bab iii perbedaan pandangan ulama tafsir … · mushriki>n), terhadap penafsiran teks-teks...
TRANSCRIPT
75
BAB III
PERBEDAAN PANDANGAN ULAMA TAFSIR MENGENAI
TERM AL-MUSHRIKA>T
alam bab III ini, adalah penjelasan khusus mengenai
pernikahan beda agama, yaitu, pernikahan antara pria
muslim dengan wanita musyrik (al-mushrika>t), atau
pernikahan antara wanita muslimah dengan pria musyrik (al-
mushriki>n), terhadap penafsiran teks-teks pernikahan beda agama,
yang menjadi pemicu perdebatan di kalangan ulama tafsir.
Munculnya perdebatan tersebut, disebabkan karena perbedaan dalam
menafsirkan istilah-istilah yang terkandung dalam teks-teks QS.al-
Baqarah/2:221, QS. al-Ma>idah/5:5, QS. al-Mumtahanah/60:10. Di
antara istilah-istilah itu, mengenai, al-mushrika>t, ahl al-kita>b (apakah
masuk penganut agama Yahudi dan Nasrani di dalamnya atau tidak),
bahkan meluas pemahaman kepada istilah, al-maju>si, al-s}a>bi’ah.
Karena itu, untuk memahami lebih luas penafsiran ayat-ayat tersebut,
kajian terhadap istilah-istilah tersebut, sangatlah penting, yaitu :
A. Pengertian Al-Mushrika>t ( musyrik ).
Kata ” musyrik ” merupakan bentuk ism al-fa>’il ( اس اىفبعو ) =
( kata benda yang menunjukkan pelaku ) yang berasal dari asal kata
ashraka-yushriku-ishra>k-mushrik ( ششك –إششاك -يششك –أششك ), dan
perbuatan tersebut adalah shirk. Pelaku perbuatan syirk itu disebut
musyrik. Secara bahasa, Ibn Manz}ur mengartikan kata shirk sebagai
shari>k [ ششيل ], atau [ صيت ] „persekutuan‟ atau „bagian‟.1 Sementara
Ra>ghib al-Asfaha>ni mengartikan mukha>lat}atu shari>kain [ خبىطخ
yakni, pencampuran dua kepemilikan tentang harta atau [اىششيني
sesuatu yang diperoleh untuk dua hal atau lebih, baik secara subtansi
maupun secara makna. Seperti dalam bagian warisan, atau kongsi
dagang atau bersama-sama melakukan tugas tertentu. Karena musyrik
merupakan pelaku shirk, maka secara bahasa kata itu berarti orang
yang melakukan persekutuan atau perserikatan atau membagi bagian
tertentu.2
Sedangkan secara terminologis (istilah), shirk berarti
menjadikan sesuatu bersama Allah sebagai tuhan untuk disembah.
Dan ” sesuatu ” yang dimaksudkan itu bisa berbentuk benda hidup
D
76
seperti binatang, pohon atau benda mati, seperti patung, bisa dalam
bentuk materi, seperti matahari, bangunan, maupun immateri, yaitu
ruh, jin, dan sebagainya. Dengan demikian, orang musyrik pada
hakikatnya adalah orang yang mengingkari ke-Esaan Tuhan, apakah
dari segi zat, sifat, maupun perbuatan-Nya. Pengingkaran terhadap
tiga segi tersebut, konsekwensinya, membawa kepada pengingkaran
terhadap kemaha kuasaan Tuhan sebagai pencipta dan pengendali
alam semesta, namun orang musyrik itu tidak mengingkari Allah
sebagai Tuhan.3
Mempersekutukan Allah dengan arti, menjadikan tuhan-
tuhan kecil sebagai objek sesembahan bersama Allah, dibedakan
kepada tiga pengertian, yaitu shirk rubu>biyyah [ ششك سثثيخ ] dan shirk
ulu>hiyyah [ ششك أىيخ ], dan shirk ’ubudiyyah [ششك عجديخ ].4 Di dalam
tauhid rubu>biyyah, Tuhan adalah pencipta, pemelihara, dan
pengendali alam semesta, sedangkan tauhid ulu>hiyyah, melihat
Tuhan sebagai dhat yang wajib disembahan dan dipuja, diminta
pertolongan, serta sebagai objek kepasrahan diri. Oleh karena itu,
shirk rubu>biyyah, berarti pengakuan adanya, kekuatan lain, selain
Allah di dalam penciptaan, pemeliharaan, dan pengendalian alam
semesta, sedangkan shirk ulu>hiyyah, berarti pengakuan tentang
adanya kekuatan dan kekuasaan selain Allah yang wajib disembah,
dipuja, dimintai pertolongan, serta sebagai objek kepasrahan diri.
Penjelasan itu juga didapati pada penjelasan Yusuf al-Qardawi dalam
bukunya Haqi>qatu al-Tauhi>d, bahwa perbuatan syirk sebagai dosa
yang sangat besar dibandingkan semua dosa yang diperbuat oleh
manusia dan shirk merupakan dosa yang tak terampunai QS. Al-
Nisa/4:48.5
Dalam hal ini, para ulama membagi shirk menjadi dua bagian,
yakni shirk akbar (ششك أمجش)(syirk besar) dan shirk asghar ( ششك
termasuk syirk besar atau syirk terang-terangan ,(syirk kecil)(أصغش
bila perbuatan atau keyakinan tentang akan adanya kekuatan dan
sembahan selain Allah S.W.T, sedangkan syirk kecil atau syirk
tersembunyi umumnya terdapat di dalam ibadah yang dikerjakan
tidak karena mengharap ridha Allah SWT, seperti riya‟ dan munafik.
Di dalam al-Qur‟an tidak terungkap secara jelas bentuk syirk ini,
namun para mufassir, seperti al-Zamakhsyari, al-Baidawi dan al-
Taba‟taba‟i, mengartikan kata syirk dalam QS. Al-Kahfi/18:110, QS.
Yusuf/12:106, dan al-A‟raf/7:190 sebagai syirk kecil dalam bentuk
riya‟.6 Selain itu, beberapa ayat tersebut dalam kaitannya syirk kecil,
77
termasuk dalam QS. Al-Kahfi/18:110, menurut Hamka, bahwa iman
dan amal salih suatau hal yang tidak dapat dipisahkan, karena iman
adalah kepercayaan di dalam hati, sedangkan amal saleh adalah bekas
yang wajar dari keimanan. Maka tidak mungkin iman saja dengan
tanpa menghasilkan amal, dan tidak mungkin amal saja, padahal tidak
bersumber dari niat yang ikhlas. Dan ikhlas itu tidak akan ada, kalau
tidak bersumber dari adanya Iman.7
Di dalam Al-Qur‟an, kata shirk terdapat dalam berbagai
bentuk kata jadiannya, terulang sebanyak 168 kali, dengan berbagai
derivasinya. Kata shirk terulang sebanyak 4 kali, satu kali dalam
konteks shirk QS.Luqma>n/31:14, dan tiga kali dalam konteks
menentang terhadap perbuatan shirk QS. Saba >‟/34:22,QS.
Fa>thir/35:40, QS. al-Ahqa>f/46:4, sedangkan dalam bentuk jamak
terulang sebanyak 49 kali.8 Beberapa pengertian yang terkandung di
dalamnya, secara umum dapat dikembalikan kepada arti kebahasaan.
Meskipun demikian, tidak semua kata yang berasal dari kata dasar
sha>raka [شبسك] mengandung pengertian mensyarikatkan Allah.
Meskipun perlu segera dinyatakan, bahwa pengertian itulah, yang
lebih banyak digunakan Al-Qur‟an.9
Dalam kata kerja lampau (Ma>d}i), term shirk dijumpai
sebanyak 18 kali, semuanya mengarah kepada perbuatan
mensyarikatkan Allah. Perbuatan tersebut termasuk dosa besar,
karena yang demikian ini, merupakan pengingkaran terhadap keesaan
Allah, baik secara Dhat, Sifat, maupun perbuatan-Nya.
Mensyarikatkan Allah akan menyebabkan akan hapusnya amal
seseorang, karena meskipun mereka tidak mengingkari keberadaan
Allah, tetapi perbuatan tersebut, ternodai kesempurnaan Allah,
dengan menjadikan makhluk-Nya, sebagai sekutu bagi-Nya. Hal
tersebut diperjelas dengan Firman-Nya, QS. Al-Zumar/39:65.
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang ( nabi-
nabi ) sebelum kamu. Jika kamu mempersekutukan Tuhan, niscaya akan hapuslah
amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi ( QS. Al-
Zumar/39:65 ). 10
78
Sedangkan dalam bentuk kata kerja (Mud}a>ri), kata shirk
muncul sebanyak 32 kali, semua menunjuk kepada perbuatan
mensyarikatkan Allah. Dan Al-Qur‟an menyatakan secara ekplisit
bahwa shirk adalah perbuatan dosa besar dan tidak diampuni oleh
Allah, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa
yang besar. ( QS. Al-Nisa’/4 : 48 ) 11
Ayat di atas, selain menyatakan betapa besarnya dosa shirk,
juga secara ekplisit menyatakan, bahwa dosa syirk adalah dosa yang
tidak diampuni Allah. Berdasarkan ayat itu, para ulama umumnya,
sepakat, bahwa semua dosa besar dapat diampuni kecuali dosa syirik.
Hal itu didasarkan pada riwayat mengenai sebab nuzul ayat tersebut.
Hal itu, didasari pada riwayat, disebutkan bahwa ketika QS. al-
Zumar/35:53 yang menyatakan, bahwa Allah mengapuni semua dosa,
lalu Nabi S.A.W membacakannya di hadapan para sahabat. Salah
seorang di antara mereka bertanya : Wahai Rasul, apakah dosa syirik
termasuk dosa yang diampuni ? Tetapi Nabi diam saja. Sahabat
tersebut, mengulangi pertanyaannya, namun Nabi diam. Hal itu
berulang, hingga turunnya Qs. al-Nisa/4:48, yang menegaskan bahwa
dosa syirk tidak diampuni Allah.12
Mereka yang berpendapat dosa
syirik tidak dapat diampuni Allah, menganggap firman Allah dalam
QS. al-Zumar/39:53 menyatakan semua dosa diampuni oleh Allah,
hanya ditujukan kepada orang-orang mukmin yang berdosa, dan
bukan kepada mereka yang musyrik.13
Ibn Kathir mengemukakan,
dosa yang diampuni Allah SWT itu adalah dosa orang Mukmin,
bukan orang musyrik.14
Pada sisi lain, al-Zamakhshari sebagaimana
al-T}aba>’taba>’i dan umumnya kelompok Mu‟tazilah, mengatakan
bahwa semua dosa tanpa terkecuali, termasuk shirk, dapat diampuni
oleh Allah SWT, asalkan bertaubat.15
Bahkan al-Zamakhshari, mengutip pendapat Imam Ahmad
bin Hambal, mengatakan bahwa, dosa syirk dapat diampuni Allah
SWT, jika pelakunya bertaubat, sedangkan dosa lainnya, dapat
diampuni Allah SWT kendati tanpa taubat.16
Sementara itu, term
79
syirk yang diungkap dengan bentuk ism mas}dar ( infinitif ), sebanyak
5 kali, dua kali di antaranya secara tegas, memberikan makna syirik
QS. Luqman/31:13 dan Fa>t}ir/35:14. Sedangkan tiga ayat lainnya, QS.
Saba‟/34:22, Fa>t}ir /35:40 dan QS. al-Ahq>af/46:4, hanya menunjukan
pengertian keterlibatan dalam suatu pekerjaan. Ketiga ayat yang
disebutkan terakhir ini, menegaskan bahwa orang-orang musyrik
sama sekali tidak terlibat dalam hal penciptaan langit dan bumi.
Pengungkapan term shirk dalam bentuk amr (perintah), ditemukan
dua kali, QS. al-Isra/17:64, dan QS. T}aha/20:32. Kedua ayat tersebut,
tidak terkait dengan syirk dalam arti mensyarikatkan Allah. Kata
sha>rik[شارك]QS.al-Isra‟/17:64, menunjukkan bahwa, Allah
memerintahkan kepada iblis dengan segala kemampunnya untuk
menyesatkan manusia, termasuk melakukan kerjasama untuk
mempengaruhi mereka. Sedangkan kata ashrik [أشرك] dalam QS.
T}aha/20:32 berisi informasi tentang permintaan Nabi Musa as.
kepada Allah SWT agar Harun a.s, saudaranya, dijadikan teman dan
sekutu dalam menjalankan misis kerasulannya.17
Sedangkan kata shari>k [ شريك ] dan shuraka> [شركاء] yang
terulang sebanyak 40 kali, terkadang menunjuk kepada sesuatu yang
dijadikan orang-orang musyrik sebagai sekutu Allah QS. al-
Isra‟/17:111,QS.al-Ra‟d/13:16. Tetapi terkadang pula menunjukan
kepada arti berserikat dalam melakukan pekerjaan, seperti QS. Al-
Zumar/39:29. Dalam hal ini, kata shuraka>, berarti orang-orang yang
berserikat dalam memiliki seorang budak. Dalam bentuk ism fa>’il, term syirk disebutkan sebanyak 51 kali. Dua kali di antaranya
diungkap dalam bentuk mushtarik (مشترك ) QS. al-S}affa>t/37:33 dan
QS. al-Zukhru>f/43: 39. Kedua ayat ini, tidak bermakna syirk, tetapi
menunjukkan bahwa orang-orang kafir termasuk orang-orang
musyrik, akan merasakan sisksaan api neraka secara bersama-sama.
Sedangkan 49 kali diantarnya, diungkap dengan bentuk musyrik, baik
dalam bentuk tunggal maupun jamak, semuanya menunjuk kepada
orang-orang musyrik. Pengungkpan term ism fa>il antara lain,
menunjuk kepada sikap dan prilaku orang-orang musyrik, khususnya
prilaku musyrik Makkah, yang tidak menginginkan umat Islam
memperoleh kebaikan QS. al-Baqarah/2:105. Al-Qur‟an
memerintahkan umat Islam untuk berpaling dari orang-orang musyrik
QS. al-An‟am/6:106, QS. al-Hijr/15:94 perintah untuk melakukan
perang terhadap orang-orang musyrik Makkah QS. al-Taubah/9:5 dan
36, larangan mendoakan orang-orang musyrik QS.Al-Ahzab/33:73,
80
Qs. Al-Fa>t}ir/48:6, dan al-Bayyinah/98:6, serta larangan terhadap
orang-orang mukmin melakukan hubungan perkawinan dengan
orang-orang musyrik QS.al-Baqarah/2:221. Dalam kaitannya dengan
Nabi Ibrahim a.s sebagai,“ Bapak monotheisme“ yang dikenal sangat
kokoh membersihkan„aqidah tauhid „ dari segala kemusyrikan, baik
berupa patung-patung, binatang, bulan, matahari, bahkan juga segala
sesuatu selain Allah, Al-Qur‟an memuat pernyataan secara tegas,
bahwa beliau bukanlah dari golongan orang-orang musyrik.18
Setelah memahami definisi tentang al-mushrika>t, yang secara
garis besar para ulama menyatakan, bahwa hal itu, suatu perbuatan
menyarikatkan Allah SWT, sehingga setiap perbuatan yang
berindikasi mensyarikatkan Allah adalah syirk dan dosa besar.
Pembahasan berikutnya, penjelasan mengenai pernikahan
dengan orang musyrik, yang akan dibahas dalam sub bab berikut ini.
B. Menikah Dengan Orang Musyrik ( al-Mushrika>t ). Pernikahan antara umat berbeda agama merupakan satu hal
yang pelik, kaitannya dengan hubungan sosial antarumat beragama.
Dalam sejarah-sosial pemahaman umat Islam, terutama dalam fiqh,
telah banyak perbedaan pendapat yang muncul soal ini, ada yang
membolehkan dengan catatan, dan ada yang tidak membolehkan,
baik yang laki-laki dari pihak muslim, atau perempuan dari kalangan
ahl al-kita>b atau mushrik dan sebaliknya.19
Al-Qur’an secara tegas
melarang umat Islam menikahi wanita musyrik (al-mushrikah) dan
juga pria musyrik (al-Mushrikin). Pria muslim tidak boleh menikahi
wanita musyrik, demikian wanita muslimah tidak boleh menikah
dengan pria musyrik, menurut QS.Al-Baqarah/2:221, disebutkan
sebagaimana bunyi teks ayatnya:
*
81
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak wanita yang beriman lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamumenikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun
dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya( perintah-
perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.(QS.al-
Baqarah/2:221).20
Ibn Kathi>r dalam kitabnya, menyatakan haram pria muslim
menikahi wanita musyrik penyembah berhala, dan dalam ayat ini,
tidak mencamtumkan larangan menikahi wanita ahl al-Kita>b, karena
Allah telah menghalalkan pernikahan dengan mereka, sebagaimana
QS. Al-Ma>idah/5:5.21
Keterangan ayat al-Baqarah di atas, telah jelas
menyatakan ketidakbolehan seorang laki-laki muslim menikahi
wanita musyrik, sebagaimana juga ketidakbolehan wanita muslimah
menikah dengan laki-laki musyrik. Hal itu, dapat juga disebabkan
karena dua perbedaan yang mencolok antara dua pemeluk agama
tersebut, bahwa orang beriman akan mengajak ke surga, sedangkan
orang kafir mengajak ke neraka. Orang beriman percaya kepada
Allah SWT, kepada para Nabi dan hari akhir, sedangkan orang
musyrik menyekutukan Allah, mengingkari para nabi dan
membangkang akan hari akhir. Dan menjadi sebuah pertanyaan,
apakah mungkin akan terwujud suatu kedamaian, sebuah pernikahan
atas dua sisi yang berbeda keyakinan ? Namun yang menjadi titik
permasalahan menurut para ulama adalah wanita musyrik apakah
yang dimaksudkan ayat di atas ? Ibn Jari>r al-T}}abari, seorang ahli
tafsir terkemuka berpendapat, bahwa perempuan musyrik yang
haram dinikahi adalah perempuan musyrik dari bangsa Arab saja.
Sebab ketika diturunkan ayat Al-Qur’an, mereka adalah penyembah
berhala dan tidak memiliki kitab suci.22
Konsekwensi dari pendapat
ini, maka para laki-laki muslim dibolehkan menikahi wanita musyrik
yang bukan bangsa Arab, dengan demikian, boleh menikahi wanita
musyrik Cina, India, Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab
suci atau serupa kitab sucinya, seperti pemeluk, agama Budha,
Hindu, Konghuchu, yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa,
percaya adanya hidup setelah mati. Hal senada dengan al-T}abari juga
dianut oleh Rashi>d Rid}a> dan Muhammad Abduh.23
82
Pendapat di atas, segera mendapat bantahan dari kalangan
ahli tafsir dan ahli fiqh yang merupakan pendapat Jumhur, yang
berpendapat, bahwa, wanita musyrik itu bukan sebatas pada wanita
bangsa Arab saja, melainkan juga mencakup semua wanita musyrik
non-Arab dimanapun mereka berada, bahkan, Imam Al-Ra>zi, seorang
ulama yang menolak bahwa makna, 'musyrik', ditujukkan kepada
orang-orang kalangan bangsa Arab, melainkan mereka yang suka
memerangi orang-orang muslim. Karenanya, kaum musyrik bukanlah
ahl al-dhimmah,24
dengan demikian, semua perempuan musyrik baik
dari kalangan bangsa Arab maupun non-Arab selain ahl al-kita>b
seperti,Yahudi (Yudaisme) dan Kristen tidak boleh dinikahi. Dan
menurut pendapat ini juga, bahwa wanita yang bukan muslimah dan
bukan Yahudi atau Kristen tidak boleh dinikahi oleh pria muslim
apapun agama dan kepercayaannya, seperti, Budha, Hindu,
Konguchu, Majusi/Zaroaster, karena mereka selain pemeluk agama
Islam, Kristen dan Yahudi itu, termasuk katagori musyrik
(al-mushrika>t). Bahkan lebih dari itu, para ulama memperluas
keharamannya bukan hanya tertuju kepada wanita musyrik, tetapi
juga kepada wanita atheis yang tidak percaya kepada Allah SWT,
tetapi percaya kepada alam semesta ini, sebagai suatu bentuk yang
kekal dan abadi.25
Terhadap pernikahan muslim dengan wanita musyrik
selanjutnya akan dibahas, menurut perspektif ulama-ulama tafsir
kalangan sahabat.
C. Perspektif Penafsiran Ulama Salaf (Periode Sahabat), Abad I-
II H. 26
Diketahui sepuluh besar kalangan sahabat yang telah diakui
kemampuannya dalam menafsirkan Al-Qur‟an di abad pertama ini.27
Di antaranya, Empat di kalangan sahabat, mereka adalah, Khulafa>’ Al-Ra>shidi>n (11-40 H/622-651M), sedangkan enam yang lain, adalah
Abdullah bin Abba>s ( w. 68 H/687 M), Abdullah bin Mas’u>d (32 H),
Ubay bin Ka‟ab (w. 19 H), Zaid bin Tha>bit, Abu Musa Al-Ash‟ari
serta Abdullah bin Zubayr (w. 95 H).28
Selain mereka juga, terdapat
beberapa tokoh di kalangan sahabat, yang memang kurang begitu
83
tersohor dalam bidang tafsir, tetapi di bidang lain, enam di antara
mereka adalah, Ana>s bin Malik, Abu> Hurairah, Abdullah bin Umar,
Ja>bir bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin A>sh dan Siti Aisyah.29
Perkembangan penafsiran para sahabat dijadikan rujukan oleh
murid-murid mereka, yaitu para tabi‟in, sehingga lahirlah t }abaqa>t al-
mufassiri>n (tingkatan para penafsir Al-Qur‟an). Di Mesir muncul
t}abaqa>t yang tafsirnya merujuk pada tafsir Abdullah bin Abba>s, di
Madinah muncul tabaqat lain, seperti Zaid bin Tha>bit, Abdur
Rahman bin Aslam, dan Imam Ma>lik bin Ana>s.30
Di Kufah muncul
t}abaqa>t yang bersumber dari Ibn Mas’u>d. 31
Memahami persoalan ini, beberapa penafsiran ulama (periode
sahabat), menjadi rujukan utama, dengan melihat pemahaman,
metodologi, serta alasan-alasan mereka dalam menafsirkan term al-mushrika>t, terkait kasus pernikahan beda agama, mengenai
pernikahan pria muslim dengan wanita musyrik. Beberapa penelitian
secara komprehenshif, dapat ditelusuri dengan mengkaji, meneliti,
melalui penafsiran para sahabat, mereka adalah :
1. Abdullah Bin Abba>s ( w. 68 H/ 687 M ).
Abdullah bin Abbas adalah putra paman Rasulullah SAW,
yang merupakan saudara sepupu Nabi.32
Di usia yang relatif muda,
Ibn Abba>s telah memperoleh kedudukan yang istimewa di kalangan
pembesar para sahabat, mengingat luasnya ilmu dan ketajaman
pemahamannya. Hal itu, sebuah realisasi atas do‟a Rasulullah
terhadapnya yang berbunyi, ” Allahumma Faqqihu Fi > Al-Ddi>n Wa
’Alimhu al-Ta’wi>l ”, (Ya,Allah berilah pemahaman agama kepadanya
dan ajarilah dia ta‟wil).33
Estafet keilmuan Ibn Abbas dalam bidang
tafsir, dilanjutkan oleh murid-muridnya dari kalangan tabi‟in, di
antara mereka adalah, Sa‟id bin Jubayr (w. 95 H),34
dan Muja>hid bin
Jabr (w. 104 H),35
D}ahak (102 H ),36
Ikrimah Maula > Ibn Abba>s (w.
107 H),37
T}a>wus ibn K>aisa>n al-Yama>ny (w. 106 H), 38
Atha>‟ bin Abi >
Rabba>h (w. 114 H) 39
, mereka murid Ibn Abba>s di Makkah.40
Ibn Abba>s kurang terlihat cakap dalam kancah politik, namun
kemasyhurannya, dikarenakan pengetahuan agamanya yang luas,
terutama dalam tafsir al-Qur‟an, oleh karena itu dalam sejarah
dimasukkannya dalam jajaran tokoh-tokoh para ulama.41
Pandangan
Ibn Abba>s dalam konteks pernikahan beda agama, terkait penafsiran
QS.al-Baqarah/2:221 ini, menyatakan, bahwa Ia membolehkan
pernikahan muslim dengan al-mushrika>t, dengan alasan, mereka
84
sebagai ahl al-Kita>b,42 yang dikecualikan (istisna>’a >t) ayat al-Baqarah
di atas, dengan al-Ma>idah ayat 5.43
Pendapat Ibn Abbas tersebut,
dikutip oleh al-Suyut}i dalam tafsirnya, melalui Ibn Jarir, Ibn Munzir,
Ibn Abi Hatim, serta al-Nuhas (dalam kitab Na>sikh-nya), dan Al-
Baihaqi (dalam Sunan-nya), yang menyatakan bahwa, Ia melarang
pria muslim menikahi wanita musyrik, kemudian Allah SWT
kecualikan bagi wanita ahl al-Kita>b.
و ]ناسخه [و النحاس فى , وابن أبى حاتم , وابن المنذر , وأخرج ابن جرير
ى وال تنك [ : عن ابن عباس فى قوله ]سننه [البيهقى فى حوا المشركات حت
والمحصنات [: نى هللا من ذالك نساء أهل الكتاب , فقالتثقال : اس ] يؤمن
] 5المائدة : ][ من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم
Disampaikan oleh Ibn Jarir, dan Ibn Munzir, dan Ibn Abi Hatim, dan al-Nuhas
(dalam Na>sikh-nya ), dan Baihaqi (dalam kitab sunnan-nya), dari Ibn Abba>s, dalam
Firman Allah (Janganlah kamu sekalian menikahi wanita musyrik hingga ia
beriman), berkata Ibn Abbas : Allah SWT mengecualikan darinya wanita ahl al-Kita>b, dengan firman-Nya (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu)
(QS. Al-Maidah/5:5) 44
Ibn Kathi>r membenarkan pendapat Ibn Abba>s r.a., terhadap
larangan pria muslim menikahi wanita musyrik, baik al-mushrika>t, wanita kita>biyah (ahl al-Kitab) maupun wathaniyah (penyembah
berhala), akan tetapi wanita ahl al-kita>b di-tah}s}i>s} (boleh dinikahi).
Sebagaimana dalam tafsirnya, Ia menyatakan :
مشركات من عبدة هذا تحريم من هللا عز وجل على المؤمنين أن يتزوجوا الاألوثان , ثم إن كان عمومها مرادا , وأنه يدخل فيها كل مشركة من كتابية
والمحصنات من الذين [ن ذالك نساء أهل الكتاب بقوله :م ووثنية , فقد خص ]غير مسافحين أوتوا الكتاب من قبلكم إذا ءاتيتموهن أجورهن محصنين
Hal ini merupakan pengharaman dari Allah S.W.T atas kaum mukminin untuk
menikahi wanita musyrik dari penyembah berhala, lalu jika hal itu, merupakan
keterangan secara umum, bahwa masuk di dalamnya pengertian setiap wanita
musyrik, baik ahl al-Kita>b maupun penyembah berhala, maka telah di-takh}s}is} ketentuan itu, wanita ahl al-Kita>b dengan firman-Nya, [Dan dihalalkan
mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina](al-Ma>idah/5:5).45
85
Berdasarkan ungkapan di atas menurut Ibn Kathi>r, bahwa
larangan menikahi al-mushrika>t dipahami, tidak lagi berlaku bagi
wanita ahl al-Kita>b, dengan alasan, telah di-takhs}i>s}.46
Keterangan
lain, Ali bin Abi T}alhah menyatakan, maksud Ibn Abbas r.a,
terhadap ayat (Wala> Tankihu> al-Mushrika>t Hatta> Yu’minna),
sebagai bentuk pengecualian untuk wanita ahl al-Kita>b, yang boleh
dinikahi. Pendapat tersebut, didukung oleh sejumlah ulama kalangan
sahabat, seperti, Muja>hid, Ikrimah, Said bin Jubai>r, Makhu>l, al-
Hasan, D}aha>q, Zaid bin Aslam serta al-Rabi’ bin Anas.47
2. Abdulla>h bin Mas’u>d (w. 32 H). Di antara sahabat-sahabat Nabi yang terkenal setelah Ibn
Abbas di bidang tafsir Al-Qur’an adalah Abdullah bin Mas’ud.48
Ia
adalah sahabat Rasulullah SAW yang termasuk dalam golongan
yang pertama masuk Islam (Al-Sa>biqu>na al-Awwalu>n ), kemudian ia
lebih dikenal dengan panggilan Ibn Mas’ud, meskipun ada yang
memanggilnya dengan sebutan Ibn Ummu Abd yang berarti ’ putra
dari budak wanita’. Kendati demikian, ia termasuk sahabat yang
paling memahami Kita>bullah (Al-Qur’an), maka darinya dapat
diketahui yang muhka>m, yang mutasha>bih, yang halal dan haram,
kisah-kisah dan amtha>l ( perumpamaan ). Setelah Ibn Mas’ud masuk
Islam, ia slalu setia mengikuti Nabi, bahkan dikabarkan ia menjadi
pembantu khusus beliau, termasuk dalam urusan rumah tangga. 49
Dalam konteks pernikahan beda agama, tidak terdapat
keterangan yang menyatakan, bahwa Ibn Mas’ud berbeda pandangan
sahabat pendahulunya atau sahabat yang lain, maka dalam kasus
pernikahan beda agama, telah jelas, mayoritas para ulama mulai dari
kalangan sahabat, tabi’in bahkan ulama pada masa awwal Islam
hingga kontemporer, membolehkan status pernikahan muslim
dengan wanita musyrik, dengan alasan ia adalah wanita ahl al-Kita>b,
berdasarkan firman Allah SWT QS. al-Ma>idah/5:5.50
3. Ali Bin Abi> T}a>lib r.a(w. 40 H/660 M).
Pandangan Ali51
tentang nikah beda agama, lebih kepada
pendekatan naskh, yaitu terkait kaidah na>sikh dan mansu>kh, menurutnya, sangat tepat, karena Ia sorang yang sangat
memperhatikan akan pentingnya, na>sikh dan mansu>kh bagi para
penafsir al-Qur‟an. Bahkan Ia menegaskan, bahwa bila seseorang
yang tidak memahami ilmu naskh, maka ia menyatakan, ia adalah
86
telah celaka dan sesat. Sebagaimana sebuah athar Ali bin Abi T}alib
mengungkapkan hal itu terhadap seorang Hakim. Sebagaimana ditulis
oleh Al-Zarkasyi (w.794 H) dalam kitabnya, al-Burha>n dan juga al-
Suyu>t}i (w. 911 H) dalam kitabnya Al-Itqa>n Fi > 'Ulu>m al-Qur'an.
ر كتاب هللا إال بعد أن يعرف منه الناسخ والمنسوخ , وال يجوز ألحد أن يفس قال : هللا وقد قال على بن أبى طالب لقاض : أتعرف الناسخ والمنسوخ ؟
أعلم , قال : هلكت وهلكت .
” Tidak diperkenankan seseorang untuk menafsirkan Al-Qur‟an, kecuali ia
mengetahui na>sikh dan mansu>kh. Lalu Ali bin Abi T>}alib berkata kepada seorang
Hakim, ” Apakah anda mengetahui yang na>sikh dari yang mansu>kh ? Hakim menjawab : Tidak, jawab seorang hakim itu. Lalu Ali berkata : Celakalah anda dan
mencelakai orang lain ”. 52
Memahami na>sikh dan mansu>kh yang merupakan sebagai
dasar memahami tafsir Al-Qur‟an, selain merupakan salah satu cara
mengetahui yang halal dan yang haram hingga tidak bercampur-aduk
antara keduanya, penafsiran teks-teks pernikahan beda agama QS. al-
Baqarah/2:221 dan al-Maidah/5:5, sebagaimana yang dikutip oleh al-
Suyuti, bahwa ayat Al-Baqarah di-nasakh dengan ayat Al-Maidah.
Atas pemahaman itu, Ali bin Abi T}a>lib jelas apa yang dimaksudkan
kedua ayat tersebut, bahkan dalam persoalan pernikahan dengan non
muslim, terhadap larangan pria muslim menikahi wanita musyrik (al-mushrika>t). Karena ia mengetahui status ayat al-Baqarah di atas,
telah di-nasakh dengan Al-Maidah, sehingga menyetujui para sahabat
yang lain, membolehkan pernikahan seorang muslim dengan wanita
ahl-Kita>b. 53
4. Abdullah Bin Umar r.a ( w. 72 H )
Abdullah bin Umar adalah putra Khalifah kedua, yaitu Umar
bin al-Khattab r.a.54
Ia adalah di antara sekian orang yang bernama
Abdullah yang terkenal sebagai kelompok pemberi fatwa, mereka
adalah ; Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin Ash, Abdullah
bin Zubair serta Abdullah bin Umar .55
Dalam penafsirannya, Abdullah bin Umar, terhadap teks-teks
pernikahan beda agama, QS. Al-Baqarah/2:221, sekilas tampak,
tidak menyetujui adanya pernikahan seorang muslim dengan wanita
87
musyrik (al-mushrika>t). Sebagaimana dikutip dalam beberapa
riwayat darinya. Ibn Abi> Shaibah dan Ibn Abi Ha>tim meriwayatkan
dari Abdullah bin Umar.
أخرج ابن أبى شيبة , وابن أبى هاتم , عن ابن عمر , أنه كره نكاح نساء أهل (. يؤمن حتى المشركات تنكحوا وال ) ل : تأو الكتاب , وي
Dikeluarkan dari Ibn Abi Syaibah dan Ibn Hatim, dari Ibn Umar, bahwasanya, Ia mencela pernikahan seorang muslim dengan wanita Ahl al-Kitab.
Kemudian ia menafsirkan ayat, (Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman). 56
Riwayat di atas, menyatakan bahwa, Abdullah bin Umar
tanpak tidak menyetujui adanya pernikahan beda agama, bahkan ia
mencela pernikahan semacam ini. Hal itu bisa pahami, karena Ibn
Umar r.a, memandang, bahwa ahl al-kitab adalah musyrik menurut
QS. Al-Baqarah/2:221, dan oleh karenanya, Ia mengharamkan
pernikahan seorang muslim dengan wanita ahl al-Kita>b dengan
alasan kemusyrikan, sebagaimana menurut ayat al-Baqarah di atas.
Tentu pendapat ini, beseberangan dengan pendapat para sahabat
umumnya, yang secara historis mereka telah sepakat membolehkan
pernikahan semacam ini, seperti yang telah dilakukan para sahabat,
Usman bin Affan menikahi Nailah binti Fara>fisah yang merupakan
seorang wanita dari agama Nasrani, kemudian ia masuk Islam dan
Hudhaifah menikahi perempuan bangsa Yahudi. Pernikahan
semacam ini juga, dilakukan di kalangan sahabat lain, seperti, Ibn
Abba>s, T}alhah, Ja>bir dan lainnya. Bahkan di kalangan para tabi‟in,
seperti, Sayyid bin Musayyab, Muja>hid, Said bin Jubair, al-Ra>bi’ bin
Ana>s, Ikri>mah, al-Sha‟bi, D}ahak, serta beberapa kalangan ulama
fiqh.57
Pendapat Ibn Umar bukan tanpa alasan. Dasar pelarangannya
itu, bersumber dari beberapa riwayat, yang disampaikan oleh Imam
al-Bukha>ri dan juga Al-Nuha>s, yang keduanya bersumber dari Na>fi’ :
وأخرج البخارى , والنحاس فى ) ناسخه ( عن نافع , ان عبد هللا بن عمر كان إذا سئل عن نكاح الرجل النصرانية أو اليهودية . قال : حرم هللا المشركات على المؤمنين , وال أعرف شيئا من اإلشراك أعظم من أن تقول
المرأة : ربها عيسى أو عبد من عباد هللا.
