah satu perkembangan ilmu psikologi dan konseling

pastoral adalah konseling lintas budaya. Suatu pengetahuan tentang

pelayanan konseling pastoral yang melibatkan dan menghargai

manusia secara utuh sebagai ciptaan Allah. Artinya dalam konseling

pastoral, manusia harus dilihat secara utuh, terutama dari sudut

budaya.

33. Ki2 : Maaf saya potong, itu berarti menghargai juga budaya saya sebagai

orang Kupang dan budaya mama sebagai orang Papua atau Raja

Ampat.

34. Ko : yo .... itu sudah, bapak pasti tahu karena bapa juga guru jadi. Bapa dan

mama, betul, kita harus melihat jemaat sebagai manusia yang dihargai

dan dihormati, juga budayanya, pendidiknnya, karakteristik hidupnya,

status sosialnya dan seterusnya. Pelayan gereja harus memahami sifat

dan sikap khas budaya ras dan etniknya. Sehingga menolong keluarga

yang satu ras dan daerah, umpamanya keluarga orang Papua, suami

orang Raja Ampat dan istri orang orang Raja Ampat akan berbeda

ketika menolong keluarga yaang suaminya orang Wamena sedangkan

istrinya orang Paniai. Dalam kasus seperti bapa dan mama, ini

namanya keluarga beda budaya atau bahasa keilmuannya disebut

Page 47: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

75

keluarga multibudaya. Seorang pendeta harus menghargai budaya

suami maupun istri, pendeta harus mengetahui kebiasaan budaya

universal dan maupun budaya individual, barulah ia dapat menolong

keluarga tersebut.

35. Ki1 : berarti kita ini keluarga beda budaya ?

36. Ki2 : betul mama, kita ini keluarga beda budaya. bapa dari Kupang di

Indonesia Tengah, sedangkan mama dong berasal dari Raja Ampat

Papua di Indonesia Timur. Beda waktu dan beda pulau, beda bahasa,

beda tradisi dan cara hidup. Pokoknya kita ini beda. Tetapi kita

membentuk keluarga supaya kita saling kenal.

37. Ki1: Bapak ko stop sudah. Ko pu begini yang kita dua lupa lalu ribut terus.

Jangan ko potong-potong pembicaraan.

38. Ko : Masalah bapa dan mama hanyalah masalah diskomunikasi budaya,

artinya bapa tidak kenal mama punya budaya, sebaliknya mama tidak

kenal bapa punya budaya. Akibatnya terjadi pemaksaan kehendak dari

dua pihak. Yang bapa dan mama pakai untuk ukur setiap masalah

adalah budaya universal, yaitu budaya yang umum dipakai dalam

masyarakat majemuk. Jika hal itu terjadi maka masing-masing akan

merasa ia tidak dihargai dan dihormati. Lahirlah konflik. Ada dua hal

besar yang menjadi alasan konflik, yaitu pemahaman budaya yang

tidak ada dalam diri bapa dan mama; dan pemahaman dosa dalam diri

bapa. Begini, di satu pihak untuk Bapa, ia seorang yang membutuhkan

kasih sayang. Sejak umur lima belas tahun, bapa sudah terpisah dari

orang tua di Kupang hingga berkeluarga. Bapak punya pengalaman

lain di Jayapura. Karena itu yang bapa butuhkan adalah kasih sayang.

Page 48: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

76

Seorang suami selingkuh, itu karena ia di satu pihak punya sifat

mengganti pasangan, tetapi di pihak lain ia kehilangan kasih sayang di

rumahnya. Mungkin ibu terlalu sibuk dengan anak-anak, mengasihi

anak-anak lebih dari suami, maka suami akan mencari kasih sayang

itu di luar rumah. Tetapi yang kedua, bapa adalah tipe orang yang

tidak takut Tuhan, karena itu selingguh adalah pelanggaran terhadap

hukum Tuhan yang ke-tujuh dan ke-sepuluh, dianggap sepeleh dan

biasa saja. Ini karakter orang munafik. Di depan umum mereka

berlagak alim dan beiman, tetapi perbuatannya jahat di mata Tuhan.

