bab iii perjanjian internasional dalam · pdf filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan...

34
52 BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL Bab ini menjelaskan tentang definisi perjanjian internasional (PI), fungsi dan jenis- jenis perjanjian internasional. Dalam bagian pertama dijelaskan mempunyai Konvensi Wina tahun 1969, dengan muatan materi dasar dari perjanjian internasional. Selain itu, dijelaskan tentang ratifikasi internasional dan keterlibatan negara-negara dalam pembentukan perjanjian internasional. Terakhir, bagaimana perjanjian internasional dalam sistem hukum Indonesia. Adapun bab ini dimaksudkan agar mahasiswa memahami secara komprehensif tentang prinsip-prinsip, teori-teori, dan norma-norma hukum perjanjian internasional, baik dalam cakupan internasional maupun perjanjian internasional dalam konteks tingkat nasional di Indonesia. 1. Istilah Perjanjian Internasional dalam Konvensi Wina 1969 Hubungan internasional yang diperankan negara-negara dan organisasi internasional, tidak akan tercipta secara harmonis jika tidak didukung perjanjian internasional. Suatu instrumen hukum internasional, digunakan sebagai peraturan, pedoman utama dan kaidah normatif bagi pihak-pihak dalam menjalankan hubungan internasional secara baik dan damai. Sebagai sumber hukum utama, Pasal 38 ICJ (International Court of Justice) menegaskan adanya Perjanjian Internasional memberikan kepastian hukum yang saling mengikat bagi para pihak dalam melangsungkan praktek hubungan antara satu atau lebih negara dalam berbagai kepentingan. Baik perjanjian internasional bersifat antara kedua negara (bilateral treaties), oleh tiga negara (trilateral treaties), dan juga perjanjian diselenggarakan oleh banyak negara (multilateral) sama-sama memberi daya ikat karena menimbulkan hak dan kewajiban.

Upload: vanduong

Post on 04-Feb-2018

240 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

52

BAB III

PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL

Bab ini menjelaskan tentang definisi perjanjian internasional (PI), fungsi dan jenis-

jenis perjanjian internasional. Dalam bagian pertama dijelaskan mempunyai Konvensi Wina

tahun 1969, dengan muatan materi dasar dari perjanjian internasional. Selain itu, dijelaskan

tentang ratifikasi internasional dan keterlibatan negara-negara dalam pembentukan

perjanjian internasional. Terakhir, bagaimana perjanjian internasional dalam sistem hukum

Indonesia.

Adapun bab ini dimaksudkan agar mahasiswa memahami secara komprehensif

tentang prinsip-prinsip, teori-teori, dan norma-norma hukum perjanjian internasional, baik

dalam cakupan internasional maupun perjanjian internasional dalam konteks tingkat

nasional di Indonesia.

1. Istilah Perjanjian Internasional dalam Konvensi Wina 1969

Hubungan internasional yang diperankan negara-negara dan organisasi internasional,

tidak akan tercipta secara harmonis jika tidak didukung perjanjian internasional. Suatu

instrumen hukum internasional, digunakan sebagai peraturan, pedoman utama dan kaidah

normatif bagi pihak-pihak dalam menjalankan hubungan internasional secara baik dan

damai. Sebagai sumber hukum utama, Pasal 38 ICJ (International Court of Justice)

menegaskan adanya Perjanjian Internasional memberikan kepastian hukum yang saling

mengikat bagi para pihak dalam melangsungkan praktek hubungan antara satu atau lebih

negara dalam berbagai kepentingan. Baik perjanjian internasional bersifat antara kedua

negara (bilateral treaties), oleh tiga negara (trilateral treaties), dan juga perjanjian

diselenggarakan oleh banyak negara (multilateral) sama-sama memberi daya ikat karena

menimbulkan hak dan kewajiban.

Page 2: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

53

Bilateral Treaties, yaitu suatu perjanjian yang dilakukan secara resmi ataupun tidak

resmi dan menyangkut bidang/sektor tertentu yang disepakati bersama diantara dua negara

yang melakukan perjanjian. Selain itu, terdapat pula model perjanjian yang melibatkan 3

(tiga) negara peserta dengan disebut Trilateral Treaties. Dalam skala jumlah peserta

perjanjian yang lebih banyak dikenal istilah Multilateral Treaties, yaitu suatu perjanjian

internasional yang melibatkan lebih dari 2 (dua) atau 3 (tiga) negara peserta. Umumnya,

perjanjian multilateral berisi kesepakatan bersama bersifat regional ataupun atas dasar

kepentingan yang sama antar negara-negara.

Sumber HI lainnya adalah kebiasaan internasional (international costumary rules),

keputusan pengadilan (court decission), prinsip-prinsip umum hukum internasional yang

diakui negara-negara beradab (general principle of law recognized by civilized countries), dan

karya-karya ahli hukum internasional yang memiliki kemasyhuran secara internasional

(justice world). Keempat sumber hukum tersebut dapat dijadikan sumber hukum

internasional, ketika sumber hukum satu sama lain saling melengkapi. Ketika PI tidak

memuat ketentuan hukum tertentu, maka kebiasaan hukum internasional dijadikan sumber

berikutnya.

Sesungguhnya PI tidak terbatas pada ketiga jenis tersebut di atas, lebih penting dari

itu bagaimana suatu PI memiliki kekuatan mengikat yang secara langsung (self-executing)

atau tidak langsung (non self-executing) terhadap negara-negara dengan tuntutan prosedur

ratifikasi.

Self executing treaties adalah suatu perjanjian internasional yang secara langsung

dapat mengikat dan diberlakukan dalam suatu negara tanpa memerlukan persetujuan dari

parlemen, dengan aklamasi Presiden sudah cukup diberlakukan. Sehingga ratifikasi oleh

Parlemen atau Konggres hanya terjadi jika terdapat kasus atau persoalan yang sangat berat.

Kondisi seperti ini terjadi di Amerika Serikat, Jerman, dan juga Perancis. Sedangkan non-self

executing treaties adalah perjanjian-perjanjian yang hanya akan mengikat jika kesepakatan

internasional tersebut telah diratifikasi oleh atau harus mendapatkan persetujuan DPR atau

Page 3: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

54

Parlemen. Sifat dari non-self executing treaties dalam pemberlakuan di suatu negara sangat

berat. Di satu pihak, setiap negara mewajibkan kesepakatan internasional di ratifikasi melalui

persetujuan DPR atau Parlemen. Dan di pihak lain, pengadilan-pengadilan nasional tidak

akan menggunakannya sebagai sumber hukum jika tidak/belum diratifikasi menjadi bagian

hukum nasional.1

Penerapan PI dalam suatu negara tergantung pada teori-teori penerapan PI yang

digunakan negara-negara. Adakalanya negara tersebut menggunakan teori monisme

(monism theory) dan juga ada beberapa kelompok negara menggunakan teori dualisme

(dualism theory). Namun demikian, penggunaan teori-teori tersebut di atas tidak selalu

menjamin suatu negara dapat menerapkan secara seragam.

Keabsahan suatu PI memang sangat tergantung selain kepada terpenuhi atau tidak

suatu persyaratan menurut ketentuan Komisi Hukum Internasional (International Law

Commission), juga penting menjadi pertimbangan bagaimana suatu kesepakatan disetujui

oleh banyak pihak. Konsekuensinya, hak-hak dan kewajiban-kewajiabn secara internasional

dapat timbul dan mengikat negara-negara secara berangsung-angsur. Negara-negara

sebagai peserta dalam suatu PI umumnya memiliki kesamaan status hukum (equality)

sebagai negara-negara berdaulat. Status kesamaan hukum (equality before the law) mutlak

dalam PI, sebab hanya Negara-negara berdaulat penuhlah yang memiliki hak bicara dan hak

suara.

Namun, tidaklah mengherankan jika terdapat perbedaan kemampuan atau kapasitas

dalam menjalankan berbagai kewajiban internasional. Untuk itu, dalam kondisi-kondisi

tertentu suatu negara dapat menanggalkan sebagian ketentuan hukum yang terdapat dalam

PI. Suatu pengecualian yang diakui keberadaannya oleh masyarakat internasional mengingat

kemampuan negara berbeda-beda. Reservasi adalah metode yang paling sering digunakan

negara-negara ketika ketentuan PI tidak berkesesuaian dengan ketentuan hukum nasional,

1 Wisnu Aryo Dewanto, Perjanjian Internasional Self-Executing Dan Non-Self-Executing Di Pengadilan Nasional,

Disertasi Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2011, Hlm: 49.

Page 4: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

55

khususnya ketentuan hukum pidana, hukum tata negara, dan juga hukum hak asasi manusia

suatu negara.

Dalam bagian tulisan ini, perlu dikemukakan tentang bagaimana keberadaan sumber

hukum Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the

Law of Treaty, 1969) yang digunakan dalam hubungan internasional antara negara-negara?

Kedua, apakah fungsi dan kegunaan PI dalam hukum hubungan internasional? Ketiga,

bagaimana daya ikat perjanjian internasional terhadap negara-negara baik karena putusan

yang mengikat secara terbatas (closed agreement) atau daya ikat terhadap negara secara

lebih terbuka dan meluas (open agreement)? Keempat, bagaimana kontribusi negara-negara

dalam proses pembuatan hukum perjanjian internasional? Kelima, bagaimana praktek dan

metode negara-negara dalam memberlakukan hukum perjanjian internasional dalam sisten

hukum nasional masing, termasuk dalam praktek di Indonesia?