88
Dari Al-Bukhari dan Al-Nuhas dalam kitab (Na>sikh Wa al-Mansu>kh), dari
Na>fi’, bahwasanya Abdullah bin Umar, setiap kali ditanya tentang pernikahan
seorang pria muslim dengan wanita Nasrani atau wanita Yahudi. Ia berkata : Allah
mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi pria-pria muslim, dan aku tidak
mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari perkataan seorang wanita yang
berkata, bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba-hamba
Allah.58
Ibn Umar r.a dikenal sahabat yang sangat cerdas dan teliti,
memahami apa yang dengarnya dari Rasulullah SAW, selain,
mengetahui kemana Rasullulah pergi, sehingga pengetahuannya
segala ucapan dan perbuatan Rasul. Sebagaimana dalam kasus
pernikahan yang disebutkan athar di atas, larangan pernikahan
seorang muslim dengan wanita musyrik (al-mushrika>t), yang secara
luas, menurut pandangannya, tentang ahl al-kita>b (Yahudi dan
Nasrani) adalah musyrik. Abdullah bin Umar r.a mengatakan, bahwa
tidak ada kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan seorang
wanita yang berkata, ‚Bahwa Tuhannya, adalah Isa atau salah seorang dari hamba-hamba Allah ‚. Dan atas, dasar inilah, Ibn Umar
berbeda pandangan dengan para sahabat umumnya. Pendapat di atas
diperkuat dengan riwayat lain, yang atas ketidaksetujuan Ibn Umar
terhadap pernikahan semacam ini, dengan memprioritaskan nilai
agama di atas segala hal, baik harta, tahta maupun kecantikan
wanita. Diriwayatkan dari Sa’id bin Mansur, bahwa Abdun bin
Humaid (dalam musnad-nya) dan Ibn Majah serta Imam al-Baihaqiy
(dalam Sunan-nya), dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah
bersabda :
فى ) مسنده ( وابن ماجة , حميد بن وأخرج سعيد بن منصور , وعبد وسلم عليه هللا صلى النبى عن ((,عمرو بن هللا عبد والبيهقى فى ) سننه ( عن
تنكحوهن وال, ترديهن أن حسنهن فعسى, لحسنهن النساء تنكحوا ال: قال فألمة, الدين على وانكحوهن , تطغيهن أن أموالهن ىفعس أموالهن على
)). أفضل دين ذات خرماء سوداء
Disampaikan dari Said Ibn Mansu>r dan Abdullah bin Humai>d (dalam
musnad-nya ) dan Ibn Ma>jah dan al-Baihaqi ( dalam Sunan-nya ) dari Abdullah bin
Umar r.a, bahwa Rasulullah S.A.W bersabda : ‛ Janganlah kamu menikahi wanita
karena kecantikannya, karena barangkali kecantikan itu akan menjerumuskan, dan
jangan kamu menikahi mereka karena hartanya, karena barangkali harta benda
membuat kamu melampaui batas, tetapi nikahilah karena agamannya,
89
sesungguhnya budak wanita yang hitam, walaupun tidak cantik tetapi beragama,
itu lebih utama ‛.59
Disebutkan dalam kitabnya S}ahi>hain, al-Bukhari dan Imam
Muslim meriwayatkan dari Abu> Hurairah r.a, bahwa Rasulullah
S.A.W bersabda :
اىشأح رنح: قبه سي عيي هللا صي اىج ع ع هللا سض شيشح أث ع
. يذاك رشثذ اىذي ثزاد فبظفش, ىذيب ىجبىب ىحسجب ىبىب: ألسثع
Dari Abu Hurairah r.a, bahwa Nabi SAW bersabda : ‛ Nikahilah wanita
itu karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan
karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang kuat agamanya, niscaya kamu akan
beruntung ‛ (HR. al-Bukha>ri-Muslim) .60
Disebutkan pula oleh Imam Muslim, dari Ja>bir ra. Hal yang
semisal, Imam Muslim meriwayatkan yang bersumber dari Ibn Umar
r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
الصالحة المرأة الدنيا متاع وخير متاع الدنيا‛ Dunia adalah keindahan, dan sebaik-baik keindahan dunia adalah istri
yang shalehah ‛. ( HR. Muslim ). 61
Beberapa alasan, yang menjadi dasar pelarangan pernikahan
pria muslim menikahi wanita musyrik itu, atau sumber riwayat-
riwayat yang menjadi alasan Ibn Umar adalah berpangkal kepada satu
Firman Allah SWT QS. Al-Baqarah/2:221[ حتى المشركات تنكحوا وال Janganlah kamu menikahi wanita musyrik, sehingga mereka ][يؤمن
beriman], maka kedudukan ayat al-Baqarah itu adalah sama dengan
larangan menurut QS. Al-Mumtahanah/60:10 ( والهم لهم حل الهن لهن يحل ون )(mereka wanita-wanita yang beriman tidak halal bagi
orang-orang kafir, dan orang-orang kafir tidak halal pula bagi
mereka”. 62
Berdasarkan keterangan-keterangan pendapat di atas,
disimpulkan bahwa pendapat para sahabat di atas, baik Ibn Abba>s r.a,
Ali bin Abi T}a>lib r.a maupun Abdullah bin Umar, dapatlah
digarisbawahi, Ibn Abba>s r.a, dan juga Ibn Mas'ud r.a membolehkan
pria muslim menikahi wanita musyrik, dengan alasan, kriteria al-
mushrika>t tidak berlaku bagi wanita ahl al-kita>b, atau karena alasan
lain, bahwa ayat al-Baqarah 221 telah di-takhs}is} dengan al-Maidah
90
ayat 5. Ali r.a, sependapat dengan Ibn Abba>s r.a walaupun yang
menjadi alasan berbeda, yaitu melalui pendekatan naskh, bahwa ayat
Al-Baqarah/2:221 telah di-nasakh dengan ayat Al-Maidah/5:5,
menurut Ali r.a, boleh menikahi wanita ahl al-Kita>b, berbeda dengan
Abdullah bin Umar. r.a, dengan para sahabat yang lain yang
melarang pernikahan dengan wanita musyrik, dengan alasan yang
bersifat umum, bahwa ahl al-kita>b (Yahudi-Nasrani), atau
penyembah berhala adalah musyrik. Oleh karena itu, melarang untuk
menikahi wanita ahl al-kita>b, karena alasan kemusyrikan, atau
karena alasan perbuatan mereka adalah syirk terbesar (shirk akbar ). Sub bab berikutnya, menjelasakan tentang pandangan para
ulama, terhadap pernikahan muslim dengan wanita musyrik
perspektif ulama-ulama salaf periode klasik.
D. Perspektif Penafsiran Ulama Salaf (Periode Klasik) : 650-
1250 M/Abad IV-VI /X M
Sejalan dengan perkembangan Islam, banyak terjadi
perubahan-perubahan di berbagai aspek, misalnya aspek ekonomi,
sosial, politik, dan budaya. Hal itu karena para ulama telah
berkontribusi dan andil besar terhadap perkembangan keilmuan
Islam, seperti, ilmu-ilmu keagamaan, tafsir, hadits, fiqh, dan
sebagainya. Kemudian setelah berakhirnya masa Khulafa> al-
Ra>shidi>n, estafet keilmuan mereka, dilanjutkan oleh para sahabat dan
tabi‟in dan para pengikutnya. Maka sejak saat itulah, perkembangan
keilmuan, menjadi pesat, bahkan dipertengahan abad II H ini, muncul
para ulama, seperti, Ismail Suddi (w. 128 H), al-Dhahah bin
Muzhahim (w.105 H), al-Kalbi (w.146 H), Muqa>til bin Hayya>n
(w.150 H), dan Muqatil bin Sulaima>n (w.150 H), walapun kitab-kitab
tafsir mereka tidak sampai kepada umat, melainkan hanya sebagian
dari beberapa kitab tafsir mereka, yang terkenal, di antaranya, seperti,
tafsir Ja>mi’ al-Baya>n Fi> Tafsi>r Al-Qur’a>n, karya al-Imam al-T}abari
(w. 310 H), yang merupakan cerminan karya para ulama tafsir
terdahulu, cerminan kelompok ulama, dengan metode tafsir al-
Qur‟an, dengan bentuk, tiga jenis (corak) tafsir, yaitu, tafsir bi al-
ma’thu>r, tafsir bi al-ra’yi dan tafsir al-isha>ri. 63 Dan beberapa ahli
tafsir yang muncul di abad 4 H ini, di antaranya, adalah:
1. Ibn Jari>r Al-T}abari> ( w. 310 H / 925 M ), dalam Tafsirnya,
Tafsi>r al-T}abari Ja>mi’ al- Baya>n An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n.
91
Ibn Jari>r al-T>}abari> [lanjutnya al-T}abari>] 64
dalam tafsirnya,
menafsirkan teks QS. al-Baqarah/2:221, dengan merinci beberapa
perbedaan pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan teks pernikahan
beda agama itu, yang bersumber kepada Rasulullah, sahabat, serta
tabi‟in.65
Dalam beberapa persoalan yang ditafsirkannya, terdapat
pertanyaan-pertanyaan yang mendasar terkait ayat al-Baqarah di atas,
apakah ayat itu ditujukkan untuk semua jenis kemusyrikan atau untuk
kriteria yang memiliki keterkaitan dengan unsur-unsur kemusyrikan
saja, atau diturunkan khusus sebagai penghapus (na>sikh) terhadap
hukum yang telah ditetapkan ? Dalam tafsirnya, Al-T}abari
menyebutkan tiga kelompok, penafsiran ayat QS. al-
Baqarah/2:221,[ ,Di antaranya .[ يؤمن حتى المشركات تنكحوا وال
mereka adalah,66
kelompok pertama, yang menyatakan, bahwa ayat
ini diturunkan, sebagai bentuk pengharaman terhadap pernikahan
seorang muslim dengan wanita musyrik (al-mushrika>t) yang tidak
terbatas untuk jenis kemusyrikan, baik penyembah berhala[‟abdatul
wathan], agama Yahudi, Nasrani, maju>si serta sebagian mereka yang
memiliki unsur-unsur kemusyrikan, yang kemudian turun ayat
sebagai penghapus (nasakh) perintah pengharaman itu, terhadap
wanita ahl al-Kita>b, dengan Firman Allah S.W.T :
أرا اىنزبة حو اىزي طعب اىطيجبد ..... قو أحو ىن برآأحو ى يسئيل
أرا اىزي حصبد اى بد ؤ اى حصبد اى حو ى ن طعب ىن
قجين اىنزبة
Mereka menanyakan kepadamu," Apakah yang dihalalkan bagi mereka".
Katakanlah : " Dihalalkan bagimu yang baik-baik (makanan)(sembelihan) orang-
orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi
mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu.( QS.Al-Maidah/5:4-5).67
Kemudian Al-T}abari> menyebutkan beberapa pendapat sahabat
yang lain, yang mengharamkan untuk semua jenis kemusyrikan itu,
menurut kelompok pertama ini, adalah, (1). Pendapat Ibn Abba>s,
yang sumber dari Ali Bin Abi T}alhah, dari Muawiyah bin Sa>leh, dari
Abdullah bin S}aleh, yang disampaikan dari Ali bin Abu Daud tentang
larangan menikahi wanita-wanita musyrik terhadap yang di-nasakh
atau dikecualikan.
92
ث داد , قبه : ث عجذ هللا ث صبىح , قبه ث عبيخ ث صبىح, حذث عي
ث طيحخ ع اث عجبس قى : [ع عي ششمبد حز يؤ نحا اى ال ر [
أرا اى [ث اسزث سبء أو اىنزبة : اىزي حصبد اى حو ىن ] نزبة
] أجس . ] إرا ءاريز
Telah menceritakan kepada saya Ali bin Da>ud, Ia berkata:telah
menceritakan kepada saya Abdullah bin S}a>leh, ia berkata lagi, telah menceritakan
kepada saya Muawiyah bin S}aleh dari Ali bin Abi T}alhah dari Ibn Abba>s, seraya
berkata : (Janganlah kalian menikahi wanita musyrik hingga mereka beriman),
kemudian dikecualikan (istathna ) bagi wanita ahl al-Kita>b dengan firman Allah
S.W.T (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang yang diberi Al-Kitab) : maka halal bagi mereka, (bila kamu
telah membayar maskawin mereka ). 68
Yang ke (2). Pendapat Ikrimah dan Hasan Basri yang
bersumber, dari Yazi>d al-Nahwi, dari Husein bin Wa>qid, dari Yahya
bin Wa>d}ih, yang bersumber dari Muhammad bin Humaid, keduanya
mengatakan tentang larangan menikahi wanita al-mushrika>t itu,
setelah di-nasakh dengan halalnya menikahi ahl al-kita>b (Ikrimah
dan Hasan Basri keduanya murid Ibn Abba>s).
يى بن واضح ,عن الحسين بن واقد , عن حدثنا محمد بن حميد, وقال : ثنا يح المشركات تنكحوا وال [يزيد النحوى , عن عكرمة والحسن البصرى , قاال :
: فنسخ من ذالك نساء أهل الكتاب ,أحلهن للمسلمين . ] يؤمن حتى
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Humaid, berkata : telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Wa>d}ih dari Hasan bin Wa>qid dari Yazi>d al-
Nahwi, dari Ikrimah dan Hasan Basri, seraya keduanya menyatakan (Janganlah
kalian menikahi wanita musyrik hingga mereka beriman), maka di-nasakh ketentuan itu wanita ahl al-Kitab, dan dihalalkan mereka untuk orang-orang
muslim. 69
Dan yang ke (3), Pendapat Muja>hid, yang disampaikan Ibn
Abu> Naji>h, dari Isa, dari Abu A>s}im, yang bersumber dari Muhammad
bin ‟Amr dengan alasan naskh untuk wanita ahl al-kita>b.
حدثنى محمد بن عمرو, وقال : حدثنا أبو عاصم , عن عيسى , عن ابن أبى قال : ]يؤمن حتى المشركات تنكحوا وال [ نجيح عن مجاهد فى قول هللا :
نساء أهل مكة ومن سواهن من المشركين , ثم أحل منهن نساء أهل الكتاب .
93
Telah menceritakan kepada saya Muhammad bin ’Ammar, ia berkata, telah
menceritakan kepada kami Abu ’A>s}im dari Isa>, dari Abn Abi Na>jih dari Muja>hid
dalam Firman Allah SWT : (Janganlah kalian menikahi wanita musyrik hingga
mereka beriman), berkata Muja>hid : wanita itu adalah ahl Makkah (penduduk Makkah ), dan selain mereka yang memilki unsur kemusyrikan, lalu dihalalkan
(di-nasakh) bagi mereka wanita ahl al-Kita>b. 70
Dan ke (4). Pendapat Al-Ra>bi, dari Ayahnya, yang
disampaikan dari Ibn Abi> Ja‟far, dengan sumber ‟Amma>r, tentang
larangan menikahi wanita musyrik, yang kemudian dikecualikan
untuk wanita ahl al-kita>b.
بس قبه : ثب اث أث جعفش ,ع أثي , ع اىشثيع قى : ال [ حذثذ ع ع ششمبد نحا اى [ اى قى ] ر يززمش هللا اىششمبد ف قبه : حش ]ىعي
فبسزث سبء أو اىنزبة , فقبه : ]اىبئذح [ز األيخ , ث أزه ف سسح
إرا [ قجين أرا اىنزبة اىزي حصبد اى بد ؤ اى حصبد اى أجس ] ءاريز
Bercerita kepadaku ’Amma>r, ia berkata: bercerita kepada kami
Abu Ja’far, dari bapaknya, dari al-Rabi’, tentang firman Allah S.W.T
(Janganlah kalian menikahi wanita musyrik) sampai akhir ayat (La 'alahum Yatadhakkaru>n)(supaya mereka mengambil pelajaran), berkata:Allah telah
mengharamkan al-musyrika>t dalam ayat ini, kemudian Allah menurunkan
surat al-Maidah/5:5, maka dikecualikan wanita ahl al-kita>b dengan firman-
Nya (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin ).71
Selanjutnya al-T}abari, menyebutkan, kelompok kedua : Yang
berpendapat, bahwa ayat al-Baqarah/2:221, diturunkan ditujukan
kepada orang-orang musyrik bangsa Arab saja, dan tidak me-nasakh
suatu ayatpun, dan tidak pula sebagai pengecualian(istisna >‟),
melainkan diturunkan secara umum, kemudian dita‟wilkan secara
khusus. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan sahabat, di
antaranya, (1). Qata>dah, yang disampaikan dari Said bin Zubayr,
berasal dari Yazid > bin Zurai‟, yang diceritakan Basyar bin Mua>z.
حدثنا بشر بن معاذ , قال : ثنا يزيد بن زريع , قال : ثنا سعيد , عن قتادة
يعنى مشركات العرب الالتى ]يؤمن حتى المشركات تنكحوا وال [ قوله :
ليس لهن كتاب يقرأنه
94
” Bercerita kepada kami Basyar bin Muaz, berkata : bercerita kepada kami
Yazid bin Zura‟i, bercerita kepada kami, Said bin Jubayr dari Qata>dah, berkenaan Firman Allah S.W.T, [Janganlah kalian menikahi wanita musyrik hingga mereka
beriman ], yakni, orang-orang musyrik Arab yang mereka tidak memiliki kitab suci
yang dibaca. 72
Masih menurut pendapat Qata>dah dari jalur yang lain, yang
disampaikan oleh Ma‟mar, berasal dari Abdul Raza>q, bersumber dari
Hasan bin Yahya, mengungkapkan hal yang sama, akan tetapi lebih
umum, bahwa yang diharamkan adalah wanita musyrik yang bukan
ahl al-Kita>b yang boleh dinikahi.
حدثنا الحسن بن يحيى قال : أخبرنا عبد الرزاق , قال : أخبرنا معمر عن قال : المشركات من ليس ] يؤمن حتى المشركات تنكحوا وال [ قتادة قوله :
الكتاب , وقد تزوج حذيفة يهودية أو نصرانية . من أهل
Bercerita kepada kami Hasan bin Yahya, berkata : menyampaikan kepada
kami Abdul Raza>q, berkata, menyampaikan kepada kami, Ma‟mar dari Qata>dah
[dan janganlah kalian menikahi wanita musyrik, hingga mereka beriman], ia
mengatakan lagi : adalah orang-orang musyrik yang bukan ahl al-Kitab, dan telah
menikah Hudhaifah dengan wanita Yahudi atau Nasrani.73
Ke (2). Pendapat Sa'i>d bin Zubayr (w. 95 H),74
yang
disampaikan Hamma>d, yang berasal dari Sufyan, yang disampaikan
Wa>qi’, bersumber dari Abu > Kuraib, bahwa wanita musyrik (al-
mushrika>t) yang tidak boleh dinikahi adalah wanita musyrik
penyembah berhala.
قال : ثنا وكيع , عن سفيان , عن حماد , عن سعيد بن جبير حدثنا أبو كريب . قال : مشركات أهل األوثان ] يؤمن حتى المشركات تنكحوا وال [قوله :
Bercerita kepada kami Abu Kuraib, berkata: bercerita kepada kami Waqi‟,
dari Sufyan dari Hammad, yang bersumber dari Said bin Zubayr, terhadap firman
Allah [dan janganlah kalian mengawini wanita musyrik, hingga mereka beriman],
ia berkata : adalah wanita musyrik penyembah berhala. 75
Sedangkan kelompok ketiga : Menyatakan haram untuk semua
jenis kemusyrikan dengan berbagai bentuknya, dan tidak
dikhususkan, baik penyembah berhala, maju>si, ahl al-Kita>b dan tidak
95
pula me-nasakh suatu ayatpun. Hal itu, dikemukakan oleh (1). Shahar
bin Haushab yang disamapaikan oleh Abdu Humaid bin Bahram al-
Faza>ri, yang diceritakan bapaknya, dari Ubaid bin A>dam bin Abi Iya>s
al-Asqala>ni:
بن الحميد عبد حدثنا, أبى حدثنا, العسقالنى إياس بن أدم بن عبيد حدثنا عباس بن هللا عبد سمعت: قال حوشب بن شهر قال : حدثنا , الفزارى بهرام كان ما إال النساء أصناف عن ,وسلم عليه هللا صلى هللا رسول نهى: يقول [: تعالى قال. اإلسالم غير دين ذات كل وحرم, والمهاجرات المؤمنات من
, يهودية هللا عبيد بن طلحة نكح وقد, ] عمله حبط فقد باإليمان يكفر ومن حتى شديدا غضبا الخطاب بن عمر فغضب, نصرانية اليمان بن حذيفة ونكح: فقال, تغضب وال المؤمنين أمير يا نطلق نحن: فقاال, عليهما يسطو أن هم . قماء صغرة منكم أنتزعهن لكنى, نكاحهن حل لقد طالقهن حل لئن
Bercerita kepada kami Ubaid bin A>dam bin Abi > Iya>s al-Asqala>ni, berkata
ia, menceritakan kepada kami bapakku, berkata : menceritakan kepada kami Abdu Humaid bin Bahram al-Fazari, berkata ia : menyampaikan kepada kami Shahar bi
Haushab, berkata : aku telah mendengar Abdullah bin Abbas berkata : Rasulullah
melarang semua kriteria wanita, kecuali wanita-wanita beriman dari kalangan
Muhajirin dan mengharamkan pula mengawini wanita selain yang beragama Islam.
Allah SWT berfirman : ‚ Siapa yang kufur setelah beriman, maka telah hapuslah
amalnya ‚. Dan T}alhah bin Abdullah pernah menikah dengan seorang wanita
Yahudi, dan Hudhaifah bin Yaman pernah menikah dengan wanita Nasrani, maka
Umar Bin al-Khattab marah sekali mendengarnya, hingga hampir saja dia
menghajar keduanya, tetapi keduanya mengatakan; ‚Wahai Ami>rul Mukmini>n
Janganlah engkau marah, kami akan menceraikannya, " khalifah Umar menjawab :
‚ Sekiranya boleh ditalak, berarti boleh dinikahi, akan tetapi aku akan mencabut
mereka dari kalian secara hina-dina.76
Diakhir keterangannya, al-T}abari, menyebutkan pendapat-
pendapat dari kelompok pertama, kedua dan ketiga, kemudian Ia
menyatakan pendapatnya :
Pertama, Ibn Jari>r Al-T}abari>, lebih setuju dengan pendapat
yang dikemukakan Qata>dah yang menyatakan, bahwa larangan
pernikahan ( وال تنكحواالمشركات حتى يؤمن), tidak ditujukkan kepada
wanita ahl al-Kita>b, atau kriteria lain, untuk jenis kemusyrikan,
melainkan ditujukkan kepada wanita-wanita bangsa Arab yang tidak
mempunyai kitab suci.77
Selanjutnya, al-T}abari> tidak mengakui
adanya nasakh pada kedua ayat tersebut, baik al-Baqarah ayat 221
atau al-Ma>idah ayat 5, melainkan keduanya, diturunkan secara umum
96
dan di-ta’wi>l-kan secara khusus, karena alasan itulah, dengan tegas,
al-T}abari, menyatakan, bahwa ahl al-kita>b bukan bagian dari ayat
yang dimaksudkan, melainkan karena Allah SWT telah menghalalkan
status pernikahan dengan mereka, dengan firman-Nya, QS. al-
Maidah/5:5,[Wa al-Mukhs}ana>tu Min al-Mu’mina>t Wa al-Muhs}ana>tu
Min al-Lazi>na Utu> al-Kita>b Min Qablikum ].78
Kedua, bahwa menurut al-T}abari>, pendapat Ibn Abba>s r.a,
yang disampaikan Sahar bin Haushab, tentang Umar bin al-Khattab
r.a yang memisahkan (mencerai) T}alhah dan Hudhaifah, terhadap
istri-istrinya, ahl al-Kita>b itu, tidak memiliki alasan, karena jelas,
pernikahan itu, telah dihalalkan, dengan turunnya ayat al-Ma>idah/5:5,
dan diperkuat beberapa riwayat dan hadith rasul yang membolehkan.
Akan tetapi pendapat larangan pernikahan itu, lebih bersifat politis,79
yang ditujukan kepada orang-orang yang beragama, selain Islam,
sebagaimana riwayat yang bersumber dari Sahar bin Haushab, Ibn
Abba>s menyampaikan :
عجذ حذثب: قبه, أث حذث: قبه, عسقالاى إيبس ث أد ث عجيذ حذثب
هللا عجذ سعذ : قبه حشت ث شش حذثب: قبه, اىفزاس ثشا ث اىحيذ
ب إال اىسبء أصبف ع سي عيي هللا صي هللا سسه : يقه عجبس ث
ش, اىبجشاد اىؤبد مب هللا قبه. اإلسال غيش دي راد مو ح
نح قذ, ] 5: اىبئذح[ , ]عي حجظ فقذ ينفشثبإليب [: رمش رعبى
ث عش فغضت, صشايخ اىيب ث حزيفخ نح, يديخ هللا عجيذ ث طيحخ
أيش يب طيق ح: فقبال عييب يسط أ حز شذيذا غضجب اىخطبة
حو ىئ: فقبه رغضت ال اىؤي حو ىقذ طالق , نبح ىن أرزع
. قأح صغشح ن
Bercerita Ubaid bin Adam bin Iya>z al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami
ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid bin Bahran al-Faza>ri, telah
menceritakan kepada kami Syahr bin Hausyab yang mengatakan bahwa ia telah
mendengar Abdullah bin Abbas mengatakan hadits berikut ini, ‛ Rasulullah
melarang menikahi berbagai macam wanita, kecuali wanita-wanita yang mukmin
dari kalangan Muhajirin dan mengharamkan mengawini wanita-wanita beragama
selain Islam " . Allah SWT telah berfirman : ‛ Barangsiapa yang kafir sesudah
beriman, maka hapuslah amal-amalnya ‛. Dan telah menikah Thalhah bin
Abaidillah seorang wanita Yahudi, dan Huzaifah bin Yaman menikahi wanita
Nasrani, maka Umar bin Khattab marah sekali mendengarnya, hampir-hampir ia
menghajar keduanya. Tetapi keduanya mengatakan, ‛ Wahai Amirul Mukminin
janganlah engkau marah kami akan menceraikannya ", Khalifah Umar menjawab,
97
‛ Kalau boleh ditalak, berarti halal dinikahi. Tidak, aku akan mencabut mereka
dari kalian, secara hina-dina ”. 80
Selain mengkritik, riwayat yang disampaikan Sahar bin
Haushab yang bersumber dari Ibn Abba>s r.a terhadap Umar bin al-
Khatta>b r.a yang melarangan pernikahan T}alhah dan Hudhaifah
dengan wanita ahl al-kita>b, karena secara jelas, kedua wanita yang
dinikahinya adalah ahl al-kita>b, dan keduanya memiliki kitab suci.
Selain, merupakan kesepakatan Jumhur ulama status kebolehan
menikahi mereka, baik berdasarkan ayat atau khabar yang bersumber
dari Nabi SAW. Sedangkan perselisihan yang terjadi antara Umar r.a
dan para sahabat yang lain, itu hanyalah sebuah alasan, yang didasari
atas kekwatiran Umar saja terhadap umat Islam, yang mungkin akan
meninggalkan dan enggan menikahi wanita-wanita muslim, karena
alasan lebih memilih ahl al-kita>b. Tetapi semua rasa kehawatiran itu,
telah terjawab dengan hadits Nabi yang berbunyi :
نساء نتزوج: وسلم عليه هللا صلى هللا رسول قال: قال هللا عبد بن جابر عن . نا نساء يتزوجون وال الكتاب أهل
Dari Jabir bin Abdullah berkata, Rasulullah SAW bersabda :‛ Kita boleh
menikahi wanita ahl al-kita>b, dan mereka tidak boleh menikahi wanita-wanita
kita‛. 81
Kritikan al-T}abari terhadap hadith di atas, walaupun dalam
sanadnya(diperselisihkan), namun secara Ijma‟ telah disepakati para
ulama. Karena itulah, Ibn Jarir al-T}abri menyimpulkan, bahwa
maksud ayat al-Baqarah di atas, ditafsirkan, "Wahai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu menikahi wanita musyrik (selain ahl
al-Kita>b), hingga mereka beriman, beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya, dan membenarkan apa-apa yang diturunkan kepadanya ".82
Penjelasan berikutanya ayat( ووووو وووووتك حت وال تنكحووووووم منوووم Janganlah kamu menikahkan wanita muslimah dengan pria)( ؤ
musyrik), al-T}abari menyebutkan, bahwa Allah S.W.T telah
mengharamkan wanita mukminah untuk menikah dengan pria
musyrik, apapun jenis kemusyrikannya. Karena menikahkan wanita
mukminah dengan pria musyrik, selain haram, bagi seorang hamba
sahaya yang beriman sekalipun, karena membenarkan Allah SWT
98
dan Rasul-Nya, akan lebih baik dari pada menikah dengan pria
musyrik meskipun statusnya kaya raya dan tinggi kedudukannya.83
Abu Ja‟far Muhammad bin Ali berkata: bahwa ini adalah
perintah Allah SWT menyebutkan perintahnya dengan dasar dalil,
bahwa seorang wali wanita itu lebih berhak untuk menikahkan
anaknya dari pada dirinya. Berkata Abu Ja‟far,( اىناب ثاى فا مزابة هللا )
” Nikah itu syaratnya ada wali dalam Kitab Allah”. Kemudian Ia
membacakan ayat ( نووو وو ؤ ووتك حت موال تنكحوووم م )(Dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mu'min) sebelum mereka beriman ). Dalam riwayat yang bersumber
Yazid dari Ikrimah dan Hasan Basri, bahwa diharamkan wanita
muslimah terhadap pria musyrik.
حذثب اث حيذ قبه: ثب : قبه يحي ث اضح ع اىحسي ث اقذ , عا يزياذ
نووماىح ع عنشخ اىحس اىجصش : ) تك حت ؤ (, وال تنكحوم م
قبه: حش اىسيبد عي سجبى , يع سجبه اىششمي .
Bercerita Ibn Humaid Ia berkata: menyampaikan kepada kami, berkata: Yahya bin
Wadih dari Hasan bin Waqid dari Yazid al-Nahwi dari Ikrimah dan Hasan Basri,
(Janganlah kamu menikahkan orang musyrik itu (dengan wanita beriman) sebelum
mereka beriman), berkata Yazid : Allah mengharamkan wanita muslimah terhadap
pria-pria mereka, maksudnya pria musyrik. 84
Diakhir keterangannya, Ibn Jarir menafsirkan ayat
ىيابس ءايبر يجي غفشح ثئر اى هللا يذعا إى اىجخ إى اىبس ىئل يذع أ
يززمش ىعي
‚ Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintahnya)
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran ‚. (QS.Al-Baqarah/ 2:221)
Menurut ayat ini, Al-Tabari menerangkan, kata (ىئل ,(أdimaksudkan kepada mereka baik wanita musyrik maupun pria
musyrik telah diharamkan bagi orang Islam untuk dinikahi karena
alasan, mereka akan slalu mengajak kepada jalan ke Neraka, yakni
perbuatan-perbuatan yang membawa kepada sebab-sebab masuk
neraka, karena itu bagian dari, ajakan-ajakan orang kafir, yaitu kufur
kepada Allah dan kepada ajaran yang dibawa Rasul-Nya. Kemudian,
ditutup ayat (بإذنه ), adalah izin Allah SWT untuk menjadi peringatan
99
dan ingat ajaran sebagai perintah untuk berbuat baik dan jalan
menuju ke surga karena izin-Nya. Untuk tidak melakukan ajakan-
ajakn mereka, termasuk menikahi pria atau wanita mereka.85
2. Al-Jas}a>s} ( w. 370 H ), Dalam kitabnya, Tafsir Ahka>m Al-Qur’a>n
Al-Jas}as},86
menafsirkan teks QS.Al-Baqarah/2:221[ ال رنحا
bahwa ia juga sependapat dengan Para Mufassir ,[اىششمبد حز يؤ
pendahulunya, seperti, Ibn Jari>r al-T}abari, yang mengharamkan pria
muslim menikahi wanita musyrik, yang bersumber dari riwayat Ibn
Abba>s r.a.
حذثب جعفش ث حذ اىاسط قبه : حذثب جعفش ث حذ ث اىيب قبه :
حذثب أث عجيذ قبه : حذثب عجذ هللا ث صبىح , ع عبيخ ث صبىح , ع أث
( قبه : يؤمن حتى المشركات تنكحوا وال طيحخ , ع اث عجبس ف قى : )
حصنات [ ث اسز أو اىنزبة فقبه : كتاب أوتوم م ذ وم إذم قبلكم موه سافح غ ت حصن أجوته ءمت ت ت خذي وال ] أخدم
Bercerita kepada kami Ja‟far bin Muhammad al-Wasit}i, berkata : Bercerita kepada
kami Ja‟far binMuhammad bin al-Yaman, ia berkata : bercerita kepada kami Abu
Ubaid, berkata, bercerita kepada kami Abdullah bin S}aleh, dari Muawiyah bin
Saleh, dari Abi T}alhah, dari Ibn Abbas r.a. Allah S.W.T berfirman ( Wala> Tankihu> al-Mushrika>t ….), berkata : Ibn Abbas, lalu Allah S.W.T mengecualikan mereka
wanita Ahl al-Kitab, dengan firmanNya, (Wal Muh}s}ana>tu Min al-Zi>na Utu> al-
Kita>ba min Qablikum…).87
Keterangan ayat di atas, menurut al-Jas}a>s} setuju dengan Para
Mufassir, yang membolehkan pernikahan dengan wanita Ahl al-Kita>b
sebagai bentuk pengecualian QS. al-Maidah/5:5 terhadap QS. Al-
Baqarah/2:221, bahwa, mereka adalah wanita muh}s}ana>t, wanita
terpelihara kehormatan dari perbuatan zina.88 Penafsiran ayat [ ال
,telah jelas, menurut Al-Jasa>s, bahwa ,[ رنحا اىششمبد حز يؤ
makna al-mushrika>t itu adalah penyembah barhala. Pendapat itu,
dipahami, atas landasan QS.al-Baqarah/2:105 [ ايود الذين كفروا من أهل مكم الكتاب وال المشركين ب ن ر ن خير م ل عليكم م أن ينز ] dan QS.al-
Bayyinah/98:1[ ين حتى يأ تيهم لم يكن الذين كفروا من أهل الكتب والمشركين منفك
نة bahwa orang-orang musyrik, atau orang kafir serta ahl al-kita>b ,[ البي
berbeda statusnya. Pembatasan dengan wawu at}af dalam QS.al-
Bayinah/98:1 itu, membedakan status di antara mereka, karena itulah,
ahl al-Kita>b bukanlah musyrik, sedangkan orang musyrik adalah para
100
pelaku penyembah berhala.89
Tetapi alasan al-Jashas itu, berbeda
dengan para mufassir umumnya, yang menyatakan, bahwa
pengharaman pernikahan itu bukan atas dasar kemusyrikan,
melainkan berdasarkan Illah al-Shar’i>yah (alasan hukum), bahwa
ajakan orang-orang kafir itulah yang membawa kepada kekufuran,
atau sebagai jalan menuju neraka [ أىئل يذع إى اىبس ]. Maka dengan
alasan itu, sebagai contoh telah berlaku sebelum diutusnya Nabi
Muhammad SAW, bahwa pernikahan dengan orang musyrik
dihalalkan, hal itu terjadi di masa Para Nabi, seperti, Nabi Nuh a.s,
Nabi Lut } a.s, yang memiliki seorang istri yang ka>fir, [ ضرب هللا مثال للذين
نيا كفروا امرأت نوح وامرأت لوط كانتا تحت عبدين من عبادنا صالحين فخانتاهما فلم يغ اخلين عنهما من هللا شيئا وق ار مع الد يل ادخال الن ][ Allah membuat isteri Nuh
dan isteri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya
berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara
hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua
suaminya, maka kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka
sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "
Masuklah ke Neraka bersama orang-orang yang masuk
(Neraka)‟.QS.al-Tahri>m/66:10. Berdasarkan contoh itu pula,
pengharaman pernikahan dengan orang musyrik, bukan berdasarkan
kemusyrikan, melainkan atas dasar illah al-Shar’i>yah (alasan
syar‟i).90
Menurut al-Jas}a>s, bahwa landasan pengharaman penikahan itu
bukan sebagaimana umumnya para ulama tafsir, melainkan atas
alasan syar‟iyah, yaitu, ajakan kepada kekufuran.
3. Al-Baghawi ( w. 516 H/1122 M ), dalam Tafsir Ma’a>lim Tanzi>l
Al-Baghawi91
menafsirkan QS.al-Baqarah/2:221[ تنكحوا وال يؤمن حتى المشركات ] dengan menyebutkan asba>b nuzu>l ayat, yang
berkenaan Abu Marthad yang ingin menikahi seorang wanita
musyrik. Kemudian Rasulullah mendengar dan melarangnya, dengan
alasan kemusyrikan, dengan turun asba>b al-nuzu>l ayat.92
Jelas,
menurut pendapat Al-Baghawi tentang larangan pernikahan dengan
wanita musyrik, walaupun dengan asba>b al-nuzu>l ayat itu, bahwa
kemusyrikan sebagai alasan, pengharaman. Diberitakan dalam suatu
riwayat,93
bahwa ayat al-Baqarah di itu, telah di-nasakh dengan ayat
al-Ma>idah ayat 5, terhadap hak ahl al-kita>b [ والمحصنات من الذين ,Yang menjadi masalah, menjadi pertanyaan .[أوتوا الكتاب من قبلكم
101
apakah kemusyrikan yang dimaksudkan ayat, ditujukan kepada orang
yang mengingkari kenabian Muhammad SAW saja ? Pertanyaan itu
berawal dari penyebutan nasakh, terhadap ayat al-Baqarah tadi. Maka
sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut, menurut Abu Hasan Ibn
Faris yang menjawab, siapapun yang menyatakan Al-Qur‟an itu
bukan firman Allah, sungguh ia telah berbuat shirk. Menurut Qata>dah
dan juga Sa'i>d bin Jubayr, menyatakan maksud kata al-Mushrika>t adalah al-Watha>niyah (penyembah berhala).
94 Dengan demikian,
jelas, kemusyrikan itu sebagai alasan, pengharaman, kemudian, Al-
Baghawi sebagaimana pendapat mufassir sebelumnya, seperti, Ibn
Jari>r al-T}abari> dan juga al-Jas}a>s}, menjelaskan, ayat [ ؤمنة خير وألمة م شركة ولو أعجبتكم ن م maka lebih memilih budak wanita yang ,[ م
beriman, dengan alasan status beriman itu lebih baik dari
kemusyrikan. Karena alasan itu pulalah, Hudhaifah bin Yaman
memerdekakan seorang budak wanitanya yang beriman, yang
kemudian dinikahinya.
Al-Baghawi menafsirkan ayat ( تك حت وال تنكحوم منوم bahwa telah sepakat ulama, melarang menikahkan wanita ,( ؤ
muslimah dengan pria musyrik, karena alasan-alasan mereka yang
membawa kepada perbuatan-perbuatan menuju ke neraka, maka jika
dalam kondisi yang demikian, menikahi pria yang budak sekalipun
lebih utama, karena iman yang dimilikinya, alasan itulah Allah S.W.T
mengizinkan agar pernikahan dapat membawa segala kebaikan dan
jalan menuju surga.95
4. Al- Zamakshari > ( 467-538 H / 1075-1144 H ), Dalam Tafsi>r Al-
Kasha>f Al-Zamakhshari
96 menafsirkan, makna al-mushrika>t QS.al-
Baqarah/2:221[ ال رنحا اىششمبد حز يؤ ] adalah wanita harbiya>t (wanita musyrik yang dinikahi di medan perang).