Bapak dan mama saya mau baca kitab Mazmur 1:1-6

(dibacakan) Mazmur 1 ini bicara tentang jalan orang benar dan jalan

orang fasik. Ada orang fasik, ada orang berdosa, ada kumpulan

pencemoh. Jalan orang fasik menuju kebinasaan tetapi jalan orang

benar menuju keselamatan. Mau pilih yang mana ? Jalan orang fasik

atau jalan orang benar.

Akibatnya bapa lebih fokus pada pekerjaan yang telah diraih

dengan susah paya. Sedangkan mama memiliki masa lalu dalam

keluarga yang baik dan tidak kurang. Mama merasa segala sesuatu

beres. Berharap pada orang tua dan keluarga. Menjadi kakak yang

harus ditaati dan didengar. Budaya ini terbawa hingga dalam keluarga.

Mama seolah pasrah dan tergantung pada gereja untuk menyelesaikan

masalah keluarga. Mama melihat bapa sebagai seorang Papua dengan

budaya yang sama dengan mama. Mama melihat diri mama sebagai

ibu rumah tanggga ketimbang sebagai istri bagi suami. Jika hal-hal ini

bisa dipahami, kemudian dibicarakan bersama, lalu kita berkomitmen

Page 49: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

77

untuk saling menerima dan menghargai setiap budaya dan perbedaan

itu, menerima yang perlu dan menolak yang merusak keluarga kita.

Kita berkomitmen untuk menjalani kehidupan dalam iman kepada

Tuhan Yesus Kristus. Untuk hal ini saya tidak memasuki lagi proses

selnjutntya. Saya akan menyampaikan hasil pertemuan kita kepada

bapa pendeta dan ibu, lalu merekalah yang akan melakukan konseling

Fase ketiga untuk penangnanan masalah keluarga ini. Saya rasa itu

yang bisa saya katakan pada bapa dan mama. Kiranya hal ini bisa

menolong kehidupan bapa dan mama. Ya mama juga saya mau

katakan pada mama bahwa, ungkapan pasrah sesungguhnya adalah

usaha menyembunyikan masalah. Itu tidak boleh. Jangan pasrah pada

kenyataan. Harus pasrah kepada Tuhan dan berusaha untuk keluar

dari masalah ini.

39. Ki1 : Trima kasih nona, Tuhan memberkati nona dalam studi lanjut. Salam

untuk bapa dan mama pendeta di Jayapura. Mama berdoa supaya

nona dapat teman yang setia dan hidup saling mengerti seorang akan

yang lain. Jangan seperti kita orang tua ini.

40. Ki2 : Bapa juga mengucapkan terima kasih untuk pertemuan dan

pertolongan ini. Kami berdoa supaya nona sukses dalam studi dan

sukses dalam pelayanan. (kami berjabatan tangan seorang akan

yang lain, kemudian bapa dan mama saling memberi isyarat untuk

memanggil anak-anaksupaya kita berdoa bersama......)

41. Ko : Baik bapa, mama dan adik-adik, marilah kita berdoa : .....................

Fase 3.

Page 50: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

78

3.2.4. Konseling dalam rangka membangun komitmen untuk hidup secara

baru antara Konselor (Ko) dengan Ibu A (Ki1) dan Bapak A (Ki2)

bertempat di rumah Ki, waktu ditentukan kemudian.

Fase ini diserahkan kepada pendeta jumaat untuk bersama keluarga membangun

komitmen bagi kehidupan baru dalam Kristus. Dapat berupa Penelaan Alkitab dan Ibadah

Ucapan Syukur, khusus untuk bapa, mama dan anak-anak.

3.3. Kajian terhadap Verbatim Percakapan Fase 1 – Fase 2 :

Kehidupan keharmonisan keluarga-keluarga Kristen zaman ini perlu mendapat

perhatian dari pendeta jemaat sebagai konselor, sebab zaman ini penuh dengan tantangan,

baik dari dalam keluarga maupun dari luar keluarga, apalagi keluarga beda budaya.