Definisi Perjanjian Internasional dan Fungsinya

Definisi perjanjian internasional di kalangan publik, khususnya di Indonesia sangat

bervariasi. Secara populer, perjanjian internasional memiliki arti semua bentuk perjanjian

yang bersifat lintas batas negara atau transnasional. Di kalangan publik, tidak dibedakan

antara perjanjian internasional dan kontrak internasional, karena keduanya dipahami sebagai

perjanjian internasional tanpa melihat subjek, karakter hubungan hukum, serta rezim hukum

yang menguasainya.2

Menurut Pasal 2 ayat (1) butir (a) Konvensi Wina 1969, definisi PI adalah: “An

International Agreement concluded between States (and International Organizations) in

written form and governed by International Law, whether embodied in a single instrument or

in two or more related instruments and whatever its particular designation”. Artinya, “suatu

persetujuan internasional yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk yang tertulis

2 Domus Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm. 19.

Page 5: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

56

dan diatur oleh hukum internasional, baik yang berupa satu instrumen tunggal atau berupa

dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya”.

Suatu persetujuan internasional yang diatur oleh hukum internasional dan

dirumuskan dalam bentuk tertulis:

(i) antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi internasional; atau

(ii) sesama organisasi internasional, baik persetujuan itu berupa satu instrumen atau

lebih dari satu instrumen yang saling berkaitan dan tanpa memandang apapun

juga namanya”.

Adapun menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional, definisi PI adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur

dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan

kewajiban di bidang hukum publik.3

Berdasarkan beberapa definisi PI di atas, maka suatu perjanjian dapat dikategorikan

sebagai PI apabila memenuhi beberapa unsur, yaitu:

1. Perjanjian harus memiliki karakter internasional, baik secara formal

(pembentukannya) maupun materiil (substansinya).

2. Perjanjian harus dibuat oleh para pihak yang merupakan subjek hukum

internasional, yakni negara dan/atau organisasi internasional, sehingga tidak

dibenarkan jika perjanjian dibuat oleh pihak yang bukan merupakan subjek hukum

internasional.

3. Perjanjian harus dibuat secara tertulis dan memiliki daya ikat yang kuat bagi

seluruh pihak yang andil dalam perjanjian.

3 Pasal 1 poin (1) Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Page 6: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

57

Dengan demikian, perjanjian internasional yaitu suatu kesepakatan yang dibuat oleh

kedua belah pihak, negara-negara sebagai subyek hukum internasional atau obyek yang

jelas, dibuat secara tertulis dan mengikat secara sebagian besar negara-negara. Adapun

fungsi PI dalam hubungan internasional, sebagai berikut: Pertama, PI merupakan suatu

tanda bagi suatu negara yang telah menempatkan dirinya sebagai negara moderen yang

beradab. Menggunakan perundingan dan perjanjian, negara-negara akan berusaha untuk

menahan diri dari tindakan penggunaan kekeran di dalam penyelesaian sengketa. Sebab,

dalam merumuskan perjanjian internasional, pihak-pihak yang mewakili negara hendaknya

menggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi

kepentingan nasional (national interest).

Kedua, sebagai pedoman tertulis yang mengandung kepastian hukum bagi kedua

negara atau lebih untuk dijadikan rujukan dalam melakukan hubungan internasional dan juga

sebagai arah dari pembangunan nasional negara masing-masing. Misalnya, berdirinya badan

PBB terkait dengan bantuan program pembangunan (United Nations for Development

Program - UNDP), bagi negara-negara yang sedang membangun dan mengembangkan

demokrasi.

Ketiga, sebagai sertifikat atau bukti bahwa negara-negara tersebut terikat berbagai

kesepakatan internasional, sehingga jika dikemudian hari terdapat sengketa maka model

penyelesaian sudah jelas ada rujukannya di luar atau di dalam pengadilan.4

Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional

Sebagai suatu instrumen hukum hubungan internasional, perjanjian internasional

tidak sedikit istilah yang digunakan untuk memperlihatkan adanya transaksi atau perikatan

dalam tatanan internasional. Istilah tersebut antara lain, perjanjian atau perundingan

(Treaty), kesepakatan (agreement), perjanjian (Tractaat), piagam (Charter), Deklarasi

4 Dicari dalam J. O’Brien dan Malcolm Shaw, International Law, dalam Malcolm D. Evans.

Page 7: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

58

(Declaration), Anggaran Dasar (Statuta), Kesepakatan (Covenant), Nota Kesepahaman

(Memorandum of Understanding), Protokol Tambahan (Protocol), dan lain-lainya.5

Dasar yang harus diyakinkan kebenarannya adalah bahwa suatu PI menurut Konvensi

Wina, harus memiliki lima unsur utama: (1) Adanya pihak-pihak negara-negara sebagai

subyek hukum (states as international legal subject), (2) Menyetujui suatu kesepakatan atau

obyek tertentu; (3) Diatur oleh hukum internasional didasarkan Komisi Hukum

Internasiomal, (governed by International Law Commission); (4) didasarkan pada perjanjian

secara tertulis (made in written form); dan (5) memiliki daya ikat yang kuat (enter into

binding force). Dengan kata lain, syarat sahnya perjanjian internasional memiliki daya ikat

yang efektif, jika syarat-syarat tersebut telah dipenuhi.

Dengan kata lain, bahwa Konvensi Wina 1969 hanya mengatur berbagai perjanjian

internasional yang diikuti hanya oleh negara-negara sebagai subjek hukum internasional.

Suatu negara yang memiliki kedaulatan penuh (full state sovereignity), adalah negara-negara

yang memiliki kewenangan penuh, baik untuk urusan dalam negeri (domestic affairs),

maupun untuk urusan luar negeri (foreign affairs) tanpa ada campur tangan dari kekuatan

negara luar.

Sedangkan pengaturan PI yang diterapkan oleh subyek hukum non-negara, dapat

disandarkan kepada hukum kebiasaan internaasional, dimana organisasi internasional dan

lainnya diakui memiliki status yang sederjat seperti kedudukan negara. Selain terdapat

perjanjian yang diikuti oleh subyek hukum negara, organisasi internasional, baik berbentuk

organisasi antara negara (inter-governmental organization) atau organisasi swadaya

masyarakat (non-governmental organization). Vatikan atau Tahta Suci di Vatikan Roma,

Organisasi Gerakan Pembebasan (Liberation Movement Organization), dan juga organisasi-

organisasi profesi setingkat dunia lainnya.6 Dalam Protokol Tambahan

5 Lihat dalam Pasal berapa istilah-istilah tersebut diatur oleh Konvensi Wina 1969. 6 Lihat subyek hukum internasional dalam J. G. Starke, An Introduction To International Law, Sidney: Butterworth,

1988.

Comment [AVK1]: - #tolong di cek, bagaimana organisasi-organisasi non-internasional harus mengikuti prosedur dan mekanisme pembuatan perjanjian internasional.

Page 8: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

59

Berlaku dan Mengikatnya Perjanjian Internasional

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 24 (1) Konvensi Wina 1969, suatu perjanjian

internasional mulai dapat diberlakukan bergantung pada dua hal, yaitu: Ketentuan perjanjian

internasional itu sendiri; atau, apa yang telah disetujui oleh negara peserta.

Pada umumnya, pemberlakuan suatu perjanjian dapat dilihat pada bagian klausula

formal (klausula final) yang biasanya terletak dalam pasal-pasal terakhir perjanjian atau

setelah pasal-pasal substansial (dispositive provision) perjanjian internasional tersebut.

Misalnya ketentuan yang menjelaskan pada salah satu pasalnya bahwa perjanjian ini berlaku

segera setelah penandatanganan. Sehingga sejak penandatanganan dilakukan oleh negara

peserta, maka perjanjian yang ditandatangani secara otomatis berlaku bagi negara yang

bersangkutan. Dari praktek-praktek penerapan PI, daya ikatnya tergantung selain pada

jumlah negara-negara yang menyetujui dan meratifikasi. Misalnya, Statuta Roma yang

disetujui di San Remo tahun 1998, baru kemudian dapat diimplementasikan sejak setelah

enam puluh negara meratifikasinya dalam sistem hukum nasionalnya.

Adapun mengenai mengikatnya perjanjian, suatu perjanjian internasional baru mulai

dapat mengikat bagi negara peserta perjanjian tersebut bergantung pula pada tahap-tahap

pembentukan perjanjian itu sendiri. Jika perjanjian tersebut tidak mensyaratkan adanya

ratifikasi, maka negara peserta akan terikat secara hukum sejak penandatanganan perjanjian

itu. Jika perjanjian tersebut mensyaratkan ratifikasi, maka negara peserta baru akan terikat

secara hukum sejak diratifikasinya perjanjian itu. Sebaliknya, masih saja dilematis

pemberlakuan PI, seperti Statuta Roma. Sebab, selain negara-negara ada yang dapat

menolak pemberlakuannya, seperti Amerika Serikat, China, Rusia, Juga Israel dan termasuk

Indonesia. Di pihak negara-negara yang menolak umumnya, selain dapat berdampak pada

sistem hukum pidana nasionalnya. Juga negara-negara penolak umumnya tidak

menghendaki pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lalu dipersoalkan oleh Komisi HAM

Internasional dan juga tentunya Dewan Keamanan PBB.

Comment [AVK2]: #cek kepastiannya pemberlakuan Statuta Roma tahun 2004 atau 2005?