97 Sebagian terdapat
pendapat yang menyatakan, terkait ahl al-Kita>b dan harbiya>t memiliki kriteria yang sama, karena itulah, al-Zamakshari
menganggap, ahl al-kita>b adalah musyrik, berdasarkan Firman Allah
SWT dalam QS. al-Taubah/9:30 (Waqa>lat al-Yahu>du ’Uzairubnullah Wa Qa>lat al-Nasha>ra al-Masi>hubnullah). Hal itu, sangat beralasan,
karena orang-orang Yahudi beranggapan Uzai>r sebagai anak Tuhan,
al-Masih menurut orang Nasrani anak Tuhan. Tetapi status ayat al-
Baqarah itu, telah di-nasakh dengan ayat al-Maidah/5:5, maka
102
kebolehan menikahi wanita ahl al-kita>b dibenarkan, dengan alasan,
ayat al-Maidah adalah tetap, tidaklah sebagai na>sikh atau mansu>kh,
mengutip pendapat Ibn Abba>s dan Auza>‟i.98
Diperkuat pernyataan
itu, dengan riwayat, bahwa Rasulullah SAW melarang menikahi
wanita musyrik.
Diriwayatkan, bahwa Rasulullah mengutus Marthad bin Marthad al-
Ghinawi ke Makkah, membebaskan seorang tawanan di sana. Terdapat di dalamnya
seorang wanita bernama Anaq, wanita itu mencintainya. Lalu datang wanita itu,
dan berkata : apakah anda akan menikahi saya? Marthad menjawab : ya, tetapi aku
harus, mendapat izin Rasulullah terlebih dahulu. Maka turun ayat [ ألخ ؤخ خيش ]
[ budak wanita beriman lebih baik ]. Demikian ayat [ ىعجذ ؤ ], karena, semua
manusia adalah sama sebagai hamba Allah, tidak memandang status, merdeka atau
sebagai budak. 99
Kemudian, Al-Zamakhshari> setelah QS.al-Baqarah/2:221 itu,
melalui kata ”amah ” [ ألخ ؤخ خيش ] dan ” ‟abd” [ ؤ ىعجذ ], tidak
lagi memahami sebagai budak, melainkan sebagai hamba Allah yang
beriman, yang tidak membedakan status merdeka atau sebagai budak
sahaya.100
Berdasarkan alasan ini, al-Zamakshari>, melarang
pernikahan dengan wanita-wanita musyrik, karena pernikahan dengan
mereka, membawa dampak negatif dalam pernikahan dan kehidupan
rumah tangga, bahkan membawa kepada kekufuran, yang mengajak
menuju jalan ke neraka. Demikian alasan-alasan yang dimaksudkan
kata ( أىئل), yang dimaksudkan sebagai isyarat sebagai larangan
menikahi pria musyrik dan musyrikah, karena alasan perbuatan
mereka yang slalu mengajak kepada kekufuran, selain ajakan kepada
permusuhan dan perang. Tetapi menikahi wanita muslimah dan
bagian ajaran yang disampaikan wali-wali Allah (orang-orang
beriman), mengajak slalu kepada ampunan dan menuju surga-Nya,
maka karena itulah perintah mentaati mereka, karena bagian dari cara
meraih keridaan Allah SWT. 101
Kesimpulan penafsiran ulama-ulama tafsir (periode klasik)
ini, yaitu, (1). Ibn Jari>r Al-T}abari, menyatakan larangan pernikahan
muslim dengan wanita musyrik/pria musyrik yang ditujukkan kepada
bangsa Arab yang tidak mempunyai kitab suci atau dengan alasan,
tidak adanya nasakh pada kedua ayat al-Baqarah/2:221 atau al-
Maidah/5:5, melainkan keduanya, diturunkan secara umum dan di-
ta’wi>l-kan secara khusus, karena itulah menikahi wanita ahl al-kita>b
dibolehkan dan tetap mengharamkan menikahi wanita Musyrik
103
(Bangsa Arab)(2).Tetapi al-Jasha>s menyutujui dengan pendapat
mufasir, yang membolehkan pernikahan dengan wanita Ahl al-Kita>b
sebagai bentuk pengecualian dengan QS. al-Maidah/5:5, bahwa,
mereka adalah sebagai wanita terpelihara kehormatannya dari
perbuatan zina(muh}s}ana>t), dan mengharamkan nikah dengan wanita
musyrik, penyembah barhala, (3). Al-Baghawi, sependapat dengan al-
Jas}as}, menyatakan, bahwa wanita al-Mushrika>t adalah al-
Watha>niyah (penyembah berhala).(4). Al-Zamakhshari, menyatakan,
makna al-mushrika>t adalah untuk wanita harbiya>t, yaitu wanita yang
dinikahi di saat perang, bahkan ahl al-Kita>b dan harbiya>t berstatus
sama. Karena itu menikahi wanita ahl-al-kita>b dan harbiya>t adalah
haram, karena sama-sama musyrik. Tetapi berbeda dengan wanita
Yahudi dan Nasrani, bahwa status menikahi wanita mereka
dibolehkan, berdasarkan QS. Al-Maidah/5:5.
Kemudian, pernikahan seorang muslim dengan wanita
musyrik atau dengan pria musyrik dalam perspektif ulama tafsir abad
pertengahan, akan dibahas dalam sub berikutnya.
E. Penafsiran Menurut Persfektif Ulama Salaf Abad
Pertengahan I ( Masa Kemunduran I 1250-1500 M ).
Islam mencapai puncak kejayaannya, di masa Daulah
Abbasiyah, yang dipimpin oleh khalifah Ha>run Al-Rashi>d (170-193
H/78-809 M), dan ibu kota saat itu, masih berada di Damashqus,
yang kemudian pindah ke Baghdad, Irak.102
Disanalah dibangun
perpustakaan besar, bernama Bait al-Hikmah. Berkembang pula ilmu
pengetahuan, baik umum, seperti, filsafat, logika, matematika, kimia
dan kedokteran, maupun pengetahuan agama, seperti, ilmu Al-
Qur'an, Qira‟at, al-Hadits, fiqh, kalam, bahasa dan sastra. Selain itu,
tumbuhnya ulama-ulama Imam Mazhab, seperti, Ima>m Abu> Hani>fah
(80-150 H/699-767 M), Imam Ma>liki (93-179 H), Ima>m Sha>fi'i (150-
204 H) dan Ima>m Hambali (164-241 H).103
Dan dalam kancah
keilmuan agama, terutama di bidang tafsir, maka tulisan ini akan
menyoroti perkembangan dan pemikiran karya-karya ulama tafsir,
diantaranya, Imam Fakhruddin Al-Ra>zi (w.606 H), al-Qurt}ubi (w.
671 H), al-Baid}a>wi (w.791 H), Jala>luddi>n al-Mahalli (864 H),
Jala>luddin al-Suyu>t}i (911 H), Ibn Kathi>r (w.774 H), al-Alu>si
(1270H).
104
1. Al-Imam Fakhruddi>n Al-Ra>zi> (w. 606 H / 1209 M), Tafsi>r Mafa>tih Al-Ghaib /Tafsi>r al-Fakhru al-Ra>zi/Tafsi>r al-Kabi>r.
Di awal tafsirnya, al-Imam Al-Ra>zi104
menjelaskan asba>b al-
nuzu>l ayat, mengenai Marthad bin Abu Marthad al-Ghanawi yang
ingin menikahi wanita musyrik, yang berakhir dengan larangan itu,
dengan turunnya ayat QS.al-Baqarah/2:221,ini.105
Pernikahan dengan
kriteria al-Mushrika>t menjadi perdebatan di kalangan sahabat, karena
diantara mereka ada yang tidak memasukan katagori ahl al-kita>b
kedalam kriteria musyrik, meskipun hal itu menuai perdebatan
kalangan sahabat.106
Para ulama tafsir, termasuk al-Ra>zi,
memasukkan kata al-mushrikat mencakup untuk semua orang-orang
kafir, termasuk ahl al-Kita>b. Dasar pendapat itu, bermula
berdasarkan atas alasan yang menurutnya QS. al-Taubah/9:30,
menyatakan, bahwa Uzeir adalah anak Tuhan menurut Yahudi, dan
al-Masi>h demikian menurut orang Nasrani adalah putra Allah.
Berdasarkan dua alasan itulah, al-Ra>zi menyatakan, orang-orang
Yahudi dan orang-orang Nasrani adalah musyrik, selain batalnya,
akidah mereka karena anggapan mereka, Allah itu ketiga dari trinitas 107
menurut QS. al-Maidah/5:73. 108
Selain itu juga, Al-Ra>zi>, menafsirkan kata al-mushrika>t yang ditujukkan hanya kepada wanita ,( ال رنحا اىششمبد )
penyembah berhala atau untuk semua orang-orang kafir dalam
pandangan umum, yang artinya, larangan menikahi orang-orang kafir
secara mutlak, baik untuk ahl al-kita>b atau non ahl al-Kita>b. Jika
pernyataan demikian, maka lafaz mushrik adalah untuk orang-orang
kafir atau penyembah berhala dalam pandangan yang umum, yang
menjadi larangan pernikahan dengan wanita-wanita musyrik.109
Dalam penjelasan pandangan al-Ra>zi, jika menikahi wanita
musyrik itu diharamkan, maka demikian maksudnya menikahi pria
musyrik lebih diharamkan. Karena statusnya sama, baik musyrik laki-
laki maupun musyrik perempuan.
2. Al-Qurt}ubi> (w. 671 H / 1273 M), dalam tafsirnya, al-Ja>mi’ Li Ahka>m Al-Qur’a>n
Al-Qurt}ubi110
menafsirkan QS. al-Baqarah/2:221, membagi
dua kelompok besar, Pertama (ال رنحا اىششمبد) yang terbagi kepada
tujuh masalah, sedangkan kedua (ال رنحا اىششمي), terbagi kepada
sepuluh masalah besar. Diawal penafsirannya, al-Qurtubi
menerangkan korelasi antara dua ayat al-Baqarah 221 dan ayat al-
105
Maidah 5, yang tidak hanya diterangkan dari sudut pandang al-Suddi,
melainkan juga menurut Muqa>til.111
Dalam penjelasan pertama,
penafsiran[ال رنحا اىششمبد], merujuk kepada riwayat Ibn Abba>s r.a,
yang menyatakan, bahwa ayat tersebut, berlaku untuk semua kafir
berdasarkan al-Baqarah/2:221, tetapi secara khusus telah di-nasakh
dengan QS.al-Maidah/5:5, maka status pernikahan dengan ahl al-
Kita>b dibolehkan. Beberapa ulama yang mendukung pendapat ini,
Malik bin Anas, Sufyan bin Said al-Thauri dan Abdurahman bin
Umar al-Awza>‟i, walaupun pendapat itu, tidak didukung oleh Ibra>him
bin Isha>q al-Harbi, yang menyatakan bahwa ayat QS. Al-
Baqarah/2:221 itu, sebagai na>sikh (penghapus), sedangkan QS. al-
Maidah/5:5 adalah mansu>kh (dihapus), maka menurutnya, status
hukum pernikahan dibatalkan untuk semua kafir, baik ahl al-Kita>b
maupun non ahl al-Kita>b. Pernyataan itu, juga disampaikan oleh Abu
Ja‟far al-Nuhha>s, yang menyitir pendapat Ibn Umar r.a melalui Na>fi’,
dengan anggapan perbuatan ahl al-Kita>b itu adalah syirik.112
Selain itu, al-Nuhha>s juga mengkritik pendapat Ibn Umar r.a
yang keluar dari pendapat Jumhur kalangan sahabat dan tabi‟in yang
sepakat membolehkan pernikahan itu dengan ahl al-kita>b.113
Lalu Ia
berkomentar dengan janggalnya alasan di atas yang dilontarkan Ibn
Umar r.a, ayat al-Baqarah 221 me-nasakh ayat al-Maidah 5, maka
suatu hal yang tidak logis dan tidak mungkin, karena Al-Baqarah
turun lebih dahulu dari al-Maidah, dan tidak mungkin yang terlebih
dahulu me-nasakh yang lebih akhir turunnya, atau yang datang
kemudian, oleh karena itulah, Al-Qurt}ubi> tidak sependapat dengan
Ibn Umar r.a, selain itu, komentarnya juga, terhadap suatu sikapnya
Ibn Umar r.a, yang tidak tegas terhadap kedua ayat di atas, antara
yang men-tahli>l (menghalalkan) atau yang meng-tahri>m (mengharamkan), dan tidak menyebutkan yang me-nasakh dari kedua
ayat tersebut, al-Baqarahkah yang na>sikh atau al-Maidah yang
mansu>kh ? melainkan hanya sebuah ungkapan saja, tanpa
ketegasan.114
Diakhir penjelasannya, al-Qurt}ubi, lebih berpihak pada
pendapat yang menurut mayoritas ulama, bahwa ayat [ ال رنحا
ditujukkan untuk penyembah berhala(watha>niyah) dan ,[اىششمبد
wanita-wanita maju>si, sedangkan mengenai wanita ahl al-Kita>b,
status kebolehannya telah jelas, pernikahan itu dihalalkan dengan
turunnya QS. al-Maidah/5:5.115
Al-Qurtubi melanjutkan penafsiran [ ال رنحا اىششمي حز
dengan menyatakan larangan menikahkan wanita muslimah ,[يؤا
106
dengan pria musyrik, dan tidak ada tempat untuk pernikahan
semacam ini, karena beralasan, bahwa dalam pernikahan harus ada
seorang wali [ .[tidak sah pernikahan tanpa wali][ال نب إال ثى
Pendapat ini, didukung kalangan sahabat, seperti, Umar bin al-
Khattab, Ali bin Abi T}a>lib, Ibn Mas‟ud, Ibn Abba>s, Abu > Hurairah,
dan juga kalangan tabi‟in, mereka adalah Said bin Musayyab, al-
Hasan Basri, Umar bin Abdul Aziz, Ja>bir bin Zaid, Sofyan al-Thauri,
Ibn Abi> Laila, Ibn Syubrumah, Ibn Muba>rak, kalangan al-Sya>fi’iyah,
Ubaid bin Hasan, Ahmad bin Hanbal, Abu Ubaid serta Ishaq bin
Ibrahim.116
Jadi dengan kata lain, bahwa al-Qurtubi, mengenai larangan
menikahi wanita musyrik menurut QS. Al-Baqarah 221 ini, statusnya
dihalalkan dengan alasan tahs}i>s} bagi wanita ahl al-kita>b berdasarkan
surat al-Maidah 5, sedangkan menikahkan wanita muslimah dengan
pria musyrik benar-benar mutlak diharamkan, dan tidak ada tempat
bagi laki-laki musyrik dalam pernikahan semacam ini, karena dalam
pernikahan ini, seorang wali sebagai syarat penentu sah tidaknya
pernikahan.
3. Al-Baid}a>wi> ( w.791 H /1191 M ), Dalam kitab Tafsirnya, Anwa>r al-Tanzi>l Wa Asra>r al-Ta’wi>l
Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Ali Al-Shaira>zi Abu>
Said Abu al-Khairi Nashi>ruddin Baid}a>wi dikenal dengan panggilan
Al-Baid}a>wi. Informasi perjalan hidup al-Baida>wi tak banyak yang
mengetahui, namun sedikit yang sampai kepada para pakar sejarah,
seperti yang pernah dijabat sebagai seorang hakim di kota Shaira>z.
Dalam berbagai disiplin ilmu, al-Baida>wi sangat menguasai, seperti
fiqh, logika (manti>q), bahasa Arab, dan tentu saja tafsir, selain
sangat mahir berdebat dan berdiskusi, perjalanan hidupnya, dihiasi
dengan penuh keilmuan, betapa tidak, karena selain Ia juga seorang
yang tekun beribadah, zuhud dari kehidupan dunia dan giat
menyampaikan ilmu. Dan karena itu juga, tidak berlebihan, apa yang
diungkapkan oleh Ibn Suhbah dalam kitabnya, al-Tabaqa>t, ia adalah
seorang penulis yang produkif, ulama terkemuka di negeri
Azerbaijan, sekaligus seorang guru dan syeikh di daerah itu.117
Al-Baid}a>wi>118
terhadap penafsiran QS.al-Baqarah/2:221 ini,
sependapat dengan Ibn Jarir al-T}abari, al-Baghawi dan juga al-
Zamakshari, yang menyatakan larangan pernikahan dengan wanita
musyrik( al-mushrika>t). Menurutnya, bahwa al-mushrika>t mencakup
107
kriteria kita>biya>t [ahl al-kita>b] yang statusnya juga disamakan
dengan pria musyrik, dan menikahi wanita kita>biya>t, dilarang
bedasarkan QS. Al-Taubah/9:30-31.119
4. Ima>m Al-Kha>zin ( w. 741 H / 1341 M ), Tafsir Luba>b al-Ta’wi>l Fi > Ma’a>ni al-Tanzi>l ( Tafsir al-Kha>zin )
Dalam pernafsirannya al-Kha>zin,120
terkait QS. Al-
Baqarah/2:221, tidak berbeda dengan para mufassir lainnya, melarang
pernikahan dengan wanita al-mushrika>t, yang berawal dari asba>b al-
nuzu>l, mengenai Abu Marthad bin Abu Martsad al-Gina>wi yang
ingin menikai wanita musyrik, lalu Rasulullah melarang dengan
turunnya ayat itu.121
Al-Kha>zin menjelaskan kata al-mushrika>t untuk
semua jenis kemusyrikan, penyembah berhala (watha>niyah ),
penyembah api (maju>si), penganut agama Yahudi dan Nasrani. Tetapi
diakhir keterangannya, al-Kha>zin mengecualikan larangan itu khusus
bagi wanita yang merdeka (al-hara>’ir) dari golongan ahl-al-kita>b
berdasarkan QS. al-Maidah/5:5, maka pernikahan dengan mereka
dibolehkan. Mengutip pendapat Ibn Abba>s r.a, keterangan al-Kha>zin
khusus bagi wanita ahl al-Kita>b berbeda dengan keterangan Qata>dah
yang menyatakan, bahwa kata al-mushrika>t ditujukan kepada orang-
orang musyrik Arab yang tidak memiliki kitab suci. Pendapat
Qatadah itu diakui Jumhur Ulama sebagai keterangan bahwa, kriteria
musyrik itu meliputi, katagori ahl al-Kita>b, pengikut Yahudi dan
Nasrani, penyembah berhala dan maju>si, berdasarkan QS. al-
Taubah/9:30,” Waqa>lat al-Yahu>du Uzairubnullah .....,Waqal>at al-Masi>hubnullah.....].
122
Demikian juga larangan itu berlaku untuk sebaliknya ( ال ا حز يؤ ششمي yaitu pelarangan itu berlaku bagi wanita ,( رنحا اى
muslimah yang ingin dinikahi pria musyrik, tanpa melihat status, baik
miskin ataupu kaya, maka hukumnya diharamkan, alasan larangan itu
dimaksudkan, untuk menghidari fitnah serta ajakan orang-orang kafir
yang slalu menyeru kepada kesesatan atau menuju ke neraka ( أىئل
Oleh karena itu, jika kondisi yang tidak mungkin atau .(يذعا إى اىبس
terpaksa, status budak sahaya yang beriman menjadi alternatif,
bahkan menjadi pilihan yang tepat layak dinikahi.123
Diakhir
keterangan, Al-Kha>zin mempertegas larangan itu, hanya ditujukkan
untuk wanita-wanita atau pria musyrik Arab Makkah penyembah
berhala.124
108
Beberapa keterangan di atas, kesimpulan ulama tafsir klasik
abad pertengahan I ini, dapat disimpulkan, bahwa menurut al-Ra>zi,
kata al-mushrika>t mencakup semua orang-orang kafir, termasuk ahl
al-Kita>b, berdasarkan QS. Al-Taubah/9:30, dengan pernyataan orang
Yahudi, Uzeir adalah anak Tuhan dan menurut pernyataan orang
Nasrani, al-Masi>h adalah anak Tuhan. Berdasarkan kedua alasan itu,
al-Ra>zi menyatakan, orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani
adalah musyrik, karena selain, batalnya akidah mereka yang
beranggapan, Allah itu adalah ketiga dari trinitas. Al-Qurt}ubi,
sejalan dengan pendapat Jumhur, yang menyatakan, al-mushrika>t ditujukkan untuk penyembah berhala (watha>niyah ), wanita-wanita
maju>si, sementara mengenai ahl al-Kita>b, jelas statusnya, bahwa
menikahi wanita mereka dibolehkan berdasarkan QS.al-Maidah/5:5.
Al-Baid}a>wi berpendapat, bahwa al-mushrika>t, QS al-Baqarah/2:221,
sesuai dengan pendapat al-T}abari, sejalan dengan al-Baghawi dan al-
Zamakshari> yang menurut mereka, lafaz al-musyrika>t meliputi
kriteria kita>biya>t [ahl al-kita>b], karena itulah, menikahi wanita
kita>biya>t sama statusnya dengan menikahi wanita musyrik
berdasarkan QS.al-Taubah/9:30-31. Sedangkan menurut al-Kha>zin,
kata al-mushrika>t untuk semua jenis kemusyrikan, penyembah
berhala (watha>niyah), penyembah api (maju>si), Yahudi-Nasrani, dan
sebagainya. Walaupun demikian, tetap setuju dengan pendapat para
ulama, yang mengeculikan wanita merdeka (al-hara >’ir) dari kalangan
ahl-al-kita>b berdasarkan QS.al-Maidah/5:5. Maka, dengan demikian
kesimpulan mereka, menikahi wanita atau pria musyrik apapun
jenisnya, diharamkan, sedangkan menikahi wanita ahl al-Kita>b
statusnya dibolehkan.
Penjelasan selanjutnya, adalah mengenai pernikahan pria
muslim dengan wanita musyrik, yang akan dijelaskan menurut
beberapa penafsiran ulama-ulama tafsir klasik abad petengahan II.
F. Perspektif Penafsiran Ulama Tafsir Abad Pertengahan II
(Masa Kemajuan atau Kemunduran II/1500-1800 M)
Karya-karya tafsir ulama-ulama abad pertengahan ini, seperti,
Ibn Kathi>r (w.774 H/1372 M), Jala>luddi>n al-Mahalli>
(w.864H/1455M), Jala>luddin al-Suyu>t}i> (w. 911 H/ 1505 M ), al-Alusi
(w. 1270 H) dan sebagainya, maka perlu dipelajari dan dikaji terus,
demi mengetahui pendapat, pemikiran, latar sejarah-sosial, serta
metodologi tafsir mereka, tarkait pernikahan pria muslim dengan
109
wanita al-musyrika>t, yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah/2:221,
yaitu :
1. Ibn Kathi>r ( w. 774 H /1372 M ), dalam Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m
Dalam keterangannya, Ibn Kathi>r125
terhadap tafsir QS. al-
Baqarah/2:221, bahwa Allah S.W.T telah mengharamkan pria
mukmin menikahi wanita musyrik kalangan penyembah berhala,
walaupun keterangan itu, masih bersifat umum.126
Ibn Kathi>r
memaknai kata al-mushrika>t, mancakup semua musyrik dari
kalangan ahl al-kita>b dan watha>niyah, yang kemudian dikecualikan
di antara mereka wanita-wanita ahl al-kita>b, berdasarkan firman-Nya
QS. al-Maidah/5:5.127
Pendapat Ibn Kathi>r itu membenarkan pendapat
Ibn Abba>s r.a yang disampaikan oleh Ali bin Abi T}alhah, yang juga
disepakati kalangan sahabat lain, seperti, Muja>hid, Ikri>mah, Said bin
Jubayr, Makhu>l, al-Hasan, D}ah}a>q, Zaid bin Aslam, Rabi’ bin Ana>s
dan lain-lainya.128
Ibn Kathir juga menjelaskan penggalan ayat al-Baqarah ( ال
yang menyatakan, bahwa status larangan ,(رحنا اىششمي حز يؤا
pernikahan berlaku antara wanita mukmin dengan pria musyrik yang
statusnya disamakan dengan larangan menurut QS. al-
Muamtahanah/60:10 ( حو ى ال يحي ى mereka tidak halal)(ال
lagi bagi orang kafir itu dan orang-orang kafir tidak halal pula bagi
mereka). Alasan larangan itu, bahwa seorang laki-laki (sebagai
budak sekalipun) yang beriman lebih baik dan menjadi pilihan,
walaupun statusnya, kaya raya, tetapi ia tidak beriman. Kemudian
diakhir penjelasannya Ibn Katsir, menutup penjelasan dengan
penggalan ayat ( أىئل يذع إى اىبس هللا يذعا إى اىجخ اىغفشح ثئر ),
bahwa, dampak negatip hubungan pernikahan, membawa kepada
cinta dunia dan melupakan kehidupan akhirat.129
2. Jala>luddi>n Al-Mahalli ( w. 864 H / 1455 M ), Tafsi>r Jala>lain
Jala>luddin al-Mahalli130
dan juga Jala>luddin131
al-Suyu>t}i
sebagai muridnya,132
menafsirkan QS.al-Baqarah/2:221 ini,
sependapat para mufassir umumnya, melarang seorang muslim
110
menikahi wanita musyrik yang disamakan dengan wanita ka>fir, walaupun status wanita itu, kaya raya, cantik dan merdeka, kendati
demikian, menikahi budak wanita menjadi pilihan utama. Tetapi
larangan tersebut, tidak berlaku lagi bagi wanita ahl al-kita>b,
berdasarkan ayat al-Maidah/5:5.133
Demikian juga, kedua Jala>luddin
itu, menjelaskan larangan laki-laki kafir (al-Kufa>r), menikahi wanita
muslim [ال رنحا اىششمي], dengan alasan, untuk menghidari ajakan-
ajakan yang membawa kepada kekufuran yang menuju jalan ke
Neraka ( يذعا إى اىبس), dan landasan dakwah Islam mengajak
kebaikan dan menyerukan jalan ke Surga. Maka menikahi pria
musyrik juga dilarang.134
Sebenarnya, maksud kedua Jala>luddin itu, ingin mengatakan
larangan menikahi wanita musyrik dan juga pria musyrik.
3. Jala>luddin Al-Suyu>tti ( w. 911 H/1505 M ), Tafsi>r Al-Du>rr Manthu>r Fi> Tafsi>r Bi Al-Ma’thu>r.
Jala>luddin Al-Suyu>t}i135
dalam menafsirkan, makna al-mushrika>t QS.al-Baqarah/2:221, seperti yang dikutip Ibn Abi
Ha>tim yang bersumber dari Muqa>til Ibn Hayya>n.136
أخرج ابن أبى حاتم , وبن أبى حاتم , وابن المنذر عن مقاتل بن حيان قال : نزلت هذه األية فى أبى مرثد الغنوى , استأذن النبى صلى هللا عليه وسلم , فى عناق أن يتزوجها , وكانت ذات حظ من جمال , وهى مشركة , وأبو مرثد
وال تنكحوا [عجبنى , فأنزل هللا :يومئذ مسلم , فقال : يا رسول هللا , إنها تشركة ولو أعجبتكم ن م ؤمنة خير م ] المشركات حتى يؤمن وألمة م
Dikeluarkan Ibn Abi Hatim dan Ibn al-Munzir dari Muqatil bin Hayyan, berkata :
diturunkannya ayat ini, berkaitan dengan Abi Martsad al-Ghanawi, yang izin
kepada Rasulullah menikahi seorang wanita bernama, ‛ Anaq ‛. Wanita itu adalah
wanita cantik dan menarik tetapi Ia musyrik, sedangkan Abu Marsad sebagai
seorang muslim, menyatakan ungkapannya kepada Rasul : Wahai Rasulullah, Ia
wanita yang cantik dan menarik. Maka Allah menurunkan ayat, ‛ Wala> Tankihu>
al-Mushrika>ti Hatta Yu’minna, Wala’matun Mu’minatun Khairun min Mushrikatin Walau ’Ajabatkum ....”. [ Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu].
111
Penafsiran al-Suyut}i bersumber dari sekumpulan athar
(riwayat) yang dikutipnya dari beberapa sumber, baik dari Ibn Jari>r,
dari Abu > Daud, Al-Baihaqi, dan juga al-T}abra>ni yang asalnya
bersumber dari Ibn Abbas r.a, yang kemudian menurutnya, beberapa
larangan pernikahan itu masih bersifat umum. Tidak terdapat
pendapat secara pribadi atau bentuk analisa atas tafsirannya,
melainkan al-Suyuti, hanyalah membolehkan penikahan pria muslim
dengan wanita ahl al-kita>b, berdasarkan QS. Al-Maidah/5:5.
Sehingga berdasarkan ayat ini, dan didukung dengan beberapa
sumber, bahwa menikahi wanita ahl al-kita>b dihalalkan, dengan
alasan pengecualian.137
Tetapi maksud wanita musyrik yang
dimaksudkan QS.al-Baqarah/2:221 itu belum terungkap dengan jelas?
Akan tetapi beberapa keterangan Al-Suyu>t}i itu, sebagaimana yang
dikutipnya dari beberapa riwayat-riwayat, seperti dari Al-Baihaqi
dalam sunan-nya, menyebutkan, bahwa menurut Said bin Zubayr,
maksud wanita musyrik adalah penyembah berhala (ahl al-Awtha>n ),
selain itu Muja>hid menyatakan, bahwa wanita Musyrik adalah yang
berasal dari penduduk Makkah, dan berbeda lagi dengan pendapat
Qata>dah, yang menyatakan, bahwa mereka wanita musyrik Arab
yang tidak memiliki kitab suci.138
Tetapi pendapat-pendapat ulama di atas, menurut keterangan
al-Suyuti ditentangnya dengan pendapat Ibn Umar r.a, selain tidak
sependapat juga dengan ayahnya [Umar bin al-Khattab r.a], yang
menyatakan, bahwa menikahi wanita musyrik diharamkan, karena
hal itu suatu perbuatan syirik yang terbesar.139
4. Al-Alu>si> ( w. 1270 H ), dalam tafsirnya, Tafsi>r Ru>h al-Ma'a>ni F>i> Tafsi>r al-Qur'a>n al-Az}i>m Wa al-Sab'u al-Matha>ni.
Al-Alu>si>140
menafsirkan QS. Al-Baqarah/2:221, menyebutkan
seba>b al-nuzu>l ayat yang disampaikan Al-Suddi yang bersumber dari
Ibn Abba>s r.a, mengenai kasus Abdullah bin Rawa>hah salah seorang
majikan yang sangat marah dengan salah seorang budak wanitanya,
hingga terdengar Rasulullah SAW yang berujung pada keinginan
untuk menikahinya. Rasulullah setelah mendengan dan bertanya
prihal wanita itu, ‛ Bagaimana keadaan ia, wahai, Abdullah ?
Abdullah bin Rawahah menjawab : Ia berpuasa, shalat, dan
melakukan wudhu’ dengan baik, bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah, bersaksi bahwa engkau adalah utusan-Nya, maka Nabi SAW
112
berkata : Wahai, Abdullah dia adalah wanita shalehah, Ia beriman.
Lalu Abdullah berkata : Demi Tuhan yang mengutusmu wahai
Rasul, saya pasti akan memerdekakan dia dan menikahinya.
Abdullah menempati janjinya itu lalu menikahinya, walaupun desas-
sesus masyarakat mengecamnya, dengan ejekan-ejekan, sungguh
Abdullah telah menikahi budak wanitanya, yang tujuannya ingin
mengambil keturunan dari mereka. Maka Allah S.W.T menurunkan
ayat QS.al-Baqarah/2:221 ini.141
Al-Alusi mengutip riwayat al-A’ma>shi, menyebutkan, bahwa
ayat di atas merupakan larangan menikahi wanita-wanita musyrik
selain ahl al-kita>b, karena itu bersadasarkan firman Allah SWT
QS.al-Bayyinah/98:1, bahwa menikahi wanita ahl al-kita>b
dibolehkan, dengan menjelaskan kedudukan ’at}af, dalam QS al-
Bayinah itu, yang memiliki batasan tertentu, dan menurut penjelasan
Ibn Humaid dari Qata>dah, bahwa al-Mushrika>t di sini adalah wanita
bangsa Arab yang tidak memiliki kitab suci. Dan menurut riwayat
Hamma>d, yang bertanya kepada Ibrahim bin Ishaq mengenai hal
menikahi wanita Yahudi dan Nasrani, Ibrahim hanya menjawab,
tidak mengapa, lalu Hamma>d kembali bertanya, bukankah Allah
telah melarang pernikahan dengan wanita musyrik dengan firman-
Nya,[وال تنكحوم متكات], Ibra>him menjawab : hal itu berlaku untuk
wanita maju>si dan penyembah berhala. Muja>hid dan al-Hasan
menyebutnya, telah di-nasakh di dalamnya wanita ahl al-kita>b,
sebagaimana mengikuti sebagian mazhab di antaranya, Abu> Hani>fah,
tetapi menurut kalangan al-Shaf>i’iyah menyatakan, itu bukan nasakh
melainkan takhs}is} .142
Diakhir, al-Alusi juga, menjelaskan penggalan ayat QS. Al-
Baqarah 221 ( وال تنكحوم متك حت ؤنوم ), yaitu pelarangan
menikahkan wanita beriman dengan pria ka>fir, baik sebagai ka>fir
kita>bi (ahl al-kita>b) atau bukan, apakah statusnya sebagai pria
beriman atau budak yang merdeka. Alasan itu, menurut al-Alu>si,
karena semua orang-orang muslim menjadi syarat sebagai wali
dalam suatu pernikahan. Berbeda dengan pandangan orang-orang
musyrik, karena itu Islam menolak pernikahkan pria musyrik dengan
wanita muslimah, dan membolehkan menikah dengan seorang budak
pria yang beriman, walau statusnya lebih baik dan mulia. Karena itu,
maksud kata (أؤئك) adalah sebagai alasan, menghindari segala bentuk
ajakan mereka, baik berupa perkataan ataupun perbuatan, apalagi
113
atas dasar kecintaan yang membolehkan menikahi mereka baik laki-
laki maupun wanita {[mushriki>n atau mushrika>t].143
Beberapa penafsiran ulama tafsir abad ini, dapat disimpulkan,
bahwa penafsiran para ulama tafsir klasik abad pertengahan II,
diantaranya, menurut Ibn Kathir, melarang pria mukmin menikahi
pria/wanita musyrik [penyembah berhala], tetapi keterangan itu,
hanya bersifat umum, kemudian mengkhuskan wanita ahl al-kita>b,
dan boleh menikahai wanita mereka. Demikian menurut Jala>luddi>n
Al-Mahalli dan Jala>luddi>n al-Suyu>t}i, pendapat keduanya
mengharamkan wanita musyrik, walaupun membolehkan menikahi
wanita ahl al-kita>b. Sejalan dengan itu, juga al-Alusi, menyatakan
hal yang sama, melarang menikahi wanita-wanita musyrik selain ahl al-kita>b.
Keterangan-keterangan pendapat ulama di atas, tidaklah
terdapat pergeseran kriteria makna al-musyrika>t dalam pandangan
umum para ulama tafsir di abad pertengahan ini, akan tetapi
penafsiran-penafsiran selanjutnya, akan dilihat bagaimana menurut
ulama-ulama tafsir abad modern-kontemporer.
G. Persfektif Penafsiran Ulama Tafsir Modern-Kontemporer
( Mulai 1800 M-hingga sekarang )
Tinjauan perspektif ulama tafsir modern-kontemporer,
diperlukan untuk memahami pemikiran, latarbelakang, sejarah-sosial
kehidupan para ulama tafsir, yang diperkirakan beberapa karya-karya
mereka muncul, sejak tahun 1800 M hingga sekarang.144
Sejalan
dengan itu, perlu mengetahui penyebab atas terjadinya perubahan
serta perbedaan-perbedaan penafsiran terhadap ayat-ayat penikahan
beda agama. Beberapa Para Mufassir yang akan di teliti pendapatnya,
di abad modern-kontemporer ini, di antaranya, mereka adalah
Muhammad Abduh (w. 1332 H/1905 M), Muhammad Rashi>d Rid>a}
(w. 1354 H/1935 M), Al-Mara>ghi (w. 1371 H/1945 M), Sayyid Qutb
(w. 1386 H/1966 M), Ali Al-S}a>bu>ni (w. 1406 H/1986 M), dan masuk
para ulama tafsir yang muncul sekitar abad 20-an Masehi145
atau
sekitar abad 14 H, dan mereka di antaranya, Abu>al-'Ala> Al-Maudu>di
(w. 1979 M), Sheikh Muhammad Shaltu>t (w. 1963 M), dan
sebagainya.