Pemahaman dan pengetahuan tentang konseling lintas budaya haruslah berakar dalam

penghargaan terhadap nilai-nilai budaya setiap orang. Setiap orang dalam konteks keluarga,

baik suami maupun istri haruslah dipahami setiap tindakannya, tutur katanya, maupun

simbol-simbol budayanya sebab di sana nampak sifat dan karakteristik individunya. Budaya

selalu lahir dari pengaruh komunitas dan bukan pengaruh individu terhadap komunitasnya.

Dalam kasus keluarga BA/IA, mereka telah memasuki masa pembentukan keluarga

tanpa menyadari akan masa transisi dari kedua pihak sebagai suami maupun istri. Masa

transisi ini karena tidak disadarinya, maka mereka memasukinya dengan membawa serta

konteks dan budaya keluarga masing-masing ke dalam kehidupan keluarga mereka yang baru.

Budaya tersebut kemudian dipertahankan dan dilakukan oleh suami sebagai bagian dari

keluarga baru mereka, demikian juga budaya istri dilakukan dan dipertahankan untuk menjadi

budaya dan kebiasaan dari keluarga yang baru. Mereka (suami istri) akhirnya telah memiliki

tiga budaya sekaligus dalam satu keluarga, yaitu budaya asing dari pihak suami, karena milik

si suani, budaya asing dari pihak istri karena menjadi milik si istri dan budaya baru yang

mereka bentuk dalam keluarga baru mereka. Terjadilah tabrakan budaya. Konflik tidak dapat

Page 51: BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Jemaat · 08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00. Berdasarkan data ststistik

79

di hindari.

Di pihak lain, masa lalu kehidupan BA yang kehilangan kasih sayang telah terbawa

hingga pembentukan keluarganya. Sebaliknya IA yang dibesarkan dalam kasih sayang orang

tua, sebagai kakak dari tujuh adiknya, ia bersifat dominan dalam pengambilan keputusan.

Itulah yang telah mengorbankan status suami dalam posisi keluarganya. Setelah berumah

tangga dan memiliki anak, budaya kakak (ketuaan di masa lalu) itupun tumbuh dan

berkembang kembali. Kasih sayang yang seharusnya dibagi secara merata kini dikurangi

untuk sang suami. Akibatnya sang suami merasa tidak diperhatikan dan disayangi. Efeknya ia

mencari kasih sayang di luar rumah. Itulah penyebab konfliknya. Richard B. Miller dkk

dalam sebuah artikel yang dimuat dalam The American Jurnal Of Family Therapy terkait

dengan masalah-masalah keluarga yang suami istri beda budaya bahwa keluarga-keluarga

yang demikian memiliki sifat yang sensitif dalam penilaian dan perlakuan sehingga rawan

konflik. Karena itu penilaian terhadap masalah keluarga dengan suami istri beda budaya,

harus dimulai dengan menilai problem keluarganya, masalah suami maupun istri, yang

dilanjutkan dengan identifikasi inti masalahnya dalam hubungan dengan alternatif

penanganannya. Ada empat masalah besar sebagai sumber konflik dalam kehidupan keluarga

yang suami istri beda budaya, yaitu : masalah finansial atau ekonomi, masalah memperoleh

anak atau tidak, masalah kecemburuan dari suami istri, dan masalah pola dan cara

berhubungan seksual suami istri.38

Jika permasalahan-permasalahan ini tidak dapat diatasi

oleh pihak suami istri maupun pihak gereja tidak memahami juga kebutuhan dasar tersebut,

maka konflik akan sering terjadi, sehingga pemecahan masalahnya tidak akan tercapai.

38 Richard B. Miller, Martial Problems and Martial Satisfaction Among Brazilian Couples , Dalam : The American

Journal of Family Therapy, 42:153-166, 2014., p. 153, 158, 163.