Page 9: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

60

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa suatu PI dapat berakibat timbulnya

hukum lain, atau dapat menuntut suatu negara atas pelanggaran terhadap suatu perjanjian

internasional ada dua syarat yang harus terpenuhi, yaitu bahwa perjanjian yang dilanggar

adalah sah telah berlaku dan perjanjian itu pula telah mengikat secara hukum bagi negara

yang melanggar perjanjian tersebut.7 Kesamaan status negara-negara, sebagai negara pihak

atau negara yang sama-sama meratifikasi statuta Konvensi menjadi dasar mutlak kebolehan

kedua negara melakukan klaim dan pertanggungjawaban hukum.

Jenis-Jenis Perjanjian Internasional

Setidaknya ada tiga jenis PI yang selama ini dijadikan pegangan dalam mempelajari

kerjasama internasional. Pertama, PI dilakukan oleh dua negara (Bilateral Treaties) untuk

mengikatkan diri ke dalam suatu obyek perjanjian bersifat publik (ketertiban, perdamaian,

kepentingan politik, militer, pertahanan dan keamanan, ilmu pengetahuan dan teknologi,

dan bidang kebudayaan lainnya), atau juga obyeknya keperdataan, bersifat mengikat tetapi

terbatas hanya kepada dua pihak saya (closed agreement). Di satu pihak, negara yang

menyelenggarakan PI secara bilateral wajib mematuhi dan menghormatinya (Pacta Sunt

Servanda). Karena itu, pihak-pihak yang berada di luar kesepakatan tersebut tidak merasa

ada kewajiban untuk mematuhinya. Sebab, praktek perjanjian hanya memihak terbatas pada

negara-negara yang menyepakati saja. Namun, tidak berarti negara-negara lain dapat

mencampurinya. Kewajiban untuk menghormati dan untuk tidak ikut intervensi, menjadi

batasan moralitas/kode etik internasional.

Dalam suatu hubungan antara kedua negara, Bilateral treaties tidak mudah dilakukan

mengingat kedua sistem hukum mereka berbeda-beda. Di satu pihak, terdapat negara-

negara menganut sistem common law, di mana negara-negara terikat dengan sistem

hukumnya, dan kebiasaan hukum, putusan-putusan hakim dijadikan dasar dalam

7 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Cet. I, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, April 2010, hlm. 32-34.

Page 10: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

61

menentukan sikap dan penerima terhadap PI ke dalam hukum nasional. Doktrin Precedent,

atau putusan-putusan hakim nasional dan internasional merupakan rujukan utama bagi

hakim-hakim di pengadilan. Misalnya, Inggris, dan Amerika Serikat tergolong negara-negara

penganut sistem common law yang lebih mengutamakan hukum kebiasaan internasional.

Namun, tidak berarti negara-negara tersebut tidak memiliki sumber hukum tertulis,

termasuk dalam hal ini Undang-Undang Dasar atau Konstitusi. Amerika sebagai negara yang

menempatkan PI sebagai sumber hukum nasional yang statusnya sejajar dengan konstitusi

Pasal 6 UUD AS; The international treaties shall be supreme law of the land.

Di pihak lain, negara-negara penganut sistem Kontinental adalah negara-negara yang

lebih mengutamakan sumber hukum tertulis, atau perundang-undangan (legisme). Hampir

kebanyakan negara-negara model kedua ini menempatkan hukum tertulis lebih utama

dijadikan sumber hukum oleh para penegak hukumnya. Karena itu, PI dapat digunakan

sebagai sumber hukum nasional, bilamana pemerintah negara tersebut telah meratifikasinya

ke dalam sistem hukum nasional.

Dalam sistem hukum negara-negara kontinental atau civil law, seperti Belanda dan

negara-negara sejenisnya seperti Indonesia, umumnya pemberlakuan PI lebih sulit dan

bahkan sangat birokratis. Pertama, setiap PI wajib di ratifikasi oleh lembaga Parlemen,

Konggres, Senat atau DPR. Kedua, pengadilan-pengadilan tidak akan menempatkan PI

sebagai sumber hukum nasional jika PI belum diratifikasi sebagai bagian dari hukum nasional

yang berbentuk Undang-Undang.

Trilateral Treaties, yaitu ketiga negara meningkatkan diri untuk menyepakati pada

suatu obyek tertentu untuk melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan, timbul hak

dan kewajiban yang mengikat negara-negara. Misalnya perjanjian ketiga negara yaitu

Indonesia, Malaysia, dengan Singapura terhadap keberadaan Selat Malaka sebagai suatu

wilayah perairan yang bersentuhan ketiga negara tersebut. Dalam kenyataan Selat Malaka

sebagai suatu selat perairan yang sangat sibuk dengan lalu lintas kapal pengangkut barang-

barang berbagai negara.

Page 11: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

62

Tidak mengherankan jika pelanggaran dan kejahatan lintas negara (Transnational

Organized Crimes), seperti pembajakan, penyelundupan, transaksi senjata gelap dan

perdagangan manusia acapkali dilakukan di Selat Malaka tersebut. Untuk mencegah dan

menindak pelaku pelanggaran dan kejahatan tersebut, ketiga negara merasa terpanggil

untuk menciptakan rasa aman dan damai bagi pengguna Selat tersebut. Ketiga negara

memiliki jurisdiksi masing-masing untuk melakukan tindakan kedaulatan terhadap pelaku

kejahatan yang terjadi di selat Malaka, sehingga mereka dapat meminta pertanggung

jawaban hukum kepada pelaku kejahatan tersebut yang terjadi di wilayah Selat Malaka,

sebagai tempat kejadian (locus delicti).

Namun demikian, kedua model PI tersebut di atas, mengisyarakatkan adanya sifat

Treaty of Contract. Perjanjian ini tidak secara langsung sebagai sumber hukum internasional.

PI dapat digunakan sebagai sumber hukum yang mengikat hanya kepada pihak-pihak yang

menandatangani dan juga terbatas hanya pada hukum yang khusus. Karena itu, Treaty of

Contract dapat saja menjadi sumber hukum internasional sepanjang mendasarkan pada

proses perubahan dari kebiasaan internasional. Sekalipun peristiwa dari perjanjian yang

memiliki daya ikat yang sama sebagai akibat dari hukum kebiasaan internasional. Misalnya,

setiap perjanjian internasional bersifat bilateral dalam hal tindakan diplomasi negara, hukum-

hukum negara, putusan-putusan pengadilan dan praktek organisasi internasional hanya akan

mengikat lebih luas jika telah mengalami proses yang saling diakui.

Di satu pihak, negara-negara yang terlibat dalam suatu perjanjian bilateral maupun

trilateral treaties terikat untuk menghormati dan mematuhi asas hukum perjanjian. Misalnya,

asas contractual international transaction consensus. Sebaliknya, negara-negara di luar pihak

juga wajib menghormatinya sepanjang negara-negara tersebut terlibat dalam pengambilan

manfaat dari obyek perjanjian tersebut. Misalnya, perjanjian bilateral antara Inggris dan

Amerika Serikat. Negara-negara yang lewat selat tersebut wajib tunduk pada peraturan-

peraturan perairan yang disepakati oleh kedua negara.

Page 12: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

63

Ketiga, Multilateral Treaties yaitu suatu perjanjian atau perundingan yang diikuti

banyak negara untuk membuat kesepakatan terhadap obyek tertentu, dengan prosesdur

dan mekanisme menurut ketentuan Komisi Hukum Internasional, dilakukan secara tertulis

dimana setiap utusan negara-negara memiliki hak lobi, negosiasi (berunding) untuk dan atas

kepentingan memperjuangkan kepentingan negara-negara di tingkat internasonal. Setiap

delegasi negara memiliki hak untuk memohon penjelasan klarifikasi (clarification), dan

menentukan tentang kepastian dan keakuratan kata dan kalimat (authenticity), untuk

menyetujui (approve), menerima (accept) dan menandatangani (signature) perjanjian

tersebut. PI bersifat multilateral dapat mengikat negara-negara sepanjang negara-negara

tersebut selain turut menyetujui perundingan, juga memiliki i’tikad baik (good faith) untuk

menerima dan menjadikan PI tersebut bagian dari hukum nasionalnya masing-masing.8

Misalnya, pada tahun 1998 negara-negara dan segenap organisasi internasional,

bertemu di San Remo, Italia untuk menyetujui lahirnya perjanjian Statuta Roma 1998,

tentang Pendirian Mahkamah Pidana Internasional bersifat permanen. Selama ini, dari tahun

1946 telah ada peradilan pidana, namun peradilan tersebut sifatnya sementara atau ad-hoc.

Sebagaimana telah digelar dalam Kasus Nuremberg Genocide Convention 1946 terhadap

penjahat genosida NAZI di Jerman, yang juga diikuti oleh Konvensi Tokyo 1948 atas

kejahatan perang yang dilakukan tentara Jepang.

Perbedaan yang mendasar antara Bilateral dan Trilateral Treaties dengan Multilateral

adalah bukan sekedar jumlah subyek hukumnya negara-negara yang ikut begitu banyak.

Namun, karena multilateral treaties memiliki sifat hukum law making treaties (perjanjian

membuat hukum). Suatu perjanjian internasional yang membuat hukum, dimaknai sebagai

suatu kesepakatan yang memiliki daya ikat hukum yang terbuka dan luas, dapat dipaksakan

baik kepada negara-negara yang ikut menandatangani (third parties) atau sebagai negara

pihak, atau negara-negara yang tidak hadir karena memang negara tersebut belum berdiri

8 Diambil dari Starke – Eddy Pratomo

Page 13: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

64

atau belum memiliki kedaulatan penuh atau negara-negara tersebut tidak mau menyetujui.