114
1. Muhammad Abduh (1266-1332 H/1849-1905 M) dan
Muhammad Rashi>d Rid}a> ( 1282-1354 H/1865-1935 ), dalam
kitabnya, Tafsir Al-Mana>r Bermula dari hasil karya kedua tokoh tafsir modern-
kontemporer ini, yaitu Muhamad Abduh146
dan Rashi>d Rid}a> 147
yang
sangat populer dengan nama kitabnya, Tafsi>r Al-Mana>r,148 yang
awalnya merupakan sebuah diktat perkuliahan yang disampaikan
Muhammad Abduh di Universitas Al-Azhar,149
kemudian setelah
wafat, dilanjutkan dan disusun kembali karya tersebut oleh muridnya,
Muhamad Rashi>d Rid}a>.150
Menurut Rashi>d Rid}a dalam penafsiran
ayat ( وال تنكحوووم مووتكات حتوو ووؤ ), QS.al-Baqarah/2:221, sejalan
dengan penafsiran al-Alu>si>, yang menyatakan bahwa keterangan al-
Suyu>t}i berbeda dengan al-Wahidi.151
Menurutnya, dalam riwayat al-
Wa>hidi, menyebutkan, ayat al-Baqarah/2:221 itu turun mengenai Abu
Marthad, sementara menurut al-Suyu>ti menyebutkan mengenai
Abdullah bin Rawahah terkait surat al-Nur/24:3[ ال ونك إال زمن وأ أو مزمنو
,Analisa Rashi>d Rid}a membenarkan keterangan al-Alu>si .[ووتكأ
bahwa sebaik-baik keterangan itu adalah menurut al-Suyuti yang
telah mengikuti al-Wa>hidi dengan jalur Ibn Abbas r.a, prihal Abu
Marthad yang ingin menikahi wanita al-mushrika>t, sedangkan
keterangan al-Suyu>t}i prihal Abdullah bin Rawa>hah tentang seorang
budak wanita yang ingin dinikahinya karena telah beriman.152
Rashi>d
Rid}a> memaknai, kata al-mushrika>t untuk wanita bangsa Arab yang
non ahl al-kita>b, yang menurut sebagian para ulama berpendapat
kriteria [al-mushrika>t ]masih bersifat umum, mencakup ahl al-Kita>b,
karena di antara sebagian mereka adalah musyrik[Subhanahu Ama> Yushriku>n], QS.al-Taubah/9:31, karena landasan kemusyrikan itu
ditunjukkan dalam QS.al-Nisa'/4:48 (Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar)(QS. Al-Nisa’/4:48).
Berbeda dengan pendapat mayoritas ulama yang menyatakan,
bahwa maksud kata [al-mushrika>t ] itu untuk wanita bangsa Arab
yang tidak memiliki kitab suci, karena atas dasar itulah gelar
’musyrik’ diberikan kepada mereka, sebagaimana menurut QS. al-
Baqarah/2:105 dan QS. al-Bayinah/98:1. Dan atas dasar gelar itu
pulalah, kedua ayat tersebut, kata [al-mushrika>t ] mencakup ahl al-
115
kita>b dan juga non ahl al-kita>b.153
Menurut ungkapan di atas, Rashi>d
Rid}a menyatakan, bahwa ayat-ayat yang disebutkan tadi, sepadan
dengan perintah kebolehan menikahi wanita ahl al-Kita>b,
sebagaimana diperintahkan menurut ayat ( والمحصنننات مننن المؤمنننات
QS.al-Maidah/5:5. Karena ayat (والمحصننات منن النذين أوتنوا الكتناب منن قنبلكم
al-Maidah itu turun setelah turunnya ayat al-Baqarah, maka benar,
bagi yang menyatakan, bahwa lafaz [al-mushrika>t ] masih umum,
mencakup wanita ahl al-kita>b, lalu statusnya di-nasakh atau di-tah}s}i>s} (pengkhususan) dengan turunnya ayat al-Maidah. Suatu hal yang
bertentangan dengan pendapat sejumlah ulama tafsir pada umumnya,
yaitu mengenai pernyataan bahwa, ayat al-Baqarah/2:221 itu telah
me-nasakh ayat al-Maidah/5:5. Juga menyalahi kesepakatan, bahwa
ayat al-Baqarah itu lebih dahulu turun dari ayat al-Maidah, dan suatu
yang tidak masuk akal, yang lebih dahulu turun me-nasakh yang
akhir atau yang datang kemudian. Juga anggapan ulama, yang
menta’wilkan, bahwa ayat al-Maidah dikhususkan untuk wanita ahl al-kita>b yang telah beriman. Semua pandangan yang dimaksudkan
itu keliru dan tidak berlasanan atas sesuatu yang dihilangkan
(mah}dhu>f), karena wanita musyrik jika telah masuk Islam halal
dinikahi atas kesepekatan ulama (ijma’ ulama), tetapi hal itu berlaku
ketika sebelum diturunkan ayat, jika demikian kemudian dibenarkan
pendapat-pendapat itu, maka apalah faedahnya disebutkannya
setelah diturunkannya ayat, dan karena itu tidaklah beralasan
pelarangan menikahi wanita ahl al-kita>b atas pandangan tersebut,
menurut Rashi>d Ridh}a.154
Kemudian Rashi>d Rid}a, dalam menafsirkan penggalan ayat
اا) حزا يؤ شاشمي ال رنحاا اى ), bahwa menikahkan wanita beriman
dengan pria musyrik juga dilarang, karena alasan mereka tidak
kafa>’ah (tidak cukup), hingga mereka beriman. Pada saat yang
bersamaan, suatu hal yang tak bisa dihindari, menikahi pria yang
statusnya mukmin lebih baik dari pada menikah dengan pria kaya
atau berkedudukan, tetapi musyrik. Sejumlah ulama menyebutkan
pelarangan itu, karena alasan antara orang musyrik dan orang Islam
memiliki perbedaan keyakinan, maka berlaku larangan dalam
menjalin hubungan pernikahan, baik kepada pria atau wanita
mereka. Sementara menikahi wanita ahl al-kita>b telah dibolehkan
dengan turunnya ayat al-Maidah 5, walau tidak bersepakat ulama
mengenai pernikahan pria ahl al-kita>b dengan wanita muslimah.
116
Menurut Rashi>d Rid}a, larangan itu, telah disepakati sejumlah ulama,
baik menurut al-Sunnah ataupun Ijma’.155
Pendapat Rashid Rida sebenarnya, dapat dinyatakan, bahwa
kriteria musyrik yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 221
itu berbeda menurut al-Maidah ayat 5, karena kriteria musyrik itu
bukanlah ahl al-Kita>b, melainkan wanita-wanita bangsa Arab yang
tidak memiliki kitab suci, dan menurutnya juga ayat itu berlaku
larangan bagi wanita muslimah menikahi pria musyrik.
2. Al-Mara>ghi>( 1300-1371 H )/( 1883-1952 M ), dalam kitabnya
Tafsir Al-Mara>ghi Penafsiran Al-Mara>ghi>
156 terhadap teks QS.al-Baqarah/2: 221,
[ شااشمبد حزاا يااؤ ال رنحااا اى ], sebagai suatu perintah pelarangan
menikahi wanita musyrik, dengan maksud [Janganlah kalian
menikahi wanita musyrik yang tidak memiliki kitab suci, hingga ia
benar-benar mereka beriman, membenarkan kenabian Muhammad
S.A.W.]. Kata, al-mushrikat dalam ayat ini, dipahami sama
maksudnya dengan teks QS. Al-Baqarah/2:105, dan QS. al-
Bayyinah/98:1, yang pada intinya, sebagai larangan menikah dengan
wanita musyrik selama masih dalam status kemusyrikan.157
Namun
pilihan al-Mara>ghi158
terhadap kebolehan menikahi wanita ahl al-kita>b jatuh pada kriteria wanita yang berstatus sebagai budak, bukan
pada wanita yang merdeka, menurut teks [ى أعججزن ألخ ؤخ خيش
,QS.al-Baqarah/2:221. Dalam hal ini diutamakannya status,[شاشمخ
karena status beriman memiliki nilai tertinggi dari segalanya, harta,
pangkat, yang merupakan pelengkap kehidupan semata. Oleh karena
itu, pemilihan agama (iman) menjadi alternatif dan sebagai pilihan
utama. Menurut Al-Mara>ghi nilai agama, merupakan hal yang urgen, selain menjaga harta, juga mempersiapkan generasi berakhlak mulia,
menjadi pilihan yang tepat. Lalu Ia mengutip sabda Nabi SAW
dalam riwayat Ibn Majah, menyatakan :
Jangan kamu menikahi wanita karena kecantikannya, karena barangkali
kecantikan itu akan menjerumuskan, dan jangan kamu menikahi mereka karena
hartanya, karena barangkali harta benda membuat kamu kelewat batas, tetapi
nikahilah karena agamannya, sesungguhnya budak wanita hitam meskipun tidak
cantik tetapi beragama itu lebih baik ‛. ( HR. Ibn Majah ). 159
117
Kemudian Al-Maraghi menafsirkan ayat ( حزا شاشمي ال رنحاا اى ااا yakni tidak menikahkan pria musyrik dengan wanita ,(يؤ
mukminah hingga mereka benar-benar beriman, dan benat-benar
meninggalkan kakafirannya. Pada saat yang sama mereka telah
dinyatakan sempurna (kafa>’ah). Lalu menikahi pria muslim walau
kedudukannya sebagai budak menjadi pilihan yang terbaik dari pada
pria musyrik yang statusnya kaya raya atau berkedudukan. Pada
penjelasan ( غفاشح ثئرا أىئل اى هللا ياذعا إىا اىجاخ إىا اىابس ياذع ), sebagai
inti ayat ini, isyarat larangan menikahi orang mushriki>n atau
mushrika>t, karena terletak pada ajakan-ajakan mereka yang
mengarah kepada jalan menuju neraka. Sedangkan dakwa Islam,
adalah perintah mentaati Allah dan ajaran-Nya, tidak mengikuti
ajakan mereka, dalam hal pernikahan, karena akibatnya kesengsaraan
di akhirat, dibanding karena ketaatan yang membawa kepada
ampunan serta jalan menuju surga. 160
3. Sayyid Qutb (1326-1386 H)/(1906-1966 M), dalam Tafsi>r Fi > Zila>l Al-Qur’a>n.
Sayyid Qutb161
dalam menafsirkan teks QS.al-Baqarah/2:221,
sejalan dengan Mufassir pada umumnya. Setelah bersepakat dengan
para ulama tentang pelarangan pria muslim menikahi wanita musyrik
juga sebaliknya larangan pria musyrik menikahi wanita muslimah.162
Berawal dari kehidupan sosial umat yang tidak didukung
dengan kondisi yang aman dan damai, maka datanglah Islam
memperbaiki kondisi itu, dengan misi diutusnya seorang Rasul
pembawa wahyu, Muhammad SAW, memperbaiki kondisi umat,
menciptakan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat,
dilarangnya kemusyrikan.163
Diturunkanya QS.al-Baqarah/2:221 ini,
sebagai aturan baru dalam sebuah pernikahan, melarang pernikahan
antara pria muslim dengan wanita musyrik yang pernah terjalin
sebelumnya, sebagai solusi, disepakatinya perjanjian Hudaibiyah
(pada abad 6 H) Allah S.W.T dengan turunnya QS. al-
Mumtahanah/60:10.164
Merupakan awal pelarangan pernikahan
muslim dengan wanita musyrik [kafir], sebagaimana dilarangannya
penikahan pria musyrik terhadap wanita mukmin. Berlandaskan
kecintaan kepada Allah SWT bagi dua insan berbeda keyakinan,
mengawali turunnya teks QS. Al-Baqarah/2:221[ ال رنحا اىششمبد حز
-yang bertujuan mengangkat derajar manusia di antara makluk ,[ياؤ
makhluk lainnya, merupakan alasan pelarangan pernikahan berbeda
118
agama, dan bertujuan menjadikan lebih bermartabat, sesuai dengan
manhaj (metode) Islam.165
Karena itu, dalam konteks ini, menikahi
wanita merdeka atau sebagai budak sekalipun, tidak menjadi
halangan, bahkan, Sayyid Qutb, menggarisbawahi status beriman,
menjadi syarat mutlak, menempati posisi yang utama, sesuai
kandungan teks QS. Al-Baqarah/2:221[ خيااش اا شااشمخ ألااخ ؤااخ ].
Kemudian dalam menafsirkan ayat (ااا حزاا يؤ شااشمي ال رنحااا اى ),
Sayyid Qutb, menekankan, bahwa larangan menikahi pria musyrik
itu, atas dasar dua alasan, yaitu, pertama, dua dakwah yang
besebrangan, kedua, peringatan sebagai tanda-tanda kebesaran Allah
atas ajaran agama ini. Dua dakwa yang besebrangan itu, bahwa
orang-orang musyrikin slalu mengajak kepada jalan ke neraka,
sedangkan orang beriman mengajak kepada jalan menuju ke surga,
dan tidak mungkin bisa bertemu antara dua jalan yang berbeda arah
atau berbeda keyakinan ? Jelasnya, hal itu sebuah pelajaran,
mengingatkan untuk menghindari pernikahan semacam ini.166
4. Muhammad Ali Al-S}a>buni ( w. 1406 H / 1986 M ), dengan
kitabnya, Tafsi>r Ayat al-Ah}kam Min Al-Qur'an. Penafsiran Ali Al-S}a>bu>ni
167 terhadap ayat QS. al-Baqarah/2:221,
menyatakan, bahwa makna al-mushrika>t adalah al-wathaniyah, yang
dipahami sebagai penyembah berhala, dan tidak memiliki sumber
ajaran agama samawi. Selain dikatgorikan sebagai ahl al-kita>b, yang
umumnya pengikut Yahudi dan Nasrani, diklaim juga sebagai
musyrik, menurut QS.al-Taubah/9:30-31.168
Ayat al-Baqarah di atas,
merupakan pelarangan atas pernikahan pria muslim dengan wanita
maju>si, karena mereka juga dinyatakan sama sebagai penyembah
berhala (wathaniyah). Pendapat ini, tentu bertentangan dengan
Jumhur Ulama diantaranya, menurut Empat Mazhab, yang
membolehkan menikahi ahl al-kita>b, dengan berargumentasi, dan
telah menjadi kesepakatan ulama menurut QS.al-Maidah/5:5, bahwa
lafaz al-mushrika>t tidak termasuk ahl al-kita>b, dan berdasarkan QS.
al-Baqarah/2:105 dan QS. al-Bayyinah/98:1, sebagaimana analisa
dari aspek bahasa dibedakan dengan adanya wawu at}af, yang ma’t }u>f dibedakan dengan yang ma’t }u>f ’alaih, sehingga menurut kaidah
bahasa Arab, kata, al-mushrika>t bukanlah bagian dari ahl al-kita>b.
Menurut pandangan Jumhur ulama salaf sebagai argumentasi mereka
terhadap alasan, yang bersumber dari Qata>dah, menyatakan bahwa
119
lafaz al-musyrika>t adalah wanita musyrik penduduk Makkah yang
tidak memiliki kitab suci.169
Ali al-Sa>buni berpendapat, dengan mengutip riwayat Hamma>d,
berkata Ia, bahwa, ”Saya pernah bertanya kepada Ibrahim prihal
menikahi wanita Yahudi dan Nasrani? Ia menjawabnya : la> ba’sa
[tidak apa-apa], lalu Ibrahim berkata lagi, bukankah Allah telah
berfirman [ Sesungguhnya mereka itu ,[ ال رنحا اىششمبد حز يؤ
adalah wanita maju>si dan penyembah berhala. Al-Sa>buni, juga
mengutip pendapat Jumhur, yang menyatakan atas penolakannya,
bahwa ayat al-Baqarah menasakh ayat al-Maidah, karena alasan ayat
al-Baqarah turun lebih awal dari ayat al-Maidah, dan menurut kaidah
yang benar, yang akhir turun menasakh yang awal dan tidak
sebaliknya. Selain itu, Ali Al-Sa>bu>ni juga berargumentasi, dengan
hadith Umar r.a, diriwayatkan bahwa, Hudhaifah menikahi wanita
Yahudi, Umar ra. berkrim surat agar Hudhifah menceraikan istrinya
itu, lalu dibalasnya, dengan katanya, apakah hal itu haram ? Umar r.a
menjawab: itu tidak haram, melainkan aku hanya kwawatir saja, bila
hal itu akan diikuti oleh umat ini dan menjauhi wanita muslimah.
Maka dengan ini, sebenarnya Umar r.a tidak ingin menyatakan
haram, melainkan hanya kwawatir saja. Berdalil dengan riwayat
Abdurahman binAuf, bahwa Rasulullah bersabda: (Sannu Bihim sunnata ahl al-Kitabi, ghairi Nakihi Nisa’ihim Wala A>kili Dhaba>’ihim )(Perlakukanlah wanita Maju>si itu seperti
memperlakukan Ahl al-Kita>b, tidak menikahi wanita mereka dan juga
tidak memakan hasil sembelihan mereka ), hal itu mengenai
Majusi.170
Diakhir keterangan itu, Al-Sa>bu>ni menyatakan, jika hal itu
tidak menunjukkan kebolehan, maka tidak berpaedah penyebutannya.
Lalu Ali Al-S}a>bu>ni juga mengutip pendapat al-T}abari, yang
mengatakan, bahwa Qata>dah, menyatakan ayat [ال رنحا اىششمبد ],
tidak masuk kriteria wanita ahl al-kita>b, dengan alasan yang bersifat
umum, dan tidak menyatakan naskh, karena alasan itulah mereka
bukanlah musyrik, dihalalkan menikahi wanita mereka berdasarkan
al-Maidah/5:5, dan atas dasar ayat ini pula, izin kebolehan menikahi
wanita ahl al-Kita>b. Mengutip hadith Nabi S.A.W, melalui riwayat
Umar bin al-Khattab, ” Bahwa orang-orang mukmin boleh menikahi
wanita Nasrani dan Pria Nasrani tidak boleh menikahi wanita-wanita
muslimah ”. 171
Sesungguhnya dengan hadith itu, Umar r.a ingin
meyatakan tercela, buka haram.
120
Kemudian al-Sa>bu>ni menjelaskan ayat ( حز ششمي ال رنحا اى ا ? pertanyaannya, bagaimana menikahi pria musyrik dilarang ,(يؤ
Ali al-Sa>bu>ni menjawab: bahwa maksud kata “mushrik” adalah setiap
orang kafir yang tidak beragama selain Islam. Maka mencakup
wathany (penyembah berhala), Maju>si, Yahudi dan Nasrani, dan
orang-orang yang keluar dari agama Islam, mereka dilarang untuk
dinikahi.172
Sebagai kesimpulan terhadap penafsiran Ulama tafsir modern-
kontemporer ini, Muhammad Abduh dan Rashi>d Rid}a>, menyatakan
larangan menikahi wanita musyrik bangsa Arab yang tidak memiliki
kitab suci, dan membolehkan menikahi wanita ahl al-Kita>b atau non
ahl al-Kita>b. Sementara menurut Al-Mara>ghi, menyimpulkan tidak
boleh menikahi wanita musyrik atau pria musyrik, selama masih
dalam status kemusyrikan, tetapi boleh menikahi wanita muh{s}ana>t, walau berstatus sebagai budak atau merdeka. Pendapat Sayyid Qutb,
sejalan dengan mufassir lain, Ia sepakat terhadap pelarangan pria
muslim menikahi wanita musyrik atau sebaliknya pria musyrik
menikahi wanita muslimah. Demikian menurut Ali Al-S}a>bu>ni
mengharamkan pria/wanita musyrik[penyembah berhala dan maju>si], dan membolehkan menikahi wanita ahl al-kita>b.
5. Abu> al-‘Ala> Al-Maudu>di ( 1321-1399 H/1903-1979 M ), dalam
Kitabnya Tafhi>m Al-Qur’a>n.
Menurut Abu ‘Ala> al-Maudu>di,173
sebagaimana yang dikutip
Abdul Muta’a>l, bahwa penyembah berhala dan kaum atheis adalah
kelompok yang amat jauh dari agama Islam, baik peradaban dan
kepercayaan. Maka menurutnya secara mutlak dilarang menikahi
perempuan salah satu di antara mereka.174
Tanpaknya pendapat
tersebut, sejalan dengan pendapat Jumhur ulama, yang menyatakan
bahwa, wanita musyrik [al-mushrika>t] itu bukan hanya sebatas
wanita bangsa Arab saja, melainkan mencakup semua wanita musyrik
non Arab dimana saja berada. Dengan kata lain, bahwa semua wanita
baik ia bangsa Arab atau non Arab selain ahl al-Kita>b, yakni baik
Yahudi dan Kristen tidak boleh dinikahi. Menurut pendapat ini,
wanita yang bukan muslimah dan bukan pula Yahudi atau Kristen
tidak boleh dinikahi oleh pria muslim apapun agama dan kepercayaan
mereka, seperti, Budha, Hindu, Konghuchu, Majusi, karena mereka
termasuk katagori musyrik. Bahkan keharaman itu tidaklah cukup
sampai disitu, bukan saja keharaman bagi wanita musyrik tetapi juga
121
bagi wanita atheis yang tidak percaya kepada Allah SWT, tetapi
percaya kepada alam ini sebagai suatu kekuatan yang kekal.175
6. Mahmud Shaltu>t ( 1893-1963 M ), Dalam Tafsir Al-Qur’an
Wa al-Mar’ah.
Muhammad Shaltu>t176
dalam fatwanya mengenai QS. Al-
Baqarah/2:221 ini, prihal pernikahan pria muslim dengan wanita
musyrik, atau pernikahan antara wanita muslimah dengan pria
musyrik, berdasarkan kesepakatan Jumhur statusnya dilarang. Hal itu
sudah menjadi kesepakatan semenjak zaman Nabi SAW hingga
sekarang, karena alasannya, bahwa kata‚ al-mushrika>t adalah mereka
yang tidak mempercayai adanya Tuhan dan tidak memiliki kitab
samawi. Berdasarkan alasan itu, bahwa Islam tidak mengenal adanya
hubungan pernikahan antara wanita muslimah dengan pria musyrik,
dan tidak membenarkan orang muslim menjalin hubungan pernikahan
dengan wanita musyrik apapun alasannya. Hal itu dipertegas dengan
Al-Qur‟an secara s}arikh (tegas), bahkan menjadi kesepakatan Jumhur
Ulama berdasarkan QS. al-Baqarah/2:221[ ال رنحا اىششمبد حز
.[يؤ177
Pendapat Shaltut juga diungkap oleh Muhammad Quraish
Shihab dalam, Wawasan Al-Qur’an, bahwa telah disetujui
perkawinan seorang muslim dengan wanita non muslim yang
berstatus ahl al-kita>b, dengan tujuan perkawinan tersebut membawa
misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga akan terkikis dari sang
istri rasa kurang senangnya terhadap ajaran Islam, dan perlakuan
suaminya yang baik, walaupun berbeda agama, menjadikan sang istri
lebih mengenal keindahan dan keutamaan Islam secara praktis
(amaliyah), sehingga dampak perlakuan baik sang suami adalah
ketentraman, kebebasan beragama, serta hak-hak lainya, dirasakan
sebaimana layaknya seorang istri. Tetapi Shaltut juga menegaskan,
jika sesuatu yang mejadi alasan di atas tidak tercapai dan tidak
terpenuhi, sebagaimana sering terjadi [di Barat], para ulama sepakat
untuk tidak membenarkan perkawinan semacam itu, termasuk mereka
yang sebelumnya membolehkan. Jika demikian, seorang wanita
muslim juga dilarang mengawini pria musyrik dengan alasan rasa
kwawatir akan berpengaruh dibawah kekuasaan sang suami yang
berbeda agama, maka perkawinan pria muslim dengan wanita ahl al-
kita>b, harus pula tidak dibenarkan, karena kwawatir terhadap anak-
anak di masa depan, terhadap nilai-nilai yang bertentangan dengan
122
ajaran Islam.178
Sedangkan menurut Muhammad Saltut, tentang
pernikahan wanita muslimah dengan pria non muslim (musyrik),
telah disepakati status hukumnya, sejak zaman Rasulullah SAW dan
kesepakatan Ulama (ijma„), hingga sekarang, secara mutlak
diharamkan, hingga tidak ada pengecualian lagi, menurut QS. Al-
Baqarah/2:221 ( ال رنحا ىششمي حز يؤا ). 179
Sebagai kesimpulan, dari pendapat-pendapat ulama-ulama
tafsir Modern-kontemporer yang diungkap di atas, yaitu, menurut al-
Maudu>di, bahwa penyembah berhala dan kaum atheis adalah
kelompok yang amat jauh dari agama Islam, baik peradaban dan
kepercayaan. Maka secara mutlak haram menikahi perempuan
mereka. Sejalan dengan pendapat Jumhur ulama, mereka menyatakan
bahwa, wanita musyrik [al-mushrika>t ] itu bukan hanya terbatas pada
wanita bangsa Arab saja, melainkan mencakup semua wanita musyrik
Arab dan non Arab [Budha, Hindu, Konghuchu, maju>si] dimana saja
berada. Muhammad Shaltut, menolak pernikahan pria muslim dengan
wanita musyrik, dan sebaliknya. Karena menurutnya kata‚ al-
mushrika>t dipahami mereka yang tidak mempercayai adanya Tuhan
dan tidak memiliki kitab samawi.
Berikutnya, beberapa pembahasan mengenai pernikahan pria
muslim dengan wanita musyrik, dan akan lebih fokus lagi, menurut
pandangan ulama-ulama tafsir Indonesia dan juga Cedikiawan
Muslim.
H. Perspektif Ulama Tafsir Indonesia dan Cendikiawan Muslim.
Dalam pembahasan ini, kajian tentang pernikahan beda agama
terhadap tefsir katya-karya ulama Indonesia, seperti, Haji Abdul
Malik Abdulkarim Amrullah (Hamka), Muhammad Quraish Shihab
dan sebagainya. Selain itu, masuk beberapa kalangan sarjana muslim
dan cendekiawan muslim Indonesia, yang turut berbicara tentang al-
Qur‟an. Maka dimasukkan dalam kedalam kajian ini, untuk
mengetahui pandangan ulama-ulama mereka, tentang pandangan
tafsir ayat-ayat pernikahan beda agama, termasuk, Nurchalis Madjid
dan sebagainya.180
1. Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah/Hamka(w. 1981 M),
dalam Tafsir Al-Azhar, 1973
Hamka,181
adalah di antara salah seorang Mufassir Indonesia
yang terkenal, penafsiranya dengan tegas terhadap QS. al-
Baqarah/2:221 ini, ( ششمبد حز يؤ نحا اى ال ر ), menyatakan, bahwa
123
telah menjadi suatu pilihan hidup (way of life), perintah berhati-hati
memilih teman hidup, yakni isteri, karena ia yang akan menjadi
teman hidup dan menegakkan rumah tangga bahagia, beriman, damai,
menurunkan anak-anak yang shaleh dan shalehah. Kemudian, Hamka
menyebutkan asba>b al-nuz>ul ayat ini, terkait dengan Marthad al-
Ghanawi terhadap pelarangan menikahi wanita musyrik.182
Alasan
Hamka atas larangan pernikahan ini, adalah jika seseorang telah
menikahi wanita non muslim, pasti akan berpengaruh terhadap
keharmonisan rumahtangga, terlebih setelah memiliki anak, maka
ungkapan terus terang sebelum mengawininya, jika telah masuk
Islam. "Dan sesungguhnya seorang hamba perempuan yang beriman,
lebih baik dari pada perempuan (merdeka) yang musyrik walaupun
sebagai budak, lebih baik dari pada perempuan (meredka) yang
musyrik, walaupun (kecantikan perempuan yang merdeka itu)
menarik hati QS. Al-Baqarah/2:221.183
Hamka menyebutkan sebab nuzu>l ayat ini, dalam riwayat yang
lain, bahwasanya sahabat Nabi yang terkenal gagah berani dalam
perang, Abdullah bin Rawahah namanya, Ia sangat marah, hingga
menempeleng budak perempuannya, walaupun ia hitam kulitnya,
tetapi amatlah shaleh. Penyesalannya, hingga terdengar oleh
Rasulullah, sampai terdetik dalam hatinya, ingin memerdekakan dan
mengawininya. Kemudian Abdullah mengawini budak wanitanya.
Maka turunlah ayat ini, menyatakan, bahwa budak perempuan yang
beriman lebih baik dari pada perempuan merdeka yang musyrik
walaupun ia cantik.184
Hamka menafsirkan penggalan QS. Al-
Baqarah/2:221, ( ى ششك خيش ؤ ىعجذ ا حز يؤ ششمي ال رنحا اى ,Dan janganlah kamu kawinkan laki-laki yang musyrik" (أعججن
sehingga mereka beriman. Sesungguhnya budak lelaki yang beriman
lebih baik dari pada seorang pria yang musyrik, walaupun kamu
tertarik padanya". Menurut Hamka, larangan menikahi laki-laki
musyrik itu, menjadi dasar larangan, jika rumahtangga yang
dibangunnya atas dasar perbedaan keyakinan, dan tidak akan ada
ketenteraman. Karena mereka akan mengajak kepada jalan masuk
neraka, baik itu neraka dunia atau neraka akhirat karena ajakan-
ajakan mereka yang tidak benar. Dan bila pernikahan membuahkan
keturunan (anak), tidaklah mungkin pertumbuhan jiwa seorang anak
itu sehat, karena dibawah asuhan sang ayah dan ibu yang berlawanan
haluan (keyakinan). Maka dengan ayat ini pula, Hamka menegaskan,
bahwa krietria kafa>'ah (cukup) antara laki-laki dan perempuan adalah
124
persamaan pendirian, persamaan anutan agama [Islam] yang menjadi
pilihan.185
Diujung ayat Hamka, menegaskan bahwa, (أىئل),
Sesungguhnya Allah mengajak kamu kepada surga dan
magfirah(ampunan) dengan izinNya, dan dijelaskan ayatnya ayat-
ayatNya kepada manusia suapay mereka ingat (QS/al-Baqarah/:221.
Ujung ayat menegaskan, ayat-ayat di sini berarti perintah. Tidak
boleh diabaikan. Sebab rumahtangga wajib dibentuk dengan dasar
yang kokoh, dasar iman dan tauhid, bahagia di dunia dan bahagia di
akhirat. Maghfirah dan anpunan Tuhan meliputi rumahtangga yang
demikian. Alangkah bahgia suami-istri karena persamaan pendirian
dalam menuju Tuhan, Alangkah bahagia, sebab dengan izin Allah
mereka akan bersama-sama menjadi isi Surga. Inilah yang wajib
diingat, jangan mengingat kecantikan perempuan, karena kecantikan
itu berapa lama akan pudar. Dan jangan terpesona dengan kekayaan
seorang laki-laki, karena kekayaan lelaki yang musyrik tidak ada
berkahnya. Dengan ayat ini, dijelaskan orang Islam tidak kufu dengan
segala orang yang mempersekutukan Allah dengan yang lain.186
Pada kesimpulannya, menurut Hamka, telah dilarang
pernikahan pria muslim dengan wanita musyrik menurut ayat al-
Baqarah di atas, sebagaimana juga berlaku larangan itu bagi pria
musyrik yang ingin menikahi wanita muslimah.
2. Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsi>r Al-Misba>h, 1990 M
Menurut Quraish Shihab,187
bahwa maksud QS. Al-
Baqarah/2:221, dalam memilih pasangan merupakan batu pertama
sebagai pondasi bangunan rumah tangga, karena ia harus sangat
kokoh, jika tidak, bangunan akan mudah roboh kendati hanya dengan
sedikit goncangan. Lerlebih, bila beban yang ditampungnya semakin
berat dengan kelahiran sang anak. Pondasi yang kokoh, bukan hanya
kecantikan dan ketampanan, karena keduanya bersifat relatif,
sekaligus cepat pudar, bukan juga harta, karena harta mudah di dapat
sekaligus akan mudah lenyap, bukan pula status sosial atau
kebangsawanan, karena yang inipun sementara, bahkan dapat lenyap
seketika.Tetapi pondasi yang kokoh adalah yang bersandarkan
kepada iman kepada Yang Maha Esa, Maha Kaya, Maha Kuasa, lagi
Maha Bijaksana. Karena itu wajarlah jika pesan pertama kepada
mereka yang bermaksud ingin membina rumah tangga adalah, dengan
ayat [ Janganlah kamu menikahi ” [ال رنحا اىششمبد حز يؤ
(menjalin hubungan dengan ikatan perkawinan) dengan wanita-
125
wanita musyrik, para penyembah berhala, sebelum mereka beriman
kepada Allah SWT, dan beriman kepada Muammad S.A.W,
sesungguhnya wanita budak, yang berstatus sosial rendah, menurut
pandangan masyarakat, tetapi mukmin, lebih baik dari pada wanita
musyrik, walaupun menarik hati, karena ia cantik, bangsawan, kaya,
dan lain-lain.188
Pengertian mushrik, menurut Quraish Shihab adalah siapapun
yang melakukan aktivitas bertujuan ganda, pertama percaya kepada
Allah dan kedua, percaya kepada selain Allah. Seseorang dikatakan
musyrik, jika percaya bahwa ada Tuhan bersama Allah, oleh karena
itu, orang Kristen yang percaya kepada trinitas adalah musyrik.
Tetapi menurut Quraish Shihab, hal itu berbeda dengan pandangan
umum para pakar al-Qur‟an, yang menurut mereka
kata‟mushrik‟atau‟mushriki>n‟, atau‟mushrika>t, digunakan untuk
kelompok tertentu yang mempersekutukan Allah. Mereka adalah para
penyembah berhala, yang ketika diturunkannya Al-Qur‟an masih
sangat banyak, khususnya yang bertempat tinggal di kota Makkah.
Dengan demikian istilah al-Qur‟an tentang mereka berbeda dengan
pandangan para ulama pada umumnya. Karena itulah, penganut
agama Kristen yang percaya kepada Tuhan Bapak dan Tuhan Anak,
yang menurut para ulama tafsir sebagai orang-orang yang
mempersekutukan Allah, namun menurut Al-Qur‟an mereka
bukanlah orang-orang musyrik, melainkan mereka dinamakan ahl al-
kita>b. Hal itu dapat dilihat dengan bunyi ayat-ayat al-Qur‟an, surat al-
Baqarah/2:105, surat al-Bayyinah/98:1. Kemudian, dalam kedua ayat
tersebut, ditemukan istilah ka>fir, yang dapat dipahami, pertama : ahl
al-kita>b , dan yang kedua, adalah orang-orang musyrik
(al-Mushrika>t dan al-Mushriku>n). Dua istilah yang digunakan al-
Qur‟an satu subtansi yang sama, yakni kekufuran dalam dua nama
yang berbeda, yaitu, ahl al-kita>b dan al-mushrika>t atau al-
mushriku>n. Dua perbedaan istilah tersebut, akan banyak dijumpai
dalam al-Qur‟an, di antaranya izin bagi pria muslim menikahi wanita
ahl al-kita>b yang dibolehkan menurut QS. Al-Maidah/5:5. Tetapi
bagi yang memahami kata mushrik, mencakup ahl al-kita>b, mereka
menilai bahwa ayat al-Maidah itu telah dibatalkan hukumnya oleh
ayat al-Baqarah di atas. Namun hal itu, sulit diterima, karena ayat al-
Baqarah lebih dahulu turunnya dari ayat al-Maidah, dan tidak logis,
sesuatu yang turun lebih dahulu membatalkan hukum yang datang
kemudian. Dan lebih sulit lagi diterima, yang berpendapat, bahwa
126
tidak ada ayat yang batal hukumnya. Belum lagi sekian banyak
riwayat yang mengatakan, dan sekian banyak bukti para sahabat dan
para tabi‟in, yang menikah dengan ahl al-kita>b, seperti Khalifah
Usman bin Affan, dan juga sahabat lain, yaitu T}alhah dan Zubair r.a
menikah dengan wanita Yahudi.189
Dengan demikian, menurut Quraish Shihab, terdapat istilah
lain yang tidak disebutkan di atas, yaitu ka>fir, bedasrkan QS al-
Bayyinah/98:1, istilah itu, menjadi dua kelompok yang berbeda, yaitu
ahl al-kita>b dan orang-orang musyrik. Perbedaan itu dipahami karena
adanya huruf at}af (wawu), yang menurut Quraish Shihab,
menghimpun dua hal yang berbeda, maka yang dilarang
mengawinkan wanita muslimah dengan pria musyrik, sedangkan
yang dibolehkan menurut ayat al-Maidah ini adalah mengawini
wanita ahl al-kita>b.190
Kemudian Quraish Shihab melanjutkan
tafsirannya, dengan penggalan ayat ( ىعجذ ا حز يؤ ششمي ال رنحا اى أعججن ى ششك خيش ؤ ), Dalam penggalan ayat pertama ( ال
نحا اىششمبد حز يؤر ), bahwa ayat ini penekanannya pada seorang
pria muslim. Sedangkan penggalan ayat kedua ini ( ششمي ال رنحا اى ا bahwa penekanannya terletak pada para wali. Para wali ,(حز يؤ
dilarang mengawinkan wanita-wanita dengan orang-orang musyrik.
Paling tidak menurut Quraish Shihab ada dua yang harus
digarisbawahi, yaitu, Pertama, dalam penggalan kedua tersebut
kepada wali memberi isyarat bahwa wali mempunyai peranan yang
penting dalam perkawinan putri-putrinya atau wanita-wanita dibawah
perwaliannya. Dalam hal ini, perlu diperluas dalam kajian fiqh, yang
porsinya lebih mendetail, karena di antara para ulama beraneka
ragam pendapat dalam masalah ini. Ada yang berpedapat sangat
ketat, sampai mensyaratkan persetujuan dan izin yang bersifat pasti
darai para wali dalam penentuan calon suami bagi putrinya. Maka
disebutkan, bahwa tidak sah pernikahan tanpa wali ( ال نب إال ثى)
(tidak sah pernikahan tanpa wali), tetapi ada juga yang sekedar
memberi hak untuk mengajukan tuntutan pembatalan, jika
perkawinan berlangsung tanpa wali atau tanpa restunya. Menurut
pandangan ini, tuntutan tersebut tidak serta merta dapat dibenarkan,
kecuali setelah memenuhi sejumlah syarat.betapaun demikian, perlu
diingat, bahwa perkawinan yang dikehendaki Islam, adalah
perkawinan yang menjalin hubungan harmonis antara suami-isteri,
sekaligus antara keluarga, bukang saja keluarga masing-masing,
tetapi juga antar kedua mempelai. Dari sinilah peranan orang tua
127
dalam perkawinan menjadi sangat penting, baik dengan memberi
mereka kewenangan yang besar, maupun sekedar restu tanpa
mengurangi hak anak. Karena itu, Rasulullah memerintahkan orang
tua untuk meminta persetuuan gadisnya, atau paling tidak ada
kesepakatan antara kedua orang tua. Hal yang kedua, yang perlu
digarisbawahi, bahwa laranga perkawinan wanita muslimat dengan
orang musyrik, walaupun pandangan umumnnya ulama tidak
memasukkan Ahl al-Kitab dalam katagori musyrik, tetapi ini bukan
berarti izin pria ahl al-kitab mengawini wanita muslimah. Larangan
tersebut menuruta ayat di atas, berlanjut hingga mereka beriman.
Sedangkan ahl al-kita>b, tidak dinilai beriman dengan iman yang
dibenarkan Islam. Bukankah mereka (walaupun tidak dinamai
musyrik), dimasukkan dalam katagori kafir ? Apalagi dalam kata ayat
lain dipahami, bahwa wanita-wanita muslimah tidak diperkenankan
juga mengawini atau dikawinkan dengan pria Ahl al-Kitab,
sebagaimana yang secara tegas dinyatakan oleh QS. al-
Mimtahanah/60:10”Mereka wanita-wanita muslimah, tidak
dihalalkan bagi orang-orang kafir, dan orang-orang kafir itu tidak
halak pula bagi mereka. Menurut ayat ini, tidak menyebutkan ahl al-
Kita>b, tetapi dengan istilah yang digunakannya adalah ” orang-rang
kafir”, dan seperti yang diutarakan di atas, ahl al-Kitab adalah salah
satu dari kelompok orang kafir. Dengan demikian, walaupun ayat ini
tidak menyebutkan ahl al-Kita>b, namun ketidakhalalan tersebut
mencakup dalam kata orang-orang kafir. 191
Dapat disimpulkan bahwa, Quraish Shihab menyatakan
larangan menikahkan wanita-wanita muslimah dengan pria musyrik,
sebagaimana juga orang-orang Islam dilarang menikahi wanita-
wanita musyrik.
3. Tim Tafsir Departemen Agama RI Dalam menafsirkan ayat QS.al-Baqarah/2:221, Tim
Departemen Agama192
menyebutkan asba>b nuzu>l ayat ini, berkenaan,
Marthad bin al-Ghanawi yang ingin menikahi wanita musyrik. Dalam
tafsirnya, kata al-nika>h disepakati sebagai sebuah akad (ikatan atau
perjanjian), dan kata wat} (jima' : bersebadan). Istilah Nikah, adalah
akad perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan syarat dan rukun
tertentu, menurut syariat Islam. Kata al-nika>h, dengan segala
bentuknya telah disebutkan dalam beberapa ayat al-Qur'an, baik surat
al-Baqarah/2:221, al-Nisa'/4:3,6,25 serta al-Nur/24:33. Menurut ayat
128
ini, secara tegas merupakan pelarangan pernikahan antara orang
mukmin dengan orang-orang musyrik. Dengan kesimpulan, bahwa
ayat ini, (1). Melarang laki-laki mukmin menikah dengan perempuan
musyrik dan juga melarang menikahkan perempuan mukmin dengan
laki-laki musyrik, selama mereka tetap dalam kemusyrikannya.(2).
Larangan ini, tidak ada tawar-menawar lagi, sebab erat hubungannya
dengan keturunan dan masa depan Islam. (3). Kaum musyrik yang
menyembah selain Allah itu akan slalu berusaha memusyrikan orang-
orang mukmin kejurang kehancuran dan kesesatan.193
Kesimpulan penafsiran ulama-ulama Indonesia, (1). Menurut,
Hamka, dilarangan menikah laki-laki muslim dengan wanita musyrik,
juga melarang menikahkan wanita-wanita muslimah dengan pria
musyrik, karena mereka akan mengajak kepada jalan masuk neraka,
baik itu neraka dunia maupun neraka akhirat, karena ajakan-ajakan
mereka yang tidak benar. (2). Menurut Quraish Shihab, dilarangan
pria muslim menikah dengan wanita musyrik, demikian halnya,
mengawinkan wanita muslimah dengan pria musyrik, dan yang
dibolehkan mengawini wanita ahl al-kita>b, (3). Menurut penafisran
Tim Departemen Agama (DEPAG), melarang laki-laki mukmin
menikah dengan perempuan musyrik dan melarang menikahkan
perempuan mukmin dengan laki-laki musyrik, selama mereka tetap
dalam kemusyrikannya.
4. Sarjana Muslim Indonesia dan Cendikiawan Muslim
Terdapat beberapa pandangan para sarjana muslim dan
cendikiawan muslim dalam memahami QS.al-Baqarah/2:221 ini,
terkait term al-mushrika>t. Di antaranya :
(1). Nurcholis Majid dalam bukunya, Fiqh Lintas Agama,
dalam memahami tafsiran ayat tersebut, dengan membedakan
beberapa istilah, term musyrik, istilah ahl al-kita>b, serta ahl al-i>man.
Secara ekplisit dan jelas, Allah dalam kitab suci-Nya, bahwa
kepercayaan ahl al-kita>b, didasarkan pada perbuatan syirk, seperti
yang dikatakan mereka dalam firmannya, ”....Sesungguhnya Allah itu
adalah al-Masi>h putra Maryam....(al-Maidah/5:17), dan mereka juga
berkata :"Bahwa Allah adalah yang ketiga dari trinitas ( al-
Maidah/5:73), dan mereka berkata lagi: ...” al-Masi>h putra Allah
(al-Taubah/9:30), begitu pula orang-orang Yahudi berkata,
sebagaimana disebutkan al-Qur‟an, .....Uzair putra Allah ( al-
Maidah/5: 30), dan perbuatan-perbuatan yang mereka lakukan adalah
129
perbuatan shirk, tetapi al-Qur‟an sebagai wahyu yang datang
langsung dari Allah telah memilih dan menempatkan kata-kata itu
dengan istilah yang sangat tepat, dan al-Qur‟an tidak menyebutkan
mereka dengan sebutan ‟ mushrik ‟, akan tetapi mereka tetap di
panggil dengan sebutan ahl al-Kita>b.194
Seperti dalam ungkapan di
atas, dapat diidentifikasikan, mengenai siapa yang dimaksudkan al-
Qur‟an sebagai orang musyrik, yang kemudian haram dikawini oleh
orang-orang Islam menurut QS.al-Baqarah/2:221.Karena dikatakan
musyrik, bukan hanya mempersekutukan Allah, tetapi juga tidak
mempercayai salah satu kitab suci samawi, baik yang terdapat
penyimpangan maupun yang masih asli, disamping tidak seorang
nabi pun yang mereka percayai. Sedangkan ahl al-kita>b, adalah orang
yang mempercayai salah seorang nabi dari nabi-nabi dan salah satu
kitab dari kitab samawi, baik yang sudah terjadi penyimpangan pada
mereka, baik dalam bidang akidah atau amalan, sedangkan yang
dimaksdukan mukmin adalah orang-orang yang percaya dengan
risalah Nabi Muhammad, baik mereka lahir dalam keadaan Islam
ataupun kafir kemudian memeluk Islam, yang berasal dari ahl al-
kita>b atau kaum musyrik, ataupun dari agama mana saja. Demikian,
menurut Nurchalis Madjid.195
Demikian jelas, penegertian ketiga istilah di atas. Oleh karena
itu, bila Allah telah mengharamkan mengawini perempuan musyrik,
seperti al-Qur‟an al-Baqarah/2:221 ini, maka tidak tepat bila
dipahami al-mushrika>t itu adalah perempuan ahl al-kita>b. Bahkan
menurut Imam Muhammad Abduh secara lebih spesifik dan secara
terang berpendapat, sebagai mana ditukil oleh muridnya Rashi>d Rid}a>,
bahwa perempuan yang haram dinikahi oleh laki-laki muslim dalam
ayat ini, adalah perempuan-perempuan musyrik Arab. Pertanyaannya
apakah masih ada sampai saat ini orang-orang seperti musyrik Arab
itu ? Pandangan Nurcholis Madjid tentang masuknya non-muslim ke
dalam katagori musyrik ditolak dengan beberapa alasan, yaitu :
Pertama, sejumlah ayat dalam al-Qur‟an membedakan antara
orang-orang mushrik dengan ahl al-kita>b (Kristen dan Yahudi).
Beberapa ayat dalam al-Qur‟an menggunakan waw sebagai huruf
at}af, sebagai pembeda antara kata sebelumnya dengan sesudahnya.
Maka atas dasar inilah terdapat perbedaan antara kata ‟mushrik‟ dan
kata ’ahl al-kita>b’. Dalam hal ini, Ibn Jari>r al-T}abari dalam kitabnya
[Ja>mi’ al-Baya>n an Ta’wi>l Al-Qur’a>n], termasuk salah seorang
130
Mufassir terkemuka, yang menafsirkan kata ”mushrik ” sebagai
orang-orang yang bukan ahl al-kita>b. 196
Kedua, larangan menikahi musyrik, karena dikwawatirkan
wanita musyrik atau laki-laki musyik memerangi orang-orang Islam.
Sebagaimana diketahui, bahwa ayat ini turun dalam situasi, dimana
terjadi perang antara orang-orang muslim dengan orang-orang
musyrik Arab. Disini jelas, bahwa yang dimaksud mushrik berarti
orang-orang yang suka memerangi orang-orang muslim. Tetapi Imam
al-Ra>zi adalah salah seorang ulama yang menolak bahwa makna
‟mushrik‟, ditujukan kepada kalangan bangsa Arab, melainkan
mereka yang suka memerangi orang-orang muslim, dan karenanya,
kaum musyrik bukanlah ahl al-dhimmah.197
Ketiga, dalam masyarakat Arab terdapat tiga kelompok
masyarakat yang disebut sebagai kelompok lain, yaitu, mushrik,
Kristen dan Yahudi. Yang disebut mushrik adalah mereka yang
mempunyai kedudukan tertinggi di posisi penting dalam masyarakat,
yang berpusat di Makkah. Mereka mempunyai patung, yang paling
besar’Hiba>l’yang menghadap ka‟bah. Sedangkan Kristen adalah
merupakan kekuatan yang sangat besar di dataran Arab. Mereka
adalah kelompok orang Kristen Syam yang lari dari dari kezaliman
Raomawi. Kedatangan mereka menyebabkan sejumlah kabilah Arab
memeluk agama Kristen yang antara lain, Ghassa>n, Taghallub,
Tanu>kh, Lakhm, Khara>m dan lainnya. Dan yang dimaksud Yahudi,
adalah mereka yang lari dari Syam, karena kediktoran Romawi dan
Persia. Mereka berpusat di Madinah, yang jumlahnya hampir separoh
penduduk Madinah, mereka antara lain adalah, keturunan Bani
Qaynuqa‟, Nadhir dan Quraid}ah. Dan sebagian mereka ada yang
tersebar keberapa wilayah Arab bersama orang-orang Yahudi, hingga
samapi ke Yaman. Dari sini juga mereka tersebar, diantara, Yastrib,
Khaybar, Tabuk, Tayma‟, serta Yaman. Dalam beberapa keterangan
di atas, terlihat perbedaan ketiga komunitas tersebut, sehingga
perbedaan di antara mereka dalam sisi ajaran terletak pada ajaran
monoteisme. Dan musyrik adalah murni sebagai kekuatan politik,
yang diantara ambisinya adalah kekuasaan dan kekayaan. Sementara
Yahudi dan Kristen adalah mereka yang sedikit banyak memiliki
persinggungan teologis dengan Islam. Walaupun terdapat ketegangan
di antara mereka dengan komunitas muslim, tetapi setidaknya
terdapat beberapa upaya untuk membangun sebuah kesepahaman
bersama yang dibuktikan dengan diterbitkannya‟ Piagam Madinah‟,
131
sebagai kesepakatan antara komunitas, muslim, Kristen, dan Yahudi,
dan bahkan ketiga agama samawi tersebut, telah sepakat untuk
bersatu menjadi umat yang satu (umatan wa>hidah).198
Keempat, alasan yang cukup kuat dan fundamental yang
dikemukanan Nurchalis Madjid, tentang dibolehkannya nikah beda
agama, terutama non-muslim, yaitu, disebutkan ayat al-Maidah/5:5
ini, sebagai ayat yang diturunkan di Madinah, setelah adanya ayat
pelarangan pernikahan dengan orang-orang musyrik, sehingga
mereka beriman. Bahkan ayat ini, sebagai ayat revolusi, karena
secara ekplisit menjawab beberepa keraguan bagi masyarakat muslim
saat itu, prihal pernikahan dengan non muslim. Namun ayat ini, mulai
membuka ruang bagi wanita Kristen dan Yahudi (ahl al-Kita>b),
untuk melakukan pernikahan dengan non-muslim. Ayat tersebut, bisa
berfungsi dua hal sekaligus, yaitu, penghapus (na>sikh), dan
pengkhusus(mukhas}i>s}) dari ayat sebelumnya yang melarang
pernikahan dengan orang-orang musyrik. Sedangkan prihal
kebolehan pernikahan dengan non-muslim, terdapat beberapa sahabat
Nabi, yang menikahi perempuan Kristen dan Yahudi, antara lain,
Hudhaifah dan T}alhah. Khalifah Umar bin Khattab sempat gerang
dan marah ketika mendengar kabar pernikahan tersebut. Sikap Umar
seperti itu sebenarnya, bukan untuk mengharamkan pernikahan,
melainkkan hanyalah kwawatir, bila sewaktu-waktu para sahabat
membelot dan masuk kedalam komunitas non-muslim. Hudhaifah
dan T}alhah merupakan kedua tokoh yang menonjol saat itu, sehingga
wajar bila Umar bin al-Khattab mengingatkan mereka berdua.199
(2). Menurut Umar Shihab, tentang pernikahan beda agama,
terhadap larangan pria muslim menikahi wanita musyrik berdasarkan
QS.al-Baqarah/2:221, atau sebaliknya, larangan wanita muslimah
dikawini oleh lelaki musyrik. Umar Shihab, yang mengutip pendapat
Ibn Jari>r al-T}a>bari, maksud mushrika>t adalah wanita penyembah
berhala di kalangan orang-orang Arab yang hidup pada zaman Nabi
SAW. Tetapi menurut Umar Shihab, kata ’mushrik’ dalam ayat
tersebut berlaku secara umum, yakni berlaku paham keagamaan yang
menyembah selain Allah, yang berarti, mereka tidak boleh menikah
dengan kaum muslimin. Sedangkan pria muslim menikahi wanita non
muslim secara mutlak tidak dibolehkan menurut sebagian ulama
salaf, tetapi menikahi wanita ahl al-kita>b [Yahudi dan Nasrani],
bahkan wanita Maju>si dibolehkan, berdasarkan QS.al-Maidah/5:5.200
Tetapi dalam menihaki wanita bukan mushrik dan bukan pula ahl al-
132
kita>b, seperti, Sa>bi'ah, Hindu, Budha, Shinto, atau Konfutze, al-
Qur‟an berdiam diri. Hal yang demikian menimbulkan masalah,
apakah boleh atau tidak ? Mengutip pendapat al-T}abari mereka itu
digolongkan sebagai ahl al-kita>b, karena menganut paham tauhid
(mengesakanTuhan), bahkan menurut data sejarah, mereka
mempunyai (teologi Rasul dan Kitab suci samawi).201
Sayyid
Muhammad Rashi>d Rid}a> sependapat dengan al-T}abari di atas, beliau
mengatakan bahwa untuk kepentingan politik dan penyebaran Islam,
dibolehkan mengawini wanita-wanita non-muslim secara mutlak
untuk menjadikannya sebagai muslimah. Tetapi sebaliknya, dengan
alasan Sadd al-Dhari >’ah202
[wasilah/sarana], tidak dibenarkan pria
muslim yang lemah akidahnya untuk mengawini wanita non-muslim
khususnya wanita-wanita Eropa dewasa ini.203
Muncul persoalan baru, apakah orang-orang Kristen yang
percaya kepada trinitas sekarang ini masih tergolong sebagai ahl al-
kita>b atau tidak ? Menurut Umar Shihab, mereka masih tergolong ahl
al-kita>b, karena orang-orang seperti itu, sudah ada pada saat Nabi
Muhammad S.A.W dan Nabi tidak mengatakan kalau mereka keluar
dari golongan tersebut. Muncul masalah lain, adalah karena tidak
adanya penegasan Al-Qur‟an mengenai wanita muslimah yang
dikawini oleh lelaki ahl al-kitab. Hal itu, apakah boleh atau tidak ?
Mengutip pendapat al-Mara>ghi, menyatakan dengan tegas, bahwa hal
itu adalah haram sesuai dengan sunnah dan kesepakatan kaum
muslimin. Karena hak-hak wanita dalam kehidupan rumah tangga
tidak sama dengan hak-hak lelaki. Dengan demikian, kebanyakan
wanita muslimah tidak mampuh memepertahankan akidahnya, bila
menjadi istri seorang laki-laki non-muslim. 204
Terakhir sebagai kesimpulan pendapat, menurut Sarjana
Muslim dan Cendikiawan Muslim Indonesia, di antaranya, Nurchalis
Madjid, mengatakan mushrik, adalah bukan hanya mempersekutukan
Allah, tetapi juga tidak mempercayai salah satu kitab suci samawi,
baik yang terdapat penyimpangan maupun yang asli, disamping tidak
seorang nabi pun yang mereka percayai. Sedangkan ahl al-kita>b,
adalah orang yang mempercayai salah seorang nabi dari nabi-nabi
dan salah satu kitab dari kitab samawi, baik sudah terjadi
penyimpangan pada mereka dalam bidang akidah atau amalan atau
tidak. Oleh karena itu, bila Allah telah mengharamkan mengawini
perempuan musyrik, menurut al-Qur‟an al-Baqarah/2:221 ini, maka
tidak tepat bila dipahami al-mushrika>t itu adalah perempuan ahl al-
133
kita>b. Mempertegas pemahaman ahl al-Kita>b,[mengutip] pendapat
lain,205
adalah perempuan-perempuan mushrik Arab, dan dilarang
bagi muslim menikahi wanita-wanita mereka. Sedangkan menurut
Umar Shihab, tentang pernikahan pria muslim menikahi wanita
musyrik dilarang. Karena maksud mushrika>t adalah wanita
penyembah berhala di kalangan orang-orang Arab yang hidup pada
masa Nabi SAW atau, kata ’mushrik ’ dalam ayat tersebut berlaku
secara umum, yakni berlaku paham keagamaan yang menyembah
selain Allah, yang berarti, mereka tidak boleh menikah dengan kaum
muslimin. Dan pria muslim menikahi wanita non muslim secara
mutlak tidak dibolehkan, tetapi menikahi wanita ahl al-kita>b [Yahudi
dan Nasrani], bahkan wanita maju>si dibolehkan.*
134
Teks QS. Al-Maidah/5:5
135
Endnote
1 Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-'Arab (Kairo : Da>r Al-Ma’rifah, 1119 H), 2248. 2 Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an ( kajian kosa kata),
(Jakarta : Lentera Hati, 2007), cet. I, 664, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,
Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2002 ), Volume
1, 441-442 , Lihat. Abu> Qa>shim Husain Bin Muhammad al-Ma’ru>f bi Ra>ghib al-
Asfaha>ni, Al-Mufrada>t Fi> Ghari>b Al-Qur’a >n ( Beirut : Dar al-Ma’rifah, t.th ), 259. 3Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an ( kajian kosa kata),
664-665, Muhammad Ra>ghib Al-Asfaha>ni (w. 502 H), (Tahqi>q:Muhammad Sayyid
Kaila>ni), Mufrada>t F>>i> Ghari>b al-Qur’a>n, 259-260, Abu> al-Fadl Jamal al-Di>n
Muhammad bin Makra>m bin Manz}u>r ( Ibnu Manz}u>r ), Lisa>n al-'Arab, 383. 4Dalam beberapa pembagian tentang syirk umumnya ulama membagi
kepada dua bagian, yaitu,(1). Syirk Besar (Akbar) dan (2). Syirk kecil (Asghar).
Syirk Besar, yaitu, syirk yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama ( Islam),
menghapus semua amal perbuatan baiknya, serta memasukkan pelakunya kekal di
Neraka jika ia meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat dari
kesyirikannya. Seperti, beribadah kepada selain Allah, berdoa kepada selain Allah,
berkuban dan bernazar kepada selain Allah, hal-hal yang masuk katgori syirk ini,
seperti, syirk dalam hal takut (khauf) QS. Ali Imran/3:175, syirk dalam hal
bertawakal QS. Al-Maidah/5:23, syirk dalam perasaan cinta (mahabbah) QS. Al-
Baqarah/2:165, syirk dalam hal ketaatan, QS. Al-Taubah/9:31. Sedangkan syirk
Kecil, yaitu dapat mengurangi nilai tauhid seseorang akan tetapi pelakunya tidak
keluar dari agama. Ia hanya merupakan sarana yang mengantarkan kepada syirk
besar, pelakunya akan mendapat siksaan, namun tidak kekal di neraka
sebagaimana kekalnya orang kafir. Syirk besar menghapus segala amal, sedangkan
syirk kecil akan menghapus amal yang bersamaan dengannya, seperti orang
melakukan amal perbuatan yang diperintahkan Allah untuk mendapatkan pujian
dari manusia, seperti, membanguskan salat, bersedekah, berpuasa, didengar atau
dipuji manusia, inilah ri’ya yang jika bercampur dengan amal perbuatan ia akan
menghapusnya, QS. Al-Kahfi/18:110. Yang termasuk ini, seperti, bersumpah
dengan selain Allah, dengan istilah lain, dengan sebutan syirk tersembunyi
(khafy), atau termasuk syirk ‘ubudiyyah. Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah
al-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam al-Kamil ( Jakarta: Darus Sunnah, 2007), Cet. I,
75-82. 5Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata),
665, Abu> Qa>shim Husain Bin Muhammad al-Ma’ru>f bi Ra>ghib al-Asfaha>ni, Al-
Mufradat Fi Gharib Al-Qur’an, 259-260.
136
6Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata)
dan Tafsirnya ( Jakarta: PT Intermasa, 1997), 286-287. 7Hamka (Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah),Tafsir al-Azhar
(Jakarta : PT Pustaka Panjimas, 1992), Jus XV, 274. 8Muhamad Fua>d Abdul Ba>qi, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li AlFa>z} Al-
Qur’a>n Al-Kari>m, ( Kairo : Da>r-Al-Hadi>th, 1991 M/1411 H ), Cet. ke-3, 481-484 9Lihat. Muhamad Fua>d Abdul Ba>qi, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li AlFa>z}
Al-Qur’a>n Al-Kari>m, 481-484, Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya ( Jakarta : Penerbit Paramadina, 1998 ), Cet. I, 69.
10Departemen Agama RI Jakarta, Al-Qur’an Dan Terjemahnya
(Bandung : Gema Risalah Press), 755. 11
Departemen Agama RI Jakarta, Al-Qur’an Dan Terjemahnya , 126. 12 Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 70. 13 Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 70. 14 Ima>duddin Abi> Fida>’i Isma>il Ibn Kathi>r al-Dimasqi ( w. 774 H ), Tafsi>r
Al-Qura>n Al-Az}i>m (Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}ubah, 1421 H /2000 M), Jilid 4,
Cet. I, 99-100. 15 Muhammad Hasan al-T}aba>'t}aba>'i, al-Mi>za>n Fi> Tafsi>r Al-Qur'a>n
(Beirut:Da>r Al-Arabiyah Wa Nasr Wa Tawzi>', 1398 H ), jilid. 12, 178. 16 Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata),
664, Lihat. Al-Ala>mah Ja>rullah Abu> Al-Qa>shim Mahmu>d bin Umar Al-
Zamakhshari (467-538 H ),Al-Kassha>f ‘An Haqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa
‘Uyu>n al-Aqa>’wi>l Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l ( Riyad} : Maktabah Abikah, t.th), Juz II, 89-
90 17 Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 71. 18 Muhammad Ghalib,Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya
(Jakarta:Penerbit Paramadina, 1998), Cet. I, 73, Lihat. Al-Ala>mah Ja>rullah Abu>
Al-Qa>shim Mahmu>d bin Umar Al-Zamakhshari (467-538 H), Al-Kasha>f ‘An
Haqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n al-Aqa>’wil Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l (Riyad} :
Maktabah Abikah, ), Juz II, 367-368. 19Islah Gusmian,Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga
Ideologi (Jakarta : Penerbit Teraju, 2003), cet. I, 337. 20QS. Al-Baqarah/2:221, Departemen Agama RI Jakarta, Al-Qur’an Dan
Terjemahnya (Bandung : Gema Risalah Press), 54-55.
21 Ima>duddi>n Abu> Fida>’i Isma>il Ibn Kathi>r al-Dimashqi (w. 774 H), Tafsi>r
Al-Qura>n Al-Az}i>m (Gi>zah : Mua’sasah al-Qurt}u>bah, 1421 H/2000 M ), Jilid 2, Cet.
I, 296.
22 Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H),Tafsi>r Al-
T}abari Ja>mi’ al- Baya>n An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (Tahqi>q : Abdullah bin Muhaisin
137
al-Turki)(Kairo:Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah,
1422H / 2001 M ), Cet. I, 713. 23Al-Sayyid Muhammad Rash>id Rid}a (1865-1935 M), Tafsi>r Al-Qur’a>n
al-Haki>m al-Mashu>r bi Tafsi>r al-Mana>r ( Beiru>t:Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th),
Juz 2, 281, Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r Al-
T}abri Ja>mi’ al-Bayan 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’an (tahqi>q : Abdullah bin Muhaisin
al-Turki)(Kairo:Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M ), Juz ke-3, Cet. I, 713. 24Nurcholis Madjid, dkk, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat :
Ingklusif-Pluralis ( Jakarta : Paramadina, 2004 ), Cet. ke-4, 161. 25
Keterangan mengenai makna al-musyrikat, menurut al-Razi, jika
difahami sebagai orang-orang kafir dari kalangan ahl al-Kitab itu tidak ada
kesepakatan sebagian ulama, namun jika, dimaksudkan mencakup diantara orang-
orang kafir, kalangan ahl al-Kitab, maka jumhur mesepakati hal itu. Dan hal itu,
didukung dengan dasar QS. al-Taubah/9:31, QS. Al-Maidah/5:73, bahwa orang-
orang Yahudi dan Nasrani adalah musyrik. Lihat. Al-Imam Muhammad al-Ra>zi
Fakhruddi>n Ibn al-Ala>mah D}iya>uddi>n Umar al-Muashtahi>r bi al-Kha>tib al-Rayy
(544-604 H ), Tafsi>r al-Fakhri al-Ra>zi (Beiru>t : Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M), cet.
I, Jilid ke-6, 59, 61-63. 26 Dalam bab III, IV dan VI, penulis memilih beberapa nama mufasir, baik
kalangan ulama klasik periode sahabat, sebagai perbandingan untuk mengetahui
apakah ada pergeseran, perbedaan penafsiran terkait masalah pernikahan beda
agama, selain untuk melihat perkembangan sejarah-sosial masing-masing,
pemikiran, kecenderungan, corak, serta mazhab tafsir mereka, baik para mufasir
sahabat di awal Islam (abad I-II H), hingga penafsiran ulama-ulama tafsir klasik,
abad pertengahan, modern-kontemporer, selain itu melihat pendekatan metodologi
tafsir mereka, yang menyebabkan munculnya perbedaan pendapat terhadap istilah-
istilah terkait dalam penafsiran ayat-ayat pernikahan beda agama, terhadap QS. al-
Baqarah/2:221, QS.al-Mumtahanah/60:10, serta QS. al-Maidah/5:5. Karena itu,
beberapa nama tetertentu, dimunculkan, sebagai gambaran mewakili penafsiran
mereka dari masa ke masa, perbandingan, analisa pemikiran, metodologi, terhadap
penafsiran ayat-ayat pernikahan beda agama, yang ingin diteliti. 27Husain al-Zahabi dalam al-Tafsi>r wa al-Mufasiru>n dan Manna' Khali>l
Qatta>n dalam Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n membagi priode tafsir al-Qur'an
kepada dua periode besar. Pertama, tafsir pada masa khasik yang mencakup masa
Nabi dan Sahabat serta Tabi'in. Kedua, tafsir pada masa pembukuan. Sedangkan
tafsir pada perode klasik dapat diketahui pada masa rasulullah S.A.W sampai
munculnya tafsir masa pembukuan, yaitu, akhir pada masa Daulah Umayyah dan
di awwal Daulah Abbasiyah), yaitu awal abad I hingga abad II H. Lihat.
Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah
Wahbah, 1396 H/1976 M), cet. I, 27-73,75-102,Manna' Khali>l al-Qattan, Maba>h}ith Fi> 'Ulu>m al-Qur'a>n, ( Kairo : Maktabah Wahbah, 2000 ), cet. ke-7, 326- 332.
138
28Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000 ), cet. II, 3, Manna' Khali>l al-Qatta>n, Maba>h}ith
Fi> 'Ulu>m al-Qur'a>n, (Kairo : Maktabah Wahbah, 2000 ), cet. ke-7, 328. 29Abdul Qadir Muhammad Shaleh, Al-Tafsi>r Wa Al-Mufasiru>n Fi> Tafsi>r
al-As}r Al-H}ad>ith, ’Ard} Wa Dira>sah Mufas}alah Li Ahka>m Kutub al-Tafsi>r Al-
Mu’a>s}ir (Bairu>t : Dar Al-Mairifah, 1424 H / 2003 H ), cet. I, 91. 30 Munculnya corak-corak penafsiran yang di lakukan para ulama klasik,
mengilhami lahirnya, penafsiran dengan metode baru di abad modern ini, yaitu
lahirnya metode mawd}u>’i (tematik), kemudian lahir pula metode muqa>rin
(perbandingan), yang ditandai dengan munculnya kitab-kitab tafsir yang
menjelaskan redaksi yang mirip, seperti : Durratu al-Tanzi>l Wa Gurrah al-Ta’wi>l oleh Al-Kha>tib Al-Iska>fi (w. 240 H), dan juga Al-Burha>n Fi> Tauji>h Mutasha>bih Al-Qur’a>n oleh Al-Karma>ni (w. 505 H). Penafsiran dengan metode tematik ini,
telah lama dikenal, namun menurut Muhammad Quraish Shihab, istilah metode
maudhu>’i ini, pertama kali dimunculkan oleh Ustadh al-Ji>l (Maha Guru Generasi
Mufassir) Prof. Dr. Ahmad Al-Kummy. Tetapi dalam perkembangannya, tafsir
mudhu’i, mulai dikenal oleh masyarakat dengan bentuk penafsiran yang mencakup
berbagai topik, seperti Al-Insa>n Fi> Al-Qur’an dan Al-Mar’ah Fi> Al-Qur’a>n, karya
Abba>s Aqa>d, dan Al-Riba> Fi> Al-Qur’a>n oleh Al-Mawdu>di dan lain sebagainya.
Lahirnya metode-metode tafsir di atas, disebabkan, oleh tuntutan perkembangan
masyarakat yang slalu dinamis. Pada zaman Nabi SAW dan sahabat, mereka pada
umumnya para ahli bahasa Arab, sekaligus mengetahui secara langsung turunnya
ayat (asba>b al-nuzu>l), dan mengalami secara langsung situasi dan kondisi umat,
ketika ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan, maka dengan demikian mereka relatif
dapat memahami maksud-maksud Al-Qur’an secara benar, tepat dan akurat.
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an(Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2000), cet. Ke-2, 4. 31Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam
(Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2000 ), cet. Ke-11, 79. 32 Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Abba>s bin Abdul Muthalib bin
Ha>syim bin Abdul Mana>f al-Ha>syimi. Dilahirkan di kota Makkah, dari seorang ibu
yang bernama Ummu Al-Fa>dhil Luba>bah Al-Kubra binti al-Ha>ris bin al-Hila>liyah,
yaitu saudari dari Maimunah binti al-Haris, istri Nabi SAW. Dalam perkembangan
sejarah tafsir Al-Qur’an, di antara kaum muslimin, tepatnya abad ke-1H, ia dikenal
sebagai sosok yang memiliki kwalitas dan kemampuan yang lebih di para sahabat
yang lain, karenanya, ia menduduki posisi terdepan di kalangan sahabat dalam
tafsir Al-Qur’an. Selanjutnya, Lihat. Indeks biografi. Lihat. Abdul Aziz bin
Abdullah al-Humaidi, Tafsi>r Ibn Abba>s Wa Marwiyatuh Fi> Tafsi>r Min Kutub al-
Sittah (Makkah : Markaz Abdul Aziz Al-Tura>s Al-Isla>mi, tth), cet Ke-35, 6-7, 20.
Lihat. Thameem Ushamah, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Kajian Kritis, Objektif
dan Komprehensif ) (Jakarta : Riora Cipta, 2009 ), cet. I, 11, 79, Taufil Adnan
139
Amal, Rekontruksi Sejarah Al-Qur’an (Jakarta : Pustaka Alvabet, 2005), cet. I,
211. 33
Ibn Abba>s mulai masyhur namanya, setelah Khalifah Usthman
mempercayakan dirinya sebagai pemimpin ibadah haji pada tahun 35 H. Suatu
tahun yang menentukan dalam perjalanan politik Ustman. Lantaran hal itulah ia
tidak ada di Madinah ketika Usthman terbunuh. Dan di masa kekhalifahan Ali bin
Abi Tha>lib, ia ditunjuk sebagai Gubernur Bashrah. Ketika itu pula Ali terpaksa
menerima arbitrase [tahkim] di Shiffin, dan Ali berkeinginan untuk menjadikan
Ibn Abba>s sebagai wakilnya, namun ditentang oleh para pengikutnya yang
cenderung mewakilkannya kepada Abu Musa al-Asy’ari. Walaupun demikian, Ibn
Abbas tidak menunjukkan sikap yang negatif, bahkan, ia tetap ikut menyertai Abu
Musa dalam proses arbitrase tersebut, di mana Ali bin Tha>lib dimakzulkan oleh
Muawiyah yang akhirnya, terbangun Dinasti Umayyah. Setelah wafatnya
Mu’awiyah, Ibn Abbas menyatakan kesetiannya kepada khalifah Yazid (w. 683 H)
putra dari Mua’wiyah, yang melanjutkan kepemimpinan politik Bani Umayyah
berdasarkan pertimbangan, bahwa mayoritas umat Islam berada di sisi Khalifah.
Beberapa kemudian, diberitakan, bahwa Ibn Abba>s wafat di T}a’if tepatnya pada
tahun 68 H. Al-Suyutti ( w. 911 H), Al-Itqa>n F>i> 'Ulu>mi Al-Qur’a>n ( Beirut : Dar
Fikr, 1416 H/ 1996), Jilid. II, Juz. 3, 494, Lihat. Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an, Sejarah Tafsir Al-Qur’an dan Metode Para Mufasir (Terj. Qadirun Nur
dan Ahmad Mushafiq)(Jakarta:Gaya Persada Pratama, 2007), Cet. I, 19,Taufil
Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah Al-Qur’a>n ( Jakarta : Pustaka Alvabet, 2005 ),
cet. I, 212. 34 Said bin Jubair adalah Muhammad bin Said bi Jubair bin Hasyim al-
Asadi. Ia menerima semua riwayat dari semua sahabat terutama Ibn Abbas. Maka
ia termasuk kelompok sahabat besar (kiba>r al-saha>bah), dan ahli dalam tafsir,
hadits, fiqh, dan slalu mengambil pendapat yang bersumber dari Ibn Abbas dalam
ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Dan menjadi kepercayaan ulama ilmu Jarh Wa Ta'di>l.
Berkata Ibn Abi Hatim : Ia seorang ahli ibadah, bersahaja dan wara'. Ia wafat
karena di bunuh oleh al-Hajaj pada tahun 95 H dan umurnya belum mencapai 50
tahun. Al-Dhahaq (w. 105 H), Tafsi>r al-D}aha>q (ditahqiq:Syukri Ahmad al-
Zawaiti)(Kairo:Darusalam Lit}aba>'ah Wa Nasr Wa Tawzi>' Wa Tarjamah, t.th), Jilid
I, 19.
35
Muja>hid bin Jabr adalah Muja>hid bin Jabr al-Ma>liki (Abu> Hija>j Al-
Makhzu>mi), seorang Muqri’. Dia lahir pada tahun ke-21H, ketika masa
kepemimpinan khalifah Umar bin al-Khattab. Ia tergolong di antara kibar al-
tabi’in pada pemerintahan khalifah Muawiyah di awal abad ke-2 H. Tentangnya
dari sebagian para mufasir, bahwa ia mufasir kalangan tabi’in, yang mengambil
tafsir dari pendahulunya, yaitu, Ibn Abbas. Beberapa tabi’in yang mengambil
darinya, yaitu At}a’ bin Rabbah, Ikrimah Maula Ibn Abba>s, Amr bin Dinar,
Qata>dah, Sulaiman al-Ahwa>l, Sulaiman Al-A’masy dan Abdullah bin Kathir dan
sebagainya. Ibn Taymiya berkata, bahwa dikalangan ahl ilmi yang mengambil
140
tafsir darinya, di antaranya, Al-Syafi’ih dan al-Bukhari. Qata>dah berkata: Saya
mengetahui di antara para ahli tafsir adalah Mujahid. Ibn Sa’ad berkata : Dia
adalah orang yang terpercaya (thiqa>t), faqih, mengetahui banyak hadits. Ibn
Hibban berkata : dia adalah selain faqi>h, hamba yang wara’, dan tekun beribadah.