Tetapi bagi negara-negara yang tidak memiliki kedaulatan penuh maka negara-negara

tersebut dapat menundukan diri untuk mematuhi perjanjian tersebut (adhesion). Misalnya,

Piagam Pendirian PBB di San-Fransisco, 1945 telah mengikat semua negara, sebagai anggota

sah dan wajib mematuhi maksud dan tujuan dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Negara-negara yang tidak ikut PI, selain ikut serta dalam menciptakan perdamaian dunia

(world peace), ketertiban dunia (world order), juga wajib berupaya mencegah atau

mengendalikan diri untuk tidak menggunakan kekerasan militer dalam suatu penyelesaian

persengketaan.9

Adanya metode negara-negara yang tidak turut penyelesaian sengketa internasional,

selain menggunakan model diplomasi, negosiasi, mediasi, rekonsiliasi, dan pencarian fakta,

juga cara-cara damai dapat dilakukan melalui peradilan internasional dan arbitrase

internasional.

#

3.2. Keterlibatan Negara-negara dalam Pembuatan Perjanjian Internasional

Hakikat PI dalam konteks perkembangan hukum internasional kontemporer

menunjukan perkembangan luar biasa. Bukan sekedar jumlahnya PI hampir puluhan ribu,

melainkan juga telah bersinggungan dengan semakin toleransinya negara-negara dalam

mengakomodir hukum-hukum kebiasaan internasional untuk disejajarkan dengan status PI.

Karena itu, seberapa jauh negara-negara terlibat dalam suatu pembentukan PI tergantung

kepada kemampuan negara-negara tersebut dalam mengelola dan merawat hubungan

internasional, baik antara sesama negara maupun antara negara sebagai anggota dari

organisasi internasional.

9 Pasal 3 ayat (2) Piagam PBB.

Comment [AVK3]: tolong ditambahkan materi batalnya, berakhirnya PI. Kebolehan negara mengundurkan diri dan juga penafsiran dalam amandemen PI (dilihat Pasalnya).

Comment [AVK4]: #cek tulisan Theodore Coulombis

Page 14: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

65

Dalam Pasal 7 Konvensi Wina 1969, suatu negara yang akan menghadiri pembuatan PI

harus memenuhi syarat sebagai berikut.

Pertama, bahwa wakil suatu negara memiliki surat kepercayaan yang ditandatangani

oleh kepala negaranya, Presiden atau Perdana Menteri, dengan surat kepercayaan (Letter of

Credential), yang memberikan kewenangan penuh kepada delegasi suatu negara (Full

Powers). Sebagaimana ditegaskan oleh Konvensi Wina. Di Amerika Serikat, Sekretaris Negara

bersama Kementerian Luar Negeri memiliki kewenangan untuk menentukan serta

menerbitkan Surat Kepercayaan tersebut.

Kedua, yang dapat mewakili negara ke dalam pembuatan PI, antara lain Kepala-

kepala negara (Heads of State), Kepala pemerintahan (Heads of Government), Menteri Luar

Negeri (Minister for Foreign Affairs), Kepala-kepala negara, Menteri suatu negara tidak

memerlukan surat kepercayaan (letter of credence). Dengan demikian, letter of credence

diwajibkan bagi utusan diplomasi. Kepala perwakilan diplomatik (Heads of diplomatic

missions), dan perwakilan-perwakilan yang disahkan pejabat berwenang untuk menjadi

delegasi dalam PI, baik yang diselenggarakan negara-negara, maupun organisasi

internasional.

Ketiga, adalah delegasi melakukan pendaftaran (registration) dan menyerahkan surat

kepercayaan tersebut, sebagai peserta dalam PI, dengan kewenangan untuk melakukan

perundingan atau adu tawar (negotiation), penjelasan (clarification), kepastian dan kesaksian

(authencity), persetujuan (approval), dan penandatanganan (signature). Semestinya, utusan-

utusan negara-negara menjadi terikat (enter to be bound) sejak penandatanganan. Namun,

ternyata daya ikat perjanjian internasional memerlukan persyaratan atau tahapan

pemberlakuan melalui ratifikasi.

3.3. Praktek Ratifikasi di Berbagai Negara

Ratifikasi merupakan suatu prosedur dan mekanisme hukum terkait dengan

pemberlakukan PI ke dalam hukum nasional, sehingga dapat menjadi sumber hukum untuk

dipergunakan oleh hakim-hakim suatu pengadilan negaranya masing-masing. Dalam

Comment [AVK5]: #jelaskan menggunakan footnote istilah dalam lighter kuning tersebut

Page 15: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

66

prakteknya, ratifikasi dibedakan ke dalam beberapa tahapan, berdasarkan kepada landasan

teoritis dan filosofis suatu negara. Monisme dan dualisme merupakan dua teori yang paling

masyhur digunakan untuk melihat seberapa jauh negara-negara berdaulat dapat

mematahkan perjanjian internasional, dan diimplementasikan dalam kasus-kasus yang

dihadapinya, baik dalam tingkat nasional maupun internasional. Penting untuk dicatat,

bahwa perbedaan isu hukum, antara hukum publik dengan hukum ekonomi merupakan dua

ranah hukum berdimensi internasional.

Dalam konteks hukum ekonomi internasional, negara-negara adidaya dengan mudah

menyetujui berbagai transaksi atau perjanjian internasional. Bahkan lebih dari itu, negara-

negara adidaya dapat memaksa negara sekutunya untuk menyetujui perjanjian-perjanjian

multilateral. Misalnya, berbagai perjanjian multilateral, termasuk APEC, perdagangan bebas

dan WTO, tergolong PI multilateral yang mudah disepakati dan diimplementasikan secara

global. Sebab kepentingan ekonomi nasional negara-negara peserta tidak luput dari

perdagangan internasional, termasuk praktek impor dan ekspor barang, jasa dan teknologi

informatika lainnya. Di pihak lain, isu-isu hukum publik, keamanan dan pertahanan, kejahatan

internasional, dan juga pelanggaran HAM berat acapkali menjadi persoalan yang sangat sulit

mendapatkan dukungan dari negara-negara adikuasa. Kelima negara anggota tetap DK PBB

seringkali menjadi contoh paradoks atau tidak konsisten dalam mengimplementasikan

perjanjian internasional.

Konvensi internasional tentang Terorisme tahun 2003, termasuk PI yang secara

kebijakan tergolong sangat cepat didukung untuk diimplementasikan. Negara-negara seperti

Amerika Serikat, Inggris dan negara Barat lainnya, merasa terancam oleh gerakan teroris dari

negara-negara ketiga, khususnya negara-negara Muslim. Namun, berbeda halnya dengan PI

seperti Statuta Roma 1998, negara-negara besar tidak peduli mengingat ancaman besar

terhadap kedaulatan negaranya tidak dapat dihindarkan. Kasus Pemerintah Amerika Serikat

terhadap Suku Indian, kasus Pemerintah Inggris di Australia terhadap Suku Aborigin, juga

China terhadap bangsa Tibet.

Page 16: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

67

Ratifikasi PI di Negara Penganut Monisme

Negara-negara penganut teori monisme tampak jauh lebih sederhana dalam

melakukan ratifikasi, sehingga sekali suatu negara telah menyepakati PI, suatu negara dapat

memberlakukannya di tingkat nasional. Hal ini terjadi karena negara-negara penganut

paham monisme, menempatkan hukum internasional, atau PI dan hukum nasional

merupakan kedua sistem hukum yang satu sama lain tidak terpisahkan (inseparable part of

law) satu sama lain.

Ada tiga alasan mengapa negara-negara penganut monisme lebih sederhana dalam

melakukan ratifikasi. Pertama, konstitusi atau hukum dasar negara-negara tersebut

menempatkan PI sebagai sumber hukum yang sejajar dengan konstitusinya. Di Amerika

Serikat, dengan jelas diatur dalam Pasal 6, bahwa PI menjadi sumber hukum yang tinggi di

negerinya, International Treaty... shall be the supreme law of the land. Meskipun Jerman tidak

menggunakan sistem Pemerintahan Presidensil, dalam konteks pemberlakuan PI hampir

sama dengan AS, yaitu menempatkan PI sebagai sumber hukum nasionalnya yang setara

dengan konstitusi.

Alasan kedua, negara-negara penganut monisme menempatkan PI dan urusan

hubungan luar negeri, sebagai urusan kekuasaan eksekutif (executive affairs). Dalam

pembelakuannya PI cukup dengan suatu keputusan Presiden (President Decree) atau

Perdana Menteri. Self executing treaties, suatu perjanjian internasional yang dengan

sendirinya dapat diberlakukan dengan penguatan atau pengesahan dari Kepala

Pemerintahan atau Presiden. Akibatnya, daya ikat PI di tingkat hukum nasional lebih cepat

oleh karena model ratifikasi tidak membutuhkan persetujuan dari parlemen (parliament

endorcement). Namun, dalam kondisi tertentu, seperti di AS, ada juga suatu PI yang

memerlukan suatu persetujuan dari Kongres, apabila berkaitan dengan hal-hal yang penting

dan dalam penerapannya akan berdampak pada situasi nasional. Tentu saja, persoalan

Page 17: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

68

pertahanan dan keamanan (security and defence) dipandang sebagai persoalan sensitif baik

ke dalam negaranya maupun dampak keluar negeri.10

Alasan ketiga, hakim-hakim di negara-negara penganut teori monisme secara teknis

dapat dengan mudah menjadikan PI sebagai sumber hukum dalam putusannya, mengingat

sejak ratifikasi hanya memerlukan pengesahan dari Presiden. Penganut teori monisme,

pemerintah suatu negara sangat jelas menempatkan urusan luar negeri (foreign affairs)

sebagai urusan eksekutif, sehingga hampir sebagian besar kebijakan luar negeri dibuat oleh

Presiden sebagai Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan.