Dia wafat di tahun 102 H atau 103 H. Sedangkan al-Qattan menyebutkan, Ia wafat
pada tahun 104 H. Manna’ Al-Qattan, Ta>rikh al-Tashri’ Al-Isla>my al-Tashri>’ Wa
Al-Fiqh (Riyad} : Maktabah Al-Ma’rif Li al-Nasyr Wa Tawzi’, 1417 H/1996 M),
cet. Ke-2, 315. 36
Al-D}ahaq namanya adalah Abu al-Qashim bin Mazahim al-Khurasani,
salah seorang ulama dari kalangan tabi’in dalam bidang tafsir. Ia seorang pendidik,
yang memiliki murid-murid dalam sekolah asuhannya mencapai jumlah tiga ribuan
anak asuh. Mas’ud bin Abdullah Al-Finsani, Ikhtila>f Al-Mufasiri>n Asba>buhu Wa
Atha>ruhu ( Riyad} : Markaz al-Dirasat Wa Al- I’la>m, 1418 H/1997 M), cet. I, 32. 37
Nama lengkapnya Abu Abdullah (dikenal) dengan nama Ikrimah bin
Abdullah seorang budak dari Abdullah bin Abbas. Ia lahir pada tahun ke-25 H. Ia
berasal dari suku barbar dari Maroko. Ibn Abbas bersungguh-sungguh
mengajarkannya Al-Qur’an dan al-Sunnah. Meriwayatkan hadits dari Ibn Abbas,
Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amr bin Ash, Abu Hurairah, abu Said al-Khudri,
Husain bin Ali, dan Siti Aisyah. Di Tanya Said bi Jubair, siapa orang yang paling
mengetahui selain engkau ? : ia menjawab : Ikrimah. Ia wafat di Madinah pada
tahun 107 H, dengan usia 80 tahun. Manna’ Al-Qattan, Ta>rikh al-Tashri>’ Al-
Isla>my al-Tashri>’ Wa Al-Fiqh (Riyad : Maktabah Al-Ma’a>rif Li al-Nasyr Wa
Tawzi’, 1417 H/1996 M ), cet. Ke-2, 316. 38Dia adalah Abu Abdurahman (T}a>wu>s bin Kaisa>n), al-Khaulani, al-
Hamzani, al-Yamani. Dia keturunan Persia tetapi kelahiran dan dibesarkan di
Yaman pada tahun 33 H, ia termasuk kalangan tabi'in senior, dikenal dalam bidang
tafsir al-Qur'an, dia mendengar dari Ibn Abbas, Abu Hurairah, sedangkan yang
menyampaikan darinya adalah Mujahid, Amr bin Dinar, dia seorang yang faqih
dan cerdas. Berkata Abu Uyainah : aku bertanya kepada Abdullah bin Yazid,
dengan siapa anda menjumpai Ibn Abbas ?, Abdullah menjawab : bersama Atha'
dan sahabatnya, aku berkata : T}a>wu>s, dia bersama orang yang paling cerdas dan
tanggap. Dan berkata Amr bin Dinar : aku tidak pernah melihat seorang yang
seperti dia (Ta>wu>s). Ia wafat tahun 106 H, ketika melaksanakan ibadah haji, di
Makkah satu hari sebelum tarwiyah, dan ikut menshalatkan di antaranya Hisyam
bin Abdul Malik. Manna’ Al-Qatta>n, Ta>rikh al-Tashri’ Al-Isla>my al-Tashri>’ Wa
Al-Fiqh (Riyad:Maktabah Al-Ma>’rif Li al-Nasyr Wa Tawzi, 1417 H/1996 M ), cet.
Ke-2, 322. 39Dia adalah Abu Muhammad (At}a' bin Abi> Rabbah Asla>m), lahir di
Makkah tahun 27 H, ada yang menyebutnya Sa>lim bin Sofwan budak dari Bani
141
Fahd al-Maliki, dia salah seorang tabi'i yang sangat faqih dan zuhud di Makkah.
Dia menyampaikan dari para sahabat, seperti, Jabir bin Abdullah al-Anshari,
Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Zubair, sedangkan yang meriwayatkan
darinya, adalah Amr bin Dinar dan al-Zuhri, Qatadah, Malik bin Dinar, A'masy,
Auwza'i, berkata Ibrahim bin bin Kaisan : aku menyebutkan diantara mereka pada
masa Bani Umayah yang menyampaikan tentang haji dengan lantang, tak ada
seorang pemberi fatwah, kecuali hanyalah Atha bin Rabbah. Wafat pada tahun 115
H, dan ia berumur 100 tahun. Manna’ Al-Qatta>n, Ta>rikh al-Tasyri>’ Al-Isla>my al-
Tasyri>’ Wa Al-Fiqh ( Riyad : Maktabah Al-Ma’rif Li al-Nasyr Wa Tawzi’, 1417
H/1996 M ), cet. Ke-2, 317. 40
Thameem Ushamah, Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Kajian Kritis,
Objektif, dan Komprehenshif)(Jakarta : Riora Cipta, 2000), cet. I, 13, Lihat.
Manna’ Khali>l al-Qattan, Maba>hith Fi> Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Maktabah Wahbah,
t.th ), 334. 41Dalam klasifikasi tokoh-tokoh terpilih sepanjang sejarah, Ibn Abbas
dimasukkan ke dalam jajaran para ulama. Lihat. Syeikh Muhammad Said Mursi,
Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah ( Idzamu al-Islam Abara Arba’ata
‘Ashar Qarnan min al-Zaman, terj. Khoirul Amrullah Harahap dkk)(Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar, 2007), cet. 1, 110, 112. 42Pengertian Ahl al-Kita>b (أهل مكتاب) berasal dari dua kata dengan
pengertian yang jauh berbeda. Akar kata pertama adalah iha>lah ( إهاأ ) yang secara
etimologis berarti ‚ lemak yang diiris dan dipotong-potong menjadi kecil ‚.
Adapun akar kata yang kedua adalah kata ahl ( أهل ) itu sendiri, yang baru bisa
dipahami setelah dirangkaikan dengan kata lain sehingga membentuk suatu kata
majemuk. Kata ahl ( أهل ) dengan pengertian kedua inilah yang disebut di dalam
Al-Qur’an. Bentuk jamaknya adalah ahlu>n ( أهلو). Dan kata ahl al-Kita>b
‚ disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 30 kali, yang mempunyai arti (أهل مكتاب)
orang-orang yang menganut agama samawi yang diturunkan untuk mereka ‚.
Sebutan ahl al-Kitab secara khusus untuk penganut agama Yahudi dan Nasrani.
Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an ( kajian kosa kata )( Jakarta :
Lentera Hati, 2007 ), cet. I, 62.
43Jala>luddin Al-Suyu>t}i (w. 911 H), Al-Itqa>n Fi> 'Ulu>m al-Qur’a >n ( Beiru>t ;
dar Fikr, 1416 H/1996 M ), cet I, Jilid ke-2, 59 44 Keterangan yang dikutip oleh Ibn Jari>r, bahwa Ibn Abbas mengunakan
istilah istasna>’ ( مستثن), tetapi Abu Daud menggunkan istilah nusikha ( نسخ ), lain
yang dikutip oleh Al-Baihaqi dengan istilah nusikhat ( نسخت ). Lihat. Jalaluddin al-
Suyutti (879-911H), al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi Al-Ma’thu>r (Tahqi>q :
Abdullah bin Abdul Muhsi>n al-Turky)(Kairo : Markaz Hijr Li a-Bu’uth Wa Al-
Dira>sa>t al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/ 2003 M ), cet. I, 562.
142
45
Al-Ima>m Al-Jali>l al-Hafiz} Ima>duddi>n Abi> Al-Fida>’ Isma >il Ibn Kathi>r al-
Dimasqi (w.774 H), Tafsi>r Al-Qur’a >n Al-Az}i>m (Gizah : Mua’sasah Al-Qurt}ubah,
1421 H/2000 M ), cet.I, 296. 46 Ibn Kathi>r mengutip pendapat Ibn Abbas, tentang larangan menikahi
wanita musyrik, lalu beralih kepada kebolehan, dengan alasan takhs}i>s}
(pengkhususan) bagi pawa wanita ahl al-kita>b, diperkuat dengan riwayat al-
Suyuti, bahwa larangan yang bersifat umum itu, menjadi pengkhususan, bagi
wanita ahl al-kitab. Berberapa pandangan ulama tentang takhs}i>s}. Pengertian
takhs}is} secara bahasa adalah (lawan) dari sifat umum. Menurut Al-Jurja>ni, takhs}is}
adalah [ به ام عل بعض نه بد ل ستقل قتتقصت مع ] mengeluarkan sesuatu dari yang
bersifat umu>m kepada yang khusus, disertai dengan argumen (dalil). Wahbah
Zuhaili membedakan antara nasakh dan takhs}i>s}, bahwa nasakh pengecualian
hukum terhadap hukum yang lain, terkait yang bersifat individu, sedangkan
takhs}i>s} pengecualian hukum dengan yang lain, terkait dengan waktu (zaman).
Muhammad Sayyid Al-Jurja>ni (w. 816 H ), Kita>b Ta’rifa>t (ditahqiq oleh Mun’im
al-Khifni)(Kairo : dar Al-Rasyad Thaba’ Nasr Tawzi’, 1991), 62, Wahbah Zuhaili,
Al-Wajiz Fi> Us}u>l Fiqh ( Beiru>t : Dar Al-Fikr Al-Mu’asir, 1419 H/ 1999 M ), cet. I,
238, Al-Ima>m Al-Jali>l al-Hafidz Imaduddi>n Abi Al-Fida>’ Isma>il Ibn Kathi>r al-
Dimasqi (w. 774 H ), Tafsi>r Al-Qur’a>n Al-Az}i>m (Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}ubah,
1421 H/2000 M ), cet.I, 296. Lihat. Al-Suyu>t}i, Bab Fi> Na>sikhihi Wa mansu>khihi,
dalam bagian Ma> Nusikha Hukmuhu Du>na Tila>watuhu, Al-Suyu>t}i (w. 911 H), Al-
Itqa>n Fi> 'Ulu>m al-Qur’a>n ( Beiru>t ; dar Fikr, 1416 H /1996 M ), cet I, Jilid ke-2, 59.
47 Dalam persoalan ini, secara langsung berlaku hukum sebaliknya, bahwa
larangan itu berlaku untuk larangan wanita muslimah menikahi pria musyrik
-dengan alasan disandingkan hukumnya dengan ayat al ( ال تنكحوم متك حت ؤنوم)
Mumtahanah’60:10 ( ال ه حل هم والهم حلو ه ), Al-Ima>m Al-Jali>l al-Ha>fiz}
Ima>duddi>n Abi . Al-Fida>’ Isma>il Ibn Kathi>r al- Dimasqi (w. 774 H), Tafsi>r Al-
Qur’a>n Al-Az}i>m (Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}ubah, 1421 H/2000 M), cet.I,
296,299. 48 Dia adalah sahabat yang termasuk dalam golongan yang pertama
masuk Islam (al-Sa>biqu>na al-Awwalu>n ),kemudian ia lebih dikenal dengan
panggilan Ibn Mas’ud. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil
bin Hubaib al-Huzali. Ia bukan berasal dari keluarga ningrat Makkah. Dalam
riwayat, Abu Nu’aim menyampaikan dari Abu Al-Buhturi yang mengatakan, ’Para
sahabat berkata kepada Ali, beritahukanlah kepada kami tentang Ibn Mas’ud. Ali
menjawab : Dia mengetahui Al-Qur’an dan Al-Sunnah sampai pada puncaknya
(thumma intaha>), sehingga tingkat keilmuannya (al-Qur’an dan al-Sunnah)
mendekati sempurna ‛. Itulah sebabnya, maka ia dianggap tokoh yang paling
menonjol setelah Ibn Abbas. Selebihnya Lihat. Indeks. Muhammad H}usain al-
Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n ( Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976
M), cet. I, 63, Thameem Ushamah, Metodologi Tafsi>r Al-Qur’a>n, (Kajian Kritis,
143
Objektif dan Komprehensif) (Jakarta : Riora Cipta, 2000 ), cet. I, 13, Yunus Hasan
Abidu, Tafsir Al-Qur’an:Sejarah Tafsir dan Metodologi Para Mufassir (Jakarta :
Gaya Media Pratama, 2007), cet, I, 24, Muhammad Ibn Alawi Al-Ma>liki Al-
Hasani, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an : Ringkasan Kitab Al-Itqa>n Fi> Ulu>m Al-Qur’a>n Karya Al-Ima>m Jala>luddi>n Al-Suyu>t}i (Bandung : PT Mizan Pustaka,
2003), cet. I, 287, Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya
(Jakarta : Penerbit Paramadina, 1998 ), Cet. I, 171. 49Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo :
Maktabah Wahbah, 1396 H / 1976 M ), cet. I, 63.
50
Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya (Jakarta :
Penerbit Paramadina, 1998 ), Cet. I, 171. 51
Nama lengkapnya, adalah Ali bin Abu T}alib bin Abdul Muthalib bin
Hasyim bin Abdi Manaf bin Quraisy bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin
Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah Abu Hasan dan Husein, digelari
Abu Turab, anak paman Rasulullah SAW dan suami putri beliau, Fatimah al-
Zahra’ ra. Lahir dari seorang ibu bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin
Abdi Manaf bin Qushay, ibunya digelari Wanita Bani Hasyim pertama yang
melahirkan putera Bani Hasyim. Ayah beliau bernama Abu T}alib. Dia adalah
paman Rasulullah SAW yang sangat menyayanginya.Nama sebenarnaya, adalah
Abdi Manaf. Ali bin Abi T}alib masuk Islam saat masih kanak-kanak. Lengkapnya,
Lihat. Indeks. Ibn Katsir, al-Bida>yah Wa An-Niha>yah Masa Khula>fa’ Al-Rashidi>n
(terj. Abu Ihsan Al-Atsari dari kitab Tarti>b Wa Tahzi>b Kita>b al-Bida>yah Wa Al-Niha>yah )( Jakarta : Da>r al-Ha>q, 1424 H / 2004 ), cet. I, 415 Muhammad H}usain
al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976
M ), cet. 66, Muhammad Ibn Alawi Al-Ma>liki Al-Hasani, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an:Ringkasan Kitab Al-Itqa>n Fi> 'Ulu>m Al-Qur’a>n Karya Al-Ima>m Jala>luddin Al-Suyu>t}i ( Bandung : PT Mizan Pustaka, 2003 ), cet. I, 287. 52 Al-Imam Badruddin Muhammad bin Abdullah Al-Zarkashi (w. 794 H),
Al-Burha>n Fi> 'Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo : Maktabah Da>r Al-Tura>th, t.th ), Jilid I, 29,
Al-Ima>m Jala>luddin Al-Suyu>t}i (w. 911 H ), Al-Itqa>n Fi> 'Ulu>m Al-Qur’a>n (tahqiq :
Said al-Mandu>r)(Beiru>t : Da>r al-Fikr Li Taba>’ah Wa Nasr Wa Nasr Wa Tawzi>’,
1416 H /1996 ), jilid. II, cet. I, 55.
53 Al-Imam Jalaluddin Al-Suyut}}i (w. 911 H), Al-Itqa>n Fi> 'Ulu>m Al-Qur’a>n
(tahqi>q : Said al-Mandu>r)(Beiru>t : Da>r al-Fikr Li T}aba>’ah Wa Nasr Wa Nasr Wa
Tawzi>’, 1416 H /1996 ), jilid. II, cet. I, 59. 54 Abdullah bin Umar adalah putra Khalifah kedua Umar bin al-Khat}t}ab
bin Naufel al-Quraish Al-Adawi saudara kandung Siti Hafsah Ummul Mukmini>n.
Dia di lahirkan tidak lama setelah Nabi diutus menjadi Rasul, ketika itu ia baru
berumur 10 tahun. Ia ikut masuk Islam bersama ayahnya. Kemudian ia mendahului
ayahnya hijrah ke Madinah. Pada saat perang Uhud ia masih terlalu kecil untuk
ikut perang, dan Rasulullah tidak mengizinkannya. Tetapi setelah selesai perang
Uhud ia banyak mengikuti peperangan, diantaranya, perang Qadisiyah, Yarmuk,
144
Khandak, Penaklukan Afrika, Mseir dan Persia, serta penyerbuan Basrah dan
Madain. Lihat.Indeks. Manna’ Al-Qatta>n, Tari>kh Tashri>’ Al-Isla>mi Al-Tashri>’ Wa
Al-Fiqh (Riyad} : Maktabah Al-Ma’a>rif Li Al-Nasyr Wa Tawzi’ Lis}a>hibiha Sa’ad
bin Abdurahman al-Rashi>d, 1417 H/1997 M), Cet. Ke-2, 25, Ibn H}ajar Al-
Athqala>ni (w.852 H ), Taqri>b al-Tahzi>b ( Beirut : Mu’asasah Al-Risa>lah, 1420 H/
1999 M), cet. I, 256-257. 55Manna’ Al-Qatta>n, Tari>kh Tashri>’ Al-Isla>mi Al-Tashri>’ Wa Al-Fiqh
(Riyad}:Maktabah Al-Ma’arif Li Al-Nasyr Wa Tawzi’ Lis}a>hibiha Sa’ad bin
Abdurahman al-Rashi>d, 1417 H/1997 M), Cet. Ke-2, 25, Ibn H}ajar Al-Athqala>ni
(w.852 H ), Taqri>b al-Tahzi>b ( Beirut : Mu’asasah Al-Risa>lah, 1420 H/ 1999 M),
cet. I, 256.
56 Jala>luddin Al-Suyu>t}i ( 849-911 H ), Al-Du>rr al-Manthur Fi> Tafsi>r bi Al-
Ma’thu>r (Kairo : Markaz Hijr Li Bu’uth Wa Al-Dira>sat Al-Arabiyah Wa Al-
Isla>miyah, 1424 H/2003 M ), cet. I, 564.
57Lihat. Ibn Abdi Al-Ba>r (368 H/463 M), Al-Istizka>r al-Ja >mi’ Li
Madha>hib Fuqaha >’ Al-Ams}a>r Wa Ulama> Al-Aqt}a>r Fi>ma Tad }amanahu ‚Al-
Muwat}t}a’ ‚ Min Ma’a >ni al-Ra’yi Wa Al-Thar Wa Sharhu Dha>lika Kullihi bi Al-
I'za>z wa Ikhtis}a>r Ma > ‘Ala Z}a>hri Al-Ard} Ba’da Kita>billah As}s}ahhu min Kita>b Ma>lik
al-Ima>m al-Sha>fi’ih, ( Bairu>t:Da>r Kutaibah Li> T}aba>’ah Wa Nasr, tth ), Jilid ke-16,
72. Lihat. Al-Ima>m Al-Jali>l al-Ha>fidh Ima>duddi>n Abi> Al-Fida>’ Isma >il Ibn Kathi>r
al-Dimasq (w. 774 H), Tafsi>r Al-Qur’a >n Al-Azi>m(Gizah:Mua’sasah Al-Qurt}ubah,
1421 H / 2000 M ), cet.I, 296.
58Jala>luddi>n Al-Suyu>t}i (849-911 H),Al-Du>r al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi Al-
Ma’thu>r (Kairo : Markaz Hijr Li Bu’uth Wa Al-Dira>sat Al-Arabiyah Wa Al-
Isla>miyah, 1424 H/2003 M ), cet. I, 564. 59
Jala>luddin al-Suyu>t}i ( 879-911 H ), al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi Al-
Ma’thu>r ( tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky)( Kairo : Markaz Hijr Li
a-Bu’u>th Wa Al-Dira>sat al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/ 2003 M ), cet. I,
565, Al-Ima>m Al-Jali>l al-Hafiz} Ima>duddi>n Abi> Al-Fida>’ Isma>il Ibn Kathir al-
Dimasq (w. 774 H), Tafsi>r Al-Qur’a>n Al-Az>i>m ( Gizah : Mua’sasah Al-Qurt}ubah,
1421 H/2000 M ), cet.I, 299. 60Ima>m Abi> Husain Muslim Ibn Haja>j Al-Qushairi al-Naisabu>ry,
Mukhtas}ar S}ahih Muslim ( di-Tahqiq oleh : Muhammad Nas}iruddi>n Al-Ba>ni),
Hadith No. 798, Bab Targhi>b Fi> Nika>h (Beirut : Maktab Al-Islami, 1407 H/1987
M ), cet. Ke-6, 207.
61Ima>m Abi Husain Muslim Ibn Haja>j Al-Qushairi al-Naisa>bu>ry,
Mukhtas}ar S}ahi>h Muslim (di-Tahqi>q oleh:Muhammad Na>s}i>ruddin Al-Ba>ni),
Hadith No.797, Ba>b Fi> Al-Nika>h Za>ti al-Di>n (Beiru>t : Maktab Al-Isla>mi, 1407
H/1987 M ), cet. Ke-6, 207.
145
62Al-Ima>m Al-Jali>l al-Ha>fiz} Ima>duddi>n Abi> Al-Fida>’ Isma>il Ibn Kathi>r al-
Dimashqi( w. 774 H ), Tafsi>r Al-Qur’a >n Al-Az}i>m (Gizah :Mua’sasah Al-Qurt}ubah,
1421 H/2000 M ), cet.I, 299. 63
Thameem Ushamah, Metodologi Tafsi>r Al-Qur’a>n, (Kajian Kritis,
Objektif dan Komprehensif ) (Jakarta : Riora Cipta, 2000 ), cet. I,67-68. 64 Ibn Jari>r al-T}abari seorang pakar tafsir di Abad ke-4 H. Namanya
adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kathi>r bin Gha>lib Al-T}abari.
Dilahirkan di kota T}abaristan di Persia ( Iran ) sekitar akhir tahun 224 H atau awal
tahun 225 (839 M). Lengkapnya.Lihat. Indeks. Yunus Hasan Abidu, Tafsi>r Al-
Qur’a>n ; Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir ( Jakarta : Gaya Media Pratama,
1428 H / 1428 H ), Cet. I, 68-69, Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-
Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M ), Juz. I, cet. Ke-6, 147,
Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an ( Yogyakarta : Pustaka Insan
Madani, 2008 ), 64-65. 65Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T{abari> (224-310 H ), Tafsi>r Al-
T}abari> Ja>mi al-Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (Tahqi>q : Abdullah bin Muhaisin
al-Turki)(Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M ), Cet. I, 713-720. 66Mereka-mereka yang dimaksudkan itu, adalah Ibn abbas, Ikrimah dan
Hasan basri, Muja>hid, al-Rabi’, Qata>dah, Said bin Jubai>r, dan sebagainya di
kalangan sahabat Nabi, yang mengatakan pengharaman terhadap pernikahan
muslim dengan wanita musyrik (al-mushrika>t ). Lihat. Abu Ja’far Muhammad bin
Jarir Al-T}abari ( 224-310 H ), Tafsi>r Al-T}abari Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-
Qur’a>n (tahqi>q : Abdullah bin Muhaisin al-Turki )(Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa
Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah, 1422H / 2001 M ), Cet. I, 711-713. 67Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H),Tafsi>r Al-T}abari
Ja>mi’ al-Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (tahqiq : Abdullah bin Muhaisin al-
Turki)(Kairo :Markaz al-Buhu>ts Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M), Cet. I, 711,Departemen Agama RI Jakarta,Al-Qur’an Dan Terjemahnya ( Bandung:Gema Risalah Press Bandung, 1989 ), 158 .
68
Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r Al-
T}abari Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (tahqiq :Abdullah bin Muhaisin
al-Turki )(Kairo:Markaz al-Buhu>ts Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M ), Cet. I, 711-713.
69Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H), Tafsi>r Al-
T}abari> Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (ditahqiq : Abdullah bin
Muhaisin al-Turki) Kairo : Markaz al-Buhu>ts Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-
Isla>miyah, 1422H/2001 M ), Cet. I, 712.
70 Demikian riwayat yang disampaikan al-Husein, Haja>j, dari Ibn Juraij,
yaitu, sama sumbernya dari Muja>hid. Abu Ja’far Muhammad bin Jari >r Al-T}abari
146
( 224-310 H ), Tafsi>r Al-T}abari Ja >mi’ al-Baya>n 'An Ta’wi >l Ay Al-Qur’a >n (ditahqiq
: Abdullah bin Muhaisin al-Turki ) (Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-
Arabiyah Wa Al-Isla>miyah, 1422H / 2001 M ), Cet. I, 712-713. 71
Abu Ja’far Muhammad bin Jari >r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r Al-
T}abari Ja >mi’ al-Baya>n 'An Ta’wi >l Ay Al-Qur’a >n (ditahqi>q : Abdullah bin Muhaisin
al-Turki)(Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M ), Cet. I, 712. 72
Abu Ja’far Muhammad bin Jari >r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r Al-
T}abari Ja>mi’ al-Baya>n 'An Ta’wi >l Ay Al-Qur’a >n (ditahqiq : Abdullah bin Muhaisin
al-Turki)(Kairo: Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah,
1422H / 2001 M ), Cet. I, 713. 73
Abu Ja’far Muhammad bin Jari >r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r Al-
T}abari Ja >mi’ al-Baya>n An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a >n (ditahqiq : Abdullah bin Muhaisin
al-Turki)(Kairo:Markaz al-Buhuts Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M ), Cet. I, 714. 74Ia adalah Said bin Jubair, Abu Abdillah, Maula> Walibah ibn al-Ha>ris
dari Bani Asad ibn Huzaiman. Berguru kepada Ibn Abba>s r.a, Ibn Umar ra. Dan
beberapa sahabat lainnya. Mujahid perna bercerita, bahwa pada suatu hari, Ibn
Abbas ra. Menyuruh Sa'id bin Jubai>r untuk menceritakan sebuah hadith, namun ia
menolaknya, dengan mengatakan : Bagaimana mungkin saya dapat menyampaikan
hadits, sedangkan tuan berada di sini ? Ibn Abbas ra, menjawab : ‛ Bukankan
termasuk karunia Allah, jika engkau sampaikan hadith, sedangkan aku berada
disini. Jika apa yang apa yang engkau sampaikan benar, maka demikian adanya.
Tetapi jika salah, aku akan membenarkannya. Ketika Ibn Abba>s telah lanjut usia,
penglihatannya sudah rabun (tidak jelas lagi), ia mengalihkan orang-orang
bertanya kepadanya, untuk bertanya kepada Sa'i>d bin Jubair. Demikian juga Ibn
Umar, ketika ada orang yang bertanya kepadanya masalah waris, ia menyuruh
orang tersebut, untuk bertanya kepada Said, dan beliau mengatakan, dia ( Sa'id bin
Jubayr ), lebih tahu dari pada aku. Said meninggal di usia muda, di umur 49 tahun,
karena dihukum penguasa saat itu ( al-Hajja>j ) pada tahun 94 H. Lihat. Muhammad
Ibn Sa'i>d ibn Ma’a>ni al-Ha>syimi al-Bashri, al-T}abaqa>t al-Qubra>, Juz VI, 267-277.
75Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H), Tafsi>r Al-
T}abari> Ja >mi’ al-Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (ditahqi>q : Abdullah bin Muhaisin
al-Turki)(Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M ), Cet. I, 714. 76
Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r Al-
T}abari Ja>mi’ al-Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (ditahqi>q : Abdullah bin Muhaisin
al-Turki)(Kairo:Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M ), Cet. I, 714.
147
77
Lihat. Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r
Al-T}abari Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n ( ditahqi>q:Abdullah bin
Muhaisin al-Turki )(Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a
Al-Isla>miyah, 1422H / 2001 M ), Cet. I, 713.
78Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H),Tafsi>r Al-T}abari
Ja >mi’ al-Baya>n An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (ditahqi>q:Abdullah bin Muhaisin al-
Turki)(Kairo:Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M ), Cet. I, 715. 79 Sebuah Kisah, Hudhaifah menikah dengan perempuan non-muslim, lalu
Umar berkirim surat agar Huzaifah menceraikan istrinya itu. Hudhaifah bertanya
kepada Umar, ‛ Apakah anda menyangka bahwa pernikahan dengan ahl al-kitab
itu haram ? Umar menjawab : ‛ Tidak, Saya hanya khawatir. Dari kisah tersebut,
dapat disimpulakan, bahwa ketidak stujuan Umar tidak didasarkan satu teks Al-
Qur’an, melainkan karena kehati-hatian dan kewaspadaan ( Sadd al-Zari>'ah ). Abu
Ja’far Muhammad bin Jari >r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r Al-T}abari Ja>mi’ al-
Baya>n 'An Ta’wi >l Ay Al-Qur’a >n (ditahqi>q:Abdullah bin Muhaisin al-Turki)
(Kairo:Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M), Cet. I, 716, Lihat. Umar Shiha>b, Kontekstualitas Al-Qur’an :
Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur’an, [Hasan M. Noer :
editor ], (Jakarta : Penamadani, 2004 ), 323. 80Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H), Tafsi>r Al-
T}abari Jami’ al- Bayan 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n, 715. 81
Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari(224-310 H),Tafsir Al-T}abari
Jami’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (ditahqi>q :Abdullah bin Muhaisin al-
Turki )( Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M ), Cet. I, 715. 82
Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H), Tafsi>r Al-
T}abari Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n,716. 83
Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H), Tafsi>r Al-
T}abari Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n, 718. 84 Lihat. Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H), Tafsi>r
Al-T}abari Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n, 719. 85 Lihat. Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H), Tafsi>r
Al-T}abari Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n, 720. 86Al-Jas}as} Mufasir yang muncul di abad 4 H. Namanya Abu Bakar bin Ali
Al-Ra>zi. Guru besar ulama pengikut mazhab Hanafi di Bagdad. Beliau hidup pada
masa pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan Islam dalam berbagai bidang. Dia
diberikan gelar dengan sebutan al-Ra>zi dan al-Jashsa>s (tukang kapur ). Ia
dilahirkan di Bagdad pada tahun 305 H dan wafat pada tanggal 7 Zulhijah 370 H.
148
Muhammad Ali Iya>zi, Al-Mufassirun Haya>tuhum Wa Minhajuhum (Teheran :
Mu’asasah Li al-T}aba>’ah Wa al-Narh Wa Wiza>rah al-Thaqa>fah Wa Al-Irsha>d al-
Islami, 1414 H ), cet. I, 110-111. Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Al-
Qur’an (Yogyakarta : Pustaka Insan Madani, 2008), 72-73. 87Abu> Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}as}, Ahka>m al-Qur’a>n (Beiru>t : Da>r Fikr,
t.th ), Juz I, 454. 88Seperti yang diberitakan, beberapa sahabat yang telah jelas,
membolehkan pernikahan dengan wanita ahl al-kita>b, sebagaimana pernah
dilakukan, Ustman bin Affa>n dalam hal ini, menikahi wanita Nasrani, demikian
T}alhah menikahi wanita Yahudi dari Syam ( Syiria ), dan juga Hudhaifah, serta
kalangan sahabat lain. Abu> Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}a>s}, Ahka>m al-Qur’a>n
( Beiru>t : Da>r Fikr, t.th ), Juz I, 455. 89Abu Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}a>s},Ahka>m al-Qur’a>n (Beiru>t : Da>r Fikr,
t.th ), Juz I, 456. 90Abu> Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}a>s},Ahka>m al-Qur’a>n (Beiru>t : Da>r Fikr,
t.th ), Juz I, 458-459.. 91Namanya adalah al-Ima>m al-Ha>fiz al-Shahi>r al-Muhyi al-Sunnah Abu
Muhammad bin Husein Ibn Mas’u >d Muhammad bin Farra’ al-Baghawi al-Sha>fi’ih.
Dia diberi gelar Muhyi al-Sunnah dan Ruknu al-Di>n ( penegak agama ). Ia lahir di
Baghshu>r sebuah kota kecil yang terletak di antara Hazzah, Moro dan al-Rudz dari
kota Khurasan. Ia wafat di bulan Syawwal di Moro dan Rudz tahun 510 H pada
usia 80 tahun. Lihat. Indeks. Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M), Jilid I, 168-169, Al-
Imam Muhyi al-Sunnah Abu Muhammad al-Husain bin Mas’u >d al-Baghawi
(w. 516 H), Tafsi>r Al-Baghawi ‚ Ma’a>lim al-Tanzi>l ‚ (Riyad} : Da>r Ti>bah, 1409 H),
Jilid I, 15, Ma>ni’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir:Kajian Komprehnshif Metode Para Ahl Tafsir ( Terj. Faisal Saleh dan Syahdianor) Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada, 2006), 292, Al-Imam Muhyi al-Sunnah Abu Muhammad al-
Husai bin Mas’ud al-Baghawi (w. 516 H), Tafsi>r Al-Baghawi‚ Ma’a>lim al-Tanzi>l ‚
( Riyad} : Dar Tibah, 1409 H ), Jilid I, 8, Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007),
cet. I, 72-73. 92Abu Marsad menjadi utusan Rasulullah ke Makkah, sebagai tugas
pembebas tawanan muslim secara rahasia di sana, lalu berita kedatangannya itu
didengar wanita bernama Anaq mantan kekasih dicintainya di masa lalu
(Jahiliyah). Seraya berkata wanita itu : Wahai Marsad bukankan kamu datang
untuk menikahi saya ? Ya, jawab Mursad, (dengan nada yang kurang yakin), tetapi
hal itu setelah mendapat restu Rasul Setelah selesai tugasnya, Ia kembali lagi ke
Madinah, dan diceritakan prihal dirinya dengan wanita itu kepada Rasullullah.
Lalu bertanya, Marthad kepada Rasul : bolehkah saya menikahinya, ya, Rasul ?
Maka turunlah ayat (Wa la> Tankihu> al-Musyrika>t Hatta Yu’minna). Al-Ima>m
Muhyi al-Sunnah Abi Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi (w. 516 H),
149
Tafsi>r Al-Baghawi : ‚Ma’a>lim al-Tanzi>l ‚, (Riyad : Dar T}i>bah,1409 H), Cet. I,
255. 93Berita itu, tentang pentanyaan, apakah ayat ini, dimaksudkan mengenai
orang-orang yang ingkar kepada ajaran yang dibawa Muhammad SAW ? Dijawab
oleh Abu Hasan Al-Farisi, bahwa seseorang yang berkata, bahwa Al-Qur’an bukan
firman Allah, maka sungguh ia telah berbuat musyrik, demikian Qata>dah dan Said
bin Zubayr, menegaskan, bahwa musyrik itu perbuatan menyembah berhala. Al-
Imam Muhyi al-Sunnah Abi Muhammad al-Husai>n bin Mas’u >d al-Baghawi
(w. 516 H), Tafsi>r Al-Baghawi : ‚Ma’a>lim al-Tanzi>l ‚,(Riya>d} :Da>r T}i>bah,1409 H ),
Cet. I, 255. 94
Demikian jawaban kedua sahabat Abu Hasan bin Fa>ris, serta Qata>dah
dan Sa'id bin Zubair, menjawab suatu pertanyaan tentang perbuatan syirk yang
termasuk musyrik. Telah dijawab oleh kedua sahabat tadi, maka terjawablah
kenapa alasan Ustman bin Affan menikahi Nailah binti Farafishah yang beragama
Nasrani, yang kemudian masuk Islam. Demikian juga T}alhah bin Ubaidillah dan
Khudhaifah menikahi wanita Yahudi. Diberitakan, Umar bin Khattab sangat
marah mendengar pernikahan Huzaifah itu, lalu berkirim surat kepadanya,
meminta menceraikan istrinya. Hudhaifah menjawab,‛ Apaka hal itu haram ?
Umar berkata : ‛Aku tidak mengira hal itu haram, melainkan aku merasa kwawatir
kalian enggan menikahi wanita-wanita muslim, karena alasan mereka (wanita-
wanita ahli kitab ). Al-Imam Muhyi al-Sunnah Abi Muhammad al-Husain bin
Mas’u>d al-Baghawi (w. 516 H), Tafsir Al-Baghawi : ‚Ma’a>lim al-Tanzi>l ‚, (Riya>d}:
Da>r T}i>bah,1409 H ), Cet. I, 255 . 95 Al-Ima>m Muhyi al-Sunnah Abi Muhammad al-Husain bin Mas’u>d al-
Baghawi (w. 516 H), Tafsi>r Al-Baghawi : ‚Ma’a>lim al-Tanzi>l ‚, (Riya>d} : Da>r
T}i>bah,1409 H ), Cet. I, 256. 96 Nama lengkapnya adalah Abu al-Qashim Mahmud bin Umar bin
Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Khawarizmi al-Zamakhsyari yang diberi gelar
dengan sebutan ja>rullah, salah seorang ulama yang bermazhab Hanafi dalam Fiqh
dan bermazhab mu’tazilah dalam akidah. Gelar ja>rullah dia dapat karena pernah
pergi ke Makkah dan tinggal beberapa lama di sana. Lahir di salah satu desa
bernama Khawarizmi yang bernama Zamakhsyar, pada hari Rabu 27 Rajab tahun
467 H/467 M di Zamkhsyar. Lengkapnya. Di Indeks. Al-Ala>mah Ja>rullah Abu> Al-
Qa>shim Mahmu>d bin Umar Al-Zamakhsyari ( 467-538 H ), Al-Kasha>f ‘An Haqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n al-Aqa>’wil Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l (Riyad} : Maktabah
Abikah), Juz I,5,12-14, Mani Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehenshif Metode Para Ahli Tafsir (Jakarta :PT Raja Grafindo Persada,
2006), 224, Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo
:Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M ), Juz. I, cet. Ke-6, 304-305, Saiful Amin
Ghafur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogyakarta : Pustaka Insan Madani,
2008), 73-75.
150
97
Teungku Muhammad Hasbi al-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Al-Qur’an dan Tafsir (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009), 197.
98 Al-Ala>mah Ja>rullah Abu> Al-Qa>s}im Mahmu>d bin Umar Al-Zamakhshari
(467-538 H), Al-Kasha>f ‘An Haqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n al-Aqa>’wil
Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l (Riyad } : Maktabah Abi>kah), Juz I, 431. 99
Al-Ala>mah Ja>rullah Abu> Al-Qa>s}im Mahmu>d bin Umar Al-Zamakhshari
( 467-538 H ), Al-Kasya>f ‘An Haqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n al-Aqa>’wil
Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l ( Riyad } : Maktabah Abi>kah), Juz I, 431.
100
Menurut al-Zamakhshari, bahwa dengan ayat tersebut, ia tidak
membandingkan status perkawinan, apakan ia merdeka atau seorang budak,
melainkan kelayakan pernikahan dengan status mu’min. Al-Ala>mah Ja>rullah Abu>
Al-Qa>shim Mahmu>d bin Umar Al-Zamakhshari> (467-538 H), Al-Kasya>f ‘An
Haqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n al-Aqa>’wil Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l ( Riyad} :
Maktabah Abi>kah, ), Juz I, 432.
101 Berdasarkan hal ini, Al-Zamakhshari> menegaskan, bahwa alasan orang
Islam tidak dibolehkan menjadikan orang-orang musyrik sebagai wali, dan juga
tidak menjalin hubungan mus}a>harah dengan mereka, karena tidak ada hubungan
dengan mereka, melainkan hanyalah peperangan, Al-Ala>mah Ja>rullah Abu> Al-
Qa>shim Mahmu>d bin Umar Al-Zamakhshari ( 467-538 H ). Al-Kasha>f ‘An Haqa>’iq
Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n al-Aqa>’wil Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l (Riyad} : Maktabah
Abi>kah, ), Juz I, 432. 102 Dalam sejarah perkembanga Islam, abad pertengan ini berkisar antara
tahun 1250 hingga 1500 M yang berpusat di Baghdad. Dan secara sejarah sosial
umar Islam pada masa kekuasaan atau pada khalifahan Abbasiyah. Di mana umat
Islam sudah mulai maju, dan banyaknya bangsa-bangsa Eropah yang masuk di
wilayah Asia Tengah. Terumtama masuknya kerjaan besar, seperti, Mongol, tartar,
dan sebaginya, pada abad ke-5 H. Badri Yatim,Sejarah Kebudayaan Islam
(Dirasah Islamiyah II) (Jakrta : PT Raja Grafindo Persada, 2000), cet. Ke-10, 111. 103Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta : Logos
Wacana Ilmu, 1417 H/1997), cet I, 102, Syiekh Muhammad Said Mursi, Tokoh-
tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah ( Idzamu al-Islam Abara Arba’ata ‘Ashar
Qarnan min al-Zaman, terj. Khoirul Amrullah Harahap dkk )( Jakarta : Pustaka Al-
Kautsar, 2007), cet. 1, 348, Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum
Islam, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2003), cet. Ke-3, 71-115. 104
Al-Ra>zi adalah Abu> Abdullah, Muhammad bin Umar bin Al-Husain bin
Hasan bin Ali bin Al-Qurash al-Tami>mi al Bakri al-T}abrasta>ni al-Ra>zi. Gelarnya
adalah al-Fakhruddin dan dikenal juga dengan Ibn al-Kha>tib. Di lahirkan di desa
Raz pada tanggal 15 Ramadhan tahun 544 H. Ayahnya adalah D}iyauddi>n Umar
seorang ulama besar di Ra>z, yang merupakan murid dari Muh}yi al-Sunna, al-
Baghawi selain dari bidang kalam yang ia dapatnya dari al-Jaili. Tafsir ini, ditulis
151
sekitar abad 7 dan 8 H, dan beberapa karya tafsir, yang muncul semasa
dengannya, seperti, Anwa>r al-Tanzi>l karya al-Baid}a>wi ( w. 685 H ), serta kitab
Ja>mi' al-Ah}ka>m Al-Qur'a>n karya Abu Abdullah al-Qurt}ubi (w, 671 H). Lihat.
Indeks. Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n
(Kairo:Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M, cet. I, 206, Ma’ani Abdul Halim
Mahmud, Metodologi Tafsir : Kajian Komprehenshif Metode para Ahli Tafsir
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), 320, Teungku Muhammad Hasbi Ash-
Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Al-Qur'an & Tafsir ( Semarang : Pustaka
Rizki Putra, 2009), 198, Al-Imam Muhammad al-Ra>zi Fakhruddi>n Ibn al-Ala>mah
D}iya>uddin Umar al-Muashtahi>r bi al-Khatib al-Rayy (544-604 H), Tafsi>r al-Fakhri
al-Ra>zi (Beirut : Dar al-Fikr, 1401 H / 1981 M ), cet. I, Jilid ke-6, 58-65.
105
Al-Imam Muhammad al-Ra>zi> Fakhruddi>n Ibn al-Ala>mah D}iya>uddin
Umar al-Muashtahi>r bi al-Kha>tib al-Rayy ( 544-604 H ), Tafsir al-Fakhri al-Ra>zi>
(Beiru>t : Da>r al-Fikr, 1401 H / 1981 M ), cet. I, Jilid ke-6, 58. 106 Maksudnya, Abdullah bin Umar yang tidak sependapat dengan para
sahabat yang mengharamkan secara umum pernikahaaan dengan wanita musyrik,
di antaranya, diikuti ulama Zaidiyah. Lihat. Al-Imam Muhammad al-Razi>
Fakhruddin Ibn al-Alamah D}iya>uddin Umar al-Muashtahi>r bi al-Khatib al-Rayy
(544-604 H), Tafsir al-Fakhri al-Ra>zi > (Beirut : Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M), cet.I,
Jilid ke-6, 61. 107
Konsep Trinitas adalah terjemahan dari trinity ( trinitas, tiga tunggal,
trimurti ). Konsep ini kemudian menjelma menjadi Yesus sang tuhan berdimensi
manusia dan manusia berdimensi tuhan. Bagi Kristiani Yesus adalah Allah, Allah
adalah Yesus. Karena itu sebutan Trinitas menunjuk langsung Yesus, padahal
Yesus sendiri akan mengusir umat Kristen pada hari Kiamat lantaran mereka
berseru Tuhan kepadanya. Artinya Yesus tidak mau atau tidak pernah
mengajarkan bahwa dirinya Tuhan dan klaim Yesus sebagai tuhan merupakan
suatu kejahatan. Allah berfirman : .......’’ Janganlah kalian mengatakan : Tuhan itu
tiga ......QS. Al-Nisa’/4:171. Lihat. Didin Hafiduddin, Al-Qur’an dalam Arus
Globalisasi dan Modernitas Mencari Alternatif Pemikiran di Tengah Absurditas
Modernisme ( Jakarta : LPSI ), 162-163, Lihat. John M. Echos dan Hasan Shadily,
Kamus Inggris Indonesia (Jakarta : Gramedia, 1996), cet. XXIII, 604, Lihat. Hasan
Shadilly dkk, Ensiklopedi Indonesia ( Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990 ),
Jilid 6, 3627. Al-Imam Muhammad al-Ra>zi Fakhruddi>n Ibn al-Ala>mah D}iya>uddin
Umar al-Muashtahi>r bi al-Khati>b al-Rayy ( 544-604 H ), Tafsir al-Fakhri al-Ra>zi
(Beiru>t : Da>r al-Fikr, 1401 H / 1981 M ), cet. I, Jilid ke-6, 60. 108 Terjemahan QS. al-Ma>idah/5:73, Sesungguhnya kafirlah orang-orang
yang mengatakan:"Bahwanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali
tidak ada Tuhan (yang kelak berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika
mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang
152
kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. (QS. al-Maidah/5:73),
Lihat : Muhammad Ar Ra>zi Fakhuddin Ar Ra>zi ( 544-604 H ), Tafsi>r al-Fakhri al-Ra>zi al-Mushtahi>r bi al-Kita>b Al-Kabi>r Wa Mafa>tih al-Ghaib (Kairo : Da>r al-Fikr,
t.th ), Juz ke-5, 59-61. 109
Al-Imam Muhammad al-Ra>zi Fakhruddi>n Ibn al-Ala>mah D}iya>uddin
Umar al-Muashtahi>r bi al-Khati>b al-Rayy ( 544-604 H ), Tafsi>r al-Fakhri al-Ra>zi
(Beiru>t : Dar al-Fikr, 1401 H / 1981 M ), cet. I, Jilid ke-6, 61. 110
Namanya adalah Abu Abdullah, kemudian dikenal dengan panggilan
Al-Qurtuby. Ia seorang mufasir yang datang setelah al-Ra>zi, begitu terkenal
karyanya dengan nama, Tafsir Al-Ja>mi’ Li Ahka>m al-Qur’a>n. Lengkapnya, adalah
Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farkh, Abu
Abdullah Al-Ansha>ry, al-Khazra>ji, al-Qurt}ubi, Al-Makhzumi, al-Ma>liky, yang
biasa dipanggil Abu Abdullah, kemudian ia terkenal dengan panggilan Al-
Qurthubi, dinisbahkan kepada negara kelahirannya Cordova Andalusia. Ia pergi ke
Mesir dan menetap di Maniyah Bani Khusa’ib sebelah Utara Asuyuth sampai
akhir hayatnya. Lihat. Indeks. Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu
Bakar Al-Qurt}ubi (w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ahka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tadhamanahu Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n ( Tahqi>q : : Mua’sasah Al-Risa>lah,
1427 H/2006 M ), Cet. I, Juz : I, 37-38, Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad
bin Abu> Bakar Al-Qut}ubi (w. 671H ), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tadhamanahu Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n (Tahqi>q : Mua’sasah
Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M ), Cet. I, Juz : I, 37-38, Lihat. Muhammad H}usain al-
Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H / 1976
M, cet. II, 336-339, Syiekh Muhammad Said Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah (‘Iz}amu al-Islam 'Abara Arba’ata ‘Ashar Qarnan Min al-
Zaman, terj. Khoirul Amrullah Harahap dkk )(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007),
cet. 1, 349. 111Disebutkan, bahwa riwayat yang disampaikan al-Muqa>til berbeda
dengan al-Suddi, dalam kasus Abdullah bin Rawa>hah dan budak perempuannya.
Karena al-Muqa>til menjadika kasud Abu Mathad al-Ghanawi dengan wanita
mushrik Makkah (Anaq namanya ), sebagai sebab nuzul-nya. Lihat. Abu Abdullah
bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qurt}ubi (w. 671), al-Ja>mi’ li Al-
Ahka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tadhamanahu Min al-Sunnah Wa Ay Al-
Furqa>n ( Tahqi>q: Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H / 2006 M ), Cet. I, Juz : I, 454.
Lihat. Dalam penjelasan al-Ra>zi dan juga al-Baghawi, Al-Imam Muhammad al-
Ra>zi Fakhruddi>n Ibn al-Ala>mah D}iya>uddin Umar al-Muashtah>r bi al-Khati>b al-
Rayy ( 544-604 H ), Tafsi>r al-Fakhri al-Ra>zi (Beiru>t : Dar al-Fikr, 1401 H/1981
M), cet. I, Jilid ke-6, 58, Al-Imam Muhyi al-Sunnah Abi Muhammad al-Husain bin
Mas’ud al-Baghawi (w. 516 H), Tafsir Al-Baghawi :‚Ma’a >lim al-Tanzi>l ‚,
(Riya>d}:Da>r T}i>bah,1409 H), Cet. I, 255. Dalam beberapa keterangan lain,
disebutkan, bahwa kasus ini, terjadi bukan terhadap kasus Abu Marsad melainkan
anaknya, Marsad bin Abu Marthad ( aslinya, Kanaz bin Husain al-Ghanawi ). Dan
153
ayat yang turun, bukanlah ayat al-Baqarah /2:221, melainakn al-Nu>r [24]: 3, yakni
tentang menikahi wanita pezina, karena pada saat itu, ia ( Anaq ) adalah seorang
wanita pelacur di Makkah. Lihat. Jala>luddin al-Suyu>t}i, Asba>b al-Nuzul,
(Damaskus : Da>r Al-Qutaibah, 1407 H/1987 M), cet. I, 192. Lihat, pada kasus
Marthad bin Abu Marthad yang meninta izin Rasul untuk menikahi wanita
bernama Ana>q, maka turun QS. Al-Nu>r/24: 3, Abu Abdullah bin Muhammad bin
Ahmad bin Abu Bakar Al-Qurt}uby (w. 671 ), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa
Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min al-Sunnah Wa Ay Al-Furqa>n (Tahqiq:
Mua’sasah Al-Risalah, 1427 H / 2006 M ), Cet. I, Juz : 15, 117. 112Al-Nuha>s berkata : Terdapat alasan terhadap perkataan di atas, dan
membenarkan sanad ini, sebagaimana diceritakan kepada kami Muhammad bin
Zabban, berkata : bercerita kepada kami Muhammad bin Rumh, berkata :
menyampaikan kepada kami al-Laith, dari Na>fi, bahwasanya Abdullah bin Umar
ketika ditanya tentang pernikahan pria muslim wanita Yahudi atau Nasrani. Ibn
Umar Menjawab : Allah mengharamkan wanita musyrik bagi pria muslim. Dan
aku tidak mengetahui dosa syirik yang terbesar, selain perkataan seorang wanita
itu, bahwa Tuhannya adalah Isa atau hamba diantara hamba Allah. Abu Abdullah
bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qurt}ubi ( w. 671), al-Ja>mi’ li Al-
Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min al-Sunnah Way Al-
Furqa>n (Tahqiq: Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M), Cet. I, Juz : I, 455. 113Berkata Al-Nuha>s : tentang dasar perkataan Ibn Umar, yang
besebrangan dengan para sahabat dan tabi’in, karena mereka telah sepakat
kebolehan menikahi wanita ahl al-kitab, seperti shahabat, Usman bin Affan,
T}alhah, Ibn Abba>s, Ja>bir, Hudhaifah, serta kalangan tabi’in, seperti, Said bin
Musayyab, Said bin Jubair, Hasan, Mujahid, Tawus, Ikrimah, al-Sya’bi, dan juga
al-Dhahaq, serta para ahli fiqh masa itu. Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad
bin Abu Bakar Al-Quthubiy (w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ahka>m Al-Qur’a>n Wa Al-
Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n ( Tahqiq : Mua’sasah
Al-Risa>lah, 1427 H / 2006 M ), Cet. I, Juz : I, 455. 114
Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qut}ubi
(w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ahka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min
al-Sunnah Way Al-Furqa>n (Tahqiq: Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M), Cet.
I, Juz : I, 456. 115 Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu> Bakar Al-Qurt}ubi
(w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ahka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min
al-Sunnah Way Al-Furqa>n (Tahqiq : Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M ), Cet.
I, Juz : I, 461. 116
Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu> Bakar Al-Qurt}ubi
(w. 671H), al-Ja>mi’ li Al-Ahka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tadhamanahu
154
Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n ( Tahqi>q : : Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H / 2006
M ), Cet. I, Juz : I, 462. 117
Al-Ima>m Al-Qa>d}i Nas}i>ruddin Abu> Said Abdullah Abu> 'Umar
Muhammad al-Shaira>zi Al-Baid}a>wi ( w. 791 H ), Tafsi>r al-Baid}a>wi al-Musamma al-Tafsi>r al-Baid}a>wi (Beirut : Dar Al-Fikr, 1416 H/1996 M), Juz ke-1, 3.
118 Dilahirkan disebuah desa bernama al-Baidha', Persia (Iran). Ungkapan
Ibn Suhbah tentangnya, seorang yang produktif, karya-karyanya terlihat, misalnya,
menyusun rangkuman ( mukhtas}a>r ) tafsir al-Kassha>f karya al-Zamakhshari,
mensyarahi al-Mukhtas}ar karya Ibn Hajib di bidang ilmu Us}u>l Fiqh, mensyarahi
juga kitab al-Mukhtakha>b fi al-Ushu>l karya al-Imam Fakhruddin al-Ra>zi, al-Tawalli Fi> al-Kala>m, al-Gha>yah al-Quswah fi> Dira>yah al-Fatwa li> Fiqh al-Sya>fi’ih
dan menulis sebuah kitab tafsir yang merupakan karya terbaiknya, al- Anwa>r al-Tanzi>l Wa al-Asra>r al-Ta’wi>l, yang kemudian tafsir ini terkenal dengan sebutan
nama Tafsi>r al-Baid}a>wi. Al-Baid}awi wafat pada tahun 791H /1286 M. Al-Ima>m
Al-Qa>d}i Nas}i>ruddin Abu> Said Abdullah Abu> Umar Muhammad al-Syaira>zi Al-
Baid}a>wi (w. 791 H), Tafsi>r al-Baid}a>wi al-Musamma al-Tafsi>r al-Baid}a>wi ( Beirut : Dar Al-Fikr, 1416 H / 1996 M ), Juz ke-1, 3.
119 Dalam kenyataannya, Al-Baid}a>wi juga setuju dengan pengkhususan,
yaitu untuk wanita muhs}ana>t yang berasal dari ahl al-kita>b berdasarkan Qs.[5]:5,
maka pernikahan dengan ahl al-kita>b menurutnya, dibolehkan. Al-Ima>m Al-Qa>dhi
Nas}i>ruddin Abu> Said Abdullah Abu> 'Umar Muhammad al-Syaira>zi Al-Baid}a>wi
( w. 791 H ), Tafsi>r al-Baid}awi al-Musamma al-Tafsi>r al-Baid}a>w>i ( Beirut : Dar
Al-Fikr, 1416 H / 1996 M ), Juz ke-1, 3, 506. 120 Namanya Ala>’u al-Di>n Abu> al-Hasa>n Ali bin Muhammad bin Ibra>him
al-Baghda>dy. Ia dilahirkan di Baghdad pada tahun 678 H bertepatan dengan tahun
1279 M, tetapi beliau lebih dikenal dengan nama al-Kha>zin. Selain sebagai
mufassir, beliau juga seorang yang sufi dan fakih. Ia pengikut mazhab al-
Syafi’iyah. Wafat di Halaba ( Aleppo ) tanun 741 H/1342 M. Pada malam Jum’at
di akhir bulan Rajab, dan dimakamkan di tempat perkuburan al-Sufiyyah pada hari
yang sama. Pada malam Jum’at di akhir bulan Rajab, dan dimakamkan di tempat
perkuburan al-Sufiyyah pada hari yang sama. Dalam sudut sejarah, beliau juga
sebagai seorang mufassir yang muncul pada abad ke-7 H, dan tafsir ini, juga
merupakan ikhtishar ( ringkasan ) dari tafsir sebelumnya, yaitu Ma’a>lim Tanzi>l
karya al-Baghawi. Ali Iya>zi, Al-Mufassirun Haya>tuhum Wa Minhajuhum (t.t :
Wiza>rah Al-Tsaqa>fah Wa Irsya>d Al-Isla>my, 1373 H ), 598, Lihat juga, Muhammad
H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n ( Kairo : Maktabah Wahbah, 1396
H/1976 M ), Juz. I, cet. Ke-6, 220. 121 Ala>uddin Ali bin Muhammad bin Ibra>him al-Bagda>di (al-Kha>zin, w.
725 H), Tafsi>r al-Kha>zin al-Musamma Luba>bu al-Ta’wi>l Fi> Ma’a>ni al-Tanzi>l
(Beiru>t : Dar Fikr, t.th ), 147.
155
122Terkait dengan kriteria ahl al-kita>b, Ibn Abba>s, menjelaskan, kata
muh}s}ana>t berlaku untuk wanita yang merdeka ( hara>’ir ), al-Hasan, al-Sya’bi, dan
al-Nakha’i serta al-Dhaha>q setuju dengan wanita terjaga dan terpelihara (afa>’if ),
oleh kerana itu Ibn Abba>s melarang pernikahan dengan wanita budak sahaya dari
Ahl al-kita>b, demikian diikuti mazhab Sya>fi’ih, karena alasan, memiliki dua
kekekurangan, yaitu, berpredikat kufur dan sebagai budak sahaya. Berbeda dengan
mazhab Hanafi membolehkan, karena alasan pelarangan ayat yang masih bersifat
umum. Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibra>him al-Bagda>di ( Kha>zin, w. 725 H),
Tafsi>r al-Kha>zin al-Musamma Luba>bu al-Ta’wi>l Fi> Ma’a >ni al-Tanzi>l (Beiru>t : Da>r
Fikr, t.th), 147. 123
Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibra>him al-Bagda>di ( Kha>zin, w. 725
H ), Tafsi>r al-Kha>zin al-Musamma Luba>bu al-Ta’wi>l Fi> Ma’a >ni al-Tanzi>l )( Beiru>t
: Da>r Fikr, t.th ), 148. 124 Perdamaian Hudaibiyah ( Sulh Hudaibiyah), di bulan Zulqa’dah, tahun
ke 6 H. Merupakan awal diberlakukannya perintah larangan menikahi wanita kafir
(musyrik), berdasarkan QS. al-Mumtahan/60:10. Kesepakatan10tahun kedepan
tanpa peperangan, ungkapan setia, dan sebagainya, merupakan kesepakatan, yang
disetujui Nabi SAW dan Suhail bin Amr. Turun ayat ‚ In Ja>’atkum al-Mu’mina>tun Muha>jira>tun Famtahinu>hunna…..‛. Menguji keislaman mereka, para wanita hijrah,
status keimanan mereka. Dan pada saat itu, putus hubungan dan tidak sah
pernikahan antara mukmin dan kafir, dan ketika ayat ujian itu turun, di antara
mereka adalah, Subaiah binti Ha>rits al-Asla>miyah, masuk Islam, sedangkan
suaminya yang masih mushrik (Musa>fir al-Makhzu>mi), dikenal Saifi Bin Rahi>b,
lalu Nabi mengembalikan maskawin suaminya di Makkah. Kemudian Umar bin
Khattab menikahinya. Mengingat bunyi ayat yang melarang orang-orang Islam
menahan (tidak menceraikan), para istrinya yang masih dalam keadaan kafir di
Makkah, maka Umar menceraikan dua istrinya, yaitu Quraibah binti Abi Umayyah
dan Ummi Kuthu>m binti Jarwal. Sesudah diceraikan Umar, lalu Quraibah dinikahi
Mua>wiyah bin Abi Sofyan, dan Ummi Kultusm dinikahi oleh Abu Ami>n bin
Huzaifah (dikenal Abu Jaham bin Huzafah), keduanya masih dalam status mushrik
di Makkah. Sedangkan, Arwah binti Rabiah bin Harith bin Abdul Mut}alib, hijrah,
namun masih beagama lama, maka Islam menceraikannya, kemudian ia Arwah
masuk Islam, dan dinikahi Khalid bin Said bin Ash bin Umayyah. Diceritkan, oleh
Al-Sya’bi, bahwa diantaranya yang hijrah Zainab binti Rasulullah SAW, wanita
istri Abu al-Ash bin al-Ra>bi’ bin Umayyah, lalu beriman, masuk Islam sedangkan
suaminya di Makkah masih mushrik, maka Rasulullah mengembalikan mahar apa
yang telah diberikan suaminya sebagai ganti. Demikaian berlaku isi perjanjian
Hudaibiyah. Moenawwar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad (Jakarta :
Gema Insani Press, 2001),386-387,Lihat.Alauddi>n Ali bin Muhammad bin Ibra>him
al-Bagda>di (Kha>zin, w. 725 H), Tafsir al-Kha>zin yang dikenal (Luba>bu al-Ta’wi>l Fi Ma’a>ni al-Tanzi>l )(Beirut : Dar Fikr, t.th), 258-259.
125 Ia adalah al-Ima>m al-Ha>fi>dz Imaduddin Abu al-Fida Ibn Amr bin Ibn
Kathir al-Qurashi al-Basri, al-Dimasqi al-Faqi>h al-Sha>fi’ih. Ia dilahirkan Mujadal
156
negeri Syam pada tahun 700 H / 1300 M atau di sebelah Timur Bashrah yang
merupakan wilayah bagian Damasqus. Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r
Wa al-Mufassiru>n ( Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H / 1976 M ), Juz. I, cet. Ke-
6, 173, Lihat. Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an, Sejarah Tafsir dan Metode
Para Mufasir ( Tangerang : Gaya Media Pratama, 1428/ 2007), 76. 126Tafsir Ibn Katsir dengan nama yang disebutkan, merupakan tafsir
pertama kali dalam bentuk tafsir bi al-Ma’thu>r. Dan dianggap kitab yang kedua
setelah tafsir Ibn Jarir Al-T}abari, yang didalamnya meriwayatkan dari Nabi SAW,
sahabat-sahabat besar, tabi’in. Ia memilih riwayat-riwayat yang shahih dan atsar-
atsar yang disandarkan kepada pemiliknya. Ia adalah seorang mufasir yang
antusias menafsirkan al-Qur’a>n dengan al-Qur’a>n, kemudian dengan al-Sunnah,
pendapat para sahabat dan tabi’in. Ia banyak menyebut ayat-ayat yang sejalan
dengan maknanya, dan saling menguatkan, kemudian, membandingkan,
menguatkan pendapat yang rajih, dan melemahkan pendapat yang lemah dengan
dalil. Ia juga berbicara tentang al-Jarah wa al-Ta’di>l. Keistimewaannya adalah ia
mengingatkan akan adanya israiliyat, mengkritiknya dan mensarankan agar slalu
berhati-hati. Dalam tatanan sejarah, Ia hidup di abad pertengahan ( abad ke-8 H ),
dan beliau wafat di Damascus pada tahun 774 H. Lihat. Muhammad H}usain al-
Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n ( Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976
M), Juz. I, cet. Ke-6, 175, Syiekh Muhammad Said Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah ( A'zamu al-Islam Abara Arba’ata ‘Ashar Qarnan min al-
Zaman, terj. Khoirul Amrullah Harahap dkk )(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007),
cet. 1, 349. 127 Pengecualian itu, sebagaimana dikutip yang sumber dari Ibn Abba>s :
استسنى هللا من ذالك ] وال تنكحوا المشركات حتى يؤمن [قال على بن أبى طلحة عن إبن عباس فى قوله :د ابن جبير , ومكحول والحسن , والضحاك , وزيد نساء أهل الكتاب , وهكذا قال مجاهد , وعكرمة , وسعي
بن أسلم , والربيع بن أنس , وغيرهمBerkata Ali bin Abi T}alhah dari Ibn Abba>s r.a tentang Firman Allah SWT,
[Janganlah kamu menikahi wanita mushrik hingga mereka beriman], dikecualikan
hal itu, wanita ahl al-kita>b. Demikian dikatakan Muja>hid, Ikri>mah, dan Sa'id bin Jubair, Makhu>l, al-Hasan, Zaid bin Asla>m, al-Rabi>’ bin Ana>s dan lainnya. Ima>duddi>n Abi> Fida>’i Isma>il Ibn Kathi>r al-Dimasqi (w. 774 H), Tafsi>r Al-Qura>n Al-Az}i>m (Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}ubah, 1421 H / 2000 M ), Jilid 2, Cet. I, 296
128 Ima>duddi>n Abi> Fida>’i Isma>il Ibn Kathi>r al-Dimasqi ( w. 774 H ), Tafsi>r
Al-Qura>n Al-Az}i>m ( Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}ubah, 1421 H/2000 M ), Jilid 2,
Cet. I, 296. 129 Lihat. Ima>duddi>n Abi> Fida>’i Isma>il Ibn Kathi>r al-Dimasqi ( w. 774 H ),
Tafsi>r Al-Qura>n Al-Az}i>m, 299.
130Nama lengkapnya Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibra>him
bin Ahmad al-Imam al-Ala>mah Ahmad Jala>luddin al-Mahalli al-Sya>fi’ih, lahir
pada tahun 791 H / 1389 M di Kairo, Mesir. Ia lebih dikenal denga panggilan al-
Mahalli, karena disandarkan kepada kampung halamannya. Jala>luddin Al-Mahalli
dan Jala>luddin al-Suyu>t}i, Al-Qur’a>n al-Kari>m Wa Biha>misihi Tafsi>r al-Ima>main al-
157
Jala>lain ( t.tp : Da>r Ibn Kathi>r, t.th ), 9-10. Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-
Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H / 1976 M), Juz. I,
cet. Ke-6,237-238,Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an
(Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008 ), 110-111. 131
Gelarnya adalah Jala>luddi>n dan dikenal dengan sebutan Ibn Kita>b
karena dilahirkan diantara kitab-kitab milik ayahnya. Di lahirkan di Kairo, Mesir
pada tahun 849 H. Bapaknya meninggal ketika ia berumur lima tahun. Dan Ia telah
hafal al-Qur’an di usia delapan tahun. Pergi ke beberapa tempat menuntut ilmu ke
al-Qayyum (Dimasqi), Makkah, Yaman, India dan Maroko. Laksana samudera
dalam ilmu tafsir, hadits, fiqh dan nahwu. Ranah keilmuannya adalah ushul fiqh,
qira’at, kedokteran dan al-hisab hingga mencapai derajat al-mujtahid. Guru-
gurunya mengizinkan dia untuk mengajar, memberi fatwa, dan mendikte hadits.
Belajar di sekolah Bibrisiyah. Syiekh Muhammad Said Mursi, Tokoh-Tokoh
Besar Islam Sepanjang Sejarah ( 'Adzamu al-Islam Abara Arba’ata ‘Ashar Qarnan
min al-Zaman, terj. Khoirul Amrullah Harahap dkk )(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,
2007), cet. 1, 349. 132 Jala>luddin al-Suyu>t}i, adalah Abdurahman bin Kamal Abu Bakar bin
Muhammad bin Sa>biq al-Din bin Fakhr Usman bin Nashi>ruddin Muhammad bin
al-Hamma>m al-Khudairi al-Suyu>t}i. Gelarnya adalah Jala>luddi>n dan ia dikenal
dengan sebutan Ibn Kita>b karena dilahirkan diantara kitab-kitab milik ayahnya.
Jalaluddin al-Suyu>t}i (879-911 H), al-Du>r al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi Al-Ma’thu>r
(tahqiq : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky )(Kairo : Markaz Hijr Li a-Bu’uth
Wa Al-Dirathat al-Arabiyah Wa al-Islamiyah, 1424 H/ 2003 M), cet. I, 565,
Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo:Maktabah
Wahbah, 1396 H / 1976 M ), Juz. I, cet. Ke-6, 238. 133
Jala>luddi>n bin Muhammad bin Ahmad bin Muhamad Al-Mahalli dan
Jala>luddin Abdurahaman bin Abu Bakar al-Suyu>t}i, Al-Qur’a>n al-Kari>m Wa
Biha>misihi Tafsi>r al-Ima>main al-Jala>lain ( tahqi>q : Abdul Qa>dir al-Arfauth )(t.tp :
Da>r Ibn Kathi>r, t.th ), 107. 134
Jala>luddi>n bin Muhammad bin Ahmad bin Muhamad Al-Mahalli dan
Jala>luddin Abdurahaman bin Abu> Bakar al-Suyu>t}i, Al-Qur’a>n al-Kari>m Wa
Biha>misihi Tafsi>r al-Ima>main al-Jala>lain ( tahqi>q : Abdul Qa>dir al-Arfauth )( t.tp :
Da>r Ibn Kathi>r, t.th ), 35. 135 Al-Suyutti yang muncul di abad ke 10 H, ketika perkembangan studi
al-Qur’an (ilmu al-Qur’an) sedang mengalami kemunduran, lalu al-Suyuti
bangkit, dengan karya tafsirnya, Tafsi>r Al-Du>r Manthu>r Fi> Tafsi>r Bi Al-Ma’thu>r.
Naman lengkapnya adalah Jaluddin Abu Fadl Abdur Rahman bin Abu Bakar Al-
Suyuti. Dilahirkan di Kairo pada tahun 849 H/1445 M. Karya beliau belum
berakhir, setelah menyelesaikan satu karya, beganti dengan karya yang lain. Dalam
158
kesibukan kesehariannya adalah mengarang,meresume, membuat sharkh
(penjelasan), hingga lebih dari 600 judul buku. Ketika usianya 40 tahun terjadi
perbedaan pendapat antara dia, para raja dan ulama, kemudian ia melakukan
meditasi sendiri di lembah sungai Nil, Kairo. Dan menolak semua hadiah dari para
pejabat pemerintah yang mengunjunginya. Dan dinatara karya-karyanya, adalah
Al-Itqa>n Fi> 'Ulu>m al-Qur’a>n, ad-Du>rr al-Manthu>r Fi> al-Tafsi>r bi al-Ma’thu>r,
Luba>b al-Nuqu>l Fi> Asba>b al-Nuzu>l, al-Asba>b Wa al-Naz}a>’ir di dalam ilmu nahwu
dan Qawa’id fiqh Sha>fi’ih, Ta>rikh al-Khulafa>’, Sharh Sunan Abi Da>ud wa al-
Nasa>’i Wa Ibn Ma>jah. Ia wafat pada tahun 911 H di kota Kairo.Syeikh
Muhammad Said Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah ( I'zamu al-
Islam Abara Arba’ata ‘Ashar Qarnan min al-Zama>n, terj. Khoirul Amrullah
Harahap dkk )( Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007), cet. 1, 349-350, Abdul Jalal,
Ulumul Qur’an (Surabaya : LEPKIS, 1990), 38. 136 Jala>luddin al-Suyu>t}i ( 879-911 H ), al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi Al-
Ma’thu>r ( tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky )(Kairo : Markaz Hijr Li
a-Bu’u>th Wa Al-Dira>that al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/ 2003 M ), cet. I,
Juz ke-8, 561-562. 137 Jala>luddin al-Suyu>t}i ( 879-911 H ), al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi Al-
Ma’thu>r ( tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky )( Kairo : Markaz Hijr Li
a-Bu’u>th Wa Al-Dira>that al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/2003 M), cet. I,
Juz ke-8, 562. 138 Jala>luddin al-Suyu>t}i ( 879-911 H ), al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi Al-
Ma’thu>r (tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky)(Kairo : Markaz Hijr Li a-
Bu’u>th Wa Al-Dira>sat al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/ 2003 M ), cet. I, Juz
ke-8, 563 139 Dalam riwayat yang bersumber dari Saqi>q, Ibn Umar, menyatakan :
وأخننرج عبنند الننرزاق , وابننن جريننر , والبيهقننى , عننن شننقيق قننال : تننزوج حذيفننة يهوديننة ,
فكتب إليه عمر : خا سبيلها . فكتب إليه : أتزعم أنهنا حنرام فنأخلى سنبيها ؟ فقنال : ال أزعنم
أنها حرام , ولكننى أخناف أن تعناطوا المومسنات مننهن . وأخنرج البخنارى , و النحناس فنى
, أن عبنند هللا بننن عمننر كننان إذا سننئل عننن نكنناح الرجننال النصننرانية أو )ناسننخه( عننن نننافع
اليهودية . قال : حرم هللا المشنركات علنى المنؤمنين , وال أعنرف شنيئا منن اإلشنراك أعظنم
ربهنا عيسنى أو عبند منن عبناد هللامنن أن تقنول المنرأة : Di keluarkan dari Abdu Raza>q,
dan Ibn Jari>r, dan Al-Baihaqi, dari Shaqi>q berkata : telah menikah Huzaifah
dengan wanita Yahudi, lalu Umar r.a berkirim surat kepadanya, ‘Lepaskan dia‘,
Hudhaifah membalas surat itu ‘, Apakah anda mengira dia haram untuk dinikahi,
sehingga saya harus melepaskannya (menceraikan) ? Umar bin al-Khatab,
menjawab : tidak, aku tidak mengira bahwa haram dinikahi, melainkan aku merasa
khawatir kalian enggan untuk menikahi wanita-wanita beriman, karena mereka
159
(wanita-wanita ahl-al-Kitab). Diriwayatkan oleh al-Bukhari, dan al-Nuhas dalam
kitabnya (al-Na>sikh), dari Nafi’, Bahwa Abdullah bin Umar apabila ditanya
tentang pernikahan seorang pria muslim dengan wanita Nasrani atau Yahudi.