Dalam hal suatu PI tersebut kontradiksi dengan kebiasaan internasional, maka hakim-

hakim dengan sendirinya akan mengutamakan hukum kebiasaan internasional, sebagai

pelaksanaan dari asas Jus Cogen. Karena itu, ketika terdapat PI yang bertentangan dengan

Jus Cogen, maka dengan sendirinya hakim-hakim dari tingkat pertama hingga Mahkamah

Agung akan membatalkan peraturan hukum bersumber PI tersebut. Sebab, Jus Cogen

tergolong sumber hukum kebiasaan internasional yang memiliki derajat tertinggi yang tidak

dapat dikalahkan oleh hasil kesepakatan PI, termasuk yang bersifat multilateral.11

Ratifikasi PI di Negara Penganut Teori Dualisme

Kondisi ratifikasi di negara-negara penganut teori dualisme memang berbeda

mengingat prosedur dan mekanisme agak berbelit-belit. Hakim-hakim di negara-negara

tersebut hampir cenderung untuk mengutamakan sumber hukum nasionalnya. Mengapa di

negara-negara penganut teori dualisme praktek ratifikasi tidak semudah praktek di negara-

negara penganut monisme.

Pertama, negara-negara penganut teori dualisme, beranggapan bahwa perjanjian

internasional (PI) dengan hukum nasional merupakan dua sistem hukum terpisah. Ajaran

kedaulatan hukum negara secara nasional lebih diutamakan untuk dijadikan sumber hukum

10 Op.Cit, Wisnu Aryo Dewantoro. 11 Yudha Bakti, Disertasi

Page 18: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

69

utama (prima facie). Mereka memandang bahwa PI hanya dapat dijadikan bagian dari sistem

hukum nasional manakala telah dilakukan suatu proses ratifikasi yang prosedural oleh

parlemen atau hakim-hakim di pengadilan.

Dengan kata lain, kompleksitas implementasi PI di dalam negara penganut teori

dualisme menunjukan urusan luar negeri tidak sekedar ikhwal kewenangan eksekutif,

melainkan juga kewenangan parlemen atau DPR. Sebagai salah satu contoh di negara

federal di Australia, ratifikasi PI memerlukan persetujuan dari Parlemen, karena urusan luar

negeri termasuk kewenangan pengawasan parlemen. seberapa jauh urusan luar negeri

membuktikan kepentingan rakyat sangat tergantung pada wakil-wakil rakyat di Parlemen.

Sifat dan daya ikat PI dalam negara-negara penganut dualisme adalah non-self

executing treaties, yaitu PI tidak dengan sendirinya dapat diimplementasikan mengingat

memerlukan adanya persetujuan dari Parlemen atau DPR. Untuk mengimplementasikan PI di

negara-negara tersebut memang agak sulit.12

Kedua, persoalan PI bukan sekedar urusan Presiden, atau Perdana Menteri melainkan

juga urusan dari wakil-wakil rakyat. Setiap upaya untuk memberlakukan PI menuntut adanya

suatu pengesahan dari anggota parlemen DPR. Model ratifikasi demikian ini, tentu tidak saja

terbatas pada PI bersifat Multilateral saja, akan tetapi berlaku pada PI bersifat bilateral dan

Trilateral. Pada tahun 2007, Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Singapura

menyepakati perjanjian ekstradisi, yaitu saling tukar-menukar penjahat dari kedua negara.

Syarat utamanya adalah pelanggaran atau kejahatan tersebut harus sama tergolong

kejahatan yang juga dilarang oleh kedua negara (double criminality). Meskipun demikian,

perjanjian ekstradisi batal ditindak lanjuti oleh karena beberapa alasan, salah satunya,

perjanjian ekstradisi yang telah disepakati memerlukan pengakuan dari hakim-hakim. 13

Konsekuensi dari PI bukan sekedar eksekutif menuntut adanya suatu dukungan dan

pengesahan dari parlemen. Prosedur ratifikasi menjadi birokratif mengingat mekanisme

12 Wisnu, Eddy, atau Maurize 13 Jawahir Thontowi, Penegakan Hukum dan Diplomasi Pemerintahan SBY, Yogyakarta: Leutika, 2009, Hlm: 225.

Page 19: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

70

terkadang tidak mudah ditempuh. Hal ini mengingat prosedur dan mekanisme ratifikasi

pertama perlu diajukan oleh beberapa kementerian yang terkait. Misalnya, Menteri Luar

Negeri (Minister of Foreign Affairs) dan Menteri Kehakiman (Minister of Justice)

mempersiapkan untuk mengusut tersebut negara. Meskipun dalam ratifikasi tidak perlu

adanya pengesahan setiap pasal-pasal, karena setelah diterjemahkan ke dalam bahasa

nasional masing-masing, anggota-anggota DPR hanya menyetujui pemberlakuan PI tersebut

secara keseluruhan. Terkecuali, terdapat adanya persyaratan (reservasi), maka beberapa

pasal dapat dianulir. Misalnya, ketika Pemerintahan Indonesia melakukan ratifikasi terhadap

HAM, maka konsep kejahatan perang (war of crimes), kejahatan kemanusiaan (crime against

humanity), dan tindakan agresi (the act of aggression) tidak diberlakukan di Indonesia.

Ketiga, dalam praktek ratifikasi PI ke dalam hukum nasional di negara-negara

penganut teori dualisme memang tidak mudah. Selain hakim-hakim dalam hal menemukan

hukum baru ketika dalam hukum nasional tidak diaturnya, maka hakim sangat tergatung

kepada pengesahan dari anggota parlemen. Hal ini juga menjadi lebih rigid ketika hakim-

hakim di negara-negara sistem kontinental tidak memberlakukan doktrin precedent. Meski

putusan-putusan hakim di masa lalu, yang mengandung kebenaran dan keadilan sekalipun,

tetap saja hakim tidak mudah untuk menjadi putusan-putusan tersebut sebagai sumber

hukum yang patut dipertimbangkan.

Karena itu, dalam hal ada tidaknya pertentangan antara PI dengan hukum kebiasaan

internasional, maka hakim-hakim di negara-negara tersebut umumnya merujuk pada hukum

nasional, dengan menggunakan metode penafsiran hukum yang bertahap, yakni penafsiran

kebahasaan (linguistic interpretation), penafsiran sejarah (historical interpretation),

penafsiran sosiologis dan antropologis (sociologist and anthropologist interpretation).

Perjanjian Internasional di Indonesia

Perkembangan dunia yang ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan

dan teknologi telah meningkatkan intensitas hubungan dan interdependensi antar negara.

Page 20: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

71

Sejalan dengan peningkatan hubungan tersebut, maka makin meningkat pula kerja sama

internasional yang dituangkan dalam beragam bentuk perjanjian internasional. Dalam

melaksanakan politik luar negeri yang diabdikan kepada kepentingan nasional, Pemerintah

Republik Indonesia melakukan berbagai upaya termasuk membuat perjanjian internasional

dengan negara lain, organisasi internasional, dan subjek-subyek hukum internasional lain.

Dasar hukum pemberlakuan Perjanjian Internasional di Indonesia adalah Pasal 11

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Sejatinya undang-undang tentang Perjanjian

Internasional merupakan pelaksanaan dari Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 yang

memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membuat perjanjian internasional dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam praktiknya di Indonesia, bentuk pengesahan suatu Perjanjian Internasional

terbagi dalam empat kategori, yaitu:

1. Ratifikasi (ratification) apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian;

2. Aksesi (accesion) apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;

3. Penerimaan (acceptance); dan 4. Penyetujuan (approval) adalah pernyataan menerima atau menyetujui dari

negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut.

Pengaturan mengenai pengesahan perjanjian internasional di Indonesia sebelum

disahkannya Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,

dijabarkan dalam Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 tertanggal 22 Agustus 1960, kepada

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, yang telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan

perjanjian internasional, yaitu pengesahan melalui undang-undang atau keputusan presiden,

bergantung kepada materi yang diaturnya.

Page 21: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

72

Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia dapat dilakukan dengan undang-

undang atau Keputusan Presiden. Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan

undang- undang, apabila berkenaan dengan:14

1. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; 2. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; 3. kedaulatan atau hak berdaulat negara; 4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; 5. pembentukan kaidah hukum baru; dan 6. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Adapun pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi

sebagaimana dimaksud di atas, dilakukan dengan Keputusan Presiden. Dalam hal

pengesahan perjanjian internasional melalui Keputusan Presiden, maka Pemerintah Republik

Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu

perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi.15

A. Istilah-istilah dalam Perjanjian Internasional

1. Agreed minutes, yaitu risalah yang disepakati.

2. Agreement (persetujuan), yaitu istilah yang digunakan untuk transaksi-transaksi yang

bersifat sementara. Perikatan tidak seresmi traktat dan konvensi.

3. Charter yaitu istilah yang dapat dipakai dalam perjanjian internasional untuk pendirian

badan yang melakukan fungsi administratif Misal Atlantic Charter.

4. Convention (konvensi), yaitu persetujuan formal yang bersifat multilateral dan tidak

berurusan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy).

5. Covenant yaitu anggaran dasar LBB (Liga Bangsa Bangsa)

6. Declaration (Deklarasi), yaitu perjanjian internasional yang berbentuk traktat dan

dokumen tidak resmi. Deklarasi sebagai traktat bila menerangkan suatu judul dan

batang tubuh ketentuan traktat dan sebagai dokumen tidak resmi apabila merupakan

14 Pasal 10 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. 15 Pasal 11 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Page 22: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

73

lampiran pada traktat atau konvensi. Deklarasi sebagai persetujuan tidak resmi bila

mengatur hal-hal yang kurang penting.

7. Exchange notes (Pertukaran nota), yaitu metode yang tidak resmi tetapi akhir-akhir ini

banyak digunakan. Biasanya pertukaran nota dilakukan oleh wakil-wakil militer dan

negara serta dapat bersifat multilateral. Akibat pertukaran nota ini timbul kewajiban

yang menyangkut mereka.

8. Final act (Ketentuan penutup), yaitu ringkasan hasil konvensi yang menyebutkan

negara peserta, nama utusan yang turut diundang serta Inasalah yang disetujui

konferensi dan tidak memerlukan ratifikasi.

9. General act (Ketentuan Umum), yaitu traktat yang dapat bersifat resmi dan tidak resmi.

Misalnya, LBB (Liga Bangsa Bangsa) menggunakan ketentuan umum mengenai arbritasi

untuk menyelesaikan secara damai pertikaian internasional tahun 1928.

10. Letter of intens yaitu nota kesepakatan.

11. Modus vivendi, yaitu dokumen untuk mencatat persetujuan internasional yang bersifat

sementara sampai berhasil diwujudkan perjumpaan yang lebih permanent, terinci dan

sistematis serta tidak memerlukan ratifikasi.

12. Negotiation (perundingan), merupakan perjanjian tahap pertama antara pihak/negara

tentang objek tertentu. Dalam melaksanakan negosiasi, suatu negara dapat diwakili oleh

pejabat yang dapat menunjukkan surat kuasa penuh (full powers).

13. Proses verbal, yaitu catatan-catatan atau ringkasan-ringkasan atau kesimpulan-

kesimpulan konferensi diplomatic atau catatan-catatan suatu permufakatan. Proses

verbal tidak diratifikasi.

14. Protocol (protokol), yaitu persetujuan yang tidak resmi dan pada umumnya tidak dibuat

oleh kepala negara, mengatur masalah-masalah tambahan seperti ketentuan tambahan

sebuah perjanjian.

15. Ratification (ratifikasi), yaitu persetujuan terhadap rencana perjanjian internasional agar

menjadi suatu perjanjian yang berlaku bagi masing-masing negara peserta perjanjian.

16. Signature (penandatanaganan), yaitu penandatanganan hasil perundingan yang

dituangkan dalam naskah perundingan yang dilakukan wakil-wakil negara peserta yang

Page 23: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

74

hadir. Dalam perjanjian bilateral, penandatanganan dilakukan oleh kedua wakil negara

yang telah melakukan perundingan sehingga penerimaan hasil perundingan secara bulat

dan penuh, mutlak sangat diperlukan oleh kedua belah pihak. Sebaliknya, dalam

perjanjian multilateral penandatanganan naskah hasil perundingan dapat dilakukan jika

disetujui 2/3 dan semua peserta yang hadir dalam perundingan, kecuali jika ditentukan

lain. Namun demikian, perjanjian belum dapat diberlakukan oleh masing-masing negara,

sebelum diratifikasi oleh masing-masing negaranya.

17. Statute (piagam); yaitu himpunan peraturan yang ditetapkan oleh persetujuan

internasional baik mengenai pekerjaan maupun kesatuan-kesatuan tertentu seperti

pengawasan internasional yang mencakup tentang minyak atau mengenai lapangan

kerja lembaga-lembaga internasional. Piagam itu dapat digunakan sebagai alat

tambahan untuk pelaksanaan suatu konvensi seperti piagam kebebasan transit.

18. Summary record, yaitu catatan singkat, ikhtisar.

19. Treaty (traktat), yaitu perjanjian formal yang merupakan persetujuan dua negara atau

lebih. Perjanjian ini khusus mencakup bidang politik dan bidang ekonomi.

B. Pejabat Berwenang dalam Perjanjian Internasional

Sebuah perjanjian internasional tidak dapat membebankan sebuah kewajiban atau

memberikan hak kepada pihak ketiga tanpa persetujuan pihak tersebut. Berdasarkan hukum

kebiasaan internasional penegrtian pernyataan tersebut terangkum dalam sebuah prinsip

pacta tertiis nec nocent nec prosunt. Prinsip tersebut tercantum dalam VCLT 1969 Pasal 34 ,

“A treaty does not create either obligations or rights for a third state without its consent”.

Dalam praktek pernyataan persetujuan keterikatan terhadap aturan sebuah perjanjian

internasional tersebut tidak bisa dilakukan secara begitu saja oleh sebuah negara. Untuk

mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian internasional sebuah negara akan mengirimkan

representasinya yang memiliki wewenang untuk bernegosiasi, bernegosiasi dan melakukan

ratifikasi. Pada setiap negara,pihak yang berwenang membuat perjanjian internasional

ditentukan oleh konstitusi masing-masing. Dilihat dari pembagian wewenang melalui

Page 24: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

75

amanah konstitusi maka pejabat yang berwenang mewakili negara dalam pembuatan

perjanjian internasional dapat dikategorikan dalam 2 hal, yaitu:

Kewenangan mutlak eksekutif : perjanjian internasional terpusat pada kepala negara.

Kewenangan mutlak legislative : kewenangan pembuat perjanjian internasional pada

lembaga legislative.

Pasal 7 VCLT menyatakan representatif negara dalam perundingan perjanjian

internasional dapat dikategorikan:

Kepala Negara, Kepala Pemrintahan dan Menteri Luar Negeri dengan kewenangan

mewakili negara dan mengkatkan diri terhadap perjanjian internasional.

Kepala Misi Dimplomatik, untuk tujuan mengadopsi teks perjanjian antara negara

yang mengakui dan negara yang diakui.

Perwakilan negara yang diakreditasi untuk konferensi internasional atau organisasi

internasional (atau salah satu instansinya) dengan tujuan untuk mengadopsi teks

perjanjian dalam pertemuan tersebut.

Di Indonesia sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjianinternasional seperti tertuang

dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai

kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuanDewan Perwakilan

Rakyat.

C. Pemberlakuan Perjanjian Internasional di Inggris dan Amerika Serikat

Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa siapa yang memiliki wewenang

untuk mewakili negara dalam negosiasi pembentukan perjanjian internasional tergantung

dalam perangkat pengaturan konstitusi di masing-masing negara. Di Inggris, hal yang

berkaitanm dengan proses negosiasi, penandatanganan dan ratifikasi perjanjian

internasional menjadi hak prerogative menteri luar negeri. Sedangkan mengenai siapa yang

berhak mewakili negar adalam permbuatan perjanjian internasional di Amerika Serikat,

tercantum dalam dalam Pasal II, Ayat 2 konstitusi negara menyatakan bahwa Presiden

Page 25: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

76

memili kuasa wewenang oleh dan dengan nasehat dan persetujuan dari senat untuk

membuat perjanjian internasional, dengan dukungan persetujuan minimal dua pertiga dari

jumlah Senator.

D. Tahapan Pemberlakuan Perjanjian Internasional

Setelah melalui tahapan proses ratifikasi, maka tahapan selanjutnya dalam

memberlakukan perjanjian internasional menjadi berbeda-beda di setiap negara. Hal

tersebut dipengaruhi oleh teori berlakunya hukum internasional yang di anut oleh negara.

Terdapat dua aliran mengenai hukum internasional yang berkembang dan umum

dipraktekan negara-negara berdaulat, aliran tersebut adalah mereka yang memberdakan

hukum nasional dengan hukum internasional dan mereka yang menganggap hukum

internasional dan hukum nasional merupakan satu keasatuan hukum.

Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional

bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua

sistem atau perangkat hukum yang terpisah. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh

aliran dualisme untuk menjelaskan hal ini:

1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum

internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber

pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan

bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional;

2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum

perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional adalah negara;

3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada

realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum

nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional.

4. Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi

oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional.

Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara efektif walaupun bertentangan

dengan hukum internasional.

Page 26: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

77

Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah kaidah-kaidah dari perangkat

hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain.

Dengan demikian dalam teori dualisme tidak ada hirarki antara hukum nasional dan hukum

internasional karena dua perangkat hukum ini tidak saja berbeda dan tidak bergantung satu

dengan yang lain tetapi juga terlepas antara satu dengan yang lainnya.

Akibat lain adalah tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkat

hukum tersebut, yang mungkin adalah renvoi. Karena itu dalam menerapkan hukum

internasional dalam hukum nasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional.

Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukum

yang mengatur hidup manusia. Dengan demikian hukum nasional dan hukum internasional

merupakan dua bagian dalam satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur

kehidupan manusia. Hal ini berakibat dua perangkat hukum ini mempunyai hubungan yang

hirarkis. Mengenai hirarki dalam teori monisme ini melahirkan dua pendapat yang berbeda

dalam menentukan hukum mana yang lebih utama antara hukum nasional dan hukum

internasional.

Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum internasional.

Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai paham monisme dengan primat hukum

nasional. Paham lain beranggapan hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional.

Paham ini disebut dengan paham monisme dengan primat hukum internasional. Hal ini

dimungkinkan dalam teori monisme.

Monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional merupakan

kepanjangan tangan atau lanjutan dari hukum nasional atau dapat dikatakan bahwa hukum

internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri. Paham ini melihat

bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum

internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan yang kemukakan adalah sebagai

berikut:

1. tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-

negara;

Page 27: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

78

2. dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak pada

wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang berasal dari

kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing negara.

Monisme dengan primat hukum internasional, paham ini beranggapan bahwa hukum

nasional bersumber dari hukum internasional. Menurut paham ini hukum nasional tunduk

pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatan mengikat berdasarkan pada

pendelegasian wewenang dari hukum internasional.

Pada kenyataannya kedua teori ini dipakai oleh negara-negara dalam menentukan

keberlakuan dari hukum internasional di negara-negara. Indonesia sendiri menganut teori

dualisme dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasionalnya. Dalam UU

Nomor 24 Tahun 2000, proses pengesahan perjanjian internasional diatur pada BAB III (Pasal

9 – 14) tentang Pengesahan Perjanjian Internasional. Menurut ketentuan UU Nomor 24

Tahun 2000, semua pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang

atau keputusan presiden. Selain perjanjian internasional yang perlu disahkan dengan

undang-undang atau keputusan presiden, Pemerintah RI juga dapat membuat perjanjian

internasional melalui cara-cara lain sebagaimana disepakati oleh para pihak pada perjanjian

tersebut. Materi perjanjian internasional yang disahkan melalui undang-undang apabila

berkenaan dengan:

a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara,

b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia,

c. kedaulatan atau hak berdaulat negara,

d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup,

e. pembentukan kaidah hukum baru,

f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

E. Tugas Delegasi Negara

Tugas dan fungsi dari seorang perwakilan/delegasi negara dalam proses perumusan

perjanjian internasional terkandung dalan Pasal 3 Konvensi Wina 1961 yaitu:

Page 28: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

79

a. Mewakili negara pengirim di dalam negara penerima.

b. Melindungi kepentingan negara pengirim dan warga negaranya di negara penerima di

dalam batas-batas yang diijinkan oleh hukum internasional.

c. Mengadakan persetujuan dengan pemerintah negara penerima.

d. Memberikan keterangan tentang kondisi dan perkembangan negara penerima, sesuai

dengan undang-undang dan melaporkan kepada pemerintah negara pengirim.

e. Memelihara hubungan persahabatan antara kedua negara.

Perwakilan diplomatik memiliki fungsi Negosiasi mendiskusikan dan mendialogkan

(negotiation), Representasi memerankan sebagai pimpinan negara (representation),

Perlindungan berkewajiban untuk melindungi (protection), Pelaporan sebagai kewenangan

membuat (report function), dan Hubungan persahabatan (friendly relations)

F. Reservasi dan Alasanya

Perumusan Reservasi (pasal 19 Konvensi wina)

Suatu Negara pada waktu melakukan penandatangan, ratifikasi, menerima, mengesahkan

atau aksesi terhadap suatu perjanjian boleh mengajukan reservasi kecuali jika :

a. Reservasi itu dilarang oleh perjanjian

b. Perjanjian itu sendiri menyatakan bahwa hanya reservasi-reservasi tertentu yang tidak

termasuk reservasi yang dipersoalkan, boleh diajukan

Dalam hal tidak termasuk di dalam sub paragraph (a) dan (b), maka reservasi itu

bertentangan dengan tujuan dan maksud perjanjian.

Pasal 20 Konvensi Wina 1969 mengatur reservasi yg diizinkan oleh perjanjian tidak

memerlukan penerimaan oleh negara peserta lainnya. Jika penerapan perjanjian secara

keseluruhan sebagai syarat utama untuk terikat oleh perjanjian maka reservasi memerlukan

penerimaan seluruh peserta perjanjian. Jika perjanjian merupakan instrumen konstitusi

organisasi internasional maka reservasi memerlukan penerimaan dari organ kompeten

organisasi tersebut.

Page 29: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

80

Reservasi dapat dilakukan dengan 2 macam cara, yaitu dengan tidak memerlukan

persetujuan negara peserta lainnya dan melalui persetujuan dari :Semua negara

peserta,Organ yang kompeten dari organisasi internasional yang bersangkutan.

Akibat hukum Pensyaratan / reservasi adalah : merubah ketentuan yang disyaratkan dalam

perjanjian, memodifikasi akibat hukum ketentuan tertentu dalam hal pelaksanaannya oleh

negara yang melakukan ratifikasi.

Prosedur reservasi Reservasi, pernyataan menerima reservasi, menolak reservasi

harus diformulasikan dalam dalam bentuk tertulis dan disampaikan kepada negara peserta

lain dan negara yang berhak menjadi peserta

Jika reservasi diformulasikan pada saat penandatangan maka harus diformalkan pd saat

meratifikasi atau mengikutsertai perjanjian.

Pembatalan reservasi, dan penolakan reservasi dapat setiap saat dilakukan dan tidak

memerlukan penerimaan dari negara anggota atau organisasi anggota. Pembatalan

penolakan reservasi dapat dilakukan setiap saat dan berlaku efektif setelah pemberitahuan

tertulis di terima oleh peserta perjanjian lainnya. Sedangkan pembatalan penolakan reservasi

dapat efektif setelah pemebritahuan tertulis diterima oleh negara pengaju reservasi

G. Pembatalan dan Berakhirnya Perjanjian Internasional

Untuk mencegah negara mengelak dari tanggungjawab yang dibebankan kepadanya

dalam sebuah perjanjian internasional, Pasal 42(1) VCLT menyatakan bahwa ,” sahnya

sebuah perjanjian atau persetujuan sebuah negara untuk tunduk pada aturan dalam sebuah

perjanjian internasional hanya dapat diberhentikan melalui aturan yang tertuang dalam

konvensi ini”. Tujuan pembuatan pasal tersebut adalah untuk mencegah adanya tindakan

meremehkan integritas perjanjian internasional dengan alasan yang tidak masuk akal. Dalam

peraturan lebih lanjut Pasal 44(1) VCLT secara tegas menyatakan bahwa negara hanya

diperbolehkan untuk menangguhkan atau menarik pemberlakuan perjanjian internasional

secara keseluruhan dan bukan pada bagian tertentu saja terkecuali apabila terdapat

peraturan dalam perjanjian tersebut yang mengatur sebaliknya. Demikian pula dalam Pasal

Page 30: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

81

44(3) VCLT yang hanya memperbolehkan penangguhan atau menarik pemberlakuan sebuah

perjanjian pada bagian/aturan tertentu apabila berkenaan dengan :

(a) Pasal yang dimaksud merupakan pasal tunggal yang tidak berkaitan dengan pasal-

pasal yang lain dalam perjanjian tersebut dalam penerapanya.

(b) Telah diatur dalam perjanjian tersebut bahwa pengakuan terhadap pasal yang

dimaksud bukanlah hal yang perlu dilakukan/wajib sehingga tidak membutuhkan

keterikatan kepada seluruh peserta perjanjian.

(c) Keberlangsungan penerapan sisa pasal-pasal dalam perjanjian itidak akan

diragukan/terpengaruh.

Dalam konsep pembatalan sebuah perjanjian internasional acapkali yang menjadi

kendala adalah keabsahan sebuah perjanjian internasional ditinjau dari segi konstitusi

sebuah negara peserta perjanjian. Di beberapa kasus terdapat negara yang dalam

konstitusinya menjelaskan bahwa pelaksana eksekutif sebuah negara tidak dapat melakukan

kewajiban tertentu yang dibebankan sebuah perjanjian internasional tanpa seijin parlemen

atau penguasa legislatif. Hal tersebut menyebabkan negara melakukan tindakan

ketidakpatuhan terhadap perjanjian internasional yang dibebankan oleh konstitusinya.

Berbagai macam pendapat ahli berkembang menanggapi isu tersebut , namun terdapat

sebuah pendapat yang menyatakan bahwa sebuah perjanjina internasional akan secara

otomatis batal demi hukum apabila dalam aturan konstitusi negara peserta perjanjian

internasional tersebut melarang pemberlakuanya. Alasan dasar pendapat tersebut adalah

ketika perwakilan negara (penguasa Eksekutif) bertindak dalam ranah wewenang yang

diberikan oleh konstitusi,yang mana koridor kebebasan bertindak dibatasi oleh aturan-

aturan yang tercantum dalam konstitusi. Pendapat ahli yang lainya menyebutkan bahwa

perjanjian internasional masih dapat berlaku, namun keabsahanya tidak lagi terjaga apabila

rekanan negara peserta perjanjian internasional tersebut mengetahui bahwa negara

tersebut telah melanggar peraturan konstitusinya dengan tunduk pada perjanjian

internasional yang dipermasalahkan.

Pendekatan yang kedua dapat dilihat dalam Pasal 46 VCLT yang menyatakan bahwa:

Page 31: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

82

1. Negara tidak dapat menarik kembali fakta ketika negara tersebut telah

mengekspresikan keinginanya untuk tunduk terhdap sebuah perjanjian internasional

telah melanggar aturan hukum di dalam negerinya terkait kompetensi untuk

mengikatkan diri terhdap sebuah perjanjian dan akan berakibat batalnya pernyataan

untuk mengikatkan diri tersebut, kecuali pelangaran tersebut merupakan perwujudan

dan dianggap terkait dengan hukum nasional yang sifatnya fundamentalis.

2. Sebuah pelanggaran akan menjadi nyata apabila pelanggaran tersebut akan menjadi

bukti obyektif bagi setiap negara yang melakukan hal serupa apabila dibandingkan

dengan praktek pada umunya dan prinsip iktikad baik.

Sedangkan dalam berakhirnya perjanjian internasional terdapat beberapa metode yang

dapat diterapkan, yang paling umum adalah berakhirnya perjanjian berdasarkan

kesepakatan yang telah diatur dalam perjanjian terlebih dahulu. Pada umumnya dalam

penyusunan sebuah perjanjian internasional akan mencantumkan kapan mulai berlakunya

perjanjian dan pilihan apakah perjanjina akan berakhir atau dapat diperbaharui dalam jangka

waktu tertentu. Dalam Pasal 54(1)(b) VCLT mengakui adanya praktek pengakhiran perjanjian

internasional dengan kesepakatan para pihak dengan adanya musyawarah/konsultasi

terlebih dahulu.

Apabila didalam sebuah perjanjian tidak terdapat pasal yang menjelaskan mengenai

masa berakhirnya perjanjian maka negara peserta perjanjian dapat merujuk pada aturan

Pasal 56 VCLT yang memberikan hak kepada negara peserta perjanjian internasional untuk

menarik atau mengakhiri keikutsertaanya dalam perjanjian yang dapat dilakukan engan

memberikan sebuah pemberitahuan tidak kurang dari 12 bulan dari keinginan untuk menarik

diri atau mengakhiri perjanjian. Aturan serupa juga dapat dijumpai pada Pasal 58 VCLT yang

memperbolehkan dua atu lebih negara peserta dapat menunda pemberlakuan perjanjian

selama penangguhan tersebut tidak akan berpengaruh terhadap hak ,kewajiban dan tidak

melanggar atau bertentangan dengan isi dari ketentuan dalam perjanjian.

Pelanggaran isi perjanjian dapat pula menyebabkan negara mengajukan berakhirnya

perjanjian atau pemberian ganti rugi. Dalam beberapa perdebatan banyak dibahas mengenai

kategori pelanggaran berat dan pelanggaran ringan terhadap perjanjian dimana pelanggaran

Page 32: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

83

berat dapat menjadi alasan pengajuan berakhirnya perjanjian. Pasal 60(1) menyatakan

bahwa pelanggaran terhadap materi/isi pokok perjanjian oleh salah satu pihak perjanjian

bilateral dapat membuat pihak yang lain mengajukan pembatalan atau penangguhan

pelaksanaan perjanjian baik sebagian maupun secara keseluruhan. Berbeda dengan

perjanjian bilateral, dalam perjanjian multilateral proses pengajuan pengakhiran perjanjian

jauh lebih rumit karena melibatkan banyak pihak. Apabila salah satu pihak dalam perjanjian

multilateral melakukan pelanggaran maka salah satu pihak dapat mengajukan pembatalah

atau pemutusan perjanjian karena pelanggaran yang dilakukan akan memberikan

ketidakadilan bagi pihak yang lain. Pasal 60(2) VCLT mengatur 3 hal yang dapat dilakukan

dalam pembatalan/pengakhiran perjanjian multilateral, yang pertama adalah bahwa apabila

terjadi pelanggaran terhadap materi/isi pokok dalam sebuah perjanjian multilateral, maka

peserta perjanjian yang lain dengan suara bulat boleh mengajukan penangguhan atau

penghentian sebagian/keseluruhan perjanjian tersebut,baik terhadap pihak yang melakukan

pelanggaran ataupun terhadap semua pihak peserta perjanjian secara keseluruhan. Selain itu

pihak yang menderita kerugian secara langsung dapat mengajukan

penangguhan/mengakhiri perjanjian multilateral antara negara tersebut dengan negara yang

melakukan pelanggaran saja, dan yang terkahir pihak yang tidak secara langsung dirugikan

oleh pelanggaran yang dilakukan salah satu peserta perjanjian dapat mengajukan

penangguhan/mengakhiri keikutsertaan dalam perjanjian apabila pelanggaran tersebut telah

mempengaruhi proses berjalanya hak dan kewajiban yang tercantum dalam perjanjian.

Berakhirnya perjanjian internasional juga dapat dilakukan ketika kewajiban yang

dibebankan oleh perjanjian tidak mungkin untuk dilakukan karena obyek yang bersangkutan

hilang/rusak secara permanen (Pasal 61 VCLT). Perjanjian internasional juga dapat berakhir

apabila terdapat perubahan mendasar yang terjadi sejak pembentukan perjanjian, sehingga

objek yang ingin dicapai oleh perjanjian menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan. Pasal 62

VCLT membolehkan pembatalan perjanjian yang diakibatkan oleh berubahnya keadaan yang

terjadi setelelah perjanjian dibuat dan diterapkan.

Page 33: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

84

H. Penafsiran, Amandemen, dan Modifikasi Perjanjian Internasional

Konvensi Wina 1969 mengenai interpretasi perjanjian internasional diatur dalam tiga

pasal saja, yaitu pasal 31, 32 dan 34, tetapi meliputi masalah yang sangat luas sekali, oleh

karena itu memerlukan pembahasan tersendiri. Dalam bagian ini hanya membahas yang

pokok-pokok saja sekedar mengetahui isi ketentuan Konvensi Wina 1969. naskah suatu

perjanjian dapat diartikan secara luas dan ditambah pengertiannya selama masih sesuai

atau sejalandengan kehendak semula daripada pembuat perjanjian. Pasal 31 Konvensi Wina

menetapkan ketentuan umum tentang penafsiran yang terdiri dari empat ayat, yaitu :

1. Suatu perjanjian harus ditafsirkan dengan iktikad baik menurut arti kata-katanya yang

biasa dalam rangka obyek dan maksudnya.

2. Kerangka maksud penafsiran harus mencakup sebagai tambahan atau teks, kecuali

naskah mukadimah dan lampiran yang mencakup setiap persetujuan dan naskah yang

ada hubungannya dengan penetapan perjanjian tersebut.

3. Harus juga diperhatikan setiap persetujuan dan praktek penerapan yangmenyusul

pembentukan perjanjian, serta setiap aturan hukum internasional yang relevan.

4. Arti yang khusus dapat ditetapkan bagi suatu hal bila dikehendaki demikian.

Pasal 31 ini memiliki dasarnya pada ayat yang pertama, yaitu pada Iktikad baik (good faith)

dan arti yang biasa dari kata-kata (ordinary meaning of term).

Dalam Hukum Internasional dikenal tiga school of thoughts” aliran/approach mengenai

interpretasi, yang pertama adalah Aliran yang berpegang pada kehendak para pembuat

perjanjian itu. Aliran ini menggunakan secara luas “preparatory work/travaux preparatories”

pekerjaan pendahuluan dan bukti-bukti yang menggambarkan kehendak para pihak.

Aliran Textual school, yang menghendaki bahwa kepada naskah perjanjian hendaknya

diberikan arti yang lazim dan terbaca dari kata-kata itu (ordinary and apparent meaning of

the words). Jadi unsur pentingnya adalah naskah perjanjian itu dan kemudian kehendak para

pihak pembuat perjanjian serta obyek dan tujuan dari perjanjian itu.

Aliaran Teleogical thought, cara penafsiran ini menitik beratkan pada interpretasi

dengan melihat obyek dan tujuan umum dari perjanjian itu yang berdiri sendiri terlepas dari

kehendak semula pembuat perjanjian itu. Dengan demikian naskah suatu perjanjian dapat

Page 34: BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM  · PDF filemenggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua

85

diartikan secara luas dan ditambah pengertiannya selama masih sesuai atau sejalan dengan

kehendak semula daripada pembuat perjanjian.

International law comission (ILC) yang menyusun rancangan Wina 1969, memberikan

pengertian Amademen sebagai perubahan terbatas maupun perubahan umum dari suatu

perjanjian yang dalam hal ini berlaku untuk semua peserta. Amademen sebagai mana

dimaksud dalam uraian tersebut, hanyalah satu dari beberapa bentukperubahan perjanjian

yangdikenal dalam hukum Internasional. Perubhanperjanjian itu sendiri terjadi bilamana

diadakan penambahan ketentuan-ketentuan asli, sementara perjanjian itu sendiri tetap

berlaku. Karena amandemen merupakan suatu bentuk perubahan dari suatu perjanjian,

maka bentuk-bentuk lainya adalah modifikasi. Konvensi wina 1969 membedakan secara

tegas antara amademen dan modifikasi serta mengaturnya dalam ketentuan yang

berbeda. Modifikasi adalah perubahan perjanjian yang diadakan oleh dua atau lebih peserta

akan tetapi tidak semua pserta dari suatu perjanjian multilateral.

Perubahan atau pembuatan amandemen terhadap perjanjian itu tergantung dari

kesepakatan para pihak. Mengenai perubahan atau amandemen terhadap perjanjian

multilateral ini tidak mengharuskan adanya prakarsa dari semua Negara pihak dari perjanjian

tersebut. Namun setiap usul perubahan baik di dalam bentuk amandemen atau revisi

haruslah diberitahukan kepada semua Negara pihak dan semuanya berhak untuk ikut serta

dalam mengambil keputusan tentang kelanjutan usul perubahan tersebut. Setiap Negara

akan mempunyai hak untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang

yang akan diambil mengenai usul tersebut dan berpartisipasi dalam perundingan dan

persetujuan mengenai perubahan perjanjian tersebut.