Abdullah bin Umar menjawab : Allah SWT mengharamkan wanita-wanita
Musyrik terhadap laki-laki muslim, dan aku tidak mengetahui perbuatan syirik
semacam apa yang lebih besar, dari pada keyakinan seorang wanita yang berkata,
Tuhannya adalah Isa, atau seorang hamba dari pada hamba Allah. Jalaluddin al-
Suyu>t}i (879-911 H),al-Du>r al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi Al-Ma’thu>r (Tahqi>q : Abdullah
bin Abdul Muhsin al-Turky)(Kairo : Markaz Hijr Li a-Bu’u >th Wa Al-Dira>sa>t al-
Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/ 2003 M ), cet. I, Juz ke-8, 563 140
Al-Alu>si namanya Abu Tsana' Shiha>buddin al-Sayyid Mahmu>d al-
Alu>si al-Baghda>di. Lahir pada tahun 1217 H/ 1802 M di daerah Alu>s, Khurk,
Bagdad, Irak. Ia di juluki dengan Abu Tsana ', tetapi lebih dikenal dengan nama
Alu>si. Ia sangat cerdas dan ulet dalam menuntut ilmu. Dan ia menuntut ilmu
dengan para ulama terkemuka pada masanya, diantaranya orang tuanya, sehingga
menjadi Syeikh ulama di Irak. Di antara para ulama yang membimbing Alusi,
seperti, Khalid al-Naqshabandi, seorang ahli tasawuf sekaligus guru besar tarekat
Naqsabandiyah, Syeikh Ali al-Suwaedi dalam baidang tafsir, hadits, bahasa arab,
dan Abdul Azis dalam bidang adab, terutama ayahnya, Syeikh Abdullah
Shabuddin yang menjadi guru besar di perguruan tinggi al-Hadrah al-Ajamiyah,
sehingga ia menjadi seorang ulama yang mumpuni dan disegani. Alusi dikenal
sangat cerdas, berwawasan luas, dan berfikiran jernih. Dan pada usia 13 tahun
sudah mulai belajar dan berkarya, yaitu mulai beraktifitas tulis-menulis, sambil
bersekolah di lembaga pendidikan dekat rumahnya, sebuah universitas yang
didirikan oleh Abdullah al-Aquli di daerah Rasafah. Ia sangat menguasai masalah
perbedaan mazhab, agama dan aliran-aliran, seorang yang menganut mazhab salaf
dalam bidang aqidah, dan mazhab Shafi'ih dalam bidang fiqh. Hanya saja ia juga
betaqlid kepada Abu Hanifah dalam banyak masalah, namun pada akhir usianya ia
lebih cenderung berijtihad dengan sendiri. Ia telah meninggalkan khazanah
keilmuan yang luar biasa, di antaranya yang sedang kita bicarakan, yaitu Tafsir
Ru>h al-Ma'a>ni Fi> Tafsi>r al-Qur'a>n al-Az}i>m Wa al-Sab'u al-Matha>ni. Ha>shiyah Ala>
al-Qat}r, Sharh al-Sula>m fi al-Manti>q, al-Ajwibah al-Ira>qiyah Ala> al-As’ilah
Iraniyah, Durah al-Ghawa>s} Fi> Awha>m al-Khawa>s}, al-Nafah}a>t al-Qudsiyah Fi>
Maba>h}ith al-Ima>miyah, al-Fawa>’id al-Sunniyah Fi Ilmi Adab al-Bah}s.Muhammad
H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n ( Kairo : Maktabah Wahbah, 1396
H/1976 M), Juz. I, cet. Ke-6, 250-251, Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Al-
Qur’an (Yogyakarta : Pustaka Insan Madani, 2008 ), 110-121. 141 Abu> Fadl Shiha>buddin al-Sayyid Mahmu>d al-Alu>si al-Baghda>di
(w. 1270 H), Ru>h al-Ma’a>ni Fi> Tafsi>r Al-Qur’>a>n al-Az}i>m Wa Sab’u al-Matha>ni
160
(Beiru>t : Ida>rah al-T}aba>’h Al-Muni>riyah Da>r Ihya’ al-Tura>th Al-Arabi, t.th), Juz
ke- 2, 118. 142Abu> Fadl Shiha>buddin al-Sayyid Mahmu>d al-Alu>si al-Baghda>di
(w. 1270 H), Ru>h al-Ma’a>ni Fi> Tafsi>r Al-Qur’>a>n al-Az}i>m Wa Sab’u al-Matha>ni
(Beirut:Ida>rah al-T}aba>’ah Al-Muni>riyah Da>r Ihya’ al-Turath Al-Arabi, t.th), Juz
ke- 2, 118. 143
Abu> Fadl Shiha>buddin al-Sayyid Mahmu>d al-Alu>si al-Baghda>di
(w. 1270 H), Ru>h al-Ma’a>ni Fi> Tafsi>r Al-Qur’>a>n al-Az}i>m Wa Sab’u al-Matha>ni,
120.
144 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya ( Jakarta : UI
Press, 1985 ), cet. Ke-5, 88. 145 Keterangan periode tafsir abad modern-kontemporer dapat telusuri,
sejak terjadinya pembaharuan Islam atau munculnya gerakan-gerakan modernisasi
Islam yang terjadi di sekitar abad ke-20 M atau abad ke-14 H, akibat krisis yang
dialami umat Islam di masanya, hingga datang masa kebangkitan, mempersiapkan
sarana ke arah pembaharuan, menuju suasana yang bersifat inelektual dan kembali
kepada kejayaan Islam dalam suasana yang secara ilmiah dimodernisasikan. Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Sejarah Islamiyah II)(Jakarta : PT Grafindo
Persada, 2000), 257. 146
Namanya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.
Dilahirkan di desa Mahalla>t Nasr di Kabupaten Al-Buhairah, Mesir pada tahun
1266/1849 M, Ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan pula
keturunan bangsawan. Namun ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka
memberi pertolongan. Al-Imam Muhammad Abduh memulai penulisan tafsir al-
Qur’an di awal Muharram tahun 1317 H, dan terhenti dipertengahan bulan
Muharram di tahun 1323 H di saat menulis tafsir pada ayat ke 126 dari Surat Al-
Nisa’, karena ia telah wafat.Ali Iya>zi, Al-Mufassiru>n Haya>tuhum Wa Minhajuhum
(Teheran:Mu'asasah al-T}aba>'ah Wa Nasyr, 1415 H ), 664-665, Muhammad H}usain
al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo:Maktabah Wahbah, 1396H/1976
M), Juz. I, cet. Ke-6. 405-407. 147Rashi>d Rid}a> dikenal sebagai ahli tafsir sekaligus ilmuwan yang sangat
idealis, luas pengetahuannya.Walaupun terdapat beberapa perbedaan dengan
pendahulunya, bahkan kepada gurunya sekalipun, Muhammad Abduh, tetapi Ia
tetap konsisten dan kritis terhadap pandangan-pandangan pribadinya dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan, terhadap pendapat-pendapat yang ditukilnya,
sehingga dengan sikapnya yang kritis dan objektif, wajarlah ia menerima gelar
yang diterima dari gurunya, serta restu dari kalayak ramai, dengan gelar, al-Ustadz
al-Ima>m. Selain pengetahuannya tentang sunnah yang sangatlah luas, yang
membuat penjelasannya tentang tafsir suatu ayat, dikenal sangat kaya, dengan
riwayat-riwayat, yang bahkan dinilainya s}ahi>h, lebih-lebih terhadap kritikan
161
terhadap para mufasir pendahulunya, seperti, Ibn Jarir al-Thabri dan juga
Fakhruddin al-Ra>zi yang tidak menyinggung secara detail dalam kitab tafsirnya,
sekaligus dinilainya suatu kelemahan, karena dengan sikapnya itu, ia dikenal
orang yang kaya dalam tafsir bi al-Ma’thu>r. Sebagai mufasir yang lahir di era
kebangkitan Islam modern, Rasyid Ridha dalam tafsir al-Mana>r mengangkat isu-
isu kontemporer, yang mencoba membahas ayat-ayat dalam suatu kelompok
ataupun dalam kelompok ayat tertentu, terkait pernikahan beda agama QS.Al-
Baqarah/2:221, QS. Al-Maidah/5:5,QS.al-Mumtahanah/60:10. Karya tafsir.Al-
Mana>r, berawal dari sebuah majalah, al-Urwah al-Wusqa>, majalah yang
diterbitkan di Paris, atas karya pemikiran Syeikh Muhammad Abduh dan
Jamaluddin Al-Afgani, lalu majalah tersebut sampai ketangan Rasydi Ridha,
keta’ajuban dari pemikirin kedua tokoh tersebut tentang pembaharuan, menjadi
usaha yang tidak sia-sia, akhirnya Rasyid Rid}a bertemu para sang pembaharu
tersebut, di Mesir. Hasil pertemuannya yang panjang, membuahkan kesan yang
mendalam, memutuskan Rasyid Ridha untuk menetap di Mesir. Ide-ide
pembaharuan yang telah lama terpendam akibat tidak mendapat porsi yang layak
di Libanon, atas intimidasi dan kecaman Kerajaan Turki Usmani, yang akhirnya di
Mesir ia berhasil menerbitkan sebuah majalah, yang bernama, Al-Mana>r, yang
isinya antara lain memuat artikel tafsir al-Qur’an. Dengan demikian, cikal bakal
tersebut, maka tafsir al-Mana>r tersususn. Dan Al-Mana>r itu adalah sebutan
popular dari tafsir itu, karena dinisbahkan kepada surat kabar atau majalah yang
popular pada saat itu, dan yang aslinya adalah Tafsi>r Al-Qu’a >n al-Haki>m. Saiful
Amin Ghaofur, Profil Para Penafsir Al-Qur’an (Yogjakarta : Pustaka Insan
Madani, 2008), 146-149, 250-25, Mani’ Abdul Halim Mahmud, Kajian
Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir ( Jakarta : Raja Grafido Persada, 2006),
271-272. M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis Atas Tafsi >r Al-
Mana>r (Jakarta : Lentera Hati, 2006), 5-7, 76-78, 83-84, M. Quraish Shihab,
Rasionalitas Al-Qur’an : Studi Kritis atas Tafsir al-Manar ( Jakarta : Lentera Hati,
2006 M), cet. I, 143-144, 153-156. 148Tafsir al-Manar adalah kitab tafsir dengan nama Tafsir Al-Qur’an al-
Hakim, yang ditulis oleh karya ketiga ulama tafsir terkemuka, yaitu, Sayyid
Jama>luddin Al-Afgani, Sheikh Muhammad Abduh, dan Sayyid Muhmammad
Rashi>d Rid}a, namun yang terlibat langsung adalah dua tokoh yang disebutkan
terakhir. Ini adalah salah satu kitab tafsir yang memuat, riwayat-riwayat yang
shahih, dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah
serta sunatullah ( hukum yang berlaku ) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi
Al-Qur’an sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, di setiap waktu, tempat.
Tafsir al-Manar merupakan sebuah tafsir yang penuh dengan pendapat para
pendahulu umat, shahabat, dan tabi’in, yang penuh dengan uslub-uslub bahasa dan
162
sastra. Qurais Shihab menilai tafsir al-Manar yang lebih banyak tertuju kepada
corak sastra dan sosial kemasyarkatan (al-Adab al-Ijtima>’i ), yaitu suatu corak
tafsir, yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung
dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menaggulangi problem
kemasyarakatan bedasrkan petunjuk-petunjuk ayat, dengan mengemukakan
petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah tapi indah didengar. al-
Sayyid Muhammad Ali Iya>zi, al-Mufassiru>n Haya>tuhum Wa Manhajuhum
(Teheran : Mu'asasah al-Thaba>'ah Wa Nasyr, 1415 H), 669, Quraish Shihab,
Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarkat,
( Bandung : Mizan, 1994 M ), cet. Ke-VII, 73. 149
Terdapat dua persoalan mendasar dalam pemikiran Muhammad Abduh
yang menjadi tolak ukur dalam menagulangi masalah yang di hadapainya saat itu,
yaitu:(1). Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang
menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaiman halnya Salaf al-
Ummah (ulama sebelum abad ke-3 H), sebelum timbulnya perpecahan, yakni
memahami langsung dari sember pokoknya, yaitu al-Qur’an.(2). Memperbaiki
gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor
pemerintah, maupun dalam dalam tulisan-tulisan di media massa, penerjemahan
atau korespondesi. M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis Atas
Tafsi>r Al-Mana>r ( Jakarta : Lentera Hati, 2006 ), 14-17. 150Muhammad Rashi>d Rid}a> dilahirkan di Qalmun, sebuah kampung
sekitar 4 km dari Tripoli, Libanon. Ia lahir pada tanggal 27 Jumadil Awwal 1282
H. Dia seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan dari Sayyidina
Husain, Putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Zahrah putrid Rasulullah SAW.
Gelar Sayyid adalah awalnya gelar yang diberikan kepada semua yang mempunyai
garis keturunan tersebut, sementara keluarga Rashid Rida dikenal keluarga yang
taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka dengan julukan,
‚ syeikh ‚. M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis Atas Tafsir
Al-Manar ( Jakarta : Lentera Hati, 2006 ), 71-74. 151 Rashi>d Rid}a> menyebutkan asba>b nuzu>l ini, yang ditujukan kepada Abu
Marthad yang ingin menikahi wanita musyrik, melalui al-Wahidi yang bersumber
dari Muqatil ibn Hayyan. Dan riwayat lain, Al-Wahidi mengutip asba>b al-nuzu>l
ayat (وألأ ؤنأ) dengan jalur al-Suddi yang bersumber dari Ibn Abbas r.a
ditujukan kepada Abdullah bin Rawahah. Secara zahir, ayat ini, diturunkan
mengenai Abu Marsad prihal menikahi wanita musyrik secara umum, tetapi secara
khusus diturunkan mengenai Abdullah bin Rawahah prihal menikahi budak
wanitanya yang beriman. Jelas, demikian, bahwa ayat ini turun dalam dua kasus
yang berbeda dengan tema yang sama. Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r
Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M, Jilid II, 405, M.
163
Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis Atas Tafsir Al-Mana>r
(Jakarta : Lentera Hati, 2006), 71-74, 182-183, Saiful Amin Ghaofur, Profil Para
Penafsir Al-Qur’an (Yogjakarta : Pustaka Insan Madani, 2008), 146-149, 250-257,
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir
(Jakarta:Raja Grafido Persada, 2006), 271-272. M. Quraish Shihab, Rasionalitas
Al-Qur’an, Studi Kritis Atas Tafsir Al-Manar ( Jakarta : Lentera Hati, 2006 ), 5-7,
76-78, 83-84, M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an : Studi Kritis atas Tafsir
al-Manar ( Jakarta : Lentera Hati, 2006 M ), cet. I, 143-144, 153-156, Al-Sayyid
Muhammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-H}aki>m al-Mashhu>r bi Tafsi>r al-
Mana>r (Beirut : Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th ), Jilid 6, 279-280, Al-Wahidi ( 529
H ), Asba>b al-Nuzu>l Al-Qur’an, ( Riyad} : Da>r Miman Li Nasr Wa Tawzi’, 1426
H/2005 M ), cet I,178, Jalaluddin al-Suyu>t}i, Asba>b al-Nuzu>l, (Damascus:Da>r Al-
Qutaibah, 1407 H / 1987 M ), cet. I, 37. 152 Al-Suyu>t}i menyebutkan, ayat al-Nur/24:3, dipahami dua sebab riwayat
diturunkannya, Pertama, ditujukan kepada seseorang laki-laki yang ingin menikahi
seorang wanita yang disebutkan namanya Ummu Mahzu>l, karena perbuatan zina,
(dalam riwayat al-Nasa>’i), yang kedua, disebutkan yang ditujukan kepada
seseorang bernama Mazi>d ( kemudian diralat, melainkan namanya Marthad ) yang
ingin menikahi wanita musyrik yang dicintainya di Makkah, bernama Ana>q atas
sebab perlaku zina ( dalam riwayat Abu Da>ud, Al-Tirmizi, al-Nasa>’i, dan al-Ha>kim
dari sumber Amr bin Syua’ib dari bapaknya dari kakeknya. Walhasil ternyata
kasus semacam ini banyak di masa Jahiliyah, ternyata ayat tersebeut secara umum
diturunkan kepada mereka secara bersamaan ( dalam satu rangkaian, terhadap
individu yang berbeda, pada kasus yang sama atau dalam waktu yang sama pula).
Al-Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Haki>m al-Mashhu>r bi
Tafsi>r al-Mana>r ( Beirut : Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th), Jilid 6, 280-281. 153
Al-Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-H}aki>m al-
Mushhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r (Beirut:Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th ), Jilid 6, 280-
281. 154
Al-Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Haki>m al-
Mashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r (Beiru>t : Da>r al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th ), Jilid 6, 281. 155
Al-Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Haki>m al-
Mashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r, 282. 156
Al-Mara>ghi namanya Ahmad Mus}tafa bin Muhammad bin Abdul
Mun’im al-Mara>ghi. Dia dikenal seorang ahli tafsir, ahli fiqh dan dan saudara
kandung Muhammad Musthafa Al-Maraghi, syeikh al-Azhar. Dia lahir di kota
Mara>ghah, sebuah kota yang terletak di pinggiran sungai Nil, kira-kira 70 km, arah
selatan kota Kairo, pada tahun, 1300 H / 1883 M. Ia lebih dikenal dengan sebutan
al-Maraghi karena dinisbahkan pada kota kelahirannya, Al-Marghi menetap di
Hilwan, sebuah kota sekitar 25 km dari Kairo, hingga ahkir hayatnya, pada usia 69
164
tahun (1371 H/1952 M). Lihat. Syiekh Muhammad Said Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah ( I'zamu al-Islam Abara Arba’ata ‘Ashar Qarnan
min al-Zaman, terj. Khoirul Amrullah Harahap dkk )(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,
2007), cet. 1, 389, Ali Iyazi, Al-Mufassirun Haya>tuhum Wa Minhajuhum (Teheran
: Mu'asasah al-T}aba>'ah Wa Nasyr, 1415 H), 357-358, Saiful Amin Ghaofur, Profil Para Penafsir Al-Qur’an (Yogjakarta : Pustaka Insan Madani, 2008), 146-149, 151-
152, 156. 157
Ahmad Mus}t}afa Al-Mara>ghi, Tafsi>r Al-Mara>ghi, (Kairo:Shirkah
Maktabah Wa Mat}ba’ah Mus}t}afa Al-Babi al-Halabi Wa Awladuhu, 1365 H /1945
M ), cet. I, 152. 158 Corak penafsiran Al-Mara>ghi lebih dikenal dengan al-tafsir al-ilmi, hal itu
tentu karena besarnya pengaruh ulama-ulama pendahulunya, seperti Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha itu. Sedangkan bentuk pernafsirannya, lebih mengarah
kepada al-Adab al-Ijtima>’i (sosial-kemasyarkatan). Lihat. Ahmad Mus}t}afa Al-
Mara>ghi, Tafsir Al-Mara>ghi, (Kairo : Shirkah Maktabah Wa Mathba’ah Musthafa
Al-Babi al-Halabi Wa Awladuhu, 1365 H / 1945 M ), cet. I, 151. 159Ahmad Mus}t}}}afa Al-Mara>ghi,Tafsi>r Al-Mara>ghi, (Kairo:Shirkah
Maktabah Wa Mat}ba’ah Mus}t}afa Al-Ba>bi al-Halabi Wa Awla>duhu, 1365 H/1945
M ), cet. I, 152. 160 Ahmad Mus}t}}}afa Al-Mara>ghi, Tafsi>r Al-Mara>ghi, 153. 161 Namanya Sayyid Qutb bin Ibra>him bin Husein al-Sha>zili. Ia dilahirkan
di kampung Muwa>shah, kota Asyu>t, Mesir pada tahun 1906 M. Ia
menyelesaikakan pendidikan sarjanya di Da>r Ulu>m pada tahun 1933 M, sebuah
Universitas terkemuka di Kairo, dengan bidang Pengkajian Ilmu Islam dan Sastra
Arab dan di tempat tersebut dimana Imam Hasan al-Banna menuntut ilmu
sebelumnya. Ia seorang adalah anak tertua dari lima bersaudara, dua laki-laki dan
tiga perempuan. Nama ayahnya adalah Al-Hajja Qutub Ibra>him anggota Hizbul
Watha>n, dan seorang penulis di majalah The Banner ( al-Liwa’ ), dan pada saat
Qutub lahir kondisi ekonomi keluarganya yang krisis. Shahrough Akhavi, Sayyid
Qutub, dalam John L. Espo Sito ( Ed ), el.al. The Expord Encyclopedia Of The
Modern Word, Vol III, ( New York : Expord Univercity Press, 1995 ), 400-404,
Abdul Qadir Muhammad Shaleh, Al-Tafsi>r Wa Al-Mufasiru>n Fi> Tafsir al-Ashr Al-
Had>ith, Ard Wa Dira>sah Mufas}s}alah Li Ah}ka>m Kutub al-Tafsi>r Al-Mu’a>shir
(Bairu>t : Da>r Al-Ma'rifah, 1424 H / 2003 H ), cet. I, 347. 162Sayyid Qutub merupakan sosok mufasir di abad ke-19 M, yang
menghiasi beberapa lembaran pemikiran Islam abad modern ini, karena itu, ia
masuk ke dalam barisan tokoh-tokoh pembaharu Islam, seperti, Muhammad
Abduh, Syeikh Hasan Al-Banna, Syeikh Muhammad Sayyid Ridha, dan lain
sebagainya. Selain kifrahnya di akademis, dan di antara karyanya yang terkenal di
bidang tafsir, yaitu, tafsir Fi Z}ilal al-Qur’an (Dibawah Naungan Al-Qur’an). Abdul
Qa>dir Muhammad S}aleh, Al-Tafsi>r Wa Al-Mufasiru>n Fi> Tafsi>r al-As}r Al-H}ad>ith,
165
Ard Wa Dira>sah Mufas}s}alah Li Ah}ka>m Kutub al-Tafsi>r Al-Mua>s}ir ( Bairu>t : Da>r
Al-Ma'rifah, 1424 H / 2003 H ), cet. I, 347. 163Beberapa pemikiran tafsir Sayyid Qutb lebih dikenal dengan
pembaharu pergerakan Islam, hal itu karena pemikirannya, terinspirasi oleh ulama-
ulama sebelumnya, seperti Al-Maududi, sehingga kehidupan sosialnya, mewarnai
pemikiran tafsirnya. Selain banyak mengangkat masalah-masalah sosial
kemasyaralatan (al-Adab al-Ijtima>’i ), yang banyak menginpirasi generasi muslim,
oleh karenanya, keunggulan inilah, menjadi nilai positip bagi Sayyid Qutb, yang
dikenal sebagai sosok mufasir modern yang telah mewarnai corak tafsir al-Qur’an.
http:// ranah damaiku.blogspot.com.pemikiran Sayyid Qutb, disadur tanggal 10
Nopember 2011, http ://www. mediamuslim.net. disadur, tanggal, 10 Nopember
2011. 164
Sayyid Qutb, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n (Beiru>t : Da>r Al-Arabiyah Li T}aba>’ah
Wanashr Wa Tawzi>’, t.th ), cet. Ke-4, 176. 165 Sayyid Qutb, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, Ke-4, 177. 166
Sayyid Qutb, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>, 177.
167
Dia adalah Muhammad Ali Al-S}a>bu>ni seorang guru besar di Kuliah
Shari’ah dan Dira>sat Isla>miyah, di Makkah. Lahir tahun 1347 H/1928 M di Halab,
Syiria. Setelah selesai dari Tha>nawiyah, menyelesaikan kuliyahnya di Al-Azhar,
dengan gelar licience, pada tahun 1371 H/1952 M. Dan atas utusan kementerian
badan waqaf, Syariah, lalu melanjutkan studi masternya, dengan gelar master
peradilan hukum tahun 1945 M. Ia memiliki beberapa karya tulis yang
dipublikasikan, di bidang ilmu al-Qur’an dan tafsir, di antaranya, S}ofwah al-Tafa>sir, Mukhtas}ar Tafsi>r Ibn Kathi>r, Rawa>’i al-Baya>n Fi> Tafsi>r Aya>t al-Ah}ka>m,
al-Nubuwwah Wa al-Anbiya>’, al-Mawa>ris Fi> Shari’ah al-Isla>miyah ala Dau’i al-Qur’a>n Wa al-Sunnah, Qobs} Min Nu>r al-Qur’a>n. Ali Iya>zi, Al-Mufassirun Hayatuhum Wa Minhajuhum (Teheran : Mu'asasah al-Thaba>'ah Wa Nasyr, 1415
H), 470-471. 168Muhammad Ali al-S}abu>ni, Tafsi>r Aya>t Al-Ah}ka>m Min al-Qur’a>n
(Bairu>t : Da>r Al-Qur’an Al-Kari>m, 1420 H /1999), cet. I, 200. 169
Muhammad Ali al-S}a>bu>ni, Tafsi>r Aya>t Al-Ah}ka>m Min al-Qur’a>n
(Bairu>t : Da>r Al-Qur’a >n Al-Kari>m, 1420 H/1999), cet. I, 203-204. 170
Muhammad Ali al-S}a>bu>ni,Tafsi>r Aya>t Al-Ah}ka>m Min al-Qur’a>n
(Bairu>t : Da>r Al-Qur’a >n Al-Kari>m, 1420 H/1999 ), cet. I, 204. 171Muhammad Ali al-S}a>bu>ni,Tafsi>r Aya>t Al-Ah}ka>m Min al-Qur’a>n
(Bairu>t : Da>r Al-Qur’a >n Al-Kari>m, 1420 H/1999), cet. I, 204. 172
Muhammad Ali al-S}a>bu>ni,Tafsi>r Aya>t Al-Ah}ka>m Min al-Qur’a>n,205 173
Abu> A'la> Al-Maudu>di,(Lahir di Hyderabad, India, 25 September 1903
dan wafat di Newyork, Amerika Serikat, 1979 M ). Dia adalah ulama dan pemikir
Islam di anak benua ini, terkenal dengan konsistensi pemikirannya yang melihat
166
Islam sebagai suatu sistem yang komprhanshif sehingga ditemukan didalamnya
antara sistem sosial Islam. Ia anak termuda dari tiga bersaudara terpandang yang
merupakan keturunan para tokoh sufi, salah seorang kakeknya bernama syeikh
Qutbuddin al-Maududi al-Jisty (w. 527 H ). Sebutan al-Maududy diambil dari
kakaeknya. Al-Maududi diajar dan dibesarkan oleh ayahnya Ahmad Hasan al-
Maududi (lahir 1855) untuk menjadi orang ahli agama. Kemudian Ia melanjutkan
pendidikannya di Madrasah Fauqaniyah, sebuah sekolah yang menggabungkan
pendidikan, kemudian melanjutkan studinya di Dar Ulum Hyderabad, namun
terhenti karena ayahnya meninggal. Ia menguasai bahasa Arab, Inggris, selain
bahasa urdu sebagai bahasa ibunya. Dan sejak muda, ia terlihat kecerderungan di
bidang linguistik, dan pernah menjadi editor di beberapa media masa. Di usia 17
tahun ia memimpin al-Jami'ah ( harian Islam ) yang paling berpengaruh di New
Delhi (1920 M), dan hasil karyanya yang pertama dalam kancah politik, yaitu, al-
Jiha>d Fi> al-Islam ( Jihad dalam Islam ), salah satu buku yang cermat dan tajam
dalam menganalisis hukum Islam, perang dan damai. Dan dalam mengangkat
eksistensinya kembali ke alam pikiran dan dunia Islam, ia menerbitkan sebuah
majalah Tarjuman al-Qur'an (1933M), sebagai sarana menyebar gagasan-
gagasannya. Selengkapnya, lihat. Indeks.Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,
Ensiklopedi Islam ( Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994 ), cet. ke-2, 207-209,
Al-Mustasyar Abdullah al-Aqil, Mereka Yang Telah pergi Tokoh-Tokoh
Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer ( Jakarta : Al-I'thisham Cahaya Umat,
2003 ), cet. I, 289-290. 174
Safiuddin Shiddik, Hukum Islam Tentang Berbagai Persoalan
Kontemporer (Jakarta : Intirmedia, 2004 ), 8 . 175
Safiuddin Shiddik, Hukum Islam Tentang Berbagai Persoalan
Kontemporer ,7. 176Mahmud Shaltu>t seorang ulama dan pemikir Islam yang memiliki
reputasi Internasional. Ia lahir di Maniyah, Bani Mansyur, Distrik Itai al-Beirut,
Karesidenan al-Bukhaira, Mesir, 23 April 1893 dan wafat tanggal 19 Desember
1963. Semasa kecilnya belajar membaca al-Qur’an sampai hafal. Ketika beranjak
remaja [ 13 tahun ], pada tahun 1906 M, ia memasuki lembaga pendidikan agama
al-Ma’had al-Dini di Iskandariyah. Ia dikenal sebagai murid yang cerdas dan
berhasil memperoleh al-Shaha>dah al-Alamiyah al-Nizamiyah ( setingkat Master of
Art ) di Universitas Al-Azhar (1918 ) dan tercatat sebagai lulusan terbaik. Gelar
doctor Honoris Causa pernal juga diperolehnya dari Institut Agama Islam Negeri
( IAIN ) Sunan Kalijaga Yogjakarta (1961M) di samping dari negerinya sendiri.
Lihat. Indeks selengkapnya. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam
( Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994 ), cet. ke-2, 341-343.
167
177 Muhammad Shaltu>t, Al-Fata>wa Dira>satun Li Mushkila>ti al-Muslim
al-Mua>’s}ir Fi> H}aya>tihi al-Yaumiyah al->Amah ( Kairo : Da>r Shuru>k, 1405 H/1987
M ), Cet. Ke-14, 238-239. 178Muhammad Qurais Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maud}u>’i Atas
Pelbagai Persoalan Umat, ( Bandung : Miza, 1996 ), cet III, 198-199. 179 Muhammad Shaltu>t, Al-Fata>wa Dira>satun Li Mushkila>ti al-Muslim
al-Mua>’s}ir Fi> H}aya>tihi al-Yaumiyah al->Amah ( Kairo : Da>r Shuru>k, 1405 H / 1987
M ), Cet. Ke-14, 239.
180 Kata ulama dimaksudkan, orang yang ahli dalam hal atau pengetahuan
agama Islam (ulama besar, pada zaman kebangkitan Islam,
http://kamusbahasaindonesia.org/ulama, sedangkan tafsir sebagaimana yang
dimaksudkan, sebagai keterangan atau penjelasan ayat-ayat al-qur’an agar
maksydnya lebih mudah dipahami. http;//kamusbahasa Indonesia.org.tafsir,
disadur, Kamis,tanggal 10 januari 1013. Dalam hal ini, sebagai catatan, bahwa
menuurt penelitian ini, perlu dibatasi, bahwa maksud ulama tafsir, adalah mereka
para ulama yang menafsirkan Al-Qur’an, dan mereka memiliki kitab tafsir yang
ditulisnya. Sedangnya selain itu, mereka dimaksudkan sebagai sarjana muslim atau
cerdikiawan muslim yang turut berbicara tentang tafsir al-Qur’an. 181 Buya Hamka lahir di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat pada
tahun 1908. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Namun,
ia dikenal akrab dengan panggilan Hamka, yang merupakan singkatan dari
namanya sendiri. Ayahnya bernama Abdul Karim bin Amrullah yang dikenal
dengan nama Haji Rasul. Sang ayah adalah pelopor Gerakan Isla>h ( reformasi ), di
Minangkabau sekembalinnya dari Makkah pada tahun 1906. Hamka mengawali
pendidikannya di sekolah dasar Maninjau hingga Darajah Tha>niyah ( kelas dua ).
Ketika ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang Hamka yang
masih baru berusia 10 tahun, segera pindah ke sekolah tersebut. Disitulah ia
mempelajari bahasa Arab, ilmu agama dan sebagainya. Hamka memulai
pengabdian terhadap ilmu pengetahuan sebagai guru pada tahun 1927, di
perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Hamka adalah sosok brilian kesuksesannya
menuntut ilmu dan merangkul sekian banyak ilmu tak semata mengandalkan
pendidikan formal. Ia menjadi seorang yang sangat produktif di antara hasil
karyanya, adalah di bidang sastra, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah
Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Delli merupakan di dunia sastra. Sedangkan
di bidang agama ( tafsir ), Tafsi>r Al-Azhar merupakan karya yang mengharumkan
namanya di jagat intelektual Islam Indonesia. Dan tafsir ini, berawal sebuah
kuliyah subuh yang diberikan oleh Hamka, di Masid Agung Al-Azhar sejak tahun
1959, yang ketika itu belum bernama al-Azhar, pada waktu yang sama, Hamka
bersama KH. Fakih Usman HM, Yusuf Ahmad, menerbitkan majalah Panji
168
Masyarakat. Tafsir al-Azhar diakui sebagai karya menumental Hamka. Setelah
lama berkiprah di dalam dunia keilmuan, Hamka di karuniai gelar ke hormatan
doctor honoris causa dari Universitas Al-Azhar pada tahun 1958 M, dan juga
diperolehnya dari Universitas Kebangsaan Malaysia pada tahun 1974 M, Gelar
Datuk Indono dan Pangeran Wiroguno pun diterimanya dari Indonesia. Ia
meninggal dunia pada 24 Juli 1981 di Jakarta. Saiful Amin Ghofur, Profil Para
Mufasir Al-Qur'an,(Yogjakarta :Pustaka Insan Madani, 2008), 209-211. Muhmmad
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Sebuah Telaah Tentang
Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam ( Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas,
1990 ), 23-54. 182
Dalam asba>b al-nuzu>l ayat ini, sebagaimana telah disinggung umumnya
para mufasir Al-Qur'an, Hamka memceritakan riwayat yang ditujukan kepada Abu
Marstad bin al-Ghaznawi yang dikirim Rasulullah ke Makkah, untuk berunding
dengan orang-orang Quraisy tentang hal membebaskan kembali beberapa orang
Islam yang mereka tawan. Setelah selesai Marsad melaksanakan tugasnya, kembali
ke Makkah bertemu dengan seorang waniat bernama Inaq, bekas kenalan lamanya,
tegasnya bekas kecintaannya. Kembali wanita itu merayu-rayu menyambung
cintanya yang lama. Tetapi terus terang Marsad mengatakan hidupnya telah
berubah, seseorang setelah masuk Islam tidak boleh lagi melakukan hubungan
diluar nikah (zina ), tetapi kalau Inaq masuk Islam, mudahlah. Inaq pada saat itu,
masih menganut agam lamanya, paham musyrik. Tetapi sungguhpun Marsad
berjanji akan menyampaikan kepada Rasulullah SAW kebolehan dia mengawini
wanita itu, yang masih musyrik. Inak memang cantik. Riwayat ini, diriwayatkan
oleh Wa>hidi dari Ibn Abba>s. Hamka,Tafsir Al-Azhar (Jakarta : Penerbit Pustaka
Panjimas, 1982 ), Juz 1-3, 193. 183
Hamka, Tafsir Al-Azhar ( Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1982),
Juz 1-3, 194. 184
Hamka, Tafsir Al-Azhar ( Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1982),
Juz 1-3, 194 . 185
Hamka, Tafsir Al-Azhar ( Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1982),
Juz 1-3, 195. 186
Hamka, Tafsir Al-Azhar ,195. 187Muhammad Quraish Shihab, lahir di Rappang Sulawesi Selatan tanggal
16 Februari 1944. Seorang Ulama dan Cendikiawan Muslim Indonesia yang
dikenal ahli dalam bidang tafsir Al-Qur’an. Ayahnya adalah seorang Prof. KH.
Abdurahman Shihab, seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir.
Abdurahman Shihab dipandang sebagai salah seorang tokoh pendidik yang
memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya
dalam dunia pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di
169
Ujungpandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia ( MUI ), sebuah perguruan
tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alaudin
Ujungpandang. Ia juga tercatat sebagai mantan Rektor pada kedua perguruan
tinggi tertinggi tersebut:UMI 1959-1965 dan IAIN 1972-1977. Lihat. Lengkapnya.
Indeks. Hasan Muarif Ambary (et.al) Suplemen Ensiklopedi Islam ( pembaca ahli :
Taufik Abdullah), editor : Abdul Aziz Dahlan [ et.al ](Jakarta : Ichtiar Baru Van
Hoeve 1996 ), 110-111. 188M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2002 ), Volume 1, 441-442. 189
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2002 ), Volume 1, 443. 190M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur’an,Volume 3, 28-29. 191
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an, Volume 1, 443-444. 192Tafsir Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya (Edisi yang
disempurnakan ), (Jakarta : Departemen Agama RI, 2004 ), cet. I, 303. 193Tafsir Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya (Edisi yang
disempurnakan ), (Jakarta : Departemen Agama RI, 2006 ), cet. I, 305. 194
Nurcholis Madjid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.)
Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama:Membangun Masyarakat:Inklusif-Pluralis
(Jakarta : Paramadina, 2004 ),158. 195
Nurcholis Majid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.)
Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis
(Jakarta : Paramadina, 2004 ),159. 196
Nurcholis Madjid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.)
Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis
,160. 197
Nurcholis Majid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.)
Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama :Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis
,160. 198 Nurcholis Madjid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.)
Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis
,160. 199 Nurcholis Majid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.)
Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis
,163.
170
200Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an : Kajian Tematik Atas Ayat-
Ayat Hukum dalam Al-Qur’an, [Hasan M. Noer : editor], (Jakarta : Penamadani,
2004 ), 322. 201 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an : Kajian Tematik Atas Ayat-
Ayat Hukum dalam Al-Qur’an, [ Hasan M. Noer : editor ], ( Jakarta : Penamadani,
2004 ), 322. 202 Pengertian Sadd al-dhari>’ah, secara bahasa adalah wasilah ( sarana ).
Sedangkan menurut Istilah Ulama Ushul, adalah sesuatu yang menjadi jalan bagi
yang diharamkan atau dihalalkan, maka ditetapkan hukum sarana itu menurut
yang ditujunya. Sarana/ jalan kepada yang haram adalah haram, dan sarana kepada
yang mubah adalah mubah. Zina haram, maka melihat kepada aurat wanita yang
bisa membawa kepada zina adalah haram, shalat jum’at adalah wajib, maka
meninggalkan jual-beli karena hendak melaksanakannya adalah wajib pula.
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam : Permasalahan dan Fleksibilitasnya,
(Jakarta : Sinar Grafika, 1995), cet. I, 164, Abu> Isha>q al-Sha>tibi, menyatakan,
bahwa Saad al-Dzari’ah, adalah melakukan suatu pekerjaan yang semula
mengandung kemaslahatan, menuju suatu kemafsadatan, atau dengan kata lain,
sesorang yang melakukan suatu pkerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena
mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan ia capai berakhir pada
suatu kemafsadatan. Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqah, al-Muwa>faqa>t Fi> Us}ul
al-Shari’yah ( Beiru>t : Da>r al-Ma’rifah, 1973 ), 198. 203Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an : Kajian Tematik Atas Ayat-
Ayat Hukum dalam Al-Qur’an, [ Hasan M. Noer : editor ](Jakarta : Penamadani,
2004), 323. 204Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an : Kajian Tematik Atas Ayat-
Ayat Hukum dalam al-Qur’an, [Hasan M. Noer : editor ](Jakarta : Penamadani,
2004), 323. 205Menurut Muhammad Abduh secara lebih spesifik dan secara terang
berpendapat, sebagaimana ditukil oleh sang muridnya, Rashid Rida, sebagai mana
ditukil oleh muridnya Rashi>d Rid}a>, bahwa perempuan yang haram dinikahi laki-
laki muslim dalam ayat ini, adalah perempuan-perempuan musyrik Arab. Nurcholis
Madjid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.) Mun'im Sirry, Fiqh
Lintas Agama, Membangun Masyarakat:Inklusif-Pluralis,